Tugas Metlit Case Control 2
-
Upload
atikah-attamimi -
Category
Documents
-
view
27 -
download
0
description
Transcript of Tugas Metlit Case Control 2
STUDI KASUS-KONTROL
Penelitian kasus kontrol (case control study), sering juga disebut case-comparison
study, case compeer study, case referent study, atau retrospective study,
merupakan penelitian epidemiologis analitik observasional yang menelaah
hubungan efek (penyakit atau kondisi kesehatan tertent)u dengan faktor resiko
tertentu. Desain kasus-kontrol dapat digunakan untuk menilai berapa besarkan
peranan faktor resiko dalam kejadian penyakit (cause-effect relationship)
misalnya hubungan kanker serviks perilaku seksual, hubungan antara tuberkulosis
anak dengan peberian vaksin BCG, atau hubungan antara status gizi bayi usia 1
tahun dengan pemakaian KB suntik pada ibu.
Kekuatan hubungan sebab-akibat dari studi kasus-kontrol berada di bawah desain
eksperimental dan studi kohort, namun lebih kuat daripada studi belah-lintang
atau cross sectional study karena pada studi kasus-kontrol terdapat dimensi waktu,
sedangkan cross sectional tidak. Adapun kelemahan dari studi kasus kontrol
adalah terdapatnya recall bias, namun kelebihannya juga banyak, sehingga sering
digunakan dalam penelitian klinis.
Pada keadaan tertentu, dimana terdapat kasus yang jarang ditemukan, desain
kasus kontrol merupakan satu-satunya yang mungkin digunakan untuk mencari
hubungan sebab akibat.
PENGERTIAN DASAR STUDI KASUS-KONTROL
Pada penelitian kasus-kontrol, penelitian dimulai dengan identifikasi pasien
dengan efek atau penyakit tertentu (yang disebut sebagai kasus) dan kelompok
tanpa efek (disebut kontrol) kemudian secara retrospektif ditelusuri faktor resiko
yang dapat menerangkan mengapa kasus dapat terkena efek, sedangkan kontrol
tidak.
Pada studi kasus kontrol, seefek yang diteliti dengan membandingkan kekerapan
pajanan kelompok kasus yakni pasien yang menderita efek atau penyakit yang
sedang diteliti, dibandingkan dengan kelompok kontrol (mereka yang tidak
menderita penyakit atau efek). Studi bermaksud mengetahui apakaha suatu faktor
resiko tertentu benar berpengaruh terhadap terjadinya efek yang diteliti dengan
membandingkan kekerapan pajanan pada kelompok kontrol. Hipotesis yang
diajukan adalah : Pasien penyakit X lebih sering mendapat pajanan faktor resiko
Y dibandingkan mereka yang tidak berpenyakit X.
Studi kasus kontrol sering digunakan karena lebih murah, lebih cepat memberi
hasil, dan tidak memerlukan subyek yang banyak dibandingkan dengan studi
kohort. Seperti telah disebutkan, pada keadaan dimana terdapat kasus yang jarang
ditemukan, desain kasus kontrol merupakan satu-satunya yang mungkin
digunakan untuk mengidentifikasi faktor resiko. Misalnya penelitian ingin
menetukan apakah pemberian estrogen pada ibu di sekitar masa konsepsi dapat
mempertinggi resiko terjadinya Penyakit Jantung bawaan (PJB) pada bayinya.
Sehubungan dengan insidensi PJB pada bayi lahir hidup dari ibu yang tidak
mendapat estrogen adalahper 1000, pada studi kohort diperlukan 4000 ibu
terpajan dan 4000 ibu tidak terpajan faktor resiko untuk dapat mendeteksi
peninggian resiko sebanyak 2 kali, sedangkan dengan studi kasus- kontrol
diperlukan 188 kasus dan 188 kontrol. Bila yang diteliti adalah PJB khusus,
misalnya malformasi konotrunkus yang kekerapannya hanya 2 per 1000 kelahiran
hidup, maka untuk studi kohort diperlukan masing-masing 15.700 subyek yang
terpapar dan tidak terpapar; sedangkan untuk studi kasus kontrol tetap hanya 188
kasus dan 188 kontrol.
