Trombosis Vena Serebral Pada Anak

download Trombosis Vena Serebral Pada Anak

of 18

description

presentasi kasus presentasi kejang dan nyeri kepala

Transcript of Trombosis Vena Serebral Pada Anak

Kepada Yth.Laporan Kasus NeuropediatriResiden Neurologidr. Peter Michel SouisaRabu, tgl. 16 Juli 2014Sajian Kasus

SEORANG PEREMPUAN DENGAN THALASEMIA MAYOR PASKA SPLENEKTOMI, TROMBOSITOSIS REAKTIF, PERDARAHAN INTRASEREBRAL DAN GIZI BAIK

Oleh :dr. Peter Michel Souisa

Narasumber :dr. Mustarsid, Sp.A(K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALISFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARETRSUD Dr. MOEWARDISURAKARTA2014SAJIAN KASUS

Nama PPDS Neurologi: dr. Peter Michel SouisaHari/Tanggal presentasi : Rabu, 16 Juli 2014

I. PENDAHULUANThalasemia dan hemoglobinopati merupakan penyakit kelainan gen tunggal (single gene disorders) terbanyak jenis dan frekuensinya di dunia. Penyebaran penyakit ini mulai dari Mediterania, Timur Tengah, Anak Benua (sub-continent) India dan Burma, serta di daerah sepanjang garis antara Cina bagian selatan, Thailand, semenanjung Malaysia, kepulauan Pasifik dan Indonesia.1,2 Daerah-daerah tersebut lazim disebut daerah sabuk thalassemia, dengan kisaran prevalens thalassemia sebesar 2,515%.3 World Health Organization (WHO) pada tahun 1994 menyatakan bahwa tidak kurang dari 250 juta penduduk dunia, yang meliputi 4,5% dari total penduduk dunia adalah pembawa sifat (bentuk heterozigot).2Terapi pada thalasemia meliputi tranfusi sel darah merah, kelasi, dan splenektomi hingga transplantasi sumsum tulang. Khusus mengenai splenektomi, paska tindakan ini perlu dilakukan monitoring ketat, karena akan terjadi kondisi yang hiperkoagulasi, yang diakibatkan oleh trombositosis reaktif dan factor koagulasi lainnya. Kejadian ini cukup sering dijumpai dengan insiden berkisar 75-82% (Loe4).4 Kondisi ini dapat menyebabkan komplikasi vaskular, yang cukup fatal bila terjadi pada otak, salah satunya yang akan dibahas pada kasus ini adalah cerebral venous thrombosis (CVT) yang dapat disertai perdarahan intraserebral (Loe3a).5Tujuan sajian kasus ini adalah untuk membahas gambaran klinis, diagnosis, tatalaksana dan prognosis dari kejadian CVT yang pada kasus ini terjadi pasca splenektomi pada penderita thalasemia mayor.

II. KASUSSeorang perempuan berusia 29 tahun, tinggal di Semanggi Pasar Kliwon, dengan nomer catatan medik 00916419, dirawat di Bagian Sub Divisi Hematologi Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedoteran Universitas Sebelas Maret Rumah Sakit Dr. Moewardi (RSDM) Surakarta sejak tanggal 30 Mei 2014, dengan diagnosis thalasemia mayor pro splenektomi. Penderita dijadikan kasus saat DPH hari XXIV, pada tanggal 23 Juni 2014. Penderita telah menderita thalasemia sejak kurang lebih usia 8 tahun, dan saat ini hendak dirawat, dengan keluhan badan lemas dan perut merongkol. Penderita sudah merasakan keluhan ini sejak kurang lebih 1 tahun lalu. Saat itu penderita merasa perutnya tidak enak, cepat terasa penuh bila makan, dan merasa kesulitan saat bernafas dalam. Batuk atau mengejan membuat keluhanya semakin berat. Oleh dokter dikatakan ada pembesaran organ limpa, dan disarankan untuk tindakan operasi pengangkatan organ tersebut. Penderita saat itu belum bersedia untuk dioperasi, karena masih takut.Sebelum penderita memutuskan untuk masuk rumah sakit, penderita masih terus merasa perutnya tidak nyaman, dan keluhannya ini semakin memberat dari hari ke hari. Kemudian, pada tanggal 30 Mei 2014, penderita datang ke RS Dr Muwardi, memutuskan untuk mondok dan menyetujui untuk dilakukan operasi pengangkatan limpa.Sebelumnya penderita telah terdiagnosis thalasemia sejak usia sekitar 8 tahun, sejak itu penderita sering dilakukan tranfusi darah, karena berulang kali mengalami anemia. Sempat beberapa tahun tidak mendapat tranfusi, yaitu sekitar usia 14 tahun selama 10 tahun, dan mulai mendapat tranfusi lagi sejak menikah kurang lebih sejak 5 tahun lalu. Buang air besar berwarna kuning kecoklatan sekali sehari dan buang air kecil berwarna kuning dan tidak nyeri. Penderita tidak sering mimisan, ataupun terjadi perdarahan/bengkak pada benturan ringan.Sebelum dilakukan operasi penderita dilakukan pemeriksaan darah, dan didapati Hb nya rendah, dan dilakukan tranfusi terlebih dahulu. Pada tanggal 5 Juni 2014 penderita dilakukan operasi, keadaan post-operasi baik, sadar penuh dan dirawat di HCU bedah. Tiga hari post-operasi saat masih di HCU bedah, penderita tiba-tiba mengalami kejang saat kondisi sedang terjaga, diawali dari tangan kiri saat penderita masih sadar berlangsung kurang dari 1 menit, kemudian diikuti kelonjotan kedua anggota gerak, mata melirik ke atas, tidak ada mulut merot ke satu sisi, lidah tidak tergigit dan kondisi tidak sadar, yang berlangsung kurang lebih 4 menit. Saat itu diperiksa GDS dan elektrolit, dengan hasil GDS: 148mg/dl, Na: 134 mmol/L, K: 3,2 mmol/L, Ca: 1,23 mmol/L. Setelah kejang, penderita tertidur, dan saat sadar penderita lupa kejadian setelah tangan kiri mengalami kejang, tidak ada kelemahan ataupun kebas dan kesemutan pada anggota gerak sesisi setelah kejang. Setelah kejadian kejang tersebut, penderita sering mengalami nyeri kepala. Nyeri kepala awalnya ringan dirasakan di seluruh kepala, tidak ada dominan ke satu sisi kiri atau kanan, dan terasa seperti diikat kuat. Tidak ada periode bebas nyeri pada penderita, hanya berkurang hingga nyeri yang minimal. Namun dapat timbul periode eksaserbasi nyeri dengan intensitas sedang hingga berat, yang cukup sering dialami pada malam hari, dan dapat timbul sekurangnya sehari hingga dua hari sekali. Tidak ada kejang lagi pada hari-hari selanjutnya. Karena nyeri kepala yang tidak kunjung sembuh, penderita dikonsulkan pada bagian neurologi pada perawatan hari (dph) ke-11. Penderita masih bisa membedakan macam bau-bauan, tidak mencium bau-bauan yang tidak biasa. Tidak mengalami pandangan kabur ataupun dobel. Tidak mengalami bicara pelo maupun bibir merot. Penderita masih bisa membedakan rasa asam, asin, manis, dan pahit. Tidak ada keluhan pendengaran, baik telinga berdenging maupun penurunan tajam pendengaran. Penderita masih bisa makan minum, tidak tersedak, dan tidak ada gangguan menelan. Buang air kecil dan buang air besar tidak ada keluhan.Riwayat penyakit dahulu didapatkan keterangan bahwa pasien tidak pernah mengalami kejang atau trauma kepala sebelumnya. Penderita adalah anak kedua dari dua bersaudara, tidak ada riwayat sakit serupa, baik thalasemia ataupun kejang/epilepsi yang diketahui diderita pada saudara ataupun orangtua penderita.Penderita tidak sekolah dan tidak berkerja. Suami penderita berkerja sebagai kuli bangunan dengan penghasilan kurang lebih Rp.500.000 hingga Rp.750.000. Dalam perawatan di RS pasien membayar sebagai peserta BPJS.

