Mitigasi & Adaptasi Tulisan Ilmiah 29 Oktoberi 2009

41
0 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL & GAMBAR Gambar 1. Ilustrasi skenario; perubahan parameter abiotik menghimpit populasi manusia (sumber: interpretasi penyusun) 6 Gambar 2. Ilustrasi scenario; perubahan rantai makanan menghimpit populasi manusia (Sumber: ilustrasi penyusun). 8 Tabel 1. Kriteria dan indikator kepribadian manusia unggul.........23 Tabel 2. Kriteria dan indikator penyusunan model manusia unggul....23 I. PENDAHULUAN

description

Tulisan bang fadil Nandila

Transcript of Mitigasi & Adaptasi Tulisan Ilmiah 29 Oktoberi 2009

Page 1: Mitigasi & Adaptasi Tulisan Ilmiah 29 Oktoberi 2009

0

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL & GAMBAR

Gambar 1. Ilustrasi skenario; perubahan parameter abiotik menghimpit populasi manusia

(sumber: interpretasi penyusun) 6

Gambar 2. Ilustrasi scenario; perubahan rantai makanan menghimpit populasi manusia

(Sumber: ilustrasi penyusun). 8

Tabel 1. Kriteria dan indikator kepribadian manusia unggul.................................................................23

Tabel 2. Kriteria dan indikator penyusunan model manusia unggul.....................................................23

I. PENDAHULUAN

Dalam keadaan normal, suhu udara rata-rata di Propinsi Riau adalah 35

derajat Celcius dan saat ini mencapai 35,9 derajat Celcius, hal ini abnormal

menurut Blucher Dolok Saribu, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan

Geofisika, Pekanbaru sebagaimana dikutip Kasri (2009) dalam makalahnya yang

disampaikan pada acara Peringatan Hari Lingkungan Hidup se Dunia 2009, 18

Page 2: Mitigasi & Adaptasi Tulisan Ilmiah 29 Oktoberi 2009

1

Juni 2009 di Bagan siapi-api, Rokan Hilir. Pada makalah tersebut juga terlaporkan

bahwasanya pada tanggal 28 Mei 2009, saat mendampingi mahasiswa

Pascasarjana Universitas Riau melakukan praktikum di Sungai Sail Pekanbaru,

mencatat suhu udara berada pada kisaran 38,5 derajat Celcius. Sementara di

harian Riau Pos tertanggal 2 Juli 2009, Dosen Pascasarjana ini menyampaikan

bahwa National Centre for Scientific Research (CNRS) yang berbasis di Paris

seperti dikutip kantor berita AFP (24-01-2008) melaporkan, sepanjang dua tahun

terakhir, wilayah Arktik di Kutub Utara kehilangan es seluas dua kali luas Prancis

atau sepuluh kali pulau jawa.

II. SKENARIO PENURUNAN POPULASI MANUSIA OLEH

FENOMENA PERUBAHAN IKLIM

Bagaimana tingkat stabilitas populasi manusia mulai dari habitat kutub

hingga subtropis, jika hewan sumber protein manusia mulai menghilang karena

mencairnya es di kutub bumi yang berakibat pada menurunnya populasi hewan

sebagai makanan utama manusia di sana? Mortalitas populasi manusia di sana

akan tinggi karena kebutuhan protein hewani sebagai penghangat tubuh mereka

semakin berkurang. Bagaimana pula dengan tingkat stabilitas populasi manusia di

habitat tropis hingga subtropis? Dari sisi konsumsi mungkin masih relatif aman,

tapi dari perubahan cuaca, mortalitas populasi manusia akan tinggi dikarenakan

fluktuasi suhu yang ekstrim. Hal ini menyebabkan wabah penyakit, kekeringan,

dehidrasi yang mengganggu metabolisme tubuh manusia. Selain itu perubahan

iklim pun mengancam manusia dalam bentuk bencana alam dan bencana ekologi

yang frekwensi kehadiranannya tidak teratur dan sulit diprediksi.

Lalu, apakah dengan situasi ini kita buru-buru pasrah dengan alasan

kehendak Tuhan menciptakan kiamat kecil? Atau kita harus cepat beradaptasi

sehingga selamat dari kiamat kecil ini? Mari menjadi manusia unggul yang

mampu bertahan dan tetap berkembang dalam situasi iklim yang kurang

menguntungkan. Sesuai dengan pernyataan Kasry (2009) di harian Riau Pos

tanggal 2 Juli 2009; masyarakat baik sebagai individu maupun kelompok dapat

berperan aktif, misalnya mengurangi konsumsi listrik, mengurangi penggunaan

kendaraan pribadi dan lebih banyak menggunakan transportasi massal ataupun

Page 3: Mitigasi & Adaptasi Tulisan Ilmiah 29 Oktoberi 2009

2

bersepeda dan berjalan kaki, menanam pohon di sekitar rumah dan lingkungan

tempat tinggalnya.

Untuk berperan aktifnya individu manusia seperti saran tersebut maka

diperlukan penyusunan model yang dapat di aplikasi oleh para partisipan yang

peduli pada upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

2.1. Bencana alam dan bencana ekologi

Energi mengalir dari satu materi ke materi lain selalu menghasilkan

dispersi energi, belum terbukti bahwa energi dapat termanfaatkan 100% oleh satu

sistem materi. Bencana alam merupakan gejala alamiah dalam keseimbangan

ekosistem dikarenakan fenomena dispersi energi. Petir mengakibatkan kebakaran,

hujan mengakibatkan banjir, suhu mengakibatkan kekeringan dan timbunan salju,

angin ribut yang mengakibatkan kehancuran, pergeseran lempeng, pelepasan gas,

cairan dan padatan dari perut bumi yang menyebabkan gempa semua terjadi

karena keberadaan dispersi energi baik berbentuk kinetik maupun potensial.

Gejala-gejala ini pun selalu diikuti oleh natalitas, mortalitas dan suksesi populasi

tertentu secara alamiah yang berakibat pada perubahan rantai makanan dalam

jejaring makanan. Dengan demikian bencana alam juga menyebabkan hadirnya

bencana ekologi.

Preposisi ini sesuai dengan pernyataan bahwasanya bencana alam yang

hadir pada suatu kawasan berakibat pada ketidak nyamanan dalam habitat

sehingga perlu waktu yang cukup untuk pemulihan kondisi hingga habitat kembali

nyaman dinaungi oleh berbagai populasi sehingga rantai makanan kembali normal

(Kasry, 2007). Selain itu, menurut Diposaptono (2008), Gempa dan Tsunami di

Nangro Aceh Darusalam tahun 2005 menghancurkan habitat wilayah pesisir baik

yang alami seperti hutan mangrove maupun buatan seperti pertambakan.

Kehancuran ini selanjutnya disikapi dengan program recovery baik dengan cara

pembangunan infrastruktur baru maupun rekayasa komunitas pesisir baru. Jika

recovery tidak dianalisis dengan baik rencana rekayasanya maka akan

mengakibatkan bencana ekologi di kawasan berdekatan dengannya. Situasi ini

hampir sama dampaknya dengan rencana reklamasi pantai yang salah perhitungan.

