LEMAHNYA INTERNALISASI NILAI-NILAI DALAM KELUARGA
(ANALISA TERHADAP MENINGKATNYA ANGKA BUNUH DIRI PADA
MASYARAKAT INDONESIA)
Baiq Lily Handayani, S.Sos, M.Sosio
ABSTRACT
Bunuh diri adalah sebuah fenomena yang sangat marak pada masyarakat Indonesia akhir-akhir ini. Seolah-olah ini merupakan sebuah cara yang paling jitu dalam menyelesaikan sebuah masalah. Tingginya tingkat beban hidup menyebabkan semakin meningkatnya perilaku ini. Upaya menangani berbagai persoalan hidup tergantung pada bagaimana sudut pandang individu itu. Sudut pandang tersebut dipengaruhi oleh berbagai macam hal, diantaranya karakter kepribadian, kematangan emosional, keluarga, media massa, lingkungan pergaulan, kondisi sosial politik dan budaya yang ada pada masyarakatnya. Individu terutama anak-anak sering merasa tidak aman dan tidak berharga, oleh karena itu sebuah lembaga yang sangat berperan penting dalam memberikan rasa aman dan rasa berharga itu adalah keluarga. Fungsi proteksi dan afeksi, selain fungsi sosialisasi (internalisasi nilai-nilai) adalah fungsi yang sangat penting bagi pembentukan kepribadian seorang anak, untuk kesiapannya dalam menghadapi dunia sosialnya.
Key Word: Bunuh diri, keluarga, fungsi proteksi, fungsi afeksi, fungsi sosialisasi, internalisasi
Suicide is a very widespread phenomenon in Indonesian society lately. As if this is a most effective way to solve a problem. The high level of burden caused the increasing of this behavior. Efforts to deal with various issues of life depends on how the individual perspective. Perspective is influenced by a variety of things, including personality traits, emotional maturity, family, media, environment, culture, political and social conditions existing culture in society. Individuals especially children often feel insecure and worthless, because it's an institution that is very important in providing a sense of security and sense of worth that is the family. The function of protection and affection, in addition to the socialization function (internalization of values) is a very important function for the formation of a child's personality, for readiness in facing the social world.
Key Word: suicide, family, protection function, affective functions, the function of socialization, internalization
1. Latar belakang
Akhir-akhir ini angka bunuh diri pada masyarakat Indonesia semakin meningkat. Hal itu terlihat
dari adanya peningkatan dari segi jumlah (angka) orang yang meninggal karena bunuh diri
(comite suicide), maupun pada jumlah orang yang melakukan upaya percobaan bunuh diri
(attemp suicide). Menurut Dosen Kesehatan Mental Universitas Trisakti Ahmad Prayitno
mengatakan, sebanyak 50 ribu orang Indonesia bunuh diri tiap tahunnya. Jumlah itu sama
dengan jumlah penduduk yang meninggal akibat overdosis psikotropika dan zat terlarang.
Indonesia berada di angka rata-rata bunuh diri dunia yang hanya 15, 1 dari total penduduk.
Angka bunuh diri terparah di China dengan angka lebih dari 250 ribu penduduknya bunuh diri
setiap tahun. Sedangkan Jepang yang dijuluki bangsa bunuh diri lebih dari 30 ribu penduduknya
bunuh diri setiap tahun. Saat ini beberapa negara mempunyai angka bunuh diri yang cukup
tinggi, seperti Lithuania (45,6 orang dari tiap 100 ribu penduduk) dan Rusia (41,6 dari 100 ribu
penduduk).
Jika dihitung secara global, ada 1 juta orang di dunia yang bunuh diri setiap tahun. Itu berarti ada
1 orang setiap 40 detik yang bunuh diri. Bunuh diri merupakan satu dari tiga penyebab kematian
tertinggi pada 15-34 tahun. Percobaan bunuh diri mencapai 20-50 juta orang pertahunnya.
Berdasarkan data dari Direktur World Health Organization (WHO) Bidang Kesehatan Mental
dan Kekerasan, Benedetto Saraceno pada 2005, jumlah rata-rata penduduk Indonesia yang
meninggal akibat bunuh diri mencapai 24 orang dari 100 ribu penduduk. Jumlah itu lebih besar
daripada jumlah yang terdata di kamar jenazah.
