ANALISIS KETERKAITAN PERTUMBUHAN, PENGANGGURAN DAN KETIMPANGAN TERHADAP KEMISKINAN
PROVINSI JAWA TENGAH 2004-2010
W A L U Y O
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Keterkaitan Pertumbuhan, Pengangguran dan Ketimpangan terhadap Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah 2004-2010 adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2012
W a l u y o NRP. H151104484
ABSTRACT
WALUYO. The Linkage Between Growth, Unemployment and Income Inequality on Poverty in Central of Java Province, 2004-2010. Under direction of SRI HARTOYO and LUKYTAWATI ANGGRAENI.
The issues about the benefit of growth for the poor have been a priority in development policy. Poverty reduction can be achieved by income growth and distribution. The objectives of this study are to analize the relation between income percapita growth, unemployment and inequality on poverty reduction in Central of Java Province and to identify the determinant of those factors. Using Panel Two-Stage Least Square (2SLS), the results show that the income percapita growth is significantly influenced by the the rate of skilled labor growth, mean years schoolling of labor, the invesment, the quality of transportation and electrical infrastructure, and government spending on investment. The unemployment growth is positively influenced by the growth in skilled and unskilled labor supply and negatively by income percapita growth. The change in income inequality is positively influenced by income percapita growth, education inequality, price index and negatively affected by government spending on investment. The income percapita growth has the largest impact on poverty reduction, but its effectiveness reduced by the growth in unemployment and price index. In the period of 2004-2010, economic growth in Central of Java Province was not pro poor.
Keywords: growth, inequality, unemployment, poverty reduction, panel 2SLS
RINGKASAN
WALUYO. Analisis Keterkaitan Pertumbuhan, Pengangguran dan Ketimpangan terhadap Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah 2004-2010. Dibimbing oleh SRI HARTOYO dan LUKYTAWATI ANGGRAENI.
Pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan tingkat kemiskinan. Setinggi apapun pendapatan nasional perkapita dan pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh suatu negara selama distribusi pendapatan berjalan tidak merata maka tingkat kemiskinan akan tetap tinggi. Sebaliknya, meskipun distribusi pendapatan telah berjalan merata jika tidak didukung oleh pendapatan nasional perkapita dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi maka kemiskinan juga akan semakin meluas (Todaro dan Smith, 2006). Sudah menjadi konsensus bahwa pertumbuhan menjadi syarat yang diperlukan untuk menurunkan kemiskinan, namun belum menjadi syarat kecukupan. Pengentasan kemiskinan akan berjalan lebih efektif jika pertumbuhan yang dihasilkan mampu mendorong perluasan kesempatan kerja dan diimbangi dengan kebijakan redistribusi yang akan membawa pada distribusi yang lebih merata (Bourguignon, 2004). Jawa Tengah menjadi salah satu provinsi yang memiliki permasalahan kemiskinan cukup kompleks. Berdasarkan data BPS, Jawa Tengah selalu memiliki tingkat kemiskinan (HCI) di atas level nasional dan memiliki populasi penduduk miskin (HC) terbanyak kedua setelah Jawa Timur. Hal ini menjadi sangat ironis karena secara administratif Jawa Tengah memiliki lokasi yang strategis, yakni berada di sentral Pulau Jawa yang dekat dengan pusat perekonomian dan kekuasaan sehingga menjadi modal yang baik bagi perkembangan perekonomian. Pencapaian target MDG’s dan RPJM sampai tahun 2011 masih jauh di atas sasaran. Kemiskinan menunjukkan tren menurun, namun penurunannya lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan yang dicapai. Permasalahan kemiskinan menjadi semakin kompleks karena alokasi sumber daya ekonomi, sumber daya manusia dan infrastruktur yang tidak tersebar secara merata antar kabupaten/kota, sehingga kinerja perekonomian dan pola kemiskinan antar wilayah menjadi sangat beragam. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini memiliki beberapa tujuan. Pertama, menganalisis dinamika pertumbuhan pendapatan perkapita, pengangguran, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan antar waktu dan antar wilayah di Jawa Tengah. Kedua, menganalisis keterkaitan antara pertumbuhan, distribusi pendapatan dan kemiskinan. Ketiga, menganalisis determinan dari pertumbuhan, pengangguran, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang bersumber dari BPS RI, BPS Provinsi Jawa Tengah, dan Kementrian Keuangan RI. Data pokok mencakup pendapatan perkapita yang diproksi dengan PDRB perkapita, ketenagakerjaan, kemiskinan, indeks ketimpangan, stok kapita/investasi, infrastruktur, indeks harga dan belanja pembangunan. Penelitian mencakup semua kabupaten/kota di Jawa Tengah selama 2004-2010. Metode analisis untuk menjawab tujuan terdiri dari analisis deskriptif menggunakan tren, kuadran, peta tematik dan Poverty Growth Curve (PGC) serta analisis ekonometrika menggunakan regresi penel simultan.
Hasil penelitian menunjukkan selama periode 2004-2010, pendapatan perkapita di level provinsi dan semua kabupaten/kota memiliki tren meningkat dan tidak terdapat korelasi yang signifikan antara level pendapatan perkapita kondisi awal dengan tren perubahannya. Ketimpangan pendapatan pada level provinsi dan mayoritas kabupaten/kota memiliki tren yang meningkat sehingga distribusi pendapatan semakin tidak merata. Kemiskinan pada level provinsi dan mayoritas kabupaten/kota memiliki tren yang menurun, meskipun terdapat beberapa daerah kota yang memiliki tren kemiskinan meningkat. Terdapat hubungan positif antara level pendapatan perkapita dan kemiskinan antar kabupaten/kota. Secara umum, manfaat hasil pertumbuhan selama periode 2004-2010 secara dominan dinikmati oleh 10% penduduk berpendapatan tertinggi, sehingga pertumbuhan selama periode tersebut belum bersifat pro poor.
Penelitian juga menghasilkan temuan determinan yang menjadi sumber pertumbuhan pendapatan perkapita terdiri dari pertumbuhan jumlah pekerja terampil, rata-rata usia lama sekolah, kualitas infrastruktur listrik dan jalan raya, perubahan stok kapita/investasi dan belanja pembangunan. Pertumbuhan jumlah penganggur dipengaruhi oleh pertumbuhan jumlah angkatan kerja menurut pendidikan (SLTA ke atas dan SLTP ke bawah), sementara pertumbuhan pendapatan perkapita memiliki pengaruh positif dalam menurunkan jumlah penganggur. Ketimpangan pendapatan antar penduduk memiliki hubungan yang searah dengan pertumbuhan pendapatan perkapita, ketimpangan pendidikan dan indeks harga, tetapi tidak berhubungan searah dengan belanja pembangunan. Selama periode 2004-2010, pertumbuhan pendapatan perkapita menjadi determinan terpenting bagi penurunan jumlah penduduk miskin, namun efektivitasnya menjadi berkurang karena pertumbuhan juga membawa pada distribusi pendapatan yang semakin tidak merata. Kenaikan indeks harga dan jumlah penganggur juga turut mengurangi efektivitas pengentasan kemiskinan.
Saran yang dapat diberikan diantaranya adalah: 1). mempertajam kualitas pertumbuhan melalui perbaikan infrastruktur, kualitas modal manusia, kegiatan investasi dan meningkatkan porsi belanja pembangunan, terutama di kabupaten yang perekonomiannya masih tertinggal dan belum berkembang; 2). Pertumbuhan yang tinggi juga membawa pada distribusi pendapatan yang semakin timpang, sehingga pemerintah seharusnya tidak hanya fokus dalam mengejar akselerasi pertumbuhan, tetapi juga fokus dalam memperbaiki distribusi pendapatan melalui kebijakan redistribusi yang lebih progresif serta mempertajam efektivitas kebijakan transfer subsidi yang sedang/akan dilakukan; 3). Pendidikan menjadi sumber pertumbuhan terpenting dan menjadi variabel antara bagi pengentasan kemiskinan, sehingga diperlukan kebijakan untuk memperluas kesempatan dan menjamin pemerataan bersekolah bagi penduduk miskin dengan cara memberi kuota tempat sampai tingkatan pendidikan menengah dan memberi beasiswa bagi yang berprestasi sampai level pendidikan tinggi; 4). Distribusi pendapatan dan kemiskinan sangat sensitif terhadap perubahan indeks harga, sehingga diperlukan kebijakan untuk menjamin stabilitas harga terutama harga kebutuhan dasar.
Kata kunci: pertumbuhan, pengangguran, ketimpangan, kemiskinan, panel 2SLS
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya
ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ANALISIS KETERKAITAN PERTUMBUHAN, PENGANGGURAN DAN KETIMPANGAN TERHADAP KEMISKINAN
PROVINSI JAWA TENGAH 2004-2010
W A L U Y O
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Yeti Lies Purnamadewi, M.Sc.Agr
Judul Penelitian : Analisis Keterkaitan Pertumbuhan, Pengangguran dan Ketimpangan terhadap Kemiskinan
Provinsi Jawa Tengah 2004-2010 Nama : Waluyo NRP : H151104484
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Dr. Sri Hartoyo, M.S Dr. Lukytawati Anggraeni, S.P.,M.Si Ketua Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr. Tanggal Ujian : 13 Agustus 2012 Tanggal Lulus :
PRAKATA
Ungkapan puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas
petunjuk, rahmat dan kekuatanNya penulis mampu menyelesaikan tesis dengan judul “Analisis Keterkaitan Pertumbuhan, Pengangguran dan Ketimpangan terhadap Kemiskinan Jawa Tengah 2004-2010”. Tesis ini menjadi salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian Bogor.
Untaian terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan kepada Dr. Sri Hartoyo, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Lukytawati Anggraeni, S.P., M.Si selaku anggota komisi pembimbing atas waktu, bimbingan dan arahan selama masa penyusunan tesis serta Dr. Ir. Yeti Lies Purnamadewi, M.Sc.Agr selaku penguji luar komisi dan Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr selaku penguji wakil program studi atas kesediaannya menjadi penguji dan atas semua koreksi serta masukannya. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua dosen pengajar dan segenap pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Kepala Badan Pusat Statistik Republik Indonesia dan Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah istimewa Yogyakarta yang telah memberi kesempatan dan dukungan untuk melanjutkan kuliah di Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh rekan-rekan batch 3 Program Studi IE atas semua diskusinya serta rekan-rekan di BPS Provinsi D.I. Yogyakarta atas semua bantuannya.
Secara khusus, penulis menyampaikan terima kasih kepada Hj. Suminah (ibu), Tri Handayani (istri), Muhammad Shofwan Hanif (anak pertama), Syahran Zakiya Absyar (anak kedua) dan Rizal Aulia Hikmaturrahim (anak ketiga) beserta seluruh keluarga besar di Yogyakarta dan Temanggung atas doa, pengorbanan, dukungan dan kesabarannya.
Akhirnya, penulis berharap agar tesis ini menjadi bermanfaat dan mampu memberi kontribusi serta solusi terkait dengan persoalan kemiskinan di level regional Jawa Tengah maupun daerah lainnya.
Bogor, Agustus 2012 Penulis,
Waluyo
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Temanggung (Jawa Tengah) pada tanggal 4 Oktober 1977. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan H. Nur Sarno (Alm) dan Hj. Suminah. Penulis menikah dengan Tri Handayani dan dikaruniai tiga orang putra, yakni Muhammad Shofwan Hanif, Syahran Zakiya Absyar dan Rizal Aulia Hikmaturrahim.
Penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Negeri Mondoretno, Temanggung pada tahun 1990 dan selanjutnya menamatkan jenjang SLTP pada SMP Negeri 2 Temanggung pada tahun 1993. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMA Negeri 2 Temanggung dan lulus pada tahun 1996, kemudian melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta Program Diploma III dan tamat pada tahun 1999. Sejak tahun 1999 penulis bekerja di Badan Pusat Statistik Provinsi D.I. Yogyakarta dan pada tahun 2002 penulis kembali melanjutkan pendidikan Program Diploma IV STIS, tamat pada tahun 2003 dengan gelar Sarjana Sains Terapan (S.ST).
Pada tahun 2010, penulis mengikuti program alih jenis S1 di Departemen Ilmu Ekonomi FEM Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 2010. Setelah itu, penulis melanjutkan kuliah pada Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor melalui program beawiswa Badan Pusat Statistik.
xiii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .................................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xvii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xix
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xxi
I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah .............................................................................. 6
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................. 8
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................ 8
1.5 Ruang Lingkup Penelitian .................................................................... 9
II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 11
2.1 Pertumbuhan Ekonomi ......................................................................... 11
2.1.1 Definisi Pertumbuhan Ekonomi dan Pengukurannya ............... 11
2.1.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi .................................................... 12
2.1.2.1 Teori Pertumbuhan Harold Domar ................................ 12
2.1.2.2 Teori Pertumbuhan Solow ............................................. 13
2.1.2.3 Teori Pertumbuhan Endogen ........................................ 16
2.2 Konsep dan teori Pengangguran .......................................................... 18
2.3 Teori Ketimpangan Pendapatan ........................................................... 21
2.3.1 Konsep Distribusi Pendapatan ................................................... 21
2.3.2 Pengukuran Ketimpangan Pendapatan ...................................... 22
2.4 Teori Kemiskinan .................................................................................. 25
2.4.1 Definisi Kemiskinan .................................................................. 25
2.4.2 Pengukuran Kemiskinan di Indonesia ....................................... 26
2.4.3 Indikator Kemiskinan ................................................................ 27
2.5 Kerangka Analitis Hubungan antara Pertumbuhan, Pengangguran, Ketimpangan dan Kemiskinan ............................................................. 29
2.5.1 Model Pembangunan Dua Sektor Lewis ................................... 29
2.5.2 Keterkaitan Pertumbuhan Dengan Ketimpangan ...................... 31
2.5.3 Keterkaitan Pertumbuhan, Ketimpangan dan Kemiskinan ....... 32
2.5.4 Analisis Poverty Growth Curve (PGC) ..................................... 36
xiv
2.6 Determinan Pertumbuhan, Pengangguran, Ketimpangan Pendapatan dan Kemiskinan ................................................................................... 37
2.7 Tinjauan Empiris Penelitian Terdahulu ................................................ 39
2.8 Kerangka Pemikiran ............................................................................ 43
2.9 Hipotesis Penelitian ............................................................................. 44
III METODE PENELITIAN ............................................................................. 45
3.1 Jenis dan Sumber Data ........................................................................ 45
3.2 Metode Analisis ................................................................................... 46
3.2.1. Analisis Deskriptif .................................................................... 47
3.2.2 Analisis Regresi Data Panel .......................................................... 48
3.2.3 Regresi Data Panel Statis .......................................................... 51
3.2.4 Pemilihan Model (Hausman Test) ............................................. 58 3.2.5 Persamaan Simultan dengan Error Component ........................ 59 3.2.6 Pengujian Parameter Model ...................................................... 60
3.2.7 Pengujian Asumsi ....................................................................... 62
3.3 Spesifikasi Model .................................................................................. 63
3.4 Definisi Operasional .................................................................................. 65
IV DINAMIKA PERTUMBUHAN, PENGANGGURAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN ....................................................... 69
4.1 Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah .............................................. 69
4.1.1 Karakteristik Wilayah Administrasi............................................ 69
4.1.2 Infrastruktur Wilayah ................................................................. 70
4.1.3 Karakteristik Perekonomian ........................................................ 73
4.1.4 Karakteristik Sumber Daya Manusia .......................................... 76
4.2 Dinamika Pertumbuhan, Pengangguran, Ketimpangan Pendapatan dan Kemiskinan .................................................................................... 79
4.2.1 Dinamika Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan Perkapita .. 79
4.2.2 Dinamika Angkatan Kerja dan Pengangguran .......................... 85
4.2.3 Dinamika Ketimpangan Pendapatan ........................................ 88
4.2.4 Dinamika Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah .......................... 93
4.3 Kuadran Pertumbuhan, Ketimpangan dan Kemiskinan ...................... 96
4.3.1 Kuadran Pertumbuhan dengan Ketimpangan ........................... 97
4.3.2 Kuadran Ketimpangan dengan Kemiskinan ............................. 98
4.3.3 Kuadran Pertumbuhan dengan Kemiskinan .............................. 99
4.4 Analisis Poverty Growth Curve (PGC) ............................................... 101
xv
V HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 105
5.1 Model Pertumbuhan Pendapatan Perkapita ......................................... 105
5.2 Model Pencari Kerja/Pengangguran ................................................... 109
5.3 Model Ketimpangan ............................................................................. 113
5.4 Model Kemiskinan ............................................................................... 116
5.5 Simulasi Kebijakan ............................................................................. 120
5.5.1 Validasi Model ........................................................................... 121
5.5.2 Dampak Kenaikan Belanja Pembangunan ................................. 121
5.5.3 Dampak Kenaikan Stok Kapita dan Indeks Harga .................... 124
VI KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 127
` 6.1 Kesimpulan ......................................................................................... 127
6.2 Saran dan Implikasi Kebijakan ............................................................ 128
6.2 Saran Lebih Lanjut ................................................................................ 129
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 130
xvi
Halaman ini sengaja dikosongkan
xvii
DAFTAR TABEL
1. Tingkat Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah dan Nasional (Persen) ......... 5
2. Jenis dan Sumber Data dalam Penelitian ................................................... 46
3. Kriteria Identifikasi Autokorelasi .............................................................. 63
4. IPM Jawa Tengah Beserta Komponennya, 2004-2010 .............................. 76
5. Penduduk Usia Kerja Provinsi Jawa Tengah menurut Status Ketenagakerjaan, 2004-2010 .................................................................... 86
6. Indeks Ketimpangan Pendapatan (Gini Rasio) Provinsi Jawa Tengah menurut Wilayah, 2004-2010 .................................................................... 89
7. Pengeluaran Perkapita Riil per Bulan dan Pertumbuhannya Menurut Persentil dan Wilayah di Jawa Tengah Tahun 2004 dan 2010 ................. 101
8. Hasil Estimasi Model Pertumbuhan .......................................................... 105
9. Hasil Estimasi Model Pengangguran ........................................................ 110
10. Hasil Estimasi Model Ketimpangan ......................................................... 113
11. Hasil Estimasi Model Kemiskinan ............................................................. 117
12. Hasil Validasi Variabel Endogen Pada Model Estimasi ........................... 121
13. Hasil Simulasi Peningkatan Belanja Pembangunan Sebesar 22 Persen ... 122
14. Hasil Simulasi Peningkatan Rasio Belanja Pembangunan Terhadap APDB
Kabupaten/Kota Sebesar 18 Persen, 20 Persen dan 23 Persen ................. 123
15. Hasil Simulasi Peningkatan Investasi Sebesar 8 Persen (Sim-c) dan Indeks Harga sebesar 2,68 Persen (Sim-d) ............................................... 125
xviii
Halaman ini sengaja dikosongkan
xix
DAFTAR GAMBAR
1. Tingkat Kemiskinan (Head Count Index) dan Persebaran Penduduk Miskin Menurut Provinsi Tahun 2009 (Persen) ....................................... 4
2. Tingkat Kemiskinan Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2010 ........................................................................................................... 6
3. Kondisi Steady State dan Dampak Kenaikan Tabungan Terhadap Kondisi Steady State ................................................................................. 16
4. Bagan Pembagian Penduduk Menurut Status Ketenagakerjaan ............... 19 5. Kekakuan Upah Riil dalam Memengaruhi Pengangguran ......................... 20 6. Kurva Lorenz ............................................................................................ 23 7. Model Pembangunan Dua Sektor Lewis ................................................... 30 8. Kurva U-Terbalik Hipotesis Kuznets ........................................................ 31 9. Keterkaitan Pertumbuhan dengan Kemiskinan ......................................... 33 10. Segitiga Pertumbuhan, Ketimpangan dan Kemiskinan ............................. 34 11. Perubahan Kemiskinan Akibat Efek Pertumbuhan dan Efek Distribusi ... 35 12. Kerangka Pemikiran .................................................................................. 43 13. Ringkasan Prosedur Analisis ..................................................................... 46 14. Estimasi Dengan Pendekatan Pooled Least Square (PLS) ....................... 53 15. Estimasi Dengan Pendekatan Within Group (WG) ................................... 54 16. Kepadatan Penduduk Provinsi Jawa Tengah Menurut Kabupaten/ Kota
Tahun 2010 (Jiwa/Km2) ............................................................................ 69 17. Infrastruktur Jalan Raya dan Listrik menurut Kabupaten/Kota Jawa
Tengah Tahun 2010 .................................................................................. 71 18. Boxplot Perkembangan Infrastruktur Jalan Raya dan Listrik menurut
Kabupaten/Kota Jawa Tengah Tahun 2004-2010 ..................................... 72 19. Komposisi PDRB dan Penduduk Bekerja menurut Lapangan Usaha
Tahun 2010 (Persen) .................................................................................. 74 20. Sektor Dominan dan Pangsa Penduduk Bekerja (Persen) menurut
Lapangan Usaha dan Kabupaten/Kota Tahun 2010 .................................. 75 21. IPM Jawa Tengah menurut Kabupaten/Kota Tahun 2010 ......................... 77 22. Komponen IPM menurut Kabupaten/Kota Tahun 2010 ............................ 78 23. Level PDRB Perkapita Penduduk Jawa Tengah Atas Dasar Harga
Berlaku dan Konstan serta Pertumbuhannya Tahun 2000-2010 ............... 80 24. Pola Perkembangan PDRB Perkapita Jawa Tengah menurut
Kabupaten/Kota Tahun 2004-2010 (Rp Juta) ............................................ 81
xx
25. Tren Pertumbuhan PDRB Perkapita 2004-2010 (Persen) dan Level PDRB Perkapita 2004 (Rp Juta) menurut Kabupaten/Kota ...................... 82
26. Pengelompokan Kabupaten/Kota Jawa Tengah Berdasarkan Tipologi Klassen Tahun 2004 dan 2010 .................................................................. 83
27. Perubahan Posisi Kuadran Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Berdasarkan Tipologi Klassen, 2004-2010 .................................................................... 85
28. Tren TPT 2004-2010 dan Level TPT 2010 menurut Kabupaten/ Kota di Jawa Tengah .............................................................................................. 87
29. Indeks Ketimpangan (Gini Rasio) menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2004-2010 ......................................................................... 91
30. Tren Ketimpangan Distribusi Pendapatan menurut Kabupaten/Kota, 2004-2010 .................................................................................................. 92
31. Jumlah Penduduk Miskin Jawa Tengah (000 Jiwa) dan Persentase Kemiskinan menurut Wilayah, 1999-2010 ............................................... 93
32. Level Kemiskinan (P0) menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2004-2010 (Persen) .................................................................................. 94
33. Tren Perubahan Kemiskinan menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2004-2010 ......................................................................... 96
34. Scatterplot Pertumbuhan Pendapatan Perkapita (Persen) dangan Indeks Ketimpangan Tahun 2004 dan 2010 ........................................................ 97
35. Scatterplot Ketimpangan dangan Kemiskinan Tahun 2004 dan 2010 ..... 99 36. Scatterplot Pertumbuhan dan Kemiskinan Tahun 2004 dan 2010 ........... 100 37. Poverty Growth Curve Jawa Tengah Periode 2004-2010 ......................... 102 38. Proporsi Jumlah Penganggur di Jawa Tengah menurut Pendidikan ......... 112 39. Pangsa Konsumsi menurut Kelompok Pengeluaran (Kuintil) di Jawa
Tengah Tahun 2004 dan 2010 ................................................................... 114 40. Usia Rata-rata Lama Sekolah Penduduk menurut Kelompok Pengeluaran
(Kuintil) di Jawa Tengah Tahun 2010 ....................................................... 115 41. Kurva Distribusi Penduduk menurut Pengeluaran Perkapita di Jawa
Tengah Tahun 2004 dan 2010 ................................................................... 120
xxi
DAFTAR LAMPIRAN
1. PDRB Perkapita Jawa Tengah menurut Kabupaten/Kota, 2004-2010 ..... 135 2. Tingkat Kesempatan Kerja (TKK) dan Tingkat Pengangguran Terbuka
(TPT) Jawa Tengah menurut Kabupaten/Kota, 2004-2010 (Persen) ........ 136 3. Indeks Ketimpangan Pendapatan Penduduk Jawa Tengah menurut
Kabupaten/Kota, 2004-2010 ...................................................................... 137 4. Indeks Ketimpangan Pendidikan di Jawa Tengah menurut Kabupaten/
Kota, 2004-2010 ........................................................................................ 138 5. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Jawa Tengah menurut
Kabupaten/Kota, 2004-2010 ...................................................................... 139 6. Rata-rata Usia Lama Sekolah Penduduk Berusia Produktif di Jawa
Tengah menurut Kabupaten/ Kota, 2004-2010 .......................................... 140 7. Posisi Kuadran Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Berdasarkan Tipologi
Klassen, 2004-2010 ................................................................................... 141 8. Identifikasi Persamaan Struktural dengan Order Condition ...................... 142 9. Hasil Estimasi Model Pertumbuhan .......................................................... 142 10. Hasil Estimasi Model Pengangguran ........................................................ 143 11. Hasil Estimasi Model Ketimpangan ......................................................... 144 12. Hasil Estimasi Model Kemiskinan ............................................................. 145 13. Hasil Validasi Model Menggunakan Koefisien Determinasi (R2) ............. 146 14. Hasil Simulasi Peningkatan Belanja Pembangunan Sebesar 22 Persen di
Semua Kabupaten/Kota ............................................................................. 148 15. Hasil Simulasi Peningkatan Rasio Belanja Pembangunan Terhadap
APBD Kabupaten/Kota Menjadi 18 Persen ............................................... 149 16. Hasil Simulasi Peningkatan Rasio Belanja Pembangunan Terhadap
APBD Kabupaten/Kota Menjadi 20 Persen Menurut Tipologi Klassen ... 150 17. Hasil Simulasi Peningkatan Rasio Belanja Pembangunan Terhadap
APBD Kabupaten/Kota Menjadi 23 Persen Menurut Tipologi Klassen ... 151 18. Hasil Simulasi Peningkatan Investasi Sebesar 8 Persen di Kabupaten/
Kota Menurut Tipologi Klassen ................................................................. 152 19. Hasil Simulasi Peningkatan Indeks Harga Sebesar 2,68 Persen di
Kabupaten/Kota Menurut Tipologi Klassen .............................................. 153
xxii
Halaman ini sengaja dikosongkan
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan merupakan suatu proses perbaikan secara multidimensional
dan berkesinambungan dari suatu masyarakat atau sistem sosial menuju tatanan
kehidupan yang lebih baik. Proses pembangunan tidak sekedar merepresentasikan
aspek ekonomi dalam mengejar akselerasi pertumbuhan, namun memiliki aspek
yang lebih luas yakni menyangkut transformasi struktur perekonomian, sosial dan
kultural, kelembagaan, serta sikap dan mental berfikir masyarakat. Tujuan
terpenting dari proses pembangunan adalah meningkatkan standar kehidupan dan
kesejahteraan masyarakat, mengurangi kemiskinan serta memperluas pilihan
ekonomi dan sosial yang membebaskan masyarakat dari sifat ketergantungan
(Todaro dan Smith, 2006).
Aspek pertumbuhan ekonomi, ketimpangan distribusi pendapatan dan
kemiskinan memiliki hubungan yang sangat kompleks dan saling memiliki
ketergantungan antara yang satu dengan yang lain. Setinggi apapun pendapatan
nasional perkapita dan pertumbuhan yang dicapai oleh suatu negara selama
distribusi pendapatan berjalan tidak merata maka tingkat kemiskinan akan tetap
tinggi. Sebaliknya, meskipun distribusi pendapatan telah berjalan merata jika
pendapatan nasional perkapita dan pertumbuhan rendah maka kemiskinan juga
akan semakin meluas (Todaro dan Smith, 2006). Permasalahan yang terpenting
bukan bagaimana cara menumbuhkan perekonomian, namun bagaimana kualitas
dari pertumbuhan yang dihasilkan. Dalam perspektif yang lebih luas adalah siapa
dan seberapa besar bagian dari penduduk yang terlibat dalam aktivitas
perekonomian serta siapa yang memperoleh manfaat dari hasil pertumbuhan.
Sudah menjadi konsensus bersama bahwa pertumbuhan menjadi syarat
yang diperlukan (necesarry condition) untuk menurunkan kemiskinan, namun
belum menjadi syarat kecukupan (sufficient condition). Pertumbuhan ekonomi
yang berdiri sendiri ibarat pisau yang akan berkurang ketajaman atau manfaatnya
bagi pengentasan kemiskinan (Kakwani et al, 2004). Pengentasan kemiskinan
akan mampu berjalan lebih efektif jika pertumbuhan yang dihasilkan diimbangi
2
dengan kebijakan redistribusi pendapatan, aset, kekayaan serta ketrampilan yang
akan membawa pada kondisi distribusi yang lebih merata (Bourguignon, 2004).
Fenomena umum yang terjadi di negara-negara yang sedang berkembang
(NSB) termasuk Indonesia menunjukkan bahwa aktivitas perekonomian hanya
digerakkan dan dikuasai oleh sebagian kecil dari penduduk, yakni para pemilik
modal. Distribusi kepemilikan aset dan sumber daya yang tidak merata
menyebabkan mayoritas penduduk hanya memiliki peran yang sangat kecil,
bahkan tak jarang keberadaan mereka hanya berfungsi sebagai penonton. Hal ini
sangat berpengaruh terhadap distribusi manfaat yang dihasilkan oleh proses
pembangunan yang belum dapat dinikmati secara merata oleh semua golongan
penduduk. Penduduk golongan atas masih lebih dominan dalam menerima
manfaat hasil pertumbuhan, sementara mayoritas penduduk golongan bawah
masih belum menerima manfaat secara luas. Akibatnya permasalahan
kemiskinan, pengangguran, ketimpangan distribusi pendapatan serta diskriminasi
masih terus terjadi dan belum menunjukkan penurunan secara signifikan.
Sejarah mencatat, strategi industrialisasi yang diterapkan pemerintahan
Orde Baru melalui mobilisasi modal asing dan modal penduduk Indonesia yang
berada di luar negeri pada tahap awal menunjukkan hasil yang sangat
mengesankan. Hingga pertengahan dekade 1990-an, Indonesia mampu mencapai
laju pertumbuhan ekonomi per tahun di atas 7 persen. Dalam kurun waktu yang
bersamaan, pertumbuhan mampu mendorong penurunan tingkat kemiskinan dari
33,3 persen di akhir tahun 1978 menjadi 17,47 persen di tahun 1996.
Kebijakan pembangunan yang bersifat sentralistik dan lebih berpihak pada
usaha ekonomi berskala besar menyebabkan pondasi perekonomian menjadi
rapuh. Mekanisme trickle down effect melalui akselerasi pertumbuhan tinggi
yang diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan ketimpangan distribusi
pendapatan kurang menunjukkan hasil yang menggembirakan. Distribusi
pendapatan justru bergerak ke arah yang semakin tidak merata. Puncaknya,
goncangan krisis ekonomi 1997/1998 yang bermula dari krisis nilai tukar mata
uang berdampak luas pada penurunan kinerja perekonomian hingga mengalami
kontraksi atau pertumbuhan negatif sebesar 13 persen. Selama masa krisis, harga
barang dan jasa mengalami kenaikan yang sangat tajam sehingga inflasi pada
3
masa tersebut tercatat sebesar 77,63 persen dan mendorong peningkatan
kemiskinan menjadi 24,23 persen pada tahun 1998.
Permasalahan kemiskinan dan ketimpangan dalam distribusi pendapatan
telah menjadi fokus perhatian masyarakat baik di level nasional maupun
internasional. Deklarasi Millenium Development Goals (MDGs) pada bulan
September 2000 menempatkan pengentasan kemiskinan dan kelaparan sebagai
tujuan pertama dari delapan butir kesepakatan dalam deklarasi (UNDP, 2003).
Target yang ingin dicapai adalah mengurangi hingga setengah dari jumlah orang
yang berpenghasilan di bawah US $1 sampai US $2 per hari dan mereka yang
menderita kelaparan di akhir tahun 2015. Guna mendukung tujuan tersebut,
Pemerintah Republik Indonesia menuangkan penanggulangan kemiskinan sebagai
salah satu visi dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025
dan dipertajam dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2009-
2014 dengan sasaran utama mempercepat penurunan tingkat kemiskinan di level
nasional secara bertahap hingga mencapai 7-10 persen di akhir tahun 2014.
Dalam jangka pendek, strategi pembangunan dituangkan dalam konsep triple track
strategy yakni pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan (pro growth),
penciptaan kesempatan kerja (pro job) dan memberikan manfaat pada kaum miskin
(pro poor).
Pencapaian target MDG’s dan RPJP di level nasional sampai tahun 2011
berada di level 12,36 persen, artinya masih jauh di atas sasaran yang ditetapkan.
Secara bertahap tingkat kemiskinan selama periode 1998-2011 menunjukkan tren
yang semakin menurun dengan dengan rata-rata penurunan 0,394 persen per
tahun. Namun, jika dibandingkan dengan kinerja perekonomian nasional yang
mampu tumbuh di atas 5 persen per tahun maka penurunan kemiskinan terkesan
berjalan lambat. Salah satu penyebabnya adalah kompleksitas permasalahan
kemiskinan di level regional yang sangat beragam, tetapi strategi pengentasasan
kemiskinan yang dijalankan masih bersifat sentralistik, serba seragam serta
kurang memperhatikan aspek nilai lokal, budaya dan partisipasi masyarakat.
Gambar 1 mengilustrasikan tingkat kemiskinan dan persebaran populasi
penduduk miskin menurut provinsi di Indonesia pada tahun 2009. Keragaman
permasalahan kemiskinan di level regional ditandai oleh persentase penduduk
4
miskin yang sangat bervariasi antar provinsi. Terdapat beberapa provinsi yang
sudah memiliki level kemiskinan rendah di bawah 10 persen, namun masih
banyak provinsi yang level kemiskinannya di atas 15 persen.
Sumber : BPS, 2009 Gambar 1 Tingkat Kemiskinan (Head Count Index) dan Persebaran Penduduk
Miskin Menurut Provinsi, 2009 (Persen)
Salah satu provinsi yang memiliki permasalahan kemiskinan yang cukup
kompleks adalah Jawa Tengah. Berdasarkan data BPS, Jawa Tengah menjadi
salah satu provinsi yang selalu memiliki tingkat kemiskinan (Head Count
Index/HCI) di atas level nasional dan memiliki populasi penduduk miskin (Head
Count/HC) terbanyak kedua setelah Jawa Timur. Hal ini menjadi sangat ironis,
karena secara administratif Jawa Tengah tepat berada di sentral Pulau Jawa yang
dekat dengan pusat perekonomian maupun pusat kekuasaan sehingga menjadi
strategis bagi perkembangan perekonomian. Dengan lokasi geografis yang
strategis karena menjadi penghubung perdagangan dari Bagian Timur dan Barat
Pulau Jawa dan dukungan infrastruktur fisik yang relatif lebih baik dibandingkan
dengan provinsi lainnya di luar Pulau Jawa, Jawa Tengah justru menjadi wilayah
yang memiliki populasi penduduk miskin sangat besar.
Jumlah penduduk miskin Jawa Tengah pada tahun 2011 tercatat sebanyak
5,26 juta jiwa atau 16,21 persen dari populasi penduduk (Tabel 1). Dengan
jumlah penduduk miskin secara nasional sebanyak 29,89 juta jiwa (12,36 persen),
maka sebanyak 17,58 persen dari populasi penduduk miskin terdapat di Jawa
Tengah. Pencapaian target MDGs dan RPJP di level Provinsi Jawa Tengah
0
5
10
15
20
25
30
35
40
Babe
l
Mal
uku
Uta
ra
Kepr
i
Sulb
ar
Kalt
eng
Kals
el
Bali
Sulu
t
Gor
onta
lo
Kalt
im
Jam
bi
Papu
a Ba
rat
DKI
Jaka
rta
Beng
kulu
Mal
uku
Sum
bar
Sult
ra
Kalb
ar
Sult
eng
Riau DIY
Papu
a
Bant
en
NA
D
Suls
el
NTT
NTB
Sum
sel
Sum
ut
Lam
pung
Jaw
a Ba
rat
Jaw
a Te
ngah
Jaw
a Ti
mur
Pers
enta
se
Provinsi
HCISebaran PopulasiHCI Nasional
5
sampai tahun 2011 juga masih jauh di atas sasaran secara nasional. Tingkat
kemiskinan selama periode 1999-2011 menunjukkan tren yang menurun dengan
rata-rata penurunan sebesar 0,359 persen per tahun. Dibandingkan dengan tren
penurunan kemiskinan di level nasional yang mencapai 0,394 persen maupun
kinerja perekonomian Jawa Tengah yang mampu tumbuh di atas 5 persen per
tahun, maka penurunan kemiskinan berjalan jauh lebih lambat. Lambatnya
pengentasan kemiskinan disebabkan oleh pencapaian pertumbuhan yang tinggi
belum dikompensasi oleh perbaikan dalam distribusi pendapatan. Selama periode
tersebut, ketidakmerataan pendapatan yang diukur dengan Gini rasio nilainya
berfluktuasi dan semakin meningkat dari 0,2524 di tahun 2001 menjadi 0,3087 di
tahun 2010.
Tabel 1 Tingkat Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah dan Nasional (Persen)
Tahun Jawa Tengah
Nasional Tahun Jawa Tengah
Nasional K D K+D K D K+D
1996 20,67 22,05 21,61 17,47 2006 18,90 25,28 22,19 17,75
1999 27,80 29,05 28,46 23,43 2007 17,23 23,45 20,43 16,58
2002 20,50 24,96 23,06 18,20 2008 16,34 21,96 19,23 15,42
2003 19,66 23,19 21,78 17,42 2009 15,41 19,89 17,72 14,15
2004 17,52 23,64 21,11 16,66 2010 14,33 18,66 16,56 13,33
2005 17,24 23,57 20,49 15,97 2011 14,67 17,50 16,21 12,36
Rata-rata Penurunan per Tahun (Persen) -0,394 -0,331 -0,359 -0,394
Keterangan : K = Dearah Perkotaan; D = Daerah Perdesaan Sumber : Data dan Informasi Kemiskinan 2002-2010, BPS
Permasalahan kemiskinan di Jawa Tengah menjadi semakin kompleks,
karena alokasi sumber daya ekonomi, kualitas infrastruktur perekonomian dan
sumber daya manusia tidak tersebar secara merata di level kabupaten/kota
maupun antar daerah perkotaan dan perdesaan. Di satu sisi, terdapat beberápa
daerah yang menjadi pusat konsentrasi perekonomian sehingga mampu tumbuh
dan berkembang lebih maju. Di sisi lain, masih terdapat beberapa daerah yang
perekonomiannya belum berkembang dan masih terbelakang. Ketidakmerataan
tersebut juga berpengaruh terhadap keragaman dalam kinerja perekonomian
maupun kesejahteraan penduduk antar wilayah. Pola dan karakteristik
6
kemiskinan antar wilayah menjadi sangat beragam, meskipun keragaman dalam
pola kemiskinan juga dipengaruhi oleh faktor yang lain seperti kondisi sosial
budaya, politik, tata kelola pemerintahan maupun kondisi geografis.
Gambar 2 mengilustrasikan keragaman pola kemiskinan antar kabupaten/
kota di Jawa Tengah pada tahun 2010. Berdasarkan Gambar 2, terdapat tujuh
kabupaten/kota yang memiliki tingkat kemiskinan sekitar 10 persen, artinya sudah
mendekati sasaran MDGs dan RPJP. Ketujuh daerah tersebut adalah Kota
Semarang, Kota Salatiga, Kota Pekalongan, Kota Tegal, Kabupaten Semarang,
Kudus dan Jepara. Sebaliknya, masih terdapat delapan kabupaten yakni
Banyumas, Purbalingga, Kebumen, Wonosobo, Rembang, Pemalang, Brebes dan
Banjarnegara yang memiliki tingkat kemiskinan yang di atas 20 persen dan masih
jauh di atas sasaran MDGs maupun RPJP.
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, 2010
Gambar 2 Tingkat Kemiskinan Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah, 2010
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, terdapat beberapa permasalahan yang
diidentifikasi terkait dengan fenomena kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah.
Pertama, tingkat kemiskinan di level provinsi dan beberapa kabupaten masih
sangat tinggi dan penurunannya berjalan lambat meskipun pertumbuhan ekonomi
yang dicapai sudah cukup tinggi (di atas 5 persen per tahun). Kedua, distribusi
pendapatan pada level provinsi bergerak semakin timpang/tidak merata, artinya
pertumbuhan yang dihasilkan semakin tidak berpihak pada golongan penduduk
0
5
10
15
20
25
30
Cila
cap
Bany
umas
Purb
alin
gga
Banj
arne
gara
Kebu
men
Purw
orej
oW
onos
obo
Mag
elan
gBo
yola
likl
aten
Suko
harj
oW
onog
iri
Kara
ngan
yar
Srag
enG
robo
gan
Blor
aRe
mba
ngPa
tiKu
dus
Jepa
raBe
mak
Sem
aran
gTe
man
ggun
gKe
ndal
Bata
ngPe
kalo
ngan
Pem
alan
gTe
gal
Breb
esKo
ta M
agel
ang
Kota
Sur
akar
taKo
ta S
alat
iga
Kota
Sem
aran
gKo
ta P
ekal
onga
nKo
ta T
egal
Ting
kat K
emis
kina
n (P
erse
n)
Kabupaten/Kota
Tingkat Kemiskinan Jawa Tengah
7
berpendapatan rendah. Ketiga, terdapat keragaman yang cukup mencolok dalam
potensi ekonomi, infrastruktur dan sumber daya manusia antar kabupaten/kota
yang menyebabkan pola dan karakteristik kemiskinan antar wilayah menjadi
sangat beragam. Kemiskinan di kawasan perdesaan cenderung lebih tinggi
dibandingkan dengan kawasan perkotaan dan penurunannya juga berjalan lebih
lambat. Kemiskinan di daerah yang berstatus kabupaten juga cenderung lebih
tinggi dari daerah yang berstatus kota.
Keterkaitan antara pertumbuhan, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan
menjadi topik penelitian yang banyak dikaji secara lintas negara maupun lintas
regional dalam suatu negara. Beberapa penelitian sebelumnya (Wodon, 1999;
Ravallion, 2001; Dollar dan Kraay, 2002; Hajiji, 2010) menyimpulkan tidak ada
trade-off atau hubungan yang sistematis antara pertumbuhan pendapatan perkapita
dengan ketimpangan distribusi pendapatan. Meskipun pendapatan perkapita
secara-rata-rata meningkat, distribusi tidak mengalami perubahan secara
signifikan. Artinya pertumbuhan lebih bersifat netral atau secara proporsional
sama untuk semua golongan penduduk. Distribusi pendapatan yang tidak berubah
tidak identik dengan tidak ada penurunan dalam kemiskinan. Tingkat kemiskinan
tetap mengalami penurunan, namun tingkat kecepatan dalam penurunannya
menjadi berkurang.
Beberapa penelitian sebelumnya mengkaji keterkaitan antara
pertumbuhan, ketimpangan dan kemiskinan dengan membandingkan nilai
elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan, elastisitas ketimpangan terhadap
pertumbuhan dan elastisitas kemiskinan terhadap ketimpangan. Secara eksplisit,
penelitian tersebut belum mengkaji determinan apa yang mendorong pertumbuhan
pendapatan perkapita, perluasan kesempatan kerja maupun determinan yang
menyebabkan perubahan dalam distribusi pendapatan dengan tujuan akhir
pengentasan kemiskinan. Bertolak dari hal tersebut, maka penelitian mengenai
keterkaitan antara pertumbuhan, pengangguran, ketimpangan dan kemiskinan
disertai dengan identifikasi determinan dari masing-masing variabel menjadi
menarik untuk dilakukan pada level regional Jawa Tengah.
Beberapa permasalahan yang dianalisis dalam penelitian dirumuskan
sebagai berikut:
8
1. Bagaimana dinamika pertumbuhan, pengangguran, ketimpangan pendapatan
dan kemiskinan antar waktu dan antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa
Tengah?
2. Mengapa penurunan kemiskinan berjalan lambat dan bagaimana keterkaitan
antara pertumbuhan, distribusi pendapatan dengan penurunan kemiskinan di
Provinsi Jawa Tengah?
3. Determinan apa saja yang memengaruhi pertumbuhan pendapatan perkapita,
kesempatan kerja/pengangguran, ketimpangan pendapatan dan bagaimana
pengaruhnya bagi pengentasan kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah maka beberapa tujuan
yang ingin dicapai melalui penelitian tesis dirumuskan sebagai berikut:
1. Menganalisis dinamika pertumbuhan ekonomi, pengangguran, ketimpangan
pendapatan dan kemiskinan antar waktu dan antar wilayah di Jawa Tengah
menggunakan análisis tren dan análisis kuadran.
2. Menganalisis keterkaitan antara pertumbuhan, distribusi pendapatan dan
kemiskinan di Jawa Tengah dengan análisis Poverty Growth Curve (PGC).
3. Menganalisis determinan yang memengaruhi pertumbuhan, pengangguran,
ketimpangan pendapatan dan besarnya pengaruh bagi pengentasan
kemiskinan di Jawa Tengah menggunakan model ekonometrika serta
menganalisis dampak penerapan beberapa skenario kebijakan melalui
peningkatan belanja pembangunan, investasi dan perubahan indeks harga.
1.4 Manfaat Penelitian
Beberapa manfaat yang diharapkan dapat diperoleh melalui penelitian
adalah sebagai berikut:
1. Informasi mengenai dinamika pertumbuhan, pengangguran, ketimpangan
pendapatan dan kemiskinan menggunakan analisis tren dan kuadran berguna
untuk membandingkan tingkat kemajuan dalam pencapaian penanggulangan
kemiskinan antar waktu dan antar wilayah sebagai bahan perencanaan dan
evaluasi kebijakan penanggulangan kemiskinan.
9
2. Informasi mengenai PGC berguna untuk mengetahui distribusi manfaat hasil
pertumbuhan bagi semua golongan penduduk, sehingga berguna sebagai
bahan evaluasi dalam menentukan arah dan orientasi pembangunan agar lebih
berpihak kepada golongan penduduk miskin.
3. Informasi mengenai determinan yang menjadi sumber pertumbuhan,
pengangguran, ketimpangan dan pengaruhnya bagi pengentasan kemiskinan
sangat berguna sebagai bahan evaluasi kebijakan dan penentuan sasaran/
fokus kebijakan selanjutnya.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup análisis hanya mencakup tiga hal. Pertama, mengkaji
dinamika pertumbuhan pendapatan perkapita, pengangguran, ketimpangan
pendapatan dan kemiskinan antar waktu dan antar wilayah. Kedua, mengkaji
keterkaitan antara pertumbuhan dan distribusi pendapatan dengan pengentasan
kemiskinan. Ketiga, menggali informasi mengenai determinan pertumbuhan,
ketimpangan, pengangguran dan pengaruhnya bagi pengentasan kemiskinan
melalui model ekonometrika serta melakukan simulasi menggunakan beberapa
skenario kebijakan.
Lingkup wilayah mencakup semua kabupaten/kota di Jawa Tengah yang
terdiri dari 28 kabupaten dan 5 kota. Lingkup waktu análisis selama periode
2004-2010, disesuaikan dengan ketersediaan data pokok mengenai kemiskinan
sampai level kabupaten/kota. Keterbatasan dari penelitian hanya mengkaji
permasalahan dari aspek ekonomi dan belum memasukkan aspek non-ekonomi.
Keterbatasan yang lainnya menyangkut aspek tidak tersedianya data dari beberapa
variabel, sehingga digunakan data yang lain proksi atau pendekatan.
10
Halaman ini sengaja dikosongkan
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pertumbuhan Ekonomi
2.1.1 Definisi Pertumbuhan Ekonomi dan Pengukurannya
Pertumbuhan ekonomi dalam perspektif ekonomi makro didefinisikan
sebagai penambahan nilai PDB riil dari waktu ke waktu, atau dapat juga diartikan
sebagai meningkatnya kapasitas perekonomian suatu wilayah (Dornbusch et al,
2008). Dalam kerangka regional, konsep PDB identik dengan Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB). Nilai PDB atau PDRB dapat dihitung melalui tiga
pendekatan, yakni pendekatan produksi, pendapatan dan pengeluaran (Dornbusch
et al, 2008). Pendekatan produksi dan pendapatan merupakan pendekatan dari sisi
penawaran agregat (Aggregate Supply), sedangkan pendekatan pengeluaran
merupakan pendekatan dari sisi permintaan agregat (Aggregate Demand).
Produk Domestik Regional Bruto dari sisi produksi disebut PDRB sektoral
didefinisikan sebagai penjumlahan Nilai Tambah Bruto (NTB) yang dihasilkan
oleh seluruh aktivitas ekonomi di suatu wilayah tertentu selama periode tertentu
(biasanya satu tahun). PDRB dengan pendekatan produksi disajikan dalam
sembilan sektor lapangan usaha, yakni: pertanian; pertambangan dan penggalian;
industri pengolahan; listik, gas dan air bersih; konstruksi; perdagangan, hotel dan
restoran; transportasi dan komunikasi; keuangan, persewaan dan jasa perusahaan;
dan jasa-jasa. PDRB dengan pendekatan pendapatan dihitung berdasarkan jumlah
pendapatan atau balas jasa yang diterima oleh semua faktor produksi yang
digunakan dalam proses produksi di semua sektor. Balas jasa atau pendapatan
berupa upah/gaji untuk pemilik tenaga kerja, bunga atau hasil investasi bagi pemilik
modal, sewa tanah bagi pemilik lahan serta keuntungan bagi pengusaha.
Dari sisi pengeluaran, PDRB dihitung sebagai penjumlahan semua
komponen permintaan akhir, yakni konsumsi rumah tangga (C), investasi (I),
pengeluaran pemerintah (G), serta ekspor bersih (X-M) dan dirumuskan sebagai:
𝑌 = 𝐶 + 𝐼 + 𝐺 + 𝑋 −𝑀 (2.1)
Konsep ekspor dan impor dalam kerangka regional mencakup semua nilai transaksi
ekspor impor yang dilakukan oleh wilayah regional yang bersangkutan dengan
12
negara lain maupun dengan wilayah (region) lain dalam satu negara.
Nilai PDRB dengan semua pendekatan biasa dihitung dan disajikan dalam
dua bentuk yakni atas dasar harga berlaku dan atas dasar harga konstan pada tahun
dasar tertentu. Nilai PDRB atas dasar harga konstan sering disebut sebagai PDRB
riil dan mencerminkan nilai output yang dihitung dengan harga pada tahun dasar
tertentu. Perubahan PDRB riil dari waktu ke waktu mencerminkan perubahan
kuantitas dan sudah tidak mengandung unsur perubahan harga baik inflasi
maupun deflasi. Nilai pertumbuhan ekonomi dihitung sebagai perubahan nilai
output (PDRB riil) dari waktu ke waktu dan diformulasikan sebagai berikut :
𝑔 =𝑃𝐷𝑅𝐵𝑡 − 𝑃𝐷𝑅𝐵𝑡−1
𝑃𝐷𝑅𝐵𝑡−1 (2.2)
dimana : g merupakan pertumbuhan ekonomi atau persentase perubahan PDRB
dari periode t-1 sampai periode ke-t.
