TUGAS PRESENTASI KASUS
DEMAM TIFOID
Pembimbing:
dr. Sipriyanto, Sp. A
Disusun Oleh :
Dera Fakhrunnisa G1A009020
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANJURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2013
LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
Telah dipresentasikan dan disahkan presentasi kasus dengan judul:
“Demam Tifoid”
Disusun Oleh :
Dera Fakhrunnisa G1A009020
Pada tanggal , Januari 2013
Pembimbing,
dr. Supriyanto, Sp. A NIP. ...........................
BAB I
PENDAHULUAN
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di negara
berkembang. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang
disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai
negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis.
Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena
penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan
lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri
pengolahan makanan yang masih rendah (Widodo, 2006).
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan
karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat
luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan
terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi
600.000 kasus kematian tiap tahun. Seperti penyakit menular lainnya, tifoid
banyak ditemukan di negara berkembang, dimana higien pribadi dan sanitasi
lingkungannya kurang baik. Prevalensi kasus bervariasi tergantung lokasi, kondisi
lingkungan setempat, dan perilaku masyarakat (Widodo, 2006).
Indonesia merupakan salah satu negara endemis tifoid. Diperkiranakan
terdapat 800 penderita per 100.000 penduduk setiap tahun yang ditemukan
sepanjang tahun.Di Indonesia penyakit ini tersebar di seluruh secara merata di
seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000
penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/tahun atau
sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus (Widodo, 2006).
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Demam tifoid disebut juga dengan thypus abdominalis merupakan
penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi dan ditandai
dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran
pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran (Soegijanto, 2002).
B. ETIOLOGI DAN PREDISPOSISI
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella
paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatip,
tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak
dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam
bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan
pemanasan (suhu 600°C) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan
khlorinisasi. Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu
(Rampengan, 2008) :
a. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh
kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut
juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak
tahan terhadap formaldehid.
b. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili
dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan
terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
c. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat
melindungi kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan
menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut
aglutinin (Rampengan, 2008).
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya demam tifoid yaitu
diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Faktor Host
Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman Salmonella thypi. Terjadinya
penularan Salmonella thypi sebagian besar melalui makanan/minuman yang
tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau carrier yang biasanya
keluar bersama dengan tinja atau urine. Dapat juga terjadi trasmisi
transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakterimia kepada
bayinya (Soedarno, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Heru Laksono
(2009) menunjukkan bahwa kebiasaan jajan di luar mempunyai resiko
terkena penyakit demam tifoid pada anak 3,6 kali lebih besar dibandingkan
dengan kebiasaan tidak jajan diluar dan anak yang mempunyai kebiasaan
tidak mencuci tangan sebelum makan beresiko terkena penyakit demam
tifoid 2,7 lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan mencuci tangan
sebelum makan.
b. Faktor Agent
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Jumlah kuman yang
dapat menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105 – 109 kuman yang tertelan
melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Semakin besar jumlah
Salmonella thypi yang tertelan, maka semakin pendek masa inkubasi
penyakit demam tifoid (Syahrurahman, 1994).
c. Faktor Environment
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di daerah
tropis terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai
dengan standar hygiene dan sanitasi yang rendah. Beberapa hal yang
mempercepat terjadinya penyebaran demam tifoid adalah urbanisasi,
kepadatan penduduk, sumber air minum dan standart hygiene industri
pengolahan makanan yang masih rendah. Berdasarkan hasil penelitian
Lubis, R. di RSUD. Dr. Soetomo (2000) menunjukkan bahwa higiene
perorangan yang kurang, mempunyai resiko terkena penyakit demam tifoid
20,8 kali lebih besar dibandingkan dengan yang higiene perorangan yang
baik dan kualitas air minum yang tercemar berat coliform beresiko 6,4 kali
lebih besar terkena penyakit demam tifoid dibandingkan dengan yang
kualitas air minumnya tidak tercemar berat coliform.
S. typhi masuk melalui GIT
Sebagian mati di lambung karena adanya HCL
Sebagian lolos masuk ke usus
Respon imun humoral mukosa (IgA) buruk
Bakteri menembus epitel lamina propria
Difagosit oleh makrofag
Dibawa ke plak peyeri ileum distal
KGB Mesenterika
Masuk ke sirkulasi darah melalui ductus thoracicus
Bakterimia primer(Asimptomatik)
Masuk ke organ retikuloendotelial terutama hepar dan lien
Bakteri meninggalkan sel fagosit, berkembang biak di ruang sinusoid
Masuk ke sirkulasi darah
Dari hepar bakteri masuk ke empedu
Berkembang biak
Diekskresikan secara intermitten ke usus
Keluar bersama fesesMasuk lagi ke sirkulasi darah menembus usus
Bakterimia sekunder
Demam Tifoid
C. PATOFISIOLOGI
D. PENEGAKAN DIAGNOSIS
1. Anamnesa
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis
besar gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokkan (Rampengan, 2008) :
a. Demam satu minggu atau lebih.
