10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Resiliensi
1. Pengertian Resiliensi
Istilah resiliensi diintrodusir oleh Redl pada tahun 1969 dan digunakan
untuk menggambarkan bagian positif dari perbedaan masing-masing individu
dalam merespon stres dan keadaan yang merugikan (adversity) lainnya (Smet,
1994). Tetapi, hingga tahun 1980-an, istilah resiliensi belum digunakan secara
konsisten (Grotberg, dalam Desmita, 2017). Menurut Henderson & Milstein (2003)
istilah resiliensi diadopsi sebagai ganti dari istilah-istilah yang sebelumnya telah
digunakan oleh para peneliti untuk menggambarkan fenomena, seperti:
“invulnerable” (kekebalan), “invincible” (ketangguhan), dan “hady” (kekuatan),
karena dalam proses menjadi resilien tercakup pengenalan perasaan sakit,
perjuangan dan penderitaan (dalam Desmita, 2017). Resiliensi adalah kekuatan
dasar atau pondasi dari karakter-karakter positif dalam membangun kekuatan
emosional dan psikologis. Resiliensi dapat membuat individu mengubah kondisi
yang tidak menyenangkan menjadi suatu tantangan (Desmita, 2017).
Block & Block (dalam Purnomo, 2014) resiliensi secara psikologi dapat
diartikan sebagai kemampuan merespon secara fleksibel untuk mengubah
kebutuhan situasional dan kemampuan untuk bangkit dari pengalaman emosional
yang negatif. Sedangkan Jackson & Watkin (dalam Mufidah, 2017) menyatakan
bahwa resiliensi adalah suatu konsep yang menunjukkan kemampuan seseorang
untuk mengatasi dan beradaptasi, serta dapat bertahan terhadap masa-masa sulit
11
yang dihadapi. Resiliensi diri seseorang juga menentukan keberhasilan atau
kegagalan dalam kehidupannya.
Menurut Reivich & Shatte (dalam Widuri, 2012) resiliensi merupakan
kemampuan seseorang untuk bertahan, bangkit, dan menyesuaikan dengan kondisi
yang sulit. Resiliensi berarti kemampuan untuk pulih kembali dari suatu keadaan,
kembali ke bentuk semula setelah dibengkokkan, ditekan, atau diregangkan.
Sedangkan menurut Connor dan Davidson (dalam Cahyani & Akmal, 2017)
resiliensi adalah kemampuan individu untuk bisa bertahan, mengatasi, dan bahkan
berkembang di tengah kesulitan.
Berdasarkan beberapa teori diatas, dapat disimpulkan bahwa resiliensi
adalah kemampuan merespon secara fleksibel sebagai kekuatan dasar atau pondasi
dari karakter-karakter positif dalam membangun kekuatan emosional dan
psikologis guna mengubah kebutuhan situasional dan kemampuan untuk bangkit
dari pengalaman yang negatif.
2. Aspek-aspek Resiliensi
Menurut Reivich & Shatte (dalam Septiani & Fitria, 2016) Aspek-aspek
resiliensi :
a. Regulasi emosi
Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi yang
menekan. Regulasi emosi menekankan pada bagaimana dan mengapa emosi
itu sendiri mampu mengatur dan memfasilitasi proses-proses psikologis,
seperti memusatkan perhatian, pemecahan masalah, dan dukungan sosial.
Reivich dan Shatte (2002), mengungkapkan dua hal keterampilan yang dapat
12
memudahkan individu untuk melakukan regulasi emosi, yaitu tenang dan
fokus. Dua keterampilan ini akan membantu individu untuk mengontrol
emosi yang tidak terkendali, menjaga fokus pikiran individu ketika banyak
hal-hal yang mengganggu, serta mengurangi stres yang dialami oleh individu.
b. Pengendalian impuls
Pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk mengendalikan
keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri.
Individu dapat mengendalikan impulsivitas dengan mencegah terjadinya
kesalahan pemikiran, sehingga dapat memberikan respon yang tepat pada
permasalahan yang ada.
c. Optimisme
Optimisme adalah kepercayaan pada diri sendiri akan masa depannya, dan
percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan
yang mungkin terjadi di masa depan. Ketika mengalami kegagalan, orang
optimis cenderung menyikapinya dengan respon yang aktif dan tidak putus
harapan, merencanakan suatu tindakan, atau berusaha mencari pertolongan
dan nasihat.
d. Analisis masalah
Analisis masalah merujuk pada kemampuan individu untuk
mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang mereka
hadapi. Individu yang tidak mampu mengidentifikasikan penyebab dari
permasalahan yang mereka hadapi secara tepat, akan terus menerus berbuat
kesalahan yang sama.
