tugas suprapto

26
Nama : Suprapto Npm : 29141147 Semester : 8 ( delapan ) Fakultas / Prodi : FISIP / Ilmu Administrasi Negara Mata Kuliah : Manajemen Pelayanan Publik (semester 6) 1. Metode Memangkas Birokrasi karangan David Osborne dan Peter Plastrik Sebelum memulai membedah konsep buku tentang birokrasi yang cukup spkektakuler ini,kiranya kita perlu mencoba mereview kembali bagaimana perjalanan reformasi yag menghasilkan sebuah hadiah politik dari pemerinah pusat yang dinamakan otonomi daerah.Kata kunci otonomi daerah itu sebetulnya adalah berupa kewenangan yang banyak (sekarang semakin lebih banyak porsinya),kepada daerah untuk mengeloloa daeranya,bahkan kewenangan membuat sebuah keputusan keputusan politis yang cukup berani. Suatu contoh tentang peraturan peraturan daerah yang kendati kadang justru tidak efektif dan banyak ditolak oleh pemerintah pusat.Otonomi daerah ini seakan telah memunculkan raja raja kecil di daerah.Tetapi ini adalah dari sisi negatifnya,karena banyak setelah digulirkannya otonomi darah yang lebih luas ,banyak daerah yang justru kreatif untuk memajukan daerahnya.Suatu contoh di kota Solo yan akhirnya dapat menjadi lebih maju kendati proporsional pendapatan masih banyak ditopang oleh dana dari pusat(realitanya proporsi APBD dari PAD belum cukup mendanai

Transcript of tugas suprapto

Page 1: tugas suprapto

Nama                 : Suprapto

Npm                   : 29141147

Semester             : 8 ( delapan )

Fakultas / Prodi  : FISIP / Ilmu Administrasi Negara

Mata Kuliah       : Manajemen Pelayanan Publik (semester 6)

1.      Metode Memangkas Birokrasi karangan David Osborne dan Peter Plastrik

Sebelum memulai membedah konsep buku tentang birokrasi yang cukup spkektakuler

ini,kiranya kita perlu mencoba mereview kembali bagaimana perjalanan reformasi yag

menghasilkan sebuah hadiah politik dari pemerinah pusat yang dinamakan otonomi daerah.Kata

kunci otonomi daerah itu sebetulnya adalah berupa kewenangan yang banyak (sekarang semakin

lebih banyak porsinya),kepada daerah untuk mengeloloa daeranya,bahkan kewenangan membuat

sebuah keputusan keputusan politis yang cukup berani.

Suatu contoh tentang peraturan peraturan daerah yang kendati kadang justru tidak efektif dan

banyak ditolak oleh pemerintah pusat.Otonomi daerah ini seakan telah memunculkan raja raja

kecil di daerah.Tetapi ini adalah dari sisi negatifnya,karena banyak setelah digulirkannya

otonomi darah yang lebih luas ,banyak daerah yang justru kreatif untuk memajukan

daerahnya.Suatu contoh di kota Solo yan akhirnya dapat menjadi lebih maju kendati

proporsional pendapatan masih banyak ditopang oleh dana dari pusat(realitanya proporsi APBD

dari PAD belum cukup mendanai kegiatan pembangunannya,paling PAD baru dapat

memberikan kontribusi 30persen,itupun sudah bagus dibanding daerah lain).Okelah saya kira itu

masih dapat dimaklumi,tetapi dengan hasrat dan kerajinan untuk melakukan neo dengan

pusat,kota Solo berhasil menggaet banyak dan ,dan sudah nampak hasilnya berupa pembanuna

infrastrutur kota.Meski begitu implikasi pemberian kewenangan ini terkadang tidak terkontrol

oleh nafsu untuk memicu pendapatan daerah sesuai kewenangannya misalnya kenaikan pajak

daerah,retribusi dsb.Ini selalu membawa mplikasi kepada pemberatan masyarakat khususnya

sektor informal,bahkan ironisnya dalam sidang sidang komisi di dewan lokal,nafsu untuk

menggenjot target PAD ini menjadi agenda dalam setiap sidang.

Pajak daerah dan retribusiini kalau dikelola dengan baik sebetulnya masih optimal,hanya banyak

kebocoran kebocoran baik langsung maupun tidaklangsung.Pemerintah daerah mestinya dalam

upaya meningkatkan pendapatannya masih banyak cara yang cerdas tanpa harus mencekik

Page 2: tugas suprapto

masyarakat dengan segala tetek bengek pungutan.Ini harus dilandasi dengan konsep dan

komitmen dari birokratnya.

Sebuah konsep tentang efisiaensi birokrasi,yaitu memangkas birokrasi,tentu saja bukan terus

berarti meniadakan atau menguruskannya semata,tetapi bagaimana birokrasi mulai bisa berubah

menghadapi paradigma yang terus berubah juga>pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana

kesiapan birokrasi melalui instrumen,cultur atau budaya,dan strukturalnya,maka saya kira

perubahan harus dimulai dari sana yaitu bagaimana birokrasi bisa berujud lebih

akuntabel,enterpreunuer dan siap menghadapi tantangan baik internal maupun eksternal.

Untuk itu berangkat dari permasalahan diatas ,saya kira kita tidak ada salahnya meninjau atau

mengintip sistem yang sudah dilakukan dinegara maju,seperti konsep konsep reinventing

government dan banishing birokrasi.dDalam banishing birokrasi konon mencakup strategi

strategi yang dapat dipakai dasar menuju perubahan organisasi publik yang masih kaku (maaf

sekarang di Pemerintah kota Solo sepertinya sang pejabat birokrasi tertingginya nampaknya

menggunakan teori "X" yaitub menganggap orang itu malas,harus diawasi terus,alhasil sebuah

seremonial yang tidak efisien seperti apel pagi yang berlama lama,ini kan memakan waktu untuk

melayani masyakat).Oke mari kita kembali agak konsern kepada pembedahan konsep

reinventing government.

