VIII. ANALISIS EFISIENSI TEKNIS ALOKASI DAN EKONOMI · Hal ini berhubungan dengan tingkat...
Transcript of VIII. ANALISIS EFISIENSI TEKNIS ALOKASI DAN EKONOMI · Hal ini berhubungan dengan tingkat...
97
VIII. ANALISIS EFISIENSI TEKNIS ALOKASI DAN EKONOMI
Jika fungsi produksi ditentukan oleh penggunaan input-inputnya maka
fungsi in-efisiensi ditentukan oleh faktor lain selain input. Variable yang diduga
mempengaruhi inefisiensi sebagai aspek managerial input dalam penelitian ini
yaitu variable individu petani (umur dan pendidikan), variable karakteristik dan
teknik usaha garam (pengalaman usaha, penggunaan pompa), variable
karakteristik tambahan input (zat aditif dan pompa), variable kinerja usaha tani
(penerimaan pendapatan usaha garam), karakteristik kelembagaan (akses ke
lembaga keuangan formal dan non-formal, serta keaktifan dalam kelompok tani
dibawah koperasi atau program pemerintah). Output fungsi inefisiensi ini
merupakan hasil simultan yang diolah bersamaan dengan fungsi produksi karena
yang digunakan yaitu fungsi cob-douglas dengan metode MLE. Pendugaan
dengan metode MLE menghasilkan fungsi produksi yang dianggap fit karena
memenuhi asumsi Cobb-douglas pada masing-masing karakteristik petambak
garam.
Seluruh nilai log lielihood dengan metode MLE lebih besar dari nilai log
likelihood dengan metode OLS, nilai sigma-squared yang menunjukan distribusi
dari error tern inefisiensi (ui) adalah cukup kecil, dan nilai gamma yang
mendekati 1 yang menunjukan bahwa error term hanya berasal dari akibat
inefisiensi (ui) dan bukan berasal dari noise (vi). Adapun rincian output
stochastic frontier selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1.
8.1. Analisis Efisiensi Teknis Usaha Garam Rakyat
8.1.2. Sebaran Efisiensi Teknis
Untuk melihat sebaran efisiensi teknis yang disebabkan adanya efek in-
efisiensi pada petambak garam dapat dilihat pada tabel di bawah. Sebagai
perbandingan (benchmark), hasil penelitian Osborne and Trueblood (2006);
Kusnadi, et al., (2011), Shing and Sharma (2011), menunjukkan bahwa nilai
indeks efisiensi hasil analisis dikategorikan cukup efisien jika lebih besar dari
0.70. Hal sesuai yang disarankan oleh Coelli and Battese (1998) nilai tersebut
sebagai batas minimal dari efisiensi.
Berdasarkan Tabel 22 sebaran efisiensi teknis rata-rata dari kelompok
petambak berbeda. Tingkat efisiensi rata-rata pada petambak sewa 0.91, dengan
tingkat efisiensi teknis maksimal paling tinggi 0.99 dan paling rendah 0.72. Jika
98
dilihat dari hasil tersebut tingkat produksi petambak sewa sudah efisien. Bagi
petambak sewa dengan tingkat efisiensi paling rendah masih bisa memiliki ruang
untuk meningkatkan produksinya dari sisi efisiensi sebesar 27 persen.
Sedangkan bagi petambak yang paling tinggi hanya 8 persen saja bisa dilakukan
peningkatan.
Table 22. Sebaran Efisiensi Teknis Petambak Responden
Efisiensi Teknis
Interval Sewa Bagi hasil Milik
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
0.01-0.10 0.11-0.20 0.21-0.30 0.31-0.40 0.41-0.50 0.51-0.60 1 2.86 0.61-0.70 26 74.29 5 16.67 0.71-0.80 4 11.43 4 11.43 8 26.67 0.81-0.90 8 22.86 3 8.57 8 26.67 0.91-1.00 23 65.71 1 2.86 9 30.00
Jumlah 35 100 35 100 30 100
Rata-rata 0.91 0.69 0.82 Maksimum 0.99 0.99 0.99 Minimum 0.72 0.58 0.62
Pada kelompok petambak bagi hasil nilai rata-rata efisiensi teknis
mencapai 0.69. Sebanyak 74 persen dari petambak sampel masih dibawah 0.7
tingkat efisiensi teknisnya. Tingkat efisiensi paling tinggi sebesar 0.99 dan paling
rendah 0.58. Petambak paling rendah masih bisa berpeluang meningkatkan
produksi garam sebesar 41 persen, sedangkan bagi petambak dengan tingkat
efisiensi teknis maksimal mereka sudah bisa meningkatkan efisiensi produksi
dari rata-rata petambak bagi hasil sebesar 69.9 persen. Pada petambak pemilik-
garap tingkat efisiensi teknis rata-rata mencapai 0.82 (84 persen diatas batas
minimal efisiensi). Pada petambak pemilik-garap paling rendah peluang
meningkatkan efisiensi produksi masih tinggi sebesar 24 persen tinggi masih bisa
meningkatkan efisiensi produksinya sebesar 17 persen. Jika tingkat efisiensi
dihubungkan dengan tingkat produktifitas garam rakyat terjadi hubungan positif
dimana jika efisiensi meningkat, maka tingkat produktifitas garam pun meningkat.
Pada Gambar 17 dapat dilihat tingkat produktifitas petambak sewa terus
meningkat dan rata-rata dalam kisaran 76 ton per hektar.
99
12011010090807060
1.00
0.95
0.90
0.85
0.80
0.75
0.70
Produktifitas (ton/ha)
Efis
iens
i Tek
nis
Jika dibandingkan antara Gambar 17, Gambar 18 dan Gambar 19
mengenai hubungan antara tingkat efisiensi teknis dan produktiitas masing-
masing petambak semuanya berbanding positif. Rata-rata produktifitas petambak
sewa mencapai 0.8 dengan rata-rata tingkat efisiensi 93 persen, petambak bagi-
hasil mencapai 95 ton/hektar dengan tingkat efisiensi mencapai 73 persen
sedangkan petambak pemilik garap produktifitas mencapai 92 ton per hektar
dengan tingkat efisiensi mencapai 85 persen. Jadi kelompok petambak bagi-hasil
peluang untuk terus meningkatkan lahan akan bisa meningkatkan efisiensi
produksi untuk menghasilkan kuantitas garam yang lebih banyak karena mereka
bisa mencapai tingkat produktifitas lebih besar dibandingkan dengan yang
lainnya.
Gambar 17. Hubungan antara Produktifitas dengan Efisiensi Teknis
Petambak Sewa
Perbedaan tingkat produksi dan produktifitas terhadap tingkat efisiensi
teknis pada petambak sewa memiliki tingkat slove berbeda. Tingkat produksi
lebih elastis dibandingkan dengan tingkat produktifitas terhadap tingkat efisiensi
teknis. Hal ini berhubungan dengan tingkat optimalisasi lahan yang sudah
tercapai pada petambak sewa. Jadi ketika terjadi penambahan tingkat luasan
lahan akan tidak terlalu elastis terhadap tingkat produktifitas. Dengan rata-rata
tingkat produksi mencapai 80 ton per hektar dari penggunaan rata-rata lahan 4
hektar. Sedangkan pada petambak bagi-hasil terlihat pada Gambar 20 tingkat
elasitisitas lebih besar dibandingkan dengan petambak sewa. Petambak bagi
hasil rata-rata mengelola lahan 3 hektar dengan tingkat produktifitas mencapai
100
9080706050403020100
0.725
0.700
0.675
0.650
0.625
0.600
Produktifitas (ton/ha)
Efis
iens
i Tek
nis
250200150100
0.90
0.85
0.80
0.75
0.70
0.65
0.60
Produktifitas (ton/ha)
Efis
iens
i Tek
nis
85 ton per hektar. Jadi peluang meningkatkan efisiensi dan produksi melalui
penambahan lahan masih bisa dilakukan pada petambak bagi-hasil.
Gambar 18. Hubungan antara Produktifitas dengan Efisiensi Teknis
Petambak Bagi-hasil
Gambar 19. Hubungan antara Produktifitas dengan Efisiensi Teknis
Petambak Pemilik-garap
Jika dibandingkan dengan petambak pemilik-garap, tingkat produksi dan
produktifitas petambak ini masih dibawah petambak bagi-hasil. Petambak
pemilik-garap yang bisa dikatakan asal-asalan dalam proses pembuatan garam
tentunya akan menghasilkan produksi yang lebih rendah. Dengan kepemilikan
lahan 0.5 hektar dengan tingkat produktifitas rata-rata hanya mencapai 80 ton
per hektar.
101
Hal ini sama sejalan dengan model produksi yang dipaparkan
sebelumnya bahwa tingkat elastisitas input produksi lahan terhadap pada
petambak bagi-hasil lebih elastis dibandingkan petambak lainnya. Fakta empirik
dilapangan juga menggambarkan hal yang sama pada petambak bagi-hasil
dimana mereka berkeinginan untuk menambah lagi lahan jika ada lahan yang
berdekatan. Petambak yang ada di Kecamatan Kandang haur melakukan
penggarapan lahan yang sangat berdekatan. Hal ini bertujuan untuk kemudahan
melakukan pengontrolan proses produksi.
Gambar 20. Estimasi Sebaran Efisiensi Teknis dengan Karnel Density pada
Petambak Sewa
Gambar 21. Estimasi Sebaran Efisiensi Teknis dengan Karnel Density pada
Petambak Bagi-hasil
102
Gambar 22. Estimasi Sebaran Efisiensi Teknis dengan Karnel Density pada
Petambak Pemilik-garap
Dengan menggunakan pendekatan sebaran karnel density dapat dilihat
pada Gambar 20, Gambar 21 dan Gambar 22 sebaran tingkat efisiensi pada
masing-masing kelompok petambak dimana petambak sewa (Gambar 20)
kecenderungan sudah mencapai tingkat efisiensi sama halnya dengan petambak
pemilik-garap (Gambar 21). Sedangkan pada petambak bagi-hasil (Gambar 22),
grafik karnel density cenderung multi-modial yang menyebar dengan kepadatan
berada pada kelompok tingkat efisiensi antara 0.6-0.7 dan mendekati 1.0.
Penyebaran tingkat efisiensi relatif dipengaruhi sumber in-efisiensi yang
berdampak pada tingkat efisiensi teknis bagi-hasil masih rendah dibanding
dengan petambak sewa dan pemilik-garap disebabkan 3 hal yang signifikan
dalam peningkatan efisiensi yaitu : 1) pendapatan usaha garam yang nantinya
akan dibagihasilkan dengan pemilik lahan 70:30 antara petambak dengan
pemilik lahan. Jika ingin meningkatkan efisiensi dari sisi pendapatan salah
satunya adalah diturunkannya bagi hasil atau ditingkatkannya produksi, 2)
manajerial usaha dari pengalaman usaha garam yang selama ini dilakukan
denagn tidak berpengaurhnya pengalaman usaha dan tidak berpengaruhnya
keikutsertaan dalam kelompok petambak garam menyebabkan berbeda-
bedannya tingkat efisiensi teknis. 3) penggunaan zat aditif ramsol yang bisa
meningkatkan kuantitas produksi garam dipakai oleh sebagian kelompok
petambak sewa. Hal ini untuk mengimbangi luasan lahan yang dikelola yang
cenderung menurunkan efisiensi teknis.
103
8.1.2. Sumber-Sumber Inefisiensi Teknis
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat efisiensi teknis petambak
responden menggunakan model efek inefisiensi dari fungsi produksi stochastic
frontier. Terjadinya efek in-efisiensi teknis dapat dilihat dari nilai gamma dimana
nilai gamma petambak sewa yaitu 0.801, petambak bagi-hasil 0.990 dan
petambak pemilik-garap 0.990. Nilai gamma yang mendekati 1 diinterpretasikan
bahwa seluruh error term adalah sebagai akibat dari efeke in-efisiensi ( dan
sebaliknya jika gamma mendekati nol diinterpretasikan bahwa error term berasal
dari noise (Kusnadi, et al., 2011), seperti cuaca, tingkat keceptan angin,
kualitas terik matahari. Bahkan hasil penelitian Boshrabadi, et al., (2006)
menunjukkan bahwa nilai gamma adalah satu. Hal ini tidak menjadi persoalan di
dalam studi efisiensi teknis produksi suatu komoditas pertanian. Menurut Trewin,
et al., (1995); Masdjidin dan Sumaryanto (2003); Saptana, et al., (2010);
Guesmi, et al., (2012) nilai gamma yang mendekati 1 ditegaskan interpretasinya
sangat baik karena error term hanya berasal dari inefisiensi yang berhubungan
dengan manajerial usaha serta faktor lain menyangkut karakteristik sosial dan
ekonomi. Sebaran efek in-efisiensi pada masing-masing petambak akan
dipaparkan di bawah ini.
1. Petambak Sewa
Nilai log likelihood dengan metode MLE masing-masing kelompok
petambak adalah lebih besar dari nilai likelihood dengan metode OLS yang
berarti fungsi produksi dengan metode MLE ini adalah baik dan sesuai dengan
kondisi dilapangan dimana nilai log likelihood MLE petambak sewa (48.650)
sedangkan OLS (39.862). Interpretasi dengan diagnostic statistic ini adalah
menunjukan bahwa model MLE yang dibangun menunjukan best fit keragaan
yang baik dan sesuai menurut kondisi dilapangan dengan memasukan efek in-
efisiensi sebagai gangguan internal dalam produksi.
