TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENCANTUMAN KLAUSULA …eprints.unram.ac.id/1306/1/SKRIPSI_NUR ANITA...
Transcript of TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENCANTUMAN KLAUSULA …eprints.unram.ac.id/1306/1/SKRIPSI_NUR ANITA...
i
TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENCANTUMAN KLAUSULA
EKSONERASI DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK
(Studi Kasus Bank Mandiri Kota Mataram)
SKRIPSI
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
untuk mencapai derajat S-1 pada
Program Studi Ilmu hukum
Oleh :
NUR ANITA MAHRATUN
D1A014252
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2018
ii
TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENCANTUMAN KLAUSULA
EKSONERASI DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK
(STUDI KASUS BANK MANDIRI KOTA MATARAM)
Oleh:
NUR ANITA MAHRATUN
D1A014252
Menyetujui,
Pembimbing Pertama, Pembimbing Kedua,
Dr. Aris Munandar, SH., M.Hum. Rahmawati Kusuma, SH., M.H,.
NIP.19610610 198703 1 001 NIP.19830426 200812 2 004
iii
SKRIPSI INI TELAH DISEMINARKAN DAN DIUJI
PADA TANGGAL : .........................................................
Oleh :
DEWAN PENGUJI
Ketua,
Dr. Aris Munandar, SH., M.Hum. (______________________)
NIP.19610610 198703 1 001
Anggota I,
Rahmawati Kusuma, SH., M.H. (______________________)
NIP.19830426 200812 2 004
Anggota II,
Prof. Dr. H. Salim HS, SH., MS (______________________)
NIP.19600408198603 1 004
Mengetahui,
Muhammad Umar, SH., M.H.
NIP.19521231198403 1 104
iv
SKRIPSI INI TELAH DITERIMA DAN DISAHKAN OLEH FAKULTAS
HUKUM UNIVERSITAS MATARAM
PADA TANGGAL : .......................................
Dekan,
Prof. Dr. H. Lalu Husni, SH., M.Hum.
NIP.19621231198803 1 010
v
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, atas segala limpahan hidayah, rahmat, nikmat
beserta karunia-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENCANTUMAN KLAUSULA
EKSONERASI DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK (STUDI KASUS
BANK MANDIRI KOTA MATARAM) sebagai salah satu persyaratan akademis
dalam rangka memperoleh gelar kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Mataram.
Sholawat serta salam tak lupa dan selalu tercurahkan kepada junjungan
alam Nabi besar kita Muhammad SAW, kepada isteri-isteri beliau, kepada para
sahabat dan semua kaum muslimin yang telah gigih memperjuangkan trgaknya
dakwah Islamiyah. Semoga mereka mendapat tempat yang baik disisi Allah SWT.
Dalam kesempatan ini pula penyusun tidak lupa mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Bapak Prof. H. Lalu Husni, S.H., M.Hum selaku dekan Fakultas Hukum
Universitas Mataram.
2. Bapak Muhammad Umar, SH., M.H., selaku ketua bagian Hukum Perdata
Fakultas Hukum Universitas Mataram.
3. Bapak Dr. Aris Munandar, SH., M.Hum. selaku Pembimbing Pertama
yang telah berkenan meluangkan waktunya dan memberikan masukan-
masukan yang sangat membangun bagi penyusun sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini.
vi
4. Ibu Rahmawati Kusuma, SH., M.H., selaku Pembimbing Kedua yang telah
berkenan meluangkan waktunya dan memberikan masukan-masukan yang
sangat membangun bagi penyusun sehingga dapat menyelesaikan skripsi
ini.
5. Bapak Prof. Dr. H. Salim HS, SH., MS selaku Penguji yang telah berkenan
meluangkan waktunya dan memberikan masukan-masukan yang sangat
membangun bagi penyusun sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
6. Kepada kedua orangtua tercinta Hasan dan Nurhaidah yang selalu
memberikan Do’a dan semangat kepada penyusun serta tidak pernah
bosan mendengarkan keluh kesah penyusun dalam menyelesaikan skripsi
ini.
7. Kepada saudara-saudaraku tersayang Nuraini, Sry Wahyuningsih, Andi
Wahyudin, Yuli Yanti, Bahrul Ulwan, dan Yaser Ainulhaq yang selalu
memberikan suntikan dana sehingga penyusun semangat untuk cepat
menyelesaikan skripsi ini.
8. Kepada keponakan-keponakanku yang lucu Intan, April, Naura, Rizky dan
Nabil yang selalu menghibur disaat penyusun harus menyelesaikan revisi-
revisi yang cukup melelahkan.
9. Kepada Nora Ningsih sahabat sekaligus saudara yang selalu perduli, selalu
tolongin, yang selalu semangatin, yang tidak pernah mengeluh disaat
minta bantuan, yang selalu ada disaat susah senang, yang paling ngerti dan
sahabat terbaik yang pernah ada.
vii
10. Kepada Rini Aryani Putri yang benar-benar banyak membantu penyusun
untuk menyelesaikan skripsi ini, yang selalu siap disaat penyusun butuh
bantuan, yang selalu selalu memberi semangat, dan selalu menghibur.
11. Kepada Nurmayanti Sundari yang selalu baik, yang kerjain apa-apa harus
selalu samaan, yang selalu ada, yang selalu menghibur dengan suara
ketawa menggelegarnya.
12. Kepada Rahmahwati Silvia Riani yang selalu menghibur dengan lawakan-
lawakan garingnya, yang selalu membantu dan yang selalu baik.
13. Kepada Nurul Aprianti yang begitu banyak memberikan masukan-
masukan dan motivasi, yang selalu memberi semangat dan yang selalu
banyak membantu penyusun dalam menyelesaikan skripsi ini.
14. Kepada Ragil Ramadony suaminya Nora Ningsih yang baik hati tidak
sombong dan rajin menabung, yang selalu ada dan yang selalu tolongin.
15. Kepada anggota grup Ghibah Wining, Mba Intan, Yura, Mala yang selalu
memberikan semangat kepada penyusun.
16. Kepada bang Muh. Rasyddin dkk, yang sudah meluangkan waktunya,
yang sangat baik dan sabar memberikan informasi-informasi dan
masukan-masukan yang bersifat membangun dalam menyelesaikan skripsi
ini.
17. Kepada teman-teman seperjuangan FH-E Mega, Putri, Inang, Rimbun,
Risa, Icha, Dita, Nizia, Nindy, Eka, Ian, Yoyok, Reza, Raka dan teman-
teman lainnya yang tidak bisa penyusun sebutkan satu per satu.
viii
18. Kepada semua pihak yang turut membantu selesainya skripsi ini yang
tidak bisa penyusun sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan hukum ini masih jauh
dari kata sempurna, mengingat akan kemampuan dan keterbatasan penulis. Oleh
karena itu penulis mengharapkan segala kritik dan saran yang bersifat
membangun dari semua pihak untuk kesempurnaan penulisan hukum ini.
Mataram, Januari 2018
ix
RINGKASAN
Tinjauan Yuridis Tentang Pencantuman Klausula Eksonerasi dalam
Perjanjian Kredit Bank (Studi Kasus Bank Mandiri Kota Mataram)
Nur Anita Mahratun
D1A014252
Pembimbing pertama, Pembimbing Kedua,
Dr. Aris Munandar, SH., M.Hum. Rahmawati Kusuma,
SH., M.H.
Setiap orang atau badan usaha yang berusaha meningkatkan kebutuhan
konsumtif dan produktif sangat memerlukan pendanaan salah satunya yaitu,
dalam bentuk kredit, mengingat modal yang dimiliki perusahaan atau perorangan
biasanya tidak mampu mencukupi dalam mendukung peningkatan usahanya atau
mencukupi kebutuhan lainnya.
Dalam perkembangannya kredit telah memberikan berbagai kemudahan
dalam lalu lintas ekonomi baik di desa maupun di kota, dalam bidang
perdagangan, perhubungan, pengembangan usaha, pembangunan perumahan dan
pemukiman dan dalam lalu lintas pasar modal. Kredit memiliki peranan yang
sangat penting dalam pembangunan ekonomi karena kredit merupakan penunjang
pembangunan dan merupakan urat nadi bagi para pengusaha. Hal tersebut selaras
dengan tujuan pemberian kredit di Indonesia adalah untuk mensukseskan
pembangunan, meningkatkan aktivitas perusahaan, memperoleh laba agar
kelangsungan hidup perusahaan terjamin dan dapat memperluas usahanya.
Perjanjian kredit salah satu asasnya berlandaskan pada asas kebebasan
berkontrak. Dalam asas kebebasan berkontrak terkandung suatu pandangan bahwa
orang bebas untuk melakukan atau tidak melakukan perjanjian, bebas dengan
siapa ia mengadakan perjanjian, bebas tentang apa yang ingin diperjanjikan dan
bebas untuk menetapkan syarat-syarat perjanjian, yang dimana hal ini pada
akhirnya akan menimbulkan ketidakadilan bagi debitur.
Berdasarkan pengertian tersebut, berarti bahwa para pihak dapat membuat
perjanjian apa saja mengenai bentuk dan isinya, asal tidak bertentangan dengan
Undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Namun, seringkali substansi
perjanjian tersebut lebih menonjolkan hak-hak dari pihak kreditur yang cenderung
menguntungkan kreditur sehingga melemahkan pihak debitur. Hal ini dapat dilihat
bahwa dalam perjanjian kredit seringkali mencantumkan perjanjian baku
(standard contract) yang didalamnya terdapat klausula yang banyak mengalihkan
beban tanggung gugat dari pihak perancang perjanjian baku kepada pihak
lawannya.
Namun perlu diketahui bahwa yang menjadi permasalahan dalam
perjanjian baku adalah bukan pada perjanjian baku, malainkan terdapatnya
perjanjian baku (standard contract) yang bersifat eksonerasi (klausula
eksonerasi).
x
Pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian baku tentu saja
bertentangan dengan Undang-Undang yang berlaku. Dengan latar belakang
tersebut dapat dirumuskan masalah yaitu, “Akibat hukum terhadap perjanjian
kredit yang mencantumkan klausula eksonerasi dan bentuk perlindungan hukum
bagi debitur terhadap pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit
Bank Mandiri Kota Mataram”.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum Normatif-Empiris. Penelitian
normatif mengkonsepkan hukum sebagai apa yang tertulis dalam peraturan
perundang-undangan (law in books). Sedangkan penelitian empiris yaitu
penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji dan melihat secara langsung
penerapan peraturan perundang-undangan di lapangan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perjanjian kredit di Bank Mandiri
Kota Mataram menerapkan klausula eksonerasi yang dilarang dalam Pasal 18
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Pasal
22 ayat (3) POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Jasa
Keuangan. Akibat hukum dari penerapan klausula eksonerasi dalam perjanjian
kredit bank di Bank Mandiri Kota Mataram, berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata
tentang syarat sahnya perjanjian tidak memenuhi syarat ke empat mengenai causa
yang halal (unsur objektif) sebab isi perjanjian kreditnya mengandung klausula
eksonerasi yang bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan yang
berlaku sehingga menimbulkan akibat hukum berupa batal demi hukum,
berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen berakibat batal demi hukum karena telah melanggar ketentuan dalam
Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Demikian juga berdasarkan POJK Nomor
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan berakibat batal
demi hukum karena telah melanggar ketentuan dalam dan Pasal 22 ayat (3) POJK
Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan.
