Imunoterapi Pada Rinitis Alergi
-
Upload
dewi-sinaga -
Category
Documents
-
view
683 -
download
57
description
Transcript of Imunoterapi Pada Rinitis Alergi
IMUNOTERAPI PADA RINITIS ALERGI
Dewi Sinaga, Jusri MahyuddinBagian IKTHT- KL FK Unsri/
Departemen KTHT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
Abstrak
Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang diperantarai oleh Imunoglobulin E (IgE) setelah terjadi paparan alergen pada mukosa hidung. Pengobatan rinitis alergi adalah penghindaran diri terhadap alergen, terapi medikamentosa, dan imunoterapi. Bila cara-cara konservatif tidak berhasil, maka suntikan alergen (imunoterapi) dapat diindikasikan. Prosedur ini berupa penyuntikan alergen penyebab secara bertahap dengan dosis yang makin meningkat guna menginduksi toleransi pada penderita alergi.
Kata kunci : Rinitis alergi, Alergen, Imunoterapi.
Abstract
Allergic rhinitis is an inflammatory disease of the nasal mucosa is mediated by immunoglobulin E (IgE) after exposure to allergens in the nasal mucosa. Treatment of allergic rhinitis is avoidance of the allergens, medical treatment, and immunotherapy. When conservative method fail, then injections of allergens (immunotherapy) may be indicated, this procedure of injecting the allergen causes gradually increasing doses in order to induce tolerance in people with allergies.
Key word : Allergic rhinitis, Allergen, Immunotherapy
1
PENDAHULUAN
Rinitis Alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi, yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulang dengan
alergen spesifik tersebut. Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global yang
dapat terjadi di semua negara, semua golongan dan etnik, semua usia penderita
dengan puncak pada usia produktif. Prevalensi Rinitis alergi pada dekade terakhir
ini cenderung meningkat mencapai 10-25 % populasi penduduk dunia dan lebih dari
500 juta orang menderita penyakit ini yang merupakan salah satu penyebab
terbanyak seseorang mengunjungi dokter umum maupun dokter spesialis telinga
hidung tenggorok-bedah kepala leher.1,2,4
Rinitis alergi muncul ketika membran mukosa terpapar oleh alergen sehingga
memberikan respon yang diperantarai oleh immunoglobulin E (IgE), respon ini
memacu pelepasan mediator inflamasi. Rinitis alergi ditandai dengan gejala
karakteristik seperti bersin-bersin, hidung tersumbat, rinore, rasa gatal, mata merah
dan berair. Rinitis alergi ini banyak dikaitkan dengan riwayat atopi pada keluarga,
antara lain asma, urtikaria, konjungtivitis alergi, eksema, dan penyakit atopi
lainnya.1,2,3,4
Pendekatan terapi telah banyak dilakukan, salah satu diantaranya adalah
imunoterapi. Imunoterapi atau desensitisasi atau allergy injection therapy adalah
suatu terapi yang memerlukan proses panjang dari suatu suntikan yang berulang dari
ekstrak alergen yang disuntikkan pada pasien dengan penyakit alergi, yang jelas
faktor alergen pencetusnya, dengan tujuan untuk mengurangi gejala penyakitnya.
Imunoterapi merubah perjalanan penyakit, dan mencegah terjadinya asma pada anak
dengan rinitis alergika. Efek imunoterapi memerlukan waktu lama, tetapi begitu
tercapai, memberikan perbaikan klinis yang berlangsung lama. Imunoterapi untuk
penyakit alergi disebut juga sebagai imunoterapi spesifik karena metode ini
memberikan ekstrak alergen yang sensitif pada penderita untuk merubah atau
mengurangi gejala alergi.6,7
2
ANATOMI
Struktur bagian luar dari hidung terdiri dari kerangka piramida yang
didukung oleh struktur tulang dan tulang rawan yang memberikan proyeksi hidung
dari bidang wajah. Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari
depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya. Pada dinding
lateral terdapat 4 buah konka yaitu konka inferior yang terbesar dan letaknya paling
bawah kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka
superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema yang biasanya rudimenter.
Konka-konka ini, terutama konka inferior cepat merespon terhadap berbagai
rangsangan alergi, nonalergi, dan fisik, merespon mediator inflamasi seperti
histamin, jaringan mukosa cepat mengalami vasodilatasi yang menyebabkan
terjadinya edema konka dan menimbulkan hidung tersumbat.1,5
Lapisan mukosa bagian paling distal rongga hidung terdiri dari epitel, lapisan
tipis keratin, skuamosa berlapis yang membentang kebagian depan rongga hidung
bilateral. Epitel skuamosa ini berisi bulu-bulu halus yang dikenal sebagai vibrissae,
yang terlibat dalam penyaringan partikel-partikel yang lebih besar yang terbawa saat
proses inspirasi. Penyaringan partikel ini terjadi didalam hidung dan nasofaring.8
Bagian proksimal rongga hidung bagian depan adalah area katup hidung
yang merupakan bagian yang paling sempit dari traktus respiratorius. Resistensi
terhadap aliran udara adalah maksimum di daerah ini, sehingga bila ada resistensi
yang berkepanjangan sering terjadi pernafasan mulut sehingga fungsi pembersihan
udara dan fungsi “pengatur kondisi udara” hidung tidak dijalani. Resistensi saluran
udara bronkial akan meningkat bila selaput lendir hidung dan nasofaring mengalami
iritasi.5,8
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernafasan (mukosa respiratorius ) dan mukosa penghidu
(mukosa olfaktorius). Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga
hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai
silia (cilliated pseudostratified collumnar epithelium ), dan diantaranya terdapat sel-
sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan
3
kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan
normal mukosa respiratori berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi
oleh palut lendir (mucous blanket ) pada permukaannya. Dibawah epitel terdapat
tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan
jaringan limfoid.1,5
Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas,
arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun
secara paralel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahan pada anyaman
kapiler periglandular dan subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini
membuka ke rongga sinusoid vena yang besar, yang dindingnya dilapisi oleh
jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid mempunyai sfingter
otot selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih
dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa hidung menyerupai
jaringan kavernosa yang erektil yang mudah mengembang dan mengerut,
vasodilatasi dan vasokonstriksi pembuluh darah ini dipengaruhi saraf otonom.1
FISIOLOGI HIDUNG
Hidung mempunyai empat fungsi utama yaitu 1) Sebagai lokasi epitel
olfaktorius. 2) Saluran udara yang kokoh menuju traktus respiratorius bagian
bawah. 3) Organ yang mempersiapkan udara inspirasi agar sesuai dengan
permukaan paru. 4) Sebagai organ yang mampu membersihkan dirinya sendiri.
