MISTERI ALAM SEMESTA
DENNIS OVERBYE©2002
Dennis Overbye, reporter sains The Times, menyelidiki misteri-misteri alam semesta – dari black hole hingga mekanika quantum – dalam koleksi artikel ini, yang diseleksi oleh Tuan Overbye sendiri.
MISTERI ALAM SEMESTA
Terjemahan ini diterbitkan oleh SeSa Media, UKM., Jl. Hidup 47, Long East, 12347. Jooright 2011 SeSa Media, UKM. Joo rights reserved. Terjemahan ini telah dicatat sebagai salah satu karya SeSa Media dalam JOO Rights Commons Work. Tak satupun di dalam bagian terjemahan ini yang muncul dengan sendirinya. Kunjungi situs kami di http://sesamedia.wordpress.com
Diterjemahkan oleh SeSa Media
anggota dari JSF [WORKGROUP]
SeSa Media & logo adalah merek milik JSF [WORKGROUP]
Penerjemahan & penyuntingan oleh Jookut dkk.
Desain sampul & grafis oleh RGB@SKY Studio
Buklog Bukupedia
SeSa Media
Terjemahan Mysteries of the Universe / SeSa Media
a4. h. mm.
JRCW 12347 020MT 108SR
1. Alam Semesta. 2. Kosmologi. 3. Fisika.
EA3—2010.tr5731O
Semua hasil kerja SeSa Media terdaftar di JOO Rights Commons Work. Dengan demikian,
telah dapat dipastikan bahwa hasil terjemahan ini tidak muncul dengan sendirinya dan
menjadi pengakuan jelas & tegas bahwa SeSa Media-lah yang telah mengerjakan semua
proses penerjemahan buku ini. Agar di kemudian hari tidak muncul fitnah bahwa buku ini
tidak diterjemahkan melainkan muncul dengan sendirinya begitu saja, atau fitnah bahwa si
penerjemah buku ini hanya mengaku-aku menerjemahkan.
Jooright 2010 SeSa Media
Joo rights reserved. Semua yang kami lakukan bukan demi kepentingan komersial. Jadi,
kami tidak menghutangi Anda dengan apa yang kami lakukan. Karena itu, dengan segala
kerendahan hati, kami minta agar hasil terjemahan kami tidak dikomersialkan oleh pembaca
sekalian. Jika Anda tidak mengindahkannya, maka pernyataan ini dapat diartikan sebagai
bentuk tanggungjawab kami kepada mereka yang mengerti dan mengindahkan.
SECARA KHUSUS, kami mohon maaf kepada Dennis Overbye dan The New
York Time Company yang telah menerbitkan buku “MYSTERIES OF THE
UNIVERSE”. Proses penerjemahan ini kami lakukan tanpa meminta izin
kepada Anda sekalian. Karena itu, dengan ini kami juga mengakui bahwa kami
akan disalahkan jika ada penggunaan istilah yang tidak sesuai dengan yang
dimaksudkan.
Jika yang kami lakukan ini dapat dikatakan sebagai bentuk kebebasan
(meskipun dalam beberapa bagian ataupun sebagian, kami tidak setuju
seluruhnya), semoga Anda setuju dengan apa yang kami lakukan. Kami tidak
mengambil keuntungan apa-apa dari penerjemahan buku ini.
Untuk Anda pembaca terjemahan ini, kami nyatakan bahwa kami tidak
menambah atau mengurangi sesuatu apapun dalam isi terjemahan ini. Jika
ada kekurangtepatan dalam menyampaikan maksud kalimat dan istilah, kami
mohon maaf dengan sebesar-besarnya, baik kepada yang sangat mengerti
Kosmologi, Astronomi, Fisika, Bahasa Indonesia, ataupun Bahasa Inggris.
Akhirnya, kami persembahkan setiap hasil terjemahan kami ini khusus
kepada Umat Islam di negeri ini dari Merauke sampai Sabang, dari Talaud
sampai Rote, dan secara umum untuk masyarakat Indonesia. GRATIS! FREE!
PRAKATAW
Copyright ©2002
Dennis Overbye
The New York Times Company
http://www.nytimes.com
All rights reserved. No part of this book may be reproduced without written
permission from the publisher. The publisher takes no responsibility for the
use of any of the materials or methods described in this book, nor for the
products thereof.
COPYRIGHT
6
Joo Rights Commons Work
Prakataw
Copyright
KONSTANTA KOSMOLOGIS | 26 Mei 1998 8
Faktor ‘Palsu’ Einstein yang Terkenal Kembali Menghantui Kosmologi
FISIKA QUANTUM | 12 Desember 2000 15
Teori Quantum Ditarik, dan Seluruh Fisika Terurai
Mekanika Bocah 17
Perang Quantum 19
Diam dan Hitung 20
Ke Mana Keganjilan Ini Menuju 21
Akar Keganjilan 23
FISIKA PARTIKEL | 20 Maret 2001 25
Dalam Fisika Baru, Quark Tidaklah Terisolir
DARK ENERGY | 10 April 2001 30
Dari Cahaya Menuju Kegelapan: Alam Semesta Baru Astronomi
WAKTU IMAJINER | 22 Mei 2001 37
Sebelum Big Bang, Ada...Apa?
Pertanyaan Atas Kekekalan: Mencoba Membayangkan Kenihilan 39
Akhir Waktu: Kartu Lain di Dek Besar 41
Keyakinan String: Para Teoris Mengajukan Dunia ‘Bran’ 42
Tubrukan Dunia: Pengenalan Sebuah Kemungkinan Baru 44
TEORI STRING vs. RELATIVITAS | 12 Juni 2001 46
Teoris Inner Space Memandang Pengamat Outer Space
DAFTAR ISI
7
THEORY OF EVERYTHING | 11 Desember 2001 50
Memecahkan Kode Kosmik dengan Sedikit Bantuan dari Dr. Hawking
KEMUNGKINAN TIADA AKHIR | 1 Januari 2002 55
Akhir Segalanya
Tawa Terakhir Einstein 56
Selamat Tinggal 58
Melawan Datangnya Malam 60
Ketakterhinggaan sedang Diadili 61
DARK MATTER | 8 Januari 2002 64
Dark Matter, Masih Sulit Dimengerti, Semakin Terlihat
RADIASI BLACK HOLE | 22 Januari 2002 70
Terobosan Hawking Masih Menjadi Enigma
Menulis di Dinding 73
Derajat Kebebasan 74
Batas Keindahan 75
Semua ini Ada dalam Matematika 76
Dr. JOHN ARCHIBALD WHEELER | 12 Maret 2002 78
Mengintai Gerbang Waktu
Raja Filsuf: Percakapan Bohr Sisakan Tanda yang Tak Dapat Dihapus 80
Gerbang Waktu: Jalan Buntu Pandangan Kosmik yang Paradoks 81
It from Bit: Perkataan Einstein Ditatah pada Batu 83
REALITAS MATEMATIKA | 26 Maret 2002 86
Persamaan Paling Memikat dalam Sains: Keindahan sama dengan Kebenaran
KUTIPAN 91
SeSa Na
Nuhun Ka
8
ADA segelintir ilmuwan yang bisa dikatakan kekeliruannya lebih menarik
daripada kesuksesan rekan-rekannya, Albert Einstein adalah salah
satunya. Hanya sedikit “blunder” yang memiliki hidup lebih panjang dan
lebih penting dari konstanta kosmologis, terkadang digambarkan sebagai
faktor palsu paling terkenal dalam sejarah sains, yang Einstein tambahkan
pada teori relativitas umumnya di tahun 1917. Peranan konstanta tersebut
adalah menyediakan gaya tolak untuk menahan alam semesta dari (secara
teoritis) kekolapsan akibat bobotnya sendiri. Einstein membuang konstanta
kosmologis ketika alam semesta diketahui mengembang, tapi pada tahun-
tahun berikutnya, konstanta kosmologis itu, layaknya Rasputin, bersikeras
menolak untuk mati, menyeret dirinya tampil ke depan, membisikkan enigma-
enigma mendalam dan gaya-gaya baru yang misterius di alam, setiap kali para
kosmolog menemui kesukaran dalam merekonsiliasi observasi alam semesta
dengan teori-teori mereka.
Tahun ini, konstanta kosmologis tersebut kembali masuk berita sebagai
penjelasan atas penemuan yang banyak dilaporkan, berdasarkan observasi
bintang-bintang meledak yang jauh, bahwa suatu jenis “energi aneh” rupanya
sedang mempercepat perluasan alam semesta. “Jika konstanta kosmologis
sudah mencukupi bagi Einstein,” kata Michael Turner dari Universitas Chicago
dalam sebuah pertemuan di bulan April, “maka mestinya juga cukup bagi kita.”
Einstein telah wafat 43 tahun lalu. Bagaimana ia dan faktor palsu
80-tahunnya sampai menjadi pusat revolusi dalam kosmologi modern?
Kisahnya bermula di Wina dengan sebuah konsep mistis yang Einstein
sebut prinsip Mach. Wina adalah benteng intelektual Ernst Mach (1838-
1916), fisikawan dan filsuf yang menunggangi sains Eropa layaknya seorang
Colossus. Skala ukuran kecepatan supersonik dinamai dengan namanya.
Peninggalan terbesarnya sangat filosofis; ia teguh berpendapat bahwa semua
pengetahuan berasal dari akal sehat, dan kukuh menentang pengenalan
konsep metafisik, demikian ia menganggapnya, dalam sains, atom contohnya.
KONSTANTA KOSMOLOGISFaktor ‘Palsu’ Einstein Kembali Menghantui Kosmologi
9
Peninggalan lainnya ialah gagasan tentang absolute space (ruang
absolut), yang membentuk kerangka alam semesta Newton. Mach
berpendapat bahwa kita tidak melihat “ruang”, kita hanya pemain di
dalamnya. Semua pengetahuan kita tentang gerak, jelasnya, hanya relatif
terhadap “bintang-bintang diam” (fixed star). Dalam buku-buku dan paper-
nya, ia bertanya-tanya apakah kelembaman, kecenderungan sebuah objek
untuk tetap diam atau bergerak hingga didorong oleh gaya eksternal, sama
relatifnya dan berasal dari suatu interaksi dengan segala sesuatu di alam
semesta.
“Apa yang terjadi pada hukum kelembaman jika seluruh angkasa mulai
bergerak dan bintang-bintang berkerumun dalam keadaan kacau?” tulisnya
pada tahun 1911. “Hanya jika alam semesta musnah kita akan tahu bahwa
semua benda, dengan bagiannya masing-masing, sangat penting dalam
hukum kelembaman.”
Mach tak pernah mengajukan taksiran tentang bagaimana interaksi
misterius ini bekerja, tapi Einstein, yang mengagumi skeptisme Mach, terpikat
pada apa yang kadang ia sebut sebagai prinsip Mach dan kadang disebutnya
relativitas kelembaman. Ia ingin memasukkan konsep tersebut ke dalam teori
relativitas umumnya, yang diselesaikan pada tahun 1915. Teori ini menjelaskan
bagaimana materi dan energi mendistorsi atau “melengkungkan” geometri
ruang dan waktu, menimbulkan sebuah fenomena yang disebut gravitasi.
Dalam bahasa relativitas umum, prinsip Mach mensyaratkan bahwa
lengkungan ruang-waktu semestinya ditentukan semata-mata oleh materi
atau energi lain di alam semesta, dan bukan suatu kondisi inisial atau
pengaruh luar – yang fisikawan sebut kondisi batas. Einstein mengartikan ini
bahwa mustahil memecahkan persamaan miliknya untuk kasus objek terpisah
(solitary object) – atom atau bintang yang sendirian di alam semesta – sebab
tak ada yang bisa diperbandingkan dengannya atau berinteraksi dengannya.
Jadi Einstein terkejut beberapa bulan setelah mengumumkan teori
barunya, ketika Karl Schwarzschild, astrofisikawan Jerman yang bertugas
di garis depan Perang Dunia I, mengiriminya suatu solusi, yang melukiskan
medan gravitasi di sekitar bintang terpisah (solitary star). “Saya tidak percaya
bahwa penyelesaian sempurna atas persoalan massa pokok tersebut begitu
sederhana,” ujar Einstein.
Mungkin sebagian terpacu oleh hasil Schwarzschild, di musim gugur
1916 Einstein mengalihkan perhatiannya kepada penemuan alam semesta
10
berperbatasan yang mencegah sebuah bintang melarikan diri dari tetangganya
dan tidak mengeluyur menuju ketersendirian tak terhingga non-Mach. Dia
menyusun gagasannya dalam sebuah korespondensi dengan astronom
Belanda, Willem de Sitter, yang mana akan diterbitkan musim panas tahun ini
oleh Princeton University Press dalam Volume 8 “The Collected Papers of Albert
Einstein”. Sebagaimana kebanyakan koleganya kala itu, Einstein menganggap
alam semesta terdiri dari sebuah kumpulan bintang, yaitu Bima Sakti, yang
dikelilingi oleh ruang luas. Salah satu pemikirannya memprediksikan eksistensi
“massa jauh” yang melingkari pinggir Bima Sakti layaknya sebuah pagar.
Massa-massa ini melengkungkan ruang dan menutupnya.
Rekannya, de Sitter, mencemooh gagasan tersebut, mengatakan
bahwa massa “supranatural” ini bukan bagian dari alam semesta tampak
(visible universe). Gagasan tersebut tidak lebih lezat dari gagasan lama Newton
tentang ruang absolut, yang sama-sama tak tampak dan berubah-ubah.
Dalam keputus-asaan dan terbaring karena penyakit kandung
empedu pada Februari 1917, Einstein menemukan gagasan mengenai alam
semesta tanpa perbatasan, di mana ruang melengkung sampai menemui
dirinya sendiri, seperti permukaan bola, oleh materi di dalamnya. ”Saya telah
mengemukakan usulan lain berkenaan dengan gravitasi, yang memberitahu
saya tentang bahaya terkurung di rumah sempit,” utaranya pada seorang
teman.
Ini membuang kebutuhan adanya perbatasan – permukaan bola tidak
memiliki perbatasan. Alam semesta gelembung seperti itu ditetapkan semata-
mata oleh kandungan materi dan energinya, sebagaimana bunyi prinsip Mach.
Tapi ada satu masalah baru; alam semesta ini tidak stabil, gelembung tentunya
mengembang atau mengerut. Bima Sakti terlihat tidak mengembang ataupun
mengerut; bintang-bintangnya tidak terlihat sedang bergerak istimewa.
Di sinilah konstanta kosmologis masuk. Einstein membuat sedikit
perbaikan matematis pada persamaan-persamaannya, menambahkan
“sebuah suku kosmologis” yang memantapkan persamaannya dan alam
semesta. Secara fisika, suku baru ini, yang dilambangkan dengan huruf
lambda (λ) Yunani, merepresentasikan suatu jenis gaya tolak luas (long-range
repulsive force), yang barangkali menahan kosmos dari kekolapsan akibat
bobotnya sendiri.
Tak dapat disangkal, Einstein mengakui dalam paper-nya, bahwa
konstanta kosmologis “tak bisa dibuktikan oleh pengetahuan gravitasi kita
11
saat ini”, tapi itu pun tidak berkontradiksi dengan relativitas. Hasil
menyenangkannya adalah alam semesta statis yang—hampir menurut
setiap orang—geometrinya sangat ditentukan oleh materi. “Ini adalah
pokok persyaratan relativitas kelembaman,” jelas Einstein kepada de Sitter.
“Menurut saya, selama persyaratan ini belum terpenuhi, sasaran relativitas
umum tidak tercapai sama sekali. Ini hanya terjadi dengan suku lambda.”
Lucunya, tentu saja, adalah Einstein tidak memerlukan alam semesta
statis untuk mendapatkan model alam semesta Mach. Michael Janssen,
fisikawan Universitas Boston dan pakar Einstein, memberitahukan, “Einstein
memerlukan konstanta tersebut bukan karena kegemarannya akan filsafat
tapi karena prasangkanya bahwa alam semesta itu statis.”
Di samping itu, demi mencoba menyelamatkan alam semesta untuk
Mach, Einstein menghancurkan prinsip Mach. “Suku kosmologis tersebut
sangat-sangat anti-Mach, dalam pengertian bahwa suku itu menganggap
sifat-sifat intrinsik (densitas tekanan dan energi) berasal dari ruang semata-
mata, tanpa kehadiran materi,” kata Frank Wilczek, seorang teoris di Institute
for Advanced Study di Princeton.
Namun, alam semesta baru Einstein segera berantakan. Sepuluh tahun
berikutnya, astronom Edwin Hubble, di California, memperlihatkan bahwa
nebula spiral misterius adalah galaksi-galaksi yang sangat jauh dan terus
menjauh – singkatnya, alam semesta kemungkinan sedang mengembang.
De Sitter lebih jauh mengacaukan Einstein dengan mengajukan
solusinya sendiri atas persamaan Einstein, menggambarkan alam semesta
yang sama sekali tidak memiliki materi di dalamnya.
“Itu tidak memuaskan, menurut saya,” gerutu Einstein, “sekalipun
dunia tanpa materi adalah mungkin.”
Alam semesta hampa-nya de Sitter juga diduga statis, tapi itu terbukti
adalah ilusi. Kalkulasi menunjukkan bahwa ketika partikel-partikel ujicoba
disisipkan ke dalamnya, mereka terbang saling menjauh. Itu adalah kesulitan
lainnya bagi Einstein. “Jika tidak ada dunia quasi-statis,” katanya pada tahun
1922, “maka enyahlah suku kosmologis.”
Pada tahun 1931, setelah perjalanan menuju observatorium di Pasadena
(California) untuk menemui Hubble, Einstein membalikkan punggungnya
pada konstanta komsologis untuk selama-lamanya, menyebutnya “juga tak
memuaskan secara teoritis”.
12
Ia tak pernah menyebut-nyebutnya lagi.
Sementara itu, persamaan-persamaan untuk perluasan alam semesta
telah ditemukan secara terpisah oleh Aleksandr Friedmann, teoris muda Rusia,
dan oleh Abbe Georges Lemaitre, fisikawan dan pendeta Belgia. Setahun
setelah kunjungannya ke Hubble, Einstein melemparkan pelurunya, bersama-
sama dengan de Sitter, tentang rahasia alam semesta yang mengembang
tanpa konstanta kosmologis.
Tapi konstanta kosmologis tetap bertahan dalam imajinasi Lemaitre,
yang menemukan bahwa melalui aplikasi lambda secara hati-hati dirinya bisa
mengkonstruksi alam semesta yang memulai perluasan secara perlahan dan
kemudian mencepat, alam semesta yang mulai dengan cepat dan kemudian
melambat, atau yang mulai mengembang, berhenti sejenak, dan kemudian
kembali mengembang.
Model terakhir ini memberi isyarat singkat kepada beberapa astronom
di awal 1950-an, ketika pengukuran perluasan kosmik, secara memalukan,
menunjukkan bahwa alam semesta hanya berusia dua miliar tahun – usia yang
jauh lebih muda. Sekelompok astronom mendatangi Einstein di Princeton
dan mengatakan bahwa menghidupkan kembali konstanta kosmologis bisa
memecahkan persoalan selisih usia tersebut. Einstein menampik mereka,
mengatakan bahwa pengenalan konstanta kosmologis adalah blunder
terbesar dalam hidupnya. George Gamow, salah seorang dari astronom yang
datang itu, menyebutkan kata-kata Einstein tersebut dalam otobiografinya,
“My World Line”, dan itu menjadi bagian dari legenda Einstein.
Einstein wafat tiga tahun kemudian. Pada tahun-tahun setelah
kematiannya, mekanika quantum, rangkaian kaidah aneh yang menjelaskan
alam pada level subatom (sesuatu yang dibenci Einstein), mentransformasi
konstanta kosmologis dan memperlihatkan seberapa baik pengetahuan
awal Einstein sebetulnya dalam menemukannya. Prinsip ketidakpastian (dan
mistis) yang terkenal tersebut menetapkan bahwa tak ada kenihilan, dan
bahkan ruang hampa pun bisa dianggap berbuih energi.
Efek energi vakum ini terhadap atom-atom telah dideteksi di
laboratorium, seawalnya tahun 1948, tapi tak ada seorang pun yang berpikir
untuk menyelidiki pengaruhnya terhadap alam semesta secara keseluruhan
hingga tahun 1967, ketika sebuah krisis baru, perkembangbiakan terlalu
banyak quasar sewaktu alam semesta masih berukuran 1/3 dari ukurannya
sekarang, membawa pada bangkit kembalinya gumaman soal konstanta
13
kosmologis. Jakob Zeldovich, teoris legendaris Rusia yang jenius dalam
mengawinkan mikrofisika dengan alam semesta, menyadari bahwa energi
vakum quantum ini bisa masuk ke dalam persamaan-persamaan Einstein
persis seperti konstanta kosmologis yang lalu.
Masalahnya adalah bahwa kalkulasi langsung fluktuasi quantum ini
menunjukkan bahwa energi vakum di alam semesta adalah sekitar 118 order
of magnitude (10 diikuti oleh 117 nol) kali lebih padat dari materi. Jika kasusnya
demikian, konstanta kosmologis harusnya telah menggumalkan alam semesta
ke dalam black hole pada saat-saat pertama eksistensinya atau cepat-cepat
meniup kosmos saling menjauh sehingga atom-atom sekalipun tidak akan
terbentuk. Namun fakta bahwa alam semesta telah dan sedang mengembang
dengan tenang gembira selama kira-kira 10 miliar tahun mengandung arti
bahwa suatu konstanta kosmologis, jika memang ada, sungguh kecil.
Meski membuat asumsi yang paling optimistis, Dr. Zeldovic masih tidak
dapat membuat konstanta kosmologis di bawah semiliaran kali dari batas
yang teramati.
Sejak saat itu, banyak teoris partikel berasumsi bahwa karena alasan
tertentu yang masih belum diketahui sampai sekarang, konstanta kosmologis
adalah nol. Di era teori superstring dan theory of everything yang mencatat
waktu/masa sejak mikro mikro detik pertama, konstanta kosmologis telah
menjadi pintu jebakan di ruang bawah tanah fisika, menyiratkan bahwa pada
suatu level fundamental, sesuatu tentang dunia ada yang terlalaikan. Dalam
sebuah artikel dalam Reviews of Modern Physics tahun 1989, Steven Weinberg
dari Universitas Texas mengisyaratkan konstanta kosmologis sebagai “sebuah
krisis nyata”, dan barangsiapa yang menemukan solusi, akan berdampak luas
pada fisika dan astronomi.
Keadaan semakin menarik di tahun 1970-an dengan kedatangan teori-
teori fisika partikel, yang menonjolkan suatu entitas bayangan yang dikenal
sebagai Higgs field (medan Higgs), yang merembesi ruang dan memberi
atribut pada partikel-partikel unsur. Kalangan fisikawan menduga bahwa
densitas energi di medan Higgs saat ini adalah nol, namun di masa lalu,
ketika alam semesta masih panas, energi Higgs boleh jadi sangat besar dan
mendominasi dinamika alam semesta. Kenyataannya, spekulasi bahwa
episode tersebut terjadi pada sepersedetik setelah Big Bang, memompa
kerut-kerut dari chaos purba (yang menurut Dr. Turner energi vakum kala itu
berlaku sempurna), telah mendominasi kosmologi dalam 15 tahun terakhir.
14
“Kita ingin menjelaskan mengapa saat ini konstanta kosmologis kecil,
bukan mengapa ia senantiasa kecil,” tulis Dr. Weinberg dalam kajiannya.
Dalam usaha menyediakan penjelasan, para teoris belakangan ini terdorong
untuk membicarakan, di antaranya, tentang multiple universes yang terhubung
oleh terowongan ruang-waktu yang disebut wormhole.
Aroma krisis ini diekspresikan dengan baik oleh Dr. Wilczek beberapa
tahun lalu dalam sebuah konferensi astrofisika. Menutup diskusi di akhir
pertemuan, dia akhirnya sampai pada konstanta kosmologis. “Whereof one
cannot speak, thereof one must be silent” (seseorang pasti diam tentang
sesuatu yang tidak bisa dibicarakannya),” ucapnya, mengutip “Tractatus
Logico-Philosophicus”-nya Ludwig Wittgenstein.
Sepertinya sekarang para astronom telah memecahkan keheningan itu.
15
MEREKA mencoba meyakinkan Max Planck untuk berhenti menjadi
fisikawan, dengan alasan bahwa di situ tidak ada yang tersisa untuk
ditemukan. Planck muda tidak menghiraukannya. Dia adalah pemuda
konservatif dari selatan Jerman, keturunan profesor dan kepala gereja; dia
senang menambah kesempurnaan pada apa yang telah diketahui.
Malah, ia menghancurkannya, dengan mencaritahu apa yang terjadi
pada simpul longgar yang jika ditarik akan mengurai seluruh struktur yang
telah dianggap sebagai realitas.
Sebagai profesor baru di Universitas Berlin, pada musim gugur 1900
Planck memulai kalkulasi karakteristik spektrum dari pijaran sebuah objek
yang dipanaskan. Kalangan fisikawan punya alasan bagus untuk menduga
bahwa jawabannya akan menjelaskan hubungan antara cahaya dan materi dan
mengangkat taraf industri lampu listrik Jerman. Tapi kalkulasi itu terganggu
oleh kesulitan-kesulitan.
Planck berhasil menemukan formula yang tepat, tapi ada harganya,
karena dia dilaporkan ke German Physical Society pada 14 Desember. Dalam
“tindakan putus asa”, demikian dia menyebutnya, dia harus menganggap
bahwa atom-atom hanya dapat memancarkan energi dalam jumlah berlainan
yang kemudian dia sebut quanta (dari bahasa Latin, quantus, berarti “berapa
banyak”) daripada dalam gelombang berkesinambungan seperti yang telah
ditetapkan teori elektromagnetik. Alam kelihatannya bertindak seperti teller
bank cerewet yang tidak akan memberi uang kembalian, dan juga tidak
menerimanya.
Itu adalah tembakan pertama dalam revolusi. Dalam seperempat abad,
hukum sains yang masuk akal telah digulingkan. Di tempatnya kemudian
terdapat satu rangkaian kaidah aneh yang dikenal sebagai mekanika quantum,
di mana sebab tidak dijamin terhubung dengan akibat; partikel subatom
seperti elektron bisa berada di dua tempat pada waktu yang sama, di setiap
FISIKA QUANTUMTeori Quantum Ditarik, dan Seluruh Fisika Terurai
16
tempat, atau tidak di mana pun sampai seseorang mengukurnya; dan cahaya
bisa berupa partikel atau gelombang.
Niels Bohr, fisikawan Denmark dan pemimpin revolusi ini, pernah
mengatakan bahwa seseorang yang tidak terguncang oleh teori quantum
berarti tidak memahaminya.
