BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Burst abdomen merupakan salah satu komplikasi pasca operasi
yang paling sulit yang dialami oleh dokter bedah yang melakukan operasi
volume yang signifikan. Burst abdomen terjadi karena berbagai faktor
predisposisi pra operasi, operasi dan pasca operasi yang dapat dicegah
(Parmar et all, 2008). Burst abdomen merupakan komplikasi pasca operasi
serius yang menyangkut setiap ahli bedah perut (Mathur S.K, 2013).
Burst abdomen dapat terjadi karena berbagai alasan. Seorang ahli
bedah dapat melakukan operasi teknis sempurna pada pasien yang
terancam oleh proses penyakit dan masih memiliki komplikasi. Demikian
pula, kesalahan teknis bedah dapat menjelaskan komplikasi operasi ini
(Parmar et all, 2008). Insiden komplikasi ini seperti dilansir dari dua
rumah sakit dari India yaitu, dari Delhi dan Surat adalah 5 dan 7% masing-
masing (Mathur S.K, 2013).
Burst abdomen merupakan komplikasi pasca operasi yang sangat
serius yang berhubungan dengan morbiditas yang tinggi dan tingkat
kematian (Parmar et all, 2008). Abdominal wound dehiscence adalah
komplikasi post operasi dengan angka kematian mencapai 45%
(Mohammed, 2013). Kematian setelah burst abdomen bervariasi dalam
studi yang dilaporkan berbeda. Hal ini dilaporkan terendah 11% oleh
Wolff dan setinggi 40% oleh Hartzell dan Winfield. Hampton mengamati
angka kematian menjadi 23% pada tahun 1963 (Parmar et all, 2008).
Pengelolaan burst abdomen adalah pasien dirawat secara
konservatif. Pasien yang tidak cocok untuk operasi dirawat secara
konservatif berupa dressing sehari-hari, sehingga jaringan granulasi yang
sehat dikembangkan dan luka disembuhkan (Parmar et all, 2008). Apabila
terjadi burst abdomen total maka harus dilakukan operasi untuk mencegah
terjadinya burst abdomen berulang.
1
1.2 RUMUSAN MASALAH
2. Apakah definisi burst abdomen?
3. Apakah penyebab dari burst abdomen?
4. Bagaimana patofisiologi burst abdomen?
5. Bagaimana klasifikasi burst abdomen?
6. Apa sajakah manifestasi klinis dari burst abdomen?
7. Apa sajakah pemeriksaan penunjang untuk burst abdomen?
8. Bagaimana penatalaksanaan burst abdomen?
9. Bagaimana prognosa burst abdomen?
10. Apa sajakah komplikasi yang dapat ditimbulkan?
11. Bagaimana konsep asuhan keperawatan burst abdomen?
1.3 TUJUAN
Tujuan Umum : Memahami konsep dan proses keperawatan burst
abdomen.
Tujuan Khusus :
1. Mengetahui definisi burst abdomen.
2. Memahami penyebab dari burst abdomen.
3. Memahami patofisiologi burst abdomen.
4. Mengetahui klasifikasi burst abdomen.
5. Mengetahui manifestasi klinis dari burst abdomen.
6. Mengetahui pemeriksaan penunjang untuk burst abdomen.
7. Mengetahui penatalaksanaan burst abdomen.
8. Mengetahui prognosa burst abdomen.
9. Memahami komplikasi yang dapat ditimbulkan.
10. Memahami konsep asuhan keperawatan burst abdomen.
1.4 Manfaat
1. Menambah pengetahuan mahasiswa tentang konsep burst abdomen.
2. Membantu mahasiswa dalam menerapkan asuhan keperawatan pada
pasien dengan burst abdomen.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Fisiologi Abdomen
1. Dinding Abdomen
Dinding abdomen dibentuk oleh otot-otot perut dimana di sebelah atas
dibatasi oleh angulus infrasternalis dan di sebelah bawah dibatasi oleh
krista iliaka, sulkus pubikus dan sulkus inguinalis. Otot-otot dinding
abdomen tersebut terdiri dari otot-otot dinding abdomen bagian depan,
lateral dan belakang :
a. Otot rectus abdominis
Terletak pada
permukaan abdomen
menutupi linea alba,
bagian depan tertutup
vagina dan bagian
belakang terletak di
atas kartilago kostalis
6-8. Fungsi dari otot
ini untuk fleksi trunk,
mengangkat pelvis.
b. Otot piramidalis
Terletak di bagian tengah di atas simpisis pubis, di depan otot
rectus abdominalis. Fungsinya meregangkan linea alba.
c. Otot transversus abdominalis
Otot ini berupa tendon menuju linea alba dan bagian inferior
vagina musculi recti abdominalis. Fungsi dari otot ini menekan
perut, meregangkan dan menarik dinding perut.
d. Otot obligus eksternus abdominis
Letaknya yaitu pada bagian lateral abdomen tepatnya di sebelah
inferior thoraks. Fungsi dari otot ini adalah rotasi thoraks ke sisi
yang berlawanan.
3
e. Otot obligus internus abdominis
Otot ini terletak pada anterior dan lateral abdomen, dan tertutup
oleh otot obligus eksternus abdominis. Fungsinya untuk rotasi
thoraks ke sisi yang sama (Chandra, Ade, 2010).
2. Rongga Abdomen
Rongga abdomen (cavum abdomen) isinya terdiri dari : lambung, usus
halus (duodenum, jejunum, ileum), usus besar/colon, kelenjar
pankreas, limpa/lien, hati/hepar, dan ginjal/renal.
- Lambung : organ berbentuk J, terletak pada bagian superior kiri
rongga
abdomen di
bawah
diafragma.
Fungsinya :
penyimpanan
makanan,
produksi
kimus (massa
homogen
setengah cair,
berkadar
asam tinggi yang berasal dari bolus), digesti protein, produksi
mukus, produksi faktor intrinsik (glikoprotein, vitamin B12), dan
untuk absorpsi nutrien.
- Usus halus :
Duodenum : bagian terpendek (25-30 cm).
Jejunum : bagian selanjutnya sepanjang 1-1,5 m.
Ileum : merentang sampai menyatu dengan usus besar,
panjangnya 2-2,5 m. Fungsi usus halus yaitu secara selektif
mengabsorpsi produk digesti.
- Usus besar :
4
Sekum : kantung tertutup yang menggantung di bawah area
katup ileosekal.
Kolon : bagian usus besar dari sekum sampai rectum, terdiri
dari kolon asenden, transversa, desenden.
Rectum : bagian saluran pencernaan dengan panjang 12-13
cm, yang berakhir di saluran anal. Fungsi usus besar :
mengabsorpsi 80-90% air dan elektrolit dari kimus yang
tersisa, sejumlah bakteri dalam kolon mampu mencerna
sejumlah kecil selulosa dan memproduksi sedikit kalori
nutrien bagi tubuh, serta untuk mengekskresi zat sisa dalam
bentuk feses.
- Kelenjar pankreas : kelenjar terelongasi berukuran besar di balik
kurvatur besar lambung.
- Lien : kelenjar yang terletak di regio hipogastrium sinistra, di
dalamnya banyak terdapat jaringan limfe dan sel darah. Fungsinya
membentuk eritrosit, menghasilkan limfosit & antibody,
menghancurkan leukosit & trombosit.
- Hepar : organ viseral terbesar dan terletak di bawah kerangka iga,
beratnya 1500 gram dan kaya akan persediaan darah. Fungsinya
untuk sekresi empedu, metabolisme, penyimpanan mineral,
detoksifikasi, produksi panas dan penyimpanan darah.
- Renal : organ berbentuk seperti kacang berwarna merah tua yang
panjangnya 12,5 cm dan tebalnya 2,5 cm. Fungsinya : pengeluaran
zat sisa organik, pengaturan konsentrasi ion-ion penting,
pengaturan keseimbangan asam basa tubuh, pengaturan produksi
sel darah merah, pengaturan tekanan darah, pengeluaran zat
beracun (Sloane, Ethel, 2003).
2.2 Definisi
Burst abdomen
(Abdominal wound
dehiscence) merupakan salah
5
satu komplikasi pasca operasi yang terjadi karena berbagai faktor
predisposisi pra operasi, operasi dan pasca operasi yang dapat dicegah
(Parmar et all, 2008).
Abdominal wound dehiscence adalah terbukanya tepi-tepi luka
sehingga menyebabkan evirasi atau pengeluaran isi organ-organ dalam
seperti usus, hal ini merupakan salah satu komplikasi post operasi
(Mohammed, 2013).
Sedangkan kejadian lain yang mirip dengan burst abdomen yaitu
herniasi insisional dan ILO. Herniasi insisional merupakan komplikasi
lanjut dari bedah abdomen yang disebabkan oleh rusaknya perbaikan dari
lapisan muskulus fasia saat kulit yang berada diatasnya masih tetap utuh,
dan terjadi selambat-lambatnya lima tahun pasca operatif dengan berbagai
alasan yang kompleks baik lokal maupun sistemik (Morison, Moya, 2004).
Infeksi Luka Operasi ( ILO ) atau Infeksi Tempat
Pembedahan (ITP)/Surgical Site Infection (SSI) adalah
infeksi pada luka operasi atau organ/ruang yang terjadi
dalam 30 hari paska operasi atau dalam kurun 1 tahun
apabila terdapat implant (Hidajat, Nucki, 2006).
2.3 Etiologi
Faktor Predisposisi terjadinya Burst abdomen menurut Parmar (2008)
adalah sebagai berikut :
1. Berdasar Penyakit Primer
Frekuensi burst abdomen adalah terkait kondisi patologis yang mendasari
pasien dioperasi. Menurut Parmar (2008), sebagian besar pasien
didiagnosis memiliki perforasi gastrointestinal. Sedangkan menurut
Maingot yang dikutip oleh Parmar (2008), disebutkan bahwa pasien
dengan patologi dari sistem bilier atau perut lebih rentan untuk terjadinya
burst abdomen.
o Peyakit perut biasanya ditandai dengan nyeri, anoreksia, mual dan
muntah. Dispepsia ini menyebabkan kekurangan beberapa vitamin,
protein dan zat lainnya yang ditandai dengan anemia. Hal ini berarti
6
hemoglobin dan protein serum mengalami defisiensi sehingga
menyebabkan proses penyembuhan rusak/tertunda.
o Karsinoma menyebabkan cachexia dan anemia dikarenakan anoreksia,
perdarahan dan depresi sumsum tulang.
o Pada penyakit saluran empedu, gejala utama adalah anoreksia,
dispepsia dan muntah. Fungsi hati mengalami depresi sehingga
estimasi protein serum selalu rendah.
2. Penyebab predisposisi pra-operasi
Menurut Parmar (2008), faktor predisposisi pra-operasi seperti anemia,
hipoprotienemia dan batuk dikaitkan dengan kejadian burst abdomen.
Pada kebanyakan pasien, ada lebih dari satu faktor yang menyebabkan
terjadinya burst abdomen.
- Usia
Insiden tertinggi burst abdomen adalah antara usia 41-50 tahun. Usia
adalah salah satu penyebab penting untuk gangguan ini, dimana pada
pasien diatas usia 45 tahun lebih beresiko dibandingkan pada
kelompok usia muda. Hal ini dapat disebabkan oleh hal-hal berikut :
7
o Faktor-faktor yang mempengaruhi burst abdomen sering ditemukan
pada kelompok usia ini (41-50 tahun) seperti batuk kronis, sembelit
kronis, dll.
o Adanya anemia, hipoproteinemia, dan beberapa kekurangan
vitamin dalam kelompok usia ini.
o Kompikasi pasca operasi seperti tegang/batuk, muntah berulang
dan infeksi pada sistem pernafasan lebih sering terjadi pada
kelompok usia ini (Parmar et all,2008).
- Seks
Laki-laki : perempuan memiliki rasio 4,5 : 1. Dalam penelitian
Parmer, 81,67% dari pasien adalah laki-laki, dan sisanya 18,33%
perempuan. Tingginya insiden burst abdomen pada laki-laki
dibandingkan dengan perempuan mungkin karena penggunaan alkohol
yang berlebihan dan merokok pada laki-laki yang mengarah ke
pernafasan kronis sehingga menimbulkan batuk dan mempengaruhi
fungsi hati serta organ vital lainnya (Parmar et all, 2008).
- Hipoproteinemia adalah salah satu faktor penting yang mempengaruhi
tertundanya proses penyembuhan. Untuk perbaikan jaringan,
diperlukan sejumlah besar asam amino. Asam amino membantu dalam
pembentukan RNA dan DNA. Defisiensi ini menyebabkan kekuatan
luka hilang dan cenderung terjadi burst abdomen.
- Batuk, menyebabkan peningkatan tekanan intra-abdomen. Batuk yang
berkepanjangan seperti pada tuberkulosis mempengaruhi
penyembuhan luka dan predisposisi terjadinya burst abdomen.
3. Penyebab predisposisi operasi
a. Karena jenis sayatan
Kejadian burst abdomen 95% terdapat pada pasien dengan insisi garis
tengah vertikal. Faktor anatomi yang mungkin membuat luka perut bagian
8
atas vertikal lebih cenderung mengalami burst abdomen adalah sebagai
berikut :
- Dengan sayatan perut bagian atas, adanya nyeri menyebabkan
pergerakan dada terbatas sehingga mendukung komplikasi yang lebih
pada pernapasan dan batuk. Batuk akan meningkatkan tekanan intra-
abdominal lebih di bagian atas dan mengarah ke ketegangan dalam
luka.
- Serat elastis kulit berbentuk melintang, sehingga serat tersebut
dipotong oleh sayatan vertikal dan menyebabkan kekuatan luka
berkurang.
Berikut ini adalah faktor penting yang meningkatkan kemungkinan burst
abdomen :
- Relaksasi otot yang tidak memadai selama penutupan luka perut
- Ketegangan yang tidak semestinya atas jahitan dan peningkatan
tekanan intra-abdominal karena cairan peritoneal, drainase mengurangi
ketegangan
- Lupa untuk menjahit lapisan peritoneal
- Sebagian besar operasi perut dilakukan dengan garis tengah sayatan
vertikal (Parmar et all, 2008).
b. Operasi direncanakan atau darurat
Jika operasi dilakukan dalam keadaan darurat, frekuensi burst abdomen
lebih tinggi. Seperti terlihat pada tabel, 6,67% dari burst abdomen terjadi
setelah operasi terencana dan 93,33% setelah operasi darurat.
Penjelasannya adalah sebagai berikut. Dalam operasi yang direncanakan,
9
fisioterapi pra-operasi dan semua tes darah dilakukan. Jika ada infeksi,
maka infeksi tersebut diatasi sebelum pembedahan. Kurangnya persiapan
khusus dalam operasi darurat dibandingkan dengan operasi yang
direncanakan, terutama untuk operasi pada saluran pencernaan. Dalam
keadaan darurat, lesi patologis yang mendasari juga memainkan peranan
penting. Dalam sebagian besar operasi darurat, lesi terinfeksi
menyebabkan berbagai bentuk peritonitis atau infeksi luka. Keduanya
mencegah penyembuhan luka. Kurangnya persiapan aseptik lokal bagian
yang menginfeksi luka dan meningkatkan frekuensi pecah perut (Parmar et
all, 2008).
c. Tipe anastesi
Tipe anastesi yang dimaksud dalam hal ini adalah tipe anastesi yang
mempunyai jangka anetesi yang pendek sehingga dalam penjahitan luka
terburu-buru dan berakibta pada kejadian burst abdomen.
d. Teknik penutupan laparotomi
Beberapa penelitian secara acak dan meta-analisis sekarang telah
menunjukkan bahwa teknik penutupan massal dengan jahitan jelujur
adalah metode terbaik untuk penutupan luka garis tengah. Beberapa
kegagalan teknis setelah penutupan laparotomi dapat menyebabkan luka
dehiscence. Bahan jahitan dapat pecah karena terlalu lemah untuk
ketegangan dan dengan demikian kekuatan jahitan yang tepat harus
digunakan. Ini biasanya berarti jahitan dari 0 atau 1 kaliber. Jahitan juga
dapat memotong melalui jaringan, baik karena jahitan ditempatkan terlalu
dekat dengan tepi luka atau karena melemahnya jaringan yang berlebihan.
Sebuah pedoman umum adalah untuk menempatkan jahitan 1 cm dengan 1
cm gigitan fasia. Kesalahan teknis lainnya sering adalah simpul yang tidak
benar mengikat yang dapat menyebabkan penguraian (Zinner, 2007).
e. Bahan jahitan
Catgut masih banyak digunakan oleh banyak ahli bedah di seluruh dunia
untuk penutupan luka laparatomy. Biasa praktek menggunakan jahitan 0
10
atau 1 catgut kromat untuk posterior rektus selubung dan peritoneum dan
baik menerus atau terganggu jahitan 1 kromat pelapah catgut untuk
anterior atau linea alba. Namun, pengunaan bahan catgut dalam sebuah
penelitan meningkatkan angkan kejadian brust abdomen. Dalam penjahitan
laparotomy dokter bedah meyrankan dengan mengunakan monofilament
nilont yang dapat menurunkan anka kejadian brust abdomen.
4. Waktu gangguan
Menurut Parmar (2008), kejadian maksimum kasus terjadi dari tanggal 6
sampai 10 hari pasca-operasi, dengan maksimum pada hari ke-7 pasca
operasi. Penjelasan untuk kejadian maksimum burst abdomen pada hari
ke-7 pasca operasi dapat berupa :
- Biasanya kita mengangkat jahitan pada hari pasca operasi 7 atau 8.