Berarti hidung merupakan alat pelindung tubuh terhadap zat-zat yang berbahaya
yang masuk bersama udara pernafasan. Hidung juga berperan sebagai resonator
dalam fonasi, hal ini nyata pada seseorang yang terserang selesma.1,2,5,8
PATOFISIOLOGI RINITIS ALERGI
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri
dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat
(RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya
4
dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang
berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas) setelah
pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.1,19
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell / APC) akan
menangkap alergen yang menempel dipermukaan mukosa hidung. Setelah diproses
antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul
HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Mayor
Histocompatibility Complex), yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th
0), kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang
akan mengaktifkan Th 0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, dan IL 13. IL4 dan IL 13
dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B
menjadi aktif dan akan memproduksi Immunoglobulin E (IgE). IgE disirkulasi
darah akan masuk ke jaringan dan di ikat oleh reseptor IgE di permukaan sel
mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini
disebut Sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa
yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka ke-2 rantai
IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah
terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain Prostaglandin D2 (PG D2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), Bradikinin, Platelet Activating
Factor (PAF) dan berbagai Sitokin (IL3, IL4, IL5, IL6), GM-CSF (Granulocyte
macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai
Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).1,4,19
Histamin akan merangsang reseptor H-1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal di hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
5
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf
vidianus juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Intercellular Adhesion Molecule 1(ICAM 1).1,19
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respon ini
akan berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak
6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan
jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil, dan mastosit di
mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte
Macrophage Colony Stimulating Factor (GM CSF) dan ICAM 1 pada sekret
hidung. Timbulnya gejala hipereaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat
peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic
Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Mayor Basic Protein
(MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini , selain faktor spesifik
(alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap
rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang
tinggi.1,2,3,4,5
KEKERAPAN
Rinitis alergi mewakili permasalahan kesehatan dunia mengenai sekitar 10 –
25% populasi dunia, dengan peningkatan prevalensi selama dekade terakhir. Rinitis
alergi merupakan kondisi kronik tersering pada anak dan diperkirakan
mempengaruhi 40% anak-anak. Di Amerika Serikat prevalensi rinitis alergi
meningkat setelah usia dekade ketiga berkisar antara 20%-30%.4,11
Di Indonesia angka kejadian rinitis alergi yang pasti belum diketahui karena
sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian multisenter. Prevalensi rinitis
alergi perennial di Jakarta besarnya sekitar 20%, sedangkan menurut Sumarman dan
Haryanto tahun 1999, didaerah padat penduduk kota Bandung menunjukkan 6,98%,
dimana prevalensi pada usia 12-39 tahun. Berdasarkan survey dari ISAAC
(International Study of Asthma and Allergies in Childhood), pada siswa SMP umur
6
13-14 tahun di semarang tahun 2001-2002, prevalensi rinitis alergi sebesar 18,6%.
Data dipoliklinik THT-KL RSU Dr.Soetomo Surabaya tahun 2006 didapatkan 654
(3,45%) dari 25.254 penderita yang datang berobat.4
KLASIFIKASI
Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO ARIA (Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma ) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi :1,4
1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu.
2. Persisten (menetap) : bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4
minggu.
Berdasarkan tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi :1,4
1. Ringan : bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang-Berat : bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.
DIAGNOSIS
Rinitis alergi secara khas dimulai pada usia yang sangat muda dengan gejala-
gejala kongesti atau sumbatan hidung, bersin, mata berair dan gatal, dan postnasal
drip ( ingus belakang hidung ) yang kadang-kadang disertai anosmia. Gejala
spesifik lain pada anak ialah adanya bayangan gelap didaerah bawah mata yang
terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung (allergic shiner ). Selain
itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung karena gatal dengan
punggung tangan (allergic salute ). Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan
akan mengakibatkan timbulnya garis melintang didorsum nasi bagian sepertiga
bawah yang disebut allergic crease.1,8,9
Pemeriksaan fisik memperlihatkan lakrimasi berlebihan, sklera dan
konjungtiva yang merah, daerah gelap periorbita (mata biru alergi), pembengkakan
sedang sampai nyata dari konka nasalis yang berwarna kepucatan hingga keunguan,
7
ditemukan juga gambaran klasik seperti edema konka inferior yang khas berwarna
kebiru-biruan. Sekret cair seperti air atau encer jernih. Temuan laboratorium yang
sesuai dengan reaksi imunologik termasuk eosinofil yang meninggi dalam sekret
hidung dan darah tepi, dan peningkatan kadar serum IgE.8,9
Antigen biasanya dapat dikenali dari dasar anamnesis, misalnya perubahan
musim atau gejala setelah paparan. Jika antigen tidak dikenali dengan cara ini dapat
dilakukan uji provokatif. Alergen yang digunakan umumnya berupa inhalan, namun
dapat pula berwujud ingestan atau injektan. Tes kulit dilakukan setelah melakukan
pemeriksaan THT dengan cermat dan teliti untuk menunjang diagnosis rinitis
alergi. Ada dua macam tes kulit yang sering dilakukan yaitu tes kulit cukit atau skin
prick test (SPT) dan tes kulit intradermal. Tes alergi lainnya yaitu pemeriksaan
immunoglobulin E spesifik dengan teknik radioallergosorbent test (RAST).2,3,4,9
Tes kulit Prick adalah tes kulit yang telah direkomendasikan oleh The
European Academy of Allergology and Clinical Immunology (EAAC) dan The US
Joint Council of Allergy Asthma and Immunology (JCCAI) sebagai tes pilihan
primer dan utama untuk menegakkan diagnosis alergi, karena tes kulit memiliki
sensitivitas yang lebih tinggi dari pemeriksaan serologi IgE spesifik, tetapi
pemeriksaan IgE spesifik dapat dikerjakan pada keadaan dimana tes kulit tidak bisa
dilakukan. Keuntungan pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST adalah obyektif dan
mudah diulang, tidak terpengaruh obat-obatan yang diminum maupun adanya
penyakit/ kelainan pada kulit juga sangat aman dilakukan pada penderita dengan
resiko anafilaksis besar, dapat dilakukan pada penderita dalam fase akut. Pada kasus
alergi makanan RAST memberikan hasil lebih baik dibandingkan dengan tes kulit.
