TUGAS JURNAL POLITIK
-
Upload
dios-widodo -
Category
Documents
-
view
25 -
download
7
Transcript of TUGAS JURNAL POLITIK
PERKEMBANGAN POLITIK DI INDONESIA
A. Masa Demokrasi Liberal
Pada perkembangannya, sebelum berdasarkan pada demokrasi pancasila, Indonesia
mengalami tiga periodeisasi penerapan demokrasi, yaitu:
1. Demokrasi Liberal ( 1950-1959 )
2. Demokrasi Terpimpin ( 1959-1966 )
3. Demokrasi Pancasila ( 1966-sekarang )
Pada tahun 1950, Negara Kesatuan Republik Indonesia mempergunakan Undang-
Undang Dasar Sementara (UUDS) atau juga disebut Undang-Undang Dasar 1950.
Berdasarkan UUD tersebut pemerintahan yang dilakukan oleh kabinet sifatnya
parlementer, artinya kabinet bertanggung jawab pada parlemen. Jatuh bangunnya suatu
kabinet bergantung pada dukungan anggota parlemen.
Ciri utama masa Demokrasi Liberal adalah sering bergantinya kabinet. Hal ini
disebabkan karena jumlah partai yang cukup banyak, tetapi tidak ada partai yang
memiliki mayoritas mutlak. Setiap kabinet terpaksa didukung oleh sejumlah partai
berdasarkan hasil usaha pembentukan partai ( kabinet formatur ). Bila dalam
perjalanannya kemudian salah satu partai pendukung mengundurkan diri dari kabinet,
maka kabinet akan mengalami krisis kabinet. Presiden hanya menunjuk seseorang
( umumnya ketua partai ) untuk membentuk kabinet, kemudian setelah berhasil
pembentukannya, maka kabinet dilantik oleh Presiden.
Suatu kabinet dapat berfungsi bila memperoleh kepercayaan dari parlemen, dengan
kata lain ia memperoleh mosi percaya. Sebaliknya, apabila ada sekelompok anggota
parlemen kurang setuju ia akan mengajukan mosi tidak percaya yang dapat berakibat
krisis kabinet. Selama sepuluh tahun (1950-1959) ada tujuh kabinet, sehingga rata-rata
satu kabinet hanya berumur satu setengah tahun. Kabinet-kabinet pada masa Demokrasi
Parlementer adalah sebagai berikut.
1. Kabinet Natsir (6 September 1950-21 Maret 1951)
Setelah bentuk negara RIS dibubarkan, kabinet pertama yang membentuk NKRI
adalah kabinet Natsir yang merupakan kabinet koalisi yang dipimpin oleh Masyumi dan
PNI sebagai partai kedua terbesar menjadi oposisi. PNI menolak ikut serta dalam
komite karena merasa tidak diberi kedudukan yang tepat sesuai dengan kekuatannya.
Tokoh-tokoh terkenal yang mendukung kabinet ini adalah Sri Sultan HB IX, Mr. Asaat,
Mr. Moh Roem, Ir. Djoeanda dan Dr. Sumitro Djojohadikusuma.
a. Program:
1) Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman;
2) Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan
pemerintahan;
3) Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang;
4) Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat;
5) Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.
b. Hasil:
1) Berlangsung perundingan antara Indonesia-Belanda untuk
pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat.
c. Kendala yang dihadapi:
1) Upaya memperjuangkan masalah Irian Barat dengan Belanda
mengalami jalan buntu (kegagalan).
2) Timbul masalah keamanan dalam negeri, yaitu terjadi
pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, seperti Gerakan DI/TII,
Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, dan Gerakan RMS.
d. Berakhirnya kekuasaan kabinet:
Adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah
mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap peraturan pemerintah No. 39 tahun
1950 mengenai DPRD yang terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disetujui
parlemen sehingga Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada presiden.
