pelaksanaan pendaftaran tanah sistematik dan pengaruhnya ...
TRANSFORMASI KURIKULUM PESANTREN - Perpustakaan...
Transcript of TRANSFORMASI KURIKULUM PESANTREN - Perpustakaan...
TRANSFORMASI KURIKULUM PESANTREN
(Studi Kasus Pesantren Futuhiyyah Mranggen Demak)
Skripsi Disusun Guna Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam
Program Strata 1 (S.1) dalam Ilmu Tarbiyah
Disusun oleh
Abu Chamid
3102156
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2008
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia dewasa ini sedang berusaha keras untuk
mengembangkan masa depannya yang lebih cerah dan melaksanakan
transformasi menjadi suatu masyarakat belajar, yakni suatu masyarakat yang
memiliki nilai-nilai dimana belajar merupakan kewajiban.1 Hal ini sesuai
dengan hadits Nabi :
حدثنا هشام بن عمار حدثنا حفص بن سليمان حدثنا كثري بن شنظري عن حممد س بن مالك قال قال رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم طلب العلم ين سرين عن أن
2)رواه ابن ماجه(فريضة على كل مسلم
“Hisyam bin Amar telah menceritakan kepada kita, Hafs bin Sulaiman telah menceritakan kepada kita, Katsir bin Sundir telah menceritakan kepada kita dari Muhammad bin Sirrin dari Anas bin Malik r.a berkata: Rasulullah saw bersabda : menuntut ilmu adalah kewajiban atas setiap orang Islam (baik laki-laki maupun perempuan).” (H.R Ibnu Majjah)
Dari hadits tersebut, jelas bahwa Islam sangat menghargai dan
menjunjung tinggi ilmu. Oleh sebab itu, mencari dan mempelajarinya adalah
kewajiban bagi muslim dan muslimah berhak dan bahkan berkewajiban untuk
menuntut ilmu dan mengembangkan diri dengan berbagai ilmu pengetahuan,
ketrampilan dan kepandaian-kepandaian lain yang mendukung untuk
melaksanakan fungsinya sebagai khalifah dimuka bumi ini dan diharapkan
mampu membantu masyarakat untuk berkembang ke arah yang lebih maju.
Pesantren merupakan lembaga yang memiliki akar budaya yang kuat
di masyarakat. Oleh sebab itu, keberadaan pesantren di Indonesia berpengaruh
besar terhadap masyarakat disekitarnya. Dalam hal pendidikan agama,
1 Direktorat Pekapontren, Pola Pengembangan Pondok Pesantren, (Jakarta: Depag RI,
2003), hlm. 64. 2 Ibnu Majjah, Sunan Ibnu Majjah, Juz I, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), hlm. 81.
2
pengaruh pesantren tidak perlu dipertanyakan, ini disebabkan sejak awal
berdirinya pesantren memang dipersiapkan untuk mendidik dan menyebarkan
ajaran-ajaran Islam kepada masyarakat melalui pengajaran, baik dengan
sistem salaf maupun madrasah.3
Selain itu, kehadiran pesantren di tengah masyarakat tidak hanya
sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai lembaga penyiaran agama
dan sosial keagamaan. Selama masa kolonial, pesantren merupakan lembaga
pendidikan yang paling banyak berhubungan dengan rakyat, tidak berlebihan
kiranya untuk mengatakan pesantren sebagai lembaga pendidikan Grass Root
People yang sangat menyatu dengan mereka.4
Sebagai lembaga pendidikan, pesantren telah eksis di tengah
masyarakat selama enam abad (mulai abad ke-15 hingga sekarang) dan sejak
awal berdirinya menawarkan pendidikan kepada mereka yang masih buta
huruf. Pesantren pernah menjadi satu-satunya institusi pendidikan milik
pribumi yang memberikan kontribusi sangat besar dalam membentuk
masyarakat melek huruf (Literacy) dan melek budaya (Cultural Literacy).
Keberadaan pondok pesantren sebagai lembaga masyarakat sejak awal
telah mampu mengakomodasikan berbagai macam perubahan, baik dalam segi
struktural maupun sistematik pengajaran. Setelah diamati, transformasi yang
ada dalam pesantren, telah membawa lembaga ini mempunyai peran ganda,
yaitu sebagai lembaga pendidikan dan pengembangan masyarakat.
Transformasi di pesantren dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal, dimana para pengasuh pesantren
telah menyadari adanya berbagai transformasi yang ada di Indonesia, yang
diakibatkan oleh pembangunan yang cenderung mengarah pada modernisasi,
industrialisasi dan komputerisasi yang hampir ada dalam berbagai bidang
kehidupan. Akibat pembangunan seperti itu, tentu membawa pengaruh dan
dampak pada sikap dan perilaku masyarakat Indonesia, termasuk santri.
Adapun faktor eksternal dari transformasi di pesantren adalah pengaruh dari
3 Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, Pendidikan Alternatif Masa Depan, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), Cet. I, hlm. 90.
4 Mastuhu, Dinamika Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 21.
3
masyarakat sekitar dan desakan politis yang ada. Realitas tersebut bisa dilihat
mulai dari zaman Belanda, Jepang hingga sekarang ini. Namun transformasi
yang terjadi di pesantren tidak secara radikal merubah dan menghapus
sistematika struktur pendidikannya.5
Dengan demikian, transformasi yang ada di pesantren tidak
bertentangan dengan motto pesantren itu sendiri, yaitu memelihara cara lama
yang lebih baik (relevan) dan mengembangkan cara baru yang lebih baik.
Oleh karena itu, keberadaan pesantren lambat laun tidak hanya berorientasi
pada ilmu agama, melainkan lebih meluas lagi dalam bidang pengetahuan
umum. Dengan kata lain pesantren sudah selayaknya menjadi lembaga
Tafaqquh Fiddin dalam arti luas.
Sebagai lembaga pendidikan, pesantren memiliki kurikulum yang
diterapkan dalam sistem pendidikannya. Kurikulum adalah niat dan rencana,
proses belajar mengajar adalah kegiatannya. Dalam proses belajar mengajar
tersebut ada subjek yang terlibat, yaitu guru dan siswa. Siswa adalah subjek
yang dibina dan guru adalah subjek yang membina, kedua-duanya terlibat
dalam proses untuk mencapai tujuan pendidikan.6 Kurikulum tidak hanya
dijadikan sebagai mata pelajaran dan rencana dalam proses pengajaran oleh
guru, tetapi kurikulum juga dijadikan sebagai kontrol atau penyeimbang
dalam proses belajar mengajar dalam rangka mencapai tujuan pendidikan
yang ada di lembaga pendidikan formal, termasuk pesantren.
Pembahasan kurikulum sebenarnya belum banyak dikenal di
pesantren. Bahkan di Indonesia kurikulum belum pernah populer pada saat
proklamasi kemerdekaan, apalagi sebelumnya. Berbeda dengan kurikulum,
istilah materi pelajaran justru mudah dikenal dan dipahami dikalangan
pesantren.7
5 Sahal Mahfudh, Pesantren Mencari Makna, (Jakarta: Fatma Press, 1999), Cet.1, hlm.
39. 6 Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, (Bandung: Sinar
Baru, 1996), hlm. 3. 7 Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi
Institusi, (Jakarta: Erlangga), hlm. 108.
4
Mayoritas pesantren saat masih memberlakukan atau menerapkan
kurikulum secara parsial, artinya hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama saja
sehingga out putnya belum mampu mencerminkan tuntutan zaman. Kalaupun
ada beberapa pesantren yang telah memasukkan ilmu-ilmu umum, namun
pada tingkat implementasinya masih belum maksimal.
Berangkat dari latar belakang tersebut, maka perlu sekali pesantren
mengadakan transformasi dalam bidang kurikulum. Dengan adanya
transformasi ini diharapkan pesantren mampu bersaing dengan lembaga-
lembaga pendidikan formal yang lain, selain itu juga diharapkan para lulusan
pesantren mampu menjadi santri yang zamani, artinya santri yang mampu
menguasai ilmu-ilmu agama dengan baik, serta menguasai ilmu-ilmu umum
dengan baik pula.
Berangkat dari hal tersebut di atas, peneliti sangat tertarik untuk
mengkaji lebih lanjut transformasi kurikulum pesantren yang berada di
pesantren Futuhiyyah Mranggen Demak.
B. Penegasan Istilah
Untuk menghindari agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam
memahami penelitian ini, perlu dipaparkan istilah-istilah yang ada dalam judul
penelitian ini. Di antara istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Transformasi
Transformasi dalam bahasa Inggris transformation yang
mempunyai arti perubahan bentuk.8 Dari segi arti transformasi ini hampir
sama dengan perubahan yang mempunyai arti prosesi perbuatan cara
membaharui, proses mengembangkan adat.9
2. Kurikulum
Menurut K. Soegarda Poerbaka Watja dan H. Harahap, rata
kurikulum berarti:
8 John M. Echols dan Hassan Sadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia,
1992), cet.XX, hlm. 601. 9 Purwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Depdikbud, 1990), hlm. 95.
5
a. Suatu kelompok mata pelajaran yang disusun secara sistematis untuk
dapat lulus mencapai sertifikat dalam salah satu bidang tertentu.
b. Suatu rencana umum mengenai isi atau bahan-bahan pelajaran khusus,
yang oleh suatu sekolah atau pendidikan disajikan kepada pelajar
untuk tulus dan mendapat sertifikat atau untuk dapat memasuki suatu
jabatan atau bidang tertentu.
c. Suatu kelompok pelajaran dan pengalaman yang diperoleh oleh si
pelajar di bawah bimbingan sekolah.10
3. Pesantren
Kata pesantren berasal dan kata santri, mendapat awalan pe dan
akhiran an yang berarti tempat tinggal para santri.11
Dengan demikian yang dimaksud dengan judul “transformasi
kurikulum pesantren (studi kasus pesantren Futuhiyyah Mranggen
Demak” adalah perubahan bentuk kurikulum dari yang parsial (hanya
mengajarkan ilmu-ilmu agama saja) menuju kurikulum yang bersifat
universal (memadukan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum).
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah seperti dijelaskan di atas, maka
peneliti dalam penelitian ini merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana transformasi kurikulum yang ada dr Pesantren futuhiyyah
Mranggen Demak ?
2. Bagaimana aplikasi transformasi kurikulum yang ada di Pesantren
Futuhiyyah Mranggen Demak?
10 R. Soogarda Poerbakawatja dan AH. Harahap, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Gunung
Agung 1982), Cet.III, hlm. 188. 11 Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai,
(Jakarta: LP3ES, 1994), Cet.VI, hlm. 18.
6
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini mempunyai
tujuan :
1. Untuk mengetahui transformasi kurikulum yang ada di pesantren
Futuhiyyah Mranggen Demak.
2. Untuk mengetahui aplikasi transformasi kurikulum yang ada di
Pesantren Futuhiyyah Mranggen Demak.
2. Manfaat Penelitian
Berangkat dari tujuan penelitian di atas bahwa sesuatu mempunyai
manfaat, maka peneliti berharap penelitian ini mempunyai manfaat, antara
lain:
a. Teoritis
Dari hasil pembahasan skripsi ini diharapkan dapat digunakan
sebagai kontribusi atau sumbangan bagi pengembangan hazanah ilmu
pengetahuan, khususnya tentang transformasi kurikulum pesantren
(Studi Kasus Pesantren Futuhiyyah Mranggen Demak)
b. Praktis
1) Memberikan sumbangsih bagi lembaga pendidikan, terutama di
lembaga pesantren
2) Memberikan masukan bagi kalangan yang mempunyai penelitian
terhadap lembaga pendidika4 khususnya di lembaga pesantren.
E. Telaah Pustaka
Untuk menghindari terjadinya pengulangan hasil temuan yang
membahas permasalahan yang sama dari seseorang dalam bentuk buku atau
dalam bentuk tulisan lainnya, maka peneliti akan memaparkan kajian yang
sudah ada, diantaranya:
Skripsi yang disusun oleh Karwanto (NIM: 4196134), mahasiswa
IAIN Walisongo Semarang dengan judul skripsi “Pengembangan Kurikulum
Pendidikan Pesantren (Studi Kasus Pesantren al-Fadlu Kaliwungu)”. Dalam
7
skripsinya tersebut Karwanto meneliti ilmu-ilmu agama yang diajarkan di
pesantren tersebut lewat kitab-kitab klasik. Ilmu-ilmu sosial dan humaniora
tidak diberikan sehingga kurikulum yang memuat pelajaran-pelajaran umum
tidak ada, maka terlihat penelitian ini sama sekali tidak memfokuskan kepada
transformasi kurikulum.
Skripsi yang disusun oleh amin Mualim (NIM: 3102214), mahasiswa
IAIN Walisongo Semarang dengan judul skripsi “Transformasi Sistem
Pendidikan Pesantren (Tinjauan Historis terhadap PP Al Hikmah 2 Sirampok
Brebes)”. Dalam skripsinya tersebut Amin membahas tentang transformasi
kepemimpinan dan transformasi metode pendidikan, sedangkan kurikulunya
tidak dibahas secara detail melainkan hanya sebatas mengadakan reevaluasi
dan reaktualisasi.
Mujamil Qomar dalam bukunya “Pesantren dari Transformasi
Metodologi menuju Demokratisasi Institusi”. Transformasi kurikulum yang
meliputi materi dasar-dasar keislaman dan ilmu-ilmu keislaman, penambahan
dan perincian materi dasar, penggunaan kitab-kitab referensi serta
keterampilan.
Walaupun telah banyak penelitian yang membahas pesantren,
sepengetahuan penulis belum ada yang membahas secara khusus tentang
transformasi kurikulum pesantren.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kualitatif yaitu penelitian yang bersifat
atau karakteristik bahwa datanya dinyatakan dalam keadaan sewajarnya
atau sebagaimana adanya (natural setting) dengan tidak merubah bentuk
simbol-simbol atau angka.
Sedang pendekatan yang peneliti gunakan adalah pendekatan
kualitatif deskriptif yaitu penelitian yang dimaksud untuk menjelaskan
fenomena atau karakteristik individu, situasi atau kelompok tertentu secara
8
akurat.12 Pendekatan kualitatif deskriptif ini dimaksudkan hanya dengan
membuat deskripsi atau narasi dari suatu fenomena tidak untuk mencari
hubungan antar variabel, ataupun menguji hipotesis. Dalam penelitian ini
peneliti menggunakan salah satu penelitian kualitatif deskriptif studi kasus
yaitu penyelidikan mendalam (indebt study) mengenai gambaran yang
terorganisasikan dengan baik dan lengkap mengenai unit sosial tersebut.13
2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pesantren Futuhiyyah Mranggen
Demak. Lokasi ini dipilih mengingat di pesantren tersebut telah banyak
melakukan transformasi sehingga mampu bersaing dengan lembaga
pendidikan formal lainnya.
Adapun waktu penelitian berlangsung selama satu bulan yaitu
bulan April-Mei 2007. Selama itu peneliti akan berada di lokasi penelitian
untuk mengumpulkan data.
3. Triangulasi
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.14
Menurut Denzin (1978) ada empat macam triangulasi sebagai
teknik pemeriksaan yaitu triangulasi dengan sumber, triangulasi dengan
metode, triangulasi dengan teori dan triangulasi dengan melibatkan
peneliti.
Sedangkan triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan menggunakan triangulasi sumber, yang berarti membandingkan
dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh
melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif.15
12 Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), Cet. I,
hlm. 41. 13 Saifudin Anwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), Cet. I, hlm.
8. 14 Lexy J. Moeloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2001), cet. XIV, hlm. 178. 15 Ibid
9
Dalam penelitian ini, informasi yang dibandingkan adalah
informasi yang diperoleh dari kyai, ustadz dan pengurus.
4. Sumber Data
Dalam rangka membahas masalah-masalah yang ada dalam
penelitian ini, penulis menggunakan berbagai sumber data yaitu:
a. Telaah Pustaka (Library Research)
Penelitian diawali dengan penelitian kepustakaan, yaitu "suatu
research atau penelitian kepustakaan.16 Penelitian ini digunakan untuk
memperoleh informasi dalam rangka menyusun teori yang ada
kaitannya dengan judul, dan digunakan untuk memperoleh landasan
teori ilmiah. Dengan cara membaca, memahami dan menganalisis
bahan-bahan bacaan baik dalam bentuk buku-buku, majalah-majalah
maupun media masa lain yang berkaitan dengan judul dan dianggap
valid kebenarannya. Dari telaah pustaka tersebut dapat dirumuskan
konsep dasar tentang transformasi kurikulum pesantren
b. Penelitian Lapangan (Field Research)
Penelitian ini bertujuan untuk melihat, mengetahui dan
mengobservasi secara langsung tentang transformasi kurikulum yang
dilaksanakan pada lembaga pesantren. Adapun sumber data ini antara
lain:
1. Informan (Nara Sumber)
Dalam penelitian kualitatif, posisi nara sumber sangatlah
penting sebagai individu yang mempunyai informasi. Dalam
penelitian ini nara sumber adalah pengasuh (kyai), ustadz dan
pengurus.
2. Peristiwa atau Aktivitas
Data juga dapat dikumpulkan dengan mengamati peristiwa
maupun aktifitas yang berkaitan dengan sasaran penelitian.
16 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas
Psikologi UGM, 1987), hlm. 9.
10
Dalam penelitian ini akan diamati aktifitas dan peristiwa
yang terjadi dalam proses belajar mengajar di pesantren
Futuhiyyah yang erat hubungannya dengan kurikulum, baik segi
materi, metode dan evaluasi.
5. Metode Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data dari penelitian ini, peneliti menggunakan
beberapa metode antara lain:
a. Metode Observasi
Observasi adalah pengamatan secara sengaja, sistematis
mengenai fenomena sosial dengan gejala-gejala psikis untuk kemudian
dilakukan pencatatan.17 Adapun alat pengumpulan datanya disebut
panduan observasi, yang digunakan untuk mendapatkan data hasil
pengamatan, baik terhadap benda, kondisi, situasi, kegiatan, proses,
atau penampilan tingkah 1aku.18
Metode ini digunakan untuk memperoleh data yang berkaitan
dengan kurikulum yang ada di pesantren Futuhiyyah. Observasi yang
dilakukan penulis adalah observasi persiapan, dimana penulis terlibat
langsung dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh responden.
b. Metode Interview
Yaitu cara yang digunakan untuk mendapatkan keterangan
secara lisan dari responden.19 Dalam interview ini peneliti
menggunakan jenis interview bebas terpimpin, artinya pewawancara
berjalan dengan bebas tetapi masih terpenuhi komparatilitas dan
realibitas terhadap persoalan-persoalan penelitian.
Metode ini penulis gunakan untuk memperoleh data tentang
proses transformasi kurikulum, latar belakang transformasi kurikulum,
kapan terjadinya transformasi kurikulum.
17 P. Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta,
1991), hlm. 63. 18 Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, Dasar-Dasar dan Aplikasi, (Jakarta:
CV Rajawali,1992), hlm. 136. 19 Koentjara Ningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1991),
hlm. 129.
11
c. Metode Dokumentasi
Yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa
catatan, transkip, buku, agenda dan sebagainya.20
Metode dokumentasi ini, peneliti gunakan untuk memperoleh
data tentang jumlah santri, keadaan pengajar, dan data yang bersifat
dokumentasi. Selain itu digunakan untuk mempelajari kurikulum dan
kitab-kitab yang diajarkan di lembaga pesantren Futuhiyyah.
6. Metode Analisis Data
Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan
data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga ditemukan
tema dan dapat ditemukan hipotesis kerja seperti yang disampaikan oleh
data. Kajian dalam skripsi ini adalah penelitian yang analisisnya
menggunakan analisis kualitatif. Oleh karena itu dalam menganalisis data
penulis menggunakan metode induktif, yaitu proses logika yang berangkat
dari data empirik lewat observasi menuju kepada suatu teori.21
Sebagaimana diketahui dalam penelitian kualitatif, jenis-jenis data
yang dihasilkan diperoleh dari wawancara, observasi, dan dokumentasi.
Supaya data yang terkumpul dapat sesuai dengan kerangka kerja maupun
fokus masalahnya, maka analisis data menempuh tiga langkah utama
antara lain: reduksi data, yaitu proses memilih, menyederhanakan,
memfokuskan, mengabstraksikan dan mengubah data kasar ke dalam
catatan lapangan. Sajian data yaitu suatu cara merangkai data dalam suatu
organisasi yang memudahkan untuk pembuatan kesimpulan dan atau
tindakan yang diusulkan. Dan verifikasi data yaitu penjelasan makna data
dalam suatu konvigurasi yang secara jelas menunjukkan akhir kausalnya
sehingga dapat diajukan proposisi-proposisi yang terkait dengannya.22
20 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, (Yogyakarta:
Rineka Cipta, 1998), hlm. 225. 21 Saifudin Anwar, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), Cet. I,
hlm. 40. 22 Mohammad Ali, Strategi Penelitian Pendidikan, (Bandung: Angkasa, 1993), Cet. X,
hlm. 167.
12
Pengumpulan Data
Sajian Data
Reduksi Data
Penarikan kesimpulan /
verifikasi
13
BAB II
TRANSFORMASI KURIKULUM PESANTREN
A. Pengertian, Sejarah dan Karakteristik Transformasi Kurikulum
Pesantren
1. Pengertian Transformasi Kurikulum Pesantren
Transformasi berasal dari kata transformation (Inggris) yang
memiliki arti perubahan bentuk.1 Kata tersebut berasal dari kata transform
yang berarti perubahan/pergantian bentuk, atau juga menjelma. Apabila
menjadi sifat sesuatu transformasi menjadi transformative yang bisa
berarti perombakan / perombakan nilai-nilai.2
Menurut WJS. Poerwadarminta, dalam bukunya Kamus Besar
Bahasa Indonesia, transformasi diartikan sebagai prosesi perbuatan cara
memperbaharui, mengembangkan adat, dan juga disamakan dengan
perubahan secara umum.3
Mengambil istilah ilmu-ilmu sosial, khususnya sosiologi, maka
transformasi berarti perubahan sosial dan kebudayaan, yang berarti
perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur, fungsi masyarakat, dan
perilaku masyarakat serta pengaruhnya dalam struktur organisasi ekonomi,
politik dan budaya.4 Berdasarkan pengertian-pengertian di atas,
transformasi berarti perubahan bentuk, pergeseran nilai dan perombakan,
semua bergantung konteks yang dihadapi.