Pemeriksaan RAST juga mempunyai kerugian dibandingkan tes kulit yaitu hasil
tidak dapat segera diketahui, kurang sensitif, konsentrasi IgE dalam plasma
bervariasi tergantung paparan alergen, ada kemungkinan hasil false negatif atau
false positif dan biaya pemeriksaan mahal.4
American Academy of Otolaryngologic Allergy (AAOA) 2003
merekomendasikan 4 dasar penentuan diagnosis alergi terhadap alergen inhalan
yaitu :4,19
8
1. Tujuan dari tes alergi adalah untuk menentukan macam alergen dan juga
untuk menentukan dasar pemberian imunoterapi.
2. Metode tes alergi yang dianjurkan adalah:
- Metode in vivo yaitu Test kulit Prick dan intradermal test.
- Metode in vitro yaitu uji radioalergosorbent (RAST).
3. Pemeriksaan dilakukan oleh tenaga profesional yang telah terlatih
4. Dalam pelaksanaannya harus selalu memperhatikan etika dan biaya
pemeriksaan.
PENATALAKSANAAN
Secara umum ada 3 pilihan penanganan rinitis alergi, yaitu (1) Menghindari alergen
penyebab dan kontrol lingkungan, (2) Farmakoterapi, (3) Imunoterapi.2,5
1. Menghindari Alergen penyebab dan kontrol lingkungan
Terapi yang paling ideal adalah menghindari kontak dengan alergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. Cara yang ideal untuk meminimalkan
paparan alergen (misalkan serbuk sari ) adalah menghindari kegiatan diluar
rumah selama musim serbuk sari (misalnya saat memotong rumput atau
berkebun). Untuk mengontrol debu, tungau, spora jamur, dan bulu hewan
peliharaan, saran-saran berikut mungkin bisa digunakan yaitu, mengurangi
kelembaban udara dirumah dibawah 50%, misalnya dengan memasang AC,
melarang hewan peliharaan berkeliaran didalam rumah, memasang alat
penyaring udara, membungkus bantal, kasur dengan penutup hipoalergenik/
pelindung plastik (untuk perlindungan tungau dan debu), jika alergi terhadap
debu rumah, sebaiknya jangan menggunakan mebel, karpet, dan tirai yang
sifatnya menampung debu, dan menghisap debu sesering mungkin.2,5,12
2. Farmakoterapi.
Penyakit alergi disebabkan oleh mediator kimia yang dilepaskan oleh sel mast
yang dipicu oleh adanya ikatan alergen dengan IgE spesifik yang melekat pada
reseptornya di permukaan sel tersebut. Histamin merupakan mediator yang
9
berperan besar pada timbulnya gejala rinitis alergi pada reaksi fase cepat,
sedangkan mediator lain yang tergolong newly formed mediator dan mediator
dari sel eosinofil berperan pada reaksi fase lambat yang menyebabkan inflamasi
dan hiperreaktifitas non spesifik yang dapat menetap berhari-hari. Tujuan
pengobatan rinitis alergi adalah mengurangi gejala akibat paparan alergen,
hiperreaktifitas nonspesifik dan inflamasi, perbaikan kualitas hidup penderita
sehingga dapat menjalankan aktifitas sehari-hari, mengurangi efek samping
pengobatan, edukasi penderita untuk meningkatkan ketaatan berobat dan
kewaspadaan terhadap penyakitnya, merubah jalannya penyakit dan pengobatan
kausal. Untuk mencapai tujuan pengobatan rinitis alergi berikut ini ada beberapa
terapi untuk rinitis alergi :5
a. Antihistamin
Antihistamin sering digunakan sebagai terapi lini pertama untuk pengobatan
rinitis alergi, antihistamin yang digunakan adalah antagonis histamin H-1 yang
bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, antihistamin
efektif pada reaksi fase awal karena efeknya mengurangi bersin, rinore, dan
gatal-gatal, tetapi sedikit efeknya terhadap gejala obstruksi hidung pada fase
lambat.1,2,4,9,21
b. Kortikosteroid intranasal.
Kortikosteroid intranasal merupakan obat yang paling efektif meringankan
gejala rinitis alergi, dapat mengurangi gejala bersin, rinore, gatal dan hidung
tersumbat. Efek maksimal dapat berlangsung dari 1 hingga 2 minggu setelah
onset penggunaannya. Efektifitas terapi tergantung pada penggunaan yang teratur
dan aplikasi yang memadai pada rongga hidung. Obat ini mempunyai
penyerapan yang minimal secara sistemik dan tanpa efek samping sistemik, dan
dapat digunakan pada anak-anak, tidak mempengaruhi pertumbuhan tulang pada
anak-anak. Efek samping lokal seperti kekeringan, dan epistaksis. Contoh obat
ini adalah: triamsinolon, budesonide, flutikason, mometason.1,2,3,4,9,21
c. Kortikosteroid Sistemik.