Pohon Keluarga

I

II

49 tahunIII46 tahun

30 tahun25 tahun

5 tahunNy. M, 29 tahun

Pada Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada tanggal 23 Juni 2014 (dph XXIII) didapatkan kesan umum tampak sakit ringan, kesadaran kompos mentis, GCS E4V5M6, gizi kesan baik. Tekanan darah 110/70 mmHg, laju nadi 80 kali/menit teratur teratur, isi dan tegangan cukup, laju napas 20 kali/menit kedalaman cukup, suhu aksila 36,8oC, berat badan 37 kg, tinggi badan 150 cm, kesan underweight (BMI), VAS (visual analog scale) saat pemeriksaan adalah 2. Pemeriksaan kepala didapatkan bentuk kepala mesosefal, tidak tampak ada jejas. Pada mata ditemukan palpebra mata tidak edema, konjuntiva tidak anemis, sklera mata tidak ikterik, kedua pupil bulat isokor dengan diameter 3mm/3mm, reflek cahaya normal pada kedua mata. Pemeriksaan hidung tidak ditemukan adanya deformitas dan nafas cuping hidung, tidak ditemukan juga adanya sekret pada hidung. Pemeriksaan telinga tidak ditemukan adanya sekret. Pada tenggorok tidak didapatkan faring hiperemis. Tonsil tidak membesar T1/T1 dan tidak hiperemis. Mukosa mulut basah, tidak sianosis, tidak pucat, tidak diapatkan ulserasi. Pada gigi tidak didapatkan caries. Pemeriksaan leher tidak ditemukan adanya pembesaran kelenjar getah bening. Pada pemeriksaan thorak tidak ditemukan adanya retraksi. Pemeriksaan inspeksi jantung tidak tampak adanya iktus kordis, pada palpasi teraba iktus kordis di SIC IV LMCS yang tak kuat angkat dan tidak teraba thrill, perkusi batas jantung kanan atas di SIC II LPSD, batas kanan bawah di SIC IV LPSD, apeks di SIC IV LMCS, kesan jantung tidak melebar. Auskultasi bunyi jantung I dan II intensitas normal, teratur dan tidak terdengar bising jantung.Pada pemeriksaan paru, inspeksi tampak simetris, tidak didapatkan retraksi, palpasi teraba gerakan dada simetris, fremitus raba normal, perkusi sonor di kedua sisi, auskultasi terdengar suara napas vesikuler yang normal, tidak terdapat suara tambahan, ronki basah kasar (-/-), ronki basah halus (-/-), wheezing (-/-). Pada pemeriksaan abdomen tampak dinding perut sejajar dengan dinding dada, bising usus normal, pada palpasi supel, hepar tidak teraba membesar, lien sulit dievaluasi karena terdapat luka bekas operasi, suara perkusi timpani, serta turgor kulit perut kembali cepat. Pada ekstremitas tidak didapatkan edema pada kedua ekstrimitas kaki, telapak tangan dan kaki teraba hangat, tidak tampak pucat, arteri dorsalis pedis teraba kuat, capillary refill time (CRT) < 2 detik. Pada status neurologis, penderita kompos mentis, tidak didapatkan adanya tanda rangsang meningeal dan gangguan fungsi luhur yang diperiksa. Pemeriksaan nervus kranialis I-XII dalam batas normal. Kekuatan ekstremitas atas dan bawah bernilai 5 baik sisi kiri maupun kanan, tonus otot normal, refleks fisiologis dalam batas normal, tidak didapatkan reflek patologis. Tidak didapatkan gangguan koordinasi dan sistem sensoris. Dari hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 30 Mei 2014 didapatkan hasil sebagai berikut Hb 6,4 gr/dL, Hct 18%, trombosit 150.000/uL, eritrosit 2.950.000/uL, leukosit 5.400/uL, MCV 61,2/um, MCH 21,7 pg, MCHC 35,4 g/dl, PDW 22%, MPV 6,3%, limfosit 27,90%, monosit 6,0%, netrofil 64,60%, eosinofil 1,10%, basofil 0,40%. Untuk keadaan Hb yang kurang, dan sebagai persiapan operasi, dilakukan tranfusi PRC 4 kolf. Terapi lain dengan diet 2000 nasi lauk KKal per hari, vitamin C 1x50, vitamin E 1x20 IU, asam folat 1x1 tab, feriprox 3x1000mg. Kemudian dilakukan pemeriksaan laboratorium ulang pada tanggal 2 Juni 2014, dengan hasil Hb 11,8 g/dl, hematokrit 39%, leukosit 6.700/ul, trombosit 120.000/ul, eritrosit 4.950.000/ul, MCV 78,0/um, MCH 23,8 pg, MCHC 30,6 g/dl, RDW 23,7%, MPV 8,0 fl, eosinofil 0,60%, basofil 0,4%, netrofil 73,70%, limfosit 20,10%, monosit 4,10%, PT 13,2 detik, aPTT 38,1 detik, INR 1.030, GDS 82 mg/dl, SGOT 43 u/l, SGPT 38 u/l, creatinine 0,4 mg/dl, ureum 24 mg/dl, natrium 139 mmol/L, kalium 3,2 mmol/L, calsium ion 0,86 mmol/L, HbsAg non reactive. Diagnosis kerja saat itu adalah 1. Thalasemia mayor pro splenektomi, 2. Anemia mikrositik hipokromik et causa thalasemia 3. Trombositopeni, 4. Limfositopeni, 5.hipokalsemi, 6. Hipokalemi, 7. Gizi baik, dilakukan koreksi hipokalsemi, dengan Ca glukonas 20ml + D5% hingga 50cc diberikan intravena bolus pelan, terapi lain masih sama.Pada tanggal 3 Juni 2014 dikonsulkan pada TS bedah untuk tindakan splenektomi yang akan dilakukan pada tanggal 5 Juni 2014. Operasi dilakukan sesuai tanggal yang direncanakan, post operasi kondisi penderita baik, dirawat di HCU bedah. Terapi dari bedah dengan Infus RL, inj. Ceftriaxon 1gram/12jam, inj. Metamizol 1gram/8jam, inj. Ranitidine 50mg/12jam. Kemudian 3 hari post operasi yaitu tanggal 8 Juni 2014, penderita mengalami kejang saat dalam kondisi terjaga, kejang berupa bangkitan parsial yang berkembang menjadi umum sekunder. Pada pemeriksaan, tekanan darah 140/80 mmHg, laju nadi 92 kali/menit teratur teratur, isi dan tegangan cukup, laju napas 18 kali/menit kedalaman cukup, suhu aksila 36,8oC, kesadaran somnolen, diagnosis kerja saat itu adalah kejang tanpa demam dengan diagnosis banding hipertensif ensefalopati, gangguan elektrolit, gangguan metabolik, epilepsi, hasil pemeriksaan laboratorium cito GDS 148mg/dl, natrium 134 mmol/L, kalium 3,2 mmol/L, calsium ion 1,23 mmol/L. Penderita juga dikonsulkan pada TS penyakit dalam, dengan hasil hipertensi stage I, hiponatremi dan hipokalemi ringan. Terapi tambahan inj.diazepam bila kejang terjadi dan captopril 3x12,5mg, terapi lain masih sama. Setelah pulih kesadaran, penderita tidak ada kelemahan anggota gerak sesisi ataupun bicara pelo, namun mengeluh nyeri kepala yang awalnya masih ringan. Pada tanggal 9 Juni penderita pindah ke bangsal melati 2, dan tanggal 10 Juni (dph XI, post-op hari V) dikonsulkan ke bagian neurologi dengan riwayat kejang, riwayat hipertensi grade I dan cephalgia, hasil jawaban konsul diagnosis klinis: riw bangkitan focal secondary generalized, topis: kortex cerebri, etiologis: susp. acute simtomatic seizure dd lesi struktural intraserebral/lesi non struktural, saran: elektroensefalografi (EEG) dan CT scan kepala polos. Hasil laboratorium tanggal 10 Juni, Hb 11,7 g/dl, hematokrit 37%, leukosit 14.600/ul, trombosit 665.000/ul, eritrosit 4.610.000/ul, MCV 79,9/um, MCH 25,4 pg, MCHC 31,7 g/dl, RDW 21,9%, MPV 8,7 fl, eosinofil 0,80%, basofil 0,5%, netrofil 84.10%, limfosit 2,80%, monosit 10,50%, GDS 81 mg/dl, SGOT 42 u/l, SGPT 82 u/l, albumin 3,8 g/dl, creatinine 0,2 mg/dl, ureum 26 mg/dl, natrium 128 mmol/L, kalium 2,9 mmol/L, calsium ion 1,10 mmol/L, Ferritin >1200.0 ng/ml. Diagnosis saat itu adalah 1.thalasemia mayor post splenektomi, 2. Riw. Seizure dd hipertensi ensefalopati, emboli, epilepsi, 3. Trombositosis reaktif post splenektomi, 4. Cephalgia, 5. Gizi baikSelama perawatan penderita beberapa kali mengalami eksaserbasi akut nyeri kepala dengan intensitas sedang sampai berat, dengan tipe yang serupa seperti sebelumnya, rentang VAS 5-7, hingga penderita pun dikonsulkan kepada tim nyeri, dan mendapat terapi tambahan asam mefenamat 4x250mg, diazepam 2x2mg, amitriptilin 0-0-0-50mg, cafein ergotamine 3x200mg, dengan terapi dari pediatri tetap dilanjutkan yang berupa Infus D1/4 NS 20tpm, diet nasi lauk 2000kkal per hari, asam folat 1x1 tab, vitamin E 1x100 IU, ferriprox 3x1000mg.Pada tanggal 16 Juni (dph XVII, post-op hari XI)), keluhan penderita masih nyeri kepala dan luka bekas operasi masih terasa nyeri. Tidak ditemukan ada defisit neurologis. Hasil followup laboratorium penderita Hb 10,8 g/dl, hematokrit 35%, leukosit 11.700/ul, trombosit 1.186.000/ul, eritrosit 4.380.000/ul, MCV 79,5/um, MCH 24,6 pg, MCHC 31,0 g/dl, RDW 22,5%, MPV 8,3 fl, eosinofil 3,30%, basofil 1,0%, netrofil 66,50%, limfosit 19,40%, monosit 8,70%, GDS 66 mg/dl, SGOT 41 u/l, SGPT 78 u/l, creatinine 0,4 mg/dl, ureum 17 mg/dl, natrium 134 mmol/L, kalium 3,3 mmol/L, calsium ion 1,19 mmol/L. Hasil EEG yang telah dilakukan adalah dalam batas normal. Penderita mendapat terapi tambahan berupa aspilet 1x100 mg. Evaluasi laboratorium dilakukan lagi pada tanggal 19 Juni (dph XX), didapatkan Hb 11,2 g/dl, hematokrit 36%, leukosit 16.900/ul, trombosit 1.076.000/ul, eritrosit 4.520.000/ul, MCV 80,5/um, MCH 24,9 pg, MCHC 30,9 g/dl, RDW 22,8%, MPV 8,5 fl, eosinofil 3,20%, basofil 0,60%, netrofil 71,50%, limfosit 17,70%, monosit 6,30%, GDS 112 mg/dl, SGPT 68 u/l, creatinine 0,3 mg/dl, ureum 29 mg/dl, natrium 131 mmol/L, kalium 4,0 mmol/L, calsium ion 1,08 mmol/L.CT scan kepala polos potongan aksial.