Apa itu Banishing Bureaucracy ?

Buku ini sebetulnya sudah lama ditrapkan di Amerika,dan hasinya juga cukup bagus,judulnya

memang agak ekstrim yaitu :memangkas birokrasi,disitu ada palin tidak 5(lima) srategi penting

(tetapai oleh penulisnya reivention ini bukan dalam arti membabi buta memangkas semua sistem

yang sudah tertata.

Reinvention ini mengharapkan birokrasi lebih nampak konstan dalam posisi yang lebih

efisien,sehingga ibarat " bukan menyiangi rumput,tetapi bagaimana mengatur bagaimana

tanaman terbebas dari rumpu".Dan lebih pentinglagi :reinventing govrnmement tidak harus

sinonim dengan memperkecil pemerintahan,ini bisa terjadi,mungkin organisasi publik lain bisa

lebih efektif kalau strukturnya lebih kecil,dan sebaliknya.

Maka yang terpenting adalah bagaimaaukuran struktur organisasi publik itu bisa menghasilkan

kinerja yang maksimal,artinya organisasi publik harus mengikuti fungsinya dan

ukuran(struktur)mengikuti strateginya.>Sebagai contoh,jika semua organisasi publik dipotong

strukturnya sdan apalagi anggarannya sampai 30 persen,maka tidakakan ada perubahan disana

Page 3: tugas suprapto

dan justru tidak efisien.Ibarat menyingkirkanbutiran padi dari tumpukan pasir,yang ada tetap

tetap tumpukan pasir.Maka itu berarti :downsizing.Tetapi reinventing adalah mencampur

tumpukan pasir dengan karbon atau magnesium dan mengaduknya ,maka yang adalah :silikon"

maka ada perubahan disana.

Reinvention bukan pula berarti privatisasi dengan menjual aset,kontrak atau sejenisnya.Tetapi

sebagaimana dianjurkan reinventing government,reinvention adalah output organisasi publik

dapat lebih kompetitif dan mendorong output dapat lebih berkembang>privatisasi sama halnya

memindahkan monopoli dan sama konyolnya.Perlu dipahamai oleh kita bahawa yag dikehendaki

masyarakat adalah bukan organisasi publik yang kumuh,murah,tetapi bagaimana kinerjanya baik

dan cepat,mampu bekerja baik.Yang dituntut masyarakat adalah bukan pegawai yang digaji

murah,tetapi pelayanan yang baik dan pemerintahan birokrasi yang enterprenur.

Lebih dari itu reinvention jauh dari pengertian Total Quality Management,ia lebih dari itu,dan

organisasi publik lebih komleks karena cakupan lebih luas dan sangat bersinggungan denganhal

hal yang bersifat politis.Jadi dengan demikian "reinvention" adalah tidak lebih harus mampu

mengganti sitem birokrasi yang inovativ,kreatif dan yangbllebih penting bisa membuat birokrasi

yang :"self renewing system"Dalam arti kata siap menghadapi setiap perubahan dan tantangan.

Dari penjelasan diatas,pengarang buku ini menyimpulkan bahwa oraganisasi publik ibarat

organisme (dia menidentikkan reinvention sebagai organisme tanaman,bahkan dia memberi

makna sama anatara inventors dengan farmer)yang dibentuk dan ditentukan perilakunya oleh

DNA (Deoxribonulceic Acid)DNA ini merupakan sel inti yang menentukan watak dan karakter

mahkluk hidup.Merubah organisme berarti mengubah DNAnya,format ulang Osborne memberi

istilah "rewriting the genetic code)terhadap DNA menjadi penting manakala kita hendak

meningkatkan kinerja birokrasi. DNA ini terdiri dri pelbagai unsur mencakup :kesatu:tujuan

insentif,kedua: akuntabilitas,ketiga:struktur,kekuasaan,kempat:kultur.Kelima unsur ini saling

mengkait.

Osborne akhirnya menawarkan cara terbaik mengubah DNA tersebut,ia memberi istilah tersebut

sebagai strategi :

Pertama,core strategyyaitu yang srategi ni menurutnya yang paling kritis dan merupakan intinya

(core).Sebab jika tidak tahu arah mana yang akan dituju,tidak mengandung arti ganda (bersyap)

dan saling bertentangan.Tujuan ini menjadi intinya karena tujuan akan berimplikasi dengan

fungsi funsi organisasi.

Page 4: tugas suprapto

Kedua, strategi :Consecuences.Strategi kedua ini mementukan sistem insentif yang

tepat.Osborne menganjurkan bahwa setiap organisasi oublik dapat diukur outputnya,maka

menciptakan sisitem insentif seperti yang dikenbangkan organisasi privat yang berladaskan pasar

adalah merupakan keharusan.

Ketiga, strategi "customer".Strategi ini dijalakan dengan memfocuskan pada pertanggung

jawaban kegiatan kegiatan pada pengguna jasa/nasyarakat.Customer diberikan pilihan akan

pilihan yang seharusnya ia terima.Strategi ini mengarahkan pada maslah akuntabilitas.

Keempat,strategi :control" lebih memfocuskan pada penentuan pada level mana kekuasaan untuk

membuat keputusan seharusnya diketakan pada level bawah.ini tujuannnya adaah masalah

responsifitas

Kelima, strategi "culture" yaitu meletakan nilai,norma, sikap dan harapan stakeholders yang

sesuai degan tujuan organisasi,sistem insentifnya,sistem akuntabilitasnya dan sistem struktur

kekuasaan.

Dengan menerapkan kelima strategi tersebut,diharapkan kinerja birokrasi menjadi lebih

baik.Namum perlu diwaspadai buku ini ditulis dan diterapkan di negara yang berbeda budaya

dan sistem politiknya. Dan lagi negara negara maju sudah bisa membedakan dan mengenal

dengan baik antara konsep organisasi publik dan privat.sehingga perlu waktu untk

penyesuaiannya.