Sementara pada lima tahun terakhir, berdasarkan data yang diluncurkan forensik FKUI/RSCM
2004 terdapat 771 orang laki-laki bunuh diri dan 348 perempuan bunuh diri. Dari jumlah
tersebut, 41 persen melakukan bunuh diri dengan cara gantung diri, dengan menggunakan
insektisida 23 persen, dan overdosis mencapai 356 orang.
Pada tahun 2005, tingkat bunuh diri di Indonesia dinilai masih cukup tinggi. Berdasarkan data
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2005, sedikitnya 50.000 orang Indonesia melakukan
tindak bunuh diri tiap tahunnya. Dengan demikian, diperkirakan 1.500 orang Indonesia
melakukan bunuh diri per harinya.
Sementara untuk tahun 2007, terdapat 12 korban bunuh diri karena terimpit persoalan ekonomi,
delapan kasus lainnya akibat penyakit yang tak kunjung sembuh lantaran tidak punya uang untuk
berobat, dan dua kasus akibat persoalan moral yakni satu orang lantaran putus cinta, dan seorang
akibat depresi. Lalu pada 2008, berdasarkan data sejak awal 2008 hingga bulan April sudah ada
11 kasus bunuh diri yang terjadi di Kabupaten Banyumas atau rata-rata tiap bulannya hampir tiga
kasus.
Sementara berdasarkan data dari Sumber Wahana Komunikasi Lintas Spesialis menunjukkan, di
Indonesia tidak ada data nasional secara spesifikasi tentang bunuh diri. Namun laporan di Jakarta
menyebutkan sekitar 1,2 per 100.000 penduduk dan kejadian bunuh diri tertinggi di Indonesia
adalah Gunung Kidul, Yogyakarta mencapai 9 kasus per 100.000 penduduk.
Adapun kejadian bunuh diri tertinggi berada pada kelompok usia remaja dan dewasa muda (15 –
24 tahun), untuk jenis kelamin, laki laki melakukan bunuh diri (comite suicide) empat kali lebih
banyak dari perempuan. Namun, perempuan melakukan percobaan bunuh diri (attemp suicide)
empat kali lebih banyak dari laki laki.
Semakin tingginya kecenderungan bunuh diri tersebut menimbulkan suatu pertanyaan besar.
Khususnya berkaitan dengan bunuh diri yang dilakukan oleh anak-anak dengan alasan yang
sangat sederhana. Oleh karena itu, menarik sekali untuk mempelajari dan menganalisa kasus-
kasus bunuh diri tersebut. Mengapa hal itu bisa terjadi pada masyarakat Indonesia yang mana
ikatan sosialnya masih sangat tinggi? Mengapa hal itu seolah menjadi trend akhir-akhir ini? Ada
apa dengan nilai-nilai dan tatanan sosial masyarakat kita?. Terdapat sebuah hipotesa atau asumsi
yang ingin dikaji oleh penulis yaitu apakah terdapat sebuah kaitan antara internalisasi nilai-nilai
dalam keluarga terhadap kecenderungan bunuh diri. Hal itu dikarenakan banyak orang yang
melakukan upaya bunuh diri, diawali dengan adanya stress yang cukup tinggi. Dimana stress
tersebut berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam mengelola emosi. Pola-pola dalam
manajemen emosi dan sikap perilaku banyak dibentuk oleh keluarga. Pewarisan nilai-nilai dan
pembentukan kepribadian sebagian dilakukan dalam lingkup keluarga. Sehingga sangat menarik
sekali untuk mengkaji masalah tersebut.
2. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka terdapat beberapa rumusan masalah yang dapat diajukan
untuk menganalisa kasus-kasus bunuh diri tersebut. Berikut beberapa rumusan masalah yang
harus dijawab dalam tulisan ini:
a. Apakah yang menyebabkan seseorang melakukan percobaan bunuh diri (attemp
suicide) dan atau melakukan bunuh diri (comite suicide)?
b. Bagaimanakah peran dan fungsi pranata sosial dalam menginternalisasi nilai-nilai ke
dalam diri individu-individu?
c. Mengapa Indonesia termasuk negara yang menduduki peringkat yang tinggi dalam
hal bunuh diri?
3. Manfaat penulisan
Manfaat yang diharapkan dari penulisan ini adalah:
1. Diharapkan dapat menjadi referensi wacana ke depan dalam menganalisa fenomena-
fenomena bunuh diri di masyarakat.