Uji hipotesi lain untuk menguji signifkansi dari efek in-efisiensi yaitu uji
likelihood ratio yang dibandingkan dengan indeks kodde-Palm, dimana hipotesa
nol akan ditolak jika likelihood ratio lebih besar dari pada chi-square.
Berdasarkan Tabel 22 di bawah dihasilkan nilai LR Ratio untuk petambak sewa
17.577. sehingga hasilnya menolak hipotesa nol yang artinya fungsi cobb-
douglas yang dibentuk dapat menangkap kinerja dan perilaku sebagai efek in-
efisiensi dari usaha garam untuk petambak sewa yang ada di Kabupaten
104
Indramayu. Sama halnya dari hasil penelitian Saptana, et al., (2010) pada
komoditas cabai dimana nilai LR-ratio lebih besar dari Chi-suare dengan
memasukan faktor risiko sebagai sumber in-efisiensi mempengaruhi terhadap
efisiensi petambak.
Fungsi inefisiensi dapat dilihat pada Tabel 23. Nilai rata-rata efieinsi (mean
technical efficiency) yang dicapai pada petambak sewa mencapai 0.911 atau
91.1 persen sehingga masih terdapat ruang untuk meningkatkan efisiensi pada
teknologi yang sama sebesar 8.9 persen untuk petambak sewa, melalui
pembenahan faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi efisiensi. Dari 10
variabel sumber efek in-efisiensi petambak sewa ada yang signifikan dan ada
yang tidak signifikan terhadap efisiensi produksi. Hal ini karena setiap sumber in-
efisiensi berbeda-beda pengaruhnya.
Sumber dari efek in-efisiensi terdiri dari sebagai berikut : Umur (Z1). Faktor
umur dimasukkan ke dalam efek inefisiensi dengan dugaan bertanda positif (+)
terhadap efisiensi teknis. Pada kelompok petambak sewa efek umur bertanda
positif (+), tetapi hasil uji statistik ternyata faktor tersebut tidak berpengaruh pada
taraf nyata α 0.01 bahkan α 0.05. Tanda positif untuk faktor umur ini
diinterpretasikan bahwa semakin bertambah umur maka semakin bertambah
tingkat in-efisiensi teknisnya sehingga semakin bertambah umur semakin tidak
menguntungkan terhadap efisiensi produksi garam. Walaupun secara statistik
tidak signifikan, umur merupakan faktor utama dalam karakteristik petambak.
Semakin bertambah umur seharusnya lebih bisa meningkatkan efisiensi produksi
tetapi kondisinya kebalikannya. Untuk petambak yang berstatus sewa, umur
yang masih rata-rata sekitar 40 an banyak ditemukan masih semangat dalam
proses usaha garam. Semakin meningkatkan umurnya logikanya semakin
meningkat pengalamannya tetapi petambak sewa biasanya mereka enggan
untuk melakukan usaha garam secara sewa. Hal ini berhubungan dengan risiko
yang ditanggung, semakin meningkat umur petambak sewa, tingkat risiko yang
ditanggung semakin menurun. Dampak umur juga dalam rumah tangga
berhubungan terhadap manajerial dan pengambilan keputusan dalam usaha.
Rumah tangga muda dan rumah tangga berusia lebih efisien daripada tengah
umur bertentangan dengan apa yang diharapkan rumah tangga. Alasan yang
mungkin untuk perilaku ini bisa menjadi terkait dengan proses reproduksi dan
komposisi keluarga rumah tangga di mana rumah tangga paruh baya memiliki
tanggungan lebih dari pekerja dan karena itu cenderung menerapkan keputusan
105
manajemen tepat waktu. Petambak dengan status sewa perlu banyak kerja (multi
tasking), sehingga umur yang masih muda masih cocok untuk melakukan usaha
garam dengan status sewa.
Pendidikan (Z2). Faktor pendidikan adalah jumlah waktu (tahun) yang
dihabiskan petambak untuk menjalani masa pendidikan formalnya. Variabel ini
dianggap sebagai pendekatan dari kemampuan manajerial petambak. Semakin
lama pendidikan petambak diduga semakin mendorong petambak untuk efisien
dalam proses produksi dan penggunaan input-input produksi. Tabel di bawah
menunjukkan bahwa lama pendidikan berpengaruh tidak nyata terhadap tingkat
inefisiensi masing-masing kelompok petambak pada taraf nyata α 0.05.
sedangkan pendidikan ini bertanda negatif pada kelompok petambak sewa.
Tanda tersebut sesuai dengan yang diharapkan walaupun nilainya mendekat nol
dalam arti tidak terlalu berkorelasi terhadap efek efisiensi. Fenomena ini
menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan yang ditempuh petambak maka
semakin tinggi kemampuan petambak untuk mengadopsi teknologi dan dapat
menggunakan input secara proporsional sehingga akan meningkatkan kinerja
dalam berusahatani garam.
Kondisi yang ada pada petambak sewa, rata-rata pendidikan hanya
sekolah dasar. Sehingga nilai efek efisiensi wajar tidak terlalu berkorelasi
terhadap efek in-efisiensi dengan nilai yang mendekati nol. Hanya kemampuan
menulis, membaca dan menghitung yang bisa mereka lakukan. Walaupun ada
seorang yang berpendidikan tinggi hal ini hanya pencilan saja. Berbeda ketika
ditemukan petambak sewa yang pernah mengenyam pendidikan sarjana seperti
Kepala Desa Santing yang sekaligus menjadi petambak garam sewa, mereka
bisa mengupayakan lahan sewaanya dengan baik.
Hal ini sama dengan penelitian Mynt dan Kyi (2005), dan Kebede (2001).
Menurut Kebede (2001), pendidikan meningkatkan kemampuan petambak untuk
mencari, memperoleh dan menginterpretasikan informasi yang berguna tentang
input-input produksi. Hal ini sejalan dengan Johansson (2007) dan Latruffe, et al.,
(2009) yang berpendapat bahwa efisiensi manajerial meningkat dengan tingkat
pendidikan, dan pengalaman sehingga menghasilkan tingkat yang lebih tinggi
level produksinya. Sedangakn pada petambak pemilik-garap hubungan
pendidikan meningkatkan efek in-efisiensi, tetapi tidak signifikan pada taraf
nyata α 0.01 dan α 0.05. Hal ini sama dengan yang ditemui Sukiyono (2005);
Kurniawan (2012) dimana aspek pendidikan tidak berpengaruh terhadap efisiensi
106
produksi pada petambak cabai merah di Kabupaten Rejang Lebong dan
petambak padi di Kabupaten Bariot Kuala. Petambak muda memiliki pendidikan
tinggi, lebih mampu mengumpulkan dan menginterpretasikan informasi tentang
praktek-praktek pertanian baru. Di sisi lain, rumah tangga tua memiliki akses ke
lebih banyak sumber daya (lahan dan tenaga kerja) dapat menerapkan usaha
tambak yang direkomendasikan dipraktekkan dengan waktu yang tersedia.
Variabel pendidikan memberikan hasil yang beragam seperti yang diharapkan.
Dampak pendidikan pada TE adalah negatif, yang konsisten dengan hipotesis
bahwa pemdidikan rumah tangga kurang efisien jika pendidikan meningkat
kembali petambak dari kegiatan non-pertanian, sehingga realokasi perhatian
atau manajemen usaha garam ke aktivitas non-pertanian. Dampak pendidikan
terhadap efek efisiensi teknis adalah positif pada kelompok petambak pemilik-
garap, menyiratkan bahwa pendidikan meningkatkan petambak kemampuan
manajemen dan kemampuan untuk memanfaatkan teknologi yang sudah ada
secara turun termurun.
Pengalaman (Z3). Pada beberapa penelitian sebelumnya yang
menggunakan faktor pengalaman sebagai sumber efek in-efisiensi di berbagai
komoditas pertanian (Alam, et al., 2012); (Shanta, et al., 2012); (Barkhsh dan
Hasan, 2012) bahwa pengalaman dianggap sebagai pendekatan dari umur
dimana semakin bertambah umur maka pengalaman dalam usaha tersebut
meningkat dan hal ini mempengaruhi terhadap kinerja dan manajemen usaha.
Begitu pun pada petambak ditemukan bahwa petambak yang berumur relatif tua
tidak selalu memiliki pengalaman yang lebih banyak dari petambak yang lebih
muda. Tabel 22 di bawah terlihat bahwa pengalaman petambak sewa bertanda
bertanda negatif. Hal ini menunjukkan pada petambak sewa bahwa semakin
lama berpengalaman semakin meningkat tingkat efisiensinya. Hasil uji statistik
menyatakan faktor ini tidak signifikan pada taraf nyata α 0.05, dengan nilainya
mendekati nol dengan interpretasi bahwa peningkatannya tidak terlalu cepat
mengalami perubahan terhadap kualitas pengalaman dan begitupun terhadap
efek in-efisiensi. Perlu proses dan waktu untuk meningkatkan kualitas
pengalaman. Pengalaman dihasilkan dari proses berulang-ulang kali dalam
kegiatan produksi garam dengan berbagai terapan tambahan dan perbaik-
perbaikan. Banyak petambak sewa mereka melakukan perbaikan produksi dari
tahun ke tahun seperti perbaikan dalam proses persiapan lahan, pembenahan
tanggul dan pengerasa meja garam. Ada juga petambak sewa yang mencoba
107
melakukan tambahan dengan memberikan lapisan plastik terpal untuk
mempercepat proses evaporasi dan supaya garam berwarna lebih putih. Rata-
rata pengalaman usaha petambak sewa sekitar 5 tahun. Dengan dihubungkan
dengan faktor umur juga dimana petambak sewa masih dalam usia muda rata-
rata 45 tahunan, maka hubungan antara umur, pengalaman dan pendidikan
dapat mendongkrak efisiensi teknis garam. Salah satu petambak sewa yang juga
berprofesi sebagai pengurus koperasi dan sebagai kepala desa bisa melakukan
produksi garam dengan luasan 10 hektar. petambak sewa umumnya memiliki
status sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan petambak bagi-hasil dan
pemilik-garap lahan kecil.
Jumlah anggota keluarga (Z4). Jumlah anggota keluarga menyangkut
kepada ukuran keluarga (Household size) yang berhubungan dengan
keterlibatan anggota keluarga dalam usaha garam. Hal ini akan berpengaruh
karena dilihat dari fungsi produksinya hubungan tenaga kerja dengan produksi
pada OLS dan MLE berhubungan positif. Tambahan tenaga kerja baik dari dalam
anggota keluarga dan luar keluarga berpengaruh positif. Sedangkan jika
dihubungkan dengan efek in-efisiensi, faktor ini berpengaruh menurunkan in-
efisiensi pada petambak sewa. Dengan nilai parameter mendekati nol dan uji
statistik tidak signifikan baik pada taraf nyata α 0.01 atau α 0.05. Anggota
keluarga yang dilibatkan dalam usaha umumnya masih berusia remaja dan
masih usia sekolah, sedangkan jika yang terlibat adalah anak yang sudah
dewasa, mereka tidak terlalu termotivasi dalam keikutsertaan usaha garam,
dengan anggapan pekerjaan ini hanya sebatas membantu kepala keluarga untuk
memanfaatkan waktu. Rumah tangga dengan keluarga besar lebih efisien,
kemungkinan besar karena mereka berusaha untuk mencapai output yang lebih
tinggi untuk memenuhi persyaratan usaha garam. Rasio tanggungan dalam
keluarga menyiratkan bahwa ada sedikit tenaga kerja tersedia untuk pekerjaan
anggota keluarga dalam kegiatan pertanian. Anak-anak di rumah tangga berusia
cukup tua untuk kontribusi yang signifikan terhadap kegiatan pertanian rumah
tangga (Bagamba, 2007).
Petambak sewa tidak terlalu intensif dalam penggunaan anggota keluarga
mereka. Contohnya dalam penarikan air laut, pengerukan garam dan perbaikan
tanggul air irigasi mereka menggunakan anggota keluarga. Jika tidak ada
anggota keluarga yang bisa terlibat, petambak bisa memerintahkan kepada
pekerja yang siap bantu dalam proses produksi garam.
108
3.02.52.01.51.0
1.00
0.95
0.90
0.85
0.80
0.75
0.70
Luas lahan (ha)
Efis
iens
i Tek
nis
Ukuran lahan (farm size) (Z5). Ukuran lahan adalah salah satu yang
harus dimasukan pada efek in-efisiensi dengan alasan ukuran sebagai satuan
untuk mengukur produktifitas dari curahan waktu pemakaian input dan
menajemen pengelolaan usaha (Umoh, 2006); (Obwona, 2006); (Shehu, et al.,
2010); (Zulkuwi, 2010). Pada kelompok petambak sewa pun demikian, faktor
peningkatan ukuran lahan meningkatkan efisiensi, tetapi tidak signifikan. Hal ini
karena luasan pengolahan lahan sudah optimal dimana seluruh sampel
petambak tingkat efisiensi teknisnya sudah di atas 0.7 persen atau 70 persen.