Dengan efek ()
Adakah faktor resiko
Penelitian mulai di sini
faktor resiko (+)
faktor resiko (-)
faktor resiko (+)
faktor resiko (-)
Kasus (kelompok subyek dengan efek)
Kasus (kelompok subyek tanpa efek)
Gambar skema dasar studi kasus- kontrol. Penelitian dimulai denga
mengidentifikasikan subyek dengan efek (kelompok kasus), dan mencari subyek
yang tidak mengalami efek (kelompok kontrol). Faktor resiko yang diteliti
ditelusuri secara retrospektif pada kedua kelompok, kemudian dibandingkan.
LANGKAH-LANGKAH PADA STUDI KASUS KONTROL
Tahapan-tahapan yang diperlukan pada studi kasus kontrol adalah :
1. Merumuskan pertanyaan penelitian dan hipotesis yang sesuai
2. Mendeskripsikan variabel penelitian; faktor resiko, efek
3. Menentukan populasi terjangkau dan sampel (kasus kontrol), dan cara
untuk pemilihan subyek penelitian
4. Melakukan pengukuran variabel efek dan faktor resiko
5. Menganalisis data
1. Merumuskan pertanyaan penelitian
Setiap penelitian diawali dengan penetapan pertanyaan penelitian, kemudian
disususn hipotesis yang akan diuji validitasnya. Misalnya pertanyaannya adalah :
Apakah terdapat hubungan antara konsumsi jamu peluntur pada kehamilan muda
dengan kejadia penyakit jantung bawaan pada bayi yang dilahirkan?
Hipotesis yang ingin diuji adalah :
Pajanan terhadap jamu peluntur lebih sering terjadi pada ibu yang anaknya menak
menderita PJB dibanding yang anaknya tidak menderita PJB
2. Mendefinisikan variabel penelitian
a. Faktor resiko
Intensitas pajanan faktor resiko dapat dinilai dengan cara mengukur dosis,
frekuensi, lamanya pajanan. Ukuran pajanan terhadap faktor resiko yang
berhubungan dengan frekuensi dapat bersifat :
Dikotom : yaitu apabila hanya terdapat 2 kategori, misalnya pernah minum
jamu peluntur atau tidak
Polikotom : pajanan diukur pada lebih dari 2 tingkat; misal, tidak pernah,
kadang-kadang atau sering terpajan.
Kontinu : pajanan diukur dalam skala kontinu atau numerik. Misalnya,
umur dalam tahun, paritas, berat lahir.
Ukuran pajanan yang berhubungan dengan waktu dapat berupa :
Laanya pajanan (misalnya jumlah bulan pemakaian AKDR) dan apakah
pajanan itu berlangsung terus-menerus.
Saat mendapat pajanan
Bilakah terjadi pajanan terakhir
Diantara berbagai ukuran tersebut, yang paling sering digunakan variabel
independen (faktor resiko) berskala nominal dikotom (ya atau tidak) dan variabel
dependen (efek, penyakit) berskala nominal dikotom (ya atau tidak ) pula.
Untuk masalah kesehatan terutama kesehatan reproduksi, apakah pajanan terjadi
sebelum, selama atau sesudah keadaam tertentu sangatlah penting. Misalnya
pemakain kontrasepsi oral oleh perempuan yang belum mengalami kehamilan
sampai cukup bulan juga meningkatkan resiko terjadinya kanker payudara. Kita
juga tahu pajanan beberapa obat atau bahan aktif tertentu elama kehamilan muda
mungkin berkaitan dengan kejadian kelainan bawaan pada janin.
