Uji Klinis Imunoterapi Subllingual Acak

19
Uji Klinis Imunoterapi Subllingual Acak, Double Blind, Terkontrol Plasebo Pada Pasien Dengan Alergi Latex Alami Gabriel Gastaminza, Jaime Algorta, Olga Uriel, Maria T Audicana, Eduardo Fernandez, Maria L Sanz dan Daniel Munoz Abstrak Latar belakang: Alergi latex alami merupakan masalah kesehatan yang sering timbul dan belum terselesaikan. Sejak menghindari paparan penyebab tergolong hal yang sulit, imunoterapi menjadi terapi yang direkomendasikan. Akan tetapi, sebelum digunakan oleh pasien, adalah hal yang penting untuk membuktikan efektifitas dan keamanannya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai efektifitas dan toleransi imunoterapi latex sublingual pada pasien dewasa yang sedang menghindari latex sebagai penyebab alergi. Metode: 28 pasien alergi latex (5 pria dan 23 wanita) dengan rata-rata usia 39 tahun (24-57) dikelompokkan secara acak untuk mendapatkan imunoterapi latex sublingual komersil atau plasebo selama satu tahun pertama, yang diikuti dengan terapi aktif selama satu tahun. Hasil penelitian dinilai di setiap akhir tahun untuk dilihat perkembangannya. Instrumen yang digunakan antara lain: skin prick test, gloves-use score, conjunctival challenge test, IgE total dan IgE spesifik, Tes aktifasi basofil, dan efek samping yang timbul. Hasil penelitian: Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal efektifitas variabel in vivo yang diobservasi antara kelompok aktif dan plasebo baik saat penelitian maupun saat kedua kelompok dibandingkan di akhir penelitian (setelah dua tahun). Kami menemukan terdapat peningkatan rata-rata persentasi basofil aktif. Saat fase induksi, terdapat 4 reaksi pada kelompok aktif

description

jurnal

Transcript of Uji Klinis Imunoterapi Subllingual Acak

Page 1: Uji Klinis Imunoterapi Subllingual Acak

Uji Klinis Imunoterapi Subllingual Acak, Double Blind, Terkontrol Plasebo Pada Pasien Dengan Alergi Latex Alami

Gabriel Gastaminza, Jaime Algorta, Olga Uriel, Maria T Audicana, Eduardo Fernandez, Maria L Sanz dan Daniel Munoz

Abstrak

Latar belakang: Alergi latex alami merupakan masalah kesehatan yang sering timbul dan belum terselesaikan. Sejak menghindari paparan penyebab tergolong hal yang sulit, imunoterapi menjadi terapi yang direkomendasikan. Akan tetapi, sebelum digunakan oleh pasien, adalah hal yang penting untuk membuktikan efektifitas dan keamanannya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai efektifitas dan toleransi imunoterapi latex sublingual pada pasien dewasa yang sedang menghindari latex sebagai penyebab alergi.

Metode: 28 pasien alergi latex (5 pria dan 23 wanita) dengan rata-rata usia 39 tahun (24-57) dikelompokkan secara acak untuk mendapatkan imunoterapi latex sublingual komersil atau plasebo selama satu tahun pertama, yang diikuti dengan terapi aktif selama satu tahun. Hasil penelitian dinilai di setiap akhir tahun untuk dilihat perkembangannya. Instrumen yang digunakan antara lain: skin prick test, gloves-use score, conjunctival challenge test, IgE total dan IgE spesifik, Tes aktifasi basofil, dan efek samping yang timbul.

Hasil penelitian: Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal efektifitas variabel in vivo yang diobservasi antara kelompok aktif dan plasebo baik saat penelitian maupun saat kedua kelompok dibandingkan di akhir penelitian (setelah dua tahun). Kami menemukan terdapat peningkatan rata-rata persentasi basofil aktif. Saat fase induksi, terdapat 4 reaksi pada kelompok aktif dan 5 reaksi pada kelompok plasebo. Saat fase pemeliharaan, 2 pasien dieksklusi karena mengalami pruritus dan dermatitis akut.

Kesimpulan: Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengevaluasi imunoterapi sublingual, karena efektifitasnya pada pasien dewasa yang menghindari alergen belum dapat dibuktikan.

Latar Belakang

Lateks alami (LA) adalah material yang sering ditemukan. Alergi terhadap LA telah menjadi perhatian setelah diagnosis ini ditemukan di tahun 1970-an. Hal ini berpengaruh terhadap berbagai kelompok masyarakat. Prevalensi sensitisasi latex pada populasi umum cukup sering ditemukan. Terdapat peningkatan kasus alergi LA pada beberapa pekerjaan seperti penata rambut, pembantu rumah tangga, pekerja konstruksi, petugas keamanan, dan pekerja restoran. Ini terjadi karena kemungkinan paparan terhadap sarung tangan lateks. Alergi LA ini menggambarkan kekhawatiran terhadap masalah kesehatan yang ditimbulkan hingga akhirnya

Page 2: Uji Klinis Imunoterapi Subllingual Acak

dapat ditemukan jalan keluarnya (Beberapa material lateks diganti seperti pada penggunaan sarung tangan tanpa bedak pada institusi kesehatan), yang dapat meurunkan insidensi penyakit.