Salah satu indikator yang merepresentasikan tingkat kesejahteraan
penduduk suatu negara/wilayah secara kasar adalah pendapatan nasional/regional
perkapita. Nilai pendapatan nasional/regional perkapita dihitung dari jumlah
pendapatan nasional/regional suatu wilayah dibagi dengan jumlah penduduk pada
waktu yang sama. Penghitungan pendapatan regional perkapita sangat rumit
karena harus memperhatikan aspek pembayaran/penerimaan faktor produksi
menurut daerah asalnya, depresiasi modal serta pajak tidak langsung. Karena itu,
nilai pendapatan regional perkapita sering diproksi dengan pendekatan nilai
PDRB perkapita yang dihitung dengan formula:
𝑃𝐷𝑅𝐵𝑝𝑒𝑟𝑘𝑎𝑝𝑖𝑡𝑎 =𝑃𝐷𝑅𝐵
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 (2.3)
2.1.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi
2.1.2.1 Teori Pertumbuhan Harrod-Domar
Teori pertumbuhan Harrod-Domar diperkenalkan pertama kali oleh Harrod
dan Domar menggunakan pendekatan model pertumbuhan Keynesian dalam
kerangka perekonomian tertutup. Model ini dikenal dengan model AK dan telah
diaplikasikan secara luas di banyak negara yang sedang berkembang dengan
tujuan untuk mengejar akselerasi pertumbuhan nasional serta memecahkan
13
persoalan lingkaran kemiskinan (Todaro dan Smith, 2006). Strategi yang
digunakan adalah meningkatkan akumulasi modal dengan memacu tingkat
tabungan dan investasi baik yang berasal dari domestik maupun asing untuk
keperluan industrialisasi di banyak bidang.
Model pertumbuhan Harrod-Domar dibangun menggunakan tiga asumsi
dasar. Pertama, setiap perekonomian harus mencadangkan atau menabung (S)
sebagian tertentu (s) dari pendapatan nasional (Y) untuk menambah atau
menggantikan barang modal yang telah rusak:
𝑆 = 𝑠𝑌 (2.4)
Kedua, perekonomian berada dalam kondisi keseimbangan sehingga investasi
yang direncanakan sama dengan tabungan yang direncanakan. Investasi
didefinisikan sebagai perubahan kapital K atau 𝐼 = ∆𝐾, sehingga:
𝐼 = 𝑆 = ∆𝐾 (2.5)
Ketiga, investasi dipengaruhi oleh ekspektasi kenaikan pendapatan nasional (∆𝑌)
dan rasio modal output k yang dikenal dengan Incremental Capital Output Rasio
(ICOR) atau (𝑘 = 𝐾 𝑌⁄ 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑘 = ∆𝐾 ∆𝑌⁄ ), sehingga 𝑆 = 𝐼 = 𝑠𝑌 = ∆𝐾 = 𝑘∆𝑌
dan dapat diringkas menjadi:
𝑠𝑌 = 𝑘∆𝑌 𝑎𝑡𝑎𝑢 ∆𝑌𝑌
= 𝑠𝑘
(2.6)
Persamaan (2.6) mengilustrasikan bahwa pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh
tingkat tabungan s dan rasio kapital output k. Agar perekonomian dapat tumbuh
pesat maka setiap perekonomian harus menabung dan menginvestasikan sebanyak
mungkin dari pendapatan nasional yang diperolehnya.
2.1.2.2 Teori Pertumbuhan Solow
Sampai era 1980-an, perkembangan teori pertumbuhan lebih didominasi
oleh teori pertumbuhan neo-klasik. Hal ini terjadi karena teori pertumbuhan neo-
klasik mampu menjelaskan sebagian besar fenomena yang terjadi di dunia pada
saat itu dan lebih elegan karena dapat dilakukan dengan pendekatan matematis.
Teori pertumbuhan yang paling populer adalah model pertumbuhan Solow.
Model ini dirancang untuk menunjukkan bagaimana pertumbuhan persediaan
modal, angkatan kerja dan kemajuan teknologi berinteraksi dalam perekonomian
14
dan bagaimana pengaruhnya terhadap output agregat yang dihasilkan suatu negara
(Mankiw, 2007).
Model Solow merupakan pengembangan teori klasik yang menekankan
proses pertumbuhan ekonomi dari sisi penawaran. Peningkatan output perkapita
terjadi sebagai hasil dari interaksi faktor-faktor produksi yang digunakan dalam
proses produksi. Faktor produksi terdiri dari tanah dan sumber daya alam, tenaga
kerja, modal dan kemajuan teknologi, namun fokus utama dari model hanya pada
peran kapital, tenaga kerja dan kemajuan teknologi. Asumsi yang mendasari
model Solow adalah perkembangan teknologi dianggap konstan atau tidak ada
perkembangan teknologi. Hal tersebut berimplikasi, perekonomian akan
mencapai tingkat output dan modal jangka panjang dalam kondisi mapan (steady
state). Kondisi steady state terjadi pada saat output dan modal perkapita bersifat
konstan atau tidak ada lagi perubahan dalam ouput dan modal per pekerja.
Bentuk umum model Solow adalah 𝑌 = 𝐹(𝐾,𝑁) atau output merupakan
fungsi dari kapital (K) dan tenaga kerja (N). Dengan asumsi fungsi produksi
bersifat Constant Return to Scale (CRS) maka dapat ditulis menjadi 𝑧𝑌 =
𝐹(𝑧𝐾, 𝑧𝑁). Jika nilai z=1/N maka persamaan dapat diekspresikan sebagai: 𝑌𝑁
= 𝑓 𝐾𝑁 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑦 = 𝑓(𝑘) (2.7)
Y/N merepresentasikan output per tenaga kerja sebagai fungsi dari kapital per
tenaga kerja (K/N). Jika kemajuan teknologi dianggap sebagai variabel eksogen
yang mampu meningkatkan kemampuan masyarakat dalam berproduksi sepanjang
waktu maka bentuk umum model dapat dituliskan menjadi 𝑌 = 𝐹(𝐴,𝐾,𝑁) dan
dapat diilustrasikan dengan persamaan: 𝑌𝐴𝑁
= 𝑓 𝐾𝐴𝑁
𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑦 = 𝑓(𝑘) (2.8)
dimana: Y = Output; K = Kapital; N = Tenaga Kerja; A = Efektifitas Pekerja
y = 𝑌𝐴𝑁
= output per pekerja efektif; k = 𝐾𝐴𝑁
= kapital per pekerja efektif.
Permintaan terhadap barang dalam model Solow berasal dari konsumsi
dan investasi. Jika output per pekerja efektif y merupakan penjumlahan dari
konsumsi per pekerja efektif c dan investasi per pekerja efektif i, dan s
merepresentasikan tingkat tabungan, maka persamaan dapat dituliskan menjadi:
15
𝑦 = 𝑓(𝑘) = 𝑐 + 𝑖 (2.9)
jika 𝑐 = (1 − 𝑠)𝑦 maka :
𝑦 = (1 − 𝑠)𝑦 + 𝑖 (2.10)
𝑖 = 𝑠𝑦 = 𝑠𝑓(𝑘) = 𝑠𝑓 𝐾𝐴𝑁
(2.11)
Persamaan (2.11) merepresentasikan investasi sebagai fungsi dari tingkat
tabungan dan kapital per pekerja efektif. Perubahan kapital antar waktu
merupakan selisih antara investasi dan break event investment (investasi yang
diperlukan untuk mengimbangi pertumbuhan tenaga kerja dan ilmu pengetahuan
serta menggantikan penyusutan kapital yang lama sehingga jumlah stok kapital
per tenaga kerja efektif yang ada tetap terpelihara) dapat dinyatakan sebagai:
∆𝑘 = 𝑠𝑓(𝑘) − (𝛿 + 𝑔𝐴 + 𝑔𝑁)𝑘 (2.12)
∆𝑘 menyatakan perubahan kapita; 𝑠𝑓(𝑘) menyatakan tingkat investasi; 𝛿
menyatakan depresiasi kapital; 𝑔𝐴 menyatakan kemajuan teknologi dan 𝑔𝑁
menyatakan pertumbuhan tenaga kerja.
Fungsi produksi 𝑦 = 𝑓(𝑘) merupakan fungsi yang bersifat diminishing
marginal product of capital, artinya semakin besar penambahan input kapital akan
menghasilkan tambahan output yang semakin menurun. Diminishing marginal
product merupakan penjelas mengapa perekonomian akan mencapai kondisi
mapan (steady state) dan tidak tumbuh terus menerus. Jika tingkat tabungan lebih
besar dari investasi yang dibutuhkan maka modal per pekerja dan output per
pekerja akan meningkat, sebaliknya jika tingkat tabungan kurang dari investasi
yang dibutuhkan maka output per pekerja dan modal per pekerja akan menurun.
Tingkat pertumbuhan pada kondisi steady state tidak dipengaruhi oleh tingkat
tabungan (Gambar 3).
Gambar 3 bagian (a) mengilustrasikan kondisi steady state dan Gambar
bagian (b) menjelaskan proses pertumbuhan melalui mekanisme kenaikan dalam
tingkat tabungan. Dalam jangka pendek, kenaikan tingkat tabungan akan
menyebabkan peningkatan level serta pertumbuhan kapital per pekerja efektif dan
output per pekerja efektif. Dalam jangka panjang kenaikan tingkat tabungan
hanya akan menyebabkan kenaikan pada levelnya saja, sementara pertumbuhan
16
(growth) akan semakin mendekati nol atau semakin konvergen. Kenaikan tingkat
tabungan hanya akan menggeser konsisi steady state dari C menuju kondisi steady
state yang baru di titik C’.
Sumber : Blanchard, 2009
Gambar 3 Kondisi Steady State dan Dampak Kenaikan Tabungan terhadap Kondisi Steady State
2.1.2.3 Teori Pertumbuhan Endogen
Ketidakpuasan terhadap teori pertumbuhan neo-klasik mulai muncul di
akhir dekade 80-an sebagai akibat ketidakmampuannya dalam menjelaskan
sumber-sumber pertumbuhan ekonomi jangka panjang dan hanya menekankan
pada pada faktor eksogen yang independen dengan kemajuan teknologi. Dalam
pandangan neo-klasik, peningkatan pendapatan perkapita hanya dianggap sebagai
fenomena sementara yang bersumber dari perubahan teknologi atau proses
penyeimbangan jangka pendek dalam cadangan modal atau tenaga kerja selama
perekonomian mendekati keseimbangan jangka panjang. Teori ini juga gagal
menjelaskan bagaimana kemajuan teknologi dapat terjadi serta besarnya
perbedaan residual Solow pada negara yang memiliki teknologi yang serupa
(Todaro dan Smith, 1996).
` Ketidakpuasan tersebut melahirkan sebuah teori pertumbuhan baru yang
lebih menekankan pada aspek endogen, yakni sistem yang mengatur proses
produksi bukan kekuatan di luar sistem. Motivasi teori pertumbuhan endogen
adalah untuk menjelaskan tingkat pertumbuhan antar negara maupun faktor-faktor
yang memiliki kontribusi besar dalam menghasilkan pertumbuhan. Teori
pertumbuhan endogen menganggap perubahan teknologi sebagai sebuah hasil
17
endogen dari investasi publik dan swasta dalam kualitas sumber daya manusia
sehingga mendorong peran aktif kebijakan publik dalam merangsang
pembangunan ekonomi melalui investasi langsung maupun tidak langsung.
Teori ini juga menekankan bahwa modal fisik bersifat diminishing
marginal return, tetapi modal pengetahuan (knowledge capital) justru memiliki
marginal pengembalian yang semakin meningkat. Teori ini juga mampu
menjelaskan aliran modal internasional yang turut memperparah ketimpangan
antara negara maju dan negara yang sedang berkembang. Tingkat pengembalian
investasi yang tinggi yang ditawarkan kepada negara yang sedang berkembang
dengan rasio modal per tenaga kerja akan berkurang dengan cepat karena tidak
didukung dengan investasi sumber daya manusia (pendidikan), infrastruktur serta
riset dan pengembangan (R&D) yang memadai (Todaro dan Smith, 1996).
Teori pertumbuhan endogen pada awalnya berkembang dalam dua cabang
pemikiran yang bertumpu pada pentingnya sumber daya manusia sebagai kunci
utama dalam perekonomian. Pemikiran yang pertama dikembangkan oleh Romer
(1986) yang menempatkan stok ilmu pengetahuan menjadi sumber utama bagi
peningkatan produktivitas ekonomi karena stok ilmu pengetahuan menjadi faktor
produksi yang memiliki skala pengembalian semakin meningkat. Pemikiran yang
kedua dikemukakan oleh Lucas (1988) yang menekankan pada pentingnya
learning by doing dan human capital melalui model akumulasi human capital.
Dalam pandangan Romer, pertumbuhan jangka panjang sangat ditentukan
oleh akumulasi pengetahuan para pelaku ekonomi, sehingga variabel modal dalam
model pertumbuhan agregat neo-klasik sekarang sudah memperhitungkan unsur
akumulasi pengetahuan. Tiga unsur utama dalam model Romer adalah adanya
unsur eksternalitas, sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan; adanya
peningkatan skala hasil yang semakin meningkat, yang menyebabkan peningkatan
spesialisasi dan pembagian kerja; dan semakin pendeknya waktu pemanfaatan
ilmu pengetahuan, karena pesatnya perkembangan di sektor riset. Secara umum
model Romer dirumuskan sebagai berikut:
𝑌𝑖𝑡 = 𝐾𝑖𝑡𝛼𝐿𝑖𝑡1−𝛼𝐾𝑡𝛽 dengan 0 < 𝛼 < 1; 0 < 𝛽 < 1 (2.13)
18
dimana: 𝑌𝑖 adalah output produksi perusahaan i, Ki adalah stok modal perusahaan
i, Li adalah tenaga kerja perusahaan i, dan K adalah stok pengetahuan/teknologi
(technical knowledge) secara agregat. K diasumsikan mempunyai efek menyebar
yang positif terhadap produksi setiap perusahaan.
Teori learning dikemukakan oleh Lucas dapat terjadi melalui akumulasi
human capital. Teori learning memasukkan unsur ekstemalitas yang terkandung
dalam peningkatan kapital pada proses produksi. Peningkatan kapital akan
meningkatkan stok public knowledge, sehingga secara keseluruhan proses
produksi dalam skala yang bersifat increasing return to scale. Akumulasi modal
manusia dapat dilakukan melalui jalur pendidikan formal maupun non formal (on
the job traning). Lucas berpendapat ekstemalitas yang dihasilkan oleh investasi
dalam pendidikan umum serta investasi dalam beberapa kegiatan tertentu akan
menyebabkan proses bersifat learning by doing. Model yang dikembangkan oleh
Lucas menggunakan dua jenis modal, yaitu modal fisik dan modal manusia,
rumusan adalah sebagai berikut:
𝑌𝑡 = 𝐴𝐾𝑡𝛼(𝑢𝑡𝐻𝑡𝐿𝑡)1−𝛼𝐻𝑡𝜃 (2.14)
dimana: 𝑌 adalah output produksi, 𝐴 adalah konstanta, 𝐾 adalah stok modal, 𝐿
adalah tenaga kerja, 𝑢 adalah waktu yang digunakan untuk pekerja untuk
berproduksi, 𝐻 adalah kualitas dari human capital yang merepresentasikan rata-
rata banyaknya pengetahuaan yang dimiliki oleh pekerja. Jika 𝐻𝑡 meningkat
sejalan dengan 𝑢𝑡 maka fungsi produksi akan bersifat increasing return to scale
dimana 𝐻𝑡 bersifat eksternal dan bergantung pada tingkat keterampilan rata-rata
tenaga kerja dalam perusahaan tersebut.
2.2 Konsep dan Teori Pengangguran
Pengangguran didefinisikan sebagai bagian dari angkatan kerja atau
penduduk berusia produktif yang tidak bekerja dan sedang mencari pekerjaan atau
tidak mendapatkan kesempatan bekerja dengan berbagai alasan (Dornbusch, et al,
2008). Dinamika dalam pasar tenaga kerja menunjukkan bahwa jumlah
penawaran tenaga kerja tidak selalu diikuti oleh permintaan tenaga kerja yang
seimbang, sehingga fenomena pengangguran akan selalu terjadi di setiap saat.
19
PENDUDUK
Usia Kerja(15 Tahun +)
Bukan Usia Kerja(<15 Tahun)
Angkatan Kerja Bukan Angkatan Kerja
MengurusRumah Tangga
Sekolah LainnyaMenganggurBekerja
BekerjaPenuh
SetengahMenganggur Mencari
PekerjaanMempersiapkan
UsahaPutus Asa
(Merasa TidakMungkin
Mendapat Kerja)
Sudah MendapatPekerjaan, Tetapi
Belum MulaiBekerja
Konsep pengangguran yang digunakan di Indonesia selalu mengalami
perkembangan dan perluasan dari waktu ke waktu. Pada awalnya, pengangguran
terbuka didefinisikan sebagai bagian dari angkatan kerja yang berada dalam
kondisi tidak bekerja dan sedang mencari pekerjaan. Sejak tahun 2001, definisi
pengangguran terbuka diperluas mengikuti rekomendasi International Labour
Organization (ILO) menjadi bagian dari angkatan kerja yang sedang mencari
pekerjaan, atau mempersiapkan suatu usaha, atau tidak mencari pekerjaan karena
merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan (sudah putus asa), atau sudah
mendapatkan pekerjaan tetapi belum mulai bekerja (Gambar 4).
Tingkat setengah pengangguran didefinisikan sebagai bagian dari
penduduk yang berstatus bekerja dengan jumlah jam kerja kurang dari jam kerja
normal atau kurang dari 35 jam per minggu. Setengah pengangguran dibagi
menjadi dua bagian. Pertama, setengah pengangguran terpaksa yakni bekerja
kurang dari jam kerja normal dan masih mencari pekerjaan atau bersedia
menerima pekerjaan yang lain. Kedua, setengah pengangguran sukarela yakni
bekerja kurang dari jam kerja normal tetapi tidak mencari pekerjaan atau tidak
menerima pekerjaan lain. Bagian ini sering disebut dengan istilah pekerja paruh
waktu (part time).
Sumber : BPS, 2004 Gambar 4 Bagan Pembagian Penduduk Menurut Status Ketenagakerjaan
20
Jika L menyatakan jumlah angkatan kerja dan diasumsikan tetap, E
menyatakan jumlah angkatan kerja yang bekerja dan U menyatakan jumlah angkatan
kerja yang menganggur, maka hubungannya dapat dinyatakan dengan 𝐿 = 𝐸 + 𝑈.
Mankiw (2007) menyatakan bahwa tingkat pengangguran terbuka U/L pada
kondisi mapan atau pengangguran alamiah merupakan rasio antara tingkat
pemutusan kerja s dengan penjumlahan tingkat pemutusan kerja s dengan tingkat
perolehan kerja f dan diformulasikan sebagai:
𝑈𝐿
=𝑠
𝑠 + 𝑓=
11 + 𝑠/𝑓
(2.15)
Semakin tinggi tingkat pemutusan kerja maka tingkat pengangguran semakin
tinggi dan sebaliknya semakin tinggi tingkat perolehan kerja maka tingkat
pengangguran akan semakin rendah.
Sumber: Mankiw, 2007 Gambar 5 Kekakuan Upah Riil dalam Memengaruhi Pengangguran
Persamaan 2.15 bermanfaat untuk mengaitkan tingkat pengangguran
dengan pemutusan kerja dan perolehan kerja, namun gagal menjelaskan mengapa
masih terjadi pengangguran. Fenomena pengangguran juga disebabkan oleh
adanya waktu yang diperlukan untuk mencari pekerjaan dan disebut dengan
pengangguran friksional. penyebab yang lainnya adalah kegagalan tingkat upah
dalam menyesuaikan jumlah penawaran dengan permintaan dalam pasar tenaga
kerja atau disebut kekakuan upah (wage rigidity). Pengangguran jenis ini disebut
dengan pengangguran struktural. Tingkat upah sangat berperan dalam
Tenaga Kerja, L
Upah Riil, W SL
DL
L*
W*
W’
E
U
21
menyeimbangkan penawaran dan permintaan tenaga kerja, namun terkadang upah
tidak bersifat fleksibel. Gambar 5 mengilustrasikan ketika upah riil (W’) berada di
atas upah keseimbangan dalam pasar tenaga kerja (W*) maka jumlah tenaga kerja
yang ditawarkan (SL) melebihi jumlah permintaan (DL) sehingga perusahaan akan
lebih selektif dalam menjatah tenaga kerja untuk mengisi kesempatan kerja yang
terbatas dan jumlah pengangguran akan meningkat (U). Ada beberapa hal yang
dapat menyebabkan upah bersifat kaku, yakni kebijakan penetapan upah
minimum, kekuatan monopoli serikat tenaga kerja dan upah efisiensi.
2.3 Teori Ketimpangan Pendapatan
2.3.1 Konsep Distribusi Pendapatan
Distribusi pendapatan merepresentasikan besarnya porsi pendapatan yang
diterima oleh setiap individu atau rumah tangga dalam suatu wilayah. Besarnya
pendapatan yang diterima setiap individu tergantung pada tingkat produktivitas
dan peranannya dalam aktivitas perekonomian. Ada dua ukuran pokok dalam
distribusi pendapatan, yakni distribusi ukuran dan distribusi fungsional. Distribusi
ukuran pendapatan atau distribusi pendapatan perseorangan dihitung dari jumlah
pendapatan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga tanpa
memperhatikan cara memperoleh maupun sumber pendapatannya. Distribusi
fungsional melihat pangsa pendapatan menurut faktor produksi yakni menghitung
total pendapatan yang diperoleh setiap faktor produksi baik tanah, tenaga kerja,
maupun modal. Dalam analisis ketimpangan, distribusi pendapatan perorangan
lebih sering digunakan karena kemudahan dalam aspek data dan penghitungan.
2.3.2 Pengukuran Ketimpangan Pendapatan
Ada beberapa ukuran distribusi pendapatan perorangan yang sering
digunakan untuk menganalisis dan membandingkan ketimpangan pendapatan
antar waktu dan antar wilayah. Beberapa diantaranya adalah ukuran kuintil, desil,
persentil, rasio Kuznets, ukuran Bank Dunia, kurva Lorenz dan Gini rasio.
Ukuran desil, kuintil maupun persentil dilakukan dengan mengelompokkan
pendapatan perkapita penduduk yang telah diurutkan dari yang terendah sampai
yang tertinggi serta dibagi ke dalam 5 kelompok (desil), 10 kelompok (kuintil)
dan 100 kelompok (persentil). Pangsa pendapatan dari setiap kelompok dihitung
22
dari persentase jumlah pendapatan yang diterima oleh setiap kelompok dibagi
dengan total pendapatan penduduk di wilayah tersebut. Berdasarkan ukuran
kuintil dapat diturunkan beberapa indikator ketimpangan yang lain seperti rasio
Kuznets, ukuran Bank Dunia, kurva Lorenz dan Gini rasio.
Rasio Kuznets merupakan rasio jumlah pendapatan yang diterima oleh 20
persen penduduk berpenghasilan tinggi dibagi dengan jumlah pendapatan 40
persen penduduk berpenghasilan rendah. Semakin tinggi nilai rasio Kuznets
menunjukkan tingkat ketimpangan dalam distribusi pendapatan yang semakin
tinggi atau tingkat pemerataan yang semakin rendah. Hampir sama dengan rasio
Kuznets, ukuran Bank Dunia membagi pendapatan yang diterima penduduk
menjadi tiga kelompok, yakni 40 persen penduduk berpenghasilan rendah, 40
persen penduduk berpenghasilan menengah, dan 20 persen penduduk
berpenghasilan tinggi. Kategori ketimpangan ditentukan dengan melihat besarnya
proporsi pendapatan yang diterima oleh 40 persen penduduk yang berpendapatan
rendah. Kriterianya adalah ketimpangan tinggi jika proporsinya < 12 persen;
ketimpangan sedang jika berkisar 12-17 persen; dan ketimpangan rendah jika >17
persen (Todaro dan Smith, 1996).
Kurva Lorenz menggambarkan hubungan kuantitatif antara penduduk atau
rumah tangga sebagai penerima pendapatan dengan jumlah pendapatan yang
diterima selama periode tertentu (Gambar 6). Bentuk kurva Lorenz digambarkan
dalam bentuk segi empat sama sisi. Sumbu horizontal menunjukkan jumlah
populasi penduduk atau rumah tangga penerima pendapatan dan sumbu vertikal
menunjukkan jumlah persentase pendapatan yang diterima oleh setiap kelompok
yang disusun secara kumulatif (dari kelompok penduduk atau rumah tangga yang
berpendapatan terendah hingga yang tertinggi). Garis diagonal utama
mencerminkan garis pemerataan pendapatan. Kurva Lorenz yang semakin
mendekati garis diagonal utama, menunjukkan distribusi pendapatan yang
semakin merata atau ketimpangan yang semakin rendah. Kurva Lorenz yang
berimpit dengan garis pemerataan menunjukkan tingkat pemerataan yang
sempurna atau tidak terjadi ketimpangan dalam distribusi pendapatan.
Sebaliknya, jika kurva Lorenz semakin menyimpang atau semakin menjauh dari
23
garis pemerataan maka ketidakmerataan semakin besar atau ketimpangan semakin
meningkat.
Sumber : Todaro dan Smith (2006) Gambar 6 Kurva Lorenz
Indikator yang paling populer digunakan untuk mengukur derajat
ketimpangan dalam distribusi pendapatan adalah Gini rasio. Gini rasio
merupakan ukuran ketimpangan yang memenuhi empat prinsip pengukuran,
sehingga dapat digunakan untuk membandingkan ketimpangan distribusi
pendapatan antar waktu maupun antar wilayah (Todaro dan Smith, 2006).
Keempat kriteria atau prinsip pengukuran tersebut didefinisikan sebagai berikut:
1. Prinsip anonimitas (anonimity principle), artinya ukuran ketimpangan
seharusnya tidak tergantung pada siapa yang mendapatkan pendapatan yang
lebih tinggi atau apakah itu orang kaya atau miskin.
2. Prinsip independensi skala (scale independence pronciple), ukuran
ketimpangan tidak tergantung pada ukuran perekonomian suatu negara dan
cara mengukur pendapatannya. Artinya, tidak tergantung apakah kondisi
negara kaya atau miskin serta diukur dalam dolar atau mata uang lainnya.
3. Prinsip independensi populasi (population independence principle), ukuran
ketimpangan tidak tergantung pada jumlah penduduk suatu negara/wilayah,
sehingga perekonomian Indonesia tidak boleh dikatakan lebih
merata/timpang dari Vietnam hanya karena jumlah penduduk Indonesia lebih
banyak.
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Pers
enta
se P
enda
pata
n
Persentase Populasi
Garis Pemerataan
Kurva Lorenz
I
II
𝑮𝒊𝒏𝒊 𝑹𝒂𝒔𝒊𝒐 =𝑩𝒊𝒅𝒂𝒏𝒈 𝑰
𝑩𝒊𝒅𝒂𝒏𝒈 𝑰+ 𝑰𝑰
24
4. Prinsip transfer Pique-Dalton (Pique-Dalton transfer principle), jika
diasumsikan semua pendapatan lain konstan maka dengan mentransfer
sejumlah pendapatan dari orang kaya kepada orang miskin maka akan
dihasilkan distribusi pendapatan yang baru dan lebih merata.
Nilai Gini rasio dihitung berdasarkan perbandingan luas daerah I dengan
luas daerah (I+II) dalam kurva Lorenz (Gambar 6). Secara matematis, Ray (1998)
menyajikan formula untuk menghitung Gini rasio sebagai berikut:
𝐺 =1
2𝑛2𝜇𝑛𝑗𝑛𝑘𝑦𝑗 − 𝑦𝑘
𝑚
𝑗=1
𝑚
𝑗=1
(2.16)
dimana: 𝜇 = 1𝑛∑ 𝑛𝑗𝑦𝑗𝑚𝑗=1 merupakan rata-rata pendapatan penduduk (total
pendapatan dibagi dengan jumlah penduduk); n=jumlah penduduk; 𝑛𝑗=jumlah
penduduk kelompok ke-j; 𝑛𝑘=jumlah penduduk kelompok ke-k; 𝑦𝑗= jumlah
pendapatan kelompok penduduk ke-j; 𝑦𝑘= jumlah pendapatan kelompok
penduduk ke-k.
Nilai Gini rasio (G) berkisar antara nol sampai satu, semakin mendekati
nol menunjukkan tingkat distribusi pendapatan yang semakin merata. Sebaliknya,
jika nilai Gini rasio semakin mendekati satu menunjukkan distribusi pendapatan
yang semakin tidak merata atau semakin timpang. Oshima (1970) membagi
tingkat ketimpangan pendapatan menjadi tiga kriteria, yakni ketimpangan rendah
jika Gini rasio kurang dari 0,3, ketimpangan sedang jika Gini rasio berada antara
0,3 sampai 0,4 dan ketimpangan tinggi jika lebih dari 0,4.
Todaro dan Smith (2006) menyatakan adanya ketimpangan yang tinggi
antara kelompok kaya dan miskin akan menimbulkan beberapa dampak negatif,
yakni terjadinya inefisiensi ekonomi serta melemahkan stabilitas dan solidaritas
sosial. Inefisiensi ekonomi terjadi karena kelompok penduduk miskin akan
semakin kesulitan untuk mengakses kredit, sementara kelompok penduduk kaya
cenderung berperilaku konsumtif terutama dalam mengkonsumsi barang-barang
mewah impor. Adanya ketimpangan menunjukkan belum terwujudnya sistem
keadilan sosial sehingga ketika ketimpangan terus meningkat dan berlangsung
dalam jangka waktu yang lama maka akan melemahnya stabilitas serta solidaritas
sosial.
25
2.4 Teori Kemiskinan
2.4.1 Definisi Kemiskinan
Kemiskinan memiliki makna yang sangat luas dan bersifat
multidimensional, sehingga definisi kemiskinan juga sangat multitafsir dan selalu
mengalami perluasan seiring dengan kompleksitas faktor penyebab maupun
permasahalan lain yang melingkupinya. Dimensi kemiskinan tidak hanya
menyangkut aspek ekonomi, namun juga menyangkut dimensi sosial, kultural
maupun politik. Kemiskinan dapat diukur melalui dua pendekatan yaitu
pendekatan ekonomi atau income/kekayaan dan pendekatan non-ekonomi.
Sen dalam Todaro dan Smith (2006) menyatakan bahwa status miskin atau
tidaknya seseorang tidak dapat ditentukan oleh tingkat pendapatan atau utilitas
yang dimiliki seperti dalam pandangan konvensional. Status miskin atau tidaknya
seseorang lebih ditentukan oleh kapabilitas untuk berfungsi (capabilities to
function) dan pertumbuhan ekonomi merupakan hal yang penting, namun tidak
dapat dianggap sebagai tujuan akhir. Hal yang terpenting bukan pada besarnya
pendapatan yang diperoleh atau utilitas seseorang terhadap suatu barang, tetapi
apa yang dapat dilakukan orang dengan pendapatan atau barang yang dimilikinya.
Kemiskinan dianggap bentuk kegagalan tidak berfungsinya beberapa kapabilitas
dasar yang dimiliki seseorang, atau seseorang dikatakan miskin jika kekurangan
kesempatan untuk mencapai atau mendapatkan kapabilitas dasar ini.
Dalam perkembangannya, kemiskinan pendekatan income lebih sering
digunakan karena lebih mudah dalam aspek pengukuran. Kemiskinan dengan
pendekatan income dibedakan menjadi dua, yakni kemiskinan relatif dan
kemiskinan absolut. Kemiskinan secara relatif didefinisikan sebagai kondisi
miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau
seluruh lapisan masyarakat, sehingga menyebabkan ketimpangan dalam distribusi
pendapatan yang diterima penduduk. Ukuran kemiskinan relatif sangat
tergantung pada distribusi pendapatan/pengeluaran penduduk di wilayah tersebut,
sehingga dengan definisi ini “orang miskin selalu ada” di semua tempat. Garis
kemiskinan relatif tidak dapat digunakan untuk membandingkan tingkat
kemiskinan antar wilayah dan waktu karena tidak mencerminkan tingkat
kesejahteraan yang sama. Artinya, seseorang yang dikatakan miskin di negara
26
Amerika Serikat belum tentu miskin jika diukur dengan ukuran kemiskinan
Indonesia, atau orang yang hidup miskin di Indonesia pada periode 2010 belum
tentu miskin pada saat periode 1970-an.
Kemiskinan secara absolut didefinisikan ketidakmampuan untuk
mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan,
perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk menjamin kelangsungan hidup
dan bekerja secara layak (Todaro dan Smith, 2006). Kebutuhan pokok minimum
diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang. Permasalahan yang
terjadi adalah sangat sulit untuk menentukan standar hidup minimum karena
kebutuhan psikologis, sosial dan ekonomi setiap orang berbeda-beda tergantung
pada usia maupun karakteristik demografis lainnya. Perkiraan nilai kebutuhan
dasar minimum disebut dengan istilah garis kemiskinan absolut. Penduduk yang
memiliki pendapatan atau pengeluaran di bawah garis kemiskinan digolongkan
sebagai penduduk miskin. Garis kemiskinan absolut sangat penting untuk menilai
atau memperkirakan dampak dari kebijakan penanggulangan kemiskinan antar
waktu dalam suatu wilayah. Angka kemiskinan antar wilayah dapat dibandingkan
jika menggunakan garis kemiskinan absolut yang sama.
2.4.2 Pengukuran Kemiskinan di Indonesia
Dalam defisi secara absolut, garis kemiskinan ditetapkan pada tingkat
konstan secara riil sehingga kemajuan dalam hal penanggulangan kemiskinan
dapat diperbandingkan sepanjang waktu. Bank Dunia telah menetapkan garis
kemiskinan absolut, yakni standar hidup yang kurang dari US $ 1 atau US $ 2
perkapita perhari untuk mengukur tingkat kemiskinan secara internasional. Garis
kemisninan tersebut dihitung menurut kekuatan daya beli (Purchasing Power
Parity) dari setiap negara bukan nilai tukar resmi (exchange rate). Dalam realita,
tidak semua negara mau menerima dan menetapkan garis kemiskinan absolut
senilai US $ 1 perkapita atau US $ 2 per hari pada saat membuat perencanaan
program penanggulangan kemiskinan. Banyak negara yang lebih memilih strategi
praktis dalam menetapkan garis kemiskinan secara lokal berdasarkan persyaratan
kalori dengan cara mengidentifikasi kebutuhan dasar makanan dan non makanan
dari survei pengeluaran rumah tangga.
27
Penghitungan garis kemiskinan di Indonesia yang dilakukan oleh BPS
menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach). Berdasarkan
definisi BPS, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi
kebutuhan yang bersifat mendasar baik makanan maupun non makanan yang
mencakup kebutuhan pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan
dasar lainnya. Garis kemiskinan merupakan penjumlahan dari garis kemiskinan
makanan dan non makanan. Garis kemiskinan makanan merepresentasikan nilai
kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kalori perkapita per
hari yang mengacu pada hasil Widyakarya Pangan dan Gizi tahun 1978. Garis
kebutuhan non makanan merupakan kebutuhan minimum untuk perumahan,
sandang, pendidikan dan kesehatan (BPS, 2008).
BPS menetapkan garis kemiskinan berdasarkan hasil Susenas (Survei
Sosial Ekonomi nasional) modul konsumsi rumah tangga. Pada tahun-tahun yang
tidak dilaksanakan kegiatan Susenas Modul, garis kemiskinan dihitung
berdasarkan garis kemiskinan periode sebelumnya dengan mempertimbangkan
aspek perubahan harga atau inflasi/deflasi. Garis kemiskinan juga dihitung di
setiap daerah baik menurut provinsi maupun kabupaten/kota yang besarnya
tergantung pada standar biaya hidup minimum dan kemampuan/daya beli
penduduk di masing-masing daerah.
2.4.3. Indikator Kemiskinan
Ada beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat
kemiskinan di suatu wilayah. Ray (1998) dan Todaro dan Smith (2006)
mengemukakan beberapa ukuran kemiskinan, yakni adalah jumlah penduduk
miskin (Head Count/HC); persentase penduduk miskin (Head Count Index/HCI);
jurang kemiskinan total (Total Poverty Gap/TPG); jurang kemiskinan rata-rata
(Average Poverty Gap/APG); dan Foster-Greer-Thorbecke (FGT).
Head Count menggambarkan jumlah penduduk yang berada di bawah
garis kemiskinan (GK), sedangkan Head Count Index menggambarkan rasio
antara HC dengan jumlah penduduk atau persentase penduduk yang berada di
bawah garis kemiskinan. Total Poverty Gap (TPG) atau jurang kemiskinan
menggambarkan seberapa jauh pendapatan kelompok penduduk miskin berada di
28
bawah garis kemiskinan. TPG juga dapat diartikan sebagai pendapatan total yang
diperlukan untuk mengangkat penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan
hingga tepat berada di garis kemiskinan atau di atasnya. Penghitungan TPG
diformulasikan sebagai:
𝑇𝑃𝐺 = 𝑌𝑝 − 𝑌𝑖𝐻
𝑖=1
(2.17)
𝑌𝑝= Garis Kemiskinan; 𝑌𝑖 = Pendapatan penduduk miskin ke-i.
Berdasarkan ukuran TPG dapat diturunkan beberapa indikator kemiskinan yang
lain, yakni Average Poverty Gap (APG) atau jurang kemiskinan rata-rata (𝐴𝑃𝐺 =
𝑇𝑃𝐺/𝑛); Normalized Poverty Gap (NPG) atau jurang kemiskinan yang telah
dinormalisasi (𝑁𝑃𝐺 = 𝑇𝑃𝐺/𝑦𝑝); Average Income Shortfall (AIS) atau jurang
kemiskinan total dibagi dengan jumlah penduduk miskin. Indikator AIS
menggambarkan besarnya rata-rata transfer atau pendapatan yang diperlukan
untuk mengangkat seorang penduduk miskin ke atas garis kemiskinan (𝐴𝐼𝑆 =
𝑇𝑃𝐺/𝐻𝐶).
Foster, Greer dan Thorbecke dalam Ray (1998) merumuskan suatu ukuran
kemiskinan yang memenuhi empat prinsip dalam pengukuran. Keempat prinsip
tersebut adalah anonimitas, independensi populasi, monotonisitas dan sensitivitas
distribusi. FGT dirumuskan sebagai:
𝑃𝛼 =1𝑛
𝑧 − 𝑦𝑖𝑧
𝛼
𝐻
𝑖=1
(2.18)
dimana:
α = 0, 1, 2 ; z = Garis Kemiskinan ; n = Jumlah Penduduk
yi = Rata-rata pengeluaran perkapita sebulan penduduk yang berada
di bawah garis kemiskinan (i=1,2,…,H), yi < z
H = Banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan
Ukuran FGT dapat diturunkan menjadi tiga indikator sebagai berikut:
Jika α = 0, diperoleh nilai Head Count Index (P0) yang merepresentasikan
persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan dan dirumusnya
sebagai 𝑃0 = 𝐻 𝑛⁄ .
29
Jika α = 1, diperoleh indeks kedalaman kemiskinan (Poverty Gap Index/P1)
yakni ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk
miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks P1 maka
semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan. P1
dirumuskan sebagai:
𝑃1 =1𝑛
𝑧 − 𝑦𝑖𝑧
(2.19)𝐻
𝑖=1
Nilai Poverty Gap Index/P1 sangat berguna untuk mengetahui seberapa besar
biaya yang diperlukan atau nilai yang harus ditransfer untuk mengangkat
penduduk miskin hingga tepat berada di atas garis kemiskinan.
Jika α = 2, diperoleh Indeks keparahan kemiskinan (Poverty Severity
Index/P2). Indeks ini memberikan gambaran mengenai intensitas penyebaran
pengeluaran diantara penduduk miskin, semakin tinggi nilai indeks, maka
ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin semakin meningkat. P2
dirumuskan sebagai:
𝑃2 =1𝑛
𝑧 − 𝑦𝑖𝑧
2
(2.20)𝐻
𝑖=1
2.5 Kerangka Analitis Hubungan antara Pertumbuhan, Pengangguran, Ketimpangan dan Kemiskinan
2.5.1 Model Pembangunan Dua Sektor Lewis
Model pembangunan dua sektor yang dikemukakan Lewis (Lewis two
sector model) merupakan salah satu model pembangunan yang mengkaji proses
pembangunan di negara-negara dunia ketiga (Todaro dan Smith. 2006). Model ini
menekankan pada aspek transformasi struktural dari perekonomian tradisional
yang berbasis perdesaan atau sektor pertanian menuju perekonomian modern yang
berbasis perkotaan atau sektor industri. Asumsi dasar yang digunakan adalah
terdapat surplus tenaga kerja di sektor pertanian yang ditandai oleh produktivitas
marginal (MPLA) sama dengan nol dan produktivitas rata-rata (APLA) yang
semakin menurun. Semua pekerja di sektor tradisional menghasilkan output yang
sama, sehingga tingkat upah ditentukan oleh produktivitas tenaga kerja rata-rata
bukan produktivitas tenaga kerja marjinal (Gambar 7).
30
(a) Sektor Modern (Industri) (b) Sektor Tradisional (Pertanian)
Tota
l Pro
duk
Man
ufak
tur
Tota
l Pro
duk
Pert
ania
n
Upa
hRi
il(=
MP L
M)
L1 L2 L3
L1 L2 L3
QLM
QLM QLA
QLA
APLA
MPLA
LA
Surplus TK
Prod
ukM
argi
nal/
Rata
-rat
a
WA
WM
TPM2
TPM1
TPM3
TPM(KM1)
TPM(KM3)
TPM(KM2)TPA
TPA(KA)
KM3> KM2> KM1
SL
D3(KM3)
D2(KM2)D1(KM1)
Sumber: Todaro dan Smith, 2006 Gambar 7 Model Pembangunan Dua Sektor Lewis
Sektor industri modern diasumsikan memiliki produktivitas rata-rata
(APLM) dan tingkat upah riil (WM) yang lebih tinggi produktivitas (APP) dan
tingkat upah riil (WP) di sektor pertanian tradisional. Asumsi ini memungkinkan
sektor modern untuk menampung surplus tenaga kerja dari sektor tradisional.
Model ini fokus pada proses perpindahan tenaga kerja melalui mekanisme
pertumbuhan output dan perluasan kesempatan kerja di sektor industri modern.
Perluasan kesempatan kerja ditentukan oleh tingkat investasi, akumulasi modal
serta reinvestasi sektor modern.
2.5.2 Keterkaitan Pertumbuhan Dengan Ketimpangan
Berdasarkan beberapa asumsi dasar yang digunakan dalam model dua
sektor Lewis, Kuznets (1955) mengajukan sebuah hipotesis mengenai pola
hubungan atau keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan
distribusi pendapatan membentuk kurva U terbalik. Studi empiris ini dilakukan
dengan menghitung dan menganalisis sejarah pertumbuhan ekonomi di negara-
negara maju dalam jangka panjang serta menekankan pada aspek transformasi
31
0
0.25
0.5
0.75
1
Gin
iRat
io (G
)
Pendapatan Perkapita (Y)
Ketidakmerataanmenurun
Ketidakmerataanmeningkat
atau perubahan struktural dari sektor yang berbasis pertanian tradisional menuju
sektor industri modern (Gambar 8).
Sumber : Todaro dan Smith (2006)
Gambar 8 Kurva U-Terbalik Hipotesis Kuznets
Pada masa awal pembangunan ekonomi, pendapatan perkapita maupun
ketimpangan pendapatan antar penduduk di kedua sektor masih rendah. Selama
masa transisi, produktivitas dan upah tenaga kerja di sektor modern menjadi lebih
tinggi dibandingkan sektor tradisional, sehingga pendapatan perkapita yang
diterima di sektor modern juga menjadi lebih tinggi. Hal ini menyebabkan
ketimpangan pendapatan di kedua sektor tersebut semakin meningkat sejalan
dengan semakin meningkatnya pendapatan perkapita.
Setelah melampaui titik kulminasi atau titik puncak akan terjadi
mekanisme trickle down effect yang melalui penciptaan dan perluasan kesempatan
kerja di sektor modern. Perluasan kesempatan sektor modern akan menyerap
surplus atau kelebihan tenaga kerja di sektor tradisional. Mekanisme Trickle
down effect akan meningkatkan pendapatan perkapita di sektor tradisional dan
sektor modern serta membawa pada perbaikan distribusi sehingga ketimpangan
pendapatan semakin menurun.
Kesahihan dari hipotesis Kuznets telah telah menjadi topik perdebatan dan
mendatangkan banyak pendapat baik yang pro maupun kontra. Kritik utama
terhadap penelitian yang mendukung hipotesis Kuznets adalah mayoritas
menggunakan data yang lemah dan metodologi yang masih dipertanyakan. Dalam
studi empiris di India, Ravallion dan Datt (1996) menyampaikan bahwa selama
32
periode 1950-an sampai 1990-an pendapatan perkapita meningkat secara rata-rata,
namun distribusi pendapatan bergerak semakin tidak merata. Hasil analisis
Ravallion (2001) di 47 negara yang sedang berkembang juga menunjukkan bahwa
tidak ada korelasi yang signifikan antara pertumbuhan ekonomi dengan perubahan
dalam distribusi pendapatan, artinya pertumbuhan masih bersifat netral.
Kakwani, et al. (2000) mempertajam kritik dengan mengungkapkan bahwa
hipotesis Kuznets hanya berhasil menjelaskan hubungan ketimpangan dan
pertumbuhan ekonomi pada negara-negara industri maju atau negara dengan
pendapatan perkapita tinggi sampai dengan dekade 70-an. Namun demikian,
hipotesis ini tidak mampu menjelaskan pola hubungan di negara-negara yang
sedang berkembang. Kritik juga dilontarkan Dollar dan Kraay (2002) yang
menyatakan bahwa secara rata-rata, pendapatan kelompok termiskin dalam
masyarakat akan meningkat secara proporsional dengan peningkatan pendapatan
rata-rata masyarakat serta tidak ada korelasi yang kuat antara pertumbuhan
pendapatan dengan perubahan tingkat ketimpangan. Meskipun pendapatan
perkapita secara rata-rata meningkat, distribusi pendapatan tidak mengalami
perubahan secara signifikan. Distribusi pendapatan cenderung stabil atau bisa
naik dan turun dengan perubahan kecil dan memiliki pola yang berbeda untuk
setiap negara.
2.5.3 Keterkaitan Pertumbuhan, Ketimpangan dan Kemiskinan
Warr (2006) mengajukan sebuah kerangka kerja konseptual (conceptual
fremework) dalam penelitian mengenai keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi
dan pengentasan kemiskinan di Asia Tenggara (Gambar 9). Menurutnya,
pertumbuhan ekonomi menjadi sebuah variabel endogen atau keluaran yang
ditentukan oleh kebijakan pemerintah, kekuatan dari luar atau faktor eksternal
(eksogeneous) serta peran pasar dalam merespon keduanya.
Warr mengasumsikan bahwa kebijakan ekonomi dan faktor eksogen akan
memengaruhi tingkat kemiskinan melalui dua jalur, yakni jalur pertumbuhan
ekonomi melalui peningkatan pendapatan secara rata-rata dan atau jalur
redistribusi pendapatan. Kebijakan pembangunan ekonomi dapat dilakukan
melalui strategi untuk memacu pertumbuhan ekonomi atau meredistribusikan
33
Kemiskinan Absolutdan Pengentasan
Kemiskinan
Strategi Pembangunan
Distribusidan Perubahan
Distribusi
Tingkat PendapatanAgregat dan
Pertumbuhan
KebijakanEkonomi
PertumbuhanEkonomi
PengentasanKemiskinan
FaktorEksternal Efek Redistribusi
pendapatan, atau secara bersama-sama dengan tujuan akhir untuk mengentaskan
kemiskinan.
Sumber: Warr, 2006
Gambar 9 Keterkaitan Pertumbuhan dengan Kemiskinan
Bourguignon (2004) juga menggambarkan keterkaitan hubungan antara
pertumbuhan ekonomi, ketimpangan distribusi pendapatan, dan pengentasan
kemiskinan dalam bentuk segitiga seperti pada Gambar 10. Tingkat kemiskinan
diukur dengan ukuran kemiskinan absolut yakni proporsi penduduk yang berada
di bawah garis kemiskinan yang diperoleh dari data survei rumah tangga.
Ketidakmerataan atau ketimpangan distribusi pendapatan mengacu pada
kesenjangan pendapatan relatif antar penduduk yang diukur dengan Gini rasio.
Pertumbuhan diukur dengan perubahan rata-rata level kesejahteraan baik dari sisi
pendapatan maupun pengeluaran. Menurutnya, pengentasan kemiskinan
merupakan fungsi dari pertumbuhan, distribusi pendapatan dan perubahan dalam
distribusi pendapatan. Artinya, pengentasan kemiskinan dapat dilakukan dengan
cara merubah distribusi pendapatan (redistribusi) dan atau meningkatkan level
pendapatan.
Sumber: Bourguignon, 2004 Gambar 10 Segitiga Pertumbuhan, Ketimpangan dan Kemiskinan
34
Perubahan distribusi pendapatan atau redistribusi akan memungkinkan
penduduk pada golongan pendapatan rendah untuk mendapatkan tambahan
pendapatan atau memperoleh perbaikan pendapatan sehingga bisa memenuhi
kebutuhan dasarnya dan mampu terangkat ke atas garis kemiskinan. Secara umum,
pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan tingkat pendapatan penduduk golongan
pendapatan rendah secara proporsional sama dengan rata-rata pendapatan
masyarakat. Kenaikan pendapatan yang diterima penduduk golongan pendapatan
rendah akan meningkatkan taraf hidupnya sehingga memungkinkan untuk terangkat
di atas garis kemiskinan.
Bourguignon juga menyatakan bahwa perubahan dalam distribusi
pendapatan dapat terjadi melalui dua mekanisme, yaitu efek pertumbuhan (growth
effect) dan efek distribusi (distributional effect). Efek pertumbuhan merupakan
efek dari perubahan pendapatan yang terjadi secara proporsional pada seluruh
level pendapatan sehingga distribusi pendapatan tidak berubah, hanya bergeser ke
kanan ketika terjadi peningkatan pendapatan rata-rata atau bergeser ke kiri ketika
terjadi penurunan pendapatan rata-rata. Efek distribusi merupakan efek dari
perubahan dalam distribusi pendapatan secara relatif pada setiap level pendapatan,
sementara secara rata-rata pendapatan tidak mengalami perubahan. Efek
distribusi ditunjukkan oleh perubahan dalam distribusi pendapatan yang
independen dari rata-ratanya. Secara umum, keterkaitan antara pertumbuhan
ekonomi atau pertumbuhan pendapatan dengan distribusi pendapatan dan
pengentasan kemiskinan dapat dijelaskan melalui mekanisme dalam Gambar 11.
