demam tifoid
-
Upload
asip-hussin -
Category
Documents
-
view
88 -
download
15
description
Transcript of demam tifoid
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella
typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak
di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk,
kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri
pengolahan makanan yang masih rendah.
1.2 Tujuan.
a) Memperdalam ilmu dalam melakukan proses anamnesis dengan betul dalam
mendapatkan maklumat yang tepat dan benar sehingga dapat memperoleh diagnosis
yang tepat.
b) Mempelajari gambaran klinis penyakit demam tifoid serta komplikasinya.
c) Mempelajari pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang terlibat dalam
membantu WD (working diagnosis).
d) Mempelajari etiologi penyebab penyakit demam tifoid dan patophysiologi mekanisme
abnormal yang terjadi dalam tubuh sehingga timbulnya penyakit yang diduga.
e) Mempelajari penatalaksanaan yang perlu dilakukan terhadap pasien yang diduga
menderita demam tifoid, serta mengetahui prognosis terhadap penatalaksanaan yang
dilakukan.
f) Mengetahui langkah-langkah pencegahan yang dapat dilakukan.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 – IDENTIFIKASI ISTILAH.
i. Compos mentis : (conscious, sane, sound of mind), yaitu kesadaran normal, sadar
sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya.
ii. Widal’s Test : ujian aglutinasi yang digunakan untuk membantu diagnosis jangkitan
Salmonella seperti demam tifoid. Ujian ini mengukur tahap agglutinins demam dalam
darah yang menyebabkan sel darah merah untuk tetap melekat bersama pada suhu
rendah atau tinggi. Peningkatan titer empat kali ganda dalam agglutinins terhadap
antigen O atau H sangat sugestif jangkitan yang aktif. Suatu titer yang tinggi dapat
bertahan selama bertahun-tahun selepas penyakit atau selepas imunisasi melawan
demam tipus.
iii. S. typhi O : Antigen O pada tubuh kuman Salmonella typhi.
iv. S. typhi H : Antigen H pada flagella kuman Salmonella typhi.
v. S. paratyphi AO : Antigen AO pada kuman Salmonella paratyphi.
vi. S. paratyphi AH : Antigen AH pada kuman Salmonella paratyphi.
2.2 - ANAMNESA
Sebelum melakukan pemeriksaan yang melibatkan sesuatu tindakan fisikal terhadap pasien,
dokter haruslah terlebih dahulu melakukan anamnesis. Anamnesis adalah pengambilan data
yang dilakukan oleh seorang dokter dengan cara melakukan serangkaian wawancara dengan
pasien atau keluarga pasien atau dalam keadaan tertentu dengan penolong pasien. Berbeda
dengan wawancara biasa, anamnesis dilakukan dengan cara yang khas, berdasarkan
pengetahuan tentang penyakit dan dasar-dasar pengetahuan yang ada di balik terjadinya suatu
penyakit serta bertolak dari masalah yang dikeluhkan oleh pasien. Berdasarkan anamnesis
yang baik dokter akan menentukan beberapa hal mengenai hal-hal berikut:
1. Penyakit atau kondisi yang paling mungkin mendasari keluhan pasien (kemungkinan
diagnosis)
2. Penyakit atau kondisi lain yang menjadi kemungkinan lain penyebab munculnya
keluhan pasien (diagnosis banding)
3. Faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit tersebut (faktor
predisposisi dan faktor risiko)
4. Kemungkinan penyebab penyakit (kausa/etiologi)
5. Faktor-faktor yang dapat memperbaiki dan yang memperburuk keluhan pasien
(faktor prognostik, termasuk upaya pengobatan)
Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang medis yang diperlukan untuk menentukan
diagnosisnya.
Dari kasus didapatkan anamnesis seperti berikut :
1. Keluhan demam sejak 6 hari yang lalu
2. Demam berlangsung sepanjang hari dan memburuk (suhu meningkat lebih tinggi) pada
sore-malam hari.
