P a g e | 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah.
Membicarakan identitas sangatlah kompleks dan dinamis. Orang akan secara
umum berpikir keterhubungannya dengan daerah, suku, adat-istiadat, agama, status
sosial, dan banyak hal, ketika kata identitas itu dipertanyakan. Apalagi di saat kita
mempertanyakan tentang bagaimanakah jika identitas itu berubah? Menjawab
persoalan perubahan identitas ini, secara sederhana dapat dikatakan bahwa seseorang
perlu memiliki keberagaman identitas dan mengalami perubahan makna dalam
kehidupannya. Burke menyebutnya sebagai perubahan standar identitas.1 Untuk
menuju pada perubahan identitas tersebut individu membutuhkan makna yang cukup
kuat untuk mempengaruhi pikirannya, sehingga menghasilkan keberagaman identitas
yang ia temukan dalam interaksinya, dan pada akhirnya terjadilah perubahan identitas.
Proses perubahan identitas itu ada di dalam ritual suku Sangihe yang disebut
ritual Tulude. Beragamnya identitas itu dapat dilihat pertama, dari letak geografisnya
suku Sangihe, di mana suku tersebut adalah orang Sangihe Talaud yang tinggal di
pulau-pulau bagian paling Utara dari Propinsi Sulawesi Utara yang berbatasan dengan
Philipina. Gugusan pulaunya jika dibentangkan dari Selatan ke Utara maka akan
didapatkan empat bagian pulau besar, yaitu gugusan pulau Tagulandang, Siau,
Sangihe, dan Talaud. Berdasarkan pada letak geografis itu, maka terdapat bahasa yang
berbeda, kepercayaan yang berbeda, ritual yang berbeda pula, dimana semua bentuk
adat istiadat itu menciptakan keberagaman identitas, dan makna hidup yang kuat.
Kedua, keberagaman identitas juga dapat dilihat dari cerita rakyat suku Sangihe, di
1 Peter J. Burke, & Jan E. Stets, Identity Theory. New York: Oxford University Press (2009), 175
P a g e | 2
mana mereka dahulunya berasal dari beberapa kelompok suku pendatang. Suku-suku
pendatang tersebut adalah: Apapuhang, Saranggani, Merano, Sulu, dan Molibagu.2
Sistem kehidupan suku Sangihe pada masa itu adalah sistem kerajaan.3 Mereka
tinggal di keempat gugusan pulau besar tersebut. Kebersamaan itu menciptakan
banyak hal seperti; Kepercayaan kepada mana, kepercayaan kepada roh-roh, dewa-
dewa, dan beberapa bentuk penyembahan terhadap Ilahi.4 Dari banyak adat istiadat
itulah beragam identitas tercipta. Ketiga, keberagaman identitas itupun bertambah
ketika agama moderen masuk ke daerah Sangihe Talaud. Pada saat itu tahun 1563,
Sultan Ternate ingin memperluas penyebaran agama Islam sampai ke daerah Sangihe,
kemudian diwaktu yang sama Henrique de Sa penguasa Portugis juga mengirim Peter
Diogo de Magelhaes untuk mendahului gerakan Sultan Ternate itu ke Manado. Maka
penyebaran agama Islam dan Kristenpun terjadi di daerah Sangihe. Secara khusus
penyebaran agama Kristen terjadi pada saat Raja dari pulau Siau sebagai pemegang
kerajaan Sangihe, dibaptis menjadi Kristen Protestan.5 Dengan demikian semua
pengikut rajapun beridentitaskan agama Kristen.
Dengan demikian ktia dapat melihat keberagaman identitas suku Sangihe.
Keberagaman tersebut diantaranya ialah: perbedaan identitas dalam bahasa,
kebiasaan, kepercayaan, ritual-ritual, kemudian identitas dari agama moderen seperti
Kristen dan Islam. Identitas-identitas tersebut menjadi bagian dari interaksi yang
terjadi dalam kehidupan suku Sangihe.
2 Suku Apapuhang menurut informasi selama ini adalah orang yang berasal dari Bangsa Negrito. Suku
Saranggani berasal dari Mindanao Selatan (Philipina). Suku Merano berasal dari Mindanao Tengah (philipina). Suku Sulu adalah para raksasa. Suku Molibagu berasal dari kedatuan Bowontehu dan Manado Tua.