10
Kortikosteroid sistemik mungkin diperlukan untuk kasus rinitis alergi yang
berat, dimana gejala yang timbul sulit teratasi, dapat diberikan secara oral
maupun intramuskular. Untuk pemberian jangka panjang, dosis tappering off
setelah pemberian 3-7 hari. Kortikosteroid sistemik mengatasi proses inflamasi
dan secara signifikan efektif mengatasi semua gejala rhinitis alergi.2,3,4,5,21
d. Dekongestan.
Dekongestan bekerja pada reseptor adrenergik pada mukosa hidung yang
menghasilkan efek vasokonstriksi sehingga mengurangi gejala obstruksi hidung
(turbinate congestion), dapat mengurangi patensi hidung tetapi tidak
meringankan rinore, gatal dan bersin. Dekongestan intranasal misalnya
oxymetazoline, bila terlalu sering digunakan dapat menyebabkan berulangnya
obstruksi hidung (rebound nasal congestion) dan ada efek ketergantungan jika
digunakan lebih dari 3-4 hari (rinitis medikamentosa).2,3,4,5,9,21
e. Antikolinergik intranasal.
Obat ini cendrung hanya mengontrol gejala rinore, dan tidak memiliki efek
lain terhadap gejala alergi. Salah satu yang paling umum digunakan adalah
ipratropium bromide. Obat ini dapat dikombinasikan dengan obat anti alergi lain
untuk mengontrol rinore pada rinitis alergi perrenial.2,21
f. Kromolin intranasal.
Kromolin intranasal (misalnya Nasalcrom) efektif digunakan sebelum
timbulnya gejala rinitis alergi karena bekerja menstabilkan dan menghambat
degranulasi sel mast, bersifat profilaksis dan efektif pada rinitis alergi seasonal
dan biasanya diberikan pada pasien dengan keluhan ringan.2,21
g. Leukotrine inhibitor.
Obatnya adalah Montelukast, merupakan obat baru untuk pengobatan rinitis
alergi. Sampai saat ini, studi klinis telah menunjukkan keberhasilan yang lebih
besar dibandingkan placebo, tetapi kurang efektif dibandingkan antihistamin dan
steroid intranasal dalam pengobatan rinitis alergi.1,2,5,9,21
3. Imunoterapi
a. Sejarah Imunoterapi
11
Noon dan Freeman melaporkan Imunoterapi Alergen untuk pertama kali pada
tahun 1910 dan melakukan pembuatan ekstrak grass polen dan disuntikkan
dengan dosis yang meningkat pada penderita rinitis alergi. Sejak itu digunakan
selama kurang lebih 90 tahun untuk mengobati penyakit alergi yang disebabkan
oleh alergen inhalasi dan ternyata efektif pada rinitis dan juga asma alergi, tetapi
tidak diindikasikan pada alergi makanan. Cooke dari Amerika Serikat tahun 1918
melaporkan suatu kondisi alergi seperti Hay fever dan asma yang berasal dari
antibodi yang timbul setelah pajanan agen sensitizing. Cooke pada tahun 1922
juga mengemukakan metode hiposensitisasi untuk mengobati pasien alergi dan
hal ini yang berkembang menjadi imunoterapi sampai saat ini. Cooke tahun 1935
mengemukakan konsep antibodi penghalang (blocking antibody) yang meningkat
pada pemberian imunoterapi.6,7
b. Mekanisme kerja Imunoterapi.
Prinsip pertama dari imunoterapi adalah bahwa efektifitas klinis tergantung
dosis, dosis minimal tertentu dari ekstrak alergen harus diberikan untuk
mendapatkan suatu kontrol gejala yang efektif. Ekstrak alergen ini dibuat dengan
proses yang khusus dengan mencampurkan sumber material alergen (pollen,
mold spores, dust mites, animal pelt) pada cairan buffer untuk mengekstraksi
komponen yang larut dalam air. Pada saat ini banyak ekstrak alergen komersial
dibawah lisensi FDA yang dijual dipasaran.7,13
Efek terapi meningkat bersamaan dengan lamanya pengobatan. Perbaikan
yang nyata biasanya baru tampak setelah terapi diberikan 6 bulan atau lebih.
Diperlukan waktu yang cukup panjang untuk menaikkan dosis alergen yang
terkecil yang ditoleransi sampai konsentrasi 10.000 kali untuk mencapai kadar
yang memberi efek klinis dan imunologis. Efek klinis terus meningkat sampai
beberapa tahun setelah penyuntikkan dihentikan. Lamanya penyuntikan ini perlu
dibicarakan dengan pasien dan keluarganya sebelum memulai terapi. Pemberian
dosis meningkat umumnya dilakukan tiap minggu, namun ada juga yang
memberikan dengan cara setiap hari dalam seminggu, dilanjutkan 1 minggu
istirahat kemudian disusul seminggu setiap hari. Cara ini disebut semi rush
12
protocol. Ada juga yang memberikan semua peningkatan dosis sampai rumatan
dalam 1 hari. Cara ini disebut sebagai rush protocol. 7,13
Sebagian besar gejala pasien berkurang, dan imunoterapi hanya mengurangi
beratnya gejala tetapi tidak menghilangkannya. Reaksi anafilaksis yang bersifat
sistemik sering dilaporkan, tetapi biasanya ringan. Reaksi ini sangat mungkin
terjadi oleh karena pasien diberikan alergen yang berdasarkan pemeriksaan
RAST dan tes kulit memang sensitif, serta diberikan penyuntikan secara
berulang. Jadi untuk mengantisipasi terjadinya reaksi anafilaksis pasien harus
menunggu 20-30 menit, baru boleh pulang. Penelitian sedang dilakukan dengan
penambahan ajuvan untuk meningkatkan efektivitas dari imunoterapi, dan
memodifikasi alergen untuk mengurangi resiko reaksi anafilaksis yang berat
misalnya secara sublingual.7,13
Gambar: Mekanisme Imunoterapi, dikutip Allergology International Journal
Mekanisme dan cara kerja yang pasti dari imunoterapi belum diketahui.