b. Gangguan saluran pencernaan
c. Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit
infeksi akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual,
muntah, diare, konstipasi. Demam yang terjadi pada penderita anak tidak
selalu tipikal seperti pada orang dewasa, kadang-kadang mempunyai
gambaran klasik berupa stepwise pattern, dapat pula mendadak tinggi dan
remiten (39 – 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler (Rampengan, 2008).
2. Pemeriksaan Fisik
a. Minggu pertama
Pada pemeriksaan fisik minggu pertama didapatkan sebagai berikut
(Chen, 2006):
1) Suhu tubuh naik, menurun saat pagi, meningkat pada sore/malam (39-
40° C)
2) Nadi 80x-100x/menit, denyut lemah
3) Nafas cepat
4) Lidah tifoid yaitu lidah kotor di tengah tepi dan ujung merah serta
tremor
5) Bercak ros/rosela 3-5 hari. Roseola ini merupakan emboli kuman yang
didalamnya mengandung kuman salmonella, dan terutama didapatkan
di daerah perut, dada, kadang-kadang di bokong, ataupun bagian
fleksor lengan atas.
6) Hepatomegali dan atau splenomegali, serta distensi abdomen.
Splenomegali pada demam tifoid bersifat tidak progresif dan
konsistensinya lebih lunak.
7) Diare pada akhir minggu pertama
b. Minggu kedua
Pada pemeriksaan fisik minggu kedua didapatkan sebagai berikut (Chen,
2006):
1) Demam terus meninggi, turun pada pagi hari namun tidak signifikan
2) Bradikardi relatif
3) Toksemia delirium
4) Gangguan pendengaran
5) Diare terus – menerus kadang melena
6) Hepatosplenomegali
7) Bising usus meningkat
c. Minggu ketiga
Pada pemeriksaan fisik minggu ketiga didapatkan sebagai berikut (Chen,
2006):
1) Suhu tubuh berangsur turun bahkan normal
2) Saat terjadi perdarahan / komplikasi
3) Jika toksemia memberat bisa menjadikan delirium atau stupor, otot
yang treus bergerak
4) Meteorismus / timpani
5) Peningkatan tekanan abdomen
d. Minggu keempat
Stadium penyembuhan atau bisa terjadi relaps (Chen, 2006)
Namun, tanda dan gejala tersebut bergantung pada :
1) Sudah diberikan obat anti – mikroba atau belum
2) Lama konsumsi obat
3) Kecepatan penanganan
4) Kondisi host
5) Paparan sebelumnya
6) Umur
7) Strain bakteri
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis
demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu :
a. Pemeriksaan darah tepi
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah
leukosit normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan
trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser
ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif,
terutama pada fase lanjut. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai
nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk
dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan,
akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan
kuat diagnosis demam tifoid (Rampengan, 2008).
b. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman (Gold
Stadar)
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan
bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang,
cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis
penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya
di dalam urine dan feses (Rampengan, 2008).
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi
hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya
tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil
biakan meliputi (Rampengan, 2008):
1) jumlah darah yang diambil
2) perbandingan volume darah dari media empedu
3) waktu pengambilan darah.
Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah
media empedu (GALL) dari sapi (Rampengan, 2008).
c. Uji Serologis
Uji Widal merupakan metode serologis baku. Prinsip uji Widal
adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita
yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen
somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama
sehingga terjadi aglutinasi (Rampengan, 2008).
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan
H yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer
aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan didiagnosis sebagai
penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin akan
meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang waktu paling
sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3
minggu memastikan diagnosis demam tifoid. Interpretasi hasil uji Widal
adalah sebagai berikut (Handojo, 2004):
1) Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut
2) Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau
pernah menderita infeksi
3) Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.
Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa
faktor antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor
penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat
mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari
masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen;
teknik serta reagen yang digunakan (Rampengan, 2008).
