BAB 1
PENDAHULUAN
Cedera kepala atau yang disebut
dengan trauma kapitis adalah ruda paksa
tumpul / tajam pada kepala atau wajah
yang berakibat disfungsi cerebral
sementara.Merupakan salah satu
penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif, dan
sebagian besar karena kecelakaan lalu lintas. Hal ini diakibatkan karena
mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk
menjaga keselamatan di jalan masih rendah, disamping penanganan pertama
yang belum benar - benar , serta rujukan yang terlambat.
Di Indonesia kajadian cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah diatas , 10% penderita meninggal sebelum
tiba di rumah sakit. Dari pasien yang sampai di rumah sakit , 80% dikelompokan
sebagai cedera kepala ringan, 10 % termasuk cedera sedang dan 10% sedang,
dan 10 % termasuk cedera kepala berat.
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan
para dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan
pertama pada penderita. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan
mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan
menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokok-pokok
tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita.
Sebagai tindakan selanjutnya yang penting setelah primary survey adalah
identifikasi adanya lesi masa yang memerlukan tindakan pembedahan, dan yang
terbaik adalah pemeriksaan dengan CT Scan kepala.
Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5%
yang memerlukan tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya dirawat secara
konservatif. Pragnosis pasien cedera kepala akan lebih baik bila
penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat. Adapun pembagian trauma
kapitis adalah: Simple head injury, Commutio cerebri, Contusion cerebri,
Laceratio cerebri, Basis cranii fracture.
1
Simple head injury dan Commutio cerebri sekarang digolongkan sebagai
cedera kepala ringan, sedangkan Contusio cerebri dan Laceratio cerebri
digolongkan sebagai cedera kepala berat.
Pada penderita korban cedera kepala, yang harus diperhatikan adalah
pernafasan, peredaran darah dan kesadaran, sedangkan tindakan resusitasi,
anamnesa dan pemeriksaan fisik umum dan neurologist harus dilakukan secara
serentak. Tingkat keparahan cedera kepala harus segera ditentukan pada saat
pasien tiba di Rumah Sakit.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Cedera Kepala
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi
baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat
pada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat
bersifat temporer ataupun permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of
America, cedera kepalaa adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan
bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau
benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran,
sehingga menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
(Mardjono M., 2003)
2.2 Anatomi Kepala
2.2.1 Kulit
Kulit kepala menutupi cranium dan meluas dari line nuchalis superior
pada os occipitale sampai margo supraorbitalis ossis frontalis. Kulit kepala terdiri
dari lima lapis jaringan : ( Mardjono M., 2003)
3
Kulit yang tipis kecuali didaerah occipitale, mengandung banyak
kelenjar keringat serta folikel rambut.
Jaringan ikat (connective tissue) yang merupakan lapis subkutan ,
memiliki banyak pembuluh darah dan saraf.
Aponeusis atau galea aponeurotica adalah selembar jaringan ikat
yang kuat dan merupakan lembar tendo dari muskulus occipitalis
dan muskulus frontalis.
Loose areolar tissue jaringan ikat jarang yang menyerupai spons.
Pericranium adalah periosteum dari tulang tengkorak. Sepanjang
garis sutura pericranium berlanjut menjadi endosteum. Karena itu,
subperiosteal hematom terbentuk pada tulang tengkorak.
( Mardjono M., 2003)
2.2.2 Tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri
dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria
khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot
temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian
dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga
tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis,
fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah
batang otak dan serebelum. ( Mardjono M., 2003)
2.2.2.1 Meningens
Selaput meninges membungkus seluruh bagian otak dan terdiri atas 3
lapisan yaitu: ( Mardjono M., 2003)
Duramater: secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang
keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan
dalam cranium. Karena tidak melekat pada selaput arakhnoid di bawahnya,
maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara
duramater dan arakhnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural.
Pada cedera otak pembuluh – pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior digaris tengah atau disebut
4
Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan
subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus
transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus – sinus tersebut
dapat menimbulkan perdarahan hebat. Arteri meningea terletak antara
duramater dan permukaan dalam dari cranium (ruang epidural). Adanya
fraktur dari tulang kepalaa dapat menyebabkan laserasi pada arteri – arteri
tersebut dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering
mengalami cedera arteri meningea media yang terletak di fossa temporalis
(fossa media). ( Mardjono M., 2003)
Selaput arakhnoid: merupakan selaput yang tipis dan tembus pandang.
Selaput arakhnoid terletak antara piamater sebelah dalam dan duramater
sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh
ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari piamater oleh spatium
sub arakhnoid yang terisi liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid
umumnya disebabkan oleh cedera kepala. ( Mardjono M., 2003)
Piamater: melekat erat pada permukaan korteks serebri. Piamater adalah
membrana vaskuler yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyrus
dan masuk kedalam sulcus yang paling dalam. Membrana ini membungkus
saraf otak dan menyatu dengan epineuriumya. Arteri – arteri yang masuk
kedalam subtansi otak juga diliputi oleh piamater. ( Mardjono M., 2003)
2.2.2.2 Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa
14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan) terdiri
dari serebrum dan diensefalon (bagian terbesar yang terdiri dari thalamus dan
hypothalamus) merupakn bagian sentral otak. Mesensefalon (midbrain) dan
rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medulla oblongata dan
serebelum. ( Mardjono M., 2003)
5
2.3 Aspek Fisiologis Cedera Kepala
2.3.1 Tekanan intrakranial
Tekanan intrakranial dapat meningkat oleh beberapa proses patologi
yang selanjutnya dapat menggangu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk
terhadap penderita. Tekanan intrakranial yang tinggi dapat menimbulkan
konsekuensi yang menggangu fungsi otak. Tekanan intrakranial normal kira –
kira 10 mmHg, Tekanan intrakranial lebih tinggi dari 20 mmHg dianggap tidak
normal. Semakin tinggi tekanan intrakranial setelah cedera kepalaa, semakin
buruk prognosisnya. (Markam S, 2005)
2.3.2 Hukum Monroe – Kellie
Konsep utama volume intrakranial adalah selalu konstan karena sifat dasar
dari tulang tengkorak yang tidak elastis. Volume intrakranial (Vic) adalah sama
dengan jumlah total volume komponen – komponennya yaitu volume jaringan
otak (V br), volume cairan serebrospinal (V csf) dan volume darah (V bl).
(Markam S, 2005)
Vic = V br + V csf + V bl.