2. Kabinet Sukiman (27 April 1951-23 Februari 1952)
Setelah Natsir mengembalikan mandatnya kepada presiden, Presiden Soekarno
menunjuk Sartono, ketua PNI, untuk menjadi formatur. Hampir selama satu bulan
Sartono membuat kabinet koalisi antara PNI dan Masyumi, tetapi gagal. Akhirnya
Sartono mengembalikan mandatnya kepada presiden setelah bertugas selama 23 hari
(28 Maret 1951 – 18 April 1951). Kemudian presiden menunjuk Sukiman Wirosandjojo
dari Masyumi dan menunjuk Djojosukarto sebagai formatur, mereka berhasil
membentuk kabinet koalisi antara Masyumi, PNI, dan sejumlah partai kecil.
a. Program:
1) Menjamin keamanan dan ketentraman;
2) Mengusahakan kemakmuran rakyat dan memperbaharui hukum agraria agar sesuai
dengan kepentingan petani;
3) Mempercepat persiapan pemilihan umum;
4) Menjalankan politik luar negeri secara bebas aktif serta memasukkan Irian Barat ke
dalam wilayah RI secepatnya
b. Hasil:
Tidak terlalu berarti sebab programnya melanjutkan program Natsir, hanya saja
terjadi perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan programnya, seperti awalnya
program menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman selanjutnya diprioritaskan
untuk menjamin keamanan dan ketentraman.
c. Kendala yang dihadapi:
1) Adanya pertukaran Nota Keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia Soebardjo
dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran, mengenai pemberian bantuan
ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika Serikat kepada Indonesia berdasarkan
ikatan Mutual Security Act (MSA). Dalam MSA ini terdapat pembatasan kebebasan
politik luar negeri RI. Hal ini dikarenakan RI menjadi diwajibkan memperhatiakan
kepentingan Amerika. Tindakan Sukiman tersebut dipandang telah melanggar
politik luar negara Indonesia yang bebas aktif karena lebih condong ke blok barat,
bahkan dinilai telah memasukkan Indonesia ke dalam blok barat.
2) Adanya krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada
setiap lembaga pemerintahan dan kegemaran terhadap barang-barang mewah.
3) Masalah Irian barat belum juga teratasi.
4) Hubungan Sukiman dengan militer kurang baik tampak dengan kurang tegasnya
tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan
Sulawesi Selatan.
d. Berakhirnya kekuasaan kabinet:
Muncul pertentangan dari Masyumi dan PNI atas tindakan Sukiman sehingga
mereka menarik dukungannya pada kabinet tersebut. DPR akhirnya menggugat
Sukiman dan terpaksa Sukiman harus mengembalikan mandatnya kepada presiden.
3. Kabinet Wilopo (3 April 1952-3 Juni 1953)
Kabinet ini merupakan zaken kabinet, yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar yang
ahli dalam biangnya. Kabinet Wilopo dipimpin oleh Mr. Wilopo (tokoh PNI) dan
mendapatkan dukungan dari PNI, Masyumi, dan PSI.
a. Program:
1) Program dalam negeri:
a). Menyelenggarakan pemilihan umum (konstituante, DPR, dan DPRD);
b). Meningkatkan kemakmuran rakyat;
c). Meningkatkan pendidikan rakyat;
d). Pemulihan keamanan.
2) Program luar negeri:
a). Penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda;
b). Pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia;
c). Menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif.
b. Hasil:
Tidak ada hasil yang cukup signifikan dari Kabinet Wilopo.
c. Kendala yang dihadapi:
1) Masalah Angkatan Darat yang dikenal dengan Peristiwa 17 Oktober 1952.
masalah ini dilatarbelakangi oleh: (1) masalah ekonomi (perkembangan ekonomi
dunia kurang menguntungkan hasil ekspor Indonesia), dan (2) reorganisasi
(profesionalisasi tentara) yang menimbulkan kericuhan di kalangan militer yang
akhirnya menjurus ke arah perpecahan. Peristiwa 17 Oktober 1952 merupakan
upaya pemerintah untuk menempatkan TNI sebagai alat sipil sehingga muncul sikap
tidak senang dikalangan partai politik sebab dipandang akan membahayakan
kedudukannya. Peristiwa ini diperkuat dengan munculnya masalah intern dalam
TNI sendiri yang berhubungan dengan kebijakan KSAD A.H. Nasution yang
ditentang oleh Kolonel Bambang Supeno sehingga ia mengirim petisi mengenai
penggantian KSAD kepada menteri pertahanan yang dikirim ke seksi pertahanan
parlemen sehingga menimbulkan perdebatan dalam parlemen. Konflik semakin
diperparah dengan adanya surat yang menjelekkan kebijakan Kolonel Gatot Subroto
dalam memulihkan keamanana di Sulawesi Selatan.Keadaan ini menyebabkan
muncul demonstrasi di berbagai daerah menuntut dibubarkannya parlemen.