Minggu ini, sekitar 700 fisikawan dan sejarawan tengah berkumpul
di Berlin, tempat di mana Planck memulai usahanya 100 tahun lalu, untuk
merayakan sebuah teori yang maknanya masih belum mereka pahami,
padahal itu adalah fondasi sains modern. Efek quantum sekarang ini
diharapkan menjelaskan segala hal mulai dari tabel periodik unsur sampai
eksistensi alam semesta itu sendiri.
Sejumlah nasib baik telah dialami oleh “keganjilan quantum”, demikian
kadang ia disebut. Transistor dan chip komputer dan laser berjalan di atas
prinsip quantum tersebut. Begitu pula dengan CAT scan dan PET scan dan
mesin M.R.I.. Beberapa ilmuwan komputer menyebutnya masa depan
komputasi, sementara ilmuwan lain mengatakan bahwa komputasi adalah
masa depan teori quantum.
“Jika semua hal yang kita pahami mengenai atom berhenti bekerja,”
ujar Leon Lederman, mantan direktur Fermi National Accelerator Laboratory,
“maka P.D.B. (Produk Domestik Bruto) akan menjadi nol.”
Revolusi ini memiliki awal yang tidak menguntungkan. Planck mulanya
menganggap quantum sebagai alat pencatat (bookkeeping device) tanpa
makna fisika sama sekali. Pada 1905, Albert Einstein, yang kemudian menjadi
petugas pencatat paten di Swiss, memikirkannya secara lebih serius. Dia
menunjukkan bahwa cahaya, dalam beberapa hal, berperilaku seolah-olah
tersusun dari sedikit energy bundle (ikat energi) yang dia sebut lichtquanten.
(Beberapa bulan kemudian, Einstein menemukan relativitas.)
Dia menghabiskan dekade berikutnya dengan memikirkan bagaimana
mengharmoniskan quantum-quantum ini dengan teori gelombang
elektromagnetik cahaya. “Saya lebih banyak menghabiskan pemikiran pada
teori quantum dibandingkan pada relativitas,” ucapnya kepada seorang teman.
Langkah quantum besar berikutnya diambil oleh Dr. Bohr. Pada 1913,
dia mengajukan sebuah model atom sebagai miniatur tata surya di mana
elektron-elektron dibatasi pada orbit-orbit tertentu di sekeliling nukleus.
Model tersebut menjelaskan mengapa atom-atom tidak kolaps – orbit
terendah masih sedikit jauh dari nukleus. Model tersebut juga menjelaskan
17
mengapa unsur-unsur yang berbeda-beda memancarkan cahaya dengan
panjang gelombang yang khas – orbit-orbit itu seperti anak tangga
dan panjang gelombang itu ekuivalen dengan energi yang dilepaskan atau
diserap oleh sebuah elektron kala ia melompat di antara anak tangga.
Tapi model ini tidak menjelaskan mengapa hanya beberapa orbit yang
diperbolehkan, atau di mana elektron berada sewaktu ia melompat di antara
orbit-orbit. Einstein memuji-muji teori Bohr sebagai “musikalitas dalam
bidang pemikiran”, tapi kemudian dia berkata, “Jika semua ini benar, maka itu
berarti akhir fisika.”
Meski teori Bohr bekerja pada hidrogen, atom paling sederhana, teori
tersebut terhenti ketika para teoris mencoba mengkalkulasi spektrum atom-
atom yang lebih besar. “Keseluruhan sistem konsep fisika harus dikonstruksi
ulang mulai dari bawah,” tulis Max Born, fisikawan Universitas Gottingen, di
tahun 1923. Dia mengistilahkan fisika baru yang belum lahir tersebut sebagai
“mekanika quantum”.
MEKANIKA BOCAHFisika baru tersebut dilahirkan dalam serangan debat dan penemuan dari
tahun 1925 sampai 1928 yang telah dijuluki sebagai revolusi sains kedua.
Wolfgang Pauli, salah satu pemimpin gerombolan revolusi itu, menyebutnya
“mekanika bocah”, karena banyak fisikawan, termasuk dirinya yang pada saat
itu berusia 25 tahun, sedangkan Werner Heisenberg 24 tahun, Paul Dirac 23
tahun, Enrico Fermi 23 tahun, dan Pascual Jordan 23 tahun, masih berusia
sangat muda ketika memulainya.
Bohr, yang beranjak ke usia 40 tahun pada 1925, merupakan father-
confessor (pendeta penerima pengakuan dosa-penj) dan raja filsuf mereka.
Institut barunya untuk fisika teoritis, di Kopenhagen, menjadi pusat sains Eropa.
Momen menentukan terjadi di musim gugur tahun 1925 ketika
Heisenberg, yang baru kembali ke Universitas Gottingen setelah setahun
di Kopenhagen, mengatakan bahwa para fisikawan berhenti mencoba
memikirkan bagian dalam atom dan justru mendasarkan fisika semata-
mata pada apa yang bisa dilihat dan diukur. Dalam “mekanika matriks”-nya,
berbagai sifat partikel subatom bisa dikomputasi – tapi, yang mengganggu,
jawabannya tergantung pada urutan kalkulasi.
Kenyataannya, menurut prinsip ketidakpastian (uncertainty principle),
yang Heisenberg nyatakan dua tahun kemudian, adalah mustahil untuk
18
mengetahui posisi dan kecepatan sebuah partikel secara sekaligus.
pengukuran terhadap yang satu [posisi, misalnya] pasti mengganggu
pengukuran terhadap yang lain [kecepatan, atau sebaliknya].
Fisikawan yang tidak nyaman dengan matematika abstrak milik
Heisenberg mengambil versi mekanika quantum yang lebih friendly
berdasarkan mekanika gelombang yang sudah familiar. Pada 1923, Louis de
Broglie dari Prancis telah menanyakan dalam tesis doktoralnya, bila cahaya
bisa menjadi partikel, lalu mengapa partikel tidak bisa menjadi gelombang?
Terinspirasi oleh gagasan de Broglie, Erwin Schrodinger dari Austria,
saat itu di Universitas Zurich dan, pada usianya yang 38 tahun, lebih tua
dari orang-orang muda yang sukses di atas tadi, mengasingkan diri ke resort
Arosa, Swiss, selama liburan Natal tahun 1925, bersama seorang teman wanita
misterius dan muncul kembali dengan sebuah persamaan yang kemudian
menjadi yin bagi yang-nya Heisenberg.
Menurut persamaan Schrodinger, elektron bukanlah sebuah point (titik)
atau table, melainkan entitas matematis yang disebut fungsi gelombang
(wave function), yang memanjang/mengulur ke seluruh ruang. Menurut
Bohr, gelombang ini melambangkan probabilitas penemuan elektron di suatu
tempat tertentu. Ketika diukur, partikel tersebut berada di tempat yang paling
mungkin, tapi tidak dijamin, sekalipun fungsi gelombang itu sendiri bisa
dikalkulasi secara tepat.
Interpretasi Bohr dengan cepat diadopsi oleh geng quantum. Itu adalah
momen yang penting karena mengabadikan kesempatan untuk menjadi
bagian integral dari fisika dan alam.
“Gerakan partikel-partikel mengikuti hukum probabilitas, tapi
probabilitas sendiri menjalar menurut hukum kausalitas,” dia menjelaskan.
Itu tidak mencukupi bagi Einstein. “Teori tersebut menghasilkan banyak
hal tapi hampir tidak membawa kita lebih dekat dengan rahasia Old One,” tulis
Einstein di akhir 1926. “Saya sangat yakin bahwa Tuhan tidak bertaruh.”
Heisenberg menyebut teori Schrodinger “menjijikkan” – tapi kedua versi
mekanika quantum segera diketahui ekuivalen secara matematis.
Prinsip ketidakpastian, yang menambah ketidaktentraman metafisik
seputar fisika quantum, diikuti oleh complementarity principle (prinsip
komplementaritas) dari Bohr pada tahun 1927. Pertanyaan apakah cahaya
bukan partikel atau gelombang, kata Bohr, menegaskan bahwa kedua
konsep tersebut diperlukan untuk menjelaskan alam, tapi karena keduanya
19
kontradiktif, seorang peneliti bisa memilih mengukur salah satu aspek, tidak
dua-duanya. Ini bukan sebuah paradoks, pendapatnya, karena fisika bukanlah
tentang hal-hal tapi tentang hasil eksperimen.
Komplementaritas menjadi landasan interpretasi mekanika quantum
Kopenhagen – atau Einstein menyebutnya, “filsafat Heisenberg-Bohr yang
meredakan”.
Setahun kemudian, Dirac mengawinkan mekanika quantum dengan
relativitas khusus Einstein, dalam rangka memprediksikan eksistensi
antimateri. (Positron, antipartikel bagi elektron, ditemukan empat tahun
kemudian oleh Carl Anderson.)
Versi Dirac, dikenal sebagai teori medan quantum, telah menjadi dasar
fisika partikel sejak waktu itu, dan menandakan akhir revolusi quantum dalam
sejarah fisika. Tapi pertarungan mengenai makna revolusi tersebut justru baru
dimulai, dan terus berlanjut hingga hari ini.
PERANG QUANTUMKontra-revolusi pertama dan terbesar adalah Einstein, yang berharap suatu
teori mendalam bisa menyelamatkan Tuhan dari bertaruh. Pada musim
gugur tahun 1927, di sebuah pertemuan di Brussels, Einstein menantang
Bohr dengan serangkaian gedanken, atau eksperimen pikiran, yang dirancang
untuk menunjukkan bahwa mekanika quantum tidak konsisten. Bohr, yang
terbungkam di pagi hari, selalu punya jawaban di saat makan malam.
Einstein tak pernah menyerah. Sebuah paper tahun 1935, yang ditulis
bersama Boris Podolsky dan Nathan Rosen, menjelaskan gedanken quantum
dasar, di mana pengukuran sebuah partikel di suatu tempat bisa serta-merta
mempengaruhi pengukuran partikel-partikel lainnya, sekalipun jaraknya jutaan
mil. Apakah ini cara untuk mengatur alam semesta?
Einstein menyebutnya “tindakan menyeramkan di kejauhan”.
Fisikawan modern yang telah berupaya menciptakan keadaan aneh ini
di laboratorium menyebutnya “keterjeratan” (entanglement).
Menyeberangnya Einstein dari revolusi quantum merupakan sebuah
tamparan bagi kolega-koleganya yang lebih konservatif, namun dia tak sendiri.
Planck juga merasa dirinya berselisih dengan arah revolusi, dan Schrodinger,
“sosok tua konservatif” lain (demikian Pauli pernah melukiskan mereka),
memajukan eksperimen gedanken kucing-nya untuk memberikan gambaran
betapa fisika telah menjadi sangat tolol.
20
Menurut pandangan Kopenhagen, tindakan pengamatanlah yang
“mengkolapskan” fungsi gelombang suatu partikel, membekukannya ke
dalam satu status, lokasi, atau kecepatan tertentu.
Sebelumnya, semua kemungkinan status partikel ber-koeksistensi,
seperti gelombang-gelombang yang saling meliputi, dalam sebuah kondisi
yang dikenal sebagai superposisi quantum.
Schrodinger membayangkan seekor kucing dalam sebuah wadah
tersegel di mana pembusukan radioaktif sebuah atom akan memicu pelepasan
sianida, sehingga membunuh si kucing. Menurut kaidah mekanika quantum,
atom dibusukkan atau tidak dibusukkan sampai seseorang melihat ke dalam,
yang berarti bahwa kucing malang Schrodinger itu hidup dan mati sekaligus.
Ini seperti memberi banyak kekuatan mengerikan kepada “pengamat”.
Sudah pasti itu bukan cara untuk mengatur alam semesta.
Selama bertahun-tahun, fisikawan telah mengajukan alternatif bagi
pandangan Kopenhagen.
Dimulai pada 1952, ketika berada di Princeton, fisikawan David Bohm,
wafat tahun 1992, mengusulkan versi mekanika quantum yang memiliki
derajat yang lebih dalam, disebut potensi quantum atau “implicate order”,
yang menuntun kekacauan nyata peristiwa quantum.
Varian lainnya adalah hipotesis many-worlds yang dikembangkan oleh
Hugh Everett III dan John Wheeler, di Princeton pada 1957. Dalam versi ini,
fungsi gelombang tidak kolaps sewaktu fisikawan mengamati sebuah elektron
atau seekor kucing; malah ia terbelah menjadi alam semesta paralel, masing-
masing satu [alam semesta] untuk setiap hasil eksperimen atau pengukuran.
DIAM DAN HITUNGSebagian besar fisikawan tak mengindahkan debat mengenai makna teori
quantum dalam pengunaannya untuk menyelidiki dunia, sikap ini dikenal
sebagai “diam dan hitung”.
Temuan Pauli bahwa tidak ada dua elektron yang bisa berbagi orbit
yang sama dalam sebuah atom membawa pada pemahaman baru mengenai
atom, unsur, dan kimia modern.
Mekanika quantum membelah atom dan menempatkan kemanusiaan di
tepi malapetaka. Para insinyur tahu bagaimana “memompa” elektron-elektron
ke anak tangga energi bagian atas dalam sejumlah besar atom dan kemudian
membuat mereka semua membuang energi secara serentak, membangkitkan
21
laser. Sebagaimana kata Dr. Lederman dalam sebuah wawancara, “Sejarah
transistor adalah sejarah penyelesaian persamaan Schrodinger dalam beragam
material.”
Efek-efek quantum tidak terbatas pada hal kecil. Prinsip ketidakpastian
menyatakan bahwa energi di sebuah medan atau di ruang hampa tidaklah
konstan, melainkan bisa berfluktuasi semakin liar seiring semakin kecilnya
periode waktu ketika seseorang memandanginya. Fluktuasi quantum seperti
itu selama big bang kini dipertimbangkan sebagai asal-usul galaksi-galaksi.
Menurut beberapa teori, alam semesta sendiri merupakan efek
quantum, hasil dari sebuah fluktuasi yang terjadi di semacam kenihilan pra-
alam semesta (preuniversal nothingness). “Jadi kita membawa quantum
melompat dari keabadian menuju masa,” demikian fisikawan Sidney Coleman
dari Harvard pernah berujar.
KE MANA KEGANJILAN INI MENUJUBohr tidak mengindahkan kucing Schrodinger, dengan alasan bahwa kucing
terlalu besar untuk menjadi objek quantum, tapi kucing juga tidak bisa
diabaikan. Dalam tiga dekade terakhir, eksperimen-eksperimen gedanken yang
diramalkan Einstein dan rekan-rekannya telah menjadi “ter-ungendanken-
kan”, mengangkat kembali isu soal makna eksperimen tersebut.
Musim panas lalu, dua tim fisikawan berusaha membuat arus-arus
mengalir dalam dua arah sekaligus di sekitar ikalan kabel (loop of wire) kecil
superkonduktif – usaha yang mereka samakan dengan kucing Schrodinger.
Usaha-usaha semacam itu, kata Wojciech Zurek, seorang teoris di Los Alamos
National Laboratory, menimbulkan pertanyaan berupa mengapa kita hidup di
dunia yang sangat klasik, daripada di remang-remang quantum.
Bohr mempostulatkan sebuah batas antara dunia quantum dan dunia
klasik, tapi kalangan teoris lebih suka bahwa hanya ada satu dunia yang bisa
mensuplai soliditasnya sendiri. Itulah gagasan di balik konsep baru yang
disebut dekoherensi, di mana interaksi fungsi gelombang dengan lingkungan
merusak keseimbangan status quantum yang lemah dan membuat si kucing
hidup atau mati tapi bukan di antara hidup dan mati.
“Kita tak memerlukan seorang pengamat, cukup ‘sesuatu’ yang
mengamati,” jelas Dr. Zurek. Saat kita memandang sesuatu, ucapnya, kita
memanfaatkan photon, pengangkut cahaya, yang memuat informasi yang
22
telah diekstrak dari objek. Loss (lepasnya) informasi ke lingkunganlah yang
cukup untuk menabrakkan fungsi gelombang, kata Dr. Zurek.
Dekoherensi, sebagaimana dicatat Dr. Zurek, mengangkat pengamat
dari tumpuan dan meringankan teori quantum dari beberapa kleniknya, tapi
masih ada banyak keganjilan yang tersisa. Contohnya komputer quantum,
yang disebut oleh Dr. Lederman sebagai “interpretasi keseraman quantum
yang lebih manis dan lembut”.
Komputer biasa menyimpan data dan melakukan komputasi sebagai
serangkaian “bit”, switch yang bisa on atau off, tapi dalam komputer quantum,
karena adanya prinsip superposition, qubit-qubit (demikian disebutnya) bisa on
dan off pada waktu bersamaan, memungkinkan mereka mengkalkulasi dan
menyimpan banyak sekali bilangan pada satu waktu.
Secara prinsip, menurut David Deutsch (peneliti dari Univesitas Oxford
dan merupakan salah satu pionir komputasi quantum yang bersikap lebih
blak-blakan), sejumlah besar komputasi, “kemungkinan besar lebih banyak
dari atom yang terdapat di alam semesta”, bisa di-superpose di dalam sebuah
komputer quantum untuk memecahkan masalah yang boleh jadi dengan
komputer klasik akan menghabiskan waktu lebih lama dari usia alam semesta.
Menurut pikiran banyak pakar, jenis komputasi ini menjelaskan sifat
realitas itu sendiri.
Dr. Deutsch mengklaim bahwa teori komputer quantum memaksa
fisikawan untuk serius memikirkan interpretasi many-worlds teori quantum.
Jumlah informasi yang diproses dalam komputasi paralel ini, dia menjelaskan,
lebih banyak dari yang bisa dilakukan oleh alam semesta. Karena itu,
komputasi tersebut pasti tengah berlangsung di alam semesta paralel lain, di
“multiverse”, demikian kadang itu disebut.
“Tak ada teori lain yang bisa menjelaskan tentang apa yang sedang
terjadi,” ujarnya. Dunia jauh lebih besar dari kelihatannya, sebuah kesadaran
yang menurutnya akan punya dampak psikologis yang sepadan dengan
gambar-gambar atom pertama. Memang, bagi Dr. Deutsch sepertinya ada
suatu hubungan yang dalam antara fisika dan komputasi. Struktur komputer
quantum, ucapnya, terdiri dari banyak hal yang berlangsung secara serentak,
komputasi banyak atau komputasi paralel. “Setiap proses fisika dalam
mekanika quantum,” katanya, “terdiri dari komputasi-komputasi klasik yang
berlangsung secara paralel.”
“Teori komputasi quantum adalah teori quantum,” ia berujar.
23
AKAR KEGANJILANMekanika quantum adalah bahasa yang digunakan fisikawan untuk
menggambarkan semua fenomena alam, kecuali satu, yaitu gravitasi, yang
dijelaskan oleh teori relativitas umum Einstein. Kedua teori tersebut – yang
satu menjelaskan realitas “terquantisasi” yang terputus (discontinuous),
sementara yang satunya menjelaskan kesatuan (continuum) yang secara
halus melengkungkan ruang-waktu – secara matematis tidak cocok, namun
kalangan fisikawan melihat pada penggabungan keduanya, yang disebut
gravitasi quantum.
“Terdapat pandangan yang berbeda-beda tentang apakah teori
quantum akan mencakup gravitasi atau apakah teori quantum dan teori
relativitas umum harus dimodifikasi,” kata Lee Smolin, teoris di Penn State.
Beberapa dasar telah diletakkan pada 1960-an oleh Dr. Wheeler, 89
tahun, yang menentang teori quantum bersama dengan Einstein dan Bohr.
Bahkan ruang dan waktu, urai Dr. Wheeler, pada akhirnya harus mengikuti
prinsip ketidakpastian dan menjadi discontinuous, berhenti berfungsi pada
jarak yang sangat dekat atau pada masa kelahiran big bang yang mampat
menjadi “buih” ruang-waktu.
Sebagian besar fisikawan hari ini berharap pada teori semacam
superstring, sebuah usaha matematis dan terus-menerus yang memahami
alam sebagai sesuatu yang terdiri string-string kecil yang bervibrasi di ruang
10-dimensi.
Dalam sebuah surat, Edward Witten dari Institute for Advanced Study
di Princeton, N.J., baru-baru ini mengatakan bahwa sejauh ini mekanika
quantum tampaknya tegak di tanah string (string land) persis seperti
digambarkan dalam buku-buku teks. Tapi, dia mengatakan dalam sebuah
email, “Mekanika quantum bagaimanapun juga terintegrasi dengan geometri
dalam suatu cara yang belum benar-benar kita pahami.”
Quantum itu misterius, lanjutnya, karena ia bertentangan dengan
intuisi. “Saya adalah salah seorang yang percaya bahwa quantum akan
tetap misterius, dalam pengertian bahwa jika masa depan membawa suatu
perubahan dalam rumusan dasar mekanika quantum, saya menduga intuisi
lazim kita akan tertinggal semakin jauh di belakang.”
Meskipun ini intuisi, beberapa pemikir bertanya-tanya apakah keganjilan
quantum nyatanya merupakan cara paling sederhana untuk menjalankan alam
semesta. Bagaimanapun, tanpa prinsip ketidakpastian yang mengaburkan/
24
menyamarkan lokasi penghuninya yang mendengung, atom tidak akan
kolaps dalam sebuah tumpukan elektromagnetik. Tanpa fluktuasi quantum
yang melumpurkan kehalusan big bang yang teramat sangat, tidak akan ada
galaksi-galaksi, bintang-bintang, ataupun planet-planet hangat nan ramah.
Tanpa prinsip ketidakpastian yang menolak kenihilan bahkan mungkin tidak
akan ada alam semesta.
“Kita akan mengenali betapa sederhananya alam semesta itu,” Dr.
Wheeler sering mengatakan, “ketika kita mengenali betapa anehnya ia.”
Einstein sering mengatakan bahwa pertanyaan yang sungguh-sungguh
membebaninya adalah apakah Tuhan mempunyai pilihan dalam menciptakan
dunia. Mungkin pada akhirnya kita akan menemukan bahwa bagi Tuhan, satu-
satunya permainan di kota adalah bertaruh.
25
“ALAM SEMESTA,” tulis penyair Muriel Rukeyser suatu kali, “tersusun
dari cerita-cerita, bukan atom-atom.” Ini menjadi bagian sains, Anda
mungkin tergoda untuk menganggap pernyataan tersebut sebagai bualan
manusiawi yang dapat diramalkan yang bertentangan dengan realitas ilmiah
yang kaku. Bagaimanapun juga, selama 300 tahun terakhir, cerita yang
dikisahkan kepada kita oleh para fisikawan adalah bahwa bentuk dunia yang
terus berubah ini tersusun dari atom-atom, bongkahan eksistensi yang tak
dapat diperkecil lagi dan tak dapat dihancurkan, yang mempelanting ke mana-
mana menurut hukum Newton dan beberapa hukum sederhana lainnya.
Tugas fisikawan adalah menjelaskan identitas dan atribut partikel-
partikel unsur yang ikut serta dalam dansa ini. Democritus, yang menemukan
ide tentang atom, menganugerahi mereka dengan massa, bentuk, dan
gerakan; partikel unsur hari ini – quark dan elektron – memiliki massa, muatan,
pusingan, keanehan, pesona, dan atribut lainnya, tapi gambaran dasarnya
tetap sama.
Benarkah? Fisikawan zaman sekarang – para reduksionis berdarah
dingin itu – mengisahkan cerita yang semakin puitis tapi kurang kaku secara
matematis. Cerita ini bukanlah tentang dunia mesin jam melainkan dunia
interaktif saling terjerat yang konstituen-konstituennya memperoleh identitas
dan atribut dari satu sama lain dalam negosiasi tanpa akhir – sebuah kota,
dalam kata-kata fisikawan, berpenghuni pengeluh. Dengan kata lain, mereka
sedang mengisahkan cerita tentang relationship.
Ambil contoh, sebuah kalkulasi baru-baru ini yang menunjukkan hasil
di mana massa – salah satu atribut fundamental partikel unsur – terlihat
menyulap dirinya dari udara tipis dalam suatu fenomena yang oleh Franck
Wilczek (fisikawan di M.I.T.) disebut “massa tanpa massa”.
Dr. Wilczek menemukan bahwa saat dirinya menggunakan versi
sederhana persamaan kromodinamika quantum (yang menjelaskan perilaku
quark) untuk mengkomputasi massa proton dan neutron, dia mendapatkan
FISIKA PARTIKELDalam Fisika Baru, Quark Tidaklah Terisolir
26
jawaban yang tepat sekalipun quark-quark di dalam proton dan neutron tidak
punya massa sama sekali.
Dari mana massa tersebut berasal? Ternyata quark-quark itu bergerak
cepat dalam proton, katakanlah, memiliki banyak energi kinetik, dan energi
tersebut ekuivalen dengan massa, menurut relativitas Einstein.
Dalam sebuah pembicaraan di San Fransisco bulan lalu, Dr. Wilczek
menyebut kalkulasinya sebagai contoh “it from bit”, ungkapan yang dibuat
oleh teoris Princeton, John Wheeler, untuk menggambarkan mimpi tentang
sebuah teori alam semesta yang sepenuhnya didasarkan pada logika tanpa
ada parameter yang bisa disetel-setel – alam semesta tanpa tombol untuk
diputar. Dalam kasus ini, teori kromodinamika quantum seperti membuat
Tuhan tak punya pilihan soal massa proton. Massa berasal seluruhnya dari
susunan quark-quark dan bukan sama sekali dari quark itu sendiri.
Fisika partikel, jelas Dr. Wilczek dan kolega-koleganya, bukan benar-
benar mengenai partikel-partikel lagi, tapi mengenai hubungan matematisnya
– khususnya kesimetrian – aspek alam yang tetap sama di bawah keadaan
dan sudut pandang berlainan. Salah satu contoh pendekatan snowflake ini
pada sains ialah prinsip bahwa hukum-hukum fisika selalu sama di setiap
kecepatan, yang membentuk dasar teori relativitas Einstein.
Contoh lainnya adalah apa yang disebut eightfold way, suatu pola yang
dikenali oleh Murray Gell-Mann dan Yuval Ne’emann pada 1961 dalam atribut
partikel unsur yang pada saat itu daftarnya terus berkembang, membuat
mereka bisa memprediksi eksistensi partikel yang sebelumnya tidak disangka-
sangka. Penelitian ini berkontribusi atas Hadiah Nobel Dr. Gell-Mann tahun
1969. Fisikawan sekarang, yang mengharapkan tumpuan pada sebuah teori
yang mempersatukan semua gaya alam ke dalam satu ekspresi matematis,
dengan susah-payah melihat sesuatu yang disebut supersimetri.
Mekanika quantum, kaidah pusat fisika partikel, memaksakan versi
keterhubungan (relatedness) yang powerful. Menurutnya, adalah mungkin
untuk menciptakan partikel-partikel “terjerat” yang tetap terhubung sekalipun
mereka terpisah bertahun-tahun cahaya, sehingga pengukuran terhadap
[partikel] yang satu akan secara seketika mempengaruhi hasil pengukuran
terhadap [partikel] yang lain. Einstein, yang tidak menyukai mekanika
quantum, melabeli efek ini sebagai “tindakan menyeramkan di kejauhan”,
tapi cukup riil untuk memiliki masa depan dalam kriptografi dan komputer
quantum.
