DETEKSI ILUSI FISKAL: FLYPAPER EFFECT DAN ILUSI UTANG PADA
BELANJA DAERAH SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PERTUMBUHAN
EKONOMI PADA KABUPATEN/KOTA DI SULAWESI
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Mencapai Derajat Sarjana S2
Program Magister Akuntansi
Disusun Oleh
Ryfal Yoduke
121600509
PROGRAM PASCASARJANA SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI
YAYASAN KELUARGA PAHLAWAN NEGARA
YOGYAKARTA
2018
DETEKSI ILUSI FISKAL: FLYPAPER EFFECT DAN ILUSI UTANG PADA
BELANJA DAERAH SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PERTUMBUHAN
EKONOMI PADA KABUPATEN/KOTA DI SULAWESI
Ryfal Yoduke
STIE YKPN Yogyakarta
Abstract This research is done in districts/cities that exist in Sulawesi Island. Year of data selection is fiscal
year 2016. Population in this research counted 81 regency/city that exist in Sulawesi Island. The
selected sample is 78 samples based on the criteria of completeness of data and information in the
combined balance sheet of the Ministry of Finance. The purpose of this study is to examine the
local government budget policy fiscal illusion of the form of flypaper effect and the illusion of debt
in regional expenditure as well as its effect on economic growth. The results of the study found: (1)
There was a fiscal illusion of the form of flypaper effect determined based on the ratio of
contribution of PAD and DAU in regional expenditure; (2) There is a debt illusion, which is
determined based on the ratio of PAD contribution and regional debt to regional expenditure; (3)
Expenditures that occurred flypaper effect and debt illusion have a significant positive effect on
economic growth. Contribution of PAD is 1,184 and DAU is 8,883 in regional expenditure. The
debt contribution of 2,247 is greater than PAD to regional expenditure. The influence of regional
spending that occurred flypaper effect and debt illusion of 2.085 to the economic growth of
regencies/cities in Sulawesi Island.
Keywords: fiscal illusion flypaper effect and illusion of debt, PAD, DAU, debt, regional
expenditure, and economic growth.
Penelitian ini di lakukan di kabupaten/kota yang ada di Pulau Sulawesi. Tahun pemilihan data
adalah tahun anggaran 2016. Populasi dalam penelitian ini sebanyak 81 kabupaten/kota yang
ada di Pulau Sulawesi. Sampel yang terpilih sebanyak 78 sampel berdasarkan kriteria
kelengkapan data dan informasi dalam neraca gabungan Kementerian Keuangan. Tujuan
penelitian adalah untuk menguji kebijakan anggaran pemerintah daerah terdapat ilusi fiskal
bentuk flypaper effect dan ilusi utang dalam belanja daerah serta pengaruhnya terhadap
pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian menemukan: (1) Terjadi ilusi fiskal bentuk flypaper
effect yang ditentukan berdasarkan perbandingan kontribusi PAD dan DAU dalam belanja
daerah; (2) Terjadi ilusi utang, yang ditentukan berdasarkan perbandingan kontribusi PAD dan
utang daerah terhadap belanja daerah; (3) Pengaruh belanja daerah yang terjadi flypaper effect
dan ilusi utang positif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Kontribusi PAD sebesar
1.184 dan DAU sebesar 8,883 pada belanja daerah. Kontribusi utang sebesar 2,247 lebih besar
dari PAD terhadap belanja daerah. Pengaruh belanja daerah yang terjadi flypaper effect dan
ilusi utang sebesar 2,085 terhadap pertumbuhan ekonomi daerah kabupaten/kota yang ada di
Pulau Sulawesi.
Kata kunci: Ilusi fiskal flypaper effect dan ilusi utang, PAD, DAU, utang, belanja daerah.
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
Pendahuluan
Indonesia adalah negara yang paling demokratis dan terdesentralisasi di dunia (Butt, 2010).
Mardiasmo (2002) berpendapat bahwa desentralisasi atau otonomi daerah adalah hal yang
menjadi kebutuhan masyarakat daerah serta hak dan kewajibannya untuk melaksanakan
pengelolaan yang mengatur rumah tangganya sendiri. Litvack et al. (1998) menyatakan bahwa
konsep desentralisasi terdiri atas desentralisasi politik (political decentralization),
desentralisasi fiskal (fiscal decentralization), dan desentralisasi ekonomi (economics
decentralization). Sidik (2002) menyatakan bahwa komponen utama implikasi desentralisasi
adalah desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal adalah pemberian kewenangan dan penerapan
kebijakan untuk menggali sumber pendapatan serta hak untuk menentukan belanja di
daerahnya sendiri (Litvack et al., 1998). Sejalan dengan definisi desentralisasi fiskal tersebut,
dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah dijelaskan bahwa pelaksanaan desentralisasi menganut prinsip money
follow function. Prinsip money follow function adalah penyerahan hak kewenangan dan
kewajiban oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sesuai dengan definisi otonomi
daerah (desentralisasi), sehingga sejumlah kebijakan fiskal ikut diserahkan kepada pemerintah
daerah guna mendapatkan penghasilan sendiri untuk membiayai urusan pemerintahan di
daerahnya.
Tujuan penerapan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal adalah agar pemerintah
daerah memiliki keuangan yang mandiri. Kemandirian keuangan daerah seharusnya dapat
diwujudkan melalui peningkatan PAD berdasarkan segala hak, kewenangan, dan kewajiban
yang telah diserahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Kemandirian
keuangan dan peningkatan PAD dianggap sebagai suatu upaya (necessary condition) yang
dapat menunjukkan kesuksesan pelaksanaan otonomi daerah tanpa mengurangi harapan masih
adanya bantuan dan transfer dari pemerintah pusat (Sidik, 2002; Mardiasmo, 2002).
Peningkatan jumlah dan realisasi PAD seharusnya menjadi sumber yang dianggap “cukup”
untuk berkontribusi secara dominan terhadap belanja daerah (Simanjuntak, 2003), sehingga
ketergantungan terhadap transfer dapat diminimalisasi (Kuncoro, 2007).
Pemerintah daerah dalam mewujudkan kemandirian keuangan daerah tidak mengalami
perkembangan yang berarti, bahkan cenderung mengalami penurunan (Adi dan Ekaristi, 2009).
Penurunan kemandirian keuangan daerah menimbulkan ketimpangan antara PAD (kapasitas
fiskal) dan belanja daerah (kebutuhan fiskal). Kondisi seperti ini disebut fiscal gap (Oates
1999; Sidik, 2002). Litvack et al (1998) menyebutkan bahwa keterbatasan kemampuan
pemerintah daerah (disparitas atau ketidakseimbangan vertikal) dapat diatasi melalui
mekanisme fiskal pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Salah satunya adalah melalui
penyediaan sumber pendapatan yang berasal dari negara berupa transfer fiskal tanpa
mengabaikan upaya pemerintah daerah dalam mengumpulkan pajak atau pendapatan lainnya
sendiri. Tanpa format aturan perimbangan keuangan yang diberlakukan pemerintah pusat
untuk mendistribusikan pendapatan, maka akan meningkatkan disparitas horizontal
antardaerah kaya dan miskin (Simanjuntak, 2003).
Penelitian tentang perkembangan pelaksanaan desentralisasi banyak menyebutkan
bahwa di negara berkembang transfer dari pemerintah pusat tersebut merupakan bagian
terbesar dari pendapatan daerah (Oates, 1999, 2008; Dollery dan Worthington, 1995).
Penerimaan dan pemanfaatan dana transfer sebagai pendapatan yang lebih dominan
dibandingkan pendapatan dan pembiayaan terhadap belanja daerah dalam menyediakan barang
dan layanan jasa publik menurunkan tekanan terhadap basis PAD. Penurunan tekanan basis
PAD menyebabkan penerimaan pendapatan menurun, di sisi lain tuntutan masyarakat terhadap
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
penyediaan barang dan layanan jasa publik terus meningkat. Dalam kondisi ini, pemerintah
daerah memilih transfer dan tidak menaikkan tarif pajak dan pengutan lain kepada masyarakat
untuk membiayai penyediaan barang dan layanan jasa publik dalam belanja daerah. Fenomena
ini kemudian mengakibatkan pemerintah daerah mengalami ketergantungan pendapatan dalam
bentuk dana yang ditransfer dari pemerintah pusat (Kuncoro, 2004).
Kondisi ketergantungan pemerintah daerah terhadap dana transfer menimbulkan hal
yang menarik yaitu terdapat perbedaan persepsi (information asymmetry) antara pemerintah
pusat sebagai pemberi transfer dan pemerintah daerah sebagai penerima transfer. Perbedaan
persepsi mengarahkan pemerintah daerah untuk meningkatkan belanja daerah (Oates dan
Bradford, 1971; Alderete, 2004). Becker (1996) menambahkan bahwa terjadinya perbedaan
persepsi dikarenakan pemerintah daerah cenderung beranggapan bahwa pemberian transfer
adalah bentuk kesediaan pemerintah pusat untuk ikut menanggung atau berbagi sebagian biaya
dalam penyediaan barang dan layanan jasa publik di daerahnya. Pemerintah daerah bereaksi
tidak rasional atas hibah federal atau pemerintah pusat. Fenomena perbedaan persepsi seperti
ini kemudian disebut sebagai ilusi fiskal (Oates dan Bradford, 1971; Wagner, 1978; Becker,
1996).
Dalam bentuk yang paling umum, ilusi fiskal dapat diartikan sebagai kondisi
kesalahpahaman sistematis mengenai manfaat dan biaya aktivitas pemerintah oleh pembayar
pajak (masyarakat). Kemudian kesalahpahaman sistematis ini berdampak pada belanja daerah
dalam yurisdiksi fiskal tertentu yang akan terus meningkat, namun tetap murah (Dollery dan
Worthington, 1995). Oates (1985) menyimpulkan bahwa fenomena ilusi fiskal dapat terjadi
melalui: (1) Kompleksitas struktur pajak; (2) Pajak properti (milik atau sewa); (3) Elastisitas
pendapatan dan tarif pajak; (4) Ilusi utang; dan (5) Flypaper effect.
Jenis ilusi fiskal yang paling tepat untuk menjelaskan respon pemerintah daerah
terhadap transfer dan PAD dalam pemenuhan anggaran belanja daerah adalah flypaper effect
(Kuncoro, 2004). Flypaper effect adalah respon pemerintah daerah atas hibah atau transfer dari
pemerintah pusat yang digunakan untuk meningkatkan pengeluaran/belanja barang dan
layanan jasa publik melebihi jumlah pendapatan (PAD) dalam yurisdiksi tertentu (Dollery dan
Worthington, 1995). Respon pemerintah daerah atas transfer tersebut mengakibatkan
masyarakat sebagai pembayar pajak dan voters (pemilih pemerintah daerah) terilusi dengan
anggapan bahwa telah terjadi penurunan biaya penyediaan barang dan layanan jasa publik oleh
pemerintah daerah. Masyarakat dengan anggapan tersebut tidak memiliki informasi dan
pemahaman yang sempurna atas penggunaan dana transfer sebagai penyebab penurunan biaya
penyediaan barang dan layanan jasa publik (Oates, 1985). Anggapan masyarakat tersebut keliru
karena dana transfer tidak menurunkan biaya penyediaan barang dan layanan jasa, tetapi dana
transfer yang diterima oleh pemerintah daerah kemudian digunakan seluruhnya untuk
meningkatkan belanja daerah (Kuncoro, 2004). Sehingga bagi masyarakat, dana tranfer
pemerintah pusat tersebut seolah-olah menurunkan biaya penyediaan barang dan layanan jasa
di daerah.
Turnbull (1998) menyatakan kesalahan pemahaman masyarakat juga disebabkan
karena masyarakat tidak yakin terhadap jumlah tagihan pajak yang harus mereka bayar untuk
layanan tambahan atau biaya pajak yang sesuai atas konsumsi barang dan layanan jasa yang
mereka terima. Penelitian tentang respon atas dana transfer dan PAD terhadap belanja daerah
untuk pembuktian ilusi fiskal flypaper effect di Indonesia telah banyak dilakukan. Penelitian
tentang flypaper effect masih tetap menarik dilakukan untuk menunjukkan karakteristik
pemerintah daerah dalam merespon tuntutan belanja melalui PAD atau transfer dari pemerintah
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
pusat. Turnbull (1998) menyatakan masih penting untuk menguji fenomena flypaper effect di
suatu wilayah yurisdiksi untuk menguji kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan
PAD.
Penelitian ilusi fiskal dalam bentuk flypaper effect telah banyak dilakukan di Indonesia.
Namun, penelitian flypaper effect masih menarik untuk dilakukan menunjukkan karakteristik
pemerintah daerah dalam merespon tuntutan belanja melalui PAD atau transfer dari pemerintah
pusat. Terdapat risiko bagi pemerintah akibat penggunaan dana transfer atau bantuan yang
dominan terhadap belanja daerah dalam waktu yang lama. Pertama, kepercayaan dari
masyarakat akibat ketidaklengkapan informasi sumber dana pembangunan di daerah,
menggunakan PAD atau bantuan pemerintah pusat. Kedua, pemerintah daerah akan
menghadapi risiko tuntutan pembanguan yang masif dengan keterbatasan dana. Keterbukaan
informasi (transparansi) dan kerjasama antara pemerintah dan masayarakat daerah dapat
mengatasi kedua masalah tersebut.