Page 4: Mitigasi & Adaptasi Tulisan Ilmiah 29 Oktoberi 2009

3

Bencana ekologi merupangan terminologi yang bermakna bencana alam

yang disebabkan oleh perkembangan peradaban populasi manusia. Terminologi

ini hadir dengan keyakinan bahwasanya peradaban manusia yang hadir atas dasar

perkembangan ilmu pengetahuan yang meningkatkan natalitas rate dan

menghambat mortalitas rate populasi manusia merupangan parasit bagi

keseimbangan aliran energi dan keseimbangan biomas yang ada dalam ekosistem

bumi. Peradaban manusia dipandang sebagai parasit atau penyerap keseimbangan

karena peradaban manusia selalu digerakkan alat-alat produksi yang menuntut

konsumsi energi dan melepaskan residu yang seharusnya tidak perlu ada dalam

interaksi biotik dan abiotik di ekosistem bumi (Kasry, 2007).

Belum sempurnanya perkembangan peradaban manusia berakibat tidak

terkontrolnya penyerapan energi dan pelepasan residu oleh alat produksi sehingga

mengganggu keseimbangan biotik dan abiotik dalam ekosistem, Hal ini

berdampak pada semakin dahsyatnya bencana alam baik dari sisi frekwensi

maupun daya hancurnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwasanya

bencana ekologi juga menyebabkan bencana alam, dan bencana alam merupakan

pemicu natalitas, mortalitas dan suksesi populasi tertentu. Bencana ekologi

mempercepat proses tersebut terbukti dari munculnya dampak-dampak perubahan

iklim.

Preposisi ini sesuai dengan fakta bahwasanya pemenuhan kebutuhan

negara maju atas bahan baku kayu mendorong perusahaan di negara berhutan

melakukan eksploitasi besar-besaran sehingga hutan digunduli dan lahan

dibersihkan dengan cara membakar. Akhirnya emisi gas rumah kaca dari

permukaan bumi menumpuk di atmosfer, terjadi pemanasan global yang berujung

pada perubahan iklim yang selanjutnya menjadi pemicu kehadiran bencana alam

yang tidak dapat diprediksi kehadirannya dan kedahsyatannya (Suryadiputra, et

al., 2005)

2.2. Dampak perubahan iklim

Besarnya emisi gas dari aktivitas pembangunan populasi manusia di dunia

menyebabkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer bumi mengalami

peningkatan drastis. Konsentrasi berlebih tersebut berakibat pada terperangkapnya

Page 5: Mitigasi & Adaptasi Tulisan Ilmiah 29 Oktoberi 2009

4

energi panas matahari pada molekul gas rumah kaca yang seharusnya kembali

terlepas dari atmosfer bumi. Terperangkapnya energi panas tersebut berakibat

pada distribusi panas merata di ruang atmosfer yang diterminologikan sebagai

fenomena pemanasan global. Fenomena ini dalam jangka panjang menyebabkan

perubahan iklim di permukaan bumi.

Perubahan iklim mempengaruhi perubahan parameter fisika dan kimia

dalam habitat sehingga berakibat pada perubahan prilaku populasi salah satu

spesies, beberapa spesies maupun seluruh spesies dalam habitat. Perubahan

prilaku ini berakibat pada ketidak seimbangan rantai makanan (Food chain) dalam

jejaring makanan (Food web). Apalagi semua organisme yang berposisi sebagai

konsumen dalam rantai makanan secara naluriah berupaya menjadi konsumen

tingkat akhir dengan cara menghindar, bertahan dan menyerang sebagai strategi

penyelamatan dirinya dari ancaman apapun.

Ketidak seimbangan rantai makanan disebabkan oleh perpindahan atau

putusnya mata rantai makanan, dominasi perpindahan mata rantai makanan

maupun putusnya mata rantai makanan dalam jejaring makanan menyebabkan

pergeseran/perpindahan aliran energi dan aliran materi dalam habitat. Perebutan

materi dan energi ini memicu pada akumulasi pergeseran komposisi parameter

fisika dan kimia ideal dalam habitat tersebut. Akumulasi pergeseran komposisi

parameter ini selanjutnya akan mempengaruhi perubahan fungsi-fungsi populasi

dalam komunitas. Pada gilirannya, ekosistem pun mengalami evolusi

menyesuaikan perubahan jalur rantai makanan dalam jejaring makanan,

perubahan aliran energi dan materi, perubahan fungsi populasi dalam komunitas

dan perubahan komposisi parameter fisika dan kimia dalam ekosistem.

Dalam situasi ini, maka tidak mustahil jika populasi manusia sebagai salah

satu konsumen tingkat akhir dalam rantai makanan digantikan oleh populasi

dominan dalam komunitas yang potensial berpindah-pindah mata rantai makanan.

Atau populasi manusia akan menurun dikarenakan parameter fisika dan kimia

pembentuk habitatnya berakumulasi secara acak sehingga tidak layak lagi menjadi

habitat populasi manusia. Pada gilirannnya kuantitas dan kualitas populasi

Page 6: Mitigasi & Adaptasi Tulisan Ilmiah 29 Oktoberi 2009

5

manusia menjadi kecil dalam komunitas tertentu hingga berpotensi menuju

kepunahan dalam jangka waktu tertentu.

Oleh sebab itu, manusia perlu melakukan upaya mitigasi terhadap

perubahan iklim agar parameter fisika dan kimia dalam habitat kembali wajar

sehingga diikuti dengan kembali normalnya rantai makanan dalam jejaring

makanan dan meletakkan kembali manusia sebagai konsumen tingkat akhir.

Selain itu manusia perlu melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim agar

akumulasi perubahan parameter fisika dan kimia dalam habitat tidak berpengaruh

nyata pada individu manusia dan populasi manusia secara langsung, atau

beradaptasi agar pergeseran mata rantai makanan dalam jejaring makanan yang

sulit dihindari ini tetap memposisikan manusia dan populasinya sebagai konsumen

tingkat akhir sejajar dengan konsumen tingkat akhir lainnya dalam komunitas

yang sama.

Berikut ini beberapa ilustrasi skenario perubahan iklim yang

mempengaruhi perubahan rantai makanan dalam jejaring makanan dan

mengancam kuantitas dan kualitas populasi manusia (Gambar 1).

Gambar 1. Ilustrasi skenario; perubahan parameter abiotik menghimpit populasi manusia (sumber: interpretasi penyusun)

Page 7: Mitigasi & Adaptasi Tulisan Ilmiah 29 Oktoberi 2009

6

Dari gambar 1. dapat dijalaskan penurunan kuantitas dan kualitas populasi

manusia dengan asumsi skenario 1 sebagai berikut (interpretasi penyusun):

1) Peningkatan gas rumah kaca di atmosfer bumi menyebabkan

terperangkapnya energi panas matahari pada molekul-melekul gas

rumah kaca. Akumulasi panas pada setiap molekul ini menyebabkan

ruang atmosfer mengalami peningkatan suhu yang merata mengelilingi

bumi. Hal ini merupangan fenomena yang diterminologikan sebagai

pemanasan global.

2) Pemanasan global ini menyebabkan bongkahan es di kutub mengalami

pencairan sehingga volume air laut mengalami peningkatan sehingga

volume air pada saat pasang dan surut mengalami rentang yang ekstrim

pula. Pencairan es menjadi air diikuti perbedaan suhu yang ekstrim

sehingga terbentuk pergolakan arus air di laut diikuti dengan

pergeseran materi dan energi yang berlebih sehingga arah, kecepatan

dan volume berubah-ubah baik pada badan air maupun permukaan air

sehingga membentuk angin di permukaan laut sebagai residu energi

gerak air di laut. Sementara di teresterial yang mengalami pemanasan

berlebih menyebabkan pergeseran energi angin karena perbedaan

panas ekstrim antara teresterial dan kostal. Hal ini merupakan

fenomena angin darat. Pembentukan energi angin baru dari darat dan

pembentukan energi angin laut mengalami benturan tambahan di

atmosfer sehingga energi berupaya merubah bentuknya sebagai gejala-

gejala alam yaitu; hembusan angin berlebihan hingga membentuk

taufan, hujan berlebihan hingga membanjir, panas berlebihan hingga

kekeringan, serta kegagalan-kegagalan pembentukan salju. Gejala-

gejala tak teratur ini berakibat pada perubahan iklim di bumi.