Dengan luasan 3 hektar tingkat efisiensi teknis sudah mencapai hampir 100
persen. Hal ini dapat digambarkan pada Gambar 23. Walaupun penyebarannya
tidak normal tetapi hal ini menggambarkan bahwa semakin tinggi tingkat ukuran
lahannya dengan maksimal lahan sampai 5 hektar maka efisiensi teknisnya
semakin mendekati satu.
Gambar 23. Hubungan antara Luas lahan dengan Efisiensi Teknis
Petambak Sewa
Karakteristik dari lahan sewa yang umumnya dalam satu hamparan seperti
yang ada di Kecamatan Losarang dan Kandang Haur menjadi faktor penentu
keberhasilan peningkatan produksi garam. Dalam 1 hamparan (kavling) bisa
mencapai 5 hektar lahan sewa. Hal ini memudahkan petambak dalam mengatur
sistem irigasi pengaliran air laut ke blok-blok peminihan dalam satu kawasan.
Jika dalam 3 hektar petambak memiliki 6 set proses pembuatan garam, mereka
bisa melakukan proses pemanena dalam 1 hari 3 set meja garam. Dengan
109
bantuan tenaga kerja tambahan di luar anggota keluarga mereka bisa optimal
pengerukan garam. Bisa mengukur tingkat kecepatan proses pengerukan
menjadi keberhasilan dalam peningkatan produksi. Biasanya petambak sewa
mencari tenaga kerja yang sudah terbiasa dengan spesialisasi pengerukan atau
sudah lama menjadi anak buahnya dalam satu grup kawasan tambak garam.
Lama keanggotaan dalam Kelompok (Z6). Faktor keanggotaan dalam
kelompok petambak garam baik dibawah koperasi dan kegiatan program
pemerintah diharapkan bertanda negatif terhadap inefisiensi. Dari hasil analisis
efek efisiensi sebaliknya bertanda positif artinya bahwa akitiftas tersebut malah
berdampak meningkatkan in-efisiensi. Petambak merasakan belum adanya
manfaat dari keanggotaan petambak tersebut menyebabkan petambak garam di
daerah penelitian yang menjadi anggota kelompok petambak cenderung belum
bisa menilai eksistensi kelompok itu seperti apa kemanfaatanya. Petambak
sebetulnya banyak berharap dengan adanya kelompok yaitu adanya kemudahan
akses kredit pembiayaan (modal) dalam usaha garam. Beberapa tahun
kebelakang digulirkan seperti PUGAR yang memberlakukan pembentukan
kelompok, tetapi hal ini belum berpengaruh terhadap efisiensi teknis petambak.
Pada saat ini kelompok hanya sebagai wadah untuk penerima bantuan saja dan
rawan terhadap kepentingan elit tokoh lokal termasuk elit kepemimpinan
koperasi. Sama halnya yang temuan hasil penelitian Kurniawan, et al., (2008)
bahwa kanggotaan dalam kelompok tani tidak dirasakan bermanfaat bagi
kelompok karena cenderung adanya konflik antara pengurus dalam koperasi dan
internal kelompok sendiri, begitu pun dengan temuan Kurniawan, et al., (2010).
Sedangkan temuan Fauziyah (2010b) keanggotan dalam kelompok petambak
dan koperasi mempengaruhi terhadap peningkatan efisiensi tetapi tidak
signifikan. Dengan masuknya sebagai kelompok mereka merasa membuang-
buang waktu dan lebih baik menghemat waktu untuk dapat lebih fokus pada
produksi garam dan usaha lainnya. Kehadiran petambak dalam acara kelompok
terkadang dengan terpaksa atau segan terhadap penyuluh dan aparat
pemerintah, terlebih kalau sudah terjadi konflik sebelumnya antara kelompok
dengan penyuluh atau dengan pendamping PUGAR. Seperti terjadi di
Kecamatan Kandang Haur pernah terjadi konflik antara kelompok petambak
dengan pendamping sehingga hal ini menjadi catatan buruk bagi petambak
lainnya dengan menambah ketidakmauannya untuk aktif dalam kegiatan
keiompok.
110
Pendapatan (income) usaha garam (Z7). Pendapatan usaha dimasukan
dalam efek in-efisiensi karena faktor tersebut berhubungan dengan manajemen
pengelolaan keuangan termasuk pengelolaan input produksi. Pendapatan dalam
usaha garam ini berhubungan dengan faktor harga yang berfluktuasi, sehingga
berdampak pada pendapatan yang berbeda-beda dalam tiap bulan atau bahkan
tiap kali penjualan. Faktor pendapatan yang bertanda negatif dan signifikan taraf
nyata α 0.05, mengartikan bahwa semakin meningkat pendapatan maka
meningkat pula efisiensinya. Pada Gambar 24 dapat dilihat bahwa semakin
meningkat pendapatannya maka semakin meningkat pula tingkat efisiensi
teknisnya. Pada petambak sewa pendapatan usaha garam ini mereka sekitar Rp
39 juta dengan terendah Rp 12 juta dan tertinggi Rp 61 juta. Perbedaan
pendapatan ini karena perbedaan ukuran pengolahan lahan dan harga jual yang
diterima oleh masing-masing petambak (data pendapatan dihasilkan dari
pencatatan petambak selama musim Tahun 2011 dengan berbagai tingkat harga
jual). Walaupun informasi harga yang diterima oleh petambak tidak bisa
didapatkan informasinya tetapi beberapa petambak mencatat pendapatan
penjualan garam.
Gambar 24. Hubungan antara Pendapatan dengan Efisiensi Teknis Petambak
Sewa
Akses Kredit (Z8). Faktor akses kredit sebagai faktor yang dimasukan
pada model efek in-efisiensi hal ini karena diduga dengan adanya akses
pinjaman modal akan meningkatkan efisiensi karena peluang untuk mengolah
inputan sesuai yang dibutuhkan tercapai. Fakta ini tidak signifikan pada
petambak sewa, sedangkan hubungannya antara peningkatan ketersediaan
70605040302010
1.0
0.9
0.8
0.7
0.6
Pendapatan (dalam juta)
Efis
iens
i Tek
nis
111
modal atau bisa akses terhadap pembiayaan bisa meningkatkan terhadap
efisiensi produksi. Petambak sewa rata-rata yang ditemukan banyak yang tidak
melakukan akses pembiayaan kepada kelembagaan keuangan atau perbankkan.
Mereka hanya mengandalkan modal pribadi saja.
Secara karakteristik sosial, petambak sewa unumnya termasuk petambak
yang memiliki kekayaan yang besar. Banyak petambak sewa yang hanya
memegang satu orang untuk mengatur mengelola garapan lahan garam
sedangkan dirinya sendiri hanya mengontrol kondisi produksi. Seperti yang
dilakukan oleh pengurus-pengurus Koperasi Soromadu Desa Santing Kecamatan
Losarang, rata-rata mereka mengelola lahan sawa 5 hektar dan bahkan ada
yang mencapai 10 hektar dengan menunjuk 2 orang pengolah lahan dengan
tetap yang mengelola keuangan dirinya sendiri.
Pemakaian zat Aditif (Z9). Faktor penggunaan zat aditif yang digunakan
untuk usaha garam, disertakan ke dalam model efek inefisiensi teknis dengan
dugaan mengurangi inefisiensi teknis. Pendugaan tersebut tidak sesuai dengan
harapan yang terjadi pada seluruh kelompok petambak dimana penggunaan zat
aditif berpengaruh positif terhadap efisiensi teknis dan dengan nilai parameter
mendekati nol.
Petambak sewa sebetulnya adaptif terhadap tambahan-tambahan
teknologi dalam produksi. Tetapi karena zat aditif yang selama ini baru saja
diperkenalkan dan rata-rata petambak lain mendapatkannya secara gratis karena
pemberian program PUGAR, maka pada petambak sewa masih jarang
menggunakan zat aditif secara besar-besaran. Uji coba yang sudah mereka
lakukan pada tahun 2010 tidak terlalu signifikan mereka rasakan terhadap
produksi dan keuntungan, sehingga pada tahun 2011 mereka tidak
menggunakan kembali zat aditif ramsol. Alasannya akan menambah lagi biaya
produksi dimana setiap hari mereka harus mengeluarkan 1 bungkus ramsol yang
rata-rata mencapai Rp. 1500 per bungkus. Secara politis mereka berpikir juga
dengan menggunakan ramsol yang awalnya diperkenalkan oleh pemerintah dan
oleh satu orang yang ditunjuk langsung oleh dinas untuk mempromosikan ramsol
dirasa akan menjadi ketergantungan bagi petambak. Program pengadaan ramsol
hanya menjadi sumber keuntungan bagi segelintir pihak dinas terkait dari hasil
mempromosikan ramsol.
112
Tabel 23. Pendugaan Efek Inefisiensi Teknis Petambak Sewa (Cash rent)
Efek In-efisiensi Parameter Koefisien St-error t-ratio
Intersep δ0 0.194 0.203 0.957
Umur δ1 0.003 0.003 0.975
Pendidikan δ2 -0.011 0.016 -0.687
Pengalaman δ3 -0.003 0.006 -0.446
Jumlah anggota keluarga δ4 -0.022 0.025 -0.863
Ukuran lahan δ5 0.254 0.127 2.008 **
Lama keanggotaan kelompok δ6 0.011 0.025 0.448
Pendapatan δ7 -0.006 0.003 -2.032 **
Akses kredit δ 8 -0.012 0.001 -1.324
Pemakaian aditif (dummy) δ 9 0.000 1.000 0.000
Penggunaan mesin pompa air (dummy)
δ 10
-0.069 0.060 -1.159
Sigma squared 0.005 0.003 1.699 **
Gamma 0.801 0.144 5.570 ***
Log Likelihood 17.577 ***
LR Test one sided error 48.650
Rata-rata efisiensi 0.911
*) Nyata taraf α 10%, **) Nyata taraf α 5% dan ***) Nyata taraf α 1%
Penggunaan mesin pompa air (Z8). Faktor penggunaan mesin yang
digunakan untuk mengalirkan air laut untuk mengisi saluran irigasi petakan di
area pinggiran peminihan usaha garam disertakan ke dalam model efek
inefisiensi teknis dengan dugaan mengurangi inefisiensi teknis. Seluruh tanda
untuk faktor penggunaan pompa dalam efek in-efisiensi ini bertanda negarif
artinya dengan menggunakan pompa bisa meningkat tingkat efisiensinya karena
hal mereka tidak perlu mengeluarkan waktu untuk kontrol terhadap saluran irigasi
dan mengalih-alihkan kincir angina, dan tidak perlu menambah tenaga kerja baik
dari keluarga atau dari luar untuk melakukan ngobyok. Ngobyok artinya
mengambil air secara manual. Uji signfikansi dari faktor ini semuanya tidak
berpengaruh nyata pada α 0.01 dan α 0.05. Petambak yang memiliki pompa
mesin sendiri untuk mengalirkan air lebih efisien karena tingkat aliran air laut bisa
diukur dengan kondisi lahan peminihan. Penggunaan pompa ini sama halnya
dengan ketersediaan irigasi jauh dekatnya irigasi yang sering digunakan oleh
petambak padi. Banyak pompa digunakan oleh petambak yang cukup jauh
kawasan lahannya dari irigasi skunder atau jauh dari penampungan air yang
disediakan oleh juragan. Pada penelitian usaha pertanian, faktor irigasi sangat
penting dalam penyediaan air. Terlebih dalam usaha garam. Dengan adanya
infrastruktur irigasi petambak dapat tercukupi kebutuhan air untuk kualitas
produksi pertanian (Narala dan Zala, 2010); (Khai dan Yabe, 2011).
113
2. Petambak Bagi-hasil
Nilai untuk petambak bagi-hasil MLE (45.801) sedangkan OLS (26.440).
Interpretasi dengan diagnostic statistic ini adalah menunjukan bahwa model MLE
yang dibangun menunjukan best fit keragaan yang baik dan sesuai menurut
kondisi dilapangan dengan memasukan efek in-efisiensi sebagai gangguan
internal dalam produksi. Dengan nilai gamma 0.999 dipastikan 99 persen error
term dalam fungsi produksi berasal dari efek in-efisiensi.
Fungsi inefisiensi petambak bagi-hasil dapat dilihat pada Tabel 23 di
bawah. Nilai rata-rata efieinsi (mean technical efficiency) yang dicapai pada
petambak bagi-hasil 0.697 atau 69.7 persen sehingga masih terdapat ruang
untuk meningkatkan efisiensi bagi petambak ini dari strategi meningkatkan
efisiensi pada teknologi yang sama. Dari 10 variabel sumber efek in-efisiensi
tingkat hubungan terhadap efek in-efisiensi berbeda-beda. Hal ini dipaparkan
berikut ini.