Selain PAD dan DAU, pemerintah daerah diberikan akses untuk memiliki utang. Dalam
UU No. 33 Tahun 2004, dijelaskan bahwa pemerintah daerah diperbolehkan untuk memiliki
utang atau pinjaman kepada pihak ketiga, namun tetap dalam pengawasan pemerintah pusat
untuk menutupi celah fiskal yang ada. Ariwibawa (2005) berpendapat bahwa pinjaman daerah
kepada pihak ketiga dapat dijadikan alternatif untuk mengatasi fiscal gap antara kemampuan
fiskal dan kebutuhan fiskal pemerintah daerah. Namun demikian, Utang yang dimiliki
pemerintah daerah saat ini belum banyak diungkapkan dalam laporan keuangan pemerintah
daerah (Suhardjanto dan Yulianingtyas, 2011). Pedoman pengungkapan informasi utang yang
dimiliki pemerintah daerah sebenarnya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun
2010 tentang Standar Akuntasi Pemerintahan. Dalam peraturan tersebut pemerintah daerah
diwajibkan untuk melaksanakan pencatatan penerimaan pinjaman atau utang dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) serta dilaporkan dalam Laporan Realisasi Anggaran
(LRA). Komite Standar Akuntansi Pemerintahan (KSAP) dalam Pernyataan Standar Akuntansi
Pemerintahan (PSAP) No. 03 tentang Laporan Realisasi Anggaran menyebutkan bahwa LRA
sekurang-kurangnya memuat informasi akuntansi tentang realisasi pendapatan, belanja,
transfer (penerimaan dan pengeluaran transfer), surplus/defisit, serta penerimaan dan
pengeluaran pembiayaan yang masing-masing akun tersebut dipisahkan berdasarkan sifat dan
jenisnya.
Berdasarkan PP No. 71 Tahun 2010 dan lampiran di dalamnya, seharusnya pemerintah
dalam hal ini pemerintah daerah mampu memberikan informasi keuangannya termasuk
penerimaan utang/pinjaman sehingga tingkat akuntabilitas terhadap laporan keuangan
pemerintah daerah meningkat. Namun demikian, penelitian yang dilakukan oleh Lesmana
(2010), Suhardjanto dan Yulianingtyas (2011), serta Setyaningrum dan Syafitri (2012) tentang
pengungkapan informasi wajib oleh pemerintah daerah dalam laporan keuangan daerah yang
dipublikasi menemukan bahwa pinjaman atau kewajiban tidak berpengaruh terhadap informasi
wajib yang diungkap pemerintah daerah. Temuan tersebut selanjutnya oleh Suhardjanto dan
Yulianingtyas (2011), serta Setyaningrum dan Syafitri (2012) diinterpretasikan bahwa
pemerintah daerah belum sepenuhnya memahami informasi wajib yang seharusnya
diungkapkan kepada publik termasuk di dalamnya informasi utang. Sejalan dengan
pengungkapan yang tidak lengkap tentang informasi utang pemerintah daerah tersebut di atas,
belum banyak penelitian tentang pemanfaatan utang atau pinjaman yang dimiliki pemerintah
daerah. Hal tersebut dikarenakan tidak semua pemerintah daerah memiliki utang atau pinjaman
(Adi dan Ekaristi, 2009). Pinjaman daerah merupakan salah satu sumber pembiayaan yang
bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan pelayanan
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
kepada masyarakat. Pembiayaan yang bersumber dari pinjaman harus dikelola secara benar
agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi keuangan daerah.
Salah satu dampak negatif pinjaman bagi keuangan daerah adalah ilusi utang.
Ariwibawa (2005) dalam penelitiannya terhadap kemampuan tingkat pengembalian utang atau
pinjaman dari pihak ketiga oleh pemerintah daerah yang dilakukan di kota Semarang
menemukan bahwa pemerintah kota Semarang mampu mengembalikan pokok utang atau
pinjaman dan bunganya. Selain itu Ariwibawa (2005) juga menemukan bahwa pembiayaan
dalam hal ini utang atau pinjaman dari pihak ketiga menjadi salah satu sumber pendapatan
daerah kota Semarang.
Kajian seperti yang pernah dilakukan oleh FITRA (2012 dan 2017) menemukan bahwa
komponen utang dan pemanfaatannya nyata dalam belanja daerah. Berdasarkan temuan
Ariwibawa (2005) dan kajian FITRA tersebut dan akun utang perlu dicermati lebih lanjut dan
dilakukan penelaahan untuk mengetahui apakah terjadi ilusi fiskal dalam bentuk ilusi utang
melalui pemanfaatan utang yang diterima daerah untuk penyediaan barang dan layanan jasa
dalam anggaran belanja daerah. Deteksi ilusi utang penting untuk mencegah terjadinya
ketimpangan informasi antara masyarakat dan pemerintah daerah atas penganggaran sumber
pendanaan belanja barang serta layanan jasa yang dilakukan dengan menggunakan utang atau
pinjaman oleh pemerintah daerah. Selain ketimpangan informasi, deteksi ilusi utang penting
dikarenakan adanya asumsi tentang hubungan antargenerasi (intergenerational equity).
Asumsi tersebut adalah bahwa generasi yang akan datang ikut menanggung beban pengeluaran
dan pembiayaan barang dan layanan jasa yang dilakukan pemerintah daerah saat ini. Ilusi utang
dalam teori ilusi fiskal adalah pemilihan pendanaan belanja penyediaan barang dan layanan
jasa oleh pemerintah daerah dengan menggunakan pendapatan pajak dan pendapatan lain saat
ini atau hasil pendapatan dari utang (Oates, 1985). Seperti flypaper effect, ketergantungan
pendanaan penyediaan barang dan layanan jasa dari utang oleh pemerintah daerah cenderung
meningkatkan anggaran belanja daerah yang besar.
Meskipun belanja daerah menimbulkan fenomena flypaper effect dan ilusi utang, fungsi
belanja daerah salah satunya adalah untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi. Daerah otonom
dengan pertumbuhan ekonomi yang baik berpeluang untuk meningkatkan penerimaan PAD.
Pemerintah daerah harus mampu memberdayakan kekuatan dan sumber daya ekonomi yang
diperoleh daerah untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang baik. Logikanya setiap
penerimaan daerah yang digunakan pemerintah daerah untuk belanja daerah seharusnya
mampu merangsang kenaikan pendapatan domestik regional bruto (PDRB) sebagai indikator
pengukuran pertumbuhan ekonomi (Adi, 2006). Dalam penjelasan umum UU No. 33 Tahun
2004 dijelaskan bahwa kekuatan dan sumber daya ekonomi daerah melalui dana transfer, PAD,
dan utang setidaknya harus mampu berkontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi
sehingga dapat memberikan keuntungan bagi pemerintah daerah untuk mendapatkan
pendapatan yang lebih besar dari sisi PAD di masa yang akan datang. Tujuan penelitian ini
dilakukan adalah untuk mendeteksi ilusi fiskal dalam bentuk flypaper effect dan ilusi utang
serta pengaruh belanja daerah yang terjadi kedua fenomena tersebut terhadap pertumbuhan
ekonomi.
Tinjauan Teori
Teori Otonomi Daerah
Otonomi daerah atau desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai tujuan bernegara,
yaitu menghadirkan negara untuk lebih dekat kepada masyarakat dengan memberikan
pelayanan yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan yang lebih
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
demokratis (Sidik, 2002). Ardika dan Sahrul (2011) menyebutkan bahwa otonomi daerah
secara implisit menunjukkan indikasi tujuan yang hendak dicapai untuk terwujudnya sistem
demokrasi di tingkat lokal, terciptanya efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintah
daerah serta pembangunan ekonomi di daerah. Sedangkan konsep desentralisasi pada
hakekatnya mengandung makna adanya kebebasan daerah untuk mengambil keputusan
menurut prakarsa sendiri. Namun, pengambilan keputusan menurut prakarsa sendiri dalam
otonomi daerah atau desentralisasi tersebut tidak boleh bertentangan dengan aturan-aturan
yang lebih tinggi dalam hal ini negara (Kambo, 2015). Kamaluddin (2000) menyatakan bahwa
otonomi daerah memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab secara
proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya
nasional serta perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pelaksanaan
otonomi daerah atau desentralisasi harus sesuai dengan prinsip demoktrasi dan melibatkan
peran aktif masyarakat daerah.
Teori Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi fiskal secara luas adalah penyerahan hak dan kewenangan kepada pemerintah
daerah oleh pemerintah pusat untuk menerapkan kebijakan fiskal sebagai upaya untuk
menggali postensi sumber daya dan memperoleh pendapatannya sendiri guna mendukung
penyelenggaraan fungsinya dalam urusan pemerintahan di daerahnya (Litvack et al., 1998;
Sidik, 2002). Secara implisit definisi desentralisasi fiskal dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dijelaskan melalui
konsep desentralisasi mengikuti prinsip money follow function. Prinsip money follow function
adalah sebuah konsekuensi akibat penyerahan hak kewenangan dan kewajiban sesuai dengan
definisi otonomi daerah atau desentralisasi, sehingga sejumlah kebijakan fiskal diserahkan
kepada pemerintah daerah guna mendapatkan penghasilannya sendiri untuk membiayai urusan
pemerintahan di daerahnya (Kurniawan, 2012).
Pendekatan penerapan desentralisasi fiskal dapat menggunakan expenditure dan
revenue assigment. Pendekatan expenditure assigment (tugas pembelanjaan) ditunjukkan
dengan peran local public goods (barang publik lokal) yang meningkat di daerah. Peningkatan
peran barang publik lokal terjadi akibat perubahan tanggung jawab pelayanan publik dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Kemudian revenue assigment (tugas pendapatan)
ditunjukkan dengan pemberian bantuan dan dana transfer serta pengalihan pengelolaan sumber
pendapatan daerah oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sumber pendapatan bagi
daerah sebelumnya dikumpulkan pemerintah daerah, namun dikelola pemerintah pusat. Bentuk
penyerahan kewenangan dan pengelolaan pendapatan daerah tersebut salah satunya
ditunjukkan dengan adanya taxing power/tax assigment yang dimiliki pemerintah daerah
(Waluyo, 2007).
Sejalan dengan hal tersebut di atas, Sasana (2009) menyatakan bahwa dalam era
desentralisasi fiskal pemerintah daerah dituntut untuk melakukan fungsinya secara efektif dan
efisien. Penyelenggaraan fungsi pemerintah daerah harus didukung dengan sumber-sumber
keuangan yang memadai dari daerah itu sendiri. Pemerintah daerah harus mampu
meningkatkan kapasitas fiskalnya dengan cara diantaranya meningkatkan aktivitas ekonomi
berbasis komoditi unggulan dan melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pendapatan asli
daerah. Kadafi (2011) menyatakan bahwa desentralisasi fiskal haruslah diupayakan untuk
memandirikan daerah khususnya secara keuangan, meningkatkan rasa tanggung jawab daerah
dan meningkatkan daya saing antardaerah.
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
Teori Ilusi Fiskal
Dalam bentuk yang paling umum, ilusi fiskal dapat diartikan sebagai kondisi kesalahpahaman
sistematis mengenai manfaat dan biaya aktivitas pemerintah oleh pembayar pajak (masyarakat)
dan dampak kesalahan persepsi tersebut terhadap belanja daerah dalam yurisdiksi fiskal
tertentu yang akan terus meningkat (Dollery dan Worthington, 1995). Perbedaan persepsi
dalam teori ilusi fiskal adalah kesalahpahaman sistematis tentang parameter fiskal utama yang
digunakan oleh pemerintah daerah yang secara signifikan dapat mendistorsi pemahaman
masyarakat sebagai pembayar pajak dan voters atas pilihan fiskal tersebut.
Kesalahpahaman persepsi tentang parameter fiskal diakibatkan oleh tidak sempurnanya
informasi yang dimiliki masyarakat sebagai voters dan sebagai pembayar pajak di daerah
(Oates, 1985). Secara umum, ilusi utang dan flypaper effect menurut teori ilusi fiskal adalah
keadaan yang diakibatkan oleh kesalahpahaman informasi secara sistematis antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah serta masyarakat (Oates, 1985; Dollery dan Worthington, 1995;
Alderete, 2004). Ilusi utang dalam teori ilusi fiskal adalah kesalahpahaman masyarakat atas
pemilihan pendanaan belanja penyediaan barang dan layanan jasa oleh pemerintah daerah
dengan menggunakan pungutan pajak saat ini dan pendapatan lain daerah atau hasil pendapatan
dari utang (Oates, 1985). Kesalahpahaman informasi secara sistematis tersebut baik melalui
ilusi utang dan flypaper effect seharusnya dapat diminimalisasi dengan cara kerjasama antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta masyarakat di daerah. Salah satu bentuk
kerjasama tersebut adalah penyelarasan informasi bagi masing-masing pihak (pemerintah
pusat, pemerintah daerah, serta masyarakat), sehingga kebutuhan dan tuntutan penyediaan
barang dan layanan jasa publik di daerah dapat didanai dengan dominasi peran sumber-sumber
pendapatan asli daerah. Ilusi fiskal dalam pendanaan penyediaan barang dan layanan jasa
publik akan memberatkan anggaran baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Di sisi
lain, ilusi fiskal dapat menyebabkan distorsi hak dan kewajiban masyarakat dalam
pembangunan daerah (Oates, 1993 dan 1999; Dollery dan Worthington, 1995).