 

2.      Analisa Good Governance dan Sound Governance ( Paradigma baru arah

pembangunan di era globalisasi )

 “ Good Governance tidak lebih sebagai konsep imperialis dan kolonialis. Good Governance

hanya akan mengerdilkan struktur negara berkembang, sementara kekuatan bisnis dunia makin

membesar”, pernyataan Presiden Tanzania Julius K. Nyerere di depan Konferensi PBB di Afrika

tahun 1998.

1.      Pendahuluan

Terlepas dari benar salahnya kritik sang Presiden, tapi gugatannya tersebut merupakan bentuk

pernyataan yang mengarah pada pengaruh struktur global terhadap reformasi pemerintahan.

Good Governance (GG) sendiri dalam kemunculannya ditangkap oleh dunia internasional

sebagai ramuan mujarab pembangunan internasional dan telah dipercaya lembaga-lembaga

donor sejak lebih dari sepuluh tahun terakhir. Konsep ini telah menjadi kata ajaib (buzzword)

Page 5: tugas suprapto

yang bisa melewati batas-batas perbicangan dimensional dan sektoral. Batas dimensional adalah

ketika kita berhadapan dengan perbicangan ekonomi, politik, sosial, bahkan lingkungan hidup.

Sedangkan batas sektoral adalah mencakup berbagai sektor seperti pertanian, kemiskinan,

transportasi, bisnis perusahaan, kelautan, maupun pengendalian polusi. Good Governance telah

menjelma seperti hantu yang bisa merasuki setiap pojok ruang-ruang diskusi.

Dalam kajian administrasi publik good governance sedikit banyak juga telah melakukan revisi

total atas term Administrasi Publik yang selama ini telah terlanjur institusionalistik. Governance

sudah bukan lagi secara eksklusif menu yang disuguhkan pada negara dan sub-sub organisasinya

(public sectors). Governance adalah sebuah proses berinteraksinya berbagai elemen (dipersempit

dalam tiga aktor kunci, yaitu negara, masyarakat dan bisnis) utamanya dalam mengelola sektor-

sektor yang menjadi hak publik atau public patrimony. Produk yang paling fenomenal dari good

governance adalah ketika dirinya berhasil menemukan missing link antara kerja refomasi

pemerintahan dengan penanggulangan kemiskinan. Argumentasinya adalah dengan Good

Governance maka distribusi anggaran pemerintah dan kalangan bisnis kepada masyarakat miskin

makin terbuka lebar (Renzio, 1997).

Namun, seiring berjalannya waktu, tersebar kabar juga, bahwa agenda good governance telah

gagal berbuat sesuai dengan tujuan yang dinyatakan. Sebagian karena karakteristknya sulit

didefinisikan dan dilaksanakan. Kejadian krisis pangan di sebagian belahan dunia salah satunya

kawasan Afrika, kenaikan harga pangan berkisar dua kali lipat di Afrika (Times/04/08). Serta

fenomena yang terjadi di Chile, sebagai negara barometer ekonomi Amerika Latin mengalami

penurunan daya beli rata-rata 20% hingga akhir tahun lalu (Economist/10/2007). Bahkan di

Indonesia, kita telah sama mearasakan kenaikan harga sejak awal tahun ini. Peristiwa-peristiwa

ini merupakan bukti tentang rapuhnya (fragile) dunia kita. Peristiwa-peristiwa dunia inilah

kemudian menjadi momen yang tepat untuk mengevaluasi kerja lembaga donor internasional

selama ini. Berbagai spekulasi mengaitkan peristiwa ini merupakan bagian kegagalan Good

Governance yang memasukkan arus globalisasi dalam pigura analisisnya Pertanyaannya

kemudian apakah rapuhnya fundamen ekonomi dunia ini merupakan bukti kegagalan proyek

milyaran dollar yang disebut Good Governance? Dan apakah ini kemudian menunjukkan

pertanda harus diakhirinya wacana Good Governance sebagai arah dari pembangunan?

2.      Pembahasan

Transformasi Government menjadi Good Governance

Page 6: tugas suprapto

Pokok bahasan ini akan menjawab pertanyaan pertama dari lontaran pen ulis yang akan di ulas

dalam paper ini. Kenapa penulis mengambil judul pokok bahasan tersebut-bukan sejarah good

governance- karena penulis berpandangan dalam konteks teoritis pembicaraan tentang good

governance tidak bisa lepas dari proses transformasi government, karena dulu istilah

pemerintahan lebih populer sebagai government, bukan governance. Pandangan ini di dasarkan

ulasan Sutoro Eko dalam makalahnya “Mengkaji Ulang Good Governance” yang akan banyak

mewarnai pandangan penulis dalam paper ini .

Transformasi government sendiri sepanjang abad ke-20 secara kronologis berlangsung melalui

beberapa tahap. Tahap I adalah era abad ke-20 yang ditandai dengan konsolidasi pemerintahan

demokratis (democratic government) di dunia Barat. Tahap II berlangsung pada pasca Perang

Dunia I, yang ditandai dengan semakin menguatnya peran pemerintah. Pemerintah mulai tampil

dominan, yang melancarkan regulasi politik, redistribusi ekonomi dan kontrol yang kuat

terhadap ruang-ruang politik dalam masyarakat. Tahap II ini adalah era dimana peran negara

dominan untuk membawa perubahan sosial dan pembangunan ekonomi.