3 D. Brilman, Kabar Baik Di Bibir Pasifik (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan 2000), 29. 4 Brilman, Kabar Baik Di Bibir Pasifik, 75-77. 5 Brilman, Kabar Baik Di Bibir Pasifik, 115.
P a g e | 3
Meskipun terdapat banyak identitas seperti yang sudah digambarkan di atas
yang dimiliki oleh suku Sangihe, terdapat beberapa ritual yang dipraktekkan secara
bersama oleh suku Sangihe, yaitu ritual penyembuhan atau ritual Lahopa, dan ritual
ucapan syukur atau biasa disebut ritual Tulude. Akan tetapi karena dipengaruhi oleh
perkembangan struktur masyarakat dan ditambah lagi dengan pengaruh dogma dari
agama moderen maka terdapatlah perbedaan dalam kedua ritual ini, yang diuraikan
pada bagian berikut.
1.1.1. Ritual Lahopa.
Ritual ini adalah suatu ritual untuk menyembuhkan seseorang yang
menderita sakit penyakit dengan menggunakan media jahe, kunyit, bawang
merah, bawang putih, kemudian didoakan dan disemburkan kepada seseorang
yang menderita sakit. Dalam proses penyembuhan itu doa yang digunakan tidak
lagi dalam bahasa asli suku Sangihe, tetapi telah mengalami pengaruh dari
bahasa agama moderen (secara umum menggunakan bahasa dari agama Islam
dan Kristen).
Identitas suku Sangihe dalam ritual pengobatan ini sudah tidak lagi
secara murni, tetapi sudah terpengaruh dengan dogma dari agama moderen. Jika
dia seorang Kristen maka dia menggunakan dogma Kristen, demikian juga
ketika seseorang itu beragama Islam, maka dia menggunakan dogma Islam.
Misalnya proses ritual penyembuhan ini dilakukan oleh seorang yang beragama
Kristen, maka dia menggunakan kalimat doa yang diawali dan diakhiri dengan
kalimat “Yesus Kristus berkatilah amin”. Begitupun ketika seseorang itu
beragama Islam dia menggunakan kalimat “bismila allah bisa”. Mereka
melihat proses Lahopa ini sebagai pengalaman dalam mewujudnyatakan sumber
P a g e | 4
kekuatan, dimana kekuatan itu diyakini oleh mereka berasal dari “pemilik
kehidupan” atau “yang empunya”, dalam bahasa daerah Tagulandang disebut
Tataghuang, sedangkan untuk suku Sangihe secara umum menyebutnya I
Ghenggona Langi. Hanya saja dalam doa itu mereka tidak lagi menggunakan
penyebutan nama Tuhan dalam bahasa daerah tersebut, karena sudah
dipengaruhi oleh agama moderen. Oleh karena itu seseorang yang
mempraktekkan ritual Lahopa identitasnya lebih dikenal dari segi agama baru
(apakah dia Kristen atau Islam), jika dibandingkan dengan identitasnya sebagai
seorang suku Sangihe.
Melihat kenyataan dalam praktek ritual penyembuhan itu, maka sangat
jelas terdapat cara hidup yang terpisah, dimana model praktek Lahopa
terkelompokkan berdasarkan agama moderen.
1.1.2. Ritual Tulude.
Tulude berasal dari kata ”menuhude” artinya mendorong. Ritual Tulude
pada hakekatnya adalah kegiatan ritual pengucapan syukur kepada I Ghenggona
Langi (Tuhan yang ada di langit) atas berkat-Nya kepada umat manusia selama
setahun yang sudah berlalu dan meminta pertolongan supaya dilindungi, dijaga,
dan dipelihara pada perjalanan tahun berikutnya. Ritual Tulude adalah suatu
proses adat istiadat yang dilaksanakan satu tahun sekali, tepatnya pada bulan
Januari.
