TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITOR
PERBANKAN TERKAIT ADANYA
AKTA PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN
YANG TIDAK DIDAFTARKAN
PUTU DEVIYANTI SUGITHA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITOR
PERBANKAN TERKAIT ADANYA AKTA PEMBERIAN
HAK TANGGUNGAN YANG TIDAK DIDAFTARKAN
PUTU DEVIYANTI SUGITHA
NIM : 1092461018
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI KENOTARIATAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
ii
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITOR
PERBANKAN TERKAIT ADANYA AKTA
PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN YANG TIDAK
DIDAFTARKAN
Tesis untuk memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister
Program Studi Kenotariatan Program Pascasarjana
Universitas Udayana
PUTU DEVIYANTI SUGITHA
NIM. 1092461018
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI KENOTARIATAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
iii
Lembar Persetujuan Pembimbing
PERSETUJUAN TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA
TANGGAL :
Komisi Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
(Prof.Dr. I Made Arya Utama, SH.,M.H) ( I Nyoman Sumardika, SH, MKN)
NIP. 19650221 199003 1 005
Mengetahui :
Ketua Program Magister Kenotariatan Direktur
Program Pascasarjana Program Pascasarjana
Universitas Udayana Universitas Udayana
Prof.Dr. I Made Arya Utama, SH.,M.H Prof. Dr. dr. A.A.Raka Sudewi, Sp.S(K)
NIP. 19650221 199003 1 005 NIP. 19590215 198510 2 001
iv
Tesis Ini Telah Diuji
Pada Tanggal: 02 Juli 2014
Panitia Penguji TesisBerdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana,
Nomor: 1864 / UN14.4 / HK / 2014
Tanggal 20 Juni 2014
Ketua : Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.,M.Hum.
Anggota : 1. I Nyoman Sumardika, SH.,M.Kn.
2. Prof. R.A. Retno Murni, SH.,MH,Ph.D
3. Dr. I Wayan Wiryawan, SH.,MH
4. Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH.,M.Hum.
v
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Dengan ini saya menyatakan yang sebenarnya bahwa:
Nama : PUTU DEVIYANTI SUGITHA
NIM : 1092461018
Program Studi : Magister Kenotariatan
JudulTesis : Perlindungan Hukum Bagi Kreditor Perbankan Terkait
Adanya Akta Pemberian Hak Tanggungan Yang Tidak
Didaftarkan
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas dari plagiat. Apabila
dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia
menerima sanksi sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 10 Mei 2014
Yang membuat pernyataan
(Putu Deviyanti Sugitha)
vi
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji syukur saya panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan
Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan
penulisan tesis ini. Adapun judul tesis ini adalah “Perlindungan Hukum Bagi
Kreditor Perbankan Terkait Adanya Akta Pemberian Hak Tanggungan Yang
Tidak Didaftarkan”. Dalam penulisan tesis ini, penulis menyadari masih terdapat
kekurangan, untuk itu besar harapan penulis semoga tesis ini memenuhi kriteria
sebagai salah satu syarat untuk meraih Gelar Magister Kenotariatan pada Program
Pascasarjana Universitas Udayana.
Penulisan tesis ini tidak akan terwujud tanpa bantuan serta dukungan dari
pembimbing dan berbagai pihak. Untuk itu melalui tulisan ini penulis ingin
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. I Made Arya
Utama, SH, MH., selaku Pembimbing Pertama sekaligus selaku Ketua Program
Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana dan terimakasih penulis
ucapkan kepada I Nyoman Sumardika, SH, M.Kn, selaku Pembimbing Kedua
yang telah memberikan semangat, bimbingan dan saran selama penulis
menyelesaikan tesis ini. Kepada panitia penguji tesis Prof. R.A. Retno Murni,
S.H., MH, Ph.D, sebagai Penguji I, Dr. I Wayan Wiryawan, SH, MH, sebagai
Penguji II, dan Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH, M.Hum., sebagai penguji III
yang telah memberikan ide, bimbingan, dan saran kepada penulis dalam proses
penyelesaian tesis ini.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. dr. Ketut
Suastika, Sp. PD-KEMD selaku Rektor Universitas Udayana beserta staf atas
vii
kesempatan yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan studi pada
Program Pascasarjana Universitas Udayana. Terimakasih juga ditujukan kepada
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K) selaku Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk
menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas
Udayana. Tidak lupa juga penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH selaku dekan
Fakultas Hukum Universitas Udayana atas ijin yang diberikan kepada penulis
untuk mengikuti Program Magister.
Terimakasih juga penulis tujukan kepada Bapak dan Ibu Dosen pengajar di
Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana
yang telah memberikan ilmu kepada penulis, serta Bapak dan Ibu seluruh staff
dan karyawan di Sekretariat Magister Kenotariatan Universitas Udayanayang
telah membantu penulis dalam proses administrasi.Terimakasih juga penulis
tujukan kepada Ayah tercinta I Wayan Sugitha, SH., dan Ibu Ni Nengah Sudewi,
SH serta adik-adik tersayang Made Yoga Pramana Sugitha, Komang Siska Lestari
Sugitha, Ketut Nindy Rahayu Sugitha beserta seluruh keluarga besa rtercinta atas
doa dan dukungannya selama ini
Terimakasih kepada Ida Bagus Pryankha Rai, ST., yang selalu sabar dan
tetap memberikan semangat selama proses penyusunan tesisini. Terimakasih
kepada sahabat Ni Kadek Femy Yulistiawati, SH, Ni Made Irpiana Prahandari,
SH, Desak Putu Thiarina Mahaswari Agastia, SH., Putu Sugandika Putra, SH,
M.Kn, Ni Made Sri Utami Dewi, SE, Dr. Putu Dian Ariyanti Putri, S.Ked, Lisa
viii
Indah Setyawati, SE, serta seluruh teman-teman Angkatan I Magister
Kenotariatan Universitas Udayana yang telah membantu memberikan semangat
dan dorongan dalam penulisan tesis ini serta semua pihak yang telah mendukung
proses pembuatan tesis ini.
Sebagai akhir kata penulis berharap semoga Ida Sang Hyang Widhi
Wasa/Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan
kepada kita semua. Semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan dan menambah kepustakaan di bidang Kenotariatan serta berguna
bagi masyarakat.
Denpasar, 10 Mei 2014
Penulis
ix
ABSTRAK
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITOR PERBANKAN TERKAIT
ADANYA AKTA PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN
YANG TIDAK DIDAFTARKAN
Tujuan dari pembebanan Hak Tanggungan adalah dalam rangka
memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada semua pihak (khususnya
Kreditor) dan juga untuk memenuhi asas publisitas. Pasal 1 ayat (1) UUHT
mengatur ketentuan mengenai pemberian Hak Tanggungan dari Debitor kepada
Kreditor sehubungan dengan hutang yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan.
Pemberian hak ini dimaksudkan untuk memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada Kreditor yang bersangkutan (Kreditor preferent) daripada Kreditor-
Kreditor lain. Dengan demikian pemberian Hak Tanggungan adalah sebagai
jaminan pelunasan hutang Debitor kepada Kreditor sehubungan dengan perjanjian
pinjaman/kredit yang bersangkutan. Hak Tanggungan tidak akan lahir tanpa
adanya pendaftaran APHT. Namun pada prakteknya masih dijumpai beberapa
oknum PPAT yang terlambat mendaftarkan APHT ke Kantor Pertanahan dengan
berbagai alasan, tentu saja hal ini akan merugikan pihak Kreditor sebagai pemberi
kredit. Berdasarkan latar belakang di atas, maka pokok permasalahan dalam
penelitian ini adalah bagaimanakah akibat hukum dari tidak didaftarkannya
APHT terhadap perjanjian kredit perbankan yang dibuat para pihak di hadapan
Notaris/PPAT dan bagaimanakah hak Kreditor perbankan terhadap benda jaminan
dalam hal APHT tidak didaftarkan.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah
penelitian yuridis empiris, yaitu dengan terlebih dahulu mengkaji norma hukum
terkait perlindungan hukum bagi Kreditor Perbankan Terkait Adanya Akta
Pemberian Hak Tanggungan yang tidak didaftarkan, kemudian dilanjutkan
penelitian lapangan. Pendekatan dalam penelitian ini jenis pendekatan kualitatif.
Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Teknik
pengumpulan data primer adalah dengan metode wawancara dengan mengambil
sampel secara Non Random Sampling. Teknik pengumpulan data sekunder dalam
penelitian ini menggunakan teknik studi dokumen dan bahan hukum tertier yang
berupa kamus dan ensiklopedi.
Hasil penelitian menunjukan bahwa akibat hukum dari tidak
didaftarkannya APHT terhadap perjanjian kredit perbankan yang dibuat para
pihak dihadapan Notaris/PPAT adalah kreditor tidak memiliki kedudukan yang
diutamakan. Dimana bentuk perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada
Kreditor sebagai bentuk antisipasi tidak didaftarkannya APHT adalah dengan
penandatanganan akta kuasa menjual pada saat akad kredit. Hak Kreditor
perbankan terhadap benda jaminan dalam hal APHT tidak didaftarkan yaitu tidak
memberikan hak saling mendahului dibandingkan dengan Kreditor lainnya.
Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Akta, Kreditor.
x
ABSTRACT
LEGAL PROTECTION TO BANKING CREDITORS IN RELATION TO
APHT (DEED OF MORTGAGE GRANTING) THAT ARE NOT
REGISTERED
The purposes of mortgage granting are to provide legal protection and
certainty to all parties (especially creditors) and to meet the publicity principles.
Article 1 paragraph (1) of Mortgage Law of the Republic of Indonesia regulates
mortgage granting provisions from debtors to creditors in relation to debts
secured with collateral in form of mortgage. The mortgage is aimed at providing
prioritized position to the relevant creditors (preferred creditors) compared to
other creditors. Therefore, a mortgage granting is to guarantee debt repayment of
debtor to creditor in relation to the relevant loan agreement. The mortgage will
not exist without APHT registration. However, in practice, there are still Land
Conveyancers who are late in registering APHT to the Land Office due to various
reasons. This situation will certainly have adverse effects to creditors as the party
providing the loans. Based on the aforementioned backgrounds, the main
questions of this study are: what are the legal consequences of APHT passed
before Notaries/Land Conveyancers that are not registered and how are the
creditors’ rights towards collateral stated in APHT that are not registered.
This thesis be qualified into the empirical legal study, namely by firstly
studying the legal norms related to legal protections towards banking creditors in
relation to APHT that are not registered, and then followed up with field studies.
The adopted approaches in this study are qualitative studies having primary and
secondary data. The primary data were collected through interviews and non-
random sampling. Meanwhile, the secondary data were acquired from studying
documents and secondary legal resources in forms of dictionaries and
encyclopedias.
The study results show that a consequence of non-registered APHT of
banking loan agreements concluded by the parties before Notaries/Land
Conveyancers is that creditors do not have prioritized rights. Where a form of
legal protection that can be given to creditors as an anticipation to APHT are
note registered is by signing of deed power attorney to sell. The creditors’ rights
to the collateral in non-registered APHT are that there are not any prioritized
rights compared to other creditors.
Keywords: Legal Protection, Deed, Creditor.
xi
RINGKASAN
Tesis ini membahas mengenai akibat hukum dari tidak didaftarkannya
APHT terhadap perjanjian kredit perbankan yang dibuat para pihak di hadapan
Notaris/PPAT dan hak Kreditor Perbankan terhadap benda jaminan dalam hal
APHT tidak didaftarkan.
Bab I menguraikan kesenjangan antara das solen (teori) dan das sein
(praktek), yaitu antara ketentuan Pasal 13 ayat (2) UUHT dan kenyataan yang
berlaku. Pasal 13 ayat (2) UUHT menentukan bahwa PPAT wajib mengirimkan
Akta Pemberian Hak Tanggungan dan warkah lain yang diperlukan kepada
Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatangan
Akta pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud Pasal 10 ayat (2)
UUHT. Apabila batas waktu 7 (tujuh) hari tidak diindahkan oleh PPAT, maka
sesuai ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUHT, PPAT yang melanggar atau lalai dalam
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dapat
dikenai sanksi administratif, berupa:
a. tegoran lisan;
b. tegoran tertulis;
c. pemberhentian sementara dari jabatan;
d. pemberhentian dari jabatan.
Hanya saja pada prakteknya, masih dijumpai beberapa oknum PPAT di
Kota Denpasar yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (2) tersebut, artinya
melampaui batas waktu selambat-lambatnya tujuh hari yang ditentukan untuk
xii
mengirimkan APHT dan warkah-warkah lainnya, namun tidak terkena sanksi
administratif. Selain adanya kesenjangan antara das solen dan das sein
sebagaimana dikemukakan di atas, penelitian ini juga akan membahas persoalan
lain, yaitu terkait hak kreditur perbankan terhadap benda jaminan apabila Akta
Pemberian Hak Tanggungan tidak didaftarkan karena berbagai alasan, salah
satunya adalah adanya pemblokiran terhadap sertipikat yang menjadi benda
jaminan yang bersangkutan oleh Kantor Pertanahan setempat.
Bab II menguraikan tentang kredit dan jaminan kredit dalam lembaga
perbankan, fungsi jaminan kredit dalam kredit perbankan, pengikatan jaminan
kredit perbankan, pemberian Hak Tanggungan, subyek dan obyek Hak
Tanggungan, Pemberian Hak Tanggungan dan lahirnya Hak Tanggungan.
Bab III menguraikan hasil penelitian perlindungan hukum bagi kreditur
perbankan terkait adanya Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang tidak
didaftarkan, yang menyajikan pembahasan dari rumusan permasalahan pertama
yang terdiri dari perjanjian kredit perbankan yang dibuat di hadapan notaris,
fungsi pembuatan APHT oleh PPAT terhadap perjanjian kredit perbankan, fungsi
pendaftaran APHT bagi perlindungan hukum bagi kreditor perbankan dalam
perjanjian kredit perbankan.
Bab IV menguraikan hasil penelitian perlindungan hukum bagi kreditur
perbankan terkait adanya Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang tidak
didaftarkan yang menyajikan pembahasan permasalahan kedua yang terdiri dari
faktor-faktor yang menyebabkan PPAT tidak mendaftarkan APHT, kedudukan
xiii
kreditor perbankan atas benda jaminan dalam hal APHT tidak didaftarkan, upaya
hukum kreditor untuk memperoleh kembali hak-haknya atas jaminan kredit.
Bab V merupakan bab penutup yang menguraikan kesimpulan dan saran.
Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah Akibat hukum dari tidak
didaftarkannya APHT terhadap perjanjian kredit perbankan adalah tetap sah
sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata. Sedangkan APHT yang
tidak didaftarkan, konsekuensinya tidak memenuhi asas publisitas dan asas
preferensi, sesuai dengan ketentuan Pasal 13 UUHT. Hak Kreditor perbankan
terhadap benda jaminan dalam hal APHT tidak didaftarkan adalah tetap memiliki
haknya untuk mendapatkan benda jaminan, hanya saja didudukkan
seimbang/sama dengan kreditor lainnya. Adapun saran yang dapat diberikan
adalah Kreditor diharapkan mencairkan dana setelah pendaftaran APHT dilakukan
dan juga melakukan pengawasan terhadap kinerja Notaris/PPAT. Dan kepada
Pemerintah agar segera membuat produk hukum yang memuat sanksi yang lebih
tegas dari pada sekedar sanksi administratif, sehingga tidak ada lagi pihak-pihak
yang merasa dirugikan.
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
PERSYARATAN GELAR .............................................................................. ii
LEMBAR PERSETUJUAN............................................................................. iii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ............................................................... v
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................ vi
ABSTRAK ....................................................................................................... ix
ABSTRACT ....................................................................................................... xi
RINGKASAN .................................................................................................. x
DAFTAR ISI ....................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................ 15
1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................. 15
a. Tujuan Umum .............................................................................. 16
b. Tujuan Khusus ............................................................................. 16
1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................... 16
a. Manfaat Teoritis ........................................................................... 16
b. Manfaat Praktis ............................................................................ 17
1.5. Landasan Teoritis Dan Batasan Operasional .................................... 17
xv
a. Landasan Teoritis …………………………………………… .... 17
1. Konsep Negara Hukum ........................................................... 19
2. Teori Penegakan Hukum ......................................................... 21
3. Teori kepastian Hukum ........................................................... 26
4. Teori Perlindungan Hukum ..................................................... 27
5. Teori Perjanjian ....................................................................... 29
b. Batasan Operasional .................................................................... 30
1.6. Metode Penelitian............................................................................. 31
a. Jenis Penelitian ............................................................................ 31
b. Jenis Pendekatan .......................................................................... 32
c. Data dan Sumber Data ................................................................. 33
d. Teknik Pengumpulan Data .......................................................... 35
e. Teknik Penentuan Sampel Penelitian .......................................... 36
f. Teknik Pengolahan Data .............................................................. 37
g. Teknik Analisis Data ................................................................... 38
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDIT PERBANKAN
DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN .............................. 39
2.1. Pengertian Kredit Dan Jaminan Dalam Lembaga Perbankan .......... 39
2.1.1.Pengertian Kredit Dan Jaminan Kredit ................................... 39
2.1.2.Fungsi Jaminan Dalam Kredit Perbankan .............................. 48
2.1.3.Pengikatan Jaminan Kredit Perbankan ................................... 52
2.2. Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan .................................. 60
2.2.1. Pengertian Hak Tanggungan ................................................. 60
2.2.2. Subyek Dan Obyek Hak Tanggungan ................................... 61
xvi
2.2.3. Pemberian Hak Tanggungan ................................................. 63
2.2.4. Lahirnya Hak Tanggungan Bagi Kreditor ............................. 65
BAB III AKIBAT HUKUM TIDAK DIDAFTARKANNYA APHT
TERHADAP PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN YANG
DIBUAT DIHADAPAN NOTARIS ............................................. 67
3.1.Perjanjian Kredit Perbankan Yang Dibuat Dihadapan Notaris . 67
3.2.Fungsi Pembuatan APHT Oleh PPAT Terhadap Perjanjian
Kredit Perbankan ....................................................................... 88
3.3.Fungsi Pendaftaran APHT Bagi Perlindungan Hukum
Kreditor Perbankan Dalam Perjanjian Kredit perbankan .......... 97
BAB IV HAK KREDITOR PERBANKAN TERHADAP BENDA
JAMINAN DALAM HAL APHT TIDAK DIDAFTARKAN .. 111
4.1.Faktor-Faktor Yang Menyebabkan PPAT Tidak Mendaftarkan
APHT ......................................................................................... 111
4.2.Kedudukan Kreditor Perbankan Atas Benda Jaminan Dalam
Hal APHT Tidak Didaftarkan.................................................... 125
4.3.Upaya Hukum Kreditor Perbankan Untuk Memperoleh
kembali Hak Atas Benda Jaminan ............................................. 134
BAB V PENUTUP ......................................................................................... 144
5.1. Kesimpulan ........................................................................................ 144
5.2. Saran-saran ......................................................................................... 145
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 145
DAFTAR INFORMAN
DAFTAR RESPONDEN
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini mayoritas pengusaha, baik pengusaha kecil, menengah,
maupun besar, memanfaatkan kredit perbankan dalam melakukan investasi.
Sebagaimana ketentuan Pasal 6 Huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790, selanjutnya disebut UU
Perbankan) salah satu kegiatan oleh Bank Umum adalah memberikan kredit.
Bukan hanya Bank Umum yang bergerak dalam bidang penyaluran kredit,
melainkan juga Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Hal ini sejalan dengan pendapat
Hermansyah, yang menyatakan sebagai berikut :
Usaha BPR hanya meliputi :
a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa
deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk kegiatan yang
dipersamakan dengan itu.
b. Memberikan kredit
c. Menyediakan pembiayaan dan kesempatan dana berdasarkan Prinsip
Syariah sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
d. Menempatkan dananya dalam bentuk Sertipikat Bank Indonesia (SBI),
deposito berjangka, sertipikat deposito dan/atau tabungan pada bank lain1
Setiap proses pemberian kredit oleh bank harus didahului dengan
penelitian dan analisis yang mendalam dari berbagai aspek, baik aspek ekonomi
1Hermansyah, 1996, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana
Prenada Group, Jakarta, h.24.
1
2
maupun aspek hukum. Pasal 8 ayat (1) UU Perbankan mengatur mengenai hal ini
dengan menentukan :
Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah,
Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang
mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah Debitor
untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai
dengan diperjanjikan.
Pemberian kredit oleh bank selaku Kreditor kepada Debitor diawali
dengan perjanjian kredit yang pada intinya merupakan proses pemberian
“jaminan” atau agunan dari pihak Debitor sebagai peminjam dana. Jaminan adalah
sesuatu yang diberikan kepada Kreditor untuk menimbulkan keyakinan bahwa
Debitor akan memenuhi kewajiban yang timbul dari suatu perikatan. Kewajiban
tersebut dapat dinilai dengan uang.
Kata “jaminan” terdapat dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disebut KUH Perdata), dan dalam
penjelasan Pasal 8 UU Perbankan. Pengertian jaminan juga terdapat dalam Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari
1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit, yaitu "Suatu keyakinan Kreditor Bank
atas kesanggupan Debitor untuk melunasi kredit sesuai dengan yang
diperjanjikan".
Dalam Penjelasan Pasal 8 UU Perbankan terdapat 2 (dua) jenis jaminan,
yaitu: jaminan pokok dan jaminan tambahan. Jaminan pokok adalah barang, surat
berharga atau garansi yang berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai
dengan kredit yang bersangkutan, seperti barang-barang atau proyek-proyek yang
dibeli dengan kredit yang dijaminkan. Sedangkan jaminan tambahan adalah
3
barang, surat berharga atau garansi yang tidak berkaitan langsung dengan obyek
yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan, yang ditambah dengan agunan.
Menurut Rudi Tri Santoso jaminan memiliki beberapa fungsi yang saling
terkait satu sama lain, yaitu :
a. Untuk menjaga harta bank dalam bentuk kredit, karena dengan
diserahkannya jaminan kepada bank, maka bank berhak memperoleh
pelunasan atas hasil penjualan barang jaminan apabila nasabah cidera
janji;
b. Menjamin agar pembiayaan usaha tersebut berjalan lancar dengan
diserahkannya harta Debitor sebagai jaminan bank yang secara moril
Debitor akan bertanggung jawab terhadap proyek usaha tersebut ;
c. Mendorong Debitor untuk membayar kembali utangnya agar tidak
kehilangan harta yang telah dijaminkan tersebut.2
Umumnya yang digunakan sebagai jaminan dalam perjanjian kredit adalah tanah,
baik dengan status Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha maupun
Hak Pakai. Hal ini karena tanah mempunyai nilai ekonomis tinggi dan harganya
senantiasa meningkat dari tahun ke tahun. Dalam ketentuan Pasal 51 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2044, selanjutnya disebut UUPA), sudah disediakan lembaga hak jaminan yang
kuat dan dapat dibebankan pada hak atas tanah, yaitu Hak Tanggungan sebagai
pengganti lembaga Hypothek dan Creditverband.
Selama 30 tahun lebih sejak berlakunya UUPA tersebut, lembaga hak
tanggungan belum dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan
karena belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya secara
lengkap, sampai dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996
2Rudi Tri Santoso, 1996, Kredit Usaha Perbankan, Edisi I, Cet I, Andi
Yogyakarta, h.188.
4
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan
Dengan Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632, selanjutnya
disebut UUHT) pada tanggal 9 April 1996.
Sebelum UUHT tersebut berlaku, lembaga jaminan atas tanah yang ada
menggunakan ketentuan-ketentuan tentang Hypotheek sebagaimana dimaksud
dalam Buku II KUH Perdata dan Credietverband yang diatur dalam staatsblad
1937-1960 yang berdasarkan Pasal 57 UUPA. Dengan berlakunya UUHT, maka
ketentuan-ketentuan mengenai Hyphoteek dan Credietverband selanjutnya tidak
dapat digunakan lagi oleh masyarakat untuk mengikat hak atas tanah sebagai
jaminan suatu utang.
Mengenai pengertian hak tanggungan terdapat dalam dalam Pasal 1 angka
1 UUHT, yaitu :
Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-
benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan
utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
Kreditor tertentu, terhadap Kreditor-Kreditor lain.
Dari pengertian pasal tersebut diatas, maka dapat diuraikan elemen atau unsur-
unsur pokok dari hak tanggungan, yaitu :
1. Hak tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan hutang ;
2. Utang yang dijamin tertentu jumlahnya ;
3. Obyek hak tanggungan adalah hak-hak atas tanah sesuai UUPA, yaitu
Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai ;
5
4. Hak tanggungan dapat dibebankan terhadap tanah berikut benda yang
berkaitan dengan tanah atau hanya terhadap tanahnya saja ;
5. Hak tanggungan memberikan hak preferent atau hak diutamakan
kepada Kreditor tertentu terhadap Kreditor-Kreditor lainnya.
Menurut pendapat dari Adrian Sutedi ”Hak Tanggungan adalah hak
jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan
yang diutamakan kepada Kreditor tertentu terhadap Kreditor-Kreditor lain”3.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 UUHT, nampak bahwa hak tanggungan
memberikan kedudukan diutamakan (droit de preferent) kepada pemegang hak
tanggungan. Dalam arti, jika Debitor cidera janji, Kreditor pemegang hak
tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan
jaminan menurut peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak
mendahului dari pada Kreditor yang lain.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1133 KUH Perdata, ada 3 (tiga) hak
kebendaan yang memberikan kedudukan untuk didahulukan kepada
pemegangnya, yaitu Kreditor istimewa (privilege), pemegang gadai dan
hypotheek. Namun di luar KUH Perdata juga terdapat 2 hak kebendaan lainnya,
yaitu hak tanggungan atas tanah dan jaminan fidusia yang juga memberikan
kedudukan untuk didahulukan kepada pemegangnya, atau disebut juga hak
preferent. Mengenai hak preferent diatur didalam ketentuan Pasal 1134 KUH
Perdata yang berbunyi ”Hak istimewa ialah suatu hak yang oleh Undang-Undang
3Adrian Sutedi, 2010, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta
(selanjutnya disebut Adrian Sutedi I), h. 4.
6
diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi orang
berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutang”.
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bahwa yang menjadi obyek, hak
tanggungan adalah hak atas tanah. Hak atas tanah yang dimaksudkan dalam hal ini
adalah hak-hak atas tanah yang dimungkinkan oleh undang-undang dapat dibebani
dengan hak tanggungan. Adapun beberapa hak atas tanah yang ditetapkan sebagai
obyek hak tanggungan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 4 UUHT,
adalah :
1. Hak Milik ;
2. Hak Guna Usaha ;
3. Hak Guna Bangunan ;
4. Hak Pakai Atas Tanah Negara.
Tanah-tanah yang dapat dibebani dengan hak tanggungan ada yang telah
bersertipikat namun ada pula yang belum bersertipikat. Sertipikat merupakan surat
tanda bukti hak, yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan sesuai ketentuan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 203) untuk selanjutnya ditulis PP 24/1997. Sedangkan
hak atas tanah yang belum bersertipikat merupakan tanah yang belum terdaftar
pada Kantor Pertanahan setempat.
Tujuan dari pembebanan hak tanggungan adalah dalam rangka
memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada semua pihak (khususnya
Kreditor) dan juga untuk memenuhi asas publisitas. Pasal 1 ayat (1) UUHT
7
mengatur ketentuan mengenai pemberian hak tanggungan dari Debitor kepada
Kreditor sehubungan dengan hutang yang dijaminkan dengan hak tanggungan.
Pemberian hak ini dimaksudkan untuk memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada Kreditor yang bersangkutan (Kreditor preferent) daripada Kreditor-
Kreditor lain. Dengan demikian pemberian hak tanggungan adalah sebagai
jaminan pelunasan hutang Debitor kepada Kreditor sehubungan dengan perjanjian
pinjaman/kredit yang bersangkutan.
UUHT tidak menentukan bahwa Kreditor harus pihak perbankan. Dengan
demikian, pihak-pihak lain yang berupa badan hukum atau orang-perorangan
sepanjang terlibat dalam perjanjian kredit dapat menggunakan lembaga hak
tanggungan, sepanjang pembebanan hak tanggungan memenuhi syarat yang
ditetapkan dalam UUHT. Hal ini sejalan dengan Pasal 8 ayat (1) UUHT yang
menetapkan pemberi hak tanggungan adalah orang perorangan atau badan hukum
yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek
hak tanggungan yang bersangkutan.
Pasal 9 UUHT menentukan bahwa pemegang hak tanggungan adalah
badan hukum atau orang perorangan yang berkedudukan sebagai pihak yang
berpiutang. Syarat-syarat mengenai pembebanan hak tanggungan, yaitu :
1. Pemberian hak tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan hak
tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu yang dituangkan di
dalam dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian kredit
yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.
8
2. Pemberian hak tanggungan wajib memenuhi syarat spesialitas yang meliputi:
nama dan identitas pemegang dan pemberi hak tanggungan, domisili para
pihak pemegang dan pemberi hak tanggungan, penunjukan secara jelas utang
atau utang-utang yang dijaminkan pelunasannya dengan hak tanggungan, nilai
tanggungan, dan uraian yang jelas mengenai obyek hak tanggungan.
3. Pemberian hak tanggungan wajib memenuhi persyaratan publisitas melalui
pendaftaran hak tanggungan pada Kantor Pertanahan setempat (Kota/
Kabupaten).
4. Sertipikat hak tanggungan sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan
memuat titel eksekutorial dengan kata-kata "Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa".
5. Batal demi hukum, jika diperjanjikan bahwa pemegang hak tanggungan akan
memiliki obyek hak tanggungan apabila Debitor cidera janji (wanprestasi).
Pendaftaran hak tanggungan diatur dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal
14 UUHT. Pasal 13 ayat (1) UUHT berbunyi “Pemberian Hak Tanggungan
wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan.” Kemudian Pasal 13 UUHT ayat (2)
menetapkan “Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan
Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2),
PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan
dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan”.
Terkait dengan konstruksi norma yang diatur di dalam Pasal 13 ayat (2)
UUHT maka kata “mengirimkan” yang dimaksud berdasarkan hasil observasi dan
wawancara dengan 2 (dua) orang Notaris/PPAT di Kota Denpasar, ditafsirkan
9
oleh Notaris/PPAT adalah dalam kerangka kewajiban pendaftaran untuk
memenuhi ketentuan asas publisitas. Dengan demikian, makna mengirimkan
diartikan dalam tesis ini adalah menyampaikan, mengantarkan secara langsung
oleh penerima hak tanggungan atau melalui kuasa pengurusan yang dilakukan
oleh staf kantor PPAT yang bersangkutan dengan menyerahkan APHT yang telah
ditandatangani oleh pemberi dan penerima hak tanggungan, PPAT, dan disaksikan
oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi, serta dilengkapi dengan warkah-
warkah lainnya yang diperlukan untuk kepentingan dan syarat-syarat pendaftaran
ke Kantor Pertanahan setempat.
Terkait dengan ketentuan ”PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak
Tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor
Pertanahan Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan
Akta Pemberian Hak Tanggungan” dapat dijelaskan bahwa dengan mengirimkan
APHT dan warkah lain pada Kantor Pertanahan setempat maka pendaftaran
pemberian hak tanggungan belum dilakukan. Pendaftaran hanya dapat dikatakan
telah dilakukan apabila Kantor Pertanahan menyatakan berkas-berkas yang
dikirimkan tersebut telah lengkap dan Kantor Pertanahan memberikan Kartu Hijau
sebagai tanda terima berkas sekaligus sebagai tanda pendaftaran pemberian Hak
Tanggungan telah dilakukan.
Sebagaimana diuraikan dalam ketentuan Pasal 13 ayat (3) UUHT , bahwa
pendaftaran hak tanggungan tersebut dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan
membuatkan buku tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku-tanah
hak atas tanah yang menjadi obyek hak tanggungan serta menyalin catatan
10
tersebut pada sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan, dimana tanggal buku-
tanah hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tanggal hari
ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi
pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku-tanah yang
bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya. Terkait lahirnya hak
tanggungan, Pasal 13 ayat (5) UUHT menentukan “Hak Tanggungan lahir pada
hari tanggal buku-tanah Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)”.
Hak Tanggungan tersebut lahir, dibuktikan dengan penerbitan Sertipikat Hak
Tanggungan oleh Kantor Pertanahan. Dalam Pasal 14 ayat (2) UUHT ditentukan
“Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat irah-
irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA".
Pasal 14 ayat (4) UUHT menyebutkan “Kecuali apabila diperjanjikan lain,
sertipikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak
Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) dikembalikan kepada
pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. ”Kemudian Pasal 14 ayat (5)
berbunyi : ”Sertipikat Hak Tanggungan diserahkan kepada pemegang Hak
Tanggungan.” Tetapi umumnya sertipikat yang telah dibubuhi catatan hak
tanggungan disimpan oleh Kreditor bukan oleh pemilik hak atas tanah yang
merupakan Debitor.