Teori Birokrasi
Niskanen (1968) dalam teori birokrasi berpendapat bahwa pemerintah daerah (birokrasi
daerah) memiliki informasi yang lebih baik mengenai kebutuhan dan kemampuan fiskal (PAD
dan transfer) serta sumber daya lainnya yang dimiliki daerah dibanding pemerintah pusat dan
masyarakat. Selain itu, pemerintah daerah memiliki posisi lebih kuat dalam mengambil
kebijakan publik. Pemerintah daerah dapat memanfaatkan posisi ini untuk memaksimalkan
utilitasnya yang diproksikan dengan kekuasaan. Kekuasaan tersebut menyebabkan pemerintah
daerah menyusun anggaran harga satuan penyediaan barang dan layanan jasa publik sama
dengan biaya rata-rata. Jika pada kenyataan biaya rata-rata penyediaan barang dan layanan jasa
publik lebih rendah daripada biaya marginalnya, maka kuantitas penyediaan barang dan
layanan jasa publik akan terlalu banyak. Kemudian di sisi lain, masyarakat memiliki
keterbatasan akses informasi terhadap penggunaan pajak dan retribusi yang dibayarkan untuk
pendanaan penyediaan barang dan layanan jasa publik, serta pemanfaatan transfer yang
diperoleh pemerintah daerah dari pemerintah pusat. Melalui kondisi ini, secara sederhana
Niskanen (1968) menyebutkan bahwa flypaper effect adalah keadaan serta kekuasaan secara
luas yang dimiliki pemerintah daerah dibandingkan dengan pihak lain (pemerintah pusat dan
masyarakat) untuk menggunakan transfer lebih dominan dalam penyediaan barang dan layanan
jasa publik daripada menaikkan kemampuan fiskal daerah melaui PAD.
Kondisi keleluasaan dan kekuasaan pemerintah daerah sebagai birokrasi dalam akses
informasi tidak hanya terjadi pada pemanfaatan pendapatan sendiri dan transfer yang diterima.
Secara keseluruhan, keleluasaan dan kekuasaan terhadap akses informasi sebenarnya terjadi
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
pada seluruh informasi termasuk penerimaan pembiayaan, dalam hal ini utang. Berbeda kondisi
pada masyarakat, dengan keterbatasan akses informasi atas pemanfaatan penerimaan utang
akan menyebabkan distorsi hak dan kewajiban, sama seperti halnya flypaper effect.
Teori New Public Management
Teori New Public Management (NPM) pertama kali disampaikan oleh Christoper Hood (1991)
yang menyatakan bahwa konsep pengelolaan sektor publik berbasis NPM mampu menawarkan
pengelolaan yang lebih baik. Perbedaan utama antara konsep old public management dan NPM
adalah fokus kedua konsep tersebut berbeda. Old public management berfokus pada proses
administrasi, sedangkan NPM berfokus pada output kinerja sektor publik. Konsep pengelolaan
sektor publik dengan NPM adalah konsep pendekatan baru dengan pengelolaan berorientasi
pada pasar (mengadopsi mekanisme penglelolaan sektor privat ke dalam sektor publik),
sehingga tercipta efisiensi biaya yang besar dan pencapaian kinerja yang efektif bagi eksekutif
di sektor publik (Mardiasmo, 2002; Indrawati, 2010).
Penerapan pengelolaan sektor publik dengan NPM oleh pemerintah daerah khususnya
dalam penganggaran harus mengutamakan kepentingan publik. Pemerintah daerah melalui
penerapan otonomi daerah serta pemberian kebijakan untuk mengelola anggarannya
diharapkan mampu mewujudkan welfare society (kesejahteraan masyarakat) di wilayahnya
(Mardiasmo, 2002; Indrawati, 2010). Konsep NPM oleh Hood (1991) memiliki ide utama
pengadopsian pengelolaan sektor privat ke dalam sektor publik. Namun, Mardiasmo (2002)
menyatakan bahwa pengelolaan anggaran sektor publik oleh pemerintah daerah harus tetap
memegang prinsip-prinsip pengelolaan yang baik. Prinsip tersebut adalah akuntabilitas, value
for money (efektivitas dan efisiensi), kejujuran dalam pengelolaan keuangan publik,
transparansi, dan pengendalian. Prinsip-prinsip tersebut dalam konsep NPM disebut dengan
core value in public management.
Untuk mewujudkan kerjasama antara masyarakat dan pemerintah daerah, pemerintah
perlu melaksanakan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam mengelola anggaran dan
keuangan yang dimiliki pemerintah daerah. Prinsip transparansi dan akuntabilitas dapat
memberikan insentif berupa kepercayaan dari prinsipal secara horizontal dari marsyarakat dan
lembaga legislatif daerah serta vertikal dari pemerintah pusat (Mardiasmo, 2002). Kepercayaan
akibat transparansi dan akuntabilitas tersebut dapat meminimalisasi ketimpangan informasi
antara pemerintah daerah, masyarakat, dan pemerintah pusat. Secara khusus, prinsip
transparansi dalam pengelolaan anggaran berbasis utang dapat memberikan informasi tentang
hak dan tanggung jawab bagi generasi selanjutnya yang secara tidak langsung ikut
menanggung biaya penyediaan barang dan layanan jasa di daerah (intergenerational equity).
Teori Keagenan
Rerangka hubungan keagenan dalam sektor publik dapat dikaji berdasarkan pendelegasian hak
dan kewenangan oleh pemerintah pusat dan pihak legislatif daerah (prinsipal) kepada
pemerintah daerah sebagai pihak eksekutif (agen). Dengan adanya penyerahan hak dan
kewenangan ini kemudian diharapkan agen dapat bertindak sesuai dengan tujuan dan keinginan
prinsipal (masyarakat dan pemerintah pusat). Pentingnya pengkajian dan penjabaran rerangka
hubungan agen dan prinsipal adalah untuk menganalisis komitmen dan kebijakan pemerintah
daerah (agen) dalam proses penyusunan hingga pengambilan kebijakan anggaran publik. Lebih
lanjut, penganalisaan tersebut penting karena komitmen dan kebijakan anggaran publik erat
kaitannya dengan asimetri informasi, moral hazard, dan adverse selection (Halim dan
Abdullah, 2006).
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
Secara spesifik, Eisenhardt (1998) menyatakan bahwa teori keagenan terdiri atas tiga
landasan asumsi utama, yaitu: (1) Asumsi tentang sifat manusia; (2) Asumsi tentang
keorganisasian; (3), Asumsi tentang informasi. Asumsi pertama tentang sifat manusia adalah
sifat manusia yang cenderung mementingkan utilitas pribadi, memiliki keterbatasan
rasionalitas, dan menghindari risiko. Kedua, asumsi tentang keorganisasian adalah adanya
konflik kepentingan serta adanya asimetri informasi antara prinsipal dan agen. Ketiga, asumsi
tentang informasi sebagai komoditas adalah asumsi yang berpandangan bahwa informasi
adalah suatu komoditas yang dapat diperjualbelikan.
Sejalan dengan tiga asumsi tersebut di atas, hubungan fenomena ilusi fiskal dengan
masalah keagenan dalam birokrasi sektor publik (pemerintah daerah dan legislatif daerah
sebagai agen) serta masyarakat dapat dijelaskan melalui self-interesting model. Dalam sektor
publik, model ini menyatakan bahwa pemerintah daerah dan legislatif daerah akan
memaksimalkan anggararannya, sedangkan masyarakat akan memaksimalkan utilitasnya
(Halim dan Abdullah, 2006). Dari self-interesting model tersebut, ilusi fiskal dapat terjadi
karena dorongan birokrasi sektor publik yang bertujuan untuk mencapai popularitas agar
terpilih kembali oleh konstituen dengan memaksimalkan anggaran. Masyarakat akan
cenderung memilih birokrasi sektor publik (pemerintah daerah dan legislatif daerah) yang
mampu memenuhi utilitas atau preferensinya (Tiebout, 1956). Sedangkan hubungan keagenan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah oleh Aderete (2004) disebutkan bahwa
pemerintah daerah memaksimalkan anggaran untuk mencapai keuntungan melalui perolehan
transfer dari pemerintah pusat untuk pendanaan peyediaan barang dan layanan jasa publik di
daerah tanpa menaikkan penghasilan daerah.
Teori Belanja Publik Lokal
Dalam teori belanja publik lokal (public local expenditures) menurut Tiebout (1956)
dinyatakan bahwa fungsi belanja lokal seharusnya mencerminkan keinginan dan kebutuhan
atau preferensi dari penduduk lokal atau suatu komunitas di daerah. Belanja lokal atau belanja
daerah adalah belanja yang pelaksanaannya menghasilkan barang dan layanan jasa publik yang
dapat dinikmati secara kolektif sebagai dampak penyatuan fungsi keinginan dan kebutuhan
serta preferensi oleh masyarakat daerah. Penyelenggaraan urusan pemerintah dalam
pemenuhan keinginan dan kebutuhan serta preferensi masyarakat lokal seharusnya dilakukan
di tingkat pemerintahan yang memiliki kontrol geografis yang kecil. Pemerintah daerah dalam
melaksanakan fungsi dan urusan pemerintahan di daerahnya akan lebih efektif dan efisien
karena: (1) Pemerintah lokal sangat menghayati kebutuhan masyarakatnya; (2) Keputusan
pemerintah lokal sangat responsif terhadap keinginan dan kebutuhan serta preferensi
masyarakatnya, sehingga mendorong pemerintah lokal untuk melakukan efisiensi dalam
penggunaan dana yang berasal dari masyarakat; (3) Persaingan antardaerah dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong pemerintah daerah untuk meningkatkan
inovasi (Litvack et al., 1998).
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dalam UU No. 33 Tahun 2004 dijelaskan
sebagai rencana keuangan tahunan pemerintah daerah. APBD dibahas dan disahkan bersama
dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) serta ditetapkan menjadi peraturan daerah (PERDA).
APBD merupakan acuan kerja pemerintah daerah untuk periode satu (1) tahun. Dalam struktur
APBD di Indonesia, komponen anggaran terdiri atas pendapatan, belanja dan pembiayaan
(Abdullah dan Rona, 2014). Anggaran pendapatan dalam APBD adalah anggaran pendapatan
yang berasal dari pendapatan asli daerah (PAD), dana perimbangan (transfer pemerintah pusat:
dana alokasi umum/DAU, dana bagi hasil/DBH, dan dana alokasi khusus/DAK), dan lain-lain
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
pendapatan. Sumber PAD adalah dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan. Selanjutnya,
pendapatan dalam bentuk dana perimbangan adalah pendapatan yang bersumber dari dana
transfer oleh pemerintah pusat yang telah dianggarkan dalam anggaran pendapatan dan belanja
negara (APBN). Pendapatan dana perimbangan terdiri atas dana bagi hasil (DBH), dana alokasi
umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK).
Selain PAD dan dana transfer daeri pemerintah pusat, daerah diperbolehkan memiliki
utang. Keberadaan utang bagi pemerintah daerah dapat dimanfaatkan sebagai tambahan
sumber daya ekonomi untuk melaksanakan peran dan fungsi penyediaan barang serta layanan
jasa melalui APBD di daerah. Setiap tambahan sumber daya ekonomi atau pendapatan yang
dimiliki daerah (PAD, dana transfer, utang) akan menentukan estimasi pengeluaran (yang
meliputi belanja dan pengeluaran pembiayaan daerah). Perubahan anggaran pendapatan dan
penerimaan pembiayaan akan menyebabkan perubahan dalam anggaran belanja dan
pengeluaran pembiayaan daerah (Abdullah dan Rona, 2014). Perubahan penerimaan dan
pengeluaran suatu pemerintah daerah seharusnya berada pada posisi yang seimbang sehingga
tidak menimbulkan defisit dalam APBD daerah (Adi dan Ekaristi, 2009). Secara keseluruhan,
pemerintah daerah dapat mengambil kebijakan anggaran yang menimbulkan ilusi fiskal dalam
APBD.
Teori Produksi
Produksi adalah segala kegiatan yang dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan atau
menambah guna atas suatu benda atau segala kegiatan yang ditujukan untuk memuaskan orang
lain melalui pertukaran (Partadireja, 1985: 21). Tenaga manusia, sumber-sumber daya alam,
modal dalam segala bentuknya, serta kecakapan diperlukan untuk melakukan proses produksi.
Semua unsur tersebut adalah faktor-faktor produksi (factors of production). Secara singkat,
semua unsur yang menopang usaha penciptaan nilai atau usaha memperbesar nilai barang
disebut sebagai faktor-faktor produksi (Napitupulu, 2013). Dalam proses produksi,
penggunaan faktor-faktor produksi tersebut dikenal dengan istilah input, sedangkan jumlah
produksi disebut sebagai output. Penyediaan barang dan layanan jasa publik oleh pemerintah
daerah dapat dikatakan sebagai suatu proses yang berkelanjutan seperti halnya proses produksi
pada umumnya.