Sumber dari efek in-efisiensi terdiri dari sebagai berikut : Umur (Z1). Faktor
umur dimasukkan ke dalam efek inefisiensi dengan dugaan bertanda positif (+)
terhadap efisiensi teknis. Pada kelompok petambak bagi-hasil bertanda negative
(-). Hasil uji statistik ternyata faktor tersebut tidak berpengaruh pada taraf nyata α
0.01 bahkan α 0.05. Bertanda negatif yang artinya pada kelompok petambak ini
semakin bertambah umur petambak akan meningkatkan efisiensi teknisnya. Hal
ini dapat dijelaskan petambak bagi-hasil rata-rata sudah berumur hal ini karena
adanya turun-temurun usaha garam yang terikat dengan juragan tanah, dimana
seiring dengan peningkatan usia petambak, kemampuan bekerja yang dimiliki,
daya juang dalam berusaha, keinginan dalam menanggung resiko dan keinginan
menerapkan inovasi-inovasi baru juga semakin bertambah. Petambak bagi-hasil
yang berumur dewasa haus akan teknologi dan inovasi garam. Beberapa
responden petambak yang sudah berumur tua selalu melakukan inovasi
terhadap keragaan tambahan. Seperti keragaan untuk membuat teknik ulir atau
petakan ulir sebagai teknologi mempercepat evaporasi. Inovasi terhadap proses
pencucian atau inovasi bagaimana mendapatkan Kristal garam yang besar-besar
sehingga dapat meningkat bobot garam krosoknya dengan cara menambahkan
zat impuritif ke dalam air tuah meja garam.
Pendidikan (Z2). Faktor pendidikan adalah jumlah waktu (tahun) yang
dihabiskan petambak untuk menjalani masa pendidikan formalnya. Variabel ini
114
dianggap sebagai pendekatan dari kemampuan manajerial petambak. Semakin
lama pendidikan petambak diduga semakin mendorong petambak untuk efisien
dalam proses produksi dan penggunaan input-input produksi. Tabel 23 di bawah
menunjukkan bahwa lama pendidikan berpengaruh tidak nyata terhadap tingkat
inefisiensi pada taraf nyata α 0.05. sedangkan pendidikan ini bertanda negatif.
Tanda tersebut sesuai dengan yang diharapkan. Fenomena ini menunjukkan
bahwa semakin tinggi pendidikan yang ditempuh petambak maka semakin tinggi
kemampuan petambak untuk mengadopsi teknologi dan dapat menggunakan
input secara proporsional sehingga akan meningkatkan kinerja dalam
berusahatani garam. Hal ini sama dengan penelitian Mynt dan Kyi (2005), dan
Kebede (2001). Menurut Kebede (2001), pendidikan meningkatkan kemampuan
petambak untuk mencari, memperoleh dan menginterpretasikan informasi yang
berguna tentang input-input produksi. Hal ini sejalan dengan Johansson (2007)
dan Latruffe, et al., (2009) yang berpendapat bahwa efisiensi manajerial
meningkat dengan tingkat pendidikan, dan pengalaman sehingga menghasilkan
tingkat yang lebih tinggi level produksinya. Petambak muda memiliki pendidikan
tinggi, lebih mampu mengumpulkan dan menginterpretasikan informasi tentang
praktek-praktek pertanian baru. Di sisi lain, rumah tangga tua memiliki akses ke
lebih banyak sumber daya (lahan dan tenaga kerja) dapat menerapkan usaha
tambak yang direkomendasikan dipraktekkan dengan waktu yang tersedia.
Variabel pendidikan memberikan hasil yang beragam seperti yang diharapkan.
Dampak pendidikan pada TE adalah negatif, yang konsisten dengan hipotesis
bahwa pendidikan rumah tangga kurang efisien jika pendidikan meningkat
kembali petambak dari kegiatan non-pertanian, sehingga realokasi perhatian
atau manajemen usaha garam ke aktivitas non-pertanian.
Pengalaman (Z3). Pada beberapa penelitian sebelumnya yang
menggunakan faktor umur sebagai sumber efek in-efisiensi di berbagai
komoditas pertanian (Alam, et al., 2012); (Shanta, et al., 2012); (Barkhsh dan
Hasan, 2012) bahwa pengalaman dianggap sebagai pendekatan dari umur
dimana semakin bertambah umur maka pengalaman dalam usaha tersebut
meingkat dan hal ini mempengaruhi terhadap kinerja dan manajemen usaha.
Begitu pun pada petambak ditemukan bahwa petambak yang berumur relatif tua
tidak selalu memiliki pengalaman yang lebih banyak dari petambak yang lebih
muda. Tabel 23 di bawah terlihat bahwa pengalaman petambak sewa bertanda
negatif. Bagi petambak bagi-hasil semakin lama berpengalam semakin
115
meningkat tingkat efisiensinya. Hasil uji statistik menyatakan faktor ini signifikan
pada petambak bagi-hasil pada taraf nyata α 0.05, dengan nilainya mendekati
nol dengan interpretasi bahwa peningkatannya tidak terlalu cepat mengalami
perubahan terhadap kualitas pengalaman dan begitupun terhadap efek in-
efisiensi. Perlu proses dan waktu untuk meningkatkan kualitas pengalaman.
Jumlah anggota keluarga (Z4). Jumlah anggota keluarga menyangkut
kepada ukuran keluarga (Household size) yang berhubungan dengan
keterlibatan anggota keluarga dalam usaha garam. Hal ini akan berpengaruh
karena dilihat dari fungsi produksinya hubungan tenaga kerja dengan produksi
pada OLS dan MLE berhubungan positif. Tambahan tenaga kerja baik dari dalam
anggota keluaraga dan luar keluaraga berpengaruh positif. Sedangkan jika
dihubungkan dengan efek in-efisiensi, faktor ini berpengaruh meningkatkan in-
efisiensi terhadap produksi pada petambak sewa akan menurunkan efek in-
efisiensi. Dengan nilai parameter mendekati nol dan uji statistik tidak signifikan
baik pada taraf nyata α 0.01 atau α 0.05. Anggota keluarga yang dilibatkan
dalam usaha umumnya masih berusia remaja dan masih usia sekolah,
sedangkan jika yang terlibat adalah anak yang sudah dewasa, mereka tidak
terlalu termotivasi dalam keikutsertaan usaha garam, dengan anggapan
pekerjaan ini hanya sebatas membantu kepala keluarga untuk memanfaatkan
waktu. Variabel ukuran keluarga negatif dan positif sama-sama berhubungan
dengan efisiensi teknis. Rumah tangga dengan keluarga besar lebih efisien,
kemungkinan besar karena mereka berusaha untuk mencapai output yang lebih
tinggi untuk memenuhi persyaratan usaha garam. Rasio tanggungan dalam
keluarga menyiratkan bahwa ada sedikit tenaga kerja tersedia untuk pekerjaan
anggota keluarga dalam kegiatan pertanian. Anak-anak di rumah tangga berusia
cukup tua untuk kontribusi yang signifikan terhadap kegiatan pertanian rumah
tangga (Bagamba, 2007).
Ukuran lahan (farm size) (Z5). Ukuran lahan adalah salah satu yang
harus dimasukan pada efek in-efisiensi dengan alasan ukuran sebagai satuan
untuk mengukur produktifitas dari curahan waktu pemakaian input dan
menajemen pengelolaan usaha (Umoh, 2006); (Obwona, 2006); (Shehu, et al.,
2010); (Zulkuwi, 2010). Pada usaha garam rakyat di Kabupaten Indramayu untuk
kelompok petambak bagi-hasil signifikan terhadap in-efisiensi, dimana ketika
kelompok petambak ini meningkatkan lahan dampaknya akan meningkatkan
efek in-efisiensinya atau sebaliknya dengan meningkatkan lahan akan
116
54321
1.0
0.9
0.8
0.7
0.6
Luas lahan (ha)
Efis
iens
i Tek
nis
menurunkan efisiensi. Dengan rata-rata kelola lahan sekitar 1.9 hektar (hampir
mencapai 2 hektar) sudah mencapai batas optimal untuk skala usaha garam
rakyat dengan pola bagi-hasil. Hal ini dapat dilihat juga pada Gambar 25
pengelolaan lahan paling besar sektiar 5 hektar sudah mencapai tingkat efisiensi
teknis, sedangkan petambak bagi-hasil yang mengelola di bawah 1.5 hektar
tingkat efisiensi masih dibawah 0.7 atau 70 persen.
Gambar 25. Hubungan antara Luas lahan dengan Efisiensi Teknis
Petambak Bagi-hasil
Lama keanggotaan dalam Kelompok (Z6). Faktor keanggotaan dalam
kelompok petambak garam baik dibawah koperasi dan kegiatan program
pemerintah bertanda negative terhadap inefisiensi pada petambak sewa dan
nyata pada taraf α 0,01. Dari sisi jumlah petambak garam, yang banyak menjadi
kelompok petambak adalah kelompok petambak bagi-hasil, dan kelompok ini
banyak terlibat dalam kegiatan program PUGAR yang sedang dijalankan oleh
pemerintah daerah. Dengan cukup sering bertemunya dengan pendamping atau
penyuluh pugar walaupun hanya sebatas pencatatan produksi dan pembagian
bantuan langsung masyarakat berupa peralatan produksi seperti pompa, kincir
angin dan ramsol memberikan dampak pada peningkatan efisiensi teknis.
Penyuluh dapat meningkatkan efisiensi melalui perubahan teknik produksi
garam, mekanisasi dan penggunaan tambahan teknologi serta peningkatan
pengetahuan melalui training. Petambak sebetulnya banyak berharap dengan
adanya kelompok yaitu adanya kemudahan akses kredit pembiayaan (modal)
dalam usaha garam. Beberapa tahun kebelakang digulirkan seperti PUGAR yang
117
memberlakukan pembentukan kelompok, tetapi hal ini belum berpengaruh
terhadap efisiensi teknis petambak.
Pendapatan (income) usaha garam (Z7). Pendapatan usaha dimasukan
dalam efek in-efisiensi karena faktor tersebut berhubungan dengan manajemen
pengelolaan keuangan termasuk pengelolaan input produksi. Pendapatan dalam
usaha garam ini berhubungan dengan faktor harga yang berfluktuasi, sehingga
berdampak pada pendapatan yang berbeda-beda dalam tiap bulan atau bahkan
tiap kali penjualan. Faktor pendapatan yang bertanda negatif pada seluruh
kelompok petambak dan signifikan di taraf nyata α 0,01 mengartikan bahwa
semakin meningkat pendapatan maka meningkat pula efisiensinya. Data empirik
mencatat pendapatan petambak bagi-hasil rata-rata Rp. 42 juta dengan harga
jual tentunya yang berbeda-beda juga tiap bulan. Pada 2 bulan awal panen
mereka mendapatkan harga yang lebih rendah dibandingkan menjelang akhir
musim panen sedangkan produksi melimpah. Sebaliknya menjelang akhir
musim, harga jual meningkat sedangkan produksi makin menurun.
Gambar 26. Hubungan antara Pendapatan dengan Efisiensi Teknis
Petambak Bagi-hasil
Bagi petambak bagi-hasil yang juragannya memiliki gudang, mereka bisa
menyelamatkan hasil panen pada waktu puncak panen dengan disimpan
digundang. Dengan mengeluarkan biaya per satu kali penyimpanan per ton Rp 8
ribu rupiah mereka lebih memilih mengamankan dulu garam krosok dan akan
mereka jual ketika akhir musim garam atau ketika musim hujan. Manajemen
5040302010
1.00
0.95
0.90
0.85
0.80
0.75
0.70
Pendapatan (dalam juta)
Efis
iens
i Tek
nis
118
stock sebagai strategi mendapatkan pendapatan lebih besar juga pernah
disosialisasikan oleh koperasi dari bentukan program PUGAR. Pada tahun 2011
koperasi bisa mendapatkan stock garam mencapai 30 ton.
Akses Kredit (Z8). Pada petambak bagi-hasil modal mereka disediakan
oleh para juragannya dan dalam hal ini mereka walaupun terikat tetapi tidak ada
beban tanggung jawab terhadap pengembalian. Hal ini sama halnya yang
ditemukan oleh Idiong (2010) pada komunitas petambak padi di Nigeria,
petambak kecil (small farmer) sering terikat dengan rentenir yang berpola
lembaga keuangan mikro (micro finance institution). Tujuan awalnya adalah
meningkatkan efisiensi mengolah inputan dengan optimal tetapi petambak dikejar
untuk mengembalikan pinjaman dengan tingkat bunga yang tinggi. Begitu pun
penelitian Islam, et al., (2011) bahwa akses kredit pada petambak kecil
dipengaruhi oleh tingkat kebutuhan rumah tangga petambak dan tidak terlalu
signifikan terhadap pembiayaan yang dialokasikan untuk usaha.
Hal tersebut sesuai dengan empirik lapangan. Bagi petambak bagi-hasil
ketergantungan terhadap pemilik modal sangat tinggi. Mereka sebetulnya sangat
berharap sekali dengan adanya program PUGAR bisa memberikan permodalan
dalam produksi garam. Permodalan yang bisa mengurangi biaya produksi atau
juga BLM yang bisa meningkatkan produksi garam. Tetapi PUGAR tidak sesuai
dengan yang mereka harapkan.
