Web viewPhasor adalah bilangan kompleks yang merepresentasikan besaran atau magnitude dan phasa...
Transcript of Web viewPhasor adalah bilangan kompleks yang merepresentasikan besaran atau magnitude dan phasa...
BAB I
ANALISA GELOMBANG BOLAK BALIK
A. Pendahuluan
Kita telah membahas rangkaian listrik dengan sumbernya searah, dimana
untuk selang waktu dari nol sampai tak hingga nilainya akan selalu tetap atau
konstan, sedangkan pada pembahasan ini akan dibahas rangkaian listrik dengan
sumbernya adalah bolak-balik, dimana untuk waktu tertentu akan didapatkan nilai
yang berbeda-beda. Dengan sumber DC (Direct Current) komponen L dan C akan
menjadi rangkaian hubung singkat atau terbuka tetapi dengan sumber AC
(Alternating Current) komponen L dan C akan mempengaruhi arus dalam
rangkaian.
Analisa gelombang bolak balik penting untuk mengetahui bentuk gelombang,
impedansi dan admitansi serta nilai rata-rata dan efektif suatu gelombang bolak
balik.
1. Bentuk Gelombang
Sebelum membahas masalah AC secara mendalam alangkah baiknya kita
memperhatikan terlebih dahulu karakteristik dari sumber AC atau gelombang
AC ini. Salah satu sifat khusus dari gelombang AC adalah dia mempunyai sifat
periodik atau berulang dengan selang waktu tertentu atau lebih sering disebut
dengan perioda, dimana nilai dari periodik ini memenuhi persamaan :
f (t) = f ( t + nT ) dimana n : integer 0,1,2,… dengan T = perioda.
Gelombang arus bolak balik dapat berbentuk sinusoidal, pulsa, gergaji,
sinusoidal yang disearahkan dll. seperti terlihat pada gambar 1.1.
1
Gambar 1.1. Bentuk-bentuk gelombang AC
a. Konsep Dasar Matematis untuk Analisa Gelombang
1) Konsep Phasor dan Euler
Phasor adalah bilangan kompleks yang merepresentasikan besaran
atau magnitude dan phasa gelombang sinusoidal. Phasor biasanya
dinyatakan dengan sebuah notasi pada domain frekuensi yang hanya
terdiri dari besaran dan phasa. Misalnya;
v(t ) Vm cos(t ), (1.1)
dalam notasi phasor; V ( ) Vm (1.2)
dalam notasi Euler ; V = Vm e j (1.3)
2) Bilangan kompleks
Bilangan yang terdiri dari harga real (nyata) dan harga imajiner
(khayal) Contoh :
2
z = x + jy, dimana j= √−1 atau j2 = -1 Grafik bilangan kompleks
seperti pada gambar 1.2.
Gambar1.2. Bentuk bilangan kompleks
Bentuk-bentuk bilangan kompleks :
a) Bentuk Kartesian / Rectanguler: z x jy
(1.4)
b) Bentuk Polar: z r (1.5)
di mana : x r cos r√ x2+ y2 (1.6)
y r sin tan-1 y/x
c) Bentuk Eksponensial: z re jθ (1.7)
di mana : x jy r cos jr sin r(cos j sin ) re jθ
c) Bentuk Trigonometri: z rcos j sin
(1.8)
Konjugate bilangan kompleks
z z *
z x jy z * x jy
z r z * r-
zℜ jθ z * ℜ− jθ
3
Tegangan dan Arus Sinusoidal
Arus yang mengalir dalam elemen R,L,C jikadiberi tegangan sinusoidal seperti
terlihat pada tabel 1.1.
Tabel 1.1. arus yang mengalir dalam elemen jika diberi tegangan sinusoidal
Elemen V V =Vmsin¿) V =Vmcos (ωt ± φ)
R iR=VR
iR=VmR
sin (ωt ±φ) iR=VmR
cos (ωt ± φ)
LiL¿
1L∫Vdt iL=
VmL
(−cos ( ωt ± φ )) iL=VmL
sin (ωt ± φ)
C ic=C dvdt
ic=ωCVmcos (ωt ± φ) ic=ωCVm¿
Tegangan yang muncul dalam elemen R,L,C jikadiairi arus sinusoidal seperti terlihat
pada tabel 1.2.
Tabel 1.2. Tegangan yang muncul dalam elemen jika dialiri arus sinusoidal
elemen I I=Imsin(t) I=Imcos(t)
R VR=RI VR=RImsin(t) VR=RImcos(t)
L VL=L didt
VL=LImcos(t) VL=Lim(-sin(t))
CVC=
1C∫ idt VC= ℑ
ωC¿ VC= ℑ
ωCsin (ωt ± φ)
1.1.1.
1.1.2. Sudut Phasa
Sudut phasa adalah perbedaan sudut antara suatu gelombang dengan gelombang
orisionalnya (gelombang yang berangkat dari titik (0,0) pada sumbu x,y. misanya
gelombang tegangan V1 = Vm sint dan V2 = Vm sin (t ). Pada V1 sudut phasa
=0,(gelombang orogional) dan pada v2 sudut phasa = . Tanda menunjukkan
4
apakah sudut phasa mendahului (leading) atau terlambat (Leaging) jika bernilai positif
berarti gelombang leading terhadap gelombang original dan jika negetif berarti
gelombang leaging. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat seperti gambar 1.3.
V V=Vmsint
V=Vm sin(t-)
t
gambar 1.3. gelombang original dan gelombang leaging terhadapnya.
Elemen-elemen yang dialiri arus bolak balik akan menyebabkan tegangan dan arus
berbeda phasa atau sama.
a. Elemen Resistor ®
Jika dialiri arus i I m sint I I mmaka tegangan pada R adalah
VR RI m sin t VR RI m0 o (1.9)
Terlihat antara tegangan dan arus phasanya..sama
Gambar 1.4. gelombang tegangan dan arus AC pada elemen R
b. Elemen Induktor (L )
Jika dialiri arus i I m sint I I mmaka tegangan pada L adalah
VL =LImcost =LImsin(t+90o) LIm = Vm , maka VL = Vm sin(t+90o)
VL = LIm90o VL = Vm90o (1.10)
5
Arus tertinggal sebesar 900 dari tegangan arus leaging
Gambar 1.5. Gelombang tegangan dan arus AC pada elemen L
c. Elemen Kapasitor ( C )
Jika kapasitor dialiri arus I = Im sint I = Im00 maka tegangan pada kapasitor;
VC =ℑC
(−cos t )= ℑC
sin (t−90) VC =ℑC
−900
Arus mendahului tegangan sebesar 900 arus leading
Impedansi ; Z=VcI
=
ℑC
−90
ℑ0
Zc= 1C
−90 = − jC
= 1j C (1.11)
Gambar 1.6. gelombang tegangan dan arus pada elemen kapasitor.
1.1.3. Impedansi dan Admitansi
Impedansi adalah besaran yang membatasi arus dalam rangkaian dan merupakan
perbandingan tegangan dan arus menurut hukum Ohm. Pengertian impedansi dapat meliputi
resistansi ® , reaktansi(X) atau kombinasinya. Admitansi adalah kebalikan dari impedansi.
6
1.1.3.1. Impedansi setiap elemen.
a. Resistor
Pada pembahasan terdahulu jika R dialiri arus i I m sint I I
mmaka tegangan pada R adalah VR RI m sin t VR RI m0 o sehingga
impedansi ZR= VRI
= RIm 0ℑ 0
=R Ω (1.12)
b. Induktor
jika L dialiri arus i I m sint I I m maka tegangan VL = Vm
sin(t+90o)
VL = LIm90o VL = Vm90o, sehingga impedansi inductor adalah;
Z=V L
I= lim 90
ℑ0 ZL = L900 = jL (1.13)
c. Kapasitor
Jika arus yang mengalir pada kapasitor I = Im00 dan tegangan VC =ℑC
−900 maka
impedansi kapasitor Z=VcI
=
ℑC
−90
ℑ0
Zc= 1C
−90 = − jC
= 1j C (1.14)
1.1.3.2. Impedansi kompleks
Impedansi kompleks terjadi jika beberapa elemen di rangkai dalam sebuah rangkaian
Jika rangkaian RL seri dihubungkan dengn sumber AC, maka; impedansi total Z = ZR + ZL
Z = R + jL (dalam bentuk rectangular) (1.15)
Z = Z1 (dalam bentuk polar) (1.16)
Jika sumber tegangan V = Vm, maka arusyang mengalir dalam rangkaian:
I = VZ
=VmZ 1
=VmZ
−1 A (1.17)
7
Gambar 1.7. rangkaian RL seri
Jika rangkaian seri RC di hubung dengan sumber tegangan AC, maka;
Z = R + ZC Z = R − jC (dalam bentuk rectangular)
Z = Z-1 (dalam bentuk polar)
Jika sumber tegangan V = Vm, maka arusyang mengalir dalam rangkaian;
I = VZ
= VmZ−1
= VmZ
+1
Gambar 1.8. Rangkaian RC seri
Untuk tiga elemen yang disusun seri maka impedansi totalnya dapat dicari;
V = V1 + V2 + V3
V = IZ1 + IZ2 + IZ3 = I(Z1 + Z2 + Z3 )
Zeq = Z1 + Z2 + Z3 (1.18)
8
Gambar 1.9. Rangkaian tiga impedansi seri
Untuk tiga elemen yang disusun parallel, impedansi totalnya dapat dicari;
I = I1 + I2 + I3
VZeq
= VZ 1
+ VZ 2
+ VZ 3
1Zeq
= 1Z 1
+ 1Z 2
+ 1Z 3 (1.19)
Gambar 1.10. Tiga impedansi disusun paralel
1.1.3.3. Admitansi
Admitansi adalah kebalikan dari impedansi. Y = 1/Z
Untuk resistansi R, YR=1
ZR=G (konduktansi)
Untuk reaktansi induktif XL YL =1
ZL= 1
j L=− j
L=− jB (suseptansi induktif)
Untuk reaktansi Kapasitif XC YC = 1
ZC= j C= jB (Suseptnsi Kapasitif)
9
Jika diketahui Z1= R; Z2 = XL = jL; Z3 = XC = -j/C, maka admitansi total;
1Zt
= 1Z 1
+ 1Z 2
+ 1Z 3
1Zt
= 1R
+ 1j L
+ 1− jC
= 1R
− j 1L
+ j C
1Zt = 1
R+ j(C− 1
L)
Yt = G JB B = (C− 1L
)
Jadi jika diketahui impedansi kompleks; Z R jX maka admitansi kompleksnya adalah;
Y = 1/Z Y G jB (1.20)
dimana :
Z = Impedansi
R = Resistansi
X = Reaktansi
jx = reaktansi induktif
-jx = reaktansi kapasitif
Y = Admitansi
G = Konduktansi
B = Suseptansi
jB = suseptansi kapasitif
-jB = suseptansi induktif
1.1.4. Harga Rata-Rata/ Average (Ave)
Harga rata-rata fungsi periodik didefinisikan sebagai integral fungsi waktu atas
keseleuruhan perioda dibagi dengan selang waktu periodanya. Fungsi umum y (t) degan
10
perioda T, maka harga rata – rata :
Y ave=1T ∫
0
t
y (t ) dt
Untuk tegangan rata-rata (Vave);
V ave=1T ∫
0
t
V (t ) dt
Idem arus rata-rata (Iave )
I ave=1T ∫
0
t
I (t ) dt
1.2.7.Harga Efektif/ RMS ( Root Mean Square)
Fungsi umum y(t) dengan perioda T, maka harga efektif :
Y rms=√ 1T ∫
0
t
( y (t ))2dt
Tegangan efektif (Vrms) ;
V rms=√ 1T ∫
0
t
(V (t ))2dt
Idem arus efektif (Irms);
I rms=√ 1T ∫
0
t
(i ( t ))2 dt
Harga puncak (peak) suatu gelombang tegangan/ arus;
VP = makv(t), idem IP = maki(t)
Harga puncak ke puncak (peak to peak), untuk tegangan/ arus;
11
VPP = makv(t)-mini(t)
Contoh latihan :
1. Tentukan harga rata-rata dan efektif fungsi y(t) = Asinωt !
Jawab;
- Harga rata-rata :
Y ave=1T ∫
0
t
y (t ) dt
Y ave=12∫
0
2
Asintd t= A2
−cost|2 π0
= 0
Y rms=√ 1T ∫
0
t
( y (t ))2dt
Y rms=√ 12∫0
2
( Asin t)2 dt = √ A2
2 π ∫0
2π
( 1−cos2 ωt2 )dωt
= A√2
2. Diketahui impednsi resistor 5 ohm, inductor j5 ohm, kapasitor –j3 ohm. Tentukan
12
impedansi total jika;
a. Ketiga elemen disusun seri.
b. Ketiga elemen disusun parallel.