Sampai saat itu terjadinya sering tetap tidak terdeteksi. Pada
mengangkat jahitan, burts abdomen menjadi jelas.
- Pemberian antibiotik selama satu minggu kemudian dihentikan, dapat
memungkinkan adanya kekambuhan infeksi dan terjadi burst
abdomen.
- Para pasien dengan pembedahan perut besar berada di tempat tidur
memiliki infus sampai 4 atau 5 hari. Kemudian mereka mulai bergerak
dan mencoba untuk mengeluarkan tinja. Semua ini meningkatkan
tekanan intra-abdominal. Hal tersebut menyebabkan kekuatan jahitan
berkurang, setelah 10 hari, jahitan hampir tidak memiliki nilai dan
terjadi burst abdomen.
5. Penyebab predisposisi pasca-operasi
Banyak faktor pasca operasi menyebabkan tingginya insiden burst
abdomen. Dalam penelitian Parmar et all (2008), dari 60 pasien, 44 telah
luka infeksi, 27 batuk pasca operasi dan 21 memiliki distensi abdomen.
Lebih dari satu faktor ditemukan pada sebagian besar pasien.
- Infeksi luka adalah penyebab pasca-operasi utama untuk gangguan
luka. Infeksi luka lebih umum dalam operasi darurat dan pasien
dengan peritonitis.
11
- Batuk pasca-operasi juga menyebabkan frekuensi tinggi burst
abdomen. Ini biasanya terjadi karena infeksi saluran pernapasan,
mungkin post-anestesi, yang menyebabkan peningkatan tekanan intra-
abdominal. Dengan demikian, ketegangan pada luka yang baru dijahit
dapat menyebabkan ledakan.
- Distensi abdomen juga meningkatkan ketegangan pada luka yang baru
dijahit, menyebabkan meledak.
- Muntah setelah operasi perut menyebabkan ketegangan yang kuat pada
garis jahitan yang mengarah ke burst abdomen.
- Uremia juga merupakan faktor yang mengganggu penyembuhan luka
dan menyebabkan burst abdomen.
- Kebocoran usus menyebabkan peritonitis dan menginfeksi luka.
- Ketidakseimbangan elektrolit dan ascites juga memiliki efek pada
penyembuhan luka dan ketegangan pada luka berkontribusi terhadap
terjadinya burst abdomen (Parmar et all, 2008).
2.4 Patofisiologi
Penyembuhan luka post operasi merupakan suatu proses
penggantian jaringan yang mati/rusak dengan jaringan baru dan sehat oleh
tubuh dengan jalan regenerasi. Setiap kejadian luka, mekanisme tubuh
akan mengupayakan mengembalikan komponen-komponen jaringan yang
rusak tersebut dengan membentuk struktur baru dan fungsional sama atau
mendekati sama dengan keadaan sebelumnya. Proses penyembuhan tidak
hanya terbatas pada proses regenerasi yang bersifat lokal, tetapi juga
12
sangat dipengaruhi oleh faktor endogen (seperti: umur, nutrisi, imunologi,
pemakaian obat-obatan, kondisi metabolik).
Burst Abdomen bisa disebabkan oleh faktor pre operasi, operasi
dan post operasi. Pada faktor pre operasi, hal-hal yang berpengaruh dalam
faktor pre operasi ini adalah usia, kebiasaan merokok, penyakit diabetes
mellitus, dan malnutrisi. Pada umur tua otot dinding rongga perut
melemah. Sejalan dengan bertambahnya umur, organ dan jaringan tubuh
mengalami proses degenerasi. Kejadian tertinggi burst abdomen sering
terjadi pada umur > 50-65 tahun. Selain itu adanya anemia,
hypoproteinemia, dan beberapa kekurangan vitamin bisa menyebabkan
terjadinya burst abdomen. Hemoglobin menyumbang oksigen untuk
regenerasi jaringan granulasi dan penurunan tingkat hemoglobin
mempengaruhi penyembuhan luka. Kebiasaan merokok sejak muda
menyebabkan batuk-batuk yang persisten, batuk yang kuat dapat
menyebabkan peningkatan tekanan intra abdomen. Penyakit-penyakit
tersebut tentu saja amat sangat berpengaruh terhadap daya tahan tubuh
sehingga akan mengganggu proses penyembuhan luka operasi.
Hypoproteinemia adalah salah satu faktor yang penting dalam penundaan
penyembuhan, seseorang yang memiliki tingkat protein serum di bawah 6
g/dl. Untuk perbaikan jaringan, sejumlah besar asam amino diperlukan.
Vitamin C sangat penting untuk memperoleh kekuatan dalam
penyembuhan luka. Kekurangan vitamin C dapat mengganggu
penyembuhan dan merupakan predisposisi kegagalan luka. Kekurangan
vitamin C terkait dengan delapan kali lipat peningkatan dalam insiden
wound dehiscence. Seng adalah co-faktor untuk berbagai proses enzimatik
dan mitosis (Saha, 2011).
Untuk factor operasi, tergantung pada tipe insisi, penutupan
sayatan, penutupan peritoneum, dan jahitan bahan. Kontraksi dari dinding
abdomen menyebabkan tekanan tinggi di daerah lateral pada saat
penutupan. Pada insisi midline, ini memungkinkan menyebabkan bahan
jahitan dipotong dengan pemisahan lemak transversal. Dan sebaliknya,
pada insisi transversal, lemak dilawankan dengan kontraksi. Otot perut
13
rektus segmental memiliki suplai darah dan saraf. Jika irisan sedikit lebih
lateral, medial bagian dari otot perut rektus akhirnya berhenti tumbuh. Ini
menciptakan titik lemah di dinding dan pecah perut (Saha, 2011).
Faktor post operasi terdiri dari peningkatan dari intra-abdominal
pressure yang menyebabkan suatu kelemahan mungkin disebabkan
dinding abdominal yang tipis atau tidak cukup kuatnya pada daerah
tersebut, dimana kondisi itu ada sejak atau terjadi dari proses
perkembangan yang cukup lama, pembedahan abdominal dan kegemukan.
Dapat dipicu juga jika mengangkat beban berat, batuk dan bersin yang
kuat, mengejan akibat konstipasi. Terapi radiasi dapat mengganggu
sintesis protein normal, mitosis, migrasi dari faktor peradangan, dan
pematangan kolagen. Antineoplastic agents menghambat penyembuhan
luka dan luka penundaan perolehan dalam kekuatan tarik (Saha, 2011).
Pada manifestasi yang disebabkan burst abdomen, awalnya terjadi
ketegangan pada luka operasi serta luka yang terlihat jelek, kemudian tepi
sayatan mulai terbuka. Terbukanya sayatan menyebabkan isi perut dan
cairan serosa keluar, serta adanya rasa nyeri pada area post-op (Mathur S.
K, 2013).
Setelah terjadi burst abdomen, dimana terjadi robekan pada area
post-op, hal tersebut menyebabkan terputusnya pembuluh darah di sekitar
dan mengakibatkan komplikasi perdarahan. Terdapatnya pengeluaran isi
perut menyebabkan jaringan rusak dan memungkinkan terpajan oleh
kuman yang masuk melalui pembuluh darah, kemudian mengakibatkan
infeksi ke rongga peritonium dan menimbulkan komplikasi peritonitis
abdomen, serta pada usus dapat terjadi nekrosis yang menyebabkan
komplikasi kebocoran usus (IPDS BU FKUB, 2012).
2.5 Klasifikasi
1. Partial/sebagian
Pada pasien yang memiliki infeksi luka yang mempengaruhi area kecil
saja, sehingga terjadi burst abdomen partial.
14
2. Total
Hal ini biasanya terjadi pada pasien yang memiliki peritonitis parah di
mana seluruh selubung
terkelupas dan pada pasien
yang memiliki tekanan
berat (Parmar et all, 2008).
2.6 Manifestasi Klinis
a) Awalnya ditandai dengan
keluarnya cairan serosa dari
luka yang berwarna
kemerahan.
b) Adanya pengeluaran
isi perut antara pada hari ke
tujuh sampai hari ke sepuluh post laparotomi.
c) Adanya ketegangan pada luka post operasi
d) Nyeri dan sensasi robekan pada area post operasi
e) Tepi sayatan pada luka post operasi terbuka
f) Dehiscence selalu ditunjukkan pada hari ke 7-10 setelah operasi
g) Pada beberapa kasus burst abdomen dapat muncul pada post hari ke 14
dengan factor predisposisi asites.
h) Distended abdomen (membesar dan tegang), menandai adanya infeksi
daerah tersebut.
i) Luka yang terjadi pada dinding abdomen menjadi jelek dan tampak
rusak. Dalam 1 hari keadaan ini akan diikuti penonjolan usus dari luka
kulit yang menganga.
15
j) Gejala intraperitoneal sepsis merupakan salah satu tanda adanya burst
abdomen. (Mathur S. K, 2013).
2.7 Pemeriksaan Diagnostik
a) Tes BGA (Darah lengkap, Hemoglobin, serum protein, gula darah,
serum kreatinin, dan urea. Hitung darah lengkap dan serum elektrolit
dapat menunjukkan hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit),
peningkatan sel darah putih, dan ketidakseimbangan elektrolit.
b) CT scan atau MRI
c) Ultrasonografi
d) Sinar X abdomen
Sinar X abdomen menunjukkan abnormalnya tinggi kadar gas dalam
usus atau obstruksi usus dan dilakukan pada bagian perut dan dada
(Posisi Berdiri). (Cook, 1995).
2.8 Penatalaksanaan
Tindakan Pra Operasi
Pertama-tama tenangkan kecemasan pasien dan keluarga pasien
yang hadir. Pasien di sedasi dan ditutupi, atau bila perlu, ikatlah perut
pasien dengan handuk steril, sambil mempersiapkan perbaikan
pembedahan darurat, masukan selang nasogastrik dan berikan infus
cairan yang sesuai, jika luka terinfeksi, berikan antibiotik (Cook, 1995).
16
Pilihan manajemen konservatif termasuk penggunaan dressing kasa
saline-direndam dan terapi tekanan negatif luka. Pilihan manajemen
operasi termasuk pilihan sementara penutupan (membuka pengobatan
perut), penutupan primer dengan berbagai teknik jahitan, penggunaan
sintetis (nonabsorbable dan diserap) dan jerat biologi, dan penggunaan
flaps jaringan (Ramshorst, 2010).
Tindakan Operasi :
1. Penatalaksanaan repair burst partial
a. Tutup luka dengan plester
b. Kolaborasi pemberian analgesic, dan pemberian antibiotik
spectrum luas.
c. Turunkan factor predisposisi burst abdomen.
2. Penatalaksanaan burst total
Tujuan operasi adalah untuk mencegah dehiscence berulang dan
perkembangan selanjutnya dari hernia ventral.
Tehnik operasi :
1) Posisi supine dalam general anestesi → desinfeksi pada daerah
operasi dan eskitarnya → dipersempit dengan kain steril.
2) Pencucian pada organ viseral yang mengalami prolaps dengan
NaCl 0,9%, setelah bersih organ viseral dimasukkan kedalam
rongga abdomen.
3) Debridement dan nekrotomi untuk membuat luka baru pada
insisi operasi sebelumnya.
4) Dilakukan penjahitan yang menembus seluruh bagian dinding
abdomen dari kulit sampai peritoneum secara matras dengan
sutera No. 1.
5) Bila terasa tegang, dapat ditutup dengan kantong ”Bogota”
untuk sementara, kantong ini dijahitkan pada fascia ke dua tepi
luka (Bedah Unmuh, 2010).
Menurut Lotfy (2009) Repair brust abdomen dengan teknik supporting
plastic tubes :
17
1. Tabung nasogastric No 10 Fr. yang dipasang pada trocars logam
hisap No 12 Fr. Jarum dan benang, trocar dimasukkan ke dalam
satu sisi dinding perut lateral linea semilunaris luar-dalam dan
dilanjutkan ke sisi kontra-lateral dari samping. Jadi, kita benar-
benar mengambil melalui dan melalui jahitan menggunakan tabung
plastik bukannya benang. Tabung tersebut kemudian dipotong
dengan panjang yang cocok cukup untuk penutupan dan awalnya
dibiarkan mengikat. Kemudian proses ini diulang setiap 10 cm dari
luka.
2. Semua tabung dipotong dengan panjang yang sesuai dan diikat
sampai luka lama tertutup sampai dengan penutupan kulit.
3. Perawatan sedikit diregangkan untuk mengurangi risiko isi perut
ikut terjahit selama mengikat dari tabung plastik. Juga sebelum
penjahitan tabung, kedua ujung tabung yang digenggam, berhenti
dan pindah dari sisi ke sisi untuk memastikan bahwa ia bebas dari
isi perut. Kemudian tabung diikat dengan menyilangkan tujuan
kedua sisi luka tanpa penekanan yang hebat.
18
4. Pemasangan tabung pada pasien post repair abdomen adalah 15
hari. pelepasan tabung dapat dengan memotong tabung di satu sisi
dan menariknya dari sisi lain. Setelah pelepasan tabung akan
dilakukan pengawasan selama 4 minggu.
Perawatan Sesudah Operasi
Atasi faktor predisposisi, misalnya asma atau batuk kronis. Teruskan
penghisapan nasogastrik agar lambung tetap kosong dan untuk
menurunkan tekanan (dekompresi) saluran cerna bagian atas. Teruskaan
pemberian infuscairan yang sesuai. Jika terdapat infeksi, teruskan
pemberian antibiotik. Apabila pasien menyembuh, antibiotik dapat di
hentikan secara berangsur. Penyembuhan di tandai dengan perasaan
lebih enak pada pasien dan terdengarnya kembali bising usus, adanya
flatus, berkuraangnya isi cairaan aspirasi gaster, keluaran urin yang
adekuat dan denyut nadi, tekanan darah serta suhu yang normal.
Angkatlah jahitan setelah 14 hari.
19
2.9 Prognosis
Tingkat kematian dengan kondisi ini antara 9 sampai 44 %, rata-
rata 18 %. Semakin awal penentuan diagnosis burst abdomen dan diobati,
akan lebih baik prognosis, khususnya dalam kasus-kasus burst abdomen
partial dan tidak terkait dengan prolaps usus (Zinner, 2007).
Ketika ada nanah luas luka atau umum peritonotis, prognosis
sangat serius. Penyebab paling umum kematian sebagai berikut :
atelektasis, peritonitis, obstruksi usus akut, gagal ginjal, dan kerusakan
kardiovaskular (endometrium). Kondisi utama yang pasien dioperasi
menyebabkan kematian lebih sering daripada pecahnya itu sendiri atau
ukuran yang diperlukan dalam pengobatan (Zinner, 2007).
2.10 Komplikasi
1. Peritonitis abdomen
Terbukanya dinding abdomen menjadi port de entry kuman melalui
pembuluh darah abdomen tersebut sehingga infeksi dapat masuk ke
rongga peritonium.
2. Kelemahan dinding perut yang progresif
3. Hernia Insisional
Adanya wound dehiscence akan meninggalkan jaringan parut di
abdomen sehingga menimbulkan kelemahan pada dinding perut yang
progresif.
4. Perdarahan berlebihan
Abdominal wound dehiscence menyebabkan terputusnya pembuluh
darah sekitarnya sehingga menyebabkan perdarahan yang berlebihan.
5. Kebocoran usus
Abdominal wound dehiscence menyebabkan infeksi pada usus
sehingga usus mengalami obstruksi dan nekrosis, dimana selanjutnya
pada usus tersebut akan terbentuk fistula sehingga terjadi kebocoran.
6. Infeksi pada luka
20
Wound dehiscence menyebabkan port de entry kuman pada luka yang
terbuka tersebut (IPDS BU FKUB, 2012).
2.11 Asuhan Keperawatan
PENGKAJIAN
1. Identitas pasian : nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan,
alamat, suku/bangsa, no rekam medis.
Burst abdomen kebanyakan terjadi pada usia lanjut dan jenis kelamin
pria.
2. Keluhan Utama
Pasien biasanya datang dengan keluhan nyeri pada luka post operasi
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Riwayat ini mulai saat kronologi terjadinya masalah, keadaan yang
memungkinkan hal tersebut terjadi, manifestasi serta pengobatan yang
telah diterima. Kaji adanya keluhan nyeri dengan pendekatan PQRST,
adanya luka operasi terbuka lebar disertai keluar jaringan dari luka
operasi, dan adanya cairan serosa yang keluar pada hari ke tujuh post
laparotomi.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
1) Riwayat penyakit yang pernah diderita : Kaji adanya penyakit TBC,
diabetes mellitus, anemia, retensi urin.
2) Riwayat operasi dan tindakan : Burst abdomen biasanya terdapat pada
model insisi Midline incision, dan pada operasi abdomen yang tidak
direncanakan.
5. Riwayat Kesehatan Keluarga
Riwayat adanya anggota keluarga masalah pada diabetes dan TBC.
6. Riwayat Psikososial
Ansietas, ketakutan dengan penyakit / keprihatinan finansial (pekerjaan /
biaya perawatan medis).
7. Pemeriksaan Fisik Per Sistem (B1-B6)
21
1) Sistem Respirasi (B1/Breathing) : Pengkajian inspeksi pernafasan
tidak ada kelainan. Palpasi torak didapatkan taktil premitus seimbang
kanan dan kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi tambahan. RR
biasanya meningkat pada pasien dengan keluhan nyeri.