2. Diharapkan hasil dari tulisan ini dapat memberikan masukan dalam mengatasi problem-
problem sosial khususnya masalah bunuh diri di masyarakat.
4. Pokok kajian
Pokok kajian dalam tulisan ini adalah memfokuskan pada pendataan tentang faktor-faktor atau
motif-motif yang menyebabkan seseorang melakukan bunuh diri. Hal ini sangat penting untuk
menganalisa akar masalah dari kasus-kasus bunuh diri yang terjadi. Selanjutnya setelah diketahui
akar masalahnya, maka kajiannya akan difokuskan pada pokok permasalahan yang dihadapi.
Dalam hal ini akan dilihat yang lebih cenderung, hal itu untuk memudahkan penulis dalam
menganalisa dan memetakan solusi-solusi.
5. Kerangka analisis
Kerangka analisis dalam penulisan ini menggunakan penafsiran dan pemahaman (interpretative
understanding) atau terminologi Weber dikenal dengan istilah verstehen. Dengan metode ini
peneliti berusaha untuk menginterpretasikan tindakan aktor. Hal itu dapat dilakukan dengan
kesungguhan, dengan mencoba menyelami dan mengenangkan pengalaman si aktor. Peneliti
berusaha menempatkan diri (berempati) dalam posisi si aktor serta mencoba memahami barang
sesuatu yang difahami oleh aktor.
6. Kerangka teori
Dalam penulisan ini penulis melakukan analisa dengan menggunakan beberapa teori yang
dianggap sesuai dengan subyek analisa. Untuk menganalisa tindakan aktor bunuh diri, penulis
menggunakan teori fenomenologi sedangkan untuk menganalisa peran dan fungsi pranata sosial
dalam menginternalisasi nilai-nilai ke dalam individu-individu peneliti menggunakan teori
sosialisasi dari G. Herbert Mead dan teori ekstrenalisasi, objektifikasi dan internalisasi dari Peter
L. Berger dan Luckman.
Menurut penulis teori-teori tersebut dapat digunakan untuk membongkar motif-motif individu
dalam mengambil keputusan, dalam hal ini motif-motif individu dalam melakukan upaya bunuh
diri. Sungguh sangat penting untuk menemukan teori yang mampu menjelaskan bagaimana
fenomena-fenomena tersebut terjadi. Dengan teori fenomenologi ini akan diungkap bagaimana
kehidupan dan karakter itu terbentuk.
Selanjutnya dengan teori sosialisasi akan diketahui bagaimana proses pembentukan nilai-nilai
dalam masyarakat. Khususnya proses sosialisasi nilai-nilai dari pranata-pranata yang ada dalam
masyarakat. Sehingga diketahui penyebab terjadinya disfungsi dalam masyarakat. Dalam hal ini
bunuh diri dianggap sebagai disfungsi atau penyimpangan.
7. Hal-hal yang menyebabkan seseorang melakukan bunuh diri
Bunuh diri merupakan keputusan seseorang untuk menghabisi nyawanya atau mengakhiri
hidupnya, dengan suatu alasan yang biasanya seringkali tidak terungkap. Fenomena bunuh diri
tampaknya semakin sering terjadi akhir-akhir ini. Ada anak SD yang bunuh diri hanya gara-gara
seragam pramukanya masih basah dan ada juga karena orang tuanya tidak membayarkan uang
untuk rekreasi. Seorang anak TK yang menghabisi nyawanya karena habis dimarahi orang
tuanya, atau seorang siswi yang karena malu diejek teman-temannya sebagai anak tukang bubur,
nekat mengakhiri hidupnya.
Belum lagi ada begitu banyak orang yang karena kesulitan ekonomi, diceraikan pasangan,
mengambil suatu keputusan yang fatal, dengan mengakhiri hidupnya. Diantara semua tragedi
tersebut, salah satu peristiwa yang cukup menggemparkan baru-baru ini adalah adanya tindakan
bunuh diri yang dilakukan oleh seorang ibu, namun kepergiannya ke alam baka “turut mengajak
serta” keempat anaknya yang masih belia dengan cara meracuni mereka.
Ada lagi seorang ibu yang nekat membunuh anaknya yang masih bayi lalu menceburkannya ke
dalam sumur, setelah itu dia menggorok lehernya sendiri dengan maksud agar bisa ikut mati.