Gambar 11 bagian (a) menunjukkan distribusi pendapatan yang diterima
oleh penduduk pada kondisi awal periode. Sumbu X menyatakan level
pendapatan perkapita yang telah diurutkan dari yang terendah sampai yang
tertinggi dan disajikan dalam skala logaritma. Sumbu Y menyatakan share
populasi atau persentase jumlah penduduk pada level pendapatan tertentu terhadap
jumlah seluruh penduduk. Garis vertikal yang sejajar dengan sumbu Y
mengilustrasikan garis kemiskinan absolut. Daerah yang berada di bawah di
bawah kurva distribusi dan berada di sebelah kiri garis kemiskinan absolut (area
diarsir merah) menggambarkan persentase penduduk miskin atau HCI pada
kondisi awal.
35
Sumber: Bourguignon, 2004
Gambar 11 Perubahan Kemiskinan Akibat Efek Pertumbuhan dan Efek Distribusi
Mekanisme efek pertumbuhan diilustrasikan oleh Gambar 11 bagian (b),
melalui pergeseran kurva distribusi dari periode awal ke periode berikutnya
(bergeser ke kanan) dan diperoleh distribusi pendapatan baru pada periode
berikutnya dengan rata-rata pendapatan perkapita yang lebih tinggi. Peningkatan
pendapatan terjadi secara proporsional untuk semua golongan penduduk atau
pertumbuhan bersifat netral. Jika diasumsikan garis kemiskinan absolut tidak
berubah atau konstan, maka efek pertumbuhan terhadap penurunan kemiskinan
digambarkan oleh area yang berwarna hijau.
Mekanisme perubahan melalui efek distribusi diilustrasikan oleh Gambar
11 bagian (c). Kurva distribusi awal berubah menjadi kurva distribusi baru
dengan rata-rata pendapatan perkapita tetap. Perubahan ini menunjukkan
terjadinya perubahan distribusi pendapatan relatif. Artinya penduduk pada
golongan pendapatan rendah mengalami kenaikan pendapatan perkapita,
36
sementara pada golongan pendapatan tinggi mengalami penurunan. Mekanisme
ini dapat terjadi jika dilakukan transfer pendapatan dari penduduk golongan
pendapatan tinggi kepada penduduk golongan pendapatan rendah. Efek distribusi
menyebabkan jumlah penduduk miskin berkurang sebanyak area berwarna biru.
Gambar bagian (d) menyajikan efek pertumbuhan dan efek distribusi yang
terjadi secara bersama-sama. Kondisi tersebut menggambarkan pertumbuhan
ekonomi yang berkualitas karena lebih menguntungkan kelompok penduduk yang
berpendapatan rendah atau bersifat pro-poor. Artinya, pertumbuhan ekonomi
akan meningkatkan pendapatan perkapita secara rata-rata sekaligus mengubah
distribusi pendapatan bergerak ke arah yang lebih merata. Kedua efek tersebut
secara simultan menyebabkan penurunan kemiskinan menjadi sangat efektif.
Dalam realita yang sesungguhnya, pergerakan kurva distribusi bisa ke kanan atau
ke kiri tergantung pada kualitas pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan, alokasi
kepemilikan sumber daya dan aset serta kebijakan redistribusi pendapatan yang
dilakukan.
2.5.4 Poverty Growth Curve (PGC)
PGC merupakan salah satu metode untuk mengkaji keterkaitan antara
pertumbuhan, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan. Metode PGC pertama
kali diperkenalkan oleh Son (2004) untuk mengkaji keterkaitan diantara
pertumbuhan, ketimpangan dan kemiskinan di Thailand. PGC berbentuk sebuah
kurva yang merepresentasikan pertumbuhan pendapatan perkapita yang diterima
oleh setiap kelompok persentil pengeluaran dalam kurva Lorenz selama dua
periode yang berbeda.
Jika 𝐿(𝑝) menyatakan fungsi Lorenz yang merepresentasikan jumlah porsi
pendapatan/pengeluaran dari setiap persentil p, maka fungsi Lorenz dapat
diekspresikan sebagai:
𝐿(𝑝) =1𝑢 𝑦𝑓(𝑦)𝑥
𝑜𝑑𝑦 (2.21)
dimana 𝐿(𝑝) = 0 jika 𝑝 = 0 ; 𝐿(𝑝) = 100 jika 𝑝 = 100 dan 0 ≤ 𝑝 ≤ 100
𝑝 = 𝑦𝑓(𝑦)𝑥
𝑜𝑑𝑦 (2.22)
37
jika 𝐿(𝑝) = 𝑢𝑝𝑃𝑢
menyatakan share dari rata-rata pendapatan pada persentil ke-p
dan 𝑢𝑝 menyatakan rata-rata pendapatan pada persentil p dari populasi maka:
𝐿𝑛𝑢𝑝 = 𝐿𝑛𝑢𝐿(𝑝) − 𝐿𝑛(𝑝) (2.23)
First difference dari persamaan (2.21) adalah
∆𝐿𝑛𝑢𝑝 = 𝑔(𝑝) = ∆𝐿𝑛𝑢𝐿(𝑝) (2.24)
Nilai PGC direpresentasikan oleh 𝑔(𝑝) = ∆Ln (𝑢𝑝). Derajat pro poor dapat
diketahui dengan membandingkan pertumbuhan rata-rata pendapatan pada setiap
persentil. Jika persentil bawah lebih dominan dari persentil lainnya atau jika pola
pertumbuhan memiliki memiliki pola menurun maka pertumbuhan bersifat pro
poor, sebaliknya jika persentil atas lebih dominan maka pertumbuhan belum
bersifat pro poor. Secara konseptual pendekatan ini memiliki definisi yang
cukup kuat, namun memiliki kelemahan karena dilakukan secara parsial tanpa
memasukkan garis kemiskinan secara eksplisit dan penentuan derajat pro poor
hanya didasarkan pola dominan dalam kurva.
2.6 Determinan Pertumbuhan, Pengangguran, Ketimpangan Pendapatan dan Kemiskinan
Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengkaji dan
mengidentifikasi determinan dari pertumbuhan. Dengan menggunakan kerangka
konseptual dan metode yang berbeda, beberapa penelitian menggunakan variabel
penjelas yang beragam untuk menjelaskan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi.
Barro (1997) menggunakan beberapa variabel untuk menjelaskan sumber-sumber
pertumbuhan. Variabel yang pertama adalah stok kapita dan investasi. Keduanya
menjadi determinan paling fundamental dari pertumbuhan ekonomi berdasarkan
identifikasi model neo-klasik maupun model endogen. Model neo-klasik
menyatakan bahwa investasi memiliki dampak sementara, namun model endogen
menyatakan bahwa investasi terutama investasi human capital memiliki dampak
yang permanen (Barro dan Sala-I-Martin, 1995).
Variabel kedua adalah modal manusia (human capital) yang menjadi
sumber pertumbuhan terpenting dalam pandangan model pertumbuhan endogen.
Modal manusia tidak hanya mencakup jumlah populasi penduduk dan angkatan
38
kerja, namun juga merepresentasikan kualitas atau keterampilan/skill dan
pengetahuan yang dimiliki oleh pekerja. Barro (1991) menyatakan bahwa modal
manusia mencakup aspek pendidikan angkatan kerja yang dapat diukur melalui
rata-rata lama sekolah penduduk usia produktif dan aspek kesehatan yang diukur
dengan usia harapan hidup.
Variabel ketiga adalah kualitas infrastruktur perekonomian yang terdiri
dari infrastruktur transportasi, telekomunikasi dan listrik. Infrastruktur
perekonomian memiliki peran dalam menjamin kelangsungan produksi dan
distribusi barang dan jasa. Kualitas infrastruktur juga menjadi salah satu
pertimbangan penting bagi pengusaha dalam menentukan keputusan untuk
berinvestasi. Hasil penelitian Fan et al (2002) menunjukkan bahwa kualitas
infrastruktur transportasi, telekomunikasi dan listrik memiliki dampak tidak
langsung terhadap pertumbuhan output dalam perekonomian.
Variabel yang keempat adalah keterbukaan perekonomian (trade
openess). Keterbukaan ekonomi memiliki kontribusi yang cukup penting dalam
meningkatkan pertumbuhan melalui jalur promosi, transfer pengetahuan,
peningkatan skala ekonomi dan efisiensi. Keterbukaan dapat diukur dengan rasio
volume perdagangan atau jumlah ekspor dan impor dengan output nasional
(Barro, 1991). Variabel kelima adalah tingkat inflasi yang akan memiliki
pengaruh negatif terhadap terhadap pertumbuhan output sehingga dapat
mendorong pada pertumbuhan negatif (Barro, 1991). Variabel yang lainnya
adalah level pendapatan perkapita pada kondisi awal (initial variable),
pengeluaran pemerintah untuk belanja modal dan belanja pembangunan.
Beberapa variabel yang memengaruhi perubahan jumlah pencari kerja atau
pengangguran adalah pertumbuhan angkatan kerja, laju inflasi, investasi dan
kebijakan upah minimum. Pertumbuhan angkatan kerja akan berdampak pada
meningkatnya pengangguran alamiah melalui penawaran tenaga kerja baru. Jika
tidak diimbangi dengan permintaan tenaga kerja yang memadai maka akan terjadi
kelebihan penawaran dan menyebabkan pengangguran. Laju inflasi memiliki
trade off dengan tingkat pengangguran. Jika pemerintah melakukan kebijakan
dengan menentukan target pertumbuhan output tertentu maka dapat memacu
kesempatan kerja dan menurunkan pengangguran, namun di sisi lain ada biaya
39
yang harus ditanggung yakni meningkatnya harga-harga (inflasi). Sebaliknya,
jika kebijakan yang ditetapkan adalah mengendalikan inflasi maka resikonya
adalah akan meningkatkan pengangguran. Kebijakan penentuan upah minimum
regional juga memiliki pengaruh positif dalam meningkatkan jumlah
pengangguran.
Variabel yang memengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan terdiri
dari pertumbuhan pendapatan perkapita, alokasi kepemilikan aset atau kekayaan,
ketimpangan dalam skill atau keterampilan, perubahan harga atau inflasi dan
pengeluaran pemerintah. Berdasarkan beberapa studi sebelumnya, tidak terdapat
relasi yang sistematis antara pertumbuhan pendapatan perkapita dengan
ketimpangan distribusi pendapatan dan pola di setiap negara berbeda-beda.
Meskipun secara rata-rata pendapatan perkapita meningkat, distribusi dapat
bergeser semakin timpang, semakin merata atau tetap. Ketimpangan dalam
mengakses pendidikan antar penduduk menurut golongan pendapatan
menyebabkan perbedaan dalam skill atau keterampilan dan produktivitas sehingga
upah atau pendapatan diterima juga akan berbeda. Secara rata-rata, penduduk
miskin memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah sehingga mayoritas
memilih bekerja di sektor informal meskipun tingkat upah dan pendapatan yang
diterima lebih rendah. Sebaliknya, rata-rata pendidikan penduduk golongan atas
cenderung lebih tinggi sehingga akan lebih selektif dalam menerima pekerjaan.
Dengan pendidikan yang lebih tinggi maka produktivitasnya juga akan semakin
tinggi sehingga tingkat upah dan pendapatan yang diterimanya juga akan semakin
besar.
Determinan kemiskinan menurut Bourguignon (2004) terdiri dari
pertumbuhan pendapatan perkapita, distribusi pendapatan dan redistribusi
pendapatan sehingga semua determinan pertumbuhan dan ketimpangan secara
tidak langsung juga akan memengaruhi kemiskinan.
2.7 Tinjauan Empiris Penelitian Terdahulu
Penelitian dengan topik yang serupa telah banyak dilakukan baik di dalam
lingkup nasional antar negara menggunakan metode yang berbeda-beda. Wodon
(1999) mengembangkan model regresi data panel dalam penelitian mengenai
40
keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi, ketimpangan distribusi pendapatan dan
kemiskinan di Banglades. Ada tiga model persamaan regresi data panel yang
digunakan, yakni:
𝑙𝑛𝐺𝑖𝑡 =∝ +𝛽𝑙𝑛𝑌𝑖𝑡 + 𝛼𝑖 + 𝜀𝑖𝑡 ; 𝑙𝑛𝑃𝑖𝑡 = 𝜔 + 𝛾𝑙𝑛𝑌𝑖𝑡 + 𝛿𝑙𝑛𝐺𝑖𝑡 + 𝜔𝑖 + 𝑣𝑖𝑡 ;
dan 𝑙𝑛𝑃𝑖𝑡 = 𝜑 + λ𝑙𝑛𝑌𝑖𝑡 + 𝜑𝑖 + 𝜂𝑖𝑡 (2.25)
dimana: 𝐺 = Gini rasio; 𝑌 =Level pendapatan/konsumsi perkapita; 𝑃 = Indikator
kemiskinan FGT; ∝,𝜔,𝜑 = koefisien; 𝛼𝑖,𝜔𝑖,𝜑𝑖 = fixed/random effect; 𝜀𝑖𝑡,𝑣𝑖𝑡 , 𝜂𝑖𝑡=
error term; i=Provinsi; t=Tahun. 𝛽 = Elastisitas ketimpangan terhadap
pertumbuhan; 𝛿=Elastisitas kemiskinan terhadap ketimpangan; 𝛾 = Elastisitas
netto kemiskinan terhadap pertumbuhan; λ = Elastisitas total kemiskinan terhadap
pertumbuhan, dimana λ = 𝛾 + 𝛽𝛿.
Ada beberapa temuan yang dihasilkan oleh penelitian ini. Pertama, tidak
ada hubungan yang sistematis yang signifikan antara pertumbuhan dan
ketimpangan pendapatan di wilayah perdesaan, sedangkan di daerah perkotaan
ada hubungan positif. Artinya, pertumbuhan yang dihasilkan di wilayah
perkotaan semakin meningkatkan ketimpangan dalam distribusi pendapatan.
Kedua, ada hubungan searah antara perubahan ketimpangan dengan perubahan
kemiskinan baik di perkotaan maupun perdesaan sehingga jika ketimpangan
meningkat maka kemiskinan juga meningkat. Ketiga, ada hubungan berlawanan
antara pertumbuhan dengan perubahan kemiskinan sehingga jika pertumbuhan
meningkat maka kemiskinan akan menurun. Hal ini berarti ada manfaat yang
diterima penduduk miskin dari pertumbuhan yang dihasilkan.
Meng et al. (2005) melakukan penelitian dengan topik yang serupa di
kawasan perkotaan China selama periode 1986-2000. Model yang digunakan
adalah regresi data panel menggunakan data di level provinsi dan dispesifikasi
sebagai:
𝑙𝑛𝑃𝑖𝑡 = 𝛼 + 𝛽𝑙𝑛𝑌𝑖𝑡 + 𝛿𝑙𝑛𝐺𝑖𝑡 + 𝜂𝑙𝑛𝑆𝑖𝑡 + 𝜃𝑙𝑛𝑊𝐸𝑖𝑡 + 𝛾𝑙𝑛𝑋𝑖𝑡 + 𝑢𝑖 + 𝜀𝑖𝑡 (2.26)
Perubahan kemiskinan merupakan fungsi dari pertumbuhan pendapatan perkapita,
perubahan gini rasio, perubahan tingkat tabungan, perubahan share pengeluaran
untuk pendidikan, kesehatan dan perumahan, perubahan rata rata jumlah anggota
rumah tangga yang bekerja, dan perubahan harga relatif (inflasi) kelompok bahan
41
makanan. Hasil temuannya adalah pertumbuhan pendapatan perkapita merupakan
determinan utama dalam penurunan kemiskinan selama waktu 15 tahun dalam
penelitian. Perubahan tabungan dan pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan dan
perumahan memiliki hubungan yang tidak searah dengan perubahan kemiskinan.
Laju inflasi bahan makanan dan ketimpangan pendapatan memiliki hubungan
yang searah dengan kemiskinan, artinya jika nilai dari variabel-variabel tersebut
meningkat maka akan berpengaruh terhadap pertumbuhan penduduk miskin.
Nayyar (2005) membangun sebuah model untuk mengkaji proses
penurunan kemiskinan di kawasan perdesaan India melalui dua pendekatan, yakni
pendekatan langsung dan tidak langsung. Pendekatan tidak langsung mengacu
pada konsep pembangunan dualistik yang menekankan pada interaksi dual
economic antara sektor pertanian tradisional dan sektor industri modern sebagai
dampak dari proses pembangunan. Akumulasi kapital di sektor industri
merupakan motor penggerak pertumbuhan dalam pembangunan ekonomi dan
pembangunan ekonomi sebagai prasyarat transformasi struktural yang progresif
dari sektor pertanian menuju sektor industri modern. Pendekatan tidak langsung
menekankan pada aspek redistribusi pendapatan melalui kebijakan peningkatan
daya beli, peningkatan akses terhadap aset dan pendidikan, subsidi bahan pangan
dan program anti kemiskinan lainnya.
Dengan pendekatan model data panel penelitian Nayyar menghasilkan
temuan beberapa determinan yang memengaruhi perubahan kemiskinan di
kawasan perdesaan India. Determinan yang berhubungan searah atau positif
adalah perubahan indeks harga konsumen (inflasi) dan distribusi kepemilikan
lahan. Determinan yang berhubungan negatif adalah output perkapita sektor non
pertanian, pertumbuhan output per pekerja sektor pertanian, pengeluaran untuk
program anti kemiskinan, indeks ketimpangan gender dan pertumbuhan
infrastruktur fisik.
Fan et al (2002) melalukan penelitian dengan topik yang serupa di
kawasan perdesaan China dan lebih menekankan pada peran investasi publik.
Metode yang mereka gunakan adalah persamaan simultan dengan data panel di
level provinsi serta menggunakan beberapa variabel eksogen seperti pertumbuhan
penduduk perdesaan, belanja pemerintah untuk pendidikan, belanja investasi dan
42
pengembangan (R&D) sektor pertanian, belanja pemerintah untuk infrastruktur
perdesaan seperti telekomunikasi, listrik dan jalan. Hasil temuan dari penelitian
menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah untuk pendidikan memiliki
pengaruh yang paling kuat terhadap penurunan kemiskinan melalui peningkatan
usia lama sekolah dan kemampuan baca tulis penduduk. Peningkatan kualitas
pendidikan ini akan meningkatkan produktivitas pertanian, upah/income,
pertumbuhan output (PDB) di sektor pertanian dan non pertanian dan dampak
akhirnya adalah menurunkan kemiskinan. Pengeluaran pemerintah untuk kegiatan
pengembangan dan R&D di sektor pertanian juga memiliki andil yang besar
dalam meningkatkan produktivitas pertanian, GDP sektor pertanian dan
penurunan kemiskinan. Beberapa variabel lain yang juga berpengaruh signifikan
adalah pengeluaran investasi pemerintah untuk infrastruktur jalan, telekomunikasi
dan listrik.
Penelitian serupa juga telah banyak dilakukan di Indonesia. Hajiji (2010)
mengkaji keterkaitan pertumbuhan, ketimpangan dan kemiskinan di Provinsi Riau
menggunakan spesifikasi model yang dikembangkan oleh Wodon (1999). Hasil
temuan utamanya adalah pertumbuhan ekonomi menjadi variabel penting dalam
proses penurunan kemiskinan di Provinsi Riau. Namun, tingkat efektivitasnya
menjadi berkurang karena pertumbuhan yang dihasilkan juga menyebabkan
naiknya ketimpangan dalam distribusi pendapatan yang diterima oleh penduduk.
Siregar dan Wahyuniarti (2007) melakukan penelitian mengenai pengaruh
pertumbuhan ekonomi dan faktor lainnya terhadap kemiskinan di Indonesia.
Temuan yang diperoleh adalah pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan
terhadap penurunan jumlah penduduk miskin meskipun pengaruhnya relatif kecil.
Faktor yang memiliki pengaruh relatif besar dalam menurunkan kemiskinan
adalah tingkat pendidikan. Faktor lainnya yang berpengaruh adalah inflasi,
populasi penduduk, share sektor pertanian, dan sektor industri.
Hasil penelitian empiris di berbagai negara/wilayah termasuk Indonesia,
menunjukkan adanya keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi, ketimpangan
pendapatan dan pengentasan kemiskinan. Secara umum, ada tiga temuan utama,
yakni: pertumbuhan ekonomi menjadi determinan penting bagi pengentasan
kemiskinan; belum ada cukup bukti untuk menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi
43
Kultural
Tidak dianalisis dalam penelitianDianalisis dalam penelitian
Distribusi Pendapatan
Perluasan Kesempatan Kerjadan Pengangguran
Pertumbuhan Ekonomi danPendapatan Perkapita
Rekomendasi Kebijakan
Pengentasan Kemiskinan
Struktural
Permasalahan Kemiskinan Jawa Tengah
Tingkat Kemiskinan Tinggi (di atas sasaran MDG’s dan RPJM) Pola Kemiskinan antar Kabupaten/Kota Sangat Heterogen Pertumbuhan Tinggi, Distribusi Pendapatan Tidak Berubah Penurunan Kemiskinan Berjalan Lambat
Faktor Penyebab
Akumulasi Modal Fisik /Investasi
Modal Manusia (Tenaga Kerja, Pendidikan, dan Kesehatan)
Infrastruktur Perekonomian(Transportasi , Komunikasi dan Listrik)
Pengeluaran Pemerintah/BelanjaPembangunan
Keterbukaan Perekonomian
Tata Kelola Pemerintahan
memengaruhi distribusi pendapatan semakin merata atau semakin timpang;
perubahan distribusi pendapatan ke arah yang lebih merata memberikan dampak
yang positif bagi pengentasan kemiskinan.
2.8 Kerangka Pemikiran
Keragaman dalam potensi ekonomi, kualitas infrastruktur maupun sumber
daya manusia antar kabupaten/kota di Jawa Tengah menyebabkan keragaman
dalam struktur perekonomian dan pola kemiskinan. Pertumbuhan pendapatan
perkapita yang dihasilkan di level provinsi dan mayoritas kabupaten/kota sudah
cukup tinggi, namun pengentasan kemiskinan belum berjalan secara efektif dan
masih jauh di atas sasaran yang diharapkan. Fokus utama penelitian ini adalah
mengkaji hubungan antara pertumbuhan pendapatan perkapita, pengangguran
ketimpangan distribusi pendapatan, pengangguran dan kemiskinan serta
mengidentifikasi determinan yang memengaruhi penurunan kemiskinan melalui
variabel pertumbuhan, perluasan kesempatan kerja/pengangguran dan
ketimpangan pendapatan dengan pendekatan model ekonometrika. Secara umum
kerangka pemikiran dalam penelitian ini disusun dengan sistematika Gambar 12.
Gambar 12 Kerangka Pemikiran
44
2.9 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan latar belakang, permasalahan dan tinjauan pustaka, maka
beberapa hipotesis yang diuji melalui penelitian adalah sebagai berikut:
1. Pertumbuhan di Jawa Tengah selama 2004-2010 bersifat netral atau manfaat
hasil pertumbuhan telah dinikmati oleh penduduk pada semua golongan
pendapatan dengan proporsi yang sama.
2. Pertumbuhan stok kapita/investasi, jumlah pekerja menurut pendidikan, rata-
rata usia sekolah penduduk, kualitas infrastruktur transportasi dan listrik,
serta belanja pembangunan memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan
pendapatan perkapita.
3. Pertumbuhan jumlah angkatan kerja menurut pendidikan dan upah minimum
memiliki pengaruh positif terhadap peningkatan jumlah penganggur,
sementara pertumbuhan pendapatan perkapita dan investasi memiliki
pengaruh negatif terhadap perubahan jumlah penganggur.
4. Pertumbuhan pendapatan perkapita dan belanja pembangunan memiliki
pengaruh positif dalam mengurangi ketimpangan pendapatan, sementara
ketimpangan pendidikan dan perubahan indeks harga memiliki pengaruh
positif dalam meningkatkan ketimpangan dalam distribusi pendapatan.
5. Pertumbuhan pendapatan perkapita memiliki pengaruh positif dalam
mengurangi jumlah penduduk miskin, sementara indeks ketimpangan
pendapatan, jumlah penganggur dan indeks harga memiliki pengaruh positif
dalam meningkatkan jumlah penduduk miskin.
III. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian merupakan data sekunder yang
berasal dari beberapa sumber seperti BPS RI, BPS Provinsi Jawa Tengah dan
Kementrian Keuangan RI. Data pokok kemiskinan yang digunakan adalah jumlah
penduduk miskin yang sudah dihitung sampai level kabupaten/kota oleh BPS
sejak tahun 2004. Keterbatasan data kemiskinan di level kabupaten/kota belum
disajikan menurut wilayah perkotaan/perdesaan. Data pendapatan perkapita
penduduk dihitung dari PDRB kabupaten/kota, sedangkan data investasi
bersumber dari PDRB penggunaan yang diproksi dengan nilai Pembentukan
Modal Tetap Domestik Bruto (PMTDB).
Data ketimpangan pendapatan dan ketimpangan pendidikan yang diukur
dengan Gini rasio belum disajikan sampai level kabupaten/kota secara periodik,
sehingga untuk beberapa tahun harus dihitung terlebih dahulu menggunakan data
mentah hasil Susenas. Data Indeks Harga Konsumen (IHK) hanya tersedia di 4
kota inflasi, sehingga untuk memproksinya digunakan pendekatan deflator PDRB.
Deflator PDRB dihitung dari rasio antara PDRB atas dasar harga berlaku dengan
PDRB riil pada tahun yang sama.
Data kualitas sumber daya manusia (human capital) diproksi dengan rata-
rata usia lama sekolah penduduk berusia kerja berdasarkan estimasi dari hasil
Susenas. Data ketenagakerjaan terdiri dari jumlah angkatan kerja, penduduk
bekerja dan pencari kerja bersumber dari estimasi hasil Susenas dan dibedakan
menjadi tenaga terampil (berpendidikan SLTA ke atas) dan tidak terampil
(berpendidikan SLTP ke bawah). Data upah minimum bersumber dari
Disnakertrans kabupaten/kota. Data belanja pembangunan menggunakan realisasi
APBD kabupaten/kota yang bersumber dari Kementerian Keuangan. Kualitas
infrastruktur transportasi diproksi dengan data rasio panjang jalan terhadap luas
administrasi yang bersumber dari Dinas Pekerjaan Umum kabupaten/kota,
sedangkan infrastruktur listrik diproksi dengan jumlah Kwh energi listrik yang
terjual per penduduk yang bersumber dari Perusahaan Listrik Negara (PT PLN).
Beberapa data tersebut secara berkala telah disajikan dalam publikasi Daerah
46
Analisis Ekonometrika(Regresi Data Panel)
Analisis Tren Analisis Kuadran
Poverty Growth Curve (PGC)
Analisis Deskriptif
Rekomendasi Kebijakan
Dinamika Pertumbuhan, Pengangguran, KetimpanganPendapatan dan Kemiskinan
Determinan dan KeterkaitanPertumbuhan, Pengangguran, Ketimpangan dan Kemiskinan
1. Model Pertumbuhan2. Model Pengangguran3. Model Ketimpangan4. Model KemiskinanDinamika antar Waktu Dinamika antar Wilayah
Dalam Angka (DDA) kabupaten/kota dan provinsi. Jenis dan sumber data untuk
bahan kajian secara ringkas disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2 Jenis dan Sumber Data dalam Penelitian
Data Keterangan Sumber
Kemiskinan Persentase Penduduk Miskin (HCI) BPS Provinsi Jawa Tengah Ketimpangan Gini rasio BPS Provinsi Jawa Tengah Pertumbuhan Pertumbuhan PDRB perkapita BPS Provinsi Jawa Tengah Pendidikan Rata-rata Lama Sekolah Penduduk,
Ketimpangan Pendidikan BPS Provinsi Jawa Tengah, dihitung dari Susenas
Ketenagakerjaan Angkatan Kerja, Penduduk bekerja, Pencari Kerja, TPAK dan TPT
BPS Provinsi Jawa Tengah, dihitung dari Susenas
Penduduk Jumlah Penduduk Hasil Rebasing SP’2010, BPS Upah Upah Minimum Kabupaten/Kota Daerah Dalam Angka (DDA),
BPS Provinsi Jawa Tengah Belanja Publik Belanja Publik Pemerintah Kab/Kota Kementerian Keuangan Inflasi IHK, PDRB Deflator BPS Provinsi Jawa Tengah Investasi PMTDB PDRB Penggunaan BPS Provinsi Jawa Tengah Infrastruktur Panjang Jalan dan Jumlah Listrik Terjual Dinas PU dan PT PLN
3.2 Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian terdiri
dari analisis deskriptif dan regresi data panel. Analisis deskriptif digunakan untuk
mengkaji dinamika pertumbuhan, pengangguran, ketimpangan dan kemiskinan
antar waktu dan antar wilayah. Analisis regresi data panel digunakan untuk
mengkaji keterkaitan antara variabel pertumbuhan, pengangguran, ketimpangan
dan kemiskinan serta mengidentifikasi determinan dari setiap variabel. Prosedur
analisis secara ringkas disajikan dalam Gambar 13.
Gambar 13 Ringkasan Prosedur Analisis
47
3.2.1. Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif merupakan suatu metode analisis yang digunakan untuk
menggambarkan keadaan suatu hal atau fenomena secara umum. Tujuan dari
analisis deskriptif adalah untuk mempermudah penafsiran atau penjelasan. Dalam
penelitian ini, analisis deskriptif digunakan mengkaji dinamika pertumbuhan,
ketimpangan dan kemiskinan antar waktu dan antar wilayah serta sebagai
pendukung untuk mempertajam analisis regresi data panel. Beberapa teknik yang
digunakan berupa tabel, grafik dan analisis spasial berupa peta tematik disertai
dengan interpretasi dan argumentasi terhadap data yang disajikan. Analisis
deskriptif dengan tabulasi maupun grafis merupakan metode yang paling
sederhana tetapi memiliki kemampuan yang cukup kuat untuk menjelaskan
secara kualitatif hubungan antar peubah yang diamati.
Selain itu, juga digunakan analisis tren, kuadran dan analisis Poverty
Growth Curve (PGC). Tren perubahan variabel pertumbuhan, pengangguran,
ketimpangan dan kemiskinan dihitung dengan meregresikan perubahan setiap
variabel terhadap waktu yang diformulasikan sebagai 𝐿𝑛 𝑌𝑡 = 𝛼0 + 𝛼1𝑡
atau ∆𝑌𝑡 = 𝛼0 + 𝛼1𝑡. Komponen tren merupakan koefisien dari variabel waktu
(𝛼1). Analisis kuadran dengan metode scatterplot digunakan untuk mengkaji
hubungan antara dua variabel berdasarkan data kabupaten/kota dalam waktu yang
sama. Dalam penelitian ini analisis kuadran digunakan untuk mengkaji hubungan
antara pertumbuhan pendapatan perkapita dengan levelnya, pertumbuhan dengan
ketimpangan, ketimpangan dengan kemiskinan, serta pertumbuhan dengan
kemiskinan antar wilayah.
Analisis PGC digunakan untuk mengkaji keterkaitan antara pertumbuhan,
ketimpangan pendapatan dan kemiskinan melalui pendekatan kurva. Secara
umum, analisis ini menggunakan data pendapatan/pengeluaran perkapita setiap
individu yang diperoleh dari survei pengeluaran rumah tangga dalam dua periode
berbeda. Tahapan dalam analisis ini adalah membagi populasi penduduk menjadi
p persentil berdasarkan pendapatan/pengeluaran setiap individu seperti dalam
kurva Lorenz. Tahap selanjutnya adalah menghitung rata-rata pendapatan dari
setiap persentil selama selang dua periode dan menghitung pertumbuhan
pendapatan rata-rata dari setiap persentil. Plot pertumbuhan pendapatan dari
48
setiap persentil membentuk kurva PGC. Penentuan derajat pro poor dilakukan
dengan membandingkan pertumbuhan di setiap kelompok persentil, pada bagian
mana yang lebih dominan atau melihat slope dari kurva. Pertumbuhan bersifat
pro poor jika penduduk pada kelompok pendapatan terbawah secara dominan
menikmati hasil pertumbuhan dengan porsi yang lebih besar dibandingkan dengan
kelompok pendapatan yang lebih tinggi atau jika kurva memiliki slope menurun.
3.2.2 Analisis Regresi Data Panel
Analisis regresi data panel digunakan untuk mengkaji keterkaitan,
mengidentifikasi determinan dan pengaruh dari variabel pertumbuhan pendapatan
perkapita, pengangguran, ketimpangan terhadap pengentasan kemiskinan. Data
panel adalah data yang memiliki dimensi ruang dan waktu, yakni kombinasi
antara data cross section yang sama diobservasi menurut waktu atau time series
(Gujarati, 2004). Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time
series yang sama maka disebut sebagai balanced panel dan jika jumlah waktu
observasi berbeda untuk setiap unit cross section maka disebut unbalanced panel.
Baltagi (2005) mengungkapkan beberapa keunggulan dalam penggunaan
metode data panel sebagai berikut:
1) Mampu mengontrol heterogenitas individu karena estimasi dapat dilakukan
secara eksplisit dengan memasukkan unsur heterogenitas individu.
2) Mampu memberikan data yang informatif, mengurangi kolinearitas antar
peubah, meningkatkan derajat bebas dan lebih efisien.
3) Sangat baik digunakan dalam studi yang bersifat dynamics of adjustment,
sehingga sangat sesuai untuk mengukur perubahan dinamis karena berkaitan
dengan observasi cross section yang terjadi berulang.
4) Sangat baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang tidak mampu
dideteksi dalam data cross section saja atau data time series saja.
5) Dapat digunakan untuk mengkonstruksi dan menguji model perilaku yang
lebih kompleks dibandingkan dengan data cross section atau time series saja.
Penggunaan metode data panel juga memiliki beberapa keterbatasan terutama jika
pengumpulan data menggunakan metode survei. Beberapa keterbatasannya
adalah:
49
1) Permasalahan dalam desain survei panel, pengumpulan dan manajemen data
akibat besarnya unit observasi dalam data panel. Permasalahan tersebut
terkait dengan cakupan (coverage), nonresponse, kemampuan daya ingat
responden (recall), frekuensi dan waktu wawancara.
2) Distorsi kesalahan dalam pengamatan (measurement errors). Kesalahan
dalam pengukuran umumnya terjadi karena respon yang tidak sesuai,
pertanyaan yang tidak jelas, ketidaktepatan informasi, dan sebagainya.
3) Permasalahan selektivitas (selectivity) yang mencakup:
a. Self-selectivity: permasalahan karena data yang dikumpulkan untuk
penelitian tidak sepenuhnya dapat menangkap fenomena yang ada.
b. Non-response: permasalahan yang muncul dalam panel data ketika ada
ketidaklengkapan jawaban yang diberikan oleh responden.
c. Attrition: jumlah responden yang cenderung berkurang pada putaran
survei berikutnya akibat responden pindah, meninggal dunia atau biaya
menemukan responden yang terlalu tinggi
4) Dimensi waktu (time series) yang pendek. Jenis panel mikro biasanya
mencakup data tahunan yang relatif pendek untuk setiap individu.
5) Cross-section dependence. Fenomena ini dapat dijelaskan dengan contoh,
data panel yang sifatnya makro dengan unit observasi negara dan saling
memiliki ketergantungan antara negara. Jika series mencakup waktu yang
panjang maka akan mengabaikan cross-country dependence sehingga
menyebabkan penarikan kesimpulan yang salah (misleading inference).
Secara garis besar, pendekatan dalam analisis data panel dibedakan
menjadi dua, yaitu panel statis dan panel dinamis. Analisis data panel dinamis
dicirikan oleh regressor yang mengandung lag dari variabel tak bebas. Pemilihan
metode statis maupun dinamis sangat tergantung pada jenis variabel yang
digunakan dan pertimbangan hubungan secara ekonomi.
Data panel memiliki karakteristik jumlah unit cross section lebih dari 1
(N>1) dan unit time series lebih dari satu (T>1). Jika unit cross section sama
dengan satu (N=1) dan unit time series banyak (T>1) maka dikenal data time
series murni atau sebaliknya jika unit cross section banyak (N>1) dan unit time
series sama dengan satu (T=1) maka dikenal dengan struktur data cross section
50
murni. Pengamatan dengan analisis data cross section hanya dilakukan pada satu
titik waktu saja, sehingga perkembangan setiap unit individu tidak dapat diamati.
Sebaliknya, model time series menggunakan satu unit individu yang diamati
sepanjang waktu t sehingga menimbulkan permasalahan jika peubah yang
diobservasi merupakan data hasil agregasi karena memiliki kemungkinan untuk
menghasilkan estimasi yang bias. Analisis data panel mampu menggabungkan
keduanya untuk mereduksi kekurangan dari kedua jenis data.
Notasi yang digunakan dalam data panel terdiri dari dua subscript pada
setiap peubahnya. Misalkan 𝑦𝑖𝑡 merupakan nilai peubah tak bebas (dependent
variable), maka 𝑖 menyatakan unit cross section yang dapat berupa individu,
rumah tangga, perusahaan, wilayah, negara atau yang lainnya (𝑖 = 1,2, … ,𝑁) dan
𝑡 menyatakan unit waktu dalam bulan, triwulan, tahun atau yang lainnya (𝑡 =
1,2, … ,𝑇). Jika 𝐾 menyatakan jumlah peubah bebas yang masing-masing diberi
indeks antara 1, 2,…, K maka notasi 𝑋𝑖𝑡′ menyatakan nilai variabel penjelas ke-j,
unit individu ke-i pada waktu ke-t. Untuk mempermudah dalam mengorganisir
data panel maka dapat dituliskan ke dalam bentuk matriks sebagai berikut:
𝑦𝑖 =
𝑦𝑖1𝑦𝑖2⋮𝑦𝑖𝑇
; 𝑋𝑖 =
⎣⎢⎢⎡𝑋𝑖1
1 𝑋𝑖12 … 𝑋𝑖1𝐾
𝑋𝑖21 𝑋𝑖22 … 𝑋𝑖2𝐾⋮ ⋮ ⋱ ⋮𝑋𝑖𝑇1 𝑋𝑖𝑇2 … 𝑋𝑖𝑇𝐾 ⎦
⎥⎥⎤ ; 𝜀𝑖 =
𝜀𝑖1𝜀𝑖2⋮𝜀𝑖𝑇
(3.1)
𝑦𝑖 menyatakan nilai peubah tak bebas ke-i pada period ke-t; 𝑋𝑖 menyatakan nilai
peubah bebas ke-i pada period ke-t; 𝜀𝑖 menyatakan gangguan acak unit ke- 𝑖 pada
waktu ke- 𝑡. Struktur data panel dengan jumlah peubah bebas sebanyak K adalah:
⎣⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎡𝑋111 𝑋211 … 𝑋𝐾11𝑋112 𝑋212 … 𝑋𝐾12⋮ ⋮ ⋱ ⋮
𝑋11𝑇 𝑋21𝑇 … 𝑋𝐾1𝑇𝑋121 𝑋221 … 𝑋𝐾21𝑋122 𝑋222 … 𝑋𝐾22⋮ ⋮ ⋱ ⋮
𝑋12𝑇 𝑋22𝑇 … 𝑋𝐾2𝑇⋮ ⋮ ⋮ ⋮
𝑋1𝑁1 𝑋2𝑁1 … 𝑋𝐾𝑁1𝑋1𝑁2 𝑋2𝑁2 … 𝑋𝐾𝑁2⋮ ⋮ ⋱ ⋮
𝑋1𝑁𝑇 𝑋2𝑁𝑇 … 𝑋𝐾𝑁𝑇⎦⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎤
Individu ke-1
Individu ke-2
Individu ke-N
Periode ke-1 Periode ke-2
Periode ke-T
Variabel ke-1 Variabel ke-K
51
Penulisan notasi matrik dalam persamaan (3.1) dapat disederhanakan menjadi:
𝑦 =
𝑦1𝑦2⋮𝑦𝑁
; 𝑋 =
𝑋1𝑋2⋮𝑋𝑁
; 𝜀 =
𝜀1𝜀2⋮𝜀𝑁
(3.2)
𝑦 adalah matriks berukuran NTx1, 𝑋 adalah martiks berukuran NTxK dan 𝜀
adalah matriks berukuran NTx1. Model standar regresi data panel linier dapat
dituliskan sebagai:
𝑦𝑖𝑡 = 𝑋𝑖𝑡′ 𝛽 + 𝜀𝑖𝑡 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑦 = 𝑋′𝛽 + 𝜀 (3.3)
β merupakan matriks berukuran NT x1 yang dapat diekspresikan sebagai:
𝛽 =
𝛽1𝛽2⋮𝛽𝑁
(3.4)
3.2.3 Regresi Data Panel Statis
Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengestimasi
parameter dalam model regresi data panel statis, yakni Pooled Least Square
Estimator (PLS), metode efek tetap atau Fixed Effects Model (FEM) dan metode
efek random atau Random Effects Model (REM). Metode yang paling sederhana
digunakan adalah PLS atau dikenal sebagai metode kuadrat terkecil seperti yang
digunakan pada model cross section dan time series murni. Karena data panel
memiliki jumlah observasi lebih banyak dibandingkan data cross section dan time
series murni, maka ketika data digabungkan menjadi pool data regresi yang
dihasilkan cenderung lebih baik dibandingkan dengan regresi yang menggunakan
data cross section dan time series murni. Meskipun demikian, penggabungan data
akan menyebabkan variasi atau perbedaan keragaman baik antara individu
maupun antar waktu menjadi tidak dapat dibedakan. Permasalahan ini kurang
sesuai dengan tujuan penggunaan metode data panel, sehingga untuk banyak
kasus penduga least square dapat menjadi bias akibat kesalahan spesifikasi data.
Permasalahan tersebut dapat diatasi melalui dua pendekatan metode data
panel yang lain, yakni FEM dan REM. Kedua metode dibedakan berdasarkan
asumsi ada atau tidaknya korelasi antara komponen error dengan peubah bebas
(regressor). Dalam bentuk umum persamaan regresi data panel 𝑦𝑖𝑡 = 𝑋𝑖𝑡′ 𝛽 +
52
𝜀𝑖𝑡 , komponen error atau gangguan acak one way error component model,
dispesifikasikan sebagai:
𝜀𝑖𝑡 = 𝛼𝑖 + 𝑢𝑖𝑡 (3.5)
Untuk two way error component model, komponen error atau gangguan acak
dispesifikasikan sebagai:
𝜀𝑖𝑡 = 𝛼𝑖 + 𝛾𝑡+𝑢𝑖𝑡 (3.6)
Error term dalam pendekatan one way error component model hanya mencakup
komponen error dari efek dari individu (𝛼𝑖). Pada two way error component
model, komponen error term juga mencakup efek waktu (𝛾𝑡). Perbedaan antara
FEM dan REM terletak pada ada atau tidaknya korelasi antara efek individu
𝛼𝑖 dan/atau efek waktu 𝛾𝑡 dengan variabel bebas 𝑋𝑖𝑡. Untuk menentukan
penggunaan metode FEM atau REM dilakukan dengan uji Hausman.
3.2.3.1 Fixed Effect Model (FEM)
Apabila 𝛼𝑖 diperlakukan sebagai parameter tetap atau konstanta dan
nilainya bervariasi untuk setiap individu ke-i (i= 1, 2,…, N), maka model ini
disebut sebagai FEM. Pendekatan FEM mengasumsikan efek individu dan
variabel bebas memiliki korelasi atau memiliki pola yang sifatnya tidak acak.
Asumsi ini membuat komponen error dari efek individu dan waktu dapat menjadi
bagian dari intersep. Pada umumnya pendekatan FEM terjadi ketika jumlah
individu N relatif kecil dan periode waktu T relatif besar. Secara umum
persamaan FEM dapat diekspresikan dalam persamaan berikut:
untuk one way error component model:
𝑦𝑖𝑡 = 𝛼𝑖 + 𝑋𝑖𝑡′ 𝛽 + 𝑢𝑖𝑡 (3.7)
untuk two way error component model:
𝑦𝑖𝑡 = 𝛼𝑖 + 𝛾𝑡 + 𝑋𝑖𝑡′ 𝛽 + 𝑢𝑖𝑡 (3.8)
dengan asumsi bahwa 𝑢𝑖𝑡~𝑖𝑖𝑑(𝑜,𝜎𝑢2) dan 𝑋𝑖𝑡′ memiliki korelasi dengan 𝛼𝑖.
Pendugaan parameter dalam metode FEM dapat dilakukan dengan beberapa cara.
a. Pendekatan Pooled Least Square (PLS)
Pendekatan PLS dilakukan dengan menggunakan data gabungan (pooled)
antara N unit cross section dan T unit time series sehingga akan diperoleh
53
NxT observasi. Untuk one way error component model dalam persamaan
𝑦𝑖𝑡 = 𝛼𝑖 + 𝑋𝑖𝑡𝛽 + 𝑢𝑖𝑡 dengan 𝛼𝑖 bersifat konstan untuk semua observasi atau
𝛼𝑖 = 𝛼, maka estimasi parameter dapat diekspresikan sebagai:
=1𝑁𝑇∑ ∑ (𝑋𝑖𝑡 − 𝑋)(𝑦𝑖𝑡 − 𝑦)𝑇
𝑡=1𝑁𝑖=1
1𝑁𝑇∑ ∑ (𝑋𝑖𝑡 − 𝑋)(𝑋𝑖𝑡 − 𝑋)𝑇
𝑡=1𝑁𝑖=1
=∑ ∑ 𝑥𝑖𝑡𝑇
𝑡=1𝑁𝑖=1 𝑦𝑖𝑡∑ ∑ 𝑥𝑖𝑡2𝑇
𝑡=1𝑁𝑖=1
(3.9)
𝛼 = 𝑦 − 𝑋 (3.10)
dimana:
𝑥𝑖𝑡 = 𝑋𝑖𝑡 − 𝑋 ; 𝑦𝑖𝑡 = 𝑦𝑖𝑡 − 𝑦 𝑑𝑎𝑛
𝑋 = 1𝑁𝑇∑ ∑ 𝑋𝑖𝑡𝑇
𝑡=1𝑁𝑖=1 ; 𝑦 = 1
𝑁𝑇∑ ∑ 𝑦𝑖𝑡𝑇
𝑡=1𝑁𝑖=1
Penggabungan data cross section dan time series akan meningkatkan derajat
bebas, sehingga hasil estimasi akan lebih efisien, yakni dengan varian:
𝑣𝑎𝑟 =𝑣𝑎𝑟 (𝑢𝑖𝑡)
∑ ∑ 𝑥𝑖𝑡2𝑇𝑡=1
𝑁𝑖=1
(3.11)
Kelemahan pendekatan PLS adalah menghasilkan dugaan parameter () yang
bias. Hal ini ditunjukkan slope yang tidak sejajar dengan garis regresi untuk
masing-masing individu (Gambar 14). Parameter tersebut bias, karena tidak
dapat membedakan observasi yang berbeda pada periode yang sama atau tidak
dapat membedakan observasi yang sama pada periode yang berbeda.
Gambar 14 Estimasi Dengan Pendekatan Pooled Least Square
b. Pendekatan Within Group (WG)
Pendekatan ini digunakan untuk mengatasi bias pada metode PLS,
menggunakan data deviasi dari rata-rata individu. Jika didefinisikan:
Grup 2
Sumber: Firdaus, 2011
Grup 1
Slope yang bias ketikafixed effect diabaikan
54
𝑥𝑖𝑡∗ = 𝑋𝑖𝑡 − 𝑋𝑖 ; 𝑋𝑖 = 1𝑇∑ ∑ 𝑋𝑖𝑡𝑇
𝑡=1𝑁𝑖=1
𝑦𝑖𝑡∗ = 𝑦𝑖𝑡 − 𝑦𝑖 ; 𝑦𝑖 = 1𝑇∑ ∑ 𝑦𝑖𝑡𝑇
𝑡=1𝑁𝑖=1
𝑦𝑖𝑡 = 𝛼𝑖 + 𝑋𝑖𝑡𝛽 + 𝑢𝑖𝑡 ; 𝑦𝑖 = 𝛼𝑖 + 𝑋𝑖′𝛽 + 𝑢𝑖
maka akan diperoleh persamaan:
𝑦𝑖𝑡 − 𝑦𝑖 = (𝛼𝑖 − 𝛼𝑖) + (𝑋𝑖𝑡 − 𝑋𝑖)′𝛽 + (𝑢𝑖𝑡 − 𝑢𝑖 ) 𝑎𝑡𝑎𝑢
𝑦𝑖𝑡∗ = 𝑥𝑖𝑡∗′ 𝛽 + 𝑢𝑖𝑡∗ (3.12)
Penduga untuk parameter 𝛽 diformulasikan sebagai:
𝑊𝐺 =∑ ∑ (𝑋𝑖𝑡 − 𝑋𝑡)(𝑦𝑖𝑡 − 𝑦𝑡)𝑇
𝑡=1𝑁𝑖=1
∑ ∑ (𝑋𝑖𝑡 − 𝑋𝑡)(𝑋𝑖𝑡 − 𝑋𝑡)′𝑇𝑡=1
𝑁𝑖=1
=∑ ∑ 𝑥𝑖𝑡∗𝑇
𝑡=1𝑁𝑖=1 𝑦𝑖𝑡∗
∑ ∑ 𝑥𝑖𝑡∗2𝑇
𝑡=1𝑁𝑖=1
(3.13)
Berdasarkan persamaan (3.12) terlihat bahwa FEM dengan pendekatan within
group tidak memiliki intersep (Gambar 15). Kelebihan pendekatan WG
mampu menghasilkan dugaan yang tidak bias, namun memiliki kelemahan
menghasilkan dugaan yang tidak efisien atau memiliki varians besar.