Kurikulum berasal dari bahasa Latin curriculum, semula berarti a
running course, race course, especially a chariot race course, dan terdapat
1 John M. Echols dan Hasan Sadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1992),
hlm. 601. 2 Perombakan nilai-nilai (budaya) di masyarakat terjadi karena imbas industrialisasi yang
akhirnya membentur dan memaksa perubahan ranah-ranah kultural, lihat Septi Gumiandari, “Transformasi Pesan Santri Vis-a-Vis Hegemoni Modernitas”, dalam Said Agil Siradj, et.al, Pesantren Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hlm. 115.
3 WJS. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Depdikbud, 1990), hlm. 95.
4 Soryono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), Cet. XXIII, hlm. 335-336.
14
dalam bahasa Perancis courier yang artinya to run (berlari). Menurut S.
Nasution, barulah kemudian istilah curriculum digunakan untuk sejumlah
courses atau mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai sesuatu
gelar atau ijazah.5
Istilah kurikulum yang semula hanya dianggap sejumlah mata
pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik, kemudian berkembang
menjadi berbagai konsep antara lain: pertama, kurikulum dipandang
sebagai alat untuk pengembangan proses kognitif. Kedua, kurikulum
dipandang sebagai teknologi/teknologi pendidikan. Ketiga, kurikulum
dipandang sebagai aktualisasi diri, kurikulum yang humanisti. Keempat,
kurikulum dipandang sebagai rekonstruksi sosial.6 Pemahaman kurikulum
tersebut dipengaruhi oleh perkembangan filsafat dan pola pikir para pelaku
pendidikan yang sedang atau masih dianggap relevan. Contoh: John
Dewey, memandang bahwa kurikulum sebagai rekonstruksi sosial, dengan
alasan pendidikan dapat mengubah masyarakat dan memberi corak baru
masyarakat yang paling efektif.
Sebagai suatu organisme, dalam proses pendidikan dan
pembelajaran kurikulum memiliki komponen-komponen dari anatomi
tubuhnya. Komponen-komponen tersebut antara lain; tujuan, materi
pembelajaran (pengalaman), proses pembelajaran, dan evaluasi.7 Tiap
komponen tersebut saling berkaitan erat satu dengan lainnya. Tujuan,
bertalian erat dengan materi pembelajaran, proses pembelajaran dan
evaluasi (penilaian).
Pada perkembangan kontemporer, kurikulum dipahami sebagai
segala kegiatan yang dirancang oleh suatu lembaga pendidikan yang
disajikan kepada peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan, baik
5 S. Nasution, Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), Cet.III,
hlm. 9. 6 Ibid, hlm. 15-25. 7 Tim Walisongo Research Institute (WRI), Bunga Rampai Psikologi dan Pembelajaran,
(Semarang: WRI dan Basic Education Project (BEP), 2001), hlm. 146-147
15
yang bersifat institusional, kurikuler maupun instruksional.8 Berdasarkan
pemahaman tersebut kurikulum adalah seluruh kegiatan peserta didik yang
ada dalam suatu lembaga madrasah atau sekolah.
Sementara, pesantren menurut pengertian dasarnya adalah tempat
belajar santri. Pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana
(dulunya bambu dan kayu). Kata pondok dalam arti tunduk (Arab) berarti
asrama.9 Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua atau
bapak pendidikan Islam di Indonesia. Berdasarkan hasil pendataan yang
dilaksanakan oleh Departemen Agama, pada tahun 1984-1985 diperoleh
keterangan bahwa pesantren tertua di Indonesia adalah pesantren Jan
Tampes II, yang didirikan tahun 1062 M di Pemakasan Madura.10
Pondok pesantren, memiliki ciri khas tertentu, baik secara
kelembagaan maupun unsur-unsur yang membedakannya dengan
lembaga-lembaga pendidikan lainnya antara lain: pertama, unsur kyai,
sebagai hal yang mutlak dan sentral di pesantren. Kedua, pondok/asrama
sebagai tempat tinggal bersama, kiai dengan santrinya. Ketiga, masjid,
yang fungsinya sebagai kegiatan ibadah dan proses pembelajaran.
keempat, santri, santri merupakan unsur pokok dari suatu pesantren. Santri
dibagi dua, santri mukim yaitu santri yang berasal dari daerah lain atau
jauh dan menetap. Santri kalong, santri-santri yang berasal dari daerah-
daerah sekitar pesantren dan tidak menetap di pesantren. Kelima, kitab
kuning/klasik. Unsur ini menjadi ciri khas yang membedakan lembaga
pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya, karena hanya di
pesantrenlah di ajari kitab kuning. Keenam, sistem atau metode
pembelajaran. di pondok pesantren terdapat ciri khas yang lain yang
membedakannya dengan lembaga pendidikan lainnya yaitu metode
sorogan, yang berarti sodoran atau yang disodorkan, maksudnya suatu
8 Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003), hlm. 60. 9 Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1983), hlm. 18. 10 Departemen Agama RI, Nama dan Data Potensi Pondok-Pondok Pesantren Seluruh
Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama, 198), hlm. 41.
16
sistem yang disodorkan secara individual, santri dan kiai (ustadz)
berhadapan dan interaksi langsung. Metode bandongan atau halaqah suatu
metode pembelajaran yang dilaksanakan secara bersama, kiai membaca
suatu kitab dan para santri menyimak kitab yang sama, lalu mendengarkan
dan menyimak bacaan kiai. Metode ini di Jawa Timur sering disebut
wetonan (berskala atau berwaktu).11
Berdasarkan pemaparan dari setiap istilah di atas, transformasi
kurikulum pesantren dapat dipahami sebagai perubahan bentuk yang
terjadi pada kurikulum sebagaimana yang terjadi pada ciri khas pesantren,
sejak eksistensinya di akui secara historis oleh masyarakat dan
perkembangannya sampai saat ini. Transformasi kurikulum yang terjadi
merupakan proses historis yang di dorong oleh faktor eksternal,
perkembangan dunia global yang mendorong akan perubahan pada
kurikulum pesantren. Pada sisi lain adalah karena faktor internal
kebutuhan akan perubahan eksistensi agar dapat bertahan dari goncangan-
goncangan arus global dan pengembangan diri.
2. Tinjauan Historis Transformasi Kurikulum Pesantren
Istilah transformasi secara akademik berasal dari ilmu-ilmu sosial,
khususnya sosiologi,12 atau bahkan lebih menukik pada permasalahan
transformasi sosial dan kebudayaan, sekularisasi, industrialisasi dan
permasalahan lainnya menyangkut perkembangan isu-isu modernisasi.
Rentetan panjang transisi-revolusi politik yang berawal ari revolusi
Prancis tahun 1789 dan terus dilanjutkan revolusi yang berlangsung pada
abad ke-19 merupakan paling penting perasaannya melahirkan teori-teori
sosiologi sekaligus membangun ilmu sosiologi. Revolusi politik yang
memunculkan revolusi industri yang melanda Eropa, terutama abad 19 dan
11 Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996),
hlm. 47-52. 12 Perkembangan teori sosiologi didorong oleh kekuatan sosial, antara lain munculnya
revolusi politik, industri, dan kemunculan isme-isme (ideologi): kapitalisme, sosialisme, juga isu-isu urbanisasi, feminisme dan pertumbuhan ilmu pengetahuan. Lihat, George Ritzer dan Dauglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Terj. Alimandan, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 7-11.
17
awal abad 20, perkembangan tersebut secara historis telah merubah
paradigma transformasi dunia barat dari corak sistem pertanian menjadi
industri sehingga memunculkan sistem ekonomi kapitalis, dilanjutkan
dengan reaksi buruh yang menentang sistem kapitalis, kemudian disebut
gerakan sosial.13
Munculnya ideologi-ideologi baru aba ke-19 Masxisme,
Komunisme, Marxisme-Lerinisme, Sosialisme dan Nasimalisme serta
gerakan Islam (ideologis) karena tekanan kolonialisme Barat, telah
membawa dampak pada perkembangan baru kehidupan umat Islam.
Menurut Abdurrahman Wahid, ideologi-ideologi yang masuk karena
Indonesia ada dua, pertama, ideologi sekuler, yang menghendaki agar
agama jangan sampai menjadi kekuatan penentu. Kedua, ideologi
universalisme Islam, yang menghendaki agar agama (Islam) menjadi
penentu utama kehidupan berbangsa-bernegara.14 Masuknya ideologi
tersebut tidak lepas dari proses penjajahan kolonial Eropa terhadap negara-
negara Asia yang kebutuhan berdampak pada munculnya dikotomi
tradisionalisme dan kolonialisme.
Gerakan Pan-Islamisme ideologi universalisme Jamaluddin al-
Aghami di mesir telah berdampak pada gerakan pembaharuan aba ke-19 di
Indonesia, terutama masuknya jenis modern, perkembangannya sistem
sekolah, golongan priyayi (muslim) mulai belajar sekolah ke Belanda dan
yang paling menggembirakan mulai ada upaya pembaharuan gerakan
pendidikan dan sosial-politik, terutama di Sumatera dan Jawa.15
Transformasi bisa terjadi karena timbulnya proses negara sekuler
atau karena kolonialisme sehingga membawa pengaruh pada pribumi
untuk mengadakan perubahan, termasuk anggapan bahwa sekularisasi
13 Anthony Giddens, dkk., Sosiologi, Sejarah dan Berbagai Pemikirannya, Terj. Ninik
Rochani, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004), hlm. 26-27. 14 Abdurrahman Wahib, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Ed. Kacung Maridjan
dan ma’mun Murod al-Brebery, (Jakarta: Grasindo, 1999), hlm. 81-83. 15 Kelahiran madrasah pertama di Padang, yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad
pada tahun 1909, tidak terlepas dari ketidakpuasan terhadap sistem pesantren yang semata-mata menitikberatkan pada pendidikan agama, di pihak lain pendidikan umum justru pada saat itu sekuler, tidak menghiraukan agama. Lihat, Hasbullah, op.cit., hlm. 66.
18
sangat dibutuhkan oleh masyarakat.16 Sebagai bukti dalam sejarah
pendidikan pada masa penjajahan Belanda, pada masa sekitar abad ke-18-
an nama pesantren sebagai lembaga pendidikan rakyat terasa sangat
berbobot terutama dilihat dari aspek dakwah Islamiyah. Namun karena
anggapan bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan sudah tidak aktual
(layak) untuk dipertahankan eksistensinya, maka perlu untuk mengikuti
dan memberlakukan perpaduan antara sistem pesantren dan sistem
pendidikan Barat (kolonial).17
Pada beberapa aspek, sekularisme telah membawa proses
kejatuhan suatu faham atau anggapan masyarakat bahwa faham tersebut,
yang sudah di anut selama berpuluh-puluh tahun atau ratusan tahun,
kemudian mencari alternatif faham lain. Proses berikut adalah diferensiasi,
terutama tentang dua pola berfikir yang menjadi tradisi dan yang dianggap
baru (modern), yaitu signifikansi fungsional sistem. Sehingga akan timbul
proses keterlepasan, proses sekularisme telah benar-benar terjadi karena
tradisi yang ada atau paham yang ada perlu menghadapi paham atau pola
pikir baru yang lebih sesuai. Tradisi yang telah dianggap mitos dan
modernisasi dianggap sebagai trend, telah juga melahirkan transformasi,
desakralisasi dan sekularisasi.18
Realitas di lapangan-masyarakat, kelahiran pesantren sebagai
lembaga baru, pada abad ke-17, bahkan hingga ke-19 selalu di awali
dengan perang nilai antara pesantren yang berdiri dengan masyarakat,
yang kemudian diakhiri dengan kemenangan pihak pesantren, sehingga
pesantren dapat diterima untuk hidup di masyarakat, dan kemudian
menjadi panutan bagi masyarakat sekitar, terutama pada bidang kehidupan
16 Peter E. Glasnes, Sosiologi Sekulerisasi Suatu Kritik Konsep, Terj. Muchtar Zoerni,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), hlm. 23-30. 17 Adanya perbedaan yang sangat kontradiktif dari sistem sekolah yang didirikan oleh
Belanda dengan pesantren telah menggugah masyarakat pribumi yang pernah menikmati pendidikan kolonial Belanda yang memadukan dengan pesantren, tanpa harus melunturkan semangat keislaman dan nasionalisme. Lihat Ridwan Saidi, Pemuda Islam dalam Dinamika Politik Bangsa 1925-1984, (Jakarta: Rajawali Press, 1984), hlm. 25. Lihat juga, Hasbullah, op.cit., hlm. 66-67.
18 Peter E. Glesnes, op.cit., hlm. 31-67.
19
moral. Pada perkembangannya pondok pesantren memang sangat pesat
karena telah tercatat pada zaman Belanda 20.000 buah.19 Lambat laun
sorotan bahwa pesantren sebagai lembaga tradisional, bersifat eksklusif
sistem pembalajarannya kaku dan sorotan lain, sehingga sorotan-sorotan
tersebut di respon oleh para pemegang kebijakan pesantren sebagai
ancaman akan eksistensi pesantren.
Penjajahan (kolonialisme) telah mendorong secara evolutif maupun
reformatif 20 transformasi sosial dan budaya. Khususnya pada kajian ini
adalah pendidikan, dalam segala aspeknya. Pemberlakuan sistem
pendidikan sekolah (Belanda) telah ikut serta memperlancar transformasi
pendidikan. Mengenai situasi ini Nur Cholik Madjid mengatakan seraya
mengkritisi.
“Seandainya negeri ini tidak mengalami penjajahan, mungkin pertumbuhan sistem pendidikan akan mengikuti jalur-jalur yang ditempuh pesantren-pesantren. Sehingga pengaruh-pengaruh tinggi yang ada sekarang tidak akan berupa Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), UNAIR (Universitas Airlangga) dan sebagainya. Tetapi namanya Universitas Tebu Ireng, Universitas Tremas, Universitas Bangkalan, Lasem, dan seterusnya.”21
Pernyataan Nur Cholik Madjid ini ternyata sebagai perbandingan
sistem pendidikan di negeri-negeri Barat sendiri, dimana hampir sema
Universitas terkenal, cikal-bakalnya adalah perguruan-perguruan yang
semula berorientasi keagamaan.22
Lahirnya Madrasah, istilah ini berasal dari isim Makan kata darasa
(Bahasa Arab) yang berarti tempt duduk untuk belajar atau populer dengan
19 A. Timur Djaelani, Peningkatan Mutu Pendidikan Pembangunan Perguruan Agama,
(Jakarta: Desmaga, 1982), hlm. 18. Lihat juga Hasbullah, op.cit., hlm. 43. 20 Perubahan sosial pada umumnya bersifat evolusi atau reformasi, namun demikian pada
pengembangan pendidikan di Indonesia lebih bersifat evolutif. Misalnya dari sistem pesantren berubah menjadi madrasah, dari madrasah berubah menjadi sekolah.
21 Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), Cet.I, hlm. 3-4.
22 Nurcholis Madjid mengambil contoh Universitas Harvard adalah analogi dari pesantren Harvard-nya Amerika Serikat yang didirikan oleh pendeta Harvard dari Boston. Tetapi universitas ini mampu bersaing dan paling prestisius di Amerika. Lihat, ibid, hlm. 4-5.
20
sekolah,23 sebagai respon terhadap sistem pendidikan Belanda yang
sekuler (di satu sisi) yang hanya mengajarkan pengetahuan umum, hal itu
dianggap positif karena mayoritas umat Islam tidak menguasai bidang-
bidang keduniaan (sosial-budaya-politik), pada sisi lain sistem pendidikan
pesantren hanya memberi pengetahuan agama, sehingga tanpa harus
menghapus unsur agamanya, kemudian timbullah ide menyatukan dua
sistem yang berbeda itu menjadi Madrasah.
Seiring perkembangan pendidikan Indonesia, awal abad ke-20-an,
Abdurrahman Wahid mencatat belajar semenjak tahun 1920-an, pondok
pesantren mulai mengadakan eksperimentasi dengan mendirikan madrasah
di lingkungan pondok pesantren. Pada tahun 1930-an sudah
memperlihatkan percampuran kurikulum. Baru pada tahun 1960-an hingga
pada tahun 1970-an, sekolah-sekolah umum masuk di institusi pesantren,
juga dibarengi dengan gerakan pondok pesantren sebagai basis
perkembangan masyarakat, yang sekaligus telah berkembang menjadi
suatu gerakan besar transformasi sosial, termasuk bagi transformasi
pondok pesantren itu sendiri.24
Masa orde baru (era 1970-an) dengan perkembangan
pembangunanisme, modernisasi dan industrialisasi sebagai ideologi
(penggerak) pembangunan nasional telah secara sistematis dan strategis
mempengaruhi kerja-kerja transformatif pada semua aspek kehidupan
masyarakat. Ide pembangunanisme tidak terasa telah merasuk ke dalam
seluruh wilayah kesadaran masyarakat Indonesia, pembangunan menjadi
kata yang mengideologi hampir di seluruh negara berkembang atau dunia
ketiga.25 Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan dengan basis
kekuatan potensi (sosial-ekonomi-politik) telah menjadi perhitungan
23 Madrasah berkembang pada awal abad 20, awalnya madrasah hanya bersifat diniyah
semata, baru setelah 1930-an sedikit demi sedikit melakukan pembaharuan terutama penambahan pengetahuan umum. Lihat Hasbullah, op.cit., hlm. 70.
24 Abdurrahman Wahid, “Pondok Pesantren Masa Depan”, dalam Said Agil Siradj, Pesantren Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hlm. 20-21.
25 Mansur Fakih, “Tinjauan Kritis Terhadap Paradigma dan Teori Pembangunan”, dalam Masdar F. Mas’udi (Ed.), Teologi Tanah, (Jakarta: P3M dan Yapika, 1994), hlm. 29.
21
proyek pembangunan. Lepas dari sisi negatif pembangunanisme, pondok
pesantren telah mengalami transformasi, dari pola kepemimpinan terlebih
dahulu, kemudian berkembang pada kurikulum, dan aspek lainnya dan
melahirkan istilah pesantren modern, sebagai trade mark dari
pembangunanisme yang membedakannya dari pesantren tradisional
(salafiah).
Perkembangan tersebut kemudian juga membuka beberapa
manusia berkaitan dengan transformasi pesantren dengan berbagai macam
problematika. Menurut Abdurrahman Wahid, misalnya memberi beberapa
pertanyaan fundamental, antara lain: bisakah pondok pesantren dengan
pola kepemimpinan dan sistem manajemen kepemimpinan kiai-ulama
yang kharismatis-elitis dapat mewujudkan ide kepemimpinan
partisipatoris sebagai modal yang dibutuhkan bagi berlangsungnya
transformasi sosial secara umum. Pada pertanyaan lain sejauh mana
pondok pesantren sebagai lembaga (sistem) pendidikan (tradisional) dapat
berubah menjadi produk aturan liberal bagi masyarakatnya, sementara
posisi lainnya menuntut pondok pesantren dapat menetapkan suatu
keputusan bahwa dalam faktor eksternal, masyarakat sangat bergantung
pada eksistensi dirinya.26 Padahal masih ada lagi seabreg (kompleks)
masalah terutama berkaitan dengan bagaimana pondok pesantren
menggunakan alat-alat ideologi untuk melakukan transformasi-perubahan
fundamental di tengah pondok pesantren yang notabene berideologi tak
logis, atau mencari alternatif ideologi yang logis. Akhirnya sampai pada
pertanyaan mungkinkah langkah-langkah di atas bahkan dapat
memusnahkan struktur pondok pesantren sebagai sebuah institusi budaya
politik sekaligus.
Kebutuhan-kebutuhan akan transformasi sosial adalah bukti bahwa
pondok pesantren mempunyai gagasan besar untuk mengembangkan
dirinya sebagai sebuah sistem pendidikan dan sistem pendidikan nasional.
Pengembangan pondok pesantren, baik dalam aspek metodologi, sistem
26 Abdurrahman Wahid, Pondok Pesantren Masa Depan, op.cit., hlm. 21-22
22
pembelajaran, maupun kurikulum, disamping pengembangan
pemberdayaan sosial, ekonomi, politik dan sosial budaya yang sangat
dibutuhkan pondok pesantren, perlu untuk mendapatkan respon pelaku
pendidikan khususnya di pondok pesantren.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam sampai sekarang
eksistensinya masih diakui, bahkan semakin memainkan perannya di
tengah-tengah masyarakat dalam rangka menyiapkan sumber daya
manusia (SDM) yang handal dan berkualitas. Pondok pesantren mulai
menampakkan keberadaannya sebagai lembaga pendidikan yang
mumpuni, karena di dalamnya didirikan madrasah, sekolah-sekolah umum
(kejuruan), baik secara formal maupun non-formal. Bahkan pada
umumnya pondok pesantren telah melakukan renovasi terhadap sistem
antara lain: pertama, mulai akrab dengan metodologi ilmiah modern.
Kedua, semakin berorientasi pada kegiatan pendidikan fungsional, yang
terbuka atas perkembangan luar. Ketiga, diversifikasi program dan
kegiatan makin terbuka dan ketergantungan dengan kiai-pun mulai tidak
absolut padanya, santri juga dibekali dengan beberapa pengetahuan di luar
mata pelajaran agama, diantaranya ketrampilan dan skill untuk lapangan
kerja. Keempat, perkembangan pesantren juga dapat dijadikan fungsi
pengembangan masyarakat.27
Pesantren kini mengalami suatu proses transformasi kultural,
sistem, dan nilai-nilainya. Transformasi tersebut adalah sebagai jawaban
atas kritik-kritik yang diberikan kepada pesantren dalam arus transformasi
dan globalisasi, yang mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan
drastis dalam sistem dan kultur pesantren. Perubahan-perubahan tersebut
antara lain: a) perubahan sistem pembelajaran dari perseorangan atau
sorogan menjadi sistem klasikal yang kemudian dikenal dengan madrasah.
b) Perubahan lain adalah diberikan pengetahuan umum disamping masih
mempertahankan pengetahuan agama, bahasa Arab, dan kitab kuning. c)
27 Rusli Karim, “Pendidikan Islam di Indonesia dalam Transformasi Sosial Budaya”, dalam Muslih Usa, Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hlm. 134.