Dalam mencari info mengenai pajanan suatu faktor resiko yang diteliti, maka
perlu diupayakan sumber informasi yang akurat yang diperoleh antara lain dari :
Catatam medis rumah sakit, laboratorium patologi anatomi
Data dari kantor wilayah kesehatan
Kontak dengan subyek penelitian baik secara langsung, telepon atau surat
Cara apapun yang digunakan, prinsip utamanya adalah pada kelompok kasus dan
kelompok kontrol ditanyakan hal yang sama dengan cara yang sama pula, dan
pewawancara sebisa mungkin tidak mengetahui apakah subyek termasuk ke dalam
kelompok kontrol atau keompok kasus. Pengambilan data dari catatan medis juga
sebaiknya secara buta atau tersamar, untuk mencegah peneliti mencari data lebih
teliti pada kelompok kasus daripada kelompok kontrol. Informasi yang ingin
diperoleh juga harus dicatat sama baiknya pada kedua kelompok. Misalnya
informasi mengenai KB hormonal dicatat lebih lengkap pada perempuan yang
datang berobat untuk penyakit kanker payudara bila dibandingkan dengan pada
perempuan yang berobat utuk fraktur tulang. Apabila informasi rekam medis
kurang lengkap, maka data perlu dilengkapi dengan menghubungi subyek (tatap
muka secara langsung, hubungan telepon, surat atau cara komunikasi yang lain).
b. Efek atau outcome
Karena efek atau outcome merupakan hal yang sentral, maka diagnosis atau
penentuan efek haru mendapat perhatian yang utama. Untuk penyakit atau
kelainan dasar yang diagnosisnya mudah, misalnya anensefali, penentuan subyek
yang telah mengalami atau tidak mengalami efek tidaklah sukar. Namun banyak
penyakit yang sering sulit diperoleh kriteria klinis yang obyektif untuk diagnosis
yang tepat sehingga diperlukan cara diagnosis dengan pemeriksaan laboratorium,
pencitraan, pemeriksaan patologi-anatomik, dan sebagainya. Meskipun demikian
kadang diagnosis masih sulit ditegakkan terutama pada penyakit yang
manifestasinya tergantung pada stadiumnya. Sebagai contoh, Rheumatoid arthritis
dapat mempunyai manifestasi klinis dan dan hasil laboratorium yang bervariasi,
sehingga perlu dijelaskan lebih jauh kriteria diagnosis mana yang diperlukan
untuk memasukkan seseorag kedalam kelompok kasus. Untuk beberapa penyakit
tertentu telah tersedia kriteria baku untuk diagnosis, namun tidak jarang kriteria
diagnosis yang telah baku pun perlu dimodifikasi agar ssesuai pertanyaan
penelitian.
3. Menentukan subyek penelitian
Kasus
Cara terbaik untuk memilih kasus adalah dengan mengambil secraa acak subyek
dari populasi yang menderita efek. Namun dalam prakteknya, hal ini hampir tidak
mungkin dilaksanakan, karena penelitian kasus-kontrol lebih seringdilakukan
pada kasus yang jarang, yang diagnosisnya biasanya ditegakkan di rumah sakit.
Mereka ini dengan sendirinya bukan subyek yang representatif karena tidak
menggambarkan kasus dalam masyarakat. Pasien yang tidak datang ke rumah
sakit, yang salah diagnosis, atau yang meninggal sebelum terdiagnosis menjadi
tidak terwakili pada sampel yang diambil dari rumah sakit. Beberapa hal berikut
perlu diperhatikan dalam mengambil sampel studi kasus-kontrol agar sampel yang
dipergunakan mendekati keadaan dalam populasi.
a. Kasus insidens (baru) atau kasus prevalens (baru + lama)
Dalam pemilihan kasus, sebaiknya kita memilih kasus insidens (kasus baru).
Kalau kita mengambil kasus prevalens (baru + lama) maka untuk penyakit yang
masa sakitnya singkat atau angka kematiannya tinggipok kasus tidak
menggambarkan keadaan dalam populasi (bias Neymann). Misalnya, pada
penelitian kasus-kontrol untuk mencari faktor resiko penyakit jantung bawaan,
apabila digunakan kasus prevalensi, maka hal ini tidak menggambarkan keadaan
sebenarnya, mengingat sebagian besar penyakit jantung bawaan mempunyai
angka kematian tinggi pada masa neonatus atau masa bayi. Dengan demikian
pasien yang meninggal tersebut tidak terwakili dalam penelitian.
b. Tempat pengumpulan kasus
Bila di suatu daerah terdapat pencatatan kesehatan masyarakat yang baik dan
lengkap, maka pengambilan kasus sebaiknya dari sumber di masyarakat
(populational based), karena kasus yang ingin diteliti telah tercatat dengan baik.