Hak tanggungan yang bersangkutan belum lahir pada tahap pemberian hak
tanggungan dengan Akta PPAT, yang dalam hal ini adalah APHT, oleh pemberi
hak tanggungan kepada Kreditor. Hak tanggungan tersebut baru lahir pada saat
11
dibuatnya buku tanah hak tanggungan oleh Kantor Pertanahan. Hal ini berarti
pada saat didaftarnya hak tanggungan merupakan hal yang sangat penting bagi
Kreditor. Lahirnya hak tanggungan merupakan hal yang sangat penting
sehubungan dengan munculnya hak tagih preferent dari Kreditor, menentukan
tingkat atau kedudukan Kreditor terhadap sesama Kreditor dalam hal ada sita
jaminan (Consevatoir beslag) atas benda jaminan.4 Dengan perkataan lain bahwa
Kreditor yang lebih dahulu APHT-nya didaftar dalam Buku Tanah hak
tanggungan oleh Kantor Pertanahan lebih diutamakan dari Kreditor lainnya.
Tanggal Buku Tanah hak tanggungan mempunyai peranan yang sangat penting,
karena mempunyai pengaruh yang menentukan atas kedudukan Kreditor
pemegang hak tanggungan terhadap sesama Kreditor yang lain terhadap Debitor
yang sama sebagaimana diatur oleh ketentuan Pasal 1132 dan Pasal 1133 KUH
Perdata.
Terkait dengan penentuan tanggal buku tanah yang menandai lahirnya hak
tanggungan terjadi kesenjangan antara das solen (teori) dan das sein (praktek),
yaitu antara ketentuan Pasal 13 ayat (2) UUHT dan kenyataan yang berlaku. Pasal
13 ayat (2) UUHT menentukan bahwa PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian
Hak Tanggungan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatangan Akta pemberian
Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud Pasal 10 ayat (2) UUHT. Apabila batas
waktu 7 (tujuh) hari tidak diindahkan oleh PPAT, maka sesuai ketentuan Pasal 23
4J. Satrio, 1998, Hukum Jaminan, Hak Jaminan, Hak Tanggungan, Buku
2, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 38.
12
ayat (1) UUHT, PPAT yang melanggar atau lalai dalam memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dapat dikenai sanksi administratif,
berupa:
a. tegoran lisan;
b. tegoran tertulis;
c. pemberhentian sementara dari jabatan;
d. pemberhentian dari jabatan.
Hanya saja pada prakteknya, masih dijumpai beberapa oknum PPAT di
Kota Denpasar yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (2) tersebut, artinya
melampaui batas waktu selambat-lambatnya tujuh hari yang ditentukan untuk
mendaftarkan APHT, namun tidak terkena sanksi administratif. Inkonsistensi
penerapan ketentuan UUHT akan berdampak negatif terhadap kinerja dan
tanggung jawab PPAT dan akan mempengaruhi kinerja PPAT yang lainnya.
Dengan demikian maka sesungguhnya sanksi administrasi sebagaimana
ditentukan oleh Pasal 23 ayat (1) UUHT tersebut adalah dalam kerangka untuk
menumbuhkembangkan rasa tanggung jawab PPAT dalam kedudukannya sebagai
seorang pejabat umum yang terikat dengan etika dan tanggung jawab jabatan yang
diatur di dalam kode etik dan peraturan perundang-undangan.
Kantor Pertanahan yang tetap penerima proses pendaftaran APHT yang
melanggar ketentuan batas waktu pendaftaran karena keterlambatan waktu
pendaftaran hanya terkait dengan prosedur administratif pendaftaran, dan tidak
terkait dengan APHT yang akan didaftarkan serta dalam kerangka memberikan
perlindungan hukum terhadap penerima hak tanggungan. Namun bagi PPAT yang
13
telah melakukan pelanggaran administratif atas batas waktu pendaftaran telah
menimbulkan persoalan hukum tersendiri atas inkonsistensi penerapan ketentuan
UUHT tersebut.
Selain adanya kesenjangan antara das solen dan das sein sebagaimana
dikemukakan di atas, penelitian ini juga akan membahas persoalan lain, yaitu
terkait hak Kreditor perbankan terhadap obyek hak tanggungan apabila APHT
tidak dapat didaftarkan karena berbagai alasan, salah satunya adalah adanya
pemblokiran terhadap sertipikat yang menjadi obyek hak tangungan yang
bersangkutan oleh Kantor Pertanahan setempat.
Permasalahan tersebut di atas akan dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini
dengan mengangkat judul : “Perlindungan Hukum Bagi Kreditor Perbankan
Terkait Adanya Akta Pemberian Hak Tanggungan Yang Tidak Didaftarkan. Dari
penelusuran kepustakaan yang dilakukan, ada beberapa penelitian yang berkaitan
dengan perlindungan hukum bagi Kreditor Perbankan terkait adanya APHT tidak
didaftarkan yaitu :
a. Tesis dari Tri Akhsanul Iman, NIM B4B.004.187, alumni Program Studi
Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Diponegoro
Semarang Tahun 2006 dengan judul tesis “Pelaksanaan Pendaftaran Hak
Tanggungan Yang Didahului Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Di
Kantor Pertanahan Kabupaten Bekasi”. Adapun yang menjadi pokok
permasalahan dalam penelitian tesis tersebut yakni :
14
1. Bagaimana Pelaksanaan Pendaftaran Hak Tanggungan Yang Didahului
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan
Kabupaten Bekasi ?
2. Apa Akibat Hukumnya Bila Pendaftaran dan Penerbitan Tanggal Buku
Tanah serta sertipikat hak tanggungan melewati ketentuan yang ada dalam
UUHT?
b. Tesis Rima Anggriyani, NIM B4B008225, alumni Program Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara, Medan Tahun 2010 dengan judul tesis
“Pendaftaran Hak Tanggungan Yang Melebihi Jangka Waktu 7 (Tujuh) Hari
di Kantor Pertanahan Kabupaten Tegal”. Adapun yang menjadi pokok
permasalahan dalam penulisan tesis tersebut yaitu:
1. Bagaimanakah Proses Pendaftaran Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan
di Kabupaten Tegal ?
2. Apa akibat Hukumnya apabila APHT yang didaftarkan oleh PPAT ke
kantor Pertanahan kabupaten Tegal melebihi jangka waktu 7 (tujuh) hari
dan bagaimana cara penyelesaiannya?
c. Tesis Ni Luh Gede Purnamawati NIM 1092461015, alumni Program Megister
Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar tahun
2012 yang berjudul “Kendala-Kendala Pembebanan Hak Tanggungan Bagi
Tanah Yang Belum Bersertipikat”. Adapun yang menjadi pokok permasalahan
dalam tesis tersebut adalah :
15
1. Kapankah terjadinya peristiwa hukum pembebanan Hak Tanggungan dari
Debitor ke Kreditor terhadap tanah yang masih dalam proses
pensertipikatan?
2. Apakah kendala-kendala pembebanan Hak Tanggungan atas tanah yang
dalam proses pensertipikatan?
Berdasarkan penelusuran dari tesis dengan judul dan pokok permasalahan seperti
yang dijelaskan di atas, menunjukkan bahwa penelitian dengan judul
Perlindungan Hukum Bagi Kreditor Perbankan Terkait Adanya Akta Pemberian
Hak Tanggungan Yang Tidak Didaftarkan belum ada yang membahasnya,
sehingga tesis ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik orisinalitas
ataupun keasliannya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka pokok permasalahan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah akibat hukum dari tidak didaftarkannya APHT terhadap
perjanjian kredit perbankan yang dibuat para pihak di hadapan Notaris/PPAT?
2. Bagaimanakah hak Kreditor perbankan terhadap benda jaminan dalam hal
APHT tidak didaftarkan?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk mencapai tujuan yang
bersifat umum dan khusus sebagai berikut:
16
a. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitan ini yaitu untuk pengembangan ilmu hukum
terkait paradigma Science as a process (ilmu sebagai proses). Ilmu Hukum yang
dimaksud adalah kajian dalam hal perlindungan hukum bagi Kreditor perbankan
terkait adanya akta pemberian hak tanggungan yang tidak didaftarkan.
b. Tujuan Khusus
Adapun yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini sesuai
permasalahan yang dibahas adalah :
1). Untuk mendeskripsikan dan menganalisa secara mendalam tentang akibat
hukum tidak didaftarkannya APHT terhadap perjanjian kredit perbankan
yang dibuat para pihak di hadapan Notaris/PPAT.
2). Untuk mendeskripsikan dan menganalisa secara mendalam mengenai hak
Kreditor perbankan terhadap benda jaminan dalam hal APHT tidak dapat
didaftarkan.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan maupun kepentingan praktis, sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis yang diharapkan dapat dicapai dalam penelitian ini yaitu
untuk pengembangan ilmu pengetahuan hukum khususnya terhadap hukum
jaminan terkait materi perlindungan hukum bagi Kreditor perbankan terkait
adanya akta pemberian hak tanggungan yang tidak didaftarkan.
17
b. Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis yang diharapkan dapat dicapai dalam penelitian
tesis ini yaitu sebagai berikut:
1). Manfaat bagi Pemerintah
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai informasi dan/atau
pedoman bagi kalangan pemerintah sebagai pembentuk undang-undang agar dapat
membentuk undang-undang yang melindungi masyarakat, dalam hal ini pihak
bank sebagai Kreditor pemegang hak tanggungan.
2). Manfaat bagi masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan referensi bagi
masyarakat mengenai perlindungan hukum dalam perjanjian kredit perbankan.
Perlindungan hukum yang dimaksud adalah terhadap Kreditor perbankan terkait
adanya akta pemberian hak tanggungan yang tidak didaftarkan.
3). Manfaat bagi Penulis
Bagi penulis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat memberikan
tambahan pengetahuan dalam memahami hukum jaminan. Hukum jaminan
tersebut terutama yang berkaitan dengan akta pemberian hak tanggungan yang
tidak didaftarkan, sehingga mempengaruhi kedudukan Kreditornya untuk
memiliki hak didahulukan atas pelunasan piutangnya.
1.5 Landasan Teoritis dan Batasan Operasional
a. Landasan Teoritis
Teori diperlukan untuk menerangkan dan menjelaskan secara spesifik
suatu proses tertentu yang terjadi, dan suatu teori harus diuji dengan
18
menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak
benarannya.5Teori juga merupakan alur penalaran atau logika (flow of
reasonic/logic), yang terdiri dari seperangkat konsep atau variabel, definisi dan
proposisi yang disusun secara sistematis.6 Teori berasal dari kata theoria dalam
bahasa latin yang berarti perenungan, dan kata theoria sendiri berasal dari kata
thea yang dalam bahasa yunani berarti cara atau hasil pandang7. W. Friedmann
mengungkapkan dasar-dasar esensial dari teori hukum menurut pemikiran Hans
Kelsen sebagai berikut :
1. Tujuan teori hukum, seperti setiap ilmu pengetahuan adalah untuk
mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan ;
2. Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku,
bukan mengenai hukum yang sebenarnya ;
3. Hukum adalah imu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam ;
4. Teori hukum sebagai teori norma-norma tidak ada hubungannya
dengan daya kerja norma-norma hukum ;
5. Teori hukum adalah formal, suatu teori cara menata, mengubah isi
dengan cara khusus. Hubungan antara teori hukum dan sistem yang
khas dari hukum positif ialah hubungan apa yang mungkin dengan
hukum yang nyata.8
Berbeda halnya dengan teori, landasan teoritis atau kerangka memiliki pengertian
sebagai berikut :
Upaya untuk mengidentifikasi teori hukum umum/teori khusus, konsep-
konsep hukum, asas-asas hukum, aturan hukum, norma-norma dan lain-lain
yang akan dipakai sebagai landasan untuk membahas permasalahan
penelitian. Sebagai landasan dimaksud untuk mewujudkan kebenaran ilmu
5J.J.JM. Wuisman, 1996, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, h.203. 6J. Supranto, 2003, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta,
Jakarta, h. 194. 7Soetandyo Wignyosoebroto, 2002, Hukum-Paradigma, Metoda dan
Dinamika Masalahnya, Elsam dan Huma, Jakarta, h. 184.
8W. Friedmann, 1993, Teori dan Filsafat Hukum : Telaah Kritis Atas
Teori-Teori Hukum (susunan I), Judul Asli : Legal Theory, Penerjemah :
Mohamad Arifin, Cet. Kedua, PT Rajagrafindo Persada, h. 170.
19
hukum yang bersifat konsensus yang diperoleh dari rangkaian upaya
penelusuran (controleur baar). Berhubungan dengan itu maka harus
dihindari teori-teori (ajaran atau doktrin), konsep, asas yang bertentangan
satu sama lain. Semakin banyak teori, konsep, asas yang berhasil
diidentifikasi semakin tinggi derajat kebenaran (konsensus) yang bisa
dicapai. Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran
teoritis, oleh karena ada hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan
kegiatan pengumpulan dan pengolahan data, analisa, serta konstruksi data.9
Adapun teori-teori dan konsep yang digunakan membahas permasalahan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Konsep Negara Hukum
Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum. Seperti yang
tercantum dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD RI 45) menyatakan bahwa
“Negara Indonesia adalah Negara Hukum.” Berdasarkan pernyataan pasal ini,
penyelenggaraan pemerintahan didasarkan atas prinsip-prinsip hukum untuk
membatasi kekuasaan pemerintah yang berarti kekuasaan Negara c.q. aparat
pemerintahan dibatasi oleh hukum (rechtsstaat), bukan didasarkan atas kekuasaan
belaka (machtsstaat).
Menurut K.C. Wheare, penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan
berdasarkan sistem pemerintahan berdasarkan hukum yang olehnya dinyatakan
sebagai berikut :
……first of all it is used to describe the whole system of government of a
country, the collection of rule are partly legal, in the sense that courts of law
9Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana, 2011, Buku
Pedoman Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas
Udayana, Denpasar, h. 48.
20
will recognized as law but which are not less effective in regulating the
government than the rules of law strictly so called.10
(artinya dalam arti luas bahwa sistem pemerintahan dari suatu Negara
merupakan himpunan peraturan yang mendasari serta mengatur pemerintahan
dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya. Sementara itu dalam arti sempit
merupakan sekumpulan peraturan yang legal dalam lapangan ketataNegaraan
suatu Negara yang dimuat dalam suatu dokumen atau beberapa dokumen
terkait satu sama lain).
Suatu Negara dapat dikatakan Negara hukum bilamana memenuhi unsur
unsur Negara hukum. Friedrich Julius Stahl mengemukakan bahwa ciri-ciri dari
suatu Negara hukum yaitu:
1. Adanya pengakuan akan hak-hak dasar manusia;
2. Adanya pembagian kekuasaan;
3. Pemerintahan berdasarkan Peraturan; dan
4. Adanya Peradilan Tata Usaha Negara.11
Pancasila sebagai Dasar Negara juga memberikan pengaruh besar bagi
hukum yang berlaku di Indonesia. Philipus M. Hadjon memberikan pendapat
mengenai ciri-ciri dari suatu Negara Hukum Pancasila yaitu :
a. Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas
kerukunan;
b. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan
Negara;
c. Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan
merupakan sarana terakhir;
d. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.12
10
K.C Wheare, 1975, Modern Constitutions, Oxford University Press,
London, p. 1. 11
Oemar Seno Adji, 1966, Prasara Dalam Indonesia Negara Hukum,
Simposium UI Jakarta, h. 24. 12
Philipus M. Hadjon, 1992, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia:
Sebuah Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya, Penerapannya oleh Pengadilan dalam
Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara,
Bina Ilmu, Surabaya, (selanjutnya ditulis Philipus M. Hadjon I), h. 90.
21
Dalam setiap Negara yang menganut paham Negara hukum, selalu berlaku
tiga prinsip dasar, yaitu supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan
dihadapan hukum (equality before law) dan penegakan hukum dengan cara tidak
bertentangan dengan hukum (due process of law). Prinsip penting dalam Negara
hukum adalah perlindungan yang sama (equal protection) atau persamaan dalam
hukum (equality before the law). “Perbedaan perlakuan hukum hanya boleh jika
ada alasan yang khusus, namun perbedaan perlakuan tanpa alasan yang logis
seperti ini sampai saat ini masih banyak terjadi di berbagai Negara, termasuk di
Negara yang hukumnya sudah maju sekalipun.”13
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat diketahui bahwa untuk
mewujudkan keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam Negara hukum,
diperlukan keserasian hubungan antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah
sebagai pembentuk undang-undang dalam suatu Negara hukum hendaknya
merumuskan kebijakan-kebijakan yang dapat melindungi kepentingan warga
Negaranya. Dalam kaitannya dengan tesis ini maka dalam konsep Negara hukum
pemerintah bertugas membentuk peraturan perundang-undangan yang dapat
memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi masyarakat,
khususnya terhadap perlindungan hukum bagi Kreditor perbankan terkait adanya
akta pemberian hak tanggungan yang tidak didaftarkan.
2. Teori Penegakan Hukum
Teori Penegakan Hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menurut Muladi. Beliau mengemukakan bahwa :
13
Munir Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika
Aditama, Bandung, (selanjutnya disebut Munir Fuady II), h. 207.
22
Penegakan hukum merupakan sub-sistem sosial, sehingga penegakannya
dipengaruhi lingkungan yang sangat kompleks seperti perkembangan
politik, ekonomi, sosial, budaya, hankam, iptek, pendidikan dan sebagainya.
Penegakan hukum harus berlandaskan kepada prinsip-prinsip Negara hukum
sebagaimana tersirat dalam UUD 1945 dan asas-asas hukum yang berlaku
dilingkungan bangsa-bangsa yang beradab seperti the basic principles of
independence of judiciary, agar penegak hukum dapat menghindarkan diri
dari praktik-praktik negatif akibat pengaruh lingkungan yang sangat
kompleks tersebut.14
Pada hakikatnya penegakan hukum mewujudkan nilai-nilai atau kaedah-
kaedah yang memuat keadilan dan kebenaran, penegakan hukum bukan hanya
menjadi tugas dari para penegak hukum yang sudah dikenal secara konvensional,
tetapi menjadi tugas dari setiap orang. Meskipun demikian dalam kaitan dengan
hukum publik, pemerintahlah yang bertanggungjawab.
Hukum merupakan suatu sarana dimana didalamnya terkandung nilai-nilai
atau konsep-konsep tentang keadilan, kebenaran, kemanfaatan sosial, dan
sebagainya. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penegakan ide-ide
atau konsep-konsep serta usaha untuk mewujudkan ide-ide dari harapan
masyarakat untuk menjadi kenyataan. Penegakan hukum di Indonesia harus
didasari oleh Hukum Administrasi Negara, penegakan hukum yang dilakukan
oleh Hukum Administrasi Negara merupakan hukum yang melahirkan penegakan
hukum dan pemerintahan yang sehat dan teratur, dalam arti memadai atau setidak-
tidaknya dapat dikatakan menjalankan hukum Negara dalam menuju Negara yang
supremasi hukum.
Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide dan
konsep-konsep hukum yang diharapkan rakyat menjadi kenyataan. Penegakan
14
Ibid, h. 70.
23
hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal. Menurut Black’s
Law Dictionary, penegakan hukum (law enforcement) diartikan sebagai “the act
of putting something such as a law into effect; the execution of a law; the carrying
out of a mandate or command.”15
Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui
bahwa penegakan hukum merupakan usaha untuk menegakkan norma-norma dan
kaidah-kaidah hukum sekaligus nilai-nilai yang ada dibelakangnya. Dalam hal itu
aparat penegak hukum diharapkan memahami benar-benar jiwa hukum (legal
spirit) yang mendasari peraturan hukum yang harus ditegakkan, terkait dengan
berbagai dinamika yang terjadi dalam proses pembuatan perndang-undangan (law
making process).16
Salah satu sifat sekaligus tujuan dari kepastian hukum adalah untuk
memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Pada dasarnya
manusia selalu memerlukan keadilan, kebenaran dan perlindungan hukum, karena
hal tersebut adalah merupakan nilai dan kebutuhan asasi bagi masyakarat beradab.
Philipus M. Hadjon mengemukakan ”perlindungan hukum bagi rakyat
dalam kepustakaan hukum berbahasa Belanda dikenal dengan sebutan
rechtsbescherming van de burgers”17
. Hal itu menunjukkan kata perlindungan
hukum merupakan terjemahan dari rechtsbescherming (bahasa Belanda). Dari
pengertiannya, dalam kata perlindungan hukum terdapat suatu usaha untuk
15
Black Henry Campbell, 1999, Black’s Law Dictionary, West Publishing,
St. Paul Minesota, p. 578. 16
Muladi, 2002, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana,
BP Undip, Semarang, h. 69. 17
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di
Indonesia, Peradaban, Surabaya, (selanjutnya disebut Philipus M.Hadjon II), h. 1.
24
memberikan hak-hak kepada pihak yang dilindungi sesuai dengan kewajiban yang
telah dilakukan.
Menurut Philipus M. Hadjon, ada dua macam perlindungan hukum bagi
rakyat Indonesia yaitu, perlindungan hukum yang preventif dan perlindungan
hukum yang represif. Pada perlindungan hukum yang preventif, kepada rakyat
diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya
sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk defenitif18
. Dengan
demikian, perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah
terjadinya sengketa. Sedangkan sebaliknya perlindungan hukum yang represif
bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.
Perlindungan hukum terhadap Kreditor secara umum telah diatur dalam
Pasal 1131 KUH Perdata yang menentukan bahwa ”Segala kebendaan si berutang,
baik bergerak maupun tidak bergerak, yang sudah ada maupun yang akan ada
dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”.
Ketentuan tersebut mengandung arti bila Debitor berhutang kepada Kreditor,
seluruh harta kekayaan Debitor tersebut secara otomatis menjadi jaminan atas
hutangnya, meskipun Kreditor tidak meminta kepada Debitor untuk menyediakan
jaminan harta Debitor. Seluruh harta kekayaan Debitor merupakan jaminan umum
dan berlaku bagi seluruh Kreditornya, artinya setiap Kreditor yang memberikan
pinjaman kepada Debitor, maka secara otomatis seluruh harta kekayaan Debitor
menjadi jaminannya.
18
Ibid., h. 2.
25
Pasal 1132 KUH Perdata juga mengandung perlindungan hukum pada
Kreditor, karena menentukan bahwa apabila Debitor ingkar janji dan tidak
melunasi hutangnya, maka hasil penjualan atas harta kekayaan Debitor tersebut
dibagikan secara proporsional menurut besarnya piutang masing-masing Kreditor.
Para Kreditor disini mempunyai hak dan kedudukan yang sama terhadap seluruh
harta kekayaan Debitor, tidak ada yang didahulukan dalam pemenuhan
piutangnya. Kecuali apabila Kreditor tersebut mempunyai hak istimewa
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1133 ayat (1) KUH Perdata, yang
menentukan hak untuk didahulukan diantara orang-orang berpiutang terbit dari
hak istimewa, dari gadai dan dari hipotik.
Dalam perkembangan hukum di Indonesia, hak istimewa ini diatur dalam
UUHT dan Undang-Undang nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3889, selanjutnya disebut UU Fidusia). Dengan adanya
UUHT ini Kreditor, khususnya lembaga perbankan, akan mendapat perlindungan
dan kepastian hukum dalam menyalurkan kredit kepada masyarakat. Apabila
dalam pemberian kredit telah dilakukan pengikatan kredit dan pengikatan jaminan
secara sempurna, misalnya pengikatan jaminan berupa pembebanan hak
tanggungan telah dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku, dengan melakukan
pendaftaran APHT dengan tidak melewati batas waktu yang ditentukan oleh
undang-undang yaitu selama 7 (tujuh) hari maka bank selaku Kreditor akan
mendapatkan hak istimewa atas jaminan yang diserahkan oleh Debitor. Teori
26
Penegakan Hukum menurut Muladi ini akan digunakan untuk menganalisa pokok
permasalahan pertama dan kedua dalam penelitian ini
3. Teori Kepastian Hukum
Teori Kepastian Hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menurut Rene Descrates, seorang filsuf dari Prancis. Descartes berpendapat suatu
kepastian hukum dapat diperoleh dari metode sanksi yang diberlakukan kepada
subjek hukum baik perorangan maupun badan hukum yang lebih menekankan
pada proses orientasi proses pelaksanaan bukan pada hasil pelaksanaan. Kepastian
memberikan kejelasan dalam melakukan perbuatan hukum saat pelaksanaan
kontrak dalam bentuk prestasi bahkan saat kontrak tersebut wanprestasi.19
Salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum yaitu
kepastian hukum.20
Asas kepastian hukum mengandung arti, sikap atau keputusan
pejabat administrasi Negara yang manapun tidak boleh menimbulkan
kegoncangan hukum. 21
Teori Kepastian Hukum akan digunakan membahas permasalahan pertama
dan kedua dalam penelitian ini yaitu mengenai akibat hukum tidak didaftarkan
APHT terhadap perjanjian kredit perbankan dan hak Kreditor Perbankan terhadap
benda jaminan dalam hal APHT tidak didaftarkan. Dalam hal ini tentunya akan
mempengaruhi kedudukan kreditor sebagai Kreditor preferent pemegang hak
jaminan kebendaan.
19
Mariotedja, 2013, “Teori Kepastian Dalam Perspektif Hukum”,
Marotedja.blogspot.com diakses pada 15 Mei 2013. 20
E. Fernando M. Manullang, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan, Buku
Kompas, Jakarta, h. 92. 21
Prajudi Atmosudirdjo, 1983, Hukum Administrasi Negara, Ghalia
Indonesia, Jakarta, h. 88.
27
4. Teori Perlindungan Hukum
Teori Perlindungan Hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234, selanjutnya disebut UU Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan) yang menentukan bahwa :
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Pengertian perlindungan hukum dikaitkan dengan asas-asas materi muatan
perundang-undangan melekat dalam asas pengayoman. Hal ini disebabkan karena
kata perlindungan berarti mengayomi sesuatu dari hal-hal yang berbahaya, sesuatu
itu bisa saja berupa kepentingan maupun benda atau barang. Selain itu
perlindungan juga mengandung makna pengayoman yang diberikan oleh
seseorang terhadap orang yang lebih lemah. Dengan demikian, perlindungan
hukum dapat diartikan dengan segala upaya pemerintah untuk menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada warganya agar hak-haknya
sebagai seorang warga Negara tidak dilanggar, dan bagi yang melanggarnya akan
dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
28
Dalam kaitannya dengan hak kreditor dalam UUHT, maka perlindungan hukum
dapat diartikan dengan perlindungan terhadap penerima hak tanggungan
(Kreditor) atas hak tagihnya terhadap pemberi Hak Tanggungan (Debitor)
terhadap jaminan untuk memenuhi seluruh kewajibannya jika debitur wanprestasi.
Selain Teori Perlindungan Hukum Menurut ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam tesis ini digunakan juga
Teori Perlindungan hukum menurut Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra yang
berpendapat bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan
yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan
antisipatif.22
Dengan demikian menurut Teori Perlindungan hukum ini bahwa
perlindungan hukum harus bersifat adaptif dan fleksibel serta adaptif dan
antisipatif. Adaptif dan fleksibibel berarti harus selalu sesuai dengan
perkembangan kondisi dan situasi. Adaptif serta fleksibel mengandung arti bahwa
hukum harus dapat membuka kemungkinan akan dapat memberikan perlindungan
apabila timbul tindakan yang merugikan pihak-pihak tertentu.
Sejalan dengan itu teori Perlindungan Hukum yang terkandung dalam asas
pengayoman sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dan Teori Perlindungan Hukum menurut Lili Rasjidi dan
I.B Wyasa Putra akan digunakan untuk membahas pokok permasalahan kedua.
Permasalahan yang dimaksud yakni terkait dengan hak Kreditor perbankan
terhadap benda jaminan dalam hal APHT tidak didaftarkan.
22
Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem,
Remaja Rusdakarya, h. 118.
29
5. Teori Perjanjian.
Teori Perjanjian yang digunakan dalam tulisan ini adalah menurut
Purwahid Patrik yang menyatakan bahwa perjanjian adalah perbuatan yang terjadi
sesuai dengan formalitas-formalitas dari peraturan hukum yang ada tergantung
dari persesuaian kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditujukan untuk
timbulnya akibat hukum dari kepentingan salah satu pihak atas beban pihak lain
atau demi kepentingan masing-masing pihak secara timbal balik.23
Dari pendapat-
pendapat di atas, maka perjanjian mengandung beberapa unsur, yaitu :
1. Adanya pihak-pihak. Pihak di sini adalah subyek perjanjian sedikitnya dua
orang atau badan hukum dan harus mempunyai wewenang melakukan
perbuatan hukum sesuai yang ditetapkan oleh undang-undang.
2. Ada persetujuan antara pihak-pihak, yang bersifat tetap dan bukan suatu
perundingan.
3. Ada tujuan yang akan dicapai. Hal ini dimaksudkan bahwa tujuan para pihak
hendaknya tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan
undang-undang.
4. Ada prestasi yang akan dilaksanakan. Hal ini dimaksudkan bahwa prestasi
merupakan kewajiban yang harus dipenuhi, oleh pihak-pihak sesuai dengan
syarat-syarat perjanjian.
5. Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan. Hal ini berarti bahwa perjanjian bisa
dituangkan secara lisan atau tertulis. Hal ini sesuai ketentuan undang-undang
23
Purwahid Patrik, 1988, Hukum Perdata II, Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang, h. 1-3
30
yang menyebutkan bahwa hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian
mempunyai kekuatan mengikat dan bukti yang kuat.
Teori Perjanjian menurut Purwahid Patrik ini akan digunakan untuk
membahas permasalahan pertama dalam tesisi ini yaitu bagaimanakah akibat
hukum dari tidak didaftarkannya APHT terhadap perjanjian kredit perbankan yang
dibuat para pihak di hadapan Notaris/PPAT?
b. Batasan Operasional
Berkenaan dengan judul rencana tesis ini adapun beberapa konsep yang
dipergunakan sehingga membutuhkan penjelasan lebih lanjut adalah :
1. Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum adalah suatu suatu usaha preventif atau represif
untuk memberikan hak-hak kepada pihak yang dilindungi sesuai dengan
kewajiban yang telah dilakukan. Dalam penelitian ini perlindungan hukum
digunakan menganalisis perlindungan hukum terhadap Kreditor Perbankan dalam
hal APHT tidak didaftarkan.
2. Akta Pemberian Hak Tanggungan
Akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang
mengatur persyaratan dan ketentuan mengenai pemberian hak tanggungan dari
Debitor kepada Kreditor sehubungan dengan hutang yang dijaminkan dengan
Hak Tanggungan. Dalam penelitian ini APHT terkait dengan pemberian kredit
oleh bank kepada Debitor dengan jaminan hak atas tanah.
31
1.6 Metode Penelitian
a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah
penelitian hukum empiris, yaitu penelitian hukum yang obyek kajiannya meliputi
ketentuan dan pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum in action pada
setiap peristiwa hukum yang terjadi dalam masyarakat (in concreto).24
Menurut
Morris L. Cohen and Kent C. Olson dalam bukunya yang berjudul Legal Research
penelitian hukum yaitu“legal research is an essential component of legal
practice. It is the process of finding the law that governs an activity and materials
that explain or analyze that law”25
yang artinya bahwa penelitian hukum yang
berdasarkan kaidah perundang-undangan sebagai suatu hal yang penting dalam
penerapan hukum secara praktek.
Penelitian hukum empiris ini dilakukan untuk memastikan apakah hasil
penerapan pada peristiwa hukum in concreto itu telah sesuai atau tidak dengan
ketentuan undang-undang atau perjanjian telah dilaksanakan sebagaimana
mestinya atau tidak, sehingga para pihak yang berkepentingan mencapai
tujuannnya. Penelitian hukum empiris dilakukan di lapangan dengan metode dan
teknik penelitian lapangan yaitu mengadakan kunjungan dan berkomunikasi
dengan para pihak yang berkaitan langsung.
Ciri utama penelitian hukum empiris adalah adanya kesenjangan antara
das solen dan das sein, yaitu kesenjangan antara teori dan fakta hukum dan atau
24
Abdulkadir Muhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra
Aditya Bakti, Bandung, h. 134. 25
Morris L. Cohen and Kent C. Olson, 2000, Legal Research, West Group,
ST. Paul Minn, Printed in the United States of America, page 1.
32
situasi ketidaktahuan yang dikaji untuk pemenuhan kepuasan akademik. Dalam
tulisan ini, penelitian dilakukan dengan terlebih dahulu mengkaji norma hukum
terkait perlindungan hukum bagi Kreditor perbankan terkait adanya akta
pemberian hak tanggungan yang tidak didaftarkan.
b. Jenis Pendekatan
Pendekatan dalam penelitian hukum dimaksudkan adalah bahan untuk
mengawali sebagai dasar sudut pandang dan kerangka berpikir seorang peneliti
untuk melakukan analisis. Dalam penelitian hukum empiris terdapat beberapa
pendekatan yaitu :
1. Pendekatan Kualitatif
Pendekatan kualitatif adalah suatu cara analisis hasil penelitian yang
menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu data yang dinyatakan oleh responden
secara tertulis atau lisan serta juga tingkah laku yang nyata, yang diteliti dan
dipelajari sebagai sesuatu yang utuh. Oleh karena itu peneliti harus dapat
menentukan data mana atau bahan hukum mana yang memiliki kualitas sebagai
data yang diharapkan atau diperlukan dan data atau bahan hukum mana yang tidak
relevan dan tidak ada hubungannya dengan penelitian. Analisis dengan
pendekatan kualitatif ini yang dipentingkan adalah kualitas data, artinya peneliti
melakukan analisis terhadap data-data atau bahan-bahan hukum yang berkualitas
saja. Peneliti yang menggunakan metode analisis kualitatif tidak semata-mata
bertujuan mengungkapkan kebenaran saja, tetapi juga memahami kebenaran
tersebut.
