Vernal Keratoconjunctivitis
-
Upload
yulita-delfia-sari -
Category
Documents
-
view
197 -
download
3
Transcript of Vernal Keratoconjunctivitis
VERNAL KERATOCONJUNCTIVITIS
Diah Widiastuti, S. Ked
Kepaniteraan Klinik Senior Departemen Ilmu Kesehatan MataFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang
PENDAHULUAN
Vernal Keratoconjunctivitis (VKC) adalah penyakit alergi bilateral, yang dikenal
juga sebagai “cattarh musim semi” dan “konjungtivitis musiman” atau
“konjungtivitis musim kemarau”.1 VKC lebih sering menyerang anak laki-laki dan
seseorang dengan riwayat medis ataupun riwayat keluarga yang menderita
penyakit atopi lainnya seperti asma, rinitis, dan eksema.2 Penyakit ini menyerang
anak-anak dengan usia antara 3 – 16 tahun dan mungkin muncul lebih dini dan
dapat berlanjut hingga dewasa. Pada banyak kasus, gejala penyakit ini dapat
menghilang saat pubertas.3
VKC terdiri dari bentuk limbal, tarsal, ataupun campuran yang
digolongkan berdasarkan tempat utama inflamasi okuler. Gejala subjektif yang
dikeluhkan pasien dengan VKC antara lain gatal, fotofobia, berair, sensasi adanya
benda asing, dan sensasi rasa terbakar.4 Sedangkan tanda objektif yang dapat
ditemukan pada konjungtiva pasien dengan VKC yaitu hiperemia, adanya papil
dan papil raksasa berbentuk batu kali pada regio tarsal superior; pada kornea dapat
berkembang keratitis punctata, erosi, ulkus perisai, plak, dan neovaskularisasi.4,5
Manajemen klinis VKC membutuhkan diagnosis yang cepat, terapi yang
benar dan evaluasi untuk prognosis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan
gejala penyakit, namun untuk kasus yang berat dapat dibantu dengan pemeriksaan
apusan konjungtiva yang menunjukkan adanya infiltrasi eosinofil. Pemilihan
terapi pada pasien VKC didasarkan pada keparahan penyakit, namun kebanyakan
kasus dapat ditatalaksana dengan pengobatan topikal. Pengobatan yang paling
efektif untuk penyakit ini yaitu steroid, namun harus diberikan dengan hati-hati
dan hanya untuk periode singkat, untuk menghindari perkembangan glaukoma
sekunder.2
1
Tujuan dari telaah ilmiah ini adalah untuk memahami definisi, penyebab,
gambaran klinis dari vernal keratoconjunctivitis sehingga dapat memudahkan
dalam mendiagnosis melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, memahami
pemeriksaan penunjang yang diperlukan, dan mengetahui pengobatan yang dapat
diberikan untuk mengobati penyakit ini.
PEMBAHASAN
Anatomi, Histologi, dan Fungsi Imun Konjungtiva dan Film Air Mata
Mata terdiri dari 4 lapisan yang berpengaruh terhadap reaksi imunologis yaitu (1)
bagian anterior yang terdiri dari lapisan cairan air mata dan konjungtiva yang
menjadi pertahanan utama mata dari aeroalergen lingkungan, bahan kimia, dan
agen infeksius; (2) sklera kolagen yang utamanya berhubungan dengan penyakit
rematik (jaringan ikat); (3) uvea dengan banyak pembuluh darah, tempat produksi
humor akueus, yang banyak berhubungan dengan reaksi inflamasi yang berkaitan
dengan kompleks imun sirkulasi dan reaksi hipersensitivitas yang berkaitan
dengan sel; dan (4) retina yang secara fungsional merupakan perpanjangan dari
sistem saraf pusat.