Sayangnya di indonesia belum ada daerah yang benar-benar mempunyai registrasi
yang baik sehingga terpaksa diambil kasus dari pasien yang berobat ke rumah
sakit (hospital based). Hal ini menyebabkan terjadi bias yang cukup penting (bias
Berkson) karena karakteristik pasien yang berobat ke rumah sakit mungkin
berbeda dari yang tidak berobat ke rumah sakit.
c. Saat diagnosis
Untuk penyakit yang memerlukan pertolongan segera (misalnya patah tulang)
maka saat ditegakkannya diagnosis boleh dikatakan sama dengan ulai timbulnya
penyakit (onset). Tetapi banyak penyakit yang onsetnya perlahan dan sulit
dipastikan dengan tepat (contohnya keganasan dan berbagai penyakit kronis).
Dalam keadaan ini maka pada saat mengidentifikasikan faktor resiko perlu
diyakinkan bahwa pajanan faktor yang diteliti terjadi sebelum terjadinya efek,
bukan terjadi setelah timbulnya efek atau penyakit yang dipelajari.
Contoh :
Ingin diketahui hubungan antara diet dengan kejadian kanker kolon.
Pertanyaan harus ditujukan kepada diet sebelum timbulnya gejala, sebab
mungkin saja subyek telah mengubah dietnya karena terdapat gejala
penyakit. Penelitian terhadap penyakit yang manifestasi memerlukan waktu
yang lama, misalnya multipel sklerosis, perlu perhatian ekstra untuk
menentukan gejala yang pertama timbul. Bila gejala sudah lama terjadi,
sebaiknya kasus jangan dipakai, sebab sulit dihindarkan kemungkinan
terjadinya pajanan setelah timbul gejala penyakit.
Kontrol
Pemilihan kontrol memberikan masalah lebih besar daripada pemilihan kasus,
oleh karena kontrol semata-mata ditentukan oleh peneliti, sehingga sangat
terancam bias. Perlu diketahui bahwa kontrol harus berasl dari populasi yang
sama dari kasus, agar mempunyai kesempatan yang sama untuk terpajan faktor
rsiko yang diteliti. Bila peneliti ingin mengetahui apakah kanker payudara
berhubungan dengan penggunaan pil KB maka kriteria inklusi untuk kontrol
adalah subyek yang memiliki peluang untuk minum pil KB yaitu wanita yang
menikah, dalam usia subur,(wanita yang tidak menikah atau belum mempunyai
anak dianggap tiak minum pil kontrasepsi).
Ada beberapa cara umtuk memilih kontrol yang baik.
1. Memilih kasus dan kontrol dari populasi yang sama. Misalnya kasus
adalah semua pasien dalam populasi tertentu sedangkan kontrol diambil
secara acak dari populsi sisanya. Dapat juga kasus dan kontrol diperoleh
dari populasi yang telah ditentukan sebelumnya yang biasanya lebih kecil
(misalnya dari studi kohort).
2. Matching. Cara kedua untuk mendapatkan kontrol yang baik adalah
dengan memilih kontrol dengan karakteristik yang sama dengan kasus
ddalam semua variabel yang mungkin berperan sebagai faktor rsiko
kecuali variabel yang diteliti. Bila matching dilakukan dengan baik, maka
berbagai variabel yang mungkin berperan terhadap kejadian penyakit
(kecuali yang sedang diteliti) dapat disamakan, sehingga diperoleh
asosisasi yang lebih kuat antara variabel yang diteliti dengan penyakit.
Teknik ini mempunyai keuntungan lain yakni jumlah subyek yang
diperlukan lebih sedikit. Namun jangan sampai terjadi overmatching yaitu
matching pada variabel yang tidak mempengaruhi faktor resiko, sehingga
diperoleh nilai resiko relatif yang terlalu rendah. Apabila terdapat telalu
banyak faktor yang disamakan juga akan menyebabkan peneliti kesulitan
mencari kelompok kontrol. Disisi lain juga harus dihindari undermatching
yakni tidak dilakukan penyetaraan terhadap variabel-variabel yang
potensial menjadi perancu (confounder) penting.