Jawab;
Diketahui; ZR = 5; ZL = j5; ZC = -j3.
a. Zt = ZR + ZL + ZC
= 5 + j5 – j3 = 5 + j(5-30 = 5 + j2= 5,3821,80
b.1Zt
= 1Z 1
+ 1Z 2
+ 1Z 3
= 15
+ 1j 5
+ 1− j3
=0,2− j0,2+ j0,33=0,2+ j 0,13
Zt = 1
0,2+ j 0,13 = 10,23 33
=4,35−330
Soal- soal :
1. Jika x = 3 + j4 dan y = 6 + j9 . Tentukan :
a. x dan y dalam bentuk polar
b. x dan y dalam bentuk trigonometri
2. Tentukan harga rata-rata dan efektif-nya !
3.jika Z1 = 845; Z2 = 530 tentukan;
13
a. Z1 + Z2
b. Z1.Z2
c. Z1 – Z2
4. Tentukan nilai rata-rata dan efektif gelombang gigi gergaji berikut :
5. Tentukan nilai rata-rata dan efektif funhgsi berikut :
6. Tentukna Yrms dari gambar berikut :
14
BAB II
RESPON FREKUENSI DAN RESONANSI
2.1. Pendahuluan
Respon frekuensi merupakan hubungan atau relasi frekuensi tak bebas pada
kedua besaran magnitude dan phasa diantara input sinusoidal steady state dan output
sinusoidal steady state. Untuk menganalisa hubungan masukan dan keluaran sinusoidal
dapat dilakukan dengan fungsi transfer sinusoidal teredam (fungsi (S)) dan fungsi
transfer domein frekuensi. Hubungan input dan output sinyal akan memperlihatkan
resonansi, bandwith dan factor kualitas suatu gelombang sinusoidal.
2.2. Pembahasan
2.2.1. Frekuensi Kompleks
Jika suatu fungsi sinusoidal teredam maka;
V(t) = Vmetcos(t) (2.1)
Pada persamaan tersebut muncul suatu konstanta peredam et, dimana adalah bernilai
negatif atau nol yang disebut dengan faktor peredam/frekuensi Neper dengan satuan
Np/s.
Dalam notasi phasor;
V = Re (Vmeje(+j)t = Re (Vmejest)
15
V(S) = Vmej = Vm (2.2)
Dimana; S = + j
Impedansi pada frekuensi kompleks merupakan perbadingan tegangan dan arus
sinusoidal dalam domein S;
Z ( S )=V (S)I (S)
(2.3)
Untukmasing-masing elemen impedansi dalam domein S adalah;
Resistor ZR(S) = R;
Inductor ZL(S) = sL
Kapasitor ZC(S) = 1/sC
Admitansi masing-masing elemen pada frekuensi kompleks adalah;
YR(S) = 1/R = G
YL(S) = 1/sL
YC(S) = sC
2.2.2. Respon Frekuensi
Respon frekuensi merupakan hubungan frekuensi tak bebas pada kedua besaran
magnitude dan phasa diantara input sinusoidal steady state dan output sinusoidal steady
state. Direpresentasikan sebagai perbandingan output respon Y( jω ) terhadap input
sinusoidal X ( jω ) atau yang lebih dikenal dengan fungsi transfer dalam domain jω :
H (Jω )= Y (Jω)X (Jω)
, Dimana; |H ( jω)|=|Y ( jω)||X ( jω)|
(2.4)
Dan sudut phasaanatar input dan output;
H (Jω )= Y (Jω)X (J ω)
=Y ( j )−X ( j) (2.5)
Misalkan :
Input vin (t ) A cos(0t ) maka output vout (t ) A |H ( jω)| cos( 0tH j)
2.2.3. Respon Frekuensi RL dengan Resistor sebagai Output
Rangkaian RL seri dengan resistor sebagai output seperti pada gambar 2.1.
16
Gambar 2.1. Rngkaian RL seri
Fungsi transfer dalam domain s :
H (S )= Vout(S)Vin(S)
= RR+SL
= 11+SL /R
Jika s = jω , maka fungsi transfer dalam domein frekuensi menjadi :
H ( j )= Vout ( j )Vin( j)
= 11+ j L/ R
sehingga respon frekuensi :
|H ( jω)|= 1
√1+( ωLR
)2
(2.6)
Sudut antara input dan output;
H (Jω )=−tg-1( LR
) (2.7)
Gambar respon frekuensi magnitude seperti pada gambar 2.2. :saat :
= 0 |H ( jω)|=1
= |H ( jω)| = 0
17
= R/L |H ( jω)| = 1
√2 frekuensi cut-off (2.8)
Gambar 2.2. Gambar respon frekuensi RL engan R sebagai output.
Respon sudut phasa seperti pada gambar 2.3. :
saat :
= 0 H ( jω)=¿ 00
= H ( jω)=¿ -900
= R/L H ( jω )=−45 0 frekuensi cut-off
Gambar 2.3. Respon sudut phasa RL
Rangkaian RL diatas sebagai Low Pass Filter (LPF).
2.2.4. Respon Frekuensi pada RL dengan L sebagai output
Fungsi transfer dalam domain s pada RL seri dimana L sebagi output seperti terlihat
pada gambar 2.4.:
18
Gmbar 2.4. Rangkaian RL seri dengan L sebagai output
Fungsi transfer dalam domein S adalah;
H (S )= Vout(S)Vin(S)
= SLSL+R
= 11+R/ SL
(2.9)
Jika s = jω , maka fungsi transfer dalam domein frekuensi menjadi :
H ( j )= Vout ( j)Vin( j)
= 11− jR / L
|H ( jω)|= 1
√1+( RωL
)2
(2.10)
Sudut phasa antara input dan output;
H (Jω )=−tg-1( RL
)
Gambar respon frekuensi magnitude seperti pada gambar 2.5.:saat :
= 0 |H ( jω)|=0
= |H ( jω)| = 1
= R/L |H ( jω)| = 1
√2 frekuensi cut-off
19
Ganbar 2.5. Respon frekuensi RL dengan L sebagai output
Untuk respon sudut phasa seperti pada gambar 2.6.
= 0 H ( jω)=¿ 900
= H ( jω)=¿ 00
= R/L H ( jω )=45 0 frekuensi cut-off
Gambar 2.6. Respon sudut phasa RL dengan L sebagai output.
Rangkaian RL diatas sebagai High Pass Filter (HPF).
2.2.5. Respon Frekuensi pada RC dengan R sebagai output
Fungsi transfer dalam domain s untuk rangkaian RC seperti gambar 2.7.:
Gambar 2.7. Rangkaian RC dengan R sebagai output
20
Fungsi transfer dalam domein S adalah;
H (S )= Vout(S)Vin(S)
= RR+1/SC
= 11+1 /SRC
(2.11)
Jika s = jω , maka fungsi transfer dalam domein frekuensinya menjadi :
H ( j )= Vout ( j )Vin( j)
= 11+1/ j RC
= 11− j /RC
|H ( jω)|= 1
√1+( 1ω RC
)2
(2.12)
Sudut phasa antara input dan output;
H (Jω )=−tg-1( −1RC
)
Gambar respon frekuensi magnitude sepertipada gambar 2.8 :
saat :
= 0 |H ( jω)|=0
= |H ( jω)| = 1
= R/L |H ( jω)| = 1
√2 frekuensi cut-off
21
Gambar 2.8. Respon frekuensi rangkaian RC dengan R sebagai output
sehingga respon sudut pasa seperti gambar 2.9. :
= 0 H ( jω)=¿ 900
= H ( jω)=¿ 00
= R/L H ( jω )=45 0 frekuensi cut-off
Gambar 2.9. respon sudut phasa RC seri dengan R sebagai output
Rangkaian RC diatas sebagai High Pass Filter (HPF).
2.2.6. Respon Frekuensi Rangkaian RC dengan C sebagai output
Gambar 2.10. Rangkaian RC dengan C sebagai output
22
Fungsi transfer dalam domain s :
H (S )= Vout(S)Vin(S)
= 1/sC1/sC +R
= 11+sRC
(2.13)
Jika s = jω , maka fungsi transfernya menjadi :
H ( j )= Vout ( j )Vin( j)
= 11+ j RC
= 11+ j RC
|H ( jω)|= 1
√1+( 1ω RC
)2
(2.14)
Sudut phasa input/output;
H (Jω )=−tg-1( 1RC
)
Gambar respon frekuensi magnitude seperti gambar 2.11. :
saat :
= 0 |H ( jω)|=1
= |H ( jω)| = 0
= R/L |H ( jω)| = 1
√2 frekuensi cut-off
Gmbar 2.11. respon frekuensi RC dengan C sebagai output
23
sehingga respon sudut phasa seperti gambar 2.12.
= 0 H ( jω)=¿ 00
= H ( jω )=−900
= R/L H ( jω )=−45 0 frekuensi cut-off
Gambar 2.12. respon sudeut phasa RC dimana C sebagai output
Rangkaian RC diatas sebagai Low Pass Filter (LPF).
2.2.7. Rangkaian RLC Seri dengan R sebagai output
Gambar 2.13. Rangkaian RLC dengan R sebagai output
Fungsi transfer dalam domain s :
H (S )= Vout (S)Vin(S)
= RR+sL+1/sC
= 1
1+ sLR
+1/ sRC(2.15)
Jika s = jω , maka fungsi transfernya menjadi :
H ( j )= Vout ( j)Vin( j)
= 1
1+ j LR
+1/ J RC=¿
1
1+ j LR
− j /RC= 1
1+ j /R( j L− 1C
)
24
|H ( jω)|= 1
√1+( ωL−1/ωCR
)2
(2.16)
H (Jω )=−tg-1( L−1/CR
)
Gambar respon frekuensi magnitude seperti gambar 2.14. :
saat :
= 0 |H ( jω)|=0
= |H ( jω)| = 0
ω= 1√LC
→¿
ω= R± √ R2+4 L /C2L
|H ( jω)|= 1√2
frekuensi cut-off (2.17)
Gambar2.14. Respon frekuensi RLC dengan R sebagai output
saat :
= 0 H ( jω)=¿ 900
= H ( jω )=−900
= R/L H ( jω )=00
25
ω= R± √ R2+4 L /C2L
|H ( jω)|= 450 frekuensi cut-off (2.18)
Gambar 2.15. respon sudut phasa RLC dengan R sebagai output
Rangkaian RLC diatas sebagai Band Pass Filter (BPF).