Belum lagi akhir-akhir ini, banyak yang melakukan upaya bunuh diri dengan menjatuhkan diri
dari atas gedung bertingkat. Mall menjadi tempat favorit yang dipilih oleh para pelaku bunuh diri
tersebut.
Di Kediri Jawa Timur, pada akhir tahun 2007, warga dikejutkan oleh meninggalnya seorang
pensiunan guru agama. Dia ditemukan tewas di sebuah gubuk di tengah sawah. Setelah diteliti
penyebab dia nekat melakukan bunuh diri, ternyata karena putus asa tidak terpilih sebagai
Kepala Desa dalam Pilkades di desanya.
Seorang calon bupati di sebuah daerah di Jawa Timur, berperilaku aneh setelah dia tidak terpilih
oleh rakyat sebagai seorang bupati. Dia berulangkali melakukan upaya bunuh diri dengan
berbagai macam cara, mulai dari menyilet urat nadinya, menceburkan diri ke sungai, sampai
dengan cara menggantung diri. Keputusan untuk bunuh diri dia lakukan karena merasa telah
menghabiskan cukup banyak biaya untuk mencalonkan diri sebagai calon bupati, dan juga dia
menyisakan banyak hutang. Namun ternyata dia tidak terpilih sebagai bupati.
Salah satu hal yang menarik dari kasus-kasus bunuh diri adalah, mengapa mereka nekat
mengambil “keputusan kekal” terhadap “masalah yang sementara” (a permanent solution to a
temporary problem)?
Berdasarkan beberapa kasus-kasus bunuh diri yang terjadi beberapa tahun belakangan ini, dapat
disimpulkan beberapa penyebab atau motif-motif seseorang melakukan upaya bunuh diri. Untuk
lebih memudahkan dalam menganalisa, maka penulis membedakan penyebab bunuh diri pada
anak sampai dengan remaja, dengan penyebab bunuh diri pada orang dewasa sampai dengan
orang tua. Walaupun pada dasarnya sebenarnya hampir sama namun, ada tataran yang lebih luas
dan kompleks yang terjadi pada orang dewasa.
Upaya bunuh diri yang dilakukan oleh orang dewasa biasanya permasalahannya lebih kompleks.
Hal itu dikarenakan oleh interaksi yang dilakukan oleh orang dewasa jauh lebih luas, dan lebih
banyak kepentingan-kepentingan yang ikut serta didalamnya. Berikut beberapa penyebab bunuh
diri pada orang dewasa sampai dengan orang tua:
1) Traumatis-individu.
2) Gangguan suasana hati atau mood disorders dengan berbagai variasinya.
3) Gangguan-gangguan mental
4) Kurangnya dukungan sosial
5) Kehilangan pekerjaan,
6) Pengusuran
7) Perceraian
8) Penyakit yang tak kunjung sembuh
9) Masalah pergaulan
10) Kemiskinan
11) Huru-hara
12) Konflik berat pengungsi
13) Kondisi ekonomi yang tidak menentu
14) Kondisi politik yang tidak menentu
15) Bencana alam
16) Pengangguran
17) Mahalnya biaya hidup,
18) Lingkungan psikososial yang parah,
19) Pengaruh tayangan televisi,
20) Kesenjangan yang begitu besar,
21) Pekerja migran
22) Ketidakmampuan mengelola emosi, gampang putus asa dan tidak berlapang dada dalam
menerima sebuah masalah.
23) dan pasien gangguan mental tidak tertangani secara optimal mudah memicu gangguan
jiwa.
Berbagai macam penyebab tersebut di atas dapat menyebabkan tekanan psikis, yang
menimbulkan trauma, rasa tak berdaya, rasa marah, putus asa atas berbagai macam hal yang
dihadapi. Seorang yang sudah tua dan sakit-sakitan, sedangkan disatu sisi dia tidak mampu
bekerja lagi atau tidak mempunyai penghasilan, akan mengalami beban mental. Karena dia
merasa menjadi beban bagi keluarga. Hal itu sering ditemui di daerah Gunung Kidul Jogjakarta,
banyak laki-laki yang sudah tidak mampu bekerja lagi dan juga sering sakit-sakitan melakukan
bunuh diri. Beratnya beban hidup, medan yang mereka hadapi semakin menambah beban
mereka.