Dengan adanya keluhan cephalgia yang persisten,akhirnya pada tanggal 21 Juni (dph XXII) dilakukan CT scan kepala polos, dan mendapatkan hasilnya pada tanggal 23 Juni (dph XXIV) dengan kesimpulan perdarahan lobaris subakut di lobus parietal, dengan edema perifokal disekitarnya bentuk menjari, dengan volume perdarahan 5cc. Kondisi klinis penderita tidak ada perubahan selama perawatan dan mendapat tambahan terapi dari divisi neurologi yaitu manitol 50cc/8jam dengan terapi aspilet tetap dilanjutkan dari divisi pediatri. Hasil scan kepala polos dikonsulkan pada staf konsulan divisi neurointevensi, disimpulkan suatu cerebral venous thrombosis (CVT) dengan disertai perdarahan subakut, dengan secondary intracerebral score (skor SICH) sebesar 5, rekomendasi nya adalah evaluasi pembuluh darah serebral dengan angiografi kateter (digital subtraction angiography/DSA). Diagnosis kerja saat itu adalah, dari divisi neurologi diagnosis klinis: riwayat bangkitan focal secondary generalized, cephalgia subakut persisten, topis: lobus parietal, etiologi: CVT dengan perdarahan intraserebral, sedang dari divisi pediatri: 1.thalasemia mayor post splenektomi, 2.cephalgia e.c DD trombositosis, ICH subakut, 3.trombositosis reaktif post splenektomi, 4. Riwayat seizure e.c ICH, 5. Gizi baik. Saat itu belum bisa dilakukan DSA, dikarenakan alat DSA sedang ada masalah teknis. Saran terapi adalah antikoagulan warfarin 2x1. Kemudian Penderita diperbolehkan pulang pada tanggal 27 Juni (dph XXVIII),terapi pulang asam folat 1x1, vitamin E 1x20 IU, ferriprox 3x1000mg, aspilet 1x100mg, natrium diklofenak 2x50mg. Dengan evaluasi laboratorium terakhir yang telah dilakukan pada tanggal 26 Juni 2014, Hb 9,8 g/dl, hematokrit 34%, leukosit 15.800/ul, trombosit 968.000/ul, eritrosit 4.040.000/ul, MCV 81,5/um, MCH 23,9 pg, MCHC 29,3 g/dl, RDW 22,1%, MPV 8,0 fl, eosinofil 5,60%, basofil 1,0%, netrofil 73,50%, limfosit 1,80%, monosit 5,20%, SGOT 34 u/l, SGPT 45 u/l.