Sementara itu, TNI-AD yang dipimpin Nasution menghadap presiden dan
menyarankan agar parlemen dibubarkan, tetapi saran tersebut ditolak. Akhirnya
muncullah mosi tidak percaya dan menuntut diadakan reformasi dan reorganisasi
angkatan perang dan mengecam kebijakan KSAD. Inti peristiwa ini adalah gerakan
sejumlah perwira angkatan darat guna menekan Soekarno agar membubarkan
kabinet.
2) Munculnya peristiwa Tanjung Morawa mengenai persoalan tanah perkebunan
di Sumatera Timur (Deli). Sesuai dengan perjanjian KMB, pemerintah mengizinkan
pengusaha asing untuk kembali ke Indonesia dan memiliki tanah-tanah perkebunan.
Tanah perkebunan di Deli yang telah ditinggalkan pemiliknya selama masa
penjajahan Jepang telah digarap oleh para petani di Sumatera Utara dan dianggap
sebagai miliknya. Sehingga pada tanggal 16 Maret 1953 muncullah aksi kekerasan
untuk mengusir para petani liar Indonesia yang dianggap telah mengerjakan tanah
tanpa izin tersebut. Para petani tidak mau pergi sebab telah dihasut oleh PKI.
Akibatnya terjadi bentrokan senjata dan beberapa petani terbunuh. Intinya dari
peristiwa Tanjung Morawa merupakan peristiwa bentrokan antara aparat kepolisian
dengan para petani liar mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur
(Deli).
3) Terjadi defisit kas negara karena penerimaan negara yang berkurang banyak
terlebih setelah terjadi penurunana hasil panen sehingga membutuhkan biaya besar
untuk mengimport beras.
4) Munculnya gerakan sparatisme dan sikap provinsialisme yang mengancam
keutuhan bangsa. Semua itu disebabkan karena rasa ketidakpuasan akibat alokasi
dana dari pusat ke daerah yang tidak seimbang.
5) Adanya kondisi krisis ekonomi yang disebabkan karena jatuhnya harga
barang-barang eksport Indonesia sementara kebutuhan impor terus meningkat.
d. Berakhirnya kekuasaan kabinet:
Akibat peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani
Indonesia terhadap kabinet Wilopo. Selain itu, peristiwa tersebut dijadikan sarana
oleh kelompok yang antikabinet dan pihak oposisi lainnya untuk mencela
pemerintah sehingga Wilopo harus mengembalikan mandatnya pada presiden.
4. Kabinet Ali Sastroamijoyo I ( 1 Agustus 1953-24 Juli 1955 )
Kabinet ini terbentuk dua bulan kemudian setelah Kabinet Wilopo mundur. Kabinet
ini merupakan kabinet koalisi anatar PNI dan NU dengan Mr. Ali Sastroamidjojo
sebagai perdana menteri. Sementara itu Masyumi menjadi partai oposisi.
a. Program:
1. Meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta segera menyelenggarakan Pemilu;
2. Pembebasan Irian Barat secepatnya;
3. Pelaksanaan politik bebas aktif dan peninjauan kembali persetujuan KMB;
4. Penyelesaian pertikaian politik.
b. Hasil:
1. Persiapan Pemilihan Umum untuk memilih anggota parlemen yang akan
diselenggarakan pada 29 September 1955.
2. Menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955.
c. Kendala yang dihadapi:
1. Menghadapi masalah keamanan di daerah yang belum juga dapat terselesaikan,
seperti DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
2. Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) menuntut Aceh sebagai Propinsi. Daud
Beurueh (pimpinan PUSA) menilai bahwa tuntutan itu diabaikan dan menyatakan
Aceh sebagian dari NII.
3. Terjadi peristiwa 27 Juni 1955, suatu peristiwa yang menunjukkan adanya kemelut
dalam tubuh TNI-AD. Peristiwa ini adalah masalah TNI-AD yang merupakan
kelanjutan dari Peristiwa 17 Oktober 1952. Setelah peristiwa 17 Oktober, Nasution
mengundurkan diri sebagai KSAD dan digantikan oleh Bambang Sugeng. Bambang
Sugeng sebagai Kepala Staf AD mengajukan permohonan berhenti karena tugasnya
dirasakan sangat berat dan permohonan tersebut disetujui oleh kabinet. Sebagai
gantinya menteri pertahanan menunjuk Kolonel Bambang Utoyo, tetapi Angkatan
Darat di bawah KSAD Zulkifli Lubis menolak menolak pemimpin baru tersebut
karena proses pengangkatannya dianggap tidak menghiraukan norma-norma yang
berlaku di lingkungan TNI-AD. Ketika Bambang Utoyo dilantik pada tanggal 27
Juni 1955, TNI AD memboikot pengangkatan itu karena Bambang Utoyo adalah
KSAD yang tidak pernah berkantor di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD).