13
e. Empati
Empati adalah kemampuan individu dalam menjalin hubungan sosial yang
positif. Empati membantu individu mengetahui dan memahami serta berbagi
perasaan/emosi orang lain. Kemampuan untuk memahami status seseorang
dalam kelompok (sosioempatis) penting bagi penyesuaian individu, karena
menentukan bagaimana individu berperilaku dalam suatu situasi sosial.
f. Efikasi Diri
Efikasi diri adalah hasil dari keberhasilan dalam pemecahan masalah yang
dihadapi. Efikasi diri merepresentasikan sebuah keyakinan bahwa kita
individu memecahkan masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan.
g. Pencapaian
Resiliensi bukan hanya kemampuan untuk mengatasi kemalangan dan
bangkit dari keterpurukan, namun kemampuan individu meraih aspek positif
dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa.
Menurut Bernard (dalam Desmita, 2017) seorang yang resilien biasanya
memiliki empat sifat-sifat umum, yaitu :
1. Social competence (kompetensi sosial) : kemampuan untuk memunculkan
respon yang positif dari orang lain, dalam artian mengadakan hubungan-
hubungan yang positif dengan orang dewasa dan teman sebaya.
2. Problem-solving kills/metacognition (keterampilan pemecahan masalah/
metakognitif) : perencanaan yang memudahkan untuk mengendalikan diri
sendiri dan memanfaatkan akal sehatnya untuk mencari bantuan dari orang
lain.
14
3. Autonomy (otonomi) : suatu kesadaran tentang identitas diri sendiri dan
kemampuan untuk bertindak secara independen serta melakukan pengontrolan
terhadap lingkungan.
4. A sense of purpose and future (Kesadaran akan tujuan dan masa depan):
kesadaran akan tujuan-tujuan, aspirasi pendidikan, ketekunan (persistence),
pengharapan dan kesadaran akan suatu masa depan yang cemerlang (bright).
Berdasarkan teori-teori yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat
disimpulkan bahwa resiliensi memiliki berbagai aspek. Aspek-aspek tersebut
adalah pengaturan emosi, kontrol terhadap impuls, optimisme, kemampuan
menganalisis masalah, empati, efikasi diri, pencapaian, kompetensi sosial,
keterampilan pemecahan masalah/metakognitif, otonomi, dan kesadaran akan
tujuan dan masa depan. Dalam hal ini, peneliti memilih aspek Reivich & Shatte
yaitu meliputi : pengaturan emosi, kontrol terhadap impuls, optimisme, kemampuan
menganalisis masalah, empati, efikasi diri dan pencapaian. Peneliti memilih aspek
menurut Reivich & Shatte karena aspek tersebut lebih lengkap dan jelas sehingga
memudahkan peneliti dalam membuat skala psikologis.
3. Karakteristik Individu yang Resilien
Menurut Grotberg (dalam Desmita, 2017) ada beberapa sumber dari resiliensi
yaitu sebagai berikut :
a. I Have (Aku punya)
Merupakan karekteristik resiliensi yang bersumber dari pemaknaan individu
terhadap besarnya dukungan dan sumber daya yang diberikan oleh
lingkungan sosial. I Have meliputi hubungan saling percaya, akses untuk
15
kesehatan, pendidikan, kesejahteraan dan layanan keamanan, dukungan
emosional di luar keluarga, struktur dan aturan di rumah, dorongan semangat
orang tua, lingkungan rumah yang stabil, model peran, organisasi keagamaan
(moralitas).
b. I Am (Aku ini)
I Am merupakan karakteristik resiliensi yang bersumber dari kekuatan
pribadi (personal strengths) yang dimiliki oleh induvidu. I Am meliputi rasa
disukai, otonomi, berorientasi pada pencapaian, harga diri, harapan, iman,
keyakinan pada Tuhan, moralitas, kepercayaan, empati dan altruisme, locus
of control
c. I Can (Aku dapat)
I Can adalah karakteristik resiliensi yang bersumber dari apa saja yang dapat
dilakukan oleh individu yang berhubungan dengan keterampilan-
keterampilan sosial dan interpersonal (social, interpersonal skills).
Keterampilan ini meliputi kreativitas, ketekunan, humor, komunikasi,
pemecahan masalah, kontrol impuls, mencari hubungan saling percaya,
keterampilan sosial, keterampilan intelektual.
Berdasarkan teori-teori yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa
orang yang resilien dapat dilihat dari 3 karakteristik yaitu ada I AM, I CAN, dan
juga I HAVE. Resiliensi merupakan hasil kombinasi dari 3 karakteristik tersebut.
Untuk menjadi seorang yang resilien, tidak cukup hanya memiliki satu karakteristik
saja, melainkan harus didukung oleh karakteristik lainnya.