Konjungtiva
Konjungtiva merupakan jaringan eksternal mata yang mempunyai sistem imun
yang paling aktif dan mengalami hiperplasia limfoid sebagai respon terhadap
stimulan. Konjungtiva merupakan membran mukosa yang memanjang dari
limbus ker margin dari kelopak mata. Secara anatomi, konjungtiva terbagi
menjadi tiga bagian: konjungtiva bulbi, yang menutupi bagian anterior dari sklera;
konjungtiva palpebra yang berjalan sepanjang permukaan dalam kelopak mata;
dan ruang yang dibatasi konjungtiva bulbi dan palpebra, yang merupakan forniks
kantung konjungtiva. Secara histologi, konjungtiva dibagi menjadi 2 lapisan:
lapisan epitelium dan subtansia propia. Lapisan epitelium dibentuk dari 2-5 sel
kolumner bertingkat dan lamina propria dibentuk dari jaringan ikat longgar.
Substansia propria mempunyai lapisan kelenjar superfisial dan ada lapisan
berserat yang longgar dan dalam yang memungkinkan sejumlah besar cairan
2
berakumulasi seperti dalam angiodema periorbital. Drainase dari bagian lateral
mata mengalir ke nodus periaucular sedangkan drainase dari bagian nasal
konjungtiva mengalir ke nodus submental.
Epitelium mata biasanya tidak mengandung produk sel inflamasi seperti
sel mas, eosinofil, atau basofil. Sel-sel ini biasanyan ditemukan di lapisan tepat di
bawah permukaan epitelium di substansia propia. Sel mast pada konsentrasi lebih
dari 6000/mm3 terdapat di jaringan ini, sedangkan sel-sel inflamasi lainnya
bermigrasi ke jaringan dalam menanggapi berbagai stimulus. Sejumlah sel
mononuklear pada konjungtiva yang normal terdapat di epitel termasuk sel
Langerhans’.
Film air mata
Permukaan konjungtiva dibasahi dengan lapisan tipis film air mata yang terdiri
dari lapisan lipid pada bagian luar, lapisan akueus pada bagian tengah, dan
lapisan mukoprotein pada bagian dalam. Sel goblet yang memproduksi musin
didistribusikan sepanjang permukaan konjungtiva. Musin penting dalam
mengurangi tegangan permukaan film air mata. Campuran ini menurunkan tingkat
penguapan dari bagian akueus. Bagian akueus dari film air mata mengandung
berbagai zat terlarut termasuk elitrolit, karbohidrat, urea, asam amino, lipid,
ensim, prealbumin spesifik-airmata, dan protein imun aktif termasuk IgA, IgG,
IgM, IgE triptiase, histamin, lisozim, laktoferin, plasmin, dan seruloplasmin. Pada
konjungtivitis alergi, konsentrasi histamin dalam air mata dapat menjapai jumlah
lebih dari 100 ng/mL, dibandingkan jumlah normal yaitu 5-15 ng/mL. Histamin
dapat menyebabkan perubahan yang sama dalam mata seperti halnya di bagian
lain dari tubuh manusia, yang meliputi dilatasi kapiler, peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, dan kontraksi otot polos di pupil. Sedikitnya 10µL dari
50-ng/mL konsentrasi histamin fosfat dapat menyebabkan kemerahan konjungtiva
dan meninggkatkan 50% permeabilitas pembuluh darah dari subjek yang diteliti.
Level histamin air mata ditemukan di kontrol nonatopik tidak berbeda dari yang
ditemukan pada pasien alergi selama periode bebas gejala. Provokasi alergen
3
konjungtiva dari subjek atopik menghasilkan pelepasan berbagai mediator sel
mast ke air mata seperti histamin, triptiase, prostaglandin D2 dan leukotrin C4/D4.