Tidak ada seorangpun panglima tinggi yang hadir dalam upacara tersebut meskipun
mereka berada di Jakarta. Wakil KSAD pun menolak melakukan serah terima
dengan KSAD baru.
4. Keadaan ekonomi yang semakin memburuk, maraknya korupsi, dan inflasi yang
menunjukkan gejala membahayakan.
5. Memudarnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.
6. Munculnya konflik antara PNI dan NU. Hal ini menyebabkkan NU memutuskan
untuk menarik kembali menteri-menterinya pada tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti
oleh partai lainnya.
d. Berakhirnya kekuasaan kabinet:
NU menarik dukungan dan menterinya dari kabinet sehingga keretakan dalam
kabinet inilah yang memaksa Ali harus mengembalikan mandatnya kepada presiden.
5. Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955-3 Maret 1956)
Dalam kabinet ini Burhanudin Harahap berasal dari Masyumi, sedangkan PNI
membentuk partai oposisi.
a. Program:
1. Mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan kepercayaan
Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah;
2. Melaksanakan pemilihan umum menurut rencana yang sudah ditetapkan dan
mempercepat terbentuknya parlemen baru;
3. Masalah desentralisasi, inflasi, dan pemberantasan korupsi;
4. Perjuangan pengembalian Irian Barat;
5. Politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar negeri bebas aktif.
b. Hasil:
1. Penyelenggaraan pemilu pertama yang demokratis pada 29 September 1955
(memilih anggota DPR) dan 15 Desember 1955 (memilih Konstituante). Terdapat
70 partai politik yang mendaftar tetapi hanya 27 partai yang lolos seleksi. Hasil
seleksi ini menghasilkan empat partai politik besar yang memperoleh suara
terbanyak, yaitu PNI, NU, Masyumi, dan PKI.
2. Perjuangan diplomasi Menyelesaikan masalah Irian Barat dengan pembubaran Uni
Indonesia-Belanda.
3. Pemberantasan korupsi dengan menangkap para pejabat tinggi yang dilakukan oleh
polisi militer.
4. Terbinanya hubungan antara Angkatan Darat dengan Kabinet Burhanuddin.
5. Menyelesaikan masalah peristiwa 27 Juni 1955 dengan mengangkat Kolonel A.H.
Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat pada tanggal 28 Oktober 1955
c. Kendala yang dihadapi:
Banyaknya mutasi dalam lingkungan pemerintahan dianggap menimbulkan
ketidaktenangan.
d. Berakhirnya kekuasaan kabinet:
Dengan berakhirnya pemilu maka tugas kabinet Burhanuddin pun dianggap
selesai. Pemilu tidak menghasilkan dukungan yang cukup terhadap kabinet sehingga
kabinet pun jatuh. Sehingga dibentuk kabinet baru yang harus bertanggungjawab pada
parlemen yang baru pula. Tanggal 3 Maret 1956, Kabinet Burhanudin mengembalikan
mandatnya kepada presiden. Kabinet ini merupakan kabinet peralihan dari DPR.
Sementara ke DPR hasil Pemilu.
6. Kabinet Ali Sastroamijoyo II (24 Maret 1957)
Kabinet Ali kembali diserahi mandat pada tanggal 20 Maret 1956 yang merupakan
koalisi antara PNI, Masyumi, dan NU.
a. Program:
Program kabinet ini disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun yang memuat
program jangka panjang, sebagai berikut:
1. Perjuangan pengembalian Irian Barat;
2. Pembentukan daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-
anggota DPRD;
3. Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai;
4. Menyehatkan perimbangan keuangan negara;
5. Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan
kepentingan rakyat.