Pergeseran jadwal musim kemarau, musim dingin, musim hujan,

musim salju dan musim semi.

3) Perubahan musim yang seharusnya teratur pada setiap ruang yang

terpisah garis iklim (tropis, subtropis dan kutub) menyebabkan

perubahan-perubahan pula pada ekosistem, komunitas dan habitat yaitu

Page 8: Mitigasi & Adaptasi Tulisan Ilmiah 29 Oktoberi 2009

7

berupa rentang suhu ekstrim, Kuantitas dan kualitas air menurun,

Komposisi udara pernafasan tidak wajar, Kompetisi ruang teresterial

dan kostal

4) Perubahan parameter abiotik yang ekstrim menyebabkan

ekosistem/komunitas/habitat tidak nyaman lagi dihuni oleh manusia

sehingga hal tersebut berakibat pada penurunan kuantitas dan kualitas

populasi manusia dengan tiga skenario;

Daya tahan tubuh individu menurun barakibat pada penurunan

produktivitas populasi

Daya tahan tubuh menurun berakibat pada peningkatan mortalitas

populasi

Daya tahan tubuh menurun berakibat pada penurunan natalitas

populasi

Demikian uraian skenario 1. Dan selanjutnya Skenario 2. diuraikan

sebagai berikut.

Gambar 2. Ilustrasi scenario; perubahan rantai makanan menghimpit populasi manusia (Sumber: ilustrasi penyusun).

Dari Gambar 2. Dapat dijalaskan penurunan kuantitas dan kualitas

populasi manusia dengan asumsi skenario 2 sebagai berikut:

Page 9: Mitigasi & Adaptasi Tulisan Ilmiah 29 Oktoberi 2009

8

1) Peningkatan gas rumah kaca di atmosfer bumi menyebabkan

terperangkapnya energi panas matahari pada molekul-melekul gas

rumah kaca. Akumulasi panas pada setiap molekul ini menyebabkan

ruang atmosfer mengalami peningkatan suhu yang merata mengelilingi

bumi. Hal ini merupangan fenomena yang diterminologikan sebagai

pemanasan global.

2) Pemanasan global ini menyebabkan bongkahan es di kutub mengalami

pencairan sehingga volume air laut mengalami peningkatan sehingga

volume air pada saat pasang dan surut mengalami rentang yang ekstrim

pula. Pencairan es menjadi air diikuti perbedaan suhu yang ekstrim

sehingga terbentuk pergolakan arus air di laut diikuti dengan

pergeseran materi dan energi yang berlebih sehingga arah, kecepatan

dan volume berubah-ubah baik pada badan air maupun permukaan air

sehingga membentuk angin di permukaan laut sebagai residu energi

gerak air di laut. Sementara di teresterial yang mengalami pemanasan

berlebih menyebabkan pergeseran energi angin karena perbedaan

panas ekstrim antara teresterial dan kostal. Hal ini merupakan

fenomena angin darat. Pembentukan energi angin baru dari darat dan

pembentukan energi angin laut mengalami benturan tambahan di

atmosfer sehingga energi berupaya merubah bentuknya sebagai gejala-

gejala alam yaitu; hembusan angin berlebihan hingga membentuk

taufan, hujan berlebihan hingga membanjir, panas berlebihan hingga

kekeringan, serta kegagalan-kegagalan pembentukan salju. Gejala-

gejala tak teratur ini berakibat pada perubahan iklim di bumi.

Pergeseran jadwal musim kemarau, musim dingin, musim hujan,

musim salju dan musim semi.

3) Perubahan musim yang seharusnya teratur pada setiap ruang yang

terpisah garis iklim (tropis, subtropis dan kutub) menyebabkan

perubahan-perubahan pula pada ekosistem, komunitas dan habitat yaitu

berupa rentang suhu ekstrim, Kuantitas dan kualitas air menurun,

Page 10: Mitigasi & Adaptasi Tulisan Ilmiah 29 Oktoberi 2009

9

Komposisi udara pernafasan tidak wajar, Kompetisi ruang teresterial

dan kostal

4) Perubahan parameter abiotik yang ekstrim menyebabkan

ekosistem/komunitas/habitat tidak nyaman lagi dihuni oleh populasi

berbagai spesies organism sehingga hal tersebut berakibat pada

terpicunya naluri berbagai populasi untuk mempertahankan

kelangsungan populasinya dengan cara beradaptasi terhadap kondisi

lingkungan dan meninggalkan kepatutannya dalam rantai makanan dan

jejaring makanan dengan skenario sebagai berikut;

Populasi-populasi dalam rantai makanan mono to mono (satu mangsa satu pemangsa), mengalami punah/hilang dalam habitat secara perlahan. Punah karena tidak ada yang dimangsa

Populasi-populasi dalam rantai makanan mono to multy (satu mangsa banyak pemangsa), mengalami punah/hilang dalam habitat secara cepat. Punah karena tidak ada yang dimangsa dan beragam yang memangsa.

Populasi-populasi dalam rantai makanan multi to mono (banyak mangsa satu pemangsa), mengalami peningkatan populasi. Meningkat karena masih beragam yang dimangsa dan sedikit yang memangsa.

Populasi-populasi dalam rantai makanan multy to multy (banyak mangsa banyak pemangsa), mengalami keseimbangan populasi. Seimbang karena masih beragam yang dimangsa dan beragam yang memangsa.

Dengan demikian, populasi organisme yang menjalankan kepatutan rantai

makanan multy to mono akan mengancam keseimbangan populasi manusia. Oleh

sebab itu, manusia sebagai mahluk yang mampu berpikir, seharusnya melakukan

upaya mitigasi dan adaptasi agar keseimbangan biotik dan abiotik dalam habitat

dapat pulih kembali.

Lemahnya atau gagal berfungsinya sel darah putih manusia disebabkan

oleh menurunnya kuantitas dan kualitas asupan air, kuantitas dan kualitas pangan,

kuantitas dan kualitas udara pernafasan dan kuantitas dan kualitas habitat sehingga

dapat mengakibatkan kematian individu dalam populasi sehingga mortalitas rate

semakin meningkat. Bahkan dapat menyebabkan kegagalan fungsi reproduksi

Page 11: Mitigasi & Adaptasi Tulisan Ilmiah 29 Oktoberi 2009

10

yang berakibat pada natalitas rate populasi semakin menurun. Jika natalitas rate

rendah, mortalitas rate rendah maka populasi renggang dan anggota populasi

jarang berganti. Jika natalitas rate tinggi, mortalitas rate tinggi maka populasi

padat dan anggota populasi sering berganti. Jika natalitas rate rendah, mortalitas

rate tinggi maka populasi renggang dan anggota populasi menghilang sehingga

gagal regenerasi. Situasi terakhir ini merupangan fenomena punah, populasi

menghilang dalam komunitas. Ini merupangan dampak perubahan iklim yang

paling parah yang seharusnya hanya berlaku saat kiamat tiba.