Volume tekanan intrakranial pada dewasa 1500 mL, karena volume
intrakranial tetap, tekanan dalam kompartemen tersebut karena beberapa
tindakan kompensasi terjadi, seperti penurunan komponen intrakranial. (Markam
S, 2005)
2.3.3 Tekanan Perfusi otak
Tekanan perfusi otak merupakn selisih antara tekanan arteri rata – rata
(mean arteral pressure) dengan tekanan intrakranial. Pada otak manusia normal
tekanan perfusi otak adalah konstan dikisaran 50 – 150 mmHg, hal ini
dipengaruhi karena autoregulasi arteiol. Apabila tekanan perfusi otak kurang dari
50 mmHg atau lebih besar dari 150 mmHg akan memberikan prognosa yang
buruk bagi penderita. (Markam S, 2005)
2.3.4 Aliran darah otak
Aliran darah otak normal kira – kira 50 ml/100 gr jaringan otak permenit.
6
Bila aliran darah otak menurun sampai 20 – 25 ml/100 gr/menit EEG (sebagai
alat pemantau fungsi otak melalui sinyal yang dipancarkan) akan menghilang.
Apabila aliran darah otak sebesar 5 ml/100 gr/menit maka sel – sel otak akan
mengalami kematian dan kerusakan yang menetap. (Markam S, 2005)
2.4 Patofisiologi Cedera Kepala
Kerusakan otak pada penderita cedera kepalaa dapat terjadi dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan awal cedera otak
sebagai akibat langsung dari trauma, dapat disebabkan benturan langsung
kepalaa dengan suatu benda keras. (Markam S, 2005)
Mekanisme cedera kepalaa dapat terjadi peristiwa coup dan countercoup.
Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak
pada daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan
tempat benturan akan terjadi lesi countercoup. Akselarasi-deselarasi terjadi
akibat kepalaa bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi
trauma. Perbedaan densitas antara tualng tengkorak (substansi solid) dan otak
(substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan
intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur
permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan
(countercoup).Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai
proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer,
berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia,
7
peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi. (Markam S,
2005)
2.5 Klasifikasi Cedera Kepala
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal
3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala,
dan morfologinya. ( Mardjono M., 2003)
2.5.1 Mekanisme cedera kepala
Berdasarkan mekanisme cedera kepalaa dibagi atas cedera kepala
tertutup dan cedera kepala terbuka. Cedera kepala tertutup biasanya berkaitan
dengan kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul.
Sedangkan untuk cedera kepala terbuka disebabkan oleh peluru atau tusukan.
(Mardjono M., 2003)
2.5.2 Beratnya cedera kepala
Derajat kesadaran secara kuantitatif dapat diukur dengan metode GCS.
Glasgow Coma Scale merupakan salah satu komponen yang digunakan sebagai
acuan pengobatan, dan dasar pembuatan keputusan klinis umum untuk pasien
serta memiliki peranan penting untuk memprediksi resiko kematian diawal
trauma.3 Glasgow Coma Scale yang digunakan meliputi 3 kategori yaitu respon
membuka mata, respon verbal dan respon motorik. Skor ditentukan oleh jumlah
skor dimasing – masing 3 kategori, dengan skor maksimum 15 dan skor
minimum 3, adalah sebagai berikut: ( Mardjono M., 2003)
Nilai GCS kurang dari 8 didefinisikan sebagai cedera kepalaa berat.
(Koma – sopor)
Cedera kepalaa sedang memiliki nilai GCS 9 – 13. (Somnolen)
Cedera kepalaa ringan dengan nilai GCS 14 – 15. (Composmentis)
2.5.3 Morfologi cedera
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan
lesi intrakranial. ( Mardjono M., 2003)
8
2.5.3.1 Fraktur tulang tengkorak
Fraktur tulang tengkorak (cranium) dapat terjadi pada atap atau dasar
tengkorak (basis cranii), dan dapat berbentuk garis atau bintang dan dapat pula
terbuka atau tertutup. ( Mardjono M., 2003)
Fraktur Linier: Fraktur linier merupakan garis fraktur tunggal pada
tengkorak yang meliputi seluruh ketebalan tulang. Pada pemeriksaan
radiologi akan terlihat sebagai garis radiolusen.
Fraktur Distase: Fraktur yang terjadi pada sutura sehingga terjadi
pemisahan sutura kranial. Fraktur ini sering terjadi pada anak usia 3
tahun.
Fraktur Comminuted: Fraktur dengan dua atau lebih fragmen fraktur.
Ketiga fraktur di atas tidak memerlukan tindakan khusus, kecuali jika
disertai lesi intrakranial seperti epidural hematoma, subdural hematoma,
dll. Jika disertai dengan laserasi SCALP, maka perlu dilakukan debrimen
yang baik dan luka dapat segera ditutup dengan penjahitan.
Fraktur Depressed: Fraktur tabula eksterna pada satu atau lebih tepi
fraktur terletak di bawah level anatomi normal dari tabula interna tulang
tengkorak sekitarnya yang masih utuh. Jenis fraktur ini terjadi jika energi
benturan relatif besar terhadap area yang relatif kecil. Misalnya benturan
oleh martil, kayu, batu, pipa besi.
Fraktur Konveksitas: Fraktur yang terjadi pada tulang – tulang yang
membentuk koveksitas (kubah) tengkorak seperti os. Frontalis, os.
Temporalis, os. Parietalis, dan os. Occipitalis.
Fraktur Basis Cranii: Fraktur yang terjadi pada tulang yang membentuk
dasar tengkorak. Dasar tengkorak terbagi atas tiga bagian. Fraktur pada
masing – masing fossa akan memberikan manifestasi yang berbeda.
o Fraktur Basis Cranii Fossa Anterior: Bagian posterior dari fossa
anterior dibatasi oleh os. Sphenoid, processus clinoidalis anterior
dan jugum sphenoidalis. Manifestasi klinisnya yaitu Ecchymosis
periorbita, bisa bilateral dan disebut ‘brill hematoma’ atau ‘racoon
eyes’. Eccymosis ini kadang – kadang sulit dibedakan dengan
ecchymosis yang timbul karena cedera langsung.