16
4. Resiliensi pada mahasiswa yang sedang menyusun skripsi
Dalam menjalani kehidupan perkuliahan, mahasiswa akan dihadapkan
dengan tekanan atau tuntutan yang berbeda di setiap semester ataupun tingkatan
perkuliahan. Mahasiswa yang berada di tingkat akhir diperkirakan menghadapi
tekanan yang lebih berat karena mereka harus menyelesaikan tugas akhir atau
skripsi. Para mahasiswa tingkat akhir harus menyelesaikan skripsi secara individu,
sehingga tuntutan untuk belajar secara mandiri lebih besar (Gunawati, dalam
Cahyani & Akmal, 2017). Skripsi bagi mahasiswa adalah suatu kewajiban yang
harus diselesaikan dalam jangka waktu yang sesingkat mungkin. Semakin cepat
menyelesaikan skripsi dan diwisuda, semakin besar pula peluang untuk segera
mencari pekerjaan. Mahasiswa tingkat akhir yang mengerjakan skripsi dituntut
untuk memiliki rasa optimis, semangat hidup yang tinggi, mencapai prestasi
optimal dan berperan aktif dalam menyelesaikan masalah, baik masalah akademis
maupun non-akademis (Yesamine dalam Roellyana & Listiyandini, 2016).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa resiliensi pada
mahasiswa merupakan kemampuan untuk bertahan dalam situasi sulit guna
mengahadapi kesulitan-kesulitan yang dialami mahasiswa selama proses
penyusunan skripsi.
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi
Menurut Grotberg (dalam Aziz & Noviekayati) Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi resiliensi yaitu :
17
a. Usia
Usia kronologis adalah jumlah tahun yang telah dilewati seseorang sejak ia
dilahirkan. Akan tetapi konsepsi mengenai usia tidak hanya dibatasi sebagai
usia kronologis namun juga usia biologis, usia psikologis, dan usia sosial
(Hooyer & Roodin dalam Santrock 2012). Individu yang lebih tua memiliki
tingkat kepuasan dan kebahagiaan yang lebih tinggi meskipun mereka didera
masalah fisik dan kemunduran lainnya namun mereka memiliki hubungan
yang lebih baik dengan orang-orang yang berarti untuk mereka, tidak terlalu
tertekan dengan pencapaian, lebih banyak waktu melakukan kegiatan yang
disukai, dan memiliki banyak pengalaman yang membantu mereka
beradaptasi dengan lingkungan secara bijaksana dibandingkan orang-orang
yang lebih muda (Cornwell, Schumm, & Laumann dalam Santrock 2012).
Artinya, tingkat usia seseorang juga menjadi penentu bagaimana individu
tersebut menyikapi kesulitan yang ada dengan kemampuan resiliensi yang
dimilikinya.
b. Dukungan sosial
Dukungan sosial menurut Sarafino & Smith (2011), adalah suatu
kenyamanan, kepedulian, penghargaan, atau bantuan yang didapatkan
individu dari individu lain atau kelompok. Dukungan sosial dapat berasal dari
orang tua, pasangan atau kekasih, saudara, kontak sosial atau masyarakat atau
bahkan dari hewan peliharaan setia. Taylor (2015), mengatakan bahwa
individu dengan dukungan sosial yang tinggi mempunyai tingkat stres yang
rendah, lebih berhasil mengatasi kesulitan dan mengalami hal-hal positif
18
dalam hidup (dalam Raisa & Ediati, 2016). Penelitian Nur & Shanti (2011),
menyatakan bahwa dukungan sosial yang didapatkan oleh individu dari
lingkungan sekitar baik keluarga ataupun lingkungan sekitarnya, akan
mempengaruhi cara individu menghadapi stressor dan kecemasan dalam
menjalani kehidupan. Hal tersebut akan membantu individu untuk tenang,
menumbuhkan rasa percaya diri, dan merasa dicintai (dalam Raisa & Ediati,
2016).
c. Kontrol diri
Setiap individu memiliki suatu mekanisme yang dapat membantu mengatur
dan mengarahkan perilaku, yaitu kontrol diri. Menurut Goldfried dan
Marbaum (dalam Muhid, 2009) kontrol diri diartikan sebagai kemampuan
untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku
yang dapat membawa ke arah konsekuensi positif. Sebagai salah satu sifat
kepribadian, kontrol diri pada satu individu dengan individu yang lain
tidaklah sama. Ada individu yang memiliki kontrol diri yang tinggi dan ada
individu yang memilikki kontrol diri yang rendah. Individu yang memiliki
kontrol diri yang tinggi mampu mengubah kejadian dan menjadi agen utama
dalam mengarahkan dan mengatur perilaku utama yang membawa pada
konsekuensi positif (dalam Aini & Mahardayani, 2011).
d. Kompetensi
Kompetensi merupakan kemampuan individu dalam melaksanakan sesuatu
yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan. Kompetensi juga dapat
diartikan sebagai pengetahuan keterampilan dan nilai-nilai dasar yang
19
direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak (Sahertian & Sahertian
dalam Susilowati dkk, 2013). Adam (dalam Maitimu, 2015) mengungkapkan
bahwa seseorang yang memiliki kompetensi yang tinggi mampu menghadapi
kondisi-kondisi yang penuh dengan ketegangan dan mampu menarik serta
mempertahankan dukungan sosialnya terhadap orang lain. Hal ini dapat
dikatakan bahwa saat individu mampu mengembangkan kompetensinya
maka resiliensinya semakin kuat.