III. ANALISIS KASUSThalasemiaThalassemia adalah cacat genetik yang menyebabkan produksi rantai hemoglobin dalam jumlah yang terlalu rendah. Kecacatan ini dapat mempengaruhi rantai , , , atau , atau mungkin mempengaruhi beberapa kombinasi rantai hemoglobin pada pasien yang sama (tapi tidak semua rantai bersama-sama). Hasilnya adalah ketidakseimbangan dalam produksi rantai globin dan produksi jumlah sel darah merah yang tidak mencukupi sehingga jumlah sel darah merah berkurang. Keadaan ini dapat menghasilkan efek yang merugikan pada sel darah merah dan menyebabkan penghancuran sel darah merah di sumsum (akibat eritropoiesis yang tidak efektif) dan dalam sirkulasi (akibat hemolisis).1-3Klasifikasi thalassemia didasarkan atas jenis subunit globin yang mengalami defek, yaitu thalassemia , thalassemia , thalassemia , dan thalassemia . Sejauh ini, jenis thalassemia dan dianggap yang cukup penting. Pada populasi, yang banyak ditemukan adalah thalassemia , juga sering dijumpai varian gen hemoglobin seperti Hb S, C, dan E.3Thalasemia mayorThalasemia mayor adalah suatu penyakit darah serius yang bermula sejak awal kanak-kanak, anak-anak yang memiliki thalassemia mayor tidak dapat membentuk haemoglobin yang cukup dalam darah mereka. Mereka memerlukan transfusi darah yang sering dan perawatan medis. Penderita thalasemia mayor akan tampak normal saat lahir, namun di usia 3-18 bulan akan mulai terlihat adanya gejala anemia. Selain itu, juga bisa muncul gejala lain seperti jantung berdetak lebih kencang dan facies cooley. Facies cooley adalah ciri khas thalasemia mayor, yakni batang hidung masuk ke dalam dan tulang pipi menonjol akibat sumsum tulang yang bekerja terlalu keras untuk mengatasi kekurangan hemoglobin.Thalasemia betaThalassemia adalah hasil lebih dari 150 mutasi dari rantai globin , baik berupa hilangnya rantai (thalassemia 0) atau berkurangnya rantai (thalassemia +). Keadaan ini menyebabkan ketidakseimbangan sintesis rantai globin yang mengakibatkan berlebihnya rantai sehingga terjadi presipitasi prekursor eritrosit, yang pada gilirannya menyebabkan kerusakan sel darah merah di sumsum tulang dan perifer. Keseluruhan proses tersebut mengakibatkan terjadinya anemia yang parah, yang selanjutnya akan menyebabkan peningkatan produksi eritropoetin dan ekspansi sumsum tulang yang tidak efektif, deformitas tulang, pembesaran limpa dan hati, serta hambatan pertumbuhan. Thalassemia mayor adalah thalassemia dengan gejala klinis yang paling berat. Bentuk yang lebih ringan, dimana gejala klinis baru muncul pada usia yang lebih tua dan pasien tidak memerlukan transfusi atau jarang memerlukan transfusi disebut thalassemia intermedia. Sementara individu yang merupakan karier disebut thalassemia minor, dimana pasien tidak menunjukkan gejala klinis dan kelainan baru diketahui melalui pemeriksaan hematologi berupa anemia hipokrom mikrositer dan peningkatan kadar Hb A2.1-3,6Medikamentosa pemberian iron chelating agent (deferiprone): diberikan setelah kadar feritin serum sudah mencapai 1000 mg/l atau saturasi transferin lebih 50%, atau sekitar 10-20 kali transfusi darah. Deferiprone, dosis75 mg/kg berat badan/hari per oral, pemberian tiga kali sehari. Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian kelasi besi, untuk meningkatkan efek kelasi besi. Asam folat 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat. Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat memperpanjang umur sel darah merah.1,7-9Bedah splenektomi, dengan indikasi: limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita, menimbulkan peningkatan tekanan intraabdominal dan bahaya terjadinya ruptur hipersplenisme ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfusi darah atau kebutuhan suspensi eritrosit (PRC) melebihi 250 ml/kg berat badan dalam satu tahun.9 Indikasi lain jika ada peningkatan persisten kebutuhan tranfusi darah sebesar 50% atau lebih sejak awal mulai terapi, kebutuhan tranfusi PRC tahunan melebihi 250ml/Kgbb/tahun, adanya overload besi yang tidak terkontrol (ferritin > 1.500ng/ml atau peningkatan konsentrasi besi hepatal), dan ada bukti leukopeni dan/atau trombositopeni berat.1 Transplantasi sumsum tulang telah memberi harapan baru bagi penderita thalasemia dengan lebih dari seribu penderita thalasemia mayor berhasil tersembuhkan dengan tanpa ditemukannya akumulasi besi dan hepatosplenomegali. Keberhasilannya lebih berarti pada anak usia dibawah 15 tahun. Seluruh anak-anak yang memiliki HLA-spesifik dan cocok dengan saudara kandungnya di anjurkan untuk melakukan transplantasi ini.9Terapi suportif pada penderita thalassemia meliputi tranfusi darah Hb penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai 10 g/dl. Dengan kedaan ini akan memberikan supresi sumsum tulang yang adekuat, menurunkan tingkat akumulasi besi, dan dapat mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan penderita. Pemberian darah dalam bentuk PRC (packed red cell), 3 ml/kg BB untuk setiap kenaikan Hb 1 g/dl.9Pemantauan terapi pemeriksaan kadar feritin setiap 1-3 bulan, karena kecenderungan kelebihan besi sebagai akibat absorbsi besi meningkat dan transfusi darah berulang. Efek samping kelasi besi yang dipantau: demam, sakit perut, sakit kepala, gatal, sukar bernapas. Bila hal ini terjadi kelasi besi dihentikan. Tumbuh kembang Anemia kronis memberikan dampak pada proses tumbuh kembang, karenanya diperlukan perhatian dan pemantauan tumbuh kembang penderita. Gangguan Jantung, Hepar, dan Endokrin Anemia kronis dan kelebihan zat besi dapat menimbulkan gangguan fungsi jantung (gagal jantung), hepar (gagal hepar), gangguan endokrin (diabetes melitus, hipoparatiroid) dan fraktur patologis.8Penderita telah terdiagnosis thalasemia mayor sejak berusia 4 tahun. Telah berulang kali tranfusi darah sejak usia tersebut, dan sempat berhenti tranfusi sejak usia kurang lebih 14 tahun selama 10 tahun, dan kemudian menikah pada usia 24 tahun. Setelah menikah, penderita mengaku mulai sering lemas dan mulai sering tranfusi darah lagi. Penderita pun mengalami keluhan perutnya terasa merongkol sejak usia 27 tahun, saat itu perut terasa sebah, selalu cepat terasa penuh, sehingga mengurangi nafsu makan penderita. Keluhan nyeri perut bertambah saat bila penderita batuk atau bernapas dalam. Penderita pun mengeluh lebih mudah lelah dibanding sebelumnya.