Pemakaian zat Aditif (Z9). Faktor penggunaan zat aditif yang digunakan
untuk usaha garam, disertakan ke dalam model efek inefisiensi teknis dengan
dugaan mengurangi inefisiensi teknis. Pendugaan tersebut tidak sesuai dengan
harapan yang terjadi pada petambak sewa dimana faktor tersebut tidak
berpengaruh dengan nilai parameter mendekati nol.
Sama dengan petambak sewa yang berpengaruh positif terhadap
inefisiensi. Dengan memakai ramsol bisa dikatakan tidak berpengaruh terhadap
efisiensi produksi. Alasan yang rasional pada petambak bagi-hasil mereka
dengan menggunakan ramsol akan menambah pekerjaan dan menambah biaya
tentunya. Jika dihubungkan dengan kualitas mereka rasakan memang ada
perbedaan sedikit tetapi ketika garam ramsol dijual, harga jual garam ramsol
sama saja dengan harga jual garam non-ramsol. Mereka berharap jika harga
garam ramsol dihargakan lebih tinggi dan bisa menutupi biaya produksi,
petambak akan menggunakan ramsol sesuai dengan anjuran dari pemerintah
dinas setempat..
119
Penggunaan mesin pompa air (Z10
). Faktor penggunaan mesin yang
digunakan untuk mengalirkan air laut untuk mengsisi saluran irigasi petakan di
area pinggiran peminihan usaha garam disertakan ke dalam model efek
inefisiensi teknis dengan dugaan mengurangi inefisiensi teknis. Uji signifikansi
dari faktor ini tidak berpengaruh nyata pada α 0.01 dan α 0.05. Petambak yang
memiliki pompa mesin sendiri untuk mengalirkan air lebih efisien karena tingkat
aliran air laut bisa diukur dengan kondisi lahan peminihan.
Tabel 24. Pendugaan Efek Inefisiensi Teknis Petambak Bagi-hasil (Share rent)
Efek In-efisiensi Parameter Koefisien St-error t-ratio
Intersep δ0 0.372 0.217 1.714
Umur δ1 -0.001 0.003 -0.359
Pendidikan δ2 -0.003 0.011 -0.228
Pengalaman δ3 -0.006 0.005 -1.782 **
Jumlah anggota keluarga δ4 0.012 0.021 0.594
Ukuran lahan δ5 0.128 0.034 3.810 ***
Lama keanggotaan kelompok δ6 -0.010 0.018 -0.564
Pendapatan δ7 -0.002 0.000 -4.985 ***
Akses kredit δ 8 0.000 0.000 0.336
Pemakaian aditif (dummy) δ 9 -0.002 0.001 -2.720 ***
Penggunaan mesin pompa air (dummy)
δ 10
-0.015 0.083 -0.185
Sigma squared 0.006 0.003 2.014 ***
Gamma 0.990 0.000 4.913 ***
LR Test one sided error 38.722 ***
Log Likelihood 45.801
Rata-rata efisiensi 0.697
*) Nyata taraf α 10%, **) Nyata taraf α 5% dan ***) Nyata taraf α 1% 3. Petambak Pemilik-garap
Nilai untuk petambak bagi-hasil MLE (45.801) sedangkan OLS (26.440),
dan untuk petambak pemilik-garap (27.142) sedangkan OLS (20.182).
Interpretasi dengan diagnostic statistic ini adalah menunjukan bahwa model MLE
yang dibangun menunjukan best fit keragaan yang baik dan sesuai menurut
kondisi dilapangan dengan memasukan efek in-efisiensi sebagai gangguan
internal dalam produksi.
Uji hipotesi lain untuk menguji signifkansi dari efek in-efisiensi yaitu uji
likelihood ratio yang dibandingkan dengan indeks kodde-Palm, dimana hipotesa
nol akan ditolak jika likelihood ratio lebih besar dari pada chi-square.
Berdasarkan Tabel 24 di bawah dihasilkan nilai LR Ratio untuk petambak sewa
120
17.577, petambak bagi-hasil 38.722 dan petambak pemilik-garap 13.920. Nilai
LR Ratio tersebut lebih besar dibanding dengan nilai chi-square pada taraf nyata
α 0.01 sebesar (14.95) sehingga hasilnya menolak hipotesa nol yang artinya
fungsi cobb-douglas yang dibentuk dapat menangkap kinerja dan perilaku
sebagai efek in-efisiensi dari usaha garam yang ada di Kabupaten Indramayu.
Sama halnya dari hasil penelitian Saptana, et al., (2010) pada komoditas cabai
dimana nilai LR-ratio lebih besar dari Chi-suare dengan memasukan faktor risiko
sebagai sumber in-efisiensi mempengaruhi terhadap efisiensi petambak.
Fungsi inefisiensi dapat dilihat pada Tabel 24. Nilai rata-rata efieinsi (mean
technical efficiency) yang dicapai pada petambak sewa mencapai 0.823 atau
82.3 persen, petambak pemilik-garap bisa meningkatkan 17.7 persen untuk
peningkatan produksi, melalui pembenahan faktor-faktor yang signifikan
mempengaruhi efisiensi. Dari 10 variabel sumber efek in-efisiensi masing-
masing kelompok petambak berbeda dalam nilai signifikansinya.
Sumber dari efek in-efisiensi terdiri dari sebagai berikut : Umur (Z1). Faktor
umur dimasukkan ke dalam efek inefisiensi dengan dugaan bertanda positif (+)
terhadap efisiensi teknis. Pada pemilik-garap efek umur bertanda positif (+). Hasil
uji statistik ternyata faktor tersebut tidak berpengaruh pada taraf nyata α 0.01
bahkan α 0.05. Tanda positif untuk faktor umur ini diinterpretasikan bahwa
semakin bertambah umur maka semakin bertambah tingkat in-efisiensi
teknisnya.
Pendidikan (Z2). Faktor pendidikan pada Tabel 24 menunjukkan bahwa
lama pendidikan berpengaruh tidak nyata terhadap tingkat inefisiensi petambak
pada taraf nyata α 0.01 dan α 0.05. Efek pendidikan yang bertanda positif dan
nilainya mendekati nol jika diartikan bahwa permasalahan pendidikan
mempengaruhi terhadap peningkatan efisiensi. Hal ini sebetulnya tidak sesuai
dengan harapan yang dinginkan karena beberapa temuan hubungan pendidikan
terhadap efisiensi produksi akan meningkatkan efisiensi karena berhubungan
dengan tingkat kecerdasan dalam pengelolaan usaha. Rata-rata petambak
pemilik-garap berpendidikan rendah hanya lulusan sekolah dasar umumnya.
Pengalaman (Z3). Faktor pengalaman pada petambak pemilik-garap
bertanda positif. Hal ini menunjukkan pada petambak pemilik-garap semakin
berpengalaman, petambak semakin tidak efisien dalam berproduksi dan dalam
menggunakan input-input produksi. Hasil uji statistik menyatakan faktor ini tidak
signifikan pada taraf nyata α 0.05, dengan nilainya mendekati nol dengan
121
interpretasi bahwa peningkatannya tidak terlalu cepat mengalami perubahan
terhadap kualitas pengalaman dan begitupun terhadap efek in-efisiensi. Pada
petambak pemilik-garap hasilnya ditemukan adanya faktor teknologi garam yang
sudah lama tidak mengalami perubahan sehingga menjadi jenuh pada petambak
garam. Jadi walaupun petambak sudah pengalaman malah tidak berpengaruh
terhadap teknis produksi atau dengan kebiasaan yang sudah dilakukan oleh
petambak garam pemilik-garap malah cenderung tidak efisien. Karena
keterbatasan informasi dan sikap yang tidak terlalu membuka diri terhadap
inovasi teknologi garam menjadi mereka terbiasa dengan proses produksi yang
sama.
Jika dihubungkan dengan pendidikan dan pengalaman semuanya yang
bertanda positif hal ini memberikan gambaran bahwa sebetulnya dilapangan
usaha garam tidak dipengaruhi oleh pendidikan dan pengalaman. Usaha yang
dikatakan tidak terlalu menguras kecerdasan berpikir menjadikan usahanya
merupakan usaha yang berorientasi tidak terlalu menjamin mendapatkan
keuntungan. Hanya mengandalkan tenaga dan keterampilan mengelola
evaporasi air menjadikan usaha ini menurut petambak tidak perlu pendidikan
tinggi dan pengalaman. Hal ini sependapat dengan hasil penelitian Kurniawan,
et al., (2008), Mariyah (2008), Jasila (2008) dan Babalola, et al., (2009) bahwa
pengalaman berpengaruh positif terhadap inefisiensi. Alasan yang diungkapkan
petambak berpengalaman cenderung tidak efisien dalam menggunakan input
atau perbaikan teknis lain karena kebiasaan atau tidak punya kekuatan lain untuk
perbaikan. Selain itu semakin lama mereka bertambak garam semakin mereka
tidak terlalu memperbaiki proses produksi dan mereka melakukan produksi
hanya asal-asalan saja. Ketika mereka tidak memiliki modal pada awal musim
kemarau, mereka membiarkan lahan yang sebelumnya dipakai budidaya ikan
menjadi lahan yang dikosongkan. Beberapa petambak pemilik-garap di Kandang
Haur melakukan hal pembiaran terhadap lahan.
Jumlah anggota keluarga (Z4). Jumlah anggota keluarga menyangkut
kepada ukuran keluarga (Household size) yang berhubungan dengan
keterlibatan anggota keluarga dalam usaha garam. Pada petambak pemilik-
garap efek ini bertanda negative artinya bahwa semakin banyak keterlibatan
anggota keluarga ikut dalam usaha garam maka tingkat efisiensi meningkat. Hal
ini berhubungan positif dengan jumlah tenaga kerja yang berdampak pada
peningkatan produksi garam.
122
Seringnya anggota keluarga baik istrinya dan anaknya yang terlibat dalam
usaha garam memiliki tujuan salahsatunya meningkatkan orang yang membantu
dalam proses teknis sehingga diprediksikan bisa mempercepat proses aliran
pembuatan garam, sedangkan dilihat dari biaya akan mengurangi beban tenaga
kerja yang bisa dialokasikan untuk biaya lainnya, begitu pun anggota keluarga
tidakhanya ikut dalam proses pembuatan garam tetapi terkadang membantu
dalam proses pengangkutan garam ke gudang.
Tabel 25. Pendugaan Efek Inefisiensi Teknis Pemilik-Garap (Owner)
Efek In-efisiensi Parameter Koefisien St-error t-ratio
Intersep δ0 -0.045 0.981 -0.045
Umur δ1 0.010 0.015 0.688
Pendidikan δ2 0.003 0.063 0.044
Pengalaman δ3 0.011 0.019 0.604
Jumlah anggota keluarga δ4 -0.104 0.533 -0.196
Ukuran lahan δ5 -0.032 0.980 -0.032
Lama keanggotaan kelompok δ6 0.022 0.098 2.222 ***
Pendapatan δ7 -0.012 0.020 -0.622
Akses kredit δ 8 0.002 0.020 1.848 **
Pemakaian aditif (dummy) δ 9 0.000 1.000 0.000
Penggunaan mesin pompa air (dummy)
δ 10
-0.224 0.515 -0.434
Sigma squared 0.035 0.025 1.719 **
Gamma 0.990 0.112 8.890 ***
LR Test one sided error 13.920 ***
Log Likelihood 27.142
Rata-rata efisiensi 0.823
*) Nyata taraf α 10%, **) Nyata taraf α 5% dan ***) Nyata taraf α 1%
Ukuran lahan (farm size) (Z5). Ukuran lahan adalah salah satu yang
harus dimasukan pada efek in-efisiensi dengan alasan ukuran sebagai satuan
untuk mengukur produktifitas dari curahan waktu pemakaian input dan
menajemen pengelolaan usaha (Umoh, 2006); (Obwona, 2006); (Shehu, et al.,
2010); (Zulkuwi, 2010). Bagi petambak bagi-hasil dan pemilik-garap masih ada
ruang penambahan untuk produksi jika lahan ditingkatkan. Alternatif
penambahan lahan untuk petambak bagi-hasil adalah menambah luasan lahan
dengan cara bagi-hasil, sedangkan untuk petambak pemilik-garap dengan
alternatif mengkombinasikan status lahan usaha antara milik dan sewa. Jika
dilihat dari Gambar 27, hubungan antara tingkat penguasaan lahan dan tingkat
pencapaian efisiensi teknis berbanding positif. Semakin besar luasan lahan akan
123
1.11.00.90.80.70.60.50.40.30.2
1.0
0.9
0.8
0.7
0.6
Luas lahan (ha)
Efis
ien
si T
ekn
is
semakin tinggi tingkat efisiensinya. Jika dilihat dari sebarannya dengan rata-rata
luasan lahan 0.5 hektar tingkat efisiensi sudah bisa mencapai 90 persen.