Perlindungan hukum bagi debitur atas penggunaan klausula eksonerasi
meliputi: Perlindungan preventif, yang bersifat mencegah permasalahan yang
mungkin timbul akibat ditandatanganinya perjanjian kredit bank, terdapat dalam
Pasal 8 ayat (2) dan Pasal 11 Undang-undang Perbankan serta di Pasal 2 Undang-
Undang Perlindungan Konsumen. Perlindungan bersifat represif, perlindungan
yang diberikan terhadap debitur setelah terjadinya permasalahan dan bersifat
menanggulanginya. Terdapat dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat
menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa
antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di
lingkungan peradilan umum. Dalam Pasal 1 butir 11 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, bahwa penyelesaian melalui badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan
menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen seta Bank Indonesia
menerbitkan peraturan Bank Indonesia (PBI) No.8/5/PBI/2006 tentang Mediasi
Perbankan.
xi
TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENCANTUMAN KLAUSULA
EKSONERASI DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK
(Studi Kasus Bank Mandiri Kota Mataram)
Nur Anita Mahratun
D1A014252
Fakultas Hukum
Universitas Mataram
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akibat hukum dan bentuk
perlindungan hukum terhadap perjanjian baku yang mengandung klausula
eksonerasi dalam perjanjian kredit yang dibuat oleh Bank Mandiri Kota Mataram.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif empiris.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa akta perjanjian kredit di Bank
Mandiri Kota Mataram mengandung klausula eksonerasi. Akibat hukum dari
penerapan klausula eksonerasi tersebut berdasarkan Pasal 1337 KUHPerdata,
Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen serta Pasal 22 ayat (1) dan ayat (3) POJK Nomor
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan dapat berakibat
batal demi hukum. Perlindungan hukumnya berupa perlindungan hukum preventif
dan represif.
Kata kunci : perjanjian kredit, perjanjian baku, klausula eksonerasi
Juridical Review About Inclusion of Exoneration Clause in Bank Credit
Agreement (Case Study of Bank Mandiri of Mataram City)
ABSTRACT
This study aims to determine the effect of law and the form of legal
protection against standard agreements containing exoneration clauses in credit
agreements made by Bank Mandiri Mataram City. This research uses empirical
normative law research method.
The results showed that the credit agreement agreement in Bank Mandiri
Kota Mataram contains exoneration clause. The legal consequences of the
application of the exoneration clause under Article 1337 of the Civil Code, Article
18 paragraph (1) and paragraph (2) of Law Number 8 Year 1999 on Consumer
Protection and Article 22 paragraph (1) and paragraph (3) POJK Number 1 /
POJK .07 / 2013 on Consumer Protection of Financial Services may be null and
void. Legal protection in the form of preventive and repressive legal protection.
Keywords : credit dealing, standard dealing, exoneration of clausal.
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL .................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING ................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN DEWAN PENGUJI ........................................ iii
HALAMAN PENGESAHAN DEKAN ........................................................... iv
KATA PENGANTAR ..................................................................................... v
RINGKASAN .................................................................................................. ix
ABSTRAK ....................................................................................................... xi
DAFTAR ISI .................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Perumusan Masalah....................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian........................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian......................................................................... 7
E. Ruang Lingkup Penelitian ............................................................. 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1. Tinjauan Perjanjian Pada Umumnya ............................................. 9
a. Pengertian Perjanjian ............................................................. 9
b. Unsur-Unsur Perjanjian .......................................................... 11
c. Bentuk-bentuk Perjanjian ....................................................... 12
d. Asas-asas Hukum Perjanjian .................................................. 13
2. Tinjauan Perjanjian Baku pada umumnya .................................... 18
a. Pengertian Perjanjian Baku .................................................... 18
xiii
b. Ciri-ciri Perjanjian Baku ........................................................ 19
c. Macam-macam Perjanjian Baku ............................................ 19
3. Tinjauan Klausula Eksonerasi Pada Umumnya ............................ 20
4. Tinjauan Umum Tentang Kredit ................................................... 24
a. Pengertian Kredit .................................................................. 24
b. Unsur-unsur Kredit................................................................. 26
c. Tujuan dan Fungsi Kredit ...................................................... 26
d. Jenis-jenis Kredit .................................................................... 27
5. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Hukum Bagi Debitur ..... 28
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian .............................................................................. 30
B. Metode Pendekatan ....................................................................... 30
C. Jenis dan Sumber Data .................................................................. 31
D. Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 32
E. Analisis Data ................................................................................. 33
BAB IV PEMBAHASAN
A. Akibat hukum terhadap perjanjian kredit bank yang
mencantumkan klausula eksonerasi .............................................. 34
B. Bentuk perlindungan hukum bagi debitur terhadap pencantuman
klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit.................................. 52
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................... 69
B. Saran .............................................................................................. 71
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
F. Latar Belakang
Setiap orang atau badan usaha yang berusaha meningkatkan
kebutuhan konsumtif dan produktif sangat memerlukan pendanaan salah
satunya yaitu, dalam bentuk kredit, mengingat modal yang dimiliki
perusahaan atau perorangan biasanya tidak mampu mencukupi dalam
mendukung peningkatan usahanya atau mencukupi kebutuhan lainnya.1
Masyarakat memiliki kebutuhan yang beragam, akan tetapi kebutuhan
itu tidak selalu berbanding lurus dengan jumlah ketersediaan alat untuk
memenuhi kebutuhan tersebut. Oleh karena itu bantuan permodalan atau
keuangan dari pihak kreditur sangat membantu untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat.
Dalam perkembangannya kredit telah memberikan berbagai
kemudahan dalam lalu lintas ekonomi baik di desa maupun di kota, dalam
bidang perdagangan, perhubungan, pengembangan usaha, pembangunan
perumahan dan pemukiman dan dalam lalu lintas pasar modal. Kredit
memiliki peranan yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi karena
kredit merupakan penunjang pembangunan dan merupakan urat nadi bagi para
pengusaha. Hal tersebut selaras dengan tujuan pemberian kredit di Indonesia
adalah untuk mensukseskan pembangunan, meningkatkan aktivitas
1Mohammad Wisno Hamin, “Perlindungan Hukum Bagi Nasabah (Debitur) Bank
sebagai Konsumen Pengguna Jasa Bank Terhadap Risiko dalam Perjanjian Kredit Bank”, Jurnal
Lex Crimen,Vol. VI/No.1/Jan-Feb/2017, hlm. 46
2
perusahaan, memperoleh laba agar kelangsungan hidup perusahaan terjamin
dan dapat memperluas usahanya.2
Kata kredit berasal dari bahasa Latin creditus yang merupakan bentuk
past participle dari kata credere yang berarti to trust atau faith. Kata trust itu
sendiri berarti kepercayaan.3 Maksud dari kata kepercayaan bahwa si pemberi
kredit (kreditur) percaya kepada si penerima kredit (debitur) bahwa kredit
yang disalurkannya akan dikembalikan sesuai perjanjian dan syarat-syarat
yang telah disetujui bersama. Sedangkan bagi si penerima kredit (debitur)
sebagai penerima kepercayaan mempunyai kewajiban untuk mengembalikan
(membayar kembali) kredit yang bersangkutan sesuai dengan jangka waktu
yang telah ditetapkan. Dengan demikian kredit merupakan usaha pemberian
bantuan permodalan atau keuangan berupa barang, jasa atau uang. Dalam
kredit para pihak yaitu kreditur dan debitur membuat perjanjian kredit yang
mencakup hak dan kewajiban masing-masing pihak yang harus dilaksanakan
selama kredit tersebut berlangsung sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan.
Saat ini belum ada aturan yang lebih khusus yang mengatur perjanjian
kredit. Hukum perjanjian yang diterapkan dalam praktik hukum bagi
masyarakat Indonesia secara nasional pada saat ini, umumnya masih
mengandalkan hukum perjanjian sebagaimana yang termuat di dalam buku
2Rudyanti Dorotea Tobing, Hukum Perjanjian Kredit Konsep Perjanjian Kredit Sindikasi
yang Berasaskan Demokrasi Ekonomi, Laksbang Grafika, Yogyakarta, 2014, hlm. 14 3Ibid, hlm. 178
3
ketiga Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disingkat BW).4 Oleh karena itu
dalam melakukan perjanjian kredit berpedoman pada Pasal 1338 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang memuat asas kebebasan berkontrak.
Menurut Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang
bagi mereka yang membuatnya”.
Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang sifatnya universal
dan relevan hingga dewasa ini serta dikenal hampir dalam semua sistem
hukum di setiap negara. Di dalam asas kebebasan berkontrak terkandung
suatu pandangan bahwa orang bebas untuk melakukan atau tidak melakukan
perjanjian, bebas dengan siapa ia mengadakan perjanjian, bebas tentang apa
yang ingin diperjanjikan dan bebas untuk menetapkan syarat-syarat
perjanjian. Sekalipun asas kebebasan berkontrak diakui oleh KUH Perdata
hakikatnya banyak dibatasi oleh KUH Perdata itu sendiri, tetapi daya kerjanya
masih sangat longgar. Kelonggaran ini telah menimbulkan ketimpangan-
ketimpangan dan ketidakadilan bila para pihak yang membuat perjanjian tidak
sama kuat kedudukannya atau mempunyai bargaining position yang sama.5
Perjanjian kredit yang salah satu asasnya berlandaskan pada asas kebebasan
berkontrak pada akhirnya akan menimbulkan ketidakadilan bagi debitur.
Berdasarkan pengertian tersebut, berarti bahwa para pihak dapat
membuat perjanjian apa saja mengenai bentuk dan isinya, asal tidak
bertentangan dengan Undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.
4Ali Imron, Perubahan Keadaan dan Fungsi Iktikad Baik dalam Pelaksanaan Perjanjian,
Cet.1, Bayumedia Publishing, Malang, 2008,hlm.2 5Rudyanti Dorotea Tobing, Op.cit, hlm.160
4
Namun, seringkali substansi perjanjian tersebut lebih menonjolkan hak-hak
dari pihak kreditur yang cenderung menguntungkan kreditur sehingga
melemahkan pihak debitur. Hal ini dapat dilihat bahwa dalam perjanjian
kredit seringkali mencantumkan perjanjian baku (standard contract) yang
didalamnya terdapat klausula yang banyak mengalihkan beban tanggung
gugat dari pihak perancang perjanjian baku kepada pihak lawannya.
Menurut Ahmad Miru perjanjian baku adalah perjanjian yang
mengikat para pihak yang menandatanganinya, walaupun harus diakui bahwa
klausula yang terdapat dalam perjanjian baku banyak mengalihkan beban
tanggung gugat dari pihak perancang perjanjian baku kepada pihak lawannya,
namun setiap kerugian yang timbul dikemudian hari akan tetap ditanggung
oleh para pihak yang harus bertanggung gugat berdasarkan klausula perjanjian
tersebut, kecuali jika klausula tersebut merupakan klausula yang dilarang
berdasarkan Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.6 Namun perlu diketahui bahwa yang menjadi
permasalahan dalam perjanjian baku adalah bukan pada perjanjian baku,
malainkan terdapatnya perjanjian baku (standard contract) yang bersifat
eksonerasi (klausula eksonerasi).
Dalam praktiknya penggunaan perjanjian baku diikuti dengan adanya
pencantuman klausula eksonerasi biasanya berisi pengalihan tanggungjawab,
pembebanan tanggungjawab atau pembebasan tanggungjawab kreditur pada
debitur. Klausula eksonerasi adalah syarat yang secara khusus membebaskan
6Ahmad Miru dan Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2004, hlm. 118
5
pengusaha dari tanggung jawab terhadap akibat yang merugikan, yang timbul
dari pelaksanaan perjanjian.7 Klausul tersebut meyebabkan hubungan hukum
antar para pihak seringkali melemahkan posisi debitur karena secara sepihak
kreditur sudah menyiapkan satu kondisi perjanjian dengan adanya perjanjian
baku, yang syarat-syaratnya secara sepihak ditentukan pula oleh pihak
kreditur.8
Klausula eksonerasi ini sesungguhnya diatur pula dalam KUH Perdata,
yaitu pada Pasal 1493 dan Pasal 1494 KUH Perdata.9 Di dalam Pasal 1493
menyatakan bahwa:
“Kedua belah pihak, dengan persetujuan-persetujuan istimewa, boleh
memperluas atau mengurangi kewajiban yang ditetapkan oleh Undang-
undang ini, bahkan mereka boleh mengadakan persetujuan bahwa penjual
tidak wajib menanggung apapun”.