3. Demam disertai nyeri kepala, nyeri ulu hati, mual dan muntah.
4. Pasien mengalami konstipasi di mana beliau belum BAB sejak 4 hari yang lalu.
5. Riwayat pendarahan negatif. Batuk dan pilek negatif.
2.3 – PEMERIKSAAN
1. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan:
1. Kesedaran compos mentis.
2. Suhu badan : 38.6oC (di atas Normal, menunjukkan pasien demam).
3. Denyut nadi : 80x/menit (Normal)
4. Respiratory Rate : 20x/menit (Normal)
5. Tekanan Darah : 110/80 mmHg (Normal)
6. Pada pemeriksaan abdomen ditemukan nyeri tekan pada bagian epigastrium :
Hepatomegali, pembesaran hepar yang disebabkan oleh kuman S.typhi yang
berkembang biak di hati, sehingga berasa nyeri apabila ditekan.
Kemungkinan lain ditemukan pada pemeriksaan fisik pasien Demam Tifoid :
1. Febris, kesadaran berkabut, bradikardia relative (peningkatan suhu 1°C tidak diikuti
peningkatan denyut nadi 8x/menit)
2. Lidah berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah, serta tremor), hepatomegali,
splenomegali, nyeri abdomen.
2. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan penunjang ditemukan :
i. Pemeriksaan laboratorium :
- Hemoglobin (Hb) : 14g/dl
- Hematokrit (Ht) : 38%
- Leukosit : 4.000/μl
- Trombosit : 200.000/μl
ii. Widal’s Test :
- S.typhi O : 1/320
- S.typhi H : 1/320
- S.typhi AO : 1/80
- S.typhi AH : -
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain :
1. Pemeriksaan darah tepi (pemeriksaan darah perifer lengkap)
2. Pemeriksaan SGOT (serum glutamic-oxaloacetic transaminase) dan SGPT (serum
glutamic-pyruvic transaminase).
3. Uji Widal
4. Kultur darah
5. Uji TUBEX
6. Uji Typhidot
7. Uji IgM Dipstick
Pemeriksaan Darah Tepi
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa menurun
atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau
sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif, terutama
pada fase lanjut. Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan
jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai
ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid
atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat
diagnosis demam tifoid.1
Periksaan SGOT
SGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan kembali normal setelah sembuh.
Peningkatan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan penanganan khusus.2
Uji Widal
Uji Widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S. typhi. Pada uji Widal terjadi
suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin.
Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Samonella yang sudah dimatikan
dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu:
a) Aglutinin O (dari tubuh kuman)
b) Aglutinin H (flagela kuman)
c) Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada minggu pertama demam, kemudian meningkat
secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-empat, dan tetap tinggi selama beberapa
minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H.
Pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan. Oleh
karena itu uji Widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal:
1) Pengobatan dini dengan antibiotik
2) Gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian kortikosteroid
3) Waktu pengambilan darah
4) Daerah endemik dan non-endemik
5) Riwayat vaksinasi
6) Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam tifoid
akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi
7) Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan strain
Salmonella yang dapat digunakan untuk suspense antigen.
Saat ini masih belum ada kesamaan pendapat mengenai titer aglutinin yang bermakna
diagnostik untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya kesepakatan saja, hanya
berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda di berbagai laboratorium setempat.2
Kultur Darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid karena mungkin disebabkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur dah telah
mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil
mungkin negatif.
2. Volume darah yang kurang. Bila darah yang dibiak terlalu sedikit (diperlukan kurang
lebih 5 cc darah) maka hasil biakan bisa negatif.
3. Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi dalam darah
pasien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah dapat
negatif.
