Tugas Jurnal ITPTfix

23
Judul Jurnal : Labour and Management in Development Journal, Volume 7 Number 5 Judul Artikel : Studies on The Indonesian Textile and Garment Industry Penulis : Wu Chongbo, The Australian National University in association with The University of Tasmania Penerbit : Asia Pacific Press Pendahuluan Indonesia merupakan salah satu produsen tekstil dan produk tekstil terbesar di ASEAN. Industri Tekstil dan Produk Tekstil yang ada di Indonesia memiliki sebuah struktur industri yang lengkap, mulai dari pengolahan serat sampai ke produksi pakaian jadi dan barang tekstil lainnya. Industri Tekstil dan Produk Tekstil di Indonesia pun beragam dan berdaya saing. Industri Tekstil dan Produk Tekstil sangat penting untuk perekonomian Indonesia karena menyerap banyak tenaga kerja dan memberikan devisa yang besar jika dibandingkan dengan sektor lain. Industri Tekstil dan Produk Tekstil juga memiliki struktur yang kuat. Hal tersebut terbukti pada tahun 1998 pada saat Asia terkena krisis keuangan, Industri Tekstil dan Produk Tekstil masih bisa bertahan. Akan tetapi, Industri Tekstil dan Produk Tekstil mengalami penurunan setelah adanya pengakhiran kuota tekstil pada 1 Januari 2005 yang berdampak pada penjual dan produsen tekstil dan produk tekstil. Akibatnya, banyak pabrik tekstil dan produk tekstil yang bangkrut dan mengalami dislokasi sehingga banyak tenaga kerja industri ini kehilangan pekerjaan dan munculnya peningkatan kesulitan sosial. Artikel/ jurnal ini menggali tentang industri tekstil dan garmen yang 1 | Masalah Perencanaan

description

Tugas Perbandigan jurnal tentang wilayah industri tekstil dan produk tekstil

Transcript of Tugas Jurnal ITPTfix

Judul Jurnal: Labour and Management in Development Journal, Volume 7 Number 5Judul Artikel: Studies on The Indonesian Textile and Garment IndustryPenulis: Wu Chongbo, The Australian National University in association with The University of TasmaniaPenerbit: Asia Pacific PressPendahuluanIndonesia merupakan salah satu produsen tekstil dan produk tekstil terbesar di ASEAN. Industri Tekstil dan Produk Tekstil yang ada di Indonesia memiliki sebuah struktur industri yang lengkap, mulai dari pengolahan serat sampai ke produksi pakaian jadi dan barang tekstil lainnya. Industri Tekstil dan Produk Tekstil di Indonesia pun beragam dan berdaya saing. Industri Tekstil dan Produk Tekstil sangat penting untuk perekonomian Indonesia karena menyerap banyak tenaga kerja dan memberikan devisa yang besar jika dibandingkan dengan sektor lain. Industri Tekstil dan Produk Tekstil juga memiliki struktur yang kuat. Hal tersebut terbukti pada tahun 1998 pada saat Asia terkena krisis keuangan, Industri Tekstil dan Produk Tekstil masih bisa bertahan. Akan tetapi, Industri Tekstil dan Produk Tekstil mengalami penurunan setelah adanya pengakhiran kuota tekstil pada 1 Januari 2005 yang berdampak pada penjual dan produsen tekstil dan produk tekstil. Akibatnya, banyak pabrik tekstil dan produk tekstil yang bangkrut dan mengalami dislokasi sehingga banyak tenaga kerja industri ini kehilangan pekerjaan dan munculnya peningkatan kesulitan sosial. Artikel/ jurnal ini menggali tentang industri tekstil dan garmen yang terfokus pada fakta-fakta permasalahan yang dihadapi industri tersebut dan respon pemerintah terhadap industri ini.