2) Sistem Kardiovaskuler (B2/Blood) : Tekanan darah biasanya normal
dan heart rate normal, vena jugularis tidak meningkat. Peningkatan
nadi dan tekanan darah sebagai manifestasi nyeri.
3) Sistem Persyarafan (B3/Brain) : nyeri pada luka operasi, GCS 456
4) Sistem perkemihan (B4/Bladder) : Tidak terdapat pembesaran
kandung kemih. Pembesaran kandung kemih dapat meningkatkan
adanya risiko retensi urin yang merupakan faktor predisiposisi brust
abdomen.
5) Sistem pencernaan (B5/Bowel) : Nafsu makan turun, adanya
penurunan BB , Pada pemeriksaan terdapat pembesaran abdomen atau
cembung, tegang, asimetris dan luka operasi terbuka.
6) Sistem Muskuloskletal dan integumen (B6/Bone)
Mengkaji status hidrasi klien dengan mengkaji turgor kulit dan
mukosa mulut, kelemahan/ keletihan, keterbatasan partisipasi pada
latihan. Pada burst abdomen adanya kesulitan untuk beraktifitas
karena kelemahan, dan nyeri menyebabkan pola aktivitas dan istirahat
terganggu.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Diagnosa keperawatan sebelum repair burst abdomen
a. Nyeri akut berhubungan dengan terbukanya luka operasi
b. Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan dan
peningkatan terhadap pajanan.
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan penurunan nafsu makan.
d. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya luka bekas
jahitan
22
e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi
tentang proses penyakit
f. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional
2. Diagnosa keperawatan setelah repair brust abdomen
a. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif
b. Nyeri akut berhubungan dengan agens cidera
c. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan pembedahan
INTERVENSI
1. Nyeri akut berhubungan dengan terbukanya luka operasi.
Tujuan : rasa nyeri pasien berkurang bahkan hilang
Kriteria hasil :
- Pasien melaporkan bahwa rasa sakit/nyerinya telah terkontrol /hilang
/berkurang
- Skala nyeri rendah (1-3).
- Pasien mampu melakukan tehnik management nyeri
- Pasien tampak rileks, dapat istirahat/tidur.
- TTV dalam batas normal
Intervensi :
1) Kaji tingkat nyeri yang dirasakan pasien (skala 1-10), dengan
PQRST.
Rasional : dapat mengindikasikan rasa sakit akut dan
ketidaknyamanan.
2) Kaji tanda-tanda vital, perhatikan takikardi, peningkatan
pernafasan.
Rasional : peningkatan TTV berhubungan dengan rasa nyeri yang
dialami pasien.
3) Berikan informasi mengenai sifat ketidaknyamanan sesuai
kebutuhan.
Rasional : melepaskan tegangan emosi dan otot, meningkatkan
kemampuan koping, sehingga pasien dapat lebih rileks.
23
4) Ajarkan penggunaan tehnik relaksasi dan distraksi untuk mengatasi
nyeri, misalnya latihan nafas dalam, bimbingan imajinasi,
visualisasi.
Rasional : untuk mengurangi ketidaknyamanan/nyeri.
5) Kolaborasi pemberian obat analgesik.
Rasional : analgesik akan menimbulkan penghilangan nyeri yang
lebih efektif.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
penurunan nafsu makan.
Tujuan : nutrisi pasien adekuat
Kriteria hasil :
- Nafsu makan pasien meningkat
- Pasien memakan minimal ¾ dari porsi yang disediakan
- BB stabil
Intervensi :
1) Kaji adanya alergi makanan.
Rasional : adanya alergi makanan dapat menurunkan asupan
makanan.
2) Pastikan diet yang dikonsumsi mengandung tinggi serat untuk
mencegah konstipasi.
Rasional : adanya konstipasi meningkatkan resiko burst abdomen.
3) Monitor lingkungan selama makan, misal : adanya bau yang tidak
sedap.
Rasional : lingkungan yang tidak nyaman menurunkan nafsu
makan pasien.
4) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan
nutrisi yang dibutuhkan pasien.
Rasional : sebagai sumber energi untuk memepercepat
kesembuhan pasien.
5) Kolaborasi dalam pemberian vitamin C.
Rasional : Kekurangan vitamin C dapat mengganggu
penyembuhan dan merupakan predisposisi kegagalan luka.
24
6) Monitor turgor kulit, cek laboratorium : protein, Hb, kadar Ht.
Rasional : adanya indikasi kebutuhan nutrisi yang kurang.
Hipoproteinemia memperlanbat proses kesembuhan sehingga
menyebabkan burst abdomen.
3. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan pembedahan.
Tujuan : peningkatan citra tubuh pasien
Kriteria hasil :
- Pasien mau berinteraksi sosial.
- Pasien tidak mengkritik dirinya
- Berpartisipasi dalam perawatan bagian tubuh yang berubah
Intervensi :
1) Kaji secara verbal dan nonverbal respon pasien terhadap tubuhnya.
Rasional : dapat mengindikasikan gangguan citra tubuh.
2) Monitor frekuensi mengkritik dirinya.
Rasional : mengindikasikan ketidaknyamanan pada perubahan tubuh.
3) Jelaskan tentang pengobatan, perawatan, kemajuan dan prognoss
penyakit.
Rasional : meningkatkan pemahaman pasien tentang permasalahan
yang muncul pada gangguan citra tubuh.
4) Dorong pasien mengungkapkan perasaannya.
Rasional : menurunkan ansietas pasien.
5) Fasilitasi kontak dengan individu lain dalam kelompok kecil.
Rasional : meningkatkan kesediaan pasien untuk berinteraksi sosial.
(Doenges, 2001).
25
BAB 3
TINJAUAN KASUS
Kasus semu
Tn.K, umur 55 tahun, pada tanggal 22 Mei 2014 MRS di RSUD Soetomo
dengan keluhan nyeri pada luka bekas operasi. Satu minggu yang lalu pasien telah
menjalani bedah abdomen di RS. Agung Husada. Pasien mengeluh nyeri karena
luka bekas operasi pasien sedikit terbuka. Pasien sering menanyakan apakah
kondisinya ini tidak apa-apa. Pasien adalah seorang perokok aktif yang memiliki
riwayat penyakit TBC 2 tahun yang lalu. Saat ini pasien terlihat batuk-batuk. TD
= 140/100 mmHg, nadi = 98x/menit, RR = 22x/menit, Suhu = 38oC. Pada luka
operasi didapatkan jenis midline incision.
Asuhan Keperawatan
3.1 Pengkajian
a. Identitas :
Nama : Tn. K
Umur : 55 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Petani
Alamat : Mojokerto
MRS : 22 Mei 2014
No.RM : 7391xx
b. Keluhan utama : nyeri pada daerah sekitar luka operasi
P : adanya luka bekas insisi
26
Q : terasa seperti ditusuk-tusuk
R : di area luka bekas operasi
S : skala 8 (1-10)
T : meningkat saat digunakan beraktivitas
c. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien post operasi bedah abdomen satu
minggu yang lalu di RS. Agung Husada. Pasien datang di RSUD Soetomo
pukul 13.00 tanggal 22 Mei 2014 dengan keluhan nyeri disekitar luka operasi
dan terlihat takut karena luka bekas operasi pasien sedikit terbuka (± 2 cm).
d. Riwayat Penyakit dahulu : Pasien pernah menderita TBC paru 2 tahun
yang lalu.
e. Riwayat penyakit keluarga : Dalam keluarga tidak ada yang memiliki
gejala penyakit yang sama seperti pasien.
f. Pola Kebiasaan :
1. Pola Nutrisi
Pasien mengatakan bahwa tidak mau makan lauk seperti telur dan ayam
karena mendengar dari tetangganya bahwa makanan tersebut akan
memperlama penyembuhan luka.
2. Pola Tidur/ Istirahat
Klien mengeluh kadang-kadang terbangun di malam hari karena perasaan
tidak nyaman di area lukanya.
3. Pola aktivitas
Klien merasa aktivitasnya terbatas akibat terdapat luka post operasi.
4. Pola eliminasi
Pasien BAB setiap hari, BAK ±4x/hari.
g. Pemeriksaan Fisik
a. B1 (Breath) : RR 22x/menit, batuk (+), ronkhi (+), wheezing (-)
b. B2 (Blood) : akral hangat-kering-merah, nadi = 98x/menit, TD =
140/100 mmHg
c. B3 (Brain) : kesadaran komposmentis, GCS = 456
d. B4 (Bladder) : urine berwarna kuning jernih, bau khas, kateter (-)
27
e. B5 (Bowel) : nafsu makan turun (hanya habis setengah porsi), mual (-),
muntah (-), BB = 50 kg.
f. B6 (Bone) : turgor kulit baik, mukosa lembab
ANALISA DATA
Data Etiologi Masalah
DS : pasien mengeluh nyeri di area bekas operasi yang sedikit terbuka.
DO :- Skala nyeri = 8 (1-10)- TTV :
TD = 140/100 mmHg, nadi = 98x/menit, RR = 22x/menit, T = 38oC.
Riwayat TB, batuk-batuk
Tek.intra abdomen ↑
Burst abdomen
Robekan di area post-op
nyeri
Nyeri
DS : -DO :
- Suhu = 38oC.- Nampak bekas insisi
midline.- Nampak luka terbuka
± 2 cm.
Burst abdomen
Robekan di area post-op
Jaringan rusak & peningkatan terhadap pajanan
Resiko infeksi
Resiko infeksi
DS :- Pasien sering
menanyakan apakah kondisinya ini tidak apa-apa.
- Pasien mengatakan bahwa tidak mau makan lauk seperti telur dan ayam karena mendengar dari tetangganya bahwa makanan tersebut akan memperlama penyembuhan luka.
Burst abdomen
Robekan di area post-op
Takut
Tidak tahu proses penyakit
Kurang pengetahuan
Kurang pengetahuan
28
DO : -
3.2 Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d terbukanya luka operasi.
2. Resiko infeksi b.d rusaknya jaringan & peningkatan terhadap pajanan.
3. Kurang pengetahuan b.d kurang informasi tentang proses penyakit.
3.3 Intervensi
1. Nyeri akut berhubungan dengan terbukanya luka operasi.
Tujuan : rasa nyeri pasien berkurang bahkan hilang
Kriteria hasil :
- Pasien melaporkan bahwa rasa sakit/nyerinya telah terkontrol /hilang
/berkurang
- Skala nyeri rendah (1-3).
- Pasien mampu melakukan tehnik management nyeri
- Pasien tampak rileks, dapat istirahat/tidur.
- TTV dalam batas normal
Intervensi :
1) Observasi tingkat nyeri yang dirasakan pasien (skala 1-10), dengan
PQRST.
Rasional : dapat mengindikasikan rasa sakit akut dan
ketidaknyamanan.
2) Observasi tanda-tanda vital, perhatikan takikardi, peningkatan
pernafasan.
Rasional : peningkatan TTV berhubungan dengan rasa nyeri yang
dialami pasien.
3) Berikan informasi mengenai sifat ketidaknyamanan sesuai
kebutuhan.
Rasional : melepaskan tegangan emosi dan otot, meningkatkan
kemampuan koping, sehingga pasien dapat lebih rileks.
4) Ajarkan penggunaan tehnik relaksasi dan distraksi untuk mengatasi
nyeri, misalnya latihan nafas dalam, bimbingan imajinasi,
visualisasi.
29
Rasional : untuk mengurangi ketidaknyamanan/nyeri.
5) Kolaborasi pemberian obat analgesik.
Rasional : analgesik akan menimbulkan penghilangan nyeri yang
lebih efektif.
2. Resiko infeksi b.d rusaknya jaringan & peningkatan terhadap pajanan.
Tujuan : infeksi tidak terjadi.
Kriteria hasil :
- Tidak ada tanda-tanda infeksi (rubor, dolor, kalor, tumor, fungsio lesa)
- Suhu normal = 36-37,5oC
- Leukosit normal
Intervensi :
1. Kaji jenis pembedahan, waktu pembedahan dan apakah adanya
instruksi khusus dari tim dokter bedah dalam melakukan perawatan
luka.
Rasional : Mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari
tujuan yang diharapkan.
2. Jaga kondisi balutan dalam dalam keadaan bersih dan kering.
Rasional : Kondisi bersih dan kering akan menghindarkan
kontaminasi komensal.
3. Lakukan perawatan luka. Lakukan perawatan luka steril pasca
pembedahan dan ulangi tiap dua hari sekali pada luka abdomen.
Rasional : Perawatan luka sebaiknya tidak setiap hari untuk
menurunkan kontak tindakan dengan luka yang dalam kondisi steril
sehingga mencegah kontaminasi kuman ke luka bedah.
4. Kolaborasi berikan terapi antibiotik.
Rasional : Pemberian antibiotik dapat mengurangi infeksi
5. Pantau tanda atau gejala infeksi.
Rasional : Dapat melakukan pencegahan dini terhadap terjadinya
infeksi.
6. Kaji faktor yang meningkatkan serangan infeksi
Rasional : Dapat menghindari faktor-faktor yang mungkin dapat
memperparah infeksi.
30
7. Pantau hasil laboratorium (leukosit)
Rasional : Hasil laboratorium dapat menentukan sejauh mana infeksi
yang telah terjadi.
8. Instruksikan untuk menjaga hygine pribadi
Rasional : Perlindungan terhadap infeksi
BAB 4
PENUTUP
31
4.1 Kesimpulan
Burst abdomen adalah terbukanya tepi-tepi luka sehingga
menyebabkan evirasi atau pengeluaran isi organ-organ dalam seperti usus, hal
ini merupakan salah satu komplikasi post operasi. Pada laki-laki dan lanjut
usia memiliki faktor resiko lebih tinggi untuk burst abdomen. Gejala yang
muncul berupa nyeri, terbukanya jahitan tepi luka pos operasi, keluarnya isi
perut, dll.
Penatalaksanaan burst abdomen dengan perawatan konservatif
ataupun dengan repair melalui pembedahan. Beberapa masalah keperawatan
yang dapat muncul antara lain : ketidakefektifan pola nafas, resiko infeksi,
nyeri, ansietas, dll.
4.2 Saran
Sebaiknya kerjasama antara pasien, perawat, dokter dan tenaga medis
lainnya lebih ditingkatkan untuk meminimalisir terjadinya burst abdomen
yang merupakan komplikasi post-operasi.
Diharapkan makalah ini dapat menambah wawasan mahasiswa
keperawatan tentang konsep burst abdomen dan dapat membantu dalam
melakukan asuhan keperawatan dengan baik.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
32
Sindrom kompartemen didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadi
peningkatan tekanan di dalam suatu rongga anatomis tubuh yang
mempengaruhi sirkulasi dan mengancam fungsi dan kelangsungan hidup
jaringan di sekitarnya. Sindrom kompartemen abdominal (ACS) muncul bila
disfungsi organ terjadi sebagai hasil dari hipertensi intra-abdomen. Sindrom
ini didefinisikan dengan menetap atau berulangnya tekanan intra-abdomen
lebih dari 20 mmHg (27,2 cmH2O) atau tekanan perfusi abdomen kurang dari
60 mmHg (81.6 cmH2O) dengan disertai onset satu atau lebih kegagalan
system organ. Tekanan intra-abdomen normal antara 0 dan 5 mmHg (6,8
cmH2O), tapi pada pasien dewasa yang kritis normal IAP dapat mencapai
antara 5 mmHg (6,8 cmH2O) dan 7 mmHg 9,52 cmH2O).
Sindroma kompartemen abdominal adalah manifestasi akhir dari IAH
yang ditandai dengan disfungsi kardiovaskular, paru, ginjal, splaknik dan
intracranial. Sebagian besar kondisi klinis telah menunjukkan dapat terjadinya
IAH dan ACS, termasuk trauma tajam atau tumpul, luka bakar, pancreatitis,
ruptur aneurisma aorta, neoplasma, ascites, transplantasi hati, pendarahan
retroperitoneal dan pasien tanpa cedera intra abdomen yang memerlukan
volume cairan resusitasi yang masif. Sekarang ini penyebab terbanyak adalah
korban multiple trauma yang memerlukan intervensi bedah abdomen segera,
terutama pembedahan untuk damage control.
Sindroma kompartemen akut cenderung memiliki hasil akhir yang jelek,
toleransi otot untuk terjadinya iskemia adalah 4 jam. Kerusakan irreversible
terjadi bila lebih dari 8 jam. Jika diagnosa terlambat dapat menyebabkan
trauma syaraf dan hilangnya fungsi otot. Walaupun fasciotomi dilakukan
dengan cepat dan awal, hampir 20% pasien mengalami deficit motorik dan
sensorik yang persisten.
Angka kematian tinggi pada abdominal compartemen sindrom meskipun
dengan pengobatan, hal ini terjadi karena ACS akan mempengaruhi beberapa
sistem organ. Selanjutnya, ACS sering sekuele cedera parah yang independen
membawa morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Malbrain dkk menunjukkan
bahwa dengan sendirinya, peningkatan tekanan intra abdomen berkorelasi
dengan peningkatan mortalitas sebelum menjadi kompartemen sindrom
33
abdomen. Pada kasus ACS dilaporkan 10-68% dari pasien yang
mengalaminya.
1.2 Rumusan Masalah
- Apakah pengertian abdomen kompartemen sindroma?