Gambar 15 Estimasi Dengan Pendekatan Within Group (WG)
c. Pendekatan Least Square Dummy Variable (LSDV)
Pendekatan LSDV memiliki tujuan untuk merepresentasikan perbedaan
intersep melalui peubah dummy. Pendekatan ini dapat diilustrasikan dengan
menambahkan peubah dummy 𝑑𝑔𝑖𝑡 = 1 dengan nilai 𝑔 = 𝑖 ke dalam
persamaan (3.7) sehingga dapat dituliskan menjadi:
𝑦𝑖𝑡 = 𝛼1𝑑1𝑖𝑡 + 𝛼2𝑑2𝑖𝑡 + ⋯+ 𝛼𝑁𝑑𝑁𝑖𝑡 + 𝑋𝑖𝑡′ 𝛽 + 𝑢𝑖𝑡 atau
𝑦𝑖𝑡 = ∑ 𝛼𝑔𝑑𝑔𝑖𝑡𝑁𝑔=1 + 𝑋𝑖𝑡′ 𝛽 + 𝑢𝑖𝑡 (3.14)
Grup 2
Sumber: Firdaus, 2011
Grup 1
55
Dengan menggunakan metode OLS parameter dalam persamaan (3.14) dapat
diestimasi sehingga diperoleh dugaan parameter 𝛽𝐿𝑆𝐷𝑉. Kelebihan pendekatan
LSDV adalah mampu menghasilkan dugaan parameter 𝛽 yang tidak bias dan
efisien, tetapi memiliki kelemahan jika unit observasinya besar. Pengujian
intersep dapat dilakukan menggunakan uji F dengan hopotesis sebagai berikut:
H0 : 𝛼1 = 𝛼2 = ⋯ = 𝛼𝑁
H1 : minimal ada satu dari 𝛼𝑖 yang tidak sama
Hipotesis tersebut dapat digunakan untuk menguji penggunaan metode yang
terbaik antara PLS dan LSDV. Statistik uji yang digunakan adalah:
𝐹 =𝑅𝐷𝑉2 − 𝑅𝑝2
1 − 𝑅𝐷𝑉2𝑁𝑇 − 𝑁 − 𝑘
𝑁 − 1 (3.15)
dimana:
𝑅𝐷𝑉2 : koefisien determinasi LSDV; 𝑅𝑝2 : koefisien determinasi Pooled;
𝑘 : jumlah variabel; N : unit individu; T: waktu
Jika F-hitung > F-tabel maka keputusan untuk menolak H0 signifikan,
sehingga minimal ada satu nilai dugaan koefisien dari 𝛼𝑖 yang tidak sama dan
LSDV merupakan metode estimasi yang sesuai. Sebaliknya jika penolakan
H0 tidak signifikan maka PLS merupakan metode yang lebih sesuai.
d. Pendekatan Two Way Error Component Fixed Effect Model
Hal yang mendasari pendekatan Two Way Error Component (FEM) adalah
adanya fakta bahwa fixed effects tidak hanya bersumber dari variasi antar
individu tetapi juga berasal dari variasi antar waktu atau time effect. Model
dasar yang digunakan adalah persamaan (3.8) 𝑦𝑖𝑡 = 𝛼𝑖 + 𝛾𝑡 + 𝑋𝑖𝑡′ 𝛽 + 𝑢𝑖𝑡
dimana 𝛾𝑡 merepresentasikan variasi antar waktu. Dengan mengasumsikan
pengaruh individu (𝛼𝑖) dan pengaruh waktu (𝛾𝑡) berbeda, maka dengan
menambahkan peubah dummy sebanyak 𝑑𝑠𝑖𝑡 = 1 (𝑠 = 𝑡) dan 𝑑𝑔𝑖𝑡 = 1 (𝑔 =
𝑖) ke dalam persamaan (3.8) akan diperoleh persamaan:
𝑦𝑖𝑡 = 𝛼1𝑑1𝑖𝑡 + 𝛼2𝑑2𝑖𝑡 + ⋯+ 𝛼𝑁𝑑𝑁𝑖𝑡 + 𝛾2𝑧2𝑖𝑡 + 𝛾3𝑧3𝑖𝑡 + ⋯+
𝛾𝑇𝑧𝑇𝑖𝑡 + 𝑋𝑖𝑡′ 𝛽 + 𝑢𝑖𝑡 (3.16)
Penambahan variabel dummy akan menyebabkan berkurangnya derajat bebas
yang akan mengurangi efisiensi dari dugaan parameter.
56
3.2.3.2 Random Effect Model (REM)
Pendekatan REM muncul dengan asumsi efek individu (𝛼𝑖) dan peubah
bebas tidak memiliki korelasi atau 𝛼𝑖 diperlakukan sebagai parameter random.
Asumsi tersebut membuat komponen efek individu maupun efek waktu
dimasukkan ke dalam error term. Pendekatan REM umumnya digunakan bila
unit cross section N relatif besar dan unit time series T relatif kecil. Secara
umum bentuk model REM dapat diekspresikan dalam persamaan berikut:
𝑦𝑖𝑡 = 𝜇 + 𝑋𝑖𝑡′ 𝛽 + 𝑢𝑖𝑡 + 𝜏𝑖 (3.17)
𝜏𝑖 = 𝜆𝑖 untuk one way error component model dan 𝜏𝑖 = 𝜆𝑖 + 𝛾𝑡 untuk two way
error component model serta menggunakan asumsi 𝑢𝑖𝑡~𝑖𝑖𝑑(𝑜,𝜎𝑢2) dan
𝜏𝑖~𝑖𝑖𝑑(𝑜,𝜎𝜏2). Beberapa asumsi yang digunakan dalam REM adalah:
𝐸(𝑢𝑖𝑡|𝜏𝑖) = 0 (3.18) 𝐸(𝑢𝑖𝑡2 𝜏𝑖) = 𝜎𝑢2 (3.19) 𝐸(𝜏𝑖|𝑥𝑖𝑡) = 0 (3.20) 𝐸(𝜏𝑖2𝑥𝑖𝑡) = 𝜎𝜏2 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑖, 𝑡 (3.21)
𝐸𝑢𝑖𝑡 𝜏𝑗 = 0 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑖, 𝑡, 𝑗 (3.22)
𝐸𝑢𝑖𝑡 𝑢𝑗𝑠 = 0 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑖 ≠ 𝑗 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑡 ≠ 𝑠 (3.23)
𝐸𝜏𝑖 𝜏𝑗 = 0 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑖 ≠ 𝑗 (3.24)
Asumsi yang terpenting diantara semua asumsi dalam REM adalah nilai
harapan dari 𝑥𝑖𝑡 untuk setiap 𝜏𝑖 adalah nol atau 𝐸(𝜏𝑖|𝑥𝑖𝑡) = 0 atau tidak ada
korelasi antara variabel independen dengan 𝜏𝑖. Estimator dalam REM dapat
dilakukan melalui dua pendekatan yakni:
a. Pendekatan Between Estimator (BE)
Pendekatan ini berkaitan dengan dimensi antar data (differences between
individual) yang ditentukan seperti metode estimasi OLS pada sebuah model
regresi dari rata rata individu 𝑦 dalam nilai 𝑥 secara individu. BE konsisten
untuk N tak terhingga, dengan asumsi tidak ada korelasi antara peubah bebas
dengan error term atau 𝐸(𝑥𝑖𝑡 , 𝜀𝑖) = 0 dan rata-rata sisaan sama dengan nol.
b. Pendekatan Generalized Least Square (GLS)
Pendekatan generalized least square (GLS) merupakan metode pendugaan
yang sering digunakan dalam REM. Pendekatan ini mengkombinasikan
57
dimensi antar (between) dan dalam (within) data secara efisien. GLS
dipandang sebagai rata-rata terbobot dari estimasi between dan within dalam
sebuah regresi. Apabila bobot yang dihitung tetap, maka estimator yang
diperoleh merupakan random effect estimator.
Berdasarkan persamaan (3.17) 𝑦𝑖𝑡 = 𝜇 + 𝑋𝑖𝑡′ 𝛽 + 𝑢𝑖𝑡 + 𝜏𝑖 maka kombinasi
error dapat ditulis menjadi 𝜔𝑖𝑡 = 𝑢𝑖𝑡 + 𝜏𝑖 dengan beberapa asumsi berikut:
𝐸(𝜔𝑖𝑡) = 0 (3.25)
𝐸(𝜔𝑖𝑡2 ) = 𝜎𝑢2 + 𝜎𝜏2 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑖, 𝑡 (3.26)
𝐸(𝜔𝑖𝑡𝜔𝑖𝑠) = 𝜎𝜏2 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑡 ≠ 𝑠 (3.27)
𝐸𝜔𝑖𝑡𝜔𝑗𝑠 = 0 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑖 ≠ 𝑗 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑡 ≠ 𝑠 (3.28)
Apabila gangguan sejumlah T untuk individu i dikumpulkan dalam bentuk
vektor 𝜔𝑖𝑡 = (𝜔𝑖1,𝜔𝑖2, … ,𝜔𝑖𝑇)′ maka dapat dituliskan bahwa:
𝐸(𝜔𝑖𝜔𝑖′) = Ω atau 𝑍𝜆𝐸(𝑢𝑖𝑢𝑖′)𝑍𝜆′ + 𝐸(𝜆𝑖𝜆𝑖′) = Ω (3.29)
Ω dapat dituliskan dalam bentuk matriks varians-kovarians sebagai berikut:
Ω =
⎣⎢⎢⎢⎡𝜎𝑢
2 + 𝜎𝜏2 𝜎𝜏2 𝜎𝜏2 … 𝜎𝜏2
𝜎𝜏2 𝜎𝑢2 + 𝜎𝜏2 𝜎𝜏2 … 𝜎𝜏2
𝜎𝜏2 𝜎𝜏2 𝜎𝑢2 + 𝜎𝜏2 … 𝜎𝜏2⋮ ⋮ ⋮ ⋱ ⋮𝜎𝜏2 𝜎𝜏2 𝜎𝜏2 … 𝜎𝑢2 + 𝜎𝜏2⎦
⎥⎥⎥⎤
(3.30)
Matriks tersebut juga dapat diartikan sebagai koefisien korelasi antara 𝑢𝑖𝑡 dan
𝑢𝑗𝑠 yang diformulasikan sebagai berikut:
𝜌 = 𝑐𝑜𝑟𝑟𝑒𝑙𝑢𝑖𝑡 ,𝑢𝑗𝑠 = 1 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑖 = 𝑗, 𝑡 = 𝑠
= 𝜎𝑢2/(𝜎𝑢2 + 𝜎𝜏2) 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑖 ≠ 𝑗 , 𝑡 ≠ 𝑠 (3.31)
Untuk keseluruhan observasi panel maka matriks kovarian error 𝜔𝑖𝑡 =
(𝜔𝑖1,𝜔𝑖2, … ,𝜔𝑖𝑇)′ dapat diturunkan sebagai:
𝑉𝑁𝑇𝑥𝑁𝑇 =
⎣⎢⎢⎢⎡Ω 0 0 … 00 Ω 0 … 𝑣0 0 Ω … 0⋮ ⋮ ⋮ ⋱ ⋮0 0 0 … Ω⎦
⎥⎥⎥⎤
= 𝐼𝑁 ⊗ Ω (3.32)
𝐼𝑁 menyatakan matriks identitas berdimensi N dan ⊗ merepresentasikan
Kronecker product. Misalkan dalam persamaan (3.7) 𝑦𝑖𝑡 = 𝛼𝑖 + 𝑋𝑖𝑡′ 𝛽 + 𝑢𝑖𝑡 ,
58
𝑌 direpresentasikan sebagai vektor stack dari 𝑦𝑖𝑡 yang dibentuk dengan pola
yang sama dengan 𝜔 (dengan struktur yang sama untuk X), maka sistem
persamaan secara keseluruhan dituliskan sebagai:
𝑌 = 𝑋𝛽 + 𝜔 (3.33)
Estmasi menggunaan metode GLS untuk persamaan ini memerlukan
transformasi untuk menghilangkan struktur yang tidak baku dari matriks
kovarian 𝐸(𝜔𝑖𝜔𝑖′) = Ω . Dengan mendefinisikan matriks penimbang P = ΩP
-
1/2 dan mengalikannya ke kedua ruas pada persamaan (3.34) diperoleh hasil
transformasi sebagai berikut:
𝑃𝑌 = 𝑃𝑋𝛽 + 𝑃𝜔 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑌∗ = 𝑋∗𝛽 + 𝜔∗ (3.34)
𝐸(𝜔∗𝜔∗) = 𝐸(𝑃𝜔𝜔′𝑃) = 𝑃𝐸(𝜔𝜔′)𝑃 = 𝑃Ω𝑃 = 𝐼𝑁𝑇 (3.35)
Penduga metode GLS pada persamaan regresi (3.34) dapat dituliskan sebagai
berikut:
𝐺𝐿𝑆 = (𝑋′Ω−1𝑋)−1𝑋′Ω−1𝑌 (3.36)
3.2.4 Pemilihan Model (Hausman Test)
Pemilihan metode yang sesuai apakah FEM atau REM dapat dilakukan
melalui pengujian terhadap asumsi ada tidaknya korelasi antara peubah bebas dan
efek individu. Pengujian asumsi dapat dilakukan dengan uji Hausman. Hipotesis
dalam pengujian dirumuskan sebagai berikut:
H0 : 𝐸(𝜏𝑖|𝑥𝑖𝑡) = 0 atau REM adalah model yang tepat
H1 : 𝐸(𝜏𝑖|𝑥𝑖𝑡) ≠ 0 atau FEM adalah model yang tepat
Dasar pengambilan keputusan yntuk menolak H0 menggunakan statistik Hausman
dan dibandingkan dengan nilai Chi square tabel. Statistik Hausman dirumuskan
dengan:
𝐻 = (𝛽𝑅𝐸𝑀 − 𝛽𝐹𝐸𝑀)′(𝑀𝐹𝐸𝑀 − 𝛽𝑅𝐸𝑀)−1(𝛽𝑅𝐸𝑀 − 𝛽𝐹𝐸𝑀) ~ 𝜒2(𝑘) (3.37)
dimana: M adalah matriks kovarians β dan k adalah degrees of freedom
Jika nilai H hasil pengujian lebih besar dari χ2 tabel, keputusan untuk menolak H0
adalah signifikan, sehingga model yang digunakan adalah FEM. Sebaliknya, jika
keputusan menolak H0 tidak signifikan maka penggunaan REM lebih sesuai.
59
Hsiao dalam Baltagi (2005) menyatakan ketika uji pemilihan FEM atau
REM tidak dapat ditentukan secara teoritis maka dapat ditentukan berdasarkan
keadaan datanya, apakah berupa data sampel atau populasi. Metode REM
digunakan jika data diambil dari sampel individu atau beberapa individu yang
dipilih secara acak untuk menarik kesimpulan tentang populasinya. Namun, jika
evaluasi meliputi seluruh individu dalam populasi atau hanya meliputi beberapa
individu dengan penekanan pada individu-individu tersebut maka lebih baik
menggunakan FEM.
3.2.5 Persamaan Simultan dengan Error Component
Penggunaan metode PLS, FEM atau REM satu tahap tidak dapat
digunakan untuk mengestimasi persamaan yang mengandung bias simultan.
Permasalahan endogenity terjadi ketika memasukkan variabel endogen ke sisi
kanan persamaan, yakni berupa korelasi antara variabel endogen di sisi kanan
dengan komponen sisaan. Permasalahan endogenity menyebabkan estimasi
dengan OLS menjadi tidak konsisten, sehingga diperlukan metode instrument
variable (IV) seperti two-stage least square (2SLS) untuk menghasilkan dugaan
yang konsisten.
Variabel yang digunakan dalam persamaan simultan dibedakan menjadi
beberapa jenis, yakni variabel endogen yang nilainya ditentukan oleh persamaan
struktural dan variabel predetermined yang nilainya sudah ditentukan terlebih
dahulu. Variabel predetermined terbagi menjadi dua, variabel eksogen yang
nilainya sepenuhnya ditentukan dari luar model persamaan dan variabel lagged
endogen yang nilainya ditentukan di dalam persamaan struktural berdasarkan nilai
yang telah lalu (Juanda, 2009).
Tahapan dalam analisis persamaan simultan diawali dengan menentukan
spesifikasi model berdasarkan hubungan dalam teori ekonomi serta penelitian
terdahulu. Tahap selanjutnya adalah mengidentifikasi model tersebut berdasarkan
order condition dan rank condition. Identifikasi berguna untuk menentukan
metode estimasi yang sesuai. Persamaan teridentifikasi jika bersifat exactly
identified atau over identified, sehingga akan menghasilkan dugaan parameter
yang unik.
60
Kondisi order (order condition) didasarkan atas kaidah penghitungan
variabel yang dimasukkan dan dikeluarkan dari suatu persamaan tertentu. Cara
yang dilakukan adalah menguji persamaan struktural dengan mengelompokkan
terlebih dahulu persamaan persamaan tersebut ke dalam jumlah total persamaan
struktural (total variabel endogen) dan dinyatakan dengan G, jumlah variabel
dalam model (dinyatakan dengan K, dan jumlah variabel dalam persamaan yang
diidentifikasi yang dinyatakan dengan M. Identifikasi dengan order condition
diekspresikan dengan (K-M) ≥ (G-I) dan akan menghasilkan tiga alternatif kondisi
identifikasi yakni:
1) (K-M) < (G-1), maka persamaan disebut under identified
2) (K-M) = (G-1), maka persamaan disebut just identified
3) (K-M) > (G-1) maka persamaan disebut over identified.
Jika persamaan bersifat under identified maka tidak dapat diestimasi, jika
just identified dapat diestimasi menggunakan metode ILS dan jika over identified
tersebut dapat diestimasi dengan metode 2SLS atau 3SLS. Baltagi (2005)
memberikan alternatif penduga 2SLS untuk menduga persamaan simultan dalam
bentuk data panel dengan pendekatan metode 2SLS konvensional (Panel 2SLS)
atau Fixed Effect Two Stage Least Square (Within 2SLS/W2SLS) maupun
penduga Random Effect Two Stage GLS (EC2SLS/Error Component 2SLS).
3.2.6 Pengujian Parameter Model
Pengujian parameter model bertujuan untuk mengetahui kelayakan model
dan apakah koefisien yang diestimasi telah sesuai dengan teori atau hipotesis.
Pengujian parameter terdiri dari uji koefisien regresi secara menyeluruh (F-
test/uji F) dan uji koefisien regresi secara parsial (uji t).
Uji-F
Uji-F digunakan untuk melakukan uji hipotesis koefisien (slope) regresi atau
parameter model secara menyeluruh/bersamaan. Kriteria pengujiannya adalah
jika nilai nilai F observasi > F tabel atau nilai probabilitas F-statistic < taraf nyata
(α), maka keputusan menolak H0 signifikan. Dengan menolak H0 berarti minimal
ada satu peubah bebas yang berpengaruh nyata terhadap peubah tak bebas.
61
Uji-t
Setelah melakukan uji koefisien regresi secara keseluruhan, maka langkah
selanjutnya adalah menguji koefisien regresi secara parsial menggunakan uji-t.
Hipotesis pada uji-t adalah H0 : βi = 0 vs H1 : βi ≠ 0. Keputusan dalam pengujian
ini dilakukan dengan membandingkan nilai t-hitung dengan t-tabel atau dengan
melihat nilai probabilitas dari t-hitung. Jika nilai t-hitung > t-tabel atau jika nilai
probabilitas t < α=0,05 maka keputusan menolak H0 adalah signifikan dan
peubah bebas secara parsial peubah bebas memengaruhi peubah tak bebas.
Validasi Model
Selain pengujian parameter, kelayakan model dapat diketahui dengan pengujian
validasi. Validasi model bertujuan untuk mengetahui apakah model mampu
merepresentasikan kondisi dunia nyata, dengan membandingkan nilai dugaan
dengan nilai aktual. Beberapa pengujian validasi model yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Uji Theil’s (Theil’s Inequality Coefficient), Root Mean
Squares Percent Error (RMSPE) dan Koefisien Determinasi (R2).
Koefisien determinasi (Goodness of Fit) merupakan suatu ukuran yang penting
dalam regresi, karena dapat menginformasikan baik atau tidaknya model regresi
hasil estimasi. Nilai R2 mencerminkan seberapa besar variasi dari peubah bebas Y
dapat diterangkan oleh peubah tak bebas X. Jika R2 = 0, maka variasi dari Y
tidak dapat diterangkan oleh X sama sekali, namun jika R2 = 1 maka variasi dari Y
secara keseluruhan dapat diterangkan oleh X. Semakin tinggi nilai koefisien
determinasi maka model akan semakin baik, namun kriteria R2 hanya dapat
digunakan pada model yang diestimasi dengan OLS.
Nilai Theil’s berkisar antara 0 sampai 1, dengan kriteria semakin mendekati nol
maka model semakin baik. Nilai statistik Theil’s dirumuskan sebagai berikut:
𝑈 =1𝑛∑ (𝑌𝑡𝑠 − 𝑌𝑡𝑎)2𝑛
𝑡=1
1𝑛∑ (𝑌𝑡𝑠)2𝑛
𝑡=1 + 1𝑛∑ (𝑌𝑡𝑎)2𝑛
𝑡=1
(3.38)
Nilai EMSPE dirumuskan sebagai berikut:
𝑅𝑀𝑆𝑃𝐸 = 1𝑛∑ 𝑌𝑡
𝑠−𝑌𝑡𝑎
𝑌𝑡𝑎
2𝑛𝑡=1 (3.39)
62
keterangan:
𝑌𝑡𝑠 = nilai hasil simulasi dasar dari variabel yang diobservasi
𝑌𝑡𝑎 = nilai aktual variabel yang diobservasi
Model dinyatakan valid apabila memiliki nilai RMSPE di bawah 100. Sedangkan
koefisien determinasi dinyatakan valid apabila nilainya mendekati 1.
3.2.7 Pengujian Asumsi
Jika model yang terpilih berdasarkan uji Hausman adalah REM maka
estimasi dari model diasumsikan best linier unbiased estimator (BLUE) dan tidak
perlu dilakukan pengujian terhadap tiga asumsi utama model BLUE (non-
multicolinierity, homoskedasticity, dan non-autocorelation). Hal ini dikarenakan
dua alasan, yaitu: (i) sifat data panel adalah bebas dari gejala multikolinieritas;
dan (ii) REM adalah model generalized least square (GLS) dan estimasi dengan
menggunakan GLS secara otomatis sudah mampu mengurangi gejala autokorelasi,
bahkan terbebas dari gejala heteroskedastisitas yang disebabkan variansi sisaan
tidak konstan (Gujarati, 2004).
Jika model yang terpilih adalah FEM maka perlu dilakukan pengujian
terhadap asumsi sisaan, sebagai berikut:
Uji Homoskedastisitas
Asumsi pertama yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah bahwa
taksiran parameter dalam model regresi bersifat BLUE maka varian (ui) harus
sama dengan σ2 (konstan), atau semua residual atau error memiliki varian yang
sama. Kondisi itu disebut dengan homoskedastisitas. Apabila varian tidak
konstan atau berubah-ubah disebut dengan heteroskedastisitas. Untuk mendeteksi
adanya heteroskedastisitas dapat digunakan metode GLS cross section weights,
yakni membandingkan jumlah kuadrat residual (sum square residual) antara
weighted statistics dengan unweighted statistics. Jika jumlah kuadrat residual
pada weighted statistics lebih kecil maka dapat disimpulkan terjadi
heteroskedastisitas pada model.
Uji Autokorelasi
Autokorelasi adalah korelasi yang terjadi antarobservasi dalam satu peubah atau
korelasi antara error masa yang lalu dengan error pada saat ini. Uji autokorelasi
63
yang dilakukan tergantung pada jenis data dan sifat model yang digunakan.
Autokorelasi dapat memengaruhi efisiensi dari penduganya. Untuk mendeteksi
adanya korelasi serial adalah dengan melihat nilai Durbin Watson (DW).
Prosedur yang dilakukan dengan membandingkan nilai DW-hitung dan DW-tabel.
Kerangka identifikasi autokorelasi terangkum dalam Tabel 3. Korelasi serial
ditemukan jika error dari periode waktu yang berbeda saling berkorelasi. Hal ini
bisa dideteksi dengan melihat pola error acak dari hasil regresi.
Tabel 3 Kriteria Identifikasi Autokorelasi
Nilai DW Hasil
4 – dl < DW < 4 Terdapat korelasi serial negatif
4 – du < DW < 4- dl Hasil tidak dapat ditentukan
2 < DW < 4 – du Tidak ada korelasi serial Du < DW < 2 Tidak ada korelasi serial
dl < DW < du Hasil tidak dapat ditentukan 0 < DW < dl Terdapat korelasi serial positif
Sumber: Gujarati, 2004
3.3 Spesifikasi Model
Spesifikasi model yang digunakan dalam penelitian terdiri dari empat
persamaan, yakni:
(1) Model Pertumbuhan
Model pertumbuhan mengacu pada model pertumbuhan endogen digunakan
Barro (1997) yang telah dimodifikasi. Pertumbuhan pendapatan perkapita
merupakan fungsi dari perubahan jumlah pekerja (dibagi menjadi pekerja
terampil dan tidak terampil), modal manusia (rata-rata usia lama sekolah),
perubahan stok kapital/investasi, kualitas infrastruktur jalan raya dan listrik
serta pengeluaran pemerintah daerah untuk belanja modal/pembangunan.
Spesifikasinya adalah:
ln𝐾𝐴𝑃𝑖𝑡 = 𝛼0 + 𝛼1ln𝐾𝐸𝑅𝐽𝐴(𝑆𝐿𝑇𝑃−)𝑖𝑡 + 𝛼2𝐾𝐸𝑅𝐽𝐴(𝑆𝐿𝑇𝐴+)𝑖𝑡 + 𝛼3ln𝑀𝑌𝑆𝑖𝑡 +
𝛼4𝐼𝑁𝑉𝑖𝑡 + 𝛼5ln𝐿𝐼𝑆𝑇𝑖𝑡 + 𝛼6ln𝐽𝐿𝑁𝑖𝑡 + 𝛼7ln𝑃𝑈𝐵𝑖𝑡 + 𝑢𝑖𝑡 (3.40)
(2) Model Pengangguran
Dalam model ini, pertumbuhan jumlah pencari kerja/pengangguran merupakan
fungsi pertumbuhan jumlah angkatan kerja menurut pendidikan, tingkat upah
64
minimum kabupaten/kota, pertumbuhan pendapatan perkapita dan investasi.
Spesifikasi modelnya adalah:
ln𝑈𝑁𝑖𝑡 = 𝛽0 + 𝛽1ln𝐴𝐾(𝑆𝐿𝑇𝑃 −)𝑖𝑡 + 𝛽2ln𝐴𝐾(𝑆𝐿𝑇𝐴 +)𝑖𝑡 + 𝛽3ln𝑈𝑃𝐴𝐻𝑖𝑡 +
𝛽4ln𝐾𝐴𝑃𝑖𝑡 + 𝛽5ln𝐼𝑁𝑉𝑖𝑡 + 𝑣𝑖𝑡 (3.41)
(3) Model Ketimpangan Pendapatan
Dalam model ini, indeks ketimpangan (Gini rasio income) merupakan fungsi
dari pertumbuhan pendapatan perkapita, indeks ketimpangan pendidikan (Gini
rasio pendidikan), indeks harga dan pengeluaran pemerintah untuk belanja
pembangunan. Spesifikasi adalah:
𝑖𝐺𝐼𝑁𝐼 = 𝛾0 + 𝛾1 ln𝐾𝐴𝑃𝑖𝑡 + 𝛾2𝑒𝐺𝐼𝑁𝐼𝑖𝑡 + 𝛾3ln𝐼𝐻𝐾𝑖𝑡 + 𝛾4ln𝑃𝑈𝐵𝑖𝑡 + 𝑤𝑖𝑡 (3.42)
(4) Model Kemiskinan:
Model kemiskinan yang digunakan mengacu pada model Wodon (1999) dengan
menambahkan variabel jumlah penganggur dan indeks harga. Jumlah penduduk
miskin merupakan fungsi dari pertumbuhan pendapatan perkapita, jumlah
penganggur, indeks ketimpangan pendapatan serta indeks harga. Spesifikasinya
adalah:
ln𝐻𝐶𝑖𝑡 = 𝛿0 + 𝛿1 𝑙𝑛 𝐾𝐴𝑃𝑖𝑡 + 𝛿2𝑖𝐺𝐼𝑁𝐼𝑖𝑡 + 𝛿3ln𝑈𝑁𝑖𝑡 + 𝛿4ln𝐼𝐻𝐾𝑖𝑡 + 𝑧𝑖𝑡 (3.43)
Keterangan :
𝐾𝐴𝑃𝑖𝑡 = Pendapatan perkapita penduduk kabupaten ke-i tahun ke-t 𝐻𝐶𝑖𝑡 = Jumlah penduduk miskin kabupaten ke-i tahun ke-t 𝑖𝐺𝐼𝑁𝐼𝑖𝑡 = Indeks ketimpangan pendapatan kabupaten ke-i tahun ke-t 𝑈𝑁𝑖𝑡 = Jumlah pencari kerja/pengangguran kabupaten ke-i tahun ke-t 𝐼𝑁𝑉𝑖𝑡 = Nilai Investasi kabupaten ke-i tahun ke-t 𝑃𝑈𝐵𝑖𝑡 = Belanja pembangunan/APBD kabupaten ke-i tahun ke-t 𝐽𝐿𝑁𝑖𝑡 = Rasio panjang jalan berstatus baik dan sedang terhadap luas
wilayah kabupaten ke-i tahun ke-t 𝐿𝐼𝑆𝑇𝑖𝑡 = Rasio energi Kwh energi listrik yang terjual/jumlah penduduk
kabupaten ke-i tahun ke-t. 𝑀𝑌𝑆𝑖𝑡 = Rata-rata usia lama sekolah penduduk kabupaten ke-i tahun ke-t 𝐴𝐾𝑖𝑡 = Jumlah angkatan kerja kabupaten ke-i tahun ke-t 𝐾𝐸𝑅𝐽𝐴𝑖𝑡 = Jumlah penduduk bekerja di kabupaten ke-i tahun ke-t 𝑈𝑃𝐴𝐻𝑖𝑡 = Upah minimum kabupaten ke-i tahun ke-t
65
𝐼𝐻𝐾𝑖𝑡 = Indeks Harga Konsumen, diproksi dengan deflator PDRB kabupaten ke-i tahun ke-t
𝑒𝐺𝐼𝑁𝐼𝑖𝑡 = Indeks ketimpangan pendidikan kabupaten ke-i tahun ke-t 𝛼,𝛽, 𝛾, 𝛿 = Parameter yang diestimasi (menunjukkan nilai elastisitas) 𝛼0,𝛽0,𝛾0, 𝛿0 = Konstanta/intersep 𝜀𝑖𝑡 = Error term, 𝜀𝑖𝑡 = 𝜆𝑖 + 𝑢𝑖𝑡 untuk one way error component model dan 𝜀𝑖𝑡 = 𝜆𝑖 + 𝜇𝑡 + 𝑢𝑖𝑡 untuk two way error component model
Model pertumbuhan dan pengangguran dapat diestimasi secara langsung
menggunakan pendekatan FEM maupun REM. Namun, model ketimpangan dan
kemiskinan mengandung permasalahan bias simultan karena mamasukkan variabel
endogen pendapatan perkapita ke sisi kanan dari kedua persamaan. Permasalahan
bias simultan (endogenity) terjadi karena ada korelasi antara variabel endogen di
ruas sebelah kanan persamaan dengan sisaan dari model. Jika terjadi endogenity
akan menyebabkan pendugaan dengan OLS menjadi tidak konsisten (Baltagi,
2005). Keempat persamaan dapat diestimasi menggunakan metode Panel Two
Stage Least Square (2SLS). Langkah yang dilakukan adalah memasukkan
sejumlah variabel sebagai instrumen dari variabel endogen di ruas kanan
persamaan. Pemilihan model estimasi dilakukan dengan menggunakan software
Eviews 6 dan STATA 10.
3.4 Definisi Operasional
Definisi operasional dari peubah yang digunakan dalam model adalah
sebagai berikut:
1. Tingkat kemiskinan merupakan indikator kemiskinan yang diukur dengan
jumlah populasi penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.
2. Pendapatan perkapita, diproksi dengan pendekatan nilai PDRB riil per
jumlah penduduk pada tahun yang sama (dalam satuan juta rupiah).
3. Gini rasio income merupakan ukuran indeks ketimpangan dalam distribusi
pendapatan yang diterima penduduk diproksi dengan pendekatan pengeluaran
perkapita per bulan, karena data pendapatan individu tidak tersedia.
4. Angkatan kerja didefinisikan sebagai jumlah penduduk berusia produktif
(>14 tahun) yang sedang bekerja dan mencari pekerjaan. Indikator ini
menggambarkan secara kasar bagian dari penduduk berusia kerja yang terlibat
66
aktif dalam kegiatan perekonomian. Angkatan kerja dibagi menjadi dua
bagian, berpendidikan SLTP ke bawah sebagai proksi dari angkatan kerja tidak
terampil dan SLTA ke atas sebagai proksi angkatan kerja terampil.
5. Pengangguran merupakan bagian dari angkatan kerja yang tidak bekerja dan
sedang mencari pekerjaan atau mempersiapkan usaha.
6. Rata-rata usia lama sekolah didefinisikan sebagai rata-rata jumlah tahun
bersekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas, dimulai dari tingkat sekolah
dasar sampai kelas terakhir yang pernah diduduki. Indikator ini mencerminkan
kualitas sumber daya manusia.
7. Indeks Harga Konsumen merepresentasikan perkembangan harga barang
dan jasa antar periode. Tidak semua kabupaten/kota melakukan penghitungan
IHK, sehingga diproksi dengan pendekatan deflator PDRB atau rasio antara
PDRB nominal terhadap PDRB riil.
8. Belanja pembangunan, merupakan bagian dari Anggaran Pembangunan dan
Belanja Daerah (APBD) pemerintah kabupaten/kota yang digunakan untuk
belanja modal atau belanja pembangunan (Rp milyar).
9. Investasi, merupakan variabel proksi dari perubahan stok kapital yang diukur
dengan nilai pembentukan modal tetap bruto dalam PDRB pengeluaran
kabupaten/kota.
10. Ketimpangan pendidikan, merupakan indikator yang merepresentasikan
distribusi atau pangsa/proporsi pendidikan penduduk yang diukur dengan Gini
rasio lama sekolah. Nilai Gini rasio pendidikan berkisar antara 0 sampai 1,
semakin mendekati nilai satu menunjukkan tingkat pendidikan antar penduduk
yang semakin timpang. Pengukuran Gini rasio pendidikan serupa dengan
pengukuran Gini rasio pendapatan, variabel pokok yang digunakan adalah usia
lama sekolah penduduk. Tekniknya adalah menghitung tahun lama sekolah
setiap penduduk berdasarkan data Susenas, kemudian diurutkan dari yang
terendah sampai tertinggi dan menghitung proporsi populasi penduduk
berdasarkan tingkatan tahun lama pendidikan.
11. Upah minimum, merupakan nilai upah terendah yang ditetapkan oleh
pemerintah kabupaten/kota.
12. Rasio panjang jalan, merepresentasikan kualitas infrastruktur transportasi
67
yang diukur dari panjang jalan berstatus baik dan sedang terhadap luas wilayah
administrasi.
13. Rasio jumlah listrik terjual, merepresentasikan kualitas infrastruktur listrik
yang diukur dari jumlah Kwh energi listrik terjual dibagi dengan jumlah
penduduk.
68
Halaman ini sengaja dikosongkan
IV. DINAMIKA PERTUMBUHAN, PENGANGGURAN,
KETIMPANGAN DAN KEMISKINAN
4.1 Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah
4.1.1 Karakteristik Wilayah Administrasi
Jawa Tengah menjadi salah satu provinsi yang terletak di Pulau Jawa dan
secara administrasi diapit oleh dua provinsi besar Jawa Barat dan Jawa Timur.
Wilayah bagian utara berbatasan dengan Laut Jawa, sementara di bagian selatan
berbatasan dengan Samudera Hindia dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
(Gambar 16). Wilayah administrasi Jawa Tengah tepat berada di sentral Pulau
Jawa yang cukup dekat dengan pusat pemerintahan maupun pusat perekonomian
serta menjadi jalur penghubung perdagangan darat antara wilayah bagian barat
dan timur Pulau Jawa, sehingga menjadi sangat strategis bagi perkembangan
perekonomian.
Sumber : Sensus Penduduk Tahun 2010, BPS
Gambar 16 Kepadatan Penduduk Provinsi Jawa Tengah Menurut Kabupaten/ Kota Tahun 2010 (Jiwa/Km2)
Luas wilayah administrasi Provinsi Jawa Tengah sebesar 32.544 km2 dan
terbagi menjadi 29 kabupaten dan 5 kota dengan tipologi wilayah dan
karakteristik sosial ekonomi yang beragam (Gambar 16). Wilayah bagian utara
70
merupakan daerah pesisir yang terdiri dari 12 kabupaten/kota dan memanjang dari
Kabupaten Brebes sampai Rembang. Wilayah ini menjadi bagian dari Jalur
transportasi Pantai Utara Pulau Jawa (Pantura). Wilayah pesisir selatan terdiri
dari 4 kabupaten, yakni Cilacap, Kebumen, Purworejo dan Wonogiri. Tipologi
wilayah pesisir selatan sedikit berbeda dengan pesisir utara, karena memiliki
kombinasi antara wilayah pegunungan dan pantai yang memiliki ombak besar.
Bagian tengah terdiri dari 17 kabupaten/kota dengan tipologi wilayah berupa
dataran dengan kombinasi pegunungan. Beberapa daerah di bagian tengah dan
selatan menjadi bagian dari lintas transportasi Jalur Selatan Pulau Jawa.
Jumlah penduduk berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2010
sebanyak 32,38 juta, sehingga setiap satu km2 dihuni oleh 995 jiwa. Persebaran
penduduk menurut wilayah kabupaten/kota menunjukkan pola yang tidak merata
(Gambar 16). Populasi penduduk terkonsentrasi di wilayah yang menjadi pusat-
pusat perekonomian, terutama di wilayah perkotaan, jalur pantura dan kawasan
perekonomian yang dikenal dengan segitiga Joglosemar (Jogja-Solo-Semarang).
Wilayah yang menjadi konsentrasi penduduk dan ditandai oleh kepadatan
penduduk yang sangat tinggi, yakni lebih dari 3.000 jiwa per km2. Beberapa
wilayah yang memiliki kepadatan penduduk tinggi adalah adalah Kota Surakarta,
Kota Tegal, Kota Pekalongan, Kota Magelang, Kota Salatiga dan Kota Semarang.
Wilayah dengan kepadatan penduduk rendah dihuni kurang dari 768 jiwa per km2
dan terdiri dari Kabupaten Cilacap, Wonosobo, Purworejo, Wonogiri, Grobogan,
Blora, Rembang serta Pati.
4.1.2 Infrastruktur Wilayah
Salah satu aspek penting yang memengaruhi kinerja perekonomian suatu
wilayah adalah kondisi infrastruktur fisik. Dua komponen dari infrastruktur yang
memiliki peran sentral dalam menjamin kelangsungan proses produksi maupun
memperlancar alur distribusi barang dan jasa adalah infrastruktur transportasi dan
listrik. Kuantitas infrastruktur transportasi dapat diukur dengan data panjang jalan
yang berstatus baik dan sedang atau disebut dengan jalan berstatus mantap.
Kuantitas infrastruktur listrik dapat diukur dengan jumlah daya energi listrik
(KWh) yang terjual kepada pelanggan. Namun demikian, data panjang jalan dan
71
jumlah energi terjual belum mencerminkan kualitas infrastruktur yang tersedia.
Kualitas infrastruktur lebih berkaitan dengan aspek kemudahan untuk
mengaksesnya, sehingga untuk membandingkan kualitas infrastruktur antar
wilayah dapat dilakukan dengan pendekatan rasio panjang jalan berstatus mantap
terhadap luas wilayah administrasi dan rata-rata jumlah energi listrik terjual per
penduduk.
Sumber : Diolah dari Daerah Dalam Angka (DDA) Tahun 2011, BPS Provinsi Jawa Tengah
Gambar 17 Infrastruktur Jalan Raya dan Listrik menurut Kabupaten/Kota Jawa Tengah Tahun 2010
Gambar 17 menyajikan perbandingan kualitas infrastruktur transportasi
dan listrik menurut wilayah kabupaten/kota di Jawa Tengah pada tahun 2010.
Sepuluh daerah yang memiliki kualitas infrastruktur transportasi terbaik terdiri
72
2010200920082007200620052004
2000
1500
1000
500
0
Infr
astr
ukt
ur
List
rik
(Kw
h/P
en
du
du
k)
74
7372
71
74
7372
71
74
73
72
71
74
73
72
71
7372
71
73
72
71
73
7271
74
7372
71
74
7372
71
74
73
72
71
74
73
72
71
7372
71
73
72
71
73
7271
2010200920082007200620052004
16
14
12
10
8
6
4
2
0Infr
astr
ukt
ur
Jala
n R
aya
(Km
/Lu
as W
ilaya
h)
76
75
7473
72
71
76
75
74
73
72
71
76
75
74
73
72
7176
75
7473
72
7176
75
7473
72
71
76
75
74
73
72
7176
75
74
73
72
71
semua daerah kota yakni Kota Surakarta, Kota Magelang, Kota Salatiga, Kota
Tegal, Kota Semarang, Kota Pekalongan serta empat kabupaten yakni Sragen,
Kudus, Klaten dan Karanganyar. Hal ini ditunjukkan oleh nilai rasio panjang
jalan berstatus baik dan sedang terhadap luas wilayah yang relatif lebih tinggi dari
daerah lainnya, sehingga mampu menghubungkan dan menjangkau area yang
lebih luas. Lima daerah yang memiliki kualitas infrastruktur jalan raya terendah
adalah Blora, Grobogan, Cilacap, Demak dan Rembang. Perkembangan kualitas
infrastruktur jalan raya selama periode 2004-2010 menunjukkan pola yang reatif
stabil dan penyebaran antar daerah masih belum merata. Daerah kota menjadi
pencilan dengan kualitas infrastruktur yang jauh lebih baik, sementara kualitas di
daerah kabupaten relatif lebih rendah dan indeksnya mengumpul di sekitar rata-
rata.
Sumber : Diolah dari Daerah Dalam Angka (DDA) Jawa Tengah 2005-2011 Gambar 18 Boxplot Perkembangan Infrastruktur Jalan Raya dan Listrik
menurut Kabupaten/Kota Jawa Tengah Tahun 2004-2010
Kualitas infrastruktur listrik menurut wilayah juga menunjukkan pola yang
hampir serupa dengan kualitas infrastruktur jalan raya. Daerah yang memiliki
kualitas infrastruktur listrik terbaik terdiri dari semua daerah berstatus kota dan
73
empat kabupaten yakni Kendal, Karanganyar, Kudus dan Semarang (Gambar 17
dan Gambar 18). Hal ini ditunjukkan oleh nilai rata-rata jumlah energi listrik
terjual per penduduk yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya.
Tingginya konsumsi listrik secara tidak langsung ini menggambarkan jangkauan
infrastruktur listrik yang lebih luas. Kawasan industri, perdagangan dan jasa di
Jawa Tengah sebagian besar terpusat di sembilan daerah tersebut, sehingga
membutuhkan supplai listrik yang memadai. Pola perkembangan infrastruktur
listrik selama periode 2004-2010 menunjukkan peningkatan secara rata-rata. Dari
sisi persebaran antar daerah menunjukkan pola yang tidak merata dan daerah
berstatus kota cenderung memiliki infrastruktur yang lebih baik (Gambar 18).
Daerah yang memiliki kualitas infrastruktur listrik terendah terdiri dari
Kabupaten Magelang, Brebes, Wonosobo, Tegal, Purbalingga dan Blora. Keenam
daerah tersebut memiliki wilayah administrasi yang lebih luas dan memiliki
tipologi wilayah berupa daerah pegunungan, sehingga jangkauan infrastruktur
listrik terkendala oleh kondisi geografis.
4.1.3 Karakteristik Perekonomian
Struktur perekonomian Jawa Tengah sampai tahun 2010 didominasi oleh
lapangan usaha pada empat sektor, yakni industri pengolahan; perdagangan, hotel
dan restoran; pertanian; dan jasa-jasa. Kontribusi sektor pertanian yang cukup
dominan dalam menghasilkan nilai tambah maupun dalam menyerap tenaga kerja
di masa awal pembangunan secara berangsur-angsur mengalami penurunan dan
peranannya mulai tergantikan oleh sektor industri pengolahan dan sektor
perdagangan.
Pada tahun 2010, kontribusi terbesar dalam perekonomian disumbang oleh
nilai tambah sektor industri pengolahan dengan andil sebesar 32,89 persen
(Gambar 19.a). Meskipun demikian, 12 persen diantaranya merupakan andil
industri pengolahan migas yang beroperasi di Kabupaten Cilacap dan 20,82
persen sisanya dihasilkan oleh industri rokok yang beroperasi di Kabupaten
Kudus, industri tekstil di Kabupaten Karanganyar, industri barang-barang dari
kayu di Kabupaten Jepara dan industri lainnya. Permasalahan dalam struktur
industri pengolahan di Jawa tengah adalah meningkatnya kontribusi sektor
74
2.24
4.076.736.94
11.93
22.1122.27
23.69
Pertambangan dan LGA Keuangan Transportasi dan Komunikasi KonstruksiJasa Pertanian Perdagangan Industri Pengolahan
0.861.14
4.206.6212.41
35.53 21.43
17.81
2.01 3.58
5.926.1010.49
19.4419.58
32.89
(a) Komposisi PDRB dengan Migas (b) Komposisi PDRB Tanpa Migas (c) Komposisi Tenaga Kerja
industri pengolahan yang lebih didorong oleh peningkatan nilai tambah pada
industri migas, padalah jenis industri ini lebih bersifat padat modal atau capital
intensive. Di sisi yang lain, kontribusi industri non-migas yang lebih bersifat
padat karya atau labor intensive cenderung menurun dalam satu dekade terakhir,
dari 25,81 persen di tahun 2000 menjadi 20,82 di tahun 2010. Permasalahan
tersebut berpengaruh pada menurunnya kemampuan sektor industri pengolahan
dalam menyerap kelebihan tenaga kerja akibat pertumbuhan jumlah angkatan
kerja. Pada tahun 2010, jumlah penduduk bekerja yang terserap oleh lapangan
usaha di sektor industri pengolahan hanya sebesar 17,81 persen (Gambar 19.c).
Sumber : Diolah dari PDRB 2011, BPS Provinsi Jawa Tengah
Gambar 19 Komposisi PDRB dan Penduduk Bekerja menurut Lapangan Usaha Tahun 2010 (Persen)
Berdasarkan Gambar 19, sektor perdagangan, sektor pertanian dan sektor
jasa-jasa masing-masing memiliki kontribusi nilai tambah sebesar 19,58 persen
dan 19,44 persen dan 10,49 persen dalam perekonomian. Sektor yang lainnya
memiliki kontribusi nilai tambah kurang dari 7 persen. Meskipun kontribusinya
cenderung menurun, sektor pertanian masih menjadi tumpuan utama bagi
sebagian besar penduduk untuk melakukan kegiatan usaha dan bekerja. Pada
tahun 2010, sektor pertanian mampu menampung tenaga kerja sebanyak 35,53
persen. Sektor perdagangan dan sektor jasa-jasa masing-masing menyerap tenaga
kerja sebanyak 21,43 persen dan 12,41 persen.
Struktur perekonomian menurut wilayah kabupaten/kota menunjukkan
pola yang beragam (Gambar 20). Mayoritas kabupaten memiliki struktur
perekonomian yang dominan pada sektor pertanian, sementara struktur
perekonomian daerah kota lebih dominan pada sektor perdagangan dan jasa.
75
Terdapat 18 kabupaten yang memiliki struktur perekonomian dominan pada
sektor pertanian, yakni Kabupaten Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara,
Kebumen, Purworejo, Wonosobo, Magelang, Boyolali, Wonogiri, Sragen,
Grobogan, Blora, Rembang, Pati, Demak, Temanggung, Batang dan Brebes.
Besarnya kontribusi sektor pertanian di setiap kabupaten bervariasi antara 21,86
persen sampai 52,79 persen. Peranan sektor pertanian dalam menyerap tenaga
kerja di kedelapanbelas kabupaten tersebut juga sangat dominan dengan nilai yang
bervariasi antara 23 persen sampai 64 persen.
Sumber : Diolah PDRB dan Angkatan Kerja 2010, BPS Provinsi Jawa Tengah Gambar 20 Sektor Dominan dan Pangsa Penduduk Bekerja (Persen) menurut
Lapangan Usaha dan Kabupaten/Kota Tahun 2010
Sektor industri pengolahan mendominasi struktur perekonomian di
delapan kabupaten, yakni Cilacap, Sukoharjo, Karanganyar, Kudus, Jepara,
Semarang, Kendal dan Pekalongan dengan karakteristik dan jenis industri yang
bervariasi. Struktur perekonomian Cilacap didominasi oleh industri pengolahan
migas, Sukoharjo dan Karanganyar didominasi oleh industri tekstil dan produk
tekstil, Kudus didominasi oleh industri pengolahan tembakau/rokok, Jepara
didominasi industri barang dari kayu (mebeler) dan Pekalongan didominasi oleh
industri batik. Meskipun demikian, tidak semua kabupaten tersebut memiliki
pangsa penduduk berkerja yang dominan di sektor industri pengolahan.
Kabupaten Cilacap, Semarang dan Batang menjadi tiga kabupaten dengan struktur
76
perekonomian dominan di sektor industri, namun memiliki pangsa tenaga kerja
yang dominan di sektor pertanian.
Empat daerah yang berstatus kota (Surakarta, Semarang, Pekalongan,
Tegal) dan tiga wilayah kabupaten (Klaten, Pemalang dan Tegal) memiliki
struktur perekonomian yang dominan pada sektor perdagangan. Kota Salatiga
dan Kota Magelang memiliki struktur perekonomian dominan pada sektor jasa,
terutama jasa pemerintahan umum. Mayoritas penduduk di tujuh kabupaten/kota
tersebut juga melakukan kegiatan bekerja pada sektor perdagangan dan jasa-jasa.
4.1.4 Karakteristik Sumber Daya Manusia
Salah satu indikator yang merepresentasikan kemajuan pembangunan
manusia di suatu wilayah adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM
merupakan sebuah indeks komposit/gabungan antara indikator kesehatan yang
diukur dari angka harapan hidup pada saat lahir, indikator pengetahuan yang
diukur dari rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf serta standar hidup yang
layak yang diukur dari daya beli penduduk (konsumsi riil perkapita yang
disesuaikan). Nilai IPM berkisar antara 0 hingga 100 dan semakin mendekati 100
mengindikasikan kualitas pembangunan manusia yang semakin baik. United
Nations Development Programme (UNDP, 1996) mengkategorikan nilai IPM
menjadi empat, yakni rendah (IPM<50); menengah bawah (50≤IPM<66);
menengah atas (66≤IPM<80); dan tinggi (IPM≥80).
Tabel 4 IPM Jawa Tengah Beserta Komponennya, 2004-2010
Indikator 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Angka Harapan Hidup (Tahun) 69,70 70,57 70,80 70,90 71,10 71,25 71,40
Rata-rata Lama Sekolah (Tahun) 6,54 6,64 6,80 6,80 6,86 7,07 7,24
Angka Melek Huruf (Persen) 86,72 87,35 88,24 88,62 89,24 89,46 89,95
Daya Beli/PPP(Ribu Rp/Bulan) 619 621 622 629 634 636 637
Indeks Pembangunan Manusia 68,88 69,78 70,25 70,92 71,60 72,10 72,49
Peringkat IPM Nasional 17 16 15 14 14 14 14
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, Beberapa Terbitan
Perkembangan kualitas pembangunan manusia di Provinsi Jawa Tengah
yang diukur dengan nilai IPM selama periode 2004-2010 menunjukkan pola yang
77
semakin meningkat dari 68,88 pada tahun 2004 menjadi 72,49 di tahun 2010
(Tabel 4). Secara umum, posisi pembangunan manusia selama periode tersebut
termasuk dalam kategori menengah atas dan dari sisi kualitas semakin
menunjukkan peningkatan atau semakin membaik. Peringkat IPM Jawa Tengah
masih berada di urutan keempat belas dari 33 provinsi di Indonesia.
Ketiga aspek penyusun IPM baik aspek kesehatan, aspek pendidikan dan
aspek daya beli penduduk semakin menunjukkan perbaikan dalam kualitas.