Trombositosis reaktif paska splenektomiHitung jumlah trombosit normal berkisar 150.000-450.000/L. Dikatakan trombositosis jika melebihi 500.000/L. Berdasar etiologinya terbagi menjadi trombositosis esensial dan reaktif. Kejadian trombositosis reaktif lebih sering dibanding esensial, dimana dalam suatu studi disebutkan 70% untuk trombositosis reaktif dan 22% untuk trombsitosis esensial (Loe4).4 Derajat trombositosis terbagi menjadi: 1 Ringan (500.000-700.000/mm3) Moderat (700.000-900.000/mm3) Berat (900.000-1.000.000/mm3) Ekstrim (>1.000.000/mm3)Penderita dengan trombositosis ekstrim, penyebab paling sering adalah trombositosis reaktif. Operasi splenektomi adalah salah satu etiologi tersering dari trombositosis ekstrim. Hal ini dapat dimengerti, dimana lien memiliki peran penting dalam regulasi trombosit, yang mana merupakan tempat utama untuk dekstruksi trombosit (Loe4).4 Suatu studi menyebutkan ada mekanisme aktivasi trombosit spontan paska splenektomi (Loe3a).11 Kejadian trombositosis reaktif paska splenektomi memiliki insiden berkisar 75%-82%. Kejadian trombosis yang berhubungan dengan trombositosis memiliki insiden kurang lebih 5%. Jumlah trombosit setelah splenektomi telah dilaporkan dalam suatu studi, meningkat 30%-100% yang mencapai puncaknya pada 7-20 hari paska operasi dan akan kembali ke batas normal dalam hitungan minggu, bulan atau yang jarang hingga tahunan. Khusus mengenai trombosis vena paska splenektomi biasanya dikaitkan dengan jumlah trombosit >600-800 ribu/L dan berkisar 5% dari seluruh pasien. Kejadian trombosis arterial lebih jarang terjadi dibanding trombosis vena (Loe4).4

Tabel. Etiologi dari trombositosis ekstrim.4

Manajemen trombositosis reaktif, meliputi penegakan etiologi, manajemen peningkatan jumlah trombosit dan mencegah komplikasi. Beberapa obat yang digunakan untuk manajemen trombositosis yang ekstrim antara lain asam asetilsalisilat, hidroksiurea, anagrelide, interferon alfa, tiklopidin, enoksaparen, plasmafaresis (Loe4).4

Tabel. Medikamentosa untuk manajemen trombositosis ekstrim dan efek sampingnya.4

Pada kasus ini penderita mengalami peningkatan jumlah trombosit, yang sebelum operasi diketahui berada dalam kondisi trombositopeni, yang diketahui saat paska splenektomi hari V yaitu sebesar 665.000/ul, dan pada paska splenektomi hari XI mencapai puncaknya yaitu sebesar 1.186.000/ul. Keadaan ini jelas meningkatkan kondisi pro-koagulasi, yang akan meningkatkan risiko terjadinya trombosis pada arteri dan lebih jarang vena. Untuk mencegah komplikasi telah diberikan anti-agregasi platelet, yaitu aspilet 1x100mg. Saat pulang angka hitung trombosit terakhir masih tinggi namun sudah perbaikan yaitu 968.000/ul.Namun kondisi pro-trombosis yang terjadi pada paska splenektomi tidak sesederhana diakibatkan oleh trombositosis semata, namun lebih bersifat multifaktorial. Sebuah studi menyimpulkan bahwa trombositosis paska splenektomi ini tidak berhubungan kuat dengan peningkatan risiko komplikasi hemostatik. Jadi hanya trombositosis saja, tidak langsung mengindikasikan untuk memulai terapi antikoagulan, antiplatelet, atau terapi penurun jumlah platelet, kecuali untuk profilaksis sekunder. Belum ada guideline yang member rekomendasi untuk pemberian profilaksis trombosis vena pada penderita yang telah menjalani splenektomi dan mengalami trombositosis. Namun penulis menyebutkan antiplatelet akan bermanfaat pada trombosit >1.500.000/L dengan adanya faktor risiko kardiovaskular (Loe4).12 Jadi selain trombositosis, ada faktor lain yang memicu kondisi pro-trombosis antara lain, peningkatan IL-6, TNF dan C-reaktif protein (Loe3a).11 Peningkatan level fibrinogen, D-Dimer, fibrinopeptide 1 dan 2, dan PAI-1 (plasminogen activator inhibitor) di dalam plasma juga ditemukan paska splenektomi. Juga ada yang menyebutkan namun masih dibutuhkan penelitian lebih, yaitu berupa adanya aktivasi koagulasi plasma dan/atau menurunnya inhibitor koagulasi, seperti defisiensi protein C atau S, atau adanya antibody antifosfolipid atau mutasi factor V leiden (Loe3b).12