Beberapa mekanisme imunoterapi telah dikemukakan untuk menerangkan
keberhasilan imunoterapi yaitu, Induksi pembentukan IgG (blocking antibody),
penurunan produksi IgE, penurunan pengerahan sel efektor, perubahan
13
keseimbangan sitokin (pergeseran dari Th2 ke Th1), induksi terjadinya sel T
regulator, anergi sel T. Atopi adalah peningkatan sensitivitas sebagai hasil
peningkatan antibodi IgE spesifik terhadap alergen lingkungan yang umum
seperti tungau, serbuk sari, atau bulu hewan. Pajanan berulang terhadap alergen
secara bermakna akan meningkatkan prevalensi asma. Imunoterapi bekerja pada
antibodi spesifik terhadap alergen. IgE spesifik meningkat sementara pada awal
pemberian imunoterapi, tetapi menurun setelah dosis rumatan. Reaksi cepat kulit
menurun setelah imunoterapi tetapi sangat kecil perannya dalam perbaikan klinis.
Dipihak lain, reaksi lambat pada uji kulit menurun secara nyata setelah
imunoterapi. Imunoterapi juga menginduksi IgG spesifik terhadap alergen,
berfungsi untuk meniadakan respons alergi walaupun terdapat korelasi lemah
dengan perbaikan klinis. IgG terutama meningkat berkorelasi dengan
peningkatan dosis.3,7,14,18,20
Imunoterapi rupanya mempunyai efek modulasi pada sel T, hal ini
menerangkan mengapa gejala klinis dan reaksi lambat sangat ditekan walaupun
penurunan antibodi tidak menurun bermakna. Berdasarkan hal ini beberapa
formula baru imunoterapi telah dirancang dengan menggunakan peptide sel T
atau bentuk konjugasi alergen untuk menggeser sitokin kearah pola Th1.
Imunoterapi spesifik sangat efektif untuk rinitis alergi jika penyebabnya terbatas.
Seperti penggunaan untuk penyakit lain, sangat penting dilakukan pemilihan
pasien yang tepat. Efektifitas imunoterapi terhadap rinitis alergi musiman
(Seasonal Allergic Rhinitis) terutama yang gagal pengobatan konvensional, telah
banyak dibuktikan pada beberapa penelitian. Data yang telah ada menunjukkan
bahwa pemberian imunoterapi selama 3 tahun pada rinitis alergika cukup efektif
memberi penyembuhan, dan khasiatnya masih bertahan sampai 6 tahun setelah
imunoterapi dihentikan. Hal ini sangat kontras dengan pengobatan konvensional
yang biasanya berhenti khasiatnya begitu pengobatan dihentikan.7,14
Kegunaan imunoterapi untuk rinitis alergi perennial kurang memuaskan
dibanding rinitis alergi musiman. Hal ini mencerminkan lebih kompleksnya
faktor penyebab rinitis alergi perennial. Selain alergi, ada penyebab lain yaitu
14
instabilitas vasomotor, infeksi, dan, sensitifas terhadap aspirin. Beberapa
penelitian membuktikan adanya perbaikan toleransi terhadap paparan dengan
bulu kucing, baik melalui uji provokasi maupun klinis. Terdapat peningkatan
kadar IgG spesifik terhadap alergen dalam bulan-bulan pertama imunoterapi.
Diperkirakan alergen spesifik IgG ini berfungsi sebagai blocking antibodi dengan
menghalangi antigen berikatan dengan IgE. Imunoterapi juga berperan pada
keseimbangan aksis Th1/Th2, dengan bergeser kearah Th1. Seperti diketahui
fenotipe interleukin Th2 dihubungkan dengan peningkatan penyakit alergi, dan
produksi interleukin Th1 berpengaruh pada proteksi. Imunoterapi juga
mempunyai pengaruh pada sel mast, basofil dan eosinofil. Terdapat penurunan
yang sangat menyolok dari sel mast dan basofil, juga terjadi penurunan eosinofil
dari sekresi nasal dan spesimen bronkial.7
c. Indikasi Imunoterapi.
Imunoterapi pada rinitis alergi hanya diberikan bilamana telah dilakukan
penghindaran alergen dan iritan secara maksimal, dan pemberian medikamentosa
secara benar dan optimal, terutama oleh karena lamanya terapi. Imunoterapi pada
rinitis alergi telah terbukti sangat efektif baik untuk rinitis alergi yang intermiten
maupun persisten. Lamanya terapi biasanya antara 3-5 tahun, dan biasanya gejala
tetap membaik walaupun pengobatan telah dihentikan. Imunoterapi tidak
dilakukan pada keadaan auto imun, kelainan jantung, ada riwayat anafilaksis
sebelum melakukan imunoterapi, keadaan klinis yang tidak adekuat untuk
melakukan imunoterapi, serta keterbatasan fasilitas dan kelengkapan untuk
melakukan resusitasi.3,4,5,13,18
Indikasi imunoterapi adalah untuk penyandang rinitis atau asma alergi yang
disebabkan oleh alergen spesifik. Alergen yang diberikan tersebut telah dijamin
efektifitas dan keamanannya melalui penelitian klinis. Imunoterapi juga di
indikasikan sebagai profilaksis untuk pasien yang sensitif terhadap alergen
selama musim pollen atau perrenial.17
Kontra indikasi relatif imunoterapi adalah sebagai berikut :3,7
1. Anak dibawah usia 5 tahun
15
2. Keadaan hamil sebaiknya tidak dimulai imunoterapi, akan
tetapi bila imunoterapi telah dilakukan sebelum kehamilan
maka dapat diteruskan .
3. Penyakit imunopatologik seperti pneumonitis hipersensitif
termasuk aspergilosis bronkopulmoner alergi
4. Keadaan imunodefisiensi yang berat
5. Keganasan
6. Kelainan psikiatri yang berat
7. Pengobatan dengan penyekat beta, karena reaksi anafilaksis
keadaan akan memberat dan sulit diatasi dengan cara
konvensional
8. Pasien tidak patuh
9. Pasien mengalami efek samping yang berat yang berulang
selama terapi
10. Asma berat yang tidak terkontrol dengan farmakoterapi
11. Penyakit kronik saluran pernafasan dengan volume ekspirasi
paksa detik- 1(VEP1) < 70% prediksi walaupun telah
mendapatkan farmakoterapi yang optimal
12. Pasien dengan penyakit kardiovaskuler berat yang disebabkan
oleh efek anafilaksis terhadap miokardium. Hipotensi dan
vasokonstriksi pulmoner akan menambah beban jantung juga
perfusi miokardium sendiri akan berkurang.
d. Jenis Imunoterapi.