o Fraktur Basis Cranii Fossa Media: Bagian anterior langsung
berbatasan dengan fossa anterior sedangkan bagian posterior
9
dibatasi oleh pyramida petrosus os. Temporalis, processus
clinoidalis posterior dan dorsum sella. Manifestasi klinisnya
adalah: Ecchymosis pada mastoid (battle’s sign); otorrhea,
pembuktiannya sama dengan rhinorahea; hemotympanum jika
membran tympani robek maka dijumpai darah pada kanalis
auricularis eksterna; kelumpuhan nervus fasialis (N. VII) dan atau
nervus vestibulococlearis (N. VIII), hal ini terjasi bila garis
frakturnya transversal terhadap aksis pyramida petrosus. Jenis ini
hanya 25 %, sedangkan sisanya longitudinal terhadap aksis
pyramida petrosus; Carotid – Cavernosus Fistula (CCF) yang
ditandai dengan chymosis, sakit kepalaa, adanya bruit,
exopthalmus yang berdenyut mengikuti irama jantung, gangguan
visus dan gangguan gerakan bola mata.
o Fraktur Basis Cranii Fossa Posterior: Merupakan dasar dari
kompartemen infratentorial. Adanya fraktur pada daerah ini harus
waspada terhadap kemungkinan timbulnya hematoma. Sering
tidak disertai dengan gejala dan tanda yang jelas, tetapi dapat
segera menimbulkan kematian karena penekanan terhadap
batang otak. Fraktur ini kadang – kadang juga menyebabkan
memar pada mastoid (battle’s sign). Beberapa hal yang perlu
diperhatikan sehubungan dengan penanganan fraktur basis cranii
antara lain: lakukan observasi terhadap adanya kebocoran LCS,
biasanya membaik secara spontan; Tidak perlu memberikan
antibiotika profilaksis karena biasanya antibiotika tidak efektif
mencegah terjadinya meningitis serta akan menseleksi organisme
yang resisten terhadap antibiotika yang diberikan, jika terjadi
meningitis atau infeksi intrakranial lainnya, akan sulit diatasi. Jika
setelah 2 minggu kebocoran CSS tidak berhenti atau berkurang
serta dinilai bahwa usaha atau penatalaksanaan secara
konservatif gagal, maka dilakukan operasi untuk memperbaiki
dura yang bocor tersebut oleh ahli bedah saraf.
10
2.5.3.2 Lesi intrakranial
Lesi intrakranial dapat duiklasifikasikan sebagai fokal atau difus, walau
kedua bentuk cedera tersebut sering terjadi secara bersamaan. Lesi fokal
termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusio (hematoma
intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difus menunjukan koma di
klinis. ( Mardjono M., 2003)
Hematoma epidural: Hematoma epidural terjadi akibat fraktur tulang
kepalaa yang dapat merobek pembuluh darah terutama arteri meningea
media yang masuk kedalam tengkorak melalui foramen spinosum dan
jalan antara duramater dan tulang di permukaan os. Temporal. Pada bayi
hematom epidural ini dapat dilihat bila ubun – ubun bayi mengembung
setelah trauma terjadi. Robeknya arteri meningea media menimbulkan
hematom epidural dan desakan oleh hematom memisahkan duramater
dari tulang kepalaa sehingga hematom dapat bertambah besar dan dapat
menekan batang otak hingga terjadi kematian. Penderita akan mengalami
sakit kepalaa, mual dan muntah diikuti dengan penurunan kesadaran
setelah trauma. Gejala neurologik yang terpenting adalah pupil mata
anisokor, yaitu pupil ipsilateral melebar, terjadi pula kenaikan tekanan
darah dan bradikardia. Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai
koma yang dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai
ahkirnya kedua pupil tidak menunjukan reaksi terhadap cahaya. Ciri khas
hematom epidural murni adalah terdapatnya jarak waktu antara saat
terjadinya trauma dan munculnya tanda hematom epidural. Jeda waktu
yang terjadi selama beberapa menit hingga jam. Diagnosis didasarkan
pada gejala klinis serta pemeriksaan penunjang seperti foto Roentgen
kepalaa. Adanya garis fraktur menyokong diagnosis hematom epidural
bila sisi fraktur terletak ipsilateral dengan pupil yang melebar, garis fraktur
dapat menunjukan lokasi hematom. ( Mardjono M., 2003)
Hematom subdural (SDH): Hematom subdural (SDH) adalah
perdarahan yang terjadi diantara duramater dan arakhnoid. Sekitar 30 %
hematom subdural terjadi pada kasus cedera kepalaa berat. Hematom
tesebut terjadi akibat robeknya vena penghubung (bridging veins) antara
korteks serebri dan sinus dura. Hematom tersebut biasanya terjadi pada
11
kasus cedera karena pukulan. Hematom subdural terbagi menjadi kaut
dan kronis. ( Mardjono M., 2003)
o Hematom subdural akut: Hematom subdural akut biasanya
berkaitan dengan riwayat trauma yang jelas dan yang paling
sering terjadi pada regio frontoparietal.
o Hematom subdural kronis: Terjadi pada riwayat trauma yang tidak
jelas, hematom tersebut sering berkaitan dengan atrofi otak, yang
pada akhirnya meningkatkan mobilitas otak di dalam kubah
tengkorak sehingga vena penghubung menjadi semakin mudah
robek.
Hematom intraserebral: Hematom intraserebral adalah perdarahan yang
terjadi dalam jaringan (parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya
laserasi atau kontusio jariagan otak yang menyebabkan pecahnya pula
pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang
paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat
terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainya (countercoup).
Defisit neurologis yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada
lokasi dan luas perdarahan. Penyebab yang paling sering dari hematom
intraserebral adalah penyakit hipertensi vaskuler, perdarahan paling
sering terjadi pada ganglia basalis (80% kasus), batang otak, serebelum
dan korteks serebral. Hematom yang mengisi ruang menyebabkan
kenaikan intrakranial. Sebagian besar perdarahan intraserebral yang
terjadi pada penderita hipertensi, akibat dari ruptur pada arteriol kecil,
terutama pada cabang lentikulostriata dari arteri serebral media. Kontusi
serebral murni biasanya jarang terjadi. Selanjutnya kontusi otak hampir
selalu berkaitan dengan hematom subdural akut. Sebagian besar kontusi
terjadi pada lobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap
tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antar kontusi
dan hematom intarserebral traumatika tidak jelas batasnya. Bagaimana
pun, terjadi zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi
hematom intraserebral dalam beberapa hari. ( Mardjono M., 2003)
12
Kontusio Serebral: Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau
kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh
darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering
adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada
sisi benturan (coup) atau pada sisi lainya `(countercoup). Defisit
neurologis yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi
dan luas perdarahan. ( Mardjono M., 2003)
Edema Serebral: Edema serebral traumatika merupakan keadaan dan
gejala patologis pada penderita cedera kepalaa dan terjadi akibat
pergeseran otak (brain shift) dan peningkatan intrakranial. Terdapat dua
terminologi yaitu edema dan swelling yang sering diartikan sama yaitu
bengkak. Edema otak menadakan adanya penambahan kandungan air
didalam jariungan otak, sedangkan brain swelling merupakan keadaan
yang diakibatkan hiperemia dan dilatasi sistem serebrovaskular. (
Mardjono M., 2003)
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI): Cedera ini
terjadi karena terputusnya dan tertariknya prosesus neuron akibat dari
gerak putar otak di dalam tengkorak kepalaa. Keadaan ini sering
terjadi tanpa adanya fraktur tulang tengkorak dan kontusio serebral.