33
2. Pendekatan kuantitatif
Pendekatan kuantitatif adalah melakukan analisis terhadap data
berdasarkan jumlah data yang terkumpul. Analisis dengan pendekatan kuantitatif
tersebut dilakukan dengan menggunakan rumus-rumus statistik. Hal itu karena
dalam proses pengumpulan data menggunakan kuesioner yang masing-masing
item jawabannya telah diberi skala. Analisis dengan pendekatan kuantitatif ini
akan sangat diperlukan apabila peneliti akan mencari korelasi dari dua variabel
atau lebih.26
Dalam penulisan karya ilmiah ini, agar mendapatkan hasil yang
ilmiah, serta dapat dipertahankan secara ilmiah, maka permasalahan dalam tesis
ini menggunakan jenis pendekatan kualitatif.
c. Data dan Sumber Data
Dalam penelitian hukum empiris terdapat 2 (dua) jenis data yang
digunakan, yaitu :
1. Data primer, yaitu data yang diperoleh terutama dari penelitian yang dilakukan
langsung didalam masyarakat.27
Sumber data primer dari penelitian ini dengan
melakukan penelitian yang berlokasi di Kota Denpasar Provinsi Bali, yaitu
dengan melakukan penelitian pada Bank, Kantor Notaris/PPAT di wilayah
kerja Kota Denpasar tempat pembuatan dan penandatanganan APHT dan
Kantor Pertanahan Kota Denpasar. Penelitian ini dilakukan dengan cara
melakukan wawancara dengan informan dan responden yang ada pada lokasi
penelitian tersebut. Informan, adalah orang atau individu yang memberikan
26
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum
Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogjakarta, h. 192. 27
Ibid, h. 156.
34
informasi data yang dibutuhkan oleh peneliti sebatas yang diketahuinya.
Informan diperlukan didalam penelitian empiris untuk mendapatkan data secara
kualitatif. Dalam penelitian ini informan adalah Kepala Seksi Pendaftaran Hak
Tanggungan Kantor Pertanahan Kota Denpasar sedangkan responden adalah
Kepala Bagian Kredit di Bank Mayapada Internasional, Tbk., dan Bank
Perkreditan Rakyat Sri Artha Lestari (BPR Lestari) selaku Kreditor, dan
Notaris/PPAT I Putu Chandra, SH dan I Made Gelgel, SH. Responden ini
merupakan orang atau individu yang terkait secara langsung dengan data yang
dibutuhkan.28
2. Data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan (Library Research)
dengan menggunakan bahan-bahan hukum sebagai berikut:29
i. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri dari :
(a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
(b) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria;
(c) Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah;
(d) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris ;
(e) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah;
28
Ibid, h. 174. 29
Ronny Hanitijo Soemitro, 1983, Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan
I, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 24.
35
(f) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
ii. Bahan hukum sekunder, yang terdiri dari literatur-literatur, buku-buku,
makalah, dan jurnal yang ditulis oleh para ahli dan dokumen-dokumen
yang berkenaan dengan masalah yang dibahas. Menurut Robert Watt
bahan hukum sekunder adalah “all of the other materials in the library are
used basically to assist researcher in understanding the law and this
group we call secondary materials”.30
Terjemahannya adalah semua
bahan-bahan lain di perpustakan pada dasarnya digunakan untuk
membantu peneliti memahami hukum dan kelompok ini kita sebut bahan-
bahan sekunder.
iii. Bahan hukum tertier, yang terdiri dari kamus dan ensiklopedi, yang
memperjelas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.31
d. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data primer yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah dengan metode wawancara dengan mengambil sampel secara Non Random
Sampling, yaitu suatu cara menentukan sampel dimana peneliti telah menentukan
atau menunjuk sendiri sampel dalam penelitiannya. Sesuai dengan judul dalam
penulisan tesis ini maka dalam penelitian ini sampel yang digunakan yaitu pihak-
pihak yang terkait dengan pembebanan hak tanggungan yaitu Bank, Notaris/PPAT
di wilayah kerja Kota Denpasar tempat pembuatan dan penandatanganan APHT,
30
Robert Watt, 2001, Concise Legal Research, The Federation Press,
Leinchrdt, NSW, h.1. 31
Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, 2004, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h. 120.
36
sebagai responden dan Kepala seksi pendaftaran Hak Tanggungan di Kantor
Pertanahan Kota Denpasar sebagai informan, yang berkaitan dengan perlindungan
hukum bagi Kreditor perbankan terkait adanya Akta Pemberian Hak Tanggungan
yang tidak didaftarkan. Penulis memilih melakukan penelitian di Kota Denpasar
karena cukup banyak terjadi permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini,
yakni adanya kesenjangan antara das solen (teori) dan das sein (praktek), yaitu
antara ketentuan Pasal 13 ayat (2) UUHT dan kenyataan yang berlaku di Kota
Denpasar. Teknik pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini menggunakan
teknik studi dokumen melalui kepustakaan dipergunakan dengan cara mencatat
data-data yang bersumber pada bahan hukum primer maupun dari bahan hukum
sekunder yang berupa buku-buku tulisan dari para sarjana dan bahan hukum
tertier yang berupa kamus dan ensiklopedi.
e. Teknik Penentuan Sampel Penelitian
Sebelum dilakukan penentuan sampel penelitian, terlebih dulu ditentukan
lokasi penelitian dengan menggunakan teknik non probabilitas. Menurut Bahder
Johan Nasution, dengan teknik sampling non probabilitas tidak semua subyek
atau individu mendapat kemungkinan yang sama untuk dijadikan sampel.32
Dari beberapa teknik non probabilitas yang ada, yang digunakan dalam
penelitian ini adalah purposive sampling. Teknik ini digunakan dengan
pertimbangan tertentu, sesuai dengan tujuan penelitian bahwa sampel memenuhi
kriteria yang merupakan ciri utama populasinya. Kota Denpasar dipilih sebagai
lokasi penelitian karena merupakan pusat aktifitas ekonomi dan perdagangan di
32
Bahder Johan Naution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar
Maju, Bandung, hal. 156.
37
Provinsi Bali, dimana aktifitas tingkat pendaftaran APHT cukup banyak
dibandingkan dengan di Kabupaten lainnya.
Setelah dilakukan penentuan lokasi penelitian, langkah selanjutnya adalah
penentuan sampel penelitian dengan menggunakan teknik non probabilitas dalam
bentuk purposive sampling. Penentuan sampel penelitian dilakukan dengan
langkah-langkah sebagai berikut: Responden adalah Notaris/PPAT dan Bank
pemberi kredit, yang dalam hal ini adalah PT. BPR. Lestari dan PT. Bank
Mayapada Internasional, Tbk. Sedangkan Informan adalah Kepala Seksi
Pendaftaran Hak Tanggungan Kantor Pertanahan Kota Denpasar. Penulis memilih
PT. BPR Lestari dan PT. Bank Mayapada Internasional, Tbk sebagai responden
karena kedua bank tersebut terbuka dalam memberikan informasi untuk
kepentingan penelitian ini. Perlu diketahui bahwa pada prinsipnya semua bank,
dalam menjalankan aktifitasnya tunduk pada ketentuan dari Bank Indonesia. Hal
ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6 UU Perbankan. Karena adanya
ketentuan Pasal 6 UU perbankan inilah penulis hanya mengambil 2 (dua) Kreditor
sebagai responden dalam penelitian ini.
f. Teknik Pengolahan Data
Pengolahan data adalah kegiatan merapikan data hasil pengumpulan data
di lapangan sehingga siap pakai untuk dianalisa.33
Setelah data dikumpulkan
kemudian diolah secara kualitatif dengan melakukan studi perbandingan antara
data lapangan dengan data kepustakaan sehingga akan diperoleh data yang
bersifat saling menunjang antara teori dan praktek.
33
Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar
Grafika, Jakarta, h. 72.
38
g. Teknik Analisis Data
Dalam menganalisa data yang telah dikumpulkan tersebut, digunakan
metode analisis deskriptif, yaitu menggambarkan dengan kata-kata atau kalimat
yang dipisahkan menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan.34
Dalam metode
analisis deskriptif, setelah data dianalisis kemudian disusun kembali secara
sistematis sehingga mendapatkan kesimpulan tentang permasalahan hukum dalam
penelitian ini.
34
Suharsini Arikunto, 1986, Prosedur Penelitian, Bina Aksara, Jakarta,
h. 194.
39
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KREDIT PERBANKAN DENGAN
JAMINAN HAK TANGGUNGAN
2.1 Pengertian Kredit dan Jaminan dalam Lembaga Perbankan
2.1.1. Pengertian Kredit dan Jaminan Kredit
Pengertian kredit secara jelas dapat dilihat pada Pasal 1 angka 11 UU
Perbankan, yaitu ”Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan
itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank
dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya
setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.” Selain itu, pengertian
kredit juga tercantum dalam ketentuan Pasal 1 angka 5 Peraturan Bank Indonesia
Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, yaitu :
Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank
dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga termasuk:
(a) cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang
tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari; (b) pengambilalihan tagihan dalam
rangka kegiatan utang-piutang ; dan (c) pengambilalihan atau pembelian
kredit dari pihak lain.
Dalam melaksanakan kegiatan usahanya berupa pemberian kredit, Bank
diwajibkan memperhatikan beberapa hal sebagaimana ketentuan Pasal 8 UU
Perbankan, yaitu wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang
mendalam atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan Debitor untuk melunasi
utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang
diperjanjikan. Selain itu Bank wajib memiliki dan menerapkan pedoman
39
40
perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Ketentuan Pasal 8 UU Perbankan tersebut diatas menunjukkan bahwa
unsur yang paling essensial dari pemberian kredit bank adalah adanya
kepercayaan dari bank, sebagai Kreditor, terhadap nasabah peminjam sebagai
Debitor. Kepercayaan itu timbul karena dipenuhinya segala ketentuan dan
persyaratan untuk memperoleh kredit bank oleh Debitor. Persyaratan tersebut,
antara lain : jelasnya peruntukan pemberian kredit, adanya benda jaminan atau
agunan, dan lain-lain. Makna dari kepercayaan itu adalah keyakinan dari bank
sebagai Debitor bahwa kredit yang diberikan sungguh-sungguh akan kembali
dalam jangka waktu sesuai kesepakatan.35
Kepercayaan memang merupakan unsur kredit yang paling esensial tetapi
bukan merupakan satu-satunya unsur kredit. Hermansyah memaparkan secara
lengkap unsur-unsur kredit, yaitu :
a. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa prestasi yang
diberikannya, baik dalam bentuk uang, barang dan jasa akan benar-benar
diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan
datang.
b. Tenggang waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara pemberian
prestasi dan kontraprestasi yang akan diterima pada masa yang akan
datang. Dengan unsur waktu ini, terkandung pengertian agio dari uang,
yaitu uang yang ada sekarang lebih tinggi nilainya dari uang yang akan
diterima pada masa yang akan datang.
c. Degree of risk, yaitu tingkat resiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari
adanya jangka waktu yang memisahkan pemberian prestasi dan
kontraprestasi yang akan diterima di kemudian hari. Semakin lama kredit
diberikan semakin tinggi pula tingkat resikonya.
d. Prestasi atau obyek kredit tidak hanya diberikan dalam bentuk uang tetapi
juga dapat berupa barang dan jasa. Tetapi karena kehidupan ekonomi
35
Hermansyah, 2008, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, h. 43.
41
modern di dasarkan pada uang maka yang umum terjadi adalah tranksaksi
kredit dalam bentuk uang.36
Kemudian dalam hal pemberian kredit, Bank wajib menerapkan pokok
ketentuan perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagaimana yang dijelaskan dalam penjelasan
Pasal 8 ayat (2) UU Perbankan, yaitu :
a. Pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dibuat
dalam bentuk perjanjian tertulis;
b. Bank harus memiliki keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan
Nasabah Debitor yang antara lain diperoleh dari penilaian yang seksama
terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari
Nasabah Debitor;
c. Kewajiban bank untuk menyusun dan menerapkan prosedur pemberian
kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;
d. Kewajiban bank untuk memberikan informasi yang jelas mengenai
prosedur dan persyaratan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah;
e. Larangan bank untuk memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah dengan persyaratan yang berbeda kepada Nasabah Debitor
dan atau pihak pihak terafiliasi;
f. Penyelesaian sengketa.
Ketentuan pemberian kredit oleh Bank Indonesia pada penjelasan Pasal 8
ayat (2) huruf b UU Perbankan tersebut di atas kemudian dirumuskan para sarjana
perbankan menjadi formula 5 C, seperti yang dipaparkan oleh Hermansyah, yaitu:
1. Character
Bahwa calon nasabah memiliki watak, moral dan sifat-sifat pribadi yang
baik.
2. Capacity
Kemampuan calon Debitor mengelola usahanya dan mampu melihat
prospektif masa depan sehingga usahanya dapat berjalan dengan baik dan
memberikan keuntungan. Hal ini pada gilirannya akan membantu
menjamin ia mampu melunasi utangnya.
3. Capital
Bank harus melakukan penelitian akan modal yang dimiliki pemohon
kredit.
36
Ibid., h. 58.
42
4. Collateral
Jaminan untuk persetujuan pemberian kredit yang bmerupakan saran
pengaman atas resiko yang mungkin terjadi atas wanprestasi nasabah di
kemudian hari.
5. Condition of economy
Dalam pemberian kredit oleh bank, kondisi ekonomi secara umum dan
kondisi sektor usaha pemohon kredit perlu memperoleh perhatian dari
bank untuk memperkecil resiko yang mungkin terjadi yang diakibatkan
oleh kondisi ekonomi tersebut.37
Sementara itu ketentuan pemberian kredit oleh Bank Indonesia
sebagaimana penjelasan Pasal 8 ayat (2) UU Perbankan pada huruf a
mewajibkaan pemberian kredit atau pembiayaan syariah dilakukan dalam bentuk
perjanjian tertulis, yang dalam praktek perbankan dikenal dengan perjanjian
kredit. Secara lebih jelas SK Direksi BI No. 27/182/KEP/DIR dan Surat Edaran
BI No. 27/7/UPPB tanggal 31 Maret 1995 pada lampiran Pedoman Penyusunan
Kebijaksanaan Pemberian Kredit (PPKB) angka 450 tentang perjanjian kredit,
menjelaskan ”Setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati pemohon kredit
wajib dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis.” Dalam
menafsirkan ketentuan SK Direksi BI No. 27/182/KEP/DIR dan Surat Edaran BI
No. 27/7/UPPB tanggal 31 Maret 1995 tersebut di atas Widjarnako mengatakan
hal ini berarti bank tidak diperkenankan memberikan kredit dalam bentuk apapun
tanpa surat perjanjian secara tertulis yang jelas dan lengkap.38
Terkait dengan
perjanjian kredit, Johanes Ibrahim menyebut pengertian secara khusus, yaitu :
Perjanjian antara bank, sebagai Kreditor dengan nasabah sebagai Debitor
mengenai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu
yang mewajibkan nasabah-nasabah Debitor untuk melunasi utangnya setelah
37
Ibid., h. 64. 38
Widjarnako, 2007, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia,
Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, h. 81.
43
jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian
keuntungan.39
Perjanjian kredit termasuk perjanjian pinjam-meminjam uang antar bank
dan nasabahnya didasari perjanjian yang telah disepakati bersama yang diikuti
dengan pemberian bunga.40
Pendapat senada diungkapkan Adrian Sutedi yang
mengatakan bahwa dari rumusan kredit menurut Pasal 8 UU Perbankan dapat
disimpulkan bahwa kredit itu merupakan perjanjian pinjam-meminjam uang uang
antara bank sebagai pemberi Kreditor dan nasabah selaku Debitor. Dalam
perjanjian kredit tersebut bank percaya kepada nasabah akan membayar lunas
dalam jangka waktu yang telah disepakati.41
Menurut Buku III KUH Perdata, perjanjian kredit merupakan perjanjian
pinjam meminjam yang mempunyai sifat riil, yaitu terjadinya perjanjian kredit
ditentukan oleh penyerahan uang oleh bank kepada nasabah. Ketentuan dalam
Pasal 1754 KUH Perdata tentang perjanjian pinjam mengganti mempunyai
pengertian yang identik dengan perjanjian kredit bank, yaitu :
Perjanjian pinjam mengganti adalah persetujuan dengan mana pihak yang
satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang
barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang
belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama.
Ketentuan dalam Pasal 1754 KUH Perdata adalah sebagai persetujuan
yang bersifat riil. Karena ketentuan dalam Pasal 1754 KUH Perdata tidak
disebutkan bahwa pihak pertama mengikatkan diri untuk memberikan suatu
39
Ibid. 40
Gatot Supramono, 2009, Perbankan dan Masalah Kredit : Suatu
tinjauan Yuridis, Rineka Cipta, Jakarta , h. 173. 41
Adrian Sutedi, 2010, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta,
h.21.
44
jumlah tertentu barang-barang yang menghabis, melainkan pihak pertama
memberikan suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena
pemakaian.
Sementara itu terkait dengan jaminan dalam lembaga perbankan, Mariam
Darus Badrulzaman memberi definisi jaminan “adalah suatu tanggungan yang
diberikan oleh seorang Debitor dan atau pihak ketiga kepada Kreditor untuk
menjamin kewajibannya dalam suatu perikatan”.42
Sedangkan Thomas Suyatno,
menyatakan jaminan adalah penyerahan kekayaan atau pernyataan kesanggupan
seseorang untuk menanggung pembayaran kembali suatu utang.43
J. Satrio
berpendapat bahwa hukum jaminan adalah peraturan hukum yang mengatur
tentang jaminan-jaminan piutang seorang Kreditor terhadap seorang Debitor.44
Dari beberapa pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
jaminan kredit adalah pernyataan kesanggupan seseorang untuk menanggung
utang Debitor sebagaimana tercantum dalam perutangan pokok. Dalam praktek
perbankan, jaminan kredit atau kredit garansi disebut dengan istilah jaminan
perseorangan/orang, yaitu perjanjian antara Kreditor dan penanggung, dimana
seorang mengikatkan diri sebagai penanggung untuk memenuhi utang Debitor,
baik karena ditunjuk oleh Kreditor (tanpa sepengetahuan atau persetujuan
42Mariam Darus Badrulzaman, 2005, Aneka Hukum Bisnis, Cet. II,
Alumni Bandung (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman II), h. 12.
43
Thomas Suyatno, 1989, Dasar-Dasar Perkreditan, Gramedia, Jakarta,
h. 70. 44
J. Satrio, 1991, Hukum Jaminan. Hak-hak Jaminan Kebendaan, Citra
Aditya Bakti, Bandung, h. 3.
45
Debitor) maupun yang diajukan oleh Debitor atas perintah dari Kreditor. Adapun
unsur-unsur dari jaminan kredit adalah :
1. Adanya kaidah hukum. Kaidah hukum dalam bidang jaminan dapat dibedakan
menjadi 2 macam, yaitu kaidah hukum tertulis dan kaidah hukum tidak
tertulis. Kaidah hukum jaminan tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi.
Sedangkan kaidah hukum jaminan hukum tidak tertulis adalah kaidah-kaidah
hukum jaminan yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakat. Hal
ini terlihat pada gadai tanah dalam masyarakat yang dilakukan secara lisan.
2. Adanya pemberi dan penerima jaminan. Pemberi jaminan adalah orang-orang
atau badan hukum yang menyerahkan barang jaminan kepada penerima
jaminan. Adapun yang bertindak sebagai pemberi jaminan adalah orang atau
badan hukum yang memberikan fasilitas kredit. Penerima jaminan adalah
orang atau badan hukum yang menerima barang jaminan dari pemberi
jaminan. Adapun yang bertindak sebagai penerima jaminaan ini adalah orang
atau badan hukum.
3. Adanya jaminan. Pada dasarnya, jaminan yang diserahkan kepada Kreditor
adalah jaminan material dan immaterial. Jaminan material merupakan jaminan
yang berupa hak kebendaan, seperti jaminan atas benda bergerak dan benda
tidak bergerak. Jaminan immaterial merupakan jaminan non kebendaan.
46
4. Adanya fasilitas pembebanan jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan
bertujuan untuk mendapatkan fasilitas kredit dari bank atau lembaga keuangan
lainnya. 45
Adrian Sutedi secara umum membedakan jaminan menjadi dua, yaitu
jaminan yang lahir dari undang-undang (jaminan umum) dan jaminan yang lahir
karena perjanjian.46
Jaminan umum adalah jaminan yang adanya telah ditentukan
undang-undang, misalnya undang-undang yang diatur dalam Pasal 1311 KUH
Perdata dan 1232 KUH Perdata. Pasal 1311 KUH Perdata pada intinya
menyatakan bahwa segala kekayaan Debitor, baik berupa benda bergerak dan
tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun akan ada di kemudian hari walaupun
tidak diserahkan sebagai jaminan, secara hukum menjadi jaminan seluruh utang
Debitor. Sementara itu jaminan khusus adalah jaminan yang timbul karena adanya
perjanjian. Secara yuridis perjanjian khusus timbul karena adanya suatu perjanjian
antara Bank dan pemilik jaminan atau antara Bank dan pihak ketiga yang
menanggung utang Debitor.47
Jaminan khusus terdiri dari jaminan yang bersifat perorangan dan jaminan
yang bersifat kebendaan. Jaminan perorangan tidak memberikan hak mendahului
di atas benda-benda tertentu tetapi hanya dijamin oleh harta kekayaan seorang
lewat orang yang menjamin pemenuhan yang bersangkutan. Sedangkan jaminan
45
Salim, H.S, 2007, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Raja
Grafindo Persada, Jakarta (selanjutnya disebut Salim H.S II), h. 7. 46
Adrian Sutedi, op.cit., h.28. 47
Adrian Sutedi, op.cit., h.27.
47
kebendaan memberikan hak mendahului atas benda-benda tertentu dan
mempunyai sifat melekat serta mengikuti benda yang bersangkutan.48
Proses pembuatan perjanjian menurut Ros Mcdonald dan Denise Mcgill
”Just as Drafting is the process of converting the underlying intention of the
party or parties in to a written document, construction is the process of deriving
the true intention of the parties or parties from that document. 49
(Pembuatan
kontrak adalah proses konversi dari niat yang mendasari para pihak ke dalam
suatu dokumen tertulis, konstruksi (perjanjian ) adalah proses penuangan maksud
yang sesungguhnya dari para pihak sebagaimana yang tercantum dalam dokumen
tersebut). Terkait dengan suatu perjanjian kebendaan, maka hal itu terdiri
perjanjian pokok dan perjanjian accesoir. Perjanjian pokok merupakan perjanjian
untuk mendapatkan fasilitas kredit dari lembaga perbankan atau lembaga
keuangan non bank. Perjanjian pokok adalah perjanjian yang harus memiliki dasar
yang mendasari untuk keberadaannya. Contoh perjanjian pokok adalah perjanjian
kredit bank. Sedangkan perjanjian accesoir adalah perjanjian yang bersifat
tambahan dan dikaitkan dengan perjanjian pokok. Contoh perjanjian accesoir
adalah perjanjian pembebanan jaminan, seperti perjanjian gadai, hak tanggungan
dan fidusia.50
Perjanjian pembebanan jaminan dapat dilakukan secara lisan maupun
tertulis. Perjanjian pembebanan jaminan lisan biasanya dilakukan di pedesaan,
dimana masyarakat yang satu membutuhkan pinjaman uang dari masyarakat yang
48
Salim, H.S, op.cit., h. 23. 49
Ros Macdonald & Denise McGill, 2008, Drafting, Second Edition,
LexisNexis, Butterworths, Australia, p. 3. 50
Salim, H.S, op.cit, h.30.
48
ekonominya lebih tinggi. Biasanya pinjaman tersebut dilakukan secara lisan.
Sedangkan perjanjian dalam bentuk tertulis, biasanya dilakukan dalam dunia
perbankan, lembaga keuangan non bank maupun lembaga pegadaian. Perjanjian
pembebanan ini dapat dilakukan dalam bentuk akta di bawah tangan dan atau akta
otentik. Perjanjian pembebanan jaminan dengan akta di bawah tangan biasanya
dilakukan di pegadaian. Sedangkan perjanjian pembebanan jaminan dengan akta
otentik dilakukan di muka dan di hadapan pejabat yang berwenang, seperti
Notaris/PPAT. Biasanya perjanjian pembebanan dengan menggunakan akta
otentik tersebut dapat dilakukan pembebanan jaminan atas hak tanggungan.51
2.1.2 Fungsi jaminan Dalam Kredit Perbankan
Dalam UU Perbankan, tidak dinyatakan secara tegas keharusan adanya
jaminan untuk memperoleh kredit. Karena itu bank mungkin saja memberikan
kredit tanpa mensyaratkan penyerahan jaminan. Namun pada umumnya bank
tetap mensyaratkan calon Debitor menyerahkan jaminan kredit terkait dengan
fungsi jaminan kredit. Menurut Hermansyah ”fungsi utama dari jaminan adalah
untuk meyakinkan bank atau Kreditor bahwa Debitor mempunyai kemampuan
untuk melunasi kredit yang diberikan kepadanya sesuai dengan perjanjian kredit
yang telah disepakati bersama.”52
Sekalipun memiliki fungsi pokok tertentu, namun uraian yang lebih luas
mengenai fungsi jaminan kredit dikemukakan oleh M. Bahsan yang menyebutkan
beberapa fungsi kredit perbankan, yaitu:
51
Salim H.S, op.cit, h. 31. 52 Hermansyah, op.cit., h. 74.
49
1. Jaminan Kredit sebagai Pengaman Pelunasan Kredit.
2. Jaminan Kredit sebagai Pendorong Motivasi Debitor
3. Fungsi yang Terkait Pelaksanaan Ketentuan Perbankan.53
Jaminan kredit sebagai pengaman pelunasan kredit diperlukan karena bank
sebagai badan usaha yang memberikan kredit kepada Debitor wajib melakukan
pengamanan agar Debitor tersebut dapat melunasi kredit yang telah diberikan.
Apabila Debitor tidak dapat mengembalikan kredit yang telah diberikan oleh bank
akan menjadi kerugian yang yang harus ditanggung oleh bank yang bersangkutan.
Semakin besar jumlah kredit yang tidak dapat dikembalikan oleh Debitor semakin
besar pula pengaruhnya terhadap kesehatan bank tersebut. Dalam hal ini maka
jaminan kredit berperan sebagai pengaman bagi kredit yang disalurkan perbankan
untuk memenuhi ketentuan mengenai prinsip kehati-hatian. Lebih lanjut M.
Bahsan mengatakan bahwa :
Secara umum pengamanan kredit bank dapat dilakukan melalui tahap
analisis kredit dan melalui penerapan ketentuan hukum yang berlaku. Khusus
mengenai jaminan kredit untuk pengamanannya dapat ditemukan, baik pada
tahap analisis kredit maupun penerapan ketentuan hukum.54
Penggunaan jaminan sebagai pengaman kredit yang diberikan oleh bank
juga dapat dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata berbunyi “ Segala
kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak baik yang
sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari menjadi tanggungan
untuk segala perikatan perseorangan”. Fungsi jaminan sebagai pengaman
pelunasan kredit baru akan muncul pada saat kredit tersebut macet. Dengan
53
M. Bahsan, 2007, Hukum Jaminan Dan Jaminan Kredit Perbankan
Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, h. 103. 54
Ibid.
50
adanya jaminan kredit yang dikuasai dan diikat bank sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku pelaksanaan fungsi tersebut akan terlaksana pada saat
Debitor ingkar janji.55
Sehubungan dengan fungsi jaminan sebagai sarana pengaman kredit yang
diberikan oleh bank, maka menurut R. Subekti jaminan yang baik adalah :
a. Yang dapat secara mudah membantu perolehan kredit oleh pihak yang
memerlukannya.
b. Yang tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit untuk
melakukan (meneruskan) usahanya.
c. Yang memberikan kepastian kepada si pemberi kredit, dalam arti bahwa
barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, yaitu bila perlu
dapat dengan mudah diuangkan untuk melunasi utangnya si penerima
(pengambil) kredit.56
Sementara itu terkait dengan jaminan kredit sebagai pendorong motivasi Debitor
adalah ketakutan Debitor akan kehilangan benda yang dijaminkan dalam
memperoleh kredit. Rasa takut ini akan mendorong Debitor melunasi kreditnya
kepada bank agar benda yang dijadikan jaminan harus dicairkan oleh bank
tersebut.
Rasa takut Debitor akan kehilangan benda yang dijaminkan pada pihak
bank dapat dimengerti apabila disimak pendapat M. Bahsan bahwa nilai jaminan
yang diserahkan Debitor kepada pihak bank lebih besar dibandingkan dengan nilai
kredit yang diberikan pihak bank. Hal ini memberi motivasi kepada Debitor untuk
55
M. Bahsan, op.cit., h. 104. 56 R. Subekti, 1996, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit (Termasuk
Hak Tanggungan) Menurut Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,
h. 21.
51
menggunakan kredit sebaik-baiknya, melakukan kegiatan usaha dengan baik,
mengelola kondisi keuangan secara hati-hati sehingga dapat melunasi utangnya.57
Kemudian terkait fungsi jaminan terkait pelaksanaan ketentuan perbankan
yang dimaksud adalah Peraturan Bank Indonesia No.7/2/PBI/2005 serta
perubahannya dengan PBI No. 8/2/PBI/2006 dan PBI No. 9/6/PBI/2007 yang
mengatur tentang nilai agunan sebagai faktor pengurang dalam perhitungan PPA
(penyisihan penghapusan aktiva) sebagaimana tercantum dalam keterkaitan
dengan berbagai Peraturan Bank Indonesia tersebut merupakan pendukung
keharusan penilaian jaminan kredit secara lengkap sehingga merupakan jaminan
layak dan berharga. Selain tiga fungsi jaminan kredit perbankan yang
dikemukakan oleh M.Bahsan di atas, ada pula tiga fungsi jaminan kredit menurut
Thomas Syatno, yaitu :
1. Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan
pelunasan dari hasil penjualan barang-barang jaminan tersebut, apabila
nasabah Debitor melakukan cidera janji, yaitu tidak membayar kembali
utangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian.
2. Menjamin agar nasabah Debitor berperan serta di dalam transaksi untuk
membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan
usaha atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau
perusahaannya, dapat dicegah atau sekurang-kurangnya kemungkinan
untuk dapat berbuat demikian diperkecil terjadinya.
3. Memberi dorongan kepada nasabah Debitor untuk memenuhi perjanjian
kredit. Khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat-
syarat yang telah disetujui agar ia tidak kehilangan kekayaan yang telah
dijaminkan kepada bank.58
Tiga fungsi jaminan kredit yang masing-masing dikemukakan oleh M. Bahsan
dan Thomas Suyatno pada hakekatnya mengandung dua makna yang sama, yaitu
57
M. Bahsan, op.cit., h. 105. 58
Thomas Suyatno et.al., 1991, Dasar-Dasar Perkreditan, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, h. 84.
52
fungsi kredit sebagai pengaman pelunasan kredit dan pemberi motivasi kepada
Debitor untuk melunasi kredit yang telah dikucurkan pihak Bank.
2.1.3 Pengikatan Jaminan Kredit Perbankan
Dalam hukum jaminan perbankan Indonesia ada beberapa pengikatan
jaminan kredit yang berlaku dalam sistem hukum perbankan di Indonesia, yaitu :
1. Jaminan Fidusia
Dasar hukum Fidusia adalah UU Fidusia. Pengertian Fidusia terdapat
dalam Pasal 1 angka 1 UU Fidusia, yaitu “Fidusia adalah pengalihan hak
kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan benda yang
hak kepemilikanya tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda”.
2. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT)
Dasar hukum SKMHT adalah UUHT. Dalam Pasal 24 ayat (3) UUHT
disebutkan :
Surat Kuasa membebankan hipotek yang ada pada saat diundangkannya
Undang-undang ini dapat digunakan sebagai Surat Kuasa Membebankan
Hak Tanggungan dalam waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak saat
berlakunya Undang-Undang ini, dengan mengingat ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5).
Menurut penjelasan umum UUHT, dalam memberikan hak tanggungan,
pemberi hak tanggungan wajib hadir dihadapan PPAT. Jika karena sesuatu sebab
tidak dapat hadir sendiri, ia wajib menunjuk pihak lain sebagai kuasanya melalui
SKMHT yang berbentuk akta otentik. Pembuatan SKMHT ditugaskan kepada
Notaris, dan PPAT. Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (5) UUHT dinyatakan bahwa
sebagai konsekuensi dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
pembebanan Hak tanggungan atas agunan, tanaman dan hasil karya yang
53
merupakan satu kesatuan dengan tanah yang pemiliknya lain daripada pemegang
hak atas tanah, wajib dilakukan bersamaan dengan pemberian hak tanggungan
atas tanah yang bersangkutan dan dinyatakan di dalam satu APHT yang ditanda
tangani bersama oleh pemiliknya dan pemegang hak atas tanahnya atau kuasa
mereka, keduanya sebagai pemberi tanggungan. Dalam penjelasan Pasal 24 ayat
(3) UUHT dijelaskan bahwa termasuk dalam pengertian surat kuasa
membebankan hipotik yang dimaksud pada ayat ini adalah surat kuasa untuk
menjaminkan tanah. Pada saat pembuatan APHT dan SKMHT harus sudah ada
keyakinan pada Notaris/PPAT yang bersangkutan bahwa pemberi hak tanggungan
mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak
tanggungan yang dibebankan, walaupun kepastian mengenai dimilikinya
kewenangan tersebut baru dipersyaratkan pada waktu pemberian hak tanggungan
itu didaftarkan. Pasal 15 ayat (1) UUHT juga menentukan persyaratan SKMHT,
yaitu:
1. Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain dari pada
membebankan hak tanggungan.