RingkasanProfil Industri Tekstil dan Garmen di IndonesiaMenurut data dari Kementerian Perindustrian dan Perdagangan, Pada tahun 1987, terdapat 88 perusahaan tekstil dan garmen yang beroperasi di Indonesia. Lalu jumlahnya meningkat menjadi lebih dari 2000 pada tahun 1992, dan pada tahun 2003, mencapai 2.654 industri tekstil dan garmen berada di Indonesia. Dari total tersebut terbagi menjadi 28 adalah produsen serat; 204 adalah produsen benang; 1043 adalah produsen kain; 855 adalah produsen garmen; dan 524 adalah produsen produk tekstil lainnya. Lebih dari tiga tahun terakhir jumlah industri tekstil tersebut masih tetap stabil. Industri Tekstil dan Produk Tekstil 90% terletak di Pulau Jawa dan 54,8%nya terletak di Jawa Barat. Untuk industri garmen, konsentrasi tertinggi terdapat banyaknya industri ini berada di Jawa Barat, Jakarta dan Batam, yang menjadi zona perdagangan bebas. Sekitar setengah dari produk tekstil Indonesia masuk ke pasar dunia. Industri Tekstil dan garmen merupakan industri non migas yang paling banyak memberikan kontribusi untuk perekeonomian. Sejak awal 1990-an, sekitar 16 persen dari total nilai ekspor Indonesia berasal dari industri tekstil dan garmen. Pada tahun 2000, ekspor industri ini mencapai Rp. 74,9 triliun. Hal tersebut menjadikan Indonesia sebagai 10 negara penghasil tekstil dan garmen terbesar. Menurut data dari Kementerian Perdagangan dan Industri, pada tahun 2003, 2.654 perusahaan tekstil di Indonesia mempekerjan lebih dari 1,18 juta orang, dan pada tahun 2004, industri tekstil di Indonesia mempekerjakan sekitar 1,5 juta orang secara langsung dan sektor ini secara keseluruhan mempekerjakan sekitar 3,5 juta orang secara langsung dan tidak langsung.Dari tahun 2002 industri ini telah mengalami masa-masa sulit dengan banyaknya pabrik yang menyatakan bangkrut. Lebih dari 100 pabrik Industri Tekstil dan Produk Tekstil di Bandung tutup.

Mengapa Industri Ini Mengalami KesulitanPenutupan pabrik tersebut akibat adanya penghapusan kuota tekstil, yang terjadi pada tanggal 1 Januari 2005. Penutupan kuota tekstil ini dirancang untuk melindungi industri-industri di Amerika Serikat dan Eropa dengan menghapuskan kuota tekstil sehingga mendorong terjadinya liberalisasi/ perdagangan bebas lalu muncul adanya persaingan/ kompetisi antar negara penghasil tekstil. Selain hal tersebut, ancaman inefisiensi juga dialami oleh industri tekstil di Indonesia, seperti adanya perselisihan perburuhan, kenaikan biaya tenaga kerja dan energi (bahan bakar), serta penuaan mesin-mesin tekstil. Untuk garmen, permasalahan yang dihadapi adalah kompetisi dengan negara berkembang penghasil tekstil dan produk tekstil lainnya, penuaan industri, biaya produksi yang sangat tinggi, iklim investasi yang suram dan lembaga keuangan yang tidak kooperatif.

Kompetisi Internasional yang SengitMasalah besar dari industri tekstil Indonesia adalah adanya persaingan sengit ekspor yang berasal dari India, Cina, Pakistan, Bangladesh, Turki, Meksiko, dan bahkan Vietnam, Thailand dan Kamboja. Terutama Cina, India dan Vietnam yang merupakan eksportir baru di industri ini. Mereka memasuki pasar global dengan tekad dan energi yang sangat kompetitif. Dalam beberapa tahun terakhir, Negara-negara ini telah berinvestasi besar dalam pembaharuan mesin dan teknologi. Strategi tersebut telah memungkinkan mereka untuk menjadi kekuatan dominan baru di pasar internasional. Pada saat yang sama, negara-negara ini telah mengadopsi strategi baru yang bertujuan untuk mengatasi rezim perdagangan internasional yang mengatur tekstil dan garmen. Seperti contohnya di India, yang mengerucutkan program revitalisasi untuk pakaian dengan membangun 15 taman yang dimodelkan seperti Kawasan Ekonomi Khusus Cina. Taman itu dilengkapi dengan infrastruktur dan pusat-pusat pelatihan pekerja untuk menarik investasi dari produsen pakaian skala besar. Begitu juga dengan Vienam yang lebih meningkatkan hubungan perdagangan dengan Amerika Serikat sehingga Vietnam menjadi negara pengirim pakaian terbesar ke Amerika Serikat melebihi Negara-negara ASEAN lainnya seperti Indonesia, Thailand dan Filipina.

Sebuah Penuaan IndustriMenurut PT SUCIFINDO, 57 persen dari mesin pabrik tekstil dan garmen di Indonesia berusia 15 tahun. 18 persen berusia 10-15 tahun, 18 persen berusia 5-10 tahun dan hanya 7 persen yang berusia di bawah 5 tahun. Teknologi yang usang ini berdampak negatif pada produktivitas, efisiensi dan kualitas. Selain itu ada masalah dengan adanya isu-isu kerusakan lingkungan, yaitu penggunaan bahan baku dan energi yang aman.