Jenis-jenis Imunoterapi Alergen Spesifik :13
a). Subcutaneous conventional immunotherapy
b). Subcutaneous cluster immunotherapy
c). Subcutaneous rush immunotherapy
d). Subcutaneous ultra rush immunotherapy
e). Immunotherapy Sublingual swallow
f). Intra nasal immunotherapy
16
Cluster schedules immunotherapy (skedul tandan) ditandai dengan 2 atau
lebih penyuntikan diberikan pada satu kunjungan, sehingga untuk mencapai
dosis pemeliharaan waktu lebih cepat dapat dicapai dibanding skedul
konvensional (Summary).14
Rush immunotherapy (Imunoterapi sangat cepat) adalah rancangan
imunoterapi :
1) Dosis peningkatan dipercepat
2) Pemberian tambahan dosis alergen berulang bertingkat pada
setiap kunjungan dengan interval waktu suntikan bervariasi
antara 15 dan 60 menit.
3) Interval waktu kunjungan 1 sampai 3 hari sampai target dosis
terapeutik/ pemeliharaan dicapai.
4) Dosis pemeliharaan dimungkinkan tercapai dalam waktu 6 hari,
namun pasien memerlukan perawatan di rumah sakit, karena
lebih sering diikuti reaksi sistemik.13
Ultra rush immunotherapy schedules telah dikerjakan pada hipersensitifitas
sengatan serangga untuk mencapai dosis pemeliharaan dalam waktu lebih
singkat (3,5 sampai 4 jam). Local nasal aeroallergen immunotherapy,
merupakan bentuk imunoterapi alternatif yang menggunakan larutan alergen
yang disemprotkan ke mukosa hidung dengan interval waktu tertentu. Efek
samping yang timbul berupa pruritus, kongesti dan bersin. Belum ada penelitian
yang merekomendasikan bentuk ini sebagai salah satu imunoterapi.3,5,7,13
Sublingual Immunotherapy, adalah cara lain imunoterapi.
Sebagai alternatif pemberian yang lebih aman dan nyaman bagi pasien adalah
ekstrak tumbuhan yang dicampur dengan alergen dan diberikan secara oral atau
sublingual. Cara kerja imunoterapi sublingual adalah dengan mengubah respons
limfosit T terhadap alergen. Pemberian imunoterapi sublingual ternyata lebih
hemat, lebih aman, dan nyaman bagi pasien serta tidak memerlukan supervise
medis dalam pelaksanaan tetapi efektifitasnya lebih rendah daripada
imunoterapi suntikan.3,10,15,16
17
e. Prosedur Pemberian.
Keputusan untuk memberikan imunoterapi berdasarkan kriteria pemilihan
pasien yang tepat, antigen yang tepat dan dilakukan hanya oleh tenaga medis
yang telah mendapat pelatihan dan pengalaman dalam bidang imunoterapi.
Untuk persiapan pasien dapat mengikuti petunjuk dibawah ini:7
1) Identifikasi pasien, kehadiran, memanggil nama lengkap dan
mencocokkan tanggal lahir atau nomor pasien.
2) Apakah ada riwayat terjadi reaksi pada pemberian terakhir.
3) Terapkan aturan “3 benar” yaitu: kartu (chart) yang benar,
antigen benar, pasien benar
4) Triple check antigen, yakni: label, nama pasien, isi
pengenceran, tanggal kadaluarsa, tanggal penyuntikan terakhir.
Sebelum melakukan imunoterapi, harus memahami sebagai berikut:
a. Cara penyesuaian dosis untuk meminimalkan reaksi
b. Cara penatalaksanaan reaksi lokal dan sistemik
c. Telah mendapat pelatihan resusitasi jantung paru
d. Memiliki alat resusitasi termasuk stetoskop, sfigmomanometer,
jarum suntik, epinefrin, antihistamin, steroid, oksigen, oral
airway, cairan intravena, set infuse, set trakeotomi, nebulizer,
dan obat bronkodilator inhalasi.
Langkah melakukan imunoterapi sebagai berikut:7,13
1. Diberikan dengan cara suntikan subkutan pada regio deltoid secara
bergantian pada periode imunoterapi. Dengan menggunakan semprit
0,5-1,0 ml untuk pengukuran yang akurat jumlah antigen yang masuk
dan jarum 27 G untuk kenyamanan pasien, Jarum disuntikkan dan
setelah masuk pada posisi subkutan jarum diaspirasi. Apabila darah
teraspirasi maka semprit tersebut harus dibuang dan prosedur dimulai
lagi dari awal. Semprit yang digunakan harus berbeda untuk setiap
pasien untuk mencegah penularan penyakit infeksi. Setelah
penyuntikan pasien diminta menunggu selama 20-30 menit untuk
18
mengantisipasi reaksi sistemik yang mungkin muncul dalam periode
tersebut. Pasien dengan derajat hipersensitivitas tinggi harus
diobservasi selama 30 menit atau lebih.
2. Ekstrak alergen dapat diberikan secara tunggal atau dicampur
(idealnya kurang dari 10 jenis alergen), akan tetapi campuran ini
akan mengencerkan kadar setiap alergen dan dapat mengurangi
respons terhadap imunoterapi.
3. Jenis alergen yang diberikan tergantung penilaian klinisi didasarkan
pada jenis alergen yang memberi hasil positif pada uji kulit dan yang
menimbulkan gejala klinis bila terpajan. Jenis alergen yang dapat
diberikan secara injeksi subkutan adalah bermacam jenis serbuk sari
(pollen), tungau debu rumah dan bulu kucing.