Gambar 27. Hubungan antara Luas lahan dengan Efisiensi Teknis
Petambak Pemilik-garap
Lama keanggotaan dalam Kelompok (Z6). Faktor keanggotaan dalam
kelompok petambak garam baik dibawah koperasi dan kegiatan program
pemerintah bertanda positif terhadap inefisiensi dan tidak signifikan nyata pada
taraf α 0,01. Pada petambak pemilik-garap dirasakan belum adanya manfaat dari
keanggotaan petambak tersebut menyebabkan petambak garam di daerah
penelitian yang menjadi anggota kelompok petambak cenderung belum bisa
menilai eksistensi kelompok itu seperti apa kemanfaatanya. Petambak
sebetulnya banyak berharap dengan adanya kelompok yaitu adanya kemudahan
akses kredit pembiayaan (modal) dalam usaha garam. Beberapa tahun
kebelakang digulirkan seperti PUGAR yang memberlakukan pembentukan
kelompok, tetapi hal ini belum berpengaruh terhadap efisiensi teknis petambak.
Pada saat ini kelompok hanya sebagai wadah untuk penerima bantuan saja dan
rawan terhadap kepentingan elit tokoh lokal termasuk elit kepemimpinan
koperasi. Sama halnya yang temuan hasil penelitian Kurniawan, et al., (2008)
bahwa kanggotaan dalam kelompok tani tidak dirasakan bermanfaat bagi
kelompok karena cenderung adanya konflik antara pengurus dalam koperasi dan
internal kelompok sendiri, begitu pun dengan temuan Kurniawan, et al., (2010).
124
Sedangkan temuan Fauziyah (2010b) keanggotan dalam kelompok petambak
dan koperasi mempengaruhi terhadap peningkatan efisiensi tetapi tidak
signifikan. Dengan masuknya sebagai kelompok mereka merasa membuang-
buang waktu dan lebih baik menghemat waktu untuk dapat lebih fokus pada
produksi garam dan usaha lainnya. Kehadiran petambak dalam acara kelompok
terkadang dengan terpaksa atau segan terhadap penyuluh dan aparat
pemerintah, terlebih kalau sudah terjadi konflik sebelumnya antara kelompok
dengan penyuluh atau dengan pendamping PUGAR. Seperti terjadi di
Kecamatan Kandang Haur pernah terjadi konflik antara kelompok petambak
dengan pendamping sehingga hal ini menjadi catatan buruk bagi petambak
lainnya dengan menambah ketidakmauannya untuk aktif dalam kegiatan
keiompok.
Pendapatan (income) usaha garam (Z7). Pendapatan usaha dimasukan
dalam efek in-efisiensi karena faktor tersebut berhubungan dengan manajemen
pengelolaan keuangan termasuk pengelolaan input produksi. Pendapatan dalam
usaha garam ini berhubungan dengan faktor harga yang berfluktuasi, sehingga
berdampak pada pendapatan yang berbeda-beda dalam tiap bulan atau bahkan
tiap kali penjualan. Faktor pendapatan yang bertanda negatif pada seluruh
kelompok petambak dan signifikan di taraf nyata α 0,05 mengartikan bahwa
semakin meningkat pendapatan maka meningkat pula efisiensinya.
Gambar 28. Hubungan antara Pendapatan dengan Efisiensi Teknis
Petambak Pemilik-garap
35302520151050
1.0
0.9
0.8
0.7
0.6
Pendapatan (dalam juta)
Efis
iens
i Tek
nis
125
Akses Kredit (Z8). Faktor akses kredit sebagai faktor yang dimasukan
pada model efek in-efisiensi hal ini karena diduga dengan adanya akses
pinjaman modal akan meningkatkan efisiensi karena peluang untuk mengolah
inputan sesuai yang dibutuhkan tercapai. Fakta ini signifikan pada petambak
pemilik-garap dengan bertanda positif. Hal ini dapat diinterpretasikan kelompok
petambak pemlik-garap pernah pengalaman akses pembiayan scera non-formal
kepada keluarga atau lembaga kredit mikro lainnya (Kosipa dan bank keliling)
yang mudah diakses tetapi hal ini malah meningkatkan in-efisiensi. Walaupun
penggunaanya tidak hanya untuk usaha garam tetapi hal ini berhubungan
dengan pengelolaan manajerial keuangan di tingkat keluarga. Hal ini sama
halnya yang ditemukan oleh Idiong (2010) pada komunitas petambak padi di
Nigeria, petambak kecil (small farmer) sering terikat dengan rentenir yang
berpola lembaga keuangan mikro (micro finance institution). Tujuan awalnya
adalah meningkatkan efisiensi mengolah inputan dengan optimal tetapi
petambak dikejar untuk mengembalikan pinjaman dengan tingkat bunga yang
tinggi. Begitu pun penelitian Islam, et al., (2011) bahwa akses kredit pada
petambak kecil dipengaruhi oleh tingkat kebutuhan rumah tangga petambak dan
tidak terlalu signifikan terhadap pembiayaan yang dialokasikan untuk usaha.
Pemakaian zat Aditif (Z9). Faktor penggunaan zat aditif yang digunakan
untuk usaha garam, disertakan ke dalam model efek inefisiensi teknis dengan
dugaan mengurangi inefisiensi teknis. Pendugaan tersebut tidak sesuai dengan
harapan yang terjadi pada seluruh kelompok petambak dimana penggunaan zat
aditif berpengaruh positif terhadap efisiensi teknis pada petambak pemilik-garap.
Zat aditif belum mampu bisa menjadi trend inovasi tambahan teknologi dalam
produksi garam di wilayah Kabupaten Indramayu. Alas an utama adalah lebih
kearah dikeluarkannya biaya kembali untuk pengadaan zat aditif ini. Padahal
sebetulnya menurut Hasan Santing sebagai penemu zat aditif ramsol ini, bahwa
ramsol sebetulnya bisa dibuat sendiri oleh petambak karena ramsol sendiri
adalah bahan organic sama halnya membuat pupuk organic untuk pertanian.
Penggunaan mesin pompa air (Z10
). Faktor penggunaan mesin yang
digunakan untuk mengalirkan air laut untuk mengsisi saluran irigasi petakan di
area pinggiran peminihan usaha garam disertakan ke dalam model efek
inefisiensi teknis dengan dugaan mengurangi inefisiensi teknis. Tanda untuk
faktor penggunaan pompa dalam efek in-efisiensi ini bertanda negarif artinya
dengan menggunakan pompa bisa meningkat tingkat efisiensinya karena hal
126
mereka tidak perlu mengeluarkan waktu untuk kontrol terhadap saluran irigasi
dan mengalih-alihkan kincir angina, dan tidak perlua menambah tenaga kerja
baik dari keluarga atau dari luar untuk melakukan ngobyok. Ngobyok artinya
mengambil air secara manual. Uji signfikansi dari faktor ini semuanya tidak
berpengaruh nyata pada α 0.01 dan α 0.05. Petambak yang memiliki pompa
mesin sendiri untuk mengalirkan air lebih efisien karena tingkat aliran air laut bisa
diukur dengan kondisi lahan peminihan.
Variable penggunaan zat aditif (Z9).dan penggunaan mesin pompa air
(Z10
) merupakan variabel dari inputan program PUGAR yang dikembangkan oleh
Kementrian Kelautan dan Perikanan mulai tahun 2010. Respon dua variabel ini
terhadap efek efisiensi produksi hampir semuanya tidak berpengaruh. Banyak
petambak mengatakan PUGAR dengan salahsatunya memberikan saran pompa
dan ramsol tidak berdampak pada peningkatan produksi. Beban yang paling
berat petambak yang mereka rasakan sebetulnya beban perbaikan area lahan
garam mulai dari infrastruktur tanggul, area peminihan dan meja garam. Ketika
mereka tidak melakukan perbaikan tanggul, kekhawatiran tanggul akan jebol
ketika terjading air pasang. Air akan mengairi penuh di area peminihan. Adapun
pompa kecenderungan akan berfungsi bagi petambak yang lahannya jauh dari
irigasi primer. Mereka hanya mengandalkan aliran air bekas pakai dari lahan
orang lain yang lebih dekat dengan irigasi.
Penggunaan zat aditif pun tidak banyak berpengaruh terhadap
peningkatan produksi. Petambak mengharapkan dengan adanya zat aditif dapat
dilihat perbedaan hasilnya, tetapi terkadang hal ini tidak berhasil. Ketika
ditanyakan tentanhg bagaimana penggunaan ramsol, mereka semuanya belum
paham padahal rasmosl sudah diberikan dalam program PUGAR. Teknik
penggunaanya pun belum tahu. Peneliti melihat petambak masih lemah dalam
pengetahuan teknis dari penggunaan ramsol. Mereka hanya mendapatkan
informasi penggunaan ramsol dari pendamping PUGAR. Ketika diselenggarakan
pelatihan peningkatan produksi garam tidak dilakukan demonstrasi penggunaan
ramsol. Mereka hanya diberikan teori dan tata cara secara gambar dari
penggunaan ramsol. Saat pelatihan berlangsung peneliti hadir dan menanyakan
kepada penemu ramsol bahwa peneliti menemukan tidak adanya pengaruh
terhadap hasil produksi. Hal ini dikuatkan dengan jawabannya bahwa
penggunaan ramsol di tingkat petambak masih lemah dalam keterampilan teknis.
127
Menurut ketua asosiasi petambak garam bahwa sasaran program
PUGAR bukan pada hal yang menjadi faktor penentu produktifitas. PUGAR
hanya memberikan hanya untuk pembelian pompa dan ada beberapa kelompok
yang mendapatkan kincir ingin. Tentu saja hal ini kurang menyentuh faktor
produktifitas. Apabila kondisi tanggul, komposisi peminihan, struktur penataan
lahan tidak begitu diperhatikan. Kelompok terkadang dipaksakan untuk menerima
peralatan-peralatan lewat program PUGAR. Pengalaman tahun 2010 dengan
adanya BLM pompa, kincir angina dan peralatan penyimpanan garam, petambak
rasakan bukan meningkatkan efisiensi dalam tahun berikutnya tapi malah
menambah jumlah biaya perbaikan.
Hubungan variabel antara pendapatan (income) usaha garam (Z7) dan
akses kredit (Z8) berhubungan dalam penyediaan modal awal dan penggunaan
modal yang digunakan dalam pertengahan. Pendapatan berhubungan dengan
tingkat harga jual yang diterima petambak. Hasil diskusi dengan petambak, pada
tahun 2011 mereka mendapatkan harga yang lebih baik. Petambak merasakan
perbedaan-perbedaan harga yang mereka rasakan. Pada tahun 1997 harga jual
garam yang didapatkan petambak Rp. 50 per kg. Pada tahun 1998 harga jual
garam terjadi peningkatan mencapai Rp. 750 per kg. Pada tahun 2003 harga
garam jatuh terpuruk mencapai Rp. 50 per kg. Pada tahun 2003 petambak bisa
mengukur HPP garam mencapai Rp. 60 per kg, tetapi pada tahun 2011 HPP
dengan nilai tersebut sudah tidak bisa dijadikan standar dimana sudah terjadinya
peningkatan inflasi untuk beberapa input produksi seperti harga tenaga kerja dan
harga bahan bakar. Dengan mengacu kepada analisis finansial, HPP mencapai
Rp 450 per kg. Jika harga di bawah nilai tersebut, petambak akan bangkrut.
Untuk menyediakan modal dalam proses produksi akhirnya mereka
berketergantungan terhadap pemilik modal juragan tanah. Sedangkan akses
kredit (Z8) terhadap kelembagaan keuangan belum tersentuh. Ada koperasi
sebagai kepanjangan dari pemerintah (koperasi yang dibentuk oleh pemerintah
atas adanya program PUGAR) belum bisa memberikan layanan pembiayaan
untuk penyediaan modal produksi garam. Dengan mendapatkan modal dari
pemilik lahan setidaknya mereka punya harapan pegangan untuk meneruskan
produksi garam walaupun nantinya akan dilakukan bagi-hasil 30 persen dari
keuntungan atau dari garam hasil panen yang harus mereka berikan kepada
pemodal. Bagi petambak bagi-hasil mereka mendapatkan 2 pengurangan
keuntungan, pertama dari bagi hasik yang harus diberikan kepada pemodal
128
sebesar 30 persen, ke-dua pengurangan harga jual dari harga jual yang berlaku
dipasaran.
Berhubungan dengan program PUGAR, menurut petambak yang ada di
wilayah penelitian mereka mengharapkan PUGAR harus bisa melayani
permodalan langsung kepada petambak. Mereka menilai tentang program
tersebut tidak semuanya yang mereka dapatkan sesuai dengan aturan yang
sudah ditetapkan pemerintah pusat. Di Kabupaten Indramayu yang seharusnya
kelompok mendapatkan sekitar Rp 50-100 juta dengan jumlah anggota 10 orang,
realisasinya petambak mendapatkan sekitar Rp 3-Rp 5 juta per individu.
8.2. Analisis Efisiensi Alokasi Usaha Garam Rakyat
8.2.1. Pendugaan Fungsi Dual Cost Frontier
Penggunaan input yang efisien akan berdampak pada produksi garam
yang maksimal. Pada kenyataanya banyak petambak yang menggunakan input
berdasarkan kebiasaan, kurang memperhatikan harga dan produk marjinal. Jika
petambak menggunakan input secara optimal dengan memperhatikan harga
yang berlaku maka akan dicapai efisiensi alokasi karena biaya yang dikeluarkan
adalah minimal. Efsieinsi alokasi dan ekonomi dihasilkan dari sisi input dengan
menggunakan harga yang berlaku pada daerah penelitian di masing-masing
kecamatan. Sebagai dasar menghitung efisiensi alokasi dan ekonomi, dalam
penelitian ini fungsi produksi yang digunakan yaitu stochastic frontier cobb-
douglas. Dari fungsi tersebut diturunkan fungsi biaya dual frontier (isocost
frontier=C*) seperti pada persamaan 4.18.