4. Saat pengambilan darah minggu pertaman, pada saat aglutinin semakin meningkat.2
Tes TUBEX
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat
(kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar
spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam
diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi
antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini, beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar
78% dan spesifisitas sebesar 89%. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat
digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di
negara berkembang.3
Uji Typhidot
Uji Typhidot dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat pada protein membran
luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan
dapat mengidentifikasi secara spesifik antibody IgM dan IgG terhadap antigen S.typhi seberat
50kD yang terdapat pada strip nitroselulosa. Didapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%,
spesifitas sebesar 76.6% dan efisiensi uji sebesar 84% pada penelitian yang dilakukan oleh
Gopalakrishnan dkk(2002) yang dilakukan pada 144 kasus demam tifoid.2
Pemeriksaan Dipstick
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan
membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan
antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan
komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan
di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 69.8%
bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur
darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%. Penelitian
lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji
ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96%. Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan
rerata sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang
menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam tifoid. Uji ini terbukti mudah
dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada
penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat
dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara
luas.3
2.3 - DIAGNOSIS
1. Working Diagnosis (WD)
Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan terapi yang tepat
dan meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat penting
untuk membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus tertentu dibutuhkan
pemeriksaan tambahan untuk membantu men menegakkan diagnosis.
a. Demam tifoid
Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini termasuk
penyakit menular yang tercantum dalam undang-undang nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah.
Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat
menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah.2
b. Etiologi
Demam typhoid timbul akibat dari infeksi oleh bakteri golongan Salmonella yang memasuki
tubuh penderita melalui saluran pencernaan. Sumber utama yang terinfeksi adalah manusia
yang selalu mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit, baik ketika ia sedang sakit
atau sedang dalam masa penyembuhan.Pada masa penyembuhan, penderita pada masih
mengandung Salmonella spp didalam kandung empedu atau di dalam ginjal. Sebanyak 5%
penderita demam tifoid kelak akan menjadi karier sementara, sedang 2 % yang lain akan
menjadi karier yang menahun.Sebagian besar dari karier tersebut merupakan karier intestinal
(intestinal type) sedang yang lain termasuk urinary type. Kekambuhan yang yang ringan pada
karier demam tifoid,terutama pada karier jenis intestinal,sukar diketahui karena gejala dan
keluhannya tidak jelas.4
c. Epidemiologi
Survailens Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian deman tifoid di Indonesia pada
tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per
10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai
dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596
menjadi 26.606 kasus.
Inseidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi
lingkungan; di daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di
daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insidens di perkotaan
berhubung erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan
dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan.
Case fatality rate(CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari seluruh kematian di
Indonesia. Namun, demikian berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Departemen
Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995 demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit
mortalitas tertinggi.2
d. Patogenesis
Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella paratyphi (S. paratyphi) ke
dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman, sebagian kuman
dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya
berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka
kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di
lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit tertama oleh
makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selajutnya
dibawa ke plak Payeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar
ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau di ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia
yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.2
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kantung empedu, berkembang biak, dan bersama
cairan empedu dieksresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman
dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus
usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan
hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator
inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti
demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental,
dan koagulasi.2
Di dalam plak Payeri makrofag hiperaktif menimbulkan hiperplasia jaringan. Perdarahan
saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang
mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus,
dan dapat mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya
komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan
organ lainnya.2
e. Gambaran Klinis
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul
sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran
penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.2
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan
penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,
anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan
epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam
adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu
kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relative, lidah yang
berselaput, hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen,
stupor, koma, delirium, atau psikosos. Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia.2
f. Pronogsis
1. Demam tifoid yang tidak dilakukan pengobatan mempunyai kadar mortalitas
mendekati 20%.