Peningkatan Biaya ProduksiHal ini terkait dengan biaya bahan baku untuk industri tekstil dan garmen, yaitu kapas yang 80 persennya merupakan impor karena kapas tidak tumbuh subur di Indonesia. Sekitar 90 persen kebutuhan kapas dari Australia dan Amerika Serikat. Selain itu pula, masalah lainnya yaitu meningkatnya biaya untuk upah buruh dan bahan bakar serta korupsi menjadikan industri tekstil dan garmen di Indonesia kehilangan keunggulan kompetitifnya jika dibandingkan dengan negara-negara lain.

Iklim Investasi dan Penarikan Modal Asing yang BurukTerdapat adanya beberapa faktor serius yang menghambat investasi di Indonesia, yaitu pengaturan izin usaha yang prosesnya panjang, biasanya memakan waktu lebih dari satu tahun. Kedua, infrastruktur yang lemah, termasuk jalan, air dan limbah, transportasi serta telekomunikasi. Ketiga adalah konflik kepentingan antara pusat dan pemerintah daerah, keempat adalah sistem pajak.

Penolakan Bank Untuk Bekerjasama Dengan Industri tekstilSelama beberapa tahun terakhir, bank-bank lokal pada umumnya menghindari pinjaman kepada industri tekstil karena risiko tinggi. Para banker berpendapat bahwa industri tekstil dan garmen adalah overdependent pada sistem kuota pasar Amerika.

Menurut paper/ artikel tersebut, yang menyebabkan banyaknya Industri Tekstil dan Produk Tekstil yang tutup di Indonesia (terutama Jawa dan Bali) adalah karena tingginya biaya produksi (yaitu tingginya energi bahan bakar dan meningkatnya upah) sehingga menurunnya daya saing Industri Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia dengan negara lain sehingga para investor pun enggan menanamkan modalnya di Indonesia yang pada akibatnya investasi menurun. Faktor-faktor penghambat investasi antara lain adalah birokrasi/ perizinan yang lama; lemahnya infrastruktur, seperti permasalahan jalan, transportasi, air bersih, air limbah dan telekomunikasi yang mengakibatkan logistik dan pelabuhan yang tidak efisien; dan konflik kepentingan pemerintah daerah dan pusat, yaitu pemerintah daerah terkesan tidak mendukung kepentingan nasional dengan banyaknya peraturan yang tidak mendukung investasi serta pemerintah yang korupsi (penyuapan dan pungli oleh pejabat daerah).Akan teteapi, Industri Tekstil dan Produk Tekstil diperkirakan akan tetap sebagai kontributor utama perekonomian Indonesia karena Indonesia masih memiliki keunggulan komparatif untuk labour intensive (upah buruh). Berikut ini merupakan langkah-langkah yang dilakukan pemerintah terkait Industri Tekstil dan Produk Tekstil: Membatasi impor; Mengurangi impor bahan baku; Restrukturisasi mesin; Memperbaiki birokrasi; Mencari pasar lain untuk tujuan ekspor; Menjadikan Batam sebagai zona perdagangan bebas; Peningkatan produksi; dan Meningkatkan inovasi untuk UMKM produk tekstil.Dari paper/ artikel di atas, dapat disimpulkan bahwa pembatasan kuota tekstil bukan merupakan hambatan, melainkan sebuah tantangan dan peluang agar Industri Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia bisa berkompetisi dengan negara lain. Selain itu pula, pasar untuk tujuan ekspor masih ada, sehingga permasalahannya berasal dari dalam negeri, seperti penyeludupan, perpajakan, kemanan, perselisihan perburuhan, tarif ekspor dan masalah produksi. Selain itu pula, permasalahan lainnya adalah bagaimana pemerintah Indonesia bisa menerapkan kebijakan yang bisa mengembangkan Industri Tekstil dan Produk Tekstil di Indonesia. Perbandingan dengan Jurnal/ Penelitian LainBerdasarkan jurnal Labour and Management in Development (Studies on The Indonesian Textile and Garment Industry), permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh Industri Tekstil dan Produk Tekstil di Indonesia sehingga Indonesia kalah bersaing dengan negara-negara penghasil tekstil dan produk tekstil lainnya adalah bukan karena adanya pembatasan kuota ekspor, melainkan permasalahan yang berasal dari dalam negeri, seperti penyeludupan, perpajakan, kemanan, perselisihan perburuhan, tarif ekspor dan masalah produksi. Selain itu pula, permasalahan lainnya adalah bagaimana pemerintah Indonesia bisa menerapkan kebijakan yang bisa mengembangkan Industri Tekstil dan Produk Tekstil di Indonesia. Sedangkan pada penelitian-penelitian di Indonesia, masih ada permasalahan-permasalahan lainnya yang dihadapi oleh Industri Tekstil dan Produk Tekstil, seperti di bawah ini : Penelitian Hermawan (2008), menganalisis ekonomi perkembangan Industri TPT Indonesia yang hasilnya adalah walaupun laju ekspor TPT Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun, namun posisi daya saing TPT Indonesia di pasar dunia masih di bawah Cina, India, dan Italia. Perkembangan industri TPT pada periode 1980-2006 masih baik, yaitu dengan tingkat pertumbuhan industri TPT yang masih positif. Prospek industri TPT Indonesia sangat dipengaruhi oleh harga riil kapas dunia, depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap USD dan tarif impor TPT.