- Apakah etiologi dari abdomen kompartemen sindroma?
- Apa saja klasifikasi dari abdomen kompartemen sindroma?
- Bagaimana patofisiologi dari abdomen kompartemen sindroma?
- Bagaimana manifestasi klinis dari abdomen kompartemen sindroma?
- Bagaimana pemeriksaan diagnostik dari abdomen kompartemen
sindroma?
- Bagaimana penatalaksanaan dari abdomen kompartemen sindroma?
- Apa saja komplikasi dari abdomen kompartemen sindroma?
- Bagaimana konsep asuhan keperawatan kepada klien dengan abdomen
kompartemen sindroma mulai dari pengkajian, diagnosa keperawatan dan
menentukan intervensi keperawatan?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan tentang asuhan perawatan
pasien dengan abdomen kompartemen sindroma.
1.3.2 Tujuan Khusus
- Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian abdomen kompartemen
sindroma
- Mahasiswa mampu menjelaskan tentang etiologi dari abdomen
kompartemen sindroma
- Mahasiswa mampu menjelaskan tentang klasifikasi dari abdomen
kompartemen sindroma
- Mahasiswa mampu menjelaskan tentang patofisiologi dari abdomen
kompartemen sindroma
- Mahasiswa mampu menjelaskan tentang manifestasi klinis dari
abdomen kompartemen sindroma
- Mahasiswa mampu menjelaskan tentang pemeriksaan diagnostik dari
abdomen kompartemen sindroma
34
- Mahasiswa mampu menyebutkan penatalaksanaan dari abdomen
kompartemen sindroma
- Mahasiswa mampu menyebutkan komplikasi dari abdomen
kompartemen sindroma
- Mahasiswa mampu menjelaskan konsep asuhan keperawatan kepada
klien dengan abdomen kompartemen sindroma mulai dari pengkajian,
diagnosa keperawatan dan menentukan intervensi keperawatan.
1.4 Manfaat
Makalah ini dibuat untuk menjelaskan aplikasi konsep perawatan pada klien
dengan abdomen kompartemen sindroma sehingga dapat digunakan sebagai
referensi asuhan keperawatan.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
KOMPARTEMEN ABDOMEN SINDROME
35
2.1 PENGERTIAN
Sindrom kompartemen didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadi
peningkatan tekanan di dalam suatu rongga anatomis tubuh yang mempengaruhi
sirkulasi dan mengancam fungsi dan kelangsungan hidup jaringan di sekitarnya
(Hoyt, 2007)
Sindrom kompartemen didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadi
peningkatan tekanan di dalam suatu rongga anatomis tubuh yang mempengaruhi
sirkulasi dan mengancam fungsi dan kelangsungan hidup jaringan di sekitarnya.
Sindrom kompartemen abdominal (ACS) muncul bila disfungsi organ terjadi
sebagai hasil dari hipertensi intra-abdomen. Sindrom ini didefinisikan dengan
menetap atau berulangnya tekanan intra-abdomen lebih dari 20 mmHg (27,2
cmH2O) atau tekanan perfusi abdomen kurang dari 60 mmHg (81,6 cmH2O)
dengan disertai onset satu atau lebih kegagalan system organ. Tekanan intra-
abdomen normal antara 0 dan 5 mmHg (6,8 cmH2O), tapi pada pasien dewasa
yang kritis normal IAP dapat mencapai antara 5 mmHg (6,8 cmH2O) dan 7 mmHg
(9,52 cmH2O).
Kompartemen syndrome abdomen (ACS) adalah keadaan dimana terjadi
peningkatan tekanan intra abdominal di dalam suatu rongga anatomis tubuh yang
tertutup mempengaruhi aliran darah dan mengancam fungsi dan kelangsungan
hidup jaringan di sekitarnya. ACS menggambarkan kombinasi peningkatan
tekanan intra abdominal dan disfungsi organ (Marshal, 2009)
Hipertensi intra-abdomen didefinisikan dengan menetap atau berulangnya
tekanan intra-abdomen (IAP) lebih dari 12 mmHg atau tekanan perfusi abdomen
(APP) kurang dari 60 mmHg, dimana tekanan perfusi abdomen (APP) = tekanan
arteri rata-rata (MAP) – tekanan intra-abdomen (IAP). Berbeda dengan hipertensi
intra-abdomen (IAH), sindrom kompartemen abdominal tidak diberi tingkatan
tetapi lebih didasarkan sebagai fenomena “all or none”.( Joseph E. 2007.)
Hipertensi intra-abdomen.pada individu sehat, IAP normal adalah <5-7
mmHg. Batas atas IAP secara umum diterima menjadi 12 mmHg oleh WSACS,
mencerminkan peningkatan yang diharapkan dalam tekanan normal dari kondisi
klinis yang memberikan tekanan eksternal untuk amplop peritoneal atau
diafragma, termasuk obesitas dan penyakit paru obstruktif kronik Sebaliknya,
36
IAH didefinisikan sebagai peningkatan patologis berkelanjutan atau berulang di
IAP> 12 mmHg. (Papavramedis et. all.2011)
Menurut tingkatanya IAP, IAH dinilai sebagai berikut :
Grade I: 12-15 mmHg IAP
Grade II: 16-20 mmHg IAP
Grade III: 21-25 mmHg IAP
Grade IV: IAP> 25 mmHg (Papavramedis et. all.2011)
2.2 ETIOLOGI
Peningkatan tekanan intra abdomen terjadi pada 4% - 15% pasien dengan
penanganan intensive bedah pada berbagai kondisi klinis termasuk pembedahan
abdomen yang lama, akumulasi ascites, trauma tumpul abdomen, ruptur
aneurisma aorta abdomen, pancreatitis hemoragik, fraktur pelvis, ileus dan
obstruksi usus, pneumoperitoneum dan syok septic.
Penyebab peningkatan tekanan intra abdomen dapat dibedakan berdasarkan
tipe kompartemen syndrome abdomen adalah :
1. Primer (akut)
a. Intraperitoneal
Perdarahan Intraperitoneal
Trauma tumpul hepar
Obstruksi bowel
Ileus
Dilatasi gaster akut
Pneumoperitoneum
Abdominal packing
Abses
Ascites
Edema visceral
37
Mesenteric revascularization
Transplantasi ginjal
b. Retroperineal
Pankreatitis
Pendarahan pelvis atau retroperitoneal
Ruptur aneurisma aorta abdomen
c. Dinding abdomen
Hematom Rectus sheath
Skar luka bakar
MAST trousers
Repair hernia besar dengan loss of domain
Repair gastroschisis atau omphalocele
Laparotomy closure under extreme tension
2. Sekunder
a. Luka bakar
b. Trauma nonabdomen signifikan
3. Kronik
a. Obesitas
b. Ascites
c. Kehamilan
d. Tumor abdomen besar
e. Dialisis peritoneal (Paulo, 2013 dan Na. Stassen et. all. 2002)
Faktor resiko terjadinya ACS adalah :
1. Penurunan daya komplians dinding abdomen
a. Gagal napas akut khususnya dengan tekanan intra-thorakal yang meningkat.
b. Pembedahan abdomen dengan jahitan primer fasia tertutup yang ketat.
c. Trauma mayor/ luka bakar
d. Posisi telungkup, tinggi kepala bed > 30 derajat
e. Indeks massa tubuh yang tinggi, obesitas
2. Peningkatan isi intra-lumen
Gastroparesis, Ileus, pseudo-obstruksi kolon
3. Peningkatan isi abdomen
38
Hemoperitoneum / pneumoperitoneum, Ascites / disfungsi hati
4. Kebocoran kapiler/ resusitasi cairan
a. Asidosis
b. Politransfusi (>10 unit darah / 24 jam)
c. Koagulopati (platelet > 15 detik atau partial thromboplastin time (PTT) > 2
kali normal atau international standardised ratio (INR) > 1.5)
d. Resusitasi cairan yang masif (> 5 L / 24 jam), Pankreatitis, Oliguria, Sepsis
e. Trauma mayor/ luka bakar, laparotomi kontrol kerusakan ACS
(Papavramedis et. all.2011).
2.3 KLASIFIKASI
Klasifikasi kompartemen sindrom abdomen (ACS) adalah :
1. Primer atau akut ACS
Keadaan yang berhubungan dengan cedera atau penyakit di region pelvis-
abdomen yang sering memerlukan penanganan bedah atau intervensi
radiologis.
2. Sekunder ACS
Kompartemen sindrom abdomen terjadi tanpa adanya cidera pada abdomen,
terjadi karena adanya akumulasi volume cairan yang cukup tinggi sehingga
menimbulkan.kompartemen syndrome abdomen atau ACS yang bukan berasal
dari region pelvis-abdomen.
3. Kronik
Keadaan dimana ACS kembali terjadi akibat tindakan bedah sebelumnya atau
terapi medis pada primer atau ACS sekunder (Paula, 2013).
2.4 PATOFISIOLOGI
Setiap kelainan yang meningkatkan tekanan dalam rongga perut dapat
menimbulkan hipertensi intra-abdomen. Dalam beberapa situasi, seperti
pankreatitis akut atau pecahnya aneurisma aorta abdominal. Obstruksi mekanis
usus halus dan pembesaran abdomen bisa menimbulkan hipertensi intra abdomen.
Namun, trauma tumpul abdomen dengan perdarahan intra-abdomen dari lienalis,
hati, dan cedera mesenterika adalah penyebab paling umum dari hipertensi intra-
abdomen.pembedahan perut dengan tujuan untuk mengendalikan pendarahan juga
dapat meningkatkan tekanan dalam ruang peritoneal. Distensi usus sebagai akibat
39
dari syok hipovolemik dan perpindahan volume yang besar, merupakan penyebab
penting hipertensi intra-abdomen, dan selanjutnya mengakibatkan ACS pada
pasien trauma (Paula Richard, 2013).
Pada kondisi syok, vasokonstriksi dimediasi oleh system syaraf simpatik
mengakibatkan kurangnya suplai darah ke kulit, otot, ginjal, dan saluran
pencernaan, hal ini bertujuan untuk menyuplai jantung dan otak. Redistribusi
darah dari usus menghasilkan hipoksia seluler di jaringan usus. Hipoksia ini
berhubungan dengan 3 bagian penting dari perkembangan kompensasi positif
yang mencirikan pathogenesis hipertensi intra-abdomendan perkembangannya
menjadi ACS :
1. Pelepasan sitokinin
2. Pembentukan oksigen radikal bebas
3. Penurunan produksi adenosine trifosfat pada sel (Paula Richard, 2013).
Sebagai respon terhadap jaringan yang mengalami hipoksia, maka sitokinin
dilepaskan. Molekul-molekul ini meningkatkan vasodilatasi dan meningkatkan
permeabilitas kapiler yang mengarah pada terjadinya edema. Setelah seluler
mengalami reperfusi, oksigen radikal bebas dihasilkan. Agen ini memiliki efek
toksik pada membran sel yang kondisinya diperparah oleh adanya sitokinin, yang
merangsang pelepasan radikal lebih banyak lagi. Selain itu, kurangnya
penghantaran oksigen ke jaringan yang mengalami keterbatasan produksi
adenosine triphosphat dan penurunan persediaan dari adenosine triphosphat ini
tergantung pada aktivitas seluler. (Paula Richard, 2013)
Yang terkena dampak adalah pompa natrium-kalium. Efisien fungsi pompa
sangat penting untuk peraturan intraseluler elektrolit. Ketika pompa gagal, terjadi
kebocoran natrium ke dalam sel sehingga menarik air. Sel membengkak, selaput
kehilangan integritas, isi intraseluler keluar ke ekstraseluler dan mengakibatkan
inflamasi (peradangan). Inflamasi dengan cepat berubah menjadi edema, sebagai
akibat dari kebocoran kapiler, dan jaringan di usus semakin membengkak akibat
dari semakin meningkatnya tekanan intra-abdomen. Pada awal tekanan, perfusi
usus terganggu, hipoksia seluler, kematian sel, peradangan, edema terus berlanjut.
(Pleva Mayzlík, J. 2004)
40
Jadi, pada hipertensi intra-abdomen dapat menyebabkan vasokonstriksi
sehingga terjadi peningkatan tekanan intra-abdomen. Apabila tekanan intra-
abdomen terus meningkat, dapat menyebabkan terjadinya penurunan perfusi
jaringan dan akhirnya terjadi edema yang juga dapat memperparah peningkatan
tekanan intra-abdomen. Meningkatnya tekanan intra-abdomen inilah yang
akhirnya menyebabkan kompartement sindrom abdominal.
Selain itu patofisiologi sindrom kompartemen melibatkan hemostasis jaringan
lokal normal yang menyebabkan peningkatan tekanan jaringan, penurunan aliran
darah kapiler, dan nekrosis jaringan lokal yang disebabkan hipoksia.
Tanpa memperhatikan penyebabnya, peningkatan tekanan jaringan
menyebabkan obstruksi vena dalam ruang yang tertutup. Peningkatan tekanan
terus meningkat hingga tekanan arteriolar intramuskuler bawah meninggi. Pada
titik ini, tidak ada lagi darah yang akan masuk ke kapiler, menyebabkan
kebocoran ke dalam kompartemen, sehingga tekanan (pressure) dalam
kompartemen makin meningkat. Penekanan saraf perifer disekitarnya akan
menimbulkan nyeri hebat. Metsen memperlihatkan bahwa bila terjadi peningkatan
intrakompartemen, tekanan vena meningkat. Setelah itu, aliran darah melalui
kapiler akan berhenti. Dalam keadaan ini penghantaran oksigen juga akan
terhenti, Sehingga terjadi hipoksia jaringan (pale). Jika hal ini terus berlanjut,
maka terjadi iskemia otot dan nervus, yang akan menyebabkan kerusakan
ireversibel komponen tersebut.
Ada 3 teori tentang penyebab iskemia, yaitu :
1. Spasme arteri akibat peningkatan tekanan kompartemen
2. “Theori of critical closing pressure.”Akibat diameter yang kecil dan tekanan
mural arteriol yang tinggi, tekanan transmural secara signifikan berbeda
(tekanan arteriol-tekanan jaringan) ini dibutuhkan untuk memelihara patensi.
Bila tekanan jaringan meningkat atau tekanan arteriol menurun perbedaan tidak
ada, yaitu critical closing pressure dicapai, arteriol akan menutup.
3. Karena dinding vena yang tipis, vena akan kolaps bila tekanan jaringan
melebihi tekanan vena. Bila darah mengalir secara kontinyu dari kapiler,
tekanan vena secara kontinyu akan meningkat pula sampai melebihi tekanan
jaringan dan drainase vena dibentuk kembali. Sedangkan respon otot terhadap
41
iskemia yaitu dilepaskannya histamine like substans mengakibatkan dilatasi
kapiler dan peningkatan permeabilitas endotel. Ini berperan penting pada
transudasi plasma dengan endapan sel darah merah ke intramuscular dan
menurunkan mikrosirkulasi. Otot bertambah berat (peningkatan lebih dari
50%).
McQueen dan Court-Brown berpendapat bahwa perbedaan tekanan diastolik
dan tekanan kompartemen yang kurang dari 30 mmHg mempunyai korelasi klinis
dengan sindrom kompartemen (Irga, 2008).
Patogenesis dari sindroma kompartemen) kronik telah digambarkan oleh
Reneman. Otot dapat membesar sekitar 20% selama latihan dan akan menambah
peningkatan sementara dalam tekanan intra kompartemen. Kontraksi otot berulang
dapat meningkatkan tekanan intamuskular pada batas dimana dapat terjadi
iskemia berulang. Sindroma kompartemen kronik terjadi ketika tekanan antara
kontraksi yang terus - menerus tetap tinggi dan mengganggu aliran darah.
Sebagaimana terjadinya kenaikan tekanan, aliran arteri selama relaksasi otot
semakin menurun, dan pasien akan mengalami kram otot. Kompartemen anterior
dan lateral dari tungkai bagian bawah biasanya yang kena (Irga, 2008).