2. Tidak memuat kuasa substitusi.
3. Mencantumkan secara jelas obyek hak tanggungan, jumlah utang dan nama
serta identitas Kreditornya, nama dan identitas Debitor apabila Debitor bukan
pemberi hak tanggungan.
Dalam penjelasan Pasal 15 ayat (1) UUHT yang dimaksud dengan tidak
memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain dalam ketentuan ini,
misalnya tidak memuat kuasa untuk menjual, menyewakan obyek hak
54
tanggungan, atau memperpanjang hak atas tanah. Dalam penjelasan huruf b atas
Pasal 15 ayat (1) UUHT dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pengertian
substitusi menurut undang-undang ini adalah penggantian penerima kuasa melalui
pengalihan bukan merupakan substitusi jika penerima kuasa memberikan kuasa
kepada pihak lain dalam rangka penugasan untuk bertindak mewakilinya,
misalnya Direksi Bank menugaskan pelaksanaan kuasa yang diterimanya kepada
Kepala Cabangnya atau pihak lain. Kemudian dalam penjelasan huruf c atas Pasal
15 ayat (1) menyebutkan bahwa kejelasan mengenai unsur-unsur pokok dalam
pembebanan hak tanggungan sangat diperlukan untuk kepentingan perlindungan
pemberi hak tanggungan. Jumlah utang yang dimaksud pada huruf b adalah
jumlah utang sesuai dengan yang diperjanjikan sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1).
Subyek SKMHT adalah Debitor selaku pemberi kuasa dan Kreditor selaku
penerima Kuasa SKMHT. Obyek SKMHT adalah sama dengan Obyek hak
tanggungan yang dapat diikat sebagai jaminan hutang meliputi hak atas tanah
dengan Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai atas tanah
Negara yang diberikan kepada perorangan dan Badan Hukum Perdata yang
tanahnya dapat dijual termasuk tanah Hak Pakai di atas Tanah Hak Milik yang
bukti kepemilikannya berupa petuk pajak atau girik dan bukti lainnya yang sejenis
dapat digunakan sebagai jaminan kredit. Obyek SKMHT dapat juga berupa hak
atas tanah yang sudah terdaftar (mempunyai sertipikat) atau hak atas tanah yang
belum didaftar (belum bersertipikat).
55
SKMHT untuk tanah dengan bukti girik ini berlaku sejak SKMHT
ditandatangani dan pembuatan APHT dilakukan bersamaan dengan proses
permohonan Sertipikat Hak Atas tanah tersebut. Terkait dengan pendaftaran
APHT, penjelasan umum UUHT angka 7 menguraikan bahwa dalam rangka
memperoleh kepastian hukum mengenai kedudukan yang diutamakan bagi
Kreditor pemegang hak tanggungan beserta surat-surat lain yang diperlukan
pendaftarannya, wajib dikirimkan oleh PPAT kepada Kantor Pertanahan
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganannya”.
Demikian pula pelaksanaan kuasa membebankan Hak Tanggungan yang
dimaksudkan di atas ditetapkan batas waktunya, yaitu 1 (satu) bulan untuk hak
atas tanah yang sudah terdaftar dan 3 (tiga) bulan untuk hak atas tanah yang
belum terdaftar. Berakhirnya SKMHT tersebut dalam keadaan tertentu dapat
dikecualikan dengan tidak perlu mentaati jangka waktu berlakunya surat kuasa
(Pasal 15 ayat (5) UUHT), yaitu dalam hal untuk menjamin kredit-kredit tertentu,
misalnya KUT, KPR (PMA/KBPN Nomor 4 Tahun 1996 tentang penjelasan
Batas Waktu Penggunaan SKMHT untuk menjamin Pelunasan Kredit-Kredit
tertentu), yaitu sampai dengan berakhirnya masa berlakunya perjanjian pokok.
SKMHT merupakan kuasa yang tidak dapat ditarik kembali karena sebab
apapun kecuali telah dilaksanakan pembuatan APHT sebagimana ketentuan Pasal
15 ayat (2) UUHT, sesuai dengan tanggal yang ditentukan dalam SKMHT
tersebut. SKMHT mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti
dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan
sebagaimana ketentuan Pasal 15 ayat (3) UUHT. SKMHT mengenai hak atas
56
tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat-
lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan sebagaimana ketentuan Pasal 15 ayat
(4) UUHT). Namun ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4) tidak
berlaku dalam hal SKMHT diberikan untuk menjamin kredit tertentu yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana
ketentuan Pasal 15 ayat (5) UUHT. SKMHT yang tidak diikuti dengan pembuatan
APHT dalam waktu yang ditentukan sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 15
ayat (3) atau ayat (4) UUHT atau waktu yang ditentukan menurut ketentuan
sebagaimana dimaksud pada Pasal 15 ayat (5) UUHT batal demi hukum.
Dalam penjelasan Pasal 15 ayat (4) diuraikan bahwa tanah yang belum
terdaftar adalah tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) batas waktu
penggunaan SKMHT mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar ditentukan
lebih lama daripada tanah yang sudah didaftar pada ayat (3), mengingat
pembuatan APHT pada hak atas tanah yang belum terdaftar harus dilakukan
bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 ayat (3), yang terlebih dahulu perlu
dilengkapi persyaratannya. Pasal 15 ayat (5) UUHT menyatakan bahwa dalam
rangka pelaksanaan pembangunan dan mengingat kepentingan golongan ekonomi
lemah, untuk pemberian kredit tertentu yang ditetapkan Pemerintah seperti kredit
program, kredit kecil, kredit pemilikan rumah, dan kredit lain yang sejenis, batas
waktu berlakunya SKMHT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)
tidak berlaku. Penentuan batas waktu berlakunya SKMHT untuk jenis kredit
tertentu tersebut dilakukan oleh Menteri yang berwenang di bidang pertanahan
57
setelah mengadakan koordinasi dan konsultasi dengan Menteri Keuangan,
Gubernur Bank Indonesia, dan pejabat lain yang terkait. Selanjutnya Pasal 15 ayat
(6) UUHT menyatakan “Ketentuan mengenai batas waktu berlakunya Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan dimaksudkan untuk mencegah berlarut-larutnya
waktu pelaksanaan kuasa itu”. Sehubungan dengan berakhirnya kuasa
membebankan hak tangungan yang akan dikaitkan dengan obyek hak tanggungan
yang ada, yaitu dilihat apakah yang dijadikan obyek hak tanggungan hak atas
tanah yang sudah terdaftar (mempunyai sertipikat) atau hak atas tanah yang belum
didaftar (belum bersertipikat), hal ini sesuai dengan Pasal 15 ayat (3) dan (4)
UUHT. Pasal 15 ayat (3) UUHT menentukan “Surat Kuasa Membebankan Hak
Tanggungan mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan
pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan
sesudah diberikan.” Selanjutnya ayat (4) menentukan “Surat Kuasa Membebankan
Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang belum didaftar wajib diikuti
dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 3 (tiga)
bulan sesudah diberikan.” Berakhirnya SKMHT tersebut dalam keadaan tertentu
dapat dikecualikan dengan tidak perlu mentaati jangka waktu berlakunya surat
kuasa sebagaimana ditentukan oleh Pasal 15 ayat (5) UUHT. Keadaan tertentu
tersebut adalah dalam hal untuk menjamin kredit-kredit tertentu, misalnya Kredit
Prognas, Kredit kecil (KPR) dan kredit lainnya yang sejenis sebagaimana
disebutkan dalam Peraturan Menteri Agraria /Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 4 Tahun 1996 tentang penjelasan Batas Waktu Penggunaan SKMHT
untuk menjamin Pelunasan Kredit-Kredit tertentu. Dengan demikian untuk hal-hal
58
tertentu jangka waktu SKMHT yaitu sampai dengan berakhirnya masa berlakunya
perjanjian pokok.
3. Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).
APHT mengatur persyaratan dan ketentuan mengenai pemberian hak
tanggungan dari Debitor kepada Kreditor sehubungan dengan hutang yang
dijaminkan dengan hak tanggungan. Pemberian hak ini dimaksudkan untuk
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditor yang bersangkutan
(Kreditor preferent) daripada Kreditor-Kreditor lain sebagaimana diatur pada
ketentuan Pasal 1 angka 1 UUHT. Pemberian hak tanggungan dalam hal ini
merupakan jaminan pelunasan hutang Debitor kepada Kreditor sehubungan
dengan perjanjian pinjaman/kredit yang bersangkutan.
Tanah sebagai obyek hak tanggungan dapat meliputi benda-benda lain
yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. Hal itu dimungkinkan karena
sifatnya secara fisik menjadi satu kesatuan dengan tanahnya, baik yang sudah ada
maupun yang akan ada, yang berupa bangunan permanen, tanaman keras dan hasil
karya, dengan ketentuan bahwa benda-benda tersebut milik pemegang hak
maupun milik pihak lain. Apabila benda-benda itu milik pihak lain, yang
bersangkutan/pemilik harus ikut menandatangani APHT. Pemberian hak
tanggungan wajib memenuhi syarat yang ditetapkan dalam UUHT, yaitu:
1. Pemberian hak tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan hak
tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu yang dituangkan di
dalam dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian kredit
yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.
59
2. Pemberian hak tanggungan wajib memenuhi syarat spesialitas yang meliputi:
nama dan identitas pemegang dan pemberi hak tanggungan, domisili para
pihak, pemegang dan pemberi hak tanggungan, penunjukan secara jelas utang
atau utang-utang yang dijaminkan pelunasannya dengan hak tanggungan, nilai
tanggungan, dan uraian yang jelas mengenai obyek hak tanggungan.
3. Pemberian hak tanggungan wajib memenuhi persyaratan publisitas melalui
pendaftaran hak tanggungan pada Kantor Pertanahan setempat (Kota/
Kabupaten).
4. Sertipikat hak tanggungan sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan
memuat titel eksekutorial dengan kata-kata "Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa".
5. Batal demi hukum, jika diperjanjikan bahwa pemegang hak tanggungan akan
memiliki obyek hak tanggungan apabila Debitor cidera janji (wanprestasi).
Tata cara pembebanan hak tanggungan dimulai dengan tahap pemberian
hak tanggungan di hadapan PPAT yang berwenang dan dibuktikan dengan APHT
dan diakhiri dengan tahap pendaftaran hak tanggungan di Kantor Pertanahan
setempat. Pemberi hak tanggungan (Debitor atau pihak lain) wajib hadir sendiri di
kantor PPAT yang berwenang membuat APHT berdasarkan daerah kerjanya.
Dalam Pasal 11 ayat (1) UUHT disebutkan hal-hal yang wajib dicantumkan dalam
APHT. Selanjutnya ayat (2) memuat mengenai jumlah pinjaman, penunjukan
obyek hak tanggungan, dan hal-hal yang diperjanjikan oleh Kreditor dan Debitor
termasuk janji Roya Partial dan janji penjualan obyek hak tanggungan di bawah
tangan sebagaimana ketentuan Pasal 20 UUHT. Untuk kepentingan Kreditor,
60
dikeluarkan kepadanya tanda bukti adanya hak tanggungan, yaitu Sertipikat hak
tanggungan yang terdiri dari salinan Buku Tanah Hak Tanggungan dan salinan
APHT. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa APHT adalah
akta yang memuat tentang nomor sertipikat, tanggal penerbitan sertipikat, luas
tanah, lokasi tanah dan benda-benda yang ada di atas tanah tersebut serta besarnya
beban hutang yang diletakkan/dipertanggungjawabkan di atas tanah tersebut dan
APHT harus didaftarkan di Kantor Pertanahan Setempat.
2.2 Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan
2.2.1 Pengertian Hak Tanggungan
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, pengertian hak tanggungan
secara jelas terdapat dalam dalam Pasal 1 angka 1 UUHT, yaitu :
Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-
benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan
utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
Kreditor tertentu, terhadap Kreditor-Kreditor lain.
Menurut J. Satrio, rumusan pengertian hak tanggungan menurut UUHT di
atas bukan merupakan rumusan umum, tetapi hanya tentang Hak Tanggungan atas
tanah dan benda-benda terkait dengan tanah saja. Dalam pandangan J. Satrio,
terdapat beberapa unsur penting dari hak tanggungan, yaitu hak jaminan yang
dibebankan atas tanah, berikut atau tidak berikut dengan benda-benda lain yang
merupakan satu-kesatuan dengan tanah, untuk pelunasan hutang tertentu dan
61
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditor tertentu terhadap
Kreditor yang lain.59
Pengertian hak tanggungan tidak hanya bisa diperoleh dalam UUHT. Ada
beberapa sarjana lain juga mempunyai pemikiran mengenai hak tanggunga.
Seperti C.S.T Kansil dan Christine. S.T Kansil yang berpendapat :
Hak Tanggungan adalah jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu
yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditor tertentu
terhadap Kreditor-Kreditor lain. Dalam arti jika Debitor cidera janji, Kreditor
pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah
yang dijadikan jaminan menurut perturan perundang-undangan yang
bersangkutan, dengan hak mendahului dari pada Kreditor-Kreditor yang
lain.60
2.2.2 Subyek dan Obyek Hak Tanggungan
Subyek hak tanggungan dapat dilihat pada ketentuan Pasal 8 dan Pasal 9
UUHT. Menurut Pasal 8 ayat (1) ”Pemberi Hak Tanggungan adalah orang
perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan
perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan.”
Selanjutnya ayat (2) berbunyi : “Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum
terhadap obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ada
pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan
dilakukan.” Dalam Pasal 9 UUHT menyebutkan “Pemegang Hak Tanggungan
adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak
yang berpiutang.” Dengan demikian menurut UUHT, subyek hak tanggungan
adalah pemberi dan pemegang hak tanggungan. Dengan kata lain subyek hak
59
J. Satrio, op.cit, hal. 65. 60
C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, 1997, Pokok-Pokok Hak
Tanggungan dan Tanah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 7.
62
tanggungan adalah pihak-pihak yang berkepentingan dengan adanya suatu
perjanjian utang-piutang yang dijamin pelunasannya, yaitu pemberi dan pemegang
hak tanggungan.
Sementara itu obyek hak tanggungan sebagaimana ketentuan Pasal 4 ayat
(1) UUHT adalah hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan adalah Hak
Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah Negara
yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftarkan dan menurut sifatnya
dapat dipindahtangankan. Hak-hak atas tanah berikut, bangunan, tanaman dan
hasil karya yang telah atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah
tersebut akan merupakan milik pemegang hak atas tanah. Dalam hal ini
pembebanannya harus dengan tegas dinyatakan di dalam APHT yang
bersangkutan.61
Terkait dengan Hak Pakai, tidak semua Tanah Hak Pakai Atas Tanah
Negara dapat dijadikan obyek hak tanggungan karena ada Hak Pakai Atas Tanah
Negara yang walapun didaftarkan tidak bisa dipindahtangankan seperti Hak Pakai
atas nama pemerintah, Hak Pakai atas nama badan keagamaan dan sosial serta
Hak Pakai atas Nama Perwakilan Negara Asing. Pada prinsipnya obyek hak
tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang memenuhi dua persyaratan, yaitu
wajib didaftarkan (untuk memenuhi syarat publisitas) dan dapat
dipindahtangankan untuk memudahkan pelaksanaan pembayaran utang yang
dijamin pelunasannya.62
61
Adrian Sutedi, op.cit, h. 50. 62
Adrian Sutedi, op.cit, h. 52.
63
Terkait dengan Hak Pakai, hak tersebut tidak ditunjuk sebagai obyek hak
tanggungan dalam UUPA karena pada saat itu tidak termasuk hak-hak atas tanah
yang wajib didaftar dan karenanya tidak memenuhi asas publisitas untuk dapat
dijadikan jaminan utang. Dalam perkembangannya Hak Pakai pun harus
didaftarkan, yaitu Hak Pakai yang diberikan atas tanah Negara sebebagaimana
dijelaskan dalam penjelasan umum angka 5 UUHT. Hak Pakai yang terjadi di
atas Tanah Hak Milik saat ini belum diatur, tetapi terbuka kesempatannya untuk
dijadikan obyek hak tanggungan apabila telah memenuhi dua syarat, yaitu wajib
didaftarkan dan dapat dipindahtangankan untuk mempermudah pelaksanaan
pembayaran utang yang dijamin pelunasannya syarat. Pasal 4 ayat (3) UUHT
menegaskan terhadap hal tersebut akan diatur dalam peraturan pemerintah.
2.2.3 Pemberian Hak Tanggungan
Pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan APHT oleh
PPAT sebagaimana rumusan Pasal 10 dan Pasal 15 UUHT. Pemberi hak
tanggungan sesuai ketentuan Pasal 8 ayat (1) UUHT adalah orang perorangan atau
badan hukum yang mempunyai kewenangan melakukan perbuatan hukum atas
obyek hak tanggungan yang bersangkutan. Kewenangan untuk melakukan
perbuatan hukum harus ada pada pemberi hak tanggungan sebagaimana ketentuan
Pasal 8 ayat (2) UUHT. Sebagai suatu bentuk perjanjian, pemberian hak
tanggungan harus memenuhi persyaratan subjektif dan obyektif sebagaimana
syarat sahnya suatu perjanjian sesuai ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata.
64
Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja syarat subjektif pemberian
hak tanggungan adalah :
1. Adanya Kesepakatan untuk memberikan hak tanggungan.
2. Kecakapan untuk memberikan hak tanggungan63
Hak tanggungan baru akan lahir manakala telah dibuat APHT di hadapan
PPAT.64
Dengan demikian hak tanggungan tidak akan lahir dengan disepakatinya
pemberian hak tanggungan secara lisan oleh pemilik kebendaaan yang akan
dijaminkan dengan hak tanggungan tersebut. Pemberian hak tanggungan baru
akan mengikat pihak ketiga, manakala pemberian hak tanggungan tersebut
didaftarkan dan diumumkan. Perjanjian pemberian hak tanggungan sebagai suatu
perjanjian formal mensyaratkan dibuatnya APHT di hadapan PPAT.
Terkait dengan kecakapan membuat perjanjian, dapat dilihat dalam Pasal 8
dan Pasal 9 UUHT. Rumusan Pasal 8 dan Pasal 9 UUHT tersebut menurut Kartini
Muljadi dan Gunawan Widjaja membicarakan mengenai dua hal, yaitu:
1. Mengenai kapasitas dari subyek hukum yang membuat perjanjian
pemberian Hak Tanggungan.
2. Mengenai keterkaitan hubungan obyektif antara subyek hukum yang
membuat perjanjian pemberian Hak Tanggungan dengan hak atas tanah
yang merupakan obyek perjanjian Hak Tangungan.
Sementara itu, syarat obyektif perjanjian Hak Tanggungan adalah
menyangkut :
1. Tentang hal tertentu
2. Tentang sebab yang halal dalam pemberian Hak Tanggungan.65
Dalam perjanjian pemberian hak tanggungan eksistensi dari kebendaan
yang telah ditentukan terlebih dulu juga merupakan hal yang sangat penting. Pasal
63
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2008, Hak Tanggungan, Cet III,
Prenada Media Group, Jakarta, h. 20 dan 52. 64
Ibid, h. 26. 65
Ibid., h. 120 dan h. 133.
65
11 ayat (1) huruf e menentukan dalam APHT wajib dicantumkan mengenai uraian
yang jelas mengenai obyek hak tanggungan. Selain itu rumusan Pasal 11 ayat (1)
UUHT huruf c dan d merupakan penunjukan secara jelas utang atau utang-utang
yang dijamin dan nilai tanggungan. Adanya hal kebendaan tersebut di atas
merupakan suatu hal tertentu yang harus dipenuhi agar perjanjian pemberian hak
tanggungan mempunyai obyek tertentu.
Dalam penjelasan umum angka 8 UUHT dapat dilihat bahwa hak
tanggungan tidak akan pernah ada tanpa keberadaan utang pokok. Dengan kata
lain, perjanjian pokok merupakan sebab yang halal bagi adanya hak tanggungan.
2.2.4 Lahirnya Hak Tanggungan bagi Kreditor
Mengenai lahirnya hak tanggungan dapat dipahami dari ketentuan Pasal 13
UUHT. Menurut ketentuan Pasal 13 ayat (1) UUHT “Pemberian Hak Tanggungan
wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan”. Selanjutnya Pasal 13 ayat (2)
menetapkan “Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan
Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2),
PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan
dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan”. Pendaftaran hak
tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku-tanah
hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku-tanah hak atas tanah yang menjadi
obyek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat hak atas
tanah yang bersangkutan. Mengenai penanggalan buku tanah adalah tanggal hari
ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi
pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku-tanah yang
66
bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya, dimana dari tanggal buku
tanah tersebutlah dinyatakan sebagai lahirnya hak tanggungan.
67
BAB III
AKIBAT HUKUM TIDAK DIDAFTARKANNYA APHT TERHADAP
PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN YANG DIBUAT DI
HADAPAN NOTARIS
3.1. Perjanjian Kredit Perbankan Yang Dibuat Dihadapan Notaris
Sebagaimana telah disebutkan dalam bab sebelumnya, bahwa Pengertian
Kredit dan Jaminan Kredit terdapat dalam Pasal 1 angka 11 UU Perbankan, yaitu
sebagai ”Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.” Dalam mengucurkan kreditnya
kepada Debitor, Kreditor menerapkan suatu prosedur pemberian kredit tertentu
yang umumnya tidak jauh berbeda dari satu bank dengan bank lainnya.
Menurut Kepala Bagian Legal Bank Mayapada cabang Denpasar, Ni
Komang Purnama Dewi, prosedur pemberian kredit kepada Debitor di Bank
Mayapada dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Tahap pengisian permohonan
Pada tahap ini pemohon mengajukan permohonan untuk mendapatkan kredit
dengan mengisi formulir yang disediakan serta melengkapi seluruh
persyaratan yang telah ditentukan. Petugas bank kemudian akan melaksanakan
wawancara terhadap calon debitor perihal permohonan kredit yang diajukan.
67
68
2. Tahap peninjauan ke lokasi proyek atau jaminan
Pada tahap ini petugas Kreditor melakukan peninjauan ke lokasi jaminan yang
dijaminkan oleh calon Debitor untuk mendapatkan fasilitas kredit serta petugas
bank membuat bentuk hasil peninjauan ke lokasi jaminan.
3. Tahap analisa
Pada tahap ini panitia kredit mengadakan analisa terhadap permohonan kredit
yanhg diajukan oleh calon Debitor menyangkut Character, Capacity, Capital,
Collecteral dan Condition of Economic.
4. Tahap loan Commite
Setelah menganalisa permohonan kredit calon Debitor, maka dilanjutkan
dengan pengambilan keputusan apakah layak/tidak layak calon Debitor tersebut
mendapat fasilitas kredit, kemudian menentukan besarnya kredit yang bisa
didapat dan jangka waktu kredit serta syarat-syarat lainnya yang berkaitan
dengan fasilitas kredit yang diberikan.
5. Perhomonan pemberian kredit (SP2K)
Pihak Kreditor menyampaikan kepada pihak Debitor bahwa permohonan
pemberian kreditnya dapat terealisasi.
6. Tahap realisasi kredit
Pada tahap ini dilakukan akad/penandatanganan perjanjian kredit dan
pengikatan jaminan antara Debitor dengan Kreditor terhadap fasilitas kredit
yang diberikan.
Ni Komang Purnama Dewi menambahkan bahwa pemberian kredit untuk jumlah
dibawah Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah), maka perjanjian kredit dilakukan
69
dengan perjanjian kredit dibawah tangan. Namun apabila jumlah kredit yang
dikucurkan untuk nasabah tertentu diatas Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah),
maka perjanjian kredit dilakukan dengan akta otentik.
Menyimak penjelasan tersebut, penggunaan akta dibawah tangan atau akta
otentik dalam perjanjian kredit ditentukan oleh nilai pinjaman yang diajukan oleh
Debitor. Pilihan ini dilakukan tidak hanya mendasarkan pada kekuatan hukum
akta tersebut tetapi didasarkan pada pertimbangan biaya yang akan dikenakan
kepada Debitor dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang
perbankan memungkinkan bagi kreditur untuk menggunakan akta dibawah tangan
atau dengan akta otentik. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa kedudukan Kreditor
dalam perjanjian kredit tidak ditentukan oleh penggunaan akta otentik atau akta
dibawah tangan melainkan ditentukan oleh pendaftaran jaminan tersebut dengan
APHT.
Perjanjian kredit yang dibuat di hadapan Notaris dinamakan akta otentik
atau akta notariil. Secara spesifik, akta yang dibuat dihadapan (ten overstaan)
notaris, dalam praktek Notaris disebut Partij Akta atau Akta Para Pihak yang
berisi uraian atau keterangan pernyataan para pihak yang diberikan atau
diceritakan di hadapan Notaris. Para jihak berkeinginan agar uraian atau
keterangannya dituangkan dalam bentuk akta notaris. Sedangkan akta yang dibuat
oleh (door) notaris dalam praktek notaris disebut disebut akta relaas atau Akta
Berita Acara yang berisi uraian notaris yang dilihat dan disaksikan notaris sendiri
70
atas permintaan para pihak agar perbuatan atau tindakan para pihak yang akan
dilakukan dituangkan dalam bentuk akta notaris.66
Akta notaris wajib dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh
undang-undang, hal ini merupakan salah satu karakter akta notaris, meskipun ada
ketidaktepatan dalam Pasal 38 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014, Nomor 3, Tambahan
lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491, selanjutnya disebut UUJN)
yang telah menempatkan syarat-syarat subjektif dan syarat obyektif sebagai
bagian dari badan akta, maka kerangka notaris harus menempatkan kembali
syarat-syarat subjektif dan syarat-syarat obyektif akta notaris yang sesuai dengan
makna suatu perjanjian yang dapat dibatalkan, oleh karena itu kerangka akta
notaris harus terdiri dari:
1. Kepala atau awal akta yang memuat :
a. Judul akta.
b. Nomor akta.
c. Pukul, hari, tanggal, bulan dan tahun.
d. Nama lengkap, dan tempat kedudukan notaris dan wilayah jabatan notaris
e. Nama lengkap, tempat tanggal lahir, kewargaNegaraan, pekerjaan, jabatan,
kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka
wakili.
66
Habib Adjie, 2008, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris;
Sebagai Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung (selanjutnya disebut Habib
Adjie I), h. 55.
71
f. Keterangan mengenai kedudukan bertindak menghadap (tindakan
penghadap dapat berupa; untuk diri sendiri selaku kuasa, selaku orang tua
yang menjalankan kekuasaan orang tua untuk anaknya yang masih belum
dewasa, selaku wali, selaku pengampu, curator (kepailitan), dalam jabatan.
g. Nama lengkap, tempat tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan,
dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.
2. Badan akta yang memuat kehendak dan keinginan dari para pihak yang
berkepentingan yang diterangkan atau dinyatakan di hadapan notaris atau
keterangan-keterangan dari notaris mengenai yang disaksikannya atas
permintaan yang bersangkutan. Isi badan akta ini harus sesuai dengan adagium
bahwa satu akta otentik hanya berisi satu perbuatan hukum saja. Akta notaris
yang di dalamnya memuat lebih dari satu perbuatan hukum, seperti pengakuan
utang, dan surat kuasa untuk menjual tanah, maka akta notaris yang demikan
tidak memiliki executorial title dan tidak sah, sebagaimana Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1440 K/Pdt1996, tanggal 30
Juni 1998.67
3. Penutup atau akhir akta, yang memuat:
a. Uraian tentang pembacaan akta
b. Uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau
penerjemahan akta bila ada.
c. Nama lengkap, tempat kedudukan dan tanggal lahir, jabatan, kedudukan
dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta
67
Ali Boediarto, 2005, Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah
Agung: Hukum Acara Perdata Setengah Abad, Swa Justisia, Jakarta, hal. 157.
72
d. Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta
atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan,
pencoretan dan penggantian.
Akta notaris sebagai alat bukti akan mempunyai pembuktian yang
sempurna apabila seluruh ketentuan, prosedur dan tata cara pembuatan akta
dipenuhi. Jika ada prosedur yang tidak dipenuhi dan dapat dibuktikan maka akta
tersebut melalui proses pengadilan dapat dinyatakan sebagai akta di bawah tangan
yang pembuktiannya diserahkan kepada Hakim.
Dalam hal perjanjian kredit bank dibuat dengan akta notaris, maka bank
akan meminta notaris berpedoman kepada model perjanjian kredit bank yang
isinya telah ditentukan sendiri oleh Kreditor. Ketentuan dalam formulir tersebut
kebanyakan menguntungkan pihak bank/Kreditor dan cenderung merugikan pihak
nasabah/Debitor. Untuk dapat lebih dapat memahami menganai perjanjian kredit
dengan akta notaris, berikut ini akan dicontohkan simulasi akta perjanjian kredit
dengan fasilitas kredit yang diberikan berupa Pinjaman Rekening Koran (PRK) ,
yaitu :
PERJANJIAN KREDIT
Nomor : 01
- Pada hari ini, Senin, tanggal 02-09-2013 (dua September duaribu tigabelas),
pukul 10.00 WIB (sepuluh Waktu Indonesia Barat);
- Berhadapan dengan saya, I PUTU SANJAYA, Sarjana Hukum, Magister
Kenotariatan, Notaris berkedudukan di Denpasar, dengan wilayah jabatan
seluruh Propinsi Bali, dengan dihadiri oleh saksi-saksi yang akan disebut dan
telah dikenal oleh saya, Notaris :
1. TUAN A, lahir di Surabaya, pada tanggal 09-10-1980 (sembilan Oktober seribu
sembilanratus delapan puluh), Warga Negara Indonesia, Wiraswasta, bertempat
tinggal di Jakarta, Jalan Denpasar Nomor 43, Banjar Bum I Sari, Kelurahan
Dauh Puri Klod, Kecamatan Denpasar Barat, pemegang Kartu Tanda Penduduk
73
tertanggal 001-01-2014 (satu Januari duaribu empatbelas), dengan Nomor
Induk Kependudukan (NIK) : 354502940910800003, yang berlaku hingga
tanggal 01-01-2017 (satu Januari duaribu tujuh belas);
- Menurut keterangannya dalam hal ini bertindak dalam jabatannya selaku
Direktur Utama dari dan oleh karenanya sah mewakili Direksi dari dan
sebagai demikian untuk dan atas nama perseroan terbatas PT MORAT
MARIT, berkedudukan di Kotamadya Denpasar, Sudirman Agung Lantai 2,
Jalan Sudirman Blok C.17, yang anggaran dasarnya telah dimuat dalam akta
tertanggal 01-03-2008 (satu Maret duaribu delapan) Nomor : 02, yang dibuat
di hadapan I Nyoma Sarjana Sarjana Hukum, Magister Kenotariatan, Notaris
di Denpasar, yang telah mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum,
sebagaimana ternyata dari Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia tertanggal 04-05-2008 (empat Mei duaribu
delapan) Nomor : W8-003 HT.03-03-2008,
yang untuk melakukan tindakan hukum dalam akta ini telah mendapat
persetujuan dari seluruh pemegang saham, sebagaimana ternyata dalam Akta
Berita Acara Rapat tertanggal 31-10-2013 (tigapuluh satu Agustus duaribu
tigabelas) Nomor : 30 yang dibuat oleh saya, Notaris, yang salinan resminya
bermeterai cukup dilekatkan pada minuta akta ini, demikian guna memenuhi
ketentuan Pasal 12 anggaran dasar.
- selanjutnya disebut juga PIHAK PERTAMA - PEMINJAM.
2.Tuan Oreo, lahir di Denpasar, pada tanggal 28-07-1991 (duapuluh delapan Juli
seribu sembilan ratus sembilanpuluh satu), Warga Negara Indonesia, Swasta,
bertempat tinggal di Denpasar, Jalan Dipnegoro Nomor 43, Banjar Pekandelan,
Kelurahan Sesetan, Kecamatan Denpasar Selatan, pemegang Kartu Tanda
Penduduk tertanggal 28-07-2012 (duapuluh delapan Juli duaribu duabelas)
dengan Nomor Induk Kependudukan : 357925482807910003, yang berlaku
hingga tanggal 28-07-2017 (duapuluh delapan Juli duaribu tujuhbelas)
- Menurut keterangannya dalam hal ini bertindak dalam jabatannya selaku
Direktur Utama sah mewakili Direksi dari dan sebagai demikian untuk dan atas
nama perseroan terbatas PT BANK MAYAPADA INTERNASIOANAL,
Tbk, berkedudukan di Denpasar, Graha Dewi Sartika Lantai 4, Jalan Dewi
sartika Nomor 30, yang anggaran dasarnya telah dimuat dalam :
- Berita Negara Republik Indonesia tanggal 08-08-1995 (delapan Agustus seribu
sembilanratus sembilanpuluh lima) Nomor : 212, Tambahan Nomor : 250,
kemudian anggaran dasar mana diubah dengan akta-akta :
- tertanggal 07-07-2008 (tujuh Juli duaribu delapan) Nomor : 07, dibuat dihadapan
I Made Ramping, Sarjana Hukum, Notaris di Jakarta, yang laporannya telah
diterima dan dicatat dalam Database Sisminbakum Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia tertanggal 10-08-2008 (sepuluh Agustus
duaribu delapan) Nomor : AHU-AH.01.08.250781;
dan untuk melakukan tindakan hukum dalam akta ini, Direksi telah
mendapatkan persetujuan dari Dewan Komisaris Perseroan, sebagaimana
ternyata dari akta tertanggal 03-11-2013 (tiga November duaribu tigabelas)
Nomor : 03, yang dibuat di hadapan SANY VERDINAN, Sarjana Hukum,
74
Notaris di Denpasar, demikian guna memenuhi ketentuan anggaran dasar
perseroan tersebut.