Definisi
Vernal keratokonjungtivitis (VKC) merupakan suatu peradangan alergi pada
permukaan mata yang melibatkan konjungtiva tarsal dan/atau konjungtiva bulbi
yang terjadi kronik, bilateral, dapat terjadi asimetris, dan diperburuk oleh musim.6
Demografi
Insidensi keratokonjungtivitis vernalis relatif kecil, yaitu sekitar 0,l%--0,5% dari
pasien dengan masalah mata yang berobat, dan hanya 2% dari semua pasien yang
diperiksa di klinik mata Mediterania.7 VKC biasanya terjadi sebelum umur 10
tahun. Salah satu jurnal melaporkan onset terjadi penyakit ini paling dini pada
usia 5 bulan. Penyakit ini umumnya sembuh setelah pubertas, biasanya sekitar 4 -
10 tahun seleah onset. VKC lebih sering menyerang laki-laki, dengan rasio laki-
laki dan perempuan bervariasi antara 4 : 1 sampai 2 : 1. Laki-laki mendominasi
dalam penyakit VKC pada usia di bawah 20 tahun, setelah usia itu rasio laki-laki
dan perempuan hampir sama. Pewarnaan dengan hasil positif untuk reseptor
estrogen dan progesteron di konjungtiva dari pasien VKC, predileksi laki-laki, dan
sembuh setelah pubertas menunjukkan bahwa faktor hormonal berpengaruh dalam
perkembangan penyakit VKC ini.6
Etiologi, Patogenesis, dan Patofisiologi
VKC merupakan penyakit alergi pada mata, namun etiologi dan patogenesis pasti
penyakit ini masih belum jelas.6 Imunopatogenesis penyakit ini berhubungan
dengan reaksi hipersensitivitas tipe I dan tipe IV yang menyebabkan perubahan
struktur pada konjungtiva.7,8 Pada konjungtiva akan dijumpai hiperemia dan
vasodilatasi difus, yang dengan cepat akan diikuti dengan hiperplasi akibat
proliferasi jaringan yang menghasilkan pembentukan jaringan ikat yang tidak
terkendali. Kondisi ini akan diikuti oleh hyalinisasi dan menimbulkan deposit
pada konjungtiva sehingga terbentuklah gambaran cobblestone. Jaringan ikat yang
4
berlebihan ini akan memberikan warna putih susu kebiruan sehingga konjungtiva
tampak buram dan tidak berkilau. Proliferasi yang spesifik pada konjungtiva
tarsal, oleh von Graefe disebut pavement like granulations. Hipertrofi papil pada
konjungtiva tarsal tidak jarang mengakibatkan ptosis mekanik dan dalam kasus
yang berat akan disertai keratitis serta erosi epitel kornea.7
Limbus konjungtiva juga memperlihatkan perubahan akibat vasodilatasi
dan hipertropi yang menghasilkan lesi fokal. Pada tingkat yang berat, kekeruhan
pada limbus sering menimbulkan gambaran distrofi dan menimbulkan gangguan
dalam kualitas maupun kuantitas stem cells limbus. Kondisi ini mungkin berkaitan
dengan konjungtivalisasi pada penderita keratokonjungtivitis dan di kemudian
hari berisiko timbulnya pterigium pada usia muda. Di samping itu, juga terdapat
kista-kista kecil yang dengan cepat akan mengalami degenerasi.7
Sekresi mukus yang kental dan melekat pada penderita
keratokonjungtivitis vernalis, menurut Neumann dan Krantz, mengandung banyak
mukopolisakarida serta asam hyaluronat. Dalam hal ini memungkinkan timbulnya
tarikan sel epitel kornea dan gesekan dari papil tarsal pada kornea akan
mengakibatkan kerusakan kornea yang meluas ke tepi. Kerusakan kornea diduga
juga berkaitan dengan infiltrasi sel radang yang berasal dari konjungtiva. Infiltrat
radang konjungtiva pada VKC ini terdiri dari eosinofil, limfosit, sel plasma, dan
monosit. Kerusakan kornea dapat menjadi difus, pembentukan ulkus, dan
perubahan degeneratif lainnya seperti pseudogerontoxon. Pembentukan ulkus
epitelial non-infeksi yang berbentuk oval atau perisai dapat terjadi yang mendasari
timbulnya kekeruhan stroma kornea di sentral maupun superior. Lebih jauh,
kurvatura kornea juga akan memperlihatkan perubahan disertai astigmatisme
miopik dan pada tahap lanjut dapat terjadi keratokonus serta keratoglobus.7,8
Mekanisme Imunologik
Reaksi Atopik atau Anafilaktik (Tipe I)
Pada reaksi tipe I, antigen bergabung dengan antibodi IgE berikatan dengan
reseptor pada sel mast, mengasilkan pelepasan histamin dan mediator lainnya
seperti sintesis prostaglandin dan leukotrin. Patogenesis reaksi alergi berawal
5
dengan sel antigen-presentung yang berinteraksi dengan sel CD4+ T helper-2
(Th2) yang mengeluarkan interleukin-4 (IL-4) dan sitokin Th2 lainnya.