Preposisi ini didukung sebuah contoh; Lahan gambut yang terbakar,

mengalami kesulitan untuk pulih karena miskin unsur hara dan air. Sehingga

hanya terjadi suksesi spesies tertentu dan sangat lama diikuti kehadiran organisme

lainnya. Habitat mengalami dominasi populasi tertentu saja (Wibisono, Siboro,

dan Suryadiputra, 2005)

Penurunan kuantitas dan kualitas air, pangan, udara dan ruang hidup dalam

komunitas disebabkan oleh kompetisi antar komunitas karena kebutuhan anggota

ragam populasi dalam komunitas semakin meningkat, berakibat pada hilangnya

komunitas tertentu dalam ekosistem. Kompetisi antar populasi dalam komunitas

berakibat pada hilangnya populasi tertentu dalam komunitas. Kompetisi antar

individu dalam populasi berakibat pada hilangnya individu tertentu dalam

populasi. Kausalitas tersebut merupangan fenomena alamiah dalam keseimbangan

ekosistem.

Konsep keytone species yang diperkenalkan pertama sekali pada tahun

1969 oleh Profesor Robert T. Paine seorang zoology mendiskripsikan; keberadaan

suatu spesies yang berperan penting membangun tingkat keragaman anggota

komunitas menuju keseragaman jenis atau menuju keberagaman jenis (Kasry,

2007). Keytone spesies predator jika spesies ini tergolong organisme heterotropik

polyphagus maupun monophagus yang berfungsi menurunkan ledakan populasi

spesies tertentu dan berdampak meningkatnya ledakan populasi spesies lain pula

sehingga rantai makanan dalam jejaring makanan mengalami dinamika yang

besar. Dan jika keytone spesies adalah organisme autotropik ia akan

memusnahkan populasi autotropik lainnya dengan cara perebutan ruang dan

Page 12: Mitigasi & Adaptasi Tulisan Ilmiah 29 Oktoberi 2009

11

makanan yang diterpa sinar matahari sehingga berdampak pada kepunahan pada

organisme tropik tingkat dua yang monophagus dan peledakan organisme tingkat

dua yang polyphagus atau monophagus yang bersimbiosis dengan keytone spesies

Keytone spesies tersebut kehadirannya menjadi terpaksa karena dipicu

oleh rangkaian kejadian abiotik sebagai berikut; kecepatan abrasi pantai

meningkat drastis, Ombak laut semakin tinggi, jadwal pasang-surut tidak dapat

diprediksi, angin laut dan angin darat bertiup tidak seimbang hingga membentuk

badai. Biota laut mengalami perubahan prilaku mengikuti perubahan suhu air dan

arah gerak air dan diperkirakan mempercepat proses perubahan zat kimia air laut

sebelum waktunya. Intrusi air laut meningkat karena hutan mangrove dan lahan

gambut tak mampu menahan desakan air laut ke daratan, lahan gambut kehilangan

daya serap air karena telah dipenuhi garam.

Hal ini didukung oleh uraian Kasry (2007) yang mencontohkan, naiknya

suhu air laut menyebabkan ledakan populasi bintang laut (Pisasater ochraceous)

yang memusnahkan koloni terumbu karang karena mengkonsumsi koloni terumbu

karang secara berlebihan. Selanjutnya terjadi cascade effect, yaitu hilangnya

populasi lain yang bersimbiosis dengan koloni terumbu karang. cascade effect

juga terjadi kerana fenomena bleaching (kematian koloni terumbu karang karena

habitatnya sudah tidak ideal).

Perbedaan suhu yang ekstrim antara lautan dan daratan, antara daratan satu

dengan lainnya bahkan antar kawasan perairan berdampak pada kecepatan dan

arah tiupan angin yang selalu berubah sehingga siklus hidrologi tidak teratur

menyebabkan frekwensi dan curah hujan tidak wajar di banyak tempat. Akibatnya

banjir dan kekeringan bisa terjadi dalam kurun waktu relatif berdekatan.

Perbedaan suhu ekstrim ini juga memicu munculnya angin ribut di berbagai

tempat yang memporak-porandakan infrastruktur bahkan hingga menelan korban

jiwa manusia dan organisme lainnya. Banjir, kekeringan, angin ribut dan

kegagalan produksi komunitas, memicu ketidak layakan habitat, sehingga tercapai

situasi kepunahan populasi hingga mengganggu stabilitas rantai makanan dan

jejaring makanan. Dan pada akhirnya akan tercapai situasi kematian individu

dalam populasi tanpa kompetisi. Bumi akan mengalami suksesi oleh organisme

Page 13: Mitigasi & Adaptasi Tulisan Ilmiah 29 Oktoberi 2009

12

autotropik toleransi tinggi untuk memperbaiki kembali atmosfer dalam jangka

waktu yang sangat lama hingga muncul kehidupan baru ditandai dengan hadirnya

organisme heterotropik tingkat pertama, kedua dan seterusnya.

Situasi ini digambarkan oleh Diposaptono (2008) bahwa tragedi

Tsunami tahun 2005 menelan korban jiwa lebih dari 200.000 orang hanya di

Nangro Aceh Darusalam, Indonesia. Sedangkan menurut Jeremy Turner, Kepala

Pelayanan Teknologi Perikanan PBB, FAO, bahwa Tsunami yang menghantam 7

negara pesisir di dunia yang diperkirakan oleh Pusat Informasi PBB, UNIC,

mengalami kerugian sebesar USD 500 juta, termasuk di dalamnya perhitungan;

111 ribu kapal hancur dan rusak, 36 ribu mesin hilang dan 1,7 juta unit peralatan

penangkapan ikan rusak. Ini sebuah gambaran proses pembantaian populasi

manusia oleh bencana alam non bencana ekologi. Bayangkan kalau keduanya

terjadi berbarengan. Sebagai ilustrasi tambahan; bila Tsunami terjadi di teluk

Jakarta sementara hujan terjadi di Bogor, maka Jakarta akan mengalami

penurunan populasi manusia dalam waktu yang sangat singkat.

III. ALIRAN MATERI DAN ENERGI DALAM EKOSISTEM BUMI

Keseimbangan bumi bergantung pada interaksi tiga zat penting yaitu; zat

padat, zat cair dan gas. Pada dasarnya, ketiga zat atau materi ini kondisi hakikinya

adalah diam. Namun karena semua materi menyimpan energi potensial atas

keberadaan energi gravitasi bumi maka semua materi berpotensi untuk tidak diam.

Jika ada sedikit usikan yang lebih besar dari kondisi diamnya maka materi dalam

kondisi bergerak dan berusaha untuk kembali diam. Usaha kembali diam inilah

yang menyebabkan lepasnya selisih energi, lepasan ini sesegera mungkin

menaungi materi lain yang juga dalam kondisi diam. Namun jika materi tidak

mampu melepaskan energi yang menaunginya maka alternative peristiwanya

adalah materi akan berubah wujud hingga keseimbangan energi untuk diam

kembali tercapai. Menurut uraian Kasry (2007), pada ekosistem dapat terjadi

perubahan wujud zat yaitu; 1) padat menjadi cair, 2) padat menjadi gas, 3) padat

menjadi padatan lain, 4) cair manjadi padat, 5) cair menjadi gas, 6) cair menjadi

cairan lain, 7) gas menjadi padat, 8) gas menjadi cair, 9) gas menjadi gas lain.

Page 14: Mitigasi & Adaptasi Tulisan Ilmiah 29 Oktoberi 2009

13

Perubahan wujud ini selalu dibarengi dengan aliran energi dan dispersi energi

menjadi panas yang dilepas sebagai upaya mencapai keseimbangan materi.