PendahuluanIndustri TPT merupakan penyumbang terbesar dalam perolehan devisa Indonesia. Selain mempunyai kontribusi yang besar di dalam PDB dan perolehan devisa, industri ini juga menyerap banyak tenaga kerja. Permintaan hasil produksi TPT akan cenderung meningkat seiring dengan laju pertumbuhan penduduk, sehingga potensi pasar TPT domestik cukup besar. Hal ini didasarkan pada tingkat populasi yang mencapai lebih dari 20 juta jiwa dan membaiknya tingkat pendapatan masyarakat. Tujuan penelitian secara umum adalah menganalisis perkembangan dan prospek industri TPT Indonesia di pasar dunia. Sedangkan secara khusus, tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi posisi dan daya saing ekspor TPT Indonesia di antara Negara-negara pesaingnya, menganalisis perkembangan industri TPT Indonesia dan faktor-faktor yang mempengaruhinya dan menganalisis perkembangan industri TPT Indonesia dan keterkaitannya dengan pasar TPT dunia.

PembahasanMetode yang digunakan pada penelitian ini adalah CMS, 2SLS, dan simulasi kebijakan ekonomi dan non ekonomi. Secara keseluruhan, meskipun laju ekspor TPT Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun, namun posisi daya saing TPT Indonesia di pasar TPT dunia masih di bawah Cina, India, dan Italia. Di samping itu produksi tekstil dan garmen domestik dipengaruhi oleh harga riil kapas dunia dan upah riil tenaga kerja ITPT. Ekspor tekstil Indonesia dipengaruhi oleh produksi tekstil domestik. Sedangkan ekspor garmen Indonesia dipengaruhi oleh rasio harga riil tekstil dunia dengan harga riil garmen domestik tahun sebelumnya. Prospek industri TPT Indonesia sangat tergantung pada ketersediaan bahan berupa kapas dan pertumbuhan ekonomi dunia pada umumnya.

Dalam Kajian Pengembangan Industri Tekstil dan Produk Tekstil yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (2011), industri TPT memegang peran dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, disamping itu industri TPT tetap harus dikembangkan melalui kegiatan investasi, baik oleh investor dalam negeri maupun asing. Beberapa kendala yang menyebabkan kinerja industri TPT semakin melemah termasuk penurunan ekspor, antara lain terkait umur mesin yang sudah tua, pasokan energi yang tidak kontinu, ketergantungan impor bahan baku, dan sulitnya mengakses sumber pembiayaan. Untuk nilai ekspor TPT Indonesia didominasi oleh produk garmen dan benang.