3. Memilih lebih dari satu kelompok kontrol. Karena kontrol yang benar-
benar sebanding, maka dapat dipilih lebih dari satu kelompok kontrol.
Misalnya bila kelompok kass diambil dari rumah sakit, maka satu kontrol
diambil dari pasien lain di rumah sakit yang sama, kontrol lainnya berasal
dari daerah tempat tinggal kasus. Apabila odds ratio yang didapatkan
dengan menggunakan kedua kelompok kontrol tersebut tidak banyak
berbeda, maka asosiasi yang ditemukan akan makin kuat. Apabila odds
ratio sangat berbeda antara kedua kelompok kontrol, maka dapat diartikan
salah satu atau kedua hasil tersebut tidak shahih, atau terdapat bias, dan
perlu diteliti dimana letak bias tersebut.
Contoh :
Suatu penelitian kasus- kontrol ingin mencari hubungan antara
penyakit AIDS pada pria dengan homoseksualitas. Sebagai kasus,
diambil semua pasien dengan diagnosis AIDS di rumah sakit A.
Untuk kelompok kontrol pertama dipilih secara acak dari pasien
dengan penyakit lain yang dirawat di rumah sakit tersebut dan tidak
menderita AIDS (diperoleh odds ratio 6,3) sedangkan kelompok
kontrol kedua dipilih secara acak dari pria sehat yang tinggal
berdekatan dengan setiap pasien dalam kelompok kasus (odds ratio
9,0). Walaupun pada kelompok kontrol pertama terdapat lebih
banyak penyakit lain dibandingkan padkontrol kedua, ternyata pada
kedua kelompok kkontrol praktek homoseksualitas lebih rendah
dibanding dengan kelompok kasus, sehingga odds ratio kedua
kelompok kontrol hampir sama. Hal ini jelas memperkuat simpulan
terdapatnya hubungan antara homoseksualitas dengan AIDS.
Menetapkan besar sampel
Pada dasarnya untuk penelitian kasus-kontrol jumlah subyek yang akan
diteliti bergantung kepada :
a. Berapa besar densitas pajanan faktor risiko pada populasi.
Bila densitas pajanan faktor risiko terlalu kecil atau terlalu besar, maka
kemungkinan pajanan risiko pada kasus dan control hampir sama dan
diperlukan sampel yang cukup besar untuk mengetahui perbedaannya.
b. Rasio odds terkecil yang dianggap bermakna (R).
c. Derajat kemaknaan (kesalahan tipe I,a) dan kekuatan (power=1-b) yang
dipilih.
Biasanya dipilih a=5%, b=10% atau 20% (power=90% atau 80%).
d. Rasio (perbandingan) antara jumlah kasus dan kontrol. Dengan memilih
kontrol lebih banyak,maka jumlah kasus dapat dikurangi. Bila jumlah
kontrol diambil c kali, maka jumlah kasus dapat dikurangi dari n
menjadi (c+1)n/2c.
e. Apakah pemilihan kontrol dilakukan dengan matching atau tidak.
Dengan melakukan matching, jumlah subyek yang diperlukan menjadi
lebih sedikit.
4. Melakukan Pengukuran
Pengukuran terhadap variabel yang dipelajari (efek dan faktor risiko)
merupakan hal yang sentral pada studi kasus kontrol. Penentuan efek harus
sudah didefinisikan dalam usulan penelitian. Pengukuran faktor risiko atau
pajanan yang terjadi di waktu lampau melalui anamnesis (recall) semata-
mata mengandalkan daya ingat responden. Bias yang dapat mengancam
dalam konteks ini adalah recall bias
5. Menganalisis Hasil Penelitian
Analisis hasil studi kasus-kontrol dapat bersifat sederhana yaitu penentuan
rasio odds, sampai yang bersifat kompleks yaitu menggunakan analisis
multivariat. Ini ditentukan oleh apa yang ingin diteliti, bagaimana cara
memilih
kontrol
(matched
atau tidak), dan
terdapatnya
variabel
yang mengganggu atau tidak.