Pasal 1494 KUH Perdata kemudian memberikan pembatasan, yaitu
bahwa:
“Meskipun telah diperjanjikan bahwa penjual tidak akan menanggung sesuatu
apa pun, ia tetap bertanggungjawab atas akibat dari suatu perbuatan yang
dilakukannya, segala persetujuan yang bertentangan dengan ini adalah batal”.
Berdasarkan ketentuan Pasal-pasal dalam KUH Perdata tersebut jelas
bahwa dalam KUH Perdata pun klausula yang isinya berupa pelepasan
tanggungjawab atau pengalihan tanggungjawab tidak boleh dibuat dan
dianggap batal.
7Nurjannah et. All., “Penerapan Klausul Eksonerasi dan Akibat Hukumnya dalam
Perjanjian Pembiayaan Musyarakah pada Bank Syariah (Studi Putusan Pengadilan Agama
Nomor 967/Pdt.G/2012/PA.Mdn)”, USU Law Jurnal, Vol.4 No. 1, Januari 2014, hlm. 140 8Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Cet. 4, Sinar Grafika,
Jakarta, 2014, hlm. 12 9Danty Listiawati, “Klausula Eksonerasi dalam Perjanjian Standar dan Perlindungan
Hukum Bagi Konsumen,” (Skripsi Universitas Sebelas Maret Surakarta), Surakarta, 2015, hlm. 128
6
Masalah perjanjian baku yang disertai dengan pencantuman klausula
eksonerasi memang mendapat perhatian yang cukup luas baik dari pemerintah
maupun masyarakat. Hal ini dikarenakan posisi para pihak yang tidak
seimbang. Kedudukan para pihak yang tidak seimbang itulah yang
dimanfaatkan oleh pihak kreditur untuk membuat klausul yang memberatkan
konsumen.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul Tinjauan Yuridis tentang Pencantuman Klausula
Eksonerasi dalam Perjanjian Kredit Bank (Studi kasus Bank Mandiri
Kota Mataram).
G. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan
dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimanakah akibat hukum terhadap perjanjian kredit yang
mencantumkan klausula eksonerasi ?
2. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum bagi debitur terhadap
pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit?
H. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin
dicapai pada penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap perjanjian kredit yang
mencantumkan klausula eksonerasi.
7
2. Untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan hukum yang tepat bagi
debitur terhadap pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit.
I. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis, diharapkan dapat menjadi pedoman sekaligus sebagai
bahan masukan bagi perkembangan ilmu hukum khususnya hukum
perdata dalam menganalisis permasalahan yang menyangkut tentang
pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit berdasarkan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 1/POJK.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
2. Manfaat Praktis, dapat dijadikan acuan lebih lanjut bagi para praktisi
hukum (baik polisi, jaksa, hakim, lawyer/pengacara) dalam menganalisis
persoalan yang menyangkut tentang pencantuman klausula eksonerasi
dalam perjanjian kredit berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen.
J. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian penulis adalah hukum perdata sebagai
bagian dari studi umum hukum yang merupakan salah satu disiplin ilmu
pengetahuan. Di dalam melakukan suatu penelitian, diperlukan adanya
pembatasan yang tegas dan jelas terhadap objek maupun pokok
permasalahannya sehingga penelitian lebih terarah.
8
Pembatasan masalah dalam skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis
tentang Pencantuman Klausula Eksonerasi dalam Perjanjian Kredit Bank
(Studi kasus Bank Mandiri Kota Mataram)” dirumuskan untuk membahas hal-
hal yang berkaitan dengan akibat hukum terhadap perjanjian kredit yang
mencantumkan klausula eksonerasi dan bentuk perlindungan hukum bagi
debitur terhadap pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6. Tinjauan Perjanjian Pada Umumnya
e. Pengertian Perjanjian
Hukum kontrak berasal dari bahasa Inggris, yaitu contracts.
Sedangkan dalam bahasa Belanda, disebut dengan overeenkomst
(perjanjian).10
Pengertian perjanjian atau kontrak dalam Pasal 1313 KUH Perdata,
yaitu:
“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.
Abdulkadir Muhammad mengungkapkan bahwa ketentuan Pasal
1313 KUH Perdata sebenarnya kurang begitu memuaskan, sehingga dalam
Pasal 1313 KUH Perdata tersebut terdapat kelemahan-kelemahan, yaitu:11
1) Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini diketahui perumusan “satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya pada satu orang atau lebih
lainnya”. Kata kerja “mengikat” sifatnya hanya datang dari satu pihak
saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusan itu “saling
mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara pihak-pihak;
2) Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Dalam pengertian
“perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa surat
kuasa (zaakwaarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatige
daad) yang tidak mengandung suatu konsensus, seharusnya dipakai kata
“persetujuan”.
3) Pengertian perjanjian terlalu luas, karena mencakup juga pelangsungan
perkawinan, janji kawin yang diatur dalam lapangan hukum keluarga.
Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara kreditur dan debitur
dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki oleh
10
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. 8, Sinar
Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 25 11
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999,
hlm. 78
10
buku ketiga KUH Perdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat
kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal.
4) Tanpa menyebut tujuan. Dalam perumusan Pasal ini tidak dijelaskan
tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri
itu tidak jelas untuk apa.
Menurut R. Soeroso, perjanjian dapat diartikan dari Pasal 1313 ayat
(1) KUH Perdata, dapat diketahui bahwa suatu perjanjian adalah suatu
peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua
orang atau lebih saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”.12
Menurut doktrin (teori lama) yang disebut perjanjian adalah:
“Perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat
hukum.”
Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang
diartikan dengan perjanjian, adalah:
“Suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata
sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”.
Teori baru tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata,
tetapi juga harus dilihat perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya.
Ada tiga tahap dalam membuat perjanjian menurut teori baru yaitu:13
1) Tahap pracontractual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan;
2) Tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak
antara para pihak;
3) Tahap post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian.
Dalam praktiknya, para pihak dalam kontrak bukan hanya orang
perorangan yang membuat kontrak, tetapi termasuk juga badan hukum yang
merupakan subjek hukum.
12
R. Soeroso, Perjanjian Di Bawah Tangan Pedoman Praktis Pembuatan dan Aplikasi
Hukum, Ed. 1, Cet.2, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm.4 13
Salim H.S, Op.cit, hlm. 26
11
Menurut Salim H.S, bahwa kontrak atau perjanjian merupakan:14
“Hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek
hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan, di mana subjek
hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum
yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai
dengan yang telah disepakatinya.”
f. Unsur-Unsur perjanjian
Unsur-unsur dalam suatu perjanjian atau kontrak, yaitu:15
1) Ada pihak-pihak, minimal dua orang yang terdiri dari subjek hukum
berupa manusia kodrati dan badan hukum (recht person). Dalam hal
para pihak manusia, maka orang tersebut harus telah dewasa dan cakap.
2) Ada persetujuan antara para pihak berdasarkan kebebasan untuk
mengadakan tawar-menawar (bargaining) atau konsensus dalam suatu
perjanjian.
3) Ada satu atau beberapa tujuan tertentu yang ingin dicapai, yang tidak
boleh bertentangan dengan Undang-undang, ketertiban umum,
kebiasaan yang diakui masyarakat dan kesusilaan.
4) Ada prestasi yang harus dilaksanakan oleh satu pihak dan dapat dituntut
oleh pihak lainnya, begitu juga sebaliknya.
5) Ada bentuk tertentu, yang dapat dibuat secara tertulis dalam suatu akta,
autentik maupun di bawah tangan, bahkan dapat dibuat secara lisan.
6) Ada syarat-syarat tertentu menurut Undang-undang, agar suatu kontrak
yang dibuat menjadi sah.
Di dalam sistem common law, kontrak dimaknai sebagai persetujuan
(agreement) antara pihak satu yang membuat penawaran (offer) dan pihak
lainnya yang melakukan penerimaan atas penawaran tersebut (acceptance).
Tanpa adanya kesepakatan bersama (mutual assent), maka tidak ada
kontrak. Konsep ini sebenarnya sama dengan konsep kesepakatan berdasar
14
Ibid, hlm. 27 15
Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsafat,
Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), Cet. II, CV. Mandar
Maju, Bandung, 2016, hlm. 22
12
hukum perjanjian Indonesia dan Belanda. Dengan konsep tersebut, bahwa
unsur utama dalam kesepakatan adalah penawaran dan penerimaan.16
g. Bentuk-bentuk Perjanjian
Bentuk perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu
tertulis dan lisan. Perjanjian tertulis adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh
para pihak dalam bentuk tulisan, sedangkan perjanjian lisan adalah suatu
perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam wujud lisan (cukup
kesepakatan para pihak). Ada tiga bentuk perjanjian tertulis sebagaimana
dikemukakan berikut ini.17
1) Perjanjian dibawah tangan yang ditandatangani oleh para pihak yang
bersangkutan saja. Perjanjian semacam itu hanya mengikat para pihak
dalam perjanjian, tetapi tidak mempunyai kekuatan mengikat pihak
ketiga. Dengan kata lain, jika perjanjian tersebut disangkal pihak
ketiga, maka para pihak atau salah satu pihak dari perjanjian tersebut
berkewajiban untuk mengajukan buktu-bukti yang diperlukan untuk
membuktikan bahwa keberatan pihak ketiga dimaksud adalah tidak
berdasar dan tidak dapat dibenarkan.
2) Perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisir tanda tangan para
pihak. Fungsi kesaksian notaris atas suatu dokumen semata-mata
hanya untuk melegalisir kebenaran tanda tangan para pihak. Akan
tetapi kesaksian tersebut tidaklah mempengaruhi kekuatan hukum dari
isi perjanjian. Salah satu pihak mungkin saja menyangkal isi
perjanjian. Namun, pihak yang menyangkal tersebut adalah pihak yang
harus membuktikan penyangkalannya.
3) Perjanjian yang dibuat di hadapan dan oleh notaris dalam bentuk akta
notariel. Akta notariel adalah akta yang di buat di hadapan dan di
muka pejabat yang berwenang untuk itu. Pejabat yang berwenang
untuk itu adalah notaris, PPAT, dan lain-lain. Jenis dokumen ini
merupakan alat bukti yang sempurna bagi para pihak yang
bersangkutan maupun pihak ketiga.
16
Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan (Bagian
Pertama), Cet. 2, FH. UII Press, Yogyakarta, 2014, hlm. 67 17
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Cet. 9, Sinar Grafika, 2014, hlm.
166-167
13
h. Asas-asas Hukum Perjanjian
Asas-asas kontrak yang terkandung dalam Pasal 1338 KUH Perdata
yaitu sebagai berikut:
1) Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal
1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-
undang bagi mereka yang membuatnya”.
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk:18
a) Membuat atau tidak membuat perjanjian,
b) Mengadakan perjanjian dengan siapa pun,
c) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan
d) Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Dalam perkembangannya, ternyata kebebasan berkontrak dapat
menimbulkan ketidakadilan, karena untuk mencapai asas kebebasan
berkontrak harus didasarkan pada posisi tawar (bargaining position) para
pihak yang seimbang. Dalam kenyataannya hal tersebut sulit jika
dikatakan tidak mungkin dijumpai adanya kedudukan posisi tawar yang
betul-betul seimbang atau sejajar. Pihak yang memiliki posisi tawar yang
lebih tinggi seringkali memaksakan kehendaknya. Dengan posisi yang
demikian itu, ia dapat mendikte pihak lainnya untuk mengikuti
kehendaknya dalam perumusan isi perjanjian.19
18
Salim H.S, Op.cit, hlm.9 19
Ridwan Khairandy, Op.cit, hlm. 88
14
2) Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat
(1) KUH Perdata. Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat
sahnya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas
konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada
umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya
kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan persesuaian
antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan
hukum Jerman. Di dalam hukum Germani tidak dikenal asas
konsensualisme, tetapi yang dikenal adalah perjanjian riil dan perjanjian
formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan
dilaksanakan secara nyata (kontan dalam hukum Adat). Sedangkan yang
disebut perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan
bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta autentik maupun akta di
bawah tangan). Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis
literis dan contractus innominat. Yang artinya bahwa terjadinya
perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas
konsensualisme yang dikenal dalam KUH Perdata adalah berkaitan
dengan bentuk perjanjian.20
Asas konsensualisme ini berkaitan dengan penghormatan
martabat manusia. Subekti menyatakan bahwa hal ini merupakan puncak
20
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyususnan Kontrak, Op.cit, hlm.10
15
peningkatan martabat manusia yang tersimpul dari pepatah Belanda “een
man een man, een word een word, yang maksudnya dengan
ditetapkannya perkataan seseorang, maka orang itu ditingkatkan
martabatnya sebagai manusia.21
3) Asas Pacta Sunt Servanda
Dasar teoritik mengikatnya kontrak bagi para pihak yang
umumnya dianut di negara-negara civil law dipengaruhi oleh hukum
Kanonik. Hukum Kanonik juga mengajarkan dan mengakui bahwa setiap
janji itu mengikat. Dari sinilah kemudian lahir prinsip pacta sunt
servanda. Dengan pacta sunt servanda orang harus mematuhi janjinya.