PendahuluanIndustri Tekstil dan Produk Tekstil atau lebih dikenal dengan industri TPT adalah salah satu industri perintis dan tulang punggung manufaktur Indonesia. Posisi strategis industri ini semakin tampak nyata jika ditinjau dari sisi kontribusinya terhadap perekonomian khususnya dalam bentuk pendapatan ekspor dan penyerapan tenaga kerja. Bahkan jika mencermati periode sekitar 20 yang lalu perkembangan kinerja industri tekstil menunjukkan masa keemasannya, dimana pada saat itu industri ini mampu menyumbang lebih dari 35% dari total ekspor manufaktur dan penciptaan lapangan kerja terbesar di sektor manufaktur.Pada saat itu industri tekstil sangat diuntungkan oleh beberapa perangkat kebijakan antara lain melalui sistem pengembalian tarif (duty drawback system) yang menurunkan bias anti-ekspor dan adanya sistem joint venture menghasilkan keterampilan teknis, manajerial dan pemasaran yang diperlukan untuk memproduksi tekstil tujuan ekspor. Insentif yang besar bagi industri berorientasi ekspor ternyata kurang diimbangi oleh penguatan ke dalam negeri. Sistem pengembalian tarif pada tingkat terentu telah menyebabkan kurangnya daya saing industri tekstil jadi di tingkat domestik (finishing fabrics). Selain itu, keterkaitan antara industri tekstil jadi dan industri pakaian jadi juga lemah sehingga Indonesia harus mengekspor sejumlah besar tekstil setengah jadi (gray fabrics) dengan nilai tambah rendah dan mengimpor tekstil jadi dalam jumlah besar. Selain itu, industri ini juga masih menghadapi biaya tinggi terkait dengan lisensi dan prosedur ekspor dan impor.Kurang kondusifnya iklim usaha industri tekstil pada saat itu diperburuk dengan terjadinya krisis moneter tahun 1997 dimana pada saat itu ada lebih dari 12 perusahaan tekstil yang bangkrut, dan sisanya banyak yang mengalami stagnasi. Kondisi tersebut terus berlanjut hingga saat ini sehingga akumulasi masalah yang dihadapi oleh industri TPT menjadi cukup berat baik dari sisi permintaan maupun sisi penawaran. Potensi pasar domestik yang didukung oleh besarnya jumlah penduduk serta penguasaan semua rantai produksi meskipun belum sepenuhnya terintegrasi menjadikan industri ini tetap menjadi tumpuan pertumbuhan ekonomi domestik. Oleh karena itu diperlukan strategi pengembangan dan revitalisasi industri TPT dari hulu sampai hilir.Diterbitkannya UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan ndustri nasional diharapkan mampu memberikan arah bagi pengembangan industri tekstil dan produk tekstil di dalam negeri namun demikian untuk menghasilkan industri yang berdaya saing diperlukan kemampuan teknologi yang efektif dan efisien dan saat ini teknologi yang digunakan di dalam negeri masih belum mampu menghasilkan output yang optimal. Oleh karena itu, kehadiran penanaman modal asing yang membawa teknologi, modal dan jaringan pemasaran masih sangat relevan menjadi salah satu faktor dalam pengembangan industri tekstil dan produk tekstil di dalam negeri dan dapat dijadikan pengungkit daya saing investasi di Indonesia. Untuk mendukung prioritas pemerintah tersebut perlu disiapkan suatu kajian industri tekstil dan produk tekstil di masa datang.Maksud dan tujuan dari kajian ini adalah untuk dapat merumuskan kebijakan dan strategi terkait perencanaan pengembangan industri TPT sehingga dapat mendorong program revitalisasi pada akhirnya meningkatkan daya saing industri.PembahasanTerkait dengan permasalahan industri TPT yaitu :1) Tuanya umur mesin industri TPT domestikTuanya umur mesin menjadi salah satu isu utama dalam industri TPT di Indonesia. Penggunaan mesin yang overcapacity pada masa puncak produksi pada dasawarsa 1980-an menyebabkan mesin-mesin mengalami penurunan produktivitas. Kondisi mesin-mesin yang sudah tua ini selain menurunkan produktivitas juga ketinggalan teknologi. Kondisi mesin sangat menentukan kualitas produk. Mesin yang semakin tua selain menjadi kurang produktif juga semakin boros energi. Sebagai gambaran, mesin carding yang 15 tahun lalu biaya energinya hanya mencapai 7% namun saat ini memakan biaya listri sebesar 15-20%.Sebagian besar dari beberapa jenis industri TPT seperti industri pemintalan, pertenunan dyeing/ printing/ finishing dan pakaian jadi (garment) mempunyai mesin peralatan yang sudah tua sehingga menurunkan prduktivitas dan daya saing industri tersebut.2) Masalah Ketenagakerjaan Produktivitas tenaga kerja di sektor tekstil dinilai rendah karena kenaikan upah di sektor TPT tidak diimbangi dengan kenaikan produktivitas. Kekurangan tenaga profesional, antara lain di sektor industri weaving untuk bidang pemasaran dan di sektor industri garment untuk tenaga di bidang merchandizing dan marketing. Dalam hal penetapan upah, setiap tahun lebih besar dari angka inflasi dan tidak melihat indikator ekonomi. Tidak melihat kemampuan perusahaan untuk membayar upah (company ability to pay) serta tidak dikaitkan dengan tingkat produktivitas minimum perusahaan. 