27
Einstein mencoba memasukkan jenis kekuatan jauh lain, bahkan lebih
mengerikan, dalam teori relativitas umumnya; teori yang menggambarkan
gravitasi sebagai lengkungan geometri ruang. Ernst Mach, fisikawan-filsuf-
dan malapetaka pemikiran absolutis abad 19, menyatakan bahwa karena
semua gerak adalah relatif, maka kelembaman objek tertentu di alam semesta
ditentukan oleh hubungannya dengan semua massa lain di alam semesta.
Menurut prinsip Mach, tak masuk akal untuk berpikir ada satu partikel
yang sendirian di alam semesta. Para akademisi sepertinya sepakat bahwa
teori Einstein tidak mencapai sasaran ini, namun gagasan tersebut terus
menghantui usaha para teoris yang bekerja mengawinkan gravitasi Einstein
dengan mekanika quantum.
“Pemikiran bahwa atribut sesuatu [objek] di alam semesta tidak
bergantung pada eksistensi atau non-ekistensi sesuatu [objek] yang lain sudah
tak lagi bisa dipertahankan,” tulis Lee Smolin, teoris gravitasi quantum, dalam
bukunya (tahun 1997), “The Life of the Cosmos”. Elektron tidaklah terisolir.
Dr. Smolin menegaskan dalam bukunya bahwa masyarakat (atau,
dalam masalah ini, sains) masih harus berusaha menguasai pelajaran
relativitas dan mekanika quantum. Para kosmolog, misalnya, terus-menerus
berbicara seakan-akan mereka bisa mengobservasi keseluruhan alam semesta,
padahal tidak demikian, sebab mereka masih merupakan bagian darinya,
mengacaukannya melalui aktivitas-aktivitas mereka.
Menurut relativitas, setiap tempat di alam semesta adalah unik,
sehingga menghasilkan sudut pandang yang unik. Karena itu, kata Dr. Smolin,
kita harus membuang pemikiran bahwa pengamat tunggal bisa menyusun
deskripsi lengkap mengenai alam semesta. Mungkin memang pengetahuan
kosmologi adalah usaha bersama, di mana masing-masing individu hanya
mampu mendapat satu keping kebenaran. “Saya akui bahwa saya tidak bisa
mengetahui segalanya,” tulis Dr. Smolin. “Tapi barangkali, setidaknya pada
prinsipnya, kita bisa mengetahui segalanya.”
Bahwa cerita-cerita yang kita kisahkan tentang alam terasa terhubung
dengan cerita-cerita tentang diri kita sendiri, pemikiran seperti itu dapat
meramalkan pergeseran yang mungkin masih bergaung ke seluruh fondasi
metafisik masyarakat. Akademisi telah memperhatikan hal-hal yang
terkadang terlihat seperti sebuah keparalelan antara susunan sosial politik
manusia dan persepsi kita atas sifat dunia fisik. Metafora dari satu arena
kehidupan terlihat bisa menjangkiti yang lainnya.
28
“Ada periode-periode ketika sebuah gagasan istimewa mempunyai
goyangan di banyak bidang berbeda,” kata Gerald Holton, sejarawan dan
fisikawan Harvard. “Pertanyaan besarnya adalah mengapa?”
Satu episode seperti itu, urai Dr. Holton, terjadi di awal abad 20,
ketika ide diskontinuitas dan geometri non-Euclidean mulai berkuasa baik
dalam seni maupun sains. Di antara yang terpengaruh oleh ide-ide ini adalah
seniman abstrak Rusia, Wassily Kandinsky, yang mengatakan bahwa dirinya
terinspirasi—dalam pencarian melewati batas-batas lukisan tradisional—
oleh eksperimen-eksperimen tahun 1912 yang memperlihatkan bahwa atom
yang sebelumnya tak dapat diganggu-gugat ternyata memiliki struktur
internal, yaitu nukleus. “Keruntuhan model atom,” tulisnya dalam memoirnya
(“Ruckblick”), “menurut jiwa saya ekuivalen dengan keruntuhan dunia secara
keseluruhan.” Setelah itu, semuanya menjadi mungkin.
Ada pendapat bahwa menyaksikan pergerakan bintang-bintang
memberi manusia isyarat pertama mengenai susunan di alam semesta.
Apakah kebetulan bahwa kehidupan didominasi oleh hirarki raja-raja dan
masyarakat istana abad pertengahan sementara angkasa dianggap tersusun
dari bola-bola konsentris yang terpusat kepada bumi? Atau apakah kebetulan
bahwa demokrasi modern dengan pandangan penduduk otonomnya yang
memiliki hak-hak yang tak dapat dicabut muncul hampir bersamaan dengan
fisika Newtonian dengan atom beratribut tetap yang mempelanting di ruang
absolut?
“Pada permulaan [masa], ketika kehendak Raja mulai berlaku, Dia
memahatkan tanda-tanda pada bola-bola angkasa,” bunyi dalam Zohar, kitab
karangan Kabbalis dari abad pertama. Tanda apa yang kita lihat pada bola-bola
angkasa hari ini?
Atom Newtonian terlihat seperti resep alienasi. Jika keluar perkataan
bahwa semua partikel itu [saling] terjerat, maukah kita mengakui bahwa hidup
kita juga [saling] terjerat? Dr. Wilczek, yang menulis (dengan Betsy Devine)
buku berjudul “Longing for the Harmonies”, mengatakan bahwa hubungan
antara fisika dan masyarakat itu “halus”, tapi dia juga sangat setuju bahwa
potensi pengaruhnya sangat besar. “Jika Anda mempunyai pemikiran bahwa
segalanya tersambung dan terhubung, itu mungkin akan membuat Anda
memperhatikan segalanya secara lebih serius,” kata Dr. Wilczek. “Banyak
konflik dan urusan mungkin terasa sangat indah.”
29
Akan elok untuk berpikir bahwa fisikawan bisa menyusun ulang
masyarakat, tapi metafora mungkin mengalir ke arah lain, menurut
beberapa sejarawan sains. “Bagaimanapun juga,” kata Lynn K. Nyhart, yang
mempelajari sejarah biologi di Universitas Wisconsin, “sains dilingkungi oleh
masyarakat,” sambil menjelaskan bahwa istilah “seleksi alam” pertama kali
dipergunakan dalam bidang ekonomi sebelum Darwin mengambilnya untuk
menggambarkan evolusi biologis. (Walaupun sepertinya para ekonom yang
pertama kali meminjam kata “alam”.) Dr. Nyhart mengatakan dirinya berpikir
bahwa bahasa utopia dalam buku-buku fisika quantum terdengar seperti
sebuah reaksi terhadap atomisasi masyarakat. “Kita begitu teratomisasi oleh
pasar dan orang-orang tengah mencoba menemukan jalan untuk menuntut
kembali hubungan mereka.”
Singkatnya, kita ingin satu cerita baru untuk mengisahkan diri kita.
30
BALTIMORE, 5 April – Sebuah hembusan nafas memasuki auditorium
Space Telescope Science Institute pada hari Rabu ketika Dr. Adam
Reiss, astronom muda dari institut tersebut, memberikan kata-kata terakhir
mengenai diagram Hubble-nya, alur kecerlangan dan kecepatan objek-objek
jauh yang digunakan para astronom untuk meramalkan sejarah alam semesta.
Para Darth Vader astronomi berkumpul di sini untuk mengadakan
penelitian terhadap alam mereka yang mengembang dan bertambah gelap.
Dahulu, astronomi adalah tentang apa-apa yang bisa dilihat di langit, tentang
cahaya-cahaya mirip permata yang bergerak dengan pola yang selalu berulang,
serta pijaran lembut galaksi-galaksi dan komet-komet.
Kini ia adalah tentang apa-apa yang tidak bisa dilihat. Dalam beberapa
dekade terakhir, astronom harus menghadapi kemungkinan bahwa bintang-
bintang dan galaksi-galaksi – belum menyebut makhluk-makhluk yang
mendiaminya – hampir tidak lebih dari bintik buih kecil di lautan badai dark
matter.
Kini Dr. Reiss memberikan bukti kepada kolega-koleganya, berdasarkan
observasi bintang yang meledak 11 miliar tahun lalu, bahwa alam semesta –
dark matter dan semuanya – sedang tertiup saling menjauh akibat pengaruh
gaya antigravitasi misterius yang hanya dikenal sebagai “dark energy”.
“Kita sedang menjalani astronomi tak nampak,” aku Dr. Mario Livio
(seorang teoris di institut Space Telescope), yang mengatur pertemuan
bernama “The Dark Universe: Matter, Energy, and Gravity” musim gugur lalu.
Ternyata pertemuan itu bertepatan dengan konferensi NASA yang
mengumumkan terobosan penemuan Dr. Reiss dan kolega-koleganya
sehingga didominasi oleh diskusi teleskop baru di angkasa dan dimensi baru di
alam semesta, sementara astronom bergulat dengan pengertian dark energy
dan bagaimana mengukurnya.
Kini fisikawan, yang beberapanya enggan memikirkan akselerasi alam
semesta secara serius, harus menjelaskan apa dark energy ini. “Angka-angka
DARK ENERGYDari Cahaya Menuju Kegelapan: Alam Semesta Baru Astronomi
31
itu mengkhawatirkan, dan rupanya nyata,” kata Dr. Michael Dine, fisikawan
teoritis dari Universitas California, Santa Cruz. Dia menjelaskan kolega-
koleganya sekarang bekerja “dengan penuh gelisah” untuk menemukan suatu
penjelasan.
Pada satu taraf, alam semesta, dengan semua bagasi gelapnya, terlihat
masuk akal. Jumlah total materi dan energi terlihat sudah cukup untuk
menjamin bahwa geometri ruang-waktu skala besar tersebut adalah “flat”,
atau Euclidean, kesimpulan yang sudah lama dianggap oleh para kosmolog
sebagai [penjelasan] paling estetis dan diinginkan. Di sisi lain, laporan detail
mengenai konstituen kosmos adalah, seperti kata Dr. Livio, “buruk” – 65%
dark matter, 30 persen dark matter bersifat tak dikenal, dan hanya 5% berupa
bintang, gas, dan debu.
“Kita hidup di alam semesta yang tak masuk akal,” kata Dr. Michael
Turner, astrofisikawan di Universitas Chicago. “Dark energy. Siapa yang
mengajukannya?”
Tentu saja, Einstein-lah yang pertama kali mengajukan dark energy saat
dia memasukkan sebuah faktor palsu yang disebut konstanta kosmologis ke
dalam persamaan gravitasinya yang menggambarkan alam semesta. Lambda,
demikian konstanta itu dikenal, dari huruf Yunani, melambangkan sejenis
gaya tolak kosmik—yang diasosiasikan dengan ruang angkasa itu sendiri—
yang menopang kosmos agar tak kolaps akibat bobotnya sendiri. Einstein
membuang konstanta kosmologis ketika ditemukan bahwa alam semesta
ternyata sedang mengembang, dan Einstein menolak untuk menghidupkannya
kembali dan pernah menyebutnya sebagai blunder terbesar dirinya.
Tapi dia tidak bisa membuangnya untuk selama-lamanya. Pada tahun
1998, dua tim astronom yang tengah bersaing, yang mencoba mengukur
bagaimana perluasan alam semesta melambat akibat gravitasi, menemukan
bahwa alam semesta sesungguhnya sedang berakselerasi, seolah-olah
galaksi-galaksi sedang didorong saling menjauh oleh sebuah gaya – dijuluki,
dalam suasana di masa itu, “dark energy”.
“Ini adalah hasil [temuan] yang sangat aneh,” kenang Dr. Reiss, yang
merupakan anggota dari salah satu tim tersebut. “Ini bertentangan dengan
apa yang selama ini kita pikirkan.” Apakah konstanta kosmologis lama
Einstein ini lebih ganjil lagi atau justru sebuah kekeliruan?
Efeknya adalah keredupan tak terduga pada sebagian bintang-bintang
meledak tertentu yang dikenal sebagai supernova yang digunakan astronom
32
sebagai lilin standar, objek-objek yang jaraknya bisa diukur berdasarkan
kecerlangan mereka yang jelas. Astronom menyimpulkan bahwa bintang-
bintang ini telah jauh dari [tempat mereka] yang semestinya di alam semesta
yang mengembang secara merata, karenanya perluasan ini benar-benar
sedang mencepat.
Tapi debu atau perubahan kimiawi selama ribuan tahun pada bintang-
bintang boleh jadi juga telah meredupkan supernova. Uji paling menyeluruh
terhadap hipotesis dark energy dan akselerasi, jelas Dr. Reiss, adalah
menemukan supernova-supernova yang lebih jauh lagi dan berasal dari masa
lalu, dari sejak Big Bang itu sendiri, separuh jalan atau lebih. Karena ruang
angkasa sendirilah yang memberikan dorongan tolak, menurut persamaan
Einstein, maka dorongan itu semestinya mulanya kecil sewaktu alam
semesta berukuran kecil dan tumbuh begitu alam semesta mengembang.
Percepatan kosmik hanya akan berlaku jika dorongan lambda cukup besar
untuk mendominasi gravitasi materi dan energi biasa di alam semesta, sekitar
lima atau enam miliar tahun lalu. Sebelum masa itu, alam semesta sedang
melambat, seperti ledakan Mark McGwire yang belum mencapai puncak
trayektorinya, dan sebuah supernova yang terpandang sekilas pada jarak
besar tersebut akan terlihat relatif lebih terang dari semestinya. Jika debu
atau perubahan kimiawi memang yang bertanggung jawab, bintang-bintang
sedemikian jauh tersebut semestinya terlihat relatif lebih redup.
Secara kebetulan, Hubble Space Telescope telah mengobservasi
sebuah supernova di akhir tahun 1997 dan awal 1998 yang terbukti berada
pada 11 miliar tahun-cahaya jauhnya – jarak terjauh yang bisa terlihat. Pada
diagram Hubble milik Dr. Reiss, supernova itu terlihat dua kali lebih terang dari
semestinya.
“Klaim luar biasa membutuhkan bukti luar biasa – saya harap I.R.S. tidak
mengatakan itu kepada Anda,” ucap Dr. Reiss kepada audiensnya, tapi, dia
menyimpulkan, “konstanta kosmologis nampak cocok untuk supernova ini.”
Dr. Livio mengatakan, “Setahun lalu mungkin banyak orang di ruangan
ini tidak akan mempercayainya.”
Tapi ada penjelasan yang lebih rumit, yaitu bentuk-bentuk dark
energy selain konstanta kosmologis di papan-papan gambar fisikawan, serta
kemungkinan bahwa astronom masih terkelabui. Untuk menguraikan sifat
dark energy, astronom perlu mengobservasi lebih banyak supernova yang
33
berasal dari 11 miliar tahun lalu, agar mencakup waktu ketika alam semesta
mulai berakselerasi.
“Seberapa cepat ia beralih dari perlambatan menuju percepatan?”
tanya Dr. Reiss. Menjawab pertanyaan semacam itu bisa membantu
astronom menentukan seberapa kuat dark energy mendorong alam semesta
dibandingkan prediksi konstanta kosmologis. Perubahan haluan secara cepat,
kata Dr. Reiss, “mengatakan pada Anda banyaknya energi ‘itu’ dalam jumlah
tertentu.”
“Konstanta kosmologis adalah tolok ukur energi,” katanya.
Untuk menemukan supernova-supernova yang begitu jauh tersebut,
kosmolog harus pergi ke ruang angkasa, kata Dr. Saul Perlmutter, fisikawan
di Lawrence Barkeley National Laboratory Universitas California dan veteran
peneliti dark energy.
Pada dasarnya para periset supernova harus mempergunakan
jaringan luas orang-orang dan teleskop untuk mendeteksi ledakan-ledakan,
mendiagnosa tipenya, dan kemudian menyaksikannya memudar. Dr.
Perlmutter menggambarkan teleskop pengorbit yang menjalankan ketiga
fungsi ini. Supernova/Acceleration Probe, atau SNAP, mengkombinasikan
cermin diameter 80 inch (hanya sekitar 16% lebih kecil dari Hubble), kamera
elektronik raksasa dengan piksel semiliaran, dan spektroskop khusus.
Jika semuanya berjalan lancar, kata Dr. Perlmutter, teleskop tersebut
kemungkinan diluncurkan pada tahun 2008. Dalam 3 tahun operasi, dia
memperkirakan, SNAP bisa menuai 2.000 supernova. Untuk membedakan
berbagai pemikiran tentang dark energy, observasi harus diperhalus sampai
level 1 atau 2 persen ketidakpastian.
“Kita semua bergairah,” ujarnya.
Begitupun dengan fisikawan. Daftar tersangka mereka dimulai dengan
konstanta kosmologis-nya Einstein, tapi di situ ada satu masalah. Pada saat
Einstein membuangnya, mekanika quantum – satu set kaidah yang mengatur
alam subatom – tengah membangun fondasi teoritis untuk konstanta
kosmologis. Menurut teori quantum, ruang hampa semestinya berbuih dengan
partikel-partikel temporer dan energi kumulatifnya lebih berat dari materi di
alam semesta, termasuk dark matter, sebesar 120 order magnitudo – yakni
faktor 10 diikuti oleh 119 nol (yaitu 10 pangkat 120 hasilnya sama dengan 10
diikuti oleh nol sebanyak 119-penj). Pada taraf tersebut, gaya vakum akan
34
menggumalkan alam semesta atau meniupnya saling menjauh sebelum
sebuah atom memiliki kesempatan untuk terbentuk.
Fakta bahwa alam semesta ternyata sedang bekerja tak menentu
agak menyiratkan bahwa ada sesuatu yang fundamental mengenai fisika dan
alam semesta yang belum diketahui oleh fisikawan. Dr. Steven Weinberg,
teoris partikel peraih Nobel dari Universitas Texas, menyebut konstanta
kosmologis sebagai “duri dalam tenggorokan kita”. Jika dark energy benar-
benar merupakan konstanta kosmologis-nya Einstein, maka fisikawan harus
menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti, mengapa itu begitu kecil – hampir
sebanding, nyatanya, dengan densitas materi di masa kita.
Tiadanya jawaban sampai sejauh ini, bahkan dengan adanya teori string
(theory of everything yang bakal menakutkan secara matematis) sekalipun,
beberapa teoris berlindung kepada gagasan filosofis dan kontroversial yang
disebut prinsip antropik yang praktisnya menyatakan bahwa fisikawan
perlu mengikutsertakan eksistensi mereka sendiri ketika memikirkan alam
semesta. Dari semua kemungkinan alam semesta yang bisa dibayangkan,
garis pemikiran ini berbunyi, satu-satunya [tempat] di mana manusia
bisa menemukan diri mereka sendiri adalah yang kondusif bagi kehidupan
manusia.
Itu berarti, urai Dr. Weinberg, konstanta kosmologis harus cukup kecil
guna menyediakan waktu bagi galaksi-galaksi dan bintang-bintang untuk
memadat dari kabut purba sebelum konstanta mengambil-alih dan mulai
meniup alam semesta saling menjauh.
Dr. Alex Vilenkin dari Universitas Tuft di Massachusetts menjelaskan
kepada hadirin pertemuan Dark Universe bahwa alam semesta berada pada
puncak pembentukan bintang-bintang sekitar 5 atau 6 miliar tahun lalu,
hampir bersamaan dengan masa ketika dark energy dan densitas materi
setara. Matahari kita, sekitar 4,5 miliar tahun lalu, berada di akhir cerita
tersebut, dan di sinilah kita kini. “Pengamat berada di mana galaksi berada,”
kata Dr. Vilenkin. “Pengamat biasa akan melihat konstanta kosmologis yang
kecil.”
Banyak fisikawan merasa tak nyaman dengan garis pemikiran ini, dan
mereka tengah mencari-cari jawaban dalam berbagai golongan teori yang
dikenal sebagai quintessence, dari kata Yunani untuk unsur kelima. Fisika
modern, catat Dr. Paul Steinhardt (teoris di Princeton), penuh dengan medan-
medan energi misterius yang mempertontonkan gravitasi negatif. Triknya,
35
jelas Dr. Steinhardt, ialah menemukan sebuah medan yang bertindak seperti
dark energy tanpa banyak mengelabui pihak teoris.
“Observasi memaksa kita melakukan ini,” katanya. “Dark energy
merupakan persoalan menarik. Setiap solusinya sungguh menarik.”
Satu teori yang menangkap fantasi para astronom di Baltimore adalah
modifikasi gravitasi yang baru-baru ini diajukan oleh tiga orang teoris string di
Universitas New York: Dr. Gia Dvali, Dr. Gregory Gabadadze, dan Dr. Massimo
Porrati. Dalam teori string, disebut demikian lantaran menggambarkan
partikel-partikel unsur sebagai string kecil yang bervibrasi, dunia biasa sering
dibayangkan sebagai pulau (membran, atau “bran” menurut jargon string)
tiga-dimensi yang mengapung di ruang 10 atau 11-dimensi. Partikel-partikel
biasa seperti elektron dan quark dan gaya-gaya seperti elektromagnet
terkurung pada tiga dimensi, terkurung pada bran, sedangkan gravitasi tidak.
Alhasil, Dr. Dvali mengatakan, gravitasi hanya bisa menempuh
[jarak] begitu jauh di ruang konvensional sebelum bocor ke dimensi-dimensi
tambahan, sehingga memperlemah dirinya. Bagi pengamat di tiga dimensi
tradisional, alam semesta seolah-olah terlihat berakselerasi. Konstanta
kosmologis, praktisnya, kata Dr. Dvali, adalah sejenis saluran bran gravitasi.
“Gravitasi mengelabui dirinya sendiri,” katanya. “Ia melihat dirinya sebagai
konstanta kosmologis.”
Teori Dr. Dvali disambut oleh para astronom sebagai sebuah tanda
bahwa teori string sedang mulai turun dari alam abstraksinya dan lantas
membuat prediksi-prediksi berguna dan dapat diuji mengenai dunia riil.
(Dalam kontribusi string lain, Dr. Steinhardt memperkenalkan teori baru
tentang alam semesta awal, di mana Big Bang dimulai oleh sepasang bran
yang beradu bersama seperti simbal.)
Sesudah itu, Dr. Reiss dan Dr. Perlmutter menekan Dr. Dvali mengenai
apa yang akan mereka lihat jika mereka memandang melewati titik
peralihan di mana gravitasi mulai runtuh dari dunia; akankah transisi antara
perlambatan dan percepatan alam semesta terjadi secara lebih tiba-tiba
daripada dalam kasus konstanta kosmologis? Dr. Dvali mengatakan dirinya
belum melakukan kalkulasi, tapi dia bilang “tebakan naif”-nya adalah bahwa
peralihan tersebut akan terjadi secara lebih lembut daripada dalam dunia
lambda.
“Saya harap orang ini mengerjakan beberapa diagram Hubble,” kata Dr.
Reiss.
36
Namun, sekalipun Dr. Dvali bisa terbujuk untuk memberikan prediksi,
keberhasilan dalam identifikasi dark energy tidak dijamin kepada astronom.
Menyebut diri sebagai juru bicara untuk “sudut pandang pemarah”, Dr.
Steinhardt menjelaskan bahwa era “kosmologi presisi” (demikian sering
dinyatakan) pasti memiliki batasnya. Parameter-parameter kosmologis
lainnya, khususnya densitas kosmik materi di alam semesta, kemungkinan
tidak cukup dikenal baik agar SNAP dapat mengurai model-model di mana
quintessence berubah-ubah seiring waktu. Khawatir penjualan SNAP yang
terlalu banyak bisa melemahkan kemauan astronom untuk memajukan
ide-ide baru, Dr. Steinhardt mengatakan, “Kita mesti mencoba membuat
pengumuman sesedikit mungkin.”
Dr. Turner menolak untuk digoyang dari “kegembiraan irasional”-nya.
Berlindung kepada kebanggaan astronom, dia mendorong mereka supaya
[bersikap] ambisius. “Kita punya kesempatan untuk mengerjakan fisika
fundamental di sini,” katanya. “Kita lihat saja apakah kita bisa memecahkan
persoalan ini. Mungkin kita akan jatuh tertelungkup. Mungkin Paul si pemarah
benar."
“Saya masih punya banyak jiwa muda dalam raga saya.”
37
APA yang Tuhan lakukan sebelum Dia menciptakan dunia? Filsuf
dan penulis (dan kemudian menjadi santo) Augustine mengajukan
pertanyaan ini dalam “Confessions”-nya di abad keempat, dan kemudian
memajukan sebuah jawaban yang, secara mengejutkan, modern: sebelum
Tuhan menciptakan dunia tidak ada masa/waktu dan karenanya tidak ada
“sebelum”. Menurut ungkapan Gertrude Stein, saat itu tidak ada “saat itu”.
Hingga belakangan, tidak ada seorang pun yang bisa mengikuti
kuliah astronomi dan menanyakan pertanyaan Augustine versi modern –
apa yang terjadi sebelum Big Bang? – tanpa menerima jawaban yang sama
membingungkannya, yaitu teori relativitas umum Albert Einstein, yang
menguraikan bagaimana materi dan energi melengkungkan ruang dan waktu.
Jika kita bayangkan alam semesta yang menyusut mundur, seperti
film yang diputar mundur, densitas materi dan energi meningkat sampai tak
terhingga begitu kita mendekati momen asal. Asap mengalir dari komputer,
dan ruang dan waktu sendiri larut menjadi satu “buih” quantum. “Penggaris
dan jam kita berhenti,” jelas Dr. Andrei Linde, kosmolog di Universitas
Stanford. “Mempertanyakan apa yang ada sebelum momen ini adalah sebuah
self-contradiction (penyangkalan diri sendiri).”
Tapi akhir-akhir ini, terdorong oleh kemajuan teori-teori baru yang
mencoba mempersatukan alam agungnya Einstein dengan kaidah quantum
sulit diatur yang mengatur fisika subatom – kombinasi yang disebut gravitasi
quantum – Dr. Linde dan kolega-koleganya telah mulai menggeser spekulasi
mereka semakin dekat menuju momen pokok tersebut dan, dalam beberapa
kasus, melebihi itu.
Beberapa teoris mengatakan bahwa Big Bang bukanlah sebuah transisi
kelahiran, “lompatan quantum” dari suatu era imajiner tak berbentuk,
atau dari nihil sama sekali. Yang lain masih menggali model-model yang
menyatakan sejarah kosmik dimulai dengan sebuah tubrukan dengan alam
semesta dari dimensi lain.
WAKTU IMAJINERSebelum Big Bang, Ada...Apa?
38
Semua teorisasi ini telah menerima berbagai dukungan lebih lanjut
dari laporan-laporan mutakhir mengenai riak-riak pijaran radio terpencar di
angkasa, yang dianggap sebagai sisa-sisa bola api Big Bang itu sendiri. Riak-
riak ini konsisten dengan sebuah teori populer, dikenal sebagai inflasi, bahwa
alam semesta secara singkat mempercepat perluasannya akibat pengaruh
gaya antigravitasi kuat, ketika ia baru berumur sepecahan pecahan nanodetik.