Pemerintah daerah membutuhkan pendapatan (PAD dan DAU) serta penerimaan lain
(utang) sebagai modal kerja untuk proses produksi barang dan layanan jasa publik di daerah.
Untuk memperoleh pendapatan, pemerintah daerah harus meningkatkan pertumbuhan produk
domestik regional bruto (PDRB), sehingga penerimaan PAD suatu daerah dapat ditingkatkan.
Hal ini menunjukkan suatu proses yang tidak dapat dipisahkan karena peningkatan PAD
sebenarnya merupakan ekses dari pertumbuhan ekonomi. Peningkatan pertumbuhan ekonomi
di daerah dapat diukur dengan laju pertumbuhan PDRB (Adi, 2006). Semakin tinggi
pertumbuhan nilai PDRB suatu daerah serta diikuti dengan kemampuan realisasi potensi
penerimaan daerah yang optimal akan meningkatkan modal penyediaan barang dan layanan
jasa bagi pemerintah daerah.
Pengembangan Hipotesis
Terjadi flypaper effect pada belanja daerah kabupaten/kota di Sulawesi
Indikator pengukuran terjadi atau tidaknya flypaper effect pada belanja daerah adalah dengan
membandingkan antara kontribusi PAD dan DAU dalam pemanfaatan sumber daya ekonomi
yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah yang cenderung merespon belanja
daerah secara dominan menggunakan DAU menunjukkan terjadinya fenomena flypaper effect.
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
Sedangkan untuk antitesis tidak terjadinya fenomena flypaper effect adalah dominasi kontribusi
PAD yang lebih besar dibandingkan dengan kontribusi DAU terhadap belanja daerah.
Kemampuan pemerintah daerah melalui kewenangan (revenue assigment) serta diskresi yang
diterima dari pemerintah pusat seyogyanya menghasilkan PAD yang cukup untuk membiayai
penyelanggaran urusan pemerintahan di daerah. Kemampuan PAD yang cukup bukan berarti
bahwa kebutuhan belanja pemerintah daerah sepenuhnya dapat ditutupi menggunakan PAD,
namun kontribusi PAD lebih besar dibandingkan dengan DAU dalam berlanja daerah
(Simanjuntak, 2003; Kuncoro, 2007). Selanjutnya Adi (2006) menyatakan bahwa idealnya
PAD merupakan komponen utama pendapatan daerah. Fenomena flypaper effect dalam ilusi
fiskal merupakan bentuk kesalahpahaman (information asymmetry) secara sistematis
pemerintah daerah dalam memanfaatkan pendapatan dana transfer dari pemerintah pusat.
Kesalahpahaman sistematis tersebut terjadi dikarenakan adanya anggapan bahwa pemerintah
pusat ikut menanggung sebagian biaya penyediaan barang dan layanan jasa di daerah.
Pemerintah daerah dalam hal ini dianggap bertindak tidak rasional (Becker, 1996). Dampak
kesalahpahaman sistematis ini tidak hanya dialami oleh pemerintah daerah, tetapi juga oleh
masyarakat sebagai pembayar pajak dan voters di daerah serta pemerintah pusat sebagai
pemberi transfer.
Penelitian pembuktian empiris fenomena flypaper effect di Indonesia telah banyak
dilakukan diantaranya seperti Kusumadewi dan Rahman (2007), Kuncoro (2007), Adi dan
Ekaristi (2009), Pramuka (2010), Rusyidi pada tahun 2010 (publikasi jurnal tahun 2015),
Kristianti dan Hastuti (2011), Bhakti (2013), Calvin dan Yuliana (2016), Rimawan dan
Badrudin (2017), Pratami dan Dwirandra (2017). Dari 10 penelitian yang dikutip tersebut,
sembilan penelitian menemukan terdapat atau terjadi fenonema ilusi fiskal dalam bentuk
flypaper effect. Sedangkan penelitian oleh Pramuka (2010), dalam penelitiannya tidak
menemukan terjadinya feonomena flypaper effect pada belanja daerah kabupaten dan kota di
pulau Jawa. Indikator yang digunakan dalam penelitian-penelitian tersebut adalah
menggunakan nilai koefisien statistik antara PAD dan DAU yang dibandingkan dengan belanja
daerah. Berdasarkan uraian di atas, terdapat hasil yang dominan atas temuan fenomena ilusi
fiskal dalam bentuk flypaper effect terhadap belanja daerah yang dilakukan oleh pemerintah
daerah. Oleh karena itu, dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut:
H1: Terjadi flypaper effect pada belanja daerah kabupaten/kota di Sulawesi
Terjadi ilusi utang pada belanja daerah kabupaten/kota di Sulawesi
Pemerintah daerah membutuhkan modal serta sarana dan prasarana untuk melaksanakan
urusan pemerintahan di wilayahnya (Sulistyo, 2017). Salah satu modal yang dapat diperoleh
pemerintah daerah selain PAD dan dana transfer dari pemerintah pusat adalah utang.
Pendanaan pelaksanaan urusan pemerintahaan pembiayaan obligasi atau utang oleh daerah
diharapkan akan memberikan dampak yang besar kepada masyarakat luas yang pada akhirnya
dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Di Indonesia, tidak banyak penelitian
yang menguji pengaruh utang daerah terhadap belanja daerah dikarenakan tidak semua daerah
memiliki utang (Adi dan Ekaristi, 2009).
Salah satu dorongan pemerintah daerah untuk memiliki utang adalah untuk menutupi
kekurangan fiskal di daerah. Kuncoro (2007) menyatakan dalam kesimpulan penelitiannya
bahwa jumlah pendapatan dana transfer pemerintah pusat yang tidak terprediksi
mengakibatkan pemerintah daerah menggunakan pinjaman (utang) untuk menutupi
kekurangan dalam pembiayaan operasi fiskalnya. Meksipun pemerintah daerah diperbolehkan
untuk memiliki utang, kontrol atas penggunaan utang dipelukan untuk mencegah beban
tambahan dalam anggaran pemerintah daerah. Ariwibawa (2005) menyatakan bahwa utang
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
yang dimiliki pemerintah kota Semarang merupakan salah satu komponen pendapatan
pemerintah kota Semarang meski tidak sebesar PAD dan pendapatan dana transfer dari
pemerintah pusat. Namun demikian, akses informasi atas transparansi pengelolaan dan
pemanfaatan utang oleh masyarakat belum sepenuhnya baik. Suhardjanto dan Yulianingtyas
(2011) menyatakan bahwa pengungkapan informasi oleh pemerintah daerah di Indonesia masih
sangat rendah. Pemerintah daerah masih mengabaikan item-item yang perlu diungkapkan
dalam pengungkapan informasi menurut sistem akuntansi pemerintahan (SAP), khususnya
pengungkapan informasi tentang utang sesuai dengan PSAP No. 09 tentang Akuntansi
Kewajiban.
Utang sebagai komponen pendapatan bagi pemerintah daerah masih belum banyak
diungkapkan dalam laporan keuangan pemerintah daerah. Pengungkapan informasi utang yang
tidak lengkap dapat dijadikan sebagai indikator terjadinya ilusi fiskal. Indikator tersebut adalah
kesalahpahaman antara masyarakat dengan pemerintah daerah akibat ketimpangan dan
keterbatasan akses terhadap informasi jumlah utang serta pengelolaan pemanfaatan utang yang
dapat mendistorsi hak dan kewajiban masyarakat dalam pembangunan di daerah. Barro (1974)
menyatakan bahwa secara sederhana pengukuran deteksi ilusi utang adalah dengan
membandingkan antara kontribusi pemanfaatan utang dengan PAD. Pemanfaatan utang yang
dominan dibandingkan kontribusi PAD dalam belanja daerah mengindikasikan terjadinya ilusi
utang, sebaliknya jika kontribusi pemanfaatan PAD lebih dominan dibandingkan utang, maka
tidak terjadi ilusi utang. Penelitian ini bersifat penelitian awal yang menguji pengaruh utang
terhadap belanja daerah. Selain melihat perbandingan kontribusi antara PAD dan utang, dalam
penelitian ini juga melihat signifikasi pemanfaatan utang (sehingga hipotesis dinyatakan
diterima jika t-statistik melebihi 1,96). Berdasarkan uraian tentang temuan ketidaklengkapan
pengungkapan informasi utang dalam kaitannya dengan konsep ilusi fiskal yang dapat
menimbulkan ketimpangan informasi antara pemerintah daerah, masyarakat dan pemerintah
pusat di atas, peneliti mengajukan hipotesis sebagai berikut:
H2: Terjadi ilusi utang pada belanja daerah kabupaten/kota di Sulawesi
Pengaruh belanja daerah yang terjadi ilusi fiskal flypaper effect dan ilusi utang terhadap
pertumbuhan ekomoni daerah kabupaten/kota di Sulawesi
Setiap penerimaan daerah yang digunakan pemerintah daerah untuk belanja daerah seharusnya
mampu merangsang kenaikan pendapatan domestik regional bruto (PDRB) di daerah sebagai
indikator pengukuran pertumbuhan ekonomi (Adi, 2006). Dalam penjelasan umum UU No. 33
Tahun 2004 dijelaskan bahwa kekuatan dan sumber daya ekonomi daerah melalui dana
transfer, PAD, dan utang setidaknya harus mampu berkontribusi positif terhadap pertumbuhan
ekonomi sehingga dapat memberikan keuntungan bagi pemerintah daerah untuk mendapatkan
pendapatan yang lebih besar dari sisi PAD di masa yang akan datang.
Penelitian tentang ilusi fiskal, khususnya flypaper effect telah banyak dilakukan di
Indonesia. Namun demikian, penelitian pembuktian fenomena ilusi fiskal khususnya flypaper
effect tidak menguji dampaknya terhadap belanja daerah. Salah satu penelitian tentang
fenomena flypaper effect pernah dilakukan oleh Rimawan dan Badrudin (2017) dengan
menguji pengaruh PAD dan DAU terhadap belanja daerah serta dampaknya terhadap
pertumbuhan ekonomi. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa belanja daerah (dengan
fenomena flypaper effect) berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi pada kabupaten/kota
di Nusa Tenggara Barat. Penelitian tersebut menarik untuk dikembangkan dengan memperluas
populasi penelitian, sehingga diharapkan dapat memberikan informasi tentang dampaknya
terhadap pertumbuhan ekonomi pada daerah dengan karakteristik yang berbeda.
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
Selanjutnya, penelitian ilusi utang masih belum banyak diteliti di Indonesia. Hal ini
dikarenakan tidak semua daerah memiliki utang. Namun demikian, pembangunan daerah yang
ekspansif biasanya didukung dengan pembiayaan utang (Barro, 1974). Ariwibawa (2005)
menyatakan bahwa utang merupakan salah satu komponen penerimaan daerah di kota
Semarang. Kuncoro (2007) menyatakan bahwa pemanfaatan penerimaan utang harus dikontrol
sehingga tidak memberatkan anggaran pemerintah daerah. Simamora (2014) dalam
penelitiannya menyebutkan bahwa penerimaan utang dapat dimanfaatkan untuk menutup
defisit yang timbul pada belanja daerah. Penerimaan utang bagi pemerintah daerah dapat
difungsikan seperti halnya PAD dan DAU, yakni menambah komponen penerimaan daerah
untuk melaksanakan fungsi dan peran dalam peyediaan barang serta layanan jasa melaui
belanja daerah dengan tujuan akhir meningkatnya pertumbuhan ekonomi (Abdullah dan Rona,
2014). Perubahan yang terjadi dalam penerimaan daerah, baik itu berasal dari PAD, DAU, dan
utang akan mempengaruhi naik atau turunnya jumlah besaran anggaran belanja pemerintah
daerah. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk menguji pengaruh belanja daerah
yang terjadi flypaper effect dan ilusi utang terhadap perumbuhan ekonomi daerah
kabupaten/kota yang ada di Pulau Sulawesi dengan hipotesis sebagai berikut:
H3: Belanja daerah yang terjadi flypaper effect dan ilusi utang berpengaruh positif
terhadap pertumbuhan ekonomi daerah kabupaten/kota di Sulawesi
Motodologi Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan populasinya adalah seluruh kabupaten/kota yang ada di Pulau
Sulawesi. Jumlah seluruh kabupaten/kota yang ada di enam provinsi di Pulau Sulawesi adalah
81 kabupaten/kota. Peneltian ini menggunakan purposive sampling dalam pengambilan
sampel. Adapun kriterianya adalah kelengkapan data dan informasi dalam laporan neraca
gabungan yang dirangkum oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan Badan Pusat
Statistik. Sedangkan alat analisis yang digunakan adalah analisis partial least square dengan
bantuan software SmartPLS 3.0 berdasarkan pemodelam Sturctural Equation Model (SEM).
Devinisi Operasional Variabel
Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan asli daerah (PAD) adalah semua pendapatan yang diperoleh daerah melalui
pungutan daerah berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan perundang-undangan yang
berlaku. Dalam penelitian ini komponen variabel PAD adalah jumlah keseluruhan pendapatan
yang dihasilkan daerah melalui pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah
dan pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan yang sah.