Atopi berhubungan dengan mutasi yang diturunkan dalam reseptor Il-4
yang berhubungan dengan prosuksi IgE dari sel B dan peningkatan jumlah sel T
helper. Tanda lainnya yang berhubungan dengan atopi adalah penurunan level dari
penekan putatif (atau regulasi) sel T, yang memegang peranan dalam memodulasi
turunnya respon imun terhadap antigen umum pada lingkungan. Strategi
pengobatan termasuk penghambat sel mast, antihistamin, vasokonstriktor,
penghambat siklooksigenase dan kortikosteroid pada penyakit yang berat.8
Gambar 1. Reaksi hipersensitivitas tipe I
Pasien dengan VKC mempunyai 49% riwayat keluarga yang menderita
penyakit atopik, dan mempunyai riwayat medis dengan kondisi atopik lainnya
seperti asma (26,7%), rinitis (20%) dan eksema (9,7%). Pada penelitian terbaru,
terdapat mekanisme patogenesis non-IgE-dependent yang lebih kompleks. Hal ini
didukung dengan seringnya hasil negatif pada tes kulit dan RAST pada pasien
VKC, juga adanya beberapa pasien yang tidak mempunyai riwayat atopi pada
pribadi maupun pada riwayat keluarga. Pada suatu penelitian tantangan seperti
penelitian imunohistokimia dan mediator didapatkan mekanisme Th2-driven dan
sebuah definisi, sama seperti asma, bahwa VKC adalah sebuah penyakit inflamasi
alergi dari konjungtiva dengan sel mast, eosinofil, dan limfosit. Pengertian ini
didukung dengan penemuah bahwa klon T-sel yang berasal dari jaringan VKC
6
sebagian besar terdapat tipe Th2 dan bahwa di daerah CD4 dari biopsi VKC
terdapat peningkatan in situ dalam sinyal hibridisasi untuk IL-5 yang berkaitan
dengan peningkatan level IL-5, bukan IL-2, dalam air mata, yang menunjukkan
aktivitas Th2 lebih banyak daripada Th1. Ini memungkinkan bahwa patogenesis
VKC ditandai dengan adanya perubahan limfosit Th2, sedangkan respon IgE yang
berlebihan terhadap alergen umum tidak konsisten dan mungkin merupakan
kejadian sekunder. Limfosit Th2 bertanggung jawab baik untuk hiperproduksi dari
IgE (IL-4) dan untuk diferensiasi dan aktivasi sel mas (IL-3) dan eosinofil (IL-5).
Sel mas dan basofil menyebabkan reaksi langsung (melalui pelepasan histamin)
dan infiltrasi sel-sel radang (limfosit dan eosinofil). Infiltrasi sel-sel ini (ditambah
dengan overekspresi dari molekul adhesi) menghasilkan pelepasan mediator sel
beracun lainnya (seperti proten kationik eosinofil, EDN/EPX) dengan kerusakan
epitel kornea. Beberapa sel inflamasi dan sel epitel ini dapat menyebabkan
proliferasi fibroblas dan produksi kolagen yang mengarahkan ke manifestasi
klinis konjungtiva.