23
bertambahnya komponen pendidikan, misalnya ketrampilan sesuai dengan
kemampuan dan kebutuhan masyarakat sekitarnya. d) diberikannya ijazah
bagi santri, yang telah menyelesaikan studinya di pesantren, yang
terkadang ijazah tersebut disesuaikan dengan ijazah negeri.28
3. Karakteristik Transformasi Kurikulum Pesantren
Sejak pertumbuhannya dengan bentuknya yang khas dan
bervariasi, pondok pesantren terus berkembang. Namun perkembangan
yang signifikan muncul setelah terjadi persinggungan dengan sistem
persekolahan atau juga dikenal dengan sistem madrasi, yaitu sistem
pendidikan dengan pendekatan klasikal, sebagai lawan dari sistem
individual yang berkembang di pondok pesantren. 29
Model pendidikan Islam dalam bentuk madrasah tidak hanya
dikembangkan tetapi juga diserap oleh pesantren, dalam rangka
memperbaharui atau memperkaya sistem pendidikannya. Pada tahap
berikutnya sistem madrasi juga mengalami perkembangan, di lain pihak
ada yang tetap mempertahankan dominasi pendidikan agama dan bahasa
Arab dan ada juga yang mengarah pada pendidikan umum. Maka terdapat
dua bentuk ciri khas pengembangan kurikulum dan pembelajaran yaitu
bentuk pertama, dikenal dengan madrasah diniyah. Kedua, bentuk kedua
dengan dominasi pengetahuan umum disebut dengan madrasah
(Ibtidaiyyah, Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah).
Pada perkembangan di tahun 1960-an dan 1970-an, di era
masuknya sekolah umum (Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama,
dan Sekolah Menengah Atas) masuk di institusi pesantren telah menambah
kekayaan kurikulum maupun sistem pembelajarannya. Beberapa pesantren
bahkan telah melakukan terobosan dengan mendirikan sekolah-sekolah
28 Ibid 29 Sistem Madrasi terlebih dahulu berkembang di Timur Tengah, abad ke-19 dan ke-20
kemudian oleh para santri Indonesia dibawa ke Indonesia, dengan upaya pengembangan sistem pengajaran dan pengembangan materi kurikulum dengan pengetahuan umumnya. Lihat Departemen Agama, Pondok Pesantren dan Madrasah, Pertumbuhan dan Perkembangannya, (Jakarta: Dirjen Bindaga, 2003), hlm. 14.
24
kejuruan, baik teknik mesin maupun ekonomi sehingga berimplikasi pada
pemberlakuan kurikulum departemen pendidikan nasional.30
Madrasah atau sekolah yang diselenggarakan di pondok pesantren
akan berlaku dengan ciri khas berbeda bergantung pada pola pondok
pesantren yang ada. Pada tipologi pesantren modern lebih mengedepankan
pendekatan modern/khilafiyah yang menyelenggarakan kegiatan
pendidikan satuan pendidikan formal, baik dari madrasah, maupun
sekolah, dengan pendekatan klasikal. Sudah barang tentu kurikulum yang
berlaku bersifat formal. Pada tipologi campuran/kombinasi, pada
umumnya menyelenggarakan pendidikan secara klasikal dan berjenjang,
walaupun tidak harus dengan nama sekolah atau madrasah, tetapi tetap
menyelenggarakan pendidikan pengajian kitab klasik (kitab kuning),
karena sistem ngaji kitab kuning itulah yang menjadi ciri khas suatu
pesantren.
Kitab kuning, menurut Martin Van Bruinessen adalah tradisi agung
yang menjadi ciri khas pesantren, sebagai tempat mentransisikan Islam
yang terdapat dalam kitab-kitab klasik yang ditulis berabad-abad.31 Maka
transformasi kurikulum pesantren tidak akan menjadikan ciri khas
utamanya tersebut dan menjadi catatan sejarah, yaitu pengajian kitab
kuning.
Transformasi kurikulum pesantren akan memperlihatkan
bentuknya bergantung pada pola kepemimpinan kiai-pengasuh. Hal itu
menjadi landasan pengembangan, bahwa transformasi yang pertama
terjadi adalah transformasi kepemimpinan (pola manajemen) baru
berimbas pada transformasi lainnya, baik kurikulum, tujuan (visi dan
misi), isi materi kurikulum, metode pembelajaran yang digunakan maupun
sistem evaluasi yang digunakan dalam pesantren.
30 Ibid, hlm. 30. 31 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, Tradisi-Tradisi Islam di
Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 17.
25
B. Kurikulum Pesantren
1. Pengertian Kurikulum Pesantren
Secara tradisional kurikulum seringkali dipahami sebagai sejumlah
mata pelajaran yang dipelajari di sekolah. Pada perkembangannya,
kurikulum telah mengalami perubahan konsep, sehingga kurikulum
dipahami sebagai seperangkat rencana dan pengaturan tentang isi dan
bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar sekolah.
Pada pengertian baru, Muhaimin menjelaskan bahwa kurikulum
merupakan segala kegiatan yang dirancang oleh lembaga pendidikan untuk
disajikan kepada peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan
(institusional, kurikuler, dan instruksional).32 Pengertian yang luas ini
sejalan dengan pemahaman Ibnu Hadjar bahwa kurikulum adalah seluruh
kegiatan peserta didik yang berada di bawah tanggung jawab dan
bimbingan lembaga atau sekolah.33 Pengertian tersebut menggambarkan
bahwa segala bentuk aktifitas yang sekiranya memiliki efek bagi
pengembangan peserta didik dimasukkan ke dalam kategori kurikulum.
Mengacu pada pengertian di atas, karena ciri khas pendidikan
pesantren adalah pendidikan 24 jam atau sehari semalam, maka kurikulum
pesantren adalah seluruh kegiatan yang dilakukan oleh santri selama sehari
semalam di pesantren. Hal itu menjadikan pemahaman bahwa selain jam
efektif atau kegiatan yang bersifat formal, juga diajari banyak pelajaran
yang bernilai pendidikan seperti latihan hidup sederhana, latihan hidup
bermasyarakat, belajar mandiri, latihan bela diri bahkan dalam kenyataan
di lapangan, muatan kurikulum yang tidak nampak (hidden curriculum) ini
justru porsinya jauh lebih banyak dibandingkan dengan kurikulum yang
tampak.
32 Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003), hlm. 60. 33 Ibnu Hadjar, Kurikulum Pendidikan Dasar dan Implementasinya dalam Pembelajaran
di Kelas, dalam Bunga Rampai Psikologi dan Pembelajaran, (Semarang: WRI kerja sama Depag RI, 2001), hlm. 94-95.
26
Proporsi kurikulum sebagaimana di atas dapat dipakai mengingat
tujuan pesantren bukanlah mengajar santri agar paham terhadap ajaran
agamanya saja, melainkan sekaligus menjadikan agama sebagai pijakan
perilaku hidup kesehariannya. Dengan kata lain, tujuan pesantren adalah
mencetak santri menjadi alim dan amil.
Pada pesantren yang tetap mempertahankan keasliannya (salaf)
maka kurikulum formalnya hanya mengajarkan ilmu-ilmu pendidikan
agama dengan ciri khas kitab kuningnya, atau ngaji saja. Pada
perkembangannya untuk menjawab tuntutan modern, banyak pesantren
yang menambahkan pengetahuan sekuler dalam kurikulum formalnya.
Sementara kurikulum yang non formalnya atau yang tidak nampak,
meliputi kesenian (rebana atau kasidah), seni bela diri dan ketrampilan
lainnya.
Kurikulum pada pesantren kontemporer, menurut Ronald Alan
Lukens Bule memiliki sedikitnya empat bentuk:34 pertama, ngaji
(pendidikan agama) yaitu belajar membaca teks-teks Arab, terutama al-
Quran dan kitab-kitab klasik (kitab kuning). Kedua, pengalaman dan
pendidikan moral. Pengalaman hidup yang diajarkan di pesantren dan
penghayatan nilai-nilai moral, termasuk di antaranya kesederhanaan,
persaudaraan Islam, keikhlasan dan nilai kemanusiaan. Ketiga, sekolah
dan pendidikan umum. Pada pesantren kontemporer telah memiliki
sekolah (madrasah) satu sekuler yang disebut sistem nasional dan yang
lain keagamaan yang disebut sistem madrasah. Keempat, adanya kursus
dan ketrampilan, yang masing-masing pesantren menyesuaikan kebutuhan
kerja.
2. Isi Kurikulum Pesantren
Untuk mencapai tujuan sebagaimana di atas perlu diperlukan
materi kurikulum yang mempunyai kedudukan sentral dalam proses
34 Ronald Alan Lukens Bule, Jihad Ala Pesantren di Mata Antropolog Amerika,
(Yogyakarta: Gama Media, 2004), hlm. 62-84.
27
pembelajaran. Materi yang dipilih perlu diorganisasikan secara fungsional
dalam kaitannya dengan tujuan. Memandang hal beberapa materi yang
perlu dan dianggap penting, oleh pengasuh kemudian ditentukan.
Umumnya materi yang diajarkan di pesantren berkisar pada nahwu, sharaf,
fiqih, aqoid, bahasa arab, tafsir, hadits dan tasawuf.
Kesulitan dalam menentukan tujuan pesantren yang seragam,
mengakibatkan kesulitan pula dalam menentukan kurikulum yang berlaku
secara menyeluruh pada tiap-tiap pesantren. Persoalan ini dilatarbelakangi
oleh kondisi pesantren yang memiliki tradisi dan karakteristik tersendiri.
Namun terdapat beberapa kesamaan sehubungan isi pelajaran dan
didaktis yang khas, yakni hampir semua pesantren pertama-tama
mengajarkan pelajaran tingkat dasar dalam tulisan dan fonetik Arab, agar
santri muda/pemula membaca dan mengulang tulisan-tulisan Arab klasik.
Kemudian para santri dituntut untuk menguasai pengetahuan yang cukup
tentang bahasa Arab klasik, sebagai syarat untuk mendalami ayat-ayat
keagamaan, filsafat, hukum dan ilmiah.35
Materi yang diajarkan di pesantren sebagian besar membahas
masalah aqidah, syariah dan bahasa Arab; yang meliputi antara lain al-
Quran dengan tajwid serta tafsirnya, aqoid dengan ilmu kalamnya; fiqih
dengan ushul fiqhnya; hadits dengan mustholah haditsnya, dan bahasa
Arab dengan ilmu alatnya seperti nahwu, shorof, bayan, ma’ani, badi’ dan
arudl, tarikh, mantiq an tasawuf.36
Sedangkan menurut Zamakhsari Dhofier materi yang diajarkan di
pesantren dapat digolongkan ke dalam 8 kelompok antara lain:
1. Nahwu (syntax) dan Shorof (morfologi)
2. Fiqih
3. Ushul fiqh
4. Hadits
35 Manfred Ziemiek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, 1986), Cet. I,
hlm. 162. 36 Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia, Rekonstruksi Sejarah untuk Aksi,
(Malang: UMM Press, 2006), Cet. II, hlm..106.
28
5. Tafsir
6. Tauhid
7. Tasawuf
8. Cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah.37
Kitab-kitab yang digunakan tersebut biasanya disebut kitab kuning
(kitab salaf). Disebut demikian karena pada umumnya kitab-kitab tersebut
dicetak di atas kertas yang berwarna kuning.
Di. kalangan pondok pesantren sendiri, di samping istilah kirab
kuning, beredar juga istilah “kitab klasik”, untuk menyebut jenis kitab
yang sama. Kitab-kitab tersebut pada umumnya tidak diberi
harakat/syakal, sehingga sering juga disebut “kitab gundul”. Ada juga
yang menyebut dengan “kitab kuno”, karena rentang waktu sejarah yang
sangat jauh sejak disusun/diterbitkan sampai sekarang.
Dalam tradisi intelektual Islam, penyebutan istilah kitab karya
ilmiah para ulama itu dibedakan berdasarkan kurun waktu atau format
penulisannya. Kategori pertama disebut kitab-kirab klasik (al kutub al-
qadimah), sedangkan kategori kedua disebut kitab-kitab modem (al kutub
al-ashriyyah).
Pengajaran kitab-kitab ini, meskipun berjenjang, materi yang
diajarkan kadang-kadang berulang-ulang. Penjenjangan dimaksudkan
untuk pendalaman dan perluasan, sehingga penguasaan santri terhadap
isi/materi menjadi semakin mantap. Inilah salah satu ciri penyelenggaraan
pembelajaran di pondok pesantren.
Di bawah ini diberikan contoh jenis fan dan kitab yang diajarkan
berdasarkan tingkatnya, sebagai berikut :
a. Tingkat Dasar
1) AlQur'an
2) Tauhid : Al-Jawahr al - Kalamiyyah
Ummu al-Barohim
3) Fiqih : Safinah al -Sholah
37 Zamakhsrari Dhofier, op.cit., hlm. 50.
29
Safinah al-Naja'
Sullam al-Taufiq .
Sullam al-Munajat
4) Akhlaq : Al-WashaYa al-Abna'
Al-Akhlaq li al-Banin/Banat
5) Nahwu : Nahw al-Wadlih
Al-Ajrumiyyah
6) Sharaf : Al-Amtsilah al-Tashrifiyyah
Matn al-Bina wa al-Asas
b. Tingkat Menengah Pertama
1) Tajwid : Tuhfah al-Athfal
Hidayah al-Mustafid
Mursyid al-wildan
Syifa' al-Rahman
2) Tauhid : Aqidah al -Awwam
Al Dina al-lslami
3) Fiqih : Fath al.Qarib (Taqrib)
Minhaj al-Qawim Safinah al -Sholah
4) Akhlaq, : Ta'lim al-Muta'allim
5) Nahwu : Mutammimah
Nazham 'Imrithi
At-Makudi
Al-'Asymawi
6) Sharaf : Nazaham Maksud
Al-Kailani
7) Tarikh : Nul al-Yaqin
c. Tingkat Menengah Atas
1) Tafsir : Tafsir al-qur'an al-Ja1alain
Al-Maraghi
2) Ilmu tafsir : Al - Tibya fi'Ulumu al-qur'an
Mabahits fi'Ulumul al-qur’an
30
Manahil al-lrfan
3) Hadits : Al-Arbain al-Nawawi
Mukhtar al-Ahadits
Bulughul.al-Maram
Jawahir al-Bukhari
Al-Jami' al Shaghir
4) Mushthalah al-Hadits : Minhah al-Mughits
Al-Baiquniyyah
5) Thuhid : Tuhfah al-Murid
Al-Husun al-Hamidiyah
Al-Aqidah al-lslamiyah
Kifavah al-Awwam :
6) Fiqih : Kifayah al-Akhvar
7) Ushul al-Fiqh : Al-Waraqat
Al-sullam
Al-Bayan
Al-Luma'
8) Nahwu dan Sharaf : Atfiyah ibnu Malik
Qawa'id al-Lughah al-Arabiyyah
Syarh ibnu Aqil
Al-Syabrawi
AI-I'lal
I'lal Al-Sharf
9) Akhlaq : Minhaf al-Abidin
Irsyad al-'ibad
10) Tarikh : Ismam al-Wafaq
11) Balaghah : Al-Jauhar al-Maknun
d. Tingkat Tinggi
1) Tauhid : Fath al-Majid
2) Tafsir : Tafsir Qur’an al Azhim (Ibnu Katsir)
Fi Zhilal al-Quran
31
3) Ilmu Tafsir : Al-ltqan fi ulum al-Qur'an
Itmam al-Dirayah
4) Hadits, : RiYadh al-Shalihin
Al-Lu'lu' wa al-Marjan
Shahih al-Bukhari
Shahih al-Muslim
Tajrid al-Shalih
5) Mushtalah al-hadits : Alfiyah al-Suyuthi
6) Fiqih : Fath al-Wahhab
Al-Iqna'
Al-Muhadzdzab
Al-Mahalli
Al-Fiqh 'ala al-Madzahib al Arba'ah
Bidayah al-Mujtahid
7) Ushul al-Fiqh : tatha'ifa al-Isyarah
Ushul al-Fiqh
Jam'u al-Jawami'
Al-Asybah wa al-Nadhair
Al-Nawahib al-Saniyah
8) Bahasa Arab : Jami'al-Durus Al-Arabiyah
9) Balaghah : Uqud al-Juman
Al-Balaghah al-Wadhihah
10) Mantiq. : Sullam al-Munauraq
11) Akhlaq : Ihya' Ulum al-Din
Risalah al-Mu'awwanah
Bidyah al-Hidayah
12) Tarikh : Tarikh Tasyri'
Kitab-kitab tersebut pada umumnya dipergunakan dalam pengajian
standar oleh pondok-pondok pesantren. Selain yang telah dikemukakan di
atas, masih banyak kitab-kitab yang dipergunakan untuk pendalaman dan
perluasan pengetahuan ajaran Islam. Misalnya kitab-kitab sebagai berikut :
32
1. Dalam bidang Tafsir/ilmu Tafsir :
a. Ma'ani al qur'an
b. Al Basith
c. Al Bahal al muhith
d. Jami' al-Ahkam al-Qur'an
e. Ahkam al-qur'an
f. Mafatih al-Ghaib
g. Lubab al-Nuqul fi Asbab Nuzul al-Qur'an
h. Al-Burhan fi' Ulum al-Qur'an '
i. I'jazal-Qur’an
2. Dalam bidang Hadits
a. Al Muwaththa'
b. Sunan al-Turmudzi
c. Sunan Abu Daud
d. Sunan al-Nasa'i
e. Sunan lbn Majah
f. Al-Musnad
g. Al-Targhib wa al-Tarhib
h. Nailal-Awthar
i. Subul al-Salam
3. Dalam bidang Fiqh
a. Al-Syarh al-Kabir
b. Al-Umm
c. Al-Risalah
d. Al-Muhalla
e. Fiqh Al-sunnah
f. Min Taujihah al-Islam
g. Al-Fatawa
h. Al-Mughni li lbn Qudamah
i. Al-Islam Aqidah wa syariah
j. Zaad al-Maad
33
Dalam pelaksanaannya, penjenjangan di atas tidaklah mutlak.
Dapat saja pondok pesantren memberikan tambahan atau melakukan
langkah-langkah inovasi, misalnya dengan mengajarkan kitab-kitab yang
lebih populer, tetapi lebih mudah dalam penyajiannya, sehingga lebih
efektif para santri menguasai materi.38
3. Proses Kegiatan Belajar Mengajar di Pesantren
Belajar adalah proses perubahan perilaku bakat pengalaman dan
latihan. Artinya, perubahan tingkah laku, baik yang menyangkut
pengetahuan, ketrampilan, maupun sikap, bahkan segala aspek pribadi.39
Sejalan dengan pendapat di atas Lester D. Crow and Alice Crow
memberikan definisi tentang belajar adalah “learning is modification of
behavior accompanying growth processes that are brought about through
adjustment to tensions initiated through sensory stimulation”.40
“Bahwa adalah perubahan tingkah laku yang mengikuti suatu proses pertumbuhan sebagai hasil penyesuaian diri secara terus menerus yang berasal dari pengaruh luar.”
Menurut Arno F. Witting, belajar adalah “any relative permanent
change in an organism’s behavioral repertoire that occurs as result of
experience.” Artinya, belajar adalah perubahan yang relatif menetap yang
terjadi dalam segala macam atau keseluruhan tingkah laku suatu
organisme sebagai suatu hasil dari pengalaman.41
Sedangkan menurut Syekh Abdul Aziz dan Abdul Majid:
أن التعلم هو تغري ىف دهن املتعلم يطرأ على خرية سابقة فيحدث فيها تغريا 42.جدبد
38 Departemen Agama RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, (Jakarta: Depag RI,
2003), hlm. 32-37. 39 Syiful Bahri Djamarah, dan Aswan Zaim, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1997), hlm. 11. 40 Lester D. Crow and Alice Crow, Human Development and Learning, (New York:
American Book Company, 1956), hlm. 215. 41 Arno F. Witting, Psychology of Learning, (USA: Mc. Graw Hill, 1981), hlm. 2. 42 Abdul Aziz dan Abdul Majid, al-Tarbiyah wa al-Thuruq al-Tadris, juz 2, (Makkah:
Dar al-Ma’arif, t.th), hlm. 167.
34
“Sesungguhnya belajar adalah suatu perubahan pada akal siswa yang terjadi karena pengalaman terdahulu, maka terjadi dalam pengalaman itu perubahan yang baru.”
Kemudian menurut Slameto belajar adalah suatu proses usaha yang
dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku
yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam
interaksi dengan lingkungannya.43
Mengajar adalah satuan kegiatan berupa perencanaan, penerapan
dan evaluasi tentang teknis, alat dan tujuan pengajaran dalam usahanya
untuk meningkatkan proses belajar mengajar.44
Dengan demikian belajar mengajar merupakan proses perubahan
perilaku, bakat, dan pengalaman peserta didik yang dilakukan oleh guru
melalui prosedur tertentu untuk mencapai tujuan pendidikan.
Kegiatan belajar mengajar di pesantren beda dari kegiatan belajar
mengajar di lembaga pendidikan lainnya. Hal ini disebabkan dari makna
yang terkandung di dalamnya. Di pesantren belajar mengajar lebih
dipandang sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT, artinya suatu
kegiatan yang berpahala dan tidak harus berorientasi kepada tujuan-tujuan
duniawi.
Dengan pola belajar mengajar yang ada, pesantren telah
membuktikan dirinya mampu membentuk dan mengembangkan
kepribadian santri menjadi manusia-manusia yang mandiri, dan bertindak
sebagai pelopor perubahan pada masyarakatnya. Sebagaimana pendapat
Raharjo yang dikutip oleh Khozin, bahwa mereka yang menerima
pendidikan pesantren dan sanggup mengamalkannya sudah pasti mereka
tidak akan menyekutukan Allah, berusaha untuk mengatur tingkah lakunya
untuk mencuri, berzina, berjudi dan sebagainya. Pendek kata berbagai nilai
43 Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, (Jakarta: Rineka Cipta,
1995), hlm. 2. 44 Isfandi Muchtar, Metodologi Pengajaran Agama dalam PBM-PAI di Sekolah:
Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar PAI, (Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo bekerja sama Pustaka Pelajar Yogyakarta, 1998), Cet. I, hlm. 12.
35
yang dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat, menjadi standar
kualitas para santrinya.45
Untuk membentuk kepribadian santri tersebut, di pesantren tidak
sekedar mempelajari naskah-naskah klasik, namun suasana keagamaan,
kebersamaan dan sistem pendidikan yang dilakukan dalam waktu dua
puluh empat jam. Semuanya itu merupakan faktor yang dapat membentuk
kepribadian santri menjadi manusia yang tangguh dan mandiri.46
Metode pengajaran di pesantren secara umum agak seragam, yakni
metode sorogan dan weton. Yang pertama, santri menghadap kyai
seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya.
Kyai membacakan pelajaran yang berbahasa Arab itu kalimat demi
kalimat kemudian menterjemahkannya dengan menerangkan maksudnya.
Santri menyimak serta mengesahi dengan memberi catatan pada kitabnya,
untuk mensahkan bahwa ilmu itu telah diberikan oleh kyainya. Metode
weton adalah metode kuliah, dimana para santri mengikuti pelajaran
dengan duduk di sekeliling kyai yang menerangkan pelajaran. Metode ini
biasanya diberikan sesudah shalat fardlu.47
4. Evaluasi Pesantren
Komponen ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauhmana tujuan
kurikulum yang telah ditetapkan sudah tercapai. Selain itu, juga untuk
mengetahui efektifitas dan relevansi dari program kurikulumnya. Di
pesantren biasanya melakukan evaluasi dengan tanya jawa secara, tes
tertulis dan tugas-tugas lainnya.
Evaluasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem
pendidikan pesantren, dengan tujuan untuk mengetahui sejauhmana
pesantren mampu mencetak santri sesuai dengan tujuan pesantren. Hal ini
penting dilakukan sebab akan memberikan masukan kepada pesantren
45 Khozin, op.cit., hlm. 105. 46 Mandred, op.cit., hlm. 164. 47 Khozin, op.cit., hlm. 106-107.
36
untuk merumuskan kembali tujuan pada k pesantren yang selama ini
dinilai sangat lemah.
Faktor utama yang menyebabkan kurangnya kemampuan pesantren
mengikuti dan menguasai perkembangan zaman terletak pada lemahnya
visi dan tujuan yang dibawa pesantren. Relatif sedikit pesantren yang
mampu secara sadar merumuskan tujuan pendidikan serta menuangkannya
dalam tahapan-tahapan rencana kerja atau program.48
Menurut Nurcholis Madjid bahwa metode yang selama ini
digunakan dalam proses belajar mengajar di pesantren telah mengabaikan
aspek kognitif, lebih jauh Nurcholis Madjid menulis:
Pengajian adalah kegiatan penyampaian materi pengajaran oleh seorang kyai kepada santrinya. Tetapi dalam pengajian ini ternyata segi kognitifnya tidak cukup diberi tekanan , terbukti dengan tidak adanya sistem kontrol berupa test atau ujian-ujian terhadap penguasaan santri pada bahan pelajaran yang diterimanya. Disini para santri kurang diberi kesempatan menyampaikan ide-idenya apalagi untuk mengajukan kritik bila menemukan kekeliruan dalam pelajaran sehingga daya nalar dan kreatifitas berfikir mereka (para santri) agak terlambat.49
Memang disadari bahwa pada pesantren ada pengawasan ketat,
tetapi itu hanya menyangkut tata norma atau nilai. Sedangkan bimbingan
dan norma belajar supaya cepat pintar dan cepat selesai, boleh dikatakan
hampir tidak ada. Dengan kata lain pesantren itu titik tekannya bukan pada
aspek kognitif, tetapi justru pada aspek afektif dan psikomotorik.50 Wajar
bila kepincangan dalam menentukan arah dan tujuan pendidikan oleh
Nurcholis Madjid dilihat sebagai satu titik kelemahan yang harus dibenahi
dunia pesantren.
48 Yasmadi, op.cit., hlm. 72. 49 Nur Cholismadjid, Bilik-Bilik Pesantren, op.cit., hlm. 23. 50 Yasmadi, op.cit., hlm. 74-75.
37
C. Transformasi Kurikulum Pesantren
Proses transformasi kurikulum pesantren, khususnya di Jawa tidak
lepas dari isu pembangunanisme dan pemberdayaan potensi yang dimiliki oleh
pesantren. Isu pembangunan yang digulirkan Orde Baru, memiliki arti dan
konsekuensi berbagai pihak untuk merespon isu tersebut. Kata tersebut
memiliki beberapa makna; perubahan sosial (social of change), pertumbuhan
(growth), kemajuan (progres) dan modernisasi (modernization).51 Isu tersebut
kemudian diusung oleh pemerintah ke pesantren yang secara sosial politik
membawa dampak yang saling menguntungkan.
Pemberdayaan umat pesantren juga turut membawa perubahan
orientasi pesantren, hal itu karena menurut Martin Van Bruinessen, pesantren
memiliki potensi penting bagi terwujudnya masyarakat sipil, sebagai pilar
demokratisasi di negeri ini.52 Maka muncullah fenomena kyai di panggung
politik demokrasi yang sementara kyai terkenal dengan eksklusif dan
kharismatik. Isu pemberdayaan disamping berdampak secara sosial politik,
juga membawa pergeseran pada sektor ekonomi dan industri di pesantren.
Sejak itulah beberapa pesantren melakukan respon terhadap
munculnya isu pembangunan, modernisasi, pemberdayaan umat, penguatan
masyarakat sipil, dan isu-isu lain termasuk desakan dan kebutuhan akan
sumber daya manusia yang dapat ikut aktif dan mampu bersaing dengan
perkembangan ilmu dan teknologi. Sebagai konsekuensi logis dari
perkembangan ini, pesantren mau tak mau harus memberikan respon yang
mutualis. Karena pesantren tidak dapat melepaskan diri dari bingkai
perubahan-perubahan tersebut.
Upaya mengembangkan tradisi keilmuan di pesantren terus saja
dilakukan sejumlah upaya semisal perubahan dan penyesuaian kurikulum
pesantren mulai dilakukan. Materi kurikulum pesantren yang berisikan kitab
51 Said Agil Siraj, dkk., Pesantren Masa Depan, Wacana Pemberdayaan dan
Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hlm. 151. 52 Martin Van Bruinessen, “Conjungtur Sosial Politik di Jagad NU Pasca Khitah 26,
Pergulatan NU Dekade 90-an”, dalam Darwis (ed.), Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: LKiS, 1994), hlm. 77-78.
38
kuning merupakan keunikan sekaligus keistimewaan pesantren. Oleh sebab itu
cibiran terhadap kitab kuning yang konon menjadi penyebab kebekuan umat
hendaknya tidak mengerdilkan nyali pimpinan pesantren untuk terus berperan
dalam mentransformasikan kurikulumnya.53
Dalam melakukan transformasi kurikulum tidak serta merta secara
radikal dirubah, melainkan secara bertahap. Jika kita bertindak secara radikal
dalam perubahan kurikulum pesantren, maka akan menghilangkan dinamika
positif yang ada di pesantren, yakni merawat yang lama yang masih relevan
dan mengembangkan cara baru yang lebih baik.
1. Orientasi dan Tujuan Pesantren
Menurut Nur Cholis Madjid faktor utama yang menyebabkan
kurangnya kemampuan pesantren mengikuti dan menguasai
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terletak pada lemahnya
visi dan tujuan yang hendak dibawa pendidikan pesantren. Relatif sedikit
pesantren yang mampu secara sadar merumuskan tujuan pendidikan, serta
menuangkannya dalam tahapan-tahapan rencana kerja atau program.54
Untuk dapat mengikuti perkembangan zaman, ilmu pengetahuan
dan teknologi, dan mencapai visi dan tujuan yang agung dan maksimal,
kiranya para kyai mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: pertama,
mengadaptasikan kurikulum untuk memenuhi tuntutan kebutuhan belajar
santri, mendayagunakan otoritas pesantren untuk memanfaatkan sumber
pembelajaran, menempatkan guru dan staf dalam team work yang solid
untuk menjalankan misi pesantren.55 Kedua, selalu aktif mengadaptasi
model-model manajemen pendidikan yang cocok untuk mengembangkan
program pesantren. Ketiga, melakukan pengembangan mutu,
pengembangan program bagi para ustad, wali santri dan santri secara
serempak sesuai dengan kultur pesantren salafiyah. Keempat,
mengembangkan kualitas para asatidz melalui kerjasama dengan
53 Amin Haedari, dkk, op.cit., hlm. 73-174. 54 Nur Cholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta:
Paramadina, 1992), hlm. 6. 55 M. Sulton Masyhud, dkk., op.cit., hlm. 40-41.
39
departemen pendidikan nasional, departemen agama, dan lembaga-
lembaga swadaya masyarakat guna mengembangkan wawasan dan
ketrampilan.
Orientasi pendirian pendidikan formal di pesantren adalah untuk
menjawab permasalahan yang khususnya menyangkut intelektualitas dan
skill. Pendidikan formal yang ada di pesantren adalah untuk menambah
wawasan dan ketrampilan para santri dalam bergelut melawan arus global
dan persaingan ekonomi yang diharapkan berguna setelah menamatkan
pesantrennya.
2. Materi Kurikulum Pesantren
Ketika proses pendidikan pesantren masih berlangsung di surau atau
masjid kurikulum pesantren masih dalam bentuk yang sederhana, yakni
berupa inti ajaran Islam yang mendasar yaitu iman, Islam dan ihsan.
Penyampaian tiga komponen ajaran Islam tersebut dalam bentuk yang
paling mendasar, sebab disesuaikan dengan tingkat intelektualitas santri
dan kualitas keberagamaannya.56 Hal itu sesuai dengan fungsi pesantren
pada masa awal, pesantren hanya berfungsi sebagai alat Islamisasi dan
sekaligus memadukan tiga unsur pendidikan, yakni: ibadah untuk
menanamkan iman, tabligh untuk menyebarkan ilmu dan amal untuk
mewujudkan kegiatan kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari.57
Peralihan dari langgar berkembang menjadi pesantren membawa
perubahan materi pelajaran. Dari sekadar pengetahuan menjadi suatu ilmu.
Sebagaimana Mahmud Yunus yang dikutip oleh Mujamil Qomar
mencatat, “Ilmu yang mula-mula diajarkan di pesantren adalah ilmu sharaf
dan nahwu, kemudian ilmu fiqih, tafsir, tauhid, akhirnya sampai kepada
ilmu tasawuf dan sebagainya.”58 Sependapat dengan Mahmud Yunus, Nur
Cholis Madjid juga mencatat pembagian keahlian di lingkungan pesantren
yang melahirkan produk-produk pesantren yang berkisar pada: nahwu,
56 Mujamil Qomar, Pesantren..., hlm. 109. 57 Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, hlm. 71. 58 Mujamil Qomar, op.cit., hlm. 109.
40
sharaf, aqaid, tasawuf, bahasa Arab dan lain-lain.59 Betapapun kecilnya,
pengembangan isi kurikulum ini telah membuktikan adanya gerak
kemajuan yang mengarah pada pemenuhan keperluan santri terutama
sebagai pembentukan intelektual disamping pengembangan kepribadian.
Dewasa ini, menurut Abdurrahman Wahid, sistem pendidikan di
pesantren tidak didasarkan pada kurikulum yang digunakan secara luas,
tetapi diserahkan pada persesuaian yang elastis antara kehendak kyai dan
santrinya secara individual.60 Hal ini dilakukan agar terjadi interaksi
proses belajar mengajar secara demokratis antara seorang kyai dengan
santri.
Dalam perkembangan selanjutnya santri perlu diberikan bukan
hanya ilmu-ilmu yang terkait dengan ritual keseharian, melainkan ilmu-
ilmu yang berbau penalaran yang menggunakan referensi wahyu seperti
ilmu kalam, dan tasawuf. Ilmu-ilmu dasar keislaman seperti tauhid, fiqih
dan tasawuf inilah yang kemudian menjadi mata pelajaran favorit bagi
para santri.61 Tauhid memberikan pemahaman dan keyakinan terhadap
keesaan Allah, fiqih memberikan cara-cara beribadah kepada Allah,
sedangkan tasawuf membimbing seseorang kepada penyempurnaan
ibadah.
Dalam perkembangan selanjutnya kurikulum pesantren menjadi
lebih luas. Akan tetapi pengembangan tersebut lebih bersifat materi
pelajaran yang sudah ada dari pada penambahan disiplin ilmu yang baru.
Materi tersebut bis disimpulkan sebagai berikut: al-Quran dengan tajwid
dan tafsirnya, aqaid dan ilmu kalam, fiqih dengan ushul fiqhnya dan
qawaid al-fiqh, hadits dengan musthalalh hadits, bahasa Arab dengan ilmu
59 Nur Cholis Madjid, op.cit., hlm. 79. 60 Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, (t.tp: CV. Dharma Bhakti, t.t), hlm.
101. 61 Ismail SM, dkk., Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Kerjasama
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang dengan Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 16.
41
alatnya seperti nahwu, sharaf, bayan, ma’ani, badi’ dan arudh, tarikh,
mantiq, tasawuf, akhlak dan falak.62
Tidak semua pesantren mengajarkan ilmu tersebut secara ketat,
sebab masing-masing pesantren mempunyai corak sendiri-sendiri.
Kombinasi ilmu tersebut hanyalah lazimnya ditetapkan di pesantren. Di
samping itu, sebagian besar kalangan pesantren tidak setuju dengan
adanya standardisasi kurikulum, sebaliknya variasi kurikulum pesantren
justru diyakini lebih baik.
Dari materi di atas tidak semuanya mendapatkan penekanan yang
sama. Ada tekanan pada pengajaran tertentu, misalnya bahasa arab, fiqih
dan tasawuf. Tekanan pada bahasa Arab dilakukan sebab bahasa Arab
sebagai alat dalam memahami dan mendalami ajaran Islam yang
bersumber dari al-Quran, al-hadits dan kitab-kitab klasik. Penekanan
terhadap fiqih sebab berimplikasi konkrit bagi perilaku keseharian santri.
Sedangkan tasawuf membimbing seseorang (santri) kepada
penyempurnaan ibadah.63
Tafsir, hadits dan ushul fiqih mulai dikaji secara serius di pesantren
pada abad ke-20.64 Tafsir merupakan bidang yang paling luas daya
cakupannya, sesuai dengan daya cakupan kitab suci itu sendiri. Hadits
merupakan materi yang kedua untuk memahami ajaran Islam, sebab fungsi
dari hadits itu sendiri sebagai penjelas dari al-Quran. Sedangkan ushul fiqh
sebagai alat untuk memahami ilmu fiqih dengan benar.
Dengan terangkatnya ketiga materi pelajaran tersebut secara serius
merupakan jawaban nyata terhadap tantangan-tantangan kultural dan
religius yang dihadapi pesantren dewasa ini.
Aqidah meliputi segala hal yang bertalian dengan kepercayaan dan
keyakinan seorang muslim, oleh sebab itu aqidah sering disebut
62 Lihat Nur Cholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren, hlm.28-29; Zamakhsyari Dhofier,
Tradisi Pesantren, hlm.50, Hirzin yang dikutip Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia, hlm.106; Mukti Ali yang dikutip Yasmadi, Modernisasi Pesantren, hlm. 68 .
63 Mujamil Qomar, op.cit., hlm. 112-114. 64 Ibid, hlm. 119.
42
ushuluddin (pokok-pokok agama) sedangkan fiqih disebut furu’ (cabang-
cabang).65 Dalam pesantren seharusnya ushuluddin diberi tekanan yang
sangat besar dibandingkan yang furu’. Anehnya bidang yang pokok ini
kurang mendapatkan tekanan dibandingkan yang furu’.
Penggunaan kitab-kitab yang dipakai pesantren pada awal
pertumbuhannya, para ahli sejarah mengalami banyak kesulitan dalam
merekam jenis-jenis kitab yang dipakai.
Pada zaman Demak (paruh awal abad ke-16) ditemukan kitab-kitab
yang dikenal saat itu hanyalah Usulnem Bis, yaitu sejilid kitab tulisan
tangan berisi enam kitab dengan enam bismillahirrahmanirrahim,
karangan ulama Smarkand. Isinya tentang ilmu agama Islam paling awal.
Kitab lain misalnya tafsir Jalalain karangan Syekh Jalaluddin al-Mahali
dan Jalaluddin as-Suyuthi, serta suluk-suluk misalnya: Suluk Sunan
Bonang, Suluk Sunan Kalijaga, Wasito Jati Sunan Geseng yang berisikan
ajaran-ajaran tasawuf, dan lainnya.66
Mulai abad ke-19, kitab-kitab referensi di kalangan pesantren
mengalami perubahan yang sangat drastis. Sebagaimana Stenbrink yang
dikutip oleh Mujamil Qomar, merinci: bidang fiqih meliputi: safinanat al-
najah, sulam al-taufiq, Masail al-Sittin, Mukhtashar Minhaj al-Qawin, al-
Hawasyi al-Madaniyah, al-Risalah, Fath al-Qarit, al-Iqna’, Tuhfat al-
Habib, al-Muharrar, Minhj Thalibin, Fath al-Wahab, Thufat al-Muhtaj,
dan Fath al-Mu’in. Dalam bidang bahasa Arab adalah muqaddimah al-
Ajurumiyyah, Mutammimah, al-Fawaqih al-Janniyyah, al-Dhurrah al-
Bahiyyh, al-Awamil al-Minat, Alfiyah, Minhaj alNida’, dan al-Misbah.
Dalam bidang ushul al-din, terdapat Bahjat al-Ulum, Umm al-Barahin
(Aqidat al-Sanusi), al-mufid, Fath al-Mubin, Kifayat al-Awwam, al-Miftah
fi Syarh Ma’rifat al-Islam, dan Jawharat at-Tauhid. Dalam bidang
Tasawuf adalah Ihya’ al-Ulum al-Din, Bidayatul al-Hidayah, Minhaj al-
65 Yasmadi, op.cit., hlm. 82. 66 Wahjoetomo, op.cit., hlm. 73.
43
Abidin, al-Hikam, Su’ab al-Iman dan Hidayat al-Azkiya’ Ila Thariq al-
Awliya’. Sedang dalam tafsir hanya tafsir Jalalain.67
Pada abad ke-20 referensi pesantren masih mempertahankan
sebagian kitab-kitab abad ke-19. bahkan ditambah lagi dengan kitab-kitab
di bidang hadits, tarikh, ushul fiqh, mantik dan falak. Pada abad ke-20
hingga ke-21 ada dua kitab yang paling populer di pesantren, yaitu kitab
Alfiyah dan kitab Taqrib.
Di samping mempertahankan kitab-kitab klasik sebagai upaya
pelestarian khazanah pesantren, pada awal abad ke-20 beberapa pesantren
mulai bersikap progresif dengan memasukkan pelajaran-pelajaran umum.
Menurut Zamakhsyari Dofier pesantren Tebu Ireng pada tahun 1916-1919
madrasahnya masih menggunakan kurikulum pengetahuan agama saja.
Kemudian mulai 1919, mulai ditambah dengan pelajaran-pelajaran bahasa
Indonesia (Melayu), Matematika, dan ilmu Bumi, mulai tahun 1926
ditambah pula pelajaran bahasa Belanda dan sejarah.68
Pembaharuan kurikulum di Tebu Ireng, tidak lepas dari adanya
hambatan baik dari luar maupun dari dalam. Hambatan dari luar dalam
bentuk dakwah yang dihembuskan oleh Belanda, sedangkan dari dalam
berupa corak pribadi para pembaharu sendiri. Pembaharuan Tebu Ireng,
yang dirintis kyai Ilyas dan A. Wahid Hasyim dapat dipandang sebagai
pembaharuan yang spektakuler pada waktu itu. Sebab pelajaran umum dan
bahasa Belanda pada saat itu merupakan pelajaran yang paling dibenci
para ulama, namun kedua pembaharu ini malahan menjadikannya sebagai
bagian dari kurikulum madrasah di pesantren.69
Titik pusat pengembangan keilmuan di pesantren adalah ilmu-ilmu
agama. Tetapi ilmu agama ini tidak akan berkembang dengan baik tanpa
ditunjang ilmu-ilmu lain (ilmu-ilmu sosial, humaniora dan kealaman),
maka oleh sebagian pesantren ilmu-ilmu tersebut juga diasaskan. Ilmu-
67 Mujamil Qomar, op.cit., hlm. 124. 68 Zamakhsyari Dhofier, op.cit., hlm. 104. 69 Mujamil Qomar, op.cit., hlm. 133.
44
ilmu tersebut sebagai penunjang bagi ilmu-ilmu agama. Maka orientasi
keilmuan pesantren tetap berpusat pada ilmu-ilmu agama.70
Sejak berdirinya pesantren dikenal sebagai lembaga pendidikan
Islam yang paling mandiri. Kemandirian ini menjadi doktrin kyai pada
santri. Oleh sebab itu sudah seharusnya kyai memberikan ketrampilan
kepada santri. Tujuannya disamping santri mampu hidup secara mandiri di
tengah-tengah masyarakat, juga untuk membuka wawasan berfikir
keduniaan.
Jenis ketrampilan yang diberikan di pesantren sebagai ekstra
kurikuler meliputi kejuruan radio elektronik, kejuruan PKK, penjahitan,
dan perajutan, kejuruan pertukangan dan kerajinan tangan, kejuruan
fotografi, kesenian, olah raga, sablon, penjilidan buku, kaligrafi, cukur dan
perawatan badan; kejuruan pertanian meliputi perikanan, perkebunan,
peternakan dan persawahan, kejuruan IPA, perbengkelan, solder dan
mesin; dan kejuruan administrasi, manajemen, koperasi dan
perdagangan.71
Demikianlah perkembangan pesantren dalam abad ke-21,
pesantren mulai bergerak ke depan secara pelan-pelan tanpa
menghilangkan cara-cara lama pesantren itu sendiri. Kurikulum di atas
menggambarkan perluasan dan pergeseran kurikulum (transformasi
kurikulum).
3. Proses Pembelajaran Pesantren
Proses pembelajaran pada hakikatnya merupakan aktualisasi
kurikulum pesantren, yang menuntut keaktifan kyai/ustad dalam rangka
menciptakan dan menumbuhkan kegiatan santri, sesuai dengan rencana
yang telah diprogramkan.72 Dalam hal ini, para ustad dapat mengambil
70 Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi Pesantren Sekolah dan Madrasah,
(Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2001), hlm. 30. 71 Mujamil Qomar, op.cit., hlm. 135. 72 E. Mulyasa, Implementasi Kurikulum 2004, Panduan Pembelajaran Kurikulum
Berbasis Kompetensi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 117.
45
keputusan, mempunyai prinsip-prinsip pembelajaran, memahami metode
yang tepat untuk diterapkan, dan menggunakan strategi pembelajaran yang
tepat dalam proses pembelajaran.
Umumnya di pesantren Salafiyah proses pembelajaran sangat
bergantung pada kedalaman ilmu pengetahuan sang kyai, termasuk
menentukan metode, sumber, dan bahan pembelajaran. Mengingat hal itu
keberadaan transformasi kurikulum telah merubah pola pembelajaran di
pesantren, dengan mengadopsi beberapa unsur komponen pembelajaran di
antaranya memantapkan tujuan pembelajaran, bahan yang harus diberikan,
strategi dan pendekatan yang tepat diterapkan di kelas, penggunaan sarana
yang digunakan untuk menunjang tercapainya keberhasilan proses
pembelajaran.
Pada pesantren dengan tipe paduan salaf dan khalaf dapat
diketahui proses pembelajaran telah mengalami pengembangan, disamping
dengan mempertahankan tradisi keagamaannya (kajian kitab kuning),
beberapa metode pembelajaran telah dikembangkan. Selain menggunakan
metode sorogan dan bandongan, juga menggunakan metode-metode
diskusi, tanya jawab, demonstrasi dan eksperimen, pemberian tugas,
ceramah, dan metode-metode lain yang diberlakukan di sekolah ataupun
madrasah.