2.2.8. Rangkaian RLC Seri dengan LC sebagai output
Gambar 2.16. rangkaian RLC dengan LC sebagai output
Fungsi transfer dalam domain s :
H (S )= Vout (S)Vin(S)
= sL+1 /sCR+sL+1/sC
= 1
1+R /(sL+ 1sRC
)(2.19)
Jika s = jω , maka fungsi transfernya menjadi :
26
H ( j )= Vout ( j )Vin( j)
= 1
1+R/( j L+ 1j RC
)= 1
1− jR /(L− 1RC
)
sehingga respon frekuensi :
|H ( jω)|= 1
√1+( RωL−1/ωC
)2
(2.20)
Sudut phasa antara input dan output
H (Jω )=−tg-1( RL−1/C
)
Gambar respon frekuensi magnitude serti gambar 2.17 :
saat :
= 0 |H ( jω)|=1
= |H ( jω)| = 1
ω= 1√LC
→¿
ω= R± √ R2+4 L /C2L
|H ( jω)|= 1√2
frekuensi cut-off
27
Gambar 2.17. respon frekuensi RLC dengan LC sebagai output
Respon phasanya seperti pada gambar 2.18 :
saat :
= 0 H ( jω)=¿ 00
= H ( jω )=¿00
= R/L H ( jω )=900 frekuensi cut-off
ω= R± √ R2+4 L /C2L
|H ( jω)|= 450 frekuensi cut-off
Gambar 2.18. respon phasa RLC dengan LC sebagai output
Rangkaian RLC diatas sebagai Band Stop Filter (BSF).
2.2.7. Resonansi
Suatu rangkaian dikatakan beresonansi ketika tegangan terpasang V dan arus yang
dihasilkan I dalam kondisi satu phasa.
Misalkan :
V = Vm
I = Im
Dalam kondisi se phasa : α ° = β ° , sehingga :
28
Z=VI
= Vmℑ = Vm
ℑ −¿ Vmℑ 00 = Vm
ℑ (2.21)
Terlihat bahwa ketika V dan I satu phasa, impedansi yang dihasilkan seluruhnya
komponen riil atau impedansi kompleks hanya terdiri dari komponen resistor murni (R).
Dengan kata lain konsep resonansi adalah menghilangkan komponen imaginer /
reaktansi saling meniadakan.
Gambar 2.19 rangkaian seri RLC
2.2.7.1. Resonansi Seri
Dari gambar 2.19 Impedansi total: Ztotal = R + j (L – 1/C) (2.22)
saat resonansi :
L- 1/C = 0 L= 1/C
2 = 1
LC ω= 1√LC
fo= 12 π √LC
frekuensi resonansi (2.23)
Pada saat resonansi impedansi Z minimum, sehingga arusnya maksimum.
2.2.7.2. Resonansi Paralel
29
Gambar 2.20. Rangkaian RLC Paralel
Dari gambar 2.20, admitansi total :
Ytot al= 1Z total
= 1R
+ 1jωL
+ 11
jωC
= 1R
− jωL
+ jC
Ytotal= 1Z total
= 1R
+ j(C− 1ωL
)
saat resonansi :
C− 1ωL
=0 C= 1ωL
2 = 1
LC ω= 1√LC
fo= 12 π √LC
frekuensi resonansi (2.24)
Pada saat resonansi impedansi Z maksimum, sehingga arusnya minimum.
Gambar tersebut dapat diganti notasinya :
Gambar 2.21. Rangkaian admitansi parallel
Admitansi total :
Y = G + jBc – jBL , Y = G+ j(C – 1/L) (2.25)
30
2.2.8. Resonansi Paralel dua cabang
Rangkaian parallel dua cabang (seri parallel) seperti pada gambar 2.22.
Gambar 2.22. Rangkaian paraleldua cabang
Z 1=RL+ jωL
Z 2=RC− jωC
1Zt
= 1Z 1
+ 1Z 2
= 1RL+ jωL
+ 1
RC− jωc
Selanjutnya dicari frekuensi resonansi ketika reaktansi (jx) = 0. Dan didapat ferkuensi
resonansi;
fo=1
2 π √LC √ RL2− 1LC
RC 2− 1LC
(2.26)
2.2.9. Faktor Kualitas (Q)
Definisi (dasar) dari Q :
Q = 2energimaksimum yang di simpan
energi yangdisipasikan tiap getaran / percycle (2.27)
Faktor kualitas merupakan ukuran selektivitas rangkaian resonator dimana rangkaian
resonator merupakan rangkaian filter BPF dengan lebar pita/bandwidth sempit. Semakin
besar nilai Q maka semakin sempit lebar pita/bandwidth.
31
Pada Komponen RL
Gambar 2.22. rangkaian RL seri
Misalkan : i= Imsin t
Pada L : VL(t) = Ldidt
=ImωLcosωt
Energi : WL (t) = ∫0
t
Pl ( t ) dt=∫0
t
Vl ( t ) Il (t ) dt
WL (t) = ∫ Im2 sintωLcosωt dt = ½ Im2L sin2t (2.28)
Maksimum energi yang disimpan;
WL maks = ½ Im2L (2.29)
Pada R : VR(t) = RI(t)
Energi : WR(t) = ∫0
t
PR (t ) dt=¿∫0
t
V R (t ) IR ( t )dt ¿
WR(t) = RIm2
2 (t− 12ω
sin 2 ωt) T = (t− 12 ω
sin 2 ωt ) = 1/f
Energy yang disipasi percycle = RIm2
2.1/ f (2.30)
Jadi factor kualitas;
Q = 2energimaksimum yang di simpan
energi yangdisipasikan tiap getaran / percycle
Q=2 π ½ ℑ2 LRIm2
2.1 / f
=2 πf LR = L
R
Jadi faktorkualitas rangkaian seri RL adalah;
Q= oLR (2.31)
32
Pada Komponen RC
Misalkan : V C=V C sin t
Pada C :
i (t )= dVcdt
=CVmcos t
Energi :
Wc (t )=∫0
t
Pc (t ) dt=¿∫0
t
Vc (t ) i(t )dt ¿
Maksimum energi yang disimpan : Wmaks = ½ CV m2 Joule (2.32)
Gambar 2.23. rangkaian RC seri
Pada R :
Energi : Wc (t )=∫0
t
Pr ( t )dt=¿∫0
t
Vr ( t ) ic(t)dt ¿ =R(CVm)2∫0
t
cos2tdt
Energi yang didisipasikan per cycle :
W = ½ R(CVm)2 1/f , sehingga : (2.33)
Qc = 2energimaksimum yang di simpan
energi yangdisipasikan tiap getaran / percycle
Qc=2 π 1 /2 CVm2
1 /2 R(CVm)21/ f=2πf 1
ω2 RC= 1
ωRC
Jadi faktor kualitas untuk rangkaian seri RC :
Qc= 1ωoRC (2.34)
Dapat diambil kesimpulan bahwa faktor kualitas (Q) untuk rangkaian seri :
33
Qs= XsRs
Untuk rangkain seri RL :
Qs= oLR (2.35)
Untuk rangkaian seri RC :
Qs= 1ωoRC (2.36)
Pada Komponen RLC
Gambar 2.24. rangkaian RLC seri
Pada saat terjadi resonansi :
ω2= 1LC
→ ωL= 1ωC
Q= oLR =
1ωoRC (2.37)
Faktor kualitas atau Q pada rangkaian paralel agak berbeda dengan Q pada rangkaian
seri. Untuk harga RLC yang sama,
Qp= 1Qs
atau Qp= RpXp (2.38)
Pada Komponen RL
Q= RoL (2.39)
34
Gambar 2.25. rangkaian RL paralel
Pada Komponen RC
Untuk rangkaian paralel RC :
Q=oRC (2.40)
Gambar 2.26. rangkaian RC parallel
Pada Komponen RLC
Q= RoL
=oRC (2.41)
Gambar 2.27. rangkaian RLC parallel
2.2.9. Bandwidth (BW) 3dB
Lebar pita pada saat terjadi level dayanya adalah ½ dari daya maksimum
35
Gambar 2.28. lebar pita
Perhatikan gambar rangkaian berikut :
Gambar 2.29. rangkaian RLC seri
Fungsi transfer rangkaian diatas adalah sebagai berikut :
Vout ( j)Vin( j)
= R
R+ j(L− 1C
)= 1
1+ j( LR
− 1RC
)(2.42)
Jika rangkaian diatas mempunyai faktor kualitas rangkaian seri RLC dimana dinyatakan
dengan :
Q= oLR
LR
=Qo
(2.43)
Q= 1oRC
1RC
=Q o (2.44)
maka fungsi transfer diatas dapat dinyatakan dengan persamaan :
Vout ( j )Vin ( j )
= 1
1+ j( LR
− 1RC )
¿ 1
1+ j( Qo
− 1 Q o)
= 1
1+ jQ (o
− o) (2.45)
Respon frekuensi magnitudenya :
36
|H ( jω)|= 1
√1+Q2( ωωo
− ωoω
)2
(2.46)
saat level dayanya adalah setengah dari daya maksimum atau respon frekuensi
magnitudenya sebesar 1
√2 , maka:
|H ( jω)|= 1
√1+Q2( ωωo
− ωoω
)2=1/√2
Q2 ( ωωo
− ωoω
)2
= 1
ωωo
− ωoω = 1/Q
Sehingga didapat;
ω2− ωoQ
ω−ωo2=0
(2.47)
Dengan rumusABC dan dengan mengambil : ωo √1+(
12Q
)2>ωo2Q akan didapat;
ω1=ωo√1+(1
2Q)2−
ωo2Q
(2.48)
37
ω2=ωo√1+(1
2Q)2+
ωo2 Q
(2.49)
Dari gambar respon frekuensi magnitude diatas didapat bahwa :
BW=ω co 2−ω co 1=ω2−ω 1(2.50)
BW= ωoQ
(2.51)
Atau :
ω1=ωo− BW2 ; dan
ω2=ωo+ BW2
(2.52)
Faktor kualitas dapat juga dinyatakan sebagai perbandingan frekuensi resonansi
terhadap bandwidth.
Q= fof 2−f 1
= foBW
(2.53)
frekuensi resonansi 0 f adalah rata-rata geometri f1 dan f2 :
fo=√ f 1 f 2(2.54)
Contoh latihan :1. Suatu rangkaian seri RLC dengan R = 50Ω, L = 0,05H,C = 20μF terpasang pada V =
100∠0o dengan frekuensi variabel. Pada frekuensi berapa tegangan inductor mencapai
maksimum ? Berapakah tegangan induktor tersebut ?
38
Jawaban :
Tegangan induktor maksimum jika arus maksimum, arus maksimum jika Z minimum, Z
minimum terjadi saat resonansi.
Jawab;
fo= 12 π √0,05 x 20.10−6
=159,1 Hz
Zresonansi = R Imaks =V/Z =1000/50 = 20
VLmaks = Imaks x ZL
= 200 x L90 = 2fox0,05 = 10090
Soal-soal
1. Tentukan komponen RL agar terjadi resonansi pada gambar berikut!
2. Suatu rangkaian seri RLC dengan R = 50Ω, L = 0,05H,C = 20μF terpasang pada
V = 100∠0o Volt dengan frekuensi variabel. Pada frekuensi berapa tegangan
induktor mencapai maksimum ? Berapakah tegangan induktor tersebut ?
3. Rangkaian seri RLC dengan L = 0,5H mempunyai tegangan sesaat v =
70,7sin(500t + 30o )V dan arus sesaat i = 1,5sin(500t)A. Tentukan nilai R dan C
Berapa frekuensi resonansinya ?
39
BAB III
RANGKAIAN KUTUB EMPAT
3.1. Pendahuluan
Rangakaian kutub empat (K-4) adalah suatu rangkaian yang memiliki sepasang terminal
pada sisi input dan sepasang terminal pada sisi output (transistor, op amp, transformator dan
lainnya)
Gambar 3.1 Rangkaian kutub empat
Adapun teori rangkaian kutub empat (K-4) ini banyak dipergunakan pada jaringan (network)
yang dipergunakan dalam sistem komunikasi, sistem kontrol, system daya (power system) dan
rangkaian elektronik ( model-model transistor). Pada rangkaian kutub empat ini diperlukan
hubungan antara V1, V2 , I1 dan I2 yang saling independent, dimana berbagai macam hubungan
antara tegangan dan arus disebut sebagai parameter. Selanjutnya juga akan diperlihatkan
hubungan antara parameter-parameter dan bagaimana pula hubungan antara kutub empat (seri,
parallel dan kaskade).