Dikaitkan dengan perjanjian para pihak yang membuat perjanjian harus
melaksanakan perjanjian yang mereka buat. Menurut asas ini
kesepakatan para pihak itu mengikat sebagaimana layaknya Undang-
undang bagi para pihak yang membuatnya.22
Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338
ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi:
“Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi
mereka yang membuatnya”.
Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian
hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt
servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus
menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak,
21
Ridwan Khairandy, Op.cit, hlm. 90 22
Ibid, hlm. 91
16
sebagaimana layaknya sebuah Undang-undang. Mereka tidak boleh
melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para
pihak.23
4) Asas Iktikad Baik (Goede Trouw)
Asas iktikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3)
KUH Perdata yang berbunyi:
“Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”.
Asas iktikad baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak
kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan
kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan yang baik dari
para pihak.24
Iktikad baik dalam kontrak dibedakan antara iktikad baik pra
kontrak (precontractual good faith) yang disebut juga sebagai iktikad
baik subjektif dan iktikad baik pelaksanaan kontrak (good faith on
contract performance) disebut iktikad baik objektif.
Iktikad baik pra kontrak, adalah iktikad yang harus ada pada saat
para pihak melakukan negosiasi. Iktikad baik pra kontrak ini bermakna
kejujuran (honesty). Iktikad baik ini disebut iktikad baik yang bersifat
subjektif, karena didasarkan pada kejujuran para pihak yang melakukan
negosiasi.
Iktikad baik pelaksanaan kontrak yang disebut sebagai iktikad
baik objektif mengacu kepada isi perjanjian. Isi perjanjian harus rasional
23
Salim H.S, Loc.cit 24
Ibid, hlm.10-11
17
dan patut. Isi kontrak adalah kewajiban dan hak para pihak yang
mengadakan kontrak, kewajiban dan hak tersebut harus rasional dan
patut. Iktikad baik pelaksanaan kontrak juga dapat bermakna
melaksanakan secara rasional dan patut.
5) Syarat Sahnya Perjanjian
Dalam hukum Eropa Kontinental, syarat sahnya perjanjian diatur
dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang menentukan empat syarat sahnya
perjanjian, yaitu sebagai berikut:25
a) Kesepakatan (Toesteming/Izin) Kedua Belah Pihak
Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian
pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak
lainnya. Yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu
tidak dapat dilihat/diketahui orang lain.
Pada dasarnya, cara yang paling banyak dilakukan oleh para
pihak, yaitu dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan secara
tertulis. Tujuan pembuatan perjanjian secara tertulis adalah agar
memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti
yang sempurna di kala timbul sengketa di kemudian hari.
b) Kecakapan Bertindak
Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan
untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah
perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang yang cakap
dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang
yang sudah dewasa atau telah berumur 21 tahun dan atau sudah
kawin.
c) Adanya Objek Perjanjian (Onderwerp der Overeenskomst)
Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi
objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah
apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak
kreditur. Prestasi terdiri atas:
(1) Memberikan sesuatu,
(2) Berbuat sesuatu, dan
(3) Tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata).
d) Adanya Causa yang Halal (Geoorloofde Oorzaak)
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian
oorzaak (causa yang halal). Di dalam Pasal 1337 KUH Perdata hanya
25
Ibid, hlm. 33-34
18
disebutkan causa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila
bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan dan ketertiban
umum.
Syarat yang pertama dan kedua disebut syarat subyektif, karena
menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat
ketiga dan keempat disebut syarat objektif, karena menyangkut objek
perjanjian. Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi maka
perjanjian itu dapat dibatalkan. Artinya bahwa salah satu pihak dapat
mengajukan kepada Pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang
disepakatinya. Syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi maka perjanjian
itu batal demi hukum. Artinya, bahwa dari semula perjanjian itu
dianggap tidak pernah ada.26
7. Tinjauan Perjanjian Baku pada umumnya
d. Pengertian Perjanjian Baku
Perjanjian baku dalam praktek dikenal dengan berbagai sebutan,
dalam bahasa Belanda perjanjian baku dikenal dengan istilah standard
contract atau standard voorwaarden. Hukum Inggris menyebutkan standard
contract, sedangkan Mariam Darus Badrulzaman menterjemahkannya
dengan istilah perjanjian baku.27
Menurut Munir Fuady, perjanjian baku adalah:28
Suatu perjanjian tertulis yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam
perjanjian tersebut, bahkan sering kali sudah tercetak dalam bentuk
formulir-formulir tertentu oleh salah satu pihak dan pihak lain tidak
26
Ibid, hlm. 34-35 27
Salim, H.S., Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUH Perdata, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2004, Hlm. 145 28
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Cet. 2, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 76
19
mempunyai kesempatan untuk mengubah klausula-klausula yang terdapat
dalam perjanjian tersebut.
Menurut Muhammad Syaifuddin pengertian kontrak baku adalah:29
Kontrak baku adalah kontrak yang dibuat secara sepihak dalam format
tertentu dan massal (banyak) oleh pihak yang mempunyai kedudukan dan
posisi tawar-menawar yang lebih kuat, yang di dalamnya memuat klausula-
klausula (pasal-pasal) yang tidak dapat dan tidak mungkin dirundingkan
atau diubah oleh pihak lainnya yang mempunyai kedudukan atau posisi
tawar-menawar yang lebih lemah selain menyetujui (take it) atau
menolaknya (leave it), yang bertujuan menghemat biaya, waktu dan tenaga
serta mempermudah praktik hukum perancangan dan pelaksanaan
kontraknya.
e. Ciri-ciri Perjanjian Baku
Secara konkrit, kontrak baku yang berkembang dalam praktik
hukum kontrak mempunyai ciri-ciri, sebagai berikut:30
1) Proses pembuatannya secara sepihak oleh pihak yang mempunyai
kedudukan atau posisi tawar-menawar yang lebih kuat dari pada pihak
lainnya;
2) Pihak yang kedudukan atau posisi tawar-menawarnya lebih lemah, tidak
dilibatkan sama sekali dalam menentukan substansi kontrak;
3) Pihak yang kedudukan atau posisi tawar-menawarnya lebih lemah,
menyepakati atau menyetujui substansi kontrak secara terpaksa, karena
didorong oleh kebutuhan;
4) Kontrak dibuat dalam bentuk tertulis, formatnya tertentu dan massal
(jumlahnya banyak).
f. Macam-macam Perjanjian Baku
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian baku dapat
dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu:31
1) Perjanjian standar Sepihak
Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang isinya
ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya, misalnya kreditur yang
lazimnya mempunyai posisi (ekonomi) kuat dibandingkan debitur;
29
Muhammad Syaifuddin, Op.cit, hlm. 219 30
Ibid 31
Mariam Darus Badrulzaman dalam Kurniawan, Hukum Perlindungan Konsumen, Cet.
1, Pustaka Bangsa, Mataram, 2016, hlm. 92
20
2) Perjanjian standar yang ditetapkan Pemerintah
Perjanjian baku yang ditetapkan oleh Pemerintah ialah
perjanjian baku yang mempunyai objek hak-hak atas tanah;
3) Perjanjian standar yang ditentukan Notaris atau Advokat
Perjanjian yang ditentukan Notaris atau Advokat, terdapat
perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan
untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta
bantuan Notaris atau Advokat yang bersangkutan, yang dalam
kepustakaan Belanda biasa disebut dengan “contract model”.
8. Tinjauan Klausula Eksonerasi Pada Umumnya
Kontrak baku banyak memberikan keuntungan dalam penggunaannya,
tetapi dari berbagai keuntungan tersebut, kontrak baku juga mendapat kritik,
karena dipahami oleh para pengkritiknya mengandung ketidakadilan sebagai
akibat dari kedudukan atau posisi tawar-menawar yang tidak seimbang di
antara para pihak.32
Kelemahan-kelemahan ini bersumber dari karakteristik
perjanjian baku yang dalam wujudnya merupakan suatu perjanjian yang dibuat
oleh salah satu pihak dan suatu perjanjian terstandardisasi yang menyisakan
sedikit atau bahkan tidak sama sekali ruang bagi pihak lain untuk
menegosiasikan isi perjanjian itu. Sorotan para ahli hukum dari berlakunya
perjanjian baku selain dari segi keabsahannya adalah adanya klausul- klausul
yang tidak adil dan sangat memberatkan salah satu pihak.33
Jika ada yang perlu dikuatirkan dengan kehadiran perjanjian standar,
tidak lain karena dicantumkannya klausul eksonerasi (exemption clause) dalam
perjanjian tersebut. Klausula eksonerasi adalah klausul yang mengandung
32
Muhammad Syaifuddin, Op.cit, hlm. 227 33
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit, hlm. 140
21
kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggungjawab yang
semestinya dibebankan kepada pihak produsen/penyalur produk.34
Klausula eksonerasi yang merupakan terjemahan dari istilah dalam
bahasa Belanda “exonoratie clausule”, disebut juga dengan klausula eksemsi
yang merupakan terjemahan dari istilah dalam bahasa Inggris “exemption
clause”. Secara konkrit, klausula eksonerasi disebut dengan istilah klausul
eksemsi, adalah “klausul yang bertujuan untuk membebaskan atau membatasi
tanggungjawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya dalam hal yang
bersangkutan tidak atau tidak dengan semestinya melaksanakan kewajibannya
yang ditentukan dalam kontrak tersebut”.35
Dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen membatasi pelaku usaha dalam pencantuman klausula
baku yang mengarah kepada klausula eksonerasi. Artinya, klausula baku
adalah klausula yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha, tetapi isinya tidak
boleh mengarah pada klausula eksonerasi.36
Dengan kata lain syarat eksonerasi
adalah syarat yang secara khusus membebaskan pengusaha dari tanggungjawab
terhadap akibat yang merugikan yang timbul dari pelaksanaan perjanjian.
Klausula eksonerasi dapat berasal dari rumusan pengusaha secara sepihak
dapat juga berasal dari rumusan Undang-undang.37
Selanjutnya sebagaimana
yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, klausula eksonerasi tidak hanya berupa larangan-larangan seperti
yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan
Konsumen tetapi klausula eksonerasi juga dapat berupa larangan bagi pelaku
34
Ibid, hlm. 140-141 35
Muhammad Syaifuddin, Op.cit, hlm. 228 36
Jun Verbeet, “Perjanjian Standar dan Klausula Eksonerasi dalam Hukum Perlindungan
Konsumen Indonesia”, diakses dari http://pecanduhukum.blogspot.co.id/2009/03/perjanjian-
standar-dan-klausula.html,hukum perjanjian standar dan klausula eksonerasi dalam hukum
perlindungan konsumen Indonesia, diakses pada tanggal 07 Oktober 2017 23:14 37
Kurniawan, Op.cit, hlm. 95
22
usaha untuk mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti.