Bahkan dalam pembelajaran kitab kuning di pesantren tebu ireng,
sejak dini telah melakukan terobosan-terobosan baru. Di antaranya apa
yang dilakukan oleh K.H Idris yang menerapkan strategi pembelajaran
kitab kuning dengan memberikan cara belajar aktif pada santri seniornya,
misalnya kyai mengajarkan kitab kuning kepada tujuh sampai belasan
santrinya yang senior. Salah satu santri dipilih kyai untuk membacakan
kitabnya beberapa baris dan disuruh menerangkan maksudnya. Setelah dia
selesai, kyai mempersilahkan teman-temannya bertanya tentang masalah-
46
masalah yang dibahas, apabila jawaban santri yang dipilih tadi salah, baru
kemudian kyai turun tangan.73
Proses pembelajaran di pesantren, juga sangat bergantung pada
tersedianya media pembelajaran yang dimiliki. Metode yang lama, hanya
membutuhkan sarana kitab dan alat tulis. Sementara perkembangan
teknologi telah mengubah media yang perlu dikembangkan di pesantren
antara lain; media buku-buku umum (IPA, IPS, Matematika, dll), media
elektronik (komputer), mikroskop (laboratorium) dan media-media lain
yang menunjang proses pembelajaran.
4. Evaluasi Pesantren
Evaluasi adalah proses memberikan atau menentukan nilai kepada
obyek tertentu berdasarkan suatu kriteria tertentu. Proses evaluasi ini
berlangsung dalam interpretasi dan diakhiri dengan judgment.74 Hal itu
mengisyaratkan bahwa obyek yang dinilainya adalah hasil proses belajar,
baik berupa perubahan tingkah laku dan bila di pesantren perubahan nilai
moral, juga pada aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
Berdasarkan hasil survei PERC (The Political and Economic Risk
Consultation) yang dipublikasikan di The Jakarta Post (3 September 2001)
menunjukkan peringkat pendidikan Indonesia pada posisi 12 dibawah
Vietnam. Sehingga hasil survei tersebut menunjukkan betapa rendahnya
kualitas pendidikan. Salah satu penyebabnya adalah penekanan evaluasi
hanya pada aspek kognitif.75
Hal itu perlu disadari oleh kalangan pesantren terutama oleh
pengasuh, dan ustad harus memulai mengubah paradigma dalam
penyelenggaraan dan evaluasi pembelajaran. Maka diperlukan
pengetahuan dan penguasaan teknik evaluasi dengan baik. Terutama
73 A. Chozin Nasuha, Epistimologi Kitab Kuning dalam Pesantren, no.1 Vol.6/1989, hlm.
19-20. Lihat juga Said Agil Sirad, op.cit., hlm. 266. 74 Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2002), cet. VIII, hlm. 3. 75 The Jakarta Post 3 September 2001.
47
seiring berlakunya kurikulum di Indonesia yaitu kurikulum berbasis
kompetensi (KBK) atau kurikulum 2004 dan Kurikulum Tingkat Satuan
Pelajaran (KTSP) atau kurikulum 2007.
Beberapa pesantren yang ada sekarang telah mengenal adanya
evaluasi, baik evaluasi formatif yaitu evaluasi yang dilakukan pada akhir
satuan pelajaran yang berfungsi untuk memperbaiki proses pembelajaran.
Evaluasi sub sumatif, yaitu evaluasi yang dilakukan pada akhir semester
atau catur wulan, gunanya untuk mengetahui kemampuan para santri telah
menyampaikan proses pembelajaran dari satu bidang studi pada periode
tertentu.76
76 M. Uzer Usman dan Lilis Setiawati, Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 137-138.
48
BAB III
LAPORAN HASIL PENELITIAN
A. Kondisi Umum Pesantren Futuhiyyah Mranggen Kabupaten Demak
1. Tinjauan Historis
Sejak didirikannya pesantren Futuhiyyah, disadari atau tidak telah
memainkan peran penting dalam memajukan dunia pendidikan masyarakat
yang telah berdimensi pada perubahan sosial, politik ekonomi, hukum dan
bidang strategis lainnya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
pesantren Futuhiyyah didirikan oleh K.H. Abdurrahman ibn Qosidi
Haq pada tahun 1901 masehi bersama dengan meletusnya gunung Kelud
di Jawa Timur. Beliau merupakan ulama asli Mranggen sebagai keturunan
pangeran Wijil II atau pangeran Noto Negara II, dan kepala Perdikan
Kadilangu Demak, dan sesepuh ahli waris dzurriyah kanjeng sunan
Kalijaga Kadilangu Demak.
Pesantren Futuhiyyah pada awalnya lebih masyhur dengan sebutan
pondok Saburan Mranggen, hal ini disebabkan pada zaman dahulu
pesantren umumnya didirikan tanpa diberi nama, kecuali disesuaikan
dengan nama kampung atau desa dimana pesantren tersebut berdiri.
Misalnya pondok Serang, pondok Lasem, pondok Termas, dan tidak
terkecuali pesantren Futuhiyyah yang terletak di desa Suburan Mranggen.
Berarti dari keteguhan, kesabaran dan tirakat yang dilakukan oleh
para pendiri dan penerus pengasuh pesantren Futuhiyyah berkembang
pesat dan telah mampu menjadi pesantren besar, yang juga punya nama
harum dalam sejarah perjuangan bangsa. Oleh karena itu para penerus
yang merupakan anak-anak pendiri berusaha untuk mempertahankan dan
memajukan keberadaan pesantren Futuhiyyah.
49
Nama Futuhiyyah sendiri baru muncul sekitar tahun 1927 Masehi
atas usul K.H Muslih Abdurrahman saat kakaknya yakni K.H Ustman
Abdurrahman mendirikan madrasah atas perintah dan persetujuan dari
K.H Abdurrahman selaku ayahnya yang sekaligus sebagai pengasuh
utama.1
2. Letak Geografis
Pesantren Futuhiyyah terletak di Mranggen, yang saat ini
Mranggen merupakan kecamatan atau kewedanan yang termasuk wilayah
kabupaten Demak. Kampungnya bernama Suburan yang berbatasan
dengan desa Brumbung di sisi utara. Dilihat dari sisi topografi, Mranggen
terletak diantara Semarang sebagai batas sisi Barat dengan jarak 13 km
dan Purwodadi sebagai batasan sisi Timur, serta 25 km dari kabupaten
Demak.
3. Visi dan Misi
a. Visi
Pembentukan generasi muslim bermental ulama yang tahan uji
dalam menghadapi situasi dan kondisi.
b. Misi
Membentuk insan kamil berakhlakul karimah yang berpegang
teguh pada aqidah ahlussunah wal jama’ah.2
1 Sejarah Sebad Pondok Pesantren Futuhiyyah Mranggen, panitia perayaan seabad
pondok pesantren Futuhiyyah Mranggen, 2001, hlm. 2-3. 2 Hasil wawancara dengan ustadz Ahmad Farid, Pengurus pesantren Futuhiyyah tanggal
16 April 2007 di kantor pesantren
50
4. Struktur Organisasi
Pengasuh KH M. Hanif Muslih
KH Said Latif Hakim, S.Ag
Pengawas K Abdul Hamid, A.H
Ketua A. Farid
Wakil Ketua A. Dliya’uddin, AH
Bendahara Miftahul Huda
Ahmad Mubarok
Sekretaris M. Zainut Tholibin M. Khoirun Ni’am
Departemen Sarana & Kebersihan M. Sholihin
Hakim ma’rufat Lukman Hakim
M. Sholihan
Departemen Kejar
M. Zaenal Muttaqin Abdul Hakim Mahbub Alwi Ahmad Sahal
Departemen Kamtib
A. Zamroni Ahmad Khuzaeni
Edi Hariyanto Sa’dan Masyhadi Irfan
Departemen Humas
Abdul Aziz A. M. Akhyar, AH
51
5. Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana pesantren Futuhiyyah pada umumnya adalah
waqaf yang berwujud tanah yang berasal dari pendiri. Oleh karena itu
pengasuh pesantren Futuhiyyah mengajak masyarakat untuk ikut
berpartisipasi dalam pembangunan maupun pengembangan sarana dan
prasarana, termasuk dalam rangka amal jariyah.
Sebelum KH Muslih wafat, beliau sempat pula memperbaiki
manajemen pesantren Futuhiyyah dengan membentuk badan
penyelenggaraan pesantren Futuhiyyah, termasuk madrasah dan sekolah,
dengan bentuk yayasan. pesantren Futuhiyyah pada tahun 1977 Masehi,
yang sekaligus membawahi pesantren-pesantren cabang yang berstatus
sebagai cabang ekonomi maupun yang diurus oleh pengasuh masing-
masing.
Komplek pesantren Futuhiyyah memiliki berbagai sarana dan
prasarana, baik untuk kegiatan belajar mengajar maupun kegiatan
administratif. Adapun sarana dan prasarana yang ada yaitu 16 ruang
belajar, 1 ruang kantor, 3 ruang pimpinan, 6 ruang perpustakaan, 1 masjid,
19 ruang asrama, 2 WC tamu, 16 WC santri, dan 7 kamar kecil. Semua
fasilitas tersebut menempati tanah seluas 4.286 m2.3
B. Kondisi Khusus Pesantren Futuhiyyah Mranggen Kabupaten Demak
1. Kegiatan Pendidikan
a. Pendidikan Sekolah
Jenis pendidikan yang dikelola pesantren Futuhiyyah meliputi
pendidikan keagamaan dan umum, pendidikan itu antara lain sebagai
berikut :
1. Taman pendidikan al-Qur'an (TPA).
2. Taman kanak-kanak (TK) masyitoh.
3. Madrasah ibtidaiyah (MI).
3 Profil Pondon pesantren Futuhiyyah Mranggen, 2007, hlm. 8.
52
4. Madrasah tsanawiyah 1 (MTS 1) (putra) dan MTS 2 (putri).
5. Madrasah aliyah 1 (MA 1) (putra) dan MA 2 (putri).
6. Sekolah lanjutan pertama (SLTP).
7. Sekolah menengah umum (SMU).
8. Sekolah menengah kejuruan (SMK)
Kurikulum yang digunakan di pendidikan formal tersebut,
mengacu kepada kurikulum Depag untuk MI, MTS dan MA,
sedangkan untuk SLTP dan SMU menggunakan kurikulum
Departemen Pendidikan Nasional. Khusus untuk Madrasah Aliyah 1
disamping menggunakan kurikulum Departemen Agama juga
menggunakan kurikulum pesantren. Meski demikian kurikulum
Departemen Agama menempati porsi lebih banyak.
b. Pendidikan pesantren
Sebagai pesantren yang menggunakan antara ciri salaf dan
khilaf, pesantren Futuhiyyah masih tetap mempertahankan ciri khas
pesantren salaf. Ciri khas itu antara lain pengajian kitab-kitab kuning
dengan metode sorogan atau bandongan.
Secara garis besar, kegiatan pesantren Futuhiyyah dapat
diuraikan sebagai berikut :
1. Pengajian al-Qur'an bin nadzor dan bil ghoib.
2. Pengajian kitab kuning.
3. Muhadhoro dan madrasah diniyah salafiyah Futuhiyyah (MDSF).
4. Ta’limul khitobah
5. Maulid diba’ al-barzanji dan simthudduror.
6. Manaqib Syaikh Abdul Qodir Al Jailani r.a.
7. Ziarah kubur masyasyih.
8. Pelatihan organisasi (ASSIFA).
9. Pengajian Thoriqoh Qodiriyyah Wan Naqsyabandiyyah.
Adapun kitab-kitab yang digunakan dalam pengajian terdiri
dari kitab pegangan wajib dan kitab anjuran guna menambah wawasan,
yaitu :
53
1. Ulumul Quran, kitab pegangan wajib al-Qur'an dan kitab anjuran
al-itqon, mubahits fi uluil Quran.
2. Tafsir, kitab wajib al-Munir, kitab anjuran Ibn Katsir.
3. Hadits; Bulughul Marom.
4. Ulumul hadits : pegangan wajib mustholah al-hadits dan kitab
anjuran Ulumul hadits wa mustholahuh.
5. Fiqih : kitab wajib kifayatul Akhyar dan kitab anjuran Fathul
Wahab.
6. Usul fiqih : Al Bayan Fil Quran, Mabadi Awwaliyyah.
7. Aqidah : Jawahirul Kalamiyah.
8. Akhlak : Ihya’ Ulumuddin.
9. Nahwu : Al Anjurumiyah, Al ‘Imrithi, Alfiyah Ibn Malik.
10. Shorof : Amtsilah At Tashrifiyah, Qowaid At Tashrifiyah.
c. Kegiatan Ekstra Kurikuler
Kegiatan ekstra kurikuler atau ketrampilan diselenggarakan di
pesantren Futuhiyyah baru sekitar tahun 1927, ketika Departemen
Agama memperkenalkan pendidikan ketrampilan di lingkungan
pesantren. Kegiatan ekstra tersebut meliputi menjahit, mengetik,
mengelas, peternakan, koperasi, komputer, pertukangan,
kepemimpinan, dan jurnalistik.
Dalam jurnalistik sempat melahirkan sebuah majalah MISAN
sebagai bagian dari program pengembangan unit dokumentasi dan
pelayanan informasi (UPDII) dan sebagai wadah program pusat
informasi pesantren (PIP).4
2. Keadaan Pengajar dan Santri
Yang bertugas mengajar di pesantren Futuhiyyah berjumlah 28
ustadz dengan berbagai latar belakang pendidikan yang berbeda. Untuk
lebih jelasnya penulis sebutkan daftar nama-nama pengajar atau ustadz di
pesantren Futuhiyyah.
4 Pondok pesantren Futuhiyyah Mranggen, 2007, hlm. 6-7.
54
Daftar guru Madrasah Diniyah Salafiyyah Futuhiyyah
Suburan Mranggen Demak.
No Nama Pendidikan
1. K.H. A. Said Lafif, S.Ag Sarjana
2. DR. K.H. Abdul Hadi, MA Doktoral
3. K.H. Ali Makhsun, S.Ag Sarjana
4. K.H. Drs. A. Ghozali Ihsan, M.Ag Pasca Sarjana
5. K.H. A. Adib Masruhah, LC, M.Pd Pasca Sarjana
6. Abdul Hamid Masyhuri, AH MA
7. Ahmad Mukhlisin Masyhuri, AH MA
8. Muhammad Imron Makhdum MA
9. Ahmad Akrom Makhdum MA
10. M. Mahdi Suali Basyaiban MA
11. Fuad Zen, AH MA
12. Imron Masyhadi MA
13. Ahmad Farid EW MA
14. A. Dliya’uddin, AH MA
15. A.M. Akhyar, AH MA
16. Abdul Aziz MA
17. Miftahul Huda MA
18. M. Zaenal Muttaqin, AH MA
19. Ahmad Mubarok MA
20. M. Zainut Tholibin MA
21. Abdul Hakim MA
22. Zamroni MA
23. Mahbub Alwi, AH MA
24. Ahmad Sahal MA
25. Khuzairi MA
26. Hakim M. Ma’ruf MA
27. M. Sholihin MA
28. Edi Hariyanto MA
(Diambil dari dokumentasi kegiatan santri pesantren Futuhiyyah tahun
ajaran 2007)
55
Sedangkan santri yang ada di pesantren Futuhiyyah terbagi
menjadi dua, yaitu santri yayasan dan santri pesantren Futuhiyyah. Santri
yayasan yaitu orang-orang yang belajar dibawah lembaga pendidikan
yayasan pesantren Futuhiyyah. Jumlahnya mencapai lebih dari 5000
santri, ini belum termasuk jamaah Thoriqoh Qodiriyyah Wa
Naqsabandiyyah.
Sedangkan santri pesantren Futuhiyyah sendiri berjumlah 260
santri yang berasal dari berbagai daerah di Jawa dan diluar jawa,
diantaranya : Semarang, Kendal, Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes,
Cirebon, Indramayu, Jakarta, Demak, Purwodadi, Blora, Jepara, Kudus,
Rembang, Cilacap, Kebumen, Boyolali, Temanggung, Magelang. Jambi,
Palembang, Lampung, Riau dan NTB.5
3. Metode Pengajaran
Sebagai telah kita ketahui bahwa metode pengajaran yang ada di
pesantren adalah metode sorogan dan bandongan, tidak terkecuali
pesantren Futuhiyyah metode sorogan yaitu santri menghadap kiai
seorang diri dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya, kiai
membacakan pelajaran yang berbahasa Arab itu kalimat demi kalimat
kemudian menterjemahkannya dan menerangkan maksudnya, santri
menyimak dan mengesahi dengan memberi catatan pada kitabnya, untuk
mensahkan bahwa ilmu itu telah diberikan oleh kiainya.
Untuk metode sorogan ini di pesantren Futuhiyyah tidak hanya
digunakan untuk kitab-kitab kuning, melainkan untuk al-Qur'an bagi santri
yang sudah senior. Sedangkan metode bandongan adalah metode kuliah
dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk disekeliling kiai
yang menerangkan pelajaran.
5 Hasil wawancara dengan ustadz Zaenal Muttaqin, Pengurus pesantren Futuhiyyah
tanggal 21 April 2007 di kantor pesantren.
56
4. Alokasi Waktu
Proses belajar mengajar di pesantren Futuhiyyah terbagi menjadi
empat bagian, yaitu : harian, mingguan, bulanan dan tahunan.
- Harian
• Ba’da subuh : pengajian al-Qur'an, pengajian sorogan.
• Ba’da ashar : pengajian kitab kuning.
• Ba’da magrib : Madrasah Diniyah Salafiyyah Futuhiyyah jam
pertama.
• Ba’da isya’ : Madrasah Diniyah Salafiyyah Futuhiyyah jam kedua.
• Ba’da subuh : piket kebersihan perkamar.
- Mingguan
• Hari Jum’at : ziarah makam Masyayikh.
Waktu : ba’da Subuh
: ro’an untuk santri MTS dan MA.
Waktu : pagi
• Hari Ahad : ro’an untuk santri SMP dan SMA.
Waktu : pagi
• Hari Senin : pengajian kitab Ta’limul Mutaalim.
Waktu : ba’da Maghrib
: Ta’limul Khitobah
waktu : ba’da Isya’
• Hari Kamis : Dzibaiyyah
waktu : ba’da Isya’
- Bulanan
• Setiap malam ke-II : pembacaan Manaqib Syaikh Abdul Qodir al
Jailani r.a.
• Setiap malam Selasa Kliwon : Mauidhoh Hasanah oleh ustadz dari
luar.
- Tahunan
• Haul simbah KH Abdurrahman dan keluarga.
57
• Muwada’ah wa khotmil kutub.
• Khotmil Qur’an.6
5. Evaluasi Pesantren
Evaluasi dilakukan untuk mengetahui hasil yang telah dicapai
dalam proses belajar mengajar. Di pesantren Futuhiyyah evaluasi
dilakukan dengan dua cara, untuk yang klasikal (Madrasah Diniyah
Salafiyyah Futuhiyyah) menggunakan tes tertulis yang sudah terstruktur
secara rapi, yakni mid semester dan akhir semester. Sedangkan untuk
pengajian kitab kuning (non klasikal) dilakukan secara lisan, dengan cara
santri membaca kitab yang telah diajarkan dihadapan ustadz satu persatu
kemudian sang ustadz memberikan beberapa pertanyaan dari kitab yang
telah santri baca tersebut.
C. Periodesasi Kepemimpinan Pesantren Futuhiyyah
1. Masa Syaikh KH Abdurrahman (1901-1926 Masehi)
Pada masa awal berdirinya pesantren Futuhiyyah hanya memilik
sebuah langgar atau mushola yang mempunyai multi fungsi, yakni selain
sebagai tempat berjamaah digunakan pula sebagai tempat menginap santri
dan proses belajar mengajar.
Proses belajar mengajar sejak tahun berdirinya pesantren
Futuhiyyah sampai tahun 1926 dilakukan sendiri oleh syaikh
Abdurrahman tanpa dibantu oleh siapapun, beliau dikenal sebagai orang
yang cinta akan ilmu, hal itu bisa dilihat meskipun beliau sudah
mendirikan pesantren beliau juga masih meneruskan belajar di pondok
pesantren Brumbung. Baru pada tahun 1926 Masehi putra beliau, yakni
syaikh KH Ustman sekembalinya dari pesantren Lasem diperintahkan
untuk mengembangkan pesantren sekaligus mendirikan Madrasah.
Syaikh KH Abdurrahman dikenal sebagai saudagar yang berhasil,
diantaranya beliau berjualan beraneka ragam pakaian jadi, kecuali celana
panjang dan dasi yang dinilai haram. Selain itu beliau juga memiliki tanah
6 Dokumentasi kegiatan santri pondok pesantren Futuhiyyah tahun ajaran 2007
58
sawah, perkebunan kelapa, pisang serta lain-lainnya, dimana semuanya itu
berada di beberapa tempat di Suburan Mranggen dan Pungkuran
Mranggen Mondosari (Batursari). Untuk mengolah tanah tersebut
membutuhkan orang banyak, oleh sebab itu syaikh Abdurrahman
memanggil santri-santri dhuafa’ yang tinggal belajar di pesantren
Futuhiyyah, dan mereka dikenal dengan sebutan kejar yang berarti kerja
sambil belajar.
Pendidikan pesantren yang diselenggarakan oleh syaikh
Abdurrahman sejak awal tahun 1901 Masehi hingga akhir hayat beliau
tahun 1941 Masehi ialah :
a. Praktek ubudiyyah, yaitu shalat fardhu lima waktu secara berjamaah
dan diteruskan dengan wiridan serta dzikir thoriqoh yang di antaranya
melakukan mujahadah riyadho, shalat-shalat sunnah, tadarus al-Qur'an
dan termasuk di dalamnya membaca kisah maulid Nabi Muhammad
saw yang biasanya jatuh pada malam Jum’at.
b. Pengajian al-Qur'an, bagi anak-anak remaja kampung Suburan
Mranggen dan sekitarnya, serta para santri yang berasal dari wilayah
Mranggen.
c. Bimbingan serta pengalaman Qodiriyyah Wa Naqsabandiyyah,
dikhususkan bagi orang-orang Mranggen dan sekitarnya telah dibai’at
thoriqoh tersebut pada syaikh KH Ibrohim Yahya Brumbung.
d. Pengajian syariat bagi masyarakat sekitar yang sudah berthoriqoh
maupun yang belum.
e. Pengajian kitab kuning, diantaranya tauhid, fiqih dan lain-lain. Bagi
santri yang tetap maupun santri yang kalong.