Dana Alokasi Umum
Dana alokasi umum (DAU) adalah pendapatan yang diperoleh suatu daerah otonom bersumber
dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Penggunaan DAU sebagai variabel
untuk mengukur flypaper effect dianggap tepat karena sifatnya sebagai bantuan dana kepada
pemerintah daerah (Mardiasmo, 2002; Kuncoro, 2007). Untuk keperluan pengujian hipotesis
yang telah diajukan, maka jumlah penerimaan DAU akan diidentifikasi dan dipisahkan dari
jumlah keseluruhan dana perimbangan yang diterima setiap pemerintah daerah kabupaten/kota
yang ada di pulau Sulawesi.
Utang
Dalam UU UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah serta UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dijelaskan bahwa
pinjaman daerah atau utang adalah penerimaan sejumlah dana yang menjadi tambahan
kekayaan pemerintah daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan. Penerimaan
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
pendapatan dari utang menurut Simamora (2014) dapat digunakan untuk menutupi celah fiskal
yang ada dalam belanja daerah. Selain untuk menutupi celah fiskal, penerimaan pendapatan
dari utang dapat dimanfaatkan pemerintah daerah dalam urusan pemerintahan daerah berkaitan
dengan penyediaan barang dan layanan jasa publik melalui belanja daerah. Dalam penelitian
ini, data untuk utang diambil dari data total penerimaan pembiayaan khususnya penerimaan
pinjaman yang dimiliki oleh daerah per kabupaeten/kota yang ada di pulau Sulawesi periode
tahun 2016.
Belanja Daerah
Belanja daerah adalah semua kewajiban pemerintah daerah dalam APBD yang menjadi
pengurang kekayaan pemerintah daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan. Menurut
Adi (2006), belanja daerah adalah fungsi dari setiap penerimaan pendapatan baik dari PAD,
dana transfer dari pemerintah pusat, dan utang yang dimiliki oleh pemerintah daerah.
Penggunaan data belanja daerah secara keseluruhan per kabupaten/kota tanpa
mengklasifikasian belanja menurut jenis atau sifat ekonominya didasarkan pada anggapan
bahwa pemerintah merupakan satu kesatuan fungsi dan peran dalam urusan pemerintahan.
Kesatuan fungsi dan peran pemerintah daerah adalah pemerintah daerah dan unsur birokrasi di
dalamnya melakukan fungsi pengadaan barang dan memberikan pelayanan publik secara luas
kepada masyarakat di daerah. Berdasarkan anggapan tersebut, data belanja daerah digunakan
sebagai variabel endogen intervening dan diukur dengan jumlah total belanja daerah dalam
LRA per kabupaeten/kota yang ada di pulau Sulawesi periode tahun 2016.
Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi adalah ukuran aktivitas yang menunjukkan kegiatan ekonomi guna
menghasilkan tambahan pendapatan masyarakat di suatu wilayah dalam periode tertentu
(Ginting dan Rasbin, 2010). Kegiatan atau aktivitas ekonomi tersebut diukur untuk
mendapatkan referensi tentang perkembangan fiskal (kenaikan nilai) atas suatu barang dan
layanan jasa di suatu wilayah seperti pertumbuhan nilai atas suatu produk barang dan layanan
jasa, pertumbuhan infrastruktur, pertambahan sekolah, dan pertambahan barang modal lainnya
(Sukirno, 2004: 423). Kenaikan nilai produk barang dan layanan jasa di suatu wilayah
menunjukkan tingkat kemakmuran masyarakat di wilayah tersebut. Dalam penelitian ini, data
pertumbuhan ekonomi digunakan sebagai variabel endogen tergantung dengan asumsi bahwa
pertumbuhan ekonomi yang baik adalah suatu kondisi atau keadaan yang hendak dicapai oleh
pemerintah daerah dengan memanfaatkan penerimaan dana oleh daerah baik dari PAD, DAU,
dan utang. Logikanya, pertumbuhan ekonomi diharapkan dapat menunjukkan peningkatan
nilai dalam kegiatan ekonomi sehingga memberikan informasi tentang tingkat kemakmuran
masyarakat di suatu wilayah yang kemudian dapat dijadikan sebagai dasar prediksi pendapatan
daerah, dalam hal ini PAD di masa yang akan datang (Adi, 2006).
Anlisis Induktif
Jumlah sampel yang digunakan untuk pengujian hipotesis berdasarkan kriteria yang telah
ditentukan adalah 78 kabupaten/kota dari total 81 kabupaten/kota yang ada di Pulau Sulawesi
Tengah. Berikut Tabel 1 dan Tabel 2 masing-masing adalah informasi keuangan dan
pertumbuhan ekonomi yang dikelompokkan berdasarkan provinsi kabupaten/kota sampel serta
statistik deskriptifnya.
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
Tabel 1 Informasi Keuangan dan Pertumbuhan Ekonomi
Kabupaten/Kota per Provinsi yang di Pulau Sulawesi (dalam jutaan rupiah & persen)
Nama Provinsi PAD DAU Utang Belanja PE
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Rp786
Rp899
Rp5.086
Rp7.102
Rp7.920
Rp15.947
Rp906.294
Rp1.082.080
Rp3.844.468
Rp13.497
Rp14.825
Rp33.400
90,66
114,52
179,32
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Rp725
Rp423
Rp289
Rp8.192
Rp3.066
Rp3.224
Rp1.003.478
Rp380.448
Rp433.452
Rp15.817
Rp5.706
Rp5.788
114,71
40,96
37,19
Total Rp3.124 Rp29.506 Rp3.805.754 Rp55.635 398,04
Sumber: DJPK dan BPS, data diolah.
Tabel 2 Statistik Deskriptif
N Minimum Maximum Mean
PAD2016 78 4188750,00 1545595538,00 104697303,4872
DAU2016 78 312716538,00 1324023135,00 569334036,9359
UTG2016 78 956378646,00 707018095160,96 98079789302,6249
BD2016 78 532378105,00 3825221632,00 1115963641,7564
PE2016 78 1,62 37,12 7,1737
Valid N (listwise) 78
Sumber: DJPK dan BPS, data diolah.
Berdasarkan analisis statistik deskriptif untuk data dan variabel yang digunakan dalam
penelitian ini menunjukkan nilai terendah, maksimum, dan rata-ratanya pada tahun 2016.
Variabel PAD kabupaten/kota di Sulawesi pada tahun 2016 memiliki nilai terendah sebesar
Rp4.188.750.000,00 yang dimiliki oleh Kabupaten Buton Tengah, Provinsi Sulawesi
Tenggara. Sedangkan variabel PAD kabupaten/kota tertinggi dimiliki oleh Kabupaten
Pangkajene dan Kepulauan dengan nilai sebesar Rp. 1.545.595.538.000,00. Nilai rata-rata
jumlah PAD kabupaten/kota yang ada di Pulau Sulawesi tahun 2016 adalah sebesar
Rp104.697.303,50.
Variabel DAU memiliki nilai terendah sebesar Rp312.716.538.000,00 dimiliki oleh
Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara. Nilai tertinggi variabel DAU pada tahun
2016 sebesar Rp1.324.023.135.000,00 dimiliki oleh Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Nilai
rata-rata variabel DAU tahun 2016 adalah Rp569.334.037.000,00. Untuk variabel utang
(UTG), pada tahun 2016 memiliki nilai terendah sebesar Rp956.378.646.000,00 yang dimiliki
oleh Kabupaten Tojo Una-una, Sulawesi Tengah. Nilai tertinggi UTG sebesar
Rp707.018.095.161,00 dimiliki oleh Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. Untuk
variabel belanja daerah (BD), nilai terendah sebesar Rp532.378.105,00 dimiliki oleh
Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi Tenggara. Nilai tertinggi BD sebesar Rp3.825.221.632,00
dimiliki oleh Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Rata-rata nilai variabel BD adalah
Rp1.115.963.642,00. Pada variabel pertumbuhan ekonomi (PE) dengan laju perumbuhan
ekonomi terendah 1,62% dimiliki oleh Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Laju
pertumbuhan ekonomi tertinggi 37,12% dimiliki oleh Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah.
Keseluruhan laju pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Pulau Sulawesi memiliki nilai rata-
rata sebesar 7,17%.
Jumlah sampel (N) pada Tabel 2 dengan angka 78 menunjukkan jumlah daerah
kabupaten/kota yang dijadikan sampel pengujian berdasarkan pada kriteria yang telah
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
ditetapkan sebelumnya. Kriteria tersebut adalah pengungkapan informasi yang lengkap dalam
laporan neraca gabungan pemerintah kabupaten/kota tahun 2016.
Penilaian Outer dan Inner Model
Penilaian outer model tidak dilakukan karena variabel yang digunakan adalah variabel yang
dapat diukur secara langsung (Ghozali dan Latan, 2015: 31-32). Sedangkan penilaian inner
model didasarkan pada perhitungan nilai Q-square berdasarkan nilai R-Square dan fungsi
blindfolding yang tersedia dalam software SmartPLS 3.0. Tabel 3 berikut adalah hasil
alogaritma untuk memperoleh nilai R-Square dan hasil blindfolding untuk memperoleh nilai
Q-Square.
Tabel 3 Hasil Penilaian Inner Model (Goodness of Fit Model)
Hasil Algorithm Hasil Blinfolding
Variabel R-Square Variabel SSO SSE Q² (1-SSE/SSO)
PAD2016 - BD2016 78,000 16,288 0,791
DAU2016 - DAU2016 78.000 78,000 -
UTG2016 - PAD2016 78,000 78,000 -
BD2016 0,914 PE2016 78,000 76,432 0,020
PE2016 0,47 UTG2016 78,000 78,000 -
Sumber: Output SmartPLS 3.0, data diolah.
Goodness of fit model pada PLS menggunakan ukuran Stone-Geisser Q-Square test
yang berupa nilai Q-Square predictive relevance dihitung berdasarkan nilai R-Square masing-
masing variabel endogen. R-Square variabel endogen intervening (RBD2016²) adalah sebesar
0,914 dan R-Square variabel endogen tergantung (RPE2016²) adalah 0,047, sehingga nilai Q-
Square predictive relevance untuk penilaian goodness fit of model dihitung sebagai berikut:
Q²= 1-(1- RBD2016²) (RPE2016²)
= 1-(1-0,914) (1-0,047)
= 1-(0,086) (0,953)
= 0,92
Q² = 1-(1-0,791) (1-0.020)
= 1-(0,209) (0,98)
= 1-0,205
= 0,795
Berdasarkan perhitungan Q-Square di atas, diperoleh nilai Q-Square predictive
relevance sebesar 0,92 atau sama dengan 92%. Nilai Q-Square predictive relevance menurut
Jaya dan Sumertajaya (2008) akan memiliki nilai prediktif yang baik jika nilai Q-Square
mendekati angka satu. Nilai Q-Square 0,92 atau 92% dapat disimpulkan bahwa model dengan
variabel PAD, DAU, UTG yang telah dibangun memiliki nilai prediktif sebesar 92%,
sedangkan 8% lainnya dijelaskan oleh variabel lain di luar model.
Selanjutnya hasil fungsi blindfolding di atas maka diperoleh nilai Q-Square untuk
masing-masing variabel endogen (intervening dan tergantung) yang ada di dalam model. SSO
dalam tabel adalah sum of squares of observation, sedangkan SSE adalah sum squares of
prediction error. Nilai SSE sebagai nilai kesalahan prediksi dibagi dengan nilai pada kolom
observasi yang kemudian menghasilkan nilai Q-Square. Pada perhitungan di atas, nilai Q-
Square sebesar 0,795 atau sebesar 79,5% variabel eksogen mampu menjelaskan perubahan
pada variabel endogen, sedangkan sisanya dijelaskan variabel diluar model.
Pengujian Hipotesis
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan fungsi yang tersedia
dalam aplikasi komputer SmartPLS 3.0 yang disebut dengan resampling bootstrap. Penerapan
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
metode resampling bootstrap memungkinkan berlakunya data terdistribusi bebas (distribution
free), tidak memerlukan asumsi distribusi normal, serta tidak memerlukan sampel yang besar
(namun direkomendasikan sampel minimum 30). Pengujian hipotesis dan data empiris
dilakukan dengan cara membandingkan nilai t-test per variabel eksogen (diperoleh dari nilai
sampel asli dibagi dengan nilai standar deviasi). Jika diperoleh p-value < 0,05 (alpha 5 %),
maka disimpulkan variabel berpengaruh signifikan pada variabel endogen dan sebaliknya jika
melebihi nilai p-value yang ditetapkan maka pengaruh variabel eksogen dianggap tidak
signifikan. Tujuan pengujian hipotesis dengan menjalankan fungsi resampling bootstrap pada
dasarnya untuk menguji pengaruh variabel eksogen terhadap variabel endogen.
Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan yakni kelengkapan pengungkapan informasi
dalam neraca gabungan, maka dari total 81 kabupaten/kota yang ada di Pulau Sulawesi terpilih
78 sampel yang memenuhi kriteria untuk dilakukan analisis statistik dengan hipotesis yang
telah ditetapkan. Pengujian secara statistik pada data dimakudkan untuk menjawab rumusan
masalah dan hipotesis yang telah dikembangkan disajikan dalam Tabel 4 berikut ini:
Tabel 4 Hasil Resampling Bootsrapp Pengujian Hipotesis
Interaksi Sampel Asli
(O)
Sampel
Mean (M)
Standar
Deviasi
T-Statistik
(O/STDev.) P-Values
BD2016->PE2016 0,217 0,227 0,104 2,085 0,038
DAU2016->BD2016 0,842 0,813 0,095 8,883 0,000
PAD2016->BD2016 0,148 0,172 0,125 1,184 0,237
UTG2016->BD2016 0,077 0,074 0,034 2,247 0,025
Sumber: Output SmartPLS 3.0, data diolah.