- selanjutnya disebut juga PIHAK KEDUA - BANK.
- Para Penghadap telah dikenal oleh saya, Notaris.
- Para Penghadap masing-masing bertindak dalam kedudukan mereka tersebut di
atas, menerangkan bahwa Bank dan Peminjam telah saling setuju untuk dan
dengan ini membuat Perjanjian Kredit dengan memakai syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
Pasal 1
- Bank membuka/menyediakan pada kantornya di Denpasar, dalam jangka waktu
12 (duabelas) bulan, terhitung mulai tanggal 25-11-2013 (duapuluh lima
November duaribu tigabelas) sampai dengan tanggal 25-11-2014 (duapuluh lima
November duaribu empatbelas), untuk selanjutnya disebut "Jangka Waktu
Kredit", fasilitas Pinjaman Rekening Koran (PRK) yang digunakan untuk modal
usaha dengan nomor rekening 651290239483479 untuk Peminjam sebagai
berikut :
1. - Maksimum kredit ditetapkan sebesar Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar
Rupiah)
2. - Bunga sebesar 12 % (duabelas persen) per tahun efektif dan provisi sebesar
1% (satu persen) serta biaya administrasi sebesar Rp 3.000.000,00 (tigajuta
Rupiah) dibayar di muka, selanjutnya besar bunga tersebut dapat ditinjau
setiap saat oleh Bank untuk disesuaikan dengan kondisi pasar uang.
Pasal 2
- Selama Perjanjian Kredit ini berlaku, maka Peminjam dapat mempergunakan
kesempatan berhutang yang diberikan kepadanya, dengan mengingat batas
banyaknya hutang seperti tersebut di dalam Pasal 1 di atas, dengan
menandatangani dan memberikan cek, giro bilyet dan/atau tanda penerimaan uang
pinjaman kepada Bank.
Pasal 3
- Cek, giro bilyet, atau tanda penerimaan uang Pinjaman yang diberikan oleh
Peminjam menurut Pasal 2 selama Perjanjian Kredit ini berlaku akan dibayar oleh
Bank.
Pasal 4
1. - Pembayaran dan penerimaan seperti tersebut di atas akan dibukukan oleh
Bank di alam suatu rekening koran yang Peminjam berhak untuk meminta kutipan
atau salinannya.
2. - Jikalau Peminjam di dalam 15 (limabelas) hari setelah menerima rekening
koran tidak mengajukan keberatan-keberatannya tentang rekening koran itu
dengan surat, maka rekening koran itu dianggap telah disetujui oleh Peminjam.
Pasal 5
1. - Sehubungan dengan apa yang diuraikan di atas, maka Peminjam mengakui
benar-benar dan secara sah telah berhutang pada Bank/disebabkan karena
pinjaman uang yang diterima oleh Peminjam dari Bank berdasarkan Perjanjian
Kredit ini, uang dengan jumlah pokok sebesar Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar
Rupiah), demikian berikut bunga-bunga, biaya-biaya, serta lain-lain jumlah uang
75
yang wajib dibayar oleh Peminjam kepada Bank berdasarkan Perjanjian Kredit
ini.
2. - Bank dengan ini menerima baik Pengakuan Hutang yang diberikan oleh
Peminjam sebagaimana diuraikan di atas.
Pasal 6
- Tanpa mengurangi ketentuan-ketentuan dalam Pasal 8 di bawah ini, Peminjam
wajib membayar kembali kepada Bank setiap jumlah yang terhutang dalam waktu
24 (duapuluh empat) bulan, pada tanggal jatuh tempo atau tanggal 25-11-2014
(duapuluh lima November duaribu empatbelas)
Pasal 7
- Perjanjian Kredit ini berlaku mulai tanggal akta ini ditandatangani dan sewaktu-
waktu dapat diperpanjang atas persetujuan dari pihak-pihak dalam akta ini.
Pasal 8
- Menyimpang dari apa yang ditentukan dalam Pasal 6 dan Pasal 7 di atas, Bank
berhak untuk menuntut/menagih pembayaran atas segala sesuatu yang terhutang
oleh Peminjam kepada Bank berdasarkan Perjanjian Kredit ini dengan seketika
dan sekaligus tanpa somasi lagi, bilamana terjadi atau timbul salah satu hal atau
peristiwa tersebut di bawah ini :
a. - Bilamana antara Bank dan Peminjam tidak tercapai persetujuan tentang
besarnya bunga yang harus dibayar oleh Peminjam;
b. - Bilamana hutang pokok atau bunga atau lain-lain jumlah yang terhutang
berdasarkan Perjanjian Kredit ini tidak dibayar lunas pada waktunya;
c. - Bilamana menurut Bank, Peminjam lalai memenuhi syarat-syarat lain dalam
Perjanjian Kredit ini;
d. - Jika sesuatu pernyataan, surat keterangan, atau dokumen yang diberikan
dalam Perjanjian ini ternyata tidak benar;
e. - Bilamana Peminjam atau orang/pihak lain yang menanggung atau menjamin
hutang Peminjam mengajukan permohonan untuk dinyatakan dalam keadaan
pailit;
f. - Bilamana Peminjam dan/atau Penanggung bubar atau dipailitkan;
catatan : bila Peminjam adalah perorangan, poin ini diganti "Bilamana Peminjam
meninggal dunia atau dinyatakan berada di bawah pengampuan".
g. - Jika kekayaan Peminjam atau Penanggung seluruhnya atau sebagian disita
oleh yang berwajib;
Pasal 9
- Peminjam dengan ini memberi kuasa kepada Bank untuk mendebet/memotong
Rekening Peminjam pada setiap cabang dari Bank untuk :
a. - Ongkos-ongkos Perjanjian Kredit ini dan perjanjian-perjanjian jaminannya,
serta ongkos-ongkos yang timbul secara langsung maupun tidak langsung dari
Perjanjian Kredit ini dan pelaksanaannya, termasuk ongkos-ongkos penasehat
hukum Bank, Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah, materai, dan segala ongkos
untuk menagih Hutang ini dan pelaksanaan perjanjian-perjanjian jaminan.
b. - Bunga dan ongkos-ongkos lain.
Pasal 10 Untuk menjamin lebih jauh pembayaran kembali hutang Debitor kepada Debitor, baik
hutang pokok, bunga, denda, provisi dan biaya lainnya atau pembayan apapun juga,
76
yang harus dibayar oleh Debitor kepada Kreditor secara tertib dan sebagaimana
mestinya berdasarkan perjanjian ini, termasuk semua perubahan, penambahan
dan/atau pembaharuannya, yang telah/akan dibuat antara Kreditor dan Debitor,
maka Debitor dan/atau Penjamin menyerahkan:
-Sebidang tanah sertipikat Hak Milik Nomor 1908/Desa Kesiman, seluas 265 (dua
ratus enam puluh lima meter persegi (gambar situasi tanggal delapan September
seribu Sembilan ratus delapan puluh delapan (08-09-1988), Nomor 5961/1988,
terletak di Propinsi Bali . Kota Denpasar, Kecamatan Denpasar Timur, Kelurahan
Kesiman tertulis atas I Nyoman Marga demikian berikut segala yang telah ada
dan/atau di kemudian hari aka nada, didirikan atau tertanam di atas tanah
tersebutyang menurut sifat dan peruntukannya serta menurut
Undang-Undang dianggap sebagai benda tetap. (Selanjutnya disebut barang jaminan)
- Jaminan mana akan dibebani Hak Tanggungan Peringkat I (pertama) oleh
Pemberi Jaminan atau Peminjam kepada Bank, dengan menandatangani Akta
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan/Akta Pemberian Hak Tanggungan
tersendiri yang akan ditandatangani di hadapan saya, Notaris, dan/atau di hadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang, akta mana merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dengan akta Perjanjian Kredit ini dan/atau
perpanjangan, tambahan serta perubahan-perubahannya kemudian.
Pasal 11
- Mengenai Perjanjian Kredit ini dan segala akibatnya serta pelaksanaannya
Peminjam memilih tempat tinggal yang tetap dan seumumnya di Kantor Panitera
Pengadilan Negeri ... atau Pengadilan Negeri lain yang ditunjuk oleh Bank.
- Para pihak menyatakan dengan ini menjamin akan kebenaran identitas para
pihak sesuai tanda pengenal yang disampaikan kepada saya, Notaris, dan
bertanggung jawab sepenuhnya atas hal tersebut, dan selanjutnya para pihak juga
menyatakan telah mengerti dan memahami isi akta ini.
-----------------------------DEMIKIANLAH AKTA INI--------------------------------
- Dibuat sebagai minuta dan dilangsungkan di Denpasar, pada hari dan tanggal
tersebut pada Kepala Akta ini, dengan dihadiri oleh :
1. Nona WAYAN SUGENDRI, lahir di Denpasar, pada tanggal 26-01-1988
(duapuluh enam Januari seribu sembilanratus delapan puluh delapan), Warga
Negara Indonesia, Karyawan Notaris, bertempat tinggal di Denpasar, Jalan Hidup
Nomor 48, Banhar Bumi Shanti, Denpasar Selatan, pemegang Kartu Tanda
Penduduk tertanggal 26-01-2012 (duapuluh enam Januari duaribu duabelas)
dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) : 357925482601880003, yang berlaku
hingga tanggal 26-01-2017 (duapuluh enam Januari duaribu tujuhbelas); dan
2. Nona JULIANI, lahir di Denpasar, pada tanggal 04-07-1986 (empat Juli seribu
sembilanratus delapanpuluh enam), Warga Negara Indonesia, Karyawan Notaris,
bertempat tinggal di Denpasar Permata Hijau Blok C5 Nomor 10, Banjar Bumi
Sari, Kelurahan Pejuang, Kecamatan Denpasar Utara, , pemegang Kartu Tanda
Penduduk tertanggal 04-07-2012 (empat Juli duaribu duabelas) dengan Nomor
Induk Kependudukan (NIK) : 357925480407860001, yang berlaku hingga tanggal
04-07-2017 (empat Juli duaribu tujuhbelas), keduanya sebagai saksi-saksi.
77
- Segera setelah akta ini saya, Notaris bacakan kepada para Penghadap dan saksi-
saksi, maka seketika itu juga akta ini ditandatangani oleh para Penghadap, saksi-
saksi, dan saya, Notaris.
- Dilangsungkan dengan tanpa perubahan.
Syarat subjektif mengenai keabsahan perjanjian kredit dicantumkan dalam
awal akta, dan syarat obyektif dicantumkan dalam badan akta sebagai isi akta. Isi
akta merupakan perwujudan dari Pasal 1338 KUH Perdata mengenai kebebasan
berkontrak dan memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada para pihak
mengenai perjanjian yang dibuatnya.
Dengan demikian jika dalam awal akta, terutama syarat-syarat para pihak
yang menghadap Notaris tidak memenuhi syarat subjektif, maka atas permintaan
orang tertentu akta tersebut dapat dibatalkan. Jika dalam isi akta tidak memenuhi
syarat obyektif, maka akta tersebut batal demi hukum. Oleh karena Pasal 38 ayat
(3) huruf a UUJN telah menentukan bahwa syarat subjektif dan syarat obyektif
bagian dari badan akta, maka timbul kerancuan, antara akta yang dapat dibatalkan
dengan akta yang batal demi hukum. Sehingga jika diajukan untuk membatalkan
akta Notaris karena tidak memenuhi syarat subjektif, maka dianggap
membatalkan seluruh badan akta, termasuk membatalkan syarat obyektif. Syarat
subjektif ditempatkan sebagai bagian dari awal akta, dengan alasan meskipun
syarat subjektif tidak dipenuhi sepanjang tidak ada pengajuan pembatalan dengan
cara gugatan dari orang-orang tertentu, maka isi akta notaris yang berisi syarat
78
obyektif tetap mengikat para pihak, hal ini berbeda jika syarat obyektif tidak
dipenuhi, maka akta dianggap tidak pernah ada.68
Contoh simulasi akta perjanjian kredit yang diuraikan di atas memiliki
empat bagian, yaitu:
1. Judul Perjanjian
Dalam praktek judul yang dipergunakan bank untuk akta perjanjian kredit
berbeda-beda, ada yang menyebut Perjanjian Kredit dengan Jaminan, atau
Perjanjian Membuka Kredit. Judul simulasi akta perjanjian kredit diatas adalah
Perjanjian Kredit.
2. Komparisi
Bagian ini yang memuat keterangan tentang orang/pihak yang bertindak
mengadakan perbuatan hukum. Penuangannya berupa:
a. Uraian terperinci tentang identitas, yang meliputi nama, pekerjaan dan
domisili para pihak. Dalam perjanjian di atas maka terlihat pihak I adalah
TUAN A, lahir di Surabaya, pada tanggal 09-10-1980 (sembilan Oktober
seribu sembilanratus delapan puluh), Warga Negara Indonesia, Wiraswasta,
bertempat tinggal di Jakarta, Jalan Denpasar Nomor 43, Banjar Bumi Sari,
Kelurahan Dauh Puri Klod, Kecamatan Denpasar Barat, pemegang Kartu
Tanda Penduduk tertanggal 01-01-2014 (satu Januari duaribu empatbelas),
dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) : 354502940910800003, yang
berlaku hingga tanggal 01-01-2017.
68
Habib Adjie, 2009, Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia : Tafsir
Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), Refika
Aditama, Bandung ( sealnjutnya disebut Habib Adjie II), h. 125.
79
- Menurut keterangannya dalam hal ini bertindak dalam jabatannya selaku
Direktur Utama dari dan oleh karenanya sah mewakili Direksi dari dan
sebagai demikian untuk dan atas nama perseroan terbatas PT MORAT
MARIT, berkedudukan di Kotamadya Denpasar, Sudirman Agung Lantai
2, Jalan Sudirman Blok C.17, yang anggaran dasarnya telah dimuat dalam
akta tertanggal 01-03-2008 (satu Maret duaribu delapan) Nomor : 02, yang
dibuat di hadapan I Nyoma Sarjana Sarjana Hukum, Magister Kenotariatan,
Notaris di Denpar, yang telah mendapatkan pengesahan sebagai badan
hukum, sebagaimana ternyata dari Surat Keputusan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia tertanggal 04-05-2008 (empat Mei
duaribu delapan) Nomor : W8-003 HT.03-03-2008,
Pihak II adalah TUAN OREO, lahir di Denpasar, pada tanggal 28-07-1991
(duapuluh delapan Juli seribu sembilan ratus sembilanpuluh satu), Warga
Negara Indonesia, Swasta, bertempat tinggal di Denpasar, Jalan Dipnegoro
Nomor 43, Banjar Pekandelan, Kelurahan Sesetan, Kecamatan Denpasar
Selatan, pemegang Kartu Tanda Penduduk tertanggal 28-07-2012
(duapuluh delapan Juli duaribu duabelas) dengan Nomor Induk
Kependudukan : 357925482807910003, yang berlaku hingga tanggal 28-
07-2017 (duapuluh delapan Juli duaribu tujuhbelas).
b. Dasar hukum yang memberi kewenangan yuridis untuk bertindak dari para
pihak untuk melakukan tindakan hukum dalam akta ini, yaitu:
Pihak I menurut keterangannya dalam hal ini bertindak dalam jabatannya
selaku Direktur Utama dari dan oleh karenanya sah mewakili Direksi dari dan
80
sebagai demikian untuk dan atas nama perseroan terbatas PT MORAT
MARIT, berkedudukan di Kotamadya Denpasar, Sudirman Agung Lantai 2,
Jalan Sudirman Blok C.17, yang anggaran dasarnya telah dimuat dalam akta
tertanggal 01-03-2008 (satu Maret duaribu delapan) Nomor : 02, yang dibuat
di hadapan I Nyoma Sarjana Sarjana Hukum, Magister Kenotariatan, Notaris
di Denpasar, yang telah mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum,
sebagaimana ternyata dari Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia tertanggal 04-05-2008 (empat Mei duaribu
delapan) Nomor : W8-003 HT.03-03-2008.
Pihak II Tuan Oreo telah mendapat persetujuan dari seluruh pemegang saham,
sebagaimana ternyata dalam Akta Berita Acara Rapat tertanggal 31-10-2013
(tigapuluh satu Agustus duaribu tigabelas) Nomor : 30 yang dibuat oleh saya,
Notaris, yang salinan resminya bermeterai cukup dilekatkan pada minuta akta
ini, demikian guna memenuhi ketentuan Pasal 12 anggaran dasar.
c. Kedudukan para pihak dalam hal ini pihak I dan pihak II adalah Badan
Hukum.
3. Penutup
Bagian akhir akta/penutup memuat hal-hal sebagai berikut :
a. Pilihan domisili hukum para pihak
b. Tempat dan tanggal perjanjian di tandatangani
c. Tanggal mulainya berlaku perjanjian kredit
Terkait dengan klausul kredit, dalam praktek, bentuk dan materi
Perjanjian kredit tidak selalu sama. Simulasi perjanjian kredit dengan pemberian
81
fasilitas PRK (pinjaman rekening Koran) yang dipaparkan di atas berisi klausula-
klausula sebagai berikut:
I. Klausul Fasilitas Kredit
Ketentuan–ketentuan yang berkaitan dengan fasilitas kredit umumnya terdiri
dari:
a. Jenis, jumlah, dan jangka waktu fasilitas.
b. Penarikan fasilitas kredit, jangka waktu penarikan, Cara penarikan, bukti
penarikan.
c. Pembuktian hutang antara lain berupa Promes/CAR/atau PK tersebut.
d. Cara Pembayaran kembali (installment atau langsung) Pembayaran kembali
lebih cepat/awal (Voluntary or Mandatory)
e. Bunga.
f. Komisi dan Fee.
g. Bunga denda (apabila terjadi keterlambatan pembayaran).
h. Pembukuan (lokasi dimana bank akan membukukan pinjaman tersebut).
II. Klausul Kuasa Mendebet Rekening
Klausula ini dicantumkan sebagai dasar dari hak bank untuk melakukan
pendebetan dari rekening-rekening Debitor yang ada di Bank.
III. Klausul Penggunaan Fasilitas Kredit
Tujuan penggunaan fasilitas kredit yang diberikan oleh bank kepada Debitor.
IV. Klausul Syarat Penarikan Pinjaman (Drawdown Condition)
a. Sebelum penandatanganan perjanjian kredit dan sebelum suatu kredit
dapat dicairkan Debitor, disyaratkan untuk menyerahkan beberapa
82
dokumen-dokumen atau data yang dianggap penting oleh bank. antara
lain:
1. Dokumen-dokumen perusahaan/Identitas Debitor.
2. Asli surat kuasa.
3. Salinan surat izin usaha perdagangan dan/atau surat-surat izin lainnya.
4. Asli bukti-bukti hak kepemilikan atas Jaminan
5. Invoice/Daftar tagihan-tagihan/dokumen lain yang sejenis yang
mencantumkan ketentuan bahwa pembayaran melalui rekening Debitor
yang ada di Bank.
6. Semua Perjanjian Jaminan telah ditanda tangani dan dalam bentuk dan
isi yang disetujui bank.
b. Debitor tidak sedang dalam keadaan lalai berdasarkan ketentuan-ketentuan
yang termaktub dalam Perjanjian ini atau berdasarkan sebab lain sesuai
pertimbangan baik bank.
V. Klausul Pernyataan Debitor (Representations and Warranties)
Klausula ini berisikan pernyataan-pernyataan dari Debitor mengenai:
Kewenangan bertindak, Kekuatan perjanjian, Tidak ada tuntutan/sengketa dari
pihak ketiga terutama yang dapat berakibat secara materiil, kebenaran data-
data yang diberikan oleh Debitor termasuk diantaranya Laporan Keuangan,
keabsahan Debitor untuk menjalankan usaha yang dibuktikan dengan perijinan
dari lembaga-lembaga yang berwenang, Tidak adanya tunggakan Pajak yang
harus dibayar, serta Debitor tidak dalam keadaan pailit atau digugat pailit oleh
Pihak ketiga.
83
VI. Klausul Affirmative Covenant
Dalam pelaksanaan pemberian kredit bank harus memberikan batasan-batasan
yang harus dipenuhi oleh Debitor (Affirmative Covenant) selama dalam masa
pemberian kredit. Ada beberapa covenant standard yang biasanya wajib
dicantumkan dalam perjanjian kredit antara lain adalah:
a. Menggunakan Fasilitas Kredit seperti yang dipersyaratkan;
b. Mengasuransikan seluruh barang-barang yang dijadikan jaminan/agunan
Fasilitas Kredit;
c. Memberikan ijin kepada bank atau petugas-petugas yang diberi kuasa oleh
bank untuk melakukan pemeriksaan (audit) terhadap buku-buku, catatan-
catatan dan administrasi Debitor serta memeriksa keadaan barang-barang
jaminan, dan melakukan peninjauan ke dalam proyek, bangunan -
bangunan lain dan kantor-kantor yang digunakan Debitor;
d. Memberikan segala informasi/keterangan/data-data (seperti, namun tidak
terbatas pada laporan keuangan Debitor), segala sesuatu sehubungan
dengan keuangan dan usaha Debitor, bilamana terjadi keadaan yang dapat
mempengaruhi keadaan usaha atau keuangan Debitor, setiap waktu, baik
diminta maupun tidak diminta oleh bank;
VII. Menyerahkan data yang diminta oleh Bank dalam rangka pengawasan
pemberian kredit yaitu, antara lain namun tidak terbatas pada Laporan
keuangan, laporan inventory, daftar tagihan dan lain-lain. Selain covenant di
atas, dapat pula ditambahkan affirmative covenant lain yang disesuaikan
dengan struktur dari fasilitas kredit yang diberikan.
84
VII. Klausul Negative Covenant
Pelaksanaan pemberian kredit bank harus memberikan batasan-batasan yang
tidak boleh dilakukan oleh Debitor (Negative Covenant) selama dalam masa
pemberian kredit. Pelarangan/pembatasan tersebut dilakukan dalam rangka
memperkuat posisi bank selaku pemberi pinjaman. Adapun covenant baku
yang wajib dimasukkan dalam perjanjian kredit antara lain adalah:
a. Pelarangan untuk menjual /menyewakan asset;
b. Tidak menjaminkan asset pada pihak lain;
c. Pelarangan untuk menerima pinjaman lain;
d. Pelarangan untuk menjadi Penjamin/Penanggung, kecuali melakukan
endorsemen atas surat-surat yang dapat diperdagangkan untuk keperluan
pembayaran atau penagihan transaksi-transaksi lain yang lazim dilakukan
dalam menjalankan usaha;
e. Pelarangan untuk memberikan pinjaman;
f. Pelarangan untuk mengumumkan dan membagikan deviden saham
Debitor;
g. Pelarangan untuk melakukan merger atau akuisisi;
h. Pelarangan untuk membayar atau membayar kembali pinjaman pemegang
saham;
i. Pelarangan untuk merubah sifat dan kegiatan usaha Debitor seperti yang
sedang dijalankan dewasa ini;
j. Pelarangan untuk mengubah susunan pengurus (Direksi dan Komisaris),
susunan para pemegang saham, dan nilai saham.
85
Selain covenant di atas, dapat pula ditambahkan negative covenant lain
yang disesuaikan dengan struktur dari fasilitas kredit yang diberikan.
VIII. Klausul Perlindungan Terhadap Penghasilan Bank
Selama masa pemberian kredit, bank selaku Kreditor wajib memperhatikan
kemungkinan-kemungkinan timbulnya biaya-biaya yang harus dibayar
berkaitan dengan pemberian kredit tersebut. Debitor akan dibebankan
biaya–biaya tersebut dan dengan adanya klausula ini maka Debitor
menyadari bawah setiap biaya yang timbul harus dibayar atau ditanggung
apabila ternyata Bank terpaksa melakukan pembayaran terlebih dahulu
maka Debitor akan menggantinya dalam waktu secepatnya. Adapun biaya-
biaya yang biasanya timbul adalah:
a. Biaya pihak ketiga
b. Biaya yang diwajibkan oleh undang-undang.
IX. Klausul Jaminan
Untuk menjamin pembayaran dari pinjaman yang diberikan, Debitor diminta
untuk menyerahkan jaminan kepada bank dimana jaminan tersebut akan
diikat sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Untuk nasabah yang mendapatkan beberapa fasilitas (pinjaman tidak dalam
satu perjanjian) dimana masing masing fasilitas dijamin oleh jaminan yang
berbeda sebaiknya dicantumkan pula ketentuan mengenai Cross Collateral.
X. Klausul Kompensasi
Pasal mengenai Kompensasi ini diatur berkaitan dengan adanya pasal 1425
sampai dengan 1429 KUH Perdata mengenai kompensasi hutang. Klausul
86
Kompensasi ini berisikan persetujuan dari Debitor untuk melepaskan hak-
haknya yang diatur dalam pasal tersebut, sehingga Debitor tidak dapat
mengkompensasikan piutang piutang dagang yang ia miliki kepada bank
(bila ada) dengan hutangnya kepada bank.
XI. Pengalihan Hak
Maksud dari pencantuman klausula pengalihan hak ini, Debitor telah
memberikan persetujuan kepada bank untuk mengalihkan pinjaman kepada
Pihak ketiga dengan tanpa merubah kondisi yang telah disetujui
sebelumnya. Sedangkan Debitor tidak dapat mengalihkan pinjamannya
kepada pihak lain tanpa adanya persetujuan dari bank.
XII. Klausul Kelalaian
Klausula ini mencantumkan beberapa kondisi yang dapat menyebabkan
Debitor dalam keadaan lalai atau dalam keadaan default sehingga seluruh
kewajiban Debitor menjadi jatuh tempo dan harus dibayarkan kembali
dengan seketika dan sekaligus seluruhnya, tanpa perlu adanya surat teguran
juru sita atau surat lainnya yang serupa dengan itu apabila terjadi salah satu
kejadian di bawah ini:
a. Payment Default / lalai membayar kembali kewajibannya;
b. Pelanggaran atas ketentuan Perjanjian;
c. Memberikan informasi yang tidak benar;
d. Keadaan keuangan, bonafiditas dan solvabilitas Debitor mundur
sedemikian rupa yang dapat mengakibatkan Debitor tidak dapat
membayar hutangnya lagi;
87
e. Debitor dinyatakan dalam keadaan pailit atau meminta penundaan
pembayaran hutang (surseance van betaling);
f. Debitor dibubarkan atau mengambil keputusan untuk bubar;
g. Asset Debitor seluruhnya atau sebagian disita oleh instansi yang
berwajib dan dianggap menjadi berkurang sehingga dapat
membahayakan pengembalian kredit;
h. Jaminan disita oleh instansi yang berwenang, atau rusak atau musnah
karena sebab apapun juga;
i. Debitor atau Penjamin lalai terhadap perjanjian lain terutama perjanjian
yang dapat meyebabkan Debitor wajib membayar jumlah tertentu;
j. Bilamana tidak dapat diperoleh salah satu atau beberapa atau seluruh
ijin, persetujuan atau wewenang, baru maupun perpanjangannya, yang
dikeluarkan oleh instansi yang berwajib dan yang disyaratkan;
k. Nilai asset/kekayaan milik Debitor menurut penilaian bank menurun.
XIII. Klausula Ketentuan Tambahan dan Penutup
Pada bagian terakhir dari perjanjian kredit diatur mengenai ketentuan-
ketentuan yang belum tertampung secara khusus di dalam klausula-
klausula baku dalam perjanjian kredit. Klausula ini dimaksudkan untuk
mengatur syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang menyimpang dari
syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan lain yang telah tercetak di dalam
perjanjian kredit.
Sebagaimana disebutkan bahwa simulasi akta perjanjian kredit di atas
merupakan perjanjian kredit dengan fasilitas Pinjaman Rekening Koran (PRK).
88
Fasilitas kredit secara umum diartikan adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam
meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya dalam jangka waktu tertentu dengan bunga, imbalan atau
pembagian hasil.69
Adapun jenis-jenis fasilitas kredit yang umum dikenal dalam perbankan
terdiri dari beberapa kategori, yaitu:
1. Menurut tujuan pemberian
2. Menurut penggunaan
3. Menurut jangka waktu kredit
4. Menurut bentuk jaminan
5. Menurut Status Hukum Debitor
6. Menurut segmen usaha
7. Menurut sifat pemakaian dana
8. Menurut sumber pembiayaan
9. Menurut golongan Debitor
10. Menurut dasar kebijaksanaan
11. Kredit Non Cash (Non Cash Loan).
3.2 Fungsi Pembuatan APHT Oleh PPAT Terhadap Perjanjian Kredit
Perbankan
Istilah perjanjian kredit secara definitif tidak dikenal di dalam UU
Perbankan, namun bila ditelaah lebih lanjut mengenai pengertian kredit dalam
69
Thomas Suyatno et.al, 1995, Dasar-Dasar Kredit: Bagian Keempat
Gramedia Pusataka Utama, Jakarta, h. 214.
89
Pasal 1 angka 11 UU Perbankan, tercantum kata-kata persetujuan atau
kesepakatan pinjam meminjam. Kata-kata tersebut menegaskan bahwa hubungan
kredit adalah hubungan kontraktual yaitu hubungan yang berdasarkan pada
perjanjian yang berbentuk pinjam-meminjam. Perjanjian kredit itu sendiri
mengacu pada perjanjian pinjam-meminjam.
Definisi perjanjian pinjam meminjam terdapat dalam ketentuan Pasal
1754 KUH Perdata, yaitu :
Perjanjian pinjam-meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu
memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang
yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang
belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan
keadaan yang sama pula.
Walaupun perjanjian kredit berakar dari perjanjian pinjam-meminjam, tetapi
perjanjian kredit berbeda dengan perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana
ketentuan KUH Perdata. Dalam prakteknya ada 2 bentuk perjanjian kredit, yaitu:
(1) Perjanjian kredit yang dibuat dibawah tangan, atau dinamakan akta di bawah
tangan. Akta di bawah tangan pada dasarnya adalah suatu akta yang dibuat
oleh para pihak untuk suatu kepentingan atau tujuan tertentu tanpa
mengikutsertakan pejabat yang berwenang. Jadi dalam suatu akta di bawah
tangan, akta tersebut cukup dibuat oleh para pihak itu sendiri dan kemudian
ditandatangani oleh para pihak tersebut, misalnya kwitansi dan surat
perjanjian utang-piutang.70
Dalam kaitan dengan perjanjian pemberian kredit
oleh bank kepada nasabahnya, akta di bawah tangan hanya dibuat diantara
70
Subekti, 1996, Pembuktian dan Daluwarsa, Intermasa, Jakarta
(selanjutnya disebut Subekti II), h. 75.
90
mereka selaku Kreditor dan Debitor tanpa notaris. Pada prakteknya perjanjian
kredit bank adalah perjanjian baku yang telah dibuat sendiri oleh bank
kemudian ditawarkan kepada Debitor untuk disepakati. Untuk mempermudah
dan mempercepat kerja bank, biasanya bank sudah menyiapkan formulir
perjanjian dalam bentuk standar yang isi, syarat-syarat dan ketentuannya
disiapkan terlebih dahulu secara lengkap yang kemudian disodorkan kepada
setiap calon-calon Debitor untuk diketahui dan dipahami dalam rangka
penandatanganan perjanjian kredit tersebut. Jadi calon Debitor mau atau tidak
mau, dengan terpaksa atau sukarela, harus menerima semua persyaratan yang
tercantum dalam formulir kredit walaupun tidak setuju terhadap pasal-pasal
tertentu. Hal tesebut dikarenakan calon Debitor sangat membutuhkan kredit
atau berada pada posisi lemah. Akta di bawah tangan ini diatur dalam Pasal
1874 - 1984 KUH Perdata. Menurut Pasal 1874 KUH Perdata “Akta di
bawah tangan adalah surat atau tulisan yang dibuat oleh para pihak tidak
melalui perantaraan pejabat yang berwenang (pejabat umum) untuk dijadikan
alat bukti”. Kemudian dari ketentuan Pasal 1875 KUH Perdata dapat
dipahami bahwa akta di bawah tangan mempunyai kekuatan hukum
pembuktian seperti juga akta otentik, jika tanda tangan yang ada dalam akta
tersebut diakui oleh yang menandatangani. Untuk pembuktian di depan
Hakim, jika salah satu pihak mengajukan bukti akta di bawah tangan, dan
akta tersebut dibantah oleh pihak lawannya, maka pihak yang mengajukan
akta di bawah tangan itu yang harus mencari bukti tambahan (misalnya saksi-
saksi). Ini dimaksudkan untuk membuktikan bahwa akta di bawah tangan
91
yang diajukan sebagai alat bukti tersebut benar-benar ditandatangani oleh
pihak yang membantah. Untuk itu agar akta di bawah tangan tidak mudah
dibantah atau disangkal kebenaran tandatangan yang ada dalam akta tersebut
dan untuk memperkuat pembuktian di depan Hakim, maka akta yang dibuat
dibawah tangan sebaiknya dilakukan legalisasi oleh Notaris. Apabila akta di
bawah tangan dilegalisasi, maka Hakim telah memperoleh kepastian
mengenai tanggal dan identitas dari pihak yang mengadakan perjanjian
tersebut serta tanda tangan yang dibubuhkan di bawah surat itu benar berasal
dan dibubuhkan oleh orang yang namanya tercantum dalam surat itu dan
orang yang membubuhkan tanda tangannya di bawah surat itu tidak lagi
dapat mengatakan bahwa para pihak atau salah satu pihak tidak mengetahui
apa isi surat itu, karena isinya telah dibacakan dan dijelaskan terlebih dahulu
sebelum para pihak membubuhkan tandatangannya..