3.2. Penyajian
3.2.1. Parameter Impedansi “z”
Parameter impedansi “z” ini pada umumnya banyak dipergunakan dalam sintesa filter, dan juga
dalam penganalisaan jaringan impedance matching dan juga pada distribusi sistem tenaga.
Rangkaian kutub empat ada dengan sumber-sumber tegangan ataupun sumber- sumber arus.
40
(a)
(b)
Gambar 3.2 (a) Rangkaian kutub empat dengan sumber tegangan ;
(b) Rangkaian kutub empat dengan sumber arus
Adapun bentuk hubungan tegangan dalam parameter impedansi ‘z’ ini adalah :
V1 z11I1 z12I 2
V2 z 21I1 z 22 I 2
dalam bentuk matrik :
[V 1V 2]=[Z 11 Z 12
Z 21 Z 22][ I 1I 2] (3.1)
Adapun “z” disebut sebagai parameter impedansi atau sering juga disebut dengan parameter “z”
yang satuannya dalam ohm. Untuk menentukan harga-harga dari parameter “z” ini dapat
dilakukan dengan membuat / mengatur besaran I1 = 0 ataupun I2 = 0. Untuk mendapatkan z12
dan z22 hubungkan tegangan V2 (ataupun sumber arus I2) pada terminal 2 dengan terminal 1
terbuka (atau I1 = 0), maka diperoleh :
Gambar 3.3 Rangkaian untuk menentukan parameter-parameter z12 dan z22
41
Z 12= V 1I 2 |I 1=0 (3.2)
Z 22= V 2I 2 |I 1=0 (3.3)
Sehingga :
Untuk mendapatkan z11 dan z21, pasangkan tegangan V1 (ataupun sumber arus I1) pada
terminal 1 dengan terminal 2 dibuka (atau I2 = 0) maka diperoleh :
Gambar 3.4. Rangkaian untuk menentukan parameter-parameter z11 dan z21
Z 11=V 1I 1 |I 2=0 (3.4)
Z 21= V 2I 1 |I 2=0 (3.5)
Sehingga :
Karena parameter “z” diperoleh dengan membuka (open) terminal input ataupun output
maka parameter ini sering juga disebut dengan parameter-parameter impedansi
rangkaian terbuka (open circuit impedance parameters), dan selanjutnya :
z11 = disebut impedansi input rangkaian terbuka (open circuit input impedance)
z12 = disebut transfer impedansi rangkaian terbuka dari terminal 1 ke terminal 2.
(open circuit transfer impedance from port 1 to port 2)
z21 = disebut transfer impedansi rangkaian terbuka dari terminal 2 ke terminal 1.
(open circuit transfer impedance from port 2 to port 1)
z22 = disebut impedansi output rangkaian terbuka (open circuit output impedance)
42
Terkadang z11 dan z22 disebut juga sebagai driving point impedances, sedangkan z21 dan z12
disebut juga transfer impedances. Suatu driving point impedance adalah impedansi input
dari suatu terminal peralatan, sehingga z11 adalah input driving point impedance dengan
terminal output terbuka, sedangakan z22 adalah output driving point impedance dengan
terminal input terbuka. Bilamana z11 = z22, maka rangkaian kutub empat (K-4) disebut
simetris, selanjutnya bilamana rangkaian kutub empat adalah linier dan tidak memiliki
sumber dependent maka impedansi transfer adalah sama (z12 = z21), maka rangkaian kutub
empat disebut resiprokal (reciprocal) dan ini berarti bilamana titik (terminal) eksitas dan
respons saling dipertukarkan maka transfer impedansi akan tetap sama. Sebagai ilustrasi
dapat dilihat pada gambar berikut ini :
Selanjutnya suatu rangkaian kutub empat yang bersifat resiprokal dapat digantikan dengan
rangkaian ekivalen dengan hubungan T.
Gambar 3.5 Rangkaian ekivalen parameter “z” yang bersifat resiprokal
Untuk rangkaian kutub empat dengan parameter “z” secara umum rangkaian
ekivalennya adalah sebagai berikut :
Gambar 3.6 Bentuk umum rangkaian ekivalen parameter “z”
43
Pada beberapa rangkaian terkadang tidak dapat dicari parameter “z” dari rangkaian
kutub empat-nya, hal ini disebabkan tidak dapat dibuat persamaan rangkaian kutub
empat-nya sebagaimana seperti Persamaan (6.1), misalnya seperti pada transformator
ideal yang rangkiannya seperti berikut :
V1 V2
Gambar 3.7 Transformator ideal tidak memiliki parameter “z”
Adapun persamaan kutub empat untuk rangkaian transformator ideal Gambar 3.7,
adalah :
V 1= 1n
V 2 (3.6)
I1 = - n I2 (3.7)
maka terlihat tidak mungkin mengekspresikan tegangan bila ditinjau dari arus dan demikian
pula sebaliknya, sehingga untuk kutub empat transformator ideal parameter “z” tidak ada.
Contoh :
Carilah parameter “z” dari rangkaian di bawah ini :
Jawab :
44
Untuk mendapatkan z11 dan z21, maka pasangkan sumber tegangan V1 pada
terminal input dan terminal output terbuka.
Z 11=V 1I 1 |I 2=0
Z 11= ( R 1+R 3 ) I 1I 1
=R 1+R 3=20+40=60 Ω
Z 21= V 2I 1 |I 2=0
Z 21= R 3 I 1I 1
=40 Ω
Untuk mencari z12 dan z22, maka V1 dibuka dan sumber tegangan V2 dipasangkan pada
terminal output, sehingga rangkaian menjadi :
Z 12= V 1I 2 |I 1=0
Z 12= R 3 I 2I 2
=R 3=40Ω
Z 22= V 2I 2 |I 1=0
Z 22=( R 2+R 3 ) I 2
I 2=R 2+R 3=30+40=70 Ω
45
Catatan : Terlihat hasil perhitungan z12 = z21, maka kutub empat di atas adalah simetris.
3.2.2. Parameter Admitansi “y”
Parameter admitansi “y” juga pada umumnya banyak dipergunakan dalam sitesa filter,
perencanaan penganalisaan matching network dan distrubusi sitem tenaga. Parameter
“y”, memperlihatkan arus-arus yang dinyatakan oleh tegangan terminal dengan
persamaan sebagai berikut :
I1 y11V1 y12 V2
I 2 y 21V1 y 22 V2
maka y11 ; y12 ; y21 ; y22 inilah yang disebut sebagai parameter-parameter admitansi
“y” dari kutub empat suatu rangkaian yang satuannya siemen [S], dan kalau disusun
dalam bentuk matrik adalah :
[ I 1I 2]=[Y 11 Y 12
Y 21 Y 22][V 1V 2] (3.8)
Untuk mendapatkan parameter-parameter “y” ini dapat dilakukan dengan membuat V1
= 0 ataupun V2 = 0. Untuk mendapatkan y11 dan y21 pasang sumber arus I1 pada
terminal input sedangkan terminal output dihubung singkat (V2 = 0).
Gambar 3.8 Rangkaian untuk menentukan y11 dan y21
Secara matematis dituliskan dengan :
Y 11= I 1V 1|V 2=0 (3.9)
46
Y21= I 2V 1|V 2=0 (3.10)
Untuk mendapatkan y12 dan y22, terminal input dihubung singkat (V1 = 0)
Gambar 3.9 Rangkaian untuk menentukan y12 dan y22
Maka secara matematis dapat dituliskan :
Y 12= I 1V 2 |V 1=0 (3.11)
Y 22= I 2V 2
|V 1=0 (3.12)
Karena parameter “y” ini diperoleh dengan melakukan hubung singkat pada terminal
input maupun pada terminal output, maka parameter ini sering juga disebut dengan
parameter-parameter admitansi rangkaian hubung singkat (short-circuit admitance
parameters), dimana : y11 = disebut sebagai admitansi input rangkaian hubung singkat.
(short circuit input admitance) y12 = disebut sebagai transfer admitansi rangkaian
hubung singkat dari terminal 2 ke terminal 1.(short circuit transfer admitance from port
2 to port 1) y21 = disebut sebagai transfer admitansi rangkaian hubung singkat dari
terminal 1 ke terminal 2.(short circuit transfer admitance from port 1 to port 2) y22 =
disebut sebagai admitansi output rangkaian hubung singkat (short circuit output
admitance) Selanjutnya y11 dan y22 sering juga disebut sebagai driving point
admittance sedangkan y12 dan y21 disebut sebagai transfer admitance. Suatu driving
point admittance adalah admitansi input suatu terminal peralatan, sehingga y11 adalah
admitansi input dengan terminal output terhubung singkat, dan y22 adalah admitansi
47
output dengan terminal input terhubung singkat. Untuk rangkaian kutub empat yang
linier dan tidak mengandung sumber-sumber dependent didalamnya, maka transfer
admitansi y12 = y21, dan dalam kondisi ini disebut rangkaian adalah resiprokal (lihat
parameter z). Untuk kutub empat parameter “y” yang resiprokal, maka rangkaian
ekivalennya (khusus yang resiprokal) merupakan rangkaian П.
Contoh :
Hitunglah parameter-parameter “y” dari rangkaian di bawah ini :
Jawab :
Untuk mencari y11 dan y21 maka hubung singkat terminal output dan pasangkan sumber
arus I1 pada terminal input.
dari rangkaian terlihat bahwa R1 paralel dengan R2 atau :
Rp 1=R 1 R 2
R 1+R 2= 4 x2
4+2= 4
3
Maka ;
V1 = I1Rp = 4/3 I1
sehingga menurut Persamaan (6.8) :
Y 11= I 1V 1|V 2=0
48
Y 11= I 1V 1
= I 14 /3 I 1
= 34
ʊ (mho)
dengan pembagian arus :
−I 2= R 1R 1+R 2
xI 1= 44+2
= 23
I 1 I 2=−23
I 1
maka Persamaan (6.9) :
Y21= I 2V 1|V 2=0
Y21=
−23 I 1
43 I 1
=−12
mho .
Untuk mendapatkan y12 dan y22 maka hubung singkat terminal input dan pasangkan
sumber arus I2 pada terminal output.
Dari rangkaian terlihat bahwa R2 paralel R3 sehingga :
Rp2=R2 R 3
R 2+R 3=2 x8
2+8=8
5Ω
Maka;
V2 = I2Rp2 =8/5 I2
maka menurut Persamaan (6.11) :
Y 22= I 2V 2
|V 1=0
Y 22= I 2V 2
= I 285
I 2= 5
8mho
dengan pembagian arus :
49
−I 1= R 3R 2+R 3
xI 2= 82+8
xI 2= 45
I 2 I 1=−45
I 2
maka menurut Persamaan (6.10) :
Y 12= I 1V 2 |V 1=0
Y 12= I 1V 2
=
−45 I 2
85 I 2
=−12
mho .
Ternyta Y21 = Y12 = - ½ , maka rangkaian merupakan rangkaian yang resiprokal,
dimana kalau digambarkan rangkaian ekivelennya (khusus resiprokal) adalah :
Rangkaian ekivalen secara umum :
3.2.3. Parameter “h”
Parameter “h” ini sering juga disebut dengan parameter Hibrid (Hybrid
parameters), parameter ini mengandung sifat-sifat dari parameter “z” dan “y”. Pada
sistem parameter “h” ini tegangan input dan arus output dinyatakan/ditinjau dari arus
input dan tegangan output. Adapun bentuk persamaan dari parameter “h” ini adalah :
V1 h11I1 h12V2
50
I 2 h 21I1 h 22V2
dalam bentuk matrik :
[V 1I 2 ]=[h11 h12
h 21 h22] [ I 1V 2] (3.13)
Untuk mendapatkan h11 dan h21 hubungkan sumber arus/tegangan pada input
sedangkan terminal output dihubung singkat.
Gambar 3.10 Rangkaian untuk mencari h11 dan h21
Secara matematis dituliskan dengan :
h 11=V 1I 1 |V 2=0 (3.14)
h21= I 2I 1|V 2=0 (3.15)
Selanjutnya untuk mendapatkan h12 dan h22 hubungkan sumber arus/tegangan pada
terminal output sedangkan terminal input dibuka.