Penentuan Rasio Odds (RO)
A. Studi kasus-kontrol tanpa matching
Rasio odds (RO) pada studi kasus-kontrol dapat diartikan sama dengan
risiko relatif (RR) pada studi kohort. Pada penelitian kasus-kontrol
terdapat kelompok kasus (a+c) dan kelompok kontrol (b+d). Dalam hal
ini, yang dapat dinilai adalah berapa sering terdapat pajanan pada
kasus dibandingkan pada kontrol, disebut dengan rasio odds (RO).
RO = odds pada kelompok kasus : odds pada kelompok kontrol
= (proporsi kasus dengan faktor risiko)/(proporsi kasus tanpa faktor
risiko)
(proporsi kontroldengan faktor risiko) / (proporsi kontrol tanpa
faktor risiko)
B. Studi kasus-kontrol dengan matching
Pada studi kasus-kontrol dengan matching individual, harus dilakukan
analisis dengan menjadikan kasus dan kontrol sebagai pasangan-
pasangan. Hasil pengamatan studi kasus-kontrol biasanya disusun
dalam tabel 2 x 2 dengan keterangan sebagai berikut:
Sel a : kasus mengalami pajanan, kontrol mengalami pajanan
Kontrol
Kasus
Risiko + Risiko -
Risiko + a b
Risiko - c d
Sel b : kasus mengalami pajanan, kontrol tidak mengalami pajanan
Sel c : kasus tidak mengalami pajanan, kontrol mengalami pajanan
Sel d : kasus dan kontrol tidak mengalami pajanan
Rasio odds pada studi kasus-kontrol dengan matching ini dihitung
dengan mengabaikan sel a karena baik kelompok kasus maupun
kontrolnya terpajan, dan sel d karena baik kelompok kasus maupun
kontrolnya tidak terpajan. Rasio odds dihitung dengan formula :
RO = b / c
RO dapat dianggap mendekati risiko relatif apabila :
1. Insidens penyakit yang diteliti kecil, tidak lebih dari 20% populasi
terpajan
2. Kelompok kontrol merupakan kelompok representatif dari populasi
dalam hal peluangnya untuk terpajan faktor risiko
3. Kelompok kasus harus representatif
RO > 1 menunjukkan bahwa faktor yang diteliti memang
merupakan faktor risiko, bila RO = 1 atau mencakup angka 1 berarti
bukan merupakan faktor risiko, dan bila RO < par =" p(r-1)+1" p ="
proporsi" r =" rasio"> 1
Perhitungan population attribute risk
Bias dalam Studi Kasus-Kontrol
Bias merupakan kesalahan sistematis yang menyebabkan hasil penelitian tidak
sesuai dengan
kenyataan. Pada penelitian kasus-kontrol terdapat tiga kelompok bias yang dapat
mempengaruhi hasil,yaitu :
a. Bias seleksi
Bias yang terjadi karena kesalahan sistematis dalam pemilihan subyek.
Contoh:
Dalam penelitian kasus-kontrol mengenai pengaruh penggunaan estrogen
pasca menopause terhadap resiko Ca endometrium. Dalam kelompok
kasus (Ca endometrium) cenderung dipilih diantara wanita yang
mengalami perdarahan per vaginam, kemudian kelompok kontrol
cenderung dipilih diantara wanita yang tidak mengalami perdarahan per
vaginam. Padahal perdarahan merupakan tanda yang sering dijumpai pada
wanita pemakai estrogen. Sehingga mengakibatkan jumlah kasus terpapar
lebih banyak dari yang sebenarnya
b. Bias informasi
Bias informasi dapat terjadi ketika sarana untuk memperoleh informasi
tentang subyek dalam penelitian ini adalah tidak memadai sehingga
sebagai akibatnya beberapa informasi yang dikumpulkan mengenai
eksposur dan / atau hasil penyakit tidak benar. Bias informasi dapat
menyebabkan kesalahan sistematis dalam mengamati, memilih instrumen,
mengukur, membuat klasifikasi,mencatat informasi, dan membuat
interpretasi tentang paparan maupun penyakit dari suatu kasus, sehingga
mengakibatkan distorsi penaksiran pengaruh paparan terhadap penyakit.