(2). Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan dihadapan notaris disebut akta otentik
atau akta notariil. Pihak yang menyiapkan dan membuat perjanjian ini adalah
seorang notaris, namun dalam praktek semua syarat dan ketentuan perjanjian
kredit disiapkan oleh Kreditor kemudian diberikan kepada notaris untuk
dirumuskan dalam akta notariil. Memang notaris dalam membuat perjanjian
hanyalah merumuskan apa yang diinginkan para pihak dalam bentuk akta
notariil atau akta otentik. Menurut Pasal 1868 KUH Perdata “Akta otentik
adalah akta yang dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang dibuat
oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta
itu dibuat”. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
92
Artinya akta otentik dianggap sah dan benar tanpa perlu membuktikan atau
menyelidiki keabsahan tanda tangan pihak-pihak tersebut. Apabila akta
otentik diajukan sebagai alat bukti di depan Hakim kemudian pihak lawan
membantah akta tersebut maka pihak pembantah yang harus melakukan
pembuktian kebenaran bantahannya.
Guna menjamin terpenuhinya hak-hak pihak bank selaku Kreditor atas
jaminan Debitor maka perjanjian kredit dengan jaminan hak atas tanah harus
dibuat dalam suatu akta otentik berupa APHT yang dibuat dihadapan PPAT.
Pengertian mengenai APHT sangat terkait erat dengan pengertian mengenai hak
tanggungan.
Sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 1 UUHT pada dasarnya
menunjukan bahwa Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan atas
hak atas tanah untuk pelunasan utang dari Debitor kepada Kreditor yang
mengandung hak mendahului (hak preferent) sehubungan dengan perjanjian
kredit yang dibuat antara Debitor dan Kreditor sehubungan dengan adanya utang
piutang. Hak Tanggungan menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 UUHT adalah :
Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan
satu-kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditor tertentu terhadap
Kreditor-Kreditor lain.
Dari pengertian tersebut terkandung beberapa unsur pokok, terkait dengan hak
tanggungan, yaitu :
1. Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang;
2. Obyek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA;
93
3. Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja,
tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan
satu-kesatuan dengan tanah itu;
4. Utang yang dijamin harus suatu utang tertentu;
5. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditor tertentu
terhadap Kreditor-Kreditor lain.71
Dalam penjelasan umum dari UUHT dikemukakan bahwa sebagai
lembaga hak jaminan atas tanah yang kuat, hak tanggungan mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut:
a. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada
pemegangnya.
b. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapapun obyek itu
berada.
c. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga
dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
d. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
Kemudian Pasal 10 ayat (2) UUHT menentukan bahwa “Pemberian Hak
Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh
PPAT sebagaimana ketentuan yang berlaku”. Ketentuan ini mengandung arti
bahwa Hak Tanggungan harus dan hanya dapat diberikan melalui APHT yang
dibuat PPAT.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa APHT adalah akta otentik
yang dibuat PPAT sebagai hak jaminan pelunasan utang dari Debitor kepada
Kreditor dalam suatu pinjaman atau kredit. Apabila dilihat dari segi perjanjian
71
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan (Asas-Asas, Ketentuan-
Ketentuan Pokok Dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan), Alumni,
Bandung, 1999, h. 11.
94
kredit perbankan maka fungsi pembuatan APHT oleh PPAT adalah sebagai
perjanjian tambahan, dimana APHT itu keberadaannya/eksistensinya ditentukan
oleh perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok.
Berdasarkan uraian Pasal 11 ayat (2) UUHT dijelaskan bahwa dalam
APHT dapat dicantumkan janji-janji yang merupakan kewajiban pemberi hak
tanggungan atau Debitor kepada pemegang hak tanggungan atau Kreditor. Hal ini
berarti, dilihat dari segi isi atau materi, APHT adalah akta otentik yang mengatur
syarat-syarat bagaimana Debitor memenuhi kewajibannya kepada Kreditor.
Janji-janji yang diberikan oleh kedua belah pihak sebagaimana yang
disebut dalam Pasal 11 ayat (2) yang bersifat fakultatif artinya boleh dikurangi
ataupun ditambah asal tidak bertentangan dengan UUHT sehingga tidak
mempunyai pengaruh terhadap sahnya APHT. Walaupun bersifat fakultatif tetapi
ada janji yang wajib dicantumkan dalam APHT adalah apa yang disebut dalam
Pasal 11 ayat (2) huruf e UUHT yaitu “Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan
pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak
Tanggungan apabila Debitor cidera janji”. Jadi dalam UUHT kewenangan
tersebut bukan didasarkan pada janji pemberi hak tanggungan melainkan
merupakan hak yang diberikan oleh undang-undang kepada pemegang hak
tanggungan yang pertama, sebagai salah satu wujud kemudahan dalam
melaksanakan eksekusi yang telah disediakan oleh hukum.72
Sedangkan janji yang dilarang untuk diadakan seperti yang disebut dalam
Pasal 12 UUHT yaitu dilarang diperjanjikan adalah pemberian kewenangan
72
Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta,
h. 439.
95
kepada Kreditor untuk memiliki obyek hak tanggungan apabila Debitor cidera
janji. Kalaupun diadakan, janji tersebut batal demi hukum. Sebelum
melaksanakan pembuatan APHT, menurut ketentuan Pasal 39 PP 24/ 1997, PPAT
wajib terlebih dahulu melakukan pemeriksaan pada Kantor Pertanahan setempat
mengenai kesesuaian sertipikat hak tanah yang akan dijadikan jaminan dengan
daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan tersebut. PPAT wajib menolak
pembuatan APHT yang bersangkutan jika ternyata sertipikat yang diserahkan
kepadanya bukan dokumen yang diterbitkan oleh Kantor pertanahan atau data
yang dimuat di dalamnya tidak sesuai lagi dengan daftar-daftar yang ada di
Kantor Pertanahan. PPAT juga wajib menolak permintaan untuk membuat APHT,
apabila tanah yang akan dijadikan jaminan sedang dalam sengketa atau
perselisihan. Karena umumnya PPAT tidak mengetahui ada atau tidak adanya
sengketa mengenai tanah yang bersangkutan, maka hal tersebut wajib ditanyakan
kepada pihak pemberi hak tanggungan. Jika jawabannya tidak tersangkut dalam
suatu sengketa, di dalam APHT perlu dicantumkan pernyataan tersebut sebagai
jaminan bagi Kreditor penerima hak tanggungan.
Pemberian hak tanggungan di hadapan PPAT wajib dihadiri oleh pemberi
dan penerima hak tanggungan dan dua orang saksi. Jika tanah yang dijadikan
jaminan belum bersertipikat, maka wajib bertindak sebagai saksi adalah Kepala
Desa/Lurah dan seorang anggota pemerintahan Desa/Kelurahan. Jika tanah yang
akan dibebani tersebut belum bersertipikat maka pembebanannya dilakukan
bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 ayat (3) UUHT. Jadi pemberian hak
96
tanggungan dan pembuatan APHT dapat dilakukan dalam keadaaan tanah belum
bersertipikat. Hal ini juga berlaku untuk tanah yang akan dibebani sudah
bersertipikat tetapi belum atas nama pemberi hak tanggungan.
Ketentuan ini diadakan untuk memberi kesempatan lebih dini kepada
pemegang hak atas tanah dalam memperoleh kredit. APHT dibuat rangkap dua
yang semuanya ditandatangani oleh pemberi dan penerima hak tanggungan, para
saksi dan PPAT. Satu lembar akta tersebut disimpan di kantor PPAT. Lembar
yang lain berikut warkah-warkah lain yang diperlukan disampaikan oleh PPAT
kepada Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran hak tanggungan selambat-
lambatnya tujuh hari kerja setelah ditandatanganinya APHT yang bersangkutan
sebagaimana ketentuan Pasal 13 ayat (2) UUHT.
Oleh karena APHT mengatur persyaratan dan ketentuan mengenai
pemberian hak tanggungan dari Debitor kepada Kreditor sehubungan dengan
hutang yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan maka dapat diuraikan bahwa
fungsi APHT adalah sebagai perjanjian tambahan (accecoir). Accessoir adalah
perjanjian yang keberadaannya dimaksudkan untuk mendukung perjanjian
pokoknya, dalam hal ini adalah perjanjian kredit bank. Jika perjanjian pokok
hapus, perjanjian accessoir juga turut hapus. Dengan kata lain perjanjian
accessoir dibuat berdasarkan perjanjian pokok (perjanjian kredit) sehingga harus
menunjuk perjanjian pokoknya. Jika perjanjian pokoknya batal atau selesai maka
otomatis perjanjian acessoir juga batal.
Sebagimana telah diuraikan sebelumnya dalam Pasal 1 angka 5 UUHT
disebutkan bahwa “Akta Pemberian Hak Tanggungan adalah akta PPAT yang
97
berisi pemberian Hak Tanggungan kepada Kreditor tertentu sebagai jaminan
untuk pelunasan piutangnya”. APHT mengatur persyaratan ketentuan mengenai
pemberian hak tanggungan dari Debitor kepada Kreditor terkait dengan utang
yang dijaminkan dengan hak tanggungan. Pemberian hak ini dimaksudkan untuk
memberikan kedudukan diutamakan kepada Kreditor yang bersangkutan daripada
Kreditor-Kreditor yang lain. Dengan kata lain dengan pemberian hak tanggungan
itu maka Kreditor yang bersangkutan merupakan Kreditor preferent dengan hak
diutamakan bukan sekadar Kreditor konkuren tanpa hak mendahului. APHT yang
didaftarkan Kantor Pertanahan setempat mempunyai kekuatan hukum yang pasti
dan semua isi dalam akta tersebut berlaku bagi pihak ketiga.
3.3. Fungsi Pendaftaran APHT Bagi Perlindungan Hukum Kreditor Dalam
Perjanjian Kredit Perbankan
Kiranya perlu ditegaskan bahwa tanpa adanya pendaftaran APHT maka
perjanjian kredit perbankan yang dibuat para pihak di hadapan Notaris/PPAT
tetap sah dan mengikat kedua belah pihak sepanjang memenuhi syarat subjektif
dan obyektif suatu perjanjian sebagaimana ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata.
Dengan kata lain perjanjian kredit tersebut tetap berlaku sebagai undang-undang
bagi pihak-pihak yang membuatnya.
Secara empiris keabsahan perjanjian kredit yang dibuat oleh Kreditor dan
Debitor dapat dilihat dari aspek persetujuan yang diberikan oleh Debitor atas
seluruh ketentuan yang diatur di dalam perjanjian kredit. Disebut persetujuan
karena lazimnya perjanjian kredit merupakan perjanjian standar yang ditentukan
dan telah disiapkan terlebih dahulu oleh pihak Kreditor.
98
Implementasi persetujuan Debitor atas perjanjian kredit tersebut dibuat
dalam bentuk pengakuan atas seluruh ketentuan yang diatur dalam perjanjian itu.
Bentuk pengakuan Debitor dapat diketahui dengan cara bahwa setiap halaman
dari perjanjian kredit mesti dibacakan/dijelaskan terlebih dahulu oleh Kreditor,
dan selanjutnya jika Debitor telah mengerti dan menyetujui, maka bentuk
pengakuan dan persetujuannya tersebut dibuktikan dengan membubuhkan paraf
atau tandatangan atau cap jempol khusus bagi Debitor yang tidak bisa
membubuhkan paraf atau tanda tangannya pada setiap halaman perjanjian kredit.
Setelah penandatanganan perjanjian kredit, maka akan dilanjutkan dengan
penandatanganan APHT atau dengan alasan tertentu difasilitasi dengan SKMHT
sebagai perjanjian tambahan atas perjanjian kredit yang ditandatangani
sebelumnya.
Notaris/PPAT rekanan bank kembali menegaskan dan menanyakan
terlebih dahulu kepada Debitor terkait dengan perjanjian kredit yang telah
disetujuinya. Jika Debitor telah menyampaikan dengan tegas dan jelas bahwa
seluruh perjanjian kredit telah disetujui, maka Notaris/PPAT akan melanjutkan
dengan membacakan akta yang dibuatnya.
Secara substantif APHT atau SKMHT mengatur tentang janji-janji Debitor
kepada Kreditor jika karena sesuatu hal Debitor tidak dapat melaksanakan
kewajibannya (cidera janji) sebagaimana telah disepakati dalam perjanjian kredit.
Dengan telah dinyatakan secara langsung dihadapan Notaris/PPAT yang
disaksikan oleh saksi-saksi staf Notaris/PPAT yang turut serta hadir pada saat
penandatanganan APHT atau SKMHT menunjukkan keabsahan dari perjanjian
99
kredit tersebut secara empiris, karena dengan penandatanganan itu menunjukkan
pada saat itu telah terjadi perbuatan hukum dihadapan Notaris/PPAT. Dalam
kedudukannya sebagai Pejabat Umum, maka Notaris/PPAT berkewajiban untuk
menjamin kebenaran hari, dan tanggal perbuatan hukum sebagaimana tercantum
di dalam kepala APHT jika Debitur hadir secara langsung sebagai pemberi hak
tanggungan atau dengan SKMHT jika pada saat penandatanganan APHT, Debitor
tidak bisa hadir secara langsung sebagai pemberi hak tanggungan.
APHT yang telah ditandatangani wajib untuk didaftarkan pada Kantor
Pertanahan setempat untuk memenuhi asas publisitas, namun demikian secara
empiris pendaftaran tersebut terkadang tidak dilakukan oleh PPAT yang
bersangkutan. Kondisi ini dapat mengganggu kedudukan pihak bank selaku
Kreditor jika Debitor dalam perjalanannya tidak dapat memenuhi kewajibannya
dengan baik. Konsekuensi hukum tidak didaftarkannya APHT akan terkait dengan
perlindungan hukum bagi para pihak yang terlibat, terutama pihak bank selaku
Kreditor, tidak mendapat perlindungan hukum sesuai ketentuan yang diatur di
dalam UUHT.
Menurut Kepala Sub Seksi Peralihan, Pembebanan Hak dan PPAT Kantor
Pertanahan Kota Denpasar Bapak I Ketut Suarjana dalam wawancara tanggal 3
Februari 2014, fungsi pendaftaran APHT adalah untuk kepastian dan
perlindungan hukum, untuk menyediakan informasi bagi pihak ketiga atau pihak
yang berkepentingan dan untuk tertib administrasi pertanahan. Sebenarnya
penjelasan Bapak I Ketut Suarjana di atas merupakan tujuan pendaftaran tanah
sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 PP 24/1997. Namun karena pendaftaran
100
APHT merupakan bagian dari pendaftaran tanah maka penjelasan tersebut
memiliki kelogisan secara teori.
Pendaftaran hak tanggungan adalah hal sangat penting karena menandai
lahirnya hak tanggungannya yang dalam tesis ini dipahami sebagai lahirnya suatu
peristiwa hukum dari suatu proses pemberian hak tanggungan berdasarkan APHT
yang memberikan wewenang dan kedudukan berupa hak tanggungan kepada
Kreditor atas jaminan berupa tanah dan bangunan yang dijaminkan Debitor dalam
suatu perjanjian kredit. Dengan kata lain, pendaftaran hak tanggungan merupakan
syarat mutlak lahirnya hak tanggungan.
Perlindungan hukum bagi Kreditor atau penerima hak tanggungan dalam
perjanjian kredit perbankan dengan lahirnya hak tanggungan adalah sebagai
berikut :
1. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditor pemegang Hak
Tanggungan / Droit de Preference ( Pasal 1 Angka 1 UUHT );
Menurut penjelasan umum UUHT Angka 4, yang dimaksud dengan
“memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditor pemegang hak
tanggungan” yaitu jika Debitor cidera janji, maka Kreditor pemegang hak
tanggungan berhak menjual tanah yang dijadikan jaminan (obyek hak
tanggungan) melalui pelelangan umum, dengan hak mendahului daripada
Kreditor-Kreditor lainnya. Pasal 1 Angka (1) UUHT yuncto Penjelasan Umum
UUHT tersebut merupakan perlindungan khusus bagi Kreditor atau penerima
hak tanggungan disamping perlindungan umum yang diberikan oleh Pasal
1131 KUH Perdata. Pasal 1131 KUH Perdata menetapkan bahwa “Segala
101
kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik
yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi
tanggungan untuk segala perikatan perseorangan“. Ini berarti bahwa semua
kekayaan seseorang dijadikan Jaminan untuk semua kewajibannya, yaitu
semua utangnya. Inilah yang oleh hukum Jerman dinamakan haftung. Kalau
seseorang mempunyai suatu utang, maka jaminannya adalah semua
kekayaannya. Kekayaan ini dapat disita dan dilelang dan dari hasil pelelangan
ini dapat diambil suatu jumlah untuk membayar utangnya kepada Kreditor.73
Hak jaminan disini tidak memberikan kewenangan bagi yang berhak untuk
mempergunakan nikmat yang dihasilkan kebendaan, tetapi hanya memberikan
kepada yang berhak kewenangan untuk menguasai benda sebagai pendukung
nilai yang berupa uang, hanya memberikan jaminan (zekerheid) bagi
pemenuhan suatu prestasi yang berupa sejumlah uang. Selanjutnya Pasal 1132
KUH Perdata menegaskan bahwa “Kebendaan tersebut menjadi jaminan
bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan
penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut besar kecilnya piutang
masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan
yang sah untuk didahulukan”. Dengan demikian apabila seorang Debitor
mempunyai beberapa Kreditor maka kedudukan para Kreditor adalah sama
(asas paritas creditorium). Jika kekayaan Debitor itu tidak cukup untuk
melunasi hutang-hutangnya, maka para Kreditor itu dibayar berdasarkan asas
keseimbangan, yaitu masing-masing memperoleh piutangnya seimbang
73
R. Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum
Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989, h. 11.
102
dengan piutang Kreditor lain. Jadi dalam pasal tersebut terkandung adanya
kesamaan hak para Kreditor atas harta kekayaan Debitornya.74
Menurut Boedi
Harsono, jaminan umum yang diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata
mempunyai dua kelemahan, yaitu :
a. Kalau hasil penjualan harta kekayaan Debitor tidak cukup untuk melunasi
piutang semua Kreditornya, maka tiap Kreditor hanya memperoleh
pembayaran sebagian seimbang dengan jumlah piutangnya masing-
masing. Jadi dalam hal ini tidak ada kedudukan Kreditor yang didahulukan
(droit de preference).
b. Kalau seluruh atau sebagian harta kekayaan tersebut telah dipindahkan
kepada pihak lain, karena bukan lagi kepunyaan Debitor, bukan lagi
merupakan jaminan bagi pelunasan piutang Kreditor.75
Dalam hal-hal tertentu, adakalanya seorang Kreditor menginginkan untuk
tidak berkedudukan sama dengan Kreditor-Kreditor lain. Karena kedudukan
sama dengan Kreditor-Kreditor lain itu berarti mendapatkan hak yang
berimbang dengan Kreditor-Kreditor lain dari hasil penjualan harta kekayaan
Debitor. Apabila Debitor cidera janji, sebagaimana menurut ketentuan Pasal
1132 dan Pasal 1136 KUH Perdata. Kedudukan yang berimbang itu tidak
memberikan kepastian akan terjaminnya pengembalian piutangnya. Kreditor
yang bersangkutan tidak akan pernah tahu akan adanya Kreditor-Kreditor lain
yang mungkin muncul dikemudian hari. Makin banyak Kreditor dari Debitor
yang bersangkutan, makin kecil pula kemungkinan terjaminnya pengembalian
piutang yang bersangkutan apabila karena sesuatu hal Debitor menjadi berada
dalam keadaan insolvensi (tidak mampu membayar utang-utangnya). Sebagai
akibatnya, kemungkinan dinyatakan oleh pengadilan, Debitor itu jatuh pailit
74
Ibid., h. 5-6. 75
Boedi Harsono, op.cit, h. 402-403.
103
dan harta kekayaannya dilikuidasi. Pengadaan hak-hak jaminan oleh undang-
undang, seperti Hipotik dan Gadai, adalah untuk memberikan kedudukan bagi
seseorang Kreditor tertentu untuk didahulukan terhadap kredior-Kreditor
lain.76
Hak jaminan atas tanah adalah hak penguasaan yang secara khusus
dapat diberikan kepada Kreditor, yang memberi wewenang kepadanya untuk,
jika Debitor cedera janji, menjual lelang tanah yang secara khusus pula
ditunjuk sebagai agunan piutangnya dan mengambil seluruh atau sebagian
hasilnya untuk pelunasan piutangnya tersebut, dengan hak mendahulu
daripada Kreditor-kreditor yang lain (droit de preference).77
2. Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi ( Pasal 2 ayat (1) UUHT )
Sifat tidak dapat dibagi-bagi dari Hak Tanggungan sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UUHT, adalah bahwa hak tanggungan
membebani secara utuh obyek hak tanggungan dan setiap bagian dari padanya.
Sekaligus ini berarti jika dilunasinya sebagian dari utang yang dijamin, tidaklah
berarti terbebasnya sebagian obyek hak tanggungan dari beban hak tanggungan
tetapi tetap membebani seluruh obyek hak tanggungan untuk sisa utang yang
belum dilunasi.
3. Kemudahan dan kepastian pelaksanaan eksekusinya (Pasal 6 dan Pasal 20
UUHT);
Adapun yang dimaksud dengan mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya
adalah apabila Debitor cidera janji tidak perlu ditempuh acara gugatan perdata
76
Sutan Remy Sjahdeini, 1999, Hak Tanggungan (Asas-Asas, Ketentuan-
ketentuan Pokok Dan Masalah Yang dihadapi Oleh Perbankan), Alumni,
Bandung, h. 9-10. 77
Boedi Harsono, op. Cit., h. 56-57.
104
biasa, yang memakan waktu dan biaya.78
Di dalam UUHT terdapat tiga cara untuk
mengeksekusi hak tanggungan apabila Debitor cidera janji, yaitu :
a. Menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri atau parate executie
sesuai ketentuan Pasal 6 UUHT. Artinya pemegang hak tanggungan tidak
perlu memperoleh persetujuan dari pemberi hak tanggungan dan tidak perlu
meminta penetapan dari pengadilan setempat apabila akan melakukan
eksekusi atas hak tanggungan yang menjadi jaminan utang Debitor dalam
hal Debitor cidera janji. Pemegang hak tanggungan dapat langsung datang
dan meminta kepada Kepala Kantor Lelang untuk melakukan pelelangan
atas obyek hak tanggungan yang bersangkutan. Hak untuk menjual obyek
hak tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan
dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang hak tanggungan,
atau oleh pemegang hak tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih dari
satu pemegang Hak Tanggungan.79
Sisa dari hasil penjualan obyek hak
tanggungan tersebut tetap menjadi hak dari pemberi hak tanggungan dan
Kreditor yang lain (jika terdapat lebih dari satu Kreditor). Menurut Pasal 11
ayat (2) huruf e UUHT, agar dimilikinya kewenangan parate executie
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UUHT, didalam APHT harus
didahului atau dicantumkan janji ini mengenai hal tersebut.
b. Eksekusi berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam Sertipikat hak
tanggungan sebagaiman dimaksud oleh Pasal 14 ayat (2) yuncto Pasal 20
ayat (1) UUHT. Pengertian titel eksekutorial adalah kekuatan untuk
78
Boedi Harsono, op. Cit., h. 403. 79
Sutan Remy Sjahdeini,op. Cit., h. 46-47.
105
dilaksanakan secara paksa dengan bantuan dan oleh alat-alat Negara,
sedangkan yang dapat mempunyai kekuatan eksekutorial adalah Grosse
Keputusan Hakim, Grosse Akta Hipotik (sekarang Sertipikat hak
tanggungan) dan Grosse Akta Pengakuan Hutang yang dibuat oleh seorang
Notaris (Pasal 224 HIR, Pasal 440 Rv, Pasal 41 PJN). Jadi pada asasnya
yang dapat dieksekusi adalah keputusan Pengadilan dan akta otentik
tertentu.80
Grosse adalah salinan dari suatu minut yang diatasnya diberi irah-
irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA“. Pelaksanaan isi surat atau akta tersebut dilakukan dengan
meminta bantuan dan karenanya dengan seijin Ketua Pengadilan.81
Sebagaimana diketahui bahwa peraturan pelaksana mengenai Eksekusi hak
tanggungan belum ada, sehingga dalam pelaksanaannya masih mengacu
pada ketentuan pelaksanaan eksekusi Hypoteek (Pasal 26 UUHT).
c. Penjualan dibawah tangan sebagaimana ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUHT.
Penjualan obyek hak tanggungan di bawah tangan artinya penjualan yang
tidak melalui pelelangan umum. Pada prinsipnya setiap eksekusi harus
dilaksanakan melalui pelelangan umum, karena dengan cara demikian
diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi untuk obyek hak
tanggungan yang dijual. Dalam keadaan tertentu apabila melalui pelelangan
umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi, atas
kesepakatan pemberi dan penerima hak tanggungan serta dengan dipenuhinya
80
J. Satrio, 1993, Parate Eksekusi Sebagai Sarana Mengatasi Kredit
Macet, Citra Aditya Bakti, Bandung (selanjutnya disebut J. Satrio II), h. 43-44. 81
Ibid, h. 44.
106
syarat-syarat tertentu yang disebut dalam Pasal 20 ayat (3) UUHT,
dimungkinkan eksekusi dilakukan dengan cara penjualan obyek hak
tanggungan secara dibawah tangan, jika dengan cara demikian akan diperoleh
harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak.82
Ketentuan mengenai
mudah dan pasti pelaksanaan eksekusi ini demi menjamin pelunasan piutang
oleh Debitor atau pemberi hak tanggungan kepada Kreditor atau penerima
hak tanggungan.
4. Hak Tanggungan mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek hak
tanggungan itu berada / Droit de Suite ( Pasal 7 UUHT )
Hak tanggungan tetap membebani obyek hak tanggungan (tanah yang
dijadikan jaminan utang) di tangan siapapun obyek tersebut berada. Ketentuan ini
berarti bahwa Kreditor pemegang hak tanggungan tetap berhak menjual lelang
obyek hak tanggungan (jika Debitor cidera janji), walaupun sudah dipindahkan
haknya kepada pihak lain.83
Dengan demikian, hak tanggungan tidak akan
berakhir sekalipun obyek hak tanggungan itu beralih kepada pihak lain oleh
karena sebab apaun juga. Berdasarkan ketentuan ini, pemegang hak tanggungan
akan selalu dapat melaksanakan haknya dalam tangan siapapun benda (obyek Hak
Tanggungan) berpindah.84
82
Boedi Harsono, op. cit., h. 444-445. 83
Boedi Harsono, op.cit, h. 402. 84
Sutan Remy Sjahdeini, op. cit., h. 38-39.
107
5. Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan Akta Otentik ( Pasal 10 ayat
(2) yuncto Pasal 1 angka 4 UUHT )
Menurut Pasal 10 ayat (2) UUHT, pemberian hak tanggungan dilakukan
dengan pembuatan APHT oleh PPAT. Pembuatan APHT oleh PPAT ini
menyebabkan APHT tersebut menjadi akta otentik sebagaimana Penjelasan
Umum UUHT Angka 7. Akta otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk
menurut ketentuan undang-undang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang
berwenang untuk itu di tempat di mana akta itu dibuat sebagaimana digariskan
oleh Pasal 1868 KUH Perdata. Akta otentik memberikan diantara para pihak
beserta ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari para pihak itu
suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dibuat didalamnya, yang berarti
mempunyai kekuatan bukti demikian rupa karena dianggap melekatnya pada akta
itu sendiri, sehingga tidak perlu dibuktikan lagi. Dengan dilakukannya pemberian
hak tanggungan menggunakan akta otentik, maka kepastian pelunasan piutang
Kreditor atau penerima hak tanggungan akan lebih terjamin daripada pemberian
hak tanggungan dilakukan hanya menggunakan surat dibawah tangan, karena
kekuatan pembuktian surat dibawah tangan tidak sesempurna akta otentik
sehingga para pihak harus membuktikan (mengakui) tulisan yang ada didalam
surat dibawah tangan tersebut.
6. Tidak masuk dalam boedel pailit ( Pasal 21 UUHT )
Menurut Pasal 21 UUHT, sekalipun pemberi hak tanggungan dinyatakan
pailit, tetapi Kreditor pemegang hak tanggungan tetap berwenang melakukan
segala hal yang diperolehnya menurut UUHT. Ini berarti, bahwa obyek hak
108
tanggungan tidak termasuk dalam boedel kepailitan, sebelum Kreditor pemegang
hak tanggungan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan benda yang
bersangkutan.85
Dengan demikian, obyek hak tanggungan tidak akan disatukan
dengan harta kepailitan untuk dibagi kepada Kreditor-Kreditor lain dari pemberi
hak tanggungan. Ketentuan Pasal 21 UUHT ini memberikan penegasan mengenai
kedudukan yang preferent dari Kreditor pemegang hak tanggungan terhadap
obyek hak tanggungan terhadap Kreditor-Kreditor lain, sehingga hak dari Kreditor
pemegang hak tanggungan terjamin.86
7. Sanksi Administratif (Pasal 23 UUHT).
Menurut Ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUHT, pejabat yang melanggar atau
lalai dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan UUHT dapat dikenai sanksi
administratif berupa teguran lisan, teguran tertulis dan pemberhentian sementara
dari jabatan. Pelanggaran atau kelalaian yang dimaksud dalam ketentuan tersebut,
yaitu :
a. Pertama, mengenai pencantuman nama dan identitas para pihak, domisili para
pihak, penunjukan secara jelas utang-utang yang dijamin, nilai tanggungan
dan uraian yang jelas mengenai obyek hak tanggungan dalam APHT (Pasal 11
ayat (1) UUHT).
b. Mengenai pengiriman APHT dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor
Pertanahan dalam waktu paling lambat tujuh hari kerja setelah
penandatanganan APHT (Pasal 13 ayat (2) UUHT);
c. Ketiga, mengenai persyaratan pembuatan SKMHT (Pasal 15 ayat (1) UUHT).
85
Boedi Harsono, op. Cit., h. 403. 86
Sutan Remy Sjahdeni, op. Cit., h. 162.
109
Ketentuan Pasal 23 ayat (2) UUHT mengatur bahwa bagi pegawai Kantor
Pertanahan yang melanggar atau lalai dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan
Pasal 13 ayat (4) mengenai pendaftaran hak tanggungan, pencatatan pada Buku
Tanah bagi pendaftaran beralihnya hak tanggungan dan mengenai pencoretan hak
tanggungan, dapat dikenai sanksi administratif sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Selain sanksi administratif, bagi pejabat
(PPAT dan pegawai Kantor Pertanahan) yang melanggar atau lalai dapat pula
dikenakan sanksi perdata dan sanksi pidana. Pemberian sanksi-sanksi tersebut
kepada para pelaksana yang bersangkutan (PPAT dan pegawai Kantor
Pertanahan), atas pelanggaran atau kelalaian dalam memenuhi berbagai ketentuan
pelaksanaan tugasnya masing-masing adalah untuk menjamin kepastian hukum
serta memberikan perlindungan kepada para pihak yang berkepentingan.87
Sementara itu di dalam prakteknya, berdasarkan hasil wawancara dengan
Bapak I Putu Chandra, SH, Notaris/PPAT di Kota Denpasar menjelaskan bahwa
terkait dengan APHT yang tidak didaftarkan, maka upaya untuk mendapatkan
perlindungan hukum pada pihak bank selaku Kreditor dilakukan penandatanganan
Akta Penyerahan Jaminan Secara Sukarela disertai dengan Akta Kuasa Menjual.
Akta Kuasa Untuk Menjual ditandatangani oleh Debitor selaku pemberi kuasa dan
Kreditor selaku penerima kuasa yang dalam hal ini diwakili oleh salah satu
Pejabat Bank sebagai kuasa Direksi. Penandatanganan Akta kuasa untuk menjual
ini dilakukan bersamaan pada saat dilangsungkannya proses akad kredit, yaitu
penandatanganan akta perjanjian kredit berikut dengan APHT dan/atau SKMHT
87
Boedi Harsono, op. cit, h. 446.