Gambar 3.11 Rangkaian untuk mencari h12 dan h22
maka secara matematis dituliskan dengan :
h 12= V 1V 2
|I 1=0 (3.16)
51
h 22= I 2V 2
|I 1=0 (3.17)
h11 = disebut sebagai impedansi input hubung singkat. (short circuit input impedance)
h12 = disebut sebagai penguat tegangan balik rangkaian terbuka. (open circuit reverse
voltage gain)
h21 = disebut penguat arus maju rangkaian hubung singkat (short circuit forward current
gain)
h22 = disebut sebagai admitansi output rangkaian terbuka (short circuit output admitance)
dan apabila h12 = -h21 maka rangkaian kutub empat disebut sebagai rangkaian kutub empat
yang resiprokal. Selanjutnya untuk parameter “h” ini rangkaian ekivalennya adalah :
Gambar 3.12 Bentuk ekivalen dari parameter ‘h”
3.2.4. Parameter “g”
Parameter “g” sering juga disebut sebagai kebalikan / invers dari parameter “h”,
dimana dalam parameter “g” ini, arus input dan tegangan output dinyatakan /ditinjau dari
tegangan input dan arus output. Adapun bentuk persamaan parameter “g” ini adalah :
I1 g11V1 g12 I 2
V2 g 21V1 g 22 I 2
Dalam bentukmatrik ;
[ I 1v 2]=[ g11 g 12
g 21 g 22][V 1I 2 ] (3.18)
Untuk mendapatkan g11 dan g21 buka terminal output dan pasangkan sumber
tegangan V1 pada terminal input, seperti terlihat pada gambar di bawah ini :
52
Gambar 3.13 Rangkaian untuk menentukan harga-harga g11 dan g21
Secara matematis dituliskan dengan :
g11= I 1V 1
|I 2=0 (3.19)
g21= V 2V 1|I 2=0 (3.20)
Selanjutnya untuk mendapatkan g12 dan g22, hubung singkat terminal input dan
hubungkan sumber arus I2 pada terminal output seperti terlihat pada gambar di bawah
ini :
Gambar 3.13 Rangkaian untuk menentukan harga-harga g12 dan g22
g12= I 1I 2|V 1=0 (3.21)
Y 22= V 2I 2
|V 1=0 (3.22)
Pada parameter “g” ini selalu disebut :
g11 = admitansi input rangkaian terbuka (open-circuit input admitance)
g12 = penguat arus balik rangkaian hubung singkat (short-circuit reverse current gain)
g21 = penguat tegangan maju rangkaian terbuka (open-circuit forward voltage gain)
g22 = impedansi output rangkaian hubung singkat (short- circuit output impedance)
Adapun rangkaian ekivalen untuk parameter “g” ini diperlihatkan seperti pada Gambar
53
3.14, di bawah ini :
Gambar 3.14 Bentuk ekivalen dari parameter ‘g”
soal :
Carilah parameter “g” dari rangkaian berikut ini :
3.2.5. Parameter “ABCD”
Parameter ini sering juga disebut sebagai parameter transmisi (transmission parameters).
Pada sistem parameter ini, tegangan dan arus input dinyatakan / ditinjau dari arus dan
tegangan output dengan bentuk persamaan :
V1 AV2 BI 2
I1 CV2 DI2
bilamanana Persamaan (28) dan (29) disususun dalam bentuk matrik :
[V 1I 2 ]=[ A B
C D ][ V 2−I 2] (3.23)
maka A ; B ; C inilah yang disebut parameter-parameter dari sistem parameter “ABCD”,
yang satuannya dalam sistem [S], dimana :
54
∆ ABCD=∆ T =[ A BC D ]
yang disebut sebagai determinan dari parameter “ABCD”, dimana dalam keadaan resiprokal
berlaku :
AD – BC = 1 (3.24)
Adapun parameter-parameter dalam Persamaan (3.23) memberikan suatu ukuran bagaimana
suatu rangkaian memberikan tegangan dan arus dari suatu sumber ke beban yang digunakan
dalam analisa pada jaringan transmisi (kabel dan fiber) karena parameter-parameter ini
mengekspresikan variable-variabel pada sisi pengirim (V1 dan I1) yang dipandang dari
veriabel-variabel sisi penerima (V2 dan -I2). Oleh karena hal ini parameter “ABCD” sering
juga disebut sebagai parameter transmisi yang banyak dipergunakan dalam perencanaan
sistem telepon, microwave dan radar. Persamaan (3.23) dan (3.24) menyatakan hubungan
antara variable-variabel input (V1 dan I1) dengan variable-variabel output (V2 dan -I2), maka
sewaktu menghitung parameter-parameter “ABCD” lebih baik menggunakan tanda aljabar -
I2 daripada I2, hal ini disebabkan karena arus I2 yang sebenarnya adalah meninggalkan
rangkaian.
I1 - I2
+ +
V1 V2
- -
Gambar 3.15 Variabel terminal dalam parameter ABCD
Untuk menetukan A dan C, maka buka terminal output dan pasangkan sumber tegangan V1
pada terminal input seperti tergambar pada Gambar 3.16. di bawah ini :
I1 I2
55
+
-
Gambar 3.16. Rangkaian untuk menentuka A dan C dari parameter “ABCD”
Sehingga :
A=V 1V 2
|I 2=0 (3.25)
C¿ I 1V 2|I2=0 (3.26)
Sedangkan untuk mendapatkan B dan D, hubung singkat terminal output dan
pasangakan sumber tegangan V1 pada terminal input seperti terlihat pada Gambar 6.22.
Gambar 3.16 Rangkaian untuk menentukan B dan D pada parameter “ABCD”
B=−V 1I 2
|V 2=0 (3.27)
D¿− I 1I 2|V 2=0 (3.28)
dimana parameter-parameter :
A = sering disebut sebagai perbandingan tegangan rangkaian terbuka
(open-circuit voltage ratio)
B = sering disebut sebagai transfer impedansi negatif rangkaian hubung singkat.
C = sering disebut sebagai transfer admitansi rangkaian terbuka
(open-circuit transfer adimtance)
56
A=V 1V 2
|I 2=0
C¿ I 1V 2|I2=0
D = sering disebut sebagai perbandingan arus negatif rangkaian hubung singkat
(negative short-circuit ratio)
Contoh :
Carilah parameter “ABCD” dari rangkaian di bawah ini :
Jawab :
Untuk menghitung A dan C, pasangkan sumber tegangan V1 pada terminal input sedangkan
terminal output dibuka seperti rangkaian di bawah ini :
R1 = 0,5 Ω , R3 = 0,5 Ω
dari rangkaian di atas terlihat bahwa :
IR1= R 2+R 3R 1+R 2+R 3
I 1= 1+0,50,5+1+0,5
I 1=0,75 I 1
IR3= R 1R 1+R 2+R 3
I 1= 0,50,5+1+0,5
I 1=0,25 I 1
Sehingga;
V1 = R1xIR1= 0,375 I1
V2 = R3xIR3 = 0,125 I1 I1 = V2/0,125
Dengan demikian
A=V 1V 2
|I 2=0
57
A=V 1V 2
= 0,375 I 10,125 I 1
=3
C= I 1V 2
|I 2=0
C= I 1V 2
=
V 20,125V 2
=8mho
Untuk mencari B dan D, maka terminal output dihubung singkat, sedangkan V1
dipasangkan pada terminal input.
sehingga rangkaian ekivalennya menjadi :
maka :
V1 = R2 x (-I2 ) = 1.(-I2 ) = -I2
sehingga :
B=−V 1I 2
|V 2=0
B=−V 1I 2
=−−I 2I 2
=1
I 1=V 1R 1
+ V 1R 2
=V 10,5
+ V 11
=3V 1 = - 3 I2
Sehingga;
58
D¿− I 1I 2|V 2=0
D¿−−3 I 2I 2
=3
Soal – soal :
1. Tentukan parameter Z !
2. Tentukan parameter Y dalam jω !
3.Jika parameter g dituliskan sebagai berikut :
I1 = g11V1 + g12I2
V2 = g21V1 + g22I2
Tentukan g11, g12, g21, dan g22 dari rangkaian dibawa ini dalam domain jω !
59
4. Tentukan paraameter Z rangkain berikut :
BAB IV
RANGKAIAN GANDENG (KOUPLING) MAGNETIK
4.1. Pendahuluan
Bilamana dua buah rangkaian atau lebih yang terhubung secara langsung atau tidak satu sama
lainnya, akan tetapi mempunyai pangaruh antara satu sama lainnya secara magnetik,
diakibatkan adanya medan magnet disalah satu rangkaian tersebut, maka rangkaian tersebut
dikatakan rangkaian gandeng magnetik ( magnetically couple). Pada beberapa peralatan listrik
yang dibuat berdasarkan prinsip di atas, misalnya seperti transformator yang dipergunakan pada
sistem tenaga listrik yang fungsinya untuk mentransfer energi listrik dari suatu loop ke loop
yang lainnya pada frekuensi tetap. Transformator ini ada yang disebut sebagai transformator
penaik tegangan (step up) atau sebagai penurun tegangan (step down), dan selain itu
transformator juga banyak digunakan pada peralatan elektronika.
4.2. Penyajian
4.2.1. Induktansi Timbal Balik (Mutual Indutance)
Apabila dua buah induktor / kumparan / koil (N1 dan N2) yang berdekatan satu sama lainnya,
dan bilamana salah satu kumparan dialiri oleh arus (misalnya N1) tersebut akan timbul fluksi
60
magnetik, dimana fluksi ini ada yang merambat ke kumparan N2, yang mana fluksi yang
merambat ke kumparan N2 akan menimbulkan tegangan pada kumparan N2 (sering disebut
sebagai tegangan induksi), maka fenomena di atas dikenal dengan induksi timbal balik (mutual
indutance). Sebagai ilustrasi perhatikan gambar rangkaian di bawah ini :
Gambar 4.1 Fluksi magnetik yang dibangkitkan pada kumparan dengan N belitan.