e. Penghargaan terhadap diri (self-esteem)
Self-esteem merupakan evaluasi diri yang dibuat oleh setiap individu atau
sikap seseorang terhadap dirinya sendiri dalam rentang dimensi positif-
negatif (Baron & Byrne, 2004). Orang dengan self-esteem tinggi lebih merasa
bahagia dan lebih efektif dalam memenuhi tuntutan lingkungan
(Coopersmith, dalam Aunillah & Adiyanti, 2015). Ungar (dalam Rahmasari,
dkk 2014) menyatakan individu yang resilien memiliki self-esteem dan
kepercayaan diri yang kokoh.
f. Watak (temperament)
Temperamen merupakan karakteristik individu yang menentukan afektif
seseorang serta memerankan peran dalam interaksi dan fungsi sosial (Calkins
dalam Ramadhianti & Alfiasari, 2017). Beberapa individu memiliki
kecenderungan genetik yang memberi sumbangan bagi resiliensinya, seperti
watak sosial, sifat ramah, dan kecantikan fisik, namun kebanyakan dari
karakteristik yang dihubungkan dengan resiliensi dapat dipelajari (Higgins,
Werner & Smith, dalam Desmita 2009).
20
g. Kematangan sosial (social maturity)
Kematangan sosial adalah salah satu aspek perkembangan sosial yang terlihat
dari adanya penilaian diri, serta adanya kemampuan untuk membawakan diri
dengan baik dalam kelompok atau lingkungan sosialnya, dimana individu
mampu menempatkan diri dalam berbagai lingkungan sosial yang berbeda
(Hassan dalam Rahmawati, 2013). Dan Doll (dalam Rahmawati, 2013)
menyebutkan bahwa kematangan sosial tampak dalam perilaku seseorang,
dimana perilaku tersebut menunjukkan kemampuan individu dalam
mengurus dirinya sendiri dan partisipasinya dalam berbagai aktivitas yang
akhirnya mengarah pada kemandirian layaknya orang dewasa. Individu
dikatakan memiliki tingkat kematangan sosial yang tinggi apabila
mempunyai hubungan keluarga yang baik, mempunyai pandangan yang
praktis dalam menghargai atau menilai orang lain, mempunyai rasa aman
terhadap teman sebaya disamping mampu membuat hubungan dengan orang
lain yang lebih tua dan orang yang lebih muda, menempatkan seks dalam
pandangan yang sopan, dan menerapkan kebiasaan serta peraturan-peraturan
masyarakat secara praktis (Ringness, dalam Rahmawati, 2013).
h. Motivasi berprestasi (need for achievement)
Murray mendefinisikan motivasi berprestasi sebagai kebutuhan untuk
menyelesaikan sesuatu yang sulit, menguasai sesuatu dengan cepat dan
mandiri, menyelesaikan permasalahan dan mencapai standar yang tinggi,
menantang diri sendiri, bersaing dan mengungguli orang lain,
mengembangkan penguasaan atas objek fisik, kemanusiaan, dan ide, serta
21
melakukan semua hal tersebut sebagai kebanggaan, dengan latihan-latihan
yang baik (Haryani & Tairas, 2014). Motivasi berprestasi memberikan
pengaruh yang besar terhadap pencapian yang diperoleh seseorang.
Seseorang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan selalu bersemangat
dan berambisi tinggi, melakukan tugas yang diberikan padanya dengan sebaik
mungkin, belajar dengan lebih cepat, dan memiliki prestasi dalam bidang
yang menjadi keahlian mereka (Santrock, dalam Haryani & Tairas, 2014).
i. Kemampuan untuk mengatasi peristiwa masa lalu (past coping ability)
Compas (dalam Baron, & Byrne, 2005) mengemukakan bahwa coping adalah
suatu proses yang terdiri dari dua tingkat. Tingkat pertama adalah coping
yang berpusat pada emosi dan tingkat kedua adalah coping yang berpusat
pada masalah. Coping yang berhasil adalah yang melibatkan pengendalian
kontrol, proses-proses yang memungkinkan individu untuk mengarahkan
aktivitasnya di berbagai waktu dan situasi. Kumpfer (dalam Pratiwi &
Hirmaningsih, 2016) mengatakan coping memiliki peran yang signifikan
dalam proses mengembangkan resiliensi. Sehingga dapat dikatakan bahwa
coping mempengaruhi resiliensi seseorang. Li (dalam Pratiwi &
Hirmaningsih, 2016) mengatakan bahwa resiliensi merupakan hasil dari
penggunaan active coping seperti mencari bantuan dan menyelesaikan
masalah.