Kondisi diam dan kondisi bergerak atau berubah suatu materi dipengaruhi

atas keberadaan tiga basis energi yaitu; energi stagnasi, energi potensial dan

energi kinetik. Energi stagnasi adalah energi yang manaungi sehingga materi

dalam kondisi keseimbangan hakiki untuk diam. Energi potensial adalah energi

tertoleransi oleh materi dalam kondisi diam dan jika terusik oleh energi kinetik

maka energi potensial akan terlepas meninggalkan materi tersebut hingga tercapai

situasi energi stagnasi dalam materi. Energi kinetik adalah energi potensial yang

bergerak berpindah ke materi lain hingga materi yang diterpa energi tersebut

mencapai keseimbangan baru menuju diam baik dinaungi hanya oleh energi

stagnasi maupun bersama energi potensial.

Menurut uraian Azam (2008), air memiliki beberapa sifat yaitu mencari

tempat yang lebih rendah dan memenuhi ruang setangkup dengan bentuk ruang

yang tersedia, sifat ini dipengaruhi oleh gaya gravitasi bumi. Air tersebut dinaungi

gaya potensial gravitasi bumi. Pada malam hari saat bulan tepat tegak lurus

dengan air di laut, energi potensial gravitasi bumi dalam volume air tersebut

diusik oleh energi potensial gravitasi bulan sehingga terbentuk energi kinetik yang

mampu memindahkan volume air tidak berada pada tempat yang lebih rendah.

Karena bulan terus berevolusi mengakibatkan penurunan energi mengikuti vektor

gaya tarik bumi-bulan. Saat energi potensial bulan tidak unggul lagi maka air

bergerak mundur ke titik awal namun membawa kelebihan energi sehingga terjadi

benturan dengan entitas lain dibelakangnya. Air bergerak mondar-mandir hingga

energi terserap oleh entitas lain dan air kembali diam.

Hukum termodinamika 1 yang menyatakan energi tidak dapat punah

melainkan berubah bentuk, dapat dipertahankan kesahihannya karena bumi

memang tidak pernah kehabisan energi atau dalam kondisi selalu memiliki energi

potensial, tidak terjadi kondisi energi stagnasi. Hal ini disebabkan oleh sistem tata

surya yang memberikan reaksi berantai (chain reaction) sebagai berikut; Energi

nuklir dalam matahari menghasilkan panas sehingga mendorong planet bumi dan

planet lainnya menjauh dari matahari, di belakang bumi terdapat ruang hampa

Page 15: Mitigasi & Adaptasi Tulisan Ilmiah 29 Oktoberi 2009

14

yang memaksa bumi dan planet lainnya mendekati matahari. Seluruh planet

karena dikenai gaya dorong dari dua sisi menyebabkan planet-planet mengitari

matahari (revoluasi) dalam orbitnya, kondisi menggelinding pada ruang hampa

menyebabkan planet-planet berotasi, fenomena inipun menjelaskan mengapa

planet-planet cenderung berbentuk bulat pejal. Kondisi berevoluasi dan berotasi

inilah yang menjadi generator energi dalam bumi dan atmosfer. Dengan demikian

bumi selalu memiliki energi kinetik abadi yang selalu mengusik materi-materi

dalam bumi dan membentuk gaya gravitasi bumi sebagai energi potensial yang

tercipta oleh vektor energi potensial yang terbentuk dari energi kinetik revolusi

bumi dan rotasi bumi.

Menurut Haryanto (2007), gaya tarik matahari terhadap benda langit di

sekitarnya dan gaya tolak benda langit terhadap matahari menyebabkan

terbentuknya vector elips yang menjadi lintasan benda-benda tersebut

mengelilingi matahari. Ada saatnya matahari dan benda planet yang mengitarinya

berada berdekatan dan ada saatnya berjauhan. Perubahan jarak ini disertai dengan

perubahan kecepatan perubahan massa benda pada kondisi tertentu sehingga

tercapai siutasi dimana yang berubah-ubah hanya energi potensial ke energi

kinetik silih berganti pada massa benda yang sama.

Siklus energi kinetik inilah yang membangun fenomena alam, dimana

materi berpotensi bergerak vertikal karena keberadaan gaya gravitasi bumi, dan

tidak ada gerak horizontal karena tidak terjadi rotasi bumi relatif terhadap

atmosfer. Gerak horizontal materi di bumi, hakiknya didapat dari dispersi

distribusi energi panas yang tidak merata di atmosfer dan permukaan bumi. Panas

sebagai energi potensial yang dibawa oleh sinar matahari diserap oleh materi-

materi berdaya serap berbeda sehingga muncul perbedaan suhu dari satu materi

dengan materi lain. Perbedaan suhu inilah yang mengakibatkan perpindahan

energi dalam bentuk angin yang bergerak horizontal dan mengakibatkan materi

bergerak horizontal pula karena dinaungi energi kinetik dan didesak oleh gaya

gravitasi hingga mempercepat proses tercapainya keseimbangan materi untuk

kembali diam karena tercapai kondisi dinaungi energi stagnasi dan atau energi

potensial.

Page 16: Mitigasi & Adaptasi Tulisan Ilmiah 29 Oktoberi 2009

15

Preposisi ini dapat dicontohkan dengan fenomena umum yaitu; pada siang

hari teresterial bersuhu lebih panas dan bertekanan udara rendah dibandingkan

perairan sehingga angin berhembus dari perairan menuju darat. Sedangkan pada

malam hari saat perairan belum sempurna mengalami penurunan suhu sedangkan

teresterial telah mengalami pendinginan dan tekanan udara meningkat, maka

angin berhembus menuju perairan. Fenomena ini dimanfaatkan oleh kapal-kapal

tradisional yang masih menggunakan layar untuk memanfaatkan arah gerak angin

(Murdiyanto, 2004).

Cahaya merupangan media transfer energi panas yang menjadi pilihan

pertama dan pilihan terakhir oleh energi panas saat melakukan rambatan energi ke

materi lain. Energi potensial gravitasi berkecenderungan mendorong materi untuk

terlingkupi energi stagnasi, sedangkan energi panas berkecenderungan mendorong

materi untuk terlingkupi energi kinetik. Cahaya matahari menyinari bumi

membawa energi panas dari reaksi nuklir di matahari. Kehadiran cahaya beserta

energi panas ini menciptakan reaksi berantai (chain reaction) yang mendukung

kehidupan di bumi sebagai berikut; Lapisan ozon adalah lapisan di atmosfir pada

ketinggian 19-48 km (12-30 mil) di atas permukaan Bumi yang mengandung

molekul-molekul Ozon. Konsentrasi di lapisan ini mencapai 10 ppm dan

berbentuk akibat pengaruh sinar Ultraviolet Matahari terhadap molekul-molekul

oksigen. Peristiwa ini terjadi semenjak berjuta-juta tahun yang lalu, tetapi

campuran molekul-molekul nitrogen yang muncul di atmosfer menjaga

konsentrasi ozon relatif stabil. Ozon adalah gas beracun sehingga bila berada

dekat permukaan tanah akan berbahaya bila terhisap dan dapat merusak paru-paru.

Sebaliknya, lapisan ozon di atmosfer melindungi kehidupan di Bumi karena ia

melindunginya dari radiasi sinar ultraviolet yang dapat menyebabkan kanker

djwie.wordpress.com/2008/11/24/lapisan-ozon.