Gambar di atas memperlihatkan sebuah kumparan dengan banyak belitan N. Bilamana arus i
mengalir melalui kumparan tersebut, maka disekeliling kumparan akan timbul fluksi magnetik
φ, dan berdasarkan hukum Faraday, pada kumparan akan terjadi tegangan induksi sebesar v
yang sebanding dengan perkalian jumlah belitan N dengan perubahan fluksi φ perwaktu, atau
dapat dinyatakan dengan :
V =N dqdt (4.1)
akan tetapi karena fluksi φ yang dihasilkan oleh arus I, maka dapat dikatakan perubahan
fluksi φ juga diakibatkan oleh perubahan arus, atau dituliskan dengan :
V =N dqdididt (4.2)
Sebagaimana diketahui bilamana sebuah induktor dialiri arus, maka akan terjadi tegangan pada
induktor tersebut sebesar :
VL=L didt (4.3)
karena v = vL, maka dari persamaan (5.2) dan (5.3) diperoleh :
61
L=N dqdi (4.4)
dimana L adalah persamaan (4.4) dikenal dengan induktansi diri (self-indutance). Selanjutnya
apabila dua buah kumparan dengan induktansi L1 dan L2 dimana jumlah belitan masing-masing
kumparan adalah N1 dan N2 saling didekatkan satu sama lainnya yang digambarkan sebagai
berikut :
Gambar 4.2 Induktansi timbal balik dari kumparan N2 terhadap kumparan N1
Untuk penyederhanaan, maka diasumsikan kumparan N2 tidak dialiri arus. Oleh karena
kumparan N1 dialiri oleh arus, maka pada kumparan N1 ini timbul fluksi φ1, dimana fluksi ini
terbagi menjadi dua bagian yaitu φ11 dan φ12. Fluksi φ11 ini adalah fluksi yang hanya melingkupi
N1, sedangkan fluksi φ12 adalah fluksi yang berasal dari kumparan N1 yang melingkupi
kumparan N2. Sehingga dengan demikian besar fluksi yang timbul pada kumparan N1 akibat
adanya arus yang mengalir pada kumparan ini dapat dituliskan dengan :
1 = 11 + 12 (4.5)
maka walaupun kedua kumparan ini secara fisik terpisah, akan tetapi mereka dikatakan
terhubung secara magnetik. Karena adanya φ1, maka pada kumparan N1 terjadi tegangan induksi
sebesar :
62
V 1= dQ 1dt (4.6)
Selanjutnya karena adanya φ12, maka pada kumparan N2 akan timbul juga tegangan induksi
sebesar :
V 1= dQ 12dt (4.7)
Adapun fluksi-fluksi yang ada pada kumparan N1, disebabkan oleh karena adanya arus i1 yang
mengalir pada kumparan N1, yang mana fluksi ini akan menimbulkan tegangan induksi v1 pada
kumparan N1 seperti yang diperlihatkan oleh Persamaan (4.6). Oleh karena itu Persamaan (4.6)
ini dapat dibuat dalam bentuk :
V 1=L 1 di1dt (4.8)
Dimana;
L 1=N 1 dQ 1dt (4.9)
disebut sebagai induktansi diri (self-indutance) dari kumparan N1. Demikian pula halnya degan
Persamaan (4.8) dapat dubuat dalam bentuk :
V 2=N 2 dQ 12 di1di 1 dt (4.10)
bila dimisalkan :
M 12=N 2 dQ 12di1 (4.11)
maka Persamaan (4.11) menjadi :
V 2=M 12 di1dt (4.12)
dimana M21 ini disebut sebgai induktansi timbal balik dari kumparan N2 akibatnya φ12 dari
kumparan N1, dimana subskrit 21 mengindikasikan hubungan tegangan induksi pada kumparan
N2 dengan arus pada kumparan N1. Selanjutnya apabila arus i2 yang mengalir pada kumparan
N2, seperti gambar berikut ini:
63
Gambar 4.3 Induktansi timbal balik M12 pada kumparan N1 yang diakibatkan kumparan N2
Apabila kumparan N2 dialiri arus i2, maka pada kumparan N2 ini timbul fluksi φ2, dimana fluksi
ini terbagi menjadi dua bagian yaitu φ22 dan φ21. Fluksi φ22 adalah fluksi yang hanya melingkupi
N2 sedangkan fluksi φ21 adalah fluksi yang bersasal dari kumparan N2 yang melingkupi
kumparan N1. Sehingga dengan demikian besar fluksi φ2 yang timbul pada kumparan N2 akibat
adanya arus i2 yang mengalir pada kumparan ini dapat dituliskan dengan :
2 = 22 + 21 (4.13)
Karena adanya2 , maka pada kumparan N2 terjadi tegangan induksi sebesar :
V 1= dQ 2dt (4.14)
selanjutnya karena adanya21 pada kumparan N1, maka pada kumparan N1 akan timbul juga
tegangan induksi sebesar :
V 1=N 1 dQ 21dt (4.15)
Adapun fluksi-fluksi yang ada pada kumparan N2, disebabkan oleh karena adanya arus i2 yang
mengalir pada kumparan N2, yang mana fluksi ini akan menimbulkan tegangan induksi v2 pada
kumparan N2 seperti yang diperlihatkan oleh Persamaan (4.15), oleh karena itu Persamaan
(4.15) ini dapat dibuat dalam bentuk :
64
V 2=N 2 dQ 2 di2di 2dt
=L 2 di 2dt (4.16)
Dimana;
L 2=N 2 dQ 2di2 (4.17)
disebut sebagai induktansi diri (self-indutance) dari kumparan N2. Karena pada kumparan N1,
hanya ada 21 , dimana fluksi ini timbul karena adanya arus i2 yang mengalir pada kumparan
N2, oleh sebab itu Persamaan (16) dapat dituliskan :
V 1=N 1 dQ 21 di2di 2 dt
=M 12 di2dt (4.18)
Dimana;
M 12=N 1 dQ 21di2 (4.19)
M12 disebut sebagai induktansi timbal balik (mutual-indutance) dari kumparan N1 akibat
adanya fluksi21 dari kumparan N2. Dari penganalisaan M21 dan M12, maka dapat disimpulkan
bahwa induktansi timbal balik terjadi karena adanya tegangan induksi pada suatu rangkaian,
akibat adanya perubahan arus perwaktu pada rangkaian lainnya. Hal ini merupakan sifat
induktor, dimana pada suatu induktor akan terjadi tegangan induksi akibat adanya arus yang
merupakan fungsi waktu yang mengalir pada induktor lain yang dekat dengannya, sehingga
dapat dikatakan :
Induktansi timbal balik M yang satuannya dalam henry [H] adalah ukuran kemampuan suatu
induktor untuk menginduksikan tegangan pada induktor lain yang berdekatan dengannya.
Walaupun induktansi timbal balik M selalu merupakan besaran positif, akan tetapi tegangan
timbal balik M di/dt bisa berharga positif atau negatif. Adapun salah satu cara untuk menentukan
tanda aljabar dari M di/dt bila arah belitan terlihat dengan jelas adalah dengan hukum tangan
kanan dari Lenz yang mengatakan :
Apabila konduktor diletakkan pada telapak tangan, dan ibu jari-jari tangan menggenggam
kumparan searah dengan arah belitan kumparan maka jari telunjuk menunjukkan arah arus,
65
sedangkan ibu jari menunjukkan arah fluksi.
(a)
(b)
Gambar 4.4 Aturan tangan kanan (a) untuk tanda M positif (b) untuk tanda M negatif
4.2.2. Aturan Dot
Selain aturan dari tangan kanan Lenz untuk menentukan tanda aljabar dari M di/dt masih ada yang
disebut aturan Dot (titik), yang mengatakan :
1. Bilamana kedua arus dalam rangkaian gandeng magnetik sama-sama menuju tanda dot atau
sama-sama meninggalkan tanda dot, maka tanda aljabar dari M di/dt adalah positif.
66
(a) (b)
Gambar 4.5 Aturan dot untuk arus sama-sama menuju atau meninggalkan tanda dot
(a) Sama-sama menuju tanda dot (b) Sama-sama meninggalkan tanda dot
2. Apabila salah satu arus menuju tanda dot, sedangkan yang lain meninggalkan tanda dot,
maka tanda aljabar dari M di/dt adalah negatif.
Gambar 4.6 Arus menuju tanda dot dan yang lain meninggalkan tanda dot
Catatan;
Adapun yang dimaksud dengan arus menuju tanda dot adalah bilamana tanda panah arus lebih
dahulu mengenai tanda dot baru kemudian tanda kumparan. Sedangkan yang dimaksud arus
meninggalkan tanda dot adalah apabila tanda panah arus lebih dahulu mengenai tanda
kumparan baru kemudian mengenai tanda dot.
67
Gambar 4.7 Menentukan arus menuju atau meninggalkan tanda dot
4.2.3. Energi Pada Rangkaian Gandeng Magnetik
Sebagaimana diketahui bahwa energi yang tersimpan pada suatu inductor adalah :
W =12
L I 2 Joule (4.20)
maka untuk menentukan energi yang tersimpan pada suatu rangkaian gandeng magnetik,
perhatikan gambar berikut ini :
Gambar 4.8 Rangkaian untuk memperlihatkan energi yang tersimpan dalam Rangkaian gandeng
Adapun pada reangkaian gandeng di atas, diasumsikan bahwa arus-arus i1 dan i2 awalnya adalah
nol, sehingga energi yang tersimpan (energy stored) dalam setiap kumparan adala nol.
Kemudian arus i1 dinaikkan/ diperbesar dari nol sampai I1 sedangkan i2 tetap nol, maka daya
pada kumparan L1 adalah :
P 1 ( t )=V 1 I 1=i1 L 1 di1dt
68
maka energi yang tersimpan dalam kumparan L1 adalah :
W 1=∫P 1dt=L1∫0
i 1
i1di1=12
L1 I1 2 joule (4.21)
selanjutnya harga i1 = I1 dipertahankan tetap, maka kemudian arus i2 dinaikkan dari nol sampao
I2, maka tegangan induksi timbal balik pada kumparan L1 adalah M12 di2/dt sedangkan
tegangan induksi bersama pada kumparan L2 adalah nol (karena i1 tidak berubah dengan
perubahan waktu).
sedangkan energi pada kumparan L2 ini adalah :
W 2=∫P 2dt=M 12 I 1∫0
i2
di2+L 2∫0
i 2
i 2di2=M 12 I 1 I 2+¿ 12
L2 I 2 2¿ joule (4.22)
Maka total energi yang tersimpan pada kedua kumparan, bilamana arus i1 dan i2
memiliki harga yang konstan adalah :
W = W1 + W2 = 12
L1 I 12+M 12 I 1 I 2+ 12
L2 I 22 Joule (4.23)
Seandainya peninjauan dibalik, yaitu arus i2 terlebih dahulu dinaikkan dari nol
sampai I2 dan kemudian barulah i1 dinaikkan dari nol sampai I1, maka total energi yang
tersimpan pada kedua kumparan adalah :
W = 12
L1 I 12+M 12 I 1 I 2+ 12
L2 I 22 Joule (.24)
terlihat bahwa energi total yang tersimpan pada kedua kumparan pada Persamaan (4.23)
dan (4.24) adalah sama, dan bilamana kedua persamaan ini disamakan, akan diperoleh :
M12 = M21 = M
sehingga dapat dituliskan :
W = 12
L1 I 12+ 12
L2 I 22 M 12 I 1 I 2 (4.25)
Pada Persamaan (4.28) tanda aljabar M diambil positif sesuai dengan Gambar 4.8, dimana
kedua arus i1 dan i2 sama-sama menuju tanda dot, akan tetapi seandainya Gambar 4.8, seperti
69
berikut :
Gambar 4.9 Rangkaian untuk memperlihatkan energi yang tersimpan dalam
rangkaian gandeng
maka Persamaan (4.25) menjadi :
W = 12
L1 I 12+ 12
L2 I 22 - MI 1 I 2 (4.26)
maka secara umum dapat dituliskan :
W = 12
L1 I 12+ 12
L2 I 22 MI 1 I 2 (4.27)
Catatan; ditentukan oleh aturan dot.