4. Imunoterapi dapat diberikan satu sampai dua kali seminggu dengan
dosis awal dimulai dengan 0,05 ml alergen konsentrasi 1:10.000
sampai 1:1.000.000 berat/volume (wt/vol) ditingkatkan sampai
tercapai dosis pemeliharaan yaitu 0,05 ml alergen konsentrasi 1:100.
Lama penyuntikan 6-10 bulan untuk mencapai dosis pemeliharaan.
5. Dosis pemeliharaan diberikan dalam interval 2-4 minggu selama 3-5
tahun dan berdasarkan penelitian, cukup untuk memberikan
perlindungan jangka panjang pada hampir semua pasien (cara
lambat).
6. Pemberian imunoterapi dengan cara cepat, dilakukan dengan
menyuntikkan alergen 4 kali sehari dengan interval ½ jam dan
diulang setelah 2 minggu. Respons antibodi yang diinginkan terjadi
setelah 5 kali kunjungan.
7. Cara Cluster merupakan modifikasi cara lambat dan cara cepat
dengan memberikan 2-4 kali suntikan dalam sehari, diulang setelah
1-2 minggu sampai dosis maksimal dan dipertahankan dengan dosis
pemeliharaan.
f. Dosis dan Cara pemberian
19
Prinsip dasarnya adalah dosis permulaan yang diberikan adalah 1/10 dari
dosis yang menimbulkan reaksi tes kulit positif, dan dosis dinaikkan sedikit demi
sedikit setiap minggunya sampai mencapai 1000-10.000 kali dosis awal yang
masih ditoleransi. Biasanya memerlukan waktu sedikitnya 6 bulan dengan
penyuntikan 1 minggu sekali untuk mencapai dosis pemeliharaan. Kalau terjadi
reaksi sistemik, maka dosis yang lebih rendah menjadi dosis maksimum yang
dapat ditoleransi. Sekali dosis pemeliharaan tercapai, biasanya terapi akan
dilanjutkan dalam 3 tahun atau lebih. Kalau seorang anak sudah dapat
mentoleransi paparan alergen tanpa menimbulkan serangan, maka imunoterapi
dapat dihentikan.7,13,17,18
Pasien yang menjalani dosis pemeliharaan imunoterapi perlu :13
1) Kontrol ulang sekurang-kurangnya 6 atau 12 bulan.
2) Kontrol periodik perlu meliputi pengukuran gejala, dan
penggunaan obat-obatan, riwayat penyakit sejak kontrol terakhir dan
evaluasi klinis imunoterapi.
3) Dipertimbangkan dosis dan rancangan imunoterapi, dicatat
riwayat reaksi imunoterapi dan ketaatan pasien.
4) Pada keadaan seperti adanya reaksi sistemik dan pasien kurang
taat, perlu mempertimbangkan kembali rancangan imunoterapi.
5) Belum ada petanda spesifik sebagai penduga siapa yang akan
tetap dalam kondisi remisi klinis setelah penghentian imunoterapi
yang efektif.
6) Beberapa pasien akan tetap dalam keadaan remisi seperti gejala-
gejala terakhir pada saat penghentian alergen imunoterapi.
7) Seperti halnya pada keputusan mulai menjalani imunoterapi,
keputusan untuk menghentikan imunoterapi juga harus bersifat
individualistic.
8) Memperhatikan faktor-faktor tingkat beratnya penyakit sebelum
pengobatan, manfaat pengobatan yang terus menerus (sustained), dan
penggangguan (inconvenience) dari imunoterapi pada pasien tertentu.
20
9) Efek potensial kekambuhan klinis yang mungkin terjadi pada
pasien tersebut.
10) Lamanya imunoterapi harus individual berdasarkan : Respon
klinis pasien terhadap imunoterapi, beratnya penyakit terhadap
imunoterapi, riwayat respon klinis pasien, riwayat reaksi imunoterapi
dan tergantung keinginan maupun keputusan pasien.
g. Efek Samping.
Efek samping setelah imunoterapi bisa berupa reaksi lokal maupun
sistemik. Suatu penelitian melaporkan bahwa 3 sampai 7% pasien dapat
mengalami reaksi sistemik, dimana reaksi sistemik dapat ringan atau berat
(anafilaksis) dan dapat terjadi pada setiap 250 sampai 1600 penyuntikan,
umumnya reaksi berat sistemik terjadi dalam waktu 30 menit setelah
suntikan, tetapi dapat juga terjadi setelah 30 menit, sekitar 40-70% dapat
mengenai saluran pernafasan (stridor, rinitis, mengi) dan hampir 10%
disertai hipotensi. Reaksi yang fatal dapat terjadi pada 1:2 juta atau 1:3 juta
suntikan. Reaksi yang tersering terjadi pada waktu pemberian dosis
pemeliharaan. Reaksi lebih sering terjadi pada anak remaja dan pada waktu
pajanan terhadap alergen tinggi. Faktor resiko untuk terjadinya reaksi berat
antara lain asma berat, usia kurang dari 5 tahun dan penggunaan beta bloker.
Untuk alasan ini, penyuntikan harus dilakukan di fasilitas kesehatan dan oleh
orang yang mengetahui dan dapat mengenali dan mengatasi reaksi sistemik
anafilaksis. Harus tersedia fasilitas minimal untuk resusitasi. Setelah
penyuntikan, pasien harus menunggu selama 30 menit, dan diawasi bila
tampak tanda reaksi alergi. Penyuntikan sebaiknya tidak dilakukan
dirumah.3,7,13
Reaksi lokal yaitu kemerahan dan pembengkakan (urtikaria) pada
tempat suntikan yang menimbulkan sedikit keluhan. Pengobatan dengan
melakukan kompres dingin, pemberian antihistamin oral, steroid topikal dan
pengurangan dosis. Reaksi vasovagal meliputi penurunan tekanan darah
dengan perlambatan frekuensi nadi, kulit menjadi dingin atau hangat disertai
21
pengeluaran keringat tanpa timbul urtikaria atau angioedema. Reaksi
vasovagal tidak memerlukan pengobatan dan modifikasi dosis karena segera
memberi respon dengan menelentangkan pasien. Adrenalin merupakan
pengobatan pilihan pada anafilaksis, lebih baik diberikan secara
intramuskular, walaupun suntikan subkutan juga dapat diterima.