Selain itu, program pokoknya adalah:
1. Pembatalan KMB;
2. Pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan lima tahun, dan menjalankan
politik luar negeri bebas aktif;
3. Melaksanakan keputusan KAA.
b. Hasil:
Mendapat dukungan penuh dari presiden dan dianggap sebagai titik tolak dari
periode planning and investment, hasilnya adalah pembatalan seluruh perjanjian
KMB.
c. Kendala yang dihadapi:
1. Berkobarnya semangat anti-Cina di masyarakat.
2. Muncul pergolakan/kekacauan di daerah yang semakin menguat dan mengarah
pada gerakan sparatisme dengan pembentukan dewan militer, seperti Dewan
Banteng di Sumatera Tengah, Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan Garuda di
Sumatra Selatan, Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan, dan Dewan
Manguni di Sulawesi Utara.
3. Memuncaknya krisis di berbagai daerah karena pemerintah pusat dianggap
mengabaikan pembangunan di daerahnya.
4. Pembatalan KMB oleh presiden menimbulkan masalah baru khususnya mengenai
nasib modal pengusaha Belanda di Indonesia. Banyak pengusaha Belanda yang
menjual perusahaannya pada orang Cina karena memang merekalah yang kuat
ekonominya. Muncullah peraturan yang dapat melindungi pengusaha nasional.
5. Timbulnya perpecahan antara Masyumi dan PNI. Masyumi menghendaki agar Ali
Sastroamidjojo menyerahkan mandatnya sesuai tuntutan daerah, sedangkan PNI
berpendapat bahwa mengembalikan mandat berarti meninggalkan asas demokrasi
dan parlementer.
d. Berakhirnya kekuasaan kabinet:
Mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil Pemilu I ini
jatuh dan menyerahkan mandatnya pada presiden.
7. Kabinet Djuanda ( 9 April 1957-10 Juli 1959 )
Setelah Kabinet Ali Sastroamidjojo II jatuh, Presiden Soekarno menunjuk
dirinya menjadi pembentuk kabinet yang bernama kabinet Karya dengan programnya
yang disebut Panca Karya dan Ir. Djuanda sebagai perdana menteri. Kabinet ini
merupakan zaken kabinet, yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam
bidangnya.
a. Program:
1. Membentuk Dewan Nasional;
2. Normalisasi keadaan Republik Indonesia;
3. Melancarkan pelaksanaan Pembatalan KMB;
4. Perjuangan pengembalian Irian Barat;
5. Mempergiat dan mempercepat proses pembangunan.
b. Hasil:
1. Mengatur kembali batas perairan nasional Indonesia melalui Deklarasi Djuanda,
yang mengatur mengenai laut pedalaman dan laut teritorial. Melalui deklarasi ini
menunjukkan telah terciptanya Kesatuan Wilayah Indonesia karena lautan dan daratan
merupakan satu kesatuan yang utuh dan bulat.
2. Terbentuknya Dewan Nasional sebagai badan yang bertujuan menampung dan
menyalurkan pertumbuhan kekuatan yang ada dalam masyarakat dengan presiden
sebagai ketuanya. Dengan dibentulnya Dewan Nasional merupakan titik tolak untuk
menegakkan sistem demokrasi terpimpin.
3. Mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) untuk meredakan pergolakan di
berbagai daerah. Musyawarah ini membahas masalah pembangunan nasional dan
daerah, pembangunan angkatan perang, dan pembagian wilayah RI.
4. Diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan untuk mengatasi masalah krisis dalam
negeri tetapi tidak berhasil dengan baik.
c. Kendala yang dihadapi:
1. Kegagalan Menghadapi pergolakan di daerah sebab pergolakan di daerah semakin
meningkat. Hal ini menyebabkan hubungan pusat dan daerah menjadi terhambat.
Munculnya pemberontakan seperti PRRI/Permesta.
2. Keadaan ekonomi dan keuangan yang semakin buruk sehingga program pemerintah
sulit dilaksanakan. Krisis demokrasi liberal mencapai puncaknya.
3. Terjadi peristiwa Cikini, yaitu peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden
Soekarno di depan Perguruan Cikini saat sedang menghadir pesta sekolah tempat
putra-putrinya bersekolah pada tanggal 30 November 1957. Peristiwa ini
menyebabkan keadaan negara semakin memburuk karena mengancam kesatuan
negara.
d. Berakhirnya kekuasaan kabinet:
Kabinet ini berakhir saat presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden
tanggal 5 Juli 1959. Sejak itu mulailah babak baru sejarah RI yaitu Demokrasi
Terpimpin
B. Pemilihan Umum Tahun 1955
1. Pelaksanaan Pemilu 1955
Pemilihan Umum Indonesia 1955 adalah pemilihan umum pertama di Indonesia dan
diadakan pada tahun 1955. Pemilu ini sering dikatakan sebagai pemilu Indonesia yang
paling demokratis.