Menurut Holaday & Phearson (dalam Purnomo, 2014), ada tiga faktor yang
dapat mempengaruhi resiliensi, yaitu :
22
1. Sumber daya psikologis termasuk di dalamnya locus of control internal,
empati dan rasa ingin tahu, cenderung mencari hikmah dari setiap
pengalaman, dan selalu fleksibel dalam menghadapi situasi
2. Dukungan sosial
Dukungan sosial adalah kenyamanan secara fisik dan psikologis yang
diberikan oleh orang lain (Sarason, Sarason, & Pierce dalam Baron, & Byrne,
2005). Dukungan sosial merupakan informasi dan umpan balik (feedback)
dari orang lain yang menunjukkan bahwa diri mereka dicintai dan
dipedulikan, berharga serta dihormati dan juga dianggap sebagai bagian dari
suatu kelompok yang saling berkomunikasi. Dukungan sosial memiliki tiga
jenis manfaat: bantuan yang sifatnya nyata (tangible assistance), penyediaan
informasi (information), dan dukungan emosional (emotional support) (King,
2017). Dukungan sosial menjadi sangat bermanfaat tatkala individu
mengalami stres, dan sesuatu yang sangat efektif terlepas dari strategi mana
yang dignakan untuk mengatasi stres (Frazier, dkk dalam Baron, & Byrne,
2005). Dukungan sosial termasuk di dalamnya pengaruh budaya, dukungan
komunitas, individu, keluarga.
3. Kemampuan kognitif
Otak manusia menjadi rumah bagi “pikiran” yaitu proses mental yang
membantu kita untuk mengingat, membuat keputusan, membuat
perencanaan, menentukan tujuan serta menjadi kreatif. Dalam sudut pandang
kognitif, proses mental individu sepenuhnya mengontrol perilaku melalui
proses memori, persepsi, pembentukan gambaran mental, serta proses
23
berpikir (King, 2016). Kemampuan kognisi seseorang juga dipengaruhi oleh
gender. Menurut Hyde (dalam King, 2017) perbedaan antargender memang
ada, namun kecil, dimana anak perempuan memiliki skor lebih tinggi pada
beberapa aspek kemampuan verbal, sedangkan anak laki-laki memiliki skor
lebih tinggi pada kecerdasan spasial. Kemampuan kognisi termasuk di
dalamnya intelegensi, gaya coping, kemampuan untuk menghindarkan dari
menyalahkan diri sendiri, kontrol personal, dan spritualitas.
Kesimpulan dari pendapat ahli di atas menyatakan bahwa faktor yang
mempengaruhi resiliensi adalah faktor usia, dukungan sosial, kontrol diri,
kompetensi, penghargaan terhadap diri, watak, kedewasaan sosial, kebutuhan untuk
berprestasi, dan kemampuan untuk mengatasi peristiwa masa lalu, sumber daya
psikologis, dukungan sosial, dan kemampuan kognitif.
Peneliti memilih locus of control Internal yang merupakan bagian dari
faktor sumber daya psikologis sebagai variabel bebas, sebab berdasarkan penelitin
Anderson (dalam Mufidah, 2017) menyebutkan bahwa individu yang resilien
merupakan individu dengan locus of control internal tinggi.
B. Locus of Control Internal
1. Pengertian Locus of Control Internal
Menurut Rotter (dalam Susanti, 2016) locus of control adalah konsep yang
menjelaskan apakah seseorang mampu menyadari bahwa pengendalian hidupnya
berada dalam penguasaan dirinya sendiri (locus of control internal) ataukah berada
pada kekuasaan orang lain (locus of control eksternal). Locus of control internal
24
adalah keyakinan individu bahwa kesuksesan dan kegagalan yang terjadi pada
dirinya bergantung pada dirinya sendiri (Sarafino & Smith, 2011).
Menurut Kreitner & Kinicki (2009) individu yang memiliki kecenderungan
locus of control internal adalah individu yang memiliki keyakinan untuk dapat
mengendalikan segala peristiwa dan konsekuensi yang memberikan dampak pada
hidupnya sendiri. Sedangkan menurut Rotter (dalam Sarafino & Smith, 2011) locus
of control internal adalah individu yang percaya bahwa mereka memiliki kontrol
atas keberhasilan dan kegagalan dalam hidup mereka. Artinya, kendali atas
peristiwa-peristiwa ini terletak di dalam diri mereka sendiri dan mereka
bertanggung jawab akan hal tersebut. Lalu menurut Lefcourt (dalam Budiwati, &
Muslimin, 2016) locus of control internal adalah keyakinan individu mengenai
peristiwa-peristiwa yang berpengaruh dalam kehidupannya merupakan akibat dari
tingkah lakunya sehingga dapat dikontrol.