Adapun energi yang tersimpan pada rangkaian gandeng (kumparan) tidak pernah berharga
negatif. Hal ini kaena induktor adalah merupakan kmponen pasif. Ini berarti bahwa besaran
pada sisi kanan Persamaan (4.27) ini tidak akan pernah negatif (lebih besar atau sama
dengan nol) :
12
L1 I 12+ 12
L2 I 22 - MI 1 I 2 ˃ 0 (4.28)
Bilamana Persamaan (4.28) ini ditarik akarnya, dan kemudian kedua sisinya ditambahkan
dan dibagikan dengan i1 i2√ L1 L2 , maka akan diperoleh :
√ L1 L2 - M ≥ 0 (4.29)
M ≤ √ L1 L2
70
maka dari Persamaan (4.29) ini terlihat bahwa harga induktansi timbal balik M tidak akan
pernah lebih besar dari induktansi diri L1 dan L2, dan adapun batas limit / harga yang paling
besar dari M dinyatakan dengan :
K= M√ L1 L 2
(4.30)
M=K √ L1 L2
dimana k disebut sebagai koefisien gandeng k (coefficient of coupling k) dari kumparan
yang harganya adalah 0 ≤ k ≤ 1 atau ekivalen dengan 0 ≤ k ≤ √ L1 L2 . Koefisien gandeng
ini adalah perbandingan antara fluksi yang merambat ke suatu kumparan dengan fluksi total
dari kumparan itu sendiri, sehingga dapat dituliskan dengan:
K= Q 12Q 1
= Q12Q 22+Q 21 (4.31)
K= Q 21Q 2
= Q12Q 22+Q 21 (4.32)
dengan demikian dapat dikatakan bahwa :
Koefisien gandeng adalah ukuran dari kemampuan gandeng magnetik antara
dua kumparan. 0 ≤ k ≤ 1
Contoh :
Suatu rangkaian gandeng magnetik seperti di bawah ini :
Carilah bentuk persamaan tegangan pada rangkaian gandeng di atas dalam wawasan
waktu dan wawasan frekuensi
71
Jawab :
Rangkaian sperti di atas adalah rangkaian dalam wawasan waktu, maka manurut
hukum tegangan Kirchhoff, persamaan tegangan pada :
Loop 1 :
V 1=R 1i 1+L1 di1dt
+ M di2dt
Loop 2;
V 2=R 2 i2+L 2 di2dt
+M di 1dt
Dalam wawasan frekuensi, rangkaiannya adalah :
Rangkaian seperti di atas adalah rangkaian dalam wawasan frekuensi, maka
menurut hukum tegangan Khirchoff, persamaan tegangan pada :
Loop 1 : V1 = R1I1 + jωL1I1 + JωMI2 = ( R1 + JωL1 ) I1 + JωMI2
72
Loop 2 : V2 = JωMI1 + R2I2 + jωL2I2 = JωMI1 + ( R2 + JωL2 ) I2
Contoh :
Hitunglah berapa besar arus phasor I1 dan I2 pada rangkaian di bawah ini :
Jawab :
Persamaan tegangan pada loop 1 :
V = jXL1I1 - jXCI1 - jXMI2 atau V = ( jXL1 - jXC )I1 - jXMI2
12 0o = ( j5 j4).I1 - j3.I2 = j1.I1 - J3.I2
12 0o = 1900 I1 - 3900.I2 …………….(a)
Persamaan tegangan pada loop 2 :
0 = -jXMI1 + R.I2 + jXL2I2 atau 0 = -jXMI1 + (R + jXL2 ).I2
0 =- j3.I1 + (12 + j6).I2 atau 0 = 3-900.I1 +13,4126,560.I2 …… (b)
Gabung Persamaan (a) = (b), maka diperoleh :
I1 = 13,029-49,630 A
I2 = 2,8913,890 A
Contoh :
73
Perhatikan rangkaian di bawah ini :
Carilah harga k dan energi yang tersimpan dalam rangkaian gandeng ini selama 1 detik.
Jawab :
Besar konstanta gandeng k adalah :
K= M√ L1 L 2
K= 2,5√5 x 4
=0,56
Untuk mencari energi yang tersimpan dalam rangkaian gandeng ini, maka semua
besaran yang ada dalam rangkaian harus besaran wawasan frekuensi.
Disini ω = 4 rad/det
Wawasan Waktu Wawasan Frekuensio
60 cos (4t + 30 )
o
60 30L1 = 5 H j ωL1 = j 20 Ω
L2 = 4 H j ωL2 = j16 Ω
C = 0,0625 F 1/j ωC = -j4 Ω
R = 10 Ω R = 10 Ω
M = 2,5 H j ωM = j10 Ω
Maka rangkaian dalam wawasan frekuensi adalah :
74
Persamaan Loop 1 :
V = (R + jL1).I1 + jM.I2
(10 + j20).I1 + j10.I2 = 60300 .. (a)
Persamaan Loop 2 :
jM.I1 + (jL2 - jC).I2 = 0
j10.I1 + ( j16 - j4).I2 = 0 … (b)
Gabung (a) dan (b)
I1 = - 3,904 160,60 A ; dan I2 = 3,255 160,6 A
Dalam wawasan waktu (time domain), maka :
i1 = 3,903 cos (4t -19,390) A dan i2 = 3,255 cos (4t +160,60) A
Untuk : t = 1 detik → maka : 4t = 4 rad.= 4 x 57,3o = 229,2o
sehingga :
i1 = 3,903 cos (229,20 -19,390) = 3,903 cos (209,810) = -3,386 A
i2 = 3,255 cos (229,20 +160,60) = 3,225 cos (389,80 ) = 2,824 A
sehingga total energi yang tersimpan pada rangkaian gandeng ini :
75
W = 12
L1 I 12+ 12
L2 I 22 + MI 1 I 2
W = 12 (5)( 3,386)2 +
12 (4)(2,824) + (2,5)( 3,386)(2,824)
W = 20,706 J
4.2.4. Transformasi Linier
Transformator adalah suatu peralatan listrik yang menggunakan fenomena dari induktansi
timbal balik, dimana pada umumnya transformator memiliki empat terminal yang terdiri
dari dua atau lebih kumparan, sebagai ilustrasi perhatikan rangkaian di bawah ini :
Gambar 4.10 Transformator linier
Kumparan N1 yang langsung dihubungkan ke sumber tegangan disebut sebagai kumparan
primer, sedangkan kumparan N2 yang dihubungkan ke beban ZL disebut sebagai kumparan
sekunder, sedangkan R1 dan R2 menyatakan rugi-rugi disipasi daya pada kumparan-
kumparan. Suatu transformator dikatakan linier, apabila kumparan-kumparan dililitkan pada
material magnet yang linier (material yang memiliki permebilitas magnet yang konstan,
misalnya udara, bakelit, kayu, plastik dan lainnya). Transformator linier ini juga sering
disebut dengan transformator dengan inti udara (air-core transformers), yang banyak
dipergunakan pada pesawat televisi dan radio. Perlu dicari impedansi input [Z in] yang
dilihat dari sisi sumber, karena impedansi input ini mempengaruhi sifat dari rangkaian
76
primer. Selanjutnya perhatikan Gambar 7.10, maka menurut hukum tegangan Khirchhoff
dapat dituliskan :
V = (R + jL1).I1 - jM.I2 … (a)
0 = -jL1.I1+ (R2 + jL2 + ZL ).I2 (b)
Gabung (a) dan (b),
Zin= VI 1
=( R+ jωL1 )+ ω2 M 2
(R2+ jω L2+Z L)(4.33)
Terlihat dari Persamaan (4.33) terbagi menjadi dua bagian, dimana bagian (1)
merupakan impedansi primer, sedangkan bagian (2) menyatakan adanya kopling antara
belitan primer dan sekunder dan ini menyatakan seolah-olah impedansi ini direpleksikan
ke sisi primer, sehingga impedansi ini sering disebut dengan impedansi refleksi (relected
impedance) ZR :
ZR= ω2 M 2
(R2+ jω L2+ZL)(4.34)
Terlihat dari Persamaan (4.33) dan (4.34) bahwa penempatan tanda dot tidak
berpengaruh pada suatu transformator, karena hasilnya akan sama dengan menempatkan
M ataupun –M.
4.2.5. Rangkaian Ekivalen Transformator Linier
Ada saatnya diperlukan rangkaian ekivalen yang menggantikan gandeng secara
magnetik dengan rangkaian yang terhubung langsung (non magnetik), yang dapat dibuat
rangkaian ekivalennya dalam hubungan T atau П seperti di bawah ini :
77
Gambar 4.11 Transformator linier (a) Rangkaian ekivalen ; (b) Hubungan “T” ; (c) Hubungan “П”
Dari Gambar 4.11a, adalah rangkaian tergandeng secara magnetik, dan dapat
dituliskan persamaan tegangan pada setiap loop, yaitu :
V1 = jL1I1 + jMI2
V2 = jMI1 + jL2I2
Atau;
[V 1V 2]=[ jωL1 jωM
jωM jωL2] [I 1I 2] (4.35)
Dan;
78
[ I 1I 2]=¿ (4.36)
Adapun persamaan tegangan pada Gambar 4.11b, dapat dituliskan sebagai :
Persamaan tegangan pada loop 1 adalah :
V1 = j(La + Lb )I1 + jMI2
Persamaan tegangan pada loop 2 adalah :
V2 = jMI1 + j(Lb + Lc )I2
bila disusun dalam bentuk matrik :
[V 1V 2]=[ jω(La+Lb) jωM
jωM jω(Lb+Lc )][ I 1I 2] (4.37)
Maka dikatakan rangkaian Gambar4. 11.a memiliki rangkaian ekivalen hubungan
T, bilamana persamaan (4.36) identik dengan persamaan (4.37), hal ini hanya bisa
terpenuhi apabila harga-harga :
La = L1 – M
Lc = M
Lb = L2 – M
Selanjutnya untuk rangkaian ekivalen hubungan Π (delta) berlaku hubungan
sebagai berikut :
(lihat Gambar 4.11c). Dengan menggunakan metode tegangan simpul maka diperoleh :
[ I 1I 2]=[( 1
jωLA+ 1
jωLc) ( −1
jωLc)
( −1jωLc
) ( 1jωLB
+ 1jωLc
)][V 1V 2] (4.38)
79
Maka dengan menyamakan matrik admitansi dari Persamaan (4.37) dan (4.38),
maka diperoleh :
LA=L1 L2−M 2
L2−M
LB=L1 L2− M2
L1−M
LC=L1 L2−M 2
M
Contoh :
Dari rangkaian dibawah ini carilah besar impedansi input dan arus I1
Jawab :
Adapun besar impedansi input :
Zin= VI 1
=( R+ jωL1 )+ ω2 M 2
(R2+ jω L2+Z L)
Zin= VI 1
=(60+ j100 )+ j 20+ 52
¿¿
Zin= VI 1
=(60+ j100 )+ j 20+ 52
¿¿
80
Zin = (59,991- j79,833) = 99,86 - 53,070 Ω
I= VZin
=¿I50 60
99,86−53,07 = 0,5113,070 A
Contoh :
Carilah rangkaian ekivalen hubungan Π dari rangkaian transformator
linear
dibawah ini :
Jawab :
Dalam hubungan T berlaku :
La = L1 – M = 10 – 2 = 8H
Lc = M = 2H
Lb = L2 – M = 4 – 2 = 2H
maka rangkaian ekivalennya :
81
Contoh :
Carilah rangkaian ekivalen hubungan Π dari rangkaian transformator
linear
dibawah ini :
Jawab :
Dalam hal ini :
LA=L1 L2−M 2
L2−M = 10 x 2−22
4−2 = 18H
LB=L1 L2− M2
L1−M = 10 x 2−22
10−2=4,5 H
LC=L1 L2−M 2
M=10 x 2−22
4−2 = 18H
Rangkaian ekivalennya adalah :
Rangkaian ekivalennya adalah :
82
Soal – soal :
1. Tentukan daya yang didisipasikan pada resistor 1Ω !
2. Tentukan arus I1 dan I2 !
3. Tentukan n sehingga terjadi transfer daya maksimum pada resistor 8kΩ !
BAB V
83
RANGKAIAN TRANSIENT
5.1. Pendahuluan
Biasanya suatu sistemmengalami dua keadaan (kondisi) yaitu keadaan peralihan atau
perubahan (transient) dan keadan tetap atau mantap (steady state).
Keadaan transien yaitu keadaan perubahan suatu system karena kondisi tertentu
misalnya saat akan dioperasikan atau saat akan dimatikan. Keadaan tetap atau mantap
(stedy state) yaitu keadaan setelah keadaan transient system berahir.
Untuk system yang mengandung elemen-elemen inductor dan kapasitor, keadan
transient membutuhkan waktu yang cukup lama untuk kembali ke keadaan mantap,
sedangkan system yang hanya mengandung elemen resistor keadaan peralihan
(transient) tidak membutuhkan waktu untuk kembali ke keaadaan mantap.
Untuk menganalisa keadaan transient suatu rangkaian digunakan persaman deferensial
atau persamaan Laplace.
5.2. Penyajian
5.2.1 Kondisi Awal
Dalam analisa rangkaian transient perlu dibedakan tiga daerah waktu yaitu:
1. Sesaat sebelum dilakukan perubahan pada rangkaian yang dilambangkan dengan t(0-).
2. Saat terjadinya perubahan yang dilambangkan pada saat t(0).
3. Sesaat setelah terjadinya perubahan yang dilambangkan pada saat t(0+).
Keadaan awal dan keadaan setelah terjadi perubahan sangat diperlukan agar konstanta
sembarang yang muncul dalam penyelesaian umum dari persamaan diferensial dapat
dihitung. Sebagaimana diketahui bahwa penyelesaian umum suatu persamaan diferensial
orde satu akan berisikan satu konstanta sembarang dan untuk persamaan diferensial orde
84
dua akan berisikan dua buah konstanta sembarang. Sifat komponen R, L dan C pada
Kondisi awal dan setelah perubahan seperti terlihat pada gambar berikut.