Disebutkan pula bahwa bunuh diri sebagian besar dilakukan oleh laki-laki dengan alasan utama
kesulitan ekonomi. Seperti yang terjadi di AS dan Eropa ketika dilanda The Great Depression
tahu 1930-an. Ketika itu banyak terjadi kasus bunuh diri dikalangan para suami karena mereka
merasa tidak mampu lagi mencarikan nafkah bagi keluarga. Pada waktu itu harga-harga barang
turun drastis tetapi sebagian besar rakyat takmampu membeli karena tidak punya penghasilan
akibat tidak punya pekerjaan.
Sedangkan penyebab bunuh diri pada anak-anak sampai dengan remaja lebih banyak disebabkan
oleh:
a) Traumatis-individu.
b) Gangguan suasana hati atau mood disorders dengan berbagai variasinya.
c) Gangguan-gangguan mental
d) Kurangnya dukungan sosial
e) Penyakit yang tak kunjung sembuh
f) Masalah pergaulan
g) Biaya sekolah
h) Masalah orangtua (broken home)
i) Kekerasan dalam keluarga
j) Dipermalukan teman di sekolah dan tempat bermain (bullying, pelecehan)
k) Masalah ekonomi keluarga
l) Diabaikan oleh keluarga dan teman
m) Putus hubungan dengan kekasih
n) Depresi
o) Pengaruh tayangan media massa
Kasus-kasus bunuh diri pada anak-anak lebih banyak diakibatkan oleh ketidakpuasan mereka
terhadap kondisi di sekitarnya. Sesuai dengan jiwa perkembangannya, anak memiliki keinginan
besar untuk diakui keberadaannya, mendapat kesempatan bermain, dan kebebasan. Apabila hal
itu direnggut dari kehidupan mereka, tidak mustahil dia akan merasa tertekan dan mengambil
jalan pintas. Anak-anak mengambil jalan pintas bunuh diri, karena cara itu mudah, cepat, dan
dianggap mengurangi beban.
Sejumlah peristiwa bunuh diri anak-anak dilansir di media massa. Kasus terakhir menimpa
seorang anak di Pemalang. Si anak bunuh diri karena merasa tidak puas terhadap orang tua yang
melarang dia menyetel tape recorder keras-keras.
Kendati mereka bunuh diri secara sadar, anak-anak usia 7-9 tahun pada umumnya belum mampu
menginternalisasikan nilai-nilai moral. Anak-anak seusia mereka, lebih banyak dipengaruhi
media massa dan lingkungan sekitar yang menyuguhkan bentuk kriminalitas secara vulgar.
Ungkapan kasih sayang orang tua juga acap diterjemahkan berbeda oleh anak-anak. Pola
komunikasi yang kurang baik antara orang tua dengan anak juga dapat menjadi penyebab dari
depresi mental pada anak. Hal itu dikarenakan komunikasi yang diciptakan orang tua sering
tidak menghargai nilai-nilai anak. Orang tua sering mengatakan sayang kepada anak, tetapi
sering cara berkomunikasinya keliru.
Teguran bernada tinggi atau kemarahan membuat anak merasa tidak dihargai. Pada satu titik
tertentu, perasaan itu akan menumpuk dan meledak menjadi tindakan seperti bunuh diri.
Akumulasi kekecewaan terhadap kondisi sosial, ekonomi, tekanan psikis, dan fisik dapat
mendorong anak nekat melakukan upaya bunuh diri.
Pendidikan keluarga meski tidak terhubung secara langsung dengan maraknya berbagai macam
kasus-kasus bunuh diri ataupun masalah-masalah sosial lainnya, akan tetapi tidak dapat
dipungkiri nilai-nilai dalam keluarga membentuk dan menstimulisasi karakter anak. Hal itu
seperti yang diungkapkan oleh penick and Jepsen,1992: “Pendidikan keluarga meski tidak
terhubung secara langsung dengan pembangunan sistem pendidikan akan tetapi membentuk dan
menstimulisasi karakter anak didik dikaitkan dengan status sosial ekonomi, fisik, gender,
kemampuan, dan temperamen dikaitkan dengan status sosial ekonomi, fisik, gender,
kemampuan, dan temperamen” . Bahkan, Mortimer pada tahun 1992 menyatakan variabel yang
paling berpengaruh dalam rencana pendidikan dan pembentukan karakter adalah pendidikan
dalam keluarga.