Menghindari paparan dengan LA masih merupakan anjuran utama untuk mengurangi risiko munculnya gejala alergi terutama pada pasien yang jelas-jelas mengalami alergi. Akan tetapi, pada kasus ini tidaklah efektif karena cukup sulit untuk menghindari paparan lateks yang terdapat di berbagai macam produk. Hal lain yang juga menjadi masalah adalah adanya reaksi silang antara lateks dengan berbagai jenis buah seperti alpukat, pisang, atau kiwi. Hal ini berpengaruh terhadap sensitisasi hevein (Hev b 6). Dan walaupun menghindari paparan dapat mengurangi gejala, tetapi ditemukannya IgE mengindikasikan sensitisasi tetap terjadi selama lebih dari 5 tahun.

Imunoterapi mengggunakan ekstrak LA secara hipotesis dapat melindungi pasien dari serangan yang diakibatkan kontak dengan LA yang tak disengaja. Walaupun hal tersebut merupakan sensitisasi yang sering terjadi, tetapi ketersediaan produk komersil yang terbukti memiliki efektifitas dan keamanan masih terbatas. Hanya beberapa penelitian dengan desain yang tepat (acak, double blind, dan terkontrol plasebo) yang telah dipublikasikan terkait efektifitas dan toleransi terhadap imunoterapi spesifik. Faktanya, terdapat bukti ilmiah bahwa imunoterapi subkutan memberikan efek yang signifikan dengan beragam parameter dibandingkan plasebo, tetapi dengan berbagai kekurangan diantaranya reaksi sistemik yang tinggi.

Pemberian imunoterapi LA sublingual hampir tidak pernah dilakukan pada pasien dewasa. Patriarca et al memperlihatkan perbaikan pada gejala kulit dan saluran napas, dan juga pada conjunctival challenge test, tetapi penelitian ini merupakan penelitian non kontrol. Pada penelitian non kontrol yang lain, Cistero memperlihatkan tolerabilitas rush yang lebih baik pada imunoterapi sublingual dibandingkan dengan subkutan, tetapi hal ini dinilai hanya pada 10 minggu setelah pemberian. Sebuah penelitian double blind, terkontrol plasebo selama satu tahun terkait imunoterapi sublingual dipublikasikan oleh Nettis, yang memperlihatkan perkembangan signifikan dalam hal gejala setelah 12 bulan terapi. Dan akhirnya, penelitian terkini menyebutkan latex SLIT lebih efektif dibandingkan plasebo setelah 1 tahun follow up, tetapi hanya 9 pasien yang menyelesaikan penelitian, oleh karena itu kesimpulan harus diputuskan secara bijak.

Mengingat pemberian secara sublingual memiliki toleransi yang lebih baik dibandingkan subkutan, penelitian lebih lanjut tentang efek jangka panjang pada terapi ini dibutuhkan, khususnya ketika sejumlah terapi telah tersedia selama beberapa tahun. Untuk alasan ini, kami membuat penelitian uji klinis independen (didukung oleh sejumlah investigator), acak, double blind, terkontrol plasebo untuk menilai efektifitas dan tolerabilitas setelah 2 tahun follow up pada imunoterapi sublingual komersial pada pasien dewasa yang menghindari paparan dengan LA.

Page 3: Uji Klinis Imunoterapi Subllingual Acak

Metode

Desain dan etika

Penelitian ini merupakan penelitian independen yang didukung investigator yang sebagiannya didanai oleh institusi masyarakat.

Penelitian ini didesain dengan dua fase: Pertama, dilakukan uji klinis acak, double blind, terkontrol plasebo. Di mana di akhir tahun pertama dilakukan follow up (T1). Blinding kemudian tidak dilanjutkan dan pasien yang mengalami perlakuan melanjutkan terapi dengan tambahan selam satu tahun. Pasien yang termasuk di dalam kelompok plasebo menerima terapi aktif selama setahun dengan perlakuan yang terbuka.

Penelitian ini telah disetujui oleh komite etik independen lokal di bawah pengawasan Agensi Kesehatan Spanyol. Penelitian mengacu kepada praktek klinis yang baik, dan melibatkan seluruh pihak untuk menyetujui baik secara tertulis maupun secara verbal. Pengawasan eksternal dilakukan oleh investigator independen. Semua prosedur penelitian ditampilkan di tabel 1.