Ganmbar 5.1. sifat-sifat komponen R,L,C pada kondisi awal dan kondisi sesudah Transient
5.2.2. Transient Rangkaian dengan sumber DC
5.2.2.1. Rangkaian seri RL
Untuk menentukan respon transient rangkaian seri RL dengan sumber DC dapat
dijelaskan sbb;
L
R
V
S
Mula-mula rangkaian dalam keadan terbuka, kemudian pada saat t =0, S ditutup maka
menurut hokum Kirchoff, diperoleh;
V =Ri (t )+L didt (5.1)
85
VR
=i ( t )+ LR
didt
di
i (t )− VR
=−RL
dt
Di integral;
∫ di
i (t )− VR
=∫−RL
dt
ln (i−VR )=−R
Lt +K
(i− VR )=e
−RL t + K(i− V
R )=eK e− R
L t jika eK = K’ maka
(i− VR )=K ' e
−RL t
i (t )= VR
+K ' e−R
L t, untuk t = 0 maka didapat i(0) = 0 sehingga K’ = -V/R jadi;
Persamaan umum transien seri RL adalah;
i (t )= VR
¿) (5.2)
Persamaan diatas memperlihatkan dua keadaan yaitu kedaan steadi state ¿ ) dan keadan
transient ( VR
e−R
L t¿ respon arus dapat digambarkan sebagai berikut;
I ( A)
V/R Isst
I(t)=Isst + I(t) = VR
¿)
86
0 1 2 3 4 5 t (dtk)
gambar 5.2. Respon arus transient pada RL seri
konstanta waktu (time constant) transient adalah TC = L/R. sesudah 5 TC,
keadaan transient sudah berahir dan system dalam keadaan steady state.
tegangan transient pada elemen-elemen RL diperoleh dari persamaan arus. Tegangan
pada resistor (R)adalah;
VR=I . R=¿ (5.3)
Tegangan pada inductor adalah;
VL=L didt
=V e−R
L t(5.4)
Respon VR dan VL pada rangkaian RL seri adalah;
Tegangan (V)
V
VR
VL
0 1 2 3 4 5 T (dtk)
Gambar 5.3. Respon tegangan transient pada RL
Daya dalam RL seri pada saat transient untuk elemen R adalah;
PR=V R I=V 2
R(1−2e
−RL t
+2 e−2 R
L t) (5.5)
Daya pada elemen L;
PL=V L I=V 2
R(e
−RL t
−e−2 R
L t) (5.6)
5.2.2.2. Transient Rangkaian seri R- C
87
Untuk menganalisa arus/ tegangan transient yang terjadi dalam rangkaian R-C seri seperti
gambar , dapat dilakukan sebagai berikut;
R
C
V
S
Gambar 5.4. rangkaian RC seri
Mula-mula rangkaian dalam keadaan terbuka, kemudian pada saat t = 0 S ditutup, dan
jika kapasitor belum bermuatan(Q0 =0) maka menurut hukum Kirchoof berlaku
persamaan sebagai berikut;
V =Ri (t )+ 1C
i (t )dt (5.7)
Deferensial;
R didt
+i ( t )C
=0 dii
=−1RC
dt
Di integralkan;
∫ dii
=−¿∫ 1RC
dt ¿
ln i ( t )= − tRC
+K
Atau;
i (t )=e−tRC + K
i (t )=eK e−tRC jika dialmbil eK = K’, maka;
i (t )=K ' e−tRC
88
Untuk menentukan nilai K’ diambil t = 0 sehingga nilai i(0) didapat dari;
V =Ri (0 )+ 1C
i (0 ) d 0 i(0) = V/R sehingga K’ = V/R. jadi persamaan arus transient dalam
rangkaian seri R-C adalah;
i (t )= VR
e−tRC (5.8)
Respon arus dalam rangkaian seri R-C seperti gambar berikut;
I (A)
V/R
i (t )= VR
e−tRC
0 1 2 3 4 5 t (dtk)
Gambar 5.5. Respon transient RC seri
konstanta waktu (time constant) transient pada rangkaian RC adalah TC = RC. sesudah
5 TC, keadaan transient sudah berahir dan system dalam keadaan steady state.
Hubungan tegangan transient dalam rangkaian seri R-C yakni;
VR = i(t)R = Rx VR
e−tRC = Ve
−tRC (5.9)
VC = 1C
i (t )dt = ∫ VR
e−tRC dt = V (1-e
−tRC ) (5.10)
Respon tegangan transient dalam rangkaian seri R-C adalah;
Tegangan (V)
V
89
Vc = V(1-e-t/RC
VR = Ve-t/RC
t (dtk)
Gambar 5.6. Respon transient tegangan pada RC
Daya transient Dalam rangkaian R-C adalah;
PR =VRxi(t) =V 2
R e
−2 tRC (5.11)
PC = VCi(t) = V 2
R (e¿¿ −t
RC−e
−2 tRC )¿ (512)
Daya total dalam rangkaian;
PT = V2
R e
−tRC (5.13)
5.2.2.3. Rangkaian Seri RLC
Untuk menentukan arus transient dalam rangkaian RLC seri seperti pada gambar
berikut, adalah sebagai berikut;
LR
CV
S
Gambar 5.7. Rangkaian RLC
Setelah saklar ditutup pda t =0, maka menurut hokum kirchoof;
V = VR + VL + Vc
V = Ri(t) + Ldidt +
1C
i (t )dt (5.14)
90
Dideferensialkan;
0 = Rdi/dt +Ld2 idt2 +
i( t)C
d2idt2 + R/L di/dt + i( t)
LC , jika d/dt = , maka
(2 + R/L + 1/LC )i(t) = 0
2 + R/L + 1/LC =0 , jika diambil a = 1, b = R/L, c = 1/LC maka dapat ditulis;
a2 + b + c =0. Akar-akar persamaan dapat dicari dengan menggunakan rumus abc
yaitu;
12=−b±√b2−4 ac
2 a
Ada tiga kemungkinan persaman karakteristik yang terjadi;
a. Dua akar reiil berbeda (1 2 )
Persamaan karakteristik dengan dua akar riil yang berbeda terjadi jika;
b2−4 ac ≥ 0
Dan arus transient dapat dicari;
i1=e1t ; dan i2=¿ e2t
seh ingga;
i (t )= i1 + i2 =c1 e1t +c2 e2t (5.15)
Untuk menentukan nilai konstanta c1 dan c2, dilakukan dengan mengkondisikan
arus yang mengalir pada saat t = 0, dan t = dtk.
b. Dua akar riil sama ((1 = 2 )
Persamaan karakteristik dengan dua akar riil yang sama terjadi jika;
b2−4 ac=0
Dan arus transient dapat dicari;
91
i1=e/2t ; i2=t e/2t
seh ingga;
i(t)=i1+i2=(c1+c 2t)e/2t (5.16)
Untuk menentukan nilai konstanta c1 dan c2, dilakukan dengan mengkondisikan
arus yang mengalir pada saat t = 0, dan t = dtk.
c. Dua akar tidak reiil (imainer) dan berbeda;
b2−4 ac ≤ 0
Dalam hal ini akar-akar 1 dan 2 menjadi;
1 = ( + j ) dn 2 = ( - j ) dimana;
= - b/2a ; = √b2−4ac2 a
Sehingga arus transientnya;
i (t )=C 1e( α+ jβ ) t+C 2e (α− jβ )t
i (t )=et ((C 1+C 2 ) cos t + j (C 1−C 2 )sin t) (5.17)
Untuk menentukan nilai konstanta c1 dan c2, dilakukan dengan mengkondisikan
arus yang mengalir pada saat t = 0, dan t = dtk.
5.2.3. Transient dengan sumber AC
5.2.3.1. Rangkaian RL
Untuk rangkaian RL dengan sumber AC, seperti gambar berikut;
V
L
RS
92
Gambar 5.8. Rangkaian RL seri sumber AC
Jika sumber diberi tegangan V = Vm sin (t + ), kemudian pada saat t = 0 S ditutup maka
menurut hokum Kirchoof;
Ri (t )+ L didt
=Vmsin ¿
Dengan menggunakan persamaan differensial orde satu tak homogen, maka diperoleh
persamaan arus transient RL dengan sumber AC yaitu;
i (t )=e−R
Lt [ −Vm
√ R2+ω2 L2 sin(φ−tg−1 ωLR )]+ Vm
√R2+ω2 L2 sin (t +φ−tg−1 ωLR ) (5.18)
Bagian pertama mengandung e− R
L t yang nilainya akan menjadi nol dalam waktu cukup
lama,sehingga arus steady state menjai;
i (t )= Vm√ R2+ω2 L2
sin ( t+φ−tg−1 ωLR
) (5.19)
5.2.3.2. Rangkaian R-C
Untuk rangkaian R-C dengan sumber AC, seperti gambar berikut;
V
RS
C
Gambar 5.9. rangkaian RC seri sumber AC
Jika sumber diberi tegangan V = Vm sin (t + ), kemudian pada saat t = 0 S ditutup maka
menurut hokum Kirchoof;
Ri ( t )+ 1C
i (t ) dt=Vmsin ¿
93
Dengan mendifferensialkan;
didt
+ 1RC
i= ωVmR
cos (ωt +φ)
Dengan menggunakan persamaan differensiel orde satu tak homogen didapat arus transient
pada R-C seri yaitu;
i (t )=e−1RC
t [ VmR sinφ−
Vm
√R2+( 1ωc
)2
sin(φ+tg−1 1ωCR )]+ Vm
√R2+( 1ωc
)2
sin(ωt +φ+tg−1 1ωCR )
(5.20)
5.2.3.3.Rangkaian RLC
Untuk rangkaian RLC dengan sumber AC, seperti gambar berikut;
V
RS
C
L
Gambar 5.10. rangkaian RLC seri sumber AC
Jika sumber diberi tegangan V = Vm sin (t + ), kemudian pada saat t = 0 S ditutup maka
menurut hokum Kirchoof;
Ri (t )+ L didt
+ 1C
i ( t )dt=Vm sin ¿ (5.21)
Dengan mendifferensialkan akan terbentuk persamaan differensial orde dua tak homogen.
Sehingga untuk menentukan arus transient dalam rangkaian RLC seri dengan sumber AC
kita menggunakan aplikasi persamaan differensial orde dua tak homogen.
d2idt2 + R
Ldidt
+ 1LC
i= ωVmL
cos (ωt +φ)
94
Penyelesaian persamaan differensial orde dua di atas akan menghasilkan solusi penyeleaian
homogeny (ih) dan penyelesaian particular (ip) sehingga persamaan arus transient untuk
RLC seri dengan sumber AC adalah;
i(t) =ih +ip
Contoh latihan :
1. Jika rangkaian tersebut pada saat t = 0 berada dalam kondisi steady state, cari VC
untuk t > 0 !
Jawab;
Pada saat t = 0 atau keadaan switch ditutup dalam keadaan steady state (mantap)
rangakain menjadi berikut;
Vc (o )= 55+3
x 40=25 V
Pada saat switch dibuka atau t > 0, maka rangkaiannya seperti berikut;
95
Vc (t )=Vo e−1RC
Vc (t )=25 e
−t5 x 110 =25 e−2 t volt
Soal soal
1. Tentukan V pada saat t > 0, jika V(0) = 6 dan i(0) = 2 !
2. Tentukan nilai i pada saat t > 0, jika t = 0 kondisi steady state !
3. Tentukan nilai i pada saat t > 0, jika t = 0 kondisi steady state !
96
97