Berdasarkan definisi-definisi dari para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa
locus of control internal adalah keyakinan yang dimiliki individu mengenai hasil
yang akan diperolehnya bergantung pada usaha yang dilakukan oleh individu itu
sendiri dan kepercayaan seseorang akan kemampuan dirinya untuk mengontrol
kehidupannya sendiri.
2. Aspek-aspek Locus of Control Internal
Aspek-aspek locus of Control internal menurut Sarafino (dalam Budiwati,
& Muslimin, 2016) sebagai berikut :
a. Kontrol
25
Kontrol adalah keyakinan bahwa individu memiliki kemampuan untuk
mengendalikan (mengontrol) peristiwa yang terjadi berkaitan dengan hasil
yang diinginkan dalam kehidupan, bukan dikontrol oleh nasib atau
keberuntungan. Kontrol diri diasosiasikan dengan usaha membangun hidup
yang panjang dan sehat (Baumeister & Alquist dalam King, 2017). Individu
yang memiliki kontrol diri memiliki tingkat stres yang lebih rendah dan dapat
mengembangkan strategi pemecahan masalah untuk digunakan mengatasi
masa-masa sulit (Taylor & Thompson dalam King, 2017).
b. Mandiri
Mandiri yaitu mengenai bagaimana individu dalam usahanya untuk
mencapai suatu tujuan atau hasil, percaya dengan kemampuan dan
ketrampilannya sendiri. Sehingga individu memiliki keyakinan bahwa hidup
terasa lebih mudah (memandang kehidupan itu tidak sulit).
c. Tanggung jawab
Tanggung jawab artinya, individu memiliki kesedian untuk menerima
segala sesuatu sebagai akibat dari sikap atau tingkah lakunya sendiri,
serta berusaha memperbaiki sikap atau tingkah lakunya agar mencapai
hasil yang lebih baik lagi.
d. Ekspektansi
Ekspektansi dalam hal ini, artinya individu mempunyai penilaian subyektif
atau keyakinan bahwa konsekuensi positif (reward) akan diperoleh pada
situasi tertentu sebagai imbalan tingkah lakunya. Sehingga individu
memilki keyakinan bahwa apa yang dilakukannya tidak sia-sia.
26
Sedangkan Wood dkk (dalam Meliana, 2018) mengungkapkan ada 6 aspek
dari locus of control internal adalah sebagai berikut:
a. Pemrosesan informasi
Pemrosesan informasi yaitu usaha dalam memperoleh informasi dan
melakukan sesuatu yang lebih baik dalam memanfaatkan informasi tersebut
sehingga diperoleh kepuasan dalam diri seseorang tersebut.
b. Kepuasan dalam bekerja
Kepuasan yang dirasakan dalam melakukan tugas pekerjaannya, tidak
mengasingkan diri dalam lingkungan kerja, memiliki pengalaman yang lebih
menyenangkan dalam bekerja atau berinteraksi dengan orang lain.
c. Prestasi
Prestasi artinya melakukan sesuatu hal yang lebih baik dalam proses belajar
dan menyelesaikan yang diberikan.
d. Kontrol diri
Menunjukkan sifat lebih berhati-hati dalam beraktifitas dan berperilaki,
memiliki resiko lebih kecil dan memiliki kecemasan yang rendah.
e. Motivasi harapan dan hasil
Menunjukan motivasi harapan dan hasil, yaitu menunjukan motivasi yang
baik, keinginan untuk mengembangkan diri, memiliki harapan bahwa dengan
bekerja keras/berusaha semaksimal mungkin dapat meraih hasil yang terbaik,
dan merasa lebih bisa mengontrol waktu.
f. Tanggapan terhadap hal-hal lain yaitu perasaan
27
Tanggapan terhadap hal-hal lain yaitu perasaan artinya, tidak bergantung
pada orang lain, percaya dan konsisten pada pendapat sendiri dan tidak rentan
terhadap pengaruh dari orang lain, lebih menerima informasi sebagai
manfaat.
Berdasarkan teori di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek dari locus of
control internal adalah mampu mengontol dirinya sendiri, mandiri, bertanggung
jawab, ekspentasi, pemrosesan informasi, kepuasan dalam bekerja, prestasi, kontrol
diri, motivasi harapan dan hasil, serta tanggapan terhadap hal-hal lain yaitu
perasaan. Dari teori-teori yang telah dipaparkan sebelumnya, peneliti memilih
aspek locus of Control internal menurut Sarafino & Smith (2011) yaitu : kontrol,
mandiri, tanggung jawab dan ekspektansi.
C. Hubungan antara Locus of Control Internal dengan Resiliensi
Menurut Sarafino & Smith (2011) locus of control internal adalah keyakinan
individu bahwa kesuksesan dan kegagalan yang terjadi pada dirinya bergantung
pada dirinya sendiri. Locus of Control internal terdiri dari 4 aspek yaitu: (1) Kontrol.