2. Mortalitas dapat dihilangkan atau dikurangkan dengan pengobatan yang tepat.
3. Kadar kematian yang tinggi yang masih terjadi di negara-negara endemik dapat
diakibatkan oleh rawatan yang tertunda atau perawatan yang tidak bertepatan.
g. Komplikasi
Sebagai suatu penyakit sistemik maka hamper semua organ utama tubuh dapat diserang dan
berbagai komplikasi serius dapat terjadi.2 Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada
demam tifoid yaitu:
1. Komplikasi intestinal: Perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik, pancreatitis
2. Komplikasi ekstra-intestinal:
a. Komplikasi kardiovaskular: gagal sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis
b. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, KID, thrombosis
c. Komplikasi paru: pneumonia, empiema, pleuritis
d. Komplikasi hepatobilier: hepatitis, kolesistitis
e. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis
f. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, arthritis
g. Komplikasi neuropsikiatrik/tifoid toksik.
2. Differential Diagnosis (DD)
DD bagi Demam Tifoid adalah:
1. Demam Berdarah Dengue
2. Malaria
Demam Berdarah Dengue
Demam berdarah (DB) atau demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit febril
akut yang ditemukan di daerah tropis, dengan penyebaran geografis yang mirip
dengan malaria. Penyakit ini disebabkan oleh salah satu dari empat serotipe virus dari
genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Setiap serotipe cukup berbeda sehingga tidak ada
proteksi-silang dan wabah yang disebabkan beberapa serotipe (hiperendemisitas) dapat
terjadi. Demam berdarah disebarkan kepada manusia oleh nyamuk Aedes aegypti.
Gejala
Penyakit ini ditunjukkan melalui munculnya demam secara tiba-tiba, disertai sakit
kepala berat, sakit pada sendi dan otot (myalgia dan arthralgia) dan ruam; ruam demam
berdarah mempunyai ciri-ciri merah terang, petekial dan biasanya mucul dulu pada bagian
bawah badan - pada beberapa pasien, ia menyebar hingga menyelimuti hampir seluruh tubuh.
Selain itu, radang perut bisa juga muncul dengan kombinasi sakit di perut, rasa mual,
muntah-muntah atau diare, pilek ringan disertai batuk-batuk. Kondisi waspada ini perlu
disikapi dengan pengetahuan yang luas oleh penderita maupun keluarga yang harus segera
konsultasi ke Dokter apabila pasien/penderita mengalami demam tinggi 3 hari berturut-turut.
Banyak penderita atau keluarga penderita mengalami kondisi fatal karena menganggap ringan
gejala-gejala tersebut.
Demam berdarah umumnya lamanya sekitar enam atau tujuh hari dengan puncak
demam yang lebih kecil terjadi pada akhir masa demam. Secara klinis, jumlah platelet akan
jatuh hingga pasien dianggap afebril.
Sesudah masa tunas / inkubasi selama 3 - 15 hari orang yang tertular dapat mengalami
/ menderita penyakit ini dalam salah satu dari 4 bentuk berikut ini :
Bentuk abortif, penderita tidak merasakan suatu gejala apapun.
Dengue klasik, penderita mengalami demam tinggi selama 4 - 7 hari, nyeri-nyeri pada
tulang, diikuti dengan munculnya bintik-bintik atau bercak-bercak perdarahan di bawah
kulit.
Dengue Haemorrhagic Fever (Demam berdarah dengue/DBD) gejalanya sama dengan
dengue klasik ditambah dengan perdarahan dari hidung (epistaksis/mimisan), mulut,
dubur dsb.
Dengue Syok Sindrom, gejalanya sama dengan DBD ditambah dengan syok / presyok.
Bentuk ini sering berujung pada kematian.
Karena seringnya terjadi perdarahan dan syok maka pada penyakit ini angka
kematiannya cukup tinggi, oleh karena itu setiap Penderita yang diduga menderita Penyakit
Demam Berdarah dalam tingkat yang manapun harus segera dibawa ke dokter atau Rumah
Sakit, mengingat sewaktu-waktu dapat mengalami syok / kematian.
Penyebab demam berdarah menunjukkan demam yang lebih tinggi,
pendarahan, trombositopenia dan hemokonsentrasi. Sejumlah kasus kecil bisa menyebabkan
sindrom shock dengueyang mempunyai tingkat kematian tinggi.