Memperhatikan substansi Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagaimana
diuraikan di atas, maka dapat dipahami bahwa istilah dan pengertian klausula
baku tidak sama dengan istilah dan pengertian klausula eksonerasi. Artinya,
klausula baku adalah klausula yang dibuat atau dicantumkan secara sepihak
dalam kontrak oleh pelaku usaha, tetapi isinya tidak boleh mengarah kepada
klausula eksonerasi. Dengan demikian, klausula baku penekanannya pada
prosedur pembuatan atau pencantumannya secara sepihak dalam kontrak,
bukan pada isi kontraknya. Sedangkan klausula eksonerasi tidak hanya
menekankan pada prosedur pembuatan atau pencantumannya dalam kontrak,
tetapi juga isinya yang bertujuan pengalihan kewajiban atau tanggungjawab
pelaku usaha.
Selain larangan pencantuman klausula eksonerasi yang diatur dalam
Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, larangan pencantuman
klausula eksonerasi dalam perjanjian baku atau klausula baku juga terdapat
dalam Pasal 22 ayat (3) POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan yang dimana pengaturannya hampir sama
seperti larangan yang terdapat dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen.
23
Secara yuridis-teknis, syarat eksemsi dalam suatu kontrak biasanya
dilakukan melalui 3 (tiga) metode sebagai berikut: 38
1. Metode pengurangan atau bahkan penghapusan terhadap kewajiban-
kewajiban hukum yang biasanya dibebankan kepada salah satu pihak.
2. Metode pengurangan atau bahkan penghapusan terhadap akibat hukum
karena pelaksanaan kewajiban yang tidak benar.
3. Metode menciptakan kewajiban-kewajiban tertentu kepada salah satu pihak
dalam kontrak.
Selain ketiga metode diatas, klausula eksonerasi atau klausula eksemsi
juga dapat berwujud, antara lain yaitu:39
a. Pembebasan dari tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh pihak yang
lebih kuat kedudukan atau posisi tawar-menawarnya, jika terjadi ingkar
janji (wanprestasi);
b. Pembatasan jumlah dan cara ganti rugi yang dapat dituntut oleh satu pihak
yang lebih lemah kedudukan atau posisi tawar-menawarnya;
c. Pembatasan waktu bagi pihak yang lebih lemah kedudukan atau posisi
tawar-menawarnya, untuk dapat mengajukan gugatan atau menuntut ganti
rugi.
Hal penting yang harus diketahui bahwa dalam Pasal 1338 ayat (3)
KUH Perdata menyatakan bahwa:
“Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”.
Artinya bahwa para pihak dalam perjanjian harus melaksanakan
substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau
kemauan baik dari para pihak itu sendiri. Namun asas iktikad baik bukan hanya
asas yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan suatu perjanjian saja
melainkan dalam pembuatan suatu perjanjian itu sendiri. Dengan demikian,
38
Munir Fuady, Op.cit, hlm. 98-99 39
Muhammad Syaifuddin, Op.cit, hlm. 228
24
para pihak tidak hanya terikat dengan kata-kata yang termuat dalam perjanjian
itu tetapi juga terikat oleh asas iktikad baik.40
Iktikad baik dalam hukum perjanjian Romawi mengacu kepada tiga
bentuk perilaku para pihak dalam perjanjian. Pertama, para pihak harus
memegang teguh janji atau perkataannya. Kedua, para pihak tidak boleh
mengambil keuntungan dengan tindakan yang menyesatkan terhadap salah satu
pihak. Ketiga, para pihak mematuhi kewajibannya dan berperilaku sebagai
orang terhormat dan jujur, walaupun kewajiban tersebut tidak secara tegas
diperjanjikan.41
9. Tinjauan Umum Tentang Kredit
e. Pengertian Kredit
Dalam bahasa sehari-hari kata kredit sering diartikan memperoleh
barang dengan membayar cicilan atau angsuran dikemudian hari atau
memperoleh pinjaman uang, yang pembayarannya dilakukan dikemudian
hari dengan cicilan atau angsuran sesuai dengan perjanjian. Artinya kredit
dapat berbentuk barang atau berbentuk uang. Baik kredit berbentuk barang
maupun kredit berbentuk uang dalam hal pembayarannya dengan
menggunakan metode angsuran atau cicilan tertentu.42
Kata kredit berasal dari bahasa latin creditus yang merupakan bentuk
past participle dari kata credere yang berarti to trust atau faith. Kata trust
itu sendiri berarti kepercayaan. Dapat dikatakan dalam hubungan ini bahwa
40
Danty Listiawati, Op.cit, hlm. 132-133 41
Ali Imron, Op.cit, hlm.104-105 42
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005,
hlm. 72
25
kreditur (yang memberi kredit) dalam hubungan perkreditan dengan debitur
(penerima kredit) mempunyai kepercayaan bahwa debitur dalam waktu dan
dengan syarat-syarat yang telah disetujui bersama, dan dapat
mengembalikan (membayar kembali) kredit yang bersangkutan.43
Pengertian kredit berdasarkan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan menyatakan bahwa:
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam
antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.
Berdasarkan pengertian kredit di atas perjanjian kredit merupakan
ikatan atau bukti tertulis antara pihak kreditur dan pihak debitur yang
disusun dan dibuat sedemikian rupa agar setiap orang mudah untuk
mengetahui bahwa perjanjian yang dibuat itu merupakan perjanjian kredit.
Hal yang perlu ditekankan dalam kredit dan perjanjian kredit adalah
adanya unsur kepercayaan, unsur yang lainnya mempunyai sifat atau
pertimbangan saling tolong-menolong. Selain itu dilihat dari pihak kreditur
unsur yang penting dalam kegiatan kredit sekarang ini adalah untuk
mengambil keuntungan dari modalnya dengan mengharapkan
kontraprestasi, sedangkan bagi pihak debitur adalah adanya bantuan dari
kreditur untuk menutupi kebutuhannya berupa prestasi yang diberikan oleh
kreditur.
43
Op.cit, Rudyanti Dorotea Tobing, hlm. 178
26
f. Unsur-unsur Kredit
Unsur-unsur yang terdapat dalam kredit adalah:44
1) Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa prestasi
yang diberikannya baik dalam bentuk uang, barang, atau jasa, akan
benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa
yang akan datang.
2) Waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi
dengan kontraprestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang.
3) Degree of risk, yaitu suatu tingkat risiko yang dihadapi sebagai akibat
dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi
dengan kontraprestasi yang akan diterima kemudian hari. Semakin lama
kredit diberikan semakin tinggi pula tingkat risikonya sehingga terdapat
unsur ketidaktentuan yang tidak dapat diperhitungkan. Inilah yang
menyebabkan timbulnya unsur risiko. Dengan adanya unsur risiko inilah
maka timbullah jaminan dalam pemberian kredit.
4) Prestasi, atau objek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang,
tetapi juga dalam bentuk barang atau jasa. Namun karena kehidupan
modern sekarang ini didasarkan kepada uang, maka transaksi-transaksi
kredit yang menyangkut uanglah yang sering kita jumpai dalam
perjanjian kredit.
g. Tujuan dan Fungsi Kredit
Tujuan kredit adalah untuk mengembangkan pembangunan dengan
berdasarkan prinsip ekonomi yaitu dengan pengorbanan yang sekecil-
kecilnya dapat diperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya maka pada
umumnya tujuan kredit secara ekonomis adalah untuk mendapat
keuntungan.45
Setiap kredit selalu mempunyai tujuan dan tujuannya tersebut
biasanya dicantumkan sebagai nama kredit (misal Kredit Investasi, Kredit
Konsumtif, Kredit Kendaraan Bermotor, KPR). Dengan demikian tidak ada
pemberian kredit tanpa tujuan artinya kredit yang dimohon hanya diberikan
44
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Cet. Ke 2, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm. 274 45
Rudyanti Dorotea Tobing, Op.cit, hlm. 182
27
untuk suatu tujuan tertentu dalam peran serta masyarakat untuk ikut
membangun.
h. Jenis-jenis Kredit
1) Dilihat dari Segi Tujuan Kredit, kredit dapat dibedakan menjadi 3
yaitu:46
a) Kredit Investasi
Kredit investasi adalah kredit jangka menengah atau panjang
yang tujuannya untuk pembelian barang modal dan jasa yang
diperlukan untuk rehabilitasi, modernisasi, perluasan, proyek
penempatan kembali dan/atau pembuatan proyek baru.
b) Kredit Modal Kerja
Yaitu kredit yang diberikan baik dalam rupiah maupun
valuta asing untuk memenuhi modal kerja yang habis dalam satu
siklus usaha dengan jangka waktu maksimal 1 tahun dan dapat
diperpanjang sesuai kesepakatan antara para pihak yang
bersangkutan. Dapat juga dikatakan bahwa kredit ini diberikan
untuk membiayai modal kerja.
c) Kredit Konsumsi
Yaitu kredit jangka pendek atau panjang yang diberikan
kepada debitor untuk membiayai barang-barang kebutuhan rumah
tangga yang pelunasannya dari penghasilan bulanan nasabah debitor
yang bersangkutan. Misalnya untuk membiayai pembelian mobil
atau barang konsumsi barang tahan lama lainnya.
2) Dilihat dari Segi Jangka Waktu, kredit dibedakan menjadi 3 jenis yaitu:
a) Kredit Jangka Pendek
Merupakan kredit yang memiliki jangka waktu kurang dari 1
tahun dan biasanya digunakan untuk keperluan modal kerja.
b) Kredit Jangka Menengah
Jangka waktu kredit berkisar antara 1 tahun sampai dengan 3
tahun dan biasanya kredit ini bisa digunakan untuk melakukan
investasi.
c) Kredit Jangka Panjang
Merupakan kredit yang jangka pengembaliannya paling
panjang yaitu di atas 3 tahun atau 5 tahun.
46
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Cet. Ke-2, Prenada Media Group,
Jakarta, 2006, hlm. 60-61
28
10. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Hukum Bagi Debitur
Bentuk perlindungan terhadap masyarakat mempunyai banyak dimensi
salah satunya yaitu perlindungan hukum. Adanya benturan kepentingan dalam
masyarakat harus diminimalisasi dengan kehadiran hukum dalam masyarakat.
Adanya perlindungan hukum bagi seluruh rakyat Indonesia dapat ditemukan
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
NRI 1945), oleh karena itu setiap produk yang dihasilkan oleh legislatif harus
mampu memberikan perlindungan hukum bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Menurut Philipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum diartikan
sebagai tindakan melindungi atau memberikan pertolongan kepada subyek
hukum dengan perangkat-perangkat hukum.
Hukum memiliki fungsi untuk memberikan perlindungan kepada warga
masyarakat, terutama yang berada pada posisi yang lemah akibat hubungan
hukum yang tidak seimbang dengan pihak lain.47
Menurut Satjipto Raharjo, perlindungan hukum adalah:48
Memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan
orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat
menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Hukum dapat
difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar
adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif. Hukum
dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi
dan politik untuk memperoleh keadilan sosial.
Perlindungan hukum bagi rakyat meliputi dua hal, yakni:49
a. Perlindungan hukum preventif, yakni bentuk perlindungan hukum dimana
kepada rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau
47
Kurniawan, Op. cit, hlm. 46-47 48
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 53 49
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, hlm. 41
29
pendapat sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang
definitif;
b. Perlindungan hukum represif, yakni bentuk perlindungan hukum dimana
lebih ditujukan dalam penyelesaian sengketa.
30
BAB III
METODE PENELITIAN
F. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum Normatif-Empiris.
Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum
sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah
mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundangan, putusan
pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran).50
Penelitian hukum empiris atau
penelitian hukum sosiologis yaitu penelitian yang memperoleh datanya dari
data primer atau data yang diperoleh langsung dari masyarakat.51
Kemudian
dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan terkait.
G. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan untuk mengumpulkan dan
menganalisis bahan-bahan penulisan penelitian ini adalah:
a. Pendekatan Perundang-Undangan (Statuta Approach), yaitu suatu
pendekatan yang dilakukan dengan mengkaji Undang-Undang Dasar,
Undang-undang dan berbagai peraturan pelaksana yang terkait dengan
masalah yang diteliti.