Cedera aksonal difus terjadi pada hampir keseluruhan cedera kepalaa
fatal. Cedera aksonal difus terjadi pada hampir keseluruhan cedera
kepalaa berat, dua komponen penting yang ditemukan , yaitu:
(Anderson S. McCarty L, 2005)
13
o Lesi perdarahan kecil dalam korpus kalosum dan kuadran
dorsolateral batang otak.
o Kerusakan difus pada akson, yang hanya dapat dideteksi dengan
pemeriksaan mikroskopis yang berbentuk bola retraksi aksonal.
2.6 Pemeriksaan Neurologis Cedera Kepala
Pemeriksaan neurologis yang harus segera dilakukan terhadap
penderita cedera kepalaa setelah resusitasi meliputi: (Anderson S.
McCarty L, 2005)
Tingkat kesadaran.
Pupil dan pergerakan bola mata, termasuk saraf kranial.
Reaksi motorik terhadap berbagai rangsang dari luar.
Reaksi motorik terbaik.
Pola pernapasan.
14
Terapi harus diingat bahwa hasil penilaian yang paling prediktif dalam
perkiraan prognosis adalah penilaian yang dilakukan setelah 24 jam post
resusitasi, karena penilaian sebelumnya masih banyak dipengaruhi oleh keadaan
sistemik yang belum begitu stabil. (Ekayuda I,2006)
Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran dinilai dengan GCS. Penilaian tersebut harus
dilakukan secara periodik untuk menilai apakah keadaan penderita
membaik atau memburuk. Dari ketiga komponen GCS tersebut, motorik
merupakan komponen yang paling objektif. Komponen yang menjadi
tolak ukur penilaian adalah reaksi (respons) terbaik. Tingkat kesadaran
tidak akan terganggu jika cedera hanya terbatas pada satu hemisfer
otak, tetapi menjadi progresif memburuk jika kedua hemisfer mulai
terlibat, atau juka ada proses patologis akibat penekanan atau cedera
pada batang otak. (Ekayuda I,2006)
Pupil dan Pergerakan bola mata , termasuk saraf kranial.
Reaksi pupil, konstriksi, dan dilatasi diatur oleh sistem saraf otonom,
yaitu simpatis dan parasimpatis. Sistem simpatis mulai dari
hipotalamus ,melalui batang otak terutama yang ipsilateral sampai ke
thorakal medula spinalis pada bagian intermediolateral. Sedangkan
aferen parasimpatis berawal dari sel ganglion retina, mengikuti nervus
dan traktus optikus hingga mencapai pretektum. Bagian eferen akan
mengikuti saraf okulomotorius ke orbita. Dua alasan penting penilaian
pupil pada cedera kepalaa: (Ekayuda I,2006)
o Karena batang otak yang mengendalikan kesadaran secara
anatomis terletak berdekatan dengan pusat yang mengendalikan
reaksi pupil.
o Saraf yang mengendalikan reaksi pupil relatif resisten terhadap
gangguan metabolik, sehingga ada tidaknya refleks cahaya
merupakan tanda penting untuk membedakan koma metabolik
dan koma struktural.
Reflek cahaya menunjukan fungsi mesensefalon. Lakukan juga
penilaian langsung dan tidak langsung. Reaksi langsung terjadi pada
mata yang langsung diberi rangsang cahaya, sedangkan reaksi tidak
langsung pada mata kontralateral dari mata yang diberi rangsang
15
cahaya. Bandingkan antara yang kanan dengan kiri isokor atau tidak.
(Ekayuda I,2006)
Reaksi Terhahadap berbagai rangsangan dari luar
Rangsangan dari luar merupakan mekanisme penting untuk menilai
tingkat kesadaran . Kekuatan rangsangan yang dibutuhkan untuk memicu
reaksi dari penderita berbanding lurus dengan dalamnya penurunan
kesadaran. Pada tahap awal dapat dicoba dengan rangsangan suara
pada berbagai tingkat intensitas, jika tidak memberikan reaksi, dilanjutkan
dengan goncangan ringan (light shaking), kemudian dengan rangsang
nyeri yang semakin progresif. Rangsang nyeri yang diberikan antara lain:
- Dengan menggunakan batangan pensil, pulpen, gagang ‘refleks
hammer’, atau benda tumpul yang lain, melakukan penekanan pada
kuku bagian proksimal
- Dengan melakukan penekanan tumpul pada sternum
- Dengan melakukan penekanan tumpul pada ‘supraorbita ridge’
(Anderson S. McCarty L, 2005)
Reaksi motorik terbaik
Pada keadaan normal, respons motorik diatur oleh korteks serebri
yang bekerja sama dengan berbagai pusat pengatur subkortikal
lainnya. Penilaian reaksi motorik terbaik sangat penting, karena
memiliki nilai objektif yang tinggi. Tingkat reaksi motorik dibagi atas:
(Anderson S. McCarty L, 2005)
a. Gerakan bertujuian jelas (puposeful movement)
b. Gerakana bertujuan tidak adekuat (semipurposeful movement)
c. Postur fleksor (dekortisasi)
d. Postur ekstensor (deserebrasi)
e. Diffuse musle flaccidity
Reaksi okulosefalik (Doll’s head eye phenomenon). Pemeriksaan
nervus trigeminus dan fasialis dapat dilakukan dengan dengan tes
kapas pada kornea, dilakukan dari samping. (Anderson S. McCarty L,
2005)
16
2.7 Pemeriksaan Penunjang
2.7.1 Foto polos kepala
Indikasi foto polos kepala tidak semua penderita dengan cedera kepalaa
diindikasikan untuk pemeriksaan kepalaa karena masalah biaya dan kegunaan
yang sekarang makin ditinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm,
luka tembus(tembak/tajam), deformasi kepalaa (dari inspeksi dan palpasi), nyeri
kepalaa yang menetap, gejala fokal neurologis, gangguan kesadaran.( Ekayuda
I, 2006)
2.7.2 CT – Scan
Indikasi CT Scan adalah : ( Ekayuda I, 2006)
o Nyeri kepalaa menetap atau muntah muntah yang tidak
menghilang setelah pemberian obat – obatan
analgesia/antimuntah.
o Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna
terdapat lesi intrakranial dibandingkan dengan kejang general.
o Penurunan GCS lebih dari 1 point dimana faktor – faktor
ekstrakranial telah disingkirkan (karena penurunan GCS dapat
terjadi karena misal syok, febris, dll).
o Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai.
o Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.
o Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik
dari GCS.