Dengan demikian, riak-riak itu menjadi pengawas berguna untuk imajinasi
para teoris. Teori asal-usul kosmik yang tidak menjelaskan fenomena ini,
kosmolog sepakat, hanya memiliki peluang kecil untuk benar.
Untungnya atau celakanya, itu masih menyisakan ruang untuk banyak
kemungkinan.
“Jika inflasi adalah dinamit di balik Big Bang, kita masih sedang mencari
korek apinya,” kata Dr. Michael Turner, kosmolog di Universitas Chicago.
Satu-satunya hal yang disepakati oleh semua pakar adalah bahwa tidak ada
gagasan yang berfungsi – belum ada. Dr. Turner menyamakan para kosmolog
dengan musisi jazz yang mengumpulkan melodi yang terdengar indah untuk
sebuah karya yang masih dikerjakan: “Anda mendengar sesuatu dan lantas
mengatakan, oh yeah, kami ingin itu dalam karya final.”
Salah satu jawaban terhadap pertanyaan “apa yang terjadi sebelum Big
Bang” adalah bahwa itu tidak penting lantaran tidak mempengaruhi keadaan
alam semesta kita hari ini. Menurut sebuah teori yang dikenal sebagai eternal
inflation, diajukan oleh Dr. Linde pada tahun 1986, yang kita ketahui sebagai
Big Bang adalah [bahwa itu] hanyalah salah satu dari banyak [Big Bang] dalam
sebuah reaksi berantai big bang-big bang yang dengannya alam semesta tiada
henti menciptakan dan menemukan ulang dirinya sendiri. “Bagian tertentu
alam semesta boleh mati, dan barangkali akan mati,” kata Dr. Linde, “tapi
alam semesta sebagai keseluruhan adalah kekal.”
Teori Dr. Linde merupakan modifikasi teori inflasi yang diajukan
pada tahun 1980 oleh Dr. Alan Guth, seorang fisikawan. Dia berpikir apa
yang akan terjadi jika—saat alam semesta mendingin selama momen panas
pertamanya—sebuah medan energi yang dikenal sebagai medan Higg, yang
berinteraksi dengan partikel-partikel untuk memberi mereka massa, entah
bagaimana, ringkasnya, tak mampu melepaskan energinya.
Ruang angkasa, simpulnya, akan diliputi dengan semacam energi laten
yang akan secara kasar mendorong alam semesta saling menjauh. Dalam
sekejap mata alam semesta akan mengembang sekitar 60 kali lipat lebih,
39
sampai medan Higgs melepas energinya dan memenuhi alam semesta
(yang sedang tergesa-gesa) dengan partikel-partikel panas. Sejarah kosmik
kemudian terjadi.
Para kosmolog menyukai inflasi sebab ketergesaan sebesar itu dapat
menghaluskan iregularitas kasar dari kosmos purba, menjadikannya homogen
dan flat secara geometris. Lagipula, itu memungkinkan seluruh kosmos
tumbuh dari hampir nihil, yang mendorong Dr. Guth menjuluki alam semesta
sebagai “makan siang termewah”.
Kalkulasi-kalkulasi berikutnya menyingkirkan medan Higgs sebagai
agen penginflasi, tapi ada kandidat inflasi lain yang akan memiliki efek
sama. Yang lebih penting, dari perspektif pra-Big Bang, simpul Dr. Linde,
satu gelembung yang berinflasi akan menunaskan gelembung lain, yang
pada gilirannya akan menunaskan lebih banyak lagi. Praktisnya, tiap-
tiap gelembung akan menjadi big bang baru, alam semesta baru dengan
karakteristik berbeda-beda dan bahkan mungkin dengan dimensi berbeda-
beda. Alam semesta kita hanyalah salah satu dari mereka.
“Jika dimulai, proses ini akan terus berlangsung selama-lamanya,” jelas
Dr. Linde. “Itu bisa terjadi sekarang, di suatu bagian alam semesta.”
Alam semesta lebih besar yang dibayangkan oleh teori eternal inflation
adalah luar biasa besar, chaos, dan beragam sehingga pertanyaan soal suatu
permulaan dari seluruh pesta itu hampir tidak relevan. Bagi kosmolog seperti
Dr. Guth dan Dr. Linde, faktanya inilah daya pikat teori tersebut.
“Inflasi chaos memungkinkan kita menjelaskan dunia kita tanpa
membuat asumsi-asumsi seperti penciptaan simultan seluruh alam semesta
dari nihil,” kata Dr. dalam sebuah email.
PERTANYAAN ATAS KEKEKALAN: MENCOBA MEMBAYANGKAN KENIHILANMeski demikian, sebagian besar kosmolog, termasuk Dr. Guth dan Dr. Linde,
sepakat bahwa alam semesta pasti berasal dari suatu tempat, dan bahwa
kenihilan adalah kandidat yang menonjol.
Alhasil, lagu lain yang senang disenandungkan para kosmolog adalah
teori quantum. Menurut prinsip ketidakpastian Heisenberg, salah satu pilar
dunia paradoks ini, ruang hampa tak bisa dianggap benar-benar hampa;
partikel-partikel subatom dapat melompat-lompat antara eksis dan tidak
eksis dengan energi yang dipinjam dari medan-medan energi. Meski terdengar
40
gila, efek fluktuasi quantum ini telah teramati pada atom, dan fluktuasi
serupa selama inflasi dianggap telah menghasilkan benih-benih yang di
sekitarnya galaksi-galaksi sekarang terbentuk.
Mungkinkah seluruh alam semesta juga merupakan hasil sebuah
fluktuasi quantum di semacam kenihilan kekal atau purba? Mungkin,
sebagaimana Dr. Turner katakan, “Nihil adalah tak pasti.”
Persoalan filosofis yang mengganggu mekanika quantum biasa
kemudian menguat dalam apa yang disebut kosmologi quantum. Contohnya,
sebagaimana dikatakan Dr. Linde, ada persoalan ayam-dan-telur. Manakah
yang muncul lebih dulu: alam semesta, atau hukum yang mengaturnya? Atau,
tanya dia, “Jika tidak ada hukum, bagaimana alam semesta muncul?”
Salah satu upaya paling awal untuk membayangkan kenihilan sebagai
sumber segalanya muncul di tahun 1965 ketika Dr. John Wheeler dan Dr. Bryce
DeWitt, sekarang di Universitas Texas, menulis sebuah persamaan yang
menggabungkan relativitas umum dan teori quantum. Sejak saat itu fisikawan
memperdebatkannya.
Persamaan Wheeler-DeWitt kelihatannya hidup di [ruang] yang dijuluki
fisikawan sebagai “superspace”, semacam ansambel matematis yang terdiri
dari semua alam semesta potensial, yang hidup hanya lima menit sebelum
kolaps menjadi black hole, yang penuh dengan bintang merah yang hidup
selamanya, yang penuh dengan kehidupan, yang berupa padang pasir hampa,
yang konstanta alamnya dan bahkan mungkin jumlah dimensinya berbeda dari
punya kita.
Menurut mekanika quantum biasa, sebuah elektron bisa dianggap
tersebar di semua ruang sampai ia terukur dan teramati berada di suatu lokasi
tertentu. Demikian pula, alam semesta kita tersebar di seluruh superspace
sampai ia, entah bagaimana, teramati memiliki satu set sifat dan hukum yang
khusus. Ini memunculkan pertanyaan besar lainnya. Karena tak ada seorang
pun yang bisa melangkah ke luar alam semesta, siapa yang akan melakukan
pengamatan?
Dr. Wheeler menyebutkan bahwa jawaban atas pertanyaan
tersebut mungkin adalah kita, bertindak melalui tindakan pengamatan
mekanis quantum, sebuah proses yang ia sebut “genesis by observership”
(pembentukan lewat pengamatan).
“Masa lalu adalah teori,” tulisnya suatu kali. “Itu tidak punya eksistensi
kecuali dalam rekaman masa kini. Kita adalah partisipan, pada level mikroskopis,
41
dalam membuat masa lalu itu, juga masa kini dan masa depan.” Praktisnya,
jawaban Dr. Wheeler atas pertanyaan Augustine adalah bahwa kita bersama
adalah tuhan dan kita senantiasa sedang menciptakan alam semesta.
Opsi lain, disenangi oleh banyak kosmolog, ialah apa yang disebut many-
worlds interpretation (interpretasi banyak dunia), yang menyatakan bahwa
semua alam semesta potensial ini benar-benar eksis. Kita kebetulan saja
menghuni salah satunya, yang memiliki atribut ramah untuk eksistensi kita.
AKHIR WAKTU: KARTU LAIN DI DEK BESARTeka-teki lain mengenai persamaan Wheeler-DeWitt ialah bahwa ia tidak
menyebutkan waktu. Di superspace, segala sesuatu terjadi serentak dan
selamanya, membawa beberapa fisikawan mempertanyakan peranan
waktu dalam hukum fundamental alam. Dalam bukunya, “The End of Time”,
diterbitkan bertepatan dengan milenium ini, Dr. Julian Barbour (seorang
fisikawan independen dan pakar Einstein di Inggris) berpendapat bahwa alam
semesta terdiri dari setumpuk momen, seperti kartu di sebuah dek, yang
dapat dikocok dan dikocok kembali secara acak untuk memberi ilusi waktu dan
sejarah.
Big Bang adalah kartu lain di dek ini, bersama dengan momen-momen
lain, selamanya menjadi bagian alam semesta. “Kekekalan ada di sini,”
tulisnya dalam bukunya. “Tugas kita adalah mengenalinya.”
Dr. Carlo Rovelli, seorang teoris gravitasi quantum di Universitas
Pittsburgh, menunjukkan bahwa persamaan Wheeler-DeWitt tidak
menyebutkan ruang pula, mengatakan bahwa ruang dan waktu mungkin
merupakan artefak dari sesuatu yang lebih dalam. “Jika kita memikirkan
relativitas umum secara serius,” katanya, “kita harus belajar memahami fisika
tanpa waktu, tanpa ruang, dalam teori fundamental.”
Meski mengakui tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan filosofis
ini, beberapa teoris menulis paper dalam upaya membayangkan kekakuan
matematis penciptaan quantum.
Dr. Alexander Vilenkin, fisikawan Universitas Tufts di Somerville,
Massachusetts, menyamakan alam semesta dengan sebuah gelembung dalam
panci berisi air mendidih. Sebagaiman pada air, hanya gelembung-gelembung
berukuran tertentu yang akan bertahan dan mengembang, yang lebih kecil akan
kolaps. Jadi, dalam pembentukan, alam semesta harus melompat dari tanpa
ukuran sama sekali – radius nol, “tanpa ruang dan tanpa waktu” – menuju
42
radius cukup besar untuk terjadinya inflasi tanpa melewati ukuran perantara,
sebuah proses mekanis quantum yang disebut “tunneling” (penembusan/
penerowongan).
Dr. Stephen Hawking, kosmolog Universitas Cambridge dan penulis
buku-buku best-seller, menyingkirkan lompatan quantum ini sama sekali.
Selama 20 tahun terakhir dia dan rekan-rekannya mengerjakan apa yang dia
sebut “proposal tanpa perbatasan”. Perbatasan alam semesta adalah bahwa
ia tidak memiliki perbatasan, kata Dr. Hawking.
Salah satu kunci pendekatan Dr. Hawking adalah mengganti waktu
dalam persamaannya dengan kecongkakan matematis yang disebut waktu
imajiner; teknik ini umum digunakan dalam kalkulasi-kalkulasi menyangkut
black hole dan di bidang tertentu fisika partikel, tapi penerapannya pada
kosmologi sangat kontroversial.
Alam semesta, hingga dan termasuk awal-mulanya, kemudian
dilambangkan sebagai sebuah objek matematis berbentuk kerucut, dikenal
sebagai instanton, yang memiliki empat dimensi ruang (berbentuk kira-
kira seperti bola yang diremas) di akhir Big Bang dan kemudian bergeser ke
waktu riil dan berinflasi. “Sebenarnya itu semacam ledakan dan menjadikan
alam semesta yang tak terhingga,” kata Dr. Neil Turok, juga dari Universitas
Cambridge. “Segala sesuatu untuk seluruh waktu masa depan telah
ditetapkan, segalanya implisit dalam instanton.”
Sayangnya pengertian fisikal waktu imajiner belum jelas. Selain itu,
pendekatan tersebut menghasilkan alam semesta yang jauh kurang padat dari
alam semesta sungguhan.
KEYAKINAN STRING: PARA TEORIS MENGAJUKAN DUNIA ‘BRAN’Tapi kemajuan nyata dalam mengenali detail lompatan dari kekekalan
menuju masa, kata para kosmolog, harus menunggu rumusan teori gravitasi
quantum terpadu yang berhasil mengawinkan relativitas umum Einstein
dengan mekanika quantum – dua pandangan tentang dunia, yang satu
menggambarkan ruang-waktu yang melengkung dan tersambung, yang
satunya lagi menggambarkan ruang-waktu yang acak dan terputus-putus –
yang telah berperang secara filosofis dan matematis selama hampir seabad.
Teori demikian akan mampu menjelaskan alam semesta selama kancah
Big Bang, ketika ruang dan waktu, kata teoris, harus mengikuti prinsip
ketidakpastian dan menjadi kabur dan terputus-putus.
43
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak fisikawan menggantungkan
harapan mereka akan gravitasi quantum pada teori string, sebuah upaya
matematis yang berliku dan terus berjalan untuk menggambarkan alam
sebagai [sesuatu yang] terdiri dari string-string atau membran-membran kecil
bergoyang-goyang yang bervibrasi di 10 atau 11-dimensi.
Pada prinsipnya, teori string dapat menjelaskan semua gaya alam yang
dikenal (dan tak dikenal). Dalam kenyataannya, para teoris string mengakui
bahwa persamaan-persamaan mereka masih sekadar penaksiran, dan
fisikawan di luar itu mengeluh bahwa efek-efek “fisika string” terjadi pada
energi demikian tinggi sehingga tak ada harapan untuk mengujinya dalam
akselerator partikel masa kini. Jadi teoris mengadu untung dalam kosmologi,
sebagian dengan harapan akan menemukan suatu efek yang dapat diamati.
Big Bang adalah target yang jelas. Sebuah dunia yang tersusun dari
sedikit ikalan memiliki ukuran minimum. Ia tidak menyusut melebihi ukuran
ikalan string, simpul Dr. Robert Brandenberger (kini di Brown) dan Dr. Cumrun
Vafa (kini di Harvard) pada tahun 1989. Ketika menggunakan persamaan string
mereka untuk membayangkan ruang yang menyusut lebih kecil dari ukuran
tertentu, Dr. Brandenberger mengatakan, alam semesta justru beraksi seolah-
olah semakin membesar. “Ia terlihat seperti sedang melambung dari fase
kekolapsan.”
Menurut pandangan ini, Big Bang lebih seperti sebuah transformasi,
seperti melelehnya es menjadi air, ketimbang sebuah kelahiran, jelas Dr. Linde,
seraya menyebutnya “gagasan menarik yang semestinya dikejar”. Barangkali,
renungnya, ada satu bentuk ruang dan waktu yang berbeda sebelum Big Bang.
“Mungkin alam semesta adalah kekal,” katanya. “Mungkin ia hanya berubah
fase. Itukah nihil? Itukah transisi fase? Ini sangat erat dengan pertanyaan-
pertanyaan relijius.”
Penelitian Dr. Brandenberger dan Dr. Vafa juga menjelaskan mengapa
kita hanya melihat 3 dari 9 atau 10-dimensi yang disebutkan teori ini. Di awal
masa/waktu, kata keduanya, string-string dapat melilit ruang dan mencekik
sebagian besar dimensi ruang, mencegahnya tumbuh.
Namun dalam beberapa tahun terakhir, teoris string terkejut oleh
penemuan bahwa teori mereka memperkenankan [eksistensi] membran
(“bran” dalam jargon string) berbagai dimensi serta pula string. Di samping itu,
mereka telah mulai menggali kemungkinan bahwa sekurangnya satu dimensi
tambahan bisa sebesar satu milimeter, yang mana sudah sangat besar dalam
44
fisika string. Dalam kosmologi baru ini, dunia kita adalah sebuah pulau atau
bran tiga-dimensi yang mengapung di ruang lima-dimensi, seperti sehelai
daun di sebuah tangki ikan. Bran-bran lain mungkin sedang mengapung tak
jauh. Partikel-partikel seperti quark dan elektron serta gaya-gaya seperti
elektromagnetik melekat pada bran, sedangkan gravitasi tidak, dan karenanya
dunia-dunia bran bisa mengerahkan tarikan gravitasi terhadap satu sama lain.
“Kurang dari satu milimeter dari Anda terdapat alam semesta lain,”
kata Dr. Linde. “Ia mungkin ada. Ia mungkin merupakan faktor penentu bagi
alam semesta yang Anda tinggali.”
TUBRUKAN DUNIA: PENGENALAN SEBUAH KEMUNGKINAN BARUAlam semesta lain dapat menyebabkan penciptaan, demikian menurut
beberapa teori mutakhir. Salah satunya disebut branefall, dikembangkan
pada tahun 1998 oleh Dr. George Dvali dari Universitas New York dan Dr. Henry
Tye dari Cornell. Menurut teori ini, alam semesta muncul dari kondisi ketak-
berbentukan quantumnya saat jeratan string-string dan membran-membran
hampa nan dingin melekat bersama. Namun, jika di satu titik ada sebuah gap
(renggang) antara bran-bran tersebut, kata kedua fisikawan, mereka akan
mulai gugur bersama.
Tiap bran, kata Dr. Dvali, akan merasakan medan gravitasi samar dari
bran lain seperti medan energi di ruang tiga dimensinya sendiri dan akan mulai
berinflasi dengan cepat, menggandakan ukurannya lebih dari ribuan kali lipat
dalam periode yang dibutuhkan bran-bran tersebut untuk gugur bersama. “Jika
setidaknya ada satu kawasan di mana bran-bran tersebut paralel (sejajar),
kawasan itu akan memulai perluasan besar sementara kawasan lain akan
mengempis dan menyusut,” kata Dr. Dvali.
Ketika bran-bran itu akhirnya bertubrukan, energi mereka terlepas dan
alam semesta memanas, dipenuhi dengan materi dan panas, seperti dalam
Big Bang standar.
Musim gugur lalu empat fisikawan mengajukan jenis lain benturan
bran yang mereka bilang dapat sama sekali menghilangkan inflasi, pedoman
teorisasi Big Bang selama 20 tahun. Dr. Paul Steinhardt, salah seorang bapak
inflasi, dan muridnya, Justin Khoury, keduanya dari Princeton, serta Dr. Burt
Ovrut dari Universitas Pennsylvania dan Dr. Turok, menyebutnya ekpyrotic
universe, dari kata Yunani “ekpyrosis”, yang melambangkan kematian
menyala-nyala dan kelahiran ulang dunia dalam filsafat Stoic.
45
Proses ekpyrotic berawal jauh di masa lalu yang indefinitif dengan
sepasang bran hampa flat yang duduk sejajar satu sama lain di sebuah
ruang lima-dimensi yang melengkung – satu situasi yang mereka bilang
merepresentasikan solusi persamaan Einstein paling sederhana dalam teori
string versi lanjutan. Para penulisnya memperhitungkannya sebagai sesuatu
yang layak diperhatikan sehingga mereka belum mengasumsikan efek-efek
tambahan yang tak eksis dalam teori itu. “Karena itu kami tengah mengajukan
sebuah model kosmologi yang berpotensi realistis,” tulis mereka dalam paper.
Kedua bran itu, yang membentuk dinding-dinding dimensi kelima,
mungkin muncul dari kenihilan sebagai sebuah fluktuasi quantum di masa
yang lebih lampau lagi dan kemudian lepas berpisah.
Pada suatu titik, mungkin ketika bran-bran tersebut telah mencapai
jarak pisah kritis, cerita berlanjut, sebuah bran ketiga mengelupas dari bran
lain dan mulai gugur ke arah bran kita. Selama perjalanan panjangnya,
fluktuasi-fluktuasi quantum akan meriakkan permukaan bran yang sedang
mengeluyur tersebut, dan itu akan menanam benih-benih galaksi mendatang
pada bran kita di saat tubrukan. Dr. Steinhardt menawarkan teori ini dalam
sebuah konferensi astronomi di Baltimore, bulan April lalu.
Dalam minggu-minggu berikutnya, ekpyrotic universe sudah banyak
diperbincangkan. Beberapa kosmolog, terutama Dr. Linde, menyanggah bahwa
untuk mendapatkan bran-bran paralel dan flat sempurna, ekpyrotic universe
memerlukan sangat banyak fine-tuning (penyetelan halus).
Dalam sebuah kritik, Dr. Linde dan rekannya mengusulkan sebuah
modifikasi yang mereka sebut “pyrotechnic universe”.
Dr. Steinhardt mengakui bahwa model ekpyrotic dimulai dari kondisi
sangat spesifik, tapi itu adalah model yang logis. Poinnya adalah, katanya,
untuk mengetahui apakah alam semesta bisa berawal dalam kondisi tidak
terlalu stabil yang berlangsung lama “yang sama sekali berbeda dari inflasi”.
Jawabannya adalah ya. Di samping itu, rekannya, Dr. Turok, menjelaskan
bahwa inflasi juga memerlukan fine-tuning untuk menghasilkan alam semesta
modern, dan para fisikawan masih belum tahu medan apa yang sebenarnya
menghasilkan alam semesta.
“Sebelum kita menyelesaikan gravitasi quantum dan menghubungkan
teori string dengan fisika partikel, tak satu pun dari kita yang bisa mengklaim
kemenangan,” ujar Dr. Turok.
Sementara itu, Augustine tidur dengan damai.
46
BIG BANG, kata David Schramm, kosmolog Universitas Chicago, adalah
akselerator partikel rendahan: dalam puing-puingnya, yang bagaimanapun
juga mencakup seluruh alam semesta, terdapat efek-efek energi dan proses
yang tidak mencapai Bumi. Seandainya para astronom memandangi langit
secara cukup dekat, pendapatnya, mereka bisa menguji teori-teori dan
fenomena yang tidak terjangkau oleh kemampuan dan anggaran fisikawan
untuk direproduksi di laboratorium mereka.
Itu adalah pendapat yang akhir-akhir ini tercetus di kalangan praktisi
teori string, “theory of everything” menakutkan yang menggambarkan alam
sebagai [sesuatu yang] terdiri dari string-string dan membran-membran kecil
yang bervibrasi di 10 atau 11-dimensi.
Sejak lahirnya, teori string telah dikritik atas ide-idenya yang belum
teruji secara eksperimen meski elegan secara matematis. Tapi dalam beberapa
tahun terakhir, para teoris string mulai mengeluarkan model alam semesta
baru yang dirancang untuk membuktikan bahwa fisika string “dapat memiliki
efek teramati terhadap pengukuran kosmologis presisi”, demikian sebuah
paper baru-baru ini mengatakan. Menurut beberapa model baru ini, contohnya,
sejarah kosmik dimulai dengan sepasang pulau alam semesta yang terhempas
bersama di dimensi kelima seperti daun-daun basah. Jika para teoris string
benar, kata mereka, dukungan nyata atas pendapat seperti itu mungkin
datang dari pengukuran detail gelombang radio lemah dari Big Bang atau
dari studi gelombang gravitasi yang menjelajahi ruang-waktu, membuatnya
mengembang dan menyusut seperti sebuah akordeon.
Terdorong oleh prospek keempirisan penemuan baru mereka, para
teoris tersebut bahkan telah bargabung dalam konferensi-konferensi
kosmologi – membuat astronom sangat menginginkan suatu tantangan
observasi yang baru.
Dalam sebuah pertemuan di Baltimore baru-baru ini misalnya, Dr. Gia
Dvali (fisikawan di Universitas New York) diserbu oleh astronom-astronom
TEORI STRING vs. RELATIVITASTeoris Inner Space Memandang Pengamat Outer Space
47
yang ingin sekali mendapatkan prediksi astronomis lebih detail dan lebih
presisi setelah dirinya menyodorkan sebuah penjelasan dark energy berbasis
string yang nampak mempercepat perluasan alam semesta.
Dalam meromansakan para kosmolog, teoris-teoris string mengikuti
jalur yang biasa ditempuh. Dalam setengah abad terakhir – setelah astronom
menemukan quasar, pulsar, dan interferensi radio lemah yang diduga
merupakan bola api purba itu sendiri – fisikawan yang mencari medan-medan
baru untuk ditaklukkan bermigrasi secara bergelombang ke kosmologi.
Dr. Saul Perlmutter, fisikawan di Lawrence Berkeley National Laboratory
yang memimpin satu dari dua tim astronom yang menemukan bahwa
perluasan alam semesta rupanya sedang mencepat, mengakui bahwa dirinya
menyamping diam-diam ke astronomi sebagian demi menghindar dijadikan
roda penggerak dalam eksperimen akselerator partikel raksasa.
“Astronom seharusnya mampu menanyakan pertanyaan fundamental
tanpa akselerator,” Kata Dr. Perlmutter.
Tapi perkawinan inner space dan outer space tidak selalu berjalan
lancar. Astronom secara tradisi terkurung, kadang kala menghabiskan
bertahun-tahun mengikuti sebuah bintang. Fisikawan suka bergaul dan
senang memecahkan persoalan secara bergerombol. Tiap kelompok mampu
mempertahankan lahannya.
Fisikawan merasa tertarik ketika Dr. Schramm, pejuang tegap dan
penuh percaya diri yang tewas dalam sebuah kecelakaan pesawat di tahun
1997, pada tahun 1970-an mengklaim bahwa pengukuran keberlimpahan
helium yang dihasilkan dalam Big Bang bisa dimanfaatkan untuk
menyimpulkan bahwa hanya ada tiga atau empat jenis neutrino, partikel unsur
yang ringan dan misterius, di alam semesta. Eksperimen-eksperimen di CERN
– laboratorium fisika partikel Eropa yang terkemuka – dan di Standford pada
tahun 1989 membuktikan bahwa dia dan koleganya benar.
Beberapa fisikawan mengenang bahwa mereka pernah tercengang
pada kesederhanaan nyata model-model standar Big Bang, di mana hanya
tiga parameter, atau bilangan, yang mengendalikan sejarah dan nasib alam
semesta.
Einstein adalah seorang pengeksploitasi hubungan antara inner
space dan outer space yang cerdik dan paling awal. Bahkan sebelum selesai
merumuskan teori relativitas umumnya, yang menjelaskan gravitasi sebagai
pelengkungan ruang-waktu oleh materi dan energi, dia mulai melobi astronom
48
untuk mengukur efek penekukan cahaya selama gerhana matahari total, ketika
sinar cahaya dari sebuah bintang jauh akan menyerempet cakram matahari
dan – menurut prediksinya – cukup menekuk sehingga menyebabkan bintang
tersebut tampak pindah ke arah luar. Pada 1919, tiga tahun setelah teori
tersebut dipublikasikan, astronom Inggris, Arthur Eddington, mengumumkan
dengan keriuhan besar bahwa dirinya telah mengkonfirmasikan efek tersebut
(walaupun beberapa sejarawan mengkritik penanganannya atas data),
menjadikan Einstein sebagai sang Copernicus baru.