Pemilu ini bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Jumlah
kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante berjumlah
520 (dua kali lipat kursi DPR) ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat
pemerintah.
Pemilu ini dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo.
Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala
pemerintahan kemudian dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.
Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
a. Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap
ini diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik
dan individu.
b. Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante.
Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.
2. Suasana Kampanye
Perdana Menteri Ali Sastro Atmijayo, sedang berkampaye dari parta Partai Nasional
Indonesia.
Mohammad Natsir sedang berkampanye untuk Masyumi (Majelis Syuro Muslimin
Indonesia), partai terkuat di Sumatera Barat.
Kampanye PSI (Partai Sosialis Indonesia) bersama mantan Perdana Menteri Sutan
Syahrir. Di Bali PSI menjadi partai terbesar kedua setelah PNI (Partai Nasionalis
Indonesia).
DN Aidit (DN = Dipa Nusantara) sedang berkampanye untuk PKI (Partai Komunis
Indonesia).
3. Hasil Pemilu 1955
Peserta pemilu 1955 yang berjumlah 29 partai memperoleh kursi masing-masing
sebagai berikut :
5 besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia (PNI) mendapatkan 57
kursi DPR dan 119 kursi Konstituante (22,3 persen), Masyumi (Majelis Syuro
Muslimin Indonesia) 57 kursi DPR dan 112 kursi Konstituante (20,9 persen), Nahdlatul
Ulama (NU) 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante (18,4 persen), Partai Komunis
Indonesia (PKI) 39 kursi DPR dan 80 kursi Konstituante (16,4 persen), dan Partai
Syarikat Islam Indonesia (PSII) 8 kursi DPR dan 16 kursi Konstituante (2,89 persen).
Partai-partai lainnya, mendapat kursi DPR di bawah 10. Yaitu PSII (Partai Syarikat
Islam Indonesia) 8 kursi, Parkindo (Partai Kristen Indonesia) 8 kursi, Partai Katolik 6
kursi, Partai Sosialis Indonesia (PSI) 5 kursi. Dua partai mendapat 4 kursi (IPKI / Ikatan
Pendukung Kemerdekaan Indonesia dan Perti / Pergerakan Tarbiyah Islamiyah). 6
partai mendapat 2 kursi (PRN / Partai Rakyat Nasional, Partai Buruh, GPPS / Gerakan
Pembela Panca Sila, PRI / Partai Rakyat Indonesia, PPPRI / Persatuan Pegawai Polisi
RI, dan Murba). Sisanya, 12 partai, mendapat 1 kursi (Baperki, PIR (Persatuan
Indonesia Raya) Wongsonegoro, PIR (Persatuan Indonesia Raya) Hazairin, Grinda,
Permai (Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia), Partai Persatuan Dayak, PPTI (Partai
Politik Tarikat Islam), AKUI, PRD (Persatuan Rakyat Desa), PRIM (Partai Republik
Indonesis Merdeka), ACOMA (Angkatan Comunis Muda) dan R. Soedjono
Prawirisoedarso.
C. Dekret Presiden 5 Juli 1959
Dekret Presiden 5 Juli 1959 adalah dekrit yang dikeluarkan oleh
Presiden Indonesia yang pertama, Soekarno pada 5 Juli 1959. Isi dekrit ini adalah
pembubaran Badan Konstituante hasil Pemilu 1955 dan penggantian undang-undang
dasar dari UUD Sementara 1950 ke UUD '45.
1. Latar Belakang
Dekrit Presiden 1959 dilatarbelakangi oleh kegagalan Badan Konstituante untuk
menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950. Anggota konstituante mulai
bersidang pada 10 November 1956. Namun pada kenyataannya sampai tahun 1958
belum berhasil merumuskan UUD yang diharapkan. Sementara, di kalangan masyarakat
pendapat-pendapat untuk kembali kepada UUD '45 semakin kuat. Dalam menanggapi
hal itu, Presiden Soekarno lantas menyampaikan amanat di depan
sidang Konstituante pada 22 April 1959 yang isinya menganjurkan untuk kembali
ke UUD '45.