Pasien

Subyek dalam penelitian ini awalnya adalah 76 orang yang termasuk alergi LA. Namun pada akhirnya, hanya 28 pasien (5 laki-laki dan 23 perempuan) dengan rata-rata umur 39 tahun yang diterima dan masuk dalam kriteria inklusi. Seluruh pasien sebelumnya telah didiagnosis dengan alergi lateks dan telah diperintahkan untuk menghindari paparan lateks. Karakteristik klinis pasien ditampilkan di tabel 2.

Kriteria inklusi terdiri dari riwayat alergi lateks (terdapat gejala yang biasanya timbul seperti urtikaria, angioedema, rhinitis, conjunctivitis, asma atau anafilaksis) atau hasil positif terhadap tes penggunaan sarung tangan, conjunctival test, dan prick test lateks (wheal 3 x 3 mm). Kriteria eksklusi adalah kontraindikasi terhadap imunoterapi (asma kronis atau tidak terkontrol, penyakit lain yang dimediasi imun, penyakit arteri koroner, atau sedang dalam penggunaan beta blocker atau ACE inhibitor) dan adanya penyakit sistemik atau penyakit psikiatri, dan urtikaria kronis atau dermografisme. Pasien yang memenuhi kriteria kemudian diacak ke dalam kelompok imunoterapi atau plasebo.

Perlakuan Penelitian

Imunoterapi sublingual komersil (SLIT-Latex) telah diuji. Obat-obat dalam penelitian ini disuplai langsung dari pabrik ke departemen farmasi di pusat penelitian. Meskipun merupakan produk komersil, tetapi diberi label spesifik Anex XIII dalam penelitian ini. SLIT-latex merupakan formula yang mengandung ekstrak latex alergen (Hevea brasiliensis), human albumin (kecuali vial 4), sodium klorid, fenol, glicerine, dan air. Ekstrak telah distandarisasi sesuai dengan konten protein (SDS-PAGE) dan total protein konten. Konsentrasi tertinggi adalah 500 mcg protein/mL. Sebagai tambahan, plasebo telah disiapkan oleh pabrik yang sama dan

Page 4: Uji Klinis Imunoterapi Subllingual Acak

mengandung komposisi yang sama kecuali ekstrak alergen. Kedua terapi memiliki tampilan luar yang sama, baik dari rasa maupun warna. Imunoterapi diberikan mengacu kepada jadwal yang telah ditetapkan pabrik (tabel 3). Pasien secara hati-hati diinstruksikan untuk membiarkan tetesan berada di bawah lidah selama 3 menit sebelum kemudian menelannya. Untuk alasan keamanan, mengacu kepada EAACI, fase induksi diberikan di rumah sakit dibawah pengawasan ahli alergi (allergologist) terlatih dan pasien tetap dalam observasi setidaknya selama 30 menit di setiap dosis. Sedangkan dosis rumatan dilakukan sendiri oleh pasien di rumah. Pasien datang ke rumah sakit setiap 3 bulan untuk mengambil dosis baru dan mengembalikan flask yang kosong, di mana hal ini dihitung oleh investigator.

Tes In Vivo

Skin prick test

Skin prick test terhadap 4 konsentrasi latex (4,20,100 dan 500) dilakukan setiap kali kunjungan. Positif (histamine hidroklorid 10 mg/ml) dan negative (larutan salin) sebagai kontrol dimasukkan di setiap tes. Area papul yang timbul diterjemahkan ke dalam kertas dan dinilai menggunakan planimetry menggunakan software khusus. Rata-rata area papula di kedua kelompok dihitung, baik kelompok aktif maupun plasebo. Untuk membandingkan hasil prick tes sebelum dan sesudah imunoterapi dilakukan penghitungan berdasarkan Indeks Toleransi Kutan (CTI). Indeks ini merupakan faktor yang diperlukan untuk menggandakan dosis ekstra untuk mendapatkan respon kutan yang serupa untuk memperkirakan sensitivitas kutan yang lebih besar atau kecil dalam satu grup dan hubungannya dengan grup lain. Dan ketika ini digunakan untuk mengevaluasi perubahan pada salah satu kelompok, CTI lebih dari satu mengindikasikan pengurangan respon kutan.

Tes Sarung Tangan/Glove Use Test (GUT)

Dilakukan dengan sarung tangan yang mengandung lateks yang cukup tinggi (Non sterile Aachen, Spain) dan dengan sarung tangan yang mengandung vinyl 100 % bebas lateks (Torval, China). Pasien dilindungi dengan kacamata dan masker bebas lateks agar kontak dengan mata dan saluran pernapasan dapat dihindari. Pasien menggunakan satu jenis sarung tangan (lateks atau vinyl) pada setiap tangan selama 5, 15, dan 30 menit dengan interval 20 menit. Gejala (pruritus, eritem, dan bula) dihitung dengan skor (0 = tidak ada, 1 = ringan 2 = sedang 3 = berat) seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Tes dihentikan ketika skor gejala telah menyentuh angka 5. Hasil kemudian dilihat dari berapa jumlah waktu yang dibutuhkan untuk mencapai angka 5.