Tidak bisa dipungkiri lagi sosialisasi nilai-nilai dalam keluarga dilatarbelakangi dari pengaruh
pengetahuan dan kemauan orang tua dalam mengarahkan dan memberikan pilihan-pilihan
karakter pengembangan seorang anak. Kemampuan mendidik dan memberikan perlindungan
yang memadai terhadap anak akan tergambarkan dari kemampuan anak dalam beradaptasi
dengan lingkungannya.
Dalam keluarga juga anak mempelajari norma-norma, nilai-nilai, sikap-sikap, perilaku, cara
berpikir, pola komunikasi, persepsi, aspirasi, dan bahkan cara menyikapi rasa sakit ketika dia
terluka, ketika dia kecewa dan bagaimana dia harus menghadapinya. Keluarga akan
membentuknya menjadi orang yang optimis atau pesimis, keluarga yang menkondisikannya
menjadi anak yang mandiri atau tergantung, menjadi anak yang peduli atau acuh tak acuh,
menjadi anak yang religius atau sekuler, anak yang demokratis atau otoriter, dan sebagainya.
Internalisasi nilai akan berlangsung lama dan akan berpengaruh terhadap kualitas anak. Baik
dalam menerima perilaku sehari-hari, ataupun dalam interaksi yang lebih kompleks.
Model keluarga sehari-hari yang memfungsikan standard kearifan budaya, budi pekerti,
kejujuran dan harapan, bisa tergambar dalam banyak cara. Hal tersebut akan mewadahi
kepercayaan diri dan kemampuan beradaptasi anak terhadap lingkungannya dan mewarnai
filosofi hidup di masa yang akan datang. Demikian pula kesulitan anak dalam beradaptasi dan
bergaul, dapat menyebabkan depresi, sehingga anak yang mudah putus asa akan cenderung
dengan lebih mudah melakukan upaya bunuh diri.
Keluarga sangat berperan dalam mensosialisasikan nilai-nilai agama yang menjadi dogma dalam
kehidupan. Seorang anak yang memahami dengan baik nilai-nilai yang diinternalisasikan, maka
akan melakukan objektifikasi dengan menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai pedoman dalam
hidupnya, dan tereksternalisasi dalam pola perilaku sehari-hari dalam interaksi dengan
lingkungan dan masyarakat.
Nilai agama biasanya menjadi suatu nilai yang baku yang cenderung bersifat represif terhadap
individu. Nilai-nilai agama biasanya mengajarkan tentang moralitas, yaitu nilai-nilai kebaikan
dan kebenaran, apa yang boleh dan tidak, yang halal dan yang haram, yang menimbulkan dosa
atau pahala, dan yang mengatur tata cara dalam berperilaku, serta cara bersikap dan bertindak.
Berdasarkan hasil penelitian Durkheim, terdapat bermacam-macam bentuk dari perilaku bunuh
diri yaitu egoistic suicide, altruistic suicide, anomic suicide, dan fatalistic suicide. Bagaimana
bunuh diri itu terjadi atau dilakukan oleh seseorang, menurut Durkhiem, disebabkan oleh
benturan dua kutub integrasi dan regulasi di mana kuat dan lemahnya kedua kutub itu akan
menyebabkan orang melakukan bunuh diri.
Di sinilah, begitu Durkheim menekankan, pentingnya agama bagi seseorang untuk
menghindarkan dari berbagai penyimpangan yang mungkin terjadi. di mana unsur-unsur esensial
dari agama itu mencakup berbagai mitos, dogma, dan ritual, yang kesemuanya merupakan
fenomena religius yang dihadapi manusia. Dalam kaitan ini, ada hal-hal yang sifatnya ’suci’
(sacred) dan juga ada hal-hal yang sifatnya ‘tidak suci’ (profane) yang pemisahan antara
keduanya menunjukkan kepada pemikiran-pemikiran religius yang dilakukan manusia. Harus
diperhatikan bahwa di dalam agama, khususnya yang menyangkut ritual keagamaan, ada yang
dinamakan ritual negatif dan juga ritual positif. Bagi Durkheim, moralitas itu merupakan suatu
aturan yang merupakan patokan bagi tindakan dan perilaku manusia (juga dalam berinteraksi).