Gambar 1 Model Interaksi Variabel (Bootstraping)
Model Pembanding untuk Pembahasan
Model pembanding dalam penelitian ini menggunakan belanja modal yang terdiri atas belanja
barang dan belanja jasa yang dilakukan pemerintah daerah kabupaten/kota yang ada di Pulau
Sulawesi. Belanja modal merupakan bagian belanja daerah secara keseluruhan, namun dengan
tujuan secara khusus untuk menambah barang modal pemerintah daerah. Anggaran belanja
modal adalah anggaran untuk dana yang digunakan dalam menjalankan peran dan fungsi
pemerintah daerah menyediakan barang modal.
Berdasarkan hal tersebut, model pembanding dibuat dengan tujuan untuk mengetahui
upaya pemerintah daerah dalam menyediakan barang dan layanan jasa di daerah guna
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
mendapatkan pengahasilan di masa yang akan datang dari investasi melalui belanja modal.
Pengujian model pembanding dilakukan sama seperti pengujian pada model yang telah
dibangun dalam penelitian ini yang meliputi: (1) analisis deskriptif data penelitian; (2)
penilaian inner model/goodness of fit model; (3) pengujian hipotesis.
Deskriptif Data Model Pembanding
Kriteria penentuan sampel yang akan digunakan adalah kelengkapan pengungkapan informasi
dalam laporan neraca gabungan pemerintah daerah kabupaten/kota yang ada di Pulau Sulawesi.
Berdasarkan kriteria tersebut, diperoleh sampel 73 daerah kabupaten/kota dari total 81
kabupaten/kota di enam provinsi yang ada di Pulau Sulawesi. Tabel 5 berikut adalah statistik
deskiptif keuangan kabupaten/kota yang ada di Pulau Sulawesi.
Tabel 5 Deskripsi Data Model Pembanding
N Minimum Maximum Mean
PAD2016 73 4188750,00 1545595538,00 110137704,9178
DAU2016 73 339526201,00 1324023135,00 576917029,3562
UTG2016 73 956378646,00 707018095160,96 101394007261,4674
BM2016 73 218664041955,00 1749721943828,00 509402491518,7661
PE2016 73 1,62 37,12 7,2344
Valid N (listwise) 73
Sumber: Output SPSS, data diolah.
Hasil analisis deskriptif pada Tabel 5 tersebut di atas menunjukkan PAD tahun 2016 dengan
nilai terendah dimiliki oleh Kabupaten Buton Tengah sebesar Rp4.188.750,00. Pengumpulan
PAD tertinggi dimiliki oleh Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan sebesar
Rp1.545.595.538,00. Rata-rata keseluruhan pemerolehan PAD 73 kabupaten/kota sampel
sebesar Rp110.137.704,92. Perolehan dana transfer dalam bentuk DAU terendah dimiliki oleh
Kabupaten Bolaang Mongondow Timur sebesar Rp339.526.201,00. Kota Makassar memiliki
DAU tertinggi dari seluruh sampel yang ada dengan jumlah sebesar Rp1.324.023.135,00. Rata-
rata nilai perolehan dana transfer DAU dari pemerintah pusat untuk kabupaten/kota yang ada
di Pulau Sulawesi sebesar Rp576.917.029,36.
Besaran utang terendah tahun 2016 dimiliki oleh Kabupaten Tojo Una-una sebesar
Rp956.378.646,00. Nilai tertinggi untuk utang dimiliki oleh Kabupaten Sidenreng Rappang
dengan nilai Rp707.018.095.160,96. Rata-rata utang pada tahun 2016 adalah sebesar
Rp101.394.007.261,47. Untuk belanja modal, nilai terendah dimiliki oleh Kabupaten Buton
Selatan sebesar Rp218.664.041.955,00. Pemerintah daerah yang melakukan belanja modal
tertinggi adalah pemerintah Kota Makassar dengan nilai sebesar Rp1.749.721.943.828,00.
Rata-rata belanja modal yang dilakukan seluruh pemerintah kabupaten/kota di Pulau Sulawesi
sebesar Rp509.402.491.518,77. Tingkat pertumbuhan ekonomi terendah pada tahun 2016
adalah 1,62% yang merupakan capaian pemerintah Kabupaten Luwu Timur, sedangkan
capaian tertinggi diraih oleh pemerintah Kabupaten Banggai dengan nilai 37,12%. Rata-rata
pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota yang ada di Pulau Sulawesi adalah 7,23%.
Penilaian Outer dan Inner Model Pembanding
Penilaian outer model untuk model pembanding tidak dilakukan karena variabel yang
digunakan dalam model pembanding merupakan variabel yang dapat diukur secara langsung.
Sedangkan penilaian inner model dimaksudkan untuk menilai kelayakan model (goodness of
fit model) dengan cara menghitung Q-Square berdasarkan perhitungan nilai R-Square yang
diperoleh dari proses menjalankan fungsi alogaritma dan fungsi blindfolding dalam SmartPLS
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
3.0. Tabel 6 memuat nilai R-Square hasil alogaritma dan Q-Square hasil dari fungsi
blindfolding.
Tabel 6 Hasil Penilaian Inner Model (Goodness of Fit Model)
Hasil Alogaritma Hasil Blindfolding
Variabel R-Square Variabel SSO SSE Q²= (1-SSE/SSO)
PAD2016 - BM2016 73,000 28,003 0,616
DAU2016 - DAU2016 73.000 73,000 -
UTG2016 - PAD2016 73,000 73,000 -
BM2016 0,735 PE2016 73,000 72,46 0,008
PE2016 0,024 UTG2016 73,000 73,000 -
Sumber: Output SmartPLS 3.0, data diolah.
Hasil running algorithm dan blindfolding tersebut dapat digunakan untuk menghitung Q-
Square predictive relevance untuk model pembanding. Perhitungan Q-Square predictive
relevance ukuran Stone-Geisser berdasarkan R-Square hasil fungsi algarithm dan Q-Square
berdasarkan fungsi blindfolding adalah sebagai berikut:
Q² = 1-(1- RBM2016²) (RPE2016²)
= 1-(1-0,735) (1-0,024)
= 1-(0,265) (0,976)
= 0,74
Q² = 1-(1-0,616) (1-0.008)
= 1-(0,384) (0,992)
=1-0,381
= 0,62
Berdasarkan perhitungan Q-Square predictive relevance di atas, diperoleh nilai kekuatan
prediktif berdasarkan R-Square sebesar 0,74 yang masuk dalam kategori baik karena
mendekati angka satu (Jaya dan Sumertajaya, 2008). Sedangkan nilai kekuatan prediktif
berdasarkan blindfolding menghasilkan nilai 0,62 masuk dalam kategori kuat karena berada di
atas nol, sehingga dapat dikatakan model memiliki predictive relevance yang baik (Ghozali
dan Latan, 2015: 42).
Pengujian Hipotesis pada Model Pembanding
Pengujian variabel dalam model pembanding dimaksudkan untuk mengetahui upaya
pemerintah daerah kabupaten/kota di Pulau Sulawesi dalam melakukan investasi terhadap
barang modal guna meningkatkan pendapatan asli daerah di masa yang akan datang. Tabel 7
menunjukkan hasil resampling bootstrap SmartPLS 3 untuk variabel peneltian dalam model
pembanding.
Tabel 7 Hasil Resampling Bootsrap Pengujian Hipotesis
Interaksi Sampel Asli
(O)
Sampel
Mean (M)
Standar
Deviasi
T-Statistik
(O/STDev.) P-Values
BM2016->PE2016 0,154 0,169 0,096 1,596 0,111
DAU2016->BM2016 0,635 0,572 0,128 4,943 0,000
PAD2016->BM2016 0,296 0,348 0,159 1,858 0,064
UTG2016->BM2016 0,077 0,063 0,065 1,184 0,237
Sumber: Output SmartPLS 3.0, data diolah.
Berdasarkan penjabaran dari poin satu dan dua dapat disimpulkan bahwa pengaruh atau
kontribusi DAU lebih besar dibandingkan dengan kontribusi PAD pada belanja modal. Hasil
ini sejalan dengan pengujian pada model dan hipotesis yang telah dibangun. Pada poin dua dan
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
tiga, pengujian dimaksudkan untuk mengukur pengaruh utang terhadap belanja daerah. Hasil
pengujian pada Tabel 4.9 menunjukkan perbandingan antara pengaruh utang yang berarah
positif pada belanja modal, namun tidak signifikan sebesar 1,184. Nilai t statistik pengaruh
utang sebesar 1,184 lebih kecil dibandingkan dengan pengaruh PAD terhadap belanja modal
yakni sebesar 1,858. Nilai t statistik pengaruh utang pada belanja modal tersebut menunjukkan
pemanfaatan utang tidak ditujukan untuk barang modal pemerintah daerah.
Pengaruh belanja modal sebagai upaya pemerintah menyediakan barang modal untuk
memperoleh pendapatan di masa yang akan datang berpengaruh positif, namun tidak
signifikan. Nilai t statistik pengaruh belanja modal terhadap belanja modal sebesar 1,596 dan
nilai p-value 0,111 atau sama dengan 11,1% lebih besar dari 5%, hasil ini berbeda dengan
pengujian pada model penelitian yang telah dibangun.
Gambar 2 Model Interaksi Variabel Model Pembanding (Bootstraping)
Pembahasan
Untuk keperluan pembahasan, hasil pengujian hipotesis diringkas dan disajikan dalam satu
tabel. Berikut pada Tabel 8 adalah ringkasan hasil pengujian hipotesis pada model penelitian
dan model pembanding.
Tabel 8 Ringkasan Hasil Model Penelitian dan Model Pembanding
Model Penelitian (Model A) Model Pembanding (Model B)
Interaksi T-Statistik P-Values Interaksi T-Statistik P-Values
BD>PE 2,085 0,038 BM>PE 1,596 0,111
DAU>BD 8,883 0,000 DAU>BM 4,943 0,000
PAD>BD 1,148 0,237 PAD>BM 1,858 0,064
UTG>BD 2,247 0,025 UTG>BM 1,148 0,237
Sumber: Output SmartPLS 3.0, data diolah
Terjadi Ilusi Fiskal Flypaper Effect pada Belanja Daerah Kabupaten Kota di Pulau
Sulawesi
Fenomena flypaper effect dapat diukur dengan menghitung perbandingan kontribusi PAD dan
DAU pada belanja daerah. Hasil pengujian statistik pada model yang telah dibangun
berdasarkan data empiris menunjukkan kontribusi PAD terhadap belanja daerah sebesar 1,184
dengan p-value 0,237. Nilai Kontribusi tersebut lebih kecil dibanding dengan kontribusi DAU
terhadap belanja daerah dengan nilai 8,883 dengan p-value 0,000. Hasil pengujian ini sejalan
dengan hasil pengujian data pada model pembanding. Uji statistik dengan data epiris pada
model pembanding menunjukkan kontribusi PAD dan DAU terhadap belanja daerah masing-
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
masing diperoleh nilai sebesar 4,943 dengan p-value sebesar 0,000 dan 1,858 dengan p-value
sebesar 0,064.
Berdasarkan hasil pengujian statistik dapat diartikan bahwa pemerintah daerah lebih
menggunakan penerimaan dana transfer dari pemerintah pusat untuk menjalankan peran dan
fungsi dalam menyediakan barang dan layanan jasa publik di daerah. Hal yang perlu
dipertimbangkan oleh pemerintah daerah adalah pemanfaatan dana transfer yang lebih
dominan untuk menyediakan barang dan layanan jasa publik di daerah dapat menurunkan basis
PAD (Oates, 1998 dan 2008). Penurunan basis PAD dapat menyebabkan penerimaan
pendapatan di masa yang akan datang menurun. Di sisi lain, tuntutan masyarakat terhadap
penyediaan barang dan layanan jasa publik terus meningkat. Keadaan seperti ini
mengakibatkan pemerintah daerah memilih dana transfer dan tidak menaikkan tarif pajak atau
pengutan lain kepada masyarakat untuk membiayai penyediaan barang dan layanan jasa publik
dalam belanja daerah dapat mendistorsi hak dan kewajiban masyarakat (Kuncoro, 2004).
Perbandingan hasil pengujian antara model yang telah dibangun (Model A) dengan
model pembanding (Model B) menunjukkan hal yang menarik. Hal menarik tersebut adalah
kontribusi PAD pada Model A (belanja daerah) sebesar 1,184 dan kontribusi pada Model B
(menggunakan belanja modal) sebesar 1,858. Meskipun nilai sinifikan pada model B sebesar
0,064 lebih besar dari 0,05 (5%), tetapi hal tersebut menunjukkan bahwa kontribusi PAD
terhadap belanja modal lebih besar dibandingkan kontribusi PAD pada belanja daerah.