Tidak hanya histamin yang merupakan mediator utama dalam reaksi alergi
dengan mekanisme umur hipersensitivitas tipe I (seperti alergi tahunan atau
konjungtivitis musiman) yang terlibat dalam VKC, tetapi pada tahan awal reaksi
alergi (antihistamin efektif pada kondisi ini) terdapat mediator lain yaitu mediator
eosinodilik dan zat yang berasal dari metabolisme asam arakidonat (prostaglandin
dan leukotrin). Leukotrin diproduksi selama alergi dan penyakit pernapasan
dengan inflamasi oleh sel mast, makrofag, dan neutrofil. Leukotrin merupakan
mediator poten dari reaksi hipersensitivitas dan inflamasi. Aktivitasnya termasuk
kontraksi otot halus, dilatasi pembuluh kecil, peningkatan permeabilitas pembuluh
darah, mempromosi sekresi glikoprotein dari kelenjar epitel, dan meningkatkan
aliran darah hidung dan resistensi jalan napas. Telah diteliti bahwa leukotrin juga
terdapat pada konjungtiva dan ditemukan pada cairan air mata pasien yang
menderita konjungtivitis alergi termasuk VKC. Memang konsentrasi leukotrin
pada air mata meningkat pada pasien alergi seiring dengan terpapar terhadap
alergen. Maka dari itu, pemberian LTB4, seperti LTC4 dan LTD4, dapat
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah, edema, hiperemis, dan infiltrasi
7
leukosit dan eosinofilik dari konjungtiva. Aktivitas biologis dari leukotrin pada
konjungtiva mungkin berpengaruh terhadap adanya gejala yang ditemukan pada
VKC seperti sekresi mukus, hiperemis konjungtiva, dan kemosis.2
Keterlibatan Saraf dan Endokrin
Adanya hubungan antara sistem saraf pusat dan mata mudah dibuat jika
mempertimbangkan asal anaomi umum dan embriologi. Hal ini jura erat
kaitannya dengan sistem imun dan ditujukkan oleh interaksi saraf dan sel mast.
Walaupun neurotransmiter dan neurotropin yang mungkin berhubungan dengan
inflamasi konjungtiva belum jelas saat ini, namun substansi P, sebuah
neuropeptida yang dikenal dengan aktivitas sel imunnya, sudah ditemukan dalam
air mata, dan level serum dari substansi P yang tinggi juga sudah ditemukan pada
pasien VKC.
Reseptor nerve growth factor sudah ditemukan pada epitel dan substansi
propria dari konjungtiva dan level serum yang tinggi dari nerve growth factor ini
sudah dideteksi pada penyakit yang aktif dan berhubungan langsung dengan
jumlah sel mast pada jaringan konjungtiva. Hal ini menunjukkan bahwa
keterlibatan saraf mungkin berhubungan dengan patogenesis penyakit alergi.
Peran hormon seks telah menjadi dalil pada patogenesis penyakit ini.
Asumsi ini berasal dari pengamatan prevalensi laki-laki vs perempuan dan
resolusi spontan penyakit ini pada masa pubertas. Hormon seks mungkin
memegang peranan yang relevan dalam patofisiologi penyakit alergi melalui
interaksi timbal balik antara sistem imun dan endokrin. Estrogen dan progesteron
telah terbukti sebagai pemain aktif dalam sistem imun mata dengan telah
berkembang peranannya dalam penyakit imun mata lainnya yaitu sindroma mata
kering. Pada penelitian imunohistokimia sebelumnya dari pasien VKC,
didapatkan hasil bahwa terdapat overekspresi reseptor estrogen dan progesteron
pada konjungtiva oleh eosinofil dan sel radang lainnya. Hormon ini dapat
berikatan dengan reseptor konjungtiva dan memberikan efek proinflamasi melalui
rekruitmen eosinofil ke jaringan konjungtiva.2
8
Manifestasi Klinis
Gejala yang ada pada pasien VKC yaitu gatal, blefarospasme, fotofobia,
pandangan kabur, dan kotoran mata berlendir yang berlebihan (ropy discharge).