Tahap III, era tahun 1960-an sampai 1970-an, yang menggeser perhatian ke pemerintah di

negara-negara Dunia Ketiga. Era itu adalah perluasan proyek developmentalisme (modernisasi)

yang dilakukan oleh dunia Barat di Dunia Ketiga, yang mulai melancarkan pendalaman

kapitalisme. Pada saat yang sama pendalaman kapitalisme itu diikuti oleh kuatnya negara dan

hadirnya rezim otoritarian di kawasan Asia, Amerika Latin dan Afrika. Perspektif barat

mengasumsikan bahwa modernisasi akan mendorong pembangunan ekonomi dan birokrasi yang

semakin rasional, partisipasi politik semakin meningkat, serta demokrasi semakin tumbuh

berkembang. Perspektif ini kemudian gugur, karena pembangunan ekonomi di kawasan Asia dan

Amerika Latin malah diikuti oleh meluasnya rezim otoritarian yang umumnya ditopang oleh

aliansi antara militer, birokrasi sipil dan masyarakat bisnis internasional.

Tahap IV, memasuki dekade 1980-an, yang ditandai dengan krisis ekonomi dan finansial negara

yang melanda dunia. Di Amerika ketika Reagan naik menjadi presiden maupun di Inggris ketika

diperintah Margaret Tatcher, menghadapi problem serius tersebut. Di Indonesia juga menghadapi

krisis ekonomi yang dimulai dengan anjloknya harga minyak. Krisis ekonomi pada dekade 1980-

an mendorong munculnya cara pandang baru terhadap pemerintah. Pemerintah dimaknai bukan

sebagai solusi terhadap problem yang dihadapi, melainkan justru sebagai akar masalah krisis. [5]

Karena itu pada masa ini berkembang pesat “penyesuaian struktural”, yang lahir dalam bentuk

Page 7: tugas suprapto

deregulasi, debirokratisasi, privatisasi, pelayanan publik berorientasi pasar. Berkembangnya isu-

isu baru ini menandai kemenangan pandangan neoliberal yang sejak lama menghendaki peran

negara secara minimal, dan sekaligus kemenangan pasar dan swasta.

Tahap V, adalah era 1990-an, dimana proyek demokratisasi (yang sudah dimulai dekade 1980-

an) berkembang luas seantero jagad. Pada era ini muncul cara pandang baru terhadap

pemerintahan, yang ditandai munculnya governance dan good governance. Perspektif yang

berpusat pada government bergeser ke perspektif governance. Sejumlah lembaga donor seperti

IMF dan World Bank dan para praktisi pembangunan internasional yang justru memulai

mengembangkan gagasan governance dan juga good governance.

Kemunculan konsep governance menjadi good governance punya cerita panjang, yang terkait

dengan pengelolaan bantuan oleh World Bank. Setelah kemerdekaan, para pemimpin di kawasan

Asia dan Afrika konon mengundang hadirnya donor dan agen-agen internasional untuk

keperluan asistensi membangun badan-badan pemerintahan dan untuk pelatihan para pejabat

publik. Pada waktu itu, tepatnya tahun 1960-an, bantuan-bantuan internasional tersebut dinamai

pembangunan kelembagaan (institution building) ketimbang governance. Namun memasuki

tahun 1990-an, konsep pembangunan kelembagaan mengalami revitalisasi di bawah kontrol

Bank Dunia, sebagai inisiatif “pembangunan kapasitas kelembagaan” (institutional capacity

building) di bawah rubrik “governance untuk pembangunan”.  Bank Dunia sebagai lembaga

yang untuk pertama kalinya telah memperkenalkan konsep ‘public sector management

programs’ (program pengelolaan sektor publik) dalam rangka memperlakukan tata pemerintah

yang lebih baik, khususnya dalam bingkai persyaratan bantuan pembangunan, yang dikenal

dengan Structural Adjustment Program (SAP, atau program penyesuaian struktural) (Dasgupta

1998; World Bank 1983: 46). Good governance dalam konteks tersebut kemudian maknanya

tidak lebih sama dengan a sound of development. Sejak saat itulah awal mula gelombang

penyuntikan dalam upaya memberantas ‘penyakit’ di dunia ketiga dilakukan, dengan cara

mewajibkan sejumlah persyaratan-persyaratan dari Bank Dunia (yang kemudian diikuti oleh

lembaga dan negara donor lainnya). Krisis di Afrika telah membawa pesan yang jelas dalam

memperkenalkan sebuah konsep baru untuk melawan apa yang diidentifikasi Bank Dunia

sebagai sebuah ‘crisis of governance’ atau ‘bad governance’ (World Bank 1992). Tentu, dalam

menyuntikkan ide-ide governance semacam itu, telah diusung pula diskursus sebagai “pemanis”

agar bisa diterima dan terlegitimasi oleh kekuasaan diktatorial yang memang banyak berkuasa

Page 8: tugas suprapto

saat itu, termasuk rezim otoritarian militer Soeharto di Indonesia. Good governance dalam

konteks tersebut adalah imposisi politik hukum yang dikendalikan negara-negara industrial dan

agen internasional (lembaga maupun negara donor) dalam membentuk ketatapemerintahan yang

berselerakan pasar (Stokke 1995; Gathii 1998). Inilah good governance yang lahir dari rahim

agenda besar globalisasi.

Konsep, dan Praktek Good Governance

Konsep good governance menjadi sangat populer digunakan oleh badan-badan donor

internasional, yang sekarang diakui sebagai manifesto politik baru. Analisis Bank Dunia

menekankan pentingnya program governance, yang di dalamnya mencakup kebutuhan akan

kepastian hukum, pers yang bebas, penghormatan pada HAM, dan keterlibatan warga negara

dalam organisasi-organisasi sukarela. Menurut Lancester (1990), program governance itu

memusatkan perhatian pada reduksi besaran organisasi birokrasi pemerintah; privatisasi badan-

badan milik negara; dan perbaikan administrasi bantuan keuangan.

Bank Dunia memberi batasan good governance sebagai pelayanan publik yang efisien, sistem

peradilan yang dapat diandalkan, serta pemerintahan yang bertanggungjawab pada publiknya.