Page 5: Uji Klinis Imunoterapi Subllingual Acak

Tes Paparan Konjungtiva/Conjunctival Challenge Test (CCT)

Tes ini dilakukan dengan cara pemberian 5 konsentrasi LA yang berbeda dari yang rendah higga yang tinggi (0.08 – 0.4 – 2 – 10 dan 50 mg/ml) dengan interval 15 menit. Tes diberikan dengan cara menempatkan satu tetes dosis terendah di fornix konjungtiva mata kanan dan larutan saline sebagai kontrol di mata kiri. Tes dikatakan negative jika tidak terdapat reaksi setelah 15 menit, dan selanjutnya diberikan satu tetes konsentrasi yang lebih tinggi di mata kanan. Gejala berupa hiperemis, kemosis, epifora, pruritus, bersin, dan hidung tersumbat dihitung dengan skor (0 = tidak ada, 1 = ringan 2 = sedang 3 = berat). Tes dihentikan jika skor gejala 5. Hasil kemudian dilihat dari tingkat konsentrasi yang menimbukan gejala hingga angka 5.

Tes In Vitro

Tes Spesifik IgE

IgE spesifik kepada lateks alami (k82) dan alergen rekombinan (rHev b 1, rHev b 5, rHev b 6,01; r Hev b 8) dinilai dari sistem yang terstandarisasi berdasarkan fluroesensi padat enzyme immunoassay (CAP-FEIA), Phadia, Sweden)

Tes Aktivasi Basofil (BAT)

Persentase basofil yang mengekspresi CD 63 sebagai tanda aktivasi setelah stimulasi in vitro dengan ekstrak lateks dinilai berdasarkan flow citometry, yang diikuti double labeling dengan antibody monoclonal antibody anti-CD-63-PE dan anti IgE FITC. Kami juga menggunakan larutan aqua steril yang telah distandarisasi dengan ekstrak lateks dan tanpa bahan pengawet dengan konsentrasi 0.125 dan 0.03125 mg protein/ml (BIAL-Aristegui, Bilbao, Spain).

Sebagai perbandingan antara hasil BAT di setiap waktu yang berbeda, kami menghitung nilai rata-rata persentase basofil yang mengekspresikan CD63 setelah stimulasi in vitro dengan ekstrak alergen lateks di konsentrasi 0.125 dan 0.03125 mg protein/ml.

Keamanan

Sejak fase induksi dimulai di rumah sakit dan pasien berada dibawah pengawasan langsung selama 30 menit setelah pemberian perlakuan, maka efek samping langsung dicatat dalam laporan. Sebagai tambahan, denyut jantung dan tekanan darah dinilai saat sebelum dan setelah pemberian perlakuan. Selama fase pemeliharaan, pasien diinstruksikan untuk mencatat segala ketidaknyamanan dalam sebuah kartu. Keamanan dipantau oleh investigator di setiap kesempatan. Sebagai tambahan, pasien selalu memiliki keuntungan untuk menghubungi alergologist atau datang ke ruang gawat darurat ketika terjadi reaksi efek samping yang berat. Reaksi efek samping diklasifikasikan menurut European Academy of Allergy, Asthma, dan Clinical Immunology (EAACI).

Page 6: Uji Klinis Imunoterapi Subllingual Acak

Metode Statistik

Perubahan pada reaksi kutan oleh skin prick test dianalisa menggunakan parallel lines assay dan ALASA CRS PLA software (Madrid, Spain). Perbedaan CTI dihitung sesuai dengan yang telah dijelaskan di atas. CTI menunjukkan tingkat kepercayaan 95% dan 99%. Ketika CTI diterapkan kepada kedua kelompok diperkirakan sensitivitas kutan antara satu kelompok dengan kelompok lain bisa lebih besar atau lebih kecil. Ketika itu digunakan untuk mengevaluasi perubahan yang tampak pada kelompok, skor CTI lebih dari 1 mengindikasikan penurunan respon kutan.

Untuk evaluasi Glove Use Test, regresi linier dari skor gejala dihitung pada setiap individu pasien berapa lama waktu yang diperlukan untuk mencapai skor 5 poin. Dalam prosedur yang sama, untuk mengevaluasi Conjunctival Challenge Test, regresi linier skor konsentrasi/gejala dihitung pada setiap individu pasien berapa lama konsentrasi yang diperlukan untuk mencapai skor 5 poin. Perbandingan antara kelompok satu dengan yang lain diperlihatkan melalui Non Parametric Mann Whitney’s dan Wilcoxon’s test. Nilai P < 0.05.