Sementara itu, Einstein memalsukan persamaannya agar sama sekali
tidak membawa pada kesimpulan bahwa alam semesta sedang mengembang,
setelah diyakinkan oleh cerita astronomis lazim bahwa alam semesta itu
statis. Dia mengembalikan keasliannya pada 1931 setelah astronom Edwin
Hubble menemukan bahwa kosmos memang mengembang.
Namun begitu, meski relevansinya yang nyata dengan alam semesta
secara keseluruhan serta keeleganan matematisnya, relativitas umum segera
menjadi terpencil dan terbelakang dalam fisika, dipandang sebagai sebuah
teori menawan yang terasa tidak banyak memiliki kaitan dengan dunia riil.
Tiadanya cara untuk menguji beberapa konsekuensi ganjil teori tersebut,
seperti pemikiran bahwa bintang-bintang yang kolaps akibat beratnya sendiri
dapat melilit ruang di sekitarnya seperti sebuah mantel dan benar-benar
lenyap ke dalam apa yang kemudian dijuluki sebagai “black hole”, Einstein pun
tak tahu gagasan mana yang harus dipikirkan secara serius.
Semua ini berubah di tahun 1960-an ketika astronom menemukan
quasar, objek jauh mirip bintang yang terlihat memancarkan energi dalam
jumlah mengagumkan. Black hole – walaupun nama ini belum ditemukan
– adalah jalan terbaik untuk menjelaskannya. Tiba-tiba sepertinya “para
relativis dengan penelitian mereka yang rumit bukan hanya menjadi ornamen
kultural yang indah tapi mungkin betul-betul berguna bagi sains,” demikian
kata astronom Inggris, Thomas Gold, dalam sebuah pertemuan di tahun 1963.
“Betapa memalukan,” tambahnya, “jika kita harus pergi dan mengabaikan
semua relativis lagi.”
Teoris-teoris string, yang membuat klaim pada mantel Einstein, belum
memperoleh momen penekukan cahaya. Pertanyaannya adalah apakah
mereka menghendakinya. Bentuk standar teori tersebut bersitegas bahwa
level energi tersatukannya gaya-gaya serta terlihatnya efek fisika string
adalah ribuan triliun kali kapasitas akselerator partikel terbesar yang kini
49
diharapkan, Large Hadron Collider milik CERN, yang dapat menembakkan
proton-proton di sebuah jalur elektromagnetik berputar sepanjang 18 mil di
Jenewa dan menubrukkannya pada energi 14 triliun eV. (Menurut sebuah varian
teori string yang diajukan beberapa tahun lalu, interferensi dari alam semesta
tetangga bisa menimbulkan efek berenergi rendah pada akselerator bumi.)
Namun, sayangnya, sebagaimana dijelaskan Dr. Schramm, alam
telah melakukan eksperimen tersebut menggunakan akselerator partikel
rendahannya. Dan hasil-hasilnya mungkin tertulis di angkasa – pada riak-riak
yang terpahat pada bola api purba, kata astronom, ketika ia baru berumur
sepermiliar triliun triliun detik, atau pada gelombang-gelombang gravitasi
yang mengipas-ngipas struktur ruang.
Pekerjaan membaca riak-riak kosmik ini, dengan teleskop-teleskop
radio halus yang terbawa tinggi pada balon dan satelit, baru saja dimulai
dan diduga menghabiskan sisa dekade ini. Demikian juga penyelidikan
untuk membongkar sejarah percepatan aneh alam semesta. Studi serius
atas gelombang gravitasi – yang belum terdeteksi secara langsung – adalah
pekerjaan selanjutnya di masa mendatang.
Para teoris string pasti berharap bahwa dalam barisan astronom yang
menjalankan investigasi-investigasi itu terdapat Eddington mereka sendiri.
50
LAYAKNYA suatu partikel quantum yang muncul entah dari mana, “The
Universe in a Nutshell”, karangan fisikawan Stephen W. Hawking dari
Universitas Cambridge, terbit dan segera muncul ke dalam daftar best-seller
beberapa minggu lalu.
Para fisikawan mengatakan kemunculan seperti sulap itu, disebut
fluktuasi quantum, kemungkinan besar terjadi manakala ada sebuah medan
energi besar untuk ditarik [energinya], dan buku ini menarik [energi] dari salah
satu medan energi terbesar dalam sejarah penerbitan, yaitu buku Dr. Hawking
tahun 1988, “A Brief History of Time: From the Big Bang to Black Holes”.
Alhasil, ribuan rakyat Amerika bisa menghabiskan masa liburan dengan
menjumpai pernyataan-pernyataan seperti: “Kita telah menyadari bahwa
keterhentian waktu riil dan imajiner ini (baik kedua-duanya ataupun tidak
kedua-duanya) mengandung arti bahwa ruang-waktu memiliki temperatur,
sebagaimana saya temukan pada black hole,” tulis Dr. Hawking di halaman 63.
Buku pertama Dr. Hawking untuk audiens luas, “A Brief History of Time”,
membawa para pembaca dalam sebuah tur menembus black hole (perangkap
gravitasi yang darinya cahaya pun tidak bisa timbul) dan waktu imajiner sambil
melukiskan pencarian “theory of everything” yang dibangga-banggakan itu
yang akan memungkinkan kita untuk “mengetahui pikiran Tuhan”. Buku itu
bertahan dalam daftar best-seller selama dua tahun, terjual 10 juta eksemplar.
Pertanyaan yang masih menghantui para penerbit, kritikus, dan lainnya,
yang meragukan akan adanya audiens besar untuk diskusi serius tentang asal-
usul alam semesta layaknya [obrolan tentang] kehidupan seorang bintang
film, adalah mengapa?
Berdasarkan cerita populer dan penerbitan, buku itu juga merupakan
salah satu buku klasik besar di masa kita yang tidak dibaca – bersama dengan
“Finnegan’s Wake”-nya James Joyce atau “Infinite Jest”-nya David Foster
Wallace sebagai buku berilustrasi royal yang kebanyakan dihormati dalam
perselisihan. Jadi banyak orang, yang curiga bahwa buku sebelumnya dibeli
THEORY OF EVERYTHINGMemecahkan Kode Kosmik dengan Sedikit Bantuan dari Dr. Hawking
51
karena kemahsyuran Dr. Hawking atau aura intelektual buku itu, tengah
penasaran apakah hal yang sama akan terjadi pada buku barunya.
Bagi kolega-koleganya, Dr. Hawking adalah seorang teoris intuitif keras
kepala yang penelitiannya mengenai black hole telah membantu menerangi
jalan menuju penyatuan akhir teori quantum dan relativitas – sebuah
penyatuan yang tidak mampu diperantarai baik oleh Einstein ataupun yang
lainnya. Bagi dunia, dia adalah personifikasi keberanian dan kebrilianan, St.
George berkursi roda yang bertempur dengan galaksi-galaksi dan hal-hal
tak dikenal, yang diberi beberapa penghormatan tertinggi dalam pop culture
– tampil sebagai teman main kartunya Einstein dalam “Star Trek: The Next
Generation”, dan sebagai bintang tamu dalam “The Simpsons”.
Saat menjadi mahasiswa, tahun 1963, dia tahu dirinya mengidap
amyotrophic lateral sclerosis dan divonis hidup beberapa tahun. Dia telah
bergerak dengan kursi roda selama lebih dari 25 tahun dan sekarang berbicara
hanya melalui voice synthesizer. Dr. Hawking, kelihatannya kata “puckish”
ditemukan untuknya, sering mengatakan bahwa kelumpuhannya adalah
sebuah keuntungan sebab membebaskannya untuk duduk dan berpikir. Bulan
depan kolega-koleganya akan merayakan ulang tahunnya yang ke-60 dengan
sebuah simposium all-star sepekan penuh di Cambridge.
Dalam pendahuluan buku barunya itu, Dr. Hawking mengakui bahwa
“A Brief History of Time” “tidak easy going” dan menyesal bahwa beberapa
pembaca merasa kesulitan dan tidak menyelesaikannya. Dia telah berusaha,
katanya, untuk membuat yang satu ini lebih mudah. Sedikit lebih panjang dari
buku sebelumnya, “The Universe in a Nutshell”, 216 halaman, dihiasi dengan
ilustrasi berwarna yang memberinya penampilan mewah.
Sejauh ini kritikus-kritikus sependapat; pertama, Bryan Appleyard
dalam The New York Statesman of London, menyebutnya “sulit, meski tidak
sepenuhnya demikian”. The Times of London, melakukan poling informal,
meminta tujuh reporter dan seorang pelajar matematika untuk membacanya
dan melaporkan aksesibilitasnya. Putusannya bercampur. “Semuanya masuk
akal begitu saya membacanya, meski cenderung menghilang seperti sebuah
mimpi ketika menaruh buku tersebut,” tulis salah seorang.
Einstein pernah berujar bahwa teori-teori ilmiah harus bisa dijelaskan
dengan sangat mudah sehingga seorang anak kecil pun bisa memahaminya.
Keluhan-keluhan bahwa fisika modern gagal total dalam standar ini sama
tuanya dengan fisika modern itu sendiri, dan tak terbatas pada anak-anak.
52
Cerita berlanjut bahwa ketika astronom Arthur Eddington, yang
observasi penekukan cahayanya saat gerhana matahari tahun 1919 telah
mengkonfirmasikan teori relativitas umum Einstein, diberi ucapan selamat
oleh seorang kolega atas [pencapaiannya] menjadi satu dari tiga orang di
dunia yang memahami teori musykil tersebut, Eddington anehnya terdiam.
Dicaci karena mempertontonkan kerendahan hati yang palsu, Eddington justru
menjawab bahwa dirinya mencoba membayangkan siapa orang ketiga itu.
Keterangan paling pertama dalam surat kabar mengenai terobosan
Einstein dan Eddington tahun 1919 ini fokus pada inkomprehensibilitas teori.
“Upaya-upaya untuk menyisipkan kata-kata yang mudah dipahami oleh
masyarakat non-ilmiah ke dalam teori cahaya Einstein yang terbukti lewat
ekspedisi gerhana itu sampai sekarang belum benar-benar berhasil,” awal
sebuah artikel 10 November 1919.
Niels Bohr, salah seorang pendiri mekanika quantum, suatu kali
mengatakan bahwa orang yang tidak terkejut mendengar teori mekanika
quantum – dengan gelombangnya yang bertindak sebagai partikel, partikel
bertindak seperti gelombang, serta keacakan dan ketidakpastian mikroskopis
yang diatributkannya pada alam – berarti belum benar-benar memahaminya.
Kemajuan mutakhir membuat kita semakin sulit menjelaskan alam
semesta. Versi terbaru tersangka theory of everything mempostulatkan
alam semesta dengan 10 atau 11 dimensi, bukan 3 ruang dan 1 waktu seperti
dalam pemahaman sehari-hari, yang dihuni oleh string-string atau membran-
membran yang menggeliat-geliat. Meski demikian, para ilmuwan terus
mencoba dengan gagah berani untuk memberitahu kita apa rencana mereka,
dalam tradisi penulisan buku yang mencakup “Origin of Species”-nya Darwin,
dan “Relativity: The Special and the General Theory”-nya Einstein, ditulis di
tahun 1916 dan tak pernah habis terjual.
Sebagian daya tarik buku-buku ini adalah kesempatan untuk
memulihkan kewarganegaraan seseorang di kosmos bermasalah dan
mengherankan dengan mendengarkan perkataan dari sumber otoritatif, dari
seseorang yang telah menyentuh sendiri misteri kosmik. Sedangkan bagian
lain sudah tentu adalah perlakuan dewasa, memasuki kekerabatan kasar
dengan dipercaya menerjemahkan penelitian ke dalam pernyataan-pernyataan
pengurai seperti yang terdapat di permulaan esai ini, atau berhadapan dengan
percakapan terbuka tentang sifat sains dan alam semesta.
53
Berikut, contohnya, adalah ucapan Dr. Hawking mengenai dimensi-
dimensi tambahan menyusahkan yang dibutuhkan oleh teori string tapi
rupanya tidak tersedia untuk memparkir mobil. “Secara pribadi harus saya
katakan, saya enggan mempercayai adanya dimensi tambahan,“ tulisnya
di halaman 54 dalam buku baru itu. “Tapi karena saya seorang positifis,
pertanyaan ‘Apakah dimensi tambahan benar-benar eksis?’ tidaklah berarti
apa-apa. Yang berhak seseorang tanyakan adalah apakah model-model
matematis dengan dimensi tambahan menyediakan deskripsi yang bagus atas
alam semesta.”
Dengan kata lain, bila eksperimen-eksperimen ternyata benar, tidak
masalah. Ini bisa dianggap menggegerkan jika Anda berpegang pada pendapat
bahwa sains adalah pencarian realitas yang lebih dalam dibanding pengukuran
pada tabel laboratorium. Tapi, teori quantum dan relativitas telah mengajari
kita, sains adalah tentang apa-apa yang bisa diobservasi dan diukur atau
bukan tentang apa-apa sama sekali. Dalam sains, sebagaimana dalam
demokrasi, tidak ada pengetahuan rahasia, semua perhitungannya ada pada
tabel, yang bisa diobservasi dan dipalsukan. Lainnya adalah metafisik.
Dalam hal berkata terang-terangan tanpa bersikap merendahkan
diri, Dr. Hawking adalah seorang jenius. Saat banyak penulis buku sains
mengarungi bab-bab penuh hal fundamental sebelum sampai ke bahan yang
baru, Dr. Hawking, dengan apresiasi waktu yang tinggi, menghembus cepat
menuju batas tanpa apologi.
Bagi mereka yang tidak dapat melanjutkan, Dr. Hawking juga
telah menyediakan sebuah warisan. Kesuksesan buku dia sebelumnya
dan kesuksesan “Cosmos”-nya Carl Sagan dipercaya luas telah memberi
tumpangan komersial pada genre buku sains, membantu meratakan jalan bagi
karya-karya seperti “The Elegant Universe”, karangan Dr. Brian Greene (teoris
string dari Universitas Columbia); “The Inflationary Universe”, karangan Alan
Guth (kosmolog di Massachusetts Institute of Technology); dan “The Quark
and the Jaguar”, karangan peraih Nobel, Murray Gell-Mann.
Sampai taraf tertentu kesuksesan terdahulu Dr. Hawking telah
menelurkan para peniru dan memperluas kalangan pembaca dan pemikiran
mereka, dia telah membangun sejenis feedback positif, dan dia telah
memperbesar kemungkinan bahwa pembaca akan mengikutinya dan
membaca bukunya sampai selesai kali ini.
54
Di dekade-dekade ketika astronom memperdebatkan takdir alam semesta
mengembang – apakah suatu hari nanti ia akan berakhir dalam sebuah
big crunch, atau apakah galaksi-galaksi akan berlayar saling menjauh untuk
selamanya – penggemar perluasan abadi selalu ditopang oleh kemungkinan
tiada akhir untuk pengembangan dan evolusi. Seperti pernah ditulis kosmolog
Yale, Dr. Beatrice Tinsley, “Saya pikir saya terikat pada ide mengembang
selamanya.”
Kehidupan dan kecerdasan dapat menyokong dirinya sendiri
untuk jangka waktu tak terbatas di alam semesta seperti itu, bahkan
ketika bintang-bintang berkelap-kelip dan galaksi-galaksi ditelan oleh
black hole, tegas Dr. Freeman Dyson (fisikawan di Institute for Advanced
Study) dalam sebuah paper menonjol di tahun 1979. “Jika pandangan
saya tentang masa depan benar,” tulisnya, “itu berarti dunia fisika dan
astronomi juga tak akan ada habisnya; tak peduli seberapa jauh kita
beranjak ke masa depan, akan selalu ada hal-hal baru yang terjadi, akan
ada informasi baru yang diterima, dunia-dunia baru untuk dijelajahi,
domain kehidupan, kesadaran, dan ingatan yang terus mengembang.”
Namun sekarang Dr. Dyson pun mengakui bahwa semua taruhan adalah
salah. Seandainya observasi-observasi astronomis mutakhir benar, masa
depan kehidupan dan alam semesta akan jauh lebih suram.
Dalam empat tahun terakhir astronom telah melaporkan bukti bahwa
perluasan alam semesta tidak hanya berjalan terus tapi juga mencepat, akibat
pengaruh “dark energy” misterius, suatu antigravitasi yang kelihatannya
tersimpan di ruang angkasa sendiri. Jika itu benar dan alam semesta terus
berakselerasi, bukannya meluncur lemah lembut di malam hari, kata
astronom, galaksi-galaksi jauh pada akhirnya akan bergerak menjauh
begitu cepat sehingga mereka tidak berkomunikasi dengan satu sama lain.
Praktisnya, seperti tinggal di tengah-tengah sebuah black hole yang semakin
hampa dan semakin dingin.
KEMUNGKINAN TIADA AKHIRAkhir Segalanya
55
Di alam semesta seperti itu, kata beberapa fisikawan, metode
perumusan fisika biasa mungkin tidak berlaku sama sekali. Bukannya dunia-
dunia baru yang muncul dalam pandangan, dunia lama akan terus-menerus
menghilang di atas horizon, lenyap dari pandangan untuk selamanya.
Pengetahuan kosmologis akan terfragmentasi, di mana pengamat
berbeda-beda melihat kepingan teka-teki berbeda-beda dan tak ada satu
pengamat pun yang mampu mengetahui takdir seluruh alam semesta atau
mencapai sebuah teori fisika yang lebih dari sekadar penaksiran.
“Akan ada banyak hal mengenai alam semesta yang benar-benar
tidak bisa kita prediksikan,” kata Dr. Thomas Banks, fisikawan di Universitas
California, Santa Cruz.
Dan barangkali yang paling penting, karena akhirnya kekurangan
energi untuk menyelesaikan pemikiran atau komputasi, domain kehidupan
dan kecerdasan tak akan mengembang, melainkan mengerut dan akhirnya
menghilang seperti sebuah gema yang mengecil menuju keheningan abadi.
“Saya rasa takdir sebuah alam semesta yang berakselerasi selamanya sangat
tak menarik,” kata Dr. Edward Witten, teoris di Institute for Advanced Study.
Itu adalah pernyataan yang meremehkan persoalan, menurut Dr.
Lawrence M. Krauss, astrofisikawan di Case Western Reserve University
di Cleveland, yang bersama-sama koleganya, Dr. Glenn D. Starkman, baru-
baru ini mencoba melukiskan kemungkinan di masa depan yang jauh. Alam
semesta berakselerasi “akan menjadi alam semesta paling buruk, baik bagi
kualitas kehidupan maupun kuantitas kehidupan,” kata Dr. Krauss, seraya
menambahkan: “Semua pengetahuan, peradaban, dan kebudayaan kita
ditakdirkan untuk dilupakan. Tidak ada masa depan jangka panjang.”
TAWA TERAKHIR EINSTEINHingga sekitar empat tahun lalu, begitu banyak astronom yang menganut
pandangan bahwa perluasan kosmik mungkin tengah melambat disebabkan
oleh gravitasi kolektif galaksi-galaksi dan segala sesuatu di alam semesta,
mirip halnya dengan segenggam bebatuan yang dilemparkan ke udara
yang secara berangsur-angsur memperlambat kenaikannya. Satu-satunya
pertanyaan ialah apakah alam semesta punya cukup energi gravitasi untuk
menghentikan perluasan dan mengembalikan dirinya dalam sebuah “big
crunch”, atau apakah galaksi-galaksi akan meluncur menjauh secara lebih
lambat untuk selamanya.
56
Dalam rangka mengukur laju perlambatan menjauh ini, dan untuk
menemukan jawaban yang sukar dipahami dan sudah lama dicari atas
pertanyaan kosmik, dua tim astronom memulai proyek yang saling bersaing
di tahun 1990-an dengan memanfaatkan bintang-bintang meledak yang jauh,
supernova, sebagai mercusuar kosmik.
Di tahun 1998, kedua tim mengumumkan bahwa bukannya melambat,
galaksi-galaksi benar-benar terlihat mencepat dalam 5 atau 6 miliar tahun
belakangan, seakan-akan suatu “dark energy” mendorong mereka ke luar.
“Itu tentu saja merupakan temuan eksperimen paling aneh sejak saya
menggeluti fisika,” kata Dr. Witten. “Orang-orang sulit menerimanya. Saya
telah berhenti berharap bahwa temuan tersebut akan terbukti salah, tapi ini
adalah hasil yang amat tidak menyenangkan.”
Bagi astronom, dark energy ini memiliki kemiripan dengan ide yang
dimiliki Albert Einstein di tahun 1917 yang kala itu dibuangnya, menyebutnya
sebagai blunder terbesar dirinya. Pada tahun tersebut, dia menyisipkan sebuah
faktor matematis palsu yang kemudian dikenal sebagai konstanta kosmologis
ke dalam persamaan relativitas umumnya dalam rangka menstabilkan alam
semesta terhadap kekolapsan; konstanta Einstein bertindak sebagai sejenis
tolakan kosmik untuk mengimbangi tarikan gravitasi galaksi-galaksi.
Einstein membuang konstanta kosmologis tersebut setelah astronom
Amerika, Edwin Hubble, menemukan bahwa alam semesta sedang
mengembang dan karenanya tidak memerlukan penstabilan. Tapi faktor
palsunya itu menolak untuk mati. Ia memperoleh identitas baru dengan
kedatangan mekanika quantum, kaidah ganjil yang mengatur alam subatom.
Menurut kaidah tersebut, ruang hampa tidaklah hampa, melainkan berbuih
energi. Disisipkan ke dalam persamaan Einstein, energi ini bertindak seperti
konstanta kosmologis, dan mencoba untuk meniup alam semesta saling
berpisah.
Menurut astronom, dark energy yang ditemukan baru-baru ini kini
menerangkan sekitar 2/3 massa alam semesta. Tapi apakah faktor palsu tua
milik Einstein ini, konstanta kosmologis, kembali untuk bertengger – yang
berarti alam semesta akan berakselerasi selamanya? Ataukah akselerasi yang
disangkakan itu hanya temporer, didorong oleh salah satu dari sekian banyak
medan gaya misterius, dijuluki sebagai quintessence, yang diperkenankan oleh
berbagai teori fisika high energy?
Ataukah akselerasi tersebut memang riil?
57
“Penting untuk mencaritahu apakah konstanta kosmologis tersebut
benar-benar konstan,” kata Dr. Witten.
Karena gaya tolak terdapat di ruang angkasa itu sendiri, maka begitu
alam semesta tumbuh, dorongan dari dark energy tumbuh pula. “Jika dark
energy adalah konstanta kosmologis, maka atribut kevakumanlah yang akan
selalu bersama kita, menjadi semakin powerful seiring membesarnya alam
semesta dan akibatnya alam semesta akan mengembang selamanya,” jelas
Dr. Adam Riess dari Space Telescope Science Institute di Baltimore. Tapi
jika dark energy adalah suatu bentuk quintessence, “maka mungkin akan
ada semakin banyak medan semacam itu yang muncul di masa mendatang,
mungkin dengan tanda berlawanan, dan dengan begitu semua taruhan untuk
masa depan alam semesta adalah salah.”
Dr. Krauss mengatakan, “Kabar baiknya adalah bahwa kita tidak bisa
membuktikan ini sebagai [kemungkinan] terburuk dari semua kemungkinan
alam semesta.”
SELAMAT TINGGALMungkin nampak aneh atau pongah ketika astronom mencoba menjelaskan
peristiwa-peristiwa hingga akhir masa sementara fisikawan masih meraba-
raba mencari “theory of everything”. Tapi bagi Dr. Krauss, ini adalah bukti
kemampuan fisika biasa. “Kita masih dapat menetapkan batas terakhir pada
banyak hal tanpa mengetahui teori final,” katanya. “Kita dapat menetapkan
batas pada banyak hal berdasarkan fisika biasa.”
Dr. Dyson mengatakan bahwa spekulasinya dalam eschatology (ilmu
akhirat) sebagian terinspirasi oleh sebuah paper tahun 1977 tentang masa
depan alam semesta yang terus mengembang karangan Dr. J. N. Islam (kini di
Universitas Chittagong, Bangladesh) dalam The Quarterly Journal of the Royal
Astronomical Society. Dr. Dyson juga termotivasi, tulisnya dalam paper-nya,
untuk memberikan argumen bantahan terhadap sebuah pernyataan keras
Dr. Steven Weinberg yang menulis dalam bukunya, “The First Three Minutes”,
“Semakin alam semesta dapat dipahami, semakin ia tidak berarti.”
Dr. Dyson menulis, “Bila Weinberg berbicara atas nama abad 20, saya
lebih suka abad 18.”
Jika kecenderungan akselerasi berlanjut, berikut adalah ramalannya:
Dalam kira-kira dua miliar tahun, Bumi akan menjadi tak dapat
dihuni sebab Matahari yang berangsur memanas menimbulkan efek rumah
58
kaca dengan entengnya. Dalam lima miliar tahun, Matahari akan membengkak
dan mati, membakar Bumi sampai garing dalam proses tersebut. Pada waktu
yang hampir bersamaan, Bima Sakti akan bertubrukan dengan kembarannya,
galaksi Andromeda (kini sekitar dua juta tahun cahaya jauhnya dan tengah
mendekat dengan cepat), memuntahkan bintang-bintang, gas, dan planet-
planet ke seluruh ruang antargalaksi.
Peradaban yang berusaha bertahan dari peristiwa-peristiwa ini akan
menghadapi masa depan penuh kebodohan dan kegelapan karena perluasan
kosmik yang mencepat mendorong cepat sebagian besar alam semesta
menjauh dari kita. “Kemampuan kita untuk mengetahui alam semesta akan
berkurang seiring waktu,” kata Dr. Krauss. “Semakin lama Anda menunggu,
semakin sedikit Anda melihat, berkebalikan dengan apa yang selalu kita
pikirkan.”