Komunitas Eropa merumuskan good governance sebagai pengelolaan kebijakan sosial ekonomi

yang masuk akal, pengambilan keputusan yang demokratis, transparansi pemerintahan dan

pertanggungjawaban finansial yang memadai, penciptaan lingkungan yang bershabat dengan

pasar bagi pembangunan, langkah-langkah untuk memerangi korupsi, penghargaan terhadap

aturan hukum, penghargaan terhadap HAM, kebebasan pers dan ekspresi.

Sedangkan UNDP (1997) memberi pengertian good governance sebagai sebuah konsensus yang

dicapai oleh pemerintah, warga negara dan sektor swasta bagi penyelenggaraan pemerintahan

dalam sebuah negara. Hal ini merupakan sebuah dialog yang melibatkan seluruh partisipan,

sehingga setiap orang merasa terlibat dalam urusan pemerintahan. Secara tegas, United Nations

Development Programme (UNDP) memberi karakteristik good governance antara lain:

participation, rule of law, transparancy, responsiveness, consensus orientation, equity,

effectiveness and efficiency, accountability, strategic vision. Menurut mereka pola

kepemerintahan yang baru ini, menuntut keterlibatan seluruh elemen yang ada dalam

masyarakat, dan segera bisa terwujud manakala pemerintah didekatkan dengan yang diperintah,

yang berarti harus ada desentralisasi dan otonomi daerah.

Page 9: tugas suprapto

Dalam praktek penyelenggaraan good governance untuk menciptakan demokrasi dan pembaruan

hukum tidak lepas dari support penuh Bank Dunia. Melalui laporan tahunannya Bank Dunia jelas

sekali proposisinya dalam membangun wacana kebutuhan good governance sebagai prasyarat

liberalisasi pasar. Oleh sebab itu, proyek-proyek good governance Bank Dunia, senantiasa

ditujukan pada pendisiplinan ketatapemerintahan yang berorientasikan pada kesetiaan pada

liberalisasi pasar. Pertanyannya mengapa good governance tiba-tiba muncul, lazim dan bertahan

lama sebagai model ketatapemerintahan di Indonesia yang banyak dituturkan, diikuti dan

diajarkan? Mengapa secara cepat ‘pemerintahan yang baik’ menjadi akrab dengan dunia

birokrasi, dunia usaha, dunia kampus dan pusat-pusat studi (yang juga tumbuh subur bak jamur

di musim hujan), dunia aktivisme organisasi non-pemerintah (utamanya yang bergerak di isu

kebijakan publik dan antikorupsi), dan yang paling aneh tapi nyata, hampir semua lembaga-

lembaga dana internasional dan negara-negara donor serempak menggerojok (baik utang maupun

hibah) milyaran US dollars untuk proyek good governance?.

Pendapat mengatakan bahwa kemunculan proyek-proyek good governance yang cukup sukses

adalah terkait dengan kesuksesan model negara pembangunan (developmental state model)

diantara negara-negara industrialisasi baru di Asia Timur dan Asia Tenggara (Tshuma 1999;

White 1987; Wade 1990). Pendapat lainnya mengatakan bahwa ideologi neo-liberal telah

melesat setelah runtuhnya komunisme dan membangun suatu suasana kondusif bagi kelahiran

governance sebagai sebuah isu pembangunan, dan karena neo-liberalisme sebagai ideologi

dominan mencoba untuk mengkonstruksi ‘politically lock-in neo-liberal reforms’ (Gill,1997).

Kedua pendapat di atas relevan dengan kemunculan good governance di Indonesia, karena selain

kebijakan pemerintah yang berorientasikan pembangunan semasa Orde Baru, dukungan Bank

Dunia dan IMF dalam mengguyurkan utang yang disertai persyaratan-persyaratan khusus

melengkapi posisi Indonesia yang mengarah pada disain liberalisasi pasar.Tetapi bila dilihat

secara lebih dalam, dengan menggunakan analisis hegemoni, nampak bahwa good governance

bekerja dengan menggunakan rasionalitas dan teknologi kekuasaan untuk menghasilkan mesin

yang halus dan efektif bagi upaya liberalisasi pasar.

Bank Dunia sendiri dalam mempromosikan good governance di Indonesia melalui tiga pintu: (i)

CGI (Consultative Group on Indonesia); (ii) Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan

(Partnership for Governance Reform); dan (iii) Justice for the Poor. Dalam forum tahunan CGI,

Bank Dunia memimpin dan memiliki kekuasaan untuk mengarahkan (mendikte) kebijakan

Page 10: tugas suprapto

ekonomi (termasuk desakan pembentukan peraturan perundang-undangan).Ini bisa terjadi karena

pemerintah masih menerima kucuran utang sehingga prasyarat utang tersebut harus dipenuhi

sebagai kompensasinya. Sedangkan Bank Dunia pula bekerja secara dekat dengan UNDP dan

ADB sebagai sponsor dana utama untuk Partnership for Governance Reform (World Bank

2003a). Melalui forum kelompok multi-stakeholder di Kemitraan ini, Bank Dunia telah terlibat

aktif dalam membuat kerangka kerja hukum untuk pembangunan (legal framework for

development), seperti pembaruan peradilan, pembaruan hukum, dan pembentukan lembaga

pemerintahan baru (World Bank 2003b). Pengaruh besar kemitraan ini adalah justru peran

hegemoninya sebagai lembaga dana untuk proyek-proyek governance yang dijalankan oleh tidak

saja lembaga negara, namun juga organisasi non-pemerintah.