Tabel. Perbedaan trombositosis esensial dan reaktif1

Cerebral venous thrombosis (CVT) Cerebral venous thrombosis (CVT) adalah thrombus (bekuan darah) pada vena dural, yang mengalirkan darah dari dalam otak. Dapat terjadi pada sinus dural cerebri, antara lain sinus sagital, sinus lateral (termasuk sinus transversus, sinus sigmoid, dan petrosus), serta sinus kavernosus. Trombosis pembuluh darah vena di otak jarang menyebabkan infark cerebri, tetapi penyakit ini mendapat perhatian penting, karena potensi morbiditasnya.13 Cerebral venous thrombosis (CVT) ini merupakan penyakit yang langka dengan perkiraan sebanyak 3-4 per satu juta kasus orang dewasa. Kejadian ini dapat terjadi pada semua kelompok usia, namun lebih sering dijumpai pada kelompok dekade ketiga dengan 75 persennya adalah wanita. Hal ini berhubungan dengan adanya penggunan kontrasepsi oral. Pada anak-anak, sebuah penelitian di Kanada melaporkan pada tahun 2001, CVT terjadi 6,7 per satu juta tiap tahunnya. Penyakit ini lebih sering terjadi dalam kondisi tertentu. Sebanyak 85% penderita memiliki setidaknya 1 faktor risiko berikut:13 Trombofilia, kecenderungan untuk terjadinya gumpalan darah karena kelainan pada koagulasi, missal factor V Leiden, defisiensi protein C, protein S atau antitrombin Sindrom nefrotik, adanya kebocoran protein ke dalam urine Penyakti inflamasi kronis, seperti radang usus, lupus dan penyakit behcet Kehamilan dan masa nifas Paska operasi Kelainan darah tertentu, seperti polisitemia vera dan paroksismal nokturnal hemoglobinuria Penggunaan obat kontrasepsi hormonal yang mengandung estrogen Meningitis dan infeksi sinusitis atau mastoiditis Cedera langsung pada sinus dan vena otak Anemia sel sabit Dehidrasi, terutama pada bayi dan anak-anak HomosistinuriaAdanya ketidakseimbangan seperti yang disebutkan dalam triad Virchow antara lain: perubahan dalam aliran darah normal, cedera dalam dinding pembuluh darah, dan perubahan dalam konstitusi darah (hiperkoagulobilitas). Setiap gumpalan darah terbentuk karena ketidakseimbangan antara koagulasi ((pemebentukan protein darah fibrin yang sukar larut) dan fibrinolisis. Sebagian besar kasus CVT disebabkan oleh hiperkoagulobilitas. Dalam trombosis sinus vena serebral, gumpalan darah terbentuk di pembuluh darah vena dan sinus otak. Trombosis tersebut menyebakan infark vena yang menyebabkan kerusakan pada jaringan otak karena pemadatan yang mengakibatkan otak kekurangan suplai darah. Hal ini menyebabkan edema serebral (edema sitotoksik dan vasogenik), dan mengarah pada petekie kecil yang dapat bergabung menjadi hematom yang besar.13Gejala klinis yang sering terjadi adalah nyeri kepala, tidak spesifik dan mungkin menjadi satu-satunya gejala. 14 Nyeri kepala dapat memburuk dalam beberapa hari atau terjadi tiba-tiba. Lokasi nyeri kepala tidak berhubungan dengan lokasi trombosis sinus, dan seringnya terasa menyeluruh di kepala dengan kualitas dipukul (9%), diikat (20%), thunderclap (5%) dan lainnya (menusuk, meledak, dll) (20%). Sebanyak 40% dari semua penderita mengalami kejang, dan kebanyakan hanya mempengaruhi satu bagian tubuh dan unilateral (di satu sisi), tetapi kadang terjadi kejang umum dan jarang menyebabkan status epileptikus. Akibat peningkatan tekanan, dapat terjadi papiledema yang dapat menimbulkan gangguan lapang pandang. Dalam kenaikan tekanan intrakranial yang sangat parah, tingkat kesadaran menurun, tekanan darah meningkat dan denyut jantung turun. Kelumpuhan anggota gerak dan saraf kranialis juga dapat terjadi, tergantung sisi sinus yang terkena.13Diagnosis CVT dibuat atas dasar klinis dan studi pencitraan, sedangkan laboratorium berguna untuk menentukan kemungkinan penyebab CVT. Pemeriksaan neuroimaging yang dapat dilakukan adalah computed tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI) dengan radiocontrast dalam fase vena. Deteksi lebih akurat, menggunakan angiografi serebral, dapat menunjukkan gumpalan yang kecil yang tidak terdeteksi oleh CT atau MRI. Dibutuhkan keahlian khusus, yaitu dengan melakukan tusukan pada arteri femoralis lalu menggunakan kateter menuju pembuluh darah otak yang akan diperiksa. Pemeriksaan ini menggunakan radiocontrast yang akan disuntikkan sebelum gambar X-ray diperoleh.13Koagulasi yang terbentuk di sistem vena berbeda dengan di arteri. Pada trombosis arteri yang berperan adalah fenomena aktivasi platelet, sedangkan pada trombosis vena sering melibatkan aktivasi sistem pembekuan (Loe4).15 Maka pengobatan yang direkomendasikan adalah antikoagulan yaitu heparin atau heparin dengan berat moleku rendah dalam pengobatan awal, dan diikuti oleh warfarin, dengan tujuan menekan pemebentukan gumpalan darah di trombosis sinus vena serebral. Adanya perdarahan intrakranial yang berhubungan dengan CVT bukan kontraindikasi pemeberian antikoagulan.14 Pemberian antitrombotik dapat membatasi penyebaran trombus dan membantu pengenceran. Tindakan trombolisis, baik secara sitemik melalui suntikan ke dalam pembuluh darah atau langsung ke bekuan selama angiografi. Untuk mengatasi peningkatan intrakranial dapat dengan medikamentosa, seperti asetazolamid, dan larutan hiperosmolar, namun penggunaannya harus hati-hati.13Pada penderita yang mengalami impending herniasi, operasi dekompresi dapat menjadi tindakan life saving. Sebuah tinjauan sistematis yang berkelanjutan dari 19 studi tahun 2006 menunjukkan bahwa angka kematian sekitar 5,6% selama rawat inap dan total 9,4%, sedangkan yang selamat 88% terjadi pemulihan secara total atau nyaris total. Pada anak-anak dengan CVT, rata-rata angka kematian 50%, dengan hasil yang lebih buruk mungkin terjadi jika seorang anak dengan CVT mengalami kejang atau memiliki bukti infark vena pada imaging.13Pada kasus ini, manifestasi klinis terdiri dari kejang sekali berupa focal secondary generalized dan nyeri kepala dengan tipe mengikat kuat, bilateral, intermittent dan sering terjadi eksaserbasi nyeri berat pada malam hari. Diagnosis kecurigaan CVT ditegakkan pada onset hari XVI. Saat itu dilakukan neuroimaging dikarenakan ada nyeri kepala persisten, yang refrakter dengan pemberian analgesik. Hasil CT scan kepala menyimpulkan CVT dengan disertai gambaran perdarahan subakut. Penderita direncanakan untuk evaluasi vaskular, dengan CTA (CT-angiografi). Untuk kasus CVT penderita seharusnya diterapi dengan antikoagulan, namun ada perbaikan klinis saat diberikan antiagregasi platelet (aspilet) maka saat itu pemberian antikoagulan belum diberikan, mengingat penderita juga sedang menjalani pemulihan paska operasi. Adanya perdarahan intraserebral yang berkaitan dengan CVT bukan menjadi dasar pemikiran untuk penundaan penggunaan antikoagulan.