50
Hanitijo Soemirto dalam Mukti Fajar ND dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian
Hukum Normatif dan Empiris, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2013, hal. 34 51
Ibid, hal 24
31
b. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach), yaitu pendekatan untuk
memahami arti kata-kata secara tepat dan menggunakannya dalam proses
pikiran.
c. Pendekatan Sosiologi (Sociologis Approach), yaitu pendekatan yang
menganalisis tentang bagaimana reaksi dan interaksi yang terjadi ketika
sistem norma itu bekerja di dalam masyarakat.
H. Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah Data Primer dan Data
Sekunder:
a. Data Primer merupakan bahan penelitian yang berupa fakta-fakta empiris
sebagai perilaku maupun hasil perilaku manusia. Baik dalam bentuk
perilaku verbal perilakunya nyata maupun perilaku yang terdokumentasi
dalam berbagai hasil perilaku atau catatan-catatan.
b. Data Sekunder merupakan bahan hukum dalam penelitian yang diambil
dari studi kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tersier.
1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
pada bahan hukum sekunder yang terdiri dari peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan permasalahan yang dikaji, seperti:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
c. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
32
d. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
e. POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen
Sektor Jasa Keuangan.
2) Bahan hukum sekunder, adalah bahan-bahan hukum yang memberikan
penjelasan atau membahas lebih lanjut hal-hal yang telah diteliti pada
bahan-bahan hukum primer yang terdiri dari berbagai buku-buku,
literatur, makalah, dan karya ilmiah yang berkenaan dengan masalah
yang diteliti.
3) Bahan hukum tersier, adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk
atau penjelasan, terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti
Kamus Hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang relevan
dengan masalah yang dibahas.
I. Teknik Pengumpulan Data
a. Data Primer adalah penelitian ini akan diperoleh melalui observasi dan
wawancara langsung dengan pihak-pihak terkait yaitu Informan dan
Responden, yang mana informan adalah orang yang menjadi sumber data
dan penelitian, dalam hal ini adalah Pegawai Bank Mandiri Kota Mataram
yang ditunjuk. Dan responden adalah orang yang memberikan jawaban
atas pertanyaan yang diajukan terkait dengan penelitian yaitu nasabah di
Bank Mandiri Mataram .
b. Data Sekunder dan bahan hukum dalam penelitian ini akan diambil dari:
1) Berbagai pustakaan.
33
2) Pusat data dari perusahaan yang terkait dengan penelitian.
3) Situs internet
J. Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis kualitatif yaitu semua
data yang telah terkumpul diolah dan disusun secara sistematis kemudian
dianalisis untuk memperoleh data-data yang sesuai dengan data yang
dibutuhkan dan disajikan berupa rangkaian kata-kata atau kalimat. Kemudian
data-data tersebut diolah secara deduktif yaitu menarik kesimpulan dari sesuatu
yang bersifat umum ke sesuatu yang bersifat khusus.52
52
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers,
Jakarta, 2014, hlm.29
34
BAB IV
PEMBAHASAN
C. Akibat hukum terhadap perjanjian kredit bank yang mencantumkan
klausula eksonerasi
Dalam hukum perjanjian di Indonesia tidak melarang pembuatan
perjanjian baku atau klausula baku melainkan terdapatnya klausula baku yang
bersifat eksonerasi (klausula eksonerasi) yang biasanya berisi pengalihan
tanggungjawab atau pembebasan tanggungjawab pelaku usaha pada
konsumen.53
Namun dalam praktiknya masih banyak para pelaku usaha yang
membuat perjanjian baku dengan mencantumkan klausula eksonerasi, tanpa
memikirkan posisi debitur yang harus memikul tanggung jawab yang
seharusnya menjadi tanggung jawab para pelaku usaha selaku kreditur.
Ada beberapa faktor-faktor penyebab sehingga seringkali kontrak baku
menjadi sangat berat sebelah adalah sebagai berikut:54
1. Kurang adanya atau bahkan tidak adanya kesempatan bagi salah satu pihak
untuk melakukan tawar-menawar, sehingga pihak yang kepadanya
disodorkan kontrak tidak banyak kesempatan untuk mengetahui isi kontrak
tersebut, apalagi ada kontrak yang ditulis dengan huruf-huruf yang sangat
kecil.
2. Karena penyusunan kontrak yang sepihak, maka pihak penyedia dokumen
biasanya memiliki cukup banyak waktu untuk memikirkan mengenai
klausula-klausula dalam dokumen tersebut, bahkan mungkin saja sudah
berkonsultasi dengan para ahli atau dokumen tersebut justru dibuat oleh
para ahli. Sedangkan pihak yang kepadanya disodorkan dokumen tidak
banyak kesempatan dan seringkali tidak familiar dengan klausula-klausula
tersebut.
3. Pihak yang kepadanya disodorkan kontrak baku menempati kedudukan
yang sangat tertekan, sehingga hanya dapat bersikap “take it or leave it”.
53
Kurniawan, Op.cit, hlm. 95 54
Munir fuady, Op.cit, hlm. 78
35
Secara hukum sebenarnya kontrak baku itu sendiri tidak begitu menjadi
persoalan, mengingat kontrak baku sudah merupakan kebiasaan sehari-hari.
Yang menjadi persoalan adalah apabila kontrak baku tersebut mengandung
unsur-unsur yang tidak adil (berat sebelah) bagi salah satu pihak.
Berdasarkan hasil penelitian, berikut ini adalah pasal-pasal dalam
perjanjian kredit Bank Mandiri Kota Mataram yang isinya bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena pihak Bank
Mandiri selaku kreditur telah menggunakan perjanjian baku yang mengandung
klausula eksonerasi yang dimana pencantuman klausula eksonerasi dilarang
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini, Pasal tersebut
antara lain, yaitu:
1. Terdapat dalam Pasal 2 angka 2 mengenai agunan dan asuransi yang
menyatakan bahwa,
“Debitur wajib mengasuransikan agunan yang dapat diasuransikan
(insurable) minimal atas resiko kebakaran atau TLO (total loss only) dan
dengan kondisi serta nilai pertanggungan menurut ketentuan yang berlaku
di Bank, kepada perusahaan asuransi yang menjadi rekanan Bank dengan
menggunakan syarat Banker’s Clause. Premi asuransi tersebut menjadi
beban dan wajib dibayar oleh debitur”.
Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Muh. Rasyddin
keberadaan klausula ini dianggap sangat penting karena asuransi adalah
bentuk pertanggungan atau perlindungan atas suatu objek dari ancaman
bahaya yang dapat menimbulkan kerugian. Upaya ini dilakukan oleh pihak
bank selaku kreditur sebagai salah satu cara untuk mengurangi risiko
dengan mengalihkan risiko tersebut kepada perusahaan asuransi apabila
36
terjadi bencana55
. Akan tetapi pengalihan risiko tersebut dilakukan atas
biaya yang dibebankan kepada debitur, padahal yang mendapat manfaat
dari perlindungan asuransi tersebut bukan hanya nasabah selaku debitur
melainkan pihak bank juga. Sehingga hal tersebut bertentangan dengan
ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa:
“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan
untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula
baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: menyatakan
pengalihan tanggungjawab pelaku usaha”.
Selain itu juga melanggar ketentuan dalam Pasal 22 ayat (3) huruf a
POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor
Jasa Keuangan, yang menyatakan bahwa:
“Perjanjian baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang digunakan oleh
Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang: menyatakan pengalihan tanggung
jawab atau kewajiban Pelaku Usaha Jasa Keuangan kepada konsumen”.
2. Dalam Pasal 6 angka 3 mengenai “Kesanggupan Debitur” yang
menyatakan bahwa:
“Memberi izin kepada Bank untuk mengungkapkan semua hal ikhwal
syarat dan ketentuan pinjaman debitur, keadaan debitur, dan pinjaman
debitur kepada pihak yang ditunjuk bank, termasuk pihak yang akan
membeli atau menerima peralihan piutang Bank terhadap debitur. Untuk
maksud tersebut diatas, debitur melepaskan haknya untuk
menuntut/menggugat Bank tentang pengungkapan keterangan ini, dan
sepanjang perlu debitur memberi kuasa kepada Bank untuk mewakili dan
bertindak atas nama debitur untuk melakukan pengungkapan itu.
55
Hasil Wawancara dengan Muh. Rasyddin, Selaku Account Office (AO) di Bank
Mandiri Mataram, Pada Tanggal 15 Desember 2017
37
Dari Pasal tersebut diatas terlihat bagaimana kreditur melakukan
tindakan sepihak berupa peralihan piutang debitur dan kreditur dalam hal
ini juga tidak ingin di tuntut atau di gugat secara hukum oleh debitur dalam
hal peralihan piutang tersebut, sedangkan pihak debitur oleh Undang-
Undang diberikan kewenangan untuk menggugat kreditur jika debitur
merasa dirugikan.
Ketentuan yang mengatur mengenai tindakan sepihak yang
dilakukan oleh pihak kreditur adalah terdapat dalam Pasal 18 ayat 1 huruf d
yang menyatakan bahwa:
“Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik
secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan
sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran”.
Selanjutnya mengenai debitur dapat mengajukan gugatan terdapat
dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa:
“Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui
lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan
pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan
umum”.
3. Selanjutnya dalam Pasal 8 mengenai Aneka Ketentuan dan Kedudukan
Hukum, yang menyatakan bahwa:
“Untuk pengakhiran perjanjian kredit, debitur dengan ini
mengesampingkan semua peraturan perundang-undangan yang
mensyaratkan adanya suatu putusan pengadilan untuk pengakhiran suatu
perjanjian kredit ini oleh Bank, Bank tidak dapat diwajibkan atau dituntut
untuk membayar ganti rugi dalam jumlah berapapun juga kepada debitur”.
Dari ketentuan Pasal tersebut diatas terlihat bagaimana pihak Bank
selaku kreditur tidak dengan jelas menentukan berakhirnya perjanjian
38
kredit Bank, pihak Bank juga tidak ingin diwajibkan atau dituntut untuk
membayar ganti rugi kepada debitur, hal ini tentu saja tidak adil bagi
debitur sebab jika debitur tidak memenuhi salah satu ketentuan yang
termuat dalam perjanjian kredit yang di buat oleh kreditur, maka debitur
akan langsung dianggap lalai oleh Bank Mandiri Kota Mataram.56
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sendiri mengatur ketentuan
mengenai berakhirnya suatu perjanjian. Dalam Pasal 1319 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata menetapkan semua perjanjian baik yang
mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama
tertentu tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat di dalam bab
kesatu dan kedua. Ini berarti perjanjian kredit yang merupakan perjanjian
yang tidak dikenal di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, juga
harus tunduk pada ketentuan-ketentuan umum yang termuat di dalam Buku
III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam Pasal 1381 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata mengatur cara hapusnya perikatan yang
dapat diberlakukan pula pada perjanjian kredit bank. Namun dari beberapa
ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 1381, umumnya kredit Bank harus
hapus atau berakhir karena hal-hal dibawah ini:
a. Pembayaran
Pembayaran (lunas) ini merupakan pemenuhan prestasi dari
debitor, baik pembayaran utang pokok, bunga, denda maupun biaya-
biaya lainnya yang wajib dibayar lunas oleh debitor. Pembayaran lunas
ini, baik karena jatuh tempo kreditnya atau karena diharuskannya
56
Hasil Wawancara dengan Aminuddin, Selaku Nasabah Debitur di Bank Mandiri Kota
Mataram, Pada Tanggal 19 Desember 2017
39
debitor melunasi kreditnya secara seketika dan sekaligus (opelbaarheid
clause).57
b. Subrogasi (subrogatie)
Subrogasi diatur dalam Pasal 1400 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata:
“Subrogasi atau perpindahan hak kreditor kepada seorang pihak ketiga
yang membayar kepada kreditor, dapat terjadi karena persetujuan atau
karena Undang-undang”.