Pada 30 Mei 1959 Konstituante melaksanakan pemungutan suara. Hasilnya 269
suara menyetujui UUD 1945 dan 199 suara tidak setuju. Meskipun yang menyatakan
setuju lebih banyak tetapi pemungutan suara ini harus diulang, karena jumlah suara
tidak memenuhi kuorum. Kuorum adalah jumlah minimum anggota yg harus hadir di
rapat, majelis, dan sebagainya (biasanya lebih dari separuh jumlah anggota) agar dapat
mengesahkan suatu putusan. Pemungutan suara kembali dilakukan pada tanggal 1 dan 2
Juni 1959. Dari pemungutan suara ini Konstituante juga gagal mencapai kuorum. Untuk
meredam kemacetan, Konstituante memutuskan reses (masa perhentian
sidang parlemen; masa istirahat dari kegiatan bersidang) yang ternyata merupakan akhir
dari upaya penyusunan UUD.
Penyebab lainnya adalah karena kehidupan politik yang lebih sering dikarenakan
sering jatuh bangunnya kabinet dan persaingan partai politik yang semakin menajam
dan terjadinya gangguan keamanan berupa pemberontakan bersenjata di daerah-daerah
2. Konsepsi Presiden 21 Februari 1957
Demi mengatasi situasi tersebut, Presiden Soekarno mengajukan gagasan yang
dikenal dengan konsepsi presiden pada 21 Februari 1957. Isi pokok konsepsi tersebut
adalah sebagai berikut.
a. Bahwa Demokrasi Liberal secara barat tidak sesuai dengan
kepribadian bangsa Indonesia karena itu harus diganti dengan Demokrasi Terpimpin
b. Dibentuk kabinet gotong royong yang terdiri dari wakil-wakil dari
partai-partai (PNI, Masyumi, NU, dan PKI) ditambah dengan golongan fungsional.
c. Dibentuk Dewan Nasional yang beranggotakan wakil-wakil partai
dan golongan fungsional dari masyarakat bertugas sebagai pemberi nasehat kepada
kabinet.
3. Pengeluaran Dekret Presiden 5 Juli 1959
Pada tanggal 5 Juli 1959 pukul 17.00 WIB akhirnya dalam suatu upacara resmi di
Istana Merdeka Jakarta, Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik
Indonesia No. 150/1959 yang dimuat dalam Lembaran Negara No. 75/1959 yang isinya
sebagai berikut.
a. Pembubaran Konstituante
b. Pemberlakuan kembali UUD '45 dan tidak berlakunya UUDS 1950
c. Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
4. Isi Dekret Presiden 5 Juli 1959
DEKRET PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG
TENTANGKEMBALI KEPADA UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa :
KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGIANGKATAN PERANG,
Dengan ini menyatakan dengan khidtmat :
Bahwa anjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada Undang-undang Dasar 1945, yang disampaikan kepada segenap rakyat Indonesia dengan Amanat Presiden pada tanggal 22 April 1959, tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Dasar Sementara;Bahwa berhubung dengan pernyataan sebagian terbesar anggota-anggota Sidang Pembuat Undang-undang Dasar untuk tidak menghadiri lagi sidang, Konstutuante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh rakyat kepadanya;Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan negara, nusa dan bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur;Bahwa dengan dukungan bagian terbesar rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk menyelamatkan negara proklamasi;Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut;Maka atas dasar-dasar tersebut di atas,
KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGIANGKATAN PERANG,
Menetapkan pembubaran Konstituante;
Menetapkan Undangt-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah-darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan dekret ini, dan tidak berlakunya lagi Undang-undang Dasar Sementara.Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Ditetapkan di Jakarta.Pada tanggal 5 Juli 1959.
Atas nama rakyat Indonesia :Presiden Republik Indonesia/
Panglima Tertinggi Angkatan Perang
SOEKARNO
TUGAS JURNAL“PERKEMBANGAN POLITIK DI INDONESIA”
OLEH :
NAMA : SYOPIANTIKELAS : A ( REGULER PAGI )NPM : 13100696321041
DOSEN PEMBIMBING :
DEDI EFRIADI S.SOS.,M.SI
JURUSAN ADMINISRASI BISNIS
SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISRASISETIH SETIO MUARA BUNGO
2013 - 2014