110
dihadapan Notaris/PPAT. Hal ini adalah upaya untuk melindungi pihak kreditor
dalam hal APHT tidak didaftarkan apabila Debitor wanprestasi. Fungsi Akta
kuasa menjual pada dasarnya adalah untuk menjamin pelunasan utang Debitor,
dalam arti Kreditor sangat berkepentingan untuk mengambil pelunasan hutang
tersebut demi untuk memperkecil atau mengurangi kerugian bahkan mencegah
kerugian dalam menyalurkan kredit. Dengan adanya akta kuasa menjual ini,
apabila Debitor wanpretasi, maka Kreditor memiliki hak untuk menjual sendiri
benda jaminan milik Debitor atas nama Debitor. Sejalan dengan itu Ni Komang
Purnama Dewi, SH, Kepala bagian legal PT. Bank Mayapada menyebutkan
bahwa Kreditor bank mesti bersifat antisipatif untuk menjaga kemungkinan yang
tidak diharapkan dan kemungkinan tersebut berakibat merugikan Kreditor bank
itu sendiri. Salah satu kemungkinan yang dapat merugikan Kreditor bank adalah
tidak didaftarkannya APHT oleh Notaris/PPAT yang bersangkutan dengan
berbagai sebab-sebab tertentu. Lebih jauh dikatakan bahwa untuk mengantisipasi
kemungkinan terjadinya kerugian dari Kreditor bank maka Debitor mesti bersedia
untuk menandatangani Akta Kuasa Menjual sebagai instrument antisipatif jika
karena sesuatu hal APHT tidak dapat didaftarkan.
111
BAB IV
HAK KREDITOR PERBANKAN TERHADAP BENDA JAMINAN
DALAM HAL APHT TIDAK DIDAFTARKAN
4.1 Faktor-Faktor Yang Menyebabkan PPAT Tidak Mendaftarkan APHT
Ada beberapa hal yang menyebabkan APHT tidak didaftarkan, antara lain
karena tidak dapat didaftarkan dalam arti terjadi penolakan dari Kantor
Pertanahan setempat terhadap pendaftaran APHT tersebut. Penolakan tersebut
dapat terjadi akibat pemblokiran sertipikat dan keberatan dari pihak-pihak lain
terhadap pendaftaran tersebut. Hal tersebut ditegaskan Kepala Sub Seksi
Peralihan, Pembebanan Hak dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Kantor Pertanahan
Kota Denpasar Bapak I Ketut Suarjana, PPAT tidak mendaftarkan APHT
disebabkan karena beberapa alasan, diantaranya adanya pemblokiran terhadap
obyek hak tanggungan dengan alasan obyek HT tersebut sedang berada dalam
sengketa di pengadilan.
Sementara itu menurut Notaris/PPAT I Putu Chandra, SH, dalam
wawancara tanggal 6 Januari 2014, faktor-faktor penyebab pemblokiran sertipikat
hak atas tanah, adalah :
A. Hak atas tanah dalam Sengketa di pengadilan. Kepala Kantor Pertanahan
setempat wajib menolak melakukan pendaftaran peralihan atau pembebanan
hak atas tanah apabila hak atas tanah yang bersangkutan menjadi obyek
sengketa. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 45 ayat (1) huruf c PP 24/
1997, yang menyatakan “Kepala Kantor Pertanahan menolak untuk
melakukan pendaftaran peralihan atau pembebanan hak, jika dokumen yang
111
112
diperlukan untuk pendaftaran peralihan atau pembebanan hak yang
bersangkutan tidak lengkap”. Dalam rangka memberikan jaminan kepastian
hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang dan pemilik hak atas tanah
maka pendaftaran tanah di Indonesia menggunakan asas publisitas negatif
yang dimaksudkan agar pihak yang berkepentingan berkesempatan
mengajukan gugatan ke Pengadilan. Pendaftaran tanah di Indonesia juga
mengganut asas publisitas positif pendaftaran tanah, dimana ketika sertipikat
hak atas tanah yang telah diterbitkan Kantor Pertanahan berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat, sepanjang tidak terbukti sebaliknya (Penjelasan Umum
Pasal 32 PP 24/1997). Asas publisitas negatif dimaksudkan untuk memberi
kesempatan kepada setiap orang atau badan hukum, yang merasa berhak
mempunyai sesuatu hak atas tanah agar menyampaikan gugatan ke pengadilan
setempat dan meneruskan salinannya kepada Kantor Pertanahan, untuk
dibubuhi catatan sita di buku tanah dan di daftar umum lainnya sebagai obyek
sedang diperkarakan. Catatan sita juga dapat dibuat di sertipikat bersangkutan
atas permohonan penyidik atau penyelidik. Kantor Pertanahan dapat
melakukan catatan sita, sesuai ketentuan Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Pendaftaran Tanah sebagai berikut:
a. Pasal 126 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun
1997:
(1) Pihak yang berkepentingan dapat minta dicatat dalam buku tanah
bahwa suatu hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
akan dijadikan obyek gugatan di Pengadilan dengan menyampaikan
salinan surat gugatan yang bersangkutan.
113
(2) Catatan tersebut hapus dengan sendiri nya dalam waktu 30 (tiga puluh)
hari terhitung dari tanggal pencatatan atau apabila pihak yang minta
pencatatan telah mencabut permintaannya sebelum waktu tersebut
berakhir.
(3) Apabila Hakim yang memeriksa perkara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) memerintahkan status quo atas hak atas tanah atau Hak Milik
Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan, maka perintah tersebut
dicatat dalam buku tanah.
(4) Catatan mengenai perintah status quo tersebut pada ayat (3) hapus
dengan sendirinya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kecuali apabila
diikuti dengan putusan sita jaminan yang salinan resmi dan berita
acara eksekusinya disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan.
b. Pasal 127 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.3 Tahun
1997:
(1) Penyitaan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
dalam rangka penyidikan atau penuntutan perbuatan pidana dicatat
dalam buku tanah dan daftar umum lainnya serta, kalau mungkin, pada
sertipikatnya, berdasarkan salinan resmi surat penyitaan yang
dikeluarkan oleh penyidik yang berwenang sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Catatan mengenai penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dihapus setelah sita tersebut dibatalkan/diangkat ataupenyidikan
perbuatan pidana yang bersangkutan dihentikan sesuai ketentuan yang
berlaku atau sesudah ada putusan mengenai perkara pidana yang
bersangkutan.
Berdasarkan ketentuan di atas maka atas dasar perintah Hakim pengadilan
maka Kepala Kantor Pertanahan dapat membuat catatan di dalam buku tanah
dan daftar umum bersangkutan status quo, namun dalam jangka waktu 30 hari
sejak tanggal pencatatan tersebut tidak diikuti dengan putusan sita jaminan
dari Hakim pengadilan, catatan sita tersebut hapus dengan sendirinya. Sesuai
ketentuan Pasal 24 PP 24/ 1997, maka selama sita jaminan masih melekat atas
hak atas tanah sebagaimana catatan sita di dalam buku tanah dan daftar umum
lainnya maka Kepala Kantor Pertanahan menolak setiap permohonan
perubahan pemeliharaan data fisik maupun data yuridis bersangkutan. Catatan
114
sita di buku tanah dan daftar umum lainnya dalam perkara perdata maupun
pidana hanya dapat dibatalkan atau diangkat sita setelah perkaranya dihentikan
atau perkaranya sudah diputuskan Hakim dan telah mempunyai kekuatan
hukum tetap. Hal itu dibuktikan dengan surat perintah angkat sita sesuai
dengan salinan resmi berita acara eksekusi panitera pengadilan bersangkutan.
Terhadap sita blokir yang tidak dilanjutkan ke pengadilan maka dalam jangka
waktu 30 hari pihak bersangkutan dapat melakukan pengangkatan sita atas
permohonan sendiri kepada Kepala Kantor Pertanahan dengan melampirkan
bukti dalam bentuk akta perdamaian para pihak bersengketa. Dengan
demikian, karena terjadinya sengketa hak atas tanah di pengadilan maka atas
dasar permohonan, Hakim pengadilan dapat dilakukan pemblokiran sertipikat
hak atas tanah oleh Kantor Pertanahan.
B. Hak Atas Tanah disita jurusita Panitia Badan Urusan Piutang dan Lelang
Negara (BUPLN) dalam kaitan pelunasan Piutang Negara
Pemblokiran sertipikat hak atas tanah dapat dilakukan karena tanah
tersebut menjadi sengketa yang dilanjutkan dengan sita jaminan yang dimohonkan
oleh Hakim Pengadilan kepada Kantor Pertanahan untuk memblokir hak atas
tanah tersebut sampai adanya putusan pengadilan. Selain itu, hak atas tanah
Debitor/penjamin hutang dalam kaitan pelunasan piutang Negara dapat disita oleh
jurusita Panitia Badan Urusan Piutang Dan Lelang Negara (BUPLN) pada Kantor
Lelang Negara, dalam hal ini Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN)
melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).
115
Menurut Pasal 8 Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang
Panitia Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1960 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara republik Indonesia Nomor 2104,
selanjutnya disebut UU PUPN) yuncto Pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 300/KMK/01/2002 tentang Pengurusan Piutang Negara menyebutkan,
yang dimaksud dengan Piutang Negara atau hutang kepada Negara adalah jumlah
uang yang wajib dibayar kepada Negara atau Badan-badan Negara yang sumber
pendapatnya berasal dari Negara, baik secara langsung atau tidak langsung
dikuasai oleh Negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab apapun.
Dalam rangka pengamanan piutang Negara, maka Badan Urusan Piutang dan
Lelang Negara (BUPLN) dapat melakukan pemblokiran barang jaminan dan atau
harta kekayaan lain milik Debitor/penjamin hutang. Pemblokiran terhadap barang
jaminan dan atau harta kekayaan lain milik Debitor/penanggung hutang
dilaksanakan dengan menerbitkan Surat Pemblokiran yang ditandatangani oleh
Kepala Kantor Pelayanan (KPKNL) dan ditujukan kepada instansi yang
berwenang atau Kantor Pertanahan untuk barang jaminan atau kekayaan lain dari
Debitor adalah hak atas tanah sebagaimana ketentuan Pasal 87 dan Pasal 91
Keputusan Menteri Nomor 300/KMK/01/2002.
Pemblokiran akan dicabut oleh Kantor Lelang Negara yang disampaikan
kepada Kantor Pertanahan setempat, apabila:
a. Piutang Negara dinyatakan lunas;
b. Pengurusan Piutang Negara dinyatakan selesai;
116
c. Hak atas tanah tersebut tidak atau tidak lagi merupakan jaminan penyelesaian
hutang;
d. Hak atas tanah telah disita lebih dahulu oleh instansi lain yang berwenang,
atau ;
e. Hak atas tanah diketahui mengandung cacat hukum berdasarkan keputusan
Kantor Pertanahan sesuai Pasal 9 Keputusan Menteri Nomor Nomor
300/KMK/ 01/2002.
Dengan demikian atas dasar pelunasan piutang Negara, maka dapat dilakukan
pemblokiran hak atas tanah milik Debitor/penanggung hutang yang dimohonkan
Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) melalui KPKNL kepada
Kepala Kantor Pertanahan.
C. Sertipikat Hak Atas Tanah Hilang, Pemblokiran juga dapat dilakukan Kantor
Pertanahan atas dasar permohonan pemilik hak atas tanah yang sertipikatnya
hilang.
Dalam hal surat tanah telah ditemukan maka pihak pemohon pemblokiran
tersebut harus melakukan pencabutan blokir tersebut secara tertulis kepada Kepala
Kantor Pertanahan. Dengan adanya pencabutan pemblokiran maka telah dapat
dilakukan peralihan ataupun pendaftaran balik nama atas tanah tersebut.
Kemudian juga mengingat peralihan hak yang dilakukan adalah dengan Akta
Perikatan Jual Beli Notaris, maka untuk dapat dilakukan pendaftaran balik nama
terlebih dahulu harus dilaksanakan jual beli yang definitif dengan pembuatan Akta
Jual Beli di hadapan PPAT, dan atas dasar Akta Jual Beli PPAT tersebut
pendaftaran balik nama atas tanah tersebut dilakukan di Kantor Pertanahan.
117
Selain akibat pemblokiran sebagaimana yang telah diuraikan tersebut
diatas, APHT tidak dapat didaftarkan juga dapat dikarenakan adanya keberatan
pihak-pihak tertentu. Keberatan ini pada akhirnya menyebabkan terjadinya
pemblokiran terhadap sertipikat yang akan dibebani hak tanggungan tersebut.
Terkait hal ini, Kepala Bagian Legal BPR Lestari Bapak I Nyoman Suardana
mengaku bahwa hal tersebut pernah dialami nasabah kredit BPR Lestari, yaitu
pada saat akan dilakukan pembebanan hak tanggungan untuk yang kedua kali
karena nasabah kredit tersebut ingin menambah jumlah kredit yang telah
diberikan. Dalam wawancara tanggal 10 Februari 2014, Bapak I Nyoman
Suardana menjelaskan, pada pendaftaran hak tanggungan yang pertama
sebelumnya tidak terjadi pemblokiran sertipikat tersebut oleh Kantor Pertanahan
Kota Denpasar. Namun ketika pembebanan hak tanggungan yang kedua akan
dilakukan ternyata ada permintaan pemblokiran sertipikat oleh seorang pengacara
yang mewakili pihak yang merasa keberatan terhadap pendaftaran hak tanggungan
tersebut dengan alasan telah terjadi sengketa atas tanah tersebut pada saat jual beli
dilakukan dulu.
Ketika permasalah tersebut dapat diselesaikan dan permohonan
pencabutan blokir dikirim ke Kantor Pertanahan Kota Denpasar oleh pemohon
blokir. Pemblokiran baru dicabut lima hari kemudian. Hal tersebut sesuai dengan
ketentuan Pasal 126 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 bahwa pemblokiran hapus dengan
sendirinya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung dari tanggal permohonan
118
blokir atau apabila pihak yang minta pemblokiran telah mencabut permintaan
pemblokiran sebelum waktu tersebut berakhir.
Menurut Bapak I Nyoman Suardana, pihaknya tidak sempat mengambil
langkah hukum terkait pemblokiran tersebut karena masalah tersebut telah dapat
diselesaikan antara pemilik tanah dan pemohon blokir. Untuk itu Kantor
Pertanahan Kota Denpasar lalu mencabut pemblokiran dan hak tanggungan kedua
dapat dibebankan pada obyek tanah yang telah dijaminkan nasabah Debitor BPR
Lestari yang bersangkutan.
Sementara itu menurut Kepala Legal Bank Mayapada Cabang Denpasar
Ibu Ni Komang Purnama Dewi, SH, dalam wawancara tanggal 17 Februari 2014,
pemblokiran sertipikat pada saat dilakukan pendaftaran hak tanggungan tidak
pernah dialami Bank Mayapada. Menurut Ibu Purnama Dewi kejadian seperti
jarang menimpa Bank Umum karena proses pemberian kredit yang dilakukan
sangat ketat. Umumnya hal seperti itu dialami oleh BPR karena proses pemberian
kredit tergolong cepat sehingga cenderung kurang berhati-hati. Kemungkinan
BPR kurang hati-hati melakukan dalam melakukan pengecekan sertipikat
sehingga pada akhirnya sertipikat tersebut bermasalah.
Selain akibat tidak dapat didaftarkankan karena penolakan dari Kantor
Pertanahan setempat terhadap pendaftaran APHT tersebut akibat pemblokiran
sertipikat dan keberatan dari pihak-pihak lain, pendaftaran APHT tidak dilakukan
juga akibat Perbuatan PPAT, yaitu akibat kelalaian dan kesengajaan. Terkait
dengan kelalain PPAT ini, Notaris/PPAT I Made Gelgel, SH, dalam wawancara
tanggal 9 April 2014 menilai bahwa hal tersebut sangat kecil kemungkinan terjadi
119
mengingat pendaftaran APHT adalah rangkaian kegiatan yang merupakan
lanjutan dari suatu perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan. Setelah
perjanjian kredit ditandatangani, sebagai perjanjian pokok, maka APHT pun
ditandatangani para pihak sebagai perjanjian accesoir dan Notaris/PPAT segera
melengkapi syarat-syarat yang diperlukan agar bisa didaftarkan ke Kantor
Pertanahan setempat sebagai bagian dari tugas yang harus diselesaikan PPAT
dalam rangka membuat akta perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan.
Hanya saja apabila terjadi kelalaian Notaris/PPAT dalam mendaftarkan
APHT maka perbuatan tersebut tergolong sebagai perbuatan melawan hukum.
Perbuatan melawan hukum tidak hanya perbuatan yang bertentangan dengan
undang-undang saja, tetapi berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak orang
lain atau bertentangan dengan kewajiban orang yang berbuat atau tidak berbuat,
bertentangan dengan kesusilaan maupun sifat berhati-hati sebagaimana patutnya
di dalam lalu lintas masyarakat.88
Menurut Notaris/PPAT I Made Gelgel, SH,
dalam wawancara 9 April 2014, apabila kelalaian itu tejadi maka Notaris
sebaiknya bersiap diri untuk berhadapan dengan gugatan pihak yang dirugikan,
yaitu gugatan karena perbuatan melawan hukum. Jika diteliti lebih lanjut,
kelalaian memenuhi unsur melawan hukum seperti yang diatur dalam Pasal 1365
KUH Perdata yang menentukan “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan
membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan
kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut”. Dengan
88
Mariam Daruz Badrulzaman. 1993, K.U.H.Perdata Buku III Hukum
Perikatan Dengan Penjelasan., cetakan kedua, Bandung: Penerbit Alumni,.
(selanjutnya disebut Mariam Badrulzaman II), h. 147.
120
demikian maka tidak berlebihan jika kelalaian yang disebabkan oleh
Notaris/PPAT diajukan gugatan perdata berupa tuntutan ganti rugi dan bunga.
Karena kewajiban Notaris/PPAT sudah sangat terang dan jelas, pelanggaran
terhadap kewajiban tersebut adalah perbuatan melawan hukum. Berdasarkan
ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata di atas maka dapat disimpulkan bahwa
gugatan perdata berdasarkan perbuatan melawan hukum harus memenuhi syarat-
syarat atau unsur-unsur : (1). Adanya perbuatan melawan hukum, (2). Harus ada
kesalahan, (3). Harus ada Kerugian yang ditimbulkan, dan (4). Adanya hubungan
kausal antara perbuatan dan kerugian.
Pandangan yang menyebutkan bahwa kelalaian Notaris/PPAT dalam
mendaftarkan APHT sebagai perbuatan melanggar hukum tergolong pandangan
dengan penafsiran yang luas. Akan lebih tepat jika dikatakan bahwa kelalaian
tersebut dapat dikualifikasi sebagai perbuatan PPAT yang melanggar undang-
undang khususnya UUHT. Untuk membuktikan telah terjadi pelanggaran oleh
PPAT terlebih dahulu mesti dilakukan kualifikasi atas tindakannya dengan cara
sebagai berikut : (1) Tindakan PPAT yang terlambat melakukan pendaftaran
APHT karena telah terjadi perbuatan hukum oleh pihak ketiga atas barang
jaminan dengan cara melakukan blokir sertipikat atau dengan cara mengajukan
gugatan yang disertai dengan sita jaminan maka keterlambatan tersebut bukan
karena kelalaian PPAT tetapi karena alasan hukum yang belum memungkinkan
dilakukannya pendaftaran, (2) Tindakan PPAT yang terlambat melakukan
pendaftaran karena sebab-sebab yang bersumber dari PPAT itu sendiri, misalnya
PPAT secara sengaja/lalai melakukan penundaan pendaftaran APHT, ada indikasi
121
PPAT melakukan kerjasama dengan pihak lain khususnya pemberi hak
tanggungan untuk melakukan penundaan pendaftaran. Terhadap tindakan PPAT
yang terlambat melakukan pendaftaran karena sebab-sebab yang bersumber dari
PPAT sendiri merupakan suatu pelanggaran undang-undang dan mesti dikenakan
sanksi atas pelanggaran yang dilakukannya tersebut.
Kelalaian PPAT dalam mendaftarkan PPAT erat kaitannya dengan
ketentuan Pasal 13 ayat (2) UUHT yang mewajibkan PPAT mengirimkan APHT
dan warkah lain yang diperlukan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah
penandatanganan APHT yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan setempat.
Menurut Pasal 13 ayat (4) tanggal buku tanah adalah pada hari ketujuh setelah
berkas yang dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) UUHT dikirimkan oleh PPAT ke
Kantor Pertanahan. Pada tanggal buku tanah tersebut adalah kelahiran Hak
Tanggungan sebagaimana ketentuan Pasal 13 ayat (5) UUHT. Secara teori,
apabila PPAT tidak mengindahkan ketentuan batas waktu 7 (tujuh) hari dalam hal
pengiriman APHT dan warkah lainnya kepada Kantor maka sesuai ketentuan
Pasal 23 ayat (1) UUHT, dapat dikenai sanksi administratif, berupa: (a). tegoran
lisan, (b). tegoran tertulis, (c). pemberhentian sementara dari jabatan dan (d).
pemberhentian dari jabatan.
Hanya saja pada prakteknya, beberapa oknum PPAT di Kota Denpasar
yang melanggar ketentuan Pasal 13 ayat (2) tersebut dengan melampaui batas
waktu selambat-lambatnya tujuh hari yang ditentukan tidak terkena sanksi
administratif sebagaimana disebutkan Pasal 23 ayat (1). Menurut Kepala Seksi
Peralihan, Pembebanan Hak dan PPAT Kantor Pertanahan Kota Denpasar Bapak I
122
Ketut Arjana dalam wawancara tanggal 3 Februari 2014, untuk wilayah kerja di
Kota Denpasar, tingkat keterlambatan pendaftaran APHT oleh PPAT cukup
tinggi, namun sanksi administrasi akibat kelalaian PPAT yang tidak
mengindahkan batas hari 7 (tujuh) pengiriman APHT dan warkah lainnya ke
Kantor Pertanahan Kota Denpasar tidak pernah terjadi. Hal tersebut karena
keterlambatan tersebut merupakan hal yang masih dapat ditoleransi oleh Kantor
Pertanahan. Dengan kata lain, bukan kelalaian tersebut bukan hal yang bersifat
fatal.
Hal senada diutarakan oleh Notaris/PPAT I Made Gelgel dalam
wawancara tanggal 9 April 2014, dimana menurutnya keterlambatan pengiriman
APHT dan warkah lain ke Kantor Pertanahan oleh PPAT di Denpasar, bisa dalam
hitungan hari bahkan sampai berbulan-bulan. Namun hal tersebut,
sepengetahuannya tidak menyebabkan timbulnya sanksi administraasi kepada
PPAT yang bersangkutan. Hal yang sama diuraikan oleh Kepala Bagian Legal
BPR Lestari Bapak Nyoman Suardana dalam wawancara tanggal 10 Februari
2024, dimana keterlambatan pengiriman APHT dan warkah lainnya oleh PPAT ke
Kantor Pertanahan Kota Denpasar sering terjadi tanpa mengakibatkan sanksi
apapun.
Tidak diterapkannya ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUHT mengenai sanksi
administrasi bagi PPAT merupakan bukti masih lemahnya penegakan hukum
dalam proses pendaftaran APHT. Namun pada sisi lain proses pendaftaran APHT
yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kota Denpasar adalah untuk memberikan
perlindungan hukum kepada penerima hak tanggungan. Jika dianalisa
123
menggunakan teori perlindungan hukum sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan maka pendaftaran APHT yang
memenuhi ketentuan UUHT telah memenuhi asas pengayoman yang memberikan
perlindungan hukum untuk menciptakan ketentraman penerima hak tanggungan.
Sementara itu Bapak I Nyoman Suardana mengakui terkadang
keterlambatan pengiriman APHT atau warkah lain oleh PPAT mengakibatkan
penolakan oleh Kantor Pertanahan Kota Denpasar, tetapi tidak ada sanksi yang
dijatuhkan. Dalam hal pendaftaran APHT ini, pihak Kantor Pertanahan Kota
Denpasar sering melanggar ketentuan yang berlaku secara mencolok, yaitu terkait
ketentuan Pasal 13 ayat (4) UUHT yang menyatakan bahwa tanggal buku tanah
adalah pada hari ketujuh setelah berkas yang dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2)
UUHT dikirimkan oleh PPAT ke Kantor Pertanahan. Namun pada kenyataannya,
tanggal buku tanah tersebut seringkali melampaui hari ketujuh setelah pengiriman
APHT oleh PPAT ke Kantor Pertanahan Kota Denpasar, bahkan sampai berbulan-
bulan. Pelanggaran atas penerapan ketentuan tersebut menunjukkan tidak ada
kepastian hukum bagi pemohon, serta ketentuan tersebut mengabaikan prinsip-
prinsip pelayanan publik.
Selain karena akibat kelalaian PPAT, APHT tidak didaftarkan juga dapat
terjadi karena faktor kesengajaan PPAT tersebut. Menurut Notaris/PPAT I Putu
Chandra, SH, dalam wawancara tanggal 6 Januari 2014, secara teori hal ini dapat
terjadi apabila PPAT tersebut memiliki niat buruk atau karena kerjasama dengan
pihak tertentu yang menginginkan tanah tersebut tidak menjadi obyek hak
tanggungan atau hak tanggungan atas tanah tersebut tidak akan lahir. Dalam
124
kondisi yang demikian maka PPAT yang bersangkutan telah melakukan perbuatan
turut serta dengan pihak lain untuk melakukan suatu perbuatan yang secara
bersama-sama telah merugikan pihak penerima hak tanggungan.
Dengan uraian tersebut di atas maka dapat dipahami perbedaan antara
pengertian APHT yang terlambat didaftarkan dan APHT yang tidak dapat
didaftarkan. APHT yang terlambat didaftarkan adalah apabila melanggar
ketentuan batas waktu 7 (tujuh ) hari sesuai ketetapan Pasal 13 ayat (2) UUHT.
Keterlambatan ini salah satunya dapat disebabkan oleh kelalaian PPAT.
Sementara itu pengertian APHT tidak dapat didaftarkan adalah apabila terjadi
hal-hal tertentu yang membuat APHT tersebut tidak dapat didaftarkan pada
Kantor Pertanahan setempat, diantaranya akibat adanya pengajuan pemblokiran
terhadap sertipikat yang akan dibebani hak tanggungan tersebut. Selain itu dapat
pula terjadi pengajuan keberatan oleh pihak-pihak tertentu kepada Kantor
Pertanahan dalam membebankan hak tanggungan kepada sertipikat tertentu
sebagaimana pernah dialami oleh BPR Lestari yang telah diuraikan di atas.
APHT yang tidak didaftarkan, tidak akan menimbulkan suatu persoalan apabila
tidakdiikuti dengan Debitor yang wanpretasi. Persoalan terhadap pendaftaran
APHT ini baru muncul apabila Debitor wanpretasi, dan apabila terjadi hal
tersebut, keterlambatan memenuhi batas waktu 7 (tujuh) hari yang boleh PPAT
untuk mendaftarkan APHT, dapat dikategorikan bahwa APHT tersebut tidak
dapat didaftarkan.
125
4.2 Kedudukan Kreditor Perbankan Atas Benda Jaminan Dalam Hal APHT
Tidak Didaftarkan
Pemberian jaminan dari Debitor kepada Kreditor menimbulkan 2 (dua)
sifat hak jaminan yang dikenal secara umum, yaitu:
1. Hak jaminan yang bersifat umum, yaitu jaminan yang diberikan tidak
memberikan hak saling mendahului antara Kreditor yang satu dengan Kreditor
lainnya.
2. Hak jaminan yang bersifat khusus, yaitu jaminan yang diberikan oleh Debitor
kepada Kreditor, dengan memberikan hak mendahului dari Kreditor lainnya,
sehingga ia berkedudukan sebagai Kreditor privillege.
Pemberian jaminan dengan hak tanggungan menimbulkan hak jaminan
yang bersifat khusus kepada Debitor. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya,
lahirnya hak tanggungan terhadap Hak Atas Tanah dari obyek yang menjadi
jaminan kredit perbankan sangat ditentukan oleh pendaftaran APHT oleh PPAT
yang bersangkutan ke Kantor Pertanahan. Tanpa pendaftaran APHT maka hak
tanggungan tidak akan pernah lahir. Dengan kata lain, Pendaftaran Hak
Tanggungan merupakan syarat mutlak untuk lahirnya hak tanggungan .
Terkait dengan hal ini, Kepala Bagian Legal BPR Lestari, I Nyoman
Suardana dalam wawancara tanggal 10 Februari 2014, menyebutkan bahwa
apabila hak tanggungan tidak lahir maka kedudukan kreditor hanya sebagai
kreditor konkuren bukan sebagai Kreditor preferent yang memiliki hak
diutamakan sebagaimana ditentukan oleh Pasal 1 angka 1 UUHT. Dengan
kedudukannya yang demikian maka kreditur menjadi pihak yang tidak dapat
126
mengeksekusi barang jaminan jika debitur cidera janji. Yang dapat dilakukan oleh
Kreditor jika Debitor cidera janji adalah menempuh proses hukum yang panjang
dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan, meletakkan sita jaminan terhadap
barang jaminan, dan pada akhirnya harus mendapatkan putusan Hakim yang
berkekuatan hukum tetap yang amarnya menyatakan Debitor cidera janji dan
barang jaminan dapat di eksekusi melalui proses pelelangan. Lazimnya Kreditor
mesti menempuh proses peradilan perdata seperti perkara perdata lainnya. Kondisi
ini dalam lalu lintas bisnis perbankan akan terasa sangat merugikan Kreditor.
Lahirnya UUHT yang memberikan kedudukan kreditur yang preferent dapat
melakukan eksekusi (parate eksekusi) terhadap Debitor cidera janji sesungguhnya
merupakan upaya untuk memangkas proses hukum yang panjang dan dirasakan
lebih efisien.
Terkait lahirnya Hak Tanggungan, ketentuan Pasal 13 ayat (5) yuncto ayat
(4) UUHT secara jelas menegaskan bahwa hak tanggungan lahir pada hari tanggal
buku tanah Hak Tanggungan. Tanggal buku tanah hak tanggungan yang dimaksud
adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang
diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur,
buku tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa peristiwa hukum lahirnya hak tanggungan
bagi kreditor adalah peristiwa hukum yang lahir akibat pendaftaran hak
tanggungan oleh kreditor terhadap agunan yang diserahkan oleh debitor karena
suatu perjanjian kredit.
127
Dengan lahirnya hak tanggungan maka kreditor mendapatkan kedudukan
yang diutamakan (preferent) kepada kreditor yang bersangkutan. Sedangkan
apabila APHT tidak didaftarkan maka hak tanggungan tidak akan pernah lahir.
Akibatnya Kreditor tersebut hanya memiliki kedudukan sebagai Kreditor
konkuren, yaitu Kreditor yang tidak mempunyai hak pengambilan pelunasan
terlebih dahulu daripada Kreditor lain dan Kreditor konkuren itu piutangnya tidak
dijamin dengan suatu hak kebendaan tertentu.
Pendaftaran APHT dalam rangka lahirnya hak tanggungan bertujuan untuk
memberikan kepastian dan perlindungan hukum terhadap Kreditor dan Debitor
yang terlibat dalam kredit perbankan. Sebagaimana diuraikan Kepala Seksi
Peralihan, Pembebanan Hak dan PPAT Kantor Pertanahan Kota Denpasar Bapak
I Ketut Arjana, tanpa pendaftaran APHT maka hak tanggungan tidak akan lahir
yang pada gilirannya APHT tersebut tidak mengikat pihak ketiga. Dengan
demikian Kreditor yang seharusnya menjadi pemegang hak tanggungan tidak
mendapat perlindungan hukum mengingat hak tanggungan merupakan jaminan
pelunasan utang dari Debitor kepada Kreditor.
Perlindungan hukum pada bank selaku Kreditor terkait dengan hak
preferent yang muncul akibat pendaftaran APHT adalah Kreditor dapat langsung
melakukan eksekusi melalui lelang terhadap obyek jaminan yang telah dibebani
hak tanggungan tersebut tanpa melalui proses pengadilan (parate executie) jika
Debitor cidera janji. Namun apabila benda/obyek jaminan tidak dibebani dengan
hak tanggungan atau APHT tidak didaftarkan maka obyek jaminan tidak dapat
dieksekusi, dan Kreditor harus mengajukan gugatan kepada Debitor melalui
128
Pengadilan jika Debitor cidera janji. Parate Executie adalah istilah yang secara
implisit tercantum dalam Penjelasan Umum angka 9 UUHT yang menentukan :
Salah satu ciri Hak Tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam
pelaksanaan eksekusinya, jika debitor cidera janji. Walaupun secara umum
ketentuan tentang eksekusi telah diatur dalam Hukum Acara Perdata yang
berlaku, dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus ketentuan tentang
eksekusi Hak Tanggungan dalam Undang-Undang ini, yaitu yang mengatur
lembaga parate executie sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 Reglemen
Indonesia yang Diperbarui (Het Herziene Indonesisch Reglement) dan Pasal
258 Reglemen Hukum Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura
(Reglement tot Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en
Madura). Sehubungan dengan itu pada sertipikat Hak Tanggungan, yang
berfungsi sebagai surat-tanda-bukti adanya Hak Tanggungan, dibubuhkan
irah-irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANANYANG MAHA ESA", untuk memberikan kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
Penjelasan umum tersebut di atas dimaksud menunjukkan bahwa Pembentuk
UUHT menyatakan bahwa meskipun pada`dasarnya eksekusi diatur oleh Hukum
Acara Perdata namun untuk membuktikan salah satu ciri hak tanggungan terletak
pada pelaksanaan eksekusinya adalah mudah dan pasti.89
Senada dengan itu menurut Notaris/PPAT I Putu Chandra, APHT yang
tidak didaftar menyebabkannya tidak memiliki kekuatan eksekutorial.
Sebagaimana ditentukan oleh Pasal 14 ayat (3) UUHT, Sertipikat hak tanggungan
mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan Pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse
acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.