Gas rumah kaca di atmosfer bumi menyaring cahaya dan panas agar tidak

seluruhnya ke permukaan bumi, penyaringan dilakukan dengan dua cara yaitu;

menyerap dan memantulkan kembali ke ruang angkasa. Penyerapan berakibat

pada penghangatan atmosfer bumi dan pemantulan cahaya ultra violet ke angkasa

oleh lapisan ozon berakibat pada penghindaran dari tingginya suhu dan kecerahan

Page 17: Mitigasi & Adaptasi Tulisan Ilmiah 29 Oktoberi 2009

16

berlebih di bumi situasi ini menciptakan habitat menjadi layak bagi kehidupan di

bumi. Cahaya yang diteruskan ke bumi, dimanfaatkan organisme autotropik untuk

memproduksi karbohidrat dalam biomas, menyimpan energi potensial dan

memproduksi oksigen untuk udara. Dalam proses produksi ini, organisme

autoropik menyerap CO2 dan H2O. Dengan demikian melalui proses fotosintesis

organisme autotropik dalam reaksi berantai tersebut otomatis membangun

keseimbangan konsentasi air di bumi dan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.

Selain itu juga organisme outotropik ini menyiapkan dirinya menjadi bagian dari

rantai konsumsi bagi organisme heterotropik.

Preposisi ini menjadi logis karena pada kenyataanya ekosistem bumi

dalam membangun keseimbangan biotik dan abiotiknya selalu berupaya menjamin

berputarnnya siklus carbon, siklus hydrogen dan siklus oksigen dalam biomas

tingkat produsen, biomas tingkat konsumen dan biomas tingkat detritus. Dan

Organisme autotrop yang kita sebut produsen adalah komponen biotic yang

mampu merubah cahaya menjadi energi potensial bagi heterotrop,

menyeimbangkan CO2 dan O2 di udara, Menyeimbangkan rantai karbon dan H2O

dalam biomas dan tanah. (Kasry, 2007).

Keberadaan revolusi dan rotasi bumi serta cahaya matahari dan energi

panasnya membangun efek berantai yaitu gerak vertikal dan horizontal bagi unsur

abiotik di bumi serta aliran energi pendukung kehidupan unsur biotik. Sehingga di

ekosistem bumi terdapat gejala-gelaja alam sebagai akibat dari proses pencapaian

keseimbangan energi yaitu; pergerakan air, pergerakan udara, pergerakan

tanah/lempengan dan fluktuasi kualitas/kuantitas biomas. Dan bencana alam

seperti, banjir, kekeringan, longsor dan angin ribut merupangan gejala-gejala alam

dalam rangka mencapai keseimbangan ekosistem. Namun jika gejala-gejala ini

muncul berlebihan dan tidak wajar maka dapat diprediksi sebagai bencana

ekologi.

Preposisi ini sesuai dengan ulasan bahwasanya Gempa dan Tsunami di

Indonesia, Thailand, India, Maladewa, Myanmar, Somalia dan Srilanka pada

tahun 2005 dan diikuti bencana yang sama pada tahun 2006 dan 2007 di tempat

lainnya adalah bencana alam yang memporak porandakan wilayah pesisir. Namun

Page 18: Mitigasi & Adaptasi Tulisan Ilmiah 29 Oktoberi 2009

17

dampak bencana alam semakin meluas dikarenakan pembangunan berlebihan di

kawasan pesisir yang tidak mempertimbangkan daya dukung, daya tampung dan

daya tahan terhadap bencana. Semakin meluasnya dampak bencana alam tersebut

dipicu oleh gejala-gejala bencana ekologi yang terlanjur terbentuk oleh ulah

manusia sendiri tanpa disadari (Diposaptono, 2008).

IV. UPAYA MITIGASI DAN ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN

IKLIM

Meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer disebabkan oleh

perkembangan peradaban manusia yang mendorong penggunaan alat-alat

produksi dan pembukaan lahan pertanian yang menghasilkan residu berupa gas-

gas rumah kaca, utamanya karbon dioksida CO2. Pemanfaatan lahan pertanian dan

peternakan meresidu metana (NH4) dan nitrogen oksida (N2O). Penggunaan

produk-produk aerosol, freezer dan air conditioner yang meresidu

hydrofluorocarbons (HFCs). Pelepasan gas ini melebihi ambang batas sehingga

kepadatan gas meningkat di atmosfer.

Disebut gas rumah kaca karena gas ini beranalogi dengan sifat ruang kaca

yang menyerap panas dan memantulkan cahaya. Oleh sebab itu peningkatan

konsentrasi ini merubah atmosfer yang bersuhu hangat menjadi bersuhu panas.

Sehingga pemanasan merata di atmosfer diterminologikan sebagai pemanasan

global (Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, 2008).

Page 19: Mitigasi & Adaptasi Tulisan Ilmiah 29 Oktoberi 2009

18

Pemanasan global menyebabkan pencairan es di kutub bumi. Sejatinya,

kutub bumi merupakan salah satu alat penyeimbang suhu air laut dan suhu udara

di biosfer. Namun karena pemanasan global fungsi es kutub menjadi menurun

bahkan menjadi penyebab meningkatnya permukaan air laut karena volume air

secara global meningkat (Meiviana, Sulistiowati, dan Soejachmoen, 2004).

Selanjutnya Meiviana at al (2004) menguraikan, peningkatan volume air

di bumi menjadi penyebab kompetisi ruang oleh tiga materi utama bumi yaitu

perairan, daratan dan udara karena dua entitas berikutnya mengalami pemuaian

oleh pemanasan global. Hal inilah yang memicu terjadinya perubahan iklim.

Fenomena ini selanjutnya diikuti perebutan ruang oleh materi lainnya baik biotic

maupun abiotik. Dan secara alami terjadi juga perebutan energi biomas dalam

peristiwa jejaring makanan dikarenakan perubahan prilaku entitas biotik.

Sehingga terjadi dominasi populasi yang diikuti ancaman pemunahan populasi

organisme. Keseimbangan ekologi terganggu, terjadi bencana alam dan bencana

ekologi yang berkausalitas timbal-balik. Keseimbangan populasi manusia turut

terancam jika tidak melakukan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

Kelebihan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer sebagai pemicu dari

pemanasan global hingga kompetisi biotik dan abiotik dalam habitat. Sehingga

masyarakat dunia yang terepresentasi dalam Organisasi Perserikatan Bangsa-

bangsa sejak tahun 1992 hingga saat ini terus menegosiasikan strategi mitigasi dan

adaptasi terhadap dampak perubahan iklim (Ginoga, et al , 2008)

Mitigasi dalam kontek penanggulangan perubahan iklim adalah upaya

penurunan konsentrasi gas rumah kaca. Tiga cara yang hingga saat ini

terformulasi yaitu; 1) Menyerap gas rumah kaca dengan cara memanfaatkan

fisiologi tumbuhan berklorofil yang menyerap CO2 saat memproduksi zat pati,

tersimpan dalam biomas, melepaskan O2 dan menyerap H2O dari tanah melalui

fungsi akar. 2) Menimbun gas rumah kaca dalam biomas dan tanah dengan cara

mengkonservasi atau penundaan pemanfaatan. 3) Mengurangi pelepasan gas

rumah kaca dengan cara menggunakan bahan bakar alternative, menggunakan

energi alternative dan hingga meniadakan penggunaan bahan bakar konvensional

sebagai energi. Sedangkan adaptasi dalam kontek penanggulangan perubahan

Page 20: Mitigasi & Adaptasi Tulisan Ilmiah 29 Oktoberi 2009

19

iklim adalah strategi penyesuaian diri manusia terhadap dampak yang muncul dari

perubahan iklim yaitu; bencana alam, bencana ekologi. Tiga adaptasi yang harus

dipersiapkan yaitu; adaptasi peradaban, adaptasi kepribadian, adaptasi fisiologi

dan adaptasi genetic (Rufi'i, 2008).