Sedangkan Justice for the Poor adalah sebuah institusi yang baru-baru saja dikreasi Bank Dunia

dalam mempromosikan pengurangan kemiskinan di Indonesia, khususnya sebuah strategi

pemberdayaan untuk kaum miskin melalui bantuan hukum. Bagi Bank Dunia, program-program

pemberdayaan hukum dan penyadaran hukum merupakan hal penting dalam mewujudkan kaum

miskin atas akses keadilan. Dalam urusan pemantauan korupsi, Bank Dunia sendiri memilih

menfokuskan lebih banyak pada proyek-proyek yang didanainya sendiri (World Bank 1997a: 29-

34), semacam Proyek Pengembangan Kecamatan (PPK). Proyek pembaruan ketatapemerintahan

melalui good governance cenderung untuk melayani promosi konsensus pembaruan sosial dan

ekonomi, khususnya dengan mengaplikasikan pemberdayaan teknokratik dan bahasa liberal

partisipasi. Di titik ini, diskursus dan arah kecenderungan hak-hak asasi manusia lebih

menyesuaikan dengan liberalisasi pasar. Inilah yang disebut ‘market friendly human rights

paradigm’ (paradigma hak-hak asasi manusia yang ramah pasar). Muncul dan berperannya

Justice for the Poor di Indonesia adalah tak terpisahkan dengan program global dalam Poverty

Reduction Strategy Papers (PRSPs) yang disponsori Bank Dunia. PRSPs telah mengaplikasikan

proyek dan mekanisme seragam untuk berbagai persoalan kemiskinan di negara ketiga. PRSPs

yang demikian harus diimplementasikan sebagai kondisi untuk menerima pinjaman. Berdasarkan

laporan Focus on Global South yang bermarkas di Bangkok, PRSPs telah mempromosikan

kebijakan-kebijakan berorientasikan pasar, perdagangan terbuka, investasi, rezim finansial, dan

mendesakkan peran negara agar menghapus perusahaan-perusahaan milik negara.(Wiratraman

2006: 67).

Kritik Good Governance

Page 11: tugas suprapto

Berdasarkan uraian diatas dalam perjalanan penerapan good governance hampir banyak negara

mengasumsikannya sebagai sebuah ideal type of governance, padahal konsep itu sendiri

sebenarnya dirumuskan oleh banyak praktisi untuk kepentingan praktis-strategis dalam rangka

membangun relasi negara-masyarakat-pasar yang baik dan sejajar.

Beberapa ahli malah tidak setuju dengan konsep good governance, karena dinilai terlalu

bermuatan nilai-nilai ideologis. Alternatif lainnya, menurut Purwo Santoso (2002), adalah

democratic governance, yaitu suatu tata pemerintahan yang berasal dari (partisipasi), yang

dikelola oleh rakyat (institusi demokrasi yang legitimate, akuntabel dan transparan), serta

dimanfaatkan (responsif) untuk kepentingan masyarakat.[  Konseptualisasi ini secara substantif

tidak berbeda jauh dengan konseptualisasi good governance, hanya saja ia tidak memasukkan

dimensi pasar dalam governance.

Selain itu juga ada beberapa hal yang dilupakan oleh kaum intelektual yang terobsesi dengan

konsep good governance seakan-akan menjadikannya suatu konsep linguistik murni, bukan suatu

konsep filsafat politik murni. Meski terdapat kata “good”, dan juga dipertegas dengan nilai serta

prinsip yang demokratis namun kata good tersebut bukan merupakan kontemplasi dari filosofis

para filosof dunia, sedangkan prinsip-prinsip tersebut juga bukan buah kesepakatan para ahli di

dunia. Tidak ada ruang bagi lokalitas untuk mendefinisikan “good” menurut keyakinan mereka.

Term ‘good’ dalam good governance adalah westernized dan diabsolutkan sedemikian rupa

sehingga terkadang mendekati ‘god’.

Kritik berikutnya terhadap good governance adalah kegagalannya dalam memasukkan arus

globalisasi dalam pigura analisisnya. Dalam good governance seolah-olah kehidupan hanya

berkuatat pada interaksi antara pemerintah di negara tertentu, pelaku bisnis di negara tertentu

dengan rakyat di negara tertentu pula. Tentulah ini sangat naif, secara kenyataan bahwa aktor

yang sangat besar dan bekuasa di atas ketiga elemen tersebut tidak dimasukkan dalam hitungan,

aktor tersebut adalah dunia internasional. Merestrukturisasi pola relasi pemerintah, swasta dan

masyarakat secara domestik dengan mengabaikan peran aktor internasional adalah pengingkaran

atas realitas global. Dampak dari pengingkaran ini adalah banyaknya variable, yang sebenarnya

sangat penting, tidak masuk kedalam hitungan. Variabel-variabel yang absen itu adalah kearifan

lokal (akibat hegemoni terma ‘good’ oleh Barat) dan dampak dari kekuatan kooptatif

internasional.

Page 12: tugas suprapto

Singkatnya, good governance yang saat ini menjadi platform global tentang ke mana arah

pembangunan dunia harus dicapai. Secara konseptual keberhasilan penerapan good governance

di berbagai dunia akan selayaknya juga dibarengi dengan dampak kuatnya fundamental ekonomi

rakyat. Kenyataannya, relasi antara kesejahteraan rakyat dengan good governance tidaklah

seindah teori. Makin merekatnya hubungan antara negara, bisnis dan rakyat ternyata tidak serta

merta menguatkan fundamental ekonomi rakyat. Pukulan krisis pangan adalah bukti konkrit yang

tidak bisa dipecahkan oleh good governance.

Sound Governance : Paradigma baru pembangunan di era globalisasi

Bila kita memahami kembali kutipan diawal pendahuluan pernyataan Presiden Tanzania Julius

K. Nyerere di depan Konferensi PBB sepuluh tahun lalu, beliau dengan lantang telah mengkritik

habis-habisan good governance yang dikatakannya sebagai konsep imperialis dan kolonialis.