Hasil Penelitian

27 dari 28 subyek menyelesaikan penelitian hingga tahap follow up setelah satu tahun. Subjek yang drop out atau tidak menyelesaikan penelitian dikarenakan alasan pribadi yang tidak memiliki hubungan dengan penelitian. Di akhir tahap double blind, satu pasien di kelompok aktif dan empat pasien di kelompok plasebo menolak berpartisipasi di tahap perlakuan aktif (active treatment). Selama follow up di tahun kedua, 3 pasien lain keluar dari penelitian dan hanya 19 pasien yang menyelesaikan 2 tahun follow up (tabel 1). Sebagai kesimpulan, 11 pasien menerima imunoterapi aktif selama 2 tahun dan 22 pasien menerima imunoterapi aktif selama 1 tahun (14 diantaranya selama setahun pertama dan 8 diantaranya selama tahun kedua).

Sebelum terapi dimulai, sensitifitas lateks alami antara kelompok aktif dengan kelompok plasebo adalah sama (CTI 2.45; 95%CI: 0.59-13.95). Setelah double blind selama satu tahun, tidak terdapat sensitifitas yag bervariasi secara signifikan terhadap alergen dengan imunoterapi aktif (3.11; 95%CI: 0.87-15.26.

Ketika kami mengevaluasi grup CTI, yaitu membandingkan hasil T1 dan T2 dengan inisial value (T0) pada kelompok aktif, tidak terdapat perbedaan yang signifikan setelah setahun dan dua tahun imunoterapi aktif. Pada kelompok plasebo, tidak terdapat perbedaan yang signifikan yang terlihat setelah satu tahun terapi plasebo juga setelah 2 tahun follow up dibawah imunoterapi aktif. Ketika kami hanya membandingkan imunoterapi aktif di kelompok plasebo, juga tidak terdapat perbedaan yang signifkan.

Saat didiagnosis, hanya satu dari seluruh pasien yang memiliki hasil negative terhadap setidaknya satu challenge test. Selebihnya, memenuhi kriteria inklusi karena mengalami gejala seelah kontak dengan lateks alami selama 2 tahun terakhir. GUT positif pada 24 dari 28 dan CCT

Page 7: Uji Klinis Imunoterapi Subllingual Acak

positif 26 dari 28 pasien. Selama follow up, tidak ada perubahan pada respon GUT dan CCT pada pasien. Begitu pula dengan jumlah pasien yang mengalami gejala yang memburuk, dimana jumlah ini sama antara kelompok aktif dengan kelompok plasebo. Tidak terdapat perbedaan rata-rata konsentrasi lateks alami pada CCT untuk mendapat angka 5 pada gejala antara kelompok aktif (16.6 mg/ml; 95%CI 5.8-27.3) dengan kelompok plasebo (24.4 mg/ml; 95%CI 4.2-44.5) di T0. Peningkatan yang tidak signifikan tampak ketika kami membandingkan nilai rata-rata CCT-5 pada T0 da T1 baik dalam kelompok aktif (nilai rata-rata CCT-5 di T1: 27.1 mg/ml; 95% CI 5.8-48.3) dan di kelompok plasebo (nilai rata-rata CCT-5 di T1 35.2 mg/ml; 95% CI 0-71.9). Tidak terdapat perbedaan secara statistik antara kelompok aktif dengan kelompok plasebo di T1.

Tidak terdapat perbedaan rata-rata waktu yang dibutuhkan antara kontak dengan sarung tangan dengan munculnya gejala hingga poin 5 pada tes GUT antara kelompok aktif dengan kelompok plasebo (28.6 menit; 95% CI: 4.3-52.8) di T0. Terdapat perbedaan ketika kami membandingkan antara nilai rata-rata GUT-5 di T0 dan T1 pada kelompoik plasebo (nilai rata-rata GUT-5 di T1: 64 menit; 95% CI: 0.1-130.4) dengan kelompok aktif dengan nilai rata-rata GUT-5 di T1 (18.5 menit; 95% CI: 8.7-28.3), di mana hal ini terlihat memburuk. Tidak terdapat perbedaan secara statistik antara kelompok aktif dengan kelompok plasebo di T1.

Dari 28 subyek yang terlibat di dalam penelitian, saat didiagnosis 27 diantaranya memiliki hasil positif IgE-k82, 15 positif IgE-Hev b 5 dan 19 pasien positif IgE-Hev b 6. Hanya 2 pasien yang positif terhadap tes alergen rekombinan yang lain (IgE Hev b 1, IgE Hev b 3, IgE Hev b 8).