( Ekayuda I, 2006)
2.7.3 Modalitas pemeriksaan penunjang yang lain
o MRI : digunakan sama seperti CT – Scan dengan atau tanpa
kontas radioaktif.
o Cereral Angiography : Menunjukan anomali sirkulasi serebral,
seperti : perubahan jaringan otak sekunder menjadi oedem,
perdarahan dan trauma.
17
o Serial EEG : Dapat melihat perkembangan gelombang yang
patologis. ( Ekayuda I, 2006)
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal penderita cedera kepalaa pada dasarnya memiliki
tujuan yang memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepalaa sekunder
serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat
membantu penyembuhan sel – sel otak yang sakit. Penatalaksanaan cedera
kepalaa tergantung pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepalaa ringan,
sedang, berat.( Hafid A, 2004)
Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder.
Dalam penatalaksanaan survei primer hal – hal yang diprioristaskan antara lain
airway, breathing, circulation, disability, dan exposure yang kemudian dilanjutkan
dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepalaa berat survei primer sangatlah
penting untuk mencegah cedera otak sekunder. ( Hafid A, 2004)
Tidak semua pasien cedera kepalaa perlu dirawat inap di rumah sakit.
Indikasi rawat antara lain: ( Hafid A, 2004)
o Amnesia post traumatika jelas (lebih dari 1 jam).
o Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit).
o Penurunan tingkat kesadaran.
o Nyeri kepalaa sedang hingga berat.
o Fraktur tengkorak.
o Kebocoran CSS, rhinorrhea.
o Cedera penyerta yang jelas.
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepalaa dilakukan untuk
memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal – hal yang dilakukan
dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi,
pemberian manitol, dan antikonvulsan. ( Hafid A, 2004)
o Penggunaan Manitol pada cedera kepalaa.
Manitol digunakan untuk menurunkan tekanan tinggi intrakranial.
Efek tersebut diperoleh melalui peningkatan volume darah sirkulasi
18
dan pengenceran viskositas darah. Manitol diperkirakan memiliki tiga
mekanisme kerja yang saling melengkapi yaitu meningkatkan
tekanan darah, memperbaiki aspek rheologik sirkulasi, dan dehidrasi
serebral. Manitol dapat menurunkan kandungan air pada jaringan otak
yang edema. Dosis manitol, sediaan manitol yang digunakan
biasanya 15 dan 20 persen. Manitol diberikan bolus 0,25-0,5/kgBB
dalam 10-20 menit, dilakukan setip 6 jam. ( Hafid A, 2004)
Indikasi pemberian, manitol dapat diberikan sebelum dilakukan
pengukuran ICP, yaitu jika terdapat tanda- tanda herniasi
transtentorial atau adanya perburukan pada keadaan neurologis yang
disebakan oleh keadaan sistemik seperti hipovolemia, dll. Pilihan
utama untuk resusitasi awal pasien cedera kepalaa yang disertai
dengan hipotensi, dikenal dengan ‘small volume resuscitation fluid’.
( Hafid A, 2004)
o Kraniotomi
Pada penanganan beberapa kasus cedera kepalaa memerlukan
tindakan operatif. Kraniotomi adalah operasi membuka tulang
tengkorak untuk mengangkat tumor, mengurangi tekanan intrakranial,
mengeluarkan bekuan darah atau menghentikan perdarahan. Indikasi
tindakan kraniotomi atau pembedahan intrakranial adalah sebaga
berikut : ( Hafid A, 2004)
- Pengankatan jaringan abnormal baik tumor maupun kanker.
- Mengurangi tekanan intrakranial
- Mengevakuasi bekuan darah
- Mengontrol bekuan darah, dan
- Pembenahan organ – organ intrakranial.
- Tumor otak.
- Perdarahan (hemorrhage)
- Kelemahan dalam pembuluh darah (cerebral aneurysm)
- Peradangan dalam otak
Apabila terjadi trauma pada tengkorak, indikasi untuk tindakan operatif
ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari
lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai berikut: ( Hafid A, 2004)
19
Volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah
supratentorial atau lebih 20 ml di daerah infratentorial.
Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis.
Tanda fokal neurologis semakin berat.
Terjadi sakit kepalaa, mual dan muntah yang semakin berat.
2.9 Prognosis
Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepalaa sudah
mendapat terapi yang agresif, terutama pada anak – anak biasanya memiliki
daya pemulihan yang baik. Penderita yang berusia lanjut biasanya mempuyai
kemungkinan yang lebih rendah untuk pemulihan dari cedera kepalaa. Selain
itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepalaa pada saat trauma juga sangat
mempengaruhi kondisi kedepannya bagi penderita. ( Hafid A, 2004)
20
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama lengkap : Tn.Sujiono Jenis kelamin : Laki-Laki
Umur : 43 th Suku bangsa : Jawa
Status perkawinan : Menikah Agama : Islam
Pekerjaan : Pedagang Pendidikan : SMA
Alamat : Ngunut Tanggal masuk RS : 11-8-2013
3.2 Assesment
3.2.1 Primary Survey
AVPU
Pasien datang dalam kondisi unconsiousness, GCS: 113
ABC
Airway: Gargling
Breathing: Spontan 29x/mnt
Circulation: Pulsasi kuat, nadi 68-70x/menit, akral hangat
3.2.2 Secondary survey
Diambil dari heteroanamnesa, tanggal 11 Agustus 2013, Pukul 19.00 WIB
Keluhan Utama: Tidak sadar setelah kecelakaan
Riwayat Penyakit Sekarang
21
Pasien datang ke IGD 1 jam setelah KLL dalam keadaan tidak sadar.
Sebelumnya pasien perjalanan menuju rumahnya dan mengalami
kecelakaan antara sepeda dengan sepeda motor, kemudian pasien dibawa
ke Puskesmas Ngunut dan di rujuk ke IGD dr.Iskak.Pihak keluarga tidak ada
yang melihat secara langsung mekanisme kecelakaan, diduga pasien di
tabrak dari belakang dan terjungkal ke aspal dalam posisi kepala terbentur
terlebih dahulu.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat darah tinggi, kencing manis dan penyakit jantung disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada riwayat darah tinggi, kencing manis dan penyakit jantung dalam
keluarga.