Dalam prosesi ritual Tulude ini, pelaksanaannya dipimpin oleh seorang
petua adat dan dihadiri oleh seluruh masyarakat yang merasa diri
beridentitaskan suku Sangihe. Artinya siapapun dia, dari pulau mana, dan
beragama apa, dia bisa hadir pada ritual tersebut. Ritual itu memiliki banyak hal
P a g e | 5
yang membentuk berbagai interaksi, dimana interaksi itu menciptakan situasi
perasaan yang sama antara individu satu dengan individu lainnya. Mereka
merasa diri tidak berbeda satu dengan yang lainnya. Misalnya, dalam prosesi
pengucapan doa yang dipimpin oleh seorang petua adat, meskipun petua adat itu
sudah memeluk agama moderen, akan tetapi tidak menggunakan penyebutan
nama Tuhan menurut agama yang di anut oleh petua adat tersebut. Penyebutan
nama Tuhan itu menggunakan bahasa daerah suku Sangihe, yaitu I Ghenggona
Langi Duata Saruluang. Kemudian, ketika masuk pada proses pengucapan
syukur, mereka makan bersama dan saling berinteraksi tanpa merasa diri
berbeda agama, pulau, dan bahasa. Pada prosesi akhir, ketika mereka semua
akan ditahirkan atau dengan kata lain disucikan, maka penghayatan terhadap
penyucian itu bersumber dari Tuhan yang sama yaitu I Ghenggona Langi,
kemudian mereka berharap bahwa I Ghenggona Langi akan menjaga perjalanan
hidup mereka selama setahun ke depan, supaya diberkati, diberikan hikmat,
kebijaksanaa, hati yang tulus, dll, baik mereka yang beridentitas sebagai
pemerintah, masyarakat, termasuk tua-tua agama, dalam melakukan
tanggungjawabnya masing-masing. Dalam kebersamaan itu, mereka menjadi
setara dan merasa terikat satu dengan lainnya dalam satu identitas bersama.
Sehingga hal ini dapat dilihat sebagai suatu proses perubahan identitas dari yang
beragam identitas menjadi satu identitas.
Dengan demikian kita dapat melihat perbedaan kedua ritual tersebut, dimana
ritual Lahopa dalam prakteknya telah dipengaruhi oleh dogma agama moderen yang
menyebabkan cara praktek ritualnya terpisah sesuai dengan agama yang dianut, akan
tetapi dalam ritual Tulude semua identitas menyatu didalamnya.
P a g e | 6
Cara hidup seperti di atas, yang terdapat dalam proses ritual Tulude menurut
penulis ketika berdiri pada identitas sebagai bangsa Indonesia, maka di dalam
interaksi itu ada nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena perwujudan
kehidupan berbangsa dan bernegara itu sendiri tak lain adalah pengamalan nilai
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yang bermuara pada cara hidup setara di
hadapan Tuhan dan sesama. Pada sisi yang lainnya juga di saat kita berada pada
identitas agama moderen, maka nilai yang setara itu dapat menjadi suatu dasar untuk
beragama di Indonesia. Oleh karena itu yang menarik disini adalah seperti apakah
proses atau darimanakah proses makna kesetaraan itu? Hal inilah yang akan menjadi
salah satu yang akan dibahas nanti pada bab empat tesisi ini.
Berdasarkan hal di atas, maka penulis akan melakukan penelitan terhadap ritual
Tulude ini, dimana hasil penelitian itu akan diuraiakan dalam bab tiga nanti. Dengan
demikian, tulisan karya ilmiah ini diberi judul: “Perubahan Identitas dalam Ritual
Tulude”. Pertanyaan penelitiannya adalah: Bagaimana bentuk perubahan identitas
yang terjadi di dalam proses ritual Tulude yang mempengaruhi sistem kehidupan suku
Sangihe? Sehingga tujuan penelitiannya tidak lain ialah mendeskripsikan dan
menganalisis bentuk perubahan identitas suku Sangihe di dalam ritual Tulude.
1.2. Signifikansi.
Menurut penulis, penelitian terhadap ritual Tulude ini segera dilakukan. Karena
pertama, adanya justifikasi pemerintah baik di Kabupaten Kepulauan Sangihe maupun
di Siau Tagulandang Biaro (KAB.Sitaro) dengan memasukannya dalam Peraturan
Daerah (PERDA). Sehingga ritual ini tidak lagi dilihat sebagai ritual masyarakat,
tetapi sebagai ritual pemerintah, dan dalam situasi itulah terjadi dominasi pemerintah
terhadap masyarakat. Pada akhirnya, mengancam ritual Tulude sendiri sebagai ritual
P a g e | 7
sakral seluruh suku yang ada di Sangihe. Misalnya, ketika ritual Tulude seharusnya
sudah akan dilaksanakan, tetapi karena pemerintah masih belum hadir, maka ritual itu
belum akan dimulai. Fenomena ini menjadikkan ritual Tulude tidak lagi sebagai
identitas masyarakat Sangihe, tetapi menjadi identitas kalangan pemerintah. Hal yang
kedua, datang dari agama baru. Misalnya, salah satu tulisan dari A. Makasar dengan
judul 10 Tema Budaya-Kearifan Lokal Sumber Inspirasi Spiritual Moral Etik
Masyarakat Sangihe. 6 Tulisan itu berbicara tentang legitimasi atas konsep Tamo 7
sebagai simbol Yesus Kristus. Hal ini menyebabkan justifikasi terhadap ritual
Tulude, di sementara ritual Tulude dihadiri oleh semua agama yang ada di suku
Sangihe. Sehingga justifikasi ini mengancam bagi hak dari agama lain untuk terlibat
dalam ritual Tulude sebagai sesama suku Sangihe dan justifikasi itu menjadikan ritual
Tulude sebagai bentuk identitas agama baru itu.