Patofisiologi dampak ACS pada berbagai sistem organ :
a. Disfungsi ginjal
Disfungsi ginjal merupakan dampak yang paling sering terjadi. Efek
klasik IAH/ACS pada system ginjal yaitu oliguria hingga menjadi anuria
dengan IAP yang meningkat. IAP 15±20 mmHg dapat terjadi oliguria,
sementara IAP lebih dari 30 mmHg dapat terjadi anuria. Mekanisme terjadinya
disfungsi ginjal terdapat banyak faktor. ACS membuat gangguan pada
kardiovaskular dengan menurunkan curah jantung sehingga menurunkan aliran
arteri ginjal, meningkatkan resistensi vaskular ginjal, menurunkan filtrasi
glomerulus dan kompresi vena ginjal.
b. Disfungsi paru
Peningkatan IAP berdampak langsung pada fungsi paru. Komplians paru
mengalami resultan reduksi progresif pada kapasitas total paru, kapasitas residu
fungsional dan volume residu. Ini ditunjukkan secara klinis dengan elevasi
hemidiafragma pada radiografi dada. Perubahan ini ditunjukkan pada IAP
42
diatas 15 mmHg. Terjadi kegagalan respirasi selanjutnya akibat hipoventilasi
dari hasil elevasi progresif IAP. Resistensi vascular paru meningkat sebagai
hasil dari pengurangan tekanan oksigen alveolus dan peningkatan tekanan
intra-torak. Pada akhirnya, disfungsi organ paru ditunjukkan dengan keadaan
hipoksia, hiperkapnia dan peningkatan tekanan ventilasi.
c. Disfungsi jantung
Peningkatan IAP secara konsisten berkorelasi dengan penurunan curah
jantung.Ini ditinjukkan pada IAP diatas 20 mmHg. Penurunan jurah jantung
merupakanhasil dari penurunan alur balik vena jantung dari kompresi langsung
pada venacava dan vena porta. Peningkatan tekanan intra-thorak juga membuat
penurunan aliran vena cava superior dan inferior. Resistensi maksimal aliran
darah vena cava terjadi di hiatus cavum diafragma. Ini berhubungan dengan
gradient tekanan tiba-tiba antara abdomen dan rongga dada. Peningkatan
tekanan intra-thorak menyebabkan kompresi jantung dan pengurangan volume
akhir diastolik. Kenaikan resistensi vascular sistemik berasal dari efek
gabungan vasokonstriksi arteriolar dan IAP yang meningkat. Gangguan ini
membuat stroke volume berkurang dimana hanya satu-satunya yang
dikompensasi dengan meningkatkan detak jantung dan kontraktilitas. Kurva
Starling kemudian bergeser ke bawah dan ke kanan dan curah jantung secara
progresif menurun dengan IAP yang meningkat. Kelainan ini terjadi
eksaserbasi bersamaan dengan hipovolemia.Perubahan hemodinamik
signifikan ditunjukkan pada IAP diatas 20 mmHg.
d. Disfungsi hepar
Penurunan aliran darah arteri hepatic, vena porta dan sirkulasi mikro
berhubungan dengan IAH. Ketika babi yang teranestesi IAP-nya meningkat
hingga 20 mmHg, kebalikan dari Q konstan dan tekanan arteri rata-rata, aliran
arteri hepatic berkurang hingga 55%, aliran vena porta menurun hingga 35%
dan aliran sirkulasimikro hepatic berkurang hingga 29% dibandingkan dengan
control. Penurunan pada aliran sirkulasi mikro hepatik yang sama juga terjadi
pada pasien dengan kolesistektomi per laparoskopi. Pasien dengan trauma
kemungkinan meningkat resiko sekunder terhadap penurunan aliran darah
portal dan visceral yang terjadiselama syok.
43
e. Disfungsi Splaknik
Sama seperti dampak yang terjadi pada hati, ginjal dan vena cava
inferior, efek predominan dari peningkatan IAP juga mengurangi perfusi
splaknik. Hipoperfusisplaknik dapat terlihat pada IAP 15 mmHg dengan
laporan kasus iskemiaintestinal yang memerlukan intervensi operatif setelah
laparoskopik elektif mempertahankan 15 mmHg pneumoperitonium.
Bagaimanapun aliran darah arterimesenterikum, mukosa usus, dan vena porta
telah menurun dengan peningkatan IAP. Ini dapat diukur pada pengaturan
klinis dengan tonometri gaster yang mengindikasikan penurunan perfusi pada
perut. Sebuah studi menunjukkan bahwa penurunan perfusi gaster disimpulkan
dengan penurunan pHi gaster yang berkurang lebih awal dari tanda-tanda ACS
(oliguria, tekanan puncak inspirasi meningkat). Penurunan perfusi
gastrointestinal ini terjadi tidak bergantung pada penurunan Q. IAP yang
meningkat juga menunjukkan tekanan vena porta yangmeningkat. Ini
kemungkinan salah satu factor kontribusi pada patofisiologi varises esophagus
pada pasien dengan gagal hati. Meningkatnya IAP hingga 10 mmHg
menghasilkan peningkatan tekanan varises, volume, radius dan ketegangan
dinding. Sebagai tambahan, penurunan perfusi splaknik dan cedera reperfusi
ditunjukkan dengan produksi sitokin dari usus. Ini berperan dalam
perkembangan komplikasi septic dan atau sindrom respon inflamasi sistemik
(SIRS) dankegagalan organ multipel.
f. Disfungsi system saraf pusat
Meskipun ACS tidak menyebabkan kegagalan system saraf pusat,
terdapat hubungan erat antara IAH dan ICP yang meningkat dengan reduksi
sekunder pada CPP yang ditunjukkan pada dua hewan percobaan. Ini akibat
mekanisme peningkatan tekanan intrathora dimana dihasilkan dari IAH, elevasi
media pada diafragma. Peningkatan tekanan intra-thorak meningkatkan
tekanan vena jugular dan ICP. Pasien dengan ACS secara klinis dan ICP yang
meningkat telah terkoreksi ICP dengan laparotomi dekompresi. Dengan
demikian pemantauan IAP disarankan pada pasien dengan neurotrauma dan
cedera abdomen atau curiga IAH dengan pemikiran untuk dekompresi pada
peningkatan ICP (Paula, 2013).
44
2.5 MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis ACS antara lain :
1. Distensi abdomen yang berat
2. Gagal napas yang ditandai dengan PCO2 yang meningkat, volume tidal yang
berkurang, tingginya tekanan puncak inspirasi.
3. Curah jantung yang menurun
4. Tekanan darah yang labil
5. pH rendah yang menetap
6. Oliguria yang tidak respon terhadap terapi konvensional
7. Tekanan intra abdomen yang meningkat (> 40 mm Hg) (Paula Richard MD,
2013).
Gejala klinis yang terjadi pada kompartemen sindroma dikenal dengan 5P, yaitu :
1. Pain (nyeri), nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang
terkena, ketika ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling
penting. Terutama jika munculnya nyeri tidak sebanding dengan keadaan klinik
(pada anak-anak tampak semakin gelisah atau memerlukan analgesia lebih
banyak dari biasanya). Otot yang tegang pada kompartemen merupakan gejala
yang spesifik dan sering.
2. Pallor (pucat), diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daerah tersebut
3. Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi)
4. Parastesia (rasa kesemutan)
5. Paralysis, merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang
berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena kompartemen sindrom.
Sedangkan gejala yang khas pada kompartemen sindrom, yaitu:
1. Nyeri yang timbul saat aktivitas, terutama saat olahraga. Biasanya setelah
berlari atau beraktivitas selama 20 menit.
2. Nyeri bersifat sementara dan akan sembuh setelah beristirahat 15-30 menit
3. Terjadi kelemahan atau atrofi otot (Irga, 2008)
2.6 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan diagnostic untuk ACS adalah :
1. Laboratorium :
45
a. Comprehensive metabolic panel (CMP) :Profil metabolic lengkap antara
lain elektrolit, BGA, Kimia Klinik, renal fungsi tes, urinalisis, renal fungsi
test.
b. Complete blood cell count (CBC) / Darah Lengkap : Trombosit mengalami
penurunan (, 55.000/mm3)
c. Pemeriksaan enzim amylase and lipase : terjadi peningkatan (pancreatitis)
d. Prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (aPTT) bila
pasien diberi heparin : untuk memeriksa faktor pembekuan mengalami
perpanjangan (PT . 15 detik, PTT : . 2 kali normal)
e. Test untuk marker jantung : CPKMB/:creatine phosphokinase Myoglobin
mengalami peningkatan menunjukkan adanya sel miokardium
f. Urinalisis : Adanya keton, darah,dalam urine menunjukkan adanya
gangguan pada ginjal
g. Pengukuran level serum laktat : Peningkatan asam laktat dalam darah
menunjukkan shock dan dehidrasi berat.
h. Arterial blood gas (ABG): PH mengalami penurunann : < 7,02 (Asidosis)
dan peningkatan PCO2
2. Radiografi :
a. Abdomen serial untuk melihat udara bebas atau obstruksi usus.
b. Radiografi polos abdomen sering tidak berguna dalam mengidentifikasi
sindrom kompartemen abdominal.
c. CT scan abdomen dapat memberikan banyak temuan. Pada tahun 1999
Pickhardt dkk menemukan gambaran dibawah ini pada pasien dengan
sindrom kompartemen abdominal :
1) Round-belly sign – distensi abdomen dengan rasio peningkatan diameter
abdomen anteroposterior ke transversal meningkat. (ratio >0.80; P
<0.001)
2) Kolaps vena kava
3) Penebalan dinding usus dengan enhancement
4) Hernia inguinal bilateral
d. USG Abdomen
1. Aneurisma aorta, bila besar dapat terdeteksi
46
2. Gas usus atau kegemukan mempersulit pemeriksaan (Paulo,2013 dan
Sugrue, 2005).
2.7 PENATALAKSANAAN
Penanganan harus berdasarkan pada pemeriksaan klinis dengan peningkatan
IAP. IAP kritis yang menimbulkan berbagai disfungsi organ bergantung pada
keadaan premorbid pasien. Pasien gemuk setiap saat meningkat IAP tetapi telah
terkompensasi dengan hal tersebut. Grade I IAH secara umum hanya memerlukan
resusitasi volume dengan pemantauan tekanan berkelanjutan. Beberapa pasien
tidak membaik keadaannya. Pasien dengan grade II harus ditangani berdasarkan
gejalanya. Bila oliguria ringan dengan kompresi jantung dan paru minimal, dapat
diresusitasi lebih lanjut dan dilanjutkan dengan memantau tekanan. Bila pasien
mengalami cedera intra-kranial atau kompresi berat yang lebih, operasi
dekompresi harus dipikirkan. Grades III dan IV ditangani dengan operasi
dekompresi. Saat ini sebagian besar peneliti menyetujui bahwa tekanan kritis
untuk ACS adalah antara 20 hingga 25 mmHg (Stassen, N.A et al. 2002).
Menurut survei untuk IAH (intra abdomen hypertension) dan ACS
(abdominal compartement syndrome) memerlukan pengamatan yang ketat pada
pasien untuk mengindentifikasi faktor resiko potensial dan perubahan yang
relevan pada parameter fisiologis. Bagi pasien yang beresiko, diperlukan
pemantauan ketat IAP (intra abdomen Pressure) dan langkah-langkah preventif.
Sebagai contoh, keputusan dapat ditunda untuk closure of the abdomen atau
menggunakan alternatif lain seperti abdominal content coverage. Pada pasien non
pembedahan, resusitasi yang optimal mungkin penting dalam mencegah IAH
(intra abdomen hypertension), tetapi over resusitasi perlu dihindari.(Marshal,
2009)
Tekanan Intra Abdomen dibagi atas:
1) Grade I : IAP 12 – 15 mmHg
2) Grade II : IAP 16 – 20 mmHg
3) Grade III : IAP 21 – 25 mmHg
4) Grade IV : IAP > 25 mmHg
Studi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa penilaian klinis dan pemeriksaan
klinis adalah tidak akurat dalam memprediksi IAP pasien. Beberapa metode telah
47
dikembangkan untuk mengukur IAP, yakni dengan cara langsung (misalnya
punksi abdomen saat dialisis peritoneal atau laparoskopi) dan secara tidak
langsung (misalnya pengukuran tekanan intrabuli, tekanan gaster, colon, atau
tekanan uterus). Dari beberapa metode ini, teknik pengukuran tekanan intrabuli
telah diterima secara luas di seluruh dunia oleh karena lebih sederhana dan biaya
lebih minimal. Dalam usaha untuk melakukan standardisasi dari pengukuran IAP,
makan hasil pengukuran IAP dinyatakan dalam mmHg dan diukur saat ekspirasi
akhir pada posisi supine setelah menjamin absennya kontraksi otot abdomen.
Nilai normal IAP adalah 5-7 mmHg. (Malbrain, 2006).
Selain itu, tekanan intraabdomen dapat diukur dalam beberapa cara yang
berbeda. Pengukuran IAP langsung melalui kateter intraperitoneal umumnya tidak
layak. IAP dapat diukur secara tidak langsung melalui lambung, intra-kava dan
tekanan kandung kemih. Perbandingan metode tidak langsung dengan pengukuran
tekanan langsung seperti yang diperoleh oleh Obeid dan lain-lain menunjukkan
bahwa tekanan kandung kemih diukur dengan benar memiliki korelasi terbaik
dengan IAP. Teknik dasar untuk mengukur tekanan kandung kemih adalah
pertama kali dijelaskan oleh Kron. Sebuah kateter Foley ditempatkan dan
kandung kemih dikosongkan. Sebuah angiocath 18-gauge kemudian dimasukkan
sterily ke port aspirasi kateter Foley dan jarum angiocath dibuang. Angiocath ini
kemudian melekat pada transduser tekanan (memusatkan perhatian pada tingkat
simfisis) melalui tabung yang berisi tiga arah kran. Lima puluh sampai 100 ml
cairan Nacl steril kemudian disuntikkan ke dalam kandung kemih melalui tiga
cara kran dengan tas drainase Foley dijepit .Penjepit tersebut kemudian sebagian
dilepaskan dan reclamped untuk memastikan kolom cairan penuh dalam tabung
proksimal untuk klem. Tekanan kandung kemih kemudian transduced
memberikan tekanan kandung kemih mmHg. Pernapasan harus ada dalam
transduced gelombang untuk memastikan bahwa kandung kemih tidak yang
terlalu besar. Overdistension kandung kemih memberikan penilaian palsu tekanan
tinggi sekunder kontraksi intrinsik kandung kemih. Pengukuran harus dilakukan
pada akhir ekspirasi untuk mengurangi pengaruh peningkatan tekanan dada.
Pengukuran tekanan kandung kemih adalah, pada titik ini, mungkin yang paling
48
invasif dan alternatif yang paling dapat diandalkan untuk mendokumentasikan
kondisi ini secara obyektif (Na. Stassen et. all, 2002).
- Pengukuran langsung tekanan intravena
Telah terbukti bahwa ada korelasi yang cukup baik antara IAP dan tekanan
diukur oleh intravena kateter ditempatkan di vena cava inferior (IVC).
Meskipun ini adalah teknik yang dapat membantu untuk mengkonfirmasi
kecurigaan klinis, pada pasien hipovolemik dengan IAP lebih besar dari 45 mm
Hg, pembacaan palsu dapat diperoleh sekunder untuk melengkapi runtuhnya
dari IVC. Saat ini, teknik ini jarang digunakan. (Na. Stassen et. all, 2002)
- Tekanan lambung dan tonometry lambung
Tekanan intraabdomen juga dapat diukur secara tidak langsung melalui
perut atau sebagai refleksi dari memadai perfusi mukosa lambung. Saat ini,
teknik yang paling umum digunakan adalah dengan tonometry lambung
melalui kateter bah nasogastric dimodifikasi dan monitor capnometry daerah.
Abdomenadalah bagian yang paling mudah diakses dari usus dan kecukupan
oksigenasi mukosa lambung mungkin nyaman digunakan sebagai indeks
kecukupan oksigenasi jaringan splanchnic, yang terganggu awal pada pasien
dengan ACS. Meskipun teknik ini dapat menjadi kompleks ketika digunakan
dalam pengaturan klinis akut, data klinis menunjukkan bahwa pemantauan pH
lambung intramucosal (pHi) dapat memberikan peringatan dini untuk
komplikasi sistemik, terutama pada pasien dengan resiko ACS. Karena efek
merugikan dari ACS visceral aliran darah telah diakui untuk beberapa waktu,
tonometry lambung bisa dibandingkan dengan sensitif sensor strategis di
lingkungan yang paling menguntungkan untuk memberikan informasi dokter
yang relevan dari pasien sedini mungkin, sehingga memberikan sarana untuk
memaksimalkan efek dari intervensi terapeutik yang diperlukan. Deteksi dini
memadai daerah perfusi jaringan dan peningkatan IAP adalah penting dalam
untuk mencegah asidosis seluler, usus gangguan mukosa, sepsis, MODS dan
ACS dan memungkinkan tepat waktu intervensi terapi untuk pasien. Pada
pasien dewasa , hal ini dapat diperoleh dengan mengisi kandung kemih dengan
sekitar 250 cc larutan Nacl (Na. Stassen et. all, 2002).
49
- Teknik pengukuran intravesika merupakan cara tidak langsung yang cukup
tepat untuk mengukur tekanan intra abdomen. Perubahan tekanan intra
peritoneal direfleksikan pada tekanan intravesika. Validasi metode ini
menunjukkan bahwa tekanan intra vesika identik dengan tekanan
intraperitoneal (Iberti, 1997).
Penanganan harus berdasarkan pada pemeriksaan klinis dengan peningkatan
IAP. IAP kritis yang menimbulkan berbagai disfungsi organ bergantung pada
keadaan premorbid pasien. Pasien gemuk setiap saat meningkat IAP tetapi telah
terkompensasi dengan hal tersebut. Grade I IAH secara umum hanya memerlukan
resusitasi volume dengan pemantauan tekanan berkelanjutan. Beberapa pasien
tidak membaik keadaannya. Pasien dengan grade II harus ditangani berdasarkan
gejalanya. Bila oliguria ringan dengan kompresi jantung dan paru minimal, dapat
diresusitasi lebih lanjut dan dilanjutkan dengan memantau tekanan. Bila pasien
mengalami cedera intra-kranial atau kompresi berat yang lebih, operasi
dekompresi harus dipikirkan. Grades III dan IV ditangani dengan operasi
dekompresi. Saat ini sebagian besar penulis menyetujui bahwa tekanan kritis
untuk ACS adalah antara 20 hingga 25 mmHg.