98% pasien menderita VKC bilateral. Sedangkan untuk mendapatkan tanda yang
spesifik, pasien harus diperksa menggunakan slit lamp atau lup. Penggunaan
fluoresen dapat membantu untuk mengidentifikasi adanya ancaman penurunan
ketajaman penglihatan karena keterlibatan kornea. Secara klinis, VKC terdiri dari
3 bentuk yaitu palpebra, limbal, dan campuran.3,6,8,9
Inflamasi pada VKC palpebra terletak pada konjungtiva palpebra dimana
berkembang hipertropi papil yang menyabar, biasanya lebih banyak pada bagian
atas dibandingkan dengan bagian bawah. Konjungtiva bulbi hiperemis, dan
mungkin terjadi kemosis. Pada banyak kasus yang lebih berat, dapat ditemukan
papil raksasa berukuran 7-8 mm menyerupai batu kali (cobble stone) pada tarsus
superior.6,8
Gambar 1. Papil raksasa pada keratokonjungtivitis vernal palpebra8
VKC limbal mungkin berkembang sendiri atai berhubungan dengan VKC
palpebra. Penyakit ini sering terjadi pada pasien keturunan Afrika dan Asia dan
juga lebih sering pada iklim panas. Pada limbus terjadi penebalan, tampak seperti
agar-agar dengan gundukan opalesen yang menyebar. Titik Horner-Trantas, titik
putih yang menggambarkan makroagregat dari degenerasi eosinofil dan sel epitel
dapat dijumpai pada pasien VKC limbal dengan limbus yang hipertrofi. Sebuah
9
pannus yang seperti agar-agar dapat mengivasi kornea, yang diikuti dengan
neovaskularisasi kornea. Perubahan konjungtiva yang dapat terjadi yaitu fibrosis
subkonjungtiva, keratinisasi, dan simblefaron.3,8
Gambar 2. Keratokonjungtivitis vernal limbal8
Tipe yang ketiga yaitu tipe campuran dari VKC palpebra dan limbal. Tipe
campuran dapat juga merukanan perkembangan progresif dari VKC limbal. Dari
hasil penelitian yang dilakukan Kosrirukvongs di Thailand dari 48 kasus VKC
yang diamati, 58,3% merupakan bentuk limbal, 33,8% dalam bentuk palpebra,
dan hanya 8,3% dalam bentuk campuran.9
Terdapat penilaian (grading) papil pada konjungtiva tarsal superior atau
pada korneoskleral limbus, yaitu:
Grade 0 : tanpa reaksi papil
Grade 1 + : beberapa papil berukuran 0,2 mm, menyebar ke konjungtiva tarsal
dan sekitar limbus
Grade 2 + : papil berukuran 0,3-1 mm di konjungtiva tarsal atau di limbus
Grade 3 + : papil berukuran 1-3 mm meliputi semua konjungtiva tarsal atau 360I
mengelilingi limbus
Grade 4+ : papil berukuran lebih dari 3 mm meliputi konjungtiva tarsal atau
terdapat penampakan seperti agar-agar di limbus menutupi pinggir
kornea6
Beberapa tipe lain dari perubahan kornea mungkin juga berkembang di
VKC. Banyak ditemukan erosi epitel pungtata yang meninggalkan membrana
Bowman’s yang utuh di superior dan sentral kornea, sedangkan pannus biasanya
10
ada di kornea superior, tetapi kadang-kadang terjadi perkembangan vaskularisasi
kornea seluas 360I. Ulkus epitel non infeksius dengan bentuk oval atau seperti
perisai (ulkus perisai) dengan dasar opifikasi stromal mungkin berkembang pada
kornea superior atau sentral. Ulkus ini terjadi pada 3-11% pasien. 6,8
Diagnosis Banding
Rinokonjungtivitis alergi (tahunan maupun musiman)
Keratokonjungtivitis atopik
Reaksi hipersensitivitas obat
Konjungtivitis papil raksasa
Uveitis akut
Glaukoma sudut tertutup
Rinokonjungtivitis dan keratokonjungtivitis alergi lebih sering terjadi pada
dewasa dibanding anak-anak.