2. Masa Syaikh KH Ustman Abdurrahman (1927-1935 Masehi)
Syaikh KH Ustman adalah putra laki-laki tertua syaikh
Abdurrahman, syaikh KH Ustman selain dikader sendiri oleh ayahnya
beliau juga dikaderkan kepada syaikh Ibrohim Yahya Brumbung dan
kepada syaikh KH Ustman diberi amanat oleh ayahnya untuk
mengembangkan pesantren yang telah dirintisnya. Adapun langkah-
59
langkah syaikh KH Ustman dalam mengembangkan pesantren Futuhiyyah
antara lain :
a. Merenovasi langgar yang sudah ada menjadi bangunan pondok serba
guna yang terdiri atas ruang mushola sekaligus ruang belajar mengajar
dan beberapa kamar santri.
b. Mendirikan Madrasah Diniyah Awaliyah.
c. Melanjutkan dan mengembangkan pendidikan pesantren yang sudah
ada sebelumnya dengan memperluas pengajian kitabnya, termasuk
latihan pencak silat.
d. Dakwah keliling ke desa-desa termasuk menghimbau agar kaum
muslimin mau menyekolahkan putra-putranya ke madrasah dan
memondokkan putranya ke pondok-pondok pesantren, sekaligus
dakwah NU, karena kebetulan syaikh KH Ustman dan guru-guru
madrasah adalah pengurus NU cabang Mranggen yang diketuai oleh
beliau, yang didirikan bersama syaikh KH Toyyib bin Ibrohim Yahya
Brumbung dan kiai-kiai lainnya termasuk syaikh KH Abdurrahman.
e. Usaha lainnya dalam rangka mengisi pesantren yang diasuhnya
Pendidikan pesantren pada masa syaikh KH Ustman pada dasarnya
masih sama dengan masa sebelumnya, hanya saja proses pelaksanaannya
lebih diperluas dan diperkembangkan. Adapun pendidikan yang
diselenggarakannya yaitu :
a. Pendidikan praktek ubudiyyah, termasuk mujahadah.
b. Pengajian kitab-kitab kuning.
c. Pengajian al-Qur'an.
d. Pengajian syariah.
e. Bimbingan khusus praktek berthoriqoh.
Pada masa syaikh KH Ustman, pendidikan seni dan olah raga juga
menonjol yaitu:
a. Seni tebangan.
b. Seni zipin.
c. Pencak silat atau seni bela diri.
60
d. Seni teater.
e. Seni lukis.
f. Back ground panggung (tonil) dilukis sendiri oleh para santri atau
anggota teater.
Selain syaikh KH Ustman sebagai pengasuh pesantren, beliau juga
sebagai ketua NU cabang Mranggen oleh karena itu sekembalinya KH
Muslih dari pesantren Serang pada tahun 1935 Masehi, pesantren
Futuhiyyah diserahkan kepada Syaikh KH Muslih untuk dikembangkan.
Hal ini dikarenakan syaikh KH Ustman sibuk berdakwa dan mengurus NU
cabang Mranggen, hingga tak sempat mengasuh pesantren secara
langsung.
Walaupun syaikh KH Ustman sibuk diluar tidak menjadikan beliau
merupakan tugas utama menjadi pengasuh pesantren Futuhiyyah, disela-
sela kegiatan rutin beliau masih menyempatkan diri berbincang-bincang
dengan syaikh KH Muslih di pesantren Futuhiyyah, termasuk memberi
pengarahan serta pelaksanaan pembangunan pesantren Futuhiyyah hingga
akhir hayat beliau pada tahun 1967 Masehi.7
3. Masa Syaikh K.H. Muslih Abdurrahman (19346-1981 Masehi)
Syaikh K.H. Muslih Abdurrahman adalah putra kedua dari Syaikh
K.H. Abdurrahman Ibn Qosidil Haq pendiri Pesantren Futuhiyyah, yang
apabila ditarik garis ke atas akan bertemu sebagai garis Dzuriyyah
Kanjeng Sunan Kalijaga.
Pendidikan Syaikh K.H. Muslih dimulai belajar dengan ayahnya
sendiri kemudian belajar di madrasah Syaikh K.H. Ibrohim Brumbung.
Lalu mondok sebenar di Patebon bersama putra Syaikh K.H Ibrohim
Brumbung, yakni Syaikh K.H. Ichsan. Setelah itu Syaikh K.H. Muslih
mondok di pesantren Sarang selama 9 tahun, kemudian melanjutkan lagi
di pesantren Termas-Pacitan. Di pesantren inilah beliau justru diangkat
7 Sejarah Seabad Pondok Pesantren Futuhiyah Mranggen, hlm. 6-14.
61
sebagai guru madrasah kelas Alfiyah atau dahulu dinamakan tingkat
Tsanawiyah dan berjalan hingga tahun 1935 Masehi.
Sekembali dari Termas pada tahun 1935 Masehi Syaikh K.H.
Muslih melanjutkan perjuangan menjadi pengasuh II pesantren Futuhiyyah
dan Syaikh K.H. Abdurrahman tetap sebagai sesepuh yang sekaligus imam
Jama’ah shalat maktubah dan mujahadah serta pembimbing thoriqoh,
sedangkan Syaikh K.H. Utsman sebagai pengasuh I.
Dengan berbekal pengalaman yang ada pada saat mengajar di
Termas Syaikh K.H. Muslih pada tahun 1936 Masehi mengembangkan
madrasah menjadi madrasah Ibtida’iyyah Salafiyah dan madrasah
Tsanawiyyah.
Madrasah Ibtida’iyyah Salafiyyah pelajaran nahwunya sebagai
berikut:
- Kelas III : Awamil dan jurumiyyah
- Kelas IV : Sulam sibyan
- Kelas V : Imrity dan milhatul I’rob
- Kelas VI : Al-fiyyah Ibnu Malik ditambah Balaghoh (Qowaidul Lughoh)
Adapun untuk madrasah Tsanawiyyahnya:
- Kelas I : Al-fiyyah Ibn Malik melanjutkan dari kelas VI madrasah
Ibtidaiyah
- Kelas II dan III : Tidak ada pelajaran nahwu sebagai ganti adalah
memperdalam balaghoh (uqudu Juman)
Pendidikan pesantren pada masa Syikh K.H. Muslih sebagai
berikut:
a. Praktek ubudiyah, santri diwajibkan shalat lima waktu berjamaah dan
wajib ikut mujahadah dan riyadhohnya berikut ibadah lainnya, selain
wiridan umum (istigfar, tasbih, tahmid dan takbir), mujahadah dan
riyadhoh lainnya yang lebih bersifat khusus, yakni:
1) Ba’da subuh, dzikir LAA ILAHA ILLALLAH (165 x) secara
jahar, lalu membaca surat al-Fatihah minimal 7 kali (jika
berjamaah). Dalam hal ini Syaikh K.H. Muslih memberi ijazah
62
umum membaca surat al-Fatihah 100 kali tiap hari, dan waktunya
bebas insya Allah pembacanya akan mendapatkan asror, termasuk
di dalamnya Sir yang menakjubkan serta tak terduga min fadhillah
wa rahmatih.
2) Ba’da Dzuhur, antara lain: surat al-Fatihah 7 kali, surat al-Ikhlas 7
kali, surat Mu’awwidztain 7 kali, surat al-Insyiroh 7 kali dan surat
al-Qodar 7 kali, asrornya antara lain Jalbur-rizqi. Hal ini penting
sebab pendidikan perlu adanya biaya yang tidak sedikit.
3) Ba’da Ashar, antara lain: Rotib al-Hadda, asrornya untuk
keselamatan pondok, Bilad, diri, keluarga, dunia akhirat termasuk
aman dari gangguan setan dan segala macam fitnah maupun bala’
hingga maut ‘ala khusnu khotimah – ala dinil Islam.
4) Ba’da Magrib, antara lain: membaca surat Yasin dan surat al-
Waqi’ah. Asror surat Yasin antara lain insya Allah terjaga dari
berbuat dosa dan diampuni dosanya yang terjadi pada hari atau
malam itu. Dan asror surat al-Waqi’ah antara lain insya Allah
pembacanya tidak pernah sepi dari rizqi Allah SWT.
5) Ba’da Isya’, antara lain: dzikir LAA ILAHA ILLALLAH (165 x) dan
shalawat nariyah di baca secara berjamaah sejumlah 4444 kali.
b. Pengajian al-Quran. Santri yang belum bisa membacanya maupun
santri yang belum pernah mengaji al-Quran hingga khatam, diwajibkan
mengaji al-Quran, hingga khatam sehingga santri tersebut telah berhak
mengajar al-Quran jika telah pulang kampung karena telah
mengantongi ijazah dalam membaca al-Quran.
c. Pengajian kitab kuning
Pesantren dalam menyelenggarakan pendidikan ilmiahnya
dengan bentuk pengajian kitab kuning, yang sebenarnya memiliki
strata atau tingkatan khusus yang disebut tadrib, yaitu tadrib ibtida’,
tadrib wustho dan tadrib alif (tingkat dasar, tingkat menengah dan
tingkat tinggi).
63
Pengajian kitab kuning di masa Syaikh K.H. Muslih adalah
lengkap hingga tadrib alif, baik yang berupa weton maupun bandongan
dan semuanya diasuh oleh Syaikh K.H. Muslih, para wakil beliau yaitu
Syaikh K.H. Murodi dan Syaikh K.H. Ahmad Muthohar, para menantu
beliau berikut para santri senior.
Tadrib ibtida’ adalah pengajian kitab kuning dari semua
cabang ilmu alat, syariat atau yang lainnya dan ini untuk santri tingkat
ibtyida’ (jelas jurumiyah). Tadrib wustho, pengajian kitab kuning
untuk kelas syarah Ibnu Aqil, Fathul Wahab dan lain-lain.
Syaikh K.H. Muslih dalam pengajian wetonan tiap ba’da Ashar
mengajar tafsir Jalalain dalam bentuk tadrib wustho, dan mengajar
Ihya’ Ulumuddin tiap hari Jum’at pagi dalam bentuk tadrib Aliy.
Beliau mengajar secara bandongan tiap tahun mulai 17
Sya’ban hingga 17 Ramadhan untuk tadrib Aliy dan biasanya diikuti
oleh para santri senior dari pesantren se-Jawa bahkan Madura,
Lampung, disamping diikuti pula oleh para alumni Futuhiyyah. Kitab-
kitab yang dibaca yaitu:
I. Ilmu alat
a) Mughni labib
b) Asnal matholib
c) Misbaul munir
d) Uqudul juman
II. Ilmu fiqih, ushul fiqih dan qowaid al-Fiqhiyyah
a) Mahally
b) I’anatut Thalibin
c) Fathul wahab
d) Iqna’
e) Bidayatul mujtahid
f) Jami’ul Jawami’
g) Asbah wa nadhoir
h) Muhaddzab
64
i) Mizan Sya’roni
III. Tafsir dan hadits
a) Tafsir al-Munir
b) Tafsir as-Showy
c) Shohih Bukhori
d) Shohih muslim
e) Sunan ibn Majah
f) Sunan at-Turmudzi
g) Sunan an-Nasa’ie
h) Sunan Abu Dawud
i) Ibanatul Ahkam dan Syarah Bulughul Marom
Sedangkan kitab-kitab yang dibaca wetonan oleh Syaikh K.H.
Muslih, antara lain:
1) Tafsir Jalalain, beliau baca sejak tahun 1936 Masehi sampai akhir
hayatnya dan biasanya tiap tahun khatam
2) Durratun Nasihin
3) Syarah Hikam
4) Wasiyyatul Musthafa
5) Qolyubi
6) Risalah Mu’awanah
7) Risalah Jum’atain
8) Fathul Mu’in
9) Syarah Imrithy
10) Syarah Ibn Aql dan Matan
11) Syarah Dahlan
12) Hujjah Ahlussunah wal Jama’ah dll.
4. Masa K.H. Lutfil Hakim Muslim – K.H. M. Hanif Muslih L.C (1982 –
sekarang)
Periode ini adalah periode pelestarian dan pengembangan
pesantren Futuhiyyah. Sistem pendidikan yang dipakai masih melestarikan
65
sistem pendidikan yang lama yakni sistem pendidikan yang diterapkan
oleh Syaikh K.H. Muslih, akan tetapi pada masa K.H. Lutfil Hakim
Muslim dan K.H. M. Hanif Muslih ini lebih terorganisir dan sistematis.
Sistem pendidikan pada masa ini menggunakan sistem gabungan
yakni antara salaf dan khalaf. Hal ini dilakukan karena tuntutan zaman
yang mengharuskan santri selain menguasai ilmu agama juga harus
menguasai ilmu umum. Adapun pendidikan tersebut meliputi: pendidikan
sekolah dan pendidikan pesantren. Untuk pendidikan sekolah
kurikulumnya mengikuti kurikulum Depag dan Diknas. Sedangkan
kurikulum pesantren masih menggunakan kurikulum yang dipakai oleh
Simbah K.H. Muslih.8
Pendidikan pesantren pada masa K.H. Hakim Muslih dan K.H.
Hanif Muslim ini menggunakan sistem klasikal dan non klasikal, untuk
klasikal dilaksanakan habis maghrib dan habis Isya’. Sedangkan non
klasikal dilaksanakan habis Ashar dan habis Subuh dengan materi
kurikulum sebagai berikut:
- Ulumul Qur’an, kitab pegangan al-Quran dan kitab anjuran al-itqon,
mabahis fi ulumil qur’an.
- Tafsir, kitab wajib al-Munir, kitab anjuran Ibn Katsir
- Hadits : Bulughul Marom
- Ulumul Hadits : Mustholah al-Hadits dan kitab anjuran Ulumul hadits
wa mustholahuh.
- Fiqih: Kifayatul ahyar dan kitab anjuran Fatkhul Wahab dan Fathul
Mu’in.
- Ushul Fiqih : Al-Bayan Fi Qur’an, Mabadi’ Awwaliyyah
- Aqidah : Jawahirul Kalamiyah
- Akhlaq : Ihya’ Ulumuddin
- Nahwu : Al Ajurumiyyah, al Imrithi, Alfiyyah Ibn Malik
- Shorof : Amtsilah at Tashrifiyyah, Qowaid at Tashrifiyyah.
8 Sejarah Seabad Pondok Pesantren Futuhiyah Mranggen, hlm. 15-24.
66
Sedangkan jenis pendidikan sekolah yang dilaksanakan pada masa
K.H. Lutfil Hakim dan K.H. Hanif Muslih meliputi pendidikan keagamaan
dan umum. Pendidikan itu antara lain sebagai berikut:
a. Taman kanak-kanak al-Quran atau taman pendidikan al-Quran
(TKA/TPA)
b. Taman Kanak-Kanak (TK) Masyitoh
c. Madrasah Ibtidaiyyah (MI)
d. Madrasah Tsanawiyyah (MTs) I (Putra) dan II (Putri)
e. Madrasah Aliyah (MA) I (Putra) dan II (Putri)
f. Sekolah Menengah Lanjutan Pertama (SLTP)
g. Sekolah Menengah Umum (SMU)
h. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Kurikulum yang digunakan di pendidikan formal tersebut,
mengacu pada kurikulum Departemen Agama untuk MI, MTs, dan MA.
Sedangkan untuk SLTP dan SMU menggunakan kurikulum departemen
pendidikan nasional. Khusus untuk Madrasah Aliyah, selain menggunakan
kurikulum departemen agama, juga menggunakan kurikulum pesantren.
Kurikulum khusus ini terutama untuk pendalaman materi kitab kuning,
meski demikian kurikulum Departemen Agama menempati porsi lebih
banyak.9
D. Transformasi Kurikulum Pesantren Futuhiyyah Mranggen Demak
Dinamika pesantren Futuhiyyah secara keseluruhan terlihat dengan
fenomena bergesernya beberapa unsur pesantren mengalami transformasi,
perubahan dan pengembangan secara bertahap, yang setiap periodik
memperlihatkan kemajuan, antara lain; transformasi kepemimpinan (pola
manajerial), transformasi sistem pembelajaran institusi, transformasi
kurikulum, bahkan juga metode pembelajarannya. Namun demikian dari
sekian perubahan mendasar yang penting sebagai upaya transformasi adalah
9 Profil Pondok Pesantren Futuhiyyah, 2004, hlm. 6.
67
pola kepemimpinan yang demokratis seorang kiai sebagai figur utama
pesantren.
Proses transformasi tersebut seiring dengan perkembangan pergeseran
sistem pendidikan, yang baik secara nasional maupun regional telah
mengubah pola pemikiran masyarakat, sehingga mendesak kaum santri untuk
melakukan transformasi. Begitupun pesantren Futuhiyyah, sejak
perkembangan pendidikan di Indonesia umumnya mengalami perkembangan,
maka lembaga ini melakukan respon yang cukup tanggap, dengan terus
memantau kebutuhan riil yang hidup di masyarakat, agar eksistensi pesantren
Futuhiyyah dapat dipertahankan dan ada dalam sanubari masyarakat.
Sebelum menjelaskan transformasi pesantren di pondok pesantren
Futuhiyyah Mranggen Demak, akan dijelaskan terlebih dahulu pola
kepemimpinan dan transformasinya, sehingga berpengaruh pada
perkembangan transformasi kurikulumnya. Karena secara historis, sejak
berdirinya hingga perkembangannya pola kepemimpinan pesantren
Futuhiyyah sangat bergantung pada figur-figur kiai, dari pendiri pesantren
K.H. Abdurrahman bin Qosidil Haq, sekitar 1910 hingga saat ini, di bawah
pengasuh K.H. Hanif Muslih, pesantren Futuhiyyah telah mengalami
perkembangan pola manajerial yang variatif.
1. Latar Belakang Transformasi Kurikulum Pesantren Futuhiyyah
Sebagaimana umumnya pesantren, seorang kiai memiliki
kedudukan ganda, baik sebagai pengasuh, juga sekaligus sebagai penerus
pewaris kepemilikan pesantren. Oleh karena gambaran pesantren secara
umum sangat diwarnai gaya dan pola kepemimpinan kiai pengasuh
pesantren. Segala bentuk kebijakan pendidikan dan pengajaran, baik
mengangkut format kelembagaan berikut penjenjangannya, kurikulum
yang dijadikan acuan, metode pembelajaran yang diterapkan, penerimaan
santri baru dan global sistem pendidikannya semua bergantung pada
wewenang kiai.
Hal ini juga dapat dipahami dengan yang terjadi di ponpes
Futuhiyyah Mranggen. Kharisma seorang kiai pengasuh masih
68
berpengaruh sangat besar terhadap pengembangan pesantren Futuhiyyah.
Apalagi kepemimpinannya yang sekaligus menjadi panutan masyarakat,
memungkinkan akan mendatangkan santri yang banyak dan besarnya
lembaga ini. Hal ini karena membawa kekuatan bargaining pesantren
dengan kondisi struktural masyarakat sekitar.
Tetapi suatu hal yang positif diketahui dari penelitian di Ponpes
Futuhiyyah adalah sikap terbukanya kiai pengasuh terhadap kebijakan dari
luar, termasuk dari sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia, sejak
zaman Belanda (1927) diketahui tentang terbukanya KH. Utsman
Abdurrahman (1927-1935 M) dengan mengembangkan pesantren
Futuhiyyah dari sistem pengajian di langgar menjadi sistem madrasah
formal yaitu Madrasah Diniyah Awaliyah (1927 M). hingga pendirian
Sekolah Menengah Kejuruan (1998) pada masa kepemimpinan K.H. Lutfil
Hakim Muslim dan K.H. M. Hanif Muslih, L.C. (1928-sekarang). Tentang
perkembangan lembaga-lembaga formal yang ada di ponpes Futuhiyyah
dapat dilihat dalam tabel berikut:
No Nama Lembaga Tahun Berdiri
1 Diniyah Awaliyah 1927
2 Madrasah Tsanawiyah (I) 1936
3 Madrasah aliyyah (I) 1962
4 Madrasah Ibtidaiyah (MWB) 1963
5 Taman kanak-anak 1967
6 Sekolah Menengah Pertama 1972
7 Madrasah Tsanawiyah (2) 1983
8 Madrasah Aliyyah (2) 1983
9 Sekolah Menengah Atas 1983
10 Fakultas Syari’ah IIWS 1984
11 Taman Pendidikan Al-Quran 1990
12 Madrasah Tsanawiyah (3) 1996
13 Sekolah Menengah Kejuruan. 1998
Sumber: Sejarah seabad pondok pesantren Futuhiyyah (2001:80)
69
Dengan masuknya lembaga pendidikan formal ke sistem pesantren
Futuhiyyah dari sejak berdirinya hingga saat ini maka transformasi
pendidikan telah terjadi. Namun demikian proses transform tersebut tanpa
sikap keterbukaan kiai pengasuh di ponpes Futuhiyyah tidak akan terjadi.
Restu kiai, dalam hal ini untuk melaksanakan formalisasi pendidikan
sangat urgen dan menentukan, disamping juga upaya-upaya pengenalan
program pendidikan luas lainnya, tanpa restu seorang kiai pengasuh maka
akan sulit menembus pesantren.
Mengingat figur kiai sangat menentukan transformasi pendidikan
di pesantren, maka inovasi pendidikan akan diakui efektifitas dan efisiensi
hanya akan berjalan juga sangat bergantung pada sponsor dan semangat
kepemimpinan kiai. Apabila seorang kiai melarang terjadinya proses
transformasi maka sudah tentu pondok pesantren akan sangat eksklusif
dan jauh dari inovasi pendidikan.
Seorang kiai dalam pesantren, sebagaimana di ponpes Futuhiyyah,
sangat menentukan nasib pembaharuan dan transformasi pendidikan.
Beliau sebagai satu-satunya penentu kebijakan-kebijakan pendidikan dan
sekaligus figur yang akan membawa pesantren berkembang atau bahkan
tenggelam dan mati. Siapapun yang memiliki inisiatif mengadakan
perubahan, pembaharuan dan transformasi dari luar sistem pendidikan
baik itu berasal dari individu (intelektual), golongan (lembaga pendidikan)
maupun institusi pemerintah, haruslah disalurkan melalui prakarsa kiai.
Kadangkala para pembaharu harus berupaya dengan berbagai pendekatan
pada kiai, baru kemudian melangkah pada program yang diinginkannya.
Walaupun demikian, dalam kenyataannya di pesantren Futuhiyyah
sejak awal, pola kepemimpinan terbuka dan responsif telah terlihat. Proses
transformasi pendidikan di Futuhiyyah juga telah terjadi karena seorang
figur kiai pengasuh yang tanggap akan kebutuhan dan tuntutan zaman.