Yang termasuk bias informasi adalah recall bias, reporting bias,
surveillance bias, bias in interviewing
c. Bias perancu (confounding bias)
Bias perancu disebabkan adanya sebuah confounder atau variabel perancu
yang mendistorsi hubungan antara dua variabel lainnya (exposure dan
outcome). Confounder atau perancu mempengaruhi resiko relatif (relative
risk). Untuk dapat disebut confounder atau perancu, sebuah variabel harus
memiliki 3 karakteristik : 1) harus berhubungan dengan pajanan
(exposure), baik secara sebab-akibat ataupun tidak; 2) harus merupakan
suatu penyebab, atau subsitusi dari penyebab suatu outcome; 3) tidak
berhubungan secara langsung dalam hierarki faktor resiko potensial dan
outcome.
Penyebab bias di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Informasi tentang faktor risiko atau faktor perancu (confounding factors)
mungkin terlupa oleh subyek penelitian atau tidak tercatat dalam catatan
medik kasus (recall bias)
2. Subyek yang terkena efek (kasus), karena ingin mengetahui penyebab
penyakitnya lebih sering melaporkan faktor risiko dibandingkan dengan
subyek yang tidak terkena efek (kontrol)
3. Peneliti kadang sukar menentukan dengan tepat apakah pajanan suatu
agen menyebabkan penyakit ataukah terdapatnya penyakit menyebabkan
subyek lebih terpajan oleh agen
4. Identifikasi subyek sebagai kasus maupun kontrol yang representatif
seringkali sangat sukar.
Kelebihan dan kelemahan penelitian kasus-kontrol
Kelebihan Penelitian Case Control
1. Adanya kesamaan ukuran waktu antara kelompok kasus dengan kelompok
kontrol.
2. Adanya pembatasan atau pengendalian faktor resiko sehingga hasil penelitian
lebih tajam dibanding hasil rancangan Cross Sectional.
3. Tidak menghadapi kendala etik seperti pada penelitian eksperimen (kohort)
4. Tidak memerlukan waktu lama ( lebih ekonomis ) sehingga hasil dapat
diperoleh dengan cepat.
5. Studi kasus kontrol kadang atau bahkan menjadi satu-satunya cara untuk
meneliti kasus yang jarang atau yang masa latennya panjang, atau bila
penelitian prospektif tidak dapat dilakukan karena keterbatasan sumber atau
hasil diperlukan secepatnya.
6. Biaya yang diperlukan relatif lebih sedikit sehingga lebih efisien.
7. Memungkinkan untuk mengidentifikasi berbagai faktor risiko sekaligus
dalam satu penelitian (bila faktor risiko tidak diketahui).
8. Subyek penelitian lebih sedikit.
Kekurangan Penelitian Case Control
1. Pengukuran variabel yang retrospective, objektivitas, dan reabilitasnya
kurang karena subjek penelitian harus mengingatkan kembali faktor-faktor
resikonya.
2. Tidak dapat diketahui efek variabel luar karena secara teknis tidak dapat
dikendalikan.
3. Kadang-kadang sulit memilih kontrol yang benar-benar sesui dengan
kelompok kasus karena banyaknya faktor resiko yang harus dikendalikan.
4. Data mengenai pajanan faktor risiko diperoleh dengan mengandalkan daya
ingat atau catatan medik. Daya ingat responden menyebabkan terjadinya
recall bias, baik karena lupa atau responden yang mengalami efek cenderung
lebih mengingat pajanan faktor risiko daripada responden yang tidak
mengalami efek. Data sekunder, dalam hal ini catatan medik rutin yang
sering dipakai sebagai sumber data juga tidak begitu akurat (objektivitas dan
reliabilitas pengukuran variabel yang kurang).
5. Validasi informasi terkadang sukar diperoleh.
6. Sukarnya meyakinkan bahwa kelompok kasus dan kontrol sebanding karena
banyaknya faktor eksternal / faktor penyerta dan sumber bias lainnya yang
sukar dikendalikan.
7. Tidak dapat memberikan incidence rates karena proporsi kasus dalam
penelitian tidak mewakili proporsi orang dengan penyakit tersebut dalam
populasi.
8. Tidak dapat dipakai untuk menentukan lebih dari satu variabel dependen,
hanya berkaitan dengan satu penyakit atau efek.
9. Tidak dapat dilakukan untuk penelitian evaluasi hasil pengobatan.