1.3. Urgensi
Menjadi penting untuk diteliti, karena pertama saya melihat bahwa adanya ruang
yang dapat menghasilkan perpecahan bahkan sampai pada saling membunuh dalam
mempertahankan kepemilikan ritual Tulude nantinya. Hal itu mengancam keutuhan
kebersamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia yang pluralis di
suku Sangihe.
Kedua, penulis berasumsi bahwa fenomena penyatuan identitas di dalam ritual
Tulude itu menghancurkan batas perbedaan kehidupan sosial. Sehingga di dalam
bentuk penyatuan identitas itulah terletak makna menjadi manusia Indonesia
6 A. Makasar, 10 Tema Budaya-Kearifan Lokal Sumber Inspirasi Spiritual Moral Etik Masyarakat Sangihe
(Tahuna: Badan Pengurus Sinode GMIST Bidang Marturia 2009), 71 7 Tamo adalah salah satu variabel dalam ritual Tulude. Bentuknya seperti kue tumpeng yang dipakai
sebagai korban dalam ritual Tulude.
P a g e | 8
seutuhnya, dalam mempraktekkan nilai Pancasila sebagai bentuk identitas bangsa
Indonesia yang sakral, dan menyatukan seluruh perbedaan yang ada.
1.4. Metode Penelitian
Kata metode berasal dari bahasa Yunani yaitu (methodeuo) artinya
mengikuti jejak atau mengusut, menyelidiki dan meneliti.8 J. Rapar menyebutkan
metode sebagai cara kerja yang teratur dan sistematis ketika digunakan untuk
memahami suatu objek sebagai masalah dan merupakan sasaran dari ilmu tertentu.9
Secara sederhana, metode dapat dipahami sebagai langkah yang membingkai seluruh
kegiatan dalam meneliti suatu objek masalah.
Penelitian, dipahami sebagai tindakan pencarian dan pengumpulan data yang
kemudian diolah, dianalisis, disajikan dengan sistimatis dan objektif. 10 Mardalis juga
mengartikan penelitian sebagai upaya dalam bidang ilmu pengetahuan yang
dijalankan untuk memperolah fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati
dan sistematis untuk mewujudkan kebenaran.11
Berdasarkan pengertian kata metode dan penelitian di atas, maka metode
penelitian dapat dipahami sebagai penyelidikkan dengan cara sabar, hati-hati, berpikir
sistematis berdasarkan suatu langkah terhadap data atau fenomena, kemudian diolah,
dianalisa seobjektif mungkin untuk mendapatkan kebenaran. Sehubungan dengan itu,
ketika objek yang akan diteliti oleh peneliti adalah suatu data dan fenomena yang
tidak dapat diukur oleh angka-ankga, tetapi pengukurannya melalui deskripsi
pernyataan, maka dalam penelitian ini penulis tidak menggunakan metode kuantitatif
8 https://id.wikipedia.org/wiki/Metode, (accesed Augustus 7, 2017). 9 Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996), 93. 10 Zul Fajri dan Ratu Aprilia Senja, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Aneka Ilmu dan Difa Publisher,
2008), 803. 11 Mardalis, Metode Peneltian, Suatu Pendekatan Proposal (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), 24.
P a g e | 9
tetapi kualitatif. Meskipun demikian dalam proses pengumpulan data, akan ada
beberapa data yang menggunakan model penulisan kuantitatif seperti umur, jumlah
penduduk, dll.