Angka harapan hidup pada saat lahir meningkat dari 69,70 tahun menjadi 71,40
tahun di tahun 2010. Angka ini memiliki makna rata-rata usia harapan hidup yang
akan dijalani oleh bayi yang lahir di tahun 2010 sampai akhir hayatnya adalah
71,40 tahun. Daya beli penduduk yang diukur dari konsumsi riil perkapita
perbulan yang disesuaikan (Purchasing Power Parity/PPP) juga meningkat dari
Rp 619 ribu pada tahun 2004 menjadi Rp 637 ribu di tahun 2010. Demikian pula
dengan tingkat pengetahuan penduduk yang diukur dari rata-rata lama sekolah dan
angka melek huruf juga mengalami kenaikan yang signifikan. Rata-rata lama
sekolah berada pada level 7,24 tahun, artinya rata-rata penduduk berusia kerja
(>14 tahun) memiliki lama sekolah yang setara dengan kelas 7 atau SLTP tahun
pertama.
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, 2011 Gambar 21 IPM Jawa Tengah menurut Kabupaten/Kota, 2010
78
67.6767.68
69.0468.44
70.1169.98
68.7971.34
70.3769.73
72.5669.32
72.2869.01
70.8270.1970.1370.1270.52
71.2469.72
70.8569.62
72.8372.20
70.2371.50
68.7472.4772.54
70.3271.03
70.2272.1372.16
60 65 70 75
BrebesPemalang
BanjarnegaraKendalBatang
WonosoboTegalBlora
BoyolaliGrobogan
SragenKebumenWonogiri
PekalonganCilacap
PurbalinggaRembangMagelang
PurworejoDemak
BanyumasJeparaKudus
PatiKaranganyar
SukoharjoKlaten
Kota TegalSemarang
TemanggungKota Pekalongan
Kota SalatigaKota MagelangKota SemarangKota Surakarta
Angka harapan Hidup(Tahun)
5.706.496.33
6.916.71
6.276.56
6.257.37
6.766.996.87
6.326.666.857.18
6.857.26
7.757.597.73
7.408.11
6.957.39
8.368.278.25
7.757.01
8.669.9410.219.9810.32
0 3 6 9 12
Rata-rata Lama Sekolah(Tahun)
86.1490.76
88.4389.15
88.0990.47
89.2683.19
85.9790.36
84.3690.74
82.1892.05
90.2893.48
91.1791.3591.5191.36
93.9893.0993.71
86.4286.91
90.6989.90
94.8893.6295.9495.6896.5097.2596.4496.68
60 65 70 75 80 85 90 95 100
Angka Melek Huruf (Persen)
634635
634637
630630
640642
632631
628636
647640
635631
641637
635632
635632
637646
648647
644651
635635
641648
650647
652
610 620 630 640 650 660
Daya Beli (Rp 000)
Karakteristik pembangunan manusia menurut kabupaten/kota di Jawa
Tengah pada tahun 2010 disajikan dalam Gambar 21. Nilai IPM di semua
kabupaten/kota bervariasi antara 68,20 sampai 77,86 sehingga termasuk dalam
kategori menengah atas. Peringkat nilai IPM secara kasar menunjukkan urutan
kualitas sumber daya manusia yang dimiliki oleh setiap kabupaten/kota, semakin
rendah peringkatnya maka semakin baik kualitas pembangunan manusianya dan
semakin tinggi peringkatnya maka kualitas pembangunan manusia semakin buruk.
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, 2011 Gambar 22 Komponen IPM menurut Kabupaten/Kota Tahun 2010
Lima daerah yang memiliki peringkat IPM tertinggi merupakan daerah
yang berstatus kota dan secara berturut-turut adalah Kota Surakarta, Kota
Semarang, Kota Magelang, Kota Salatiga serta Kota Pekalongan. Tingginya IPM
di kelima daerah dicirikan oleh nilai komponen penyusunnya, yakni indikator
pendidikan, kesehatan dan daya beli yang secara umum lebih tinggi dari level
provinsi (Gambar 22). Fenomena ini sangat terkait dengan ketersediaan
infrastruktur pendidikan, kesehatan maupun perekonomian di daerah kota yang
relatif lebih baik dan lebih mudah diakses dibandingkan dengan daerah
kabupaten. Kemudahan penduduk perkotaan untuk memperoleh akses pelayanan
79
juga dipengaruhi oleh jarak tempat tinggal ke infrastruktur pelayanan, biaya serta
ketersediaan sarana transportasi yang memadai. Hal ini menjadi penjelas
mengapa IPM daerah kota relatif lebih berkualitas dibandingkan dengan daerah
kabupaten.
Enam daerah yang memiliki peringkat nilai IPM terendah di Jawa Tengah
terdiri dari Kabupaten Brebes, Pemalang, Banjarnegara, Kendal, Batang dan
Wonosobo. Rendahnya kualitas pembangunan manusia di keenam daerah
dicirikan oleh indikator usia harapan hidup, rata-rata lama sekolah dan angka
melek huruf penduduk berusia produktif, serta daya beli penduduk yang lebih
rendah dari rata-rata pada level provinsi.
4.2 Dinamika Pertumbuhan, Pengangguran, Ketimpangan Pendapatan dan Kemiskinan
4.2.1 Dinamika Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan Perkapita
Kinerja perekonomian Jawa Tengah yang diukur dengan pertumbuhan
ekonomi selama periode 1990-2010 memiliki pola yang berfluktuasi. Sampai
tahun 1996, perekonomian mampu tumbuh positif dengan rata-rata pertumbuhan
di atas 7 persen per tahun. Krisis ekonomi yang bermula dari krisis mata uang
pada pertengahan tahun 1997 menyebabkan kinerja perekonomian di level
regional memburuk. Dampak krisis menyebabkan pertumbuhan ekonomi Jawa
Tengah melambat hingga 3,03 persen di tahun 1997 dan puncaknya terjadi
kontraksi atau pertumbuhan negatif sebesar 11,74 persen di tahun 2008. Pasca
krisis ekonomi, kinerja perekonomian secara perlahan mulai bangkit yang ditandai
oleh laju pertumbuhan rata-rata di atas 4 persen per tahun.
Pendapatan perkapita yang diukur dengan pendekatan PDRB perkapita
mencerminkan tingkat kesejahteraan penduduk secara rata-rata dalam suatu
wilayah. Perkembangan PDRB perkapita penduduk Jawa Tengah selama periode
2004-2010 sajikan dalam Gambar 23. Secara umum, level PDRB perkapita per
tahun atas dasar harga berlaku (ADHB) maupun atas dasar harga konstan
(ADHK) tahun 2000 menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat. Pada
tahun dasar 2000, PDRB perkapita berada pada level 3,67 juta per tahun dan
secara bertahap meningkat hingga 13,72 juta di tahun 2010. Atas dasar harga
konstan tahun 2000, maka nilainya setara dengan 5,77 juta per tahun.
80
Perkembangan level PDRB perkapita yang selalu meningkat secara kasar
menggambarkan tingkat kesejahteraan penduduk secara rata-rata yang semakin
membaik.
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah Gambar 23 Level PDRB Perkapita Penduduk Jawa Tengah Atas Dasar Harga
Berlaku dan Konstan serta Pertumbuhannya, 2000-2010
Pola pertumbuhan pendapatan perkapita selama periode 2000-2010 hampir
sama dengan pola pertumbuhan ekonomi, namun level pertumbuhannya selalu
lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi. Secara umum, perubahan pendapatan
perkapita selama periode tersebut memiliki tren yang positif sebesar 0,046. Hal
ini berarti pendapatan perkapita Jawa Tengah setiap tahun setiap tahun mengalami
pertumbuhan dengan rata-rata sebesar 4,6 persen.
Gambar 24 mengilustrasikan pola perkembangan pendapatan perkapita riil
kabupaten/kota di Jawa Tengah yang diproksi dengan PDRB perkapita selama
periode 2004-2010. Tujuh daerah yang memiliki level PDRB perkapita tertinggi
secara berturut-turut adalah Kabupaten Kudus, Kabupaten Cilacap, Kota
Semarang, Kota Surakarta, Kota Magelang, Kota Pekalongan dan Kabupaten
Karanganyar. Tingginya level PDRB perkapita riil di Kabupaten Kudus didorong
oleh nilai tambah industri pengolahan tembakau/rokok, Kabupaten Karanganyar
didorong industri tekstil dan produk tekstil, sementara di Cilacap didorong oleh
industri pengolahan migas. Pendapatan perkapita di daerah berstatus kota juga
relatif lebih tinggi karena daerah kota menjadi pusat kegiatan ekonomi terutama di
sektor perdagangan dan jasa.
4,24 4,82
5,43 6,09
7,36
8,82 9,74
11,41 12,32
13,72
3,67 3,78 3,90 4,08 4,28 4,49 4,71 4,96 5,22 5,47 5,77 3,43 3,59 3,55
4,98 5,13 5,35 5,33 5,59 5,61 5,14
5,84 2,95 3,02 3,16
4,59 4,75 4,97 4,97 5,24 5,26 4,80 5,54
0
3
6
9
12
15
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
PDRB Perkapita ADHB (Juta Rp) PDRB Perkapita ADHK (Juta Rp)Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan PDRB Perkapita ADHK (Persen)
81
0
5
10
15
20 Semarang Temanggung Kendal Batang Pekalongan Pemalang Tegal
0
5
10
15
20
2004200520062007200820092010
Brebes
2004200520062007200820092010
Kota Magelang
2004200520062007200820092010
Kota Surakarta
2004200520062007200820092010
Kota Salatiga
2004200520062007200820092010
Kota Semarang
2004200520062007200820092010
Kota Pekalongan
2004200520062007200820092010
Kota Tegal
0
5
10
15
20 Grobogan Blora Rembang Pati Kudus Jepara Demak
0
5
10
15
20 Magelang Boyolali Klaten Sukoharjo Wonogiri Karanganyar Sragen
0
5
10
15
20 Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo
Sumber : PDRB 2004-2010, BPS Provinsi Jawa Tengah
Gambar 24 Pola Perkembangan PDRB Perkapita Riil Jawa Tengah menurut Kabupaten/Kota, 2004-2010 (Rp Juta)
Pendapatan perkapita riil yang terendah dimiliki oleh Kabupaten
Grobogan, Blora, Kebumen, Wonosobo, Pemalang, Demak, Banyumas dan
Purbalingga dengan level masing-masing di bawah 3 juta per tahun di tahun 2010.
Secara kasar hal ini menggambarkan tingkat kesejahteraan penduduk yang relatif
lebih rendah dibandingkan dengan daerah lainnya. Mayoritas daerah dengan level
pendapatan perkapita rendah memiliki struktur perekonomian yang dominan di
sektor pertanian.
Pola pertumbuhan pendapatan perkapita di semua kabupaten/kota selama
periode 2004-2010 memiliki tren positif, artinya semua kabupaten/kota
mengalami pertumbuhan pendapatan perkapita meskipun besaran nilainya
bervariasi (Gambar 25). Daerah yang memiliki tren pertumbuhan pendapatan
perkapita tertinggi adalah Kota Surakarta dan Kota Tegal dengan rata-rata
pertumbuhan per tahun masing-masing sebesar 5,3 dan 5,1 persen. Sementara,
daerah yang memiliki tren pertumbuhan terendah adalah Kabupaten Batang,
Semarang dan Wonosobo dengan rata-rata pertumbuhan per tahun di bawah 3
persen.
82
Sumber : Diolah dari data PDRB 2004-2010, BPS Provinsi Jawa Tengah Gambar 25 Tren Pertumbuhan PDRB Perkapita 2004-2010 (Persen) dan Level
PDRB Perkapita 2004 (Rp Juta) menurut Kabupaten/Kota
Secara umum tidak terdapat korelasi yang kuat antara tren pertumbuhan
pendapatan perkapita dengan levelnya pada kondisi awal (tahun 2004). Daerah
yang memiliki level pendapatan rendah tidak selalu memiliki pertumbuhan yang
rendah, demikian pula daerah dengah level pendapatan tinggi tidak selalu
memiliki pertumbuhan yang tinggi. Deviasi pendapatan perkapita riil antar
kabupaten/kota juga semakin meningkat dari 2,83 di tahun 2004 menjadi 3,82 di
tahun 2010. Fenomena ini mengindikasikan sampai dengan tahun 2010
pendapatan perkapita antar kabupaten/kota semakin menyebar/divergen.
Pengelompokan kabupaten/kota berdasarkan level pendapatan perkapita
dan pertumbuhannya dapat dilakukan menggunakan Tipologi Klassen. Dalam
Tipologi Klassen, kabupaten/kota dikelompokkan menjadi empat kuadran.
Kuadran I merupakan daerah yang memiliki level pendapatan perkapita dan
pertumbuhan di atas rata-rata provinsi, disebut dengan daerah maju. Kuadran II
merupakan daerah yang memiliki pendapatan perkapita di atas rata-rata provinsi
0
4
8
12
16
Level Pendapatan Perkapita (Rp Juta)
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
0.07
Bata
ng
Sem
aran
g
Won
osob
o
Dem
ak
Jepa
ra
Tem
angg
ung
Kend
al
Kota
Pek
alon
gan
Kota
Sal
atig
a
Banj
arne
gara
Peka
long
an
Rem
bang
Kota
Sem
aran
g
Kebu
men
Kudu
s
Klat
en
Suko
harjo
Mag
elan
g
Boyo
lali
Blor
a
Purb
alin
gga
Bany
umas
Pati
Gro
boga
n
Kota
Mag
elan
g
Pem
alan
g
Won
ogiri
Cila
cap
Breb
es
Kara
ngan
yar
Srag
en
Purw
orej
o
Tega
l
Kota
Teg
al
Kota
Sur
akar
ta
Trend Pertumbuhan
Trend Pertumbuhan Jawa Tengah
83
14121086420
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
Pendapatan Perkapita Tahun 2004 (Rp Juta)
Pert
umbu
han
Pend
apat
an T
ahun
200
4 (P
erse
n)
Kota Tegal
Kota Pekalongan
Kota Semarang
Kota Salatiga
Kota Surakarta
Kota Magelang
Brebes
Tegal
Pemalang Pekalongan
Batang
Kendal
Temanggung
Semarang
DemakJepara
Kudus
Pati Rembang
BloraGrobogan
Sragen
Karanganyar
Wonogiri
Sukoharjo
Klaten
BoyolaliMagelang
Wonosobo
Purworejo
Kebumen
Banjarnegara
Purbalingga
Banyumas
Cilacap
14121086420
6
5
4
3
2
Pendapatan Perkapita Tahun 2010 (Rp Juta)
Pert
umbu
han
Pend
apat
an T
ahun
201
0 (P
erse
n)
Kota Tegal
Kota Pekalongan
Kota Semarang
Kota Salatiga
Kota Surakarta
Kota Magelang
BrebesTegal Pemalang
Pekalongan
Batang
Kendal
TemanggungSemarang
DemakJepara
Kudus
Pati
Rembang
Blora
Grobogan
Sragen
Karanganyar
Wonogiri
Sukoharjo
Klaten
Boyolali
MagelangWonosobo
Purworejo
Kebumen
Banjarnegara
PurbalinggaBanyumas
Cilacap
dan pertumbuhannya berada di bawah rata-rata provinsi, disebut daerah maju tapi
tertekan. Kuadran III merupakan daerah yang memiliki level pendapatan
perkapita dan pertumbuhan di bawah rata-rata provinsi, disebut daerah
terbelakang. Kuadran IV merupakan daerah yang memiliki level pendapatan
perkapita di bawah rata-rata provinsi dan pertumbuhan di atas rata-rata provinsi,
disebut daerah berkembang. Aspek dinamis dalam Tipologi Klasen berkaitan
dengan perubahan posisi kuadran setiap kabupaten/kota sepanjang waktu.
Sumber : Diolah dari data PDRB 2004-2010, BPS Provinsi Jawa Tengah Gambar 26 Pengelompokan Kabupaten/Kota Jawa Tengah Berdasarkan Tipologi
Klassen Tahun 2004 dan 2010
Berdasarkan pengelompokan menggunakan tipologi Klassen, pada tahun
2004 terdapat empat daerah yang termasuk dalam Kuadran I atau daerah dengan
perekonomian maju yakni Kabupaten Kudus, Karanganyar, Cilacap dan Kota
Surakarta (Gambar 26). Kuadran II atau daerah maju tetapi tertekan terdiri dari
IV I
III II
IV I
III II
84
Kabupaten Sukoharjo, Kendal, Semarang, Kota Magelang, Kota Salatiga, Kota
Semarang dan Kota Pekalongan. Kuadran I dan II merepresentasikan daerah yang
memiliki level pendapatan perkapita di atas rata-rata provinsi dan semuanya
merupakan daerah yang memiliki struktur perekonomian dominan pada sektor
yang industri pengolahan, perdagangan dan jasa-jasa.
Kuadran IV atau daerah yang sedang berkembang terdiri dari tujuh
kabupaten/kota, yakni Kabupaten Tegal, Brebes, Sragen, Wonogiri, Purworejo,
Klaten dan Kota Tegal. Kuadran III dan terdiri dari 17 kabupaten yang dicirikan
oleh level pendapatan perkapita maupun pertumbuhan yang lebih rendah dari rata-
rata provinsi. Mayoritas daerah tersebut memiliki struktur perekonomian berbasis
pertanian dan beberapa diantaranya merupakan daerah dengan kondisi geografis
dan tipologi wilayah berupa daerah pegunungan.
Posisi kuadran pada tahun 2010 terjadi beberapa perubahan (Gambar 26).
Kuadran I yang merepresentasikan daerah dengan perekonomian maju bertambah
menjadi tujuh daerah, yakni Kabupaten Kendal, Karanganyar, Kota Pekalongan,
Kota Tegal, Kota Magelang, Kota Surakarta dan Kota Semarang. Daerah yang
perekonomiannya tertekan atau berada di Kuadran II terdiri dari Kabupaten
Sukoharjo, Semarang, Kudus, Cilacap dan Kota Salatiga. Hampir sama dengan
tipologi pada tahun 2004, semua kabupaten/kota yang terletak di Kuadran I dan II
merupakan daerah yang struktur perekonomiannya dominan pada sektor yang
berbasis industri pengolahan, perdagangan dan jasa-jasa dan mayoritas daerah di
Kuadran III dan IV merupakan daerah yang memiliki struktur perekonomian
dominan pada sektor pertanian.
Pergerakan dinamis posisi kuadran setiap kabupaten/kota selama periode
2004-2010 secara ringkas terangkum dalam Gambar 27. Secara umum, terdapat
12 kabupaten/kota yang posisi kuadrannya tidak berubah atau selalu berada di
kuadran yang sama. Kabupaten Karanganyar dan Kota Surakarta selalu berada di
Kuadran I sehingga menjadi daerah yang memiliki perkembangan perekonomian
paling maju. Kabupaten Semarang menjadi daerah yang selalu berada di Kuadran
II, artinya perekonomiannya maju tetapi selalu tertekan. Kabupaten Purworejo,
Tegal, Brebes dan Sragen selalu berada di Kuadran IV sehingga menjadi daerah
yang selalu berkembang. Kabupaten Wonosobo, Demak, Jepara, Temanggung
85
Purworejo, Tegal, Brebes, Sragen Karanganyar, Kota Surakarta
Wonosobo, Jepara, Demak, Temanggung, Batang
Semarang
Kebumen, Blora, Magelang, Klaten, Boyolali, Rembang,
Pekalongan
Cilacap, Sukoharjo, Kudus, Kendal, Kota Magelang, Kota Semarang, Kota
Salatiga, Kota Pekalongan
KUADRAN IV – DAERAH BERKEMBANG KUADRAN I – DAERAH MAJU
KUADRAN III – DAERAH TERBELAKANG KUADRAN II – DAERAH TERTEKAN
Kota Tegal
Banyumas, Purbalingga
Banjarnegara, Wonogiri, Grobogan,
Pati, Pemalang
dan Batang selalu menjadi daerah yang berada di Kuadran III, sehingga
perkembangan perekonomiannya selalu tertinggal dibandingkan di daerah yang
lainnya.
Gambar 27 Perubahan Posisi Kuadran Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Berdasarkan Tipologi Klassen, 2004-2010
Daerah yang selalu mengalami perubahan posisi kuadran secara dinamis
dapat dikelompokkan menjadi dua bagian. Bagian pertama merupakan daerah
yang selalu berubah posisi diantara Kuadran I dan II, terdiri dari Kabupaten
Cilacap, Sukoharjo, Kudus, Kendal, Kota Magelang, Kota Semarang, Kota
Salatiga dan Kota Pekalongan. Bagian kedua merupakan daerah yang selalu
berubah posisi diantara Kuadran III dan IV, terdiri dari Kabupaten Kebumen,
Blora, Magelang, Klaten, Boyolali, Rembang dan Pekalongan. Terdapat tipe
daerah yang hanya berubah satu kali kemudian tetap berada dalam Kuadran yang
terakhir. Kota Tegal berubah dari Kuadran IV ke Kuadran I dan kemudian tetap
berada di Kuadran I, artinya menjadi semakin maju. Kabupaten Banyumas,
Purbalingga, Banjarnegara, Wonogiri, Grobogan, Pati dan Pemalang adalah
daerah yang berubah dari Kuadran III ke Kuadran IV dan kemudian tetap berada
di Kuadran IV yang berarti menjadi semakin berkembang.
4.2.2 Dinamika Angkatan Kerja dan Pengangguran
Angkatan kerja merupakan bagian dari penduduk usia kerja yang
sesungguhnya terlibat dan berusaha untuk terlibat aktif dalam kegiatan
perekonomian. Jumlah angkatan kerja di Provinsi Jawa Tengah semakin
86
meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk usia kerja. Selama
periode 1997-2010, pertumbuhan jumlah angkatan kerja memiliki tren positif
sebesar 0,93 persen, artinya jumlah angkatan kerja rata-rata meningkat sebesar
0,93 persen per tahun. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) selama
periode 2004-2010 berada pada level 68 sampai 71 persen dari jumlah penduduk
berusia kerja. Sisanya merupakan penduduk yang berstatus bukan angkatan kerja
yakni tidak melakukan aktivitas kerja atau mencari kerja karena alasan
bersekolah, mengurus rumah tangga atau yang lainnya (Tabel 5).
Tabel 5 Penduduk Usia Kerja di Jawa Tengah menurut Status Ketenagakerjaan, 2004-2010
Indikator 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Angkatan Kerja (000 Jiwa) 16.827 17.210 16.924 17.664 16.691 17.088 16.856
Bekerja (000 Jiwa) 15.528 15.568 15.567 16.304 15.464 15.835 15.809
Pengangguran (000 Jiwa) 1.299 1.642 1.357 1.360 1.227 1.252 1.047
Bukan Angkatan Kerja (000 Jiwa) 6.861 7.073 7.745 7.514 7.721 7.582 7.018
Penduduk Usia Kerja (000 Jiwa) 23.689 24.283 24.669 25.178 24.412 24.670 23.875
TPAK (Persen) 71,04 70,87 68,60 70,16 68,37 69,27 70,60
TPT (Persen) 7,72 9,54 8,02 7,70 7,35 7,33 6,21
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, Beberapa Terbitan
Komposisi angkatan kerja terdiri dari penduduk bekerja dan penduduk
yang sedang mencari pekerjaan atau menganggur. Komposisi jumlah penduduk
yang bekerja selama periode 2004-2010 berada pada kisaran 90 sampai 94 persen
dari jumlah angkatan kerja. Di sisi lain, komposisi penduduk yang berstatus
sedang mencari kerja atau termasuk dalam tingkat pengangguran terbuka (TPT)
jumlahnya berkisar antara 6 sampai 10 persen dari angkatan kerja dan cenderung
meningkat dalam 15 tahun terakhir. Selama periode 1997-2010, setiap tahun
jumlah pencari kerja rata-rata meningkat 1,24 persen sehingga TPT juga memiliki
tren positif 4,85 persen per tahun selama periode 1997-2010. Meskipun demikian,
dalam enam tahun terakhir ada kecenderungan TPT semakin menurun.
Level TPT sangat tergantung pada situasi perekonomian secara makro dan
sensitivitas konsep pengukuran yang digunakan. Selama satu dasa warsa terakhir,
level TPT yang tertinggi terjadi di tahun 2005-2006 sebagai dampak dari
87
-0,04
-0,58
-0,11
-0,11
0,05
-0,05
0,17
-0,05
-0,31
-0,01
0,52
-0,36
-0,29
0,30
0,23
0,16
-0,06
-0,02
0,36
-0,04
-0,16
0,10
-0,22
0,35
-0,66
0,21
0,04
-0,14
-0,04
-0,08
-0,14
-0,10
0,25
-0,13
0,20
-1 -0,5 0 0,5 1
Trend Perubahan 2004-2010 (persen)
2,68
2,76
3,06
3,26
3,87
3,95
3,98
4,14
4,52
4,57
4,70
4,93
4,96
4,98
5,03
5,04
5,06
5,16
5,16
5,17
5,20
5,25
5,30
5,38
5,46
5,67
6,05
6,29
6,47
6,91
6,92
7,06
7,25
8,39
8,60
0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00
Blora
Banyumas
Banjarnegara
Jepara
Pekalongan
Wonosobo
Temanggung
Karanganyar
Wonogiri
Klaten
Demak
Pemalang
Rembang
Boyolali
Batang
Magelang
Purworejo
Kota Surakarta
Sukoharjo
Purbalingga
Kebumen
Grobogan
Semarang
Kudus
Brebes
Kota Semarang
Kendal
Tegal
Sragen
Kota Pekalongan
Pati
Kota Magelang
Kota Salatiga
Kota Tegal
Cilacap
TPT 2010 (Persen)
kebijakan pemerintah dengan menaikkan harga BBM. Kebijakan tersebut
memicu kenaikan harga barang dan jasa kebutuhan rumah tangga yang lainnya.
Tingginya TPT mempunyai implikasi sosial yang luas dan potensi kerawanan
sosial yang akan ditimbulkan menjadi semakin besar.
Gambaran umum mengenai dinamika pencari kerja di level kabupaten/
kota pada tahun 2010 beserta tren perubahan selama 2004-2010 disajikan dalam
Gambar 28. Level TPT pada level kabupaten/kota di tahun 2010 sangat bervariasi
dengan nilai antara 2,97 persen sampai 14,22 persen. Kabupaten Magelang,
Banjarnegara dan Purworejo menjadi tiga kabupaten yang memiliki level TPT
terendah dan ketiganya merupakan daerah yang memiliki struktur perekonomian
berbasis pertanian. Semua daerah yang berstatus kota memiliki level TPT di atas
rata-rata provinsi dan Kota Tegal serta Kota Magelang menjadi dua daerah yang
memiliki level TPT tertinggi.
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah Gambar 28 Tren TPT 2004-2010 dan Level TPT 2010 menurut Kabupaten/ Kota
di Jawa Tengah
Fenomena tingginya pengangguran di perkotaan lebih banyak berkaitan
dengan pengangguran alamiah sebagai dampak dari pertumbuhan angkatan kerja
88
dan pengaruh pengangguran friksional. Pengangguran friksional terjadi karena
sebagian dari penduduk yang baru masuk dalam angkatan kerja terutama yang
berpendidikan tinggi cenderung lebih selektif dalam memilih pekerjaan. Faktor
lain yang turut berpengaruh adalah tingkat upah di daerah perkotaan yang lebih
bervariasi menurut jenis pekerjaan. Tingkat upah yang bervariasi akan mendorong
frekuensi keluar dan masuk pekerja ke perusahaan menjadi semakin besar. Faktor
migrasi juga turut mendorong peningkatan jumlah pencari kerja di perkotaan.
Angkatan kerja terutama yang berpendidikan tinggi memiliki kecenderungan
untuk mencari kesempatan kerja formal yang tersedia di daerah perkotaan.
Terbatasnya kesempatan kerja formal yang tersedia menyebabkan sebagian dari
mereka rela menunggu untuk mendapatkan kesempatan kerja yang sesuai.
Selama periode 2004-2010, sebanyak 13 kabupaten/kota memiliki tren
pertumbuhan pencari kerja/penganggur positif atau mengalami peningkatan TPT
dari waktu ke waktu. Kabupaten Demak dan Kudus menjadi kabupaten yang
memiliki tren peningkatan yang tertinggi. Tren perubahan TPT di 22
kabupaten/kota yang lainnya memiliki arah negatif, atau secara rata-rata TPT
mengalami penurunan setiap tahun. Nilai tren penurunan yang terendah terjadi di
Kabupaten Brebes dan Banyumas yakni sebesar -0,66 dan -0,58.
4.2.3 Dinamika Ketimpangan Pendapatan
Distribusi pendapatan merepresentasikan besarnya porsi pendapatan yang
diterima oleh individu atau rumah tangga dalam suatu wilayah. Salah satu
indikator untuk mengukur ketimpangan dalam distribusi pendapatan adalah Gini
rasio. Gini rasio dihitung menggunakan data pendapatan individu atau rumah
tangga berdasarkan hasi survei rumah tangga, di Indonesia dikenal dengan
Susenas. Pengumpulan data pendapatan rumah tangga yang valid sulit diperoleh
karena rumah tangga lebih tertutup ketika melaporkan data pendapatan yang
diterima.
Alternatifnya, untuk menghitung indeks ketimpangan digunakan
pendekatan pengeluaran atau konsumsi rumah tangga. Dalam realita, pengeluaran
setiap individu menurut kelompok umur akan sangat berbeda-beda sehingga
pendekatan ini akan memberikan hasil yang bias atau underestimate. Nilai indeks
89
ketimpangan yang diperoleh akan lebih rendah dari kenyataan, karena pendekatan
pengeluaran perkapita hanya sensitif untuk mengambarkan pendapatan kelompok
penduduk yang berpenghasilan rendah.
Indeks ketimpangan pendapatan antar penduduk di Jawa Tengah selama
periode 2004-2010 memiliki pola yang cukup berfluktuasi (Tabel 6). Secara
umum, ketimpangan pendapatan di daerah perkotaan lebih tinggi dibandingkan
dengan perdesaan sehingga distribusi pendapatan di daerah perdesaan cenderung
lebih merata. Hal ini tercermin dari nilai Gini rasio di daerah perkotaan yang
selalu lebih tinggi dari daerah perdesaan. Fenomena ini berkaitan dengan
distribusi kepemilikan aset dan skill penduduk perkotaan yang cenderung lebih
timpang. Karakteristik daerah perkotaan yang menjadi pusat perekonomian
dengan struktur perekonomian yang lebih heterogen menyebabkan tingkat
pendapatan yang diterima penduduk menjadi lebih bervariasi. Kecenderungan
penduduk yang berpendapatan tinggi untuk tinggal di daerah perkotaan yang
memiliki fasilitas lebih lengkap juga menjadi salah satu penyebab tingginya
ketimpangan pendapatan di daerah perkotaan. Sebaliknya, struktur perekonomian
di daerah perdesaan cenderung lebih homogen dan terkonsentrasi di sektor
pertanian dengan tingkat upah maupun pendapatan yang lebih homogen sehingga
ketimpangan pendapatan antar penduduk menjadi lebih rendah.
Tabel 6 Indeks Ketimpangan Pendapatan (Gini Rasio) Provinsi Jawa Tengah menurut Wilayah, 2004-2010
Wilayah 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Perkotaan Gini Rasio 0,2738 0,3120 0,2956 0,2823 0,3258 0,3164 0,3306 Standar Deviasi 0,0015 0,0020 0,0018 0,0018 0,0021 0,0023 0,0027
Perdesaan Gini Rasio 0,2344 0,2587 0,2345 0,2295 0,2751 0,2511 0,2536 Standar Deviasi 0,0014 0,0014 0,0012 0,0015 0,0017 0,0014 0,0014
Perkotaan + Perdesaan Gini Rasio 0,2691 0,3007 0,2816 0,2678 0,3153 0,2996 0,3087 Standar Deviasi 0,0010 0,0013 0,0012 0,0012 0,0015 0,0015 0,0017
Sumber : Dihitung dari raw data Susenas 2004-2010, BPS
Nilai Gini rasio Jawa Tengah pada tahun 2004 tercatat sebesar 0,2691,
sehingga berdasarkan kriteria dari Oshima (1970) distribusi berada dalam
90
ketimpangan yang rendah. Kebijakan pemerintah menaikan harga BBM pada
tahun 2005 memicu kenaikan harga barang dan jasa kebutuhan rumah tangga
yang lainnya, sehingga pendapatan perkapita secara riil menurun dan daya beli
penduduk terutama pada golongan berpendapatan rendah menurun secara drastis.
Hal ini berpengaruh terhadap meningkatnya ketimpangan/ketidakmerataan dalam
distribusi pendapatan hingga menjadi 0,3007 atau meningkat 0,0306 poin di tahun
2005.
Implementasi program kompensasi kenaikan harga BBM melalui transfer
langsung berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang mulai digulirkan pada
triwulan keempat tahun 2006 memiliki dampak sementara dalam meningkatkan
daya beli penduduk miskin maupun memperbaiki distribusi pendapatan penduduk.
Berdasarkan Tabel 6, nilai Gini rasio mengalami penurunan hingga mencapai
0,2678 di tahun 2007 yang berarti distribusi pendapatan bergerak semakin merata.
Dampak yang hanya bersifat sementara terlihat ketika program transfer langsung
dihentikan, ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan kembali meningkat
menjadi 0,3087 di tahun 2010.
Sebaran pendapatan/pengeluaran antar penduduk selama periode 2004-
2010 menunjukkan pola yang semakin melebar atau divergen, artinya jarak antara
pendapatan yang terendah dan tertinggi semakin lebar. Hal ini terlihat dari
deviasi dalam distribusi pendapatan (Gini rasio) yang cenderung meningkat dari
0,001 di tahun 2004 menjadi 0,0017 di tahun 2010 (Tabel 6). Deviasi di daerah
perdesaan relatif stabil pada kisaran 0,0014, sementara di daerah perkotaan
meningkat secara nyata dari 0,0015 di tahun 2004 menjadi 0,0027 di tahun 2010.
Pola perkembangan indeks ketimpangan menurut kabupaten/kota di Jawa
Tengah selama periode 2004-2010 disajikan dalam Gambar 29. Nilai Gini rasio
di semua kabupaten/kota bervariasi dengan besaran kurang dari 0,4. Berdasarkan
kriteria dari Oshima maka distribusi pendapatan berada dalam kondisi
ketimpangan rendah sampai sedang. Secara umum, ketimpangan pendapatan di
daerah yang berstatus kota lebih tinggi dibandingkan dengan daerah kabupaten
dan terdapat kecenderungan ketidakmerataan dalam distribusi justru semakin
meningkat di beberapa kabupaten/kota.
91
0.00
0.20
0.40 Semarang Temanggung Kendal Batang Pekalongan Pemalang Tegal
0.00
0.20
0.40
2004
2006
2008
2010
Brebes
2004200520062007200820092010
Kota Magelang
2004200520062007200820092010
Kota Surakarta
2004200520062007200820092010
Kota Salatiga
2004200520062007200820092010
Kota Semarang
2004200520062007200820092010
Kota Pekalongan
2004200520062007200820092010
Kota Tegal
0.00
0.20
0.40 Grobogan Blora Rembang Pati Kudus Jepara Demak
0.00
0.20
0.40 Magelang Boyolali Klaten Sukoharjo Wonogiri Karanganyar Sragen
0.00
0.20
0.40 Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo
Pada kondisi awal di tahun 2004, dari sepuluh daerah yang memiliki
peringkat indeks ketimpangan tertinggi lima diantaranya merupakan wilayah kota
yang terdiri dari Kota Magelang, Kota Surakarta, Kota Salatiga, Kota Semarang
dan Kota Tegal. Lima kabupaten yang memiliki peringkat indeks ketimpangan
tertinggi adalah Banyumas, Temanggung, Tegal, Klaten dan Purbalingga. Satu-
satunya kota yang memiliki indeks ketimpangan terendah adalah Kota
Pekalongan, sedangkan kabupaten yang memiliki peringkat indeks ketimpangan
terendah adalah Kudus, Pati, Kebumen dan Rembang.
Sumber : Dihitung dari raw data Susenas Kor 2004-2010, BPS Gambar 29 Indeks Ketimpangan Pendapatan (Gini Rasio Income) menurut
Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2004-2010
Kondisi pada tahun 2010 terjadi sedikit pergeseran, Kota Tegal yang
semula termasuk dalam sepuluh daerah yang memiliki peringkat indeks
ketimpangan tertinggi berubah statusnya menjadi daerah yang memiliki indeks
ketimpangan terendah. Hal ini terjadi karena indeks ketimpangan di Kota Tegal
selama dua periode cenderung stabil, sementara wilayah yang lainnya justru
bergeser semakin tidak merata. Beberapa kabupaten yang peringkatnya berubah
menjadi wilayah dengan indeks ketimpangan tertinggi adalah Sukoharjo,
Purworejo, Wonogiri dan Karanganyar. Lima Kabupaten yang memiliki
92
peringkat terendah adalah Brebes, Kebumen, Pemalang, Jepara dan Rembang,
sehingga distribusi pendapatan di kelima daerah tersebut lebih merata.
Perubahan distribusi pendapatan penduduk selama periode 2004-2010
dapat dikaji menggunakan komponen tren. Jika tren bernilai positif maka
distribusi pendapatan bergeser semakin tidak merata atau ketimpangannya
semakin meningkat, sebaliknya jika tren bernilai negatif maka distribusi
pendapatan bergeser semakin merata. Nilai tren perubahan indeks ketimpangan di
level provinsi selama 2004-2010 sebesar 0,0054. Artinya, setiap tahun indeks
ketimpangan meningkat sebesar 0,0054 poin dan distribusi pendapatan penduduk
bergeser semakin tidak merata/timpang, meskipun perubahannya berjalan sangat
lambat (Gambar 30).
Sumber : Dihitung dari raw data Susenas Kor 2004-2010, BPS Gambar 30 Tren Ketimpangan Distribusi Pendapatan menurut Kabupaten/Kota,
2004-2010
Berdasarkan Gambar 30, mayoritas kabupaten/kota memiliki tren
perubahan indeks ketimpangan yang bernilai positif, artinya distribusi pendapatan
bergerak semakin tidak merata atau timpang. Semua daerah yang berstatus kota
memiliki tren perubahan yang meningkat dan yang terbesar terjadi di Kota
Pekalongan, Kota Tegal, Kota Surakarta dan Kota Semarang. Di sisi yang lain,
terdapat 7 kabupaten yang memiliki nilai tren perubahan bertanda negatif atau
distribusinya semakin merata. Ketujuh daerah tersebut adalah Kabupaten
Grobogan, Tegal, Wonogiri, Purworejo, Sragen, Banjarnegara dan Kendal.
Korelasi antara level indeks ketimpangan kondisi awal dengan tren perubahannya
memiliki arah negatif sebesar 0,299, sehingga hubungannya sangat lemah.
-0,0100
-0,0050
0,0000
0,0050
0,0100
0,0150
0,0200
Gro
boga
n
Tega
l
Won
ogir
i
Purw
orej
o
Srag
en
Banj
arne
gara
Kend
al
Pati
Won
osob
o
Blor
a
Rem
bang
Dem
ak
Suko
harj
o
Sem
aran
g
Kebu
men
Kota
Mag
elan
g
Boyo
lali
Purb
alin
gga
Peka
long
an
Klat
en
Breb
es
Bata
ng
Cila
cap
Kara
ngan
yar
Kota
Sal
atig
a
Kudu
s
Mag
elan
g
Pem
alan
g
Tem
angg
ung
Bany
umas
Jepa
ra
Kota
Sem
aran
g
Kota
Sur
akar
ta
Kota
Teg
al
Kota
Pek
alon
gan
Trend Ketimpangan
Trend Perubahan Indeks Ketimpangan Jawa Tengah
93
4.2.4 Dinamika Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah
Perkembangan jumlah penduduk miskin di Provinsi Jawa Tengah selama
periode 1996-2010 cukup berfluktuasi (Gambar 31). Secara umum, perkembangan
kemiskinan di daerah perkotaan dan perdesaan memiliki pola yang hampir serupa,
namun tingkat kemiskinan di perdesaan selalu lebih tinggi dari daerah perkotaan
dan gapnya juga semakin membesar sampai tahun 2007. Pada tahun 1996, jumlah
penduduk miskin mencapai 6,418 juta jiwa atau 21,61 persen dari jumlah
penduduk Jawa Tengah dan meningkat tajam menjadi 8,785 juta jiwa atau 28,46
persen dari penduduk di tahun 1999. Peningkatan ini merupakan dampak dari
krisis ekonomi yang melanda Indonesia mulai pertengahan tahun 1997. Selama
masa krisis, harga-harga barang dan jasa meningkat tak terkendali sehingga terjadi
penurunan daya beli penduduk dan jumlah penduduk miskin menjadi meningkat.
Sumber : BPS, Beberapa Terbitan
Gambar 31 Jumlah Penduduk Miskin Jawa Tengah (000 Jiwa) dan Persentase Kemiskinan menurut Wilayah, 1999-2010
Selama periode 2002-2005, tingkat kemiskinan secara bertahap
menunjukkan penurunan hingga mencapai 20,49 persen. Namun, level ini
kembali meningkat menjadi 22,19 persen di tahun 2006 sebagai dampak dari
kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Keputusan pemerintah tersebut
tidak hanya memicu kenaikan harga atau inflasi pada komoditas bahan bakar dan
jasa transportasi, namun juga mendorong inflasi barang dan jasa lainnya terutama
pada kelompok bahan pangan. Tingginya laju inflasi menyebabkan daya beli
masyarakat menurun drastis, sehingga kemiskinan di tahun 2006 mengalami
6,418
8,785
7,308 6,980 6,844
6,534 7,101
6,557 6,123
5,655 5,219
21,61
28,46
23,06 21,78 21,11 20,49
22,19 20,43 19,23
17,72 16,56
0
5
10
15
20
25
30
35
1996 1999 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
HC (000 jiwa) dan HCI (Persen)
Jumlah Penduduk Miskin (000 Jiwa) Persentase Penduduk Miskin PerdesaanPersentase Penduduk Miskin Perdesaan Persentase Penduduk Miskin K+D
Perkotaan
94
0
10
20
30Semarang Temanggung Kendal Batang Pekalongan Pemalang Tegal
0
10
20
30
2004200520062007200820092010
Brebes
2004200520062007200820092010
Kota Magelang
2004200520062007200820092010
Kota Surakarta
2004200520062007200820092010
Kota Salatiga
2004200520062007200820092010
Kota Semarang
2004200520062007200820092010
Kota Pekalongan
2004200520062007200820092010
Kota Tegal
0
10
20
30Grobogan Blora Rembang Pati Kudus Jepara Demak
0
10
20
30Magelang Boyolali Klaten Sukoharjo Wonogiri Karanganyar Sragen
0
10
20
30Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo
peningkatan meskipun di triwulan keempat pemerintah melakukan antisipasi
dengan menggulirkan program transfer berupa Bantuan langsung Tunai (BLT)
kepada rumah tangga miskin sasaran. Format program pengentasan kemiskinan
yang lebih terpadu dan terarah dengan mengkombinasikan program bantuan
langsung tunai, jaminan kesehatan penduduk miskin, bantuan operasional sekolah
dan bantuan langsung masyarakat terutama untuk perbaikan infrastruktur sejak
tahun 2007 menunjukkan hasil yang sedikit menggembirakan. Secara bertahap
jumlah penduduk miskin maupun persentasenya menunjukkan pola yang semakin
menurun hingga mencapai 5,22 juta jiwa atau 16,56 persen di tahun 2010. Gap
antara tingkat kemiskinan di daerah perkotaan dan perdesaan selama empat tahun
terakhir juga semakin mengecil.
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, Beberapa Terbitan Gambar 32 Level Kemiskinan (P0) menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah
Tahun 2004-2010 (Persen)
Level kemiskinan menurut kabupaten/kota di Jawa Tengah selama periode
2004-2010 memiliki pola yang sangat beragam (Gambar 32). Lima daerah yang
selalu memiliki tingkat kemiskinan tinggi adalah Kabupaten Kebumen, Rembang,
Wonosobo, Purbalingga, dan Brebes dengan level kemiskinan di masing-masing
95
lebih dari 20 persen. Sebaliknya, daerah yang memiliki tingkat kemiskinan
terendah adalah Kota Semarang, Kota Pekalongan, Kota Tegal dan Kota Salatiga
dengan level di masing-masing kurang dari 10 persen.
Pada umumnya, daerah yang memiliki tingkat kemiskinan rendah adalah
daerah yang memiliki pendapatan perkapita tinggi, struktur perekonomiannya
dominan di sektor industri pengolahan, perdagangan dan jasa, dan mayoritas
merupakan daerah yang berstatus kota. Meskipun demikian, terdapat daerah yang
memiliki pendapatan perkapita tinggi dan kemiskinannya juga tinggi, yakni
Kabupaten Cilacap. Tingginya pendapatan perkapita di Cilacap lebih didorong
oleh andil dari sektor industri pengolahan migas, namun nilai tambahnya hanya
dinikmati oleh sebagian kecil penduduk yang terlibat dalam aktivitas produksinya.
Pengelolaan industri migas di Cilacap dilakukan oleh BUMN Pertamina, sehingga
sebagaian besar nilai tambahnya dan keuntungan yang dihasilkan di setor ke
kantor pusat Pertamina sebagai representasi dari perwakilan pemerintah pusat
Mayoritas penduduk hanya menerima manfaat yang sangat kecil, sehingga
keberadaannya belum memberikan dampak yang signifikan dalam membantu
mengentaskan kemiskinan di Cilacap. Terdapat juga daerah yang memiliki
pendapatan perkapita rendah, namun tingkat kemiskinannya juga rendah, yakni
Kabupaten Jepara. Meskipun secara rata-rata pendapatan perkapita di Jepara
rendah, namun distribusi pendapatan antar penduduk berjalan lebih merata atau
mengumpul di sekitar rata-rata sehingga memiliki dampak yang cukup efektif
dalam mendorong penurunan kemiskinan.
Perubahan dalam level kemiskinan di semua kabupaten/kota selama
periode 2004-2010 dapat dikaji menggunakan komponen tren. Nilai koefisien
tren di level provinsi sebesar -0,374, artinya tingkat kemiskinan (P0) turun dengan
rata-rata sebesar 0,374 persen per tahun (Gambar 33). Tren perubahan
kemiskinan pada level kabupaten/kota sangat bervariasi. Mayoritas
kabupaten/kota memiliki tren perubahan kemiskinan negatif atau semakin
menurun. Namun demikian, terdapat lima daerah yang memiliki tren perubahan
kemiskinan positif atau tingkat kemiskinannya semakin meningkat. Kelima
daerah tersebut merupakan daerah yang berstatus kota dan terdiri dari Kota Tegal,
Kota Semarang, Kota Pekalongan, Kota Salatiga dan Kota Magelang. Fenomena
96
-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
Won
ogir
i
Cila
cap
Banj
arne
gara
Kebu
men
Won
osob
o
Pem
alan
g
Bata
ng
Bany
umas
Rem
bang
Boyo
lali
Kend
al
Pati
Tem
angg
ung
Kara
ngan
yar
Klat
en
Peka
long
an
Mag
elan
g
Breb
es
Kudu
s
Blor
a
Purb
alin
gga
Dem
ak
Tega
l
Kota
Sur
akar
ta
Suko
harj
o
Jepa
ra
Gro
boga
n
Purw
orej
o
Srag
en
Sem
aran
g
Kota
Teg
al
Kota
Sem
aran
g
Kota
Pek
alon
gan
Kota
Sal
atig
a
Kota
Mag
elan
g
Kabupaten/Kota
Tren Perubahan Kemiskinan
Tren Perubahan Kemiskinan Jawa Tengah
ini sangat terkait dengan level kemiskinan di kelima daerah yang relatif lebih
rendah (<10 persen), memiliki distribusi pendapatan yang cenderung lebih
timpang dan mayoritas penduduk miskinnya bersifat persisten. Program
pengentasan kemiskinan yang bersifat sentralistik dan serba seragam memiliki
pengaruh yang kurang signifikan dalam menurunkan kemiskinan, sehingga
diperlukan format program yang lebih intensif dan bersifat pemberdayaan.
Sumber : Diolah dari data kemiskinan 2004-2010 Gambar 33 Tren Perubahan Kemiskinan menurut Kabupaten/Kota di Provinsi
Jawa Tengah, 2004-2010
Daerah yang memiliki kemajuan baik dalam pengentasan kemiskinan
adalah Kabupaten Wonogiri, Cilacap, Banjarnegara, Kebumen dan Wonosobo.
Kelima daerah tersebut memiliki tren penurunan kemiskinan setiap tahun antara
0,6-0,9 persen. Berdasarkan level kemiskinan pada kondisi awal, kelimanya
termasuk dalam kategori daerah yang memiliki tingkat kemiskinan tinggi,
sehingga penurunan kemiskinan mampu berjalan lebih efektif dibandingkan
dengan daerah yang level kemiskinan pada kondisi awalnya sudah rendah. Secara
umum, level kemiskinan pada kondisi awal memiliki hubungan yang tidak searah
dengan tren perubahannnya. Korelasinya antara keduanya sebesar -0,55 dan
fenomena ini menunjukkan adanya proses secara bertahap yang semakin
konvergen dalam pola kemiskinan antar wilayah.
4.3 Kuadran Pertumbuhan, Ketimpangan dan Kemiskinan
Analisis kuadran antara pertumbuhan pendapatan perkapita, ketimpangan
pendapatan dan kemiskinan berguna untuk melihat hubungan antar variabel dan
membandingkan tingkat kemajuan antar wilayah berdasarkan ketiga variabel.
97
0.380.360.340.320.300.280.260.240.220.20
8
6
5
4
3
2
Indeks Ketimpangan 2010
Pert
umbu
han
2010
Kota Tegal
Kota Pekalongan
Kota Semarang
Kota Salatiga
Kota SurakartaKota Magelang
Brebes TegalPemalang
Pekalongan
Batang
Kendal
Temanggung
Semarang
DemakJeparaKudus
Pati
Rembang
Blora Grobogan
Sragen
Karanganyar
Wonogiri
Sukoharjo
Klaten
Boyolali
MagelangWonosobo
Purworejo
Kebumen
Banjarnegara
Purbalingga Banyumas
Cilacap
IV (LH) I (HH)
II (HL)III (LL)
0.340.320.300.280.260.240.220.20
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
Indeks Ketimpangan 2004
Pert
umbu
han
2004 Kota Tegal
Kota Pekalongan
Kota SemarangKota Salatiga
Kota Surakarta
Kota Magelang
Brebes
Tegal
PemalangPekalongan
Batang
Kendal
Temanggung
Semarang
DemakJepara
Kudus
Pati RembangBlora Grobogan
Sragen
Karanganyar
Wonogiri
Sukoharjo
Klaten
BoyolaliMagelang
Wonosobo
Purworejo
Kebumen
Banjarnegara
Purbalingga
Banyumas
Cilacap
IV (LH) I (HH)
II (HL)III (LL)
Analisis ini dilakukan dengan membuat scatterplot dua variabel yang dikaji, yakni
pertumbuhan dengan ketimpangan, pertumbuhan dengan kemiskinan dan
ketimpangan dengan kemiskinan dengan mengacu pada penelitian yang
dilakukan oleh Ravallion (2005) dan Nayyar (2005).