A. Sistem grade kompartemen abdominal
Tekanan buli-buli Grade (mmHg) Rekomendasi
I. 10–15 mmHg Pertahankan normovolemia
II. 16–25 mmHg Resusitasi Hipervolemik
III. 26–35 mmHg Dekompresi
IV. >35 mmHg Dekompresi dan re-eksplorasi
Pilihan terapi medis untuk mengurangi IAP :
1. Memperbaiki komplians dinding abdomen
a. Sedasi dan analgesik
b. Blokade neuromuskular
c. Hindari ketinggian kepala tempat tidur > 30 degrees
2. Evakuasi isi intra-lumen
a. Dekompresi nasogaster
b. Dekompresi rektum
c. Agent gastro-/colo-prokinetik
50
3. Evakuasi kumpulan cairan abdominal
a. Parasentesis
b. Drainase perkutan
4. Koreksi keseimbangan cairan positif
a. Hindari resusitasi cairan berlebih
b. Diuretik
c. Koloid / cairan hipertonik
d. Hemodialisis / ultrafiltrasi
5. Organ Pendukung
a. Pertahankan APP > 60 mmHg dengan vasopressor
b. Optimalkan ventilasi, alveolar recruitment
c. Gunakan tekanan jalan napas transmural (tm)
d. Pplattm = Pplat – IAP
e. Pikirkan untuk menggunakan volumetric preload indices
f. Jika menggunakan PAOP/CVP, gunakan tekanan transmural
g. PAOPtm = PAOP - 0.5 * IAP
h. CVPtm = CVP - 0.5 * IAP
Terdapat manajemen nonoperatif pada IAH/ACS yang terdiri dari lima
intervensi terapi, tiap terapi mengandung beberapa langkah tingkat terapi :
1. Evakuasi isi intralumen
2. Evakuasi space-occupying lesion intra-abdomen
3. Memperbaiki komplians dinding abdomen
4. Optimalkan kebutuhan cairan
5. Optimalkan perfusi jaringan regional dan sistemik
B. Manajemen pembedahan
Laparotomi dekompresi merupakan gold standard dalam penanganan pasien
dengan ACS. Pendekatan dekompresi abdomen sangat beragam. Temporary
abdominal closure (TAC) telah banyak digunakan sebagai mekanisme
mengembalikan dampak akibat peningkatan IAP. Beberapa penulis menganjurkan
penggunaan TAC sebagai profilaksis untuk mengurangi komplikasi post operasi
dan mempermudah re-eksplorasi yang telah direncanakan. Setelah laparotomi
51
dekompresi, dilakukan temporer abdominal closure yang dilanjutkan dengan
permanen abdominal closure pada hari berikutnya.
a. Temporary abdominal closure
Beberapa metode dari temporary abdominal closure dapat digunakan.
Keputusan pertama yang harus dibuat adalah apakah menutup fascia dengan
bahan sintetis atau membiarkannya terbuka. Fascia tidak boleh ditutup
primer, ini berkaitan dengan tingginya tingkat rekuren dari ACS. Jika fascia
ditutup dengan bahan sintetis, berbagai bahan (absorbable/nonabsorbable;
porous/nonporous) bisa digunakan. Berbagai tipe dari mesh dapat digunakan
termasuk polyglycolic acid (Vicryl™), polypropylene (Marlex™), atau
polytetrafluoroethylene (PTFE). Bahan yang dapat diserap lebih dipilih.
Penutup dengan alat burr artificial (Velcro-like), kantung cairan intravena
(“Bogotá bag”), kantung kaset x-ray steril, dan kertas Silastic telah
digunakan.
Jika fasia dibiarkan terbuka dan abdomen penuh, kulit bisa tertutup atau
dibiarkan terbuka. Kulit bisa ditutup menggunakan jahitan, penjepit kain,
perban lateks Esmarch atau mesh. Jika mesh dijahit ke kulit, akan ditutup
dengan adesif drape yang steril dan drape (Vi-drape™ or Steri Drape™).
Menjahit bahan sintetis ke kulit bukan ke fasia, mempersiapkan fasia untuk
definitive closure berikutnya. Jika penutupan kulit saja menyebabkan
peningkatan IAP, kulit dibiarkan terbuka. Usus ditutupi dengan
nonadhesive, nonporous materi (seperti tas atau perekat usus terlipat
menggantungkan dirinya sendiri sehingga sisi perekat menempel pada
dirinya sendiri).
Tepi bahan nonadhesive, nonporous diselipkan di bawah tepi dinding
abdomen anterior untuk mencegah pengeluaran isi dari usus. Selanjutnya,
handuk steril ditempatkan, diikuti oleh tirai perekat (Vidrape ™ atau tirai
Steri ™) yang menempel pada dinding perut dan mencegah lebih lanjut
pengeluaran isi, pengeringan dari usus, dan cairan kerugian dari perut yang
terbuka. Aplikasi langsung dari tirai perekat ke usus meningkatkan risiko
enterocutaneous fistula dan tidak disarankan.
52
Sebuah cairan irigasi urologis tas dijahit ke kulit dan saluran eksternal
ditempatkan untuk mengontrol dan kuantifikasi dari kebocoran cairan atau
perdarahan.
b. Permanent abdominal closure
Penutupan perut permanen dilakukan setelah hipovolemia, hipotermia,
coagulapathy, dan asidosis telah diperbaiki; yang biasanya tiga sampai
empat hari setelah dekompresi abdomen. Beberapa metode penutupan perut
telah dideskripsikan. Primer penutupan fasia dapat dilakukan atau cangkok
kulit dapat ditempatkan diikuti oleh dinding perut tertunda rekonstruksi.
Setelah mobilisasi signifikan cairan, dimungkinkan untuk menutup
fasia tanpa ketegangan yang signifikan. Namun, sebuah "pemisahan bagian"
teknik mungkin diperlukan untuk reapproximate fasia.
Jika mesh ditempatkan sebagai perut sementara penutupan (sebaiknya
bahan yang diserap), jala dapat dibiarkan in situ selama dua minggu
kemudian ditutup dengan kulit ketebalan parsial grafts ke jaringan granulasi
yang mendasarinya. Jala biasanya akan dimasukkan ke dalam jaringan
granulasi pada titik waktu ini. Jika fasia tidak ditutup dan pasien yang
tersisa dengan cacat dinding perut, dinding perut rekonstruksi dapat
dilakukan enam hingga dua belas bulan kemudian.
Berbagai metode rekonstruksi telah dijelaskan, termasuk medial
bilateral kemajuan abdominus rektus otot dan fasia dengan atau tanpa
sayatan kulit-relaksasi. Expanders jaringan subkutan diikuti oleh flaps
kemajuan myocutaneous bilateral juga telah digunakan. Garis tengah perut
flap cacat mungkin memerlukan rekonstruksi atau rekonstruksi dengan
nonabsorbable mesh.
Pasien yang dirawat di ICU sebaiknya diskrining untuk melihat faktor
resiko terjadinya IAH/ACS dan dengan kegagalan organ yang baru atau
progresif. Biladua atau lebih faktor resiko dijumpai, pengukuran IAP harus
dilakukan. Dan bila IAH ditemukan, pengukuran IAP serial harus dilakukan
pada pasien tersebut.
Pengukuran IAP terdiri dari berbagai teknik yaitu penempatan metal
intra-abdomen langsung (sudah lama ditinggalkan), tekanan vena kava
53
inferior (beresiko thrombosis dan infeksi), tekanan gaster (jarang digunakan
tetapi berguna bila terdapat trauma buli-buli dimana distensi buli merupakan
kontraindikasi) dan tekanan buli-buli. Gold standard pengukuran IAP adalah
dengan tekanan buli-buli.
Untuk mengukur tekanan buli-buli, suntikkan 50-100 ml saline steril
kedalam Foley kateter melalui lubang aspirasi; klem silang selang steril dari
drainkantong urin letak distal dari lubang aspirasi; hubungkan ujung selang
drainkantong urin ke Foley kateter; lepaskan klem sesaat agar cairan dari
buli keluar dan kemudian klem ulang; Y-connect transduser tekanan ke
kantong drain melalui lubang aspirasi menggunakan jarum G 16; pastikan
IAP dari transduser menggunakan puncak dari tulang simfisis pubis sebagai
titik nol dalam posisitelentang. Manometer tangan yang dihubungkan ke
Foley kateter melalui kolom cairan di selang dapat digunakan untuk
menentukan tekanan sebagai ganti transduser.
2.8 KOMPLIKASI
Jika kompartemen sindrom tidak mendapatkan penanganan dengan segera,
akan menimbulkan berbagai komplikasi antara lain (Irga, 2008) :
1. Nekrosis pada syaraf dan otot dalam kompartemen
2. Kontraktur volkman, merupakan kerusakan otot yang disebabkan oleh
terlambatnya penanganan sindrom kompartemen sehingga timbul deformitas
pada tangan, jari, dan pergelangan tangan karena adanya trauma pada lengan
bawah
3. Trauma vascular
4. Gagal ginjal akut
5. Sepsis
6. Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
2.9 PROGNOSIS
Sindroma kompartemen akut cenderung memiliki hasil akhir yang jelek,
toleransi otot untuk terjadinya iskemia adalah 4 jam. Kerusakan irreversible
terjadi bila lebih dari 8 jam. Jika diagnosa terlambat dapat menyebabkan trauma
syaraf dan hilangnya fungsi otot. Walaupun fasciotomi dilakukan dengan cepat
54
dan awal, hampir 20% pasien mengalami deficit motorik dan sensorik yang
persisten (Irga,2008).
Tingkat kematian dengan kasus ACS dilaporkan 10-68% dari pasien yang
mengalaminya.
Prosentase klien yang dapat bertahan hidup dengan kasus ACS sekitar 53%.
Jika sudah diketahui ada tanda-tanda mengalami ACS, maka penatalaksanaan
yang harus dilakukan adalah dekompresi laparotomi.
Angka kematian tinggi pada abdominal compartemen sindrom meskipun
dengan pengobatan, hal ini terjadi karena ACS akan mempengaruhi beberapa
sistem organ. Selanjutnya, ACS sering sekuele cedera parah yang independen
membawa morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Malbrain dkk menunjukkan
bahwa dengan sendirinya, peningkatan tekanan intra abdomen berkorelasi dengan
peningkatan mortalitas sebelum menjadi kompartemen sindrom abdomen
(Paulo,2013).
BAB 3
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN TEORI
3.1 PENGKAJIAN
1. Identitas/data umum
55
Meliputi nama, umur, agama,pendidikan, pekerjaan, alamat, suku bangsa :
morbiditas kompartemen sindrom abdomen tidak tergantung pada perbedaan
ras, seksual, dan usia
2. Keluhan utama
Perut membesar (distensi abdomen)
3. Riwayat Kesehatan Sekarang
Keluhan yang muncul adalah perut membesar/distensi abdomen yang berat,
gagal napas, sesak nafas, oliguria yang tidak respon terhadap terapi
konvensional keadaan tersebut terjadi setelah adanya /kondisi pembedahan
abdomen, trauma mayor seperti luka bakar, gastroparesis, ilesus, pseudo-
obtruksi kolon, politransfusi (> 10 unit darah /24 jam), setelah resusitasi
cairan yang massif (5l/24jam), pancreatitis, oliguria, sepsis
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Kaji riwayat obesitas, sering transfuse, hepatitis, ascites, pancreatitis, trauma
abdomen, pembedahan abdomen.
5. Riwayat Kesehatan Keluarga
Kaji riwayat keluarga obesitas, riwayat hepatitis.
6. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum : Lemah
2. Pemeriksaan fisik Persystem :
a. B1 (Breath/Sitem respirasi)
Dispnea, hipoksia, hiperkarbia, sianosis.
Masalah Keperawatan : Ketidakefektiktifan pola nafas, Gangguan
pertukaran gas
b. B2 (Blood/ Sistem Cardiovaskuler)
Bradikardia, distensi vena jugularis, asidosis, penurunan curah
jantung.tekanan darah menurun, MAP : menurun, CRT> 5 detik
Masalah Keperawatan : Penurunan curah jantung,
c. B3 (Brain/Sistem Persyarafan)
Gelisah, penurunan kesadaran, nyeri kepala.kejang
Masalah Keperawatan : Potensial Kolaborasi : Peningkatan tekanan
intrakranial
56
d. B4 (Bladder/Sistem perkemihan)
Oliguria, anuria.
Masalah Keperawatan : Gangguan Eliminasi urine
e. B5 (Bowel/Sistem pencernaan)
Hematemesis, melena, mual, muntah, distensi abdomen.
Masalah Keperawatan :
- PK : Syok Hipovolemi
- PK : Resiko hipoperfusi mukosa GI
f. B6 (Bone/Sistem musculoskeletal)
Kelemahan.
Masalah Keperawatan : -
3. Pemeriksaan diagnostik
1) Laboratorium :
a. Comprehensive metabolic panel (CMP) :Profil metabolic lengkap
antara lain elektrolit, BGA, Kimia Klinik, renal fungsi tes,
urinalisis, renal fungsi test.
b. Complete blood cell count (CBC) / Darah Lengkap : Trombosit
mengalami penurunan (, 55.000/mm3)
c. Pemeriksaan enzim amylase and lipase : terjadi peningkatan
(pancreatitis)
d. Prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time
(aPTT) bila pasien diberi heparin : untuk memeriksa faktor
pembekuan mengalami perpanjangan (PT . 15 detik, PTT : . 2 kali
normal)
e. Test untuk marker jantung : CPKMB/:creatine phosphokinase
Myoglobin mengalami peningkatan menunjukkan adanya sel
miokardium
f. Urinalisis : Adanya keton, darah,dalam urine menunjukkan adanya
gangguan pada ginjal
g. Pengukuran level serum laktat : Peningkatan asam laktat dalam
darah menunjukkan shock dan dehidrasi berat.
57
h. Arterial blood gas (ABG): PH mengalami penurunann : < 7,02
(Asidosis) dan peningkatan PCO2
2) Radiografi :
a. Abdomen serial untuk melihat udara bebas atau obstruksi usus.
b. Radiografi polos abdomen sering tidak berguna dalam
mengidentifikasi sindrom kompartemen abdominal.
c. CT scan abdomen dapat memberikan banyak temuan. Pada tahun
1999 Pickhardt dkk menemukan gambaran dibawah ini pada pasien
dengan sindrom kompartemen abdominal :
a) Round-belly sign – distensi abdomen dengan rasio peningkatan
diameter abdomen anteroposterior ke transversal meningkat.
(ratio >0.80; P <0.001)
b) Kolaps vena kava
c) Penebalan dinding usus dengan enhancement
d) Hernia inguinal bilateral
3) USG Abdomen
a. Aneurisma aorta, bila besar dapat terdeteksi
b. Gas usus atau kegemukan mempersulit pemeriksaan (Paulo,2013
dan Sugrue, 2005).
3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan dengan adanya peningkatan tekanan intra abdomen yang
mengakibatkan iskemik jaringan
2. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan perubahan kapasitas
pengangkutan oksigen dalam darah.
3. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas jantung
4. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen yang
mengakibatkan penekanan diafragma (penghambatan relaksasi diafragma)
5. Syok hipovelemik berhubungan dengan defisit volume cairan
6. Gangguan perfusi serebri berhubungan dengan penurunan suplai O2 ke otak
7. Perubahan pola eliminasi urin berhubungan dengan peningkatan resistensi
vaskuler di ginjal
58
8. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan nafsu makan
menurun akibat adanya mual dan muntah
3.3 INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnose Tujuan dan
kriteria hasil
Intervensi Rasional
Nyeri
berhubunga
n dengan
peningkatan
tekanan
intra
abdomen
-Tujuan : Nyeri
yang dirasakan
berkurang atau
dapat diadaptasi
oleh klien
-Kriteria hasil:
a. Klien
mengungkapkan
nyeri yang
dirasakan
berkurang atau
dapat diadaptasi
b. Klien tidak
merasa
kesakitan.
c. Dapat
mengidentifikasi
aktifitas yang
meningkatkan
atau menurunkan
nyeri, klien tidak
gelisah
1.Berikan kesempatan
waktu istirahat bila
terasa nyeri dan
berikan posisi yang
nyaman.
2.Mengajarkan tehnik
relaksasi dan metode
distraksi
3.Beritahu pasien untuk
menghindari
mengejan, meregang,
batuk, dan
mengangkat benda
yang berat. Ajarkan
pasien untuk menekan
insisi dengan tangan
atau bantal selama
episode batuk; ini
khususnya penting
selama periode
pascaoperasi awal dan
selama 6 minggu
setelah pembedahan.
4.Kolaborasi analgesic
1. Istirahat akan merelaksasi
semua jaringan sehingga
akan meningkatkan
kenyamanan.
2. Akan melancarkan peredaran
darah, dan dapat
mengalihkan perhatian
nyerinya ke hal-hal yang
menyenangkan
3. Menghindari adanya tekanan
intra abdomen
4. Analgesik memblok lintasan
nyeri, sehingga nyeri
berkurang
59
5.Observasi tingkat
nyeri dan respon
motorik klien, 30
menit setelah
pemberian analgesik
untuk mengkaji
efektivitasnya dan
setiap 1-2 jam setelah
tindakan perawatan
selama 1-2 hari.
5. Pengkajian yang optimal
akan memberikan perawat
data yang objektif untuk
mencegah kemungkinan
komplikasi dan melakukan
intervensi yang tepat.
Gangguan
pertukaran
gas yang
berhubunga
n dengan
perubahan
kapasitas
pengangkut
an oksigen
dalam
darah.