3) Mahalnya Biaya EnergiPasokan energi yang tidak kontinu. Pasokan gas, listrik, dan batubara masih menjadi hambatan. Pasokan energi domestik masih terkendala karena masih tingginya proporsi produksi yang dipasarkan di pasar ekspor.4) Ketergantungan Impor Bahan BakuTerbatasnya jumlah pelaku industri serat menjadikan indusri tekstil hulu Indonesia sangat tergantung pada pasokan bahan baku serat impor. Kontribusi pasokan impor serat di Indonesia mencapai 66% dari kebutuhan. Bahkan untuk serat kapas 99% masih harus diimpor. Demikian juga dengan kain, peranan kain impor sudah mencapai 39% dan statistik impor mencatat bahwa impor kain dari tahun ke tahun mengalami pertumbuhan paling tinggi.5) Rendahnya Kegiatan Research & Development (R&D)Menurunnya daya saing harga seharusnya diimbangi dengan daya saing berbasis kualitas. Kegiatan R&D ini diyakini dapat menodorong daya saing berbasis kualitas. Kegiatan R&D diyakini dapat mendorong daya saing suatu industri baik melalui ongkos yang rendah atau produk yang berkualitas. Di satu sisi, kegiatan R&D yang diarahkan pada perbaikan proses produksi (produktivitas) dapat menekan ongkos, di sisi lain R&D yang diarahkan pada pengembangan produk baru dapat menghasilkan produk yang lebih baik. Dengan demikian aktivitas R&D dapat ditujukan sekaligus untuk mengembangkan produk (better product) dan proses produksi. Namun dalam kenyataannya aktivitas R&D dalam industri TPT di Indonesia masih sangat rendah.6) Infrastruktur pelabuhan yang tidak memadai dan tingginya biaya terminal handlingInfrastruktur pelabuhan merupakan salah satu faktor utama yang ikut menentukan, khususnya untuk kepastian dan kelancaran proses kegiatan ekspor-impor. Pelabuhan-pelabuhan di Indonesia fungsinya sebagai lembaga profit yang menarik berbagai jenis biaya dan pungutan sehingga merugikan pengguna jasa karena menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Selain itu pelabuhan Tanjung Priok saat ini sudah melebihi ambang kapasitas. Apabila hal ini dibiarkan berlarut-larut dan tidak ada pembenahan, maka akan mengganggu kelancaran arus barang dan menimbulkan ketidakpastian bagi industri TPT Nasional, dan akhirnya dapat dipastikan akan mengakibatkan daya saing produk TPT nasional melemah.7) Maraknya Impor Legal Maupun IlegalProduk TPT eks Cina yang cenderung murah dan beragam membanjiri pasar Indonesia (baik legal maupun illegal). Sejak berlakunya ACFTA, produk Cina semakin membanjiri pasar domestik. Dalam kurun waktu 2006 hingga 2009, misalnya, telah terjadi trend kenaikan impor Indonesia dari China yang sangat tajam yakni 367% dari US$ 262 juta ke US$ 1.14 miliar. Maka, defisit perdagangan TPT Indonesia dengan Cina pun kian lebar. Tahun 2009, neraca perdagangan TPT Indonesia-Cina terjadi defisit untuk Indonesia sebesar US$ 882 juta.8) Perda-Perda yang kontra produktifSejak diberlakukannya otonomi daerah, 01 Januari 2001, pelaksanaannya yang dominan muncul adalah penyimpangan dan efek negatif dari otonomi itu sendiri. Pemerintah daerah (pemda) berlomba-lomba memproduksi peraturan daerah (perda) untuk mengisi keuangan daerah (Pendapatan Asli Daerah-PAD) tanpa memikirkan dampaknya bagi dunia usaha. Otomi daerah seharusnya dapat meningkatkan pelayanan pemerintah terhadap warganya, tetapi kenyataannya justru sebaliknya, yaitu dunia usaha justru dililit oleh pajak daerah maupun retribusi daerah yang bukan saja membebani akan tetapi juga menambah inefisiensi yang tahap akhirnya menciptakan hambatan terhadap perdagangan dan investasi bagi pengusaha/ investor yang berniat berusaha/ berinvestasi di daerah.9) Kesulitan dunia usaha untuk mengakses sumber pembiayaan dalam rangka peremajaan (Tingginya tingkat suku bunga tinggi komersial & anggapan industri TPT sebagai high risk)