Adaptasi peradaban adalah upaya adaptasi dengan cara membangun

pengetahuan etika dan estetika sehingga infrastruktur peradaban, interaksi social-

ekonomi-budaya-politik yang terbangun dimasa mendatang dapat mengantisipasi

ketidak pastian bencana alam dan bencana ekologi. Pembangunan pengetahuan

etika dan estetika tersebut diarahkan menuju perlindungan terhadap keseimbangan

populasi manusia di bumi. Oleh sebab itu peradaban adaptasi, dengan keterbatasan

kuantitas dan kualitas air, udara dan daratan, akan menuju pada upaya efisiensi

dan efektifitas pemanfaatan sumberdaya tersebut.

Adaptasi peradaban manusia di dunia terhadap perubahan iklim di mulai

sejak tahun 1992, dalam acara KTT Bumi di Rio De Janeiro menyepakati

dibentuknya UNFCCC. Sejak saat itu, setiap tahunnya negara-negara berkumpul

untuk menegosiasikan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

Protokol Kyoto yang di tandatangani pada pertemuan ke 3 yang disebut

Conference of parties (COP3-1995 di Jepang) merupakan babak baru adaptasi

peradaban yang ditandai dengan perubahan kebijakan pengembangan industri

yang lebih efisien dalam mengemisi gas buang yang membahayakan konsentrasi

gas rumah kaca di atmosfer (Meiviana, et al, 2004)

Adaptasi kepribadian adalah upaya adaptasi individu manusia dalam

rangka menyesuaikan diri terhadap lingkungan hidupnya yang baru yaitu; suhu

udara yang ekstrim, bencana yang silih berganti hadir, keterbatasan asupan air,

udara dan pangan serta keharusan untuk efiensi energi dan emisi. Situasi ini akan

membangun kepribadian baru yang terlihat dari tata cara berpakaian, tatacara

mencari nafkah, tatacara berinteraksi, tatacara berkonsumsi, tatacara

menyelamatkan diri dan tatacara lainnya yang membentuk kepribadian manusia

unggul yang memiliki survival rate tinggi.

Page 21: Mitigasi & Adaptasi Tulisan Ilmiah 29 Oktoberi 2009

20

Setiap rumah tangga dalam berpartisipasi menghadapi perubahan

sebaiknya melakukan penghematan penggunaan energi seperti; berkonsumsi

minus emsi, bermobilisasi minus emisi, berekreasi minus emisi, bekerja minus

emisi serta harus mempersiapkan diri agar selalu menjaga kesehatan dan memiliki

kemampuan menyelamatkan diri dari berbagai bencana (Meiviana, et al, 2004).

Adaptasi fisiologi adalah upaya adaptasi organ tubuh manusia dalam

rangka menyesuikan kondisi lingkungan yang penuh bencana, penurunan kualitas

dan kuantitas air, udara dan pangan. Sehingga survival rate manusia secara

biologis cukup tinggi. Selain itu dalam jangka panjang akan terjadi adaptasi

genetik dengan skenario; akan lahir bayi-bayi manusia yang memiliki fisik dan

fungsi organ tubuh menyesuaikan habitat baru yang penuh dengan keterbatasan

air, udara dan pangan serta dipenuhi bencana.

Pada kenyataannya ada perbedaan fisiologi dan morfologi manusia dilihat

dari dispersi populasi secara vertikal dari wilayah pantai hingga wilayah

pegunungan, manusia habitat pegunungan karena tekanan udara dan minimnya

ketersediaan oksigen, paru-parunya beradaptasi hingga efisien memanfaatkan

udara untuk metabolisma dengan demikian kemampuan darah sebagai alat

transportasi juga turut beradaptasi. Sedangkan dispersi populasi secara horizontal

dari wilayah iklim tropis, temperet hingga kutub, terjadi adaptasi mofologis yaitu

ukuran fisik tubuh dan sensitifitas kulitnya beradaptasi dengan suhu pada iklim

yang berlaku di habitat tersebut walaupun sebagai satu spesies ataupun

varietasnya, terlepas dari perdebatan tentang kebenaran teori darwin (Kasry,

2007).

Page 22: Mitigasi & Adaptasi Tulisan Ilmiah 29 Oktoberi 2009

21

V. PENYIAPAN MODEL MANUSIA UNGGUL

Semua pemerintahan negara-negara di dunia baik yang telah meratifikasi

Protocol Kyoto maupun yang belum seperti dua negara adidaya Amerika Serikat

dan Australia, telah menyadari dampak perubahan iklim sehingga dengan atau

tanpa target Protocol Kyoto, semua harus melakukan mitigasi dan adaptasi demi

keselamatan negara dan rakyatnya. Namun apakah jika pemerintahan negara telah

melakukannya maka rakyatnya ototamis selamat? Bisa ya jika sistem mitigasi dan

adaptasi yang dipersiapkan memang cukup sempurna. Jika tidak, maka populasi

manusia di negara tersebut tetap dalam ancaman bencana yang serius. Oleh sebab

itu perlu dipersiapkan upaya mitigasi dan adaptasi personal sehingga setiap

individu manusia memang mampu berpartisipasi dalam penurunan konsentrasi gas

rumah kaca dan beradaptasi pada situasi keterlanjuran terancam bencana.

Page 23: Mitigasi & Adaptasi Tulisan Ilmiah 29 Oktoberi 2009

22

Untuk masa datang perlu dipersiapkan model manusia unggul yang

mampu melakukan dua hal tersebut sehingga populasi manusia survival di muka

bumi dalam kondisi habitat yang kurang nyaman.

Model adalah prototype, figure, character, performance suatu sabjek,

suatu predikat, maupun suatu objek yang diduplikasi mendekati situasi kondisi

aslinya. Permodelan yang umum dilakukan hingga dewasa ini yaitu permodelan

fisik dengan skala lebih besar maupun lebih kecil, contohnya sel yang berukuran

mikroskopik harus dimodelkan lebih besar hingga kasat mata dan atau kasat raba.

Sedang benda antariksa biasanya dimodelkan lebih kecil agar kasat raba.

Permodelan yang lebih modern adalah model matematika yang bisa diproyeksikan

dengan teknologi computer sehingga skala model lebih beragam sesuai kebutuhan.

Seperti yang tertera pada http://id.wikipedia.org/wiki/Model, Model adalah

rencana, representasi, atau deskripsi yang menjelaskan suatu objek, sistem, atau

konsep, yang seringkali berupa penyederhanaan atau idealisasi. Bentuknya dapat

berupa model fisik (maket, bentuk prototipe), model citra (gambar rancangan,

citra komputer), atau rumusan matematis.

Penyusunan model selalu diawali dengan menyusun variabel-variabel dari

parameter yang ada pada sabjek/predikat/objek yang akan dimodelkan. Parameter

tersebut bisa merupakan parameter hasil interpolasi maupun hasil ekstrapolasi.

Dalam tulisan ini parameter tersebut diterminologikan sebagai kriteria dan syarat

kriteria diterminologikan sebagai indikator. Selanjutnya dalam penyusunan model,

dilakukan akumulasi criteria. Berikut ini adalah kriteria dan indikator yang

ditawarkan dalam tulisan ini untuk penyusunan model manusia unggul (Tabel 1).