Tidak terdapat perubahan pada level IgE spesifik (k82, Hev b 5, Hev b 6) antara kelompok aktif dengan kelompok plasebo pada waktu observasi yang telah ditentukan (T0, T1, T2). Kami menemukan terdapat sedikit peningkatan tidak signifikan di grafik yang kemudian diikuti penurunan di garis dasar terkait perlakuan pada kelompok aktif (gambar 3). Pada kelompok plasebo, tidak terdapat perubahan selama setahun pertama follow up, tetapi terdapat peningkatan yang tidak signifikan di tahun kedua dengan aktif terapi. Hal ini juga terjadi di kelompok lain.

Di awal penelitian, BAT positif pada 14/14 pasien pada kelompok aktif dan 12/14 pasien pada kelompok plasebo. Tidak terdapat perbedaan setelah dilakukan penelitian double blind dimana 12/14 dan 12/13 terbkti positif. Akan tetapi, di akhir follow up, peningkatan jelas terlihat di kelompok aktif (6/11 subjek positif; 4 negatif; dan 1 tidak dapat dinilai) dan di kelompok plasebo (setelah satu tahun dilakukan imunoterapi aktif, 4/8 pasien positif, 3/8 negatif, dan satu tidak dapat dinilai). Tidak terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik antara rata-rata persentase basofil aktif dengan konsentrasi lateks alami antara kelompok aktif dengan kelompok plasebo di T1 (data tidak ditampilkan).

Rata-rata persentase basofil aktif menurun pada kelompok aktif setelah 2 tahun terapi. Hal ini juga terjadi pada kelompok plasebo, tetapi hanya pada tahun kedua terapi aktif.

Page 8: Uji Klinis Imunoterapi Subllingual Acak

Persentase cukup tinggi pada pasien yang memiliki BAT yang rendah setelah beberapa tahun terapi aktif (tabel 5).

Tidak terdapat efek samping yang berat pada pasien yang menerima dosis maksimal. Total, 9 efek samping rendah ditemukan saat fase induksi, 5 pada empat pasien dari kelompok plasebo selama pemberian terapi plasebo (1 konjungtivitis, 1 rhinorrhea, 1 pruritus, 1 dyspnea, 1 pruritus pada lidah), semuanya terjadi pada dosis pertama imunoterapi, dan 4 reaksi pada 4 pasien dari kelompok aktif muncul saat dosis tertinggi ekstrak alergen lateks alami diberikan (1 pruritus pada lidah, 3 rhinokonjungtivitis). Jadwal yang dimodifikasi hanya berlaku pada satu pasien di kelompok plasebo.

Selama fase pemeliharaan, 1 pasien mengundurkan diri dari penelitian setelah satu tahun terapi aktif karena mengalami pruritus kutan selama lebih dari beberapa bulan. Satu pasien yang pindah dari kelompok kontrol ke kelompok aktif di tahun kedua penelitian terserang dermatitis akut di kaki setelah satu minggu fase pemeliharaan. Pasien ini kemudian keluar dari penelitian.

Pembahasan

Peningkatan insidensi alergi lateks pada tahun 1980an berhubungan dengan peningkatan penggunaan sarung tangan lateks untuk mencegah penyebaran transmisi virus (utamanya HIV, BHV, dan CHV). Walaupun paparan lateks alami secara dramatis berkurang, akan tetapi lateks masih menjadi bahan utama berbagai produk yang terdistribusi luas dan membuat beberapa jenis pekerjaan menjadi rentan terpapar (penata rambut, pelayan makanan, pekerja kebersihan, polisi) atau berbagai aktifitas atau kegiatan seperti olahraga. Akan tetapi, mengacu kepada sulitnya menjauhi paparan alergen, perlu dilakukan desensitisasi spesifik terutama pada jenis pekerjaan yang berisiko karena diduga reaksi yang terjadi pada pasien alergi yang telah disensitisasi lebih ringan dibandingkan dengan pasien alergi yang tidak disensitisasi.

Pemberian sublingual dapat menjadi alternatif keuntungan pada imunoterapi subkutan karena efektifitas dan keamanannya yang dapat terlihat secara khusus di setiap alergen. Di dalam penelitian ini, imunoterapi sublingual komersil yang digunakan memiliki keampuhan dan keamanan yang telah dievaluasi dengan penelitian double blind acak. Menjadi hal yang sangat menonjol dimana penelitian ini merupakan penelitian uji klinis independen yang dibiayai oleh publik. Namun demikian, penelitian ini juga dilakukan dengan mengacu kepada panduan praktek klinis, termasuk pengawasan yang tepat oleh investigator eksternal.

Penelitian klinis acak, terkontrol, dan blind merupakan standar untuk mengevaluasi jenis pengobatan baru di dunia kedokteran. Akan tetapi, sejak terapi sublingual telah tersedia secara komersil, sebuah penelitian plasebo terkontrol selama lebih dari 2 tahun menganggap hal ini tidak tepat secara etika. Sebagai konsekuensi, digunakan desain penelitian yang telah dikombinasi, yaitu terapi double blind terkontrol plasebo selama setahun yang diikuti dengan follow up terbuka selama satu tahun sebagai tambahan. Desain penelitian ini menilai keduanya,

Page 9: Uji Klinis Imunoterapi Subllingual Acak

yaitu perbandingan kelompok aktif dengan kelompok kontrol selama setahun dan juga perbandingan perkembangan terapi aktif selama 2 tahun.