3.3 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Umum
Kesadaran : (E1V1M3)
Tekanan Darah : 140/80 mmHg
Nadi : 68-70 kali/menit
Suhu : 36,5 C
Pernafasan : 29 kali/menit
Sianosis : -
Tinggi Badan : ± 165 cm
Berat Badan : ± 65 kg
Kulit
Ptekie: Tidak Ada
Jaringan Parut: Tidak ada
22
Lembab/Kering: Lembab
Suhu Raba:hangat
Pembuluh darah: vasodilatasi
Turgor: normal
Oedem:Tidak ada
Kepala
Normocephali. Terdapat hematom pada bagian occipital, ukuran diameter
5 cm.
Wajah
Kerutan dahi simetris. Lipatan nasolabial simetris
Mata
Pupil isokor, 4mm/4mm. Reflek Pupil (-), Reflek kornea (-)
Hidung
Tidak tampak adanya deformitas
Tidak tampak adanya secret dan darah
Telinga
Perdarahan : -/-
Cairan : -/-
Mulut
Bibir : kering
Langit-langit : tidak ada tonjolan
Bau pernapasan : tidak ada
Leher
23
Terpasang Collar Neck, Jejas (-)
Dada
Bentuk : Normal, simetris
Pembuluh darah : tidak tampak
Pergerakan : simetris
Paru – Paru
Pemeriksaan Depan Belakang
Inspeksi Kiri Simetris saat statis dan
dinamis
Simetris saat statis dan
dinamis
Kanan Simetris saat statis dan
dinamis
Simetris saat statis dan
dinamis
Palpasi Kiri - Tidak ada benjolan
- Krepitasi (-)
- Tidak ada benjolan
- Krepitasi (-)
Kanan - Tidak ada benjolan
- Krepitasi (-)
- Tidak ada benjolan
- Krepitasi (-)
Perkusi Kiri Sonor di seluruh lapang
paru
Sonor di seluruh lapang
paru
Kanan Sonor di seluruh lapang
paru
Sonor di seluruh lapang
paru
Auskultasi Kiri - Suara vesikuler
- Wheezing (-), Ronki (-)
- Suara vesikuler
- Wheezing (-), Ronki (-)
Kanan - Suara vesikuler
- Wheezing (-), Ronki (-)
- Suara vesikuler
- Wheezing (-), Ronki (-)
24
Jantung
Inspeksi : Tidak tampak pulsasi iktus cordis
Palpasi :Teraba iktus cordis pada sela iga V, 1 cm medial linea
midklavikula kiri, tidak kuat angkat
Perkusi :
Batas kanan : sela iga V linea parasternalis kanan.
Batas kiri : sela iga V, 1cm sebelah medial linea midklavikula
kiri.
Batas atas : sela iga II linea parasternal kiri.
Auskultasi: Bunyi jantung I-II reguler, Gallop (-), Murmur (-).
Pembuluh Darah
Arteri Temporalis : teraba pulsasi
Arteri Karotis : teraba pulsasi
Arteri Brakhialis : teraba pulsasi
Arteri Radialis : teraba pulsasi
Arteri Femoralis : teraba pulsasi
Arteri Poplitea : teraba pulsasi
Arteri Tibialis Posterior : teraba pulsasi
Arteri Dorsalis Pedis : teraba pulsasi
Perut
Inspeksi : tidak ada lesi, tidak ada bekas operasi, datar, simetris, smiling
umbilicus (-), dilatasi vena (-)
25
Palpasi Dinding perut : supel, tidak ada defens muskular, tidak teraba
adanya, massa / benjolan, tidak ada nyeri tekan maupun nyerilepas.
Hepar/Limpa : tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
Hematom pada pelvis (D)
Anggota Gerak
Lengan Kanan Kiri
Otot
Tonus : normotoni normotoni
Massa : tidak ada tidak ada
Gerakan : Decorticate Decorticate
Kekuatan : -- -
Oedem : tidak ada tidak ada
Tungkai dan Kaki Kanan Kiri
Luka : abrasio tidak ada
Otot
Tonus : normotoni normotoni
Massa : tidak ada tidak ada
Gerakan : - -
Kekuatan : - -
Oedem : tidak ada tidak ada
26
PEMERIKSAAN PENUNJANG
LABORATORIUM RUTIN
Hasil Pemeriksaan Lab dari RSUD ISKAK 11/8/2013
Hematologi
Hb : 13,3 g/dL (11-16g/dL)
Leukosit : 21.820/uL (4000-10000/uL)
Hematokrit : 41 % (40-51%)
Trombosit : 238.000/uL (163.000-337.000/uL)
Kimia
GDA: 173 mg/dL
Fungsi Hati
SGOT/ASAT : 57 U/L
SGPT/ALAT : 43 U/L
Fungsi Ginjal
Kreatinin : 1,02 mg/dL (0,6-1,5)
BUN : 6,7 mg/dL (6-20)
Na/K/Cl : 136/2,85/100,9
Faal Hemostasis:
PT: 12,5 (10-14)
aPTT: 36,3 (22-30)
27
BGA
PH: 7,314
PO2: 71,9
PCO2: 63,4
SO2: 92,3
BE: 3,5
HCO3: 31,5
TCO2: 33,5
28
PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Hasil Pemeriksaan CT-Scan tanggal 11 Agustus di RSUD ISKAK
Tampak lesi hiperdens di frontal D/S.
Sulcus dan gyrus pada daerah hiperdens tampak terisi
Sistem ventrikel lateralis III dan IV terganggu edema cerebri.
Soft tissue swelling di occipital.
Midline shift ±3 mm
Kesan :
Perdarahan intracerebri di frontal D/S.
Perdarahan Subarachnoid.