E. PENATALAKSANAAN
1. Medikamentosa
Pada demam tifoid diberikan antibiotik dengan tujuan menghentikan
dan mencegah penyebaran kuman. Antibiotik yang dapat digunakan antara lain
adalah sebagai berikut (Rampengan, 2008) :
a. Kloramfenikol
Meskipun telah dilaporkan adanya resistensi kuman Salmonella
terhadap Kloramfenikol di berbagai daerah, Kloramfenikol tetap
digunakan sebagai obat pilihan pada kasus demam tifoid. Sejak
ditemukannya obat ini oleh Burkoder sampai saat ini belum ada obat
antimikroba lain yang dapat menurunkan demam lebih cepat disamping
harganya murah dan terjangkau oleh penderita. Kekurangan kloramfenikol
antara lain ialah reaksi hipersensitifitas, reaksi toksik, grey syndrome,
kolaps, dan tidak bermanfaat untuk pengobatan karier (Rampengan, 2008).
Dalam pemberian kloramfenikol tidak terdapat keseragaman dosis.
Dosis yang dianjurkan ialah 50 – 100 mg/kgBB/hari, selama 10 – 14 hari.
Untuk neonatus, penggunaan obat ini sebaiknya dihindari, dan bila
terpaksa, dosis tidak boleh melebihi 25 mg/kgBB/hari, selama 10 hari
(Rampengan, 2008).
b. Tiamfenikol
Tiamfenikol mempunyai efek yang sama dengan Kloramfenikol
karena susunan kimianya hampir sama dan hanya berbeda pada gugusan
R-nya. Dengan pemberian Tiamfenikol, demam turun setelah 5 – 6 hari.
Komplikasi hematologi pada penggunaan Tiamfenikol jarang dilaporkan.
Dosis oral dianjurkan 50 – 100 mg/kgBB/hsri, selama 10 – 14 hari
(Rampengan, 2008).
c. Kotrimoksazol
Pendapat mengenai efektifitas kotrimksazol terhadap demam tifoid
masih kontroversial. Kelebihan kotrimoksasol antara lain dapat
digunakan untuk kasus yang resisten terhadap kloamfenikol, penyerapan
di usus cukup baik, dan kemungkinan timbulnya kakambuhan
pengobatan pengobatan lebih kecil dibandingkan kloramfenikol.
Kelemahannya ialah dapat terjadi skin rash (1 – 15%), sindrom Steven
Johnson, agranulositosis, trombositopenia, anemia megaloblastik,
hemolisis eritrosit. Dosis oral yang dianjurkan adalah 30 – 40
mg/kgBB/hari. Sulfametoksazol dan 6 – 8 mg/kgBB/hari untuk
Trimetoprim, diberikan dalam 2 kali pemberian, selama 10 – 14 hari
(Rampengan, 2008).
d. Ampisilin dan Amoksisilin
Merupakan derivat Penisilin yang digunakan pada pengobatan
demam tifoid, terutama pada kasus yang resisten terhadap
Kloramfenikol. Pernah dilaporkan adanya Salmonella yang resisten
terhadap Ampisilin di Thailand. Ampisilin umumnya lebih lambat
menurunkan demam bila dibandingkan dengan Kloramfenikol, tetapi
lebih efektif untuk mengobati karier serta kurang toksik. Kelemahannya
dapat terjadi skin rash (3 – 18%), dan diare (11%). Ampisilin mempunyai
daya antibakteri yang sama dengan Ampisilin, terapi penyerapan peroral
lebih baik sehingga kadar obat yang tercapai 2 kali lebih tinggi, dan lebih
sedikit timbulnya kekambuhan (2 – 5%) dan karier (0 – 5%). Dosis yang
dianjurkan adalah (Rampengan, 2008) :
Ampisilin 100 – 200 mg/kgBB/hari, selama 10 – 14 hari.
Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari, selama 10 – 14 hari.
e. Sefalosporin Generasi 1
Cefotaxim, ceftriaxon, dan cefoperazon telah digunakan untuk
mengobati demam tifoid, dengan pemberian selama 3 hari memberikan
efek terapi sama dengan regimen obat yang diberikan 10-14 hari.
Respon yang baik juga dilaporkan dengan pemberian ceftriaxon selama
5-7 hari, tetapi laporan angka kekambuhan ditemukan tidak lengkap.
Obat-obat ini sebaiknya diberikan untuk kasus resisten quinolon.
Direkomendasikan diberikan untuk 10-14 hari (Rampengan, 2008).
f. Antibiotik lainnya
Beberapa studi kecil telah melaporkan kesuksesan pengobatan
demam tifoid dengan aztreonam, antibiotik monobaktam. Antibiotik ini
menunjukan lebih efektif daripada kloramfenikol dalam membasmi
organisme dalam darah. Penelitian prospektif di Malaysia terhenti akibat
tingginya kegagalan dengan aztreonam. Azitromycin, antibiotik
makrolida baru diberikan dengan dosis 1 gr sekali sehari selama 5 hari
juga bermanfaat untuk pengobatan demam tifoid. Keuntungan lainnya
penggunaan aztreonam dan azitromycin adalah kedua obat ini dapat
digunakan pada anak-anak, ibu hamil dan menyusui (Rampengan, 2008).