Tabel 1. Kriteria dan indikator kepribadian manusia unggul

Kriteria IndikatorKepribadian 1. Berkemampuan menyelamatkan diri dari bencanaKepribadian 2. Memotivasi orang lain untuk membangun kemampuan

menyelamatkan diriKepribadian 3. Berkemampuan menyelamatkan orang lain dari bencana

Kepribadian 4. Berprilaku menurunkan atau meniadakan emisi dalam penggunaan pesawat sederhana

Kepribadian 5. Memotivasi orang lain untuk menurunkan atau meniadakan emisi dalam penggunaan pesawat sederhana

Page 24: Mitigasi & Adaptasi Tulisan Ilmiah 29 Oktoberi 2009

23

Dari Tabel 1. tersebut terlihat bahwa criteria yang ditawarkan ada 5 yaitu

kepribadian 1, 2, 3, 4 dan 5, masing-masing kriteria memiliki indikator tersendiri

dengan batasan yang tegas. Selanjutnya dari tabel kriteria dan indikator, disusun

model dengan cara melakukan komulasi bertingkat dan hasilnya adalah seperti

berikut ini.

Tabel 2. Kriteria dan indikator penyusunan model manusia unggulModel Variabel

Model 1. 1) Berkemampuan menyelamatkan diri dari bencanaModel 2. 1) Berkemampuan menyelamatkan diri dari bencana

2) Memotivasi orang lain untuk membangun kemampuan menyelamatkan diriModel 3. 1) Berkemampuan menyelamatkan diri dari bencana

2) Memotivasi orang lain untuk membangun kemampuan menyelamatkan diri 3) Berkemampuan menyelamatkan orang lain dari bencana

Model 4. 1) Berkemampuan menyelamatkan diri dari bencana 2) Memotivasi orang lain untuk membangun kemampuan menyelamatkan diri 3) Berkemampuan menyelamatkan orang lain dari bencana 4) Berprilaku menurunkan atau meniadakan emisi dalam penggunaan pesawat

sederhanaModel 5. 1) Berkemampuan menyelamatkan diri dari bencana

2) Memotivasi orang lain untuk membangun kemampuan menyelamatkan diri 3) Berkemampuan menyelamatkan orang lain dari bencana 4) Berprilaku menurunkan atau meniadakan emisi dalam penggunaan pesawat

sederhana5) Memotivasi orang lain untuk menurunkan atau meniadakan emisi dalam

penggunaan pesawat sederhana

Dari tabel 2. tersebut terlihat lima model manusia unggul yang berurut dan

menggambarkan tingkat kualitas model manusia dalam rangka mitigasi dan

adaptasi terhadap perubahan iklim. Pengembangan model ini memiliki asumsi

yang disusun dalam bentuk kausalitas sebagai berikut:

1) Jika model 1. Lebih berkembang dalam populasi maka yang bukan model 1. Akan musnah dalam bencana

2) Jika model 2. Lebih berkembang dalam populasi maka yang bukan model 1. Akan kecil peluang musnah dalam bencana

3) Jika model 3. Lebih berkembang dalam populasi maka yang bukan model 1. Akan besar peluang selamat dari bencana

4) Jika model 4. Lebih berkembang dalam populasi maka yang bukan model 1. Akan besar peluang selamat dari bencana dan terjadi proses mitigasi tingkat lokal

5) Jika model 5. Lebih berkembang dalam populasi maka yang bukan model 1. Akan besar peluang selamat dari bencana dan terjadi proses mitigasi tingkat regional

Page 25: Mitigasi & Adaptasi Tulisan Ilmiah 29 Oktoberi 2009

24

Demikian model ini disusun sebagai landasan berpikir penyusunan

proposal penelitian di masa mendatang oleh pihak yang tertarik melakukan

alternatif dalam upaya mengahadapi dampak perubahan iklim sebagai antisipasi

jika pada kenyataannya target penurunan emisi yang ditetapkan dalam Protokol

Kyoto tidak bisa dicapai oleh negara-negara partisipannya sehingga pada

Converence Of Parties ke 18 tahun 2012 (COP 18-UNFCCC, 2012) perlu disusun

agenda alternative yaitu upaya mitigasi dan adaptasi oleh individu manusia,

sehingga konsep perdagangan karbon akan memberlakukan skema sertifikasi

manusia unggul yang berpartisipasi dalam rangka penurunan konsentasi gas

rumah kaca.

DAFTAR PUSTAKA

Azam. 2008. Akrab dengan dunia IPA. Serangkai Pustaka Mandiri, Solo. Ginoga, K. L, A. N. Ginting, dan A. Wibowo, (Eds). 2008. Isu pemanasan Global,

UNFCCC, Kyoto Protokol dan Peluang Aplikasi A/R CDM. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Jakarta.

Diposaptono, S. 2008. Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami., Sarana Komunikasi Utama, Bogor.

HYPERLINK "http://djwie.wordpress.com/2008/11/24/lapisan-ozon/" djwie.wordpress.com/2008/11/24/lapisan-ozon . 28-06.2009

Haryanto. 2007. Sains untuk Sekolah Sasar Kelas V. Gelora Aksara Pratama, Jakarta.

Kasry, A. 2007. Dasar-Dasar Ekologi dan Lingkungan Hidup untuk Sains Ilmu Lingkungan. Ekologi dan Lingkungan Hidup. Laboratorium Ekologi Perairan, Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau, Pekanbaru.

Kasry, A. 2009a. Dampak Pemanasan Global Terhadap Perubahan Iklim. Peringatan Hari Lingkungan Hidup Se Dunia Tahun 2009 tanggal 18 Juni

Page 26: Mitigasi & Adaptasi Tulisan Ilmiah 29 Oktoberi 2009

25

2009 (p. 9). Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, Pemda Kabupaten Rokan Hilir, Bagan Siapi-api.

Kasry, A. 2009b. Menyelamatkan Ekosistem Bumi. Riau Pos. Pekanbaru,Meiviana, A., Sulistiowati, D. R., dan Soejachmoen, M. H. 2004. Bumi Makin

Panas, Ancaman Perubahan Iklim di Indonesia. Yayasan Pelangi, Jakarta.Ministry of The Environment, Japan. 2005. Panduan Mekanisme Pembangunan

Bersih di Indonesia. (electronic). (G. Helten, Ed., & C. I., Trans.) Institute for Global Environmental Strategies, Jakarta.

Murdiyanto, B. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai. Cofish Project, Jakarta.

Najiati, S., Agus, A., & Suryadiputra, I. N. 2005a. Pemberdayaan Masyarakat di Lahan Gambut. Wetland International-IP, Bogor:

Najiati, S., Muslihat, L., & Suryadiputra, I. N. 2005b. Panduan Pengelolaan lahan gambut untuk pertanian berkelanjutan. Wetland International-IP, Bogor.

Noor, Y. R., & Heyde, J. 2007. Pengelolaan Lahan Gambut Berbasis Masyarakat di Indonesia. Wetland International-IP, Bogor:

Rufi'i. 2008. Glossary of Climate Change acronyms. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Jakarta.

Suryadiputra, I. N., Dohong, A., Wibisono, S. R., Muslihat, L., Lubis, I. R., Hasudungan, F., et al. 2005. Panduan Penyekatan Parit dan Saluran di Lahan Gambut Bersama Masyarakat. Wetland International-IP, Bogor.

Wibisono, I. T., Siboro, L., & Suryadiputra, I. N. 2005. Panduan Rehabilitasi dan Teknik Silvikultur di Lahan Gambut. Wetlands International-IP, Bogor:

Yayasan Pelangi. 2006. Perubahan iklim. Brosur. Yayasan Pelangi, Jakarta.