89
Herowati Poesoko, 2007, Parate Executie Objek Hak Tanggungan:
Inkonsiitensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran Dalam UUHT, Laksbang
Pressindo, Yogyakarta, hal 245.
129
Hak tanggungan diberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila
Debitor melakukan wanprestasi maka Kreditor dapat memanfaatkan kekuatan
eksekutorial tersebut untuk mengeksekusi hak tanggungan. Jadi kekuatan
eksekutorial yang dimiliki oleh hak tanggungan adalah sama dan setara dengan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Sebagaimana diatur dalam UUHT terdapat dua cara untuk pelaksanaan
kekuatan eksekutorial yang dimiliki oleh hak tanggungan yaitu :
1. Eksekusi langsung yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a yuncto Pasal 6
UUHT. Pasal 6 UUHT berbunyi : “Apabila Debitor cedera janji, pemegang
Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak
Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”. Dari keterangan pasal di
atas terlihat bahwa UUHT memberikan kewenangan kepada Kreditor untuk
melakukan eksekusi secara langsung, tanpa perlu meminta penetapan dari
pengadilan terlebih dahulu. Adanya kata-kata “untuk menjual atas kekuasaan
sendiri” menunjukkan adanya kedudukan yang diutamakan kepada pemegang
hak tanggungan karena pemegang hak tanggungan dapat melakukan eksekusi
langsung atas hak tanggungan tanpa memerlukan persetujuan dari pihak
Debitor. Eksekusi langsung ini disebut juga dengan istilah parate executie,
dimana eksekusi dapat dilakukan secara langsung oleh Kreditor tanpa meminta
130
penetapan atau bantuan dari pengadilan.90
Hal senada diungkapkan Herowati
Poesoko, yang menyatakan bahwa “Parate eksekusi dilaksanakan tanpa
meminta fiat dari Pengadilan Negeri”.91
2. Eksekusi melalui titel eksekutorial. Titel eksekutorial diatur dalam Pasal 14
ayat (2) dan ayat (3) UUHT. Sementara itu eksekusi melalui titel eksekutorial
diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b UUHT yang berbunyi:
Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan
dijual melalui pelelelangan umum menurut tata cara yang yang ditentukan
dalam peraturan perUndang-Undangan untuk pelunasan piutang
pemegang Hak Tanggungan.
Dalam penjelasan UUHT angka 9 disebutkan walaupun secara umum
ketentuan mengenai dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku, dipandang
perlu untuk memasukan secara khusus ketentuan tentang eksekusi hak
tanggungan dalam UUHT yaitu yang mengatur lembaga parate executie
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 Reglement Indonesia yang
diperbaharui (Het Herziene Indoneseich Reglement) dan Pasal 258 Reglemen
Acara Hukum Untuk Luar Jawa dan Madura. Selain itu sertipikat hak
tanggungan dinyatakan sebagai pengganti grosse acte Hypotheek, dimana
untuk eksekusi Hypotheek atas tanah ditetapkan sebagai syarat dalam
melaksanakan ketentuan pasal-pasal reglemen di atas. Dari penjelasan di atas
terlihat bahwa untuk melaksanakan eksekusi dengan titel eksekutorial pada hak
90
Rachmadi Usman, 2008, Hukum Jaminan Keperdataan, Cetakan
Pertama, PT Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disebut Rachmadi Usman I) , h.
491.
91
Herowati Poesoko, op.cit, h. 262.
131
tanggungan dilakukan dengan merujuk kepada ketentuan yang terdapat dalam
Pasal 224 Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR)/254 Reglement tot
Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura (RBg).
Isi dari Pasal 224HIR/258RBg menjelaskan bahwa terhadap surat yang
dicantumkan irah-irah yang berbunyi “Atas nama Keadilan” sekarang “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” maka surat tersebut
mempunyai kekuatan sama dengan putusan Hakim yang sudah mempunyai
kekuatan pasti/tetap. Untuk melaksanakan eksekusinya jika tidak ditepati
dengan jalan damai, maka dilakukan dengan perintah dan pimpinan Ketua
Pengadilan Negeri, yang dalam pegangannya orang berhutang itu diam atau
tinggal atau memilih kedudukannya. Sesuai dengan isi dari pasal
224HIR/258RBg, terhadap hak tanggungan juga berlaku hal yang sama
terutama yang berkaitan dengan eksekusi berdasarkan titel eksekutorial
sebagaimana diatur dalam pasal 20 ayat (1) yuncto Pasal 14 ayat (2) UUHT.
Karena berlaku sama maka dalam pelaksanaan eksekusinya juga berlaku
ketentuan yang sama pula yaitu apabila tidak dapat dieksekusi dengan damai,
maka Kreditor sebagai pemegang hak tanggungan dapat mengajukan eksekusi
dengan titel eksekutorial yaitu memohonkan penetapan dari pengadilan untuk
melakukan eksekusi terhadap obyek hak tanggungan. Dalam eksekusi terhadap
obyek hak tanggungan ini Kreditor tidak perlu melakukan gugatan terhadap
pihak Debitor, akan tetapi cukup dengan mengajukan permohonan eksekusi
kepada ketua pengadilan dengan melampirkan bukti wanprestasinya Debitor
yang disertai dengan sertipikat hak tangungan. Atas dasar itu maka Ketua
132
Pengadilan akan mengeluarkan penetapan eksekusi dan melakukan eksekusi
terhadap obyek hak tanggungan yang dimohonkan untuk dieksekusi. Untuk
melakukan eksekusi dengan titel eksekutorial cukup dilakukan dengan
menunjukkan bukti, bahwa Debitor ingkar janji dalam memenuhi
kewajibannya, diajukan permohonan eksekusi oleh Kreditor (pemegang hak
tanggungan) kepada Ketua Pengadilan Negeri, dengan menyerahkan sertipikat
hak tanggungan yang bersangkutan sebagai dasarnya. Eksekusi akan
dilaksanakan atas perintah dan dengan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri
tersebut, melalui pelelangan umum yang dilakukan oleh Kantor Lelang
Negara.92
Eksekusi hak tanggungan yang dilaksanakan melalui fiat pengadilan
atau dengan titel eksekutorial dilakukan dalam 3 tahap yaitu:
a.Tahap permohonan
1) Kreditor mengajukan eksekusi pada Pengadilan Negeri dimana barang
jaminan tersebut terletak atau Pengadilan Negeri yang dalam perjanjian
ditetapkan sebagai domisili hukum
2) Pengadilan akan memanggil/menegur Debitor (aanmaning) sebanyak 2
(dua) kali dengan tenggang waktu 8 (delapan) hari untuk tiap-tiap
aanmaning yang diterima.
b. Tahap Penyitaan
1). Kreditor mengajukan permohonan sita atas jaminan yang dilelang.
92
Boedi Harsono, op.cit, h. 412.
133
2). Pengadilan akan mengeluarkan penetapan sita yang kemudian dilanjutkan
dengan proses penyitaan oleh petugas Pengadilan yang dibuktikan dengan
Berita Acara Penyitaan.
c. Tahap Pelelangan
1). Kreditor mengajukan permohonan lelang kepada Pengadilan Negeri.
2). Pengadilan akan memuat ketetapan lelang dan menetapkan waktu
lelang setelah berkonsultasi dengan Kantor Lelang.
3). Pengumuman lelang di surat kabar (iklan) akan dilaksanakan 2 (dua) kali
dengan tenggang waktu 1 (satu) bulan antaranya.
4). Sebelum lelang dilaksanakan ada 2 (dua) syarat yang harus dipenuhi
Kreditor:
a). Kreditor memberitahukan pengadilan mengenai plafond harga (harga
minimal) dari barang jaminan .
b). Kreditor meminta Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) dari
barang jaminan kepada Kantor Agraria setempat.
5). Acara lelang dilaksanakan di Pengadilan Negeri setempat. Pembeli harus
sekurang-kurangnya 2 (dua) orang/pihak. Apabila tidak ada peminat,
maka lelang ditunda kurang lebih 1 (satu) bulan dan harus didahului
dengan pemasangan iklan sebanyak 1 (satu) kali.
6). Berita acara rapat penyerahan hasil lelang.
Setelah Berita acara rapat penyerahan hasil lelang diserahkan kepada
Kreditor dan Debitor maka selesailah semua rangkain untuk
melaksanakan eksekusi dengan titel eksekutorial dalam Eksekusi hak
134
tanggungan. Hasil yang didapat dari lelang tersebut kemudian akan
digunakan untuk memenuhi semua kewajiban Debitor kepada Kreditor,
apabila terjadi kelebihan maka kelebihan tersebut dikembalikan kepada
Debitor.
Aspek yang paling penting dari sifat hak tanggungan bagi Kreditor kredit
perbankan adalah memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditor
pemegang hak tanggungan sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 1 UUHT.
Kemudian Pasal 20 ayat (1) UUHT menentukan bahwa apabila Debitor cidera
janji maka Kreditor pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual obyek yang
dijadikan jaminan melalui pelelangan umum menurut peraturan yang berlaku dan
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, dengan hak
mendahului dari pada Kreditor lain yang bukan pemegang hak tanggungan atau
Kreditor pemegang hak tanggungan dengan peringkat yang lebih rendah. Hak
istimewa ini tentu saja tidak dipunyai oleh Kreditor bukan pemegang hak
tanggungan.
4.3 Upaya Hukum Kreditor Perbankan Untuk Memperoleh Kembali Hak
Atas Benda Jaminan
Menurut Notaris/PPAT I Putu Chandra dalam wawancara tanggal 3
Februari 2014, pendaftaran APHT yang tidak dilakukan akibat terjadinya
pemblokiran sertipikat hak atas tanah dari obyek yang menjadi jaminan dalam
kredit perbankan oleh Kantor Pertanahan di atas secara teori mungkin dapat
terjadi, tetapi dalam praktek merupakan kejadian yang sangat langka.
135
Menurut Notaris/PPAT bapak I Putu Chandra, pendaftaran APHT
umumnya bukan merupakan kejadian yang istimewa karena kesepakatan tersebut
sudah dibicarakan dan sertipikat hak atas tanah yang akan dijadikan jaminan
sudah dicek ke Kantor Pertanahan sebelum perjanjian kredit ditandatangani. Ada
kemungkinan pemblokiran sertipikat tersebut pada saat akan dilakukan
pendaftaran hak tanggungan merupakan niat tidak baik dari Debitor yang
bersangkutan.
Sementara itu menurut Kepala Seksi Peralihan, Pembebanan Hak dan
PPAT Kantor Pertahan Kota Denpasar Bapak I Ketut Arjana dalam wawancara
tanggal 3 Februari 2014, seharusnya perbankan mengucurkan kredit setelah
APHT didaftarkan di Kantor Pertanahan yang bersangkutan. Namun apabila
APHT tidak didaftarkan sedangkan kredit sudah dikucurkan oleh Kreditor maka,
pihak bank tersebut dapat menempuh langkah hukum sebagai usaha setiap pribadi
atau badan hukum yang merasa dirugikan haknya atau atas kepentingannya untuk
memperoleh keadilan dan perlindungan atau kepastian hukum, menurut cara-cara
yang ditetapkan dalam undang-undang. Namun yang lebih menguntungkan bagi
Kreditor adalah atau langkah win-win solution di luar pengadilan untuk
mendapatkan haknya atas jaminan kredit yang bersangkutan.
Menurut Bapak I Putu Chandra, APHT yang tidak didaftarkan tidak akan
menimbulkan persoalan apabila Debitor tidak wanprestasi. Baru akan menjadi
masalah apabila Debitor wanprestasi karena APHT yang tidak didaftarkan tidak
memiliki kekuatan eksekutorial. Wanprestasi memiliki berupa beberapa kondisi,
yaitu :
136
1. Debitor sama sekali tidak berprestasi;
2. Debitor keliru berprestasi;
3. Debitor terlambat berprestasi.
Namun menurutnya apabila Debitor memiliki niat baik maka akan lebih
menguntungkan bagi Kreditor apabila ditempuh cara win-win solution dengan
pihak Debitor, misalnya dengan mengganti jaminan yang diajukan. Apabila hal
tersebut tidak dapat dilakukan maka Kreditor terpaksa menempuh cara-cara
peradilan dimana APHT yang tidak didaftarkan tersebut dapat menjadi barang
bukti. Sebagaimana telah diuraikan di atas APHT adalah akta otentik yang
memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna karena akta otentik memiliki tiga
kekuatan pembuktian, yaitu :
1. Kekuatan pembuktian lahiriah, suatu akta otentik yang dapat membuktikan
dirinya tanpa adanya penjelasan dari orang lain.
2. Kekuatan Pembuktian Formal, keterangan-keterangan yang ada dalam akta ini
secara formal benar adanya. Sebenar-benarnya di sini bisa saja tidak benar
karena penghadap berbohong. Kebenaran formal ini mengikat para pihak, para
ahli waris dan para pihak yang menerima haknya.
3. Kekuatan Pembuktian Materiil. Isi materi dari apa yang ada dalam akta itu
adalah dijamin benar adanya. Karena yang membuat dan menyusun adalah
pejabat umum. Kebenaran materiil ini mengikat para pihak, para ahli waris dan
para pihak yang menerima haknya.
Apabila akta otentik diajukan sebagai alat bukti dalam suatu persidangan,
maka tidak diperlukan bukti pendukung lain yang menyatakan bahwa akta otentik
137
tersebut benar. Hal ini dikarenakan suatu akta otentik telah dapat dipastikan
kebenarannya.
Secara lebih sistematis Notaris/PPAT Bapak I Putu Chandra menguraikan
pandangannya bahwa dalam menyelesaikan kasus Perdata, seperti perjanjian
kredit perbankan, biasanya terdapat dua jalur yang menjadi penawaran bagi pihak
yang bersengketa, yaitu jalur litigasi dan non-litigasi. Adapun yang dimaksud
dengan Litigasi adalah bentuk penanganan kasus melalui jalur proses di peradilan
baik kasus perdata maupun pidana, sedangkan Non-Litigasi adalah penyelesaian
masalah hukum diluar proses peradilan. Non litigasi ini pada umunya dilakukan
pada kasus perdata saja karena lebih bersifat privat.
Hal senada diungkapkan Rachmadi Usman, bahwa selain melalui
pengadilan (litigasi), penyelesaian sengketa juga dapat diselesaikan di luar
pengadilan (non litigasi), yang lazim dinamakan dengan Alternative Dispute
Resolution (ADR) atau Alternatif Penyelesaian Sengketa.93
Definisi litigasi secara
eksplisit tidak ditemukan dalam di peraturan perundang-undangan. Namun secara
umum ligitasi dapat diartikan sebagai proses dimana seorang individu atau badan
hukum membawa sengketa ke pengadilan
Sementara itu pengertian alternatif penyelesaian sengketa dapat dilihat
peda Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872,
93
Rachmadi Usman, 2012, Mediasi di Pengadilan : dalam Teori dan
Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disebut Usman Rahmadi Usman II),
h. 8.
138
selanjutnya disebut UU Arbitrase dan APS). Menurut Pasal 1 angka 10 UU
Arbitrase dan APS “Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga
penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para
pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,
mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli”.
Notaris/PPAT Bapak I Putu Chandra menguraikan bentuk-bentuk
penyelesaian melalui jalur non litigasi tersebut di atas, yaitu:
1. Negosiasi.
Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa dimana antara dua orang atau
lebih/para pihak yang mempunyai hal atau bersengketa saling melakukan
kompromi atau tawar menawar terhadap kepentingan penyelesaian suatu hal
atau sengketa untuk mencapai kesepakatan. Dengan cara kompromi tersebut
diharapkan akan tercipta win-win solution dan akan mengakhiri sengketa
tersebut secara baik. Pihak yang melakukan negosiasi disebut negosiator,
sebagai seorang yang dianggap bisa melakukan negosiasi. Seorang negosiator
harus mempunyai keahlian dalam menegosiasi hal yang disengketakan antara
kedua pihak.
2. Mediasi.
Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa diluar peradilan yang kurang lebih
hampir sama dengan negosiasi. Bedanya adalah terdapat pihak ketiga yang
netral dan berfungsi sebagai penengah atau memfasilitasi mediasi tersebut
yang biasa disebut mediator. Pihak ketiga tersebut hanya boleh memberikan
saran-saran yang bersifat sugestif, karena pada dasarnya yang memutuskan
139
untuk mengakhiri sengketa adalah para pihak. Pihak ketiga tersebut juga harus
netral sehingga dapat memberikan saran-saran yang obyektif dan tidak
terkesan memihak salah satu pihak. Mediasi merupakan prosedur wajib dalam
proses pemeriksaan perkara perdata, bahkan dalam arbitrase sekalipun dimana
Hakim atau arbiter wajib memerintahkan para pihak untuk melaksanakan
mediasi dan jika mediasi tersebut gagal barulah pemeriksaan perkara
dilanjutkan.
3. Arbitrase
Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa yang mirip dengan litigasi, hanya
saja litigasi ini bisa dikatakan sebagai "litigasi swasta". Dimana yang
memeriksa perkara tersebut bukanlah Hakim tetapi seorang arbiter. Untuk
dapat menempuh prosesi arbitrase hal pokok yang harus ada adalah "klausula
arbitrase" di dalam perjanjian yang dibuat sebelum timbul sengketa akibat
perjanjian tersebut, atau "Perjanjian Arbitrase" dalam hal sengketa tersebut
sudah timbul namun tidak ada klausula arbitrase dalam perjanjian sebelumnya.
Klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase tersebut berisi bahwa para pihak
akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sehingga menggugurkan
kewajiban pengadilan untuk memeriksa perkara tersebut. Jika perkara tersebut
tetap diajukan ke Pengadilan maka pengadilan wajib menolak karena perkara
tersebut sudah berada di luar kompetensi pengadilan tersebut akibat adanya
klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase.
Sementara itu penyelesaian melalui proses Litigasi menurut Notaris/PPAT
Bapak I Putu Chandra, terdiri dari :
140
1. Pengadilan umum
Pengadilan Negeri berwenang memeriksa sengketa bisnis, mempunyai
karakteristik :
a. Prosesnya sangat formal
b. Keputusan dibuat oleh pihak ketiga yaitu Hakim
c. Para pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan
d. Sifat keputusan memaksa dan mengikat
e. Orientasi ke pada fakta hukum atau mencari pihak yang bersalah
f. Persidangan bersifat terbuka
2. Pengadilan niaga
Pengadilan Niaga adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan
pengadilan umum yang mempunyai kompetensi untuk memeriksa dan
memutuskan Permohonan Pernyataan Pailit dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU) dan sengketa HAKI. Pengadilan Niaga
mempunyai karakteristik sebagai berikut :
a. Prosesnya sangat formal
b. Keputusan dibuat oleh pihak yaitu Hakim
c. Para pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan
d. Sifat keputusan memaksa dan mengikat
e. Orientasi pada fakta hukum yaitu mencari pihak yang salah)
f. Proses persidangan bersifat terbuka
g. Waktu singkat.
141
Menurut Notaris/PPAT Bapak I Putu Chandra, penyelesaian sengketa
sebaiknya dilakukan di luar di luar peradilan karena lebih menguntungkan
daripada penyelesaian sengketa melalui jalur peradilan, dengan beberapa
pertimbangan, yaitu:
a. Proses lebih cepat artinya penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dalam
hitungan hari, minggu atau bulan, tidak seperti halnya penyelesaian lewat jalur
pengadilan yang memerlukan waktu berbulan-bulan bahkan tahunan.
b. Biaya lebih murah dibandingkan penyelesaian sengketa/konflik melalui jalur
litigasi.
c. Sifatnya informal karena segala sesuatunya dapat ditentukan oleh para pihak
yang bersengketa seperti menentukan jadwal pertemuan, tempat pertemuan,
ketentuan-ketentuan yang mengatur pertemuan mereka, dan sebagainya.
d. Kerahasiaan terjamin, artinya materi yang dibicarakan hanya diketahui oleh
kalangan terbatas, sehingga kerahasiaan dapat terjamin dan tidak tersebar luas
atau terpublikasikan
e. Adanya kebebasan memilih pihak ketiga, artinya para pihak dapat memilih
pihak ketiga yang netral yang mereka hormati dan percayai serta mempunyai
keahlian dibidangnya.
f. Dapat menjaga hubungan baik persahabatan, sebab dalam proses yang informal
para pihak berusaha keras dan berjuang untuk mencapai penyelesaian sengketa
secara kooperatif sehingga mereka tetap dapat menjaga hubungan baik.
g. Lebih mudah mengadakan perbaikan-perbaikan terhadap kesepakatan yang
telah dicapai seperti menegosiasikan kembali suatu kontrak baik mengenai
142
substansi maupun pertimbangan yang menjadi landasannya termasuk
konsideran yang sifatnya non hukum.
h. Bersifat final, artinya putusan yang diambil oleh para pihak adalah final sesuai
kesepakatan yang telah dituangkan di dalam kontrak.
i. Pelaksanaan tatap muka yang pasti, artinya para pihaklah yang menentukan
secara pasti baik mengenai waktu, tempat dan agenda untuk mendiskusikan dan
mencari jalan keluar sengketa yang dihadapi.
j. Tata cara penyelesaiannya sengketa diatur sendiri oleh para pihak, sebab tidak
terikat oleh peraturan perundangan yang berlaku.
Sementara itu menurut Kepala Bagian Legal Bank Mayapada Cabang
Denpasar, Ibu Ni Komang Purnama Dewi dalam wawancara tanggal 17 Februari
2014 mengaku pihaknya tidak pernah mengalami sengketa dengan nasabah terkait
APHT yang tidak didaftarkan. Namun apabila hal itu terjadi maka pihak bank
akan memilih menempuh jalan di luar pengadilan (non ligitasi), seperti negosiasi,
untuk memperoleh kembali hak atas jaminan kredit. Hal ini karena penyelesaian
melalui jalur di luar pengadilan lebih bersifat informal, penyelesaian cepat, biaya
murah dan kemungkinan besar para pihak bisa sama-sama merasa menang.
Sedangkan apabila menempuh jalan lewat pengadilan, selain akan memakan
waktu lama dimana para pihak sama-sama saling gugat, juga akan memakan biaya
yang besar. Selain itu salah satu pihak akan mendendam karena merasa kalah.
Hal senada diungkapkan Kepala Bagian Legal BPR Lestari Bapak I
Nyoman Suardana. Menurutnya dalam klausul perjanjian kredit BPR Lestari
selalu dicantumkan klausul perselisihan. Biasanya pilihannya adalah pihak bank
143
dan debitor akan menyelesaian secara musyawarah dan mufakat apabila ada
perselisihan. Apabila tidak dapat diperoleh penyelesaian maka akan ditempuh
jalur pengadilan. Menurut bapak I Nyoman Suardana, selama ini BPR Lestari
melakukan upaya musyawarah untuk mufakat apabila mengalami perselisihan
dengan debitor, dan semua dapat diselesaikan tanpa harus menempuh jalur
pengadilan.
144
BAB V
PENUTUP
5. 1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dari bab-bab sebelumnya dalam tesis ini
penelitian terkait terkait pokok permasalahan pertama dan kedua maka dapat
disimpulkan , yaitu :
1. Akibat hukum dari tidak didaftarkannya APHT terhadap perjanjian kredit
perbankan yang dibuat oleh Kreditor PT. Bank Mayapada Internasional, Tbk
dan PT. BPR Lestari dihadapan Notaris/PPAT di Wilayah Kota Denpasar
adalah perjanjian kredit tersebut tetap sah sepanjang memenuhi ketentuan
Pasal 1320 KUH Perdata. Perjanjian kredit perbankan yang dibuat tersebut
berkedudukan sebagai perjanjian pokok yang mengikat para pihak yang
membuatnya. Sedangkan APHT yang tidak didaftarkan, konsekuensinya tidak
memenuhi asas publisitas dan asas preferensi, sesuai dengan ketentuan Pasal
13 UUHT. Perlindungan hukum bagi Kreditor dalam hal APHT tidak
didaftarkan dapat dilakukan dengan menandatangani akta kuasa untuk menjual
atas benda jaminan dari Debitor kepada Kreditor dihadapan Notaris/PPAT.
2. Hak Kreditor perbankan PT. Bank Mayapada Internasional, Tbk dan PT. BPR
Lestari terhadap benda jaminan dalam hal APHT tidak didaftarkan adalah
tetap memiliki haknya untuk mendapatkan benda jaminan, hanya saja
didudukkan seimbang/sama dengan kreditor lainnya. Hal ini didasarkan pada
ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata yang menentukan hahwa harta kekayaan
144
145
Debitor menjadi jaminan secara bersama-sama bagi semua Kreditor yang
memberikan hutang kepadanya.
5.2 Saran-saran
Terkait dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini yang telah
diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diberikan saran-saran sebagai
berikut :
1. Kepada Bank selaku Kreditor diharapkan dalam proses pemberian kredit,
mencairkan dana setelah pendaftaran APHT dilakukan dan juga diharapkan
melakukan pengawasan terhadap kinerja Notaris/PPAT rekanan Bank,
sehingga mencegah terjadinya keterlambatan/tidak didaftarkannya APHT, dan
Kreditor dapat mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana ditentukan oleh
asas-asas hak tanggungan.
2. Kepada Pemerintah agar segera membuat produk hukum yang memuat sanksi
yang lebih tegas dari pada sekedar sanksi administratif terhadap PPAT rekanan
bank yang lalai melaksanakan kewajiban untuk mendaftarkan APHT 7 (tujuh)
hari setelah penandatanganan, agar kerugian pihak yang berkepentingan,
seperti pihak perbankan selaku Kreditor dalam perjanjian kredit dengan
jaminan hak tanggungan dapat dihindarkan.
146
DAFTAR PUSTAKA
Adjie, Habib, 2008, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris; Sebagai
Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung
_______, 2009, Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia : Tafsir TematikTerhadap
UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), Refika Aditama,
Bandung ( selanjutnya disebut Habib Adjie II)
Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, 2004, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta
Arikunto, Suharsini, 1986, Prosedur Penelitian, Bina Aksara, Jakarta
Atmosudiro, Prajudi, 1983,Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta
Badrulzaman, Mariam Darus, 1993, K.U.H.Perdata Buku III Hukum Perikatan
Denan Penjelasan., cetakan kedua, Bandung: Penerbit Alumni, 1993
_______2005, Aneka Hukum Bisnis, Cet. II, Alumni, Bandung
Bahsan, M, 2007, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia,
Rajawali press, Jakarta
Boediarto, Ali, 2005, Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung:
Hukum Acara Perdata Setengah Abad, Swa Justisia, Jakarta
-------, 2008, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Cet I, CV Mandar Maju, Bandung
Campbell, Black Henry, 1999, Black’s Law Dictionary, West Publishing, St. Paul
Minesota
Djatmiati, Tatiek Sri, 2002, Prinsip Izin Usaha Industri Di Indonesia, Disertasi,
PPS Unair, Surabaya
Fajar, Mukti dan Achmad Yulianto, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif
& Empiris, Pustaka Pelajar, Yogjakarta
Fuady, Munir, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama,
Bandung
Friedmann, W, 1993, Teori dan Filsafat Hukum : Telaah Kritis Atas Teori-Teori
Hukum (susunan I), Judul Asli : Legal Theory, Penerjemah : Mohamad
Arifin, Cet. Kedua, PT Rajagrafindo Persada
146
147
Harsono, Boedi, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta, h. 439.
Hermansyah, 2008, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta
Kansil, C.S.T, dan Christine S.T Kansil, 1997, Pokok-Pokok Hak Tanggungan
dan Tanah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
M. Hadjon, Philipus, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia,
Peradaban, Surabaya
-------, 1992, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia: Sebuah Studi Tentang
Prinsip-Prinsipnya, Penerapannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan
Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara,
Bina Ilmu, Surabaya
Manullang, Fernando M, F, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan, Buku
Kompas, Jakarta
Morris L. Cohen and Kent C. Olson, 2000, Legal Research, West Group, ST. Paul
Minn, Printed in the United States of America
Muhamad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung
Muladi, 2002, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, BP
Undip, Semarang
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, 2008, Hak Tanggungan, Cet III, Prenada
Media Group, Jakarta.
Patrik,Purwahid, 1988, Hukum Perdata II, Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang.
Poesoko, Herowati, 2007, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan: Inkonsiitensi,
Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran Dalam UUHT, Laksbang
Pressindo, Yogyakarta
Prajitno, Andi, 2009, Hukum Fidusia (Problematika Yuridis Pemberlakuan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999), Bayumedia Publishing,
Malang
Parlindungan, A.P, 1994, Bunga Rampai Hukum Agraria Serta Landreform
Bagian II, Cet II, CV. Mandar Maju, Bandung
148
Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana, 2011, Buku Pedoman
Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana,
Denpasar
Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana, 2013, Buku Pedoman
Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana,
Denpasar
Rahardjo, Satjipto, 2006, Sisi-Sisi Dari Hukum Di Indonesia, Buku Kompas,
Jakarta
Rasjidi, Lili dan I.B Wyasa Putra, 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja
Rusdakarya, Jakarta.
Ros Macdonald & Denise McGill, 2008, Drafting, Second Edition, LexisNexis,
Butterworths, Australia
Salim, H.S, 2007, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Raja Grafindo
Persada, Jakarta
Santoso, Urip, 2010, Pendaftaran Dan Peralihan Hak Atas Tanah,Edisi pertama,
Cet ke-2, Kencana, Jakarta
Satrio, J, 1993, Parate Eksekusi Sebagai Sarana Mengatasi Kredit Macet, Citra
Aditya Bakti, Bandung
_______, 1998, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan,
Buku 2, Citra Aditya Bakti, Bandung
Seno Adji, Oemar, 1966, Prasara Dalam Indonesia Negara Hukum, Simposium
UI Jakarta
Sjahdeni, Sutan Remy, 1999, Hak Tanggungan (Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan
Pokok Dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan), Alumni,
Bandung, h. 11.
Soemitro, Ronny Hanitijo, 1983, Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan I, Ghalia
Indonesia, Jakarta
Subekti, R, 1996, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit (Termasuk Hak
Tanggungan) Menurut Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.
_______, 1996, Pembuktian dan Daluwarsa, Intermasa, Jakarta
Supramono, Gatot, 2009, Perbankan dan Masalah Kredit : Suatu tinjauan
Yuridis, Rineka Cipta, Jakarta
149
Supranto, J, 2003, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta
Sutedi, Adrian, 2010, Hukum Hak Tanggungan, Sunar Grafika
Suyatno, Thomas, 1989, Dasar-Dasar Perkreditan, Gramedia, Jakarta
Suyatno, Thomas, et.al, 1995, Dasar-Dasar Kredit: Bagian Keempat Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta
Suyatno, Thomas, et.al., 1991, Dasar-Dasar Perkreditan, Penerbit PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Tri Santoso, Rudi, 1996, Kredit Usaha Perbankan, Edisi I, Cet I, Andi
Yogyakarta
Usman, Rachmadi, 2008, Hukum Jaminan Keperdataan, Cetakan Pertama, Sinar
Grafika, Jakarta
Waluyo, Bambang, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika,
Jakarta
_______ 2012, Mediasi di Pengadilan : dalam Teori dan Praktek, Sinar Grafika,
Jakarta
Watt, Robert, 2001, Concise Legal Research, The Federation Press, Leinchrdt,
NSW, h.1
Widjarnako, 2007, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Pustaka
Utama Grafiti, Jakarta
Wignyoseobroto, Soetandyo, 2002, Hukum-Paradigma, Metoda dan Dinamika
Masalahnya, Elsam dan Huma, Jakarta
Wuisaman, J.J.J.M, 1996, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, Jakarta
Wheare, K.C, 1975, Modern Constitutions, Oxford University Press, London
Internet:
Mariotedja, 2013, “Teori Kepastian Dalam Perspektif Hukum”,
Mariotedja.blogspot.com
150
Majalah
Sumardjono, Maria, S.W, Prinsip Dasar Dan Isyu Di Seputar UUHT, Jurnal
Hukum Bisnis Volume I Tahun 1997
Peraturan Perndang-Undangan:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043)
Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3632
Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3790)
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011, Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5234).
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris(Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014, Nomor 3, Tambahan lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5491)
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960, Tambahan lembaran
Negara Repubik Indonesia Nomor 2043)
Peraturan pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3746)
DAFTAR RESONDEN
1. Nama : I PUTU CHANDRA, SH.
Jabatan: Notaris/PPAT Wilayah Jabatan Kota Denpasar
Alamat : Jalan Kepundung, Denpasar-Bali
2. Nama : I MADE GELGEL, SH.
Jabatan: Notaris/PPAT Wilayah Jabatan Kota Denpasar
Alamat : Jalan WR. Supratman, Denpasar Bali
3. Nama : I KOMANG SUARDANA, SH
Jabatan: Head Legal PT. BPR SRI ARTHA LESTARI (BPR LESTARI) Kantor Pusat
Denpasar
Alamat : Jalan Teuku Umar Denpasar Bali
4. Nama : NI KOMANG PURNAMA DEWI, SH
Jabatan: Head Legal PT. BANK MAYAPADA INTERNASIONAL, Tbk Cabang
Denpasar.
Alamat : Jalan Thamrin, Denpasar-Bali
DAFTAR INFORMAN
1. Nama : I KETUT SUARJANA
Jabatan : Kepala Seksi Peralihan dan Pembebanah Hak Tanggungan Kantor
Pertanahan Kota Denpasar.
Alamat : Jalan Pudak Nomor 7, Denpasar Bali.
Top Related