2. Nonmedikamentosa
a. Makanan dengan energi cukup sesuai dengan umur, jenis kelamin dan
aktivitas
b. Protein cukup, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total Lemak sedang,
yaitu 10-25% dari kebutuhan energi total
c. Karbohidrat cukup, yaitu sisa kebutuhan energi total
d. Menghindari makanan berserat tinggi dan sedang sehingga asupan serat
maksimal 8 gr/hari. Pembatasan ini disesuaikan dengan toleransi
perorangan Menghindari susu, produk susu, daging berserat kasar (liat)
sesuai dengan toleransi perorangan.
e. Menghindari makanan yang terlalu berlemak, terlalu manis, terlalu asam
dan berbumbu tajam.
f. Makanan sering diberikan dalam porsi kecil
g. Bila diberikan untuk jangka waktu lama atau dalam keadaan khusus, diet
perlu disertai suplemen vitamin dan mineral, makanan formula, atau
makanan parenteral.
h. Menerapkan prilaku hidup bersih dan sehat dengan cara budaya cuci
tangan yang benar dengan memakai sabun (Depkes RI, 2005).
i. Peningkatan higiene makanan dan minuman berupa menggunakan cara-
cara yang cermat dan bersih dalam pengolahan dan penyajian makanan,
sejak awal pengolahan, pendinginan sampai penyajian untuk dimakan,
dan perbaikan sanitasi lingkungan (Depkes RI, 2005).
F. PROGNOSIS
Sebanyak 5% penderita demam tifoid akan menjadi karier sementara dan
2% yang lain akan menjadi karier menahun. 10 % pasien demam tifoid yng
tidak di obati akan mengakibatkan relaps. Hal ini tergantung oleh umur,
keadaan umum, gizi, daya tahan tubuh dan cepat atau lambatnya pengobatan
yang di terima serta komplikasi yang ada (Maldonado, 2002).
G. KOMPLIKASI
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian, yaitu :
a. Komplikasi Intestinal (Widodo, 2006) :
1) Perdarahan usus
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor
yang tidak membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi
hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat
bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam.
2) Perforasi usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul
pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama.
Penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang
hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian meyebar
ke seluruh perut. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan
darah turun dan bahkan sampai syok.
b. Komplikasi Ekstraintestinal (Widodo, 2006):
1) Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis),
miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
2) Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi
intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
3) Komplikasi paru : pneumoni, empiema, dan pleuritis
4) Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis
5) Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis
6) Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan arthritis
7) Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis,
polineuritis perifer, psikosis, dan sindrom katatonia.
BAB III
KESIMPULAN
1. Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh
Salmonella typhi dan ditandai dengan gejala demam satu minggu atau lebih
disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan
kesadaran.
2. Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella
paratyphi dari Genus Salmonella.
3. Faktor yang mempengaruhi demam tifoid diantaranya faktor host, agent dan
environment.
4. Penegakkan diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
5. Pemeriksaan penunjang yang menjadi gold standar dalam penegakan diagnosis
demam tifoid adalah dengan kultur.
6. Terapi medikamentosa pada penderita demam tifoid adalah pemberian
antibiotik dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman.
7. Prognosis dari demam tifoid tergantung oleh umur, keadaan umum, gizi, daya
tahan tubuh dan cepat atau lambatnya pengobatan yang di terima serta
komplikasi yang ada.
8. Komplikasi yang dapat timbul akibat demam tifoid berupa komplikasi
intestinal dan komplikasi ekstraintestinal.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 2005. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid Bagi Tenaga Kesehatan.
Jakarta.
Laksono, Heru. 2009. Faktor- Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Demam Tifoid Pada Anak Yang Dirawat di RS Kota Bengkulu Tahun
2009. Tesis. Program Pasca Sarjana FK- Universitas Gajah Mada
Yogyakarta.
Lubis, R. 2001. Faktor Resiko Kejadian Demam Tifoid Penderita Yang Dirawat di
RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Tesis. Program Pasca Sarjana. Universitas
Airlangga Surabaya.
Maldonado, Y. 2002. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC.
Rampengan, T. H. 2008. Penyakit Infeksi Tropis pada Anak. Jakarta: EGC.
Soedarno SS., Garna H, Hadinegoro SR. 2008. Buku Ajar Infeksi & Pediatric
Tropis. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Syahrurahman, Agus. 1994. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi.
Jakarta: Penerbit Binarupa Aksara.
Widodo, Djoko. 2006. Demam Tifoid : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III.
Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.