Dengan menggunakan parameter estimasi fungsi produksi stochastic
frontier cobb-douglas yang telah diperoleh dan harga rata-rata yang berlaku
maka diperoleh nilai C* yaitu biaya pada kondisi optimal (biaya minimum) dan C
aktual. Adapun harga rata-rata yang berlaku pada setiap petambak dapat dilihat
pada Tabel 26.
Tabel 26. Harga Rata-rata Input yang Berlaku pada Masing-masing Petambak
Sewa Bagi-hasil Pemilik-garap
Sewa lahan 3,250,000 2,992,857 1,228,333 Tenaga kerja 36,900 36,543 25,300 Perbaikan peralatan 2,025,714 1,649,371 916,667 Bahan Bakar 5,000 5,000 5,000
129
Efisiensi alokatif dan ekonomis diperoleh melalui analisis dari sisi input
produksi yang menggunakan harga input berlaku di tingkat petambak. Fungsi
produksi yang digunakan sebagai dasar analisis adalah fungsi produksi
stochastic frontier diturunkan dengan menggunakan persamaan primal sehingga
didapatkan model dual cost, yang merupakan fungsi biaya iso cost frontier-nya.
Fungsi tersebut menduga parameter dari coefisient biaya input yang dikeluarkan
dalam usaha tambak garam. Parameter tersebut terdiri dari biaya sewa lahan (px1
) dengan harga per sewa aktual Rp. 3.000.000 per hektar. Varebal biaya
perbaikan peralatan (px2
) merupakan approximate dari inputan hari produksi yang
digunakan dalam produksi dengan nilai ekonomi yang dirupiahkan proxy
penggunaan peralatan. Variable biaya tenaga kerja (px3
) merupakan biaya yang
dikeluarkan dalam membaya tenaga kerja per HOK Rp. 50.000 per hari. Variabel
Jumlah BBM (px4
) merupakan approximate dari inputan penggunaan air laut yang
dialirkan oleh mesin pompa dengan harga BBM Rp. 5.000 per liter.
Tabel 27. Pendugaan Fungsi Dual Cost Frontier
Variable Parameter Coef St-E rror t-ratio
Petambak sewa Intersep 0.344 Biaya sewa lahan p
x1
0.257 0.013 12.064 *** Biaya perbaikan peralatan p
x2
0.077 0.010 7.200 *** Biaya tenage kerja p
x3
0.726 0.010 68.501 *** Biaya BBM p
x4
0.065 0.006 10.380 ***
R-squared 0.997
Petambak bagi-hasil Intersep 0.679 Biaya sewa lahan p
x1 0.225 0.036 6.231 ***
Biaya perbaikan peralatan px2
0.047 0.007 6.085 *** Biaya tenage kerja p
x3 0.826 0.024 33.972 ***
Biaya BBM px4
0.003 0.003 0.947 ***
R-squared 0.998
Petanbak pemilik-garap Intersep 0.867 Biaya sewa lahan p
x1
0.133 0.016 7.945 *** Biaya perbaikan peralatan p
x2
0.169 0.026 6.480 *** Biaya tenage kerja p
x3
0.583 0.009 60.824 *** Biaya BBM p
x4
0.168 0.019 8.429 ***
R-squared 0.971
*) Nyata taraf α 10%, **) Nyata taraf α 5% dan ***) Nyata taraf α 1%
130
1. Biaya sewa lahan (px1
).
Berdasarkan Tabel 23 di atas, parameter biaya pada fungsi biaya pada
masing-masing petambak keofisien elastisitasnya bertanda positif dimana nilai
elastisitas yang paling tinggi pada petambak sewa (0.257), sedangkan petambak
bagi-hasil (0.225) dan petambak pemilik-garap (0.133). Biaya produksi akan
meningkat 25 persen jika petambak sewa menambah lahan 100 persen, dan
akan meningkat 22 persen pada petambak bagi-hasil jika lahan meningkatkan
100 persen. Pada petambak sewa biaya sewa nyata dikeluarkan karena status
lahan merupakan lahan sewaan dari pemilik tanah yang biasanya tidak
melakukan usaha garam pada musim kemarau dimana sebelumnya dipakai
budidaya ikan. Sedangkan pada petambak pemilik-garap dan bagi-hasil biaya
sewa merupakan biaya bayangan yang harus semestinya dikeluarkan untuk
membiayai usaha garam. Pada Tabel 14 (Tabel analisis usaha garam) dapat
dilihat kembali jumlah biaya sewa yang dikeluarkan rata-rata oleh petambak Rp.
2.000.000/hektar dengan berbagai tipe lahan.
2. Biaya perbaikan peralatan (px2
)
Elastisitas biaya perbaikan pada masing-masing petambak, 0.077
petambak sewa, 0.047 petambak bagi-hasil dan 0.169 petambak pemilik-garap.
Petambak yang responsif terhadap adanya peningkatan biaya peralatan yaitu
pemilik-garap. Rata-rata petambak ini memiliki peralatan yang jumlahnya hampir
sama dengan petambak lainnya sedangkan dalam penggunaannya tidak
sebanding dengan tingkat manfaatnya. Tetapi biaya yang harus dikeluarkan
untuk perbaikan hampir sama dengan petambak bagi-hasil dan sewa Rp 20.000
per hari atau sekitar Rp. 1.500.000 yang harus disediakan untuk perbaikan
peralatan pada awal musim garam. Biaya perbaikan terdiri dari perbaikan kincor
angina, pompa, slinder dan guludan untuk pengerikan garam. Ada juga peralatan
yang tidak terlalu harus dimiliki seperti timbangan untuk mengukur tingkat
kekentalan air laut (bettimeter).
3. Biaya tenaga kerja (px3
)
Elastisitas biaya tenaga kerja pada masing-masing petambak paling
besar diantara variable biaya produksi lainnya. Untuk petambak sewa 0.726,
petambak bagi-hasil 0.826 dan petambak pemilik-garap 0.583. Petambak bagi-
131
hasil yang sangat besar nilai elastisitasnya karena sangat sensitif mengeluarkan
biaya dimana biaya tersebut sebetulnya hasil pinjaman dari juragan. Data empirik
dapat dipaparkan bahwa tingginya harga tenaga kerja pada bagi-hasil
dikarenakan adanya penetapan harga yang diterapkan oleh penggarap pada
dirinya sendiri atau tenaga kerja yang masih ada hubungan kerabat yang dibayar
oleh juragannya. Ada semacam pembengkakan harga tenaga kerja yang
ditetapkan penggarap terhadap juragan. Hal ini beralasan sebagai strategi untuk
meningkatan pendapatan non-garam bagi petambak sendiri karena merasa hal
ini sebagai strategi untuk mendapatkan pendapatan lain selain dari pendapatan
garam yang hasilnya di bagi-hasilkan.
4. Biaya BBM (px4
)
Nilai elastisitas biaya bahan bakar paling kecil dibadningkan dengan input
biaya lainnya dimana petambak sewa 0.065, petambak bagi-hasil 0.003 dan
petambak pemilik-garap 0.168. Petambak pemilik-garap yang intensif sering
mengeluarkan biaya bahan bakar karena umumnya memiliki pompa air sendiri.
Sedangkan petambak sewa dan bagi-hasil dari beberapa petambak melakukan
kumpulan untuk membuat tampungan air yang akan disalurkan sedangkan biaya
dikumpulkan secara iuran untuk pengadaan benisn atau bayaran kepada pemilik
pompa atau juragan embung. Jika terjadi penambahan bakar 100 persen,
petambak pemilik-garap akan menambah sebesar 16.8 persen total biaya
produksi.
8.2.2. Sumber Efisiensi Alokatif
Sumber in-efisiensi alokatif dapat dilihat dari analisis nilai produk marjinal
(NPM) dan Biaya korbanan marjinal (BKM) sebagai anlisis penggunaan input
dalam optimalisasi pendapatan atau minimalisasi biaya. Dari hasil analisis
efisiensi Penggunaan input pada usaha garam (NPM/Pxi) ternyata ada yang
menunjukkan nilai NPM/Pxi lebih dari 1 yaitu lahan dan tenaga kerja yang
artinya bahwa secara ekonomi alokasi faktor produksi belum efsien berada pada
tingkat optimum. Jika penggunaan faktor produksi lahan atau tenaga kerja
ditambah, maka penambahan output total yang dihasilkan akan lebih besar dari
penambahan faktor produksi itu sendiri, sehingga upaya untuk optimasi
pendapatan usaha garam masih dapat dilakukan dengan penggunaan faktor
produksi (input) yang efisien. Menurut Bagamba (2007) rasio NPM/Pxi yang lebih
132
besar dari satu juga karena tingginya harga input produksi dan rendahnya tingkat
harga output atau farm gate price yang terjadi pada petani pisang di Uganda.
Pada kasus usaha garam ini pun sama, ketidakefisienan secara alokatif karena
tidak tercapainya rasio optimalisasi antara nilai marjinal produk dan biaya
korbanan marjinal yang terjadi pada petambak garam. Jika dilihat variable hari
produksi dan dan jumlah air laut sudah melebihi capaian optimal dimana nilai
NPM/Pxi-nya kurang dari satu.
Tabel 28. Rasio Nilai Produk Marjinal-Biaya Korbanan Marjinal (harga garam
Rp. 450 per kg)
Sewa Bagi hasil Pemilik-garap NPM/Pxi t-rasio NPM/ Pxi t-rasio NPM/ Pxi t-rasio
Ukuran lahan
3.249 3.381 *** 12.170 15.417 *** 15.608 5.615 ***
Tenaga kerja 64.984 4.809 *** 146.034 17.440 *** 138.402 6.673 ***
Hari produksi
23.070 2.745 *** 1.758 0.168 2.954 0.575
Jumlah bahan bakar
0.000 (0.269) 0.473 (0.039) 2.125 0.076
*) Nyata taraf α 10%, **) Nyata taraf α 5% dan ***) Nyata taraf α 1%
Berdasarkan Tabel 28 dihasilkan rasio antara NPM- Pxi lahan mencapai
3.249 pada petambak sewa, 12.170 petambak bagi-hasil, dan 15.608 petambak
pemilik-garap. Jika ini dhubungkan dengan biaya korbanan yang harus
dikeluarkan artinya ketika petambak meningkatkan lahan sebesar 1 hektar maka
ia akan mengeluarkan biaya Rp 2.500.000 dan akan mendapatkan pendapatan
Rp. 8.122.950 atau 3.249 lipat dari biaya per 1 hektar lahan sewa dengan harga
jual garam Rp. 450 per kilogram. Penambahan tingkat nilai marjinal produk lahan
paling tinggi pada petambak pemilik-garap, sehingga implikasi dari hal ini adalah
strategi untuk meningkatkan pendapatan petambak pemilik-garap yang signifikan
melalui peningkatan ukuran lahan (farm size). Hal ini sejalan pada sumber in-
efisiensi teknis yang bertanda negative untuk variabel ukuran lahan (Tabel 20)
dimana semakin meningkat lahannya akan menurunkan in-efisiensi atau
meningkatkan efisiensi teknisnya. Dengan rata-rata lahan sekitar 0.5 hektar
sekarang belum bisa mencapai skala efisiensi optimal untuk petambak pemilik-
garap.
Sedangkan untuk variabel hari produksi dan penggunaan bahan bakar
pada petambak bagi-hasil dan pemilik-garap sudah melebihi batas efisiensi
penggunaan inputnya dimana rasio nilai produk marjinal kurang dari satu. Harga
bahan bakar yang didapatkan oleh petambak relatif sama sekitar Rp. 5.000 per
133
liter. Harga tersebut merupakan harga subsidi BBM. Bagi petambak yang
lahannya jauh dari irigasi, petambak intensif menarik pipa dari tempat
penampung air yang disediakan secara berkolompok dibawah satu juragan.
Dengan biaya yang petambak keluarkan adalah membayar nilai biaya BBM yang
dikeluarkan oleh juragan. Motivasi untuk mengalirkan jumlah air laut sangat tinggi
sehingga mereka sekuat tenaga menggunakan alat dan cara manual untuk
mengalirkan air. Petambak tiap hari terus menjaga kondisi aliran air laut dengan
melihat debit aliran air. Jika angin kencang mereka melakukan pemasangan
kincir air, dan jika ada tenaga kerja keluarga tambahan membantu mengalirkan
air laut secara manual. Pandangan mereka semakin banyak mengalirkan air
kedalam aliran peminihan maka peluang menghasilkan garam semakin besar.
Tabel 29. Nilai Produk Marjinal dan Biaya Korbanan Marjinal (harga garam Rp.