Sebagaimana dijelaskan Dr. Krauss, kelenyapan alam semesta adalah
suatu proses gradual. Semakin cepat galaksi-galaksi terbang menjauh dari
kita, semakin redup mereka terlihatnya, karena cahaya mereka ter-“redshift”-
kan ke frekuensi dan energi lebih rendah, seperti halnya suara sirene polisi
yang menurun saat menjauh. Saat mencapai kecepatan cahaya, galaksi
akan terlihat “membeku”, seperti seorang penari yang terpotret di udara
dalam sebuah foto, sesuai dengan teori relativitas Einstein, dan kita tidak
akan pernah melihat galaksi itu menua, kata Dr. Abraham Loeb (astronom
di Harvard). Ia akan terlihat lebih redup. Semakin jauh sebuah objek di
langit, katanya, semakin muda ia akan terlihatnya sambil memudar dari
pandangan. “Hanya terbatas jumlah informasi yang bisa kita kumpulkan dari
alam semesta,” kata Dr. Loeb. Sekitar 150 miliar tahun dari sekarang hampir
semua galaksi di alam semesta akan mundur cukup cepat sehingga tidak
terlihat dari Bima Sakti. Kecuali galaksi-galaksi yang terikat secara gravitasi
pada kumpulan galaksi, dikenal sebagai Kelompok Lokal, di mana Bima Sakti
merupakan anggotanya. Dalam kumpulan ini, mulanya kehidupan terlihat
sama. Ada galaksi-galaksi di langit. “Ketika Anda memandangi malam,
bintang-bintang akan terlihat masih di sana,” kata Dr. Krauss. “Bagi astronom,
yang ingin melihat lebih dari itu, langit akan nampak hampa. Para pecinta
tidak akan terganggu—tapi ilmuwan pasti.”
Tapi sekitar 100 triliun tahun dari sekarang, ketika gas dan debu
antarbintang—yang darinya bintang-bintang baru berkondensasi—akhirnya
terpakai habis, bintang-bintang baru akan berhenti lahir. Sejak itu hingga
59
seterusnya, langit akan semakin gelap. Galaksi-galaksi sendiri, kata astronom,
akan kolaps dalam black hole daam waktu sekitar 1030 tahun.
Tapi black hole pun tidak selamanya, sebagaimana ditunjukkan
Dr. Stephen Hawking (fisikawan Universitas Cambridge dan penulis buku
best-seller) dalam kalkulasi pada tahun 1973. Menerapkan prinsip-prinsip
mekanika quantum pada objek yang terdengar menyeramkan ini, Dr. Hawking
menemukan bahwa permukaan black hole, horizon peristiwanya, berfluktuasi
dan memancarkan energi dalam bentuk semburan acak partikel-partikel dan
radiasi, semakin panas dan panas hingga black hole tersebut akhirnya meledak
dan lenyap.
Black hole bermassa seukuran matahari memakan waktu 1064 tahun
untuk meledak. Untuk black hole bermassa seukuran galaksi, kembang apinya
akan menerangi ruang-waktu 1098 tahun dari sekarang.
MELAWAN DATANGNYA MALAMAkankah ada sesuatu atau seseorang yang menyaksikan kembang api
quantum ini?
Dr. Dyson menegaskan dalam paper-nya pada tahun 1979 bahwa
kehidupan dan makhluk berakal bisa bertahan dari gurun gelap dan dingin
di alam semesta yang tengah mengembang tak terhingga tapi secara lebih
lambat dengan mengadopsi bentuk eksistensi yang lebih lambat dan lebih
dingin. Keberakalan dapat menetap, misalnya, dalam pola butir-butir debu
bermuatan listrik di sebuah awan antarbintang, satu situasi yang dilukiskan
dalam novel sains-fiksi “The Black Cloud” karangan astronom Inggris, Sir Fred
Hoyle, yang meninggal pada bulan Agustus.
Ketika sebuah organisme seperti awan hitam mendingin, tegasnya,
ia akan berpikir secara lebih lambat, tapi selalu memetabolisasi energi
secara lebih lambat lagi, sehingga selera makannya akan selalu kurang dari
outputnya. Nyatanya, simpul Dr. Dyson, dengan menghasilkan jumlah energi
yang dikeluarkan per pikiran yang semakin kecil dan kecil, awan tersebut dapat
memiliki pikiran dalam jumlah tak terbatas meski hanya mengkonsumsi energi
dalam jumlah terbatas.
Tapi ada satu rintangan. Berpikir pun membutuhkan energi dan
menghasilkan panas, itulah alasannya mengapa komputer memiliki kipas. Dr.
Dyson mengatakan bahwa makhluk mesti berhenti berpikir dan melakukan
hibernasi secara periodik untuk memancarkan panas mereka.
60
Namun, di alam semesta berakselerasi, ada sebuah sumber panas
tambahan yang tidak bisa dibuang. Kalkulasi yang memprediksikan bahwa
black hole pasti meledak juga memprediksikan bahwa di alam semesta yang
berakselerasi, ruang angkasa pasti dipenuhi dengan apa yang disebut radiasi
Hawking. Praktisnya, horizon – jarak terjauh yang dapat kita lihat – secara
matematis terlihat seperti permukaan black hole. Jumlah radiasi ini diduga
luar biasa kecil – ekuivalen dengan sepermiliar miliar miliar derajat di atas nol
absolut, tapi itu sudah cukup untuk menimbulkan malapetaka bagi makhluk
yang mempunyai persepsi.
“Radiasi Hawking membunuh kita karena memberi temperatur
minimum yang di bawah temperatur tersebut Anda tidak bisa mendinginkan
apapun,” kata Dr. Krauss. Sekali sebuah organisme mendingin hingga
temperatur tersebut, jelasnya, ia akan menghamburkan energi dengan laju
tetap. “Karena ada keterbatasan energi total, ini berarti masa hidup yang
terbatas.”
KETAKTERHINGGAAN SEDANG DIADILIWalaupun Dr. Dyson sependapat dengan gambaran kehidupan yang suram
ini di alam semesta yang berakselerasi, dia dan Dr. Krauss dan Dr. Starkman
masih berdebat tentang apakah kehidupan juga mengalami malapetaka di
alam semesta yang tidak berakselerasi, tapi hanya mengembang dan semakin
lambat dan semakin dingin.
Teori quantum, menurut para pengarang Case Western tersebut,
membatasi seberapa halus energi untuk [pembentukan] pikiran baru bisa
dicukur. Teori tersebut memutus bahwa energi dipancarkan dan diserap dalam
gumpalan-gumpalan kecil yang tak bisa dibagi yang disebut "quantum".
Suatu komputasi harus menghabiskan sekurangnya energi sebanyak ini
dari persediaan terbatas. Tiap pikiran baru adalah sebuah langkah menuruni
tangga energi dengan jumlah langkah yang terbatas. “Jadi Anda hanya punya
jumlah pikiran yang terbatas,” kata Dr. Krauss.
“Jika Anda ingin menatap pusar Anda dan tidak memikirkan pikiran
baru, Anda tidak akan menghamburkan energi,” jelasnya. Tapi itu akan
menjadi cara yang membosankan untuk menghabiskan keabadian. Jika
kehidupan membutuhkan hal lain selain penyusunan ulang data yang sama
secara abadi, katanya dan Dr. Starkman, ia tidak mungkin abadi.
61
Namun Dr. Dyson mengatakan argumen ini hanya berlaku pada apa
yang disebut digital life, di mana terdapat jumlah status quantum yang tetap.
Makhluk-makhluk seperti awan hitam, yang bisa tumbuh bersama dengan
alam semesta, katanya, akan memiliki jumlah status quantum yang terus
bertambah, sehingga akan selalu ada semakin banyak anak tangga untuk
dituruni. Dengan demikian dasarnya takkan pernah tercapai dan kehidupan
dan pikiran bisa berlanjut untuk jangka waktu tak terhingga.
Tapi tak ada seorang pun yang tahu apakah bentuk kehidupan seperti
itu bisa eksis, kata Dr. Krauss.
Dibandingkan dengan pemandangan kolapsnya menara World Trade
Center atau gentingnya seorang anak yang sakit, kepunahan masa depan
ini mungkin terlihat sebagai suatu keprihatinan yang terlalu jauh. Dr. Allan
Sandage (astronom di Carnegie Observatory, Pasadena, California), yang telah
menghabiskan hidupnya untuk menginvestigasi perluasan dan takdir alam
semesta, mengatakan: “Kehidupan di bumi ini akan lenyap 4,5 miliar tahun
mendatang. Saya tidak senang pada fakta bahwa semua cahaya akan mati 30
miliar tahun mendatang.”
Dr. Dyson mengatakan dirinya masih optimis. Terlalu cepat untuk mulai
panik, nasehatnya dalam sebuah email. Observasi-observasi itu boleh jadi
keliru.
“Saat ini semua kemungkinan itu terbuka,” tulisnya. “Observasi-
observasi mutakhir tersebut penting, bukan karena mereka menjawab
pertanyaan-pertanyaan terbesar mengenai sejarah alam semesta, tapi karena
memberi kita alat baru untuk menggali sejarah.”
Di alam semesta berakselerasi pun, kata Dr. Dyson, manusia atau
keturunannya mungkin suatu hari nanti mampu menyusun ulang galaksi-
galaksi dan menyelamatkan lebih banyak galaksi dari kelenyapan. Seberkas
harapan lain datang dari radiasi Hawking yang mematikan dan mengerikan
itu sendiri, kata Dr. Raphael Bousso, dari Institute of Theoretical Physics di
Universitas California, Santa Barbara. Karena radiasi tersebut dihasilkan oleh
fluktuasi-fluktuasi quantum yang tidak bisa diprediksi, urainya, bila Anda
cukup sabar menunggu, segala sesuatu bisa muncul di dalamnya, bahkan
sebuah alam semesta baru. “Cepat atau lambat salah satu fluktuasi quantum
itu akan terlihat seperti Big Bang,” katanya.
Dalam kasus tersebut ada kemungkinan akan masa depan, jika tidak
untuk kita, setidaknya untuk sesuatu atau seseorang. Dalam keutuhan waktu,
62
bagaimanapun, fisika mengajarkan bahwa yang hal improbabel dan bahkan
nampak mustahil pun bisa menjadi sesuatu yang tak terelakkan. Alam belum
selesai dengan kita, begitu pula kita, sebagaimana dinyatakan Dr. Dyson, tidak
harus selesai dengan alam.
Kita semua akan mati, dan terserah kita untuk memutuskan siapa dan
apa yang harus dicintai, tapi, sebagaimana dijelaskan Dr. Weinberg dalam
sebuah artikel baru-baru ini dalam The New York Review of Books, ada satu
kemuliaan tertentu dalam prospek tersebut.
“Meski sadar bahwa tidak ada sesuatu di alam semesta yang
mengindikasikan tujuan kemanusiaan,” tulisnya, “sebuah cara supaya kita bisa
menemukan tujuan adalah mempelajari alam semesta melalui metode sains,
tanpa menghibur diri kita dengan ceritera-ceritera dongeng tentang masa
depan alam semesta, atau tentang masa depan kita.”
63
TERKADANG, bertentangan dengan kebiasaannya, sains membuat kosmos
terlihat sedikit lebih sederhana. Belakangan ini astronom seakan-akan
telah bangun dari mimpi buruk kosmologis yang panjang. Bulan lalu, sebuah
konsorsium astronom mengumumkan bahwa sebuah analisis atas sekitar
130.000 galaksi menunjukkan bahwa alam semesta, setidaknya pada skala
besar, tersusun sebagaimana kelihatannya.
Itu mungkin terdengar biasa saja, tapi tidak demikian.
“Bukanlah suatu ide gila bahwa galaksi-galaksi tidak mencatat materi,”
kata Dr. Licia Verde, astronom di Rutgers and Princeton Universities, yang
merupakan penulis utama sebuah paper yang diserahkan bulan lalu ke jurnal
Monthly Notices of Royal Astronomical Society.
Alasannya adalah sesuatu yang disebut dark matter.
Selama berabad-abad orang-orang telah menemukan – atau mereka
pikir demikian – makna di langit, dalam bentuk rasi-rasi, gerakan membelok
cepat komet-komet, dansa megah planet-planet, perhiasan galaksi-galaksi,
angkasa yang terbentang sejauh teleskop memandang, seperti jaring pancing
tua berhiasan yang terlempar di sepanjang kehampaan.
Tapi bagaimana jika semua ini hanya ilusi? Misalkan alam semesta
riil adalah sesuatu yang tidak dapat kita lihat dan semua rangkaian galaksi
yang gemerlapan itu tidak lebih penting, bukan lagi penuntun handal menuju
realitas fisik, daripada cat minyak di wajah seorang badut?
Itu adalah kemungkinan memalukan yang dihadapi astronom di tahun
1980-an, ketika mereka dengan segan mulai menerima bahwa observasi
astronomis selama berdekade-dekade memberitahu mereka ternyata
sebagian besar alam semesta tidaklah tampak. Mereka dapat menyimpulkan
bahwa dark matter itu ada lantaran efek gravitasinya terhadap objek-objek
yang bisa mereka lihat. Jika hukum gravitasi Newton memperpanjang jarak
kosmik, sejumlah besar dark matter dibutuhkan untuk menyediakan lem
gravitasi guna mencegah gugus-gugus galaksi terbang saling menjauh,
DARK MATTERDark Matter, Masih Sulit Dimengerti, Semakin Terlihat
64
dan guna membuat bintang-bintang terus beterbangan di galaksi-galaksi
pada kecepatan tinggi.
Kosmolog menyimpulkan bahwa memang dark matter-lah, yang secara
perlahan mengental menjadi awan-awan besar akibat bobotnya sendiri,
yang menyediakan perancah (penopang) untuk bintang-bintang dan galaksi-
galaksi. Dan dark matter-lah yang akan menentukan nasib alam semesta: jika
mereka cukup banyak, gravitasi pada akhirnya akan membalikkan perluasan
alam semesta dan menyebabkan “big crunch”. Jika tidak, alam semesta akan
mengembang selama-lamanya.
Yang paling menyakitkan, astronom bahkan tidak tahu apakah dark
matter terdistribusi seperti bintang dan galaksi. Mereka tidak punya petunjuk
menuju tempat beradanya sebagian besar alam semesta. Materi berkilau,
lanjut cerita, adalah seperti salju di puncak gunung atau buih di atas ombak,
tapi boleh jadi, secara teori, ada jajaran pegunungan lengkap yang tidak cukup
tinggi untuk berpuncak putih, tersembunyi dalam kegelapan.
Menyadari bahwa dark matter melebihi berat galaksi tampak, empat
astronom menganalisa hasil-hasil proyek pemetaan galaksi terdahulu, pada
tahun 1980. Tak ada alasan bahwa rasio dark matter:light matter mesti sama
di semua tempat “dan bisa saja eksis sistem-sistem masif yang pada dasarnya
tidak memancarkan cahaya,” bunyi laporan dalam Astrophysical Journal, ditulis
oleh Marc Davis, John Huchra, David Latham, dan John Tonry, kala itu mereka
semua di Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics.
Atau sebagaimana dikatakan Dr. Vera C. Rubin, astronom di Carnegie
Institute of Washington dan pionir riset dark matter, setahun kemudian:
“Kita hanya tahu sedikit tentang alam semesta. Saya sendiri tidak percaya ia
seragam dan sama di setiap tempat. Dengan kata lain seperti mengatakan
bahwa bumi flat.”
Hasil-hasil baru memperlihatkan bahwa alam semesta, semisterius
apapun ia, mungkin tidak sepenuhnya menyimpang. Sebagaimana suatu kali
dikatakan Einstein, “Tuhan itu cerdik, tapi tidak jahat.” Tapi nyaris saja.
“Pada prinsipnya, galaksi-galaksi tidak memiliki kemiripan dengan
distribusi pokok dark matter,” jelas Dr. Verde, yang melakukan analisa bersama
Dr. Alan F. Heavens dari Universitas Edinburgh.
“Kita pantas khawatir,” kata Dr. Heavens.
Pendapat yang menyatakan bahwa alam semesta berkilau mungkin
hanyalah cat minyak lahir dari pencarian keindahan. Pada tahun 1980-an,
65
pensurveyan astronomis menunjukkan bahwa galaksi-galaksi tidak
terdistribusi secara seragam di angkasa, sebagaimana selalu dianggap
demikian, melainkan terkonsentrasi di bidang-bidang dan gugus-gugus dan
rantai panjang mengikal yang dipisahkan oleh ruang hampa gelap dan besar
yang lebarnya jutaan tahun cahaya.
Tapi tarikan gravitasi dari disparitas distribusi massa semencolok
itu akan menarik galaksi-galaksi ke sana-kemari secara keras, mendistorsi
perluasan tertib alam semesta, bila teori-teori kosmologi paling modern
memang benar.
Teori-teori itu menegaskan bahwa densitas materi dan energi di
alam semesta cukup tinggi sehingga daya tarik gravitasi antara kandungan-
kandungan kosmos pada akhirnya akan mengimbangi energi mereka ke arah
luar. Alhasil, angkasa pada skala-skala terbesar tidak akan memperlihatkan
lengkungan geometris: ia akan “flat”, menurut jargon kosmologi.
Namun betapapun berubah-ubahnya kecepatan galaksi, tetap saja
relatif rendah. Daripada membuang pendapat yang indah secara matematis
mengenai alam semesta berdensitas tinggi, beberapa teoris mengatakan
bahwa astronom mungkin harus membuang pendapat yang sama indahnya
dan nampak prinsipil, yakni bahwa alam semesta adalah apa yang kita lihat
ketika kita memandang langit.
Jika kehampaan hanya sebuah ilusi, dan bukan hampa tapi cuma gelap,
kosmolog beralasan, tidak akan ada medan-medan gravitasi yang menarik
galaksi-galaksi, yang bisa menjelaskan mengapa kecepatan khas mereka
begitu rendah. Mereka dapat menjaga alam semesta mereka yang indah.
Begitu awan dark matter purba tumbuh dan mengental, lanjut teori ini,
materi biasa tenggelam ke pusatnya dan menyala. Tapi bentangan luas dark
matter di luar pusat akan terpelihara oleh galaksi tampak, seperti gunung yang
tidak cukup tinggi untuk mengumpulkan salju, atau batu karang yang tidak
bertandakan pelampung.
Membayangkan persisnya mengapa galaksi-galaksi terbentuk dalam
pola ini merupakan persoalan lain yang menarik imajinasi para teoris. Dr.
Martin Rees, kosmolog di Universitas Cambridge dan Astronomer Royal
Inggris, mengatakan dirinya bisa membayangkan bahwa pembentukan galaksi
boleh jadi terkatalisasi atau terintangi oleh suatu peristiwa lingkungan.
Radiasi dahsyat dari quasar-quasar pertama, contohnya, dapat mengionisasi
66
gas protogalaksi di petak-petak luas ruang angkasa, mempengaruhi
kemampuannya untuk kolaps dan menyala.
Meski demikian, pada tahun 1990-an, bukti-bukti mulai menggunung,
dari satelit COBE, yang mempelajari pancaran radio lemah dari Big Bang
sendiri, dan dari studi-studi lain, bahwa densitas materi adalah kurang dari
sepertiga harga kritis ajaib yang diperlukan untuk [terbentuknya] alam
semesta yang “flat” sempurna.
Dalam kasus tersebut gugus-gugus tidak punya energi gravitasi untuk
menimbulkan masalah dan ketiadaan kecepatan tinggi bukanlah masalah.
Untunglah para teoris masih bisa mempunyai alam semesta indah yang flat
karena gap densitas materi tersebut diisi oleh apa yang disebut dark energy
yang belakangan ditemukan astronom nampak sedang mempercepat
perluasan alam semesta. Tapi alam semesta tak lagi seimbang; jika dark
energy terus berlaku, kata astronom, kosmos akan tertiup saling menjauh,
mendinginkan semua kehidupan.
Karena itu dalam tahun-tahun belakangan dark matter telah
menyerahkan beberapa prestisenya kepada dark energy, tapi identitas dark
matter masih misterius. Beberapa darinya mungkin materi biasa, seperti
batu dan bintang mati. Tapi sebagian besar darinya pasti objek yang lebih
eksotis – barangkali partikel-partikel unsur yang tersisa dari Big Bang –,
menurut sebuah studi yang dipublikasikan minggu lalu dalam jurnal Nature
oleh Dr. Robert Rood dari Universitas Virginia, bersama kolega-koleganya.
Mereka mengukur keberlimpahan bentuk helium langka di Bima Sakti untuk
menetapkan jumlah materi “normal” yang dihasilkan dalam Big Bang.
Meski begitu, hubungan antara light matter dan dark matter, suatu kali
dikemukakan, terus menghantui astronom. “Adalah sungguh beralasan jika
galaksi-galaksi tidak menggugus seperti massa,” kata Dr. Heavens, seraya
menambahkan, “tidak terkendali.”
Dia dan Dr. Verde bermaksud mengukur derajat, secara teknis dikenal
sebagai bias, ketidaksebandingan distribusi materi berkilau dan dark matter,
menggunakan teknik statistik yang telah dikembangkan Dr. Verde untuk
disertasi Ph.D-nya di bawah pengawasannya.
Untuk database, mereka menggunakan katalog jarak relatif dan posisi
130.000 galaksi di angkasa yang telah disusun oleh sebuah konsorsium
astronom internasional yang dikenal sebagai 2-Degree Field Galaxy Redshift
67
Survey, atau 2dF, menggunakan Anglo-Australian Telescope berdiameter 12
kaki dekat Coonabarabran, Australia.
Pada saat selesai, pensurveyan tersebut, yang mengambil namanya dari
bidang pandang teleskop itu, semestinya telah memetakan 250.000 galaksi
hingga jarak sekitar 500 juta tahun cahaya.
Sebagaimana dijelaskan Dr. Verde, dirinya dan Dr. Heavens
menggunakan statistik untuk menganalisa bentuk gugus-gugus galaksi di
angkasa. Menurut teori gravitasi dan simulasi komputer, katanya, dark matter,
yang hanya berinteraksi secara gravitasi, seharusnya bermula dalam gumpalan
bundar dan kemudian secara berangsur membentuk dirinya menjadi filamen
dan lembaran sambil gumpalan ini terlebih dahulu kempis sepanjang poros
terpendek mereka.
“Tanda gravitasi adalah filamen,” kata Dr. Verde. “Jika ada pembiasan,
Anda mendapatkan distribusi yang bukan lembaran dan filamen – Anda
mendapatkan pola berbeda.”
Hasilnya, katanya dan Dr. Heavens, jelas konsisten dengan struktur
filamen, “seperti sebuah jaring, bukan bukit dan gunung bundar.”
“Anda harus mengajukan sebuah teori yang cukup gila untuk mendapat
pola dengan pembiasan ini,” kata Dr. Verde. “Ketika dilakukan serentak,
pengukuran-pengukuran ini menegaskan dengan kuat bahwa galaksi-galaksi
2dFGRS memang mencatat massa pada skala besar,” simpulnya dan 29
penulis lain dalam paper mutakhir itu.
Gunung adalah tempat salju berada. Alam semesta adalah tempat
cahaya berada. Dr. Rees menambahkan: “2dF menunjukkan bahwa segala
sesuatu tetap bersatu. Bisa saja dahulu tidak demikian. Tidak ada bukti
atas sesuatu yang gelap dan besar tanpa ada galaksi yang diasosiasikan
dengannya.”
Setidaknya di alam semesta sekarang.
“Lima miliar tahun lalu, kita akan memperoleh jawaban berbeda,” kata
Dr. Heavens, menjelaskan bahwa galaksi-galaksi mungkin memang terbentuk
pertama kali dalam konsentrasi di pusat awan-awan dark matter tapi secara
berangsur tersebar ke daerah pedalaman sepanjang sejarah kosmik yang
mencerminkan secara lebih akurat distribusi keseluruhan materi, persoalan
kosmik yang hingga kini belum diketahui.
Secara rata-rata, galaksi-galaksi hari ini mencatat massa, dan oleh
sebab itu astronomi tak nampak juga merupakan astronomi nampak.
68
Tentu saja dengan mengikuti cahayalah astronom tertuntun menuju
kegelapan. Seperti pemabuk yang terlihat di bawah cahaya jalan lantaran kunci
yang dimilikinya, mereka tak pernah punya pilihan tentang di mana harus
mencari alam semesta. “Tiga puluh tahun lalu, kita pikir alam semesta adalah
bintang-bintang. Ternyata bintang hanyalah puncak gunung es,” kata Dr.
Michael Turner, kosmolog di Universitas Chicago. “Ada kekhawatiran bahwa
cahaya di angkasa sebenarnya tidak mencatat distribusi materi. Pensurveyan
besar keluar untuk mencari gumpalan materi yang tidak dapat disamakan
dengan cahaya.
“Cerita tersebut kini mulai sampai di titik akhir.”
Jika seseorang mau melakukan sesuatu terkait dark energy itu.
69
CAMBRIDGE, Inggris – Pada musim gugur 1973, Dr. Stephen Hawking, yang
telah menghabiskan seluruh karir profesionalnya di Universitas Cambridge,
mendapati dirinya terjerat dalam kalkulasi menghebohkan dan memalukan.
Berupaya menginvestigasi atribut mikroskopis black hole (perangkap gravitasi
yang darinya cahaya sekalipun tidak dapat melarikan diri), Dr. Hawking
menemukan—hingga tak percaya—bahwa black hole dapat membocorkan
energi dan partikel-partikel ke ruang angkasa, dan bahkan meledak
memercikkan energi tinggi.
Dr. Hawking mulanya bertahan untuk tidak mempublikasikan hasil
temuannya, khawatir keliru. Ketika dia menyampaikannya pada tahun
berikutnya dalam jurnal Nature, dia menjuduli paper-nya “Black Hole
Explosions?” Kolega-koleganya kelinglungan dan bingung.
Hampir 30 tahun kemudian, mereka masih kebingungan. Ketika mereka
berkumpul di Cambridge bulan ini untuk merayakan ulang tahun Dr. Hawking
yang ke-60 dengan sebuah workshop seminggu penuh berjudul “The Future
of Theoretical Physics and Cosmology”, gagasan-gagasan yang timbul dari
kalkulasinya serta buntut perkaranya acapkali menjadi pusat perhatian.
Itu adalah gagasan yang menyinggung hampir semua konsep musykil
yang menggetarkan tulang dalam fisika modern.
“Black hole secara fundamental masih merupakan objek yang
enigmatik,” kata Dr. Andrew Strominger, fisikawan Harvard, yang hadir dalam
perayaan itu. Dalam fisika fundamental, gravitasi dan mekanika quantum
adalah persoalan besar yang tidak kita pahami. Temuan radiasi black hole Dr.
Hawking sangat penting dan fundamental bagi hubungan tersebut.”
Black hole adalah primadona teori relativitas umum Einstein, yang
menjelaskan gaya gravitasi sebagai lengkungan ruang-waktu yang disebabkan
oleh materi dan energi. Tapi Einstein pun tidak bisa menerima gagasan bahwa
pelengkungan tersebut begitu ekstrim, misalnya dalam kasus bintang kolaps,
RADIASI BLACK HOLETerobosan Hawking Masih Menjadi Enigma
70
sehingga ruang dapat sepenuhnya membungkus suatu objek layaknya mantel
sulap, menyebabkannya lenyap sebagai black hole.
Terobosan Dr. Hawking sebagian dihasilkan dari sebuah pertarungan.