Good governance hanya akan mengerdilkan struktur negara berkembang, sementara kekuatan

bisnis dunia makin membesar. Terlepas dari benar salahnya kritik sang Presiden, kritik tersebut

mengilhami Ali Farazmand (2004) dalam menggagas konsep Sound Governance (SG) yang

sekaligus membuka arah baru bagi pembangunan global ke depan. Setelah good governance

berhasil menginklusifkan hubungan si kaya dan si miskin di tingkat nasional, maka fase

berikutnya adalah menginklusifkan hubungan negara kaya dengan negara miskin melalui agenda

Sound Governance. Konsep Sound Governance merupakan konsep baru yang jauh lebih

komprehensif dan reliable dalam menjawab kegagalan epistimologis dan solusi atas arus besar

kesalah kaprahan dari good governance. Terdapat tiga alasan utama yang muncul dari wacana

Sound Governance.

Pertama, dari evaluasi terhadap pelaksanaan good governance bahwa aktor kunci yang berperan

adalah terfokus pada tiga aktor (pemerintah, pasar dan civil society), dan good governance

selama ini lebih merestrukturisasi pola relasi pemerintah, swasta dan masyarakat secara

domestik. Sound Governance mempunyai pandangan yang jauh komprehensif dengan empat

aktor, yaitu tiga aktor sudah diketahui dalam konsep good governance yaitu inklusifitas relasi

politik antara negara, civil society, bisnis yang sifatnya domestik dan satu lagi aktor yaitu

kekuatan internasional. Kekuatan internasional di sini mencakup korporasi global, organisasi dan

perjanjian internasional. Dalam pandangan Sound Governance penerapan good governance

kehidupannya hanya berkutat pada interaksi antara pemerintah di negara tertentu, pelaku bisnis

di negara tertentu dengan rakyat di negara tertentu pula. Tentulah ini sangat naif, sebab

Page 13: tugas suprapto

kenyataan bahwa aktor yang sangat besar dan bekuasa di atas ketiga elemen tersebut tidak

dimasukkan dalam hitungan. Aktor tersebut adalah dunia internasional. Bahkan Ali Farazmand

(2004) secara tegas menyebut good governance sebagai bagian dari praktik penyesuaian

struktural (structural adjustment programs/SAPs), berikut pernyataannya :

The concept of “good governance” as espoused and promoted by the United Nations agencies

such as the WB, IMF, UNDP, and UNDESD as well as by most Western governments and

corporations, became one of the most pressing requirements on third world countries in Asia,

Africa, and Latin/Central America as a condition for international assistance. As part of the

structural adjustment programs (SAPs), the United Nations agencies, under the instructions and

pressures of donor institutions of the North (Western governments and corporations), demanded

that developing countries adopt the notion of “good governance” by implementing a number of

structural and policy reforms in their governments and society as a condition for international

aid. Seminars, workshops, and ferences were held worldwide that stressed the concept and

demanded results for sustainable development (Ali Farazmand , 2004)

Kedua, bermula dari kritik terhadap identitas dari good governance kata “good” menjadi sesuatu

yang hegemonik, seragam dan juga dilakukan tak jarang dengan paksaan. Term ‘good’ dalam

good governance adalah westernized dan diabsolutkan sedemikian rupa. Sound Governance

mempunyai pandangan yang berbeda dan justru mengedepankan adanya penghormatan atas

keragaman konsepsi birokrasi dan tatapemerintahan, utamanya nilai dasar budaya pemerintahan

tradisional yang telah terkubur. Ali Farazmand mencontohkan kebesaran kerajaan Persia,

sebelum digulung oleh dominasi budaya barat, memiliki prestasi yang sangat besar dalam

pengelolaan pemerintahan, berikut pernyataannya :

the concept of sound governance has ancient origin in the first worldstate empire of Persia with

a highly efficient and effective administrative system (Cameron, 1968; Cook, 1985; Farazmand,

1998; Frye, 1975; Ghirshman, 1954; Olmstead, 1948). According to Darius the Great, Cyrus the

Great’s successor, “no empire can survive much less prosper without a ‘sound economy and

sound governing and administrative system’,” and the Persian Empire needed to rebuild its

governing and administrative system with a sound economic, managerial, and organizational

policy that not only was efficient in its discharge of the empire’s current affairs with-far flung

territories, but also effective in its political control and anticipatory responses to unexpected

crises and emergencies (Ali Farazmand , 2004)

Page 14: tugas suprapto

Berdasarkan apa yang disampaikan Ali Farazmand bahwa pentingnya sistem pemerintahan yang

berbasis pada budaya lokal sudah mulai banyak terabaikan dan ini juga terjadi di negara dunia

ketiga termasuk di Indonesia (Andi,2007). Hal ini terjadi karena kontruksi konsep birokrasi

modern Weber yang mewarnai perkembangan ilmu administrasi publik termasuk lahirnya good

governance adalah bentuk pembantaian budaya lokal dalam sistem pemerintahan. Sound

governance muncul untuk memberikan peluang dalam menyelamatkan keragaman kebudayaan

lokal dalam mewarnai konsep tata pemerintahan.

Ketiga, dalam pelaksanaan good governance untuk berjalannya proses tata pemerintahan yang

baik maka ada satu jalan yaitu bagaimana pemerintahan harus menjalankan prinsip-prinsip yang

digariskan dalam good governance yaitu: participation, rule of law, transparancy,

responsiveness, consensus orientation, equity, effectiveness and efficiency, accountability,

strategic vision. Sound Governance mempunyai pandangan berbeda dan lebih melihat pada

proses menuju tercapainya tujuan, dari pada membahas perdebatan soal bagaimana (prinsip-

prinsip) dilakukan untuk mencapai tujuan. Kendati demikian di dalam sound governance masih

menekankan perlunya prasyarat-prasyrat dasar universal terkait demokrasi, transparansi, dan

akuntabilitas. Untuk itu titik tekan dari sound governance adalah fleksibilitas dan ini dibutuhkan