Konsepnya mengenai moralitas ini merujuk pada apa yang dinamakan norms (norma-norma) dan
rules (aturan-aturan) yang harus dijadikan acuan dalam berinteraksi.
8. Peran dan fungsi pranata sosial dalam menginternalisasi nilai-nilai ke dalam individu-
individu
Melihat dari beberapa faktor penyebab diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
karakter seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana dia dibentuk. Bagaimana
lingkungan itu membentuk, nilai-nilai yang diinternalisasikannya, dan yang diharapkan.
Selanjutnya dari proses pembentukan tersebut akan menghasilkan suatu output yang siap dilepas
untuk berinteraksi dalam dunia sosial.
Perilaku bunuh diri banyak disebabkan oleh kepribadian yang belum matang atau yang rentan
terhadap goncangan-goncangan. Seberat apapun masalah yang dihadapi, apabila kepribadiannya
kuat, maka kemungkinan untuk melakukan upaya bunuh diri rendah.
Beberapa pranata dalam masyarakat, mempunyai peran-peran tersendiri dalam membentuk
individu. Pranata agama misalnya, mempunyai peran dalam menjadikan manusia yang penuh
dengan nilai-nilai idealis. Dimana setiap ajaran agama selalu mengkonstruksi individu menjadi
manusia yang lebih jujur, peduli, taat, sayang terhadap sesama dan sebagainya. Kegagalan fungsi
dari pranata ini akan menyebabkan munculnya individu-individu yang atheis, apatis dan apriori.
Pranata pendidikan merupakan pranata yang memegang peranan sebagai pranata yang
melanjutkan peran dari pranata yang lain, seperti pranata keluarga, pranata agama, budaya,
politik, sosial, ekonomi maupun media massa. Pranata pendidikan lebih banyak bergerak dalam
rangka pengembangan aspek kognitif individu, lembaga ini walaupun mempunyai nilai-nilai
yang terstandarisasi, namun tidak dapat menggantikan peran-peran spesifik dari pranata yang
lain.
Demikian juga dengan pranata keluarga, dimana peran dan fungsi dari pranata ini sangatlah
besar. Individu lahir dan dibesarkan dalam keluarga. Keluarga Dalam proses pembelajaran anak
tentang peranan hidup keluarga memberikan peranan, memberikan ketrampilan dan nilai yang
tidak didapatkan di bangku sekolah (Grinstad dan Way,1993) sehingga kemandirian anak dan
kecepatan adaptasi anak untuk mengakselerasi ilmu serta ketrampilan menjadi sangat
berkembang.
Untuk mendukung kemampuan keluarga yang bisa menghasilkan kualitas sumber daya manusia
unggulan hendaknya masyarakat menghidupkan kembali peranan pranata keluarga dengan nilai-
nilai simbolik yang sangat sederhana. Namun, sarat makna. Interaksi peran antara ayah, ibu, dan
anak menjadi variable yang sangat penting dalam proses penyadaran dan penanaman nilai nilai
kebajikan.
Peran semacam ini terkadang tidak disadari dan terabaikan oleh keluarga. Posisi orang tua
seakan hanya bertugas memberi layanan fisik. Tapi, sangat jarang berurusan dengan pendidikan
agama, moral, dan etika sang anak. Jika orang tua tidak bisa memberikan perannya secara
maksimal pada anak tentu sikap anak cenderung untuk melakukan pembenaran-pembenaran
terhadap hal yang salah sekali pun. Sebab, kepada orang tualah anak melakukan identifikasi diri.
Proses menirukan nilai normatif orang tua dalam kehidupan kesehariannya menjadi sebuah
kepastian sehingga tidak salah kalau ada idiom anak adalah cerminan orang tua. Kita tidak heran
banyak siswa yang lulus memiliki nilai pendidikan formal dan keilmuan sangat tinggi. Tetapi,
moral kepribadiannya masih layak dipertanyakan. Dengan kata lain pendidikan budi pekerti di
sekolah hanya mampu melahirkan orang orang 'pragmatis' bukan kualitas 'intelektual' yang
bermoral.
Perkembangan anak pada usia antara tiga-enam tahun adalah perkembangan sikap sosialnya.
Konsep perkembangan sosial mengacu pada perilaku anak dalam hubungannya dengan
lingkungan sosial untuk mandiri dan dapat berinteraksi atau untuk menjadi manusia sosial.