DAFTAR PUSTAKA1. Lanzkowsky P. Thalassemias. Manual of pediatric hematology and onkology; edisi ke-5, Elsevier, 2011. 2. Permono B, Ugrasena. Hemoglobin Abnormal. Dalam: Bambang permono, Sutaryo, Ugrasena, Endang Windiastuti, Maria Abdussalam, penyunting Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak, Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2005. h. 64-84 3. Kulozik A. Thalassemia. Dalam: Richard Sills, Albany, penyunting. Practical Algoritm in Pediatric Hematology and Oncology. Karger, 2003. h. 244. Khan PN, Nair RJ, Olivares J, Tingle LE, Li Zhiyong. Postsplenectomy reactive thrombocytosis. Proc (Bayl Univ Med Cent) 2009;22(1):9125. Crary SE, Buchanan GR. Vascular complication after splenectomy for hematologic disorders. Blood First Edition paper, July 27, 2009; DOI 10.1182/blood-2009-04-2101126. Wahidiyat. Pendekatan diagnosis anemia pada anak. Dalam: Maria Abdussalam, Partini, Nastiti, Bernie, penyunting. Pendekatan Klinis Pucat: Masalah kesehatan yang terabaikan pada bayi dan anak. Pendidikan Ilmu Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak III, Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RS. DR. Ciptomangunkusumo, 2007. H. 20-87. McMillan R. Hemorrhagic disorders: abnormalities of platelet and vascular function. PubMed Health [internet] 2007 [cited 29 may 2013]. Available from: www.ncbi.nlm.nih.gov. 8. Nancy F. Cold spring harbor medicine: Management OF Thalassemia. Pubmed Health [internet] 2013 [cited 10 july 2013]. Available from http://perspectivesinmedicine.cshlp.org/content/3/6/a011767.full.pdf+html9. Honig G. Hemoglobin Abnormalities. In : Behram, Kliegman, Jensen, editors. Nelson Textbook of pediatrics 17th ed. Philadelphia: Saunders. 2004.p.889-901.10. Hay W.W, Hayward A.R, Levin M..J and Sandheimer J.M. (2003). Current pediatric diagnosis and treatment. Part 27 Hematologic Disorder, congenital hemolyticanemias hemoglobinopaties.16th edition. Lange medical books/McGraw-hill.North America11. Ha Linda P., Arrendondo Mark. Fatal Venous Thromboembolism After Splenectomy: Pathogenesis and Management. The journal of the American Osteopathic Association. J Am Osteopath Assoc. 2012;112(5):291-30012. Mohren Martin, et al. Thromboembolic Complications After Splenectomy for Hematologic Diseases. American Journal of Hematology 76:143147 (2004)13. Suharjanti Isti, Rahmatul Wardah, Sani Firdaus. Clinical Practice in Neurology 2014. Airlangga University Press, Surabaya. 2014.p 42-5214. Usman Fritz Sumantri. Pengantar Neurointervensi: Diagnostik hingga Terapi. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2014 hal:57-6515. Prandoni Paulo. Venous and arterial thrombosis: Two aspect of the same disease? An original research. Clinical Epidemiology 2009:1 16

15