4.3.1 Kuadran Pertumbuhan dengan Ketimpangan
Scatterplot antara pertumbuhan pendapatan perkapita dengan indeks
ketimpangan antar kabupaten/kota di Jawa Tengah pada tahun 2004 dan 2010
disajikan dalam Gambar 34. Secara umum, scatterplot antara kedua variabel
menunjukkan hubungan positif yang tidak signifikan secara statistik. Korelasi
antara keduanya sebesar 0,001 pada tahun 2004 dan 0,33 pada tahun 2010.
Meskipun pendapatan perkapita mengalami pertumbuhan dari waktu ke waktu,
distribusi pendapatan cenderung stabil dan tidak mengalami perubahan berarti.
Gambar 34 Scatterplot Pertumbuhan Pendapatan Perkapita (Persen) dangan Indeks Ketimpangan Tahun 2004 dan 2010
98
Berdasarkan scatterplot selama dua periode, daerah yang selalu berada di
Kuadran I (HH) adalah Kabupaten Tegal dan Kota Surakarta. Kuadran ini
merepresentasikan daerah yang memiliki pertumbuhan dan ketimpangan di atas
rata-rata provinsi. Kota Salatiga menjadi daerah yang selalu berada di Kuadran II
(HL) yakni memiliki pertumbuhan di bawah rata-rata dan indeks ketimpangan di
atas rata-rata provinsi. Kuadran IV (LH) merepresentasikan daerah yang paling
ideal, yakni memiliki kemajuan baik dalam memacu pertumbuhan pendapatan
perkapita dan memiliki indeks ketimpangan rendah. Daerah yang selalu berada di
kuadran ini selama dua periode adalah Kabupaten Kota Tegal, Kabupaten
Karanganyar, Sragen dan Brebes.
4.3.2 Kuadran Ketimpangan dengan Kemiskinan
Pola scatterplot antara ketimpangan pendapatan dengan kemiskinan
menunjukkan hubungan linier yang lemah (Gambar 35). Daerah yang ideal
terletak di Kuadran III (LL) yakni memiliki tingkat kemiskinan dan ketimpangan
yang lebih rendah dari rata-rata provinsi. Berdasarkan scatterplot 2004, daerah
yang terletak di Kuadran III terdiri dari 10 kabupaten/kota, sementara pada
scatterplot tahun 2010 jumlahnya sebanyak 7 kabupaten/kota. Daerah yang selalu
berada di kuadran ini selama dua periode adalah Kabupaten Kudus, Jepara,
Magelang dan Kota Tegal.
Kuadran I (HH) merepresentasikan daerah yang memiliki kemiskinan dan
ketimpangan di atas rata-rata provinsi. Pada tahun 2004, kuadran ini terdiri dari
tiga daerah yakni Kabupaten Purbalingga, Klaten dan Banyumas. Sementara,
pada tahun 2010 terdiri dari empat daerah yakni Kabupaten Banyumas, Grobogan,
Sragen dan Purworejo. Mayoritas daerah berstatus kota selama 2004 dan 2010
terletak di Kuadran II (HL) dan merepresentasikan daerah dengan tingkat
kemiskinan rendah (di bawah rata-rata provinsi) dan ketimpangan di atas rata-rata
provinsi. Daerah yang memiliki tingkat kemiskinan tinggi pada umumnya
memiliki indeks ketimpangan yang rendah dan tercakup dalam Kuadran IV (HH).
Terdapat beberapa daerah yang selalu berada di Kuadran IV dan memiliki
kemiskinan di atas 20 persen, yakni Kabupaten Rembang, Brebes, Wonosobo, dan
Kebumen.
99
0.380.360.340.320.300.280.260.240.220.20
30
25
20
15
10
5
0
Indeks Ketimpangan 2010
Ting
kat K
emis
kina
n 20
10
Kota TegalKota Pekalongan
Kota Semarang
Kota Salatiga
Kota Surakarta
Kota Magelang
Brebes
Tegal
Pemalang
Pekalongan
BatangKendalTemanggung
Semarang
Demak
JeparaKudus
Pati
Rembang
Blora
GroboganSragen
KaranganyarWonogiri
Sukoharjo
Klaten
BoyolaliMagelang
Wonosobo
Purworejo
Kebumen
Banjarnegara
Purbalingga
Banyumas
Cilacap
IV (LH) I (HH)
II (HL)III (LL)
0.340.320.300.280.260.240.220.20
40
35
30
25
20
15
10
5
0
Indeks Ketimpangan 2004
Ting
kat K
emis
kina
n 20
04
Kota Tegal
Kota PekalonganKota Semarang
Kota Salatiga
Kota SurakartaKota Magelang
Brebes
TegalPemalangPekalongan
BatangKendal
Temanggung
Semarang
Demak
JeparaKudus
Pati
Rembang
Blora
Grobogan
Sragen
Karanganyar
Wonogiri
Sukoharjo
Klaten
Boyolali
Magelang
Wonosobo
Purworejo
Kebumen
Banjarnegara
Purbalingga
BanyumasCilacap
Kota Tegal
Kota PekalonganKota Semarang
Kota Salatiga
Kota SurakartaKota Magelang
Brebes
TegalPemalangPekalongan
BatangKendal
Temanggung
Semarang
Demak
JeparaKudus
Pati
Rembang
Blora
Grobogan
Sragen
Karanganyar
Wonogiri
Sukoharjo
Klaten
Boyolali
Magelang
Wonosobo
Purworejo
Kebumen
Banjarnegara
Purbalingga
BanyumasCilacap
IV (LH) I (HH)
II (HL)III (LL)
Gambar 35 Scatterplot Ketimpangan dangan Kemiskinan Tahun 2004 dan 2010
4.3.3 Kuadran Pertumbuhan dengan Kemiskinan
Pola Scatterplot kabupaten/kota antara pertumbuhan dengan kemiskinan
menunjukkan adanya hubungan yang tidak searah dan memiliki korelasi yang
lemah. Daerah yang paling ideal atau memiliki progress terbaik dalam
pengentasan kemiskinan maupun memacu pertumbuhan pendapatan terletak di
Kuadran IV (LH). Dalam scatterplot tahun 2004, Kuadran IV terdiri dari 6
daerah, yakni Kota Tegal, Kota Surakarta, Kabupaten Kudus, Karanganyar,
Cilacap dan Tegal, sementara, dalam scatterplot tahun 2010 terdiri dari delapan
daerah. Mayoritas daerah pada kuadran ini merupakan daerah berstatus kota dan
kabupaten yang memiliki pendapatan perkapita tinggi dan struktur
perekonomiannya dominan pada sektor yang berbasis industri pengolahan,
perdagangan dan jasa.
Kuadran III (LL) merepresentasikan daerah dengan level kemiskinan dan
pertumbuhan di bawah rata-rata provinsi. Daerah yang selalu berada di kuadran
100
ini adalah Kabupaten Semarang, Batang, Sukoharjo, Magelang, Jepara,
Temanggung dan Kota Salatiga. Kuadran II (HL) mencakup daerah yang
memiliki tingkat kemiskinan di atas rata-rata dan pertumbuhan pendapatan di
bawah rata-rata provinsi, sehingga merepresentasikan daerah yang paling tidak
sejahtera. Beberapa daerah yang selalu berada di kuadaran ini adalah Kabupaten
Wonosobo, Kebumen, Rembang dan Demak. Semuanya merupakan daerah yang
memiliki struktur perekonomian dominan pada sektor pertanian dengan level
pendapatan perkapita rendah. Daerah dengan pertumbuhan tinggi namun tingkat
kemiskinannya juga tinggi tercakup dalam Kuadran I (HH) dan diwakili oleh
Kabupaten Brebes, Sragen dan Purworejo. Daerah dengan kemiskinan tinggi
pada umumnya berpindah dari Kuadran I ke Kuadran II maupun sebaliknya.
Gambar 36 Scatterplot Pertumbuhan dan Kemiskinan Tahun 2004 dan 2010
101
4.4 Analisis Poverty Growth Curve (PGC)
Analisis PGC berguna untuk mengkaji katerkaitan antara pertumbuhan
yang diproksi dengan pendekatan pengeluaran, distribusi pendapatan dan
kemiskinan. Meskipun bersifat parsial tanpa menggunakan garis kemiskinan,
indikator ini memiliki konsep yang cukup kuat untuk menjelaskan derajad pro
poor growth. Indikator ini dihitung menggunakan variabel pengeluaran perkapita
dari data mentah hasil Susenas tahun 2004 dan 2010. Data pengeluaran perkapita
dihitung dalam bentuk riil, sehingga pengeluaran pada tahun 2010 dideflate
menggunakan laju inflasi umum selama periode 2004-2010.
Tabel 7 Pengeluaran Perkapita Riil per Bulan dan Pertumbuhannya Menurut Persentil dan Wilayah di Jawa Tengah Tahun 2004 dan 2010
Kelompok Pengeluaran
Pengeluaran Perkapita Riil per Bulan (Rp) Pertumbuhan Pengeluaran Perkapita
Riil 2004-2010 (%) Perkotaan (K) Perdesaan (D) K+D
2004 2010 2004 2010 2004 2010 K D K+D
5 68.716 92.966 68.505 90.991 68.541 91.401 5,88 5,47 5,56
10 84.989 114.561 85.285 113.665 85.224 113.899 5,80 5,55 5,61
15 95.105 127.014 95.065 127.427 95.073 127.307 5,59 5,67 5,65
20 102.909 137.896 102.819 137.945 102.840 137.929 5,67 5,69 5,69
25 109.760 147.561 109.950 147.687 109.903 147.647 5,74 5,72 5,72
30 117.117 156.708 116.856 156.699 116.930 156.702 5,63 5,68 5,67
35 123.810 166.365 123.558 165.959 123.636 166.105 5,73 5,72 5,72
40 130.701 176.051 130.495 175.998 130.563 176.018 5,78 5,81 5,80
45 137.329 186.261 137.648 186.219 137.539 186.237 5,94 5,88 5,90
50 144.728 196.585 144.769 196.496 144.754 196.534 5,97 5,96 5,96
55 152.401 208.148 152.225 208.037 152.292 208.088 6,10 6,11 6,11
60 161.246 220.855 160.842 220.990 161.021 220.928 6,16 6,23 6,20
65 170.265 234.865 170.451 234.664 170.363 234.761 6,32 6,28 6,30
70 181.105 250.513 180.725 250.380 180.907 250.447 6,39 6,42 6,41
75 193.651 269.975 193.411 269.668 193.543 269.840 6,57 6,57 6,57
80 209.313 293.507 209.372 294.156 209.341 293.791 6,70 6,75 6,72
85 228.985 325.278 228.693 326.246 228.877 325.655 7,01 7,11 7,05
90 257.808 377.202 256.515 374.920 257.352 376.339 7,72 7,69 7,71
95 307.459 466.155 305.537 465.446 306.858 465.946 8,60 8,72 8,64
100 507.540 896.568 497.290 795.229 504.988 877.551 12,77 9,99 12,30
Rata-rata 209.672 303.257 148.986 207.486 174.028 251.162 7,44 6,54 7,39
Sumber : Diolah dari Susenas 2004 dan 2010, BPS
102
Pengeluaran perkapita riil per bulan menurut kelompok pengeluaran
(persentil) dan wilayah secara lengkap disajikan dalam Tabel 7. Selama periode
tersebut, pengeluaran perkapita riil secara rata-rata mengalami peningkatan dari
Rp 170,23 ribu per bulan menjadi Rp 251,16 ribu per bulan di tahun 2010 atau
tumbuh sebesar 7,39 persen per tahun. Fenomena ini menunjukkan adanya
perbaikan kesejahteraan penduduk secara rata-rata selama periode 2004-2010.
Berdasarkan Tabel 7, level pengeluaran perkapita riil per bulan di daerah
perkotaan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan daerah perdesaan. Pada
tahun 2004, level pengeluaran perkapita di perkotaan mencapai Rp 209,6 ribu per
bulah dan meningkat menjadi Rp 303,25 ribu per bulan di tahun 2010 atau
tumbuh sebesar 7,44 persen per tahun. Level pengeluaran perkapita riil di daerah
perdesaan pada tahun 2004 sebesar Rp 148,99 ribu dan meningkat menjadi Rp
207,49 ribu di tahun 2010 atau tumbuh sebesar 6,54 persen per tahun. Secara
umum, hal tersebut mengindikasikan bahwa secara rata-rata kesejahteraan
penduduk daerah perkotaan meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan
penduduk di daerah perdesaan.
Gambar 37 Poverty Growth Curve Jawa Tengah Periode 2004-2010
Nilai pertumbuhan pengeluaran menurut kelompok persentil dapat disusun
kurva PGC. Secara umum, pertumbuhan pengeluaran riil per bulan semakin
meningkat seiring dengan peningkatan kelompok pengeluaran (persentil).
Gambar 37 mengilustrasikan porsi manfaat dari pertumbuhan atau peningkatan
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Pertumbuhan (%)
Golongan Pengeluaran (Persentil)
Rata-rata Pertumbuhan
103
kesejahteraan yang terbesar dinikmati oleh 15 persen penduduk pada golongan
berpendapatan tertinggi. Sementara itu, 85 persen penduduk pada golongan
pendapatan di bawahnya menerima peningkatan kesejahteraan di bawah rata-rata.
Berdasarkan kurva PGC apat disimpulkan bahwa pertumbuhan selama
periode 2004-2010 belum bersifat pro poor. Manfaat pertumbuhan secara
dominan dinikmati oleh penduduk pada golongan pendapatan tertinggi dan belum
berpihak kepada penduduk pada golongan berpendapatan rendah. Fenomena ini
menjadi penjelas mengapa pengentasan kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah, baik
di daerah perkotaan maupun perdesaan terkesan berjalan lambat.
104
Halaman ini sengaja dikosongkan
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Model Pertumbuhan Pendapatan Perkapita
Model pertumbuhan digunakan untuk mengidentifikasi variabel yang
menjadi sumber pertumbuhan pendapatan perkapita di Jawa Tengah serta
mengetahui seberapa besar pengaruhnya. Hasil estimasi model pertumbuhan
menggunakan pendekatan Panel Two-Stage EGLS atau Panel Two Stage Random
Effect secara ringkas disajikan dalam Tabel 8. Penggunaan metode Random
Effect didasarkan hasi Uji Hausman yang tidak signifikan pada taraf 10 persen,
artinya tidak terdapat korelasi antara efek individu dengan variabel bebas
sehingga penggunaan Random Effect Model lebih baik dibandingkan dengan
Fixed Effect Model.
Pengujian parameter hasil estimasi secara menyeluruh menggunakan Uji F
menghasilkan nilai statistik F sebesar 253,85 dan signifikan pada taraf 1 persen.
Hal ini berarti model layak digunakan karena mampu menjelaskan keragaman
variabel tak bebas. Teknik pendugaan dalam model Random Effect dilakukan
dengan metode Generalized Least Square (GLS) sehingga secara otomatis mampu
mengurangi permasalahan autokorelasi dan gejala heteroskedastisitas yang
disebabkan variasi sisaan yang tidak konstan (Gujarati, 2004).
Tabel 8 Hasil Estimasi Model Pertumbuhan
Variabel Koefisien Standart Error t-Statistic Elastisitas
Variabel Bebas : Log(KAP)
Const. -2,143 *** 0,205 -10,472
Log(KERJA_SLTP) -0,001 0,023 -0,029 -0,001
Log(KERJA_SLTA) 0,056 ** 0,021 2,612 0,056
Log(MYS) 0,439 *** 0,103 4,244 0,439
INV 0,004 *** 0,008 4,731 0,033
Log(LISTRIK) 0,333 *** 0,028 11,876 0,333
Log(JALAN) 0,052 *** 0,016 3,360 0,052
Log(PUB) 0,020 *** 0,006 3,114 0,020
Catatan : * Signifikan pada taraf 10%, ** Signifikan pada taraf 5%, *** Signifikan pada taraf 1%
Berdasarkan hasil estimasi, variabel yang memiliki pengaruh signifikan
terdiri dari jumlah pekerja terampil (berpendidikan SLTA ke atas), stok
106
kapital/investasi, rata-rata usia lama sekolah, kualitas infrastruktur listrik dan jalan
raya serta belanja pembangunan. Keenam variabel signifikan pada taraf 1 persen,
sementara variabel jumlah pekerja tidak terampil (berpendidikan SLTP ke bawah)
tidak memiliki pengaruh yang signifikan pada taraf 10 persen.
Variabel yang memiliki pengaruh terbesar terhadap pertumbuhan
pendapatan perkapita adalah modal manusia yang diproksi dari rata-rata usia lama
sekolah penduduk (MYS). Elastisitas pendapatan perkapita terhadap rata-rata usia
lama sekolah sebesar 0,439, sehingga kenaikan rata-rata usia lama sekolah sebesar
1 persen akan mendorong pertumbuhan pendapatan perkapita sebesar 0,439
persen ceteris paribus. Temuan ini sejalan dengan hipótesis teori pertumbuhan
endogen yang menyatakan modal manusia sebagai sumber pertumbuhan yang
terpenting. Kenaikan kualitas sumber daya manusia melalui jalur pendidikan
akan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan/skill yang dimiliki pekerja dan
akan memengaruhi produktivitas melalui cara produksi lebih efisien. Beberapa
penelitian sebelumnya juga menghasilkan temuan yang serupa, elastisitas
pendapatan perkapita terhadap rata-rata usia lama sekolah memiliki arah positif
dengan besaran yang bervariasi (Prasetyo, 2010; Purwanto, 2011).
Modal manusia yang diproksi dengan jumlah seluruh pekerja memiliki
pengaruh yang tidak signifikan. Ketika variabel jumlah pekerja dibagi menjadi
dua bagian, yakni pekerja terampil dan pekerja tidak terampil maka estimasi
model menunjukkan hasil yang berbeda. Elastisitas pendapatan perkapita
terhadap jumlah pekerja terampil sebesar 0,056, sehingga pertumbuhan jumlah
pekerja terampil sebesar 1 persen akan mendorong pertumbuhan pendapatan
perkapita sebesar 0,056 persen ceteris paribus. Di sisi yang lain, variabel jumlah
pekerja yang tidak terampil memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap
pendapatan perkapita. Fenomena ini menunjukkan bahwa modal manusia tidak
ditentukan oleh jumlah atau kuantitas penduduk yang pekerja, namun lebih
ditentukan oleh kualitas keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki oleh pekerja.
Hanya pekerja yang memiliki keterampilan/skill yang akan mendorong
pertumbuhan pendapatan perkapita melalui peningkatan produktivitas.
Pentingnya modal manusia dalam mendorong pertumbuhan di Jawa
Tengah dihadapkan pada realita masih rendahnya kualitas sumber daya manusia.
107
Rata-rata lama usia sekolah penduduk berusia kerja pada tahun 2001 hanya
mencapai 6,09 tahun dan setara dengan tamat SD, meskipun secara bertahap
meningkat menjadi 7,24 tahun atau setara dengan SLTP kelas VII di tahun 2010.
Kebijakan pemerintah melalui pendidikan dasar sembilan tahun masih belum
menghasilkan respon yang menggembirakan, padahal kebijakan ini telah
dicanangkan sejak tahun 1994. Rata-rata usia lama sekolah penduduk meningkat,
namun tingkat kemajuannya berjalan secara lambat. Hal ini tidak lepas dari
adanya ketimpangan dalam memperoleh akses pendidikan baik dari sisi
partisipasi, kualitas maupun keberlangsungannya.
Fakta menunjukkan masih terdapat perbedaan yang sangat mencolok
antara rata-rata usia lama sekolah di daerah perdesaan dan di daerah perkotaan.
Pada Tahun 2010, rata-rata lama sekolah penduduk perdesaan mencapai 6,58
tahun, sementara penduduk perkotaan mencapai 8,38 tahun. Permasalahan ini
terkait dengan ketersediaan infrastruktur pendidikan di tingkat SLTP dan SLTA
maupun ketersediaan tenaga pendidik yang terpusat di daerah perkotaan.
Sementara itu, keberadaan fasilitas pendidikan setingkat SLTP dan SLTA di
daerah perdesaan sangat sulit ditemui. Dampaknya, penduduk usia sekolah di
perkotaan lebih mudah mengakses pendidikan, sementara di daerah perdesaan
mengalami kesulitan dalam mengakses pendidikan akibat persoalan jarak maupun
sarana transportasi yang belum memadai.
Variabel yang memberikan pengaruh terbesar kedua adalah kualitas
infrastruktur listrik. Elastisitas pendapatan perkapita terhadap kualitas
infrastruktur listrik sebesar 0,333, sehingga peningkatan kualitas infrastruktur
energi listrik sebesar 1 persen akan mendorong pertumbuhan pendapatan
perkapita sebesar 0,333 persen ceteris paribus. Hasil ini juga sejalan dengan
temuan dari beberapa penelitian sebelumnya yang menghasilkan elastisitas positif
dengan besaran yang bervariasi (Setiadi, 2006; Yanuar, 2006; Prasetyo, 2010;
Purwanto, 2011).
Besarnya elastisitas pendapatan perkapita terhadap infrastruktur listrik
menjadi sangat realistis, karena energi listrik memiliki peran yang sangat strategis
dalam menggerakkan aktivitas perekonomian maupun dalam kehidupan sehari-
hari. Pasokan listrik yang tersedia secara cukup dan berkesinambungan tidak
108
hanya penting untuk kegiatan konsumsi, namun juga menjadi jaminan bagi
kelangsungan proses produksi terutama pada industri yang berbasis mesin dan
teknologi. Pemanfaatan energi listrik di Jawa Tengah sampai tahun 2010
sebagian besar digunakan untuk keperluan rumah tangga dengan porsi 49,81
persen. Porsi penggunaan energi listrik untuk keperluan industri dan usaha sebesar
45,04 persen dan sisanya sebanyak 5,15 persen digunakan untuk kegiatan sosial,
pemerintahan dan penerangan jalan.
Berbeda dengan infrastruktur listrik yang memiliki elastisitas cukup besar,
kualitas infrastruktur jalan raya hanya memiliki elastisitas sebesar 0,052. Nilai ini
memiliki makna peningkatan rasio jalan yang berstatus mantap terhadap luas
wilayah sebesar 1 persen akan mendorong pertumbuhan pendapatan perkapita
sebesar 0,052 persen ceteris paribus. Beberapa penelitian sebelumnya juga
menghasilkan temuan yang serupa, elastisitas infrastruktur jalan raya relatif lebih
rendah dibandingkan dengan elastisitas infrastruktur energi listrik (Amrullah,
2006; Sibarani, 2002; Prasetyo, 2010).
Kualitas infrastruktur jalan raya memiliki peranan strategis dalam
perekonomian, terutama untuk menjamin kelancaran mobilitas faktor produksi
maupun distribusi barang dan jasa hasil produksi. Ketergantungan yang sangat
tinggi terhadap infrastruktur jalan raya dibandingkan dengan infrastruktur
transportasi lainnya menuntut peran pemerintah salaku penyedia jasa pelayanan
publik untuk menjamin ketersediaan jalan raya dengan kualitas yang baik.
Sampai saat ini, mobilitas barang dan jasa di Jawa Tengah masih sangat
bergantung pada keberadaan Jalur Pantura yang kondisinya semakin
memprihatinkan akibat kualitas jalan yang menurun maupun peningkatan volume
kendaraan yang melewatinya. Jalan alternatif melalui jalur selatan dan tengah
kondisinya juga lebih memprihatinkan. Permukaan jalan banyak yang rusak dan
terkendala oleh kondisi medan yang menanjak serta berkelok-kelok.
Permasalahan rendahnya kualitas infrasrtuktur jalan raya tidak lepas dari adanya
dikotomi dalam pengelolaan infrastruktur jalan antara pemerintah pusat dan
daerah. Celah ini membuka peluang penyimpangan dalam tender dalam
pengelolaan jalan, sehingga meskipun sering diperbaiki kondisi jalan secara cepat
mengalami kerusakan.
109
Perubahan stok kapital atau investasi fisik yang diproksi dengan
pembentukan modal tetap bruto juga memiliki pengaruh yang signifikan dengan
elastisitas sebesar 0,033. Hal ini bermakna perubahan stok kapital sebesar 1
persen akan mendorong pertumbuhan pendapatan perkapita sebesar 0,033 persen
ceteris paribus. Pengeluaran pemerintah untuk belanja pembangunan memiliki
elastisitas sebesar 0,02, sehingga kenaikan pengeluaran pembangunan sebesar 1
persen akan mendorong pertumbuhan pendapatan perkapita sebesar 0,02 persen.
Relatif rendahnya pengaruh perubahan stok kapital/investasi dan belanja
pembangunan terhadap pertumbuhan menunjukkan pemanfaatan investasi untuk
penambahan modal fisik belum berjalan secara optimal. Investasi fisik yang
dilakukan oleh pemerintah maupun swasta masih terkonsentrasi untuk
penambahan modal di sektor konstruksi terutama properti, sementara untuk
penambahan modal mesin dan sarana transportasi produktif masih relatif rendah.
Porsi investasi fisik untuk kegiatan konstruksi masih di atas 70 persen, padahal
tingkat pengembaliannya jauh lebih lambat dibandingkan dengan investasi mesin
dan sarana transportasi produktif. Rendahnya pengaruh variabel belanja
pembangunan terhadap pertumbuhan juga disebabkan oleh rendahnya rasio
belanja pembangunan terhadap APBD. Rata-rata rasio di semua kabupaten/kota
pada tahun 2010 hanya sebesar 14,5 persen. Nilai ini masih jauh dari kondisi
ideal maupun rata-rata nasional yang mencapai 22,9 persen (Kemenkeu, 2011).
5.2 Model Pencari Kerja/Pengangguran
Model pengangguran digunakan untuk mengidentifikasi determinan yang
memengaruhi perubahan jumlah pencari kerja/penganggur. Hasil estimasi model
pengangguran menggunakan pendekatan Panel Two-Stage EGLS atau Panel Two
Stage Random Effect secara ringkas disajikan dalam Tabel 9. Secara umum,
model menghasilkan nilai F statistik sebesar 64,87 dan signifikan pada taraf 1
persen, sehingga mampu menjelaskan keragaman variabel tak bebas. Variabel
yang memiliki pengaruh signifikan adalah jumlah angkatan kerja tidak terampil
(SLTP ke bawah), angkatan kerja terampil (SLTA ke atas), pendapatan perkapita
dan investasi. Variabel upah mínimum riil tidak memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap jumlah penganggur pada taraf 10 persen.
110
Tabel 9 Hasil Estimasi Model Pengangguran
Variabel Koefisien Standart Error t-Statistic Elastisitas
Variabel Bebas : Log(UN)
Const. 1,267 0,158 1,673
Log(AK_SLTP) 0,265 ** 0,173 3,205 0,265
Log(AK_SLTA) 0,553 *** 0,202 -0,046 0,553
Log(UPAH) -0,009 0,333 -4,363 -0,009
Log(KAP) -1,453 *** 0,003 -2,644 -1,453
INV -0,009 ** 0,158 1,673 -0,069
Catatan : * Signifikan pada taraf 10%, ** Signifikan pada taraf 5%, *** Signifikan pada taraf 1%
Berdasarkan hasil estimasi, variabel yang memiliki pengaruh terbesar
terhadap perubahan jumlah penganggur adalah pendapatan perkapita dengan
elastisitas sebesar -1,453. Setiap pertumbuhan pendapatan perkapita sebesar 1
persen akan berpengaruh terhadap penurunan jumlah pencari kerja/penganggur
sebesar 1,453 persen ceteris paribus. Variabel perubahan stok kapital/investasi
juga memiliki pengaruh negatif dengan elastisitas sebesar -0,069 ceteris paribus,
sehingga peningkatan stok kapital sebesar 1 persen akan menyebabkan penurunan
jumlah penganggur sebesar -0,069 persen. Investasi memiliki pengaruh langsung
terhadap penurunan jumlah penganggur melalui penciptaan kesempatan kerja
baru, sehingga semakin tinggi investasi maka peluang terciptanya kesempatan
kerja akan semakin besar.
Peningkatan jumlah pencari kerja/penganggur di Jawa Tengah juga sangat
berkaitan dengan pertumbuhan jumlah angkatan kerja atau sering disebut
pengangguran alamiah. Hal ini terlihat dari besarnya pengaruh peningkatan
jumlah angkatan kerja baik yang terampil maupun yang tidak terampil terhadap
peningkatan jumlah pencari kerja. Kedua variabel memiliki pengaruh yang nyata
dengan elastisitas masing-masing sebesar 0,553 dan 0,265. Nilai tersebut
bermakna pertumbuhan jumlah angkatan kerja terampil sebesar 1 persen akan
mendorong peningkatan jumlah penganggur sebesar 0,553 persen dan
pertumbuhan jumlah angkatan kerja tidak terampil sebesar 1 persen akan
memengaruhi pertumbuhan jumlah penganggur sebesar 0,265 persen ceteris
paribus.
111
Fenomena tersebut dapat dijelaskan oleh fakta bahwa penduduk yang baru
masuk ke dalam angkatan kerja terutama yang berpendidikan tinggi akan lebih
rasional untuk mencari dan memilih jenis pekerjaan yang sesuai dengan
pendidikannya. Mereka akan cenderung memilih kesempatan kerja di sektor
formal dengan pertimbangan tingkat upah yang lebih tinggi. Di sisi yang lain,
jumlah kesempatan kerja yang tersedia di sektor formal lebih terbatas
dibandingkan dengan jumlah peminatnya sehingga berpengaruh pada lamanya
waktu bagi angkatan kerja baru untuk mendapatkan kesempatan kerja yang sesuai.
Lamanya waktu untuk mencocokkan jenis pekerjaan yang sesuai juga mendorong
peningkatan pengangguran friksional terutama pada angkatan kerja baru yang
berpendidikan tinggi. Hasil temuan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
Suparno (2010) yang menyatakan bahwa rasio jumlah pekerja berpendidikan
SLTA ke atas berpengaruh positif terhadap pengangguran di Indonesia.
Todaro dan Smith (2006) mengemukakan kebanyakan angkatan kerja
cenderung menolak apa yang mereka anggap sebagai penurunan persyaratan atas
pekerjaan mereka. Banyak pencari kerja dengan pendidikan tinggi yang memiliki
harapan tinggi dan tidak sesuai dengan kenyataan yang ada di pasar tenaga kerja.
Mereka akan memilih untuk tetap tidak bekerja selama beberapa waktu daripada
menerima pekerjaan yang menurut mereka kurang sesuai, apalagi jika dikaitkan
dengan tingkat pendidikan yang dimiliki. Semakin lamanya waktu menganggur
maka harapan-harapan itu akan terus melemah, sehingga pada akhirnya mereka
terpaksa menerima jenis-jenis pekerjaan yang sebenarnya hanya memerlukan
tingkat pendidikan yang lebih rendah.
Berbeda dengan angkatan kerja terampil, angkatan kerja yang idak
terampil akan lebih realistis untuk menempati kesempatan kerja yang tersedia dan
membutuhkan waktu yang lebih singkat untuk menunggu jenis pekerjaan yang
sesuai. Kesempatan kerja di sektor informal sekalipun akan dimasuki, meskipun
statusnya sebagai buruh lepas bahkan sebagai pekerja tidak dibayar. Maraknya
perkembangan di sektor informal menjadi penjelas mengapa pertumbuhan jumlah
angkatan kerja yang tidak terampil memiliki pengaruh yang lebih kecil dalam
meningkatkan jumlah penganggur dibandingkan dengan angkatan kerja terampil.
112
SD26,79
SLTP29,25
SLTA 35,87
PT8,09
SD23,36SLTP
27,09
SLTA 41,02
PT8,53
SD22,32SLTP
24,82
SLTA 44,40
PT8,47
Perkembangan jumlah pencari kerja di Jawa Tengah menurut tingkat
pendidikan disajikan dalam Gambar 38. Secara umum, terdapat kecenderungan
proporsi jumlah pencari kerja dengan level pendidikan SLTA dan Perguruan
Tinggi (pekerja terampil) semakin meningkat. Sebaliknya, proporsi jumlah
pekerja berpendidikan rendah (SLTP ke bawan) jumlahnya semakin menurun.
Sumber : Diolah dari Susenas 2004, 2007, 2010, BPS Jawa Provinsi Tengah Gambar 38 Proporsi Jumlah Penganggur di Jawa Tengah menurut Pendidikan
Berdasarkan hasil estimasi, variabel upah mínimum kabupaten/kota tidak
memiliki pengaruh yang signifikan dalam meningkatkan jumlah penganggur.
Meskipun secara nominal upah meningkat, namun secara riil nilainya tidak
berubah atau cenderung stabil. Tujuan utama kebijakan penetapan upah mínimum
adalah untuk mempertahankan standar upah riil yang diterima pekerja sebagai
akibat dari kenaikan harga atau inflasi. Bagi pekerja terdidik kebijakan upah
mínimum tidak memberi pengaruh besar, karena pada umumnya mereka sudah
menikmati tingkat upah di atas upah mínimum. Namun bagi pekerja tidak
terampil atau pekerja berpendidikan rendah, upah mínimum memberikan manfaat
yang cukup besar karena meningkatkan upah mereka di atas tingkat upah
keseimbangan.
Secara umum, kebijakan upah mínimum di Jawa Tengah hanya berlaku
pada sektor formal seperti industri pengolahan, konstruksi, perdagangan dan jasa
karena secara langsung mudah diawasi oleh instansi yang terkait. Pada sektor
informal dan sektor pertanian upah mínimum tidak berlaku, karena
pengawasannya sangat sulit dan supply pekerja di sektor tersebut sangat
melimpah. Bagi perusahaan formal, kebijakan penentuan upah mínimum di atas
tingkat upah keseimbangan akan menambah beban pengeluaran perusahaan.
Sebagai konsekuensinya maka perusahaan akan melakukan penjatahan pekerjaan
kepada pekerja yang benar-benar produktif atau melakukan hal yang lebih ekstrim
2004 2007 2010
113
dengan memberlakukan sistem kerja kontrak. Semakin maraknya pemanfaatan
pekerja kontrak oleh perusahaan menjadi penjelas mengapa upah mínimum
menjadi kurang signifikan memengaruhi pertumbuhan jumlah penganggur.
5.3 Model Ketimpangan
Model ketimpangan digunakan untuk mengidentifikasi variabel yang
memengaruhi ketimpangan dalam distribusi pendapatan antar penduduk di Jawa
Tengah. Hasil estimasi model ketimpangan menggunakan pendekatan Panel
Two-Stage EGLS atau Panel Two Stage Random Effect secara ringkas disajikan
dalam Tabel 10. Secara umum, semua variabel bebas memiliki pengaruh yang
nyata terhadap indeks ketimpangan pendapatan yang diproksi dengan Gini rasio.
Pertumbuhan pendapatan perkapita, ketimpangan pendidikan dan indeks harga
berpengaruh positif dalam meningkatkan ketimpangan pendapatan, sementara
pengeluaran belanja pembangunan memiliki pengaruh positif dalam menurunkan
ketimpangan. Nilai statistik F yang dihasilkan model sebesar 10,91 dan signifikan
pada taraf 1 persen, sehingga secara keseluruhan model mampu menjelaskan
keragaman variabel tak bebas Gini rasio pendapatan.
Tabel 10 Hasil Estimasi Model Ketimpangan
Variabel Koefisien Standart Error t-Statistic Elastisitas
Variabel Bebas : iGINI
Const. -0,061 0,085 -0,725
Log(KAP) 0,048 *** 0,011 4,472 0,175
eGINI 0,118 ** 0,061 1,929 0,135
Log(IHK) 0,055 *** 0,020 2,713 0,202
Log(PUB) -0,013 ** 0,006 -1,946 -0,046
Catatan : * Signifikan pada taraf 10%, ** Signifikan pada taraf 5%, *** Signifikan pada taraf 1%
Variabel bebas yang memiliki pengaruh terbesar adalah indeks harga yang
diproksi dengan deflator PDRB. Besarnya elastisitas ketimpangan terhadap
indeks harga sebesar 0,202, sehingga setiap kenaikan indeks harga atau inflasi
sebesar 1 persen akan meningkatkan indeks ketimpangan pendapatan sebesar
0,202 persen ceteris paribus. Dalam bab sebelumnya telah disampaikan bahwa
nilai indeks ketimpangan pendapatan (Gini rasio income) dihitung menggunakan
data pengeluaran rumah tangga/individu, karena data pendapatan tidak tersedia.
114
Pola konsumsi atau pengeluaran penduduk sangat sensitif dipengaruhi oleh
pendapatan yang diterima dan tingkat harga yang berlaku. Ketika terjadi kenaikan
harga barang dan jasa, maka pendapatan riil yang diterima penduduk akan
menurun dan sebagai konsekuensinya akan terjadi penurunan daya beli terhadap
barang dan jasa. Penurunan daya beli yang terbesar akan dirasakan oleh
penduduk pada golongan pendapatan rendah, sementara penduduk golongan
pendapatan tinggi masih dapat mempertahankan pola konsumsinya. Hal ini
menjadi penjelas, ketika terjadi kenaikan harga maka akan berdampak pada
peningkatan indeks ketimpangan atau distribusi pendapatan/pengeluaran menjadi
semakin tidak merata.
Variabel pendapatan perkapita memiliki pengaruh terbesar kedua dengan
elastisitas sebesar 0,175. Nilai ini bermakna setiap pertumbuhan pendapatan
perkapita sebesar 1 persen akan meningkatkan indeks ketimpangan sebesar 0,175
persen ceteris paribus. Hasil ini sejalan dengan temuan yang dihasilkan oleh
penelitian Wodon (1999), Lin (2003), Hidayat dan Patunru (2007) serta Hajiji
(2010) yang menyatakan pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan ketimpangan
pendapatan antar penduduk.
Sumber : Diolah dari Susenas Kor 2004 dan 2010, BPS
Gambar 39 Pangsa Konsumsi menurut Kelompok Pengeluaran (Kuintil) di Jawa Tengah Tahun 2004 dan 2010
Temuan penelitian ini dapat dijelaskan oleh fenomena distribusi manfaat
hasil pertumbuhan di Jawa Tengah lebih banyak dinikmati oleh 20 persen
penduduk pada golongan pendapatan teratas. Secara proporsional, bagian dari
pendapatan yang dibelanjakan untuk konsumsi oleh penduduk pada golongan
115
pendapatan atas selama periode 2004-2010 meningkat jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan konsumsi penduduk pada golongan pendapatan di
bawahnya (Gambar 39). Peningkatan pangsa pengeluaran/konsumsi penduduk
hanya terjadi di kuintil kesepuluh atau pada golongan pendapatan 10 persen yang
tertinggi. Sementara itu, penduduk pada kuintil pertama sampai kuintil delapan
atau 80 persen penduduk golongan pendapatan terbawah justru memiliki pangsa
pengeluaran/konsumsi yang semakin menurun selama dua periode dan 10 persen
penduduk pada kuintil kesembilan memiliki pangsa pengeluaran/konsumsi yang
relatif stabil.
Variabel indeks ketimpangan pendidikan yang diproksi dengan Gini rasio
lama sekolah juga memiliki pengaruh positif dalam meningkatkan indeks
ketimpangan pendapatan. Elastisitas ketimpangan pendapatan terhadap
ketimpangan pendidikan sebesar 0,135, sehingga perubahan ketimpangan
pendidikan sebesar 1 persen akan menyebabkan perubahan ketimpangan
pendapatan sebesar 0,135 persen ceteris paribus. Sudah menjadi fenomena umum
bahwa pendapatan/upah yang diterima oleh pekerja/penduduk pada semua
golongan pendapatan memiliki korelasi yang kuat dengan tingkat produktivitas
yang dihasilkan. Produktivitas ditentukan oleh tingkat keterampilan/skill yang
dimiliki pekerja dan tingkat keterampilan dapat didorong melalui kegiatan
pendidikan dan pelatihan. Secara tidak langsung, tingkat pendidikan penduduk
juga memiliki hubungan positif dengan tingkat pendapatan yang diterimanya.
Sumber : Diolah dari Susenas 2010, BPS Jawa Tengah Gambar 40 Usia Rata-rata Lama Sekolah Penduduk menurut Kelompok
Pengeluaran (Kuintil) di Jawa Tengah Tahun 2010
116
Fenomena di Jawa Tengah menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang
diukur dari rata-rata usia lama sekolah antar golongan pendapatan sampai tahun
2010 masih sangat timpang. Secara umum, rata-rata usia lama sekolah penduduk
meningkat seiring dengan peningkatan golongan pendapatan penduduk.
Penduduk pada golongan pendapatan terendah memiliki rata-rata usia lama
sekolah di bawah rata-rata lama sekolah seluruh penduduk yang mencapai 7,37
tahun. Rata-rata usia lama sekolah penduduk pada 20 persen golongan pendapatan
terendah hanya 5,86 tahun, artinya secara rata-rata setara dengan belum tamat
sekolah dasar. Sebaliknya, 10 persen penduduk pada golongan pendapatan
tertinggi memiliki rata-rata usia lama sekolah 9,8 tahun atau setara dengan
mengenyam pendidikan di tingkat SLTA kelas 1 (Gambar 40).
Rendahnya kualitas pendidikan pada golongan 20 persen penduduk
berpendapatan terendah menyebabkan produktivitas dan tingkat pendapatan yang
diterima menjadi rendah, sehingga pola konsumsinya juga rendah. Di sisi lain,
kualitas pendidikan penduduk pada golongan pendapatan tinggi yang relatif lebih
baik menyebabkan produktivitas dan pendapatan yang diperoleh lebih tinggi
sehingga pola pengeluarannya juga lebih tinggi. Korelasi antara rata-rata usia
lama sekolah penduduk dengan rata-rata pengeluaran perkapita menurut persentil
juga cukup kuat, yakni sebesar 0,88. Hal ini menjadi penjelas ketimpangan dalam
pendidikan akan memiliki pengaruh positif terhadap ketimpangan dalam
pendapatan/pengeluaran.
Satu-satunya variabel yang memiliki pengaruh signifikan dengan arah
yang berlawanan adalah pengeluaran pemerintah untuk belanja
modal/pembangunan. Elastisitas ketimpangan pendapatan terhadap belanja
pembangunan sebesar -0,046, artinya peningkatan belanja pembangunan sebesar 1
persen akan berpengaruh terhadap penurunan indeks ketimpangan pendapatan
sebesar 0,01 persen ceteris paribus.
5.4 Model Kemiskinan
Model kemiskinan digunakan untuk mengidentifikasi variabel yang
memengaruhi tingkat kemiskinan di Jawa Tengah. Estimasi model dilakukan
menggunakan pendekatan Panel Two-Stage EGLS atau PanelTwo Stage Random
117
Effect dan secara ringkas hasilnya disajikan dalam Tabel 11. Variabel yang
signifikan memengaruhi jumlah penduduk miskin adalah pendapatan perkapita,
jumlah penganggur dan indeks harga. Sementara, variabel ketimpangan
pendapatan tidak signifikan memengaruhi kemiskinan pada taraf 10 persen. Nilai
F statistik yang dihasilkan model sebesar 42,69 dan signifikan pada taraf 1 persen,
sehingga secara keseluruhan model mampu menjelaskan keragaman variabel
kemiskinan.
Tabel 11 Hasil Estimasi Model Kemiskinan
Variabel Koefisien Standart Error t-Statistic Elastisitas
Variabel Bebas : Log(HC)
Const. 4,730 *** 0,338 13,973
Log(KAP) -1,585 *** 0,175 -9,061 -1,585
Log(UN) 0,052 * 0,035 1,474 0,052
IGINI 0,387 0,763 0,507 0,001
Log(IHK) 0,403 *** 0,095 4,222 0,403
Catatan : * Signifikan pada taraf 10%, ** Signifikan pada taraf 5%, *** Signifikan pada taraf 1%
Variabel yang memiliki pengaruh terbesar terhadap penurunan jumlah
penduduk miskin adalah pertumbuhan pendapatan perkapita. Elastisitas
kemiskinan terhadap pendapatan perkapita sebesar -1,585, artinya pertumbuhan
pendapatan perkapita sebesar 1 persen akan menurunkan jumlah penduduk miskin
sebesar 1,585 persen ceteris paribus. Hasil ini sejalan dengan temuan dari
beberapa penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa pertumbuhan
pendapatan perkapita menjadi determinan terpenting bagi penurunan kemiskinan
(Wodon, 1999; Bourguignon, 2004; Meng, et al., 2005; Nayyar, 2005; Hajiji,
2010).
Pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan level dan pertumbuhan
pendapatan perkapita penduduk secara rata-rata, termasuk peningkatan
pendapatan pada kelompok penduduk berpendapatan rendah (miskin). Oleh
karena itu, untuk tujuan pengentasan kemiskinan diperlukan pertumbuhan yang
positif. Hal yang perlu menjadi perhatian adalah kebijakan untuk mengejar
akselerasi pertumbuhan yang tinggi akan membawa pengaruh atau memiliki trade
off berupa naiknya indeks harga atau inflasi dan meningkatnya ketidakmerataan
118
dalam distribusi pendapatan. Ketidakmerataan dalam distribusi akan meningkat
karena alokasi kepemilikan faktor produksi yang berupa modal, lahan dan skill
yang tidak merata. Kenaikan indeks harga maupun indeks ketimpangan akan
mengurangi efektifitas pertumbuhan dalam pengentasan kemiskinan di Jawa
Tengah.
Berdasarkan hasil estimasi, besarnya elastisitas kemiskinan te indeks harga
sebesar 0,403. Artinya, setiap kenaikan indeks harga atau inflasi sebesar 1 persen
akan menaikkan jumlah penduduk miskin sebesar 0,403 persen ceteris paribus.
Meskipun pendapatan perkapita penduduk secara rata-rata meningkat, terjadinya
inflasi akan menyebabkan daya beli menurun dan status miskin penduduk yang
berada di sekitar garis kemiskinan menjadi sangat rentan dipengaruhi oleh tingkat
perubahan harga. Hasil ini sejalan dengan temuan yang dilakukan oleh Nayyar
(2005) dan Meng et. al (2005) yang menyatakan kenaikan indeks harga/inflasi
terutama pada kelompok bahan pangan memiliki pengaruh positif dalam
meningkatkan kemiskinan.
Besarnya elastisitas kemiskinan terhadap pengangguran adalah 0,052,
artinya kenaikan jumlah penganggur sebesar 1 persen akan berpengaruh terhadap
meningkatnya jumlah penduduk miskin sebesar 0,049 persen ceteris paribus.
Relasi antara pengangguran dengan kemiskinan dapat dijelaskan melalui
fenomena ketika banyak orang yang berstatus penganggur maka akan berhadapan
dengan permasalahan keterbatasan keuangan/likuiditas akibat menurunnya
pendapatan/upah yang diterima. Kondisi ini akan berdampak kepada pemenuhan
kebutuhan dasar diri dan keluarganya, sehingga menjadi sangat rentan untuk jatuh
ke bawah garis kemiskinan. Anak-anak dari rumah tangga tersebut akan sulit
untuk mendapat pendidikan yang layak dan kondisi ini akan memengaruhi
produktivitas dan daya saing dalam pasar tenaga kerja pada masa yang datang,
Variabel indeks ketimpangan yang diukur dengan Gini rasio memiliki
elastisitas sebesar 0,001. Artinya, setiap kenaikan indeks ketimpangan
pendapatan sebesar 1 persen akan berpengaruh terhadap meningkatnya jumlah
penduduk miskin sebesar 0,001 persen ceteris paribus. Meskipun demikian,
variabel indeks ketimpangan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
perubahan jumlah penduduk miskin pada taraf 10 persen.
119
Pada Bab Tinjauan Pustaka telah dijelaskan bahwa terdapat tiga
kemungkinan dari perubahan distribusi pendapatan sebagai efek dari pertumbuhan.
Pertama, bagian terbesar pertumbuhan ekonomi dinikmati oleh penduduk yang
tidak miskin dan hanya sebagian kecil sisanya dinikmati oleh penduduk yang
miskin. Kemungkinan kedua, bagian terbesar dari pertumbuhan dinikmati oleh
penduduk yang miskin, sedangkan sisanya dinikmati oleh penduduk yang tidak
miskin. Ketiga, semua golongan penduduk menerima manfaat yang sama dari hasil
pertumbuhan. Ketiga kemungkinan tersebut akan membawa pengaruh yang
berbeda dalam pengentasan kemiskinan. Jika kemungkinan pertama dan ketiga
yang terjadi, maka pertumbuhan ekonomi tetap akan mampu mengurangi
kemiskinan, tetapi efektivitasnya menjadi jauh berkurang. Jika yang terjadi adalah
kemungkinan kedua, maka secara efektif pertumbuhan yang dihasilkan akan
mampu mengentaskan kemiskinan.
Fenomena yang terjadi di Provinsi Jawa Tengah adalah kemungkinan yang
pertama yakni pertumbuhan meningkat dan bagian terbesar dari hasil pertumbuhan
dinikmati oleh penduduk yang tidak miskin. Penduduk miskin hanya menikmati
hasil pertumbuhan di bawah rata-rata. Hal ini terjadi karena pertumbuhan juga
membawa pada meningkatnya ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan.
Permasalahan ini tidak lepas dari lapangan usaha yang menjadi sumber
pertumbuhan di Jawa Tengah adalah lapangan usaha/sektor perekonomian yang
bersifat capital intensive terutama industri migas, sektor keuangan serta listrik, gas
dan air bersih. Sementara itu, lapangan usaha/sektor yang bersifat labor intensive
seperti sektor pertanian, perdagangan eceran dan jasa perorangan justru memiliki
pertumbuhan yang jauh lebih lambat.
Gambar 40 mengilustrasikan perubahan distribusi pengeluaran perkapita riil
penduduk Jawa Tengah selama periode 2004 dan 2010. Sumbu mendatar
menyatakan pengeluaran perkapita riil per bulan dalam satuan rupiah, sementara
sumbu vertikal menyatakan fungsi sebaran atau density dari pengeluaran perkapita.
Gambar bagian atas merupakan sebaran pendapatan perkapita pada tahun 2004 dan
bagian bawah merupakan sebaran tahun 2010. Secara rata-rata, pengeluaran
perkapita riil per bulan mengalami peningkatan dari Rp 174 ribu pada tahun 2004
menjadi Rp 251 ribu pada tahun 2010. Peningkatan pendapatan riil ini
120
mencerminkan efek pertumbuhan. Efek pertumbuhan mampu mendorong
penurunan jumlah penduduk miskin selama dua periode yang diilustrasikan oleh
berkurangnya luas area di sebelah kiri garis kemiskinan dan di bawah kurva density.
Meskipun demikian, terdapat pola distribusi pendapatan selama dua periode justru
bergeser ke arah kanan, artinya distribusi menjadi semakin tidak merata atau
timpang. Jumlah penduduk miskin tetap mengalami penurunan dari 21,11 persen
di tahun 2004 menjadi 16,56 persen pada tahun 2010, tetapi efektifitas dalam
penurunannya menjadi berkurang akibat meningkatnya ketimpangan dalam
distribusi pendapatan.