Kontribusi tersebut dapat diartikan bahwa pemanfaatan PAD yang telah dikumpulkan oleh
pemerintah daerah kabupaten/kota yang ada di Pulau Sulawesi telah mengarah pada arah
kebijakan yang baik. Pemerintah daerah memanfaatkan penerimaan PAD untuk belanja modal
lebih besar dibandingkan pada belanja rutin, sehingga dikatakan setiap kenaikan 1,858 PAD
(meskipun tidak signifikan) akan menambah barang modal sebesar 1,858.
Penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya seperti yang dilakukan oleh
Kusumadewi dan Rahman (2007), Kuncoro (2007), Adi dan Ekaristi (2009), Rusyidi (2015),
Kristianti dan Hastuti (2011), Bhakti (2013), Calvin dan Yuliana (2016), Rimawan dan
Badrudin (2017), Pratami dan Dwirandra (2017). Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa
terjadi flypaper effect pada belanja pemerintah daerah. Hasil penelitian ini berbeda temuan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Pramuka (2010). Perbedaan tersebut dikarenakan
interpretasi dari flypaper effect. Pramuka (2010) menggunakan kontribusi positif-negatif untuk
mengklasifikasikan temuannya, sedangkan dalam penelitian ini menggunakan perbandingan
besaran kontribusi PAD dan DAU pada belanja daerah. Berdasarkan hasil pengujian model
yang telah dikembangkan dan model pembanding dapat disimpulkan bahwa kontribusi DAU
lebih besar dibandingkan dengan kontribusi PAD pada belanja daerah dan belanja modal,
sehingga dapat dikatakan terjadi flypaper effect pada belanja daerah kabupaten/kota yang ada
di Pulau Sulawesi. Kesimpulan ini mendukung dugaan yang telah dikembangkan pada
hipotesis satu.
Terjadi Ilusi Utang pada Belanja Daerah Kabupaten Kota di Pulau Sulawesi
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi ilusi fiskal dalam bentuk ilusi utang dalam
belanja daerah yang dilakukan pemerintah daerah. Kontribusi utang lebih besar dibandingkan
dengan kontribusi PAD pada belanja daerah. Uji statistik menunjukkan kontribusi utang
dengan nilai sebesar 2,247 dengan p-value sebesar 0,025 (< 0,05) dan PAD pada belanja daerah
sebesar nilai 1,184 dengan p-value sebesar 0,237 (> 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa
pemerintah daerah memanfaatkan utang dalam belanja daerah. Namun, nilai kontribusi yang
dihasilkan dalam pengujian Model A dan Model B berbeda. Nilai kontribusi utang terhadap
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
belanja daerah pada Model A sebesar 2,247 dengan signifikansi 0,025 (< 0,05), sedangkan
Model B memiliki nilai sebesar 1,184 dengan signifikansi sebesar 0,237 (> 0,05). Hasil ini
menunjukkan bahwa utang memiliki kontribusi positif signifikan pada belanja daerah namun
tidak signifikan pada belanja modal. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan terjadi ilusi
utang pada belanja daerah kabupaten/kota yang ada di Pulau Sulawesi.
Pemanfaatan utang dalam belanja daerah yang signifikan mendukung pernyataan
Ariwibawa (2005), Kuncoro (2007 dan 2008), dan Simamora (2014). Ariwibawa (2005),
mengatakan bahwa utang yang dimiliki pemerintah daerah dapat digunakan untuk menutupi
celah fiskal yang ada dalam belanja daerah. Kuncoro (2007 dan 2008) dalam penelitiannya
menyatakan bahwa pemanfaatan utang harus dikontrol agar tidak memberatkan anggaran
belanja pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Bantuan dana dari pemerintah pusat perlu
dimanfaatkan secara optimal untuk meingkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah, tanpa
mengabaikan bahwa bantuan dana transfer dapat digunakan untuk membayar kewajiban
pemerintah daerah. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Simamora (2014). Dalam penelitiannya, Simamora (2014) menyatakan bahwa utang yang
dimiliki pemerintah daerah berpengaruh positif terhadap belanja pemerintah daerah. Secara
keseluruhan, perbedaan hasil pada Model A dan Model B dapat disimpulkan bahwa
pemanfaatan utang oleh pemerintah daerah bukan ditujukan untuk program-program produktif
tetapi ditujukan untuk menutupi celah fiskal dalam APBD.
Utang sebagai modal tambahan bagi pemerintah daerah dalam melaksanakan peran dan
fungsi guna menyediakan barang dan layanan jasa perlu disosialisasikan kepada voters di
daerah. Sosialisasi pemanfataan dapat mencegah ketimpangan informasi antara pemerintah
daerah, masyarakat, dan generasi yang akan datang. Keterkaitan informasi bagi generasi yang
akan datang adalah adanya asumsi intergenerational equity, yakni generasi yang akan datang
ikut menanggung biaya penyediaan barang dan layanan jasa saat ini.
Pengaruh Belanja Daerah yang Terjadi Flypaper Effect dan Ilusi Utang terhadap
Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Kota di Pulau Sulawesi
Belanja daerah yang terjadi flypaper effect dan ilusi utang berpengaruh positif signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota yang ada di Pulau Sulawesi. Hal ini dapat
dilihat dari hasil pengujian statistik dengan koefisien jalur belanja daerah sebesar 2,085 dan
nilai p-value sebesar 0,038 yang lebih kecil dari alpha 0,005. Hasil penelitian ini dapat
diinterpretasikan bahwa belanja daerah dengan pemanfaatan sumber daya ekonomi seperti
PAD, DAU, dan utang oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di
daerah.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh
Rimawan dan Badrudin (2017). Dalam penelitiannya, Rimawan dan Badrudin (2017)
menyatakan bahwa belanja daerah dengan pengaruh kontribusi DAU yang dominan
dibandingkan dengan PAD pada belanja daerah terhadap pertumbuhan ekonomi adalah positif.
Penelitian ini mendukung pernyataan Adi (2006) bahwa belanja daerah merupakan fungsi dari
setiap penerimaan daerah dan pertumbuhan ekonomi merupakan ekses dari pemanfaatan
penerimaan daerah.
Perbedaan hasil pengujian statistik Model A dan Model B yang berbeda menunjukkan
nilai kontribusi belanja modal terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 1,596 dengan
signifikansi p-value 0,111 (> 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa belanja modal berpengaruh
positif sebesar 1,596 namun tidak tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah.
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
Perbedaan hasil kontribusi penerimaan daerah terhadap belanja daerah lebih besar
dibandingkan kontribusi belanja modal terhadap pertumbuhan ekonomi dapat disebabkan oleh
distribusi pendapatan yang dilakukan pemerintah daerah. Distribusi pendapatan tersebut oleh
pemerintah daerah lebih didominasi melalui belanja rutin yang telah ada sebelumnya seperti
belanja pegawai daerah. Hal ini menunjukkan pemanfaatan dana transfer (DAU), PAD, dan
utang tidak optimal untuk investasi barang modal melalui alokasi anggaran belanja modal guna
meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah.
Kesimpulan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeteksi ilusi fiskal dalam bentuk flypaper effect dan ilusi
utang pada belanja daerah serta dampak belanja daerah dengan ilusi tersebut pada pertumbuhan
ekonomi kabupaten/kota yang ada di Pulau Sulawesi. Berdasarkan hasil pengujian data empiris
secara statistik sehingga dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Terjadi ilusi fiskal dalam bentuk flypaper effect pada belanja pemerintah daerah
kabupaten/kota yang ada di Pulau Sulawesi. Hasil pengujian statistik menunjukkan bahwa
kontribusi DAU lebih besar daripada kontribusi PAD pada belanja daerah. Kontribusi DAU
pada belanja daerah yang lebih besar dapat diinterpretasikan terjadi flypaper effect pada
belanja daerah.
2. Terjadi ilusi utang pada belanja pemerintah daerah kabupaten/kota yang ada di Pulau
Sulawesi. Pemerintah daerah mulai memanfaatkan utang sebagai modal tambahan dalam
menjalankan peran dan fungsinya untuk menyediakan barang dan layanan jasa di daerah.
3. Belanja daerah yang terjadi ilusi fiskal dalam bentuk flypaper effect dan ilusi utang dapat
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota yang ada di Pulau Sulawesi.
Pemanfaatan sumber daya ekonomi yang dimiliki daerah secara tepat dapat menjadi pemicu
pertumbuhan ekonomi di daerah, sehingga di masa yang akan datang pemerintah dapat
memperoleh keuntungan dari pertambahan nilai atas barang dan jasa atau kegiatan ekonomi
lainnya di daerah.
5.2 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki keterbasan sebagai berikut: (1) Penelitian ini hanya menggunakan
neraca, APBD, dan data publikasi BPS satu tahun yakni tahun 2016; (2) Penggunaan data
sekunder untuk menguji fenomena ilusi fiskal dalam bentuk flypaper effect memiliki
keterbatasan dalam hal konfirmasi teori yang tepat untuk menyimpulkan motivasi terjadinya
fenomena flypaper effect di daerah yang menjadi sampel penelitian; (3) Pengujian ilusi utang
dalam penelitian ini menggunakan perbandingan kontribusi PAD dan kewajiban/utang yang
ada di laporan neraca gabungan pemerintah daerah secara kumulatif terhadap realisasi alokasi
belanja daerah. Pengujian kontribusi kewajiban/utang pada belanja modal dilakukan secara
total tanpa mempertimbangkan pengalokasiannya yang dapat menambah barang modal
pemerintah daerah serta perolehan jumlah utang dalam tahun anggaran 2016; (4) Penelitian ini
tidak melakukan studi komparatif sehingga tidak dapat menyimpulkan kelebihan dan
kelemahan atas pengaruh flypaper effect dan ilusi utang terhadap pertumbuhan ekonomi di
daerah yang terjadi flypaper effect dengan daerah yang terjadi ilusi utang.
5.3 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, kesimpulan, dan keterbatasan penelitian, berikut ini adalah saran
untuk penelitian selanjutnya.
1. Pada penelitian selanjutnya dapat mempertimbangkan penggunaan data primer dan menguji
motivasi pemerintah daerah dalam menentukan kebijakan yang menimbulkan fenomena
flypaper effect. Penelitian dengan data primer juga dapat digunakan untuk menguji
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk ikut terlibat dalam membangun daerah
dengan dasar kajian teori keperilakuan keuangan.
2. Pada penelitian selanjutnya perlu mengidentifikasi lebih lanjut perolehan dan pemanfaatan
utang pada belanja modal dengan lebih saksama pada jumlah utang/kewajiban yang
diperoleh pada tahun anggaran yang akan diteliti. Manfaat dari mengidentifikasi lebih
saksama adalah dapat menghitung secara tepat biaya produksi dan tarif penggunaan barang
modal oleh masyarakat daerah.
3. Penelitian selanjutnya dapat melakukan studi komparatif pada belanja daerah yang terdapat
flypaper effect dan ilusi utang dengan belanja daerah yang tidak terdapat fenomena tersebut.
Penelitian selanjutnya juga perlu menambahkan uji beda dalam pengujian sampel data serta
menambah periode tahun yang akan diteliti sebagai tambahan kajian pembahasan dalam
penelitian.
5.4 Implikasi
Penelitian ini memiliki implikasi bagi pemerintah daerah dan masyarakat sebagai berikut:
1. Ilusi fiskal dalam bentuk flypaper effect dan ilusi utang yang terjadi pada kebijakan fiskal
pemerintah daerah dapat menyebabkan terjadinya ketimpangan informasi serta distorsi hak
dan kewajiban masyarakat, pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Pemerintah daerah
sebagai pelaksana urusan pemerintahan di daerah yang sekaligus menjalankan peran dan
fungsi penyediaan barang dan layanan jasa publik dapat memanfaatkan data dan informasi
yang ada untuk menyampaikan kebijakan-kebijakan fiskal yang diambil pemerintah daerah.
Hal ini dapat menyelaraskan hak dan kewajiban antara masyarakat, pemerintah daerah, dan
pemerintah pusat.
2. Pemanfaatan utang oleh pemerintah daerah sebaiknya perlu lebih memperhatikan
transparansi dalam pengelolaannya dan dioptimalkan pada program-program yang
produktif. Hal ini juga berlaku bagi penerimaan-penerimaan lain yang dimiliki pemerintah
daerah. Tujuan alokasi sumber daya ekonomi pada program-program produktif adalah untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi di masa yang akan datang. Keuntungan dari
pertumbuhan ekonomi bagi pemerintah daerah dimasa yang akan datang dapat dijadikan
dasar yang baik untuk mengukur proyeksi tingkat pendapatan asli daerah.
3. Masyarakat di daerah wajib dan perlu memahami tentang kebijakan-kebijakan fiskal yang
diambil pemerintah daerah sebagai wujud keikutsertaan dalam membangun daerah.
Masyarakat di daerah sebenarnya memiliki “hubungan kerja” secara tidak langsung dengan
pemerintah daerah untuk mencapai dan mewujudkan kesejahteraan bersama (welfare
society). Hubungan kerja secara tidak langsung adalah kesadaran masyarakat dalam
memenuhi kewajiban-kewajiban yang ditetapkan pemerintah daerah melalui peraturan
daerah.