“inovasi” yang kemudian menjadi ruh implementasi sound governance dalam praktek

pemerintahan. Berikut pernyataan Ali Farazmand akan pentingnya inovasi dalam Sound

Governance, “Innovation is key to sound governance, and innovation in policy and

administration is central to sound governance as well. Without policy and administrative

innovations, governance falls into decay and ineffectiveness, loses capacity to govern, and

becomes a target of criticism and failure” (2004)

Berdasarkan uraian diatas bahwa Sound governance sebagai wacana baru yang muncul sebagai

kritik good governance, yaitu memberikan makna term “Sound” menggantikan “Good” adalah

dalam rangka penghormatan terhadap kenyataan keragaman (diversity). Untuk itu Sound

governance dalam tata pemerintahan (pola relasi pemerintah, swasta dan masyarakat) membuka

kembali peluang variable-variable yang absen yaitu kearifan lokal (akibat hegemoni terma

‘good’ oleh Barat) dan dampak dari kekuatan kooptatif internasional. Sound Governance

menyadarkan kembali bahwa konsep-konsep non-barat sebenarnya banyak yang applicable,

khususnya di bidang pemerintahan. Selain itu Sound governance pada prinsipnya juga

memberikan ruang bagi tradisi atau invoasi lokal tentang bagaimana negara dan pemerintahan

Page 15: tugas suprapto

harus ditata, sesuai dengan kebiasaan, budaya dan konteks lokal. Tentu ukuran universal tentang

kesejahteraan rakyat dan penghormatan hak dasar harus tetap ditegakkan.

 Sound governance lebih luas daripada konsep lain dewasa ini, dengan memasukan global

dan internasional dalam tubuh pemerintahan. Menurut kaidahnya , sebaik apapaun teknis dan

pandangan good governance harus dapat diseimbangkan, dengan kata lain pemerintah harus

lebih rational dan masih dalam system nilai untuk menanggulangi konflik dan rintangan asing.

SG juga berdasarkan dengan nilai-nilail konstitusional dan lebih tanggap atau peka terhadap

norma-norma international.

Terdapat beberapa dimensi Sound Governance yang meliputi :

 

1)      Proses

2)      Struktur

3)      Kesadaran dan nilai

4)      Konstitusi

5)      Organisasi dan institusi

6)      Manajemen dan pelaksanaan

7)      Kebijakan

8)      Kawasan/bidang

9)      Kekuatan global/internasional

10)  Etika, akuntabilitas, dan transparansi

 

Konsep dari Sound Governance berasal dari pemerintahan kerajaan Persia dengan

penerapan efisiensi dan efektivitas yang tinggi pada system administrativenya pada waktu itu.

Berdasarkan darius yang agaung ,dan penggantinya Cyrus yang agung menyatakan bahwa “tidak

ada kerajaan yang dapat bertahan dengan sedikit banyak keberhasilan tanpa kelayakan ekonomi,

system manajemen, dan struktur kebijakan.

 Secara garis besar SG yaitu merupakan tata kepemerintahan yang layak, idenya belum bias

dikatakan matang, namun telah menyorot perhatian bahwa kritik tanpa solusi sudah tidak dapat

diberlakukan lagi dalam system pemerintahan, oleh sebab itu ruang kreasi melalui alternative

kebijkana dan solusi manajemen dapat ditawarkan oleh para pemikir-pemikir kritis, khususnya

dikalangan generasi muda mahasiswa.

Page 16: tugas suprapto

3.      Kesimpulan

Secara konseptual, seharusnya keberhasilan penerapan good governance di berbagai dunia itu

harus juga dibarengi dengan dampak kuatnya fundamental ekonomi rakyat. Kenyataannya, relasi

antara kesejahteraan rakyat dengan good governance tidaklah seindah teori. Makin merekatnya

hubungan antara negara, bisnis dan rakyat ternyata tidak serta merta menguatkan fundamental

ekonomi rakyat. Salah satu kegagalan Good governance adalah tidak memasukkan arus

globalisasi dalam pigura analisisnya. Dalam good governance seolah-olah kehidupan hanya

berkutat pada interaksi antara pemerintah di negara tertentu, pelaku bisnis di negara tertentu

dengan rakyat di negara tertentu pula. Tentulah ini sangat naif. Sebab kenyataan bahwa aktor

yang sangat besar dan bekuasa di atas ketiga elemen tersebut tidak dimasukkan dalam hitungan,

yaitu aktor tersebut adalah dunia internasional.

Sound governance sebagai wacana baru yang muncul sebagai kritik good governance, Setelah

good governance berhasil menginklusifkan hubungan si kaya dan si miskin di tingkat nasional,

maka fase berikutnya adalah menginklusifkan hubungan negara kaya dengan negara miskin

melalui agenda Sound Governance. Formula dasar Sound Governance empat aktor dalam

tatalaksana pemerintahan , yaitu tiga aktor sudah diketahui dalam konsep good governance yaitu

inklusifitas relasi politik antara negara, civil society, bisnis yang sifatnya domestik dan satu lagi

aktor yaitu kekuatan internasional. Kekuatan internasional di sini mencakup korporasi global,

organisasi dan perjanjian internasional. Sound Governance menyadarkan kembali bahwa konsep-

konsep non-barat sebenarnya banyak yang applicable, khususnya di bidang pemerintahan. Selain

itu Sound governance pada prinsipnya juga memberikan ruang bagi tradisi atau invoasi lokal

dalam tata pemerintahan (pola relasi pemerintah, swasta dan masyarakat) dengan membuka

kembali peluang variable-variable yang absen yaitu kearifan lokal bagaimana negara dan

pemerintahan harus ditata, sesuai dengan kebiasaan, budaya dan konteks lokal. Tentu ukuran

universal tentang kesejahteraan rakyat dan prasyarat-prasyarat dasar universal lainnya terkait

demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas harus tetap ditegakkan.