(2) Mandiri. (3) Tanggung jawab. dan (4) Ekspektansi (Sarafino & Smith, dalam
Budiwati, & Muslimin, 2016).
Kontrol adalah keyakinan bahwa individu memiliki kemampuan untuk
mengendalikan (mengontrol) peristiwa yang terjadi berkaitan dengan hasil yang
diinginkan dalam kehidupannya, bukan dikontrol oleh nasib atau keberuntungan
(Sarafino & Smith, 2011). Banyak individu yang sering mengalami stres,
kecemasan, depresi, permusuhan, dan pesimisme. Akan tetapi sebagian individu
mampu mengubah dan mengontrol keadaan tersebut menjadi emosi yang relatif
28
positif. Pandangan mereka lebih optimis daripada pesimis, lebih penuh harapan
daripada putus asa. Individu yang melakukan hal ini cenderung lebih cepat pulih
dari kedaan terpuruk (Scheier & Carver; Smith & Gallo, dalam Sarafino & Smith,
2011). Suatu penelitian telah menunjukkan bahwa orang yang pesimis dan putus
asa memiliki sedikit kontrol, memiliki kebiasaan hidup sehat yang buruk, lebih
sering merasa sakit dan cenderung tidak mengambil langkah aktif untuk mengobati
penyakit mereka daripada orang-orang dengan kontrol yang lebih besar. Artinya,
seseorang yang memiliki kontrol yang besar cenderung memiliki tingkat optimis
yang lebih besar pula (Kamen dkk, dalam Sarafino & Smith, 2011). Individu yang
resilien adalah individu yang optimis. Mereka memiliki harapan di masa depan dan
percaya bahwa mereka dapat mengontrol arah hidupnya (Mayasari, 2014). Selain
optimis, individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan sangat mudah dalam
menghadapi tantangan. Individu tidak merasa ragu karena ia memiliki kepercayaan
yang penuh dengan kemampuan dirinya. Individu ini menurut Bandura akan cepat
menghadapi masalah dan mampu bangkit dari kegagalan yang ia alami dan menjadi
individu yang resilien (Bandura dalam Mayasari, 2014). Individu dengan efikasi
diri yang kuat cenderung melakukan usaha yang lebih sedikit karena mereka tahu
mereka bisa mengelola tuntutan situasi dengan lebih mudah. Oleh karena itu,
mereka umumnya menunjukkan lebih sedikit tekanan psikologis dan fisiologis
karena mampu mengontrol tekanan-tekanan tersebut daripada mereka yang
memiliki efikasi diri yang lebih lemah (Bandura dkk, dalam Sarafino & Smith,
2011).
29
Mandiri adalah sikap bagaimana individu dalam usahanya untuk mencapai
suatu tujuan atau hasil, percaya dengan kemampuan dan keterampilannya sendiri.
Sehingga individu memiliki keyakinan bahwa hidup terasa lebih mudah
(memandang kehidupan itu tidak sulit) (Sarafino & Smith, 2011). Menurut Erikson
(dalam Desmita, 2017) kemandirian biasanya ditandai dengan kemampuan
menentukan nasib sendiri, kreatif dan inisiatif, mengatur tingkah laku, bertanggung
jawab, mampu menahan diri, membuat keputusan-keputusan sendiri, serta mampu
menghadapi masalah tanpa ada pengaruh dari orang lain. Witherington (dalam
Sa’diyah, 2017) mengemukakan bahwa perilaku kemandirian ditunjukkan dengan
adanya kemampuan untuk mengambil inisiatif, kemampuan mengatasi masalah
serta keinginan untuk mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orang lain. Hal ini
menunjukkan bahwa individu yang mandiri akan mampu memecahkan masalah
yang mereka hadapi dan memiliki kemampuan untuk mengambil inisiatif. Selain
itu, penelitian Wollin mengatakan bahwa karakteristik individu yang memiliki
resiliensi yaitu individu yang mempunyai kemandirian, yakni kemampuan untuk
mengambil jarak secara emosional maupun dari sumber masalah dalam hidup
seseorang. Kemandirian melibatkan kemampuan untuk menjaga keseimbangan
antara jujur pada diri sendiri dengan peduli pada orang lain. Orang yang mandiri
tidak bersikap ambigu dan memilliki optimistik pada masa depan (Amelia dkk,
2014).