4. Adanya asumsi intergenerational equity perlu mendapat perhatian dari pemerintah dan
masyarakat di daerah. Pemerintah dan masyarakat daerah saat ini memanfaatkan utang
untuk melaksanakan pembangunan di daerah secara tidak langsung akan menjadi
tanggungan atau kewajiban bagi generasi yang akan datang. Berdasarkan asumsi tersebut,
pemerintah daerah dan masyarakat perlu menjalankan peran dan fungsinya masing-masing
dengan baik dan optimal sehingga distorsi hak dan kewajiban bagi generasi yang akan
datang dapat diminimalisasi.
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
Daftar Pustaka
Abdullah, Syukriy., dan Rona, Riza. (2014). Pengaruh Sisa Anggaran, Pendapatan Sendiri, dan
Dana Perimbangan terhadap Belanja Modal. Iqtishadia, Vol. 7, No. 1, Maret 2014.
Adi, Priyo Hari. (2006). Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi Daerah, Belanja
Pembangunan dan Pendapatan Asli Daerah. Simposium Nasional Akuntansi IX Padang.
K-ASPP 03. Padang 23-26 Agustus 2006.
Adi, Priyo Hari., dan Ekaristi, Puspa Dewi. (2009). Fenomena Ilusi Fiskal dalam Kinerja
Anggaran Pemerintah Daerah. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia. Vol. 6, No.
1, Juni 2009.
Alderete, Jaime Calleja. (2004). Asymmetric Responses of Local Expenditures to Changes in
Intergovernmental Grants. SIEPR Discussion Paper No. 03-15.
Ariwibawa, Benedictus Didik. (2005). Kapasitas Pengembalian Pinjaman Daerah dalam
Pembiayaan Pembangunan Perkotaan (Studi Kasus Kota Semarang). Tesis. UPT-
PUSTAK-UNDIP, No. Daft : 4215/7/MTWP/CI
Ardika, Gede Tusan., dan Sahrul. (2011). Konsep Dasar Otonomi Daerah dalam Era Reformasi.
GeneÇ Swara, Vol. 5 No.1 Februari 2011.
Barro, Robert J. (1974). Are government bonds net wealth? Journal of Political Economy
82(6): 1095-1117
Becker, Elizabeth. (1996). The Illusion of Fiscal Illusion: Unsticking the Flypaper Effect.
Public Choice 86: 85-102, 1996.
Butt, Simon. (2010). Regional Autonomy and Legal Disorder: The Proliferation of Local Laws
in Indonesia. Sydney Law Review Vol. 32: 177.
Bradford, David F., dan Oates, Wallace E. (1971). Towards a Predictive Theory of
Intergorvernmental Grants. The American Economic Review, Vol. 61, Papers and
Proceedings of the Eighty-Third Annual Meeting of The American Economic
Association.
Dollery, Brian E., and Worthington, Andrew C. (1995). The Impact of Fiscal Illusion on
Housing Values: An Australian Test of the Debt Illusion Hypothesis. Public Budgeting
and Finance 15(3):pp. 63-73.
Dollery, Brian E., and Worthington, Andrew C. (1995). Federal Expenditure and Fiscal
Illusion: A Test of the Flypaper Hypothesis in Australia. The Journal of Federalism 25:
1 (Winter 1995).
Eisenhardt, Kathleen M. (1989). Agensy Theory: An Assessment and Review. The Academy
of Management Review Vol. 14, No. 1 (Jan. 1989) pp. 57-74.
Ginting, Ari Mulianta., dan Rasbin, Rasbin. (2010). Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap
Tingkat Kemiskinan di Indonesia Sebelum dan Sesudah Krisis. Jurnal Ekonomi dan
Kebijakan Publik. Vol. 1 No. 2 (2010).
Halim, Abdul., dan Abdullah, Syukriy. (2006). Hubungan dan Masalah Keagenan di
Pemerintah Daerah: Sebuah Peluang Penelitian Anggaran dan Akuntansi. Jurnal
Akuntansi Pemerintahan Volume 2, Nomor 1, Hal: 53-64, 2006.
Hood, Christoper. (1991). A Public Management for All Seasons?. Public Administration Vol.
69 Spring 1991(3-19).
Indrawati, Novita. (2010). Penyusunan Anggaran Dalam Era New Public Management:
Implementasinya di Indonesia. Jurnal Riset Akuntansi dan Bisnis. Vol. 10 No.
2/September 2010.
Jaya, I Gede Nyoman Mindra., dan Sumertajaya, I Made. (2008). Pemodelan Persamaan
Struktural dengan Partial Least Square. Semnas Matematika dan Pendidikan
Matematika 2008 1-118. 2008.
Kadafi, Muhammad. (2011). Ada Apa dengan Desentralisasi Fiskal di Indonesia. Jurnal Eksis.
Vol. 7, No. 2, Agustus 2011: 1267-2000. ISSN: 0216-6437.
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
Kamaluddin, Rustian. (2000). Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Rangka
Otonomi Daerah. Naskah Publikasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. No.
20. Juni-Juli 2000.
Kambo, Gustiana A. (2015). Entitas dalam Otonomi Daerah. The POLITICS: Jurnal Magister
Ilmu Politik Universitas Hasanuddin. Volume 1, Number 1, January 2015.
Kuncoro, Haryo. (2007). Fenomena Flypaper Effect pada Kinerja Keuangan Pemerintah
Daerah Kota dan Kabupaten di Indonesia. Simposium Nasional akuntansi X Makassar,
26-28 Juli 2007. ASPP-08.
______________. (2008). Variansi Anggaran dan Realisasi Anggaran Belanja Studi Kasus
Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta. Jurnal Manajemen Teori dan Terapan I
Tahun 1, No. 2 Agustus 2008.
Kurniawan, Dhani. (2012). Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal di Indonesia. Jurnal
Ekonomi dan Ilmu Sosial. Volume 7, No. 2 (2012). ISSN: 1858-4071
Kusumadewi, Dyah Ayu., Rahman, Arief. (2007). Flypaper Effect pada Dana Alokasi Umum
(DAU) dan Pendapatan Alsi Daerah (PAD) terhadap Belanja Daerah pada
kabupaten/Kota di Indonesia. JAAI Volume 11, No. 1, Juni, 2007: 67-80.
Lesmana, Sigit Indra .(2010). Pengaruh Karakteristik Pemerintah Daerah terhadap Tingkat
Pengungkapan Wajib di Indonesia. Tesis. Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Litvack, Jennie., Ahmad, Junaid., dan Bird, Richard. (1998). Retihinking Decentralization In
Developing Countries. The International Bank for Reconstruction and Development
ISBN 0-8213-4350-5.
Mardiasmo. (2002). Otonomi Daerah sebagai Upaya Memperkokoh Basis Perekonomian
Daerah. Seminar Pendalaman Ekonomi Rakyat, Krisis Moneter Indonesia. Jakarta, 7
mei 2002.
Napitupulu, Dewi Agustina. (2013). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Gula dalam
Negeri dan Proyeksi Produksi Gula dan Konsumsi Gula di Indonesia. Skripsi. Di ujikan
tanggal 13 Juni 2013 di Universitas Atmajaya Yogyakarta.
Niskanen, William A. (1968). The Peculiar Economics of Bureaucracy. The American
Economic Review, Vol. 58, No. 2, Papers and Proceeding of the Eightieth Annual
Meeting of the American Economic Association (May, 1968), pp. 293-305
Oates, Wallace, E. (1985) On the Nature and Measurement of Fiscal Illusion: A Survey.
Taxation and Fiscal Federalism No. 5. pp 65-82. 1985.
______________. (1999). An Essay on Fiscal Federalism. Journal of Economic Literature.
Vol. 37, No. 3 (Sept. 1999), pp. 1120-1149.
_____________. (2006). On the Theory and Practice of Fiscal Decentralization. IFIR Working
Paper No. 2006-05.
_____________. (2008). On The Evolution of Fiscal Federalism: Theory and Institutions.
National Tax Journal Vol. LXI, No. 2 June 2008.
Partadireja, Ace. (1985). Pengantar Ekonomi, BPFE-UGM, Yogyakarta, 1985, Hal 21.
Pramuka, Bambang Agus. (2010). Flypaper Effect pada Pengeluaran Pemerintah Daerah di
Jawa. Jurnal ekonomi Pembanguan. Volume 11, Nomor 1, Juni 2010, hlm. 1-12.
Pratami, A.A. Putu Nandya Indah., dan Dwirandra, A. A. N. B. (2017). Pengaruh PAD, Dana
Perimbangan, LPDS, dan PDRB pada Belanja Daerah serta Deteksi Ilusi Fiskal. E-
jurnal Akuntansi Universitas Udayana, Vol. 18. 2. Februari (2017): 1141-1170.
ISSN:2302-8556.
Rimawan, M., dan Badrudin, Rudy. (2017). Fenomena Flypaper Effect dan Pengaruhnya
terhadap Belanja Daerah serta Pertumbuhan Ekonomi pada Kabupaten dan Kota di
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
Provinsi Nusa Tenggara Barat. Tesis. Diujikan di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi
Yayasan Keluarga Pahlawan, Yogyakarta (2016).
Rusyidi, Bahrudin Ulum. (2015). Analisis Determinan Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah
dan Deteksi Ilusi Fiskal (Studi Kasus Provinsi di Indonesia tahun 2005-2008).
Iqtisaduna, Volume 1 Nomor 2, Desember 2015: 116-129.
Sasana, Hadi. (2009). Peran Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Ekonomi di
Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 10, No. 1,
Juni 2009, Hal. 102-124.
Setyaningrum, Dyah., dan Syafitri, Febriyani. (2012). Analisis Karateristik Pemerintah Daerah
terhadap Tingkat Pengungkapan Laporan Keuangan. Jurnal Akuntansi dan Keuangan
Indonesia. Volume 9 No. 2, Desember 2012.
Sidik, Machfud. (2002). “Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam Rangka
Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah”. Orasi ilmiah acara wisuda XXI STIA
LAN Bandung, 2002.
____________. (2002). Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah sebagai Pelaksanaan
Desentralisasi Fiskal (Antara Teori dan Aplikasinya Di Indonesia). Seminar “Setahun
Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah di Indonesia”. Yogyakarta, 13 Maret 2002.
____________. (2002). Format Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah yang
Mengacu pada Pencapaian Tujuan Nasional. Seminar Nasional “Public Sector
Scorecard”. Jakarta, 17-18 April 2002.
Simanjuntak, Robert A. (2003). Kebijakan Pungutan Daerah di Era Otonomi. Working Paper
No. 6/2003.
Simamora, Sihar. (2014). Pengaruh Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA), Penerimaan
dan Pengeluaran Pembiayaan terhadap Belanja Daerah: Dalam Perspektif Teoritis.
Jurnal Riset Akuntansi dan Bisnis. Vol. 14 No. 2/September 2014.
Suhardjanto, Djoko., dan Yulianingtyas, Rena Rukmita. (2011). Pengaruh Karakteristik
Pemerintah Daerah terhadap Kepatuhan Pengungkapan Wajib dalam Laporan
Keuangan Pemerintah Daerah (Studi Empiris pada Kabupaten/Kota di Indonesia).
Jurnal Akuntansi dan Auditing, Vol. 8/No.1/November 2011:1-94.
Sulistyo, Budi. (2017). Pasang Surut (Rencana) Penerbitan Obligasi Daerah. Publikasi Ilmiah
Kementerian Keuangan Republik Indonesia tanggal 31 Oktober 2017.
https://www.kemenkeu.go.id/...dan.../pasang-surut-rencana-penerbitan-obligasi-
daerah.
Turnbull, Geoffrey K. (1998). The Overspending and Flypaper Effects of Fiscal Illusion:
Theory and Empirical Evidence. Journal of urban economics 44, 1-26 -1998.
Wagner, Richard E. (1976). Revenue Structure, Fiscal Illusion, and Pubic Budgetary Choice.
Public Choice (pre-1986); Sping 1976; 25, ABI/INFORM Global.
Waluyo, Joko. (2007). Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan
Ketimpangan Pendapatan Antardaerah di Indonesia. Parrarel Session IA: Fiscal
Decentralization. 12 Desember 2007, Wisma Makara, Kampus UI-Depok.
[BPS] Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. (2016). Publikasi Statistik Keuangan
Pemerintah Kabupaten/Kota tahun 2016. Buku satu dan buku dua. Dikeluarkan di
Jakarta, April 2017.
[FITRA] Forum Informasi untuk Transparansi Anggaran. (2012) Analisis Anggaran Daerah:
Studi Terhadap APBD Tahun 2008-2011 20 Kabupaten/Kota di 4 Provinsi.
Dikeluarkan di Jakarta pada bulan Mei 2012.
_______________________________________________(2016). Laporan Analisis Anggaran
Daerah 2016 Hasil Penelitian 70 Kabupaten/Kota. Dikeluarkan di Jakarta tahun 2016.
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
Ghozali, Imam. dan Latan, Hengky. (2015). Partial Least Squares. Konsep, Teknik dan
Aplikasi Menggunakan Program SmartPLS 3.0 untuk Penelitian Empiris. Badan
Penerbit Universitas Diponegoro Semarang. ISBN: 979.704.300.2.
Sukirno, Sadono. (2004). Makroekonomi Teori Pengantar. Edisi Ketiga. Divisi Buku
Perguruan Tinggi PT RajaGrafindo Persada. Jakarta, 2004.
Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntasi Pemerintahan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
Top Related