Terutama pada masa-masa periode pelestarian dan pengembangan yaitu
pada masa KH. Muslih Abdurrahman (1936-1981), lebih-lebih pada masa-
70
masa periode KH. Lutfil Hakim dan KH. Hanif Muslih, LC. Pada masa-
masa itu sistem pendidikan yang diterapkan tidak saja melestarikan sistem
pendidikan yang ada tetapi lebih terorganisir dan sistematis.
2. Transformasi Kurikulum Pondok Pesantren Futuhiyyah
Berdasarkan tipologi pesantren maka pondok pesantren
Futuhiyyah Mranggen Demak termasuk tipe campuran atau kombinasi.
Karena didalamnya menggunakan sistem campuran atau gabungan
(kombinasi) antara sistem pendidikan salafiyah atau tradisional, yaitu
penyelenggaraan pembelajarannya menggunakan pendekatan tradisional.
Pembelajaran ilmu-ilmunya dilakukan secara individual atau kelompok
dengan konsentrasi pada kitab-kitab klasik (kita kuning). Juga
menggunakan sistem pendidikan khilafiyah yang menyelenggarakan
pendidikan dan pembelajarannya secara klasikal dan berjenjang, termasuk
menyelenggarakan pendidikan formal (MI, MTs, SMP, SMA, MA dan
SMK).
Dengan tipologi campuran atau kombinasi tersebut, maka
kurikulum yang dipakai menyesuaikan dengan lembaga pendidikan yang
dibutuhkan, baik dari Departemen Agama, yang berhubungan dengan
kurikulum madrasah (Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyyah). Departemen
Pendidikan Nasional, yang berhubungan dengan sekolah (Taman kanak-
kanak, Sekolah Dasar, Menengah Pertama, maupun Menengah Atas dan
kejuruan dengan kurikulum pendidikan nasional sebagai acuan
kurikulumnya. Di sisi lain juga tidak melepaskan ciri khas pesantrennya
dengan menyelenggarakan pendidikan, menggunakan pendekatan
pengajian kitab klasik, karena “sistem ngaji kitab kuning” inilah yang
selama ini diakui sebagai salah satu identitas pondok pesantren.
Proses transformasi kurikulum di pesantren Futuhiyyah secara
historis-evolutif adalah suatu kebutuhan yang mendesak dan keharusan,
mengingat kurikulum pesantren yang ada dirasa kurang memotivasi
belajar para santrinya, disamping juga sejumlah tokoh pesantren
71
Futuhiyyah telah melakukan pertimbangan-pertimbangan sesaat tetapi
masa depan santri, seiring dengan kebutuhan masyarakat akan
profesionalisme dan relevansi lulusan.10
Seiring dengan transformasi kurikulum, perubahan materi
pelajaran dari pengkajian dasar-dasar (pokok) agama misalnya tauhid
(keimanan), al-Quran, dan nahwu-shorof, kemudian berkembang menjadi
pengkajian pengembangan ilmu-ilmu dasar di atas, tauhid (keimanan)
dengan materi pelajaran aqoid (ilmu kalam), al-Quran dengan ilmu tajwid
dan tafsirnya, hadits dengan muthalah hadits, fiqh dengan ushul fiqhiyah,
bahasa Arab, Nahwu, sharaf-pun kemudian diajarkan dengan sistem
berjenjang diajukan pula materi akhlak dan tasawuf.
Ciri khas salafiyah, dengan pembelajaran kitab klasik atau kitab
kuningnya di pondok pesantren Futuhiyyah Mranggen masih sangat
kental. Beberapa materi pelajaran yang terdiri dari kitab-kitab nahwu,
shorof, ulum al-Quran, aqidah, fiqih dan ushul fiqh, tafsir, hadits dan
Ulumul hadits, akhlaq dan tasawuf, semua itu sebagai upaya
mempertahankan tradisi pesantren Futuhiyyah dari generasi ke generasi,
juga sebagai mempertahankan nilai murni pesantren pada umumnya.
Dari materi-materi tersebut dapat dilihat sebagai upaya pesantren
Futuhiyyah Mranggen Demak mencetak santri-santri yang ahli di bidang
ilmu agama Islam yang memahami kitab-kitab klasik dan menjadi
intelektual muslim yang beriman dan bertakwa pada Allah SWT.
Sementara sebagai wujud transformasi kurikulum, di pondok
pesantren Futuhiyyah Mranggen Demak berupaya memasukkan kurikulum
umum, dengan persyaratan tidak bertentangan dengan ideologi pendidikan
pesantren yang mencetak ulama yang berakhlak al-karimah, maka
didirikanlah lembaga-lembaga pendidikan formal yang pengelolaannya
senantiasa dalam sistem pendidikan pesantren Futuhiyyah. Mulailah
kemudian disebut bahwa pondok pesantren Futuhiyyah telah
10 Wawancara dengan pengasuh pesantren (KH. Hanif Muslih, LC) pada tanggal 19 April
2007 di rumah kediamannya.
72
menggunakan sistem khilafiyah dalam pengembangan kurikulumnya, hal
itu menandakan bahwa pesantren Futuhiyyah bukan salafiyah lagi,
melainkan sistem gabungan atau kombinasi antara salafiyah dan khilafiyah
atau bisa disebut pondok pesantren semi modern.
Realitas di lapangan transformasi kurikulum telah terjadi
bersamaan dengan berlakunya sistem klasikal, baik dalam pembelajaran
kitab kuning maupun jenjang pendidikannya. Namun transformasi yang
bena-benar terjadi secara besar-besaran pada saat digunakannya kurikulum
pendidikan formal baik kurikulum dari Departemen Agama (Depag)
maupun kurikulum dari Departemen Nasional (Diknas).
Berdirinya sekolah-sekolah formal mulai dari Madrasah Ibtidaiyah
(MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA) yang
mengacu pada Departemen Agama. Juga berdirinya Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama (SLTP), Sekolah Menengah Umum (SMU), dan Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) turut menandai terjadi gelombang besar
perubahan bentuk pesantren yang bersikap terbuka dan tanggap terhadap
kebutuhan arus modernisasi.
Latar belakang pemaduan kurikulum salafiyah dan khilafiyah
kemungkinan besar karena desakan kebutuhan masyarakat akan alumni
pesantren yang memiliki keilmuan terpadu antara keislaman dan umum,
alumni pesantren juga harus memiliki kompetensi yang jelas, memiliki
kemampuan dan skil sehingga dapat melanjutkan karirnya atau bekerja,
atau memilih untuk menjadi pengembang dakwah Islam dengan
mendirikan lembaga pendidikan, atau melanjutkan sekolah ke jenjang
yang lebih tinggi.
Berdasarkan informasi dari kiai pengasuh timbulnya lembaga-
lembaga pendidikan umum di pesantren maka terdapat beberapa alasan:
pertama, sebagai upaya adaptasi pesantren Futuhiyyah dengan
perkembangan pendidikan nasional, atau adaptasi dampak global dari
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, adanya
73
kepentingan menyelamatkan nyawa pesantren dari berpindahnya animo
masyarakat dari pesantren ke pendidikan umum.11
Kebutuhan yang fundamental dari pemaduan pendidikan umum
dan pesantren juga karena faktor strategis dan spontan, mengingat pondok
pesantren juga sebagai lembaga pencetak kader-kader bangsa, yang disisi
lain mempersiapkan generasi dengan penguasaan agama dan moral yang
baik, di sisi lain mempersiapkan generasi intelektual dengan penguasaan
berbagai sektor sosial, ekonomi, budaya dan teknologi mutakhir. Kedua
faktor tersebut saling mempengaruhi berdirinya lembaga-lembaga
pendidikan formal (umum) sebagai pengembangan (pemantapan
pembaharuan) institusi pesantren.
Fenomena tersebut sangat dirasakan pada sekitar tahun 1980-an,
pada saat Ponpes Futuhiyyah mendirikan lembaga-lembaga formal di
pesantren, animo masyarakat baik dari Demak sendiri maupun dari
kabupaten yang lain di Jawa Tengah bahkan Jawa Timur mencapai
kenaikan yang signifikan. Dukungan orang tua santri untuk mondok di
Futuhiyyah, lebih-lebih orang tua/wali santri yang menginginkan agar
putra-putrinya belajar/ngaji di pesantren sekaligus dapat mengikuti
pendidikan formal, baik yang berorientasi pendidikan umum (SLTP, SMU
dan SMK) maupun orientasi pendidikan agama (MI, MTs, dan MA)
lantaran cara demikian lebih memberikan jaminan keutuhan pribadi santri,
sebab disamping pengetahuan dan pengalaman materi kurikulum ajaran
agama tertanam dengan baik, juga dirangsang untuk meningkatkan dan
mengembangkan potensi intelektualnya melalui penerapan sistem
pembelajaran yang modern dengan kurikulum pengetahuan umum.
Beberapa aspek penting pengembangan kurikulum pesantren
Futuhiyyah sebagai hasil transformasi kurikulum, antara lain menyangkut:
orientasi dan tujuan pesantren, materi kurikulum, proses pembelajaran,
dan sistem evaluasi pembelajaran sebagai berikut: pertama, pada awalnya,
hingga masa orde baru, orientasi dan tujuan pesantren adalah semata-mata
11 Hasil wawancara dengan pengasuh pada tanggal 29 April 2007, di rumah kediamannya.
74
tafaquh fi al-din dalam arti lama, yaitu dengan mengedepankan ngaji kitab
kuning (keagamaan) dan mencetak ulama (kiai). Seiring perkembangan
zaman pada masa pembangunanisme dan pemberdayaan orientasi dan
tujuan pesantren Futuhiyyah Mranggen, mengubah orientasi dan tujuannya
dengan memperluas wawasan dan keterbukaan pada pengembangan
pengetahuan umum, sebagai tuntutan masyarakat yang majemuk maka
dengan persetujuan pengasuh (kiai) dibukalah sekolah dan madrasah di
pesantren tersebut.
Kedua, materi kurikulum yang disajikan atau dipelajari para santri
sudah tentu bervariatif sesuai dengan jenjang pendidikan yang
diberlakukan. Tanpa harus menghilangkan tradisi kitab kuning yang berisi
materi; nahwu-sharaf, fiqh, aqaid, tafsir, hadits, bahasa Arab, dan
tasawuf. Kemudian juga diajarkan pengetahuan umum, baik yang
berhubungan dengan pengetahuan sosial, ekonomi, alam maupun keahlian
(kejuruan) yang ada di lembaga-lembaga pendidikan formal. Di luar
kurikulum formalnya sisa dari 24 jam, kegiatan di pesantren maupun
madrasah/sekolah, diadakan kegiatan ekstrakurikuler yang melip8uti
ketrampilan komputer, pertukangan, pengelasan, peternakan, koperasi
pesantren, kepemimpinan (organisasi) dan jurnalistik.
Ketiga, pengembangan dan transformasi kurikulum telah
mengubah paradigma, baik aspek pendidik (ustadz-ustadzah), perencanaan
pembelajaran, metode pembelajaran dan sumber belajar santri. Hal itu
telah disadari begitu berlakunya beberapa kurikulum sejak berdirinya
(1984, 1994, 2004, 2006) telah menuntut para pendidik lebih profesional
dan menguasai prinsip-prinsip pembelajaran. Metode pembelajaran yang
beraku kemudian bervariatif, tanpa harus mengubah metode sorogan dan
bandongan sebagai ciri salafiahnya, juga menggunakan metode-metode
lain; seperti diskusi, tanya jawab, musyawarah, majlis ta’lim, ceramah
yang juga menggunakan pendekatan dan strategi kurikulum terbaru (2004
dan 2006), yaitu pendekatan kontekstual yang implementasinya
memerlukan pengetahuan dan keahlian para asatidz.
75
Keempat, transformasi kurikulum juga membawa pengembangan
evaluasi, agar mengetahui hasil pembelajaran yang dicapai para santrinya.
Sebelum pemberlakuan kurikulum dari Departemen Agama dan
Pendidikan Nasional, sistem evaluasi bersifat tes singkat, cenderung
ceremonial saja. Pada saat ini sistem evaluasi yang dipakai telah
menunjukkan kemajuan yang berarti. Terdapat dua cara evaluasi, untuk
klasikal (Madrasah Diniyah Salafiyah) menggunakan tes tertulis, yang
sudah terstruktur, yakni melalui mid semester dan akhir semester. Sedang
untuk kitab kuningnya dilakukan secara lisan, dengan cara santri membaca
yang telah diajarkan oleh ustadz satu persatu, kemudian para ustadz
memberikan beberapa pertanyaan dari kitab yang telah santri baca
tersebut. Sementara untuk sekolah dan madrasah mengikuti sistem
evaluasi pada kurikulum Departemen Pendidikan Nasional dan
Departemen Agama.
76
BAB IV
ANALISIS TRANSFORMASI KURIKULUM
PONDOK PESANTREN FUTUHIYYAH MRANGGEN DEMAK
A. Transformasi Kurikulum Pondok Pesantren Futuhiyyah Mranggen
Demak
Pada awal pertumbuhannya, pondok pesantren adalah lembaga
pendidikan keagamaan Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, pondok
pesantren berkembang menjadi satu kesatuan sistem yang menampung
berbagai fungsi. Pondok pesantren, selain menyelenggarakan fungsi sebagai
tempat untuk mendalami dan mengkaji berbagai ajaran dari ilmu pengetahuan
agama Islam (tafaqquh fi al-din), juga menjalankan fungsi sebagai pusat
pengembangan masyarakat (fungsi sosial) dan pusat pemberdayaan sumber
daya manusia.
Di antara tiga fungsi pondok pesantren, dalam kenyataannya, fungsi
tafaqquh fi al-din masih tetap merupakan fungsi utama pondok pesantren.
tafaqquh fi al-din dalam arti sempit, dapat diartikan sebagai upaya mendalami
ilmu-ilmu keislaman melalui kitab-kitab klasik (kuning), sehingga diharapkan
melahirkan pemimpin agama dan pemimpin masyarakat. Namun dalam arti
luas, tafaqquh fi al-din bukan hanya mendalami ilmu-ilmu agama saja, tetapi
juga ilmu-ilmu penting lainnya dalam rangka melengkapi ilmu-ilmu keislaman
yang dimilikinya, demi menyebarluaskan ajaran Islam (da’wah islamiyah)
baik sebagai kiai, ustadz-guru, pegawai, mau menjadi profesi lainnya.
Sejak awal tahun 1960-an, beberapa pesantren di pulau Jawa mulai
bersikap terbuka dan berupaya adaptasi sistem pendidikan termasuk
kurikulumnya, baik pada Departemen Agama maupun pada Departemen
Nasional. Ternyata upaya pesantren-pesantren itu tidak lain adalah sebagai
upaya menarik simpati masyarakat, sehingga dapat mempertahankan jumlah
santri dan mendapat dukungan masyarakat santri.
Menurut catatan Ahmad Qadri. Azizy, pada akhir tahun 1950-an dan
awal tahun 1960-an, sejumlah pesantren besar mulai menerima sistem
77
pendidikan umum (dalam term Barat: sekuler), seperti SMP, SMU, dan
Sekolah umum lainnya, bahkan mendirikan perguruan tinggi. Pesantren-
pesantren tersebut antara lain, Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Rejoso
Jombang, Pesantren Sukorejo Sembagus Situbondo, Kajen Pati, dan termasuk
di antaranya Pondok Pesantren Futuhiyyah Mranggen Demak.1
Pada kenyataannya, tampaknya dapatlah dikatakan bahwa pesantren
yang dapat menerima dan menyelenggarakan pendidikan umum akan dapat
mempertahankan jumlah santrinya. Sebaliknya, pesantren yang tidak mau
mengikuti perkembangan pendidikan dan bersikap tertutup terhadap
pendidikan umum, akan berkurang santrinya, sebagaimana kasus pesantren
Pabelan, Magelang yang merosot jumlah santrinya, penyebab utamanya
adalah tidak bisa menerima kurikulum negeri atau menolak untuk mengikuti
ujian negara, dengan tidak mau mendirikan lembaga pendidikan formal
(umum). Dengan kata lain jika pesantren ingin tetap mendapat dukungan
masyarakat, dan mempertahankan eksistensinya, maka sistem pendidikan
pesantren harus bersikap terbuka dan adaptif terhadap sistem pendidikan yang
ada, agar dapat mengikuti perkembangan dan kebutuhan zaman.
Hal itu pada masa-masa yang lalu, merupakan persoalan yang rumit
dan mendesak bagi suatu pondok pesantren dalam masa kurang lebih 60-an,
mengingat tuntutan masyarakat akan status sekolah, madrasah dan pesantren
mulai timbul terutama masuknya kurikulum modern yang direspon oleh
pemerintah sebagai kurikulum negeri (ujian negara). Sudah barang tentu
pengaturan kurikulumnya bergantung pada figur kiai (pengasuh). Kiai yang
bersikap terbuka dan tanggaplah yang dapat menerima kurikulum negeri,
dengan serta merta mendirikan lembaga pendidikan formal di dalamnya.
Sebagai pondok pesantren yang berkarakter terbuka, pondok
pesantren Futuhiyyah Mranggen Demak yang didukung pola kepemimpinan
yang luwes, terbuka, dan tanggap terhadap kebutuhan zaman, maka kiai
(pengasuh) yang pada masa itu dipegang oleh KH. Muslih Abdurrahman
1 Ahmad Qodri A. Azizy, Islam dan Permasalahan Sosial, Mencari Jalan Keluar,
(Yogyakarta: LKiS, 2000), hlm. 108.
78
(1936-1981) sejak dini telah memberikan respon positif dengan mendirikan
beberapa lembaga pendidikan formal,2 antara lain: Madrasah Tsanawaiyah
(1936), Madrasah Aliyah (1962), Madrasah Ibtidaiyyah (1963), Taman
Kanak-kanak (1967), dan Sekolah Menengah Pertama (1972), yang sekaligus
menerima kurikulum negara (Depag maupun nasional).
Lebih-lebih pada masa 90-an, pondok pesantren Futuhiyyah telah
memperlihatkan kedewasaannya dengan meneruskan dan
mengembangkannya. Di bawah pengasuh KH. Lutfil al-Hakim dan KH. Hanif
Muslih (1982 – sekarang) telah memperlihatkan kemajuan yang berarti.
Beberapa lembaga pendidikan formal pun didirikan antara lain: Madrasah
Tsanawiyah (1983), Madrasah Aliyah (1983), Sekolah Menengah Atas (1983),
Madrasah Tsanawiyah (1996), Fakultas Syariah IIWS (1984), dan Sekolah
Menengah Kejuruan (1998).
Tanpa harus meninggalkan tradisi pesantren yang memiliki ciri
antara lain; kiai pengasuh sebagai figur sentral pesantren, belajar dalam waktu
24 jam, kitab klasik (kuning) sebagai kajiannya, dan ciri-ciri melekat lainnya.
Pondok pesantren Futuhiyyah telah melakukan transformasi dengan sistem
pendidikan luar (yang berlaku di Indonesia), baik dari Departemen Agama
maupun dari Departemen Pendidikan Nasional. Transformasi itu secara
keseluruhan dapat dilihat dari kepemimpinan, institusi dan kurikulum
pesantren.
Menjadi pondok pesantren dengan tipologi kombinasi atau
campuran antara salafiyah dan khilafiyah pada waktu tahun 1960-an adalah
sebuah ikhtiar yang luas biasa dan memerlukan sistem kepemimpinan yang
mumpuni. Masuknya modernisasi sistem pendidikan sudah tentu akan
menimbulkan konsekuensi perubahan di seluruh bidang, baik kepemimpinan,
struktur organisasi, manajerial, kurikulum dan pengembangan-pengembangan
lainnya, termasuk diperlukannya sarana dan prasarana pendidikan, sumber
2 Sejarah Seabad Pondok Pesantren Futuhiyyah, (Demak: Team Panitia Seabad Pondok
Pesantren Futuhiyyah, 2001), hlm. 24-25.
79
daya yang memadai dan para intelektual agar dapat meningkatkan mutu dan
kualitas pesantren.
Profil kepemimpinan kiai di pesantren bagaimanapun sangat
mempengaruhi pola sistem pendidikan di bawahnya. Sehingga maju dan
berkembangnya pesantren, hidup dan matinya pesantren sangat bergantung
dari figur seorang kiai. Begitupun di pondok pesantren Futuhiyyah, walaupun
tidak meninggalkan pola kharismatik kepemimpinan, tetapi kiai pengasuh
pondok pesantren tidak terjerembab dalam sikap otoriter (berkuasa mutlak)
atas segala kebijakan baik kepada manajemen pesantren (intern) maupun
kepada kebijakan luas (ekstern) pesantren, termasuk terhadap kebijakan
pemerintah, penerimaan pendapat masyarakat sekitar maupun informasi
penting lainnya.
Dengan pola yang elastis (luwes) itulah maka pondok pesantren
Futuhiyyah memperlihatkan kedewasaannya. Dengan pola tersebut maka
transformasi sosial-budaya akan mudah terjadi. Pola kepemimpinan yang
merupakan faktor fundamental dalam pesantren inilah sebenarnya yang
dibutuhkan terbuka dan transparan, agar tidak menimbulkan image, bahwa
pondok pesantren arti kemajuan, jumud, dan eksklusif.
Bahkan yang menggembirakan pada dekade terakhir ini diketahui
bahwa sistem kepemimpinan pondok pesantren Futuhiyyah bersifat multi
leaders, sebagaimana dua pemimpin yang bertugas ke dalam pesantren dan
bertugas urusan luar pesantren, sehingga terdapat pimpinan harian yang
mengurusi urusan keseharian manajemen pesantren. Hal itu lebih menjamin
kelangsungan hidup pesantren dengan keterlibatannya berkiprah di lingkungan
sosial-politik.
Dalam pola kepemimpinan tersebut, keterlibatan berbagai kalangan
(ahli) dengan berlatarbelakang pengalaman dapat menimbulkan suatu interaksi
positif konstruktif apabila di arah oleh suatu orientasi yakni orientasi
pengembangan dengan misi memberikan pemecahan-pemecahan problem
pondok pesantren yang dihadapi. Dalam interaksi tersebut akan terjadi suasana
saling menerima dan memberi (take and give) maupun saling memberikan
80
persepsi, sehingga wajah pesantren di masa depan akan dibentuk dari multi
perspektif. Implikasinya lulusan yang dihasilkan dirancang memiliki multi
potensi.
Berlatarbelakang kepemimpinan tersebut, maka orientasi
pengembangan pesantren diutamakan, maka tidak heran jika transformasi
kurikulum disana sini telah terjadi di pondok pesantren Futuhiyyah.
Kurikulum pesantren (sebagai peninggalan/tradisi) dengan sistem klasikal.