Malaria
Malaria disebabkan oleh parasit protozoa. Plasmodium (salah satu Apicomplexa) dan
penularan vektor untuk parasit malaria manusia adalah nyamuk Anopheles. Ragam
dari Plasmodium falciparum dari parasit ini bertanggung jawab atas 80% kasus dan 90%
kematian.
Gejala dari malaria termasuk demam, menggigil, arthralgia (sakit
persendian), muntah-muntah, anemia, dan kejang. Dan mungkin juga rasa "tingle" di kulit
terutama malaria yang disebabkan oleh P. falciparum. Komplikasi malaria
termasuk koma dan kematian bila tak terawat; anak kecil lebih mungkin berakibat fatal.5
2.4 – PENATALAKSANAAN
Trilogi penatalaksanaan demam tifoid yaitu :
i. Istirahat dan perawatan :
o Tirah baring (makan, minum, mandi, BAK dan BAB) dan perawatan professional
(termasuk penjagaan kebersihan pakaian, tidur, dan perlengkapan yang dipakai)
bertujuan mencegah komplikasi dan mempercepat masa penyembuhan.
ii. Diet dan terapi penunjang (simptomatik dan suportif) :
o Diet dan terapi penunjuang dilakukan dengan pertama, pasien diberikan bubur saring,
kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien.
Pemberian bubur saring bertujuan menghindari perforasi usus atau komplikasi
pendarahan saluran cerna.
o Diet berperan penting pada saat penyembuhan, sehingga sekiranya kurang, akan
menurunkan keadaan umum dan gizi sehingga memperlambat proses penyembuhan.
iii. Pemberian antimikroba :
a. Kloramfenikol : merupakan obat pilihan utama mengobati demam tifoid. diberikan
dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4 kali pemberian, oral atau
intravena, selama 14 hari yaitu sampai dengan 7 hari bebas panas.
b. Tiamfenikol : dosis dan efektivitasnya pada demam tifoid hampir sama dengan
kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya
anemia aplastik lebih rendah dibandingkan kloramfenikol. Dosisnya adalah 4x500mg,
di mana demam rata-rata menurun pada hari yang ke-5.
c. Kotrimoksasol : dengan dosis 8 mg/kbBB/hari terbagi dalam 2-3 kali pemberian, oral,
selama 14 hari(2 minggu).
d. Ampisilin dan amoksisilin : kemampuan obat ini menurunkan demam lebih rendah
dari kloramfenikol, dosis yang dianjurkan antara 50-150mg/kgBB selama 2 minggu.
e. Sefalosporin generasi III : sehingga kini, golongan sefalosporin generasi III yang
terbukti efektif untuk demam tifoid adalah setriakson, dosis yang dianjurkan adalah
antara 3-4g dalam dekstrosa 100cc diberikan selama ½ jam per infuse sekali sehari,
diberikan selama 3 hingga 5 hari.
f. Golongan fluorokuinolon : golongan ini terdiri beberapa bahan sediaan dan aturan
pemberiannya :
- Norfloksasin : dosis 2 x 400mg/hari selama 14 hari
- Siprofloksasin : dosis 2 x 500mg/hari selama 6 hari
- Ofloksasin : dosis 2 x 400mg/hari selama 7 hari
- Pefloksasin : dosis 400mg/hari selama 7 hari
- Fleroksasin : dosis 400mg/hari selama 7 hari
Pada kasus perforasi intestinal dan renjatan septik diperlukan perawatan intensif dengan
nutrisi parenteral total. Spektrum antibiotik maupun kombinasi beberapa obat yang bekerja
secara sinergis dapat dipertimbangkan. Kortikosteroid perlu diberikan pada renjatan septik.