Kesulitan yang sering timbul di dalam penelitian uji klinis adalah bagaimana memilih pasien. Dalam penelitian kami, seluruh pasien alergi lateks didiagnosis di pusat penelitian dimana mereka diminta langsung untuk ikut dalam penelitian. Jumlah pasien yang akhirnya kami pilih menurut kami cukup representatif dan mewakili 1/3 populasi pasien alergi lateks alami yang terdaftar di daerah tersebut. Walau bagaimanapun, jumlah pasien yang keluar dari penelitian saat tahap penelitian memasuki fase pengawasan lebih besar dari yang kami perkirakan. Hal ini mungkin dipengaruhi persepsi subjek bahwa terapi tidak efektif, atau gejala yang berkurang dan pasien merasa tidak perlu pengobatan. Meskipun ada 2 pasien yang menolak melanjutkan penelitian karena mengalami serangan dermatitis akut (keduanya memiliki riwayat dermatitis atopik). Mayoritas pasien terpapar lateks saat mereka bekerja sebelum mereka terdiagnosis, dan 60% dari mereka adalah pekerja kesehatan professional. Distribusi pekerja kesehatan professional di kedua kelompok cukup seimbang. Karakteristik dasar, demografis, dan gejala klinis sesuai, kecuali jumlah pasien yang terserang asma yang mana dominan di kelompok aktif. Juga terdapat perbedaan IgE spesifik lateks alami yang mana lebih tinggi di kelompok aktif.

Sehubungan dengan distribusi alergenik, semua pasien memiliki bentuk sensitisasi lateks yang seragam dan memiliki Hev b 5 dan Hev b 6 yang predominan sebagai alergen utama pada pasien yang terpapar lateks. Hanya 2 pasien yang telah tersensitisasi Hev b 1, sebuah alergen yang berhubungan dengan pasien spina bifida dan memerlukan operasi yang berulang. Penilaian individu untuk kasus-kasus tersebut memperlihatkan mereka tidak memiliki respon terhadap terapi, yang mana hal tersebut mungkin saja mempengaruhi fakta bahwa Hev b 1 yang tidak tampak di komposisi ekstrak yang digunakan untuk imunoterapi. Hal ini mengacu pada informasi yang dikeluarkan pabrik.

Penelitian ini juga memiliki satu kelemahan yang biasanya ada pada penelitian uji klinis alergi dibanding dengan penyakit lain, yaitu kurangnya reliabilitas, objektifitas, dan komponen penilaian dari suatu variabel untuk menilai keampuhan dari suatu terapi. Oleh karena itu, dalam kasus penelitian imunoterapi, analisis keampuhan atau efektifitas biasanya bergantung kepada beberapa variabel klinis dan analitik, kuesioner, penilaian kualitas hidup, dll. Lebih lanjut, sebagian kasus imunoterapi lateks memiliki kesulitan tambahan untuk membandingkan uji klinis dengan alergen lain sejak beberapa variabel (skor gejala, jumlah konsumsi obat) tidak lagi digunakan karena pasien menghindari kontak dengan alergen dan parameter di atas sudah tidak bisa dinilai. Walaupun beberapa peneliti lain pernah menggunakan skor klinis untuk menilai keampuhan ekstrak lateks, hal tersebut tidak lagi dipertimbangkan karena kontak dengan alergen tidak diharapkan. Akan tetapi, di penelitian kami, kesulitan ini diatasi dengan penggunaan beberapa tes in vivo (skin prick test, CCT, GUT dan in vitro (keterlibatan IgE dan BAT) untuk menilai respon terapi terhadap imunoterapi yang diberikan.

Page 10: Uji Klinis Imunoterapi Subllingual Acak

Hasil utama dari penelitian ini adalah tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada mayoritas variabel penelitian, (perbandingan antara kelompok aktif dengan kelompok plasebo setelah satu tahun terapi) dan perbandingan aktif terapi setelah satu atau dua tahun di masing-masing kelompok.

Satu-satunya variabel yang memiliki perbedaan yang signifikan secara statistik adalah penurunan persentase basofil yang teraktifasi pada BAT saat kontak dengan lateks alami antara kelompok aktif dengan kelompok plasebo. Penelitian lain menunjukkan penurunan persentase yang signifikan pada basofil yang teraktivasi setelah 4 bulan pada imunoterapi oral kacang, yang hasilnya dianalisis dengan satu konsentrasi alergen (10 µg/ml). Meskipun demikian, hasil klinis yang signifikan tersebut masih memiliki hubungan yang belum jelas dengan variabel penelitian yang lain. Masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengungkap hal tersebut.