Sumber : Diolah dari Susenas 2004 dan 2010, BPS Jawa Tengah Gambar 41 Kurva Distribusi Penduduk menurut Pengeluaran Perkapita di Jawa
Tengah Tahun 2004 dan 2010
5.5 Simulasi Kebijakan
Simulasi merupakan salah satu tahapan dalam permodelan yang dapat
digunakan untuk mengkaji arah hubungan dan besarnya pengaruh dari perubahan
variabel eksogen tertentu dalam model terhadap semua variabel endogen.
Simulasi memiliki beberapa tujuan, yakni melakukan pengujian dan evaluasi
terhadap model (expost), mengevaluasi kebijakan pada masa lampau (backasting)
dan membuat peramalan pada masa datang (ex-ante).
02.
00e-
064.
00e-
066.
00e-
068.
00e-
06
0 200000 400000 600000 800000 1000000
02.
00e-
064.
00e-
066.
00e-
068.
00e-
06
0 200000 400000 600000 800000 1000000
Pengeluaran Perkapita
Garis Kemiskinan Rata-rata Pengeluaran Perkapita
121
5.5.1 Validasi Model
Tahapan yang dilakukan sebelum melakukan simulasi adalah validasi
model. Validasi berguna untuk mengetahui daya prediksi model hasil estimasi
atau sejauh mana hasil estimasi mampu menjelaskan kondisi yang sebenarnya.
Model dikatakan valid untuk melakukan simulasi jika memenuhi semua atau
sebagian dari kriteria Root Mean Square Percent Error (RMPSE) di bawah 100
persen, Theil’s Innequality Coeficient (U-Theil’s) mendekati 0 dan koefisien
determinasi mendekati 1.
Hasil validasi model secara ringkas disajikan dalam Tabel 12. Secara
umum, keempat persamaan sudah memenuhi aspek kelayakan dan dapat
digunakan untuk melakukan simulasi. Hal ini terlihat dari nilai RMPSE pada
semua persamaan berkisar antara 0,028-0,216, artinya berada di bawah 100
persen. Nilai U-Theil’s dari semua persamaan juga sudah mendekati 0, tetapi dari
validasi menggunakan koefisien determinasi menunjukkan belum semua
persamaan memiliki nilai R2 di atas 80 persen. Persamaan ketimpangan (Gini
rasio pendapatan) hanya memiliki koefisien determinasi di bawah 50 persen,
artinya model hanya mampu menjelaskan keragaman variabel indeks ketimpangan
sebesar 50 persen dan 50 persen yang lainnya dijelaskan oleh variabel lain di luar
persamaan.
Tabel 12 Hasil Validasi Variabel Endogen Pada Model Estimasi
Variabel Endogen
Validasi Model
RMPSE (Root Mean Percent
Squares Error)
U-Theil’s (Theil’s Inequality
Coefficient)
R2 (Koefisien Determinasi)
KAP (Pendapatan Perkapita) 0,028 0,015 0,996
UN (Jumlah Penganggur) 0,216 0,099 0,881
IGINI (Gini Rasio Pendapatan) 0,114 0,051 0,496
HC (Jumlah Penduduk Miskin) 0,104 0,047 0,986
Sumber: Hasil pengolahan
5.5.2 Dampak Kenaikan Belanja Pembangunan
Analisis dampak kenaikan belanja pembangunan dilakukan untuk
mengetahui seberapa besar pengaruh kebijakan pemerintah melalui instrumen
belanja pembangunan/modal terhadap pertumbuhan pendapatan perkapita,
122
pengangguran, ketimpangan dan kemiskinan di Jawa Tengah berdasarkan model
yang telah dibangun. Simulasi dilakukan melalui dua skenario utama. Skenario
pertama adalah meningkatkan pengeluaran belanja pembangunan di semua
kabupaten/kota sebesar 22 persen (Sim-a). Skenario 22 persen didasarkan pada
tren pertumbuhan belanja pembangunan per tahun selama periode 2004-2010 di
Provinsi Jawa Tengah.
Skenario yang kedua adalah meningkatkan proporsi atau rasio belanja
pembangunan terhadap APBD di semua kabupaten/kota menjadi beberapa
tingkatan, yakni 18 persen (Sim-b1), 20 persen (Sim-b2) dan 23 persen (Sim-b3).
Nilai skenario 23 persen didasarkan atas rata-rata rasio belanja pembangunan
terhadap APBD kabupaten/kota di level nasional selama tahun 2011. Sementara
itu, nilai rasio sebesar 18 persen dan 20 persen digunakan sebagai simulasi
pembanding. Sampai tahun 2010, rata-rata rasio belanja pembangunan terhadap
APBD kabupaten/kota di Jawa Tengah masih sebesar 14,5 persen dan menempati
peringkat kedua yang terendah secara nasional (Depkeu, 2011).
Hasil simulasi menggunakan skenario kenaikan belanja pembangunan
sebesar 22 persen (Sim-a) secara ringkas disajikan dalam Tabel 13. Simulasi ini
menghasilkan nilai pendapatan perkapita sebesar Rp 4,78 juta atau meningkat 0,4
persen dari nilai dasar sebesar Rp 4,76 juta. Jumlah penganggur dan indeks
ketimpangan mengalami penurunan masing-masing sebesar 0,58 persen dan 0,002
poin. Sementara itu, jumlah penduduk miskin turun 0,75 persen menjadi 5.696
ribu jiwa. Simulasi dengan skenario ini memberikan pengaruh yang sama di
semua daerah berdasarkan klasifikasi pada tipologi Klassen (Lampiran 14).
Tabel 13 Hasil Simulasi Peningkatan Belanja Pembangunan Sebesar 22 Persen
Variabel Keterangan Dasar Simulasi Perubahan
KAP Pendapatan Perkapita (Rp Juta) 4,76 4,78 0,40
UN Jumlah Pengangguran (Jiwa) 849,29 844,38 -0,58
GINI Indeks Ketimpangan 0,2842 0,2818 -0,002
HC Jumlah Penduduk Miskin (Jiwa) 5.739 5.696 -0,75
Sumber : Hasil Pengolahan
Hasil simulasi dengan meningkatkan proporsi belanja pembangunan
terhadap APBD semua kabupaten/kota menjadi 18 persen (Sim-b1), 20 persen
123
(Sim-b2) dan 23 persen (Sim-b3) disajikan dalam Tabel 14. Secara umum,
simulasi menjggunakan Sim-b1, Sim-b2 dan Sim-b3 menghasilkan respon yang
lebih baik dalam meningkatkan pertumbuhan, maupun mengurangi pengangguran,
ketimpangan dan kemiskinan dibandingkan dengan simulasi pertama (Sim-a).
Tabel 14 Hasil Simulasi Peningkatan Rasio Belanja Pembangunan Terhadap APDB Kabupaten/Kota Sebesar 18 Persen, 20 Persen dan 23 Persen
Tipe Daerah/Variabel Endogen
Data Dasar
Simulasi Perubahan
Sim-b1 Sim-b2 Sim-b3 Sim-b1 Sim-b2 Sim-b3
Daerah Maju KAP 9,39 9,51 9,53 9,56 1,33 1,55 1,83
UN 129,65 127,52 127,12 126,61 -1,65 -1,95 -2,35 GINI 0,3017 0,2962 0,2950 0,2933 -0,006 -0,007 -0,008 HC 458,8 449,7 447,9 445,6 -1,98 -2,37 -2,89
Daerah Tertekan KAP 8,55 8,66 8,68 8,71 1,33 1,55 1,83 UN 138,93 135,99 135,57 135,02 -2,12 -2,42 -2,81 GINI 0,2940 0,2870 0,2858 0,2842 -0,0070 -0,0082 -0,0099 HC 607,9 590,2 587,9 584,8 -2,90 -3,29 -3,80
Daerah Tertinggal KAP 3,45 3,50 3,51 3,52 1,35 1,56 1,85 UN 263,28 258,29 257,50 256,45 -1,90 -2,20 -2,59 GINI 0,2746 0,2673 0,2661 0,2644 -0,0073 -0,0085 -0,0101 HC 2085,09 2036,83 2028,73 2018,04 -2,31 -2,70 -3,22
Daerah Berkembang KAP 2,99 3,02 3,03 3,04 1,24 1,45 1,74 UN 317,43 312,05 311,10 309,83 -1,69 -1,99 -2,39 GINI 0,2790 0,2718 0,2706 0,2689 -0,0072 -0,0084 -0,0100 HC 2587,2 2529,1 2519,0 2505,7 -2,25 -2,64 -3,15
Jawa Tengah KAP 4,76 4,83 4,84 4,85 1,31 1,53 1,81 UN 849,29 833,85 831,29 827,91 -1,82 -2,12 -2,52 GINI 0,2842 0,2772 0,2759 0,2743 -0,0070 -0,0082 -0,0099 HC 5739,0 5605,9 5583,6 5554,2 -2,32 -2,71 -3,22
Sumber : Hasil Pengolahah Keterangan: Sim-b1 : Peningkatan Rasio Belanja Pembangunan terrhadap APBD Kabupaten/Kota menjadi 18%.
Sim-b2 : Peningkatan Rasio Belanja Pembangunan terrhadap APBD Kabupaten/Kota menjadi 20% Sim-b3 : Peningkatan Rasio Belanja Pembangunan terrhadap APBD Kabupaten/Kota menjadi 23%
. Pada level provinsi, simulasi dengan meningkatkan porsi belanja
pembangunan sampai 23 persen (Sim-b1) merupakan skenario yang paling efektif.
Skenario ini menghasilkan pendapatan perkapita sebesar Rp 4,85 juta atau tumbuh
1,81 persen. Jumlah penganggur, indeks ketimpangan maupun jumlah penduduk
miskin juga menurun dengan perubahan masing-masing sebesar 2,52 persen,
0,0099 poin dan 3,22 persen. Sementara, Sim-b2 dan Sim-b3 juga menunjukkan
hasil yang sama meskipun besarnya perubahan lebih kecil. Sim-b1 menjadi
124
skenario yang paling realistis untuk diimplementasikan, karena tidak akan
memengaruhi perubahan struktur pengeluaran/belanja pemerintah daerah secara
frontal. Cara yang dapat ditempuh pemerintah daerah adalah dengan mengurangi
porsi pengeluaran sifatnya rutin dan kurang manfaat seperti perjalanan dinas,
rapat dan melakukan penghematan untuk anggaran operasional kantor serta
mengalihkannya untuk belanja pembangunan.
Hasil simulasi berdasarkan klasifikasi daerah dengan tipologi Klassen
tahun 2010 menunjukkan bahwa Sim-b1, Sim-b2 dan Sim-b3 lebih efektif
diterapkan untuk mengurangi kemiskinan pada daerah dengan kondisi
perekonomian tertekan (Kuadran II) dan daerah tertinggal (Kuadran III). Hal ini
terlihat dari efektivitas dalam menurunkan kemiskinan yang mampu berjalan lebih
cepat dibandingkan dengan daerah maju (Kuadran I). Tabel 14 juga menunjukkan
bahwa populasi penduduk miskin terbesar terdapat di daerah tertinggal (Kuadran
III) dan berkembang (Kuadran IV), seperti Kabupaten Banyumas, Purbalingga,
Banjarnegara, Wonosobo, Kebumen, Brebes, Pemalang, Blora, Wonogiri,
Grobogan dan Rembang. Kebijakan pengentasan kemiskinan melalui peningkatan
porsi belanja pembangunan seharusnya lebih diintensifkan di daerah-daerah
tersebut dengan cara menambah alokasi pengeluaran pembangunan dari sumber
APBD provinsi.
5.5.3 Dampak Kenaikan Stok Kapital/Investasi dan Indeks Harga Simulasi ini bertujuan untuk melihat pengaruh peningkatan stok kapital/
investasi (Sim-c) dan kenaikan indeks harga/inflasi (Sim-d) terhadap pertumbuhan
pendapatan perkapita, jumlah penganggur, indeks ketimpangan dan jumlah
penduduk miskin. Peningkatan stok kapital (Sim-c) didasarkan atas nilai tren
investasi di level provinsi yang tumbuh sebesar 8 persen pertahun, sementara
peningkatan indeks harga/inflasi (Sim-d) didasarkan pada inflasi tahunan 2011 di
Jawa Tengah yang mencapai 2,68 persen.
Hasil simulasi menggunakan kedua skenario disajikan dalam Tabel 15.
Simulasi kenaikan investasi (Sim-c) memberikan pengaruh terhadap peningkatan
pendapatan perkapita sebesar 0,74 persen dan mengurangi jumlah penganggur
sebesar 1,44 persen. Dampak Sim-c terhadap indeks ketimpangan tidak terlalu
125
signifikan karena indeks ketimpangan hasil simulasi cenderung stabil atau tidak
berbeda dengan kondisi dasar. Sementara itu, skenario ini memiliki dampak
dalam menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 0,49 persen. Simulasi
berdasarkan daerah menggunakan tipologi Klassen menunjukkan bahwa Sim-c
memiliki dampak paling efektif dalam menurunkan kemiskinan di daerah yang
termasuk dalam klasifikasi perekonomiannya maju dan tertekan atau daerah yang
memiliki level pendapatan perkapita di atas rata-rata provinsi. Sementara itu,
dampak bagi pengentasan kemiskinan di daerah yang termasuk dalam klasifikasi
berkembang dan terbelakang relatif lebih kecil. Berdasarkan hasil tersebut, untuk
tujuan akhir pengentasan kemiskinan maka kebijakan investasi harus lebih
diarahkan ke daerah yang termasuk dalam kategori berkembang dan terbelakang.
Tabel 15 Hasil Simulasi Peningkatan Investasi Sebesar 8 Persen (Sim-c) dan Indeks Harga Sebesar 2,68 Persen (Sim-d)
Tipe Daerah/Variabel Endogen
Data Dasar
Simulasi Perubahan
Sim-c Sim-d Sim-c Sim-d
Daerah Maju KAP 9,39 9,56 9,39 1,90 0,00
UN 129,65 124,24 129,65 -4,18 0,00 GINI 0,3017 0,3020 0,3031 0,0003 0,0015 HC 458,83 453,33 464,00 -1,20 1,13
Daerah Tertekan KAP 8,55 8,59 8,55 0,51 0,00
UN 138,93 136,37 138,93 -1,84 0,00 GINI 0,2940 0,2942 0,2955 0,0002 0,0015 HC 607,89 601,66 614,74 -1,02 1,13
Daerah Tertinggal KAP 3,45 3,46 3,45 0,22 0,00
UN 263,28 261,29 263,28 -0,75 0,00 GINI 0,2746 0,2747 0,2760 0,0001 0,0015 HC 2.085,09 2.077,83 2.108,61 -0,35 1,13
Daerah Berkembang KAP 2,99 2,99 2,99 0,22 0,00
UN 317,43 315,13 317,43 -0,72 0,00 GINI 0,2790 0,2791 0,2804 0,0001 0,0015 HC 2.587,22 2.577,93 2.616,40 -0,36 1,13
Jawa Tengah KAP 4,76 4,80 4,76 0,74 0,00
UN 849,29 837,02 849,29 -1,44 0,00 GINI 0,2842 0,2841 0,2854 0,0000 0,0013 HC 5.739,02 5.710,75 5.803,75 -0,49 1,13
Sumber : Hasil Pengolahah Keterangan: Sim-c : Peningkatan Investasi Sebesar 8 Persen
Sim-d : Peningkatan Indeks Harga/Inflasi Sebesar 2,68 Persen
126
Hasil simulasi berupa kenaikan indeks harga (Sim-d) sebesar 2,68 persen
memberikan pengaruh terhadap positif dalam meningkatkan indeks ketimpangan
dan jumlah penduduk miskin. Indeks ketimpangan meningkat sebesar 0,0013
poin, artinya ketika terjadi kenaikan harga/inflasi maka distribusi pendapatan/
pengeluaran penduduk akan bergeser semakin tidak merata. Kenaikan indeks
harga sebesar 2,68 persen akan mendorong peningkatan penduduk miskin sebesar
1,13 persen di semua daerah. Implikasinya diperlukan kebijakan untuk menjaga
stabilitas harga, terutama harga kebutuhan pokok dengan menjamin ketersediaan
barang serta memperlancar alur distribusi.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan hasil pembahasan
adalah:
1. Selama periode 2004-2010, pendapatan perkapita di level provinsi maupun
kabupaten/kota memiliki tren positif dengan besaran yang bervariasi dan tidak
terdapat korelasi yang sistematis antara level pendapatan perkapita
kabupaten/kota pada kondisi awal dengan tren perubahannya. Ketimpangan
pendapatan di level provinsi dan mayoritas kabupaten/kota memiliki tren
meningkat atau distribusinya semakin tidak merata. Terdapat hubungan
negatif yang lemah antara indeks ketimpangan kabupaten/kota pada kondisi
awal dengan tren perubahannya. Tingkat kemiskinan pada level provinsi dan
mayoritas kabupaten memiliki tren yang menurun, sementara pada beberapa
daerah kota trennya justru meningkat. Terdapat hubungan negatif antara level
kemiskinan kabupaten/kota pada kondisi awal dengan tren perubahannya.
2. Manfaat hasil pertumbuhan selama periode 2004-2010 secara dominan
dinikmati oleh 10 persen penduduk pada golongan pendapatan tertinggi,
sehingga pertumbuhan Jawa Tengah selama periode tersebut belum bersifat
pro poor.
3. Pertumbuhan pendapatan perkapita menjadi determinan utama bagi penurunan
jumlah penduduk miskin di Jawa Tengah, namun efektivitasnya menjadi
berkurang karena pertumbuhan juga membawa pada kondisi distribusi
pendapatan yang semakin tidak merata. Kenaikan indeks harga dan
peningkatan jumlah penganggur menjadi determinan yang mengurangi
efektifitas kebijakan pengentasan kemiskinan. Determinan yang menjadi
sumber pertumbuhan pendapatan perkapita di Jawa Tengah terdiri dari
kualitas modal manusia yang diproksi dengan rata-rata usia lama sekolah,
kualitas infrastruktur listrik dan transportasi yang diproksi dengan jalan raya,
jumlah pekerja berpendidikan SLTA ke atas (terampil), kapital fisik/investasi
dan belanja pembangunan. Determinan positif pertumbuhan jumlah
penganggur/pencari kerja adalah pertumbuhan angkatan kerja menurut
128
pendidikan (SLTA ke atas dan SLTP ke bawah), sementara determinan
negatifnya adalah pertumbuhan pendapatan perkapita. Upah minimum
kabupaten/kota tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap jumlah
penganggur. Ketimpangan pendapatan memiliki hubungan yang searah
dengan pertumbuhan pendapatan perkapita, ketimpangan pendidikan dan
perubahan indeks harga serta memiliki hubungan yang tidak searah dengan
belanja pembangunan.
6.2 Saran dan Implikasi Kebijakan
Beberapa saran dan implikasi kebijakan berdasarkan hasil penelitian
adalah sebagai berikut:
1. Pentingnya pertumbuhan pendapatan perkapita bagi pengentasan kemiskinan
perlu disikapi pemerintah dengan kebijakan mempertajam kualitas
pertumbuhan melalui perbaikan infrastruktur, kualitas modal manusia dan
kegiatan investasi, terutama di kabupaten yang perekonomiannya masih
tertinggal dan belum berkembang.
2. Pengeluaran pemerintah untuk belanja pembangunan harus lebih diarahkan
untuk perbaikan kualitas infrastruktur terutama di kabupaten yang termasuk
kategori tertinggal dan daerah perdesaan melalui program pembangunan yang
berbasis lokal/wilayah, bersifat padat karya dan memiliki tujuan akhir
pengentasan kemiskinan. Rasio pengeluaran pemerintah untuk belanja
pembangunan terhadap APBD secara bertahap harus ditingkatkan dengan cara
mengurangi alokasi anggaran yang sifatnya rutin dan kurang bermanfaat.
3. Pertumbuhan yang tinggi juga membawa pada distribusi pendapatan ke arah
yang semakin tidak merata. Pemerintah seharusnya tidak hanya fokus dalam
mengejar akselerasi pertumbuhan, tetapi juga fokus dalam memperbaiki
distribusi pendapatan penduduk melalui kebijakan redistribusi yang lebih
progresif. Efektivitas kebijakan transfer subsidi yang sedang/akan dilakukan
harus dipertajam melalui evaluasi dan pengawasan terhadap mekanisme dan
sasaran.
4. Pola kemiskinan dan ketimpangan di beberapa daerah berstatus kota yang
cenderung meningkat harus diintervensi dengan meningkatkan efektivitas
129
program redistribusi baik dari sisi rumah tangga sasaran penerima maupun
format program yang lebih bersifat pemberdayaan. Rumah tangga miskin
sasaran pada umumnya bersifat persisten, mudah berpindah tempat atau belum
tercakup dalam database satuan lingkungan setempat sehingga program
penanggulangan kemiskinan harus dikoordinasi pada tingkatan birokrasi yang
terendah (RT/RW) melibatkan unsur keterwakilan dari rumah tangga sasaran
dan tokoh masyarakat. Kemiskinan kota juga sangat terkait dengan tingginya
kepadatan penduduk, sehingga arus urbanisasi ke kota harus dikurangi dengan
meningkatkan kualitas infrastruktur di daerah yang pinggiran/penyangga.
4. Kualitas pendidikan menjadi sumber pertumbuhan yang terpenting dan
menjadi variabel antara bagi pengentaskan kemiskinan, namun dihadapkan
pada realita masih terdapat ketimpangan dalam mengaksesnya. Kebijakan
yang harus ditempuh pemerintah adalah memperluas kesempatan dan
menjamin pemerataan bersekolah bagi penduduk usia sekolah dari rumah
tangga berpendapatan rendah sampai level yang tertinggi. Cara yang dapat
ditempuh berupa pemberian kuota tempat bagi siswa dari rumah tangga
berpendapatan rendah/miskin untuk bersekolah secara gratis pada level
pendidikan dasar dan menengah serta memberi beasiswa bagi siswa dari
keluarga miskin yang berprestasi untuk tingkat pendidikan tinggi disertai
dengan pengawasan secara ketat dalam implementasinya. Ketimpangan
pendidikan antar daerah perkotaan dan perdesaan harus dikurangi dengan
meningkatkan kualitas infrastruktur pendidikan dan menjamin ketersediaan
tenaga pendidik di daerah perdesaan sampai level pendidikan dasar sembilan
tahun.
5. Distribusi pendapatan dan kemiskinan sangat sensitif terhadap perubahan
indeks harga, sehingga diperlukan kebijakan untuk menjamin stabilitas harga
terutama harga kebutuhan dasar. Pada level regional, pemerintah daerah dapat
melakukan intervensi dengan memperlancar alur distribusi dan transportasi
barang, mengurangi retribusi/pungutan serta mengalokasikan sebagian dari
APBD untuk membangun gudang sebagai sarana menyimpan hasil produksi
pertanian terutama kebutuhan pokok pada saat panen raya sebagai stok
130
penyangga pada masa paceklik dan melakukan pembelian pada saat harga
komoditas jatuh.
6.3 Saran Lebih Lanjut
1. Secara keseluruhan model dapat diperluas dengan memperpanjang unsur
waktu (time series) serta memasukkan dummy kabupaten/kota atau dummy
karakteristik geografis (pesisir/daratan).
2. Proksi variabel pertumbuhan pendapatan perkapita menggunakan
pertumbuhan PDRB perkapita untuk beberapa daerah menjadi kurang tepat,
sehingga dapat diproksi menggunakan alternatif lain seperti pertumbuhan
pengeluaran perkapita dari data survei pengeluaran rumah tangga.
3. Model Pertumbuhan dapat diperluas dengan memasukkan variabel daya saing
wilayah, pengaruh sektoral, keterbukaan perekonomian dan tata kelola
pemerintahan. Model ketimpangan dapat diperluas dengan memasukkan
variabel ketimpangan dalam kepemilikan aset lahan serta transfer program
perlindungan sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Amrullah, T. 2006. Analisis Pengaruh Pembangunan Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia. [Tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia.
[Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2010. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2009-2014. Jakarta: Bappenas.
Baltagi, B.H. 2005. Econometrics Analysis of Panel Data 3rd Edition. Chicester: John Wiley & Sons. Ltd.
Barro, R. J.1991. “Economic Growth in a Cross Section of Countries”. Quarterly Journal of Economics 106(2): 407-433.
Barro, R. J., Sala-I-Martin. 1995. Economic Growth. Cambridge MA: MIT Press.
Barro, R.J. 1997. Determinants of Economic Growth.: A Cross-Country Empirical Study. Cambridge: MIT Press.
Blanchard, O. 2009. Macroeconomics. New York: Prentice Hall Business Publishing
Bourguignon, F. 2004. The Poverty-Growth-Inequality Triangle. Washington: World Bank.
[BPS] Badan Pusat Statistik. Website BPS, Berbagai Publikasi. www.bps.go.id.
. 2004. Indikator Ketenagakerjaan. Jakarta.
. 2008. Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan 2008. Jakarta
.2009. Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan 2009. Jakarta
.2007-2011. Berita Resmi Statistik. Jakarta.
. 2002-2010. Data dan Informasi Kemiskinan. BPS. Jakarta
[BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Jawah Tengah. 2004-2010. Daerah dalam Angka Provinsi Jawa Tengah. Semarang: BPS Provinsi Jawa Tengah.
Dollar, D., Kraay, A. 2002. Growth is Good for the Poor. Washington: The World Bank Development Research Group.
Dornbusch, R., Fischer, S., Startz, R. 2008. Makroeconoms Edisi 10 (Penerjemah: Roy Indra M.). Jakarta: PT Global Edukasi.
Fan, S. P., Hazell, Thorat, S. 2002. Linkages between Government Spending, Growth, and Poverty in Rural India. Washington: International Food Policy Research Institute.
Firdaus, M. 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series. Cetakan Pertama. Bogor: IPB Press.
132
Gujarati D. N. 2004. Basic Econometrics 4th Edition. New York: McGraw Hill.
Hajiji, A. 2010. Keterkaitan antara Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan dan Pengentasan Kemiskinan Provinsi Riau 2002-2008. [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Hidayat, S., Patunru, A.A. 2007. Pertumbuhan Ekonomi, Ketidakmerataan Pendapatan dan Kemiskinan: Estimasi Parameter Elastisitas Kemiskinan Tingkat Provinsi di Indonesia Tahun 1996-2005. Jakarta: Universitas Indonesia.
Juanda, B. 2009. Ekonometrika: Pemodelan dan Pendugaan. Bogor: IPB Press.
Kakwani, N., Prakash, B., Son, H.H. 2000. Growth, inequality and poverty: an Introduction. Asian Development Review 18(2): 1-21.
Kakwani, N. Khandker S., Son, H.H. 2004. Pro-Poor Growth: Concepts and Measurement with Country Case Studies. Brazil: United Nations Development Programme International Poverty Centre, Vol 1.
[Kemenkeu] Kementerian Keuangan Republik Indonesia. 2011. Deskripsi dan Analisis APBD 2011. Jakarta: DJPK Kemenkeu.
Kuznets, S. 1955. Economic Growth And Income Inequality. The American Economic Review. 45: 1-28.
Lin, B.Q. 2003. Economic Growth, Income Inequality, and Poverty Reduction in People’s Republic of China. Asian Development Review (20):105-124.
Lucas, R.E. 1988. On The Mechanics of Economic Development. Journal of Monetary Economics, Vol. 22(1):3-42.
Mankiw, G.N. 2007. Makroekonomi. Edisi Keenam (Alih Bahasa Fitria Liza dan Imam Nurmawan). Jakarta: Erlangga.
Meng, X., Gregory, R., Wong, Y. 2005. Poverty, Inequality and Growth in Urban China, Discussion Paper No. 1452. Bonn: The Institute For Study of Labor (IZA).
Nayyar, G. 2005. Growth and Poverty in Rural India: An Analysis of Inter-State Differences. Economic and Political Weekly. 16(04): 1631-1639.
Oshima, H. T. 1970. ‘Income Inequality and Economic Growth: The Postwar Experiences of Asian Countries’. Malayan Economic Review, 15(2): 13.
Prasetyo, B.R. 2010. Dampak Pembangunan Infrastruktur dan Aglomerasi Industri terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia. [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Purwanto, T. 2011. Dampak Keterbukaan Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Negara-Negara Asean+3. [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
133
Ravallion, M., Datt, G. 1996. How Important to India’s Poor is The Sectoral Composition of Growth?, World Bank Economic Review, 10.
Ravallion, M. 2001. Growth, Inequality and Poverty: Looking Beyond the Averages. World Bank Policy Research Working Paper. Washington: World Bank.
Ravallion, M., Montalvo, J.G. 2010. The Pattern of Growth and Poverty Reduction in China. Journal of Comparative Economics. 28 (2010): 2-16.
Ray, D. 1998. Development Economics. New Jersey : Princeton University Press.
Romer, P.M. 1986. Increasing Returns and Long-Run Growth. The Journal of Political Economy, Vol. 94(5):1002-1037.
Setiadi. 2006. Pengaruh Pembangunan Infrastruktur Dasar terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional (8 Propinsi di Pulau Sumatera). [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Sibarani, M.H.M. 2002. Kontribusi Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. [Tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia.
Siregar, H.,Wahyuniarti, D. 2007. Dampak Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Son, H.H. 2004. A Note on Pro-Poor Growth. Economic Letters. 8(04) 307-314.
Suparno. 2010. Desentralisasi Fiskal dan Pengaruhnya terhadap Perekonomian di Indonesia. [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Todaro, M.P. Smith, S.C. 2006. Pembangunan Ekonomi Edisi Kesembilan. (Alih Bahasa oleh Haris Munandar dan Puji A.L.). Jakarta: Erlangga.
[UNDP] United Nations Development Program. 1996. Human Development Report. UNDP.
[UNDP] United Nations Development Program. 2003. Human Development Report: Millenium Development Goals. UNDP.
Warr, P. 2000. Poverty and Growth in South East Asia. Asian Economic Bulletin. 23(3): 279-302.
Wodon, Q.T. 1999. Growth, Poverty, and Inequality: A Regional Panel for Bangladesh. Policy Research Working Paper 2072. Washington: World Bank.
Yanuar. 2006. Kaitan Pembangunan Infrastruktur dan Pertumbuhan Output serta Dampaknya terhadap Kesenjangan di Indonesia. [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor
134
LAMPIRAN
135
Lampiran 1 PDRB Perkapita Jawa Tengah menurut Kabupaten/Kota, 2004-2010
No. Kabupaten/Kota PDRB Perkapita Riil (Rp Juta/Tahun)1)
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1 Cilacap 11,17 12,01 12,60 12,91 13,67 13,86 14,46 2 Banyumas 2,32 2,38 2,47 2,59 2,71 2,84 2,99 3 Purbalingga 2,26 2,34 2,44 2,57 2,69 2,83 2,98 4 Banjarnegara 2,56 2,66 2,76 2,89 3,03 3,18 3,32 5 Kebumen 1,95 2,02 2,11 2,20 2,34 2,43 2,54 6 Purworejo 3,13 3,29 3,47 3,70 3,91 4,12 4,34 7 Wonosobo 2,03 2,09 2,16 2,23 2,31 2,40 2,50 8 Magelang 2,72 2,83 2,95 3,08 3,22 3,35 3,48 9 Boyolali 3,62 3,76 3,90 4,05 4,21 4,41 4,57
10 Klaten 3,53 3,69 3,77 3,89 4,04 4,21 4,29 11 Sukoharjo 4,72 4,89 5,09 5,33 5,56 5,80 6,04 12 Wonogiri 2,44 2,55 2,67 2,82 2,95 3,11 3,22 13 Karanganyar 5,05 5,29 5,53 5,81 6,09 6,39 6,70 14 Sragen 2,57 2,71 2,85 3,01 3,18 3,37 3,58 15 Grobogan 1,90 1,99 2,06 2,15 2,26 2,37 2,49 16 Blora 2,01 2,09 2,18 2,26 2,39 2,51 2,63 17 Rembang 3,06 3,15 3,31 3,42 3,57 3,71 3,86 18 Pati 2,96 3,06 3,19 3,35 3,51 3,67 3,85 19 Kudus 13,81 14,29 14,47 14,82 15,27 15,74 16,27 20 Jepara 3,19 3,28 3,38 3,50 3,62 3,76 3,89 21 Demak 2,35 2,42 2,50 2,59 2,67 2,76 2,86 22 Semarang 4,95 5,05 5,19 5,38 5,56 5,74 5,97 23 Temanggung 2,80 2,89 2,97 3,07 3,16 3,28 3,40 24 Kendal 4,75 4,85 5,01 5,20 5,40 5,68 5,99 25 Batang 2,80 2,86 2,92 3,01 3,10 3,20 3,34 26 Pekalongan 3,05 3,16 3,28 3,41 3,56 3,71 3,85 27 Pemalang 2,09 2,17 2,26 2,36 2,48 2,61 2,74 28 Tegal 1,92 2,01 2,11 2,23 2,35 2,48 2,60 29 Brebes 2,40 2,52 2,63 2,76 2,89 3,03 3,18 30 Kota Magelang 7,09 7,40 7,58 7,98 8,39 8,83 9,38 31 Kota Surakarta 7,37 7,74 8,16 8,63 9,11 9,65 10,22 32 Kota Salatiga 4,33 4,46 4,60 4,80 4,98 5,15 5,36 33 Kota Semarang 10,69 11,09 11,57 12,10 12,62 13,12 13,73 34 Kota Pekalongan 6,02 6,22 6,37 6,57 6,78 7,06 7,42 35 Kota Tegal 4,01 4,20 4,41 4,64 4,87 5,12 5,35
Jawa Tengah 4,28 4,49 4,71 4,96 5,22 5,47 5,77
Keterangan : 1) Data jumlah penduduk menggunakan backcasting SP 2010 Sumber : Dihitung dari PDRB Kabupaten/Kota Jawa Tengah 2004-2010, BPS
136
Lampiran 2 Tingkat Kesempatan Kerja (TKK) dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Jawa Tengah menurut Kabupaten/Kota, 2004-2010 (Persen)
Kabupaten/Kota Tingkat Kesempatan Kerja (TKK) Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1. Cilacap 89,22 89,75 85,68 90,51 91,16 93,37 91,40 10,78 10,25 9,68 9,49 8,84 6,63 8,60
2. Banyumas 94,68 95,04 91,82 93,15 94,32 95,46 97,24 5,32 4,96 8,25 6,85 5,68 4,54 2,76
3. Purbalingga 95,19 96,14 92,17 92,63 95,46 94,32 94,83 4,81 3,86 4,26 7,37 4,54 5,68 5,17
4. Banjarnegara 92,03 93,57 91,20 92,18 95,12 95,75 96,94 7,97 6,43 6,07 7,82 4,88 4,25 3,06
5. Kebumen 93,81 94,04 88,67 95,35 93,36 95,34 94,80 6,19 5,96 9,39 4,65 6,64 4,66 5,20
6. Purworejo 96,50 95,95 95,61 96,18 95,58 94,00 94,94 3,50 4,05 4,23 3,82 4,42 6,00 5,06
7. Wonosobo 96,82 97,26 95,75 96,02 95,43 95,76 96,05 3,18 2,74 3,11 3,98 4,57 4,24 3,95
8. Magelang 93,51 93,92 94,32 96,23 94,81 95,19 94,96 6,49 6,08 6,16 3,77 5,19 4,81 5,04
9. Boyolali 92,90 94,90 92,92 95,87 92,55 95,88 95,02 7,10 5,10 4,18 4,13 7,45 4,12 4,98
10. Klaten 91,55 95,58 92,27 92,48 93,87 93,60 95,43 8,45 4,42 8,20 7,52 6,13 6,40 4,57
11. Sukoharjo 89,65 92,34 89,60 93,44 94,85 94,45 94,84 10,35 7,66 7,61 6,56 5,15 5,55 5,16
12. Wonogiri 93,39 93,77 88,38 94,03 91,90 91,60 95,48 6,61 6,23 4,62 5,97 8,10 8,40 4,52
13. Karanganyar 93,63 94,66 94,14 94,76 93,63 95,62 95,86 6,37 5,34 5,80 5,24 6,37 4,38 4,14
14. Sragen 94,40 95,76 87,41 92,50 91,25 93,35 93,53 5,60 4,24 3,75 7,50 8,75 6,65 6,47
15. Grobogan 93,84 96,64 91,29 91,67 94,61 95,23 94,75 6,16 3,36 4,93 8,33 5,39 4,77 5,25
16. Blora 95,78 97,08 84,42 95,67 96,25 96,61 97,32 4,22 2,92 3,49 4,33 3,75 3,39 2,68
17. Rembang 93,89 94,21 87,21 92,24 92,85 95,13 95,04 6,11 5,79 7,19 7,76 7,15 4,87 4,96
18. Pati 94,52 95,91 87,18 93,19 92,28 92,88 93,08 5,48 4,09 7,79 6,81 7,72 7,12 6,92
19. Kudus 92,29 94,80 95,79 94,92 95,20 93,45 94,62 7,71 5,20 4,93 5,08 4,80 6,55 5,38
20. Jepara 95,11 95,87 90,82 96,57 93,98 94,26 96,74 4,89 4,13 2,91 3,43 6,02 5,74 3,26
21. Demak 89,50 93,75 89,69 94,36 93,68 95,52 95,30 10,50 6,25 6,22 5,64 6,32 4,48 4,70
22. Semarang 95,13 95,17 92,96 94,43 92,61 93,93 94,70 4,87 4,83 5,46 5,57 7,39 6,07 5,30
23. Temanggung 96,16 96,51 94,27 96,59 96,49 98,28 96,02 3,84 3,49 4,43 3,41 3,51 1,72 3,98
24. Kendal 91,75 95,35 88,38 91,55 92,56 93,19 93,95 8,25 4,65 7,66 8,45 7,44 6,81 6,05
25. Batang 89,55 93,15 86,34 94,41 92,38 93,85 94,97 10,45 6,85 8,48 5,59 7,62 6,15 5,03
26. Pekalongan 92,80 94,33 90,57 95,04 94,97 95,52 96,13 7,20 5,67 6,71 4,96 5,03 4,48 3,87
27. Pemalang 92,11 93,59 87,56 92,27 93,78 92,71 95,07 7,89 6,41 10,78 7,73 6,22 7,29 4,93
28. Tegal 91,16 92,56 89,13 92,43 90,65 92,72 93,71 8,84 7,44 8,68 7,57 9,35 7,28 6,29
29. Brebes 92,25 93,31 87,81 90,42 90,19 92,10 94,54 7,75 6,69 10,57 9,58 9,81 7,90 5,46
30. Kota Magelang 89,98 86,75 97,46 94,49 93,15 90,91 92,94 10,02 13,25 9,83 5,51 6,85 9,09 7,06
31. Kota Surakarta 91,63 92,80 96,56 93,26 94,90 94,81 94,84 8,37 7,20 9,95 6,74 5,10 5,19 5,16
32. Kota Salatiga 85,87 88,51 92,90 91,91 92,10 92,58 92,75 14,13 11,49 14,13 8,09 7,90 7,42 7,25
33. Kota Semarang 87,74 90,61 97,64 91,60 93,60 93,66 94,33 12,26 9,39 10,63 8,40 6,40 6,34 5,67
34. Kota Pekalongan 88,08 87,67 93,59 91,05 91,59 92,13 93,09 11,92 12,33 10,89 8,95 8,41 7,87 6,91
35. Kota Tegal 89,27 90,00 92,68 84,68 91,77 91,89 91,61 10,73 10,00 8,48 15,32 8,23 8,11 8,39
Jawa Tengah 92,69 94,18 90,67 93,44 93,47 94,23 94,89 7,31 5,82 6,96 6,56 6,53 5,77 5,11
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, Beberapa Terbitan
137
Lampiran 3 Indeks Ketimpangan Pendapatan Penduduk Jawa Tengah menurut Kabupaten/Kota, 2004-2010
No. Kabupaten/Kota Indeks Ketimpangan Pendapatan (Gini Rasio)
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1 Cilacap 0,2468 0,3072 0,2754 0,2864 0,2625 0,2874 0,2686
2 Banyumas 0,3000 0,2581 0,3070 0,2607 0,3657 0,3385 0,3588
3 Purbalingga 0,2665 0,2860 0,3011 0,2868 0,2696 0,2852 0,2547
4 Banjarnegara 0,2280 0,2759 0,2377 0,2775 0,2989 0,2697 0,2752
5 Kebumen 0,2090 0,2448 0,2563 0,2493 0,2793 0,2529 0,2460
6 Purworejo 0,2558 0,3015 0,2819 0,2431 0,2961 0,3016 0,3117
7 Wonosobo 0,2597 0,2796 0,2551 0,2364 0,3176 0,2572 0,2672
8 Magelang 0,2214 0,3164 0,2632 0,2857 0,3143 0,2731 0,2661
9 Boyolali 0,2367 0,2982 0,2683 0,1802 0,3030 0,2813 0,2896
10 Klaten 0,2666 0,3282 0,2470 0,2141 0,3026 0,2523 0,2743
11 Sukoharjo 0,2493 0,2925 0,2252 0,1922 0,2579 0,2682 0,3186
12 Wonogiri 0,2549 0,2925 0,2490 0,2657 0,3175 0,3054 0,3098
13 Karanganyar 0,2605 0,2837 0,2715 0,1903 0,3455 0,3235 0,3063
14 Sragen 0,2411 0,2822 0,2810 0,2850 0,3114 0,2621 0,2951
15 Grobogan 0,2467 0,2374 0,2290 0,2340 0,2790 0,2522 0,2991
16 Blora 0,2115 0,2649 0,2693 0,2818 0,3487 0,2671 0,2773
17 Rembang 0,2114 0,2187 0,2145 0,2179 0,3343 0,2331 0,2172
18 Pati 0,2061 0,2270 0,2056 0,2296 0,2918 0,2818 0,2657
19 Kudus 0,1934 0,2232 0,2023 0,2566 0,2431 0,2681 0,2657
20 Jepara 0,2237 0,2310 0,2217 0,2455 0,2821 0,2359 0,2224
21 Demak 0,2568 0,3220 0,2789 0,2526 0,2727 0,2417 0,2592
22 Semarang 0,2506 0,2579 0,2908 0,2105 0,3122 0,2768 0,2975
23 Temanggung 0,2776 0,2916 0,3413 0,2567 0,2925 0,2862 0,2925
24 Kendal 0,2363 0,2844 0,2657 0,2104 0,2805 0,2965 0,2892
25 Batang 0,2581 0,2698 0,2464 0,1785 0,3008 0,2822 0,2975
26 Pekalongan 0,2248 0,2460 0,2502 0,2378 0,2656 0,2243 0,2508
27 Pemalang 0,2460 0,2455 0,2527 0,2393 0,2290 0,2396 0,2241
28 Tegal 0,2828 0,2877 0,2256 0,2028 0,2775 0,2817 0,3185
29 Brebes 0,2208 0,2796 0,2318 0,2300 0,2740 0,2492 0,2503
30 Kota Magelang 0,3358 0,3324 0,2708 0,2934 0,2792 0,2994 0,3329
31 Kota Surakarta 0,3275 0,3312 0,3183 0,2310 0,3154 0,2893 0,3653
32 Kota Salatiga 0,3132 0,3480 0,3127 0,3323 0,3536 0,3125 0,3752
33 Kota Semarang 0,2749 0,3348 0,3239 0,3435 0,3042 0,3923 0,3463
34 Kota Pekalongan 0,2041 0,2957 0,2576 0,3009 0,2539 0,2702 0,3020
35 Kota Tegal 0,2630 0,2760 0,2655 0,2519 0,3065 0,2626 0,2577
Jawa Tengah 0,2691 0,3007 0,2816 0,2678 0,3153 0,2996 0,3087
Sumber : Diolah dari raw data Susenas Kor 2004-2010, BPS
138
Lampiran 4 Indeks Ketimpangan Pendidikan di Jawa Tengah menurut Kabupaten/ Kota, 2004-2010
No. Kabupaten/Kota Indeks Ketimpangan Pendidikan (Gini Rasio)
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1 Cilacap 0,3050 0,3072 0,3317 0,3228 0,3564 0,3201 0,3241
2 Banyumas 0,3091 0,2581 0,3056 0,2878 0,3320 0,2948 0,3117
3 Purbalingga 0,2995 0,2860 0,2998 0,3158 0,3476 0,2992 0,2920
4 Banjarnegara 0,3272 0,2759 0,3033 0,3256 0,3579 0,3227 0,3305
5 Kebumen 0,3087 0,2448 0,3106 0,3062 0,3411 0,2876 0,3062
6 Purworejo 0,3213 0,3015 0,3021 0,3110 0,3212 0,2787 0,3095
7 Wonosobo 0,2909 0,2796 0,2867 0,2907 0,3465 0,2734 0,2978
8 Magelang 0,3030 0,3164 0,2916 0,3132 0,3279 0,3014 0,3228
9 Boyolali 0,3292 0,2982 0,3419 0,3660 0,3903 0,3417 0,3563
10 Klaten 0,3401 0,3282 0,3154 0,3384 0,3322 0,2972 0,3310
11 Sukoharjo 0,3252 0,2925 0,3104 0,3309 0,3145 0,2812 0,3308
12 Wonogiri 0,3708 0,2705 0,3553 0,3986 0,4256 0,3723 0,3811
13 Karanganyar 0,3524 0,2832 0,3555 0,3717 0,3660 0,3317 0,3292
14 Sragen 0,4282 0,2847 0,4118 0,4152 0,4402 0,3446 0,3000
15 Grobogan 0,3075 0,2416 0,2772 0,3151 0,3575 0,3064 0,2921
16 Blora 0,3554 0,2628 0,3692 0,3822 0,4151 0,3694 0,3963
17 Rembang 0,3170 0,2204 0,3101 0,3205 0,3417 0,2968 0,3086
18 Pati 0,3511 0,2297 0,3207 0,3589 0,3841 0,3634 0,3532
19 Kudus 0,2818 0,2254 0,2727 0,2989 0,2892 0,2719 0,3028
20 Jepara 0,3144 0,2325 0,3158 0,2910 0,3196 0,2878 0,3131
21 Demak 0,3016 0,3225 0,2988 0,3103 0,3410 0,3059 0,2742
22 Semarang 0,2971 0,2554 0,3112 0,3105 0,3169 0,2919 0,2922
23 Temanggung 0,2709 0,2874 0,2634 0,2752 0,3223 0,2709 0,2876
24 Kendal 0,3235 0,2843 0,3326 0,3601 0,3615 0,3168 0,3385
25 Batang 0,3373 0,2701 0,3087 0,3427 0,3793 0,3134 0,3250
26 Pekalongan 0,3290 0,2492 0,3067 0,3345 0,3507 0,2946 0,3103
27 Pemalang 0,3505 0,2465 0,3284 0,3555 0,3882 0,3191 0,3259
28 Tegal 0,3561 0,2857 0,3620 0,3647 0,3773 0,3573 0,3576
29 Brebes 0,4057 0,2870 0,3586 0,3868 0,4125 0,3769 0,3970
30 Kota Magelang 0,2364 0,3352 0,2063 0,2229 0,2245 0,2052 0,2276
31 Kota Surakarta 0,2146 0,3296 0,2061 0,2392 0,2180 0,2213 0,2451
32 Kota Salatiga 0,2471 0,3515 0,2510 0,2506 0,2660 0,2363 0,2667
33 Kota Semarang 0,2282 0,3348 0,2182 0,2407 0,2434 0,2398 0,2607
34 Kota Pekalongan 0,2391 0,2918 0,2534 0,2568 0,2698 0,2551 0,2582
35 Kota Tegal 0,2858 0,2806 0,2774 0,2842 0,2924 0,2823 0,3144
Jawa Tengah 0,3314 0,3287 0,3220 0,3361 0,3570 0,3185 0,3284
Sumber : Diolah dari raw data Susenas Kor 2004-2010, BPS
139
Lampiran 5 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Jawa Tengah menurut Kabupaten/Kota, 2004-2010
Kabupaten/Kota Jumlah Penduduk Miskin (000 Jiwa) Persentase Penduduk Miskin
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1 Cilacap 346,24 361,00 402,06 363,65 343,89 318,75 297,24 20,90 22,25 24,93 22,59 21,40 19,88 18,11
2 Banyumas 325,25 326,80 362,22 332,98 340,65 319,85 314,21 21,47 22,02 24,44 22,46 22,93 21,52 20,20
3 Purbalingga 266,51 250,60 262,94 246,26 221,92 205,01 208,95 31,20 29,95 32,38 30,24 27,12 24,97 24,58
4 Banjarnegara 240,25 239,50 251,33 232,92 200,61 184,02 166,71 26,91 27,35 29,40 27,18 23,34 21,36 19,17
5 Kebumen 371,54 349,30 388,74 362,38 334,87 309,61 263,10 30,95 29,83 32,49 30,25 27,87 25,73 22,70
6 Purworejo 167,08 157,10 162,30 146,00 130,04 121,39 115,32 23,51 22,77 22,75 20,49 18,22 17,02 16,61
7 Wonosobo 254,65 239,40 257,49 241,39 207,54 194,02 174,78 33,15 31,68 34,43 32,29 27,72 25,91 23,15
8 Magelang 185,83 174,70 199,05 200,09 190,82 176,49 167,25 16,10 15,42 17,36 17,37 16,49 15,19 14,14
9 Boyolali 172,25 162,00 184,58 167,01 158,36 148,24 127,85 18,47 17,75 20,00 18,06 17,08 15,96 13,72
10 Klaten 263,90 248,10 257,42 249,11 243,07 220,18 197,44 23,38 22,48 22,99 22,27 21,72 19,68 17,47
11 Sukoharjo 118,07 111,00 126,47 113,77 99,09 94,45 90,22 14,38 13,67 15,63 14,02 12,13 11,51 10,94
12 Wonogiri 246,06 246,80 262,94 237,40 201,06 184,88 145,56 24,43 25,21 27,01 24,44 20,71 19,08 15,67
13 Karanganyar 132,58 130,40 148,58 138,87 125,94 118,79 113,81 16,14 16,14 18,69 17,39 15,68 14,73 13,98
14 Sragen 225,12 204,20 201,94 180,70 177,11 167,30 149,76 26,06 24,28 23,72 21,24 20,83 19,70 17,49
15 Grobogan 385,06 362,10 361,86 330,40 261,95 247,47 233,78 29,30 28,00 27,60 25,14 19,84 18,68 17,86
16 Blora 191,24 177,10 197,62 176,80 155,06 145,95 134,99 22,97 21,73 23,95 21,46 18,79 17,70 16,27
17 Rembang 186,25 175,10 188,47 174,30 154,75 147,15 138,57 32,00 30,72 33,20 30,71 27,21 25,86 23,40
18 Pati 247,87 233,00 256,54 228,80 207,24 184,05 172,45 20,67 19,82 22,14 19,79 17,90 15,92 14,48
19 Kudus 85,50 80,40 91,61 82,41 97,81 84,86 70,22 11,44 10,93 12,05 10,73 12,58 10,80 9,01
20 Jepara 104,04 108,50 123,62 111,21 119,21 104,74 111,87 9,88 10,39 11,75 10,44 11,05 9,60 10,18
21 Demak 260,56 245,00 263,50 238,90 217,15 202,24 198,92 24,94 23,60 26,03 23,50 21,24 19,70 18,76
22 Semarang 121,25 114,00 120,68 110,13 102,46 96,72 97,92 13,68 13,16 13,62 12,34 11,37 10,66 10,50
23 Temanggung 107,25 100,80 114,85 115,05 114,68 105,83 95,38 15,22 14,50 16,62 16,55 16,39 15,05 13,46
24 Kendal 185,52 174,40 198,71 192,70 168,22 152,43 130,42 20,87 20,06 21,59 20,70 17,87 16,02 14,47
25 Batang 133,31 125,30 134,44 139,85 121,95 112,17 103,64 19,01 18,15 19,99 20,79 18,08 16,61 14,67
26 Pekalongan 181,11 170,30 189,97 170,00 164,31 151,63 136,62 21,50 20,47 22,80 20,31 19,52 17,93 16,29
27 Pemalang 299,09 300,20 338,21 307,10 325,15 303,73 251,88 22,31 22,59 25,30 22,79 23,92 22,17 19,96
28 Tegal 297,18 279,40 289,67 258,60 220,74 195,46 182,54 20,53 19,60 20,71 18,50 15,78 13,98 13,11
29 Brebes 519,59 488,60 533,11 492,20 459,32 432,40 398,81 29,10 27,79 30,36 27,93 25,98 24,39 23,01
30 Kota Magelang 17,44 16,40 14,47 13,01 14,87 13,65 12,43 14,01 12,94 11,19 10,01 11,16 10,11 10,51
31 Kota Surakarta 69,46 69,10 77,56 69,77 83,36 77,97 69,88 13,72 13,34 15,21 13,64 16,13 14,99 13,96
32 Kota Salatiga 16,04 15,00 15,16 15,59 14,95 14,05 14,20 9,68 8,81 8,90 9,01 8,47 7,82 8,28
33 Kota Semarang 78,98 58,70 77,83 77,64 89,62 73,14 79,75 5,60 4,22 5,33 5,26 6,00 4,84 5,12
34 Kota Pekalongan 18,64 17,50 19,94 17,94 27,99 23,34 26,44 6,81 6,37 7,38 6,62 10,29 8,56 9,36
35 Kota Tegal 23,06 21,70 24,72 22,24 26,79 23,43 25,73 9,49 8,96 10,40 9,36 11,28 9,88 10,62
Jawa Tengah 6.844 6.534 7.101 6.557 6.123 5.655 5.219 21,11 20,49 22,19 20,43 18,99 17,48 16,11
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, Beberapa Terbitan.