Interaksi adalah komunikasi dengan manusia lain, suatu hubungan yang menimbulkan perasaan
sosial yang mengikatkan individu dengan sesama manusia, perasaan hidup bermasyarakat seperti
tolong menolong, saling memberi dan menerima, simpati dan empati, rasa setia kawan dan
sebagainya.
Melalui proses interaksi sosial tersebutlah seorang anak akan memperoleh pengetahuan, nilai-
nilai, sikap dan perilaku-perilaku penting yang diperlukan dalam partisipasinya di masyarakat
kelak ( dikenal juga dengan sosialisasi ). Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Zanden (1986)
bahwa kita terlahir bukan sebagai manusia, dan baru akan menjadi manusia hanya jika melalui
proses interaksi dengan orang lain.
Artinya, sosialisasi merupakan suatu cara untuk membuat seseorang menjadi manusia atau untuk
menjadi mahluk sosial yang sesungguhnya.
Pengaruh paling besar selama perkembangan anak pada lima tahun pertama kehidupannya terjadi
dalam keluarga. Orangtua, khususnya ibu mempunyai peranan penting dalam pembentukan
kepribadian anak, walaupun kualitas kodrati dan kemauan anak akan ikut menentukan proses
perkembangannya. Sedang kepribadian orangtua sangat besar pengaruhnya pada pembentukan
pribadi anak.
Beberapa hasil penelitian yang dilakukan Rohner, dkk (1986) di Amerika menunjukkan bahwa
seorang ibu yang memperlakukan anak dengan kasar, baik fisik maupun verbal akan
menghasilkan pribadi anak yang cenderung kasar setelah dia dewasa kelak .
Sampai saat ini, keluarga masih tetap menerapkan bagian terpenting dari jaringan sosial anak
sekaligus sebagai lingkungan pertama anak selama tahun-tahun formatif awal untuk memperoleh
pengalaman sosial dini, yang berperan penting dalam menentukan hubungan sosial di masa
depan dan juga perilakunya terhadap orang lain.
Melalui keluarga seorang anak mengenal nama-nama benda, nama-nama warna, anak-anak tahu
mana yang baik dan yang buruk. Keberanian untuk berekspresi terbentuk melalui keluarga juga.
Seorang anak bisa menjadi sangat takut dengan sesuatu hal atau binatang, dibentuk juga oleh
keluarga. Bahkan seorang anak bisa menjadi anak yang sehat, yang kurus, yang gemuk sekalipun
merupakan penkondisian dari dalam keluarga.
Ketika menghadapi suatu masalah, maka seorang anak akan melihat dan menirukan cara orang-
orang disekelilingnya (anggota keluarga yang lain) dalam menghadapi masalah tersebut. Seorang
anak bisa menjadi anak yang pemarah, pemaaf dan
9. Kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik di Indonesia (suatu upaya untuk menjawab
alasan mengapa Indonesia termasuk negara yang menduduki peringkat yang tinggi
dalam hal bunuh diri)
Kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik yang carut marut khususnya sejak reformasi tahun
1998, dan krisis ekonomi yang berkepanjangan beberapa tahun sebelumnya dan terus
berlangsung sampai sekarang. Kondisi tersebut menyebabkan krisis dalam berbagai bidang.
Dalam bidang ekonomi, politik, hukum, sosial budaya, dan juga krisis ideologi.
Sejak berlangsungnya krisis moneter pertengahan tahun 1997, ekonomi Indonesia mulai
mengalami keterpurukan. Keadaan perekonomian makin memburuk dan kesejahteraan rakyat
makin menurun. Pengangguran juga semakin luas. Sebagai akibatnya, petumbuhan ekonomi
menjadi sangat terbatas dan pendapatan perkapita cenderung memburuk sejak krisis tahun 1997.
depresi yang cukup berat kepada masyarakat
Kasus Bocah SD Bunuh Diri
Polsek Lupa Lapor ke Mapolres. www.suaramerdeka.com/harian/0408/04/nas06.htm
Ahmad Prayitno. 2010. Rabu, 10/10/07. 50 Ribu Orang Indonesia Bunuh Diri Tiap Tahun. http://www.rmexpose.com/detail.php
KELUARGA
BUDAYA
SOSIAL
POLITIK
EKONOMI
Top Related