1.4.1. Pengertian Kualitatif
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Metode
ini sangat efektif dalam penelitian ini karena ada beberapa hal yaitu berfokus
pada proses atau peristiwa interaktif,12 kemudian metode ini bertautan dengan
kajian-kajian kultural dan berciri interpretatif,13 dan merupakan cara untuk
menjelaskan data dengan mendeskripsikannya.14
Berdasarkan uraian tentang metode kualitatif di atas, maka metode
Kualitatif ini dapat diartikan sebagai cara untuk meneliti seluruh bentuk
integrasi manusia dengan mendeskripsikan data-datanya, termasuk ritual Tulude
yang menjadi indentitas suku Sangihe. Karena, identitas yang lahir dari ritual
Tulude adalah bentuk integrasi sosial suku Sangihe. Olehnya metode ini tepat
menurut penulis, untuk digunakan dalam penelitian ini.
1.4.2. Teknik Pengumpulan Data
Penulis menggunakan beberapa prosedur dalam mengumpulkan data
seperti yang diuraikan oleh Creswell sebagai berikut:15
12 W. Laurence Neuman, Metode Penelitian Sosial:Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif (Jakarta:
Permata Puri Media, 2016), 19. 13 Norman K. Denzin and Yvonna S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009). 14 John W. Cresswell, Research Design-Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif dan Campuran
(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2016), 4. 15 Cresswell, Research Design-Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif dan Campuran, 254-255.
P a g e | 10
1.4.2.1. Observasi
Prosedur Observasi adalah suatu cara dimana peneliti turun ke
lapangan untuk mencatat, merekam dengan cara terstruktur maupun semi
struktur setiap hasil pengamatan aktifitas dari individu-indivu yang ada
di lokasi penelitian.
1.4.2.2. Wawancara
Prosedur wawancara adalah suatu cara dimana peneliti dapat
menggunakan media komunikasi jarak jauh atau bisa secara langsung
berhadapan maupun terlibat dalam kelompok tertentu untuk
mempertanyakan beberapa hal secara umum yang berhubungan dengan
objek penelitian. Model pertanyaan yang dipakai bersifat terbuka dan
tidak terstruktur yang dirancang untuk dapat menghasilkan pandangan
dan opini dari para partisipan.
1.4.2.3. Dokumentasi
Prosedur dokumentasi adalah proses pengumpulan data yang
bersumber dari dokumen publik atau privat. Untuk dokumen publik bisa
berasal dari koran, makalah, laporan kantor, dll. Sedangkan untuk
dokumen privat bisa berasal dari buku harian, diari, surat, e-mail, dll
1.4.2.4. Materi Audio-Visual.
Model terakhir dalam pengumpulan data dengan menggunakan
metode kualitatif adalah materi audio visual. Dalam hal ini peneliti
P a g e | 11
mengumpulkan data bisa melalui objek seni, videotape, foto, dan segala
jenis suara atau bunyi yang direkam.
1.5. Metode Analisis Data
Analisis data dalam penelitian kualitatif merupakan suatu kegiatan yang
berlangsung secara bersamaan dengan pengumpulan data dan penulisan temuan
dilapangan. Artinya disaat proses pengumpulan data melalui beberapa tahap yang
sudah disebutkan di atas, maka proses analisa data juga sementara berlangsung.
Dalam hal ini penulis menggunakan dua metode dalam menganalisis data yaitu
metode Analisis Naratif dan metode Analisis data Domain.
1.5.1. Analisis Naratif
Dipakai untuk menganalisis pengaruh tradisi lisan terhadap makna ritual
Tulude dalam kehidupan suku Sangihe. Neuman menuliskan bahwa teks naratif
“mengacu pada data dalam format seperti cerita yang diterapkan untuk mengatur
dan mengungkapkan makna dan pemahaman dalam kehidupan sosial.”16
Neuman juga menuliskan bahwa dalam analisis naratif ini digunakan ide
“ketergantungan lintasan” dalam rangka menjelaskan suatu proses atau rantai
peristiwa karena memiliki suatu awal yang memicu urutan terstruktur sehingga
rantai peristiwa tersebut mengikuti lintasan yang dapat diidentifikasikan dari
waktu ke waktu.17
Ada enam ciri naratif yang diuraikan oleh Neuman sebagai berikut:18
16 Neuman, Metode Penelitian Sosial:Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, 579 17 Neuman, Metode Penelitian Sosial:Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, 580 18 Neuman, Metode Penelitian Sosial:Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, 579
P a g e | 12
1. Mengisahkan cerita atau dongeng (yakni, menyajikan peristiwa yang
terungkap dari suatu sudut pandang).
2. Memiliki arti gerakan atau proses (yakni, sebelum dan setelah kondisi)
3. Mengandung keterkaitan atau koneksi dalam konteks yang kompleks dan
terperinci.