2.5 - PENCEGAHAN DEMAM TIFOID
Tindakan preventif merupakan sebagai pencegahan penularan dan peledakab kasus
luar biasa demam tifoid mencakup banyak aspek, mulai dari segi kuman Salmonella thypi
sebagai agen penyakit dan factor pejamu(host) serta factor lingkungan. Terdapat empat
strategi untuk memutuskan transmisi tifoid yaitu:
1) Higene perorangan dan lingkungan
2) Identifikasi Salmonella thypi pada kasus demam tifoid dan kasus karier tifoid
3) Pencegahan transmisi langsung dari pasien terinfeksi S.typhi maupun karier
4) Proteksi pada orang yang berisiko terinfeksi
Higiene Perorangan dan Lingkungan. Demam tifoid ditularkan melalui rute oral-fekal
(makanan dan kotoran), maka pencegahan utama dengan cara memutuskan rantai tersebut
dengan meningkatkan higiene perorangan dan lingkungan, seperti mencuci tangan sebelum
makan, penyediaan air bersih, dan pengamanan pembuangan limbah feses.
Tindakan identifikasi atau penyaringan pengidap kuman S.typhi cukup sulit dan
memerlukan biaya yang cukup besar. Sasaran aktif lebih diutamakan pada populasi tertentu
seperti pengelola sarana makanan dan minuman baik tingkat usaha rumah
tangga,restoran,hotel sampai pabrik beserta distributornya. Sasaran lainnya adalah yang
terkait dengan pelayanan masyarakat yaitu petugas kesihatan,guru,petugas kebersihan. Serta
pengelola sarana umum yang lainnya.
Kegiatan pencegahan transmisi langsung dari penderita terinfeksi bisa di lakukan di
rumah sakit,klinik maupun di rumah dan lingkungan sekitar orang yang diketahui pengidap
kuman S.typhi.2
Sarana proteksi pada populasi ini dilakukan dengan cara vaksinansi tifoid di daerah
endemic maupun hiperendemik. Sasaran vaksinasi tergantung daerahnya endemis atau non-
endemis, tingkat risiko tertularnya yaitu berdasrkan tingkat hubungan perorangan dan jumlah
frekuensinya serta golongan individu berisiko,yaitu imunokompromis maupun golongan yang
rentan.Tindakan preventif berdasarkan lokasi daerah, yaitu:
Daerah non-endemik.tanpa ada kejadian outbreak atau epidemik
Sanitasi air dan kebersihan lingkungan
Penyaringan pengelola pembuatan makanan dan minuman
Pencarian dan pengobatan kasus tifod karier
Daerah endemik
Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang memenuhi
standar prosedur kesehatan
Pengunjung ke daerah ini harus minum air yang telah melalui
pendidihan,menjauhi makanan yang segar.
Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun pengunjung.
Vaksinasi
Vaksin tifoid belum dianjurkan secara rutin di semua tempat. Vaksinasi penting apabila:
1. Hendak mengunjungi daerah endemic,risiko terserang demam tifoid semakin tinggi
untuk daerah berkembang(Amerika Latin,Asia,Afrika).
2. Orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid.
3. Petugas laboratorium atau mikrobiologi kesehatan.
Jenis vaksin
Vaksin oral-Ty2 la(vivotif Berna)
Vaksin parenteral-ViCPS,vaksin kapsul polisakarida
Pemilihan vaksin
Pada beberapa penelitian vaksin oral Ty21a diberikan 3 kali secara bermakna
menurunkan 66% selama 5 tahun,laporan lain sebesar 33% selama 3 tahun. Usia sasaran
vaksinasi berbeda efektivitasnya, dilaporkan insidens turun 53% pada anak >10 tahun
sedangkan anak usia 5-9 tahun insidens turun 17%.Vaksin parenteral non-aktif relative lebih
sering menyebabkan reaksi efek samping serta tidak seefektif dibandingkan dengan ViCPS
maupun Ty21a oral.2
Indikasi vaksinasi
Tindakan preventif berupa vaksinasi tifoid tergantung pada factor risiko yang berkaitan
yaitu indivual atau populasi dengan situasi epidemiologisnya:
Populasi:anak usia sekolah di daerah endemic,personil militer,petugas rumah
sakit,laboratorium kesehatan,industry makanan dan minuman.