Rinokonjungtivitis alergi musiman mempunyai karakteristik onset akut
dari injeksi konjungtiva dan edema konjungtiva dengan atau tanpa edema
palpebra setelah terpapar alergen. Rinokonjungtivitis alergi tahunan adalah bentuk
persisten dari konjungtivitis alergi yang dapat terjadi sepanjang tahun dan dipicu
oleh paparan alergen seperti bulu binatang, sebu tungau atau spora jamur.
Keratokonjungtivitis alergik mempunyai karakteristik inflamasi kelopak mata
(dengan atau tanpa komplikasi blefaritis stafilokokus) bersama dengan kemerahan
bola mata, kotoran mata, dan fotofobia, dan terkadang disertai perkembangan
katarak dan kerotokonus. Reaksi hipersensitivitas obat dapat dibedakan dari VKC
berdasarkan riwayat pasien. Konjungtivitis papil raksasa merupakan
konjungtivitis kronik berat yang dipicu oleh pajanan benda asing seperti jahitan
atau lensa kontak. Uveitis akut dan glaukoma sudut tertutup dapat menjadi
diagnosis banding VKC pada pasien dengan mata merah, tetapi kondisi ini
biasanya unilateral dan berhubungan dengan perubahan ketajaman penglihatan
dan tidak gatal.10
Pemeriksaan Penunjang
11
Tes kulit terhadap adanya IgE total dan spesifik dapat dilakukan, namun hal ini
mungkin tidak terlalu berguna karena lebih dari 50% pasien dengan VKC
menunjukkan hasil yang negatif. Tes yang lebih spesifik yaitu scraping atau
kerokan konjungtiva yang dapat memperlihatkan adanya infiltrasi eosinofil pada
epitel konjungtiva.2
Penatalaksanaan
Terapi dilakukan berdasarkan derajat keparahan gejala yang dialami pasien dan
kelainan pada mata. Kasus yang ringan ditatalaksana dengan antihistamin topikal.
Selain itu dapat dilakukan klimatoterapi dengan penggunaan pendingin ruangan
atau relokasi ke lingkungan yang dingin. Pasien dengan penyakit ringan sampai
sedang dapat berespon baik terhadap pemberian penyetabil sel mas topikal seperti
sodium chromoglycate atau agen terbaru seperti alomid dan nedokromil. Pada
pasien dengan eksaserbasi musim, obat tetes ini harus diberikan 4 kali sehari
mulai minimal 2 minggu sebelum onset biasanya muncul. Pasien dengan penyakit
sepanjang tahun dapat memakai tetes mata penyetabil sel mast dalam jangka
waktu lama.3,8
Kasus-kasus berat mungkin membutuhkan penggunaan kortikosteroid
topikal atau agen imunomodulator topikal seperti siklosporin. Keduanya
menunjukkan keefektivitasan dalam menurukan gejala dan inflamasi, namun
pemberian kortikosteroid harus berhati-hati, karena dapat menyebabkan berbagai
efek samping jika pemakaian terlalu lama. Kortikosteroid topikal hanya diberikan
saat eksaserbasi yaitu selama 5-7 hari dengan frekuensi setiap 2 jam dan
kemudian diturunkan dosisnya secara bertahap.
Jika pasien kooperatif, dapat ditawarkan terapi alternatif selain terapi
topikal untuk menghindari pengobatan diri sendiri secara terus menerus yaitu
injeksi kortikosteroid supratarsal. Spatium subkonjungtiva supratarsal terletak
pada superior sampai tepi atas dari tarsus superior dan sangan mudah didapatkan
dengan eversi kelopak mata atas. Spatium ini bebas dari adhesi subepitel yang
mengikat konjungtiva palpebra superior ke dasar tarsal. Setelah eversi palpebra
superior dan konjungtiva supratarsal sudah dianastesi, dapat dilakukan
12
penyuntikan steroid masa kerja pendek seperti deksametason fosfat (4 mg/ml)
atau steroid masa kerja panjang seperti triamsinolon asetonid (40 mg/ml)
sebanyak 0,5-1,0 ml. Setelah penyuntikan, wajib dilakukan pemantauan tekanan
intra okuler, karena steroid dapat menyebabkan lonjakan tekanan intra okuler.