Kurikulum Departemen Agama (sejak berdirinya Madrasah) dan kurikulum
pendidikan nasional (sejak lahirnya sekolah umum). Dalam kurun 40 – 50
tahun, pelestarian dan pengembangan kurikulum yang diberlakukan masih
mengalami perkembangannya (timbal sulam) disana sini.
Proses transformasi kurikulum berjalan dengan perlahan seiring
kebutuhan pesantren, kolaborasi sistem pendidikan pesantren salafiyah dan
khilafiyah menjadikan pemberlakuan kurikulum bersifat variatif, sesuai
dengan kebutuhan konsentrasi sistem pendidikannya. Pengembangan
pembelajaran bahasa Arab dan kitab klasik dengan metode Sorogan dan
Bandongan tetap bercirikan salafiyah, sedang pengalaman keilmuan
keagamaan (tauhid, fiqh, nafsu, hadits, dan tasawuf (akhlak), mengikuti pola
kurikulum Departemen Agama sementara pengembangan ilmu-ilmu umum
mengikuti kurikulum pendidikan nasional, yang secara prinsip terbagi dalam
tiga lembaga pesantren, madrasah dan sekolah.
Pendirian lembaga-lembaga formal termasuk Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) dalam kasus pondok pesantren Futuhiyyah sebenarnya juga
pengembangan pesantren akan kebutuhan masyarakat agar alumni pesantren
dapat memiliki kompetensi yang jelas, sebagaimana perkembangan kurikulum
yang mengedepankan psikomotorik dan skill santri Futuhiyyah setelah lulus.
Pengembangan kurikulum disana sini berdampak pada pengadaan
sumber daya yang kompetensinya siap atau layak dipersiapkan oleh pondok
pesantren Futuhiyyah, maka rekrutmen guru, ustadz-ustadzah mewarnai setiap
pendirian lembaga formal yang didirikan, sekaligus kaderisasi pesantren dan
pemberdayaan alumni pesantren di masa yang akan datang.
81
Seiring dengan kebutuhan tenaga kerja dan skill, maka transformasi
kurikulum pesantren bukan lagi hanya pada konsentrasi mata pelajaran dan
kajian kitab kuning, kegiatan penunjang ekstra kurikuler juga diselenggarakan
di Ponpes Futuhiyyah, antara lain; menjahit, mengelas, peternakan, koperasi,
pertukangan kepemimpinan (keorganisasian), jurnalistik dan komputer. Semua
itu bertujuan agar para santri Futuhiyyah memiliki ketrampilan dengan
memilih sendiri bakat dan minat santri.
Dengan memahami karakter dan tipologi pondok pesantren
Futuhiyyah Mranggen Demak, maka secara umum dapat diberikan analisis
bahwa pondok pesantren ini bersikap terbuka terhadap perkembangan sistem
pendidikan, bahkan sejak zaman Belanda, karena sejak tahun 1927 pondok
pesantren ini telah memiliki lembaga formal dan kurikulum yang variatif,
sehingga dapat diterima oleh generasi-generasi berikutnya. Hingga saat ini
dapat menerima beberapa perkembangan kurikulum, dari kurikulum 1984,
1994, kurikulum 2004 (kurikulum berbasis kompetensi) dan kurikulum 2006
(Kurikulum Tingkat Satuan Pembelajaran).
Namun demikian kurikulum yang dipakai bersifat selektif sesuai
dengan karakter pesantren, yang mengedepankan aspek-aspek religius dan
menggabungkannya dengan ilmu-ilmu umum agar mencetak santri-santri yang
berkemampuan dan kompetensi multidimensional. Selektivitas kurikulum ini
agar santri tidak begitu bebas dengan modernisasi (sekularisasi), disisi lain
menyelamatkan tradisi keilmuan pesantren agar menguasai ilmu-ilmu
keagamaan, pengembangannya, dan pengaktualisasikannya dalam kehidupan
sehari-hari dengan penguasaan kitab-kitab tafsir, hadits, fiqh, dan ilmu-ilmu
lainnya.
B. Aplikasi Transformasi Kurikulum Pesantren Futuhiyyah Mranggen
Demak
Berdasarkan tahun berdirinya pondok pesantren Futuhiyyah
Mranggen Demak 1901, maka usia pesantren tersebut telah seabad lebih,
tepatnya 106 tahun. Sudah tentu kiprah dan bhakti pesantren ini telah
82
dirasakan masyarakat, beribu-ribu kader santri telah dicetaknya sehingga
berperan andil dalam pembangunan bangsa. Sebagai lembaga pendidikan,
pondok pesantren Futuhiyyah telah andil dalam mencerdaskan rakyat.
Sejak dekade awal berdirinya pondok pesantren Futuhiyyah telah
menjadi institusi sosial yang berjuang keras melakukan transformasi nilai-nilai
keagamaan, menjadi wadah anak-anak bangsa untuk menuntut ilmu dan
mengamalkan ilmunya untuk berkiprah di masyarakat. Di tangan para
santrilah masa depan bangsa di pegangnya. Dalam perkembangannya
pesantren ini juga menjadi pelopor modernisasi pesantren dengan tetap
mencirikan salafnya dan memadukannya dengan pola modern (khalaf) maka
diharapkan pesannya sebagai pencetak kader yang multidimensional,
mumpuni bidang agamanya tetapi juga mempunyai ketrampilan dan ahli pada
bidang umumnya.
Pondok pesantren Futuhiyyah sebagai lembaga pendidikan elah
melakukan beberapa upaya bersifat konstruktif meningkatkan mutu dan peran
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, disamping pengembangan ilmu-
ilmu keagamaan juga ilmu-ilmu sosial dan eksak-alam, dengan pendirian
madrasah dan sekolah, baik yang umum maupun kejuruan, tidak lain adalah
sebagai upaya kongkrit penguatan pesantren di tengah-tengah masyarakat
yang dinamis, dengan segala konsekuensinya agar dapat mencetak kader-
keder muslim profesional di bidangnya.
Diterimanya kurikulum umum (Departemen Pendidikan Nasional
dan Departemen agama) di Pondok pesantren Futuhiyyah tidak lain sebagai
upaya bahwa pesantren ini mempunyai prinsip-prinsip bijaksana, yang
berupaya membantu santri dalam menggapai cita-citanya, tanpa harus
memaksa jalur pendidikannya, maka santri diharap memilih lewat madrasah
atau sekolah. Prinsip lainnya adalah mengutamakan kompetensi santri, agar
setelah lulus dari Pondok pesantren Futuhiyyah dapat meneruskan cita-citanya
atau memilih menjadi praktisi di masyarakat, sesuai dengan ketrampilan yang
didapatnya. Prinsip lainnya adalah tetap memegang teguh pada tafaquh fi al-
83
Din, yaitu tetap mempertahankan fungsi utama pesantren sebagai basic ilmu
keagamaan, mencetak kiai, ulama, dan mubaligh.
Kombinasi kurikulum yang diajarkan (diberlakukan), dari tiga
karakter; pesantren, Departemen agama dan Departemen Pendidikan Nasional
dengan sistem pembelajaran 24 jam (pesantren) maka sangat memungkinkan
terwujudnya kompetensi santri yang lebih baik dari pesantren salaf dan juga
sekolah formal saja. Hal itu karena selama 24 jam hubungan kiai dan santri
menjadi lebih maksimal, ustadz santri lebih saling transformatif, berbeda
dengan pesantren salafiyah yang hanya mengkaji kitab kuning dan sekolah
formal yang pola hubungannya bersifat formal (waktu-waktu efektif sekolah).
Materi pelajaran dari karakter pesantren, Depag dan Diknas
memungkinkan seorang santri memiliki karakter dinamis dan dialogis, tanpa
ada konflik antara ketiganya. Ilmu-ilmu keagamaan yang ditopang dengan
ilmu-ilmu humaniora akan menjadikan santri berkarakter multidimensi.
Walaupun menggunakan kurikulum formal, dengan modal sistem 24 jam
maka masih banyak sisa waktu untuk menerapkan sistem pendidikan berciri
khas pesantren. Sudah tentu santri dituntut untuk dapat membagi waktu dan
kesempatannya untuk mewujudkan cita-citanya.
Kurikulum yang ditetapkan di ponpes Futuhiyyah dapat dikatakan
memenuhi tiga bidang sasaran (obyek) yaitu sebagaimana yang dikatakan
Benyamin S. Bloom, dengan; 1) Aspek Kognitif (pikiran atau hafalan), 2)
afektif (feeling dean emosi), 3) psikomotorik (tindakan). Hal itu dengan modal
sistem 24 jam sangat mungkin teraktualisasi, mengingat di pondok pesantren
sangat mengutamakan praktek daripada pengetahuan. Maka semuanya tinggal
kembali pada bagaimana tingkat keseriusan dan totalitas santri dengan
kebijakan-kebijakan pondok pesantren dalam menuntut ilmu, mengamalkan
dan mempraktekkannya.
Kurikulum kombinasi tersebut juga akan berhasil manakala ustadz-
ustadzah menggunakan berbagai pendekatan dan metode agar santri dapat
mentransfer ilmu dengan kombinasi metode, baik yang bersifat umum maupun
pola pesantren diantaranya; diskusi, bimbingan, tanggung jawab, penugasan
84
dan juga metode ketauladanan, nasehat, dan sorogan dan bandongan. Dari
berbagai metode tersebut akan timbul kultural santri dan pembiasaan yang
nantinya dapat menjadi ciri khas santri dibandingkan dengan anak sekolah
umum, dimana aspek akhlak lebih diutamakan dari sekedar pandai
(pengetahuan teoritis) tetapi lebih kepada aktualisasi ajaran.
Variasi dan kombinasi kurikulum di Pondok pesantren Futuhiyyah
juga berdampak positif bagi berkembangnya materi bacaan santri, beberapa
buku-buku berbahasa Indonesia (putih) selain kitab-kitab kuning sebagai
kajian utamanya. Dari perkembangan tersebut akan terserap berbagai
pemikiran di luar zona pesantren. Juga menyerap informasi-informasi lainnya
sehingga akan tercipta generasi yang terbuka informasi dan pengetahuan dari
luar pesantren.
Aplikasi dari pemberlakuan kurikulum di Pondok pesantren
Futuhiyyah dari akibat transformasi kurikulum tentunya membawa
konsekuensi pelaksanaan yang akurat dan efisien, baik berlaku bagi ustadz-
ustadzah maupun para santri. Bagi seorang ustadz (guru) maka gara dapat
mengaktualisasi ilmu-ilmu dan materi yang didapat diperlukan kemampuan,
baik guru agama maupun umum agar para santri dapat menyerap dengan baik,
pola bimbingan guru dan Ustadzah sebagai pembimbing diharapkan
membantu santri mengaplikasikan materi yang di dapatkan. Seorang santri
bukan lagi sebagai pentransfer ilmu saja, tetap lebih pada pengembangan
potensi yang sudah dimiliki, juga bakat yang dimiliki perlu dikembangkan.
Pesantren yang di dalamnya terdapat unsur kiai, santri, dan ustadz
(Ustadzah), adalah suatu prinsip kolektivitas kerja, dimana kiai adalah
inspirator, ustadz (guru) adalah pelaksana kurikulum dan santri adalah buah
dari kerja kolektif tersebut. Dengan demikian kiai dan ustadz memiliki tugas
membantu santri dalam memahami makna dan tanggung jawab hidup di
tengah masyarakat. Anak didik (santri) memiliki tugas belajar dan memahami
potensinya sehingga menemukan kecenderungan dan bakat minatnya dan
kelak dapat mencapai cita-citanya.
85
Dengan prinsip tersebut, maka akan tercipta figur-figur alumni
pesantren yang tanggap akan kemajuan dan kebutuhan masyarakat,
bertanggung jawab untuk mengatur kehidupannya sendiri, mengatur
keahliannya (bidang) yang dipelajari dan mampu mengaktualisasikan ilmu-
ilmu yang didapatnya, sebagai bekal untuk menghadapi berbagai
permasalahan hidupnya.
86
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Transformasi kurikulum pesantren adalah proses perubahan bentuk,
karakter, dan materi kurikulum suatu pesantren dengan tanpa menghilangkan
ciri khas aslinya (salafi), yang disebabkan karena dua faktor eksternal dan
internal. Faktor eksternal karena para kiai (pengasuh) pesantren menyadari
adanya berbagai transformasi di Indonesia, yang diakibatkan arus modernisasi
dan sekularisasi yang hampir merasuk ke segala bidang kehidupan. Faktor
internal, karena kebutuhan pesantren untuk mempertahankan kuantitas
santrinya dan menetapkan eksistensinya pondok pesantrennya.
Pada kasus pondok pesantren Futuhiyyah Mranggen Demak,
transformasi kurikulum pada dasarnya telah terjadi sejak berubahnya Langgar
menjadi pesantren salafiyyah, kemudian perkembangan sejak berdiri tahun
1901 hingga mendirikan Madrasah Awaliyah (1927), Madrasah Tsanawiyah
(1936), maka pesantren ini telah melakukan perubahan bentuk dan sistem
pembelajarannya. Lebih-lebih pada masa pelestarian dan pengembangan, pada
tahun 1960-an hingga tahun 1990-an, perubahan tersebut terasa sangat cepat.
Transformasi benar-benar terjadi dengan nuansa yang lebih besar, ketika
kurikulum Departemen Agama dan Departemen Nasional diberlakukan,
seraya mendirikan Madrasah dan sekolah-sekolah baru; Madrasah Aliyah
(1962), Madrasah Ibtidaiyah (1963), Taman Kanak-kanak (1967), Sekolah
Menengah Pertama (1972), MTs dan MA (1983), Sekolah Menengah Atas
(1983) dan SMK (1998).
Dengan berlakunya ke tiga kurikulum, maka transformasi kurikulum
di Pondok pesantren Futuhiyyah telah membentuk tipologi pesantren yang
bersifat kombinasi (fariatif) atau gabungan dari salafiyah dan khilafiyah. Hal
itu karena transformasi yang terjadi melalui proses tahap demi tahap sesuai
87
dengan kebutuhan pesantren. Di samping mempertahankan tradisi pesantren
dengan kajian kitab-kitab klasik (kitab kuning) sebagai ciri utama pesantren.
Proses transformasi kurikulum dapat terjadi, karena pola
kepemimpinan yang bersifat luwes dan tanggap terhadap arus modernisasi dan
sekularisasi di segala bidang, sehingga mengubah pola pikir masyarakat
(santri) untuk lebih profesional dan dapat melakukan adaptasi dengan faktor
luar tersebut. Rupanya di Pondok pesantren Futuhiyyah kiai pengasuh ikut
memperlancar dalam proses transformasi, karena tanpa dukungan dan sponsor
kiai pengasuh tidak akan ada pengaruh dari luar (eksternal). Dengan demikian
proses transformasi kurikulum terjadi karena adanya transformasi
kepemimpinan di pesantren ini.
Aplikasinya, diberlakukannya tiga kurikulum dibutuhkan tiga karakter
lembaga, dengan guru (ustadz-ustadzah) yang secara kompetensi memang
dapat dijadikan tenaga profesional agar dapat melahirkan santri alumni
pesantren yang berbobot, mampu berkompetisi dan bersaing dengan dunia luar
pesantren Futuhiyyah Mranggen Demak. Apabila tidak diimbangi tenaga-
tenaga profesional (guru/ustadz), media, sistem, dan sarana yang mendukung
proses pembelajaran santri, maka tujuan melahirkan generasi yang berkualitas
tidak akan tercapai.
B. Saran-saran
• Transformasi kurikulum di suatu pesantren pada dasarnya adalah ikhtiar
agar anak didik yang dihasilkan (out put) bisa lebih bersaing dan menjadi
generasi yang multidimensional, namun sebagian santri justru lebih
memilih praktis dengan kurikulum umumnya, sementara saat harus
mengaji kitab dan peribadatan justru enggan mengikuti, maka hendaknya
Pondok pesantren Futuhiyyah dapat menekankan menyeimbangkan kajian
agama dan umum pada santrinya.
• Transformasi juga dapat menimbulkan dampak negatif bagi pesantren dan
santri-santrinya bila tidak dilakukan selektifitas budaya. Masuknya
88
informasi dan media dapat mengakibatkan anak didik terjerembab arus
globalisasi.
C. Penutup
Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah swt yang
telah memberikan kekuatan, hidayah dan taufik-Nya kepada penulis sehingga
dapat menyelesaikan skripsi ini dan tak lupa shalawat serta salam selalu
terlimpahkan kepada Nabi Muhammad saw.
Penulis menyadari bahwa meskipun dalam proses penulisan ini telah
berusaha semaksimal mungkin, namun dalam penulisan tidak lepas dari
kesalahan dan kekeliruan, hal itu semata-mata merupakan keterbatasan ilmu
dan kemampuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan kritik yang konstruktif dari berbagai pihak demi perbaikan
yang akan datang untuk mencapai kesempurnaan.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya serta menambah
khazanah pemikiran pendidikan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad, Strategi Penelitian Pendidikan, Bandung: Angkasa, 1993, Cet. X.
Arifin, M., Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, Jakarta: Bumi Aksara, 2000.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Yogyakarta: Rineka Cipta, 1998.
Aziz, Abdul dan Abdul Majid, al-Tarbiyah wa al-Thuruq al-Tadris, juz 2, Makkah: Dar al-Ma’arif, t.th.
Azizy, Ahmad Qodri A., Islam dan Permasalahan Sosial, Mencari Jalan Keluar, Yogyakarta: LKiS, 2000.
Azra, Azumardi, Pendidikan Islam Tradisional dan Modernisasi Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, Cet. I.
Bruinessen, Martin Van, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1995.
Crow, Lester D. and Alice Crow, Human Development and Learning, New York: American Book Company, 1956.
Danim, Sudarwan, Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung: Pustaka Setia, 2001, Cet. I.
Daulay, Haidar Putra, Historisitas dan Eksistensi Pesantren Sekolah dan Madrasah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001.
Departemen Agama RI, Nama dan Data Potensi Pondok-Pondok Pesantren Seluruh Indonesia, Jakarta: Departemen Agama, 1998.
_______, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, Jakarta: Depag RI, 2003.
_______, Pondok Pesantren dan Madrasah, Pertumbuhan dan Perkembangannya, Jakarta: Dirjen Bindaga, 2003.
_______, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1994, Cet. VI.
Direktorat Pekapontren, Pola Pengembangan Pondok Pesantren, Jakarta: Depag RI, 2003.
Djaelani, A. Timur, Peningkatan Mutu Pendidikan Pembangunan Perguruan Agama, Jakarta: Desmaga, 1982.
Djamarah, Syiful Bahri, dan Aswan Zaim, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
Echols, John M. dan Hasan Sadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1992.
Faisal, Sanapiah, Format-Format Penelitian Sosial, Dasar-Dasar dan Aplikasi, Jakarta: CV Rajawali,1992.
Giddens, Anthony, dkk., Sosiologi, Sejarah dan Berbagai Pemikirannya, Terj. Ninik Rochani, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004.
Glasnes, Peter E., Sosiologi Sekulerisasi Suatu Kritik Konsep, Terj. Muchtar Zoerni, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM, 1987.
Haedari, Amin, dkk., Masa Depan Pesantren, dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global, Jakarta: IRD Prses, 2004, Cet. I.
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
_______, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995, 25. Lihat juga M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, Jakarta: Bumi Aksara, 2000.
Ismail SM, dkk., Dinamika Pesantren dan Madrasah, Yogyakarta: Kerjasama Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang dengan Pustaka Pelajar, 2002.
Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia, Rekonstruksi Sejarah untuk Aksi, Malang: UMM Press, 2006, Cet. II.
Madjid, Nurcholis, Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina, 1997, Cet. I.
_______, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta: Paramadina, 1997, Cet. I.
_______, Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Islam, Jakarta: P3M, 1985.
Mahfud, Sahal, Nuansa Fiqih Sosial, Yogyakarta: LKiS Bekerja Sama Dengan Pustaka Pelajar, 1994.
_______, Pesantren Mencari Makna, Jakarta: Fatma Press, 1999, Cet.1.
Majjah, Ibnu, Sunan Ibnu Majjah, Juz I, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Mas’udi, Masdar F. (Ed.), Teologi Tanah, Jakarta: P3M dan Yapika, 1994, 29.
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1994.
Masyhud, M. Sulton, dkk., Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta: Diva Press, 2003, Cet. I.
Muchtar, Isfandi, Metodologi Pengajaran Agama dalam PBM-PAI di Sekolah: Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar PAI, Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo bekerja sama Pustaka Pelajar Yogyakarta, 1998, Cet. I.
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Nasution, Asas-asas Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara, 2001, Cet. IV.
Nasution, S., Pengembangan Kurikulum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990, Cet.III.
Ningrat, Koentjara, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1991.
Poerbakawatja, R. Soogarda dan AH. Harahap, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung 1982, Cet.III.
Poerwadarminta, WJS., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Depdikbud, 1990.
Profil Pondon pesantren Futuhiyyah Mranggen, 2007.
Qomar, Mujamil, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga.
Ratim, Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001.
Ritzer, George dan Dauglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Terj. Alimandan, Jakarta: Kencana, 2004.
Saidi, Ridwan, Pemuda Islam dalam Dinamika Politik Bangsa 1925-1984, Jakarta: Rajawali Press, 1984.
Saifudin Anwar, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, Cet. I.
Sejarah Seabad Pondok Pesantren Futuhiyyah, Demak: Team Panitia Seabad Pondok Pesantren Futuhiyyah, 2001.
Siradj, Said Agil, et.al, Pesantren Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.
Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, Jakarta: Rineka Cipta, 1995.
Soekanto, Soryono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997, Cet. XXIII.
Subagyo, P. Joko, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1991.
Sudjana, Nana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, Bandung: Sinar Baru, 1996.
Tim Penyusun, Kamus Besar Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, Cet. III.
Tim Walisongo Research Institute WRI, Bunga Rampai Psikologi dan Pembelajaran, Semarang: WRI dan Basic Education Project BEP, 2001.
Usa, Muslih, Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991.
Wahib, Abdurrahman, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Ed. Kacung Maridjan dan ma’mun Murod al-Brebery, Jakarta: Grasindo, 1999, 81-83.
_______, Bunga Rampai Pesantren, t.tp: CV. Dharma Bhakti, t.t.
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, Pendidikan Alternatif Masa Depan, Jakarta: Gema Insani Press, 1997, Cet. I.
Witting, Arno F., Psychology of Learning, USA: Mc. Graw Hill, 1981.
Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Kritik Nur Cholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, Quantum Teaching, 2005, Cet. II.
Ziemiek, Manfred, Pesantren dalam Perubahan Sosial, Jakarta: P3M, 1986, Cet. I.