Tujuan : pasien
mampu mencapai
status respirasi :
pertukaran gas
yang adekuat
Kriteria
Hasil :Outcomes
- Pasien mampu
mempertahankan
pertukaran gas
yang optimal
yang ditunjukkan
dengan ABG
normal , saturasi
oksigen 90 %
atau lebih
- Tidak ada
penurunan
tingkat kesadaran
yang lebih lanjut
- Pernapasan dan
HR normal
1. Observasi RR, ritme
dan kedalaman
2. Observasi takikardi,
napas pendek,
penggunaan muskulus
assesorius
3. Observasi suara
napas, batuk dan
adanya sputum
1. Pola napas pasien akan
beradaptasi terhadap
perubahan gas. Pernapasan
yang cepat dan danagkal
mungkin akibat dari hipoksia
atau asidosis dengan status
syok. Hipoventilasi
mengindikasikan
dibutuhkannya ventilasi
tambahan
2. Signifikan dalam
peningkatan usaha bernapas
dengan tanda hipoksia dan
peningkatan HR.
Penggunaan muskulus
assesorius meningkatkan
ekskursi dada untuk
memfasilitasi pernapasan
yang efektif.
3. Perubahan suara napas
menunjukan penyebab
gangguan pertukaran gas.
60
bercampur darah.
4. Observasi adanya
perubahan tingkat
kesadaran.
5. Gunakan oksimeter
nadi untuk memonitor
saturasi oksigen,
monitor ABGs.
Intervensi Terapeutik
1. Posisikan pasien pada
posisi fowler tinggi
(apabila hemodinamik
stabil).
2. Ubah posisi pasien
setiap 2 jam, dan
lakukan fisioterapi
dada.
3. Lakukan suction jika
diperlukan.
Hemoptisis merupakan
indikasi adanya perdarahan
pada saluran pernapasan.
4. Tanda awal hipoksia
cerebral adalah gelisah dan
cemas, tanda selanjutnya
adalah agitasi, letargi dan
konfusi.
5. Oksimeter nadi digunakan
sebagai alat untuk
mendeteksi perubahan
saturasi oksigen secara
cepat. Saturasi oksigen
sebaiknya berkisar pada
angka 90 % atau lebih.
1. Posisi duduk memungkinkan
untuk ekskursi diafragma
dan paru secara adekuat, dan
mengoptimalkan ekspansi
paru.
2. Tindakan tersebut
memfasilitasi perpindahan
dan drainage sekresi.
3. Jika pasien tidak mampu
mengeluarkan sekresi secara
mandiri, suction mungkin
diperlukan untuk
meningkatkan kepatenan
jalan napas dan mengurangi
kerja napas.
61
4. Berikan ketenangan
dan hilangkan
kecemasan pasien
dengan berada di
samping pasien
selama episode
distress pernapasan.
5. Berikan oksigen
sesuai terapi.
6. Antisipasi kebutuhan
intubasi dan ventilasi
mekanik.
4. Kecemasan meningkatkan
dispnea, usaha bernapas dan
RR.
5. Untuk menyediakan
sejumlah oksigen perlu
pemasokan secara berlanjut
supaya pasien mampu
mempertahankan saturasi
oksigen 90 % atau lebih.
6. Intubasi yang cepat dan
ventilasi mekanik
direkomendasikan untuk
mencegah dekompensasi
pasien.
Penurunan
curah
jantung
yang
berhubunga
n dengan
perubahan
kontraktilita
s jantung
Tujuan : pasien
mampu mencapai
pompa jantung
yang efektif untuk
memenuhi perfusi
yang adekuat
Kriteria Hasil/
Outcomes :
- Pasien
memelihara
cardiac output
yang adekuat,
ditunjukkan
dengan pulsasi
1. Observasi warna
kulit, temperatur,
kelembapan dan
adanya sianosis.
2. Observasi HR, TD,
dan tekanan nadi.
Gunakan
monitoring
intraarterial sesuai
order.
3. Monitor pulsasi
perifer dan sentral
1. Dingin, pucat merupakan
kompensasi peningkatan
stimulasi sistem saraf
simpatik dan rendahnya
cardiac output.
2. Sinus takikardi dan
peningkatan tekanan darah
arteri terlihat pada tahap
awal untuk mempertahankan
cardiac output. Penurunan
tekanan darah merupakan
kondisi yang memburuk.
3. Pulsasi lemah dengan
penurunan stroke volume
62
perifer kuat
(1)HR 60-100
x/menit dengan
irama regular
- Urin output Urin
output ≥ 30
ml/jam
- Kulit hangat
- Tingkat
kesadaran normal
termasuk capilari
refil.
dan cardiac output. Capilari
refil lambat dan mungkin
tidak ada.
Ketidakefek
tifan pola
napas
berhubunga
n dengan
distensi
abdomen
Tujuan :
Kebutuhan nutrisi
terpenuhi stelah
dilakukan tindakan
keperawatan
selama 5x24 jam.
Kriteria hasil :
- pasien akan :
Mempertahankan
/meningkatkan
berat badan
seperti yang
diindikasikan,
- Bebas edema
- Turgor kulit baik
- Membran
mukosa lembab
- Albuin DBN
1. Kaji frekuensi,
irama, kedalaman
pernafasan
2. Auskultasi bunyi
nafas.
3. Pantau penurunan
bunyi nafas.
4. Pastikan kepatenan
O2 binasal
5. Berikan posisi yang
nyaman : semi
fowler
6. Berikan instruksi
untuk latihan nafas
dalam
7. Catat kemajuan
yang ada pada klien
tentang pernafasan
1. Frekuensi, irama, dan
kedalaman napas yang normal
menunjukkan pola napas yang
efektif.
2. Mendengarkan suara
napas klien normal atau tidak.
3. Penurunan bunyi napas
klien menunjukkan adanya
gangguan pada jalan napas.
4. Memenuhi kebutuhan
oksigenasin klien.
5. Posisi semi fowler
mempermudah udara masuk
sehingga klien dapat bernapas
dengan optimal.
6. Dengan latihan napas
yang rutin, klien dapat
terbiasa untuk napas dalam
yang efektif.
63
7. Sebagai indikator efektif
atau tidakkah intervensi yang
dilakukan perawat pada klien.
Syok
hipovelemik
berhubunga
n dengan
defisit
volume
cairan
Tujuan:
Mempertahankan
tingkat kesadaran
yang baik
Kriteria hasil:
- Menunjukkan
tingkat kesadaran
yang baik
- fungsi kognitif
dan motorik
- mendemonstrasik
an tanda-tanda
vital stabil dan
tidak adanya
tanda-tanda
peningkatan TIK.
1. Pantau tanda-tanda
vital dan
CVP ,perhatikan
adanya / derajat
perubahan tekanan
darah
postural .Observasi
terhadap peningkatan
suhu / demam .
Palpasi nadi perifer.
Perhatikan pengisian
kapiler , warna / suhu
kulit ; kaji status
mental
2. Awasi jumlah dan
tipe masukan
cairan .Ukur , haluran
urin dengan akurat .
3. Timbang berat badan
badan setiap hari dan
bandingkan dengan
keseimbangan cairan
24 jam.
1. Indikator keadekuatan volume
sirkulasi. Hipotensi
ortostatikdapat terjadi dengan
risiko jatuh atau cedera segera
setelah perubahan posisi.
2. Pasien tidak mengkonsumsi
cairan. Oliguria bisa terjadi
dan toksin dalam sirkulasi
mempengaruhi antibiotik.
3. Memberikan informasi
tentang keadekuatan masukan
diet/penentuan kebutuhan
nutrisi.
Risiko
tinggi
aritmia b.d
gangguan
Tujuan:
mengembalikan
pola eliminasi urin
normal.
1. Pantau pengeluaran
urine, catat jumlah
dan warna saat
dimana diuresis
1. Pengeluaran urine mungkin
sedikit dan pekat karena
penurunan perfusi ginjal.
Posisi terlentang membantu
64
konduksi
elektrikal
efek
sekunder
dari
hiperkalemi
Kriteria hasil:
- Klien
menunjukkan
pola pengeluaran
urin yang normal
- klien
menunjukkan
pengetahuan
yang adekuat
tentang eliminasi
urin.
terjadi.
2. Pantau/hitung
keseimbangan
pemaukan dan
pengeluaran selama
24 jam
3. Pertahakan duduk
atau tirah baring
dengan posisi
semifowler selama
fase akut.
4. Pantau TD dan CVP
(bila ada)
5. Kaji bisisng usus.
Catat keluhan
anoreksia, mual,
distensi abdomen dan
konstipasi.
diuresis sehingga pengeluaran
urine dapat ditingkatkan
selama tirah baring.
2. Terapi diuretic dapat
disebabkan oleh kehilangan
cairan tiba-tiba/berlebihan
(hipovolemia) meskipun
edema/asites masih ada.
3. Posisi tersebut meningkatkan
filtrasi ginjal dan menurunkan
produksi ADH sehingga
meningkatkan dieresis
4. Hipertensi dan peningkatan
CVP menunjukkan kelebihan
cairan dan dapat menunjukkan
terjadinya peningkatan
kongesti paru, gagal jantung.
5. Kongesti visceral (terjadi pada
GJK lanjut) dapat
mengganggu fungsi
gaster/intestinal.
3.4 KASUS SEMU
Tn. M, 40 tahun datang ke IRD RSUD dr. Soetomo Surabaya dengan keluhan
sesak, bagian perut semakin membesar, mual, muntah, dan terjadi oliguria, pasien
juga terlihat tampak kurus dan BB semakin menurun. Tekanan darah labil, GCS =
4-5-6. Seminggu sebelum MRS, klien mengeluh nyeri hebat di perut bagian
bawah. Sekitar 1,5 tahun yang lalu Tn. M pernah mengalami kecelakaan dan
pernah rawat inap karena mengalami trauma tumpul pada perutnya.
PENGKAJIAN
65
1. Identitas klien
Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku bangsa, agama,
pendidikan, pekerjaan, alamat tanggal masuk rumahsakit, diagnose medis.
Nama : Tn. M
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 40 Tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Surabaya
Masuk RS : 15 Mei 2014
2. Keluhan utama
Klien mengeluh nyeri di bagian perut bawah
3. Riwayat penyakit saat ini
Klien mengeluh rasa tidak nyaman pada abdomen dan mual muntah. 2
minggu SMRS, klien mengeluh nyeri hebat pada perut bagian bawah saat
melakukan aktivitas berat dan mereda dalam keadaan rileks. Saat dalam
keadaan nyeri, klien meminum analgesik untuk meredakan nyeri yang klien
rasakan. Klien tidak memeriksakan keadaannya tersebut sampai bagian
perutnya membesar disertai nyeri hebat dan sesak.
4. Riwayat penyakit dahulu
Sekitar 1,5 tahun yang lalu, klien pernah kecelakaan dan mengalami trauma
tumpul pada perut. Klien mengaku tidak mempunyai penyakit gastritis,
apendisitis, asma dan mengaku tidak memiliki riwayat alergi.
5. Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada
6. Pengkajian psiko-sosio-spiritual
a. Intrapersonal : Klien merasa cemas
b. Interpersonal : -
7. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada klien dengan compartemen sindrom abdomen
meliputi pemeriksaan fisik umum per system dari observasi keadaan umum,
66
pemeriksaan tanda-tanda vital, B1 (breathing), B2 (Blood), B3 (Brain), B4
(Bladder), B5 (Bowel), dan B6 (Bone).
a. B1 (Breath) : Sesak, nafas tidak teratur
b. B2 (Blood) : Pucat, peningkatan tekanan darah, penurunan nadi
c. B3 (Brain) : Ada perasaan takut. Penampilan yang tidak tenang. Data
psikologis Klien nampak gelisah.
d. B4 (Bladder) : Oliguria
e. B5 (Bowel) : Mual, muntah, nafsu makan menurun. Nyeri tekan pada
abdomen
f. B6 (Bone) : Kelemahan, lelah
ANALISIS DATA
Data Etiologi Masalah
DS : Klien mengeluh nyeri
DO :
P : Nyeri timbul akibat
adanya benturan tumpul pada
abdomen saat kecelakaan
Q : Nyeri yang dirasakan
seperti ditusuk-tusuk
R : Terasa nyeri di bagian
perut bawah
S : Skala nyeri 8 (skala antara
1-10)
T : Nyeri timbul ketika klien
melakukan pergerakan
Trauma tumpul
abdomen
Perdarahan intra abdomen
Hipertensi intra-
abdomen
Nyeri
Nyeri
DS : Klien mengeluh sesak
saat bernafas
DO :
RR meningkat, RR = >20
x/menit
Napas cuping hidung
Tekanan intra-abdomen
meningkat
Relaksasi diafragma
terhambat
Ketidakefektifan
pola nafas
67
Terdapat retraksi dinding
dada Kapasitas residual
fungsional
Suplai O2 menurun
Sesak
Ketidakefektifan pola
nafas
DS : Klien mengeluh lemas
DO : Klien terlihat pucat
Nadi : < 60 x/menit
TD : 90/60 mmHg
RR : < 20 x/menit
Akral : Dingin dan lembab
CRT : > 3 detik
Trauma abdomen
Perdarahan antara
peritonial
Penurunan volume darah
Penurunan arus balik
vena
Penurunan isi sekuncup
Penurunan curah jantung
Penurunan perfusi
jaringan
Penurunan perfusi
jaringan
DS : Klien mengeluh jarang
buang air kecil
DO : Urine output sedikit,
<400 cc/24 jam, urin
Peningkatan tekanan
intra-abdomen
Perubahan pola
eliminasi urin
68
berwarna kuning pekat Tekanan di pembuluh
ginjal
Resistensi vaskular
ginjal
Oliguria
Perubahan pola eliminasi
urin
DS : Klien mengeluh tidak
nafsu makan dan mual
DO :
A :
BB → 55 Kg, sedangkan BB
idealnya 64,8 Kg
TB → 172 cm
LILA→30 cm
B = kenaikan Hb, eritrosit,
leukosit dan limfosit,
Albumin 3,5 gr/dl
C = Klien merasa mual dan
terlihat lemas, membran
mukosa pucat
D = Klien hanya
menghabiskan setengah porsi
ketika makan. Jenis diet
tinggi kalori, tinggi protein
Nyeri
Mual & muntah
Penurunan intake nutrisi
Nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
Nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
69
DS : Klien mengeluh cemas
dengan keadaan penyakit
yang dialaminya
DO :
Insomnia
Gelisah
Klien sering bertanya kepada
petugas kesehatan
Klien tidak mengetahui
tentang penyakitnya
Penatalaksanaa
pembedahan
Pre Operasi
Kurang pengetahuan
Anxietas
Anxietas
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan dengan adanya peningkatan tekanan intra abdomen yang
mengakibatkan iskemik jaringan
2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen yang
mengakibatkan penekanan diafragma (penghambatan relaksasi diafragma)
3. Penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan perdarahan yang
mengakibatkan syok hipovolemik
4. Perubahan pola eliminasi urin berhubungan dengan oliguri
5. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan nafsu makan
menurun akibat adanya mual dan muntah
6. Anxietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan : Potensial komplikasi
GI yang berkenaan dengan adanya penyakit, dan tindakan yang dapat
mencegah kekambuhan
INTERVENSI
1. Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intra abdomen
Tujuan: Nyeri yang dirasakan berkurang atau dapat diadaptasi oleh klien
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
Kriteria hasil:
Klien mengungkapkan nyeri yang dirasakan berkurang atau dapat diadaptasi
Klien tidak merasa kesakitan.
70
Dapat mengidentifikasi aktifitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri,
klien tampak rileks (TD = 120/80 mmHg, N = 80 x/menit, RR = 15 x/menit)
Intervensi Rasional
1. Berikan kesempatan waktu istirahat bila
terasa nyeri dan berikan posisi yang
nyaman.
2. Mengajarkan tehnik relaksasi dan
metode distraksi
3. Beritahu pasien untuk menghindari
mengejan, meregang, batuk, dan
mengangkat benda yang berat. Ajarkan
pasien untuk menekan insisi dengan
tangan atau bantal selama episode batuk;
ini khususnya penting selama periode
pascaoperasi awal dan selama 6 minggu
setelah pembedahan.
4. Kolaborasi analgesik
a. Kolaborasi pembedahan, seperti
Laporotomi dekompresi
b. Observasi tingkat nyeri dan respon
motorik klien, 30 menit setelah
pemberian analgesik untuk mengkaji
efektivitasnya dan setiap 1-2 jam
setelah tindakan perawatan selama 1-2
hari.
1. Istirahat akan merelaksasi semua
jaringan sehingga akan meningkatkan
kenyamanan.
2. Akan melancarkan peredaran darah,
dan dapat mengalihkan perhatian
nyerinya ke hal-hal yang
menyenangkan
3. Menghindari adanya tekanan intra
abdomen
4. Analgesik memblok lintasan nyeri,
sehingga nyeri berkurang
a. Merupakan gold standard dalam
penanganan pasien dengan AC
b. Pengkajian yang optimal akan
memberikan perawat data yang
objektif untuk mencegah
kemungkinan komplikasi dan
melakukan intervensi yang tepat.
2. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan distensi abdomen
Tujuan : Dalam waktu 3x 24 jam tidak terjadi perubahan pola napas. Klien dapat
bernapas normal.