Gambar 3. Teknik penyuntikan supratarsal
Siklosporin topikal dapat digunakan dua kali sehari untuk pengobatan
VKC yang sulit diatasi. Siklosporin efektif dalam pengontrolan inflamasi mata,
menghambat proliferasi Th2 dan produksi IL-2. Selain itu, siklosporin dapat
menghambat keluarnya histamin dari sel mast dan basofil melalui reduksi
produksi IL-5, dan ini dapat menurunkan rekruitmen dan efek dari eosinofil pada
konjungtiva. Efek samping pengobatan ini yaitu keratopati epitel pungtata dan
iritasi permukaan mata. Penyerapan sistemik setelah pemberian secara bertahap
dapat terjadi namun sedikit dan kejadiannya juga sangat jarang, maka dari itu,
pengobatan ini dapat diberika untuk kasus VKC yang sangat parah.2,8
Selain terapi tersebut, dapat juga dilakukan debridement pada plak mukus
awal yang dapat mempercepat penyembuhan dari defek epitel yang menetap.
Lensa kontak perban sangat membantu dalam pengobatan defek ini. Terapi
suportif seperti air mata buatan, kompres dingin, dan kacamata hitam dapat
membantu.3
Berdasarkan karakteristik klinis, respon terhadap pengobatan, dan
komplikasi, ulkus perisai dapat diklasifikasi menjadi tiga stadium. Stadium yang
13
pertama dengan dasar yang bersih mempunyai prognosis yang baik dan
reepitelisasi dengan sikatrik yang riangan setelah pengobatan. Pada stadium dua
didapatkan ulkus dengan debris peradangan pada dasar, yang menunjukkan respon
yang buruk terhadap pengobatan. Karena terlambatnya reepitalisasi dari ulkus
perisai, maka hal ini memungkinkan berkembangnya keratitis infektif. Ulkus
perisai stadium dua tidak beresponsif terhadap terapi kombinasi dengan
kortikosteroid topikal, oloptadin, dan tetes mata, dapat diatasi dengan pemberuan
siklosporin topikal. Pada stadium tiga, didapatkan ulkus perisai dengan plak
elevasi, dibutuhkan intervensi bedah untuk mengobatinya. Pada pemeriksaan
histopatologi, pada plak ditemukan granular dan material eosinofilik lamelar yang
dalam sampai ke membrana Bowman. Immunologikimia menunjukkan materi
laelar adalah eosinofil yang berasal dari major basic protein (MBP), yang bersifat
sitotoksik dan dapat menghambat penyembuhan ulkus.11
Komplikasi
Katarak dan glaukoma diinduksi steroid
Sikatrik kornea
Keratitis mikrobial
Hiperplasia jaringan limbus
Ambliopia karena opasitas kornea, astigmatisme iregular dan keratokonus
Sindroma mata kering karena penggunaan kontikosteroid topikal tak
terkontrol2,3,6,8
Prognosis
Baik, pasien dengan VKC umumnya dapat sembuh sendiri setelah pubertas.
Namun dapat terjadi perubahan permanen pada permukaan mata dan kerusakan
permanen pada penglihatan. Dari suatu penelitian kohort didapatkan 52% pasien
mempunyai gejala yang menetap setelah dipantau selama 5 tahun dan 6% pasien
menunjukkan reduksi permanen dari ketajaman penglihatan dikarenakan
kerusakan kornea.2
14
Terdapat faktor penyebab prognosis buruk pada pasien VKC yaitu ukuran
dari papil raksasa yang berkaitan langsung dengan adanya atau perburukan dari
gejala dan bentuk VKC limbal mempunyai prognosis jangka panjang yang lebih
buruk daripada bentuk VKC palpebra.
15