Antihistamin dan kortikosteroid sistemik merupakan pengobatan sekunder,
yang mampu menolong memodifikasi reaksi sistemik, tetapi tidak boleh
menggantikan epinefrin pada pengobatan anafilaksis. Infus NaCl fisiologis
atau pemberian oksigen perlu diberikan pada kasus berat.13
Dosis imunoterapi dan tahapannya harus dievaluasi setelah terjadinya
reaksi sistemik terinduksi alergen spesifik imunoterapi. Setelah reaksi
sistemik, untuk beberapa pasien dosis pemeliharaan imunoterapi perlu
dikurangi karena dapat terjadi reaksi sistemik berulang akibat imunoterapi.
Bahkan setelah reaksi sistemik berat, pertimbangkan penghentian
imunoterapi.13
KESIMPULAN
1. Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi mukosa hidung yang diperantarai
oleh Imunoglobulin E (IgE), dan biasanya berpengaruh pada kualitas hidup.
2. Diagnosis Rinitis Alergi melibatkan anamneses dan pemeriksaan klinis yang
cermat (pemeriksaan fisik THT-KL) dan pemeriksaan penunjang.
3. Imunoterapi merupakan pengobatan yang sangat efektif pada pasien Rinitis
Alergi.
22
4. Mekanisme kerja imunoterapi adalah memberikan efek imunologi yaitu
menginduksi antibodi penghalang yang bersaing dengan IgE, menurunkan
IgE, memodulasi sel mast dan basofil dan peningkatan aktivitas limfosit T
supresor, sehingga terjadi penurunan respon alergi.
5. Imunoterapi alergen diberikan dengan cara suntikan subkutan tetapi
disamping itu ada cara lain yaitu lokal nasal dan sublingual oral.
DAFTAR PUSTAKA
1. Irawati N ,Kasakeyan E, Rusmono N: Rinitis Alergi: Soepardi EA,Iskandar
N,Ed. Buku ajar ilmu penyakit THT. Edisi ke-6, Jakarta: FK UI,2007,h.118-
22,128-34.
2. Shah SB.Nonallergik dan Allergic rhinitis in: Lalwani AK,editor:Current
Otolaryngology Head and Neck Surgery 2nd . McGraw-Hill 2008.p.264-72.
23
3. Lee KJ. Immunology and Allergy in: Lee KJ,editor.Essential
Otolaryngology Head and Neck Surgery 8th. McGraw-Hill 2003.p 486-04.
4. Pawarti DR.Diagnosis Rinitis Alergi. Kumpulan Naskah Ilmiah Alergi
Imunologi-Rinologi,Surabaya 2009.h.1-11.
5. Krouse JH.Allergic and Non Allergic Rhinitis in: Bayle, Byron J.editor.Head
and Neck Surgery-Otolaryngology 4th. Lippincott William 2006.p.352-56.
6. Harsono A. Perkembangan Baru Imunoterapi, dalam: Divisi Alergi
Imunologi Ilmu Kesehatan Anak RSU Dr Soetomo FK UNAIR/ RSU Dr
soetomo Surabaya.
7. Judarwanto W. Penggunaan Imunoterapi pada penderita Alergi.in:Children’s
Allergic Clinic. Available at: htpp://www.children allergy
clinic.wordpress.com.2010.
8. Ballenger JJ. Reaksi alergi : Bernstein JM,Ed. Penyakit THT Kepala dan
Leher jilid 1. edisi ke-13. Jakarta: Binarupa Aksara, 1999.h.1-17,163-72.
9. Blumenthal MN. Kelainan Alergi pada pasien THT.dalam : Boies LR,Adam
GL,Higler PA,Ed. Buku Ajar Penyakit THT, edisi ke-6, Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC,1997,h.190-98.
10. Wikipedia. Sublingual Immunotherapy. Available at :htpp : // en.wikipedia.
org./ wiki. article = D 003888, 2007.
11. Yahency, Movieta. Prevalensi dan Faktor resiko alergi pada anak usia 6-7
tahun di Semarang. Available at: http :// eprints.Undip.ac.id/ article = 12552,
2005.
12. Nurcahyo. Reaksi Alergi. Available at : htpp : // www. Indonesiaindonesia.
com. 2000.
13. Sumarman J. Update Guideline 2007 on Allergen Spesifik Immunotherapy in
Allergic Rhinitis. Kumpulan naskah ilmiah Alergi- Imunology-Rinologi,
Surabaya 2009. 23-37.
14. Jayaseker NP et all . Mechanism of Immunotherapy in Allergic Rhinitis.
Biomedicine and Pharmacotherapy 2007.
24
15. Canonica GW, Passalacque G. Sublingual Immunotherapy in the treatment of
adult allergic rhinitis patient : A Review article.Journal Compilation .2006:
20-22.
16. Martinez AB et all. Sublingual immunotherapy in Seasonal Allergic rhinitis.
Acta Otorrinolaringology. Esp 2005;56; 112-15
17. Burton MJ, Krouse JH et all, Ekstract from the Cochrane Library :Allergen
Injection Immunotherapy for Seasonal allergic rhinitis. review:
otolaryngology head and Neck Surgery.2007.136; 511-14
18. Dhanasekar G,Izzat AB et all, Immunotherapy for allergic rhinitis. review:
The Journal of Laryngology and Otology.okt 2005;119;799-804.
19. Kim MY,Leong JL.Evidence –Based Practise. review article: J Singapore
Med.2010; 51;542-48.
20. Fujimura T,Okamoto Y. Antigen Spesifik Immunotherapy against Allergic
Rhinitis. J Allergology International. 2010;59;1-9
21. Lekman JM, Liebermen P. Office-Based Management of Allergic rhinitis in
Adult. The American Journal of medicine. 2007;120;659-663.
.
25
26