Nur Effendi (2013) dalam penelitiannya yang berjudul Analysis of Indonesia Textile Industry Competitiveness in Regulation Perspective menyatakan bahwa lemahnya daya saing industri TPT Jawa Barat bukan semata-mata disebabkan oleh banyaknya produk tekstil yang membanjiri pasar domestik, tetapi secara fundamental sangat dipengaruhi oleh kelembagaan yang ada dalam industri ini.

PendahuluanDalam laporan WEF (World Economic Forum) Tahun 2011, Indonesia berada di peringkat ke 44 berdasarkan Indeks Daya Saing Global, jauh di beberapa Negara ASEAN lainnya seperti Malaysia dan Thailand yang masing-masing berada pada urutan ke 26 dan 38. Hal tersebut dikarenakan rendahnya skor Indonesia dalam Indeks Daya Saing Global di 3 pilar, yaitu kecanggihan teknologi (skor 3,2), infrastruktur (skor 3,6) dan kelembagaan (skor 4,0).Salah satu industri yang cukup mengalami penurunan daya saing beberapa tahun terakhir adalah industri tekstil. Industri tekstil adalah salah satu kelompok industri yang masuk ke dalam kluster industri prioritas berdasarkan Perpres Nomor 28 Tahun 2008 Tentang Kebijakan Industri Nasional. Dengan dikeluarkannya Perpres ini seharusnya daya saing industri ini tekstil terutama industri yang bersaing di pasar domestic, tidak mengalami penurunan seperti yang terjadi saat ini. Penurunan ini ditandai oleh banyaknya perusahaan tekstil yang harus ditutup karena produknya tidak mampu bersaing dengan produk pesaing dan produk impor. Data dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) wilayah Jawa Barat misalnya, menunjukkan bahwa terdapat 50 perusahaan tekstil yang tidak dapat dikonfirmasi pada tahun 2011. Dalam konteks kelembagaan, turunnya daya saing industri tekstil dapat dilihat dari berbagai perspektif teori, seperti dalam perspektif teori biaya transaksi yang menyoroti tingginya biaya transaksi dalam suatu industri yang berakibat terjadinya praktek ekonomi biaya tinggi. Makalah ini bertujuan untuk menganalisis lemahnya daya saing industri tekstil di pasar domestik dalam perspektif teori regulasi.

PembahasanDalam kaitannya dengan fenomena pasar tekstil domestik yang 60 persen dikuasai oleh produk impor, para pengusaha dalam industri tekstil maupun Asosiasi Pertekstilan Indonesia belum melihat adanya regulasi yang mengarah pada perlindungan terhadap industri tekstil lokal. Berdasarkan analisis terhadap Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 15/ M-IND/ PER/ 2/ 2012 dengan menggunakan sudut pandang alur produk, dalam hal ini regulasi dipandang sebagai suatu proses input-proses-output-outcome, ternyata aspek-aspek yang ditekankan dalam regulasi ini secara langsung belum menyentuh pokok permasalahan dalam industri tekstil. Regulasi ini dianggap belum bisa mewakili industri tekstil skala kecil dan menengah untuk dapat bersaing di pasar domestik dan hanya menguntungkan perusahaan tekstil skala besar yang berorientasi ekspor. Selain masalah mesin produksi yang sudah tua, industri tekstil juga menghadapi praktek bisnis biaya tinggi sebagai akibat dari mahalnya biaya bahan baku dan biaya energi. Selain itu juga, pengusaha masih harus mengeluarkan banyak biaya untuk praktek birokrasi dan pungutan tidak resmi lainnya yang sudah melembaga dalam industri tekstil. Sehingga lemahnya daya saing industri tekstil dapat dipahami sebagai akibat dari lemahnya regulasi yang mampu melindungi industri dalam negeri. Dari perbandingan-perbandingan jurnal tersebut, dapat dibuatkan matriks permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh Industri Tekstil dan Produk Tekstil yang ada di Indonesia sehingga didapatkan perbedaan dan persamaan antara penelitian yang satu dengan penelitian lainnya.