Edema cerebri
29
Hasil Pemeriksaan Thoraks tanggal 11 Agustus di RSUD ISKAK
Hasil Pemeriksaan Cervical 11 Agustus di RSUD ISKAK
30
Hasil Pemeriksaan Pelvis tanggal 11 Agustus di RSUD ISKAK
USG: Morison pouch (-)
DIAGNOSIS KERJA
-COB 113
-ICH frontal D/S
-SAH
-Hematom pelvis (D)
31
PENATALAKSANAAN
- Pasang Oropharingeal tube
- Head up 30 derajat
- O2 NRMB 6-8 lpm
- IVFD NS 0,9% 15 tpm
- Pasang NGT
- Pasang Kateter
- Inj. Asam Tranexamat 2x250mg
- Inj. Piracetam 3x3gr
- Inj. Ketorolac 3x30mg
- Inj. Metoclopramid 3x 10mg
- Loading Phenitoin 600mg dalam NS 500cc
- Inj. Citicholin 2x250mg
KIE keluarga
Pasien harus segera di rujuk ke center RS yang tersedia dokter bedah Syaraf
tetapi keluarga menolak karena alasan biaya dan transportasi
Transfer Pasien
Pasien dilakukan terapi konservatif di ROI pada 11 Agustus 2013 (jam 22.00)
32
Kondisi Pasien di ROI
Tanggal Subjektif Objektif Analisis Perencanaan
12/08/13
Jam 08.00
- Pasien
tidak
sadar
TD : 170/90
N : 108x
RR : 40x
S : 36,5
SpO2: 91%
Nafas cepat dan
dangkal
Collar neck
terpasang
Status neurologis
(E1V1M1)
Pupil bulat
isokor
Refleks
Fisiologis
++/++
Refleks
Patologis
-/-
COB 111
SAH
ICH frontal
KIE keluarga pasang
ETT setuju
Pasang ETT ukuran
7,5 dengan
kedalaman 20cm
dengan
premedikasi
midazolam 2mg I.V
Pasang Ventilator
Konsul Bedah
12/8/2013 Pasien tidak
sadar
TD : 160/80 COB 1x1 KIE keluarga
33
Jam 10.00
(Konsul
Bedah)
N : 100x
RR : 40x
S : 36,5
SpO2: 98%
Collar neck
terpasang
Terapasang
ventilator
Status
neurologis
(E1VxM1)
Pupil bulat
isokor
RP (-), RC (-)
Refleks
Fisiologis
++/++
Refleks
Patologis
-/-
SAH
ICH frontal
Pasang ventilator
Pro evaluasi MBO
IVFD NS0,9%
200cc/hr
13/8/2013
jam 18.00
Koma TD : 130/80
N : 98x
Sp02: 98%
S : 36,3
Terpasang
ventilator
Status
neurologis
CM (E1VxM1)
Pupil midriasis
maksimal
MBO Test MBO (+)
KIE
KeluargaKeluarga
menghendaki lepas
ventilator (+)
34
PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia ad malam
35
BAB 4
PEMBAHASAN
Pasien Tn.S, usia 43 tahun mengalami cedera kepala setelah mengalami
kecelakaan. Hal tersebut didasari oleh definisi cedera kepala yaitu trauma
mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang
kemudian dapat berakibat pada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif,
psikososial, yang dapat bersifat temporer ataupun permanent.
Pada pasien ini mengalami cedera kepala berat dengan GCS 113, yakni
sesuai dengan teori yang telah disampaikan bahwa cedera kepala berat apabila
GCS 3 – 8 dimana kondisi penderita tidak mampu melakukan perintah
sederhana walaupun status kardiopulmonernya telah distabilkan. Cedera
mempunyai resiko morbiditas sangat tinggi. Diagnosa dan terapi sangat penting
dan perlu dengan segara penanganan. Tindakan stabilisasi kardiopulmoner pada
penderita cedera kepala berat harus dilakukan secepatnya.
Saat pasien datang dilakukan primary survey. Pasien pada kondisi
unconsiousness dengan airway ditemukan suara gargling, breathing spontan dan
sirkulasi stabil. Sehingga harus langsung dilakukan tindakan airway dengan
pemasangan oropharingeal tube dan oksigenasi untuk mencegah terjadinya
secondary brain damage. Hal ini sesuai dengan teori pada penatalaksanaan
Airway dan breathing yaitu sering terjadinya gangguan henti nafas sementara,
penyebab kematian karena terjadi apnoe yang berlangsung lama. Intubasi
endotracheal tindakan penting pada penatalaksanaan penderita cedera kepala
berat dengan memberikan oksigen 100 %. Tindakan hyeprveltilasi dilakukan
secara hati-hati untuk mengoreksi sementara asidosis dan menurunkan TIK
pada penderita dengan pupil telah dilatasi dan penurunan kesadaran. PCo2
harus dipertahankan antara 25 – 35 mm Hg
Prinsip penanganan sirkulasi adalah sebagai berikut normalkan tekanan
darah bila terjadi hypotensi. USG / lavase peritoneal diagnostik untuk
menentukan adanya akut abdomen. Pada pasien ini ditemukan adanya hematom
pada pelvis kanan. Pada hasil USG morison pouch (-), sehingga pada saat
pemeriksaan awal tidak didapatkan internal bleeding pada abdomen.
36
Setelah pandisi stabil pada ABC, dilakukan secondary survey serta
penderita cedera kepala perlu konsultasi pada dokter ahli lain yaitu dokter bedah
atau dokter bedah syaraf untuk tindakan lebih lanjut.
Setelah dilakukan prosedur lebih lanjut pasien didiagnosa mengalami
perdarahan intracebrebral dan perdarahan subarachnoid. Sehingga pasien
disarankan untuk dirujuk ke center RS yang tersedia dokter bedah saraf, tetapi
pihak keluarga menolak dengan alasan biaya dan transportasi.
Hal tersebut sesuai dengan teori bahwa hematom intraserebral adalah
perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim) otak. Perdarahan terjadi
akibat adanya laserasi atau kontusio jariagan otak yang menyebabkan pecahnya
pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang
paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi
pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainya (countercoup). Defisit neurologis
yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas
perdarahan. Penyebab yang paling sering dari hematom intraserebral adalah
penyakit hipertensi vaskuler, perdarahan paling sering terjadi pada ganglia
basalis (80% kasus), batang otak, serebelum dan korteks serebral. Hematom
yang mengisi ruang menyebabkan kenaikan intrakranial. Sebagian besar
perdarahan intraserebral yang terjadi pada penderita hipertensi, akibat dari ruptur
pada arteriol kecil, terutama pada cabang lentikulostriata dari arteri serebral
media. Kontusi serebral murni biasanya jarang terjadi. Selanjutnya kontusi otak
hampir selalu berkaitan dengan hematom subdural akut. Sebagian besar kontusi
terjadi pada lobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat
termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antar kontusi dan hematom
intarserebral traumatika tidak jelas batasnya. Bagaimana pun, terjadi zona
peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematom intraserebral
dalam beberapa hari. ( Mardjono M., 2003)
Sehingga pasien dirawat secara konservatif. Adapun prinsip penanganan
secara konservati dan definitif pada pasien ini sesuai dengan teori yang diberikan
adalah sebagai berikut.