450 per kg)
Sewa Bagi hasil Pemilik-garap
NPM BKM NPM BKM NPM BKM
Lahan 8,122,950 2,500,000 30,423,750 2,500,000 41,520,600 2,500,000 Tenaga kerja 3,249,180 50,000 7,301,700 50,000 6,920,100 50,000 Hari produksi 461,400 20,000 35,155 20,000 59,070 20,000 Jumlah bahan bakar
2,400 25,000 11,819 25,000 53,130 25,000
Untuk rasio nilai produk marjinal tenaga kerja dengan biaya korbanan
paling besar petambak bagi-hasil mencapai 146 sedangkan pemilik-garap 138.
Sewa hanya mencapai 63. Jika ada penambahan tenaga kerja petambak bagi-
hasil mendapatkan penerimaan Rp. 7.301.700, petambak pemilik-garap Rp.
6.920.100 dan sewa Rp. 3.249.000 den gan asumsi farm gate price Rp. 450 per
kg. Dari dua input produksi ini yang paling responsif meningkatkan pendapatan
petambak adalah peningkatan luas lahan (farm size) dibandingkan dengan
peningkatan jumlah tenaga kerja.
Strartegi petambak sewa untuk mendapatkan luasan lahan yang lebih
besar sangat memperhatikan aspek harga. Harga pasar lahan sewa saat
penelitian berlangsung berada pada Rp. 2.500.000 per hektar, jika tidak bisa
diturunkan petambak bisa mendapatkan lahan bengkok desa dengan harga sewa
Rp. 1.500.000 per musim tetapi kualitas lahan menurut petambak tidak terlalu
baik dibandingkan dengan lahan sewa yang dekat dengan irigasi atau lahan
produktif sebelumnya dipakai dalam usaha budidaya ikan. Seperti petambak
sewa yang ada di Kecamatan Losarang, karena sedikitnya lahan bengkok maka
134
petambak menyewa lahan yang dekat dengan irigasi. Jika petambak tidak
meemiliki modal untuk melakukan sewa lahan, alternatif akhirnya adalah bagi
hasil. Walapun secara perhitungan usaha tani setelah bagi hasil petambak selalu
mendapatkan pendapatan di bawah dari kelompok petambak lainnya.
8.2.3. Sebaran Efisiensi Alokatif
Inefisiensi usahatani pada umumnya diasumsikan akan meningkat
dengan kenaikan biaya produksi. Berdasarkan fungsi biaya dual frontier diatas
maka dapat dihitung indeks efisiensi alokasi (AE) dari setiap responden.
Sebaran efisiensi alokatif petambak responden seperti yang terdapat pada Tabel
26, berada pada kisaran yang beragam. Hanya 5 persen dari total responden
berada pada tingkat efisiensi alokatif diatas 0.7 yang didominasi petambak
pemilik-garap, sedangkan 95 persen dibawah 0.7 sehingga bisa dikatakan
secara alokatif usaha garam belum tercapai. Efisiensi alokatif petambak sewa
rata-rata mencapai 0.337, dengan tingkat efisiensi alokatif tertinggi 0.430 dan
terendah 0.289. Pada petambak yang paling rendah tingkat efisiensinya,
petambak ini bisa mendapatkan harga input yang rendah sehingga bisa
melakukan penghematan sebesar 14 persen dari hasil perhitungan (1-
0.289/0.337). sedangkan petambak sewa dengan efisiensi alokatif tertinggi
mereka tidak bisa mendapatkan harga input lebih murah sehingga mengeluarkan
21.6 persen dari pehitungan (1-0.337/0.430).
Table 30. Sebaran Efisiensi Alokatif Petambak Responden
Efisiensi Alokatif
Interval Sewa Bagi hasil Milik
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
0.01-0.10 0.11-0.20 1 2.86 0.21-0.30 4 11.43 25 71.43 0.31-0.40 30 85.71 5 14.29 1 3.33 0.41-0.50 1 2.86 1 2.86 5 16.67 0.51-0.60 3 8.57 11 36.67 0.61-0.70 8 26.67 0.71-0.80 4 13.33 0.81-0.90 1 3.33 0.91-1.00
Jumlah 35 100 35 100 30 100
Rata-rata 0.337 0.302 0.592 Maksimum 0.430 0.584 0.832 Minimum 0.289 0.173 0.354
135
8.3. Analisis Efisiensi Ekonomis (Economic Efficiency)
Efisiensi ekonomis merupakan hasil akhir dari kombinasi antara efisiensi
teknis dan efisiensi alokatif. Efek gabungan tersebut memberikan tiga pilihan
yaitu : 1) efisiensi ekonomis akan tecapai jika efisiensi teknis dan efisiensi alokatif
tercapai, 2) jika efisiensi teknis tidak tercapai, dan efisiensi alokatif tidak tercapai
maka efisiensi ekonomis tidak tercapai, dan 3 jika efisiensi alokatif tercapai dan
efisiensi teknis tercapai maka efisiensi ekonomis tetap tidak tercapai.
Berdasarkan tabel dibawah sebaran efisiensi teknis semuanya dibawah 0.7, jadi
tidak ada petambak yang tercapai secara efisiensi ekonomis. Ketidak tercapaian
efisiensi ekonomis kontribusi dari efisiensi alokatif yang sangat tinggi, sedangkan
dari aspek efisiensi teknis sebetulnya sudah tercapai pada petambak sewa dan
pemili-garap dan serta sebagian petambak bagi-hasil. Dengan tidak tercapainya
efisiensi ekonomi, maka keuntungan maksimal yang didapatkan petambak tidak
tercapai. Hal ini karena banyaknya biaya yang dikeluarkan oleh petambak yang
tidak seimbang dengan kinerja input yang bisa mencapai optimal. Untuk
meningkatkan efisiensi ekonomis salah satu cara yang harus dilakukan
petambak adalah menurunkan jumlah input produksi terutama jumlah tenaga
kerja. Perbedaan tinggi rendah nya tingkat efisiensi ekonomis hanya tingkat
relatif antara petambak satu dengan yang lainnya yang seluruhnya dalam kondisi
tidak efisien secara ekonomis.
Table 31. Sebaran Efisiensi Ekonomis Petambak Responden
Efisiensi Ekonomis
Interval Sewa Bagi hasil Milik
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
0.01-0.10 0.00 0.11-0.20 25 71.43 0.00 0.21-0.30 5 14.29 31 88.57 0.31-0.40 5 14.29 4 11.43 4 13.33 0.41-0.50 0.00 14 46.67 0.51-0.60 9 30.00 0.61-0.70 3 10.00 0.71-0.80 0.81-0.90 0.91-1.00
Jumlah 35 100 35 100 30 100
Rata-rata 0.208 0.208 0.482 Maksimum 0.353 0.353 0.636 Minimum 0.159 0.159 0.317
Pada petambak sewa rata-rata efisiensi ekonomi 0.208 dengan tingkat
efisiensi ekonomis tertinggi 0.353 dan terendah 0.159. Bagi petambak efsiensi
136
ekonomis tinggi mereka sudah bida mengelola kegiatan usaha dengan
mengefisienkan 20 persen sumberdaya faktor produksi dan biaya yang
dikeluarkan. Sedangakan bagi petambak dengan efisiensi ekonomis rendah,
masih bisa menurunkan efisiensi 23 persen dengan cara meningkatkan strategi
manajerial penggunaan input dan pengelolaan pengeluaran biaya terlebih dalam
biaya tenaga kerja.
Table 32. Sebaran Efisiensi Biaya Petambak Responden
Efisiensi Biaya
Sewa Bagi hasil Milik
Frequency % Frequency % Frequency %
0.0-1.0
1.1-2.0 12 40.00
2.1-3.0 4 11.43 4 11.43 17 56.67
3.1-4.0 1 2.86 31 88.57 1 3.33
4.1-5.0 5 14.29
5.1-6.0 21 60.00
6.1-7.0 4 11.43
Jumlah 35 100.00 35 100.00 30 100.00
Rata-rata 5.07 3.29 2.14
Maximum 6.27 3.94 3.16
Minimum 2.83 2.54 1.57
Battese and Coelli (1995) mengembangkan nilai efisiensi biaya (cost
efficiency) dari pendekatan dual cost frontier. Dengan cara membandingkan
antara biaya antar petambak dengan biaya petambak yang minimum dihasilkan
berbagai perbedaan antara petambak. Berdasarkan tabel di bawah ini dapat
terlihat tingkat pengeluaran biaya yang masih besar dan tidak efisien pada
petambak sewa dengan rata-rata efisiensi biaya 5.07. Sejumlah 29 persen
petambak sewa sudah melakukan efisiensi biaya usaha 79 persen (1-5.07/2.83)
dari rata-rata efisiensi yang ada pada petambak sewa. Sedangkan 79 persen
petambak sewa masih melakukan pemborosan (1-6.27/5.07). atau 23 persen dari
petambak sewa yang paling tinggi melakukan pemborosan Sedangkan 88 persen
petambak bagi-hasil melakukan pemborosan pemakaian input sebesar (1-
3.29/2.54) atau 28 persen. Pada 96 persen petambak pemlik-garap tingkat
pemborosan biaya mencapai 47 persen. Faktor biaya tenaga kerja merupakan
salah satu faktor penyebab besarnya tingkat pemborosan yang dilakukan oleh
petambak. Hal ini dapat diartikan juga bahwa usaha garam rakyat bersifat padat
karya. Begitupun hasil penelitian Dia, et al., (2010) pada petambak jagung
137
ditemukan 40 persen petambak melakukan pemborosan biaya usaha tani jagung
di Adamawa Nigeria karena berlebihnya penggunaan tenaga kerja, penggunaan
benih dan pupuk.
Fenomena efisiensi teknis yang tinggi namun efisiensi alokasi dan
ekonomi yang rendah dapat dijelaskan pada Gambar 29. Titik A, B dan C berada
pada fungsi produksi frontier yang sama sehingga titik tersebut dapat dikatakan
telah efisien secara teknis. Namun pada titik A, dan C belum mencapai efisiensi
alokasi sedangkan pada titik B telah terjadi efisiensi secara alokasi karena pada
titik B terjadi persinggungan antara kurva fungsi produksi frontier dengan garis
rasio harga input-outputnya (Px/Py).
Keuntungan maksimum tercapai saat produk marjinal (PM) sama dengan
rasio harga input-output (Px/Py). Jika kondisi actual berada pada titik A maka agar
tercapai efisiensi alokasi penggunaan input x harus ditambah dari X1 ke X 2
sehingga akan tercapai keuntungan maksimum. Demikian pula jika kondisi ada
pada titik C, maka agar tercapai efisiensi alokasi penggunaan input harus
dikurangi dari X1 ke X 2 sehingga akan tercapai keuntungan maksimum. Dengan
mengalokasikan input secara tepat sesuai dengan harga inputnya maka akan
berdampak pada peningkatan efisiensi alokasi. Peningkatan efisiensi alokasi
akan menyebabkan penurunan biaya sehingga keuntungan petani akan
meningkat (Ellis, 2003).
Gambar 29. Kondisi Produksi yang Efisien Secara Teknis dan Inefisien
Secara Alokatif
X3 X2 X1
A
B
C
Y
X
Px/Py
F(Xi,β)
138
Selain penggunaan input yang berlebihan atau kurang, penyebab
rendahnya efisiensi alokasi yaitu informasi harga input dan output yang tidak
sempurna yang biasanya terjadi pada sektor pertanian sehingga keragaman
harga input dan output tidak cukup digambarkan oleh harga rata-rata. Jika harga
input transparan dan petambak menikmati harga murah atau disubsidi maka
dapat meningkatkan efisiensi alokasi, sehingga dampaknya dapat menghemat
biaya dan meningkatnya keuntungan.
Tabel 33. Analisis Finansial Usaha Garam (Jika terjadi penurunan penggunaan
bahan bakar 30 persen)
Kelompok Sewa Bagi Hasil Pemilik
Rataan ukuran lahan (ha) 1.35 1 0.7
Produksi (ton) 65.33 60 49.8
Harga Jual maksimum (Rp/kg) 475.13 469 430
Biaya ( dalam juta)
Sewa Lahan 2 2 2
Tenaga Kerja 22.3 20.48 16.45
Bahan Bakar 1.246 0.861 0.315
Peralatan 1.9 1.5 0.5
Total Biaya 27.446 24.841 19.265
Revenue (dalam juat)
Total Pendapatan 31.04 28.14 21.41
Laba/rugi 3.594 3.299 2.145
B/C 1.13 1.13 1.11
Salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi alokatif adalah dengan cara
menurunkan harga input produksi jika harga pasar input mahal (Ellis, 2003), dan
menurunkan kuantitas penggunaan input jika terjadi pemborosan dilihat dari
perhitungan nilai produk marjinal dan biaya korbanan (Tabel 24). Jika dilakukan
simulasi penurunan terhadap tingkat penggunaan input bahan bakar sebagai
biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan air laut maka tingkat pendapatan
petambak sewa akan meningkat. Berdasarkan Tabel 29 jika terjadi pengurangan
terhadap bahan bakar 30 persen, maka biaya yang dikeluarkan oleh masing
petambak menurun dan dampaknya keuntungan meningkat pada harga asumsi
rata-rata yang diterima oleh masing-masing petambak (Rp 475 petambak sewa,
Rp 459 petambak bagi-hasil dan Rp 430 petambak pemilik-garap).