Perubahan IgE spesifik tampak memiliki peningkatan di awal pada pasien yang menerima terapi aktif, dan juga terdapat penurunan di saat berikutnya pada kelompok aktif di tahun kedua terapi, di mana hal ini konsisten atau sesuai dengan efek imunologis terhadap imunoterapi.

Yang mengejutkan, penelitian sebelumnya yang tidak terkontrol dengan ekstrak yang sama dan jumlah pasien yang sama memperlihatkan peningkatan GUT dan rubbing test setelah hanya 10 minggu terapi (4 hari fase perlakuan yang diikuti 9 minggu fase pemeliharaan). Bagaimanapun juga, seperti penelitian kami, tidak terdapat perubahan yang ditemukan oleh parallel line assay untuk prick test. Penelitian kllinis lain yang menggunakan ekstrak yang sama kepada 35 pasien menemukan adanya peningkatan gejala dan skor klinis di kelompok aktif setelah 12 tahun terapi. Penelitian tersebut memiliki desain penelitian yang baik, tetapi beberapa aspek memerlukan klarifikasi lebih lanjut seperti pekerjaan pasien, dan jumlah pasien yang terpapar lateks. Lebih lanjut, ditemukan perbedaan dalam sebuah penelitian yang dapat menjelaskan perbedaan paparan lateks alami di kedua kelompok. Kami melihat dari sudut pandang rendahnya insidensi gejala pada pasien alergi lateks alami ketika mereka terdiagnosis, kami kemudian berhenti untuk berpikir menjadikan gejala dan skor medis sebagai suatu variabel. Akan tetapi, berbeda dari hasil penelitian kami, peneliti tersebut menemukan perbedaan yang signifikan pada tes sarung tangan (GUT) antara kelompok aktif dengan kelompok plasebo setelah 12 bulan terapi.

Frekuensi efek samping yang rendah didapatkan selama fase perlakuan atau pemberian terapi, dimana seluruh pasien menerima dosis tinggi. Akan tetapi, dua pasien keluar dari penelitian karena gejala kutan yang tampak selama fase pemeliharaan. Penemuan tersebut berbeda dengan yang dilaporkan oleh penelitian terbaru pada 12 pasien, dimana 3 pasien keluar karena mengalami efek samping yang berat selama fase induksi. Namun demikian, hal itu terjadi karena terdapat fakta bahwa dua pasien memiliki riwayat kejadian anafilaktik, dan diketahui terdapat hubungan antara sensitisasi lateks dengan alergi buah, termasuk kacang.

Page 11: Uji Klinis Imunoterapi Subllingual Acak

Mengingat bagaimana baikya terapi yang bisa ditoleransi, keampuhan dan efektifitas yang kurang dapat dijelaskan dengan rendahnya dosis yang digunakan selama fase pemeliharaan terapi. Selama fase awal perlakuan, dosis 500 mcg dicapai di hari keempat, tetapi setelah itu hanya 40 mcg/hari diberikan selama sisa waktu terapi. Kami menghipotesis, bahwa dosis yang lebih besar seharusnya digunakan untuk fase pemeliharaan, khususnya ketika kita menginginkan efek jangka panjang. Jumlah sampel yang sedikit, perbedaan distribusi pasien yang mengalami asma yang dipicu lateks, dan nilai rata-rata IgE spesifik lateks antara kelompok aktif dengan kelompok plasebo dapat mempengaruhi keampuhan terapi.

Kesimpulan

Sebagai kesimpulan, penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk menilai keampuhan imunoterapi lateks sublingual. Khususnya, penggunaan dosis yang lebih tinggi selama fase pemeliharaan, sejak adanya toleransi yang baik pada dosis tinggi di fase awal perlakuan. Walau bagaimanapun juga, penelitian ini meningkatkan keraguan akan penggunaan imunoterapi pada pasien yang bisa menghindari kontak dengan lateks.

Gambar 1. Pembagian pasien terhadap terapi dan tahapan penelitian

Gambar 2. Hasil Cutaneous Tolerance Index (CTI) pada kelompok aktif dan kelompok placebo selama dua tahun penelitian

Page 12: Uji Klinis Imunoterapi Subllingual Acak

Gambar 3 A. Rata-rata IgE-k82 (segiempat hitam), IgE-rHev b 5 (lingkaran hitam), dan IgE rHev b 6 (segitiga hitam), selama 2 tahun follow up pada kelompok aktif. B. Rata-rata IgE-k82 (segiempat hitam), IgE-rHev b 5 (lingkaran hitam), dan IgE rHev b 6 (segitiga hitam) selama 2 tahun follow up pada kelompok plasebo.