37
TERAPY MEDIKAMENTOSA UNTUK TRAUMA KEPALA
Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cedera
sekunder terhadap otak yang telah mengaalami cedera
A. Cairan Intravena
Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita
agar tetap normovolemik. Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan
cairan berlebih. Penggunaan cairan yang mengandung glucosa
dapat menyebabkan hyperglikemia yang berakibat buruk pada otak
yang cedera. Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah NaCl
o,9 % atau Rl. Kadar Natrium harus dipertahankan dalam batas
normal, keadaan hyponatremia menimbulkan odema otak dan harus
dicegah dan diobati secara agresif
B. Hyperventilasi
Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, HV dapat
menurunkan PCo2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh
darah otak. HV yang lama dan cepat menyebabkan iskemia otak
karena perfusi otak menurun. PCo2 < 25 mmHg , HV harus dicegah
Pertahankan level PCo2 pada 25 – 30 mmHg bila TIK tinggi.
C. Manitol
Dosis 1 gram/kg BB bolus IV. Indikasi penderita koma yang semula
reaksi cahaya pupilnya normal, kemudian terjadi dilatasi pupil
dengan atau tanpa hemiparesis. Dosis tinggi tidak boleh diberikan
pada penderita hypotensi karena akan memperberat hypovolemia
D. Steroid
Steroid tidak bermanfaat .Pada pasien cedera kepala tidak
dianjurkan
E. Anticonvulasan
38
Penggunaan anticonvulsan profilaksisi tidak bermanfaat untuk
mencegaah terjadinya epilepsi pasca trauma. Phenobarbital &
Phenytoin sering dipakai dalam fase akut hingga minggu ke-1. Obat
lain diazepam dan lorazepam
PENATALAKSANAAN PEMBEDAHAN
A. Luka Kulit kepala
Hal penting pada cedera kepala adalah mencukur rambut disekitar
luka dan mencuci bersih sebelum dilakukan penjahitan. Penyebab
infeksi adalah pencucian luka dan debridement yang tidak adekuat
Perdarahan pada cedera kepala jarang mengakibatkan syok,
perdarahan dapat dihentikan dengan penekanan langsung,
kauteraisasi atau ligasi pembuluh besar dan penjahitan luka.
B. Lesi masa Intrakranial
Trepanasi dapat dilakukan apabila perdarahan intra kranial dapat
mengancam jiwa dan untuk mencegah kematian. Prosedur ini penting
pada penderita yang mengalami perburukan secara cepat dan tidak
menunjukan respon yang baik dengan terapy yang diberikan.
Trepanasi dilakukan pada pasien koma, tidak ada respon pada
intubasi endotracheal , hiperventilasi moderat dan pemberian manitol
Setelah dilakukan tindakan resusitasi dan terapi konservatif, kondisi
pasien tidak respon dengan pengobatan dan terjadi perburukan pada tanggal 12
Agustus 2013 jam 08.00. Dengan vital sign sebagai berikut:
39
TD : 170/90
N : 108x
RR : 40x
S : 36,5
SpO2: 91%
Nafas cepat dan dangkal
Collar neck terpasang
Status neurologis (E1V1M1)
Pupil bulat isokor
Refleks Fisiologis
++/++
Refleks Patologis
-/-
40
Sehingga pasien di rencanakan untuk dilakukan intubasi dan
pemasangan ventilator. Setelah pemasangan ventilator pada tanggal 13 Agustus
2013 pukul 18.00 pasien dilakukan evaluasi mati batang otak. Dari hasil
pemeriksaan MBO didapatkan:
- Koma dengan penyebab lesi struktural otak, GCS 1x1, dengan kondisi
sekunder lain yang memperberat tidak ditemukan.
- Fungsi serebral negatif: respon nyeri (-), tidak ditemukan gerak spontan.
- Reflek batang otak negatif: reflek cahaya (-), reflek kornea (-).
Dengan kondisi tersebut diatas maka keluarga pasien di KIE, kemudian
dilakukan tes kalori pada pasien untuk memastikan tanda-tanda MBO. Hasil tes
kalori menunjukkan hasil (+). Pasien sudah tegak mengalami MBO.
Dengan pertimbangan dari pihak RS dan keluarga, pasien dilepaskan
intubasi dan ventilatornya.
41
BAB 5
KESIMPULAN
Cedera kepala merupakan masalah yang serius karena merupakan
penyebab kematian yang paling sering terutama pada kecelakaan kendaraan.
Jenis dan beratnya kelainan akibat cedera kepalaa tergantung pada lokasi dan
beratnya kerusakan otak. Terjadinya cedera kepalaa, kerusakan dapat terjadi
dalam dua tahap yaitu cedera primer yang merupakan akibat langsung dari
benturan, dan cedera sekunder yang terjadi akibat proses patologis yang timbul
sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak.
Aspek – aspek terjadinya cedera kepalaa dikelompokan menjadi beberapa
klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme cedera kepalaa, beratnya cedera
kepalaa dan morfologinya. Kerusakan otak seringkali menyebabkan kelainan
fungsi yang menetap, yang bervariasi tergantung kepada kerusakan yang terjadi,
apakah terbatas (terlokalisir) atau lebih menyebar (difus). Kelainan fungsi yang
ditimbulkan juga tergantung pada bagian otak mana yang terkena. Gejala yang
terlokalisir bisa berupa perubahan dalam gerakan, sensasi, berbicara,
pengelihatan dan pendengaran. Kelainan fungsi otak yang difus bisa
mempengaruhi ingatan dan pola tidur penderita, daan bisa menyebabkan
kebingunan dan koma. Untuk menentukan tingkat keparahan pada penderita
cedera kepalaa digunakan pemeriksaan kesadaran dengan menggunakan skala
koma glasgow (GCS). Dengan jumlah yang paling kecil 3 dan paling besar 15
yang meliputi respon verbal, respon motorik, respon membuka mata. Semakin
kecil poin GCS maka semakin berat cedera yang diderita.
42
DAFTAR PUSTAKA
Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4,
Anugrah P. EGC, Jakarta, 2005, 1014-10
Ekayuda I., Radiologi Diagnostik, edisi kedua, Balai Penerbit FKUI, Jakarta,
2006, 359-366
Hafid A, Subarachnoid Hemoatoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua, Jong
W.D. EGC, Jakarta, 2004, 818-819
Mardjono M. Sidharta P., Mekanisme Trauma Susunan Saraf, Neurologi Klinis
Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2003, 254-259
Markam S, Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua, Harsono,
Gajah Mada Universiti Press, Yogyakarta, 2005, 314
43
Top Related