Dia saat itu berharap membantah pendapat Jacob Bekenstein (saat itu
mahasiswa di Princeton dan sekarang menjadi profesor di Universitas Hebrew,
Yerusalem) bahwa area perbatasan black hole, point of no return di ruang
angkasa, adalah ukuran entropi black hole. Dalam termodinamika, studi kalor
dan gas, entropi adalah ukuran energi yang terbuang atau kekacauan, yang
mungkin terasa seperti konsep aneh untuk terjadi di black hole. Tapi dalam
fisika dan sains komputer, entropi juga merupakan ukuran kapasitas informasi
sebuah sistem – jumlah bit yang diperlukan untuk menggambarkan status
internalnya. Praktisnya, black hole atau sistem lainnya adalah seperti kotak
huruf Scrabble – semakin banyak huruf dalam kotak tersebut, semakin banyak
kata yang bisa Anda susun, dan semakin besar kemungkinan untuk melantur.
Menurut hukum termodinamika kedua, entropi sistem tertutup selalu
sama atau bertambah, dan penelitian Dr. Hawking telah memperlihatkan
bahwa area permukaan black hole itu selalu bertambah, sebuah proses yang
sepertinya meniru hukum tersebut.
Tapi Dr. Hawking, seraya mengutip fisika klasik, memperlihatkan
bahwa sebuah objek berentropi pasti memiliki temperatur, dan apapun
yang memiliki temperatur – mulai dari kening yang panas hingga sebuah
bintang – pasti memancarkan panas dan cahaya dengan spektrum yang
khas. Jika black hole tidak bisa memancarkan panas, ia mungkin tidak
mempunyai temperatur dan dengan demikian tidak punya entropi. Tapi itu
sebelum gravitasi, yang membentuk kosmos, bertemu teori quantum, kaidah
paradoks yang menjelaskan perilaku materi dan gaya di dalamnya. Sewaktu
Dr. Hawking menambahkan sentuhan ketidakpastian quantum pada model
black hole Einstein yang baku, partikel-partikel mulai bermunculan. Mulanya
dia terganggu, tapi ketika menyadari bahwa “radiasi Hawking” ini boleh jadi
memiliki spektrum termal yang diprediksikan oleh teori termodinamika, dia
menyimpulkan kalkulasinya benar.
Tapi ada satu masalah. Radiasi tersebut acak, kata teori Dr. Hawking.
Alhasil, semua detail mengenai objek apapun yang telah jatuh ke dalam
black hole bisa terhapus sama sekali – sebuah pelanggaran terhadap ajaran
suci teori quantum, yang bersikeras bahwa memutar film secara terbalik dan
mencaritahu detail tentang bagaimana sesuatu berawal adalah senantiasa
71
memungkinkan – entah itu seekor gajah atau satu unit Volkswagen, misalnya,
yang terlempar ke dalam black hole. Jika dirinya benar, kata Dr. Hawking, teori
quantum mungkin harus dimodifikasi. Black hole, katanya dalam paper-nya
dan perbincangan di akhir 1970-an, ialah pemusnah informasi, memuntahkan
ketidaktentuan dan meruntuhkan hukum dan tatanan di alam semesta.
“Tuhan tidak hanya berjudi dengan alam semesta,” kata Dr. Hawking,
mengubah susunan ungkapan terkenal yang digunakan Einstein untuk
menolak ketidakpastian quantum, “melainkan terkadang melemparnya
ke tempat di mana kita tidak bisa melihatnya.” Pernyataan seperti itu
menimbulkan perhatian dari fisikawan partikel. Meski mungkin terdengar
aneh, teori quantum merupakan fondasi banyak bangunan dunia modern,
mulai dari transistor sampai CD, dan ia adalah bahasa yang digunakan dalam
mengungkapkan semua hukum fundamental fisika, kecuali gravitasi. “Ini tidak
mungkin,” Dr. Leonard Susskind, teoris di Standford, mengenang perkataan
pada dirinya sendiri.
Ini adalah permulaan dari apa yang disebut Dr. Susskind sebagai
adversarial relationship (hubungan berlawanan). “Stephen Hawking adalah
salah satu orang paling keras kepala di dunia; bukan, dia adalah orang paling
mengesalkan di alam semesta,” ujar Dr. Susskind dalam workshop di hari ulang
tahun itu, sementara Dr. Hawking menyeringai di barisan belakang.
Dalam 20 tahun berikutnya, opini-opini kebanyakan terbelah
sepanjang isu ini. Fisikawan partikel seperti Dr. Susskind dan Dr. Gerrard ‘t
Hooft (fisikawan di Universitas Utrecht dan peraih Hadiah Nobel tahun 1999)
mempertahankan teori quantum dan mengatakan bahwa bagaimanapun
informasi pasti akan keluar, barangkali ter-encode secara halus dalam radiasi.
Kemungkinan lain – bahwa informasi tersebut tertinggal dalam suatu jenis
partikel unsur baru sewaktu black hole menguap – sepertinya telah gugur.
Pakar relativitas seperti Dr. Hawking dan temannya, Dr. Kip Thorne
(fisikawan Caltech), lebih suka meyakini kemampuan black hole untuk
menyimpan rahasia. Pada 1997, Dr. Hawking dan Dr. Thorne bertaruh atas
lokasi mulut black hole, bertaruh satu set ensiklopedia dengan Dr. John Preskill
(fisikawan partikel Caltech), bahwa informasi hancur dalam black hole.
Sampai saat ini, kedua pihak tidak merasa berkewajiban untuk
membayar.
72
MENULIS DI DINDINGDr. Susskind dan yang lain mengatakan bahwa tidak ada yang pernah berhasil
memasuki black hole sebab, menurut Einstein, segala sesuatu yang berada di
perbatasannya (di mana waktu melambat) akan terlihat, menurut penglihatan
pengamat luar, “membeku” dan kemudian memudar, tersebar di permukaan
di mana itu bisa menimbulkan distorsi halus dalam radiasi Hawking.
Maka, pada prinsipnya, informasi tentang sesuatu yang telah jatuh ke
black hole bisa dibaca dalam radiasi tersebut dan direkonstruksi; tidak akan
lenyap.
Timbul kebingungan, jelas Dr. Susskind, karena fisikawan mencoba
membayangkan situasi dari sudut pandang Tuhan daripada sudut pandang
pengamat yang harus berada di black hole atau di luar, tapi tidak di kedua
tempat pada saat yang sama. Jika perhitungan dilakukan dengan benar,
katanya, “Tidak ada pengamat yang akan melihat pelanggaran terhadap
hukum fisika.”
Paradoks informasi membuat para teoris merasa penting untuk
mencoba melampaui analogi termodinamika dan benar-benar mengkalkulasi
bagaimana black hole menyimpan informasi atau entropi. Tapi ada satu
tangkapan. Menurut sebuah rumus cukup terkenal yang dikembangkan oleh
fisikawan Austria, Ludwig Boltzmann (dan terukir pada batu nisannya), entropi
sebuah sistem bisa ditentukan dengan menghitung jumlah cara penyusunan
muatannya.
Dalam rangka menghitung cara-cara penyusunan muatan sebuah black
hole, fisikawan membutuhkan teori tentang apa yang ada di dalamnya. Pada
pertengahan 1990-an, mereka punya satu: teori string, yang melukiskan gaya-
gaya dan partikel-partikel alam, termasuk gaya dan partikel yang bertanggung
jawab atas gravitasi, sebagai string-string kecil yang bervibrasi.
Menurut teori ini, sebuah black hole adalah campuran kusut string-
string dan membran-membran multidimensi yang dikenal sebagai “bran-D”.
Dalam sebuah kalkulasi tingkat tinggi di tahun 1995, Dr. Strominger dan
Dr. Cumrun Vafa, juga dari Harvard, menguraikan isi perut sebuah black hole
“extremal”, yang di dalamnya muatan listrik persis mengimbangi gravitasi.
Black hole seperti itu akan berhenti menguap dan dengan demikian
terlihat statis, memungkinkan periset menghitung status quantumnya.
Mereka mengkalkulasi bahwa entropi sebuah black hole adalah areanya yang
dibagi empat – persis seperti diperkirakan Dr. Hawking dan Dr. Bekenstein.
73
Hasil temuan tersebut merupakan kemenangan besar bagi teori string.
“Jika teori string salah, itu akan berbahaya,” kata Dr. Strominger.
Kesuksesan kalkulasi Harvard tersebut telah mendorong fisikawan
partikel untuk menyimpulkan bahwa black hole dapat dianalisa dengan alat-
alat mekanika quantum, dan bahwa isu informasi itu telah dipecahkan. Tapi
yang lain mengatakan bahwa ini masih harus diselesaikan – di antara mereka
adalah Dr. Strominger, yang mengatakan, “Itu tetap isu yang belum selesai.”
DERAJAT KEBEBASANBarangkali konsekuensi paling misterius dan luas dari black hole yang meledak
adalah gagasan bahwa alam semesta dapat disamakan dengan sebuah
hologram, di mana informasi untuk citra tiga dimensi bisa disimpan pada
permukaan flat, seperti citra pada kartu bank.
Pada 1980-an, memperluas penelitiannya dan penelitian Dr. Hawking,
Dr. Bekenstein menunjukkan bahwa entropi dan informasi yang dibutuhkan
untuk menjelaskan suatu objek dibatasi oleh areanya. “Entropi adalah ukuran
seberapa banyak informasi yang bisa Anda masukkan ke dalam sebuah objek,”
jelasnya. “Batas entropi adalah batas informasi.”
Ini adalah hasil yang aneh. Normalnya Anda mungkin berpikir bahwa
ada pilihan – atau derajat kebebasan di sekitar kondisi interior sebuah objek –
sebanyak titik di dalam ruang tersebut. Tapi menurut apa yang disebut batas
Bekenstein, hanya terdapat pilihan sebanyak titik di permukaan luarnya.
“Titik” di sini adalah kawasan berdimensi 10-33 centimeter, panjang
Planck yang diyakini fisikawan sebagai “butir-butir" ruang. Menurut teori
tersebut, masing-masingnya bisa diberi nilai nol atau satu – ya atau tidak –
seperti bit-bit dalam komputer.
“Yang terjadi ketika Anda menyelipkan terlalu banyak informasi ke
dalam sebuah objek adalah bahwa Anda memasukkan terlalu banyak energi ke
dalamnya,” kata Dr. Bousso. Tapi jika terlalu berat untuk ukurannya, ia menjadi
black hole, dan kemudian “game is over”, sebagaimana Dr. Bousso katakan.
“Seperti sebuah piano dengan banyak tuts, Anda tidak bisa menekan lebih dari
lima tuts secara serentak atau piano akan kolaps.”
Prinsip holograf, pertama kali disebutkan oleh Dr. ‘t Hooft pada
tahun 1993 dan diuraikan secara rinci oleh Dr. Susskind setahun kemudian,
menyatakan bahwa jika Anda tidak bisa menggunakan tuts-tuts lain, mereka
74
sebenarnya tidak ada. “Kita punya gambaran yang sama sekali keliru
tentang piano tersebut,” jelas Dr. Bousso. Teori-teori normal yang digunakan
fisika untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa di ruang-waktu sangat
mengherankan dan hingga kini masih misterius. “Kita dengan jelas melihat
dunia sebagaimana kita melihat hologram,” ucap Dr. Bousso. “Kita melihat
tiga dimensi. Ketika Anda memandangi salah satu kepingan itu, kelihatannya
sungguh riil, tapi dalam kasus kita ilusi tersebut sungguh sempurna.”
Dr. Susskin menambahkan: “Kita tidak melihat hologram. Kitalah
hologram itu.”
Prinsip holograf, kata para fisikawan ini, bisa diterapkan pada ruang-
waktu, tapi mereka tak tahu mengapa itu bekerja.
“Itu benar-benar misterius,” kata Dr. Strominger. “Jika itu memang
benar, itu adalah atribut mendalam dan indah dari alam semesta kita – tapi
tidak jelas terlihat.”
BATAS KEINDAHANNamun keindahan itu ada harganya, kata Dr. ‘t Hooft, yakni sebab dan akibat.
Jika informasi tentang apa yang kita lakukan terletak di dinding imajiner jauh,
“bagaimana kelihatannya bagi kita yang duduk di sini bahwa kita sedang
mematuhi hukum fisika lokal?” dia bertanya pada audiens dalam workshop
ulang tahun Hawking.
Mekanika quantum telah terselamatkan, dia menyatakan, tapi mungkin
masih perlu digantikan oleh hukum yang memelihara apa yang disebut
fisikawan sebagai “lokalitas naif”.
Dr. ‘t Hooft mengakui bahwa sudah ada banyak upaya sia-sia untuk
menyingkirkan gagasan tak masuk akal dalam mekanika quantum, seperti
partikel-partikel yang dapat secara seketika bereaksi terhadap satu sama
lain yang terpisah bertahun-tahun-cahaya di ruang angkasa. Namun, dalam
setiap kasus, dia mengatakan ada asumsi-asumsi, atau “cetakan halus”, yang
mungkin pada akhirnya tidak akan bertahan.
Observasi mutakhir telah menimbulkan taruhan atas gagasan-gagasan
seperti holografi dan informasi black hole. Hasil observasi-observasi itu
mengindikasikan bahwa perluasan alam semesta tengah mencepat. Jika itu
terus berlanjut, kata astronom, galaksi-galaksi jauh akhirnya akan menjauh
begitu cepat sehingga kita tidak akan bisa melihat mereka lagi.
75
Hidup di alam semesta demikian seperti dikelilingi oleh sebuah horizon,
berpijar seperti horizon black hole, yang di atasnya informasi menghilang
selamanya. Dan karena horizon ini memiliki ukuran terbatas, kata fisikawan,
terdapat batasan pada jumlah kompleksitas dan informasi yang dapat
ditampung alam semesta, pada akhirnya menyebabkan malapetaka pada
kehidupan.
Fisikawan mengakui bahwa mereka tak tahu bagaimana menggunakan
fisika atau teori string di ruang seperti itu, yang disebut ruang de Sitter,
diambil dari nama astronom Belanda, Willem de Sitter, yang pertama
kali memecahkan persamaan Einstein untuk menemukan ruang angkasa
demikian. “Ruang de Sitter adalah batas baru,” kata Dr. Strominger, yang
berharap bahwa teknik dan perhatian yang dicurahkan pada black hole
dalam dekade terakhir akan memungkinkan fisikawan bergerak maju dalam
memahami alam semesta yang mungkin sesungguhnya melambangkan
kondisi manusia.
Dr. Bousso mencatat bahwa baru beberapa tahun terakhir, dengan
penemuan bran-D, pemecahan persoalan black hole menjadi mungkin. Kejutan
apa lagi yang menanti dalam teori string? “Kita tidak tahu seberapa kecil atau
besar kepingan teori yang belum kita lihat,” katanya.
Sementara itu, barangkali meniru Boltzmann, Dr. Hawking menyatakan
di akhir pertemuan bahwa dirinya ingin rumusan entropi black hole terukir di
batu nisannya.
SEMUA INI ADA DALAM MATEMATIKAKetika Stephen Hawking mengejutkan para kosmolog dengan menyatakan
bahwa energi dan materi bisa keluar dari black hole, kalkulasi miliknya tidak
mengatakan bagaimana partikel-partikel melarikan diri dari black hole,
hanya mengatakan bahwa mereka bisa. Satu-satunya kebenaran ada dalam
matematika, katanya.
Menurut prinsip ketidakpastian Heisenberg, pilar teori quantum, apa
yang disebut kevakuman ruang angkasa tidaklah hampa tapi berbuih partikel-
partikel virtual yang timbul dalam pasangan-pasangan partikel-antipartikel
berkat energi pinjaman dan kemudian bertemu dan saling menghancurkan
dalam sebuah kilasan energi yang membayar utang eksistensi mereka.
Tapi jika hanya satu anggota pasangan yang jatuh ke dalam black hole,
pasangannya akan bebas berkeluyuran. Menurut penglihatan pengamat jauh,
76
ia akan terlihat keluar dari black hole, dan, karena energi untuk
pembentukannya dipinjam dari medan gravitasi black hole dan belum dibayar
kembali, black hole itu akan terlihat menyusut.
Begitu menyusut, black hole semakin panas dan beradiasi semakin
cepat, menurut kalkulasi Dr. Hawking, sampai akhirnya meledak.
Kematian black hole merupakan keprihatinan yang sedikit berguna.
Black hole umumnya berlangsung selama 1064 tahun, triliunan kali umur alam
semesta.
77
PRINCETON, N.J., 5 Maret – Akhirnya sampai pada kesimpulan ini.
Di satu sudut adalah Dr. John Archibald Wheeler, 90 tahun, pensiunan
profesor fisika di Princeton dan Universitas Texas, diperlengkapi serentetan
alat bantu dengar, segenggam kapur warna, kesopan-santunan yang tak
kunjung padam, kepandaian bermetafora ala penyair, rasa tanggung jawab
yang gigih, dan sekompi pemikir-pemikir besar.
Di sudut lain adalah “naga besar berasap”, sebutan yang kadang-
kadang digunakan Dr. Wheeler untuk salah satu misteri tertinggi di alam.
Yaitu kemampuan, menurut hukum mekanika quantum yang mengatur
urusan subatom, sebuah partikel seperti elektron untuk eksis dalam status
kemungkinan berkabut – di suatu tempat, di semua tempat, atau tak di
manapun sama sekali – sampai diklik menjadi eksis oleh detektor laboratorium
atau bola mata.
Dr. Wheeler menduga bahwa ketidakpastian quantum ini, demikian
itu lebih dikenal, adalah kunci untuk memahami mengapa segala sesuatu
eksis, bagaimana sesuatu, alam semesta beserta hukumnya, bisa berasal dari
kenihilan. Atau, sebagaimana dia senang mengatakannya dalam ungkapan
yang dia pungut sebagai mantera: “Bagaimana ada quantum? Bagaimana ada
eksistensi?”
Berdiri dekat jendela di kantornya di lantai tiga Princeton’s Jadwin Hall
baru-baru ini, Dr. Wheeler menunjuk pada pohon-pohon yang bersemi dan
kubah hijau gedung astronomi di kejauhan. “Kita semua terhipnotis hingga
berpikir ada sesuatu di luar sana,” katanya.
Seminggu dua kali dia naik bis dari rumah peristirahatannya tak jauh
dari Hightstown untuk duduk di sini di bawah gambar Albert Einstein dan Niels
Bohr, kutub kembar dalam kehidupan sainsnya, dan berhadapan muka dengan
kefanaan dunia mirip naga, mendiktekan pemikirannya kepada sekretarisnya,
Emily Bennett.
Dr. JOHN ARCHIBALD WHEELERMengintai Gerbang Waktu
78
“Waktu yang tersisa untuk saya di bumi terbatas,” tulisnya baru-baru
ini. “Dan pertanyaan penciptaan begitu berat sampai saya hampir tidak bisa
berharap menjawabnya dalam waktu yang tersisa untuk saya. Tapi setiap
Selasa dan Kamis saya akan menuliskan jawaban terbaik yang saya bisa,
sambil membayangkan bahwa saya sedang disiksa.”
Dia tidak sedang berilusi tentang siapa yang akan memenangkan
konfrontasi. Sebuah serangan jantung pada tahun lalu telah memakan korban,
dan dia mengakui bahwa pemikirannya terfragmen, gagasan demi gagasan,
sebagaimana dia senang mengatakannya, dan bukan untuk kolega-koleganya
di masa sekarang tapi untuk bergenerasi-generasi kolega di sepanjang masa.
Itulah yang dia kerjakan sepanjang hidupnya. Dr. Wheeler membantu
menjelaskan fisi nuklir bersama Bohr, memperdebatkan teori quantum dengan
Einstein, bersedia membuat bom atom dan hidrogen dan mempelopori studi
atas apa yang kemudian dijulukinya sebagai black hole. Sepanjang hidup, dia
memperturutkan seleranya terhadap kembang api dan berbuat kenakalan dan
menjadi fisikawan penyair paling trendi dalam generasinya, menggunakan
metafora seefektif kalkulus hingga membuat murid-murid dan koleganya
terpesona dan mengirim mereka, menyalakan pikiran, menuju barikade untuk
berhadapan dengan alam.
Ungkapan-ungkapan yang diciptakan Dr. Wheeler merupakan semacam
jejak uap yang menandai jalur aspirasi fisika dalam beberapa dekade terakhir:
di antaranya black hole, buih quantum, hukum tanpa hukum.
“Gambaran utama dirinya ialah bahwa dia merupakan seorang visioner,”
kata Dr. Kip Thorne, profesor fisika di California Institute of Technology yang
merupakan murid Dr. Wheeler di Princeton. “Dia mencoba melihat lebih jauh di
atas horizon dibanding kebanyakan orang lewat intuisi fisikanya.”
“Dia mengembalikan kesenangan ke dalam fisika,” kata Dr. Max
Tegmark, kosmolog di Universitas Pennsylvania yang baru-baru ini
berkolaborasi dengan Dr. Wheeler, mengungkap alasan-alasan mengapa
ilmuwan menyukai Wheeler. Fisikawan, katanya, biasanya enggan
membicarakan Really Big Questions, seperti mengapa ada eksistensi, karena
khawatir dicap rapuh.
“Dia mengajari kita untuk tidak takut,” kata Dr. Tegmark.
Inilah masa perayaan bagi Dr. Wheeler dan masa penuaian panen
dari benih-benih inspirasi selama bergenerasi-generasi. Battelle Memorial
Institution of Columbus, Ohio, telah mendonasikan $3 juta untuk
79
menganugerahkan guru besar fisika atas nama Dr. Wheeler di Princeton, yang
merayakan ulang tahun Dr. Wheeler dengan simposium sehari penuh pada
bulan Juli lalu, dan merencanakan acara yang lebih besar.
Really Big Questions yang disukai Dr. Wheeler akan dibahas ketika
ilmuwan-ilmuwan terkemuka berkumpul di sebuah pusat konferensi di sini
dalam simposium penghormatan, pada 16 Maret, yang berjudul sederhana,
“Science and Ultimate Reality”, yang disponsori oleh John Templeton
Foundation dan Peter Gruber Foundation Cosmology Prize.
RAJA FILSUF: PERCAKAPAN BOHR SISAKAN TANDA YANG TAK DAPAT DIHAPUSDr. Wheeler pernah menyamakan dirinya dengan Daniel Boone, yang merasa
terpaksa berjalan terus ke teritori baru setiap kali seseorang merapat satu
mil dengannya. Dalam fisika nuklirlah, sains inti padat atom-atom yang
mendengung, dia pertama kali membuat tandanya. Dilahirkan pada 9 Juli
1911 di Jacksonville, Fla., anak tertua dalam sebuah keluarga pustakawan, dia
memperoleh Ph.D fisikanya dari Universitas John Hopkins di usia 21 tahun.
Setahun kemudian, setelah bertunangan dengan kenalan lama, Janette
Hegner, hanya setelah tiga kali kencan – mereka telah menikah selama 67 tahun
dan mempunyai 3 orang anak, 8 cucu, dan 9 cicit – Dr. Wheeler berlayar menuju
Kopenhagen. Di sana, Bohr tengah memimpin sebuah insitut riset kecil-kecilan
dan bertindak sebagai raja filsuf sebuah revolusi yang telah menggoncangkan
fisika dan akal sehat sampai tulang sumsum pada dekade sebelumnya.
Batu pijak revolusi tersebut adalah prinsip ketidakpastian, diajukan
oleh Werner Heisenberg di tahun 1927, yang menetapkan batas fundamental
pada apa yang bisa diketahui dari alam, yang menyatakan, contohnya, bahwa
adalah mustahil, sekalipun secara teori, untuk mengetahui kecepatan dan
posisi sebuah partikel subatom secara sekaligus. Mengetahui salah satunya
akan merusak kemampuan untuk mengukur yang lainnya.
Alhasil, sebelum teramati, partikel dan peristiwa subatom eksis dalam
semacam awan kemungkinan, naga berasap. Dalam beberapa pengertian,
tak ada partikel atau fenomena riil, kata Bohr, hingga ia menjadi fenomena
teramati.
Tahun yang dihabiskan di Kopenhagen untuk menyaksikan Bohr
bergulat dengan paradoks-paradoks dunia quantum adalah permulaan
hubungan abadi yang meninggalkan sebuah tanda yang tak dapat dihapus.
80
“Anda boleh bicara tentang orang-orang seperti Buddha, Yesus, Musa,
Konfusius, tapi hal yang membuat saya yakin bahwa orang-orang semacam
itu eksis adalah percakapan dengan Bohr,” kata Dr. Wheeler kemudian.
Pada Januari 1939, ketika Bohr datang mengunjungi AS, Dr. Wheeler,
sang profesor muda Princeton, menghampiri kapalnya.
Dalam beberapa minggu keduanya telah merancang sebuah teori
tentang bagaimana fisi nuklir, yang baru saja ditemukan di Jerman, bekerja.
Dalam model mereka, nukleus adalah seperti tetesan cair yang mulai bervibrasi
ketika neutron mengenainya, memanjang menjadi berbentuk kacang tanah
yang kemudian terbelah dua, menyemburkan energi dan partikel.
Dr. Wheeler selanjutnya larut dalam Manhattan Project untuk membuat
sebuah bom atom. Tapi dia masih menyalahkan dirinya atas ketertundaan
selama dua tahun antara tahun 1939 ketika Einstein menulis sebuah surat
untuk mendesak Presiden Franklin D. Roosevelt guna memulai sebuah proyek
bom dan ketika itu dimulai. Seandainya perang berakhir dua tahun lebih awal,
katanya, jutaan nyawa mungkin telah terselamatkan, termasuk seorang
adiknya, Joe, yang tewas bertempur di Italia, tapi dia cukup tahu apa yang
sedang berlangsung dalam fisika sehingga sempat mengirim sebuah kartu
kepada kakaknya ini pada tahun 1944 yang berbunyi, “Cepat!”
Dr. Wheeler memotong cuti panjang di Paris tahun 1950 untuk kembali
ke AS dan membantu Dr. Edward Teller mengembangkan bom hidrogen.
Atas kecerobohannya, Dr. Wheeler pernah ditegur secara resmi oleh Presiden
Dwight D. Eisenhower karena menghilangkan sebuah dokumen rahasia di
kereta, tapi berikutnya dia dihormati oleh Presiden Lyndon B. Johnson dalam
sebuah upacara Gedung Putih.
GERBANG WAKTU: JALAN BUNTU PANDANGAN KOSMIK YANG PARADOKSDalam kehidupan akademis, Dr. Wheeler merasa dirinya terpancing
meninggalkan fisika nuklir karena teori-teori dari penghuni Princeton lainnya,
Einstein. Keduanya kadang-kadang membicarakan teori quantum, yang
menurut Einstein bersifat acak, tapi yang membangkitkan minat Dr. Wheeler
adalah teori relativitas Einstein.
Gravitasi, menurut pandangan Einstein, hanyalah geometri ruang-
waktu, yang melengkung atau “curved” dengan kehadiran materi atau energi,
seperti matras yang melengkung karena orang besar dan kuat yang berbaring
di atasnya.