Tanggung jawab artinya individu memiliki kesediaan untuk menerima segala
sesuatu sebagai akibat dari sikap atau tingkah lakunya sendiri, serta berusaha
memperbaiki sikap atau tingkah lakunya agar mencapai hasil yang lebih baik lagi
30
(Sarafino & Smith, 2011). Rotter (dalam Mufidah, 2017) menjelaskan bahwa setiap
individu sangat berbeda dalam meletakkan tanggung jawab atau pengendali atas
apa yang terjadi pada mereka. Menurut Agus (dalam Widyastuti, 2015), orang yang
bertanggung jawab akan melakukan kontrol internal pada dirinya dan memiliki
keyakinan bahwa kesuksesan yang dicapai adalah hasil dari usahanya. Mustari
(2011) ciri-ciri orang yang bertanggung jawab salah satunya adalah selalu
mengembangkan diri, memilih jalan yang lurus, selalu waspada, mengakui semua
perbuatannya, menjalankan tugas dengan baik dan memiliki komitmen. Menurut
Wolin & Wolin (dalam Kartika, 2012) Resiliensi seseorang dipengaruhi oleh
inisiatif yang melibatkan keinginan yang kuat untuk bertanggung jawab atas
kehidupan sendiri atau masalah yang dihadapi. Individu yang resilien bersikap
proaktif bukan reaktif bertanggung jawab dalam pemecahan masalah, selalu
berusaha memparbaiki diri ataupun situasi yang dapat diubah serta meningkatkan
kemampuan untuk menghadapi hal-hal yang tidak dapat diubah. Selain itu, menurut
Desmita (2017) salah satu sumber resiliensi seseorang berkaitan dengan kekuatan
pribadi seperti bertanggung jawab terhadap perilaku sendiri dan menerima
konsekuensinya.
Ekspektansi artinya individu mempunyai penilaian subyektif atau
keyakinan bahwa konsekuensi positif (reward) akan diperoleh pada situasi
tertentu sebagai imbalan tingkah lakunya. Sehingga individu memiliki keyakinan
bahwa apa yang dilakukannya tidak sia-sia (Sarafino & Smith, 2011). Konsep
utama ekspektansi adalah sebuah rasa keyakinan atau keraguan terhadap
pencapaian sebuah tujuan. Hanya dengan kepercayaan diri yang cukup individu
31
akan berusaha mencapai tujuan. Ketika individu yakin akan hasil akhir yang
diharapkan, mereka akan terus berusaha meskipun menghadapi berbagai rintangan
(Susilowati, 2012). Carr (dalam Susilowati, 2012) menyebutkan bahwa optimisme
merupakan sebuah ekspektansi menyeluruh bahwa akan ada lebih banyak hal yang
baik daripada hal yang buruk terjadi pada masa yang akan datang. Hal ini
menunjukkan bagaimana tingkat optimis seseorang dipengaruhi oleh ekspektansi
atau pandangan subyektif. Individu yang pesimis percaya bahwa peristiwa buruk
hasil dari internal, sedangkan peristiwa baik hasil dari faktor eksternal (Kamen &
Seligman, dalam Sarafino & Smith, 2011). Hal ini menunjukkan bahwa orang yang
optimis percaya peristiwa baik berasal dari internal. Individu yang optimis juga
cenderung memiliki kebiasaan kesehatan yang lebih baik, kesehatan mental dan
fisik yang lebih baik, dan pemulihan lebih cepat ketika mereka sakit (Ouellette &
DiPlacido, dalam Sarafino & Smith, 2011). Kemudian menurut Seligman (dalam
Mayasari, 2014), individu yang paling resilien adalah individu yang memiliki
fleksibilitas kognisi dan dapat mengidentifikasi seluruh penyebab yang signifikan
dalam permasalahan yang mereka hadapi tanpa terperangkap dalam explanatory
style (kepercayaan pada seseorang ditentukan pada pengalaman masa lampau)
tertentu. Artinya individu yang resilien akan memahami permasalahan yang
dihadapi dan menganggap bahwa konsekuensi positif (reward) akan diperoleh
pada situasi tertentu sebagai imbalan tingkah lakunya. Sebagaimana teori yang
telah dipaparkan sebelumnya, hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Humaidah (2011) dimana hasil penelitiannya menyebutkan bahwa semakin
32
remaja memiliki kecenderungan pada arah internal locus of control, maka semakin
menunjukkan tingginya resiliensi yang dimiliki.
Berdasarkan pernyataan para ahli dan didukung oleh penelitian tersebut,
dapat disimpulkan bahwa locus of control internal memiliki hubungan dengan
resiliensi. Artinya semakin tinggi locus of control internal maka semakin tinggi pula
resiliensi mahasiswa. Mahasiswa dengan kontrol internal yang baik akan
mempengaruhi bagaimana mereka mengatasi kesulitan-kesulitan selama proses
penyusunan skripsi dan membuat mereka menjadi individu yang resilien.
D. Hipotesis
Pada penelitian ini, peneliti mengajukan sebuah hipotesis yaitu ada hubungan
positif antara locus of control internal dengan resiliensi pada mahasiswa yang
sedang menyusun skripsi. Semakin tinggi locus of control internal yang dimiliki
maka semakin tinggi pula resiliensi pada mahasiswa yang sedang menyusun skripsi.
Sebaliknya, Semakin rendah locus of control internal yang dimiliki maka semakin
rendah pula resiliensi pada mahasiswa yang sedang menyusun skripsi.