140
Lampiran 6 Rata-rata Usia Lama Sekolah Penduduk Berusia Produktif di Jawa Tengah menurut Kabupaten/ Kota, 2004-2010
No. Kabupaten/Kota Rata-rata Usia Lama Sekolah (Tahun)
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1 Cilacap 6,42 6,50 6,60 6,60 6,60 6,72 6,85
2 Banyumas 6,89 6,90 7,00 7,49 7,49 7,72 7,73
3 Purbalingga 5,89 6,02 6,10 6,46 6,46 6,81 7,18
4 Banjarnegara 5,70 5,79 5,80 5,98 5,98 6,20 6,33
5 Kebumen 6,44 6,49 6,50 6,65 6,65 6,84 6,87
6 Purworejo 6,86 7,02 7,30 7,30 7,30 7,70 7,75
7 Wonosobo 5,63 5,71 6,00 6,11 6,11 6,27 6,27
8 Magelang 6,61 6,74 7,10 7,10 7,10 7,26 7,26
9 Boyolali 6,88 7,09 7,10 7,10 7,10 7,29 7,37
10 Klaten 7,51 7,67 7,70 7,70 7,75 7,93 8,27
11 Sukoharjo 7,67 7,80 8,10 8,10 8,15 8,36 8,36
12 Wonogiri 5,86 6,05 6,10 6,10 6,10 6,29 6,32
13 Karanganyar 6,89 7,04 7,00 7,00 7,05 7,17 7,39
14 Sragen 5,76 5,91 6,40 6,40 6,50 6,88 6,99
15 Grobogan 6,10 6,21 6,60 6,60 6,60 6,76 6,76
16 Blora 5,71 5,86 6,02 6,02 6,02 6,25 6,25
17 Rembang 5,82 5,92 6,20 6,60 6,65 6,85 6,85
18 Pati 6,24 6,36 6,80 6,80 6,80 6,95 6,95
19 Kudus 7,07 7,25 7,80 7,80 7,80 8,11 8,11
20 Jepara 6,75 6,91 6,90 7,22 7,22 7,40 7,40
21 Demak 6,50 6,63 7,00 7,00 7,00 7,26 7,59
22 Semarang 6,83 6,98 7,10 7,10 7,15 7,40 7,75
23 Temanggung 6,39 6,53 6,70 6,70 6,70 6,86 7,01
24 Kendal 6,41 6,60 6,69 6,69 6,69 6,90 6,91
25 Batang 5,61 5,77 5,80 5,97 6,02 6,34 6,71
26 Pekalongan 5,86 6,00 6,50 6,50 6,50 6,66 6,66
27 Pemalang 5,57 5,76 6,10 6,10 6,10 6,49 6,49
28 Tegal 5,95 6,20 6,20 6,20 6,24 6,42 6,56
29 Brebes 4,84 4,89 5,50 5,50 5,50 5,62 5,70
30 Kota Magelang 9,80 9,95 10,00 10,00 10,00 10,10 10,21
31 Kota Surakarta 9,74 9,83 10,00 10,00 10,15 10,32 10,32
32 Kota Salatiga 9,24 9,50 9,50 9,50 9,50 9,75 9,94
33 Kota Semarang 9,43 9,58 9,80 9,80 9,80 9,98 9,98
34 Kota Pekalongan 8,19 8,30 8,30 8,52 8,52 8,66 8,66
35 Kota Tegal 7,75 7,80 7,80 8,06 8,06 8,25 8,25
Jawa Tengah 6,54 6,64 6,80 6,80 6,86 7,07 7,24
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, Beberapa Terbitan.
141
Lampiran 7 Posisi Kuadran Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Berdasarkan Tipologi Klassen, 2004-2010
Kabupaten/Kota Posisi Kuadran
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1. Cilacap I I I II I II II
2. Banyumas III III IV IV IV IV IV
3. Purbalingga III III IV IV IV IV IV
4. Banjarnegara III III IV IV IV IV IV
5. Kebumen III III IV IV IV III III
6. Purworejo IV IV IV IV IV IV IV
7. Wonosobo III III III III III III III
8. Magelang III III IV IV III III III
9. Boyolali III III IV III III IV III
10. Klaten IV IV III III III IV III
11. Sukoharjo II II I I II I II
12. Wonogiri IV IV IV IV IV IV III
13. Karanganyar I I I I I I I
14. Sragen IV IV IV IV IV IV IV
15. Grobogan III IV IV IV IV IV IV
16. Blora III III IV III IV IV IV
17. Rembang III III IV III III III III
18. Pati III III IV IV IV IV IV
19. Kudus I II II II II II II
20. Jepara III III III III III III III
21. Demak III III III III III III III
22. Semarang II II II II II II II
23. Temanggung III III III III III III III
24. Kendal II II II II II I I
25. Batang III III III III III III III
26. Pekalongan III III IV IV III III III
27. Pemalang III IV IV IV IV IV IV
28. Tegal IV IV IV IV IV IV IV
29. Brebes IV IV IV IV IV IV IV
30. Kota Magelang II I II I I I I
31. Kota Surakarta I I I I I I I
32. Kota Salatiga II II II I II II II
33. Kota Semarang II II I I II II I
34. Kota Pekalongan II II II II II I I
35. Kota Tegal IV IV I I I I I
Keterangan : Kuadran I = Daerah Maju Kuadran II = Daerah Maju tetapi Tertekan Kuadran III = Daerah Terbelakang Kuadran IV = Daerah Berkembang
142
Lampiran 8 Identifikasi Persamaan Struktural dengan Order Condition
Persamaan K M G K-M G-1 Hasil Identifikasi
1. Pertumbuhan 16 8 4 8 3 Over Identified
2. Pengangguran 16 4 4 12 3 Over Identified
3. Ketimpangan 16 4 4 12 3 Over Identified
4. Kemiskinan 16 4 4 12 3 Over Identified
Lampiran 9 Hasil Estimasi Model Pertumbuhan Dependent Variable: LOG(KAP) Method: Panel Two-Stage EGLS (Cross-section random effects) Sample: 2004 2010 Periods included: 7 Cross-sections included: 35 Total panel (balanced) observations: 245 Swamy and Arora estimator of component variances Instrument list: C LOG(KERJA_S) LOG(KERJA_A) LOG(MYS1) INV LOG(LIST) LOG(JLN) LOG(PUB) LOG(AK_S) LOG(AK_S) LOG(UPAH) LOG(IHK) EGINI
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -2.142731 0.204617 -10.47193 0.0000
LOG(KERJA_S) -0.000678 0.023075 -0.029392 0.9766 LOG(KERJA_A) 0.055542 0.021265 2.611898 0.0096
LOG(MYS1) 0.438830 0.103412 4.243534 0.0000 INV 0.004162 0.000880 4.730581 0.0000
LOG(LIST) 0.333197 0.028056 11.87622 0.0000 LOG(JLN) 0.052198 0.015536 3.359752 0.0009 LOG(PUB) 0.020060 0.006442 3.113922 0.0021
Effects Specification S.D. Rho Cross-section random 0.283239 0.9885
Idiosyncratic random 0.030610 0.0115 Weighted Statistics R-squared 0.882321 Mean dependent var 0.055267
Adjusted R-squared 0.878845 S.D. dependent var 0.087550 S.E. of regression 0.030474 Sum squared resid 0.220090 F-statistic 253.8507 Durbin-Watson stat 0.656885 Prob(F-statistic) 0.000000 Second-Stage SSR 0.220090 Instrument rank 12.000000
Unweighted Statistics R-squared 0.700059 Mean dependent var 1.354170
Sum squared resid 18.03966 Durbin-Watson stat 0.008014
143
Lampiran 10 Hasil Estimasi Model Pengangguran
Dependent Variable: LOG(UN) Method: Panel Two-Stage EGLS (Cross-section weights) Sample: 2004 2010 Periods included: 7 Cross-sections included: 35 Total panel (balanced) observations: 245 Linear estimation after one-step weighting matrix Instrument list: C LOG(KERJA_S) LOG(KERJA_A) LOG(MYS1) INV LOG(LIST) LOG(JLN) LOG(PUB) LOG(AK_S) LOG(AK_S) LOG(UPAH)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 1.266629 1.525737 0.830176 0.4074
LOG(AK_S) 0.264886 0.158315 1.673162 0.0958 LOG(AK_A) 0.553119 0.172603 3.204568 0.0016 LOG(UPAH) -0.009293 0.201882 -0.046031 0.9633 LOG(KAP) -1.453354 0.333134 -4.362675 0.0000
INV -0.008577 0.003244 -2.644229 0.0088 Effects Specification Weighted Statistics R-squared 0.927011 Mean dependent var 3.708249
Adjusted R-squared 0.913126 S.D. dependent var 1.718732 S.E. of regression 0.221612 Sum squared resid 10.06793 F-statistic 64.87287 Durbin-Watson stat 1.921560 Prob(F-statistic) 0.000000 Second-Stage SSR 10.33892 Instrument rank 44.000000
Unweighted Statistics R-squared 0.879574 Mean dependent var 3.181715
Sum squared resid 10.37742 Durbin-Watson stat 1.752312
144
Lampiran 11 Hasil Estimasi Model Ketimpangan Dependent Variable: IGINI Method: Panel Two-Stage EGLS (Cross-section random effects) Sample: 2004 2010 Periods included: 7 Cross-sections included: 35 Total panel (balanced) observations: 245 Swamy and Arora estimator of component variances Instrument list: C LOG(KERJA_S) LOG(KERJA_A) LOG(MYS1) INV LOG(LIST) LOG(JLN) LOG(PUB) LOG(IHK) EGINI
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -0.061337 0.084557 -0.725391 0.4689
LOG(KAP) 0.047536 0.010631 4.471598 0.0000 EGINI 0.118415 0.061382 1.929156 0.0549
LOG(IHK) 0.054875 0.020227 2.712918 0.0072 LOG(PUB) -0.012609 0.006480 -1.945950 0.0528
Effects Specification S.D. Rho Cross-section random 0.022124 0.3560
Idiosyncratic random 0.029756 0.6440 Weighted Statistics R-squared 0.066689 Mean dependent var 0.123155
Adjusted R-squared 0.051133 S.D. dependent var 0.031589 S.E. of regression 0.030771 Sum squared resid 0.227238 F-statistic 10.91219 Durbin-Watson stat 1.936233 Prob(F-statistic) 0.000000 Second-Stage SSR 0.206009 Instrument rank 10.000000
Unweighted Statistics R-squared 0.049763 Mean dependent var 0.271775
Sum squared resid 0.394834 Durbin-Watson stat 1.114358
145
Lampiran 12 Hasil Estimasi Model Kemiskinan Dependent Variable: LOG(HC) Method: Panel Two-Stage EGLS (Cross-section random effects) Sample: 2004 2010 Periods included: 7 Cross-sections included: 35 Total panel (balanced) observations: 245 Instrument list: C LOG(KERJA_S) LOG(KERJA_A) LOG(MYS1) INV LOG(LIST) LOG(JLN) LOG(PUB) LOG(AK_S) LOG(AK_S) LOG(UPAH) LOG(IHK) EGINI
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 4.729884 0.338494 13.97333 0.0000
LOG(KAP) -1.585073 0.174937 -9.060831 0.0000 LOG(UN) 0.051504 0.034946 1.473815 0.1418
IGINI 0.386554 0.762640 0.506863 0.6127 LOG(IHK) 0.402849 0.095414 4.222126 0.0000
Effects Specification S.D. Rho Cross-section random 0.374683 0.9399
Idiosyncratic random 0.094764 0.0601 Weighted Statistics
R-squared 0.351431 Mean dependent var 0.469005 Adjusted R-squared 0.340622 S.D. dependent var 0.142127 S.E. of regression 0.115410 Sum squared resid 3.196698 F-statistic 42.69398 Durbin-Watson stat 0.721903 Prob(F-statistic) 0.000000 Second-Stage SSR 2.879732 Instrument rank 12.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.303305 Mean dependent var 4.928579 Sum squared resid 125.7256 Durbin-Watson stat 0.018355
146
Lampiran 13 Hasil Validasi Model Menggunakan Koefisien Determinasi (R2)
Dependent Variable: LOG(KAP) Method: Panel Least Squares Sample: 2004 2010 Periods included: 7 Cross-sections included: 35 Total panel (balanced) observations: 245
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 0.002044 0.032420 0.063063 0.9498
LOG(KAP_0) 0.998490 0.023898 41.78073 0.0000 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared 0.996848 Mean dependent var 1.354170
Adjusted R-squared 0.996320 S.D. dependent var 0.496480 S.E. of regression 0.030118 Akaike info criterion -4.032433 Sum squared resid 0.189583 Schwarz criterion -3.517963 Log likelihood 529.9731 Hannan-Quinn criter. -3.825257 F-statistic 1888.432 Durbin-Watson stat 0.764649 Prob(F-statistic) 0.000000
Dependent Variable: LOG(UN) Method: Panel Least Squares Sample: 2004 2010 Periods included: 7 Cross-sections included: 35 Total panel (balanced) observations: 245
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 0.713951 0.459460 1.553891 0.1217
LOG(UN_0) 0.775608 0.144338 5.373565 0.0000 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared 0.880710 Mean dependent var 3.181715
Adjusted R-squared 0.860733 S.D. dependent var 0.594279 S.E. of regression 0.221776 Akaike info criterion -0.039344 Sum squared resid 10.27958 Schwarz criterion 0.475127 Log likelihood 40.81962 Hannan-Quinn criter. 0.167833 F-statistic 44.08651 Durbin-Watson stat 1.812645 Prob(F-statistic) 0.000000
147
Dependent Variable: IGINI Method: Panel Least Squares Sample: 2004 2010 Periods included: 7 Cross-sections included: 35 Total panel (balanced) observations: 245
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -0.069342 0.057881 -1.197997 0.2323
IGINI_0 1.255143 0.212862 5.896523 0.0000 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared 0.496512 Mean dependent var 0.271775
Adjusted R-squared 0.412196 S.D. dependent var 0.038534 S.E. of regression 0.029544 Akaike info criterion -4.070949 Sum squared resid 0.182420 Schwarz criterion -3.556479 Log likelihood 534.6913 Hannan-Quinn criter. -3.863773 F-statistic 5.888697 Durbin-Watson stat 2.405446 Prob(F-statistic) 0.000000
Dependent Variable: LOG(HC) Method: Panel Least Squares Sample: 2004 2010 Periods included: 7 Cross-sections included: 35 Total panel (balanced) observations: 245
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 0.965267 0.463417 2.082933 0.0385
LOG(HC_0) 0.804149 0.094016 8.553320 0.0000 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared 0.986353 Mean dependent var 4.928579
Adjusted R-squared 0.984068 S.D. dependent var 0.859995 S.E. of regression 0.108552 Akaike info criterion -1.468230 Sum squared resid 2.462737 Schwarz criterion -0.953760 Log likelihood 215.8582 Hannan-Quinn criter. -1.261054 F-statistic 431.5925 Durbin-Watson stat 0.999368 Prob(F-statistic) 0.000000
148
Lampiran 14 Hasil Simulasi Peningkatan Belanja Pembangunan Sebesar 22 Persen di Semua Kabupaten/Kota
Kabupaten/ Kota
Dasar Belanja Pembangunan 22 % Perubahan
KAP UN GINI HC KAP UN GINI HC KAP UN GINI HC
Cilacap 7,57 61 0,3028 328 7,60 61 0,3005 326 0,40 -0,58 -0,002 -0,75
Banyumas 2,94 31 0,3144 295 2,95 31 0,3120 293 0,40 -0,58 -0,002 -0,75
Purbalingga 2,88 20 0,2862 219 2,89 20 0,2839 217 0,40 -0,58 -0,002 -0,75
Banjarnegara 3,30 20 0,2803 190 3,31 20 0,2780 188 0,40 -0,58 -0,002 -0,75
Kebumen 2,43 28 0,2594 319 2,44 28 0,2570 317 0,40 -0,58 -0,002 -0,75
Purworejo 4,09 13 0,2940 130 4,10 13 0,2917 129 0,40 -0,58 -0,002 -0,75
Wonosobo 2,38 13 0,2716 217 2,39 13 0,2693 216 0,40 -0,58 -0,002 -0,75
Magelang 3,27 30 0,2823 180 3,28 29 0,2800 179 0,40 -0,58 -0,002 -0,75
Boyolali 4,45 24 0,2786 150 4,47 24 0,2763 149 0,40 -0,58 -0,002 -0,75
Klaten 4,55 29 0,2874 204 4,57 29 0,2851 202 0,40 -0,58 -0,002 -0,75
Sukoharjo 5,94 24 0,2774 97 5,96 24 0,2751 97 0,40 -0,58 -0,002 -0,75
Wonogiri 3,12 27 0,2944 199 3,13 27 0,2921 197 0,40 -0,58 -0,002 -0,75
Karanganyar 6,39 21 0,2904 117 6,41 21 0,2880 116 0,40 -0,58 -0,002 -0,75
Sragen 3,59 21 0,2844 153 3,61 21 0,2821 152 0,40 -0,58 -0,002 -0,75
Grobogan 2,36 33 0,2616 292 2,37 33 0,2593 290 0,40 -0,58 -0,002 -0,75
Blora 2,51 12 0,2850 147 2,52 12 0,2827 146 0,40 -0,58 -0,002 -0,75
Rembang 3,93 15 0,2560 145 3,94 14 0,2537 144 0,40 -0,58 -0,002 -0,75
Pati 3,72 30 0,2612 197 3,74 30 0,2589 196 0,40 -0,58 -0,002 -0,75
Kudus 16,99 20 0,2703 73 17,05 20 0,2680 73 0,40 -0,58 -0,002 -0,75
Jepara 3,72 20 0,2550 111 3,74 20 0,2527 111 0,40 -0,58 -0,002 -0,75
Demak 3,05 27 0,2750 192 3,06 27 0,2727 190 0,40 -0,58 -0,002 -0,75
Semarang 6,14 26 0,2848 95 6,17 26 0,2825 94 0,40 -0,58 -0,002 -0,75
Temanggung 3,43 12 0,2979 99 3,45 12 0,2956 98 0,40 -0,58 -0,002 -0,75
Kendal 5,76 27 0,2809 158 5,78 27 0,2786 156 0,40 -0,58 -0,002 -0,75
Batang 3,34 21 0,2752 116 3,35 21 0,2729 115 0,40 -0,58 -0,002 -0,75
Pekalongan 3,81 19 0,2621 153 3,83 19 0,2598 152 0,40 -0,58 -0,002 -0,75
Pemalang 2,69 36 0,2544 271 2,70 36 0,2521 269 0,40 -0,58 -0,002 -0,75
Tegal 2,56 41 0,2797 214 2,57 41 0,2774 213 0,40 -0,58 -0,002 -0,75
Brebes 2,94 60 0,2674 478 2,96 59 0,2651 474 0,40 -0,58 -0,002 -0,75
Kota Magelang 8,84 4 0,3129 13 8,88 4 0,3106 13 0,40 -0,58 -0,002 -0,75
Kota Surakarta 9,74 14 0,3195 65 9,78 14 0,3172 64 0,40 -0,58 -0,002 -0,75
Kota Salatiga 5,31 7 0,3348 14 5,33 7 0,3324 14 0,40 -0,58 -0,002 -0,75
Kota Semarang 14,01 42 0,3407 64 14,07 42 0,3384 63 0,40 -0,58 -0,002 -0,75
Kota Pekalongan 7,32 11 0,2815 19 7,35 11 0,2792 19 0,40 -0,58 -0,002 -0,75
Kota Tegal 5,11 10 0,2860 23 5,13 10 0,2836 22 0,40 -0,58 -0,002 -0,75
Jawa Tengah 4,76 849 0,2842 5.739 4,78 844 0,2818 5.696 0,40 -0,58 -0,002 -0,75
Keterangan : Simulasi dengan menaikkan belanja pembangunan sebesar 22 persen KAP = Pendapatan Perkapita (Rp Juta/Tahun) UN = Jumlah Penganggur/Pencari Kerja (Ribu Jiwa) IGINI = Indeks Ketimpangan Pendapatan (Gini Rasio) HC = Jumlah Penduduk Miskin/Head Count (Ribu Jiwa)
149
Lampiran 15 Hasil Simulasi Peningkatan Rasio Belanja Pembangunan Terhadap APBD Kabupaten/Kota Menjadi 18 Persen
Kabupaten/Kota Dasar
Simulasi Porsi Pengeluaran Pembangunan 18%
Perubahan
KAP UN GINI HC KAP UN GINI HC KAP UN GINI HC
Karanganyar 6,39 21 0,2904 117 6,48 20 0,2823 114 1,39 -1,99 -0,008 -2,57
Kendal 5,76 27 0,2809 158 5,80 27 0,2763 155 0,80 -1,15 -0,005 -1,49
Kota Magelang 8,84 4 0,3129 13 8,91 4 0,3082 13 0,81 -1,17 -0,005 -1,51
Kota Surakarta 9,74 14 0,3195 65 9,83 14 0,3139 64 0,97 -1,39 -0,006 -1,80
Kota Semarang 14,01 42 0,3407 64 14,24 41 0,3311 62 1,67 -2,38 -0,010 -3,07
Kota Pekalongan 7,32 11 0,2815 19 7,38 11 0,2773 19 0,72 -1,04 -0,004 -1,34
Kota Tegal 5,11 10 0,2860 23 5,12 10 0,2841 22 0,31 -0,45 -0,002 -0,59
Daerah Maju 9,39 130 0,3017 459 9,51 128 0,2962 450 1,33 -1,65 -0,006 -1,98
Cilacap 7,57 61 0,3028 328 7,71 59 0,2921 317 1,87 -2,66 -0,011 -3,44
Sukoharjo 5,94 24 0,2774 97 6,03 23 0,2682 95 1,60 -2,27 -0,009 -2,94
Kudus 16,99 20 0,2703 73 17,12 20 0,2657 72 0,80 -1,15 -0,005 -1,49
Semarang 6,14 26 0,2848 95 6,22 26 0,2774 93 1,28 -1,83 -0,007 -2,37
Kota Salatiga 5,31 7 0,3348 14 5,34 7 0,3318 14 0,52 -0,75 -0,003 -0,97
Daerah Tertekan 8,55 139 0,2940 608 8,66 136 0,2870 590 1,33 -2,12 -0,007 -2,90
Kebumen 2,43 28 0,2594 319 2,45 28 0,2538 314 0,97 -1,39 -0,006 -1,79
Wonosobo 2,38 13 0,2716 217 2,40 13 0,2688 215 0,49 -0,71 -0,003 -0,92
Magelang 3,27 30 0,2823 180 3,32 29 0,2736 175 1,50 -2,14 -0,009 -2,77
Boyolali 4,45 24 0,2786 150 4,51 23 0,2706 146 1,39 -1,99 -0,008 -2,58
Klaten 4,55 29 0,2874 204 4,64 28 0,2760 196 1,99 -2,82 -0,011 -3,64
Wonogiri 3,12 27 0,2944 199 3,15 26 0,2874 194 1,21 -1,74 -0,007 -2,25
Rembang 3,93 15 0,2560 145 3,96 14 0,2514 143 0,78 -1,13 -0,005 -1,46
Jepara 3,72 20 0,2550 111 3,76 19 0,2495 109 0,96 -1,38 -0,006 -1,78
Demak 3,05 27 0,2750 192 3,10 26 0,2652 186 1,70 -2,42 -0,010 -3,13
Temanggung 3,43 12 0,2979 99 3,48 12 0,2907 97 1,26 -1,80 -0,007 -2,33
Batang 3,34 21 0,2752 116 3,38 21 0,2685 113 1,16 -1,66 -0,007 -2,15
Pekalongan 3,81 19 0,2621 153 3,88 18 0,2521 148 1,74 -2,48 -0,010 -3,20
Daerah Tertinggal 3,45 263 0,2746 2.085 3,50 258 0,2673 2.037 1,35 -1,90 -0,007 -2,31
Banyumas 2,94 31 0,3144 295 2,99 31 0,3045 286 1,71 -2,44 -0,010 -3,15
Purbalingga 2,88 20 0,2862 219 2,91 20 0,2798 215 1,10 -1,58 -0,006 -2,05
Banjarnegara 3,30 20 0,2803 190 3,34 20 0,2736 186 1,17 -1,68 -0,007 -2,17
Purworejo 4,09 13 0,2940 130 4,16 13 0,2841 126 1,71 -2,43 -0,010 -3,14
Sragen 3,59 21 0,2844 153 3,63 21 0,2782 150 1,09 -1,56 -0,006 -2,02
Grobogan 2,36 33 0,2616 292 2,38 32 0,2552 286 1,12 -1,61 -0,006 -2,08
Blora 2,51 12 0,2850 147 2,55 12 0,2769 144 1,40 -2,00 -0,008 -2,59
Pati 3,72 30 0,2612 197 3,77 29 0,2537 193 1,30 -1,86 -0,008 -2,41
Pemalang 2,69 36 0,2544 271 2,72 35 0,2472 265 1,24 -1,78 -0,007 -2,30
Tegal 2,56 41 0,2797 214 2,58 41 0,2752 211 0,79 -1,14 -0,005 -1,47
Brebes 2,94 60 0,2674 478 2,97 59 0,2615 469 1,01 -1,46 -0,006 -1,88
Daerah Berkembang 2,99 317 0,2790 2.587 3,02 312 0,2718 2.529 1,24 -1,69 -0,007 -2,25
Jawa Tengah 4,76 849 0,2842 5.739 4,83 834 0,2772 5.606 1,31 -1,82 -0,007 -2,32
Keterangan : Simulasi dengan menaikkan porsi belanja pembangunan terhadap APBD menjadi 18 persen KAP = Pendapatan Perkapita (Rp Juta/Tahun) UN = Jumlah Penganggur/Pencari Kerja (Ribu Jiwa) IGINI = Indeks Ketimpangan Pendapatan (Gini Rasio) HC = Jumlah Penduduk Miskin/Head Count (Ribu Jiwa)
150
Lampiran 16 Hasil Simulasi Peningkatan Rasio Belanja Pembangunan Terhadap APBD Kabupaten/Kota Menjadi 20 Persen
Kabupaten/Kota Dasar
Simulasi Porsi Pengeluaran Pembangunan 20%
Perubahan
KAP UN GINI HC KAP UN GINI HC KAP UN GINI HC
Karanganyar 6,39 21 0,2904 117 6,49 20 0,2811 114 1,61 -2,29 -0,009 -2,96
Kendal 5,76 27 0,2809 158 5,82 27 0,2750 155 1,02 -1,46 -0,006 -1,89
Kota Magelang 8,84 4 0,3129 13 8,93 4 0,3070 13 1,02 -1,47 -0,006 -1,90
Kota Surakarta 9,74 14 0,3195 65 9,85 14 0,3126 64 1,18 -1,70 -0,007 -2,19
Kota Semarang 14,01 42 0,3407 64 14,27 41 0,3298 62 1,88 -2,68 -0,011 -3,46
Kota Pekalongan 7,32 11 0,2815 19 7,39 11 0,2761 19 0,93 -1,34 -0,005 -1,73
Kota Tegal 5,11 10 0,2860 23 5,13 10 0,2829 22 0,53 -0,76 -0,003 -0,98
Daerah Maju 9,39 130 0,3017 459 9,53 127 0,2950 448 1,55 -1,95 -0,007 -2,37
Cilacap 7,57 61 0,3028 328 7,72 59 0,2908 316 2,09 -2,96 -0,012 -3,82
Sukoharjo 5,94 24 0,2774 97 6,05 23 0,2670 94 1,81 -2,57 -0,010 -3,33
Kudus 16,99 20 0,2703 73 17,16 20 0,2645 72 1,01 -1,46 -0,006 -1,88
Semarang 6,14 26 0,2848 95 6,23 26 0,2762 93 1,49 -2,13 -0,009 -2,76
Kota Salatiga 5,31 7 0,3348 14 5,35 7 0,3305 14 0,73 -1,05 -0,004 -1,36
Daerah Tertekan 8,55 139 0,2940 608 8,68 136 0,2858 588 1,55 -2,42 -0,008 -3,29
Kebumen 2,43 28 0,2594 319 2,46 28 0,2526 312 1,18 -1,69 -0,007 -2,18
Wonosobo 2,38 13 0,2716 217 2,40 13 0,2675 215 0,70 -1,01 -0,004 -1,31
Magelang 3,27 30 0,2823 180 3,33 29 0,2724 174 1,72 -2,44 -0,010 -3,16
Boyolali 4,45 24 0,2786 150 4,52 23 0,2694 146 1,61 -2,29 -0,009 -2,96
Klaten 4,55 29 0,2874 204 4,65 28 0,2748 195 2,21 -3,12 -0,013 -4,03
Wonogiri 3,12 27 0,2944 199 3,16 26 0,2862 194 1,43 -2,04 -0,008 -2,64
Rembang 3,93 15 0,2560 145 3,97 14 0,2502 142 1,00 -1,43 -0,006 -1,85
Jepara 3,72 20 0,2550 111 3,77 19 0,2483 109 1,17 -1,68 -0,007 -2,17
Demak 3,05 27 0,2750 192 3,10 26 0,2640 185 1,92 -2,72 -0,011 -3,52
Temanggung 3,43 12 0,2979 99 3,48 12 0,2894 96 1,47 -2,10 -0,008 -2,72
Batang 3,34 21 0,2752 116 3,39 21 0,2673 113 1,37 -1,96 -0,008 -2,54
Pekalongan 3,81 19 0,2621 153 3,89 18 0,2508 147 1,96 -2,78 -0,011 -3,59
Daerah Tertinggal 3,45 263 0,2746 2.085 3,51 257 0,2661 2.029 1,56 -2,20 -0,009 -2,70
Banyumas 2,94 31 0,3144 295 2,99 31 0,3033 285 1,93 -2,74 -0,011 -3,54
Purbalingga 2,88 20 0,2862 219 2,91 20 0,2786 214 1,32 -1,88 -0,008 -2,44
Banjarnegara 3,30 20 0,2803 190 3,35 19 0,2724 185 1,38 -1,98 -0,008 -2,56
Purworejo 4,09 13 0,2940 130 4,16 13 0,2829 125 1,93 -2,73 -0,011 -3,53
Sragen 3,59 21 0,2844 153 3,64 21 0,2769 149 1,30 -1,86 -0,008 -2,40
Grobogan 2,36 33 0,2616 292 2,39 32 0,2539 285 1,34 -1,91 -0,008 -2,47
Blora 2,51 12 0,2850 147 2,55 12 0,2757 143 1,62 -2,31 -0,009 -2,98
Pati 3,72 30 0,2612 197 3,78 29 0,2524 192 1,52 -2,17 -0,009 -2,80
Pemalang 2,69 36 0,2544 271 2,72 35 0,2460 264 1,46 -2,08 -0,008 -2,69
Tegal 2,56 41 0,2797 214 2,59 41 0,2739 210 1,00 -1,44 -0,006 -1,86
Brebes 2,94 60 0,2674 478 2,98 58 0,2603 467 1,23 -1,76 -0,007 -2,27
Daerah Berkembang 2,99 317 0,2790 2.587 3,03 311 0,2706 2.519 1,45 -1,99 -0,008 -2,64
Jawa Tengah 4,76 849 0,2842 5.739 4,84 831 0,2759 5.584 1,53 -2,12 -0,008 -2,71
Keterangan : Simulasi dengan menaikkan porsi belanja pembangunan terhadap APBD menjadi 20 persen KAP = Pendapatan Perkapita (Rp Juta/Tahun) UN = Jumlah Penganggur/Pencari Kerja (Ribu Jiwa) IGINI = Indeks Ketimpangan Pendapatan (Gini Rasio) HC = Jumlah Penduduk Miskin/Head Count (Ribu Jiwa)
151
Lampiran 17 Hasil Simulasi Peningkatan Rasio Belanja Pembangunan Terhadap APBD Kabupaten/Kota Menjadi 23 Persen
Kabupaten/Kota Dasar
Simulasi Porsi Pengeluaran Pembangunan 23%
Perubahan
KAP UN GINI HC KAP UN GINI HC KAP UN GINI HC
Karanganyar 6,39 21 0,2904 117 6,51 20 0,2795 113 1,89 -2,69 -0,011 -3,47
Kendal 5,76 27 0,2809 158 5,83 27 0,2734 154 1,30 -1,86 -0,007 -2,40
Kota Magelang 8,84 4 0,3129 13 8,96 4 0,3054 13 1,31 -1,87 -0,008 -2,42
Kota Surakarta 9,74 14 0,3195 65 9,88 14 0,3110 63 1,47 -2,10 -0,008 -2,71
Kota Semarang 14,01 42 0,3407 64 14,31 41 0,3282 61 2,17 -3,07 -0,012 -3,97
Kota Pekalongan 7,32 11 0,2815 19 7,41 11 0,2745 19 1,22 -1,74 -0,007 -2,25
Kota Tegal 5,11 10 0,2860 23 5,15 10 0,2813 22 0,81 -1,16 -0,005 -1,50
Daerah Maju 9,39 130 0,3017 459 9,56 127 0,2933 446 1,83 -2,35 -0,008 -2,89
Cilacap 7,57 61 0,3028 328 7,75 59 0,2892 314 2,38 -3,36 -0,014 -4,33
Sukoharjo 5,94 24 0,2774 97 6,06 23 0,2654 94 2,10 -2,97 -0,012 -3,84
Kudus 16,99 20 0,2703 73 17,21 20 0,2628 71 1,30 -1,86 -0,007 -2,40
Semarang 6,14 26 0,2848 95 6,25 26 0,2746 92 1,78 -2,53 -0,010 -3,27
Kota Salatiga 5,31 7 0,3348 14 5,37 7 0,3289 13 1,01 -1,45 -0,006 -1,88
Daerah Tertekan 8,55 139 0,2940 608 8,71 135 0,2842 585 1,83 -2,81 -0,010 -3,80
Kebumen 2,43 28 0,2594 319 2,46 28 0,2509 311 1,46 -2,09 -0,008 -2,70
Wonosobo 2,38 13 0,2716 217 2,41 13 0,2659 214 0,99 -1,42 -0,006 -1,83
Magelang 3,27 30 0,2823 180 3,34 29 0,2708 173 2,00 -2,84 -0,012 -3,67
Boyolali 4,45 24 0,2786 150 4,53 23 0,2677 145 1,89 -2,69 -0,011 -3,47
Klaten 4,55 29 0,2874 204 4,67 28 0,2731 194 2,49 -3,51 -0,014 -4,53
Wonogiri 3,12 27 0,2944 199 3,17 26 0,2846 193 1,71 -2,44 -0,010 -3,15
Rembang 3,93 15 0,2560 145 3,98 14 0,2486 142 1,28 -1,83 -0,007 -2,37
Jepara 3,72 20 0,2550 111 3,78 19 0,2466 108 1,46 -2,08 -0,008 -2,69
Demak 3,05 27 0,2750 192 3,11 26 0,2623 184 2,20 -3,12 -0,013 -4,03
Temanggung 3,43 12 0,2979 99 3,49 12 0,2878 96 1,76 -2,50 -0,010 -3,23
Batang 3,34 21 0,2752 116 3,40 21 0,2656 112 1,66 -2,36 -0,010 -3,05
Pekalongan 3,81 19 0,2621 153 3,90 18 0,2492 147 2,24 -3,17 -0,013 -4,10
Daerah Tertinggal 3,45 263 0,2746 2.085 3,52 256 0,2644 2.018 1,85 -2,59 -0,010 -3,22
Banyumas 2,94 31 0,3144 295 3,00 30 0,3016 283 2,22 -3,14 -0,013 -4,05
Purbalingga 2,88 20 0,2862 219 2,92 20 0,2770 213 1,60 -2,28 -0,009 -2,95
Banjarnegara 3,30 20 0,2803 190 3,36 19 0,2707 184 1,67 -2,38 -0,010 -3,07
Purworejo 4,09 13 0,2940 130 4,18 13 0,2813 125 2,21 -3,13 -0,013 -4,04
Sragen 3,59 21 0,2844 153 3,65 21 0,2753 149 1,58 -2,26 -0,009 -2,92
Grobogan 2,36 33 0,2616 292 2,39 32 0,2523 283 1,62 -2,31 -0,009 -2,98
Blora 2,51 12 0,2850 147 2,56 12 0,2740 142 1,90 -2,70 -0,011 -3,49
Pati 3,72 30 0,2612 197 3,79 29 0,2508 191 1,80 -2,56 -0,010 -3,31
Pemalang 2,69 36 0,2544 271 2,73 35 0,2444 263 1,74 -2,48 -0,010 -3,20
Tegal 2,56 41 0,2797 214 2,60 41 0,2723 209 1,29 -1,84 -0,007 -2,38
Brebes 2,94 60 0,2674 478 2,99 58 0,2587 464 1,51 -2,16 -0,009 -2,79
Daerah Berkembang 2,99 317 0,2790 2.587 3,04 310 0,2689 2.506 1,74 -2,39 -0,010 -3,15
Jawa Tengah 4,76 849 0,2842 5.739 4,85 828 0,2743 5.554 1,81 -2,52 -0,010 -3,22
Keterangan : Simulasi dengan menaikkan porsi belanja pembangunan terhadap APBD menjadi 23 persen KAP = Pendapatan Perkapita (Rp Juta/Tahun) UN = Jumlah Penganggur/Pencari Kerja (Ribu Jiwa) IGINI = Indeks Ketimpangan Pendapatan (Gini Rasio) HC = Jumlah Penduduk Miskin/Head Count (Ribu Jiwa)
152
Lampiran 18 Hasil Simulasi Peningkatan Investasi Sebesar 8 Persen di Kabupaten Kota/Menurut Tipologi Klassen
Kabupaten/Kota Dasar
Simulasi Peningkatan Investasi 8%
Perubahan
KAP UN GINI HC KAP UN GINI HC KAP UN GINI HC
Karanganyar 6,39 21 0,2904 117 6,40 21 0,2905 117 0,21 -0,73 0,0001 -0,36
Kendal 5,76 27 0,2809 158 5,77 27 0,2810 157 0,22 -0,78 0,0001 -0,39
Kota Magelang 8,84 4 0,3129 13 8,86 4 0,3130 13 0,16 -0,55 0,0001 -0,27
Kota Surakarta 9,74 14 0,3195 65 9,80 14 0,3198 64 0,67 -2,32 0,0003 -1,16
Kota Semarang 14,01 42 0,3407 64 14,47 37 0,3422 60 3,32 -10,84 0,0016 -5,55
Kota Pekalongan 7,32 11 0,2815 19 7,34 11 0,2816 19 0,28 -0,96 0,0001 -0,48
Kota Tegal 5,11 10 0,2860 23 5,11 10 0,2860 22 0,12 -0,43 0,0001 -0,22
Daerah Maju 9,39 130 0,3017 459 9,56 124 0,3020 453 1,90 -4,18 0,0003 -1,20
Cilacap 7,57 61 0,3028 328 7,63 59 0,3032 324 0,84 -2,91 0,0004 -1,46
Sukoharjo 5,94 24 0,2774 97 5,95 24 0,2776 97 0,26 -0,90 0,0001 -0,45
Kudus 16,99 20 0,2703 73 17,06 20 0,2705 73 0,43 -1,48 0,0002 -0,74
Semarang 6,14 26 0,2848 95 6,16 26 0,2850 95 0,28 -0,96 0,0001 -0,48
Kota Salatiga 5,31 7 0,3348 14 5,32 7 0,3348 14 0,06 -0,22 0,0000 -0,11
Daerah Tertekan 8,55 139 0,2940 608 8,59 136 0,2942 602 0,51 -1,84 0,0002 -1,02
Kebumen 2,43 28 0,2594 319 2,43 28 0,2594 319 0,12 -0,43 0,0001 -0,21
Wonosobo 2,38 13 0,2716 217 2,39 13 0,2717 217 0,09 -0,31 0,0000 -0,15
Magelang 3,27 30 0,2823 180 3,28 29 0,2825 179 0,38 -1,33 0,0002 -0,66
Boyolali 4,45 24 0,2786 150 4,45 24 0,2787 150 0,15 -0,54 0,0001 -0,27
Klaten 4,55 29 0,2874 204 4,57 28 0,2876 202 0,37 -1,30 0,0002 -0,65
Wonogiri 3,12 27 0,2944 199 3,12 27 0,2945 198 0,14 -0,50 0,0001 -0,25
Rembang 3,93 15 0,2560 145 3,93 14 0,2561 144 0,20 -0,69 0,0001 -0,34
Jepara 3,72 20 0,2550 111 3,73 20 0,2552 111 0,28 -0,96 0,0001 -0,48
Demak 3,05 27 0,2750 192 3,05 27 0,2751 191 0,20 -0,70 0,0001 -0,35
Temanggung 3,43 12 0,2979 99 3,44 12 0,2980 99 0,14 -0,49 0,0001 -0,24
Batang 3,34 21 0,2752 116 3,35 21 0,2753 115 0,16 -0,56 0,0001 -0,28
Pekalongan 3,81 19 0,2621 153 3,82 19 0,2622 152 0,22 -0,77 0,0001 -0,38
Daerah Tertinggal 3,45 263 0,2746 2.085 3,46 261 0,2747 2.078 0,22 -0,75 0,0001 -0,35
Banyumas 2,94 31 0,3144 295 2,95 31 0,3146 293 0,43 -1,51 0,0002 -0,75
Purbalingga 2,88 20 0,2862 219 2,88 20 0,2863 218 0,21 -0,74 0,0001 -0,37
Banjarnegara 3,30 20 0,2803 190 3,31 20 0,2804 189 0,20 -0,70 0,0001 -0,35
Purworejo 4,09 13 0,2940 130 4,09 13 0,2941 130 0,17 -0,61 0,0001 -0,30
Sragen 3,59 21 0,2844 153 3,60 21 0,2845 153 0,16 -0,55 0,0001 -0,27
Grobogan 2,36 33 0,2616 292 2,36 33 0,2617 291 0,16 -0,56 0,0001 -0,28
Blora 2,51 12 0,2850 147 2,51 12 0,2850 147 0,08 -0,29 0,0000 -0,14
Pati 3,72 30 0,2612 197 3,74 29 0,2613 196 0,34 -1,18 0,0002 -0,59
Pemalang 2,69 36 0,2544 271 2,69 36 0,2545 271 0,12 -0,43 0,0001 -0,21
Tegal 2,56 41 0,2797 214 2,57 41 0,2798 213 0,21 -0,75 0,0001 -0,37
Brebes 2,94 60 0,2674 478 2,95 59 0,2674 477 0,14 -0,51 0,0001 -0,25
Daerah Berkembang 2,99 317 0,2790 2.587 2,99 315 0,2791 2.578 0,22 -0,72 0,0001 -0,36
Jawa Tengah 4,76 849 0,2842 5.739 4,80 837 0,2841 5.711 0,74 -1,44 0,0000 -0,49
Keterangan : Simulasi dengan menaikkan investasi sebesar 8 persen KAP = Pendapatan Perkapita (Rp Juta/Tahun) UN = Jumlah Penganggur/Pencari Kerja (Ribu Jiwa) IGINI = Indeks Ketimpangan Pendapatan (Gini Rasio) HC = Jumlah Penduduk Miskin/Head Count (Ribu Jiwa)
153
Lampiran 19 Hasil Simulasi Peningkatan Indeks Harga Sebesar 2,68 Persen di Kabupaten/Kota Menurut Tipologi Klassen
Kabupaten/Kota Dasar Simulasi Inflasi Sebesar 2,68% Perubahan
KAP UN GINI HC KAP UN GINI HC KAP UN GINI HC
Karanganyar 6,39 21 0,2904 117 6,39 21 0,2918 118 0,00 0,00 0,001 1,13
Kendal 5,76 27 0,2809 158 5,76 27 0,2824 159 0,00 0,00 0,001 1,13
Kota Magelang 8,84 4 0,3129 13 8,84 4 0,3144 14 0,00 0,00 0,001 1,13
Kota Surakarta 9,74 14 0,3195 65 9,74 14 0,3209 66 0,00 0,00 0,001 1,13
Kota Semarang 14,01 42 0,3407 64 14,01 42 0,3421 64 0,00 0,00 0,001 1,13
Kota Pekalongan 7,32 11 0,2815 19 7,32 11 0,2830 20 0,00 0,00 0,001 1,13
Kota Tegal 5,11 10 0,2860 23 5,11 10 0,2874 23 0,00 0,00 0,001 1,13
Daerah Maju 9,39 130 0,3017 459 9,39 130 0,3031 464 0,00 0,00 0,001 1,13
Cilacap 7,57 61 0,3028 328 7,57 61 0,3043 332 0,00 0,00 0,001 1,13
Sukoharjo 5,94 24 0,2774 97 5,94 24 0,2789 99 0,00 0,00 0,001 1,13
Kudus 16,99 20 0,2703 73 16,99 20 0,2718 74 0,00 0,00 0,001 1,13
Semarang 6,14 26 0,2848 95 6,14 26 0,2863 96 0,00 0,00 0,001 1,13
Kota Salatiga 5,31 7 0,3348 14 5,31 7 0,3362 14 0,00 0,00 0,001 1,13
Daerah Tertekan 8,55 139 0,2940 608 8,55 139 0,2955 615 0,00 0,00 0,001 1,13
Kebumen 2,43 28 0,2594 319 2,43 28 0,2608 323 0,00 0,00 0,001 1,13
Wonosobo 2,38 13 0,2716 217 2,38 13 0,2731 220 0,00 0,00 0,001 1,13
Magelang 3,27 30 0,2823 180 3,27 30 0,2837 182 0,00 0,00 0,001 1,13
Boyolali 4,45 24 0,2786 150 4,45 24 0,2801 152 0,00 0,00 0,001 1,13
Klaten 4,55 29 0,2874 204 4,55 29 0,2889 206 0,00 0,00 0,001 1,13
Wonogiri 3,12 27 0,2944 199 3,12 27 0,2959 201 0,00 0,00 0,001 1,13
Rembang 3,93 15 0,2560 145 3,93 15 0,2574 147 0,00 0,00 0,001 1,13
Jepara 3,72 20 0,2550 111 3,72 20 0,2565 113 0,00 0,00 0,001 1,13
Demak 3,05 27 0,2750 192 3,05 27 0,2764 194 0,00 0,00 0,001 1,13
Temanggung 3,43 12 0,2979 99 3,43 12 0,2994 100 0,00 0,00 0,001 1,13
Batang 3,34 21 0,2752 116 3,34 21 0,2767 117 0,00 0,00 0,001 1,13
Pekalongan 3,81 19 0,2621 153 3,81 19 0,2636 154 0,00 0,00 0,001 1,13
Daerah Tertinggal 3,45 263 0,2746 2.085 3,45 263 0,2760 2.109 0,00 0,00 0,001 1,13
Banyumas 2,94 31 0,3144 295 2,94 31 0,3158 299 0,00 0,00 0,001 1,13
Purbalingga 2,88 20 0,2862 219 2,88 20 0,2877 221 0,00 0,00 0,001 1,13
Banjarnegara 3,30 20 0,2803 190 3,30 20 0,2818 192 0,00 0,00 0,001 1,13
Purworejo 4,09 13 0,2940 130 4,09 13 0,2954 131 0,00 0,00 0,001 1,13
Sragen 3,59 21 0,2844 153 3,59 21 0,2859 155 0,00 0,00 0,001 1,13
Grobogan 2,36 33 0,2616 292 2,36 33 0,2631 295 0,00 0,00 0,001 1,13
Blora 2,51 12 0,2850 147 2,51 12 0,2865 149 0,00 0,00 0,001 1,13
Pati 3,72 30 0,2612 197 3,72 30 0,2626 200 0,00 0,00 0,001 1,13
Pemalang 2,69 36 0,2544 271 2,69 36 0,2558 274 0,00 0,00 0,001 1,13
Tegal 2,56 41 0,2797 214 2,56 41 0,2812 217 0,00 0,00 0,001 1,13
Brebes 2,94 60 0,2674 478 2,94 60 0,2688 483 0,00 0,00 0,001 1,13
Daerah Berkembang 2,99 317 0,2790 2.587 2,99 317 0,2804 2.616 0,00 0,00 0,001 1,13
Jawa Tengah 4,76 849 0,2842 5.739 4,76 849 0,2854 5.804 0,00 0,00 0,001 1,13
Keterangan : Simulasi kenaikan indeks harga sebesar 2,68 persen KAP = Pendapatan Perkapita (Rp Juta/Tahun) UN = Jumlah Penganggur/Pencari Kerja (Ribu Jiwa) IGINI = Indeks Ketimpangan Pendapatan (Gini Rasio) HC = Jumlah Penduduk Miskin/Head Count (Ribu Jiwa)
154
Halaman ini sengaja dikosongkan
Top Related