71
Kriteria hasil : Klien tidak sesak napas, RR dalam batas normal 16- 20x/
menit, ekspansi dada normal
Intervensi Rasional
1. Kaji frekuensi, irama, kedalaman
pernafasan
2. Auskultasi bunyi nafas
3. Pantau penurunan bunyi nafas
4. Pastikan kepatenan O2 binasal
5. Berikan posisi yang nyaman :
semi fowler
6. Berikan instruksi untuk latihan
nafas dalam
7. Catat kemajuan yang ada pada
klien tentang pernafasan
1. Frekuensi, irama, dan kedalaman
napas yang normal menunjukkan
pola napas yang efektif
2. Mendengarkan suara napas klien
normal atau tidak
3. Penurunan bunyi napas klien
menunjukkan adanya gangguan pada
jalan napas.
4. Memenuhi kebutuhan oksigenasi
klien
5. Posisi semi fowler mempermudah
udara masuk sehingga klien dapat
bernapas dengan optimal.
6. Dengan latihan napas yang rutin,
klien dapat terbiasa untuk napas
dalam yang efektif.
7. Sebagai indikator efektif atau
tidakkah intervensi yang dilakukan
perawat pada klien.
3. Penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan perdarahan
Tujuan : Perfusi jaringan membaik ditandai dengan tanda-tanda vital stabil
Kriteria hasil :
- Terpeliharanya dan meningkatnya tingkat kesadaran
- Menampakkan stabilitas tanda vital
- Peran pasien menampakkan tidak adanya kemunduran / kekambuhan
Intervensi Rasional
1. Monitor dan catat status neurologis
secara teratur
1. Mematau keadaan klien yang
berhubungan dengan sarafnya
72
2. Evaluasi pupil (ukuran bentuk
kesamaan dan reaksi terhadap
cahaya)
3. Monitor tanda – tanda vital
4. Bantu untuk mengubah pandangan,
misalnya pandangan kabur,
perubahan lapang pandang /
persepsi lapang pandang
5. Bantu meningkatkan fungsi,
termasuk bicara jika pasien
mengalami gangguan fungsi
6. Pertahankan tirah baring, sediakan
lingkungan yang tenang, atur
kunjungan sesuai indikasi
7. Kepala dielevasikan perlahan lahan
pada posisi netral
8. Berikan suplemen oksigen sesuai
indikasi
2. Mengetahui fungsi pupil masih
normal atau tidak
3. Memantau keadaan klien melalui
TTV
4. Membantu klien memperjelas
penglihatannya untuk kenyamanan
klien
5. Dengan bicara normal, klien bisa
berkomonikasi dengan baik
6. Memberi kesempatan klien untuk
istirahat total agar staminanya bisa
pulih
7. Dengan posisi elevasi, klien bisa
bernapas dengan mudah dan
mencegah pusing
8. Memenuhi kebutuhan oksigen klien
agar klien dapat bernapas dengan
normal
4. Perubahan pola eliminasi urin berhubungan dengan oliguri
Tujuan : Mengembalikan pola eliminasi urin normal.
Kriteria hasil : Klien menunjukkan pola pengeluaran urin yang normal, klien
menunjukkan pengetahuan yang adekuat tentang eliminasi urin.
Intervensi Rasional
1. Pantau pengeluaran urine, catat
jumlah dan warna saat dimana diuresis
terjadi.
1. Pengeluaran urine mungkin sedikit dan
pekat karena penurunan perfusi ginjal.
Posisi terlentang membantu diuresis
sehingga pengeluaran urine dapat
73
2. Pantau/hitung keseimbangan
pemasukan dan pengeluaran selama 24
jam
3. Pertahakan duduk atau tirah baring
dengan posisi semifowler selama fase
akut.
4. Pantau TD dan CVP (bila ada)
5. Kaji bisisng usus. Catat keluhan
anoreksia, mual, distensi abdomen dan
konstipasi.
ditingkatkan selama tirah baring.
2. Terapi diuretic dapat disebabkan oleh
kehilangan cairan tiba-tiba/berlebihan
(hipovolemia) meskipun edema/asites
masih ada.
3. Posisi tersebut meningkatkan filtrasi ginjal
dan menurunkan produksi ADH sehingga
meningkatkan dieresis
4. Hipertensi dan peningkatan CVP
menunjukkan kelebihan cairan dan dapat
menunjukkan terjadinya peningkatan
kongesti paru, gagal jantung
5. Kongesti visceral (terjadi pada GJK lanjut)
dapat mengganggu fungsi gaster/intestinal.
5. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan nafsu makan
manurun akibat adanya mual dan muntah
Tujuan: Kebutuhan nutr isi klien dapat terpenuhi dengan adekuat
Kriteria hasil :
- Antropometri: berat badan tidak turun (stabil), tinggi badan, lingkar lengan
- Biokimia: albumin normal dewasa (3,5-5,0) g/dl
Hb normal (laki-laki 13,5-18 g/dl, perempuan 12-16 g/dl)
- Klinis: tidak tampak kurus, terdapat lipatan lemak, rambut tidak jarang dan
merah
- Diet: klien menghabiskan porsi makannya dan nafsu makan bertambah
Intervensi Rasional
1. Kaji pemenuhan kebutuhan nutrisi klien
2. Jelaskan pentingnya makanan bagi proses
penyembuhan.
1. Mengetahui kekurangan nutrisi klien.
2. Dengan pengetahuan yang baik tentang
nutrisi akan memotivasi untuk
74
3. Mencatat intake dan output makanan klien
4. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
membantu memilih makanan yang dapat
memenuhi kebutuhan gizi selama sakit
5. Manganjurkan makan sedikit- sedikit tapi
sering.
meningkatkan pemenuhan nutrisi.
3. Mengetahui perkembangan pemenuhan
nutrisi klien.
4. Ahli gizi adalah spesialisasi dalam ilmu
gizi yang membantu klien memilih
makanan sesuai dengan keadaan sakitnya,
usia, tinggi, berat badannya.
5. Dengan sedikit tapi sering mengurangi
penekanan yang berlebihan pada lambung.
6. Anxietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan : Potensial komplikasi
GI yang berkenaan dengan adanya penyakit, dan tindakan yang dapat
mencegah kekambuhan
Tujuan : Klien memiliki pengetahuan untuk menjaga kesehatannya
Kriteria hasil : Klien bisa menjaga agar peningkatan intra abdomen tidak
terjadi.
Intervensi Rasional
1. Ajarkan pasien untuk waspada dan
melaporkan nyeri berat, menetap ; mual
dan muntah ; demam ; dan distensi
abdomen, yang dapat memperberat awitan
inkarserasi atau strangulasi usus.
2. Dorong pasien untuk mengikuti regimen
pengobatan : penggunaan dekker atau
penyokong lainnya dan menghindari
mengejan, meregang, konstipasi,
mengangkat benda yang berat.
3. Anjurkan pasien untuk mengkonsumsi diet
tinggi residu atau menggunakan suplemen
diet serat untuk mencegah konstipasi.
Anjurkan masukan cairan sedikitnya 2 – 3
1. Nyeri dapat segera diatasi, sehingga
komplikasi tidak terjadi.
2. Menghindari adanya peningkatan tekanan
intra abdomen
3. Saluran pencernaan menjadi lancar dan
tidak ada konstipasi sehinggan mengejan
tidak dilakukan.
75
L/hari untuk meningkatkan konsistensi
feses lunak.
4. Beritahu pasien mekanika tubuh yang
tepat untuk bergerak dan mengangkat,
yaitu jangan terlalu melakukan banyak
kegiatan dan jangan mengangkat beban
yang terlalu berat
4. Mengangkat beban yang terlalu berat akan
menyebabkan meningkatnya tekanan intra
abdomen.
BAB 4
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Sindrom kompartemen abdomen adalah keadaan dimana terjadi
peningkatan tekanan di dalam suatu rongga anatomis tubuh yang
mempengaruhi sirkulasi dan mengancam fungsi dan kelangsungan hidup
jaringan di sekitarnya.
Sindrom kompartemen abdomen dapat berdampak pada disfungsi ginjal,
paru, cardiovaskuler, system saraf pusat, spalnik, hepar. Serta dapat
menimbulkan komplikasi nekrosis pada syaraf dan otot dalam kompartemen,
kontraktur volkman, trauma vascular, Gagal ginjal akut, sepsis dan Acute
respiratory distress syndrome (ARDS). Jika penanganannya tidak dilakukan
dengan segera, maka angka kematian pada syndrome kompartemen abdomen
sangat tinggi.
4.2SARAN
Sebaiknya perawat harus mempunyai pengetahuan mengenai
kompartemen syndrome abdomen serta ketrampilan untuk melakukan
penceghan maupun penatalaksanaan terhadap penyakit tersebut karena
diketahui bahwa kompartemen syndrome abdomen ini merupakan suatu
kegawatan dan dapat menimbulkan berbagai komplikasi.
76
Maka dari itu dibutuhkan asuhan keperawatan yang komperhensif agar
dapat mempercepat proses penyembuhan dan mengatasi masalah yang
dihadapi pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Bedah Unmuh. 2010. Repair Burst Abdomen. Diakses tanggal 6 Mei 2014 pukul 19.55 WIB dari http://bedahunmuh.wordpress.com/2010/05/09/repair-burst-abdomen/
Chandra, Ade. 2010. Anatomi dan Fisisologi. Diakses tanggal 23 Mei 2014 pukul 08.$5 WIB dari http://www.docstoc.com/docs/57185145/BAB-II
Cook, John et all. 1995. Penatalaksanaan Bedah Umum Di Rumah Sakit. Jakarta : ECG
Doenges, Marilynn E. 2001. Rencana Asuhan Keperawatan : pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta : EGC
Hidajat, Nucki. 2006. Pencegahan Infeksi Luka Operasi. Bandung : FK-UNPAD/Bag. Orthopaedi & Traumatologi RS. Hasan Sadikin
IPDS BU. 2012. Penatalaksanaan Burst Abdomen. Malang : FKUB. Diakses tanggal 6 Mei 2014 pukul 19.45 WIB dari http://bedahmalang.com/tulisan-ilmiah/61-penatalaksanaan-burst-abdomen.html
Lotfy, Wael. 2009. Burst Abdomen: Is It A Preventable Complication. Egyptian Journal of Surgery Vol 28, No 3, July. Diakses tanggal 28 April pukul 16.30 WIB dari http://www.ess-eg.org/pages/journal/allpdf/339.pdf
Marshall (2009), AACN Advanced Critical Care Nursing. Canada : Saunder
Elsevier
Mathur S. K. 2013. Burst abdomen. A preventable complication, monolayer closure of the abdominal incision with monofilament nylon. J Postgrad Med 1983;29:223. Diakses tanggal 7 Mei 2014 pukul 20.15 WIB dari http://www.jpgmonline.com/text.asp?1983/29/4/223/5514
77
Mohammed T. 2013. Abdominal Wound Dehiscence. Diakses tanggal 6 Mei 2014 pukul 20.21 WIB dari http://web.up.ac.za/sitefiles/file/45/1335/4101/ Tuesday%20Academic%20Meetings/T%20Mohammed%20Abdominal%20Wound%20Dehiscence%20in%20Adults.pdf
Morison, Moya.2004. Seri Pedoman Praktis Manajemen Luka.Jakarta : EGC
Na. Stassen et. all (2002). Abdominal Compartemen Syndrom. Scandinavian
Journal of Surgery
Papavramedis et. All (2011). Abdominal compartment syndrome – Intra-
abdominal hypertension: Defining, diagnosing, and managing. J Emerg
Trauma Shock. 2014 Apr-Jun;4:PMC
Irga. 2008. Sindroma Kompartemen. Diakses 20 Maret 2014.
http://www.passangereng.blogspot.com
Paulo et. all (2013), Abdominal Compartemen Syndrom. diakses dari
www.emedicine.com/ 829008 tanggal 20 Maret 2014 jam : 17.38
Parmar et all. 2008. Burst Abdomen – a Grave Postoperative Complication. The Internet Journal of Surgery Volume 20 Number 1. diakses tanggal 7 Mei 2014 pukul 20.00 WIB dari http://ispub.com/IJS/20/1/3123
Pleva, J, M. Mayzlík, J. 2004. Abdominal Compartment Syndrome inPolytrauma. In: Biomed. Papers 148(1), 81±84 (2004). Available athttp://publib.upol.cz/~obd/fulltext/Biomed/2004/1/81.pdf
Ramshorst et all. 2010. Terapi alternatif untuk burst abdomen. Diakses 23 Mei 2014 pukul 08.00 WIB dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20437354
Saha, Kumar S. 2011. Clinical Practice and Surgery of the Colon, Rectum and Anus. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publisher (P). LTD
Sugrue (2005). Abdominal Compartemen Syndrom Current Opinion Surgery in
Critical Care. Australia : Lipincot Williams and Wilkins
Taylor, C.2010. Diagnosis Keperawatan Dengan Rencana Asuhan. Jakarta : EGC.
Zinner, M et all. 2007. Maingot’S Abdominal operation 11 ed . USA: McGraw-Hill Companies
78
79
80
Faktor pre-op
Protein dlm darah ↓↓
batukanemia
Faktor jenis sayatan
Tekanan intra
abdomen ↑↑
Memutus aponeurosisKekuatan luka hilang
Proses penyembuhan
tertunda
Hb & protein
<<
Operasi keadaan darurat
Kekuatan luka <<
Sayatan perut bag.atas
Pergerakan dada terbatas
Persiapan << (pemeriksaan penunjang)
Infeksi luka
Tdk ada penanganan infeksi pre-op
Serat elastik kulit berbentuk melintang
Dipotong oleh sayatan
vertikal
Merokok >>
Ggn.perna-fasan (batuk)
Usia lanjut
Mencegah penyembuhan luka
Laki-laki >> resiko
WOC
Ggn. pernafasan
Tekanan intra abdomen ↑↑
Faktor post-op
batuk
Repair
Kuman masuk melalui
pembuluh darah
abdomen
Robekan pd area post-op
Nafsu makan ↓↓
Resiko infeksiResiko infeksi
BURST ABDOMENBURST ABDOMEN
Ketegangan yg kuat pd
luka
Infeksi luka,
nutrisi <<, batuk, dll.
Distensi abdomen, muntah
Sering batuk, kurang
vitamin, anemia, dll.
Ketidak-seimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan
Ketidak-seimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan
Ggn.rasa nyaman : nyeri
Ggn.rasa nyaman : nyeri
Adanya luka bekas jahitan
Kerusakan integritas
kulit
Kerusakan integritas
kulit
Pengeluar-an isi perut
Jaringan rusak &
peningkatan terhadap pajanan
Asupan nutrisi << takut
Terputus pembuluh darah di sekitarnya Perdarahan >>Perdarahan >> anemia kelemahan
Intoleransi aktivitas
Intoleransi aktivitas
Infeksi ke usus
Infeksi ke rongga peritoneum
Krisis situasional AnsietasAnsietas
Tdk tahu proses penyakit Kurang
pengetahuanKurang
pengetahuan
Peritonitis abdomenPeritonitis abdomen
nekrosis
Prosedur invasif
Ada luka bekas insisi
pembedahan
Ggn.citra tubuh
Ggn.citra tubuh
Kebocoran usus
Kebocoran usus
Memung-kinkan terkena pajanan
81
WOC
Gangguan perfusi
jaringan serebral
Gangguan perfusi
jaringan serebral
Nekrosis jaringan
lokal
iskemia
Suplay Oksigen ke otak
↓↓
Hipoksia jaringan
Hipoksia, hiperkapnia
Gangguan pertukaran
gas
Gangguan pertukaran
gas
Gangguan pemenuhan
nutrisi kurang dari kebutuhan
Gangguan pemenuhan
nutrisi kurang dari kebutuhan
Nafsu makan turun
Ketidakefektifan pola nafas
Ketidakefektifan pola nafas
Sesak, RR ↑↑
Tekanan dalam kompartemen ↑↑
Kebocoran ke dalam
kompartemen
Gangguan kardiovaskuler
Penekanan saraf perifer disekitarnya
Perubahan kontraktilitas jantung
Penurunan curah jantungPenurunan curah jantung
Filtrasi glomerulus ↓↓ dan kompresi
vena ginjal
Disfungsi ginjal
Gangguan pola eliminasi urine
Gangguan pola eliminasi urine
Oliguria, anuria
Syok Hipovolemik
Syok Hipovolemik
Relaksasi diafragma terhambat
Distensi abdomen
Tekanan oksigen alveolus ↓↓ dan
tekanan intra thorak ↑↑
Penekanan diafragma
Gangguan pada paru
Mual, muntah
Disfungsi organ paru
Penyebab primer/akut :Perdarahan intraperitonealTrauma tumpul heparIleusDilatasi gaster akutAbsesAscites, Pancreatitis, dll
Penyebab sekunder :Luka bakarTrauma non abdomen
signifikan
Penyebab kronik :ObesitasAscitesKehamilanTumor abdomen besarDialysis peritoneal
Tekanan intra abdomen ↑↑
Gangguan disfungsi organ
Tekanan jaringan ↑↑
melibatkan hemostasis jaringan lokal
KOMPARTEMEN SYNDROME ABDOMENKOMPARTEMEN SYNDROME ABDOMEN
Darah yg masuk kapiler ↓↓
Obstruksi vena
Perasaan tidak enak di perut
Resistensi vaskuler
darah ke ginjal
Gangguan ginjal
Gangguan rasa nyaman : nyeri
Gangguan rasa nyaman : nyeri