11 | Masalah Perencanaan

NoPenelitianPermasalahan yang dihadapi oleh Industri Tekstil dan Produk TekstilPerbedaanPersamaan

1Wu ChongboPermasalahan yang berasal dari dalam negeri, seperti penyeludupan, perpajakan, kemanan, perselisihan perburuhan, tarif ekspor dan masalah produksi serta kebijakan pemerintahMenurut Hermawan, prospek industri TPT Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu harga riil kapas dunia, depresiasi nilai tukar rupiah terhadap USD dan tarif impor TPTMenurut penelitian Wu Chungbo, Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Nur Effendi, permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh Industri Tekstil dan Produk Tekstil lebih kepada permasalahan dalam negeri, seperti permasalahan biaya produksi, teknologi dan kelembagaan

2HermawanProspek industri TPT Indonesia sangat dipengaruhi oleh harga riil kapas dunia, depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap USD dan tarif impor TPT

3Badan Koordinasi Penanaman ModalUmur mesin yang sudah tua, pasokan energi yang tidak kontinu, ketergantungan impor bahan baku, dan sulitnya mengakses sumber pembiayaan

4Nur EffendiDipengaruhi oleh kelembagaan yang ada dalam Industri Tekstil dan Produk Tekstil

Sumber: Hasil Analisis 2014

KesimpulanDari jurnal dan penelitian-penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa isu penurunan daya saing Industri Tekstil dan Produk Tekstil yang terjadi di Indonesia semata-mata bukan hanya Industri TPT Indonesia tidak dapat bersaing dengan negara-negara penghasil tekstil lainnya. Akan tetapi, lebih karena masih terdapat banyaknya permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh industri ini yang berasal dari dalam negeri, seperti permasalahan dalam faktor biaya produksi (pasokan energi yang tidak kontinu, ketergantungan impor bahan baku dan upah buruh); permasalahan dalam faktor teknologi (umur mesin yang sudah tua); dan permasalahan dalam faktor kelembagaan (penyeludupan, perpajakan, kemanan, perselisihan perburuhan, tarif ekspor serta kebijakan pemerintah). Selain itu pula, faktor eksternal seperti harga riil kapas dunia, depresiasi nilai tukar rupiah terhadap USD dan tarif impor TPT mempengaruhi prospek Industri Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia. Dari isu-isu tersebut, sehingga menarik bagi penulis untuk menjadikannya sebagai isu dalam pembuatan Tugas Akhir, karena selain Industri Tekstil dan Produk Tekstil sangat berkontribusi untuk perekonomian nasional dan memiliki banyak tenaga kerja, industri ini juga memiliki multiplier effect bagi wilayah yang banyak terdapat industri ini, seperti di Kabupaten Bandung yang menjadikan Industri Tekstil dan Produk Tekstil sebagai produk unggulan prioritas. Akan tetapi, dengan banyaknya permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh Industri Tekstil dan Produk Tekstil, sehingga dampaknya adalah terjadinya penutupan industri-industri di Kabupaten tersebut. Hal itu menjadikan penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi peningkatan daya saing Industri Tekstil dan Produk Tekstil di wilayah Industri Tekstil dan Produk Tekstil di Kabupaten Bandung dan bagaimana mengoptimalkan faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing sehingga penelitian tersebut diharapkan agar Industri Tekstil dan Produk Tekstil di wilayah Industri Tekstil dan Produk Tekstil dapat bertahan dan memanfaatkan peluangnya di pasar global sehingga peningkatan perekonomian bisa terjadi di wilayah tersebut.

Daftar PustakaBadan Koordinasi Penanaman Modal. 2011. Kajian Pengembangan Industri Tekstil dan Produk Tekstil. http://regionalinvestment.bkpm.go.id/newsipid/id/userfiles/ppi/KAJIAN%20PENGEMBANGAN%20INDUSTRI%20TEKSTIL%20DAN%20PRODUK%20TEKSTIL%202011.pdf (tanggal akses 25 Oktober 2013)Chongbo, Wu. 2007. Studies on The Indonesian Textile and Garment Industry. Labour and Management in Development Journal Volume 7, Number 5. http://www.nla.gov.au/openpublish/index.php/lmd/article/viewFile/1296/1583 (tanggal akses 25 Oktober 2013)Effendi, Nur. 2013. Analysis of Indonesia Textile Industry in Competitiveness in Regulation Theory Perspective. http://www.researchgate.net/publication/235766698_Analysis_of_Indonesia_Textile_Industry_Competitiveness_in_Regulation_Theory_Perspective_By__Nur_Efendi (tanggal akses 25 Oktober 2013)Hermawan, Iwan. 2008. Analisis Ekonomi Perkembangan Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/41648/Cover%202008ihe.pdf?sequence=1 (tanggal akses 25 Oktober 2013)