Indivual:pengunjung atau wisatawan ke daerah endemic,orang yang kontak erat denga
pengidap tifoid(karier).
Anak usia 2-5 tahun toleransi dan respons imunologisnya sama dengan usia lebih besar.
Kontraindikasi Vaksinasi
Vaksin hidup oral Ty2la secara teoritis dikontraindikasikan pada sasaran yang alergi
atau reaksi efek samping berat,penurunan imunitas, dan kehamilan. Bila diberikan bersamaan
dengan obat anti-malaria(klorouin,meflokuin) dianjurkan minimal setelah 24 jam pemberian
obat baru dilakukan vaksinasi. Dianjurkan tidak memberikan vaksinasi bersamaan dengan
obat sulfonamide atau antimikroba lainnya.2
Efek samping vaksinasi
Pada vaksin Ty2la demam timbul pada orang yang mendapat vaksin 0-5%, sakit
kepala (0-5%),sedangkan pada ViPCS efek samping lebih kecil (demam 0.25%,malaise
0.,5%,sakit kepala 1,5%,rash 5%,reaksi nyeri local 17%). Efek samping terbesar pada vaksin
parenteral adalah heatphenol inactivated yaitu demam 6,7-24%,nyeri kepala 9-10% dan
reaksi local nyeri dan edema 3-35% bahkan reaksi berat termasuk hipotensi,nyeri dada dan
shock dilaporkan pernah terjadi meskipun sangat jarang terjadi.
Efektivitas vaksinasi
Serokonversi (peningkatan titer antibody 4 kali) setelah vaksinasi dengan ViCPS
terjadi secara cepat yaitu sekitar 15 hari-3minggu dan 90% bertahan selama 3 tahun.
Kemampuan proteksi sebesarnya 77% pada daerah endemic dan sebesar 60% untuk daerah
hiperendemik.2
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Typhoid adalah suatu penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh kuman
salmonella typhi yang dapat menular melalui fecal-oral yaitu dari makanan dan minuman
yang terkontaminasi. Seseorang pasien yang diduga menderita penyakit ini umumnya
ditandai dengan gambaran klinis demam yang menigkat perlahan-lahan, memburuk terutama
pada sore-malam hari, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi
atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis.
Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia
relatif (bradikardia relatif adalah peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan denyut nadi
8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor),
hepatomegali, splenomegali, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau
psikosis.
Pemeriksaan fisik dan penunjang yang diperoleh dapat memperkuat diagnosis yang
sedang dikerjakan sehingga menjadikan demam typhoid sebagai diagnosis pasti terhadap
kasus yang diberikan.
Daftar Pustaka
1. Darmowandowo W. Demam tifoid. Media IDI 1998;23:4-7
2. Widodo D. Demam tifoid. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K MS, Setiati S,
editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
IPD FKUI; 2009. h. 2797-2806
3. Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The diagnosis, treatment
and prevention of typhoid fever. World Health Organization, 2003;7-18
4. Demam Tifoid, 2008, diunduh dari: http://www.jevuska.com/2008/05/10/demam-tifoid-
typhoid-fever
5. Parasit malaria. Parasitologi kedokteran, Fakultas Kedokteran UI, ed 3. 2006. 171-38.
6. Elliot T, Worthington T, Osman H, Oill M, Medical microbiology and infection, 4 th Ed,
2007, 136-9.
7. Patrick RM, Ken SR, George SK, Michael AP,Medical microbiology.4th Ed,2007,273-4.
8. Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson et al. Salmonellosis. Harrison’s
principle of internal medicine. USA: Mc Graw Hill;2008.p.970-4.