4. Melibatkan individu atau kelompok yang terlibat dalam tindakan dan
membuat pilihan.
5. Memiliki koherensi, yakni keseluruhan yang bersatu padu.
6. Memiliki urutan temporal dari suatu rantai peristiwa.
1.5.2. Analisa Domain
Dipakai untuk menganalisis integrasi individu di dalam ritual Tulude
yang memiliki identitas berbeda untuk menemukan hal-hal yang memiliki
keterkaitannya dengan tujuan penelitian ini. Neuman menjelaskan bahwa
“analisis domain akan menggunakan “cultural domain” yaitu latar atau lokasi
budaya tempat manusia secara berkala berinteraksi dan mengembangkan
serangkaian pemahaman bersama atau “miniculture” yang dapat dianalisis.”19
Ada enam tahapan dalam analisis data ini yang diuraikan oleh Neuman yaitu:20
1. Baca dan baca ulang catatan data kualitatif yang penuh dengan berbagai
rincian.
2. Di luar kepala kemas ulang rincian menjadi beberapa lusin ide yang teratur.
3. Kembangkan gagasan baru dari catatan yang bertumpu pada makna subjektif
atau ide yang terorganisir.
19 Neuman, Metode Penelitian Sosial:Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, 574. 20 Neuman, Metode Penelitian Sosial:Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, 577.
P a g e | 13
4. Cari hubungan di antara ide-ide tersebut dan kelompokkan berdasarkan
persamaan yang logis.
5. Atur kelompok yang lebih besar dengan cara membandingkan dan
membedakan serangkaian ide.
6. Atur kembali dan tautkan kelompok tersebut bersama-sama menjadi tema
terpadu yang lebih luas.
Penulis menggunakan dua bentuk analisis data di atas karena di dalam
integrasi yang terjadi pada proses ritual Tulude, individu yang memiliki
identitasnya masing-masing dipengaruhi oleh narasi lokal tentang ritual Tulude
dan pengaruh makna yang terbentuk dalam setiap interaksi suku Sangihe.
Teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah “identity change” dari Petter J.
Burke dan Jan E. State. Seperti yang sudah diuraikan sedikit dalam bagian awal bab
ini, bahwa Burke mengatakan perubahan identitas itu adalah perubahan standar
identitas yang memerlukan beragam identitas, dan makna yang kuat. Dalam hal ini
Burke pada bab sembilan dari buku Identity Theory menguraikan empat hal yang
menyebabkan terjadinya perubahan identitas, yaitu: pertama, adanya perubahan dalam
situasi. Kedua, konflik identitas. Ketiga, konflik antara makna perilaku dan standar
identitas, dan yang terakhir adalah negosiasi dan kehadiran orang lain.21 Keempat hal
ini akan dibahas secara mendalam pada kerangkan teori yang akan diuraikan di bab
dua dari tulisan ini. Demikianlah gambaran teori yang akan dipakai sebagai pisau
bedah dalam penelitian ini.
21 Burke and Stet, Identity Theori, 175-197.
P a g e | 14
1.6. Lokasi Penelitian dan Informan Kunci
Menetapkan lokasi penelitian, penulis memilih di Kabupaten Kepulauan
Sangihe dan di Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro (SITARO).
Maka, penulis memilih ketua adat yang ada di dua kabupaten tersebut sebagai
informan kunci dalam penelitian yang akan dilaksanakan. Untuk memaksimalkan
proses penelitiannya maka, fokus penelitiannya di Kabupaten Kepulauan Siau,
Tagulandang, dan Biaro (SITARO). Kabupaten Kepulauan Sangihe akan dijadikan
sumber data pembanding saja. Mengapa lokasi penelitiannya terdapat di dua
kabupaten? Karena ritual Tulude ini dipraktekan oleh orang-orang yang ada di dua
kabupatesn tersebut, seperti yang sudah digambarkan pada bagian Pendahuluan
tulisan ini.
1.7. Rencana Penulisan
Rencana penulisan adalah: Bab I tentang latar belakang masalah, tujuan
penelitian, dan metode penelitian, bab II adalah kerangka teori tentang ritual, identitas
dan perubahan identitas yang akan dipakai sebagai pisau bedah, bab III tentang
temuan lapangan, bab IV tentang analisis dari hasil temuan lapangan dengan
menggunakan teori sebagai pisau bedah, dan bab V sebagai kesimpulan dan
rekomendasi.
Top Related