81
Bagian yang paling menarik perhatian Dr. Wheeler adalah prediksi
yang terkandung dalam persamaan tersebut: materi, katakanlah di sebuah
bintang mati, bisa kolaps menjadi timbunan yang begitu padat sehingga
cahaya sekalipun tidak bisa melepaskan diri darinya, hingga akhirnya meremas
dirinya sendiri sampai lenyap. Di pusatnya, ruang melengkung tak terhingga,
dan sebagaimana dikatakan Dr. Wheeler, “asap keluar dari komputer”. Ruang,
waktu, dan bahkan hukum fisika sendiri berhenti berfungsi di jalan buntu
kosmik ini, yang disebut singularitas.
Dr. Wheeler menetapkan misi untuk menyiagakan seluruh koleganya
terhadap pandangan fisika paradoks yang memprediksikan kematiannya
sendiri. Dr. Wheeler menjadikan Princeton sebagai pusat riset relativitas
umum, sebuah bidang yang hampir menemui ajal gara-gara keterpisahannya
dari eksperimen laboratorium, di AS.
“Dia meremajakan kembali relativitas umum,” kata Dr. Freeman Dyson,
teoris di Institute for Advanced Study, di kota seberang Princeton.
Pada tahun 1967, dalam sebuah konferensi di New York City, barulah Dr.
Wheeler, yang menerima usulan yang diserukan audiens, menemukan nama
“black hole” untuk mendramatisasi kemungkinan mengerikan bagi bintang
dan fisika ini.
Black hole “mengajari kita bahwa ruang bisa digumalkan seperti
sehelai kertas menjadi noktah infinitesimal (sangat kecil), bahwa waktu bisa
dipadamkan seperti api yang padam, dan bahwa hukum fisika yang kita
anggap ‘sakral’, tak dapat diubah, adalah sama sekali tidak demikian,” katanya
kemudian dalam otobiografinya tahun 1998, “Geons, Black Holes & Quantum
Foam: A Life in Physics”, yang ditulis bersama Dr. Kenneth Ford, bekas
muridnya dan pensiunan direktur American Institute of Physics.
Selain itu, nasehat Dr. Wheeler, kemacetan fisika tidak bisa diputuskan
di sebuah bintang mati yang jauh. Dia menjelaskan bahwa ruang dan waktu
pun harus patuh pada prinsip ketidakpastian. Ketika memandang pada skala
yang sangat kecil atau kelahiran Big Bang yang mampat, apa yang terlihat
begitu lembut dan continuous (tersambung), seperti samudera yang dilihat
dari pesawat, akan menjadi discontinuous (terputus), larut seperti istana
pasir kering menjadi titik-titik dan wormhole-wormhole tak terhubung yang
berantakan yang dijuluki oleh Dr. Wheeler sebagai “buih quantum”.
Dalam beberapa hal, black hole atau “gerbang waktu”, demikian dia
kemudian menyebutnya, berada di mana-mana, di bawah kuku tangan kita,
82
berkat prinsip ketidakpastian, dan karenanya juga merupakan isu tentang dari
mana hukum fisika berasal.
Pada 1970-an, Dr. Wheeler bersiap untuk jalan terus. Dihadapkan
dengan perintah pensiun dari mengajar di Princeton, dia pindah ke Universitas
Texas, di mana dia beralih ke bidang yang sangat kecil, yaitu quantum, dengan
semangat dan kefasihan berbicara yang pernah dia curahkan pada black hole.
“Relativitas itu mengasyikkan tapi tidak mengejutkan, tidak istimewa,”
katanya suatu kali kepada Dr. Ford. “Teori quantum masih menjadi misteri; ini
adalah tantangan lebih besar bagi abad 21.”
Satu gagasan yang diselidiki olehnya dan koleganya adalah pendapat
bahwa alam semesta merupakan sebuah komputer raksasa dan bahwa teori
quantum bisa diperoleh dari teori informasi, logika bit dan byte.
Penelitian itu berlanjut, dan kelak menjadi salah satu topik diskusi
utama di Princeton.
IT FROM BIT: PERKATAAN EINSTEIN DITATAH PADA BATUDiharuskan mengurangi kegiatan setelah operasi bypass, Dr. Wheeler pindah
ke sebuah rumah peristirahatan dekat Princeton pada tahun 1986.
Dalam sebuah perjalanan makan siangnya baru-baru ini, Dr. Wheeler
membawa seorang pengunjung mengambil jalan memutar melewati
bangunan bata merah berumur tua yang pernah dikenal sebagai Fine Hall, kini
Jones Hall, menunjukkan kantor-kantor yang pernah ditempati oleh dirinya,
Einstein, dan Bohr pada tahun 1939.
Di seberang aula itu terdapat sebuah lounge dengan deretan jendela,
sofa kulit, dan perapian berukiran tulisan dari Einstein pada papannya.
“Raffiniert ist der Herr Gott, aber Boshaft ist er nicht,” kata Dr. Wheeler,
membaca. Lantas ia menerjemahkannya, kira-kira, “God is clever, but he’s not
malicious” (Tuhan itu cerdik, tapi tidak jahat).
Ketika ditanya apakah dirinya setuju, Dr. Wheeler mengangguk, lalu
mengacungkan tinjunya sebagai penegasan.
Kembali ke kantornya, Dr Wheeler menyibukkan diri di depan papan
tulis dengan sebuah diagram yang merupakan simbol keganjilan quantum,
dan simbol harapannya untuk mengkonstruksi model alam semesta beserta
hukumnya yang “kacau-balau”, sebagaimana dia senang menyebutnya, dari
kenihilan.
83
Ini disebut eksperimen double slit. Di dalamnya, sebuah elektron atau
partikel lain terbang ke arah screen bersepasang slit. Di belakang screen
ada fisikawan yang mempunyai dua pilihan eksperimen. Yang satu akan
menunjukkan bahwa elektron adalah sebuah partikel dan melewati salah satu
slit; yang lain akan menunjukkan bahwa ia adalah sebuah gelombang dan
melewati kedua slit, menghasilkan pola interferensi. Elektron akan menjadi
salah satu dari keduanya (partikel atau gelombang) tergantung pada pilihan
pelaksana eksperimen.
Ini cukup ganjil, tapi di tahun 1978 Dr. Wheeler menjelaskan bahwa
pelaksana eksperimen dapat menunggu sampai elektron melewati slit
sebelum memutuskan detektor mana yang digunakan dan apakah itu
merupakan partikel atau gelombang. Praktisnya, dalam eksperimen “pilihan
tertunda” ini, fisikawan akan berpartisipasi dalam menciptakan masa lalu.
Dalam sebuah paper tahun 1993, Dr. Wheeler menyamakan partikel
seperti itu dengan “naga besar berasap”, yang ekornya berada di slit masuk
chamber sementara giginya berada di detektor, tapi di antara itu – sebelum
ia “terdaftar” di detektor sebagai sebuah fenomena – terdapat awan,
probabilitas berasap.
Barangkali masa lalu itu sendiri adalah naga berasap yang sedang
menanti persepsi (tanggapan) kita.
Dia penasaran apakah eksperimen “pilihan tertunda” tersebut adalah
resep tentang bagaimana alam semesta bisa dibangun dari informasi, seperti
dalam game 20 pertanyaan kosmik, serangkaian keputusan ya-tidak yang
dihasilkan dari miliaran pengamatan quantum. Ini adalah sebuah konsep yang
telah dikenal dengan banyak nama dalam beberapa dekade terakhir, mulai dari
“genesis by observership” sampai “participatory universe”, dan mode terbaru, “it
from bit”.
Umumnya terdapat sebuah diagram, sebenarnya sebuah kartun, yang
terdiri dari sebuah U besar dengan sebuah bola mata di atas salah satu tangkai
yang menoleh ke tangkai lain. Ujung U kurus tidak berhiasan adalah Big Bang,
jelas Dr. Wheeler, menelusurkan jarinya sepanjang putaran.
“Model alam semesta dimulai dari [bentuk] kurus dan kemudian
membesar,” katanya. “Akhirnya itu membangkitkan kehidupan dan akal dan
kemampuan untuk mengamati, dan lewat tindakan pengamatan terhadap
hari-hari pertama, kita memberikan realitas pada hari-hari pertama itu.”
84
Sebuah petikan bertanggal 29 Januari 2002 dari jurnal Dr. Wheeler
berbunyi: “Tak ada ruang, tak ada waktu, tak ada gravitasi, tak ada
elektromagnetisme, tak ada partikel. Kita kembali ke masa di mana Plato,
Aristoteles, dan Parmenides bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan besar:
Bagaimana Ada Alam Semesta, Bagaimana Ada Kita, Bagaimana Ada Segala
Sesuatu? Tapi untunglah kita hampir memiliki jawaban atas pertanyaan ini.
Yaitu kita.”
Ini adalah pendapat yang terlalu mencolok bahkan untuk seorang
petualang seperti Dr. Wheeler.
Tapi sebagaimana dikatakan Dr. Thorne, rekam jejak Dr. Wheeler
dengan gagasan-gagasan gilanya herannya sangat bagus. Salah satu gagasan
itu telah membawa pada penganugerahan Hadiah Nobel untuk murid Dr.
Wheeler, Dr. Richard Feynman, fisikawan Caltech terkemuka. Dr. Thorne
mengingat perkataan Dr. Feynman kepada dirinya suatu kali, “Beberapa orang
berpikir Wheeler menjadi gila dalam tahun-tahun terakhirnya, padahal dia
memang senantiasa gila.”
85
PADA musim gugur tahun 1915, Albert Einstein, yang hidup di tengah-
tengah kekacauan sebagai bujangan dengan kopi, rokok, dan kesendirian
di Berlin, hampir menuliskan sentuhan akhir pada teori gravitasi baru yang
telah dia kejar melalui labirin matematika dan logika selama hampir satu
dekade. Tapi pertama-tama dia harus mengetahui apa yang harus dikatakan
teorinya tentang planet Merkurius, yang orbitnya di sekitar Matahari
bertentangan dengan keakuratan Newtonian yang sudah lama mengatur
kosmos dan sains. Hasilnya adalah semacam “boing” kosmik yang mengubah
kehidupannya.
Teori relativitas umum Einstein, demikian dikenalnya, menjelaskan
gravitasi sebagai ruang-waktu yang melengkung. Teori itu tidak punya faktor
– tak ada angka untuk diputar-putar. Ketika kalkulasi menetapkan orbit
Merkurius, jantung Einstein berdebar. Sesuatu di dalam dirinya membentak,
cerita dia kemudian, dan keraguan yang pernah dia rasakan atas teorinya
berubah menjadi apa yang disebut seorang teman sebagai “keyakinan liar”.
Dia selanjutnya bercerita kepada seorang murid bahwa akan “sangat buruk
bagi Tuhan” jika nantinya teori itu terbantahkan.
Pengalaman melewati jalan panjang meyakinkan Einstein
bahwa matematika bisa menjadi kawat telegraf menuju Tuhan, dan dia
menghabiskan sebagian besar sisa hidupnya dalam pengejaran—yang semakin
abstrak dan akhirnya sia-sia—teori fisika terpadu/final (unified theory of
physics).
Jarang memang ilmuwan yang tidak tergoda oleh keindahan
persamaannya sendiri dan tercengang oleh apa yang pernah disebut fisikawan
Dr. Eugene Wigner (dari Princeton) sebagai “keefektifan matematika yang tak
masuk akal” dalam menjelaskan dunia.
Surutnya bulan tiada akhir, warna khayali pelangi, kuatnya gelombang
kejut nuklir, semuanya dapat diterangkan oleh goresan-goresan di atas sehelai
kertas, yaitu persamaan. Setiap kali pesawat mendarat dengan aman dan
REALITAS MATEMATIKAPersamaan Sains Paling Memikat: Keindahan sama dengan Kebenaran
86
tepat waktu, komputer mem-booting up, atau kue terbuat dengan benar,
keajaiban tercipta berulang-ulang. “Hal yang paling tidak dapat dimengerti
dari alam semesta adalah bahwa ia dapat dimengerti,” ucap Einstein.
Matematika adalah bahasa fisika, tapi apakah ia bahasa Tuhan?
Matematikawan sering mengatakan bahwa mereka merasa seolah-
olah teorema-teorema dan hukum-hukum mereka mempunyai satu realitas
objektif, seperti alam gagasan sempurnanya Plato, yang tidak mereka ciptakan
atau konstruksi sesederhana mereka temukan. Tapi penyamaan matematika
dengan realitas, kata yang lain, mengirimkan arena pengalaman yang luas
menuju kegelapan. Belum ada penjelasan matematis atas kehidupan, cinta,
dan kesadaran.
“Sepanjang hukum matematika merujuk realitas, ia tidaklah pasti; dan
sepanjang ia pasti, ia tidak merujuk realitas,” kata Einstein.
Dia tetap berpendapat bahwa menjelaskan prinsip ilmiah kepada
seorang anak melalui perkataan seharusnya mungkin, tapi pengikutnya sering
bersikeras bahwa perkataan saja tidak dapat menyampaikan keagungan fisika,
bahwa ada satu keindahan yang hanya terlihat oleh ahli matematika.
Keindahan tidak manusiawi itulah yang sudah lama menjadi daya
tarik bagi fisikawan, kata Dr. Graham Farmelo, fisikawan di Science Museum
di London dan editor buku “It Must Be Beautiful: Great Equations of Modern
Science”.
“Anda dapat menuliskannya pada telapak tangan Anda dan itu
membentuk alam semesta,” ucap Dr. Farmelo mengenai persamaan gravitasi
Einstein, persamaan yang mendebarkan jantung. Dia menyamakan perasaan
memahami persamaan semacam itu dengan emosi yang Anda alami “ketika
Anda mengambil kepemilikan sebuah lukisan atau syair besar.”
Dengan harapan mengajak kita semua untuk memiliki suatu warisan
intelektual kita, Dr. Farmelo merekrut ilmuwan, sejarawan, dan penulis
sains untuk menulis tentang kehidupan dan sejarah 11 persamaan paling
berpengaruh atau terkenal buruk dalam sains abad 20.
Buku itu sebagian merupakan meditasi tentang keindahan matematika,
mungkin sebuah konsep yang sulit bagi banyak rakyat Amerika sekarang
karena mereka sedang menghadapi formulir pajak mereka. Tapi sebagaimana
ditekankan oleh Dr. Farmelo dalam sebuah wawancara, orang paling keras
kepala sekalipun melihat keanggunan matematika secara sekilas saat,
contohnya, mencocokkan buku cek.
87
Bayangkan bahwa pemotongan pajak Anda selalu sama persis dengan
pajak yang harus Anda lunasi. Atau bahwa odometer mobil Anda selalu
berbalik ke nol tak peduli seberapa jauh Anda telah berkendara. Peristiwa
semacam itu adalah bukti pola-pola dalam urusan finansial Anda atau
kebiasaan berkendara Anda yang mungkin berguna dalam mempersiapkan
formulir pajak atau menjadwalkan pemeliharaan mobil.
Pola yang paling dijunjung tinggi dalam fisika modern mutakhir adalah
kesimetrian. Sebagaimana wajah dan kepingan salju yang indah dengan
pola simetrisnya, begitu pula hukum fisika yang dianggap lebih indah jika ia
mempertahankan bentuk yang sama ketika kita mengubah sesuatu dengan,
misalnya, pindah ke sisi lain alam semesta, membuat jam-jam berjalan
mundur, atau memutar lab pada sebuah korsel.
Persamaan yang bagus, kata Dr. Farmelo, semestinya merupakan
pemampatan kebenaran tanpa simbol yang janggal. Dr. Farmelo mencari
atribut-atribut seperti universalitas, kesederhanaan, ketakterelakkan, sebuah
kekuatan dasar dan “logika granitis” dari hubungan yang dilukiskan oleh
simbol-simbol itu.
Contohnya, E = mc2 -nya Einstein, yang digambarkan oleh Dr. Peter
Galison (sejarawan dan fisikawan Harvard) dalam buku itu sebagai ”nama lain
dari pengetahuan teknis dalam bentuk besar”, seraya menambahkan, “Ambisi
kita akan sains, cita-cita kita untuk memahami, dan mimpi buruk kita akan
kehancuran, terjejal dalam beberapa goresan pena.”
Ketika sampai pada pencarian keindahan dalam fisika, Einstein pun
termasuk orang yang kikir dibandingkan dengan teoris Inggris, Paul Dirac,
yang pernah mengatakan “lebih penting untuk menemukan keindahan dalam
persamaan seseorang daripada harus mencocokkannya dengan eksperimen.”
Sebuah esai karangan Dr. Frank Wilczek, profesor fisika di
Massachusetts Institute of Technology, menceriterakan bagaimana Dirac saat
berusia 25 tahun mempublikasikan sebuah persamaan di tahun 1928 yang
dimaksudkan untuk menjelaskan perilaku elektron, partikel unsur paling dasar
dan ringan yang dikenal pada saat itu. Dirac sampai pada rumusnya dengan
“bermain-main” dalam pencarian “matematika indah”, sebagaimana dia suatu
kali katakan. Persamaan Dirac berhasil menggabungkan pedoman relativitas
Einstein dengan pedoman mekanika quantum (kaidah radikal yang berlaku
pada skala-skala sangat kecil), dan menjadi batu pijak fisika sejak saat itu.
88
Tapi ada satu masalah. Persamaan tersebut mempunyai dua solusi,
yang satu mewakili elektron, dan yang lain mewakili lawannya, sebuah partikel
berenergi negatif dan bermuatan positif, yang belum pernah terlihat atau
dicurigai sebelumnya.
Dirac akhirnya menyimpulkan bahwa elektron (dan itu berlaku pada
semua partikel unsur lain) mempunyai seorang kembaran, antipartikel.
Menurut interpretasi awal Dirac, seandainya elektron adalah bukit, gumpalan,
di ruang, maka antipartikelnya, positron, adalah lubang – jika ditambahkan
mereka berjumlah nol, dan mereka dapat diciptakan dan dimusnahkan dalam
pasangan sebanding. Penciptaan dan pemusnahan tersebut kini merupakan
urusan utama akselerator partikel dan fisika high-energy. Persamaan Dirac
telah memberi dunia pandangan pertamanya mengenai antimateri, yang
menyusun, setidaknya secara prinsip, setengah alam semesta.
Partikel antimateri pertama yang teramati, antielektron, ditemukan
di tahun 1932, dan Dirac memenangkan Hadiah Nobel di tahun berikutnya.
Prestasinya selalu terseret-seret sebagai Exhibit A dalam percekcokan untuk
menunjukkan bahwa matematika memang betul-betul berkaitan dengan
realitas.
“Dalam fisika modern, dan barangkali sepanjang sejarah intelektual,
tidak ada episode yang lebih baik dalam mengilustrasikan sifat kreatif
pemikiran matematika dibanding sejarah persamaan Dirac,” tulis Dr. Wilczek.
Jika ditilik kembali, tulis Dr. Wilczek, apa yang coba dilakukan Dirac
adalah mustahil secara matematis. Tapi, seperti tawon besar yang tidak tahu
dirinya tidak bisa terbang, melalui serangkaian asumsi inkonsisten, Dirac
menggali rahasia alam semesta.
Dirac mulai menganggap elektron dan lawannya, si “lubang”, sebagai
entitas fundamental yang harus dijelaskan, tapi fakta bahwa mereka bisa
diciptakan dan dimusnahkan mengandung arti bahwa mereka sebenarnya
adalah partikel fana yang bisa dihidupkan dan dimatikan seperti lampu senter,
jelas Dr. Wilczek.
Yang tetap menjadi subjek persamaan Dirac dan realitas utama fisika
partikel, katanya, adalah medan, dalam kasus ini medan elektron, yang
merembesi ruang. Elektron dan lawannya hanyalah manifestasi singkat
medan ini, seperti kepingan salju dalam badai.
Namun, teori medan quantum ini (demikian itu dikenal) harus
melompat melewati hoop matematis yang sama dengan elektronnya Dirac,
89
salah satu katedral sains, dan dengan demikian persamaan Dirac bisa
bertahan. “Saat sebuah persamaan bisa sesukses persamaan Dirac, artinya
tidak mungkin keliru,” tulis Dr. Steven Weinberg, peraih Nobel fisika tahun
1979 dari Universitas Texas, dalam kalimat penutup buku Dr. Farmelo.
Memang, sebagaimana telah dijelaskan Dr. Weinberg dalam sebuah
buku sebelumnya, kekeliruan seringkali terdapat dalam kurangnya kita
menaruh keyakinan terhadap persamaan-persamaan kita. Pada akhir 1940-
an, sekelompok teoris di Universitas George Washington yang dipimpin oleh
Dr. George Gamow mengkalkulasikan bahwa kelahiran alam semesta dalam
sebuah Big Bang menyisakan ruang angkasa penuh radiasi panas, tapi mereka
tidak memikirkan hasil kalkulasi tersebut secara serius untuk menyusun
penyelidikan radiasi. Satu kelompok lain kemudian menemukannya secara
kebetulan di tahun 1965 dan memenangkan Hadiah Nobel.
Menganalisa selang waktu ini, dalam bukunya, “The First Three
Minutes” (1997), Dr. Weinberg menulis: “Ini acapkali terjadi dalam fisika.
Kekeliruan kita bukanlah bahwa kita terlalu serius memikirkan teori-teori kita,
melainkan kita tidak memikirkannya dengan cukup serius. Selalu sulit untuk
menyadari bahwa angka-angka dan persamaan-persamaan yang kita mainkan
di meja kita ini memiliki kaitan dengan dunia riil.”
90
A Famous Einstein ‘Fudge’ Returns to Haunt Cosmology, By Dennis Overbye.
May 26, 1998, Late Edition – Final, Section F, Page 1, Science Desk.
Quantum Theory Tugged, And All of Physics Unraveled, By Dennis Overbye.
December 12, 2000, Late Edition – Final, Section F, Page 1, Science Desk.
Essay; In the New Physics, No Quark Is an Island, By Dennis Overbye. March 20,
2001, Late Edition – Final, Section F, Page 1, Science Desk.
From Light to Darkness: Astronomy’s New Universe, By Dennis Overbye. April
10, 2001, Late Edition – Final, Section F, Page 1, Science Desk.
Before the Big Bang, There Was…What?, By Dennis Overbye. May 22, 2001,
Late Edition – Final, Section F, Page 1, Science Desk.
Theorists of Inner Space Look to Observers of Outer Space, By Dennis Overbye.
June 12, 2001, Late Edition – Final, Section F, Page 5, Science Desk.
Cracking the Cosmic Code With a Little Help From Dr. Hawking, By Dennis
Overbye. December 11, 2001, Late Edition – Final, Section F, Page 5
Science Desk.
The End of Everything, By Dennis Overbye. January 1, 2002, Late Edition – Final,
Section F, Page 1, Science Desk.
Dark Matter, Still Elusive, Gains Visibility, By Dennis Overbye. January 8, 2002,
Late Edition – Final, Section F, Page 1, Science Desk.
Breakthrough Is Still an Enigma, By Dennis Overbye. January 22, 2002, Late
Edition – Final, Section F, Page 1, Science Desk.
Peering Through the Gates of Time, By Dennis Overbye. March 12, 2002, Late
Edition – Final, Section F, Page 1, Science Desk.
The Most Seductive Equation in Science: Beauty Equals Truth, By Dennis
Overbye. March 26, 2002, Late Edition – Final, Section F, Page 5, Science
Desk.
KUTIPAN
91
Sebagai orang awam, rasanya kita mulai memahami mengapa terdapat
kesimpulan yang menyebutkan bahwa alam semesta ini tidak diciptakan,
kebetulan, muncul begitu saja, kekal selamanya. Setiap kata di buku ini
ditulis. Meskipun Anda menjadi malaikat atau bahkan menjadi komunis atau
atheis hanya agar sebuah huruf di buku ini muncul dengan sendirinya, itu
tidak akan terjadi. Namun rupanya analogi tersebut tidak bisa Anda ajukan
begitu saja kepada ilmuwan karena mereka melihat kehalusan luar biasa di
alam semesta. Seolah-olah kemunculan kita di alam semesta adalah sebuah
keharusan. Jadi, untuk mudahnya kita dapat mengatakan: "ALLAH adalah
yang Haq." Rasulullah SAW bersabda: Bait syair (puisi) paling bagus yang
pernah diucapkan oleh orang-orang Arab adalah bait syair Labid: "Ketahuilah,
segala sesuatu selain Allah adalah batil." Wajar jika orang-orang non-Muslim
tidak mengenal apa itu Haq. Perkataan Rasulullah ini adalah jawaban singkat
yang nyata bagi orang-orang kafir.
SESA NA
Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar
dan agar dibalasi tiap-tiap diri terhadap apa yang dikerjakannya,
dan mereka tidak akan dirugikan.
(QS. Al-Jaatsiyah [45]: 22)
Rasulullah saw. ditanya: "Wahai Rasulullah!
Apakah sudah diketahui orang yang akan menjadi penghuni surga
dan orang yang akan menjadi penghuni neraka?"
Rasulullah saw. menjawab: "Ya." Kemudian beliau ditanya lagi: "Jadi untuk apa
orang-orang harus beramal?" Rasulullah saw. menjawab: "Setiap orang akan
dimudahkan untuk melakukan apa yang telah menjadi takdirnya."
(HR. Muslim)
NUHUN KA
Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulkarnain. Katakanlah: “Aku akan bacakan kepadamu cerita tentangnya.” | Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu, | maka diapun menempuh suatu jalan. | Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbenam matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan dia mendapati di situ segolongan umat. Kami berkata: “Hai Dzulkarnain, kamu boleh menyiksa atau boleh berbuat kebaikan terhadap mereka.” | Berkata Dzulkarnain: “Adapun orang yang aniaya, maka kami kelak akan mengazabnya, kemudian dia kembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan mengazabnya dengan azab yang tiada taranya. | Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan kami titahkan kepadanya (perintah) yang mudah dari perintah-perintah kami.” | Kemudian dia menempuh jalan (yang lain). | Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbit matahari (sebelah Timur) dia mendapati matahari itu menyinari segolongan umat yang Kami tidak menjadikan bagi mereka sesuatu yang melindunginya dari (cahaya) matahari itu, | demikianlah, dan sesungguhnya ilmu Kami meliputi segala apa yang ada padanya. | Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain lagi). | Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah gunung, dia mendapati di hadapan kedua bukit itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan. | Mereka berkata: “Hai Dzulkarnain, sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?” | Dzulkarnain berkata: “Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka, | berilah aku potongan-potongan besi.” Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Dzulkarnain: “Tiuplah (api itu).” Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, diapun berkata: “Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar aku tuangkan ke atas besi panas itu.” | Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melubanginya. | Dzulkarnain berkata: “Ini (dinding) adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila sudah datang janji Tuhanku, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu adalah benar.”
Kadang sabar itu memanas seperti api...Kadang amarah itu mengalir seperti air...
“Aku tahu, setiap kali aku membuka sebuah buku,aku akan bisa menguak sepetak langit.Dan jika aku membaca sebuah kalimat baru,aku akan sedikit lebih banyak tahu dibandingkan sebelumnya.Dan segala yang kubaca akan membuat duniadan diriku menjadi lebih besar dan luas.” (Jostein Gaarder dan Klaus Hagerup)
Top Related