Subrogasi ini terjadi karena adanya penggantian kedudukan atau
hak-hak kreditor lama oleh kreditor baru dengan mengadakan
pembayaran. Dengan adanya subrogasi, maka segala kedudukan atau
hak-hak yang dipunyai oleh kreditor lama beralih kepada pihak ketiga.
c. Pembaruan hutang (novasi)
Pembaruan utang terjadi dengan jalan mengganti utang lama
dengan utang baru, debitor lama dengan debitor baru, dan kreditor lama
dengan kreditor baru. Dalam hal ini, bila utang lama diganti dengan
utang baru terjadilah penggantian objek perjanjian yang disebut “novasi
objektif”.58
Pada umumnya pembaruan utang yang terjadi dalam dunia
perbankan adalah dengan mengganti atau memperbarui perjanjian
kredit bank yang ada. Dalam hal ini yang diganti adalah perjanjian
kredit banknya dengan perjanjian kredit bank yang baru. Dengan
terjadinya penggantian atau pembaruan perjanjian kredit, otomatis
perjanjian kredit bank yang lama berakhir atau tidak berlaku lagi.
57
Rachmadi Usman, Op.cit, hlm. 279 58
Ibid, hlm 279-280
40
d. Perjumpaan utang (kompensasi)
Dasar kompensasi ini disebutkan dalam Pasal 1425 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu:
“Jika dua orang saling berutang maka terjadilah antara mereka suatu
perjumpaan utang, yang menghapuskan utang-utang kedua orang
tersebut”.
Kondisi demikian ini dijalankan oleh bank dengan cara
mengkompensasikan barang jaminan debitor dengan utangnya kepada
bank, sebesar jumlah jaminan tersebut yang diambil alih tersebut.
4. Dalam perjanjian kredit Bank Mandiri Kota Mataram di bagian SYARAT
DAN KETENTUAN KREDIT USAHA MIKRO, bank menggunakan
bahasa yang rumit untuk langsung dipahami oleh debitur dalam waktu
singkat, apalagi kebanyakan para debitur dapat dikatakan sebagai orang
awam yang tidak begitu paham mengenai bahasa-bahasa dalam perbankan,
kecuali para debitur prioritas bank yang sudah sering melakukan kredit atau
memang para debitur yang sudah paham akan bahasa yang digunakan
dalam perbankan. Selain itu juga perjanjian kredit pada Bank Mandiri Kota
Mataram juga dicetak menggunakan huruf kecil, sehingga para debitur
akan kesulitan bahkan enggan sama sekali untuk membaca perjanjian kredit
tersebut.
Hal ini tentu saja bertentangan dengan Pasal 18 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang
menyatakan bahwa:
41
“Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti”.
Munir Fuady menyatakan bahwa dalam prakteknya klausula-
klausula yang berat sebelah dalam kontrak baku biasanya mempunyai
wujud sebagai berikut:59
1) Dicetak dengan huruf kecil;
2) Bahasa yang tidak jelas artinya;
3) Tulisan yang kurang jelas dan susah dibaca;
4) Kalimat yang kompleks;
5) Bahkan, ada kontrak baku yang tidak berwujud seperti kontrak (kontrak
tersamar), seperti tiket parkir, karcis bioskop, tanda penerimaan
pembuatan foto, dan lain-lain.
6) Jika kalimat ditempatkan pada tempat-tempat yang kemungkinan besar
tidak dicakan oleh salah satu pihak. Misalnya, jika klausula eksemsi
ditulis didalam kotak barang yang dibeli.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam isi perjanjian
kredit di Bank Mandiri Kota Mataram diatas, hal tersebut dapat
dikategorikan klausul yang memberatkan debitor. Sutan Remy Sjahdeini
memberikan beberapa contoh dari klausula-klausula yang secara tidak
wajar sangat memberatkan nasabah debitor, yaitu:60
a) Kewenangan bank untuk sewaktu-waktu tanpa alasan apa pun dan
tanpa pemberitahuan sebelumnya secara sepihak menghentikan izin
tarik kredit;
b) Kewenangan bank untuk secara sepihak menentukan harga jual dari
barang agunan dalam hal dilakukan penjualan barang agunan karena
kredit nasabah debitor macet;
c) Kewenangan bank untuk secara sepihak sewaktu-waktu mengubah
tingkat suku bunga kredit;
d) Kewajiban nasabah debitor untuk tunduk kepada segala petunjuk dan
peraturan bank yang telah ada dan yang masih akan ditetapkan
kemudian oleh bank;
e) Keharusan nasabah debitor untuk tunduk kepada syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan umum hubungan rekening koran dari bank yang
59
Munir Fuady, Op.cit, hlm 78-79 60
Rachmadi Usman, Op.cit, hlm. 276-277
42
bersangkutan, namun tanpa sebelumnya nasabah debitor diberi
kesempatan untuk mengetahui dan memahami syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan umum hubungan rekening koran tersebut;
f) Kuasa nasabah debitor yang tidak dapat dicabut kembali kepada bank
untuk dapat melakukan segala tindakan yang dipandang perlu oleh
bank;
g) Kuasa nasabah debitor kepada bank untuk mewakili dan melaksanakan
hak-hak nasabah debitor dalam setiap Rapat Umum Pemegang Saham;
h) Pembuktian kelalaian nasabah debitor secara sepihak oleh pihak bank
semata;
i) Pencantuman klausula-klausula eksemsi yang membebaskan bank dari
tuntutan ganti kerugian oleh nasabah debitor atas terjadinya kerugian
yang diderita olehnya sebagai akibat tindakan bank.
Untuk mengetahui keabsahan dari perjanjian baku (perjanjian
standar) dalam perjanjian kredit bank di Bank Mandiri Kota Mataram,
maka penulis akan menganalisis berdasarkan ketentuan hukum perjanjian
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan POJK Nomor
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
1. Berdasarakan Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata ditentukan adanya 4 syarat
sahnya suatu perjanjian:
a. Kesepakatan kedua belah pihak
Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian
pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak
lainnya.61
Dalam perjanjian kredit bank ini para pihak telah sepakat
untuk mengikatkan diri dalam perjanjian, terbukti dengan adanya
tanda tangan para pihak dalam perjanjian kredit bank.
61
Salim H.S, Op.cit, hlm. 33
43
Penandatanganan suatu kontrak berarti bahwa para pihak
sudah setuju dengan kontrak tersebut, termasuk sudah setuju dengan
isinya. Pemahaman hukum ini mengarahkan bahwa para pihak
harus terlebih dahulu membaca dan mengerti klausula-klausula
dalam kontrak, sebelum menandatangani kontrak tersebut, yang
dikenal dengan asas “kewajiban membaca kontrak” (duty to read).62
Namun dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, bahwa
pihak debitur sama sekali tidak diberikan kesempatan untuk
membaca isi dari akta perjanjian kredit bank yang telah dibuat oleh
bank Mandiri Kota Mataram. Para debitur hanya akan mengetahui
isi dari akta perjanjian tersebut saat dibacakan oleh pihak pegawai
bank dibidangnya, yang dimana pihak bank tidak membacakan
keseluruhan dari isi akta perjanjian dan hanya membacakan hal-hal
yang mereka anggap penting saja karena alasan efisiensi waktu63
.
Padahal berdasarkan hasil penelitian semua yang terdapat dalam
akta perjanjian merupakan hal-hal yang penting yang pihak debitur
harus ketahui dan satu persatu harus dijelaskan secara rinci maksud
dan tujuan dari setiap pasalnya.
Namun terlepas dari hal itu pihak bank memberikan pilihan
kepada debitur untuk tetap melakukan perjanjian kredit atau tidak
melakukan sama sekali atau yang di kenal dengan istilah take it or
62
Muhammad Syaifuddin, Op.cit, hlm. 222 63
Hasil Wawancara dengan Sumarni, Selaku Nasabah Debitur di Bank Mandiri Kota
Mataram, Pada Tanggal 20 Desember 2017
44
leave it. Sehingga dalam hal ini dibutuhkan kecermatan dari pihak
debitur itu sendiri dalam mengambil keputusan.
b. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum
Bank Mandiri sebagai kreditur memiliki kecakapan dalam
bertindak secara hukum karena Bank Mandiri merupakan bank
terbesar di Indonesia dalam hal aset, pinjaman dan deposit.
Tindakan hukum yang dilakukan Bank Mandiri dapat dikuasakan
oleh pihak yang memiliki kewenangan untuk mewakili Bank
Mandiri. Dalam hal ini Bank Mandiri menunjuk Kepala Cabang
Mikro.64
Debitur di lain pihak sebagai subyek hukum yang cakap
haruslah memenuhi persyaratan yaitu sudah dewasa untuk
bertindak bagi dirinya sendiri yang dalam hal ini dapat dibuktikan
dengan kepemilikan Kartu Tanda Penduduk (KTP), tidak atau
bukan dalam pengampuan, dan bukan pihak-pihak yang oleh
Undang-Undang dilarang untuk melaksanakan perjanjian.
Sehingga menurut penulis, kedua belah pihak dalam
perjanjian kredit ini telah cakap untuk melakukan perjanjian.
c. Adanya objek perjanjian
Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi
objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah
64
Hasil Wawancara dengan Muh. Rasyddin, Selaku Account Office (AO) di Bank Mandiri
Mataram, Pada Tanggal 15 Desember 2017
45
apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak
kreditur.65
Dengan demikian dalam suatu perjanjian haruslah jelas
apa yang menjadi objek dari perjanjian tersebut, paling tidak dapat
ditentukan jenisnya.
Dalam perjanjian kredit bank ini pihak bank selaku kreditur
memiliki hak untuk menerima pembayaran angsuran dari kredit
yang dilakukan oleh debitur sedangkan kewajibannya adalah untuk
memberikan informasi secara jujur dan terbuka kepada debitur
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan debitur dalam perjanjian
kredit tersebut. Selanjutnya hak dari debitur adalah untuk
mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hal-
hal yang berkaitan dengan perjanjian kredit yang di lakukan
dengan Bank Mandiri Kota Mataram sedangkan kewajiban dari
debitur adalah untuk melunasi, mengembalikan, atau mengangsur
utang pokoknya beserta bunga, imbalan, atau bagi hasilnya sesuai
dengan waktu yang ditentukan.
d. Adanya causa yang halal
Dari yurisprudensi dapat diketahui bahwa causa atau sebab
yang halal dimaknai dalam kaitan dengan maksud tujuan para
pihak.66
Oleh karena itu, isi perjanjian harus menggambarkan
tujuan yang akan dicapai oleh para pihak dan isi dari perjanjian
65
Muhammad Syaifuddin, Op. cit, hlm. 34 66
Ridwan Khairandy, Op.cit, hlm. 188
46
tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan,
maupun ketertiban umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1337
KUHPerdata.
Namun berdasarkan perjanjian kredit yang terdapat di Bank
Mandiri Kota Mataram diatas, bahwa ternyata pihak bank telah
menyalahi ketentuan peraturan perundang-undangan karena
mencantumkan perjanjian baku yang mengandung klausula
eksonerasi yang jelas dilarang oleh Undang-undang.
Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur
tersebut dapat menimbulkan akibat hukum dalam bentuk dapat
dibatalkan maupun batal demi hukum. Apabila syarat pertama dan
kedua (syarat subjektif) tidak terpenuhi maka perjanjian itu dapat
dibatalkan. Artinya, bahwa salah satu pihak dapat mengajukan
kepada Pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang
disepakatinya. Tetapi apabila perjanjian itu tidak ada yang
keberatan maka perjanjian itu tetap dianggap sah. Kemudian
apabila sayarat ketiga dan keempat (syarat objektif) tidak terpenuhi
maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya, bahwa dari semula
perjanjian itu dianggap tidak ada.67
Apabila dikaitkan dengan perjanjian kredit pada Bank
Mandiri Kota Mataram yang telah diuraikan diatas, maka
perjanjian kredit tersebut dapat menimbulkan akibat hukum berupa
batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat objektif mengenai
causa yang halal. Sebagaimana berdasarkan ketentuan dalam Pasal
1337 KUH Perdata bahwa isi dari perjanjian tidak boleh
bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan, maupun dengan
ketertiban umum, dalam pembuatan perjanjian baku oleh Bank
67
Ibid, Salim H.S, hlm. 35
47
Mandiri Kota Mataram terdapat klausula eksonerasi yang dimana
hal tersebut bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 18 ayat (1)
dan ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen dan Pasal 22 ayat (3) POJK Nomor
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan.
2. Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen telah diterbitkan dengan sangat jelas, namun proses
pelaksanaannya belum maksimal, dengan kata lain peraturan yang ada
dalam Undang-undang perlindungan konsumen ini tidak sesuai dengan
praktek kehidupan masyarakat. Dalam beberapa kasus banyak
ditemukan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh para pelaku
usaha yang berkaitan dengan tanggungjawab dari pelaku usaha itu
sendiri. Seperti halnya dalam perjanjian kredit bank yang dilakukan
oleh bank mandiri, dimana bank mandiri selaku kreditur
mencantumkan beberapa pasal dalam akta perjanjian kredit yang
dibuatnya yang justru mengalihkan tanggungjawabnya kepada debitur.
Padahal hal tersebut tentu saja menyalahi ketentuan dalam Pasal 18
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
yang menjelaskan mengenai ketentuan pencantuman klausula baku,
yaitu mengatur ketentuan apa saja yang dilarang bagi pelaku usaha
48
yang membuat klausula baku atau perjanjian sepihak. Pasal 18
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
menyatakan bahwa :
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang
ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau
mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau
perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang
dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku
usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk
melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang
atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat
jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi
obyek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang
berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan
lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku
usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak
jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak
atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas,
atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada
dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang
bertentangan dengan undang-undang ini.
Undang-undang perlindungan konsumen sendiri tidak
mempermasalahkan atau melarang adanya klausula baku, akan tetapi
49
yang menjadi permasalahan disini adalah pencantuman klausula baku
yang mengandung klausula eksonerasi sebagaimana yang terdapat
dalam Pasal 18 ayat (1) diatas. Sebagaimana yang dijelaskan dalam
penjelasan umum Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, larangan tersebut dimaksudkan untuk
menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha
berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Selain itu juga untuk
mencegah kemungkinan timbulnya tindakan yang merugikan
konsumen karena faktor ketidaktahuan, kedudukan yang tidak
seimbang, dan sebagainya yang mungkin dapat dimanfaatkan oleh
pelaku usaha untuk memperoleh keuntungan. Namun kenyataannya
banyak ditemukan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-
undang.
Kemudian bila dikaitkan dengan perjanjian kredit bank yang
dibuat oleh Bank Mandiri Kota Mataram maka perjanjian kredit
tersebut dapat menimbulkan akibat hukum berupa batal demi hukum
sebagaimana yang terdapat dalam pasal 18 ayat (3) karena pihak bank
telah melanggar Pasal 18 ayat (1) huruf a dengan membuat perjanjian
baku yang mengandung klausula eksonerasi berupa pengalihan
tanggungjawab pihak bank kepada debitur .
50
3. Berdasarkan POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Larangan penggunaan perjanjian baku yang mengandung
klausula eksonerasi dalam Undang-undang ini terdapat dalam Pasal 21
yang berbunyi :
“Pelaku usaha jasa keuangan wajib memenuhi keseimbangan,
keadilan, dan kewajaran dalam pembuatan perjanjian dengan
konsumen.”
Selanjutnya diatur juga dalam Pasal 22 yang berbunyi:
(1) Dalam hal Pelaku Usaha Jasa Keuangan menggunakan perjanjian
baku, perjanjian baku tersebut wajib disusun sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(2) Perjanjian baku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berbentuk digital atau elektronik untuk ditawarkan oleh Pelaku
Usaha Jasa Keuangan melalui media elektronik.
(3) Perjanjian baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang
digunakan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban Pelaku
Usaha Jasa Keuangan kepada konsumen;
b. menyatakan bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan berhak
menolak pengembalian uang yang telah dibayar oleh
Konsumen atas produk dan/atau layanan yang dibeli;
c. menyatakan pemberian kuasa dari Konsumen kepada Pelaku
Usaha Jasa Keuangan, baik secara langsung maupun tidak
langsung, untuk melakukan segala tindakan sepihak atas barang
yang diagunkan oleh Konsumen, kecuali tindakan sepihak
tersebut dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan;
d. mengatur tentang kewajiban pembuktian oleh Konsumen, jika
Pelaku Usaha Jasa Keuangan menyatakan bahwa hilangnya
kegunaan produk dan/atau layanan yang dibeli oleh Konsumen,
bukan merupakan tanggung jawab Pelaku Usaha Jasa
Keuangan;
e. memberi hak kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk
mengurangi kegunaan produk dan/atau jasa layanan atau
mengurangi harta kekayaan Konsumen yang menjadi obyek
perjanjian produk dan layanan;
f. menyatakan bahwa Konsumen tunduk pada peraturan baru,
tambahan, lanjutan dan/atau perubahan yang dibuat secara
51
sepihak oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dalam masa
konsumen memanfaatkan produk dan/atau layanan yang
dibelinya; dan/atau
g. menyatakan bahwa Konsumen memberi kuasa kepada Pelaku
Usaha Jasa Keuangan untuk pembebanan hak tanggunan, hak
gadai, atau hak jaminan atas produk dan/atau layanan yang
dibeli oleh Konsumen secara angsuran.
Sama halnya dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen jika dikaitkan dengan perjanjian
kredit bank yang dibuat oleh pihak Bank Mandiri Kota Mataram
selaku kreditur menimbulkan akibat hukum berupa batal demi hukum
karena telah melanggar ketentuan yang terdapat dalam Pasal 21, Pasal
22 ayat (1) dan Pasal 22 ayat (3) huruf a.
Berdasarkan uraian diatas, bahwa perjanjian baku yang
mengandung klausula eksonerasi pada perjanjian kredit Bank Mandiri
di Kota Mataram dapat berakibat batal demi hukum karena
bertentangan dengan Pasal 1337 KUH Perdata, Undang-Undang
Perlindungan Konsumen dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Oleh
karena itu untuk menghindari agar bank terhindar dari akibat hukum
yang demikian, maka terhadap perjanjian kredit yang dibuat dalam
bentuk perjanjian baku yang didalamnya mengandung klausula
eksonerasi harus diberikan penjelasan secara detail kepada nasabah
selaku debitur tentang klausula eksonerasi tersebut, bukan hanya
dibacakan dan dimintai tandatangan tanpa memberikan penjelasan
yang membuat debitur mengerti maksud dari isi akta perjanjian
tersebut.
52
D. Bentuk perlindungan hukum bagi debitur terhadap pencantuman
klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit
Dalam masyarakat ada kesan bahwa dalam hubungan antara bank dan
debitur, bank selalu berada di posisi yang lebih kuat. Pada waktu kredit akan
diberikan, umumnya memang bank dalam posisi yang lebih kuat
dibandingkan dengan calon debitur. Hal tersebut karena pada saat pembuatan
perjanjian itu, calon debitur sangat membutuhkan bantuan kredit itu dari
bank.68
Umumnya calon debitur tidak akan banyak menuntut karena mereka
khawatir pemberian kredit tersebut akan dibatalkan oleh bank69
. Hal ini
menyebabkan posisi tawar-menawar bank menjadi sangat kuat. Berdasarkan
hal tersebut perlindungan hukum bagi nasabah selaku debitur di bidang
perbankan menjadi sangat penting karena perjanjian kredit yang dibuat
menggunakan bentuk perjanjian baku yang tidak mungkin dilakukan
negosiasi antara debitur dengan pihak bank. Para debitur terpaksa harus
menandatangani perjanjian kredit karena kebutuhan akan dana yang
bersumber dari kredit tersebut. Namun seringkali pihak bank justru
memanfaatkan keadaan ini untuk menekan debitur dengan membuat
perjanjian baku yang mengandung klausula-klausula yang memberatkan
debitur yang disebut klausula eksonerasi, dimana hal ini jelas dilarang oleh
Undang-Undang. Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh penulis, penulis
berpendapat bahwa pihak bank selaku kreditur yang mempunyai kedudukan
68
Rachmadi Usman, Op. cit, hlm. 274 69
Hasil Wawancara dengan Sumarni, selaku Nasabah kredit di Bank Mandiri Kota
Mataram, Pada Tanggal 20 Desember 2017
53
yang lebih kuat dan mempunyai kewenangan untuk menyusun perjanjian
kredit tersebut, semestinya dalam hal ini membuat klausula-klausula yang
seimbang antara pihak kreditur sendiri dengan pihak nasabah, karena
bagaimana pun juga kedua belah pihak saling membutuhkan dalam
mengembangkan usahanya masing-masing.
Larangan terhadap pencantuman klausula eksonerasi ini dimaksudkan
untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan keadaan oleh pihak yang
memiliki kedudukan lebih kuat yang pada akhirnya akan merugikan debitur
yang kedudukannya lebih lemah. Larangan pencantuman klausula eksonerasi
ini dapat ditemukan dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen serta terdapat dalam Pasal 21, Pasal 22 ayat
(1) dan Pasal 22 ayat (3) POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas industri perbankan
berkepentingan untuk meningkatkan perlindungan terhadap kepentingan
nasabah yang berhubungan dengan Bank. Mengingat pentingnya
permasalahan tersebut, Bank Indonesia telah menetapkan upaya hukum
perlindungan nasabah sebagai salah satu pilar dalam Arsitektur Perbankan
Indonesia (API) yang diluncurkan oleh Gubernur Bank Indonesia pada
tanggal 9 Januari 2004.
Arsitektur Perbankan Indonesia itu sangat penting dalam upaya
menciptakan sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien. Membangun
industri perbankan yang kuat dan sehat adalah suatu persyaratan mutlak
54
dalam perekonomian nasional, sebab melalui peran intermediasi perbankan
itulah roda perekonomian bisa digerakkan lebih cepat, sehingga stabilitas
ekonomi juga dapat terpelihara.70
Visi Arsitektur Perbankan Indonesia adalah menciptakan sistem
perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem
keuangan nasional dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Untuk merealisasikan pencapaian visi API tersebut maka ditetapkan 6 pilar
API. Keenam pilar API tersebut adalah sebagai berikut:71
1. Menciptakan struktur domestik yang sehat yang mampu memenuhi
kebutuhan masyarakat dan mendorong pembangunan ekonomi nasional
yang berkesinambungan.
2. Menciptakan sistem pengaturan dan pengawasan bank yang efektif dan
mengacu pada standar internasional.
3. Menciptakan industri perbankan yang kuat dan memiliki daya saing yang
tinggi serta memiliki ketahanan dalam menghadapi resiko.
4. Menciptakan good corporate governance dalam rangka memperkuat
kondisi internal perbankan nasional.
5. Mewujudkan infrastruktur yang lengkap untuk mendukung terciptanya
industri perbankan yang sehat.
6. Mewujudkan pemberdayaan dan perlindungan konsumen jasa perbankan
Berdasarkan keenam pilar Arsitektur Perbankan Indonesia yang
diuraikan diatas menunjukkan bahwa keberadaan Arsitektur Perbankan
Indonesia itu sangat penting dalam rangka menciptakan industri perbankan
yang sehat, kuat dan efisien, sehingga perbankan mampu menunjang
pelaksanaan pembangunan nasional. Kemudian jika dikaitkan dengan
perlindungan konsumen perbankan, masalah tersebut mendapatkan perhatian
yang khusus dalam Arsitektur Perbankan Indonesia, khususnya terdapat
70
Hermansyah, Op.cit, hlm. 181 71
Ibid, hlm. 182
55
dalam pilar keenam. Hal ini menunjukkan besarnya komitmen Bank
Indonesia dan perbankan untuk memperkuat perlindungan debitur di dalam
perjanjian kredit bank.
Pada dasarnya perlindungan terhadap debitur sudah diawali dengan
adanya asas keseimbangan dan keselarasan yang tercantum dalam norma
dasar negara kita, yakni pancasila khususnya sila kelima yaitu “Keadilan
Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Berdasarkan asas keseimbangan ini
maka tidak dikehendaki adanya suatu hubungan yang timpang diantara
sesama manusia Indonesia di mana yang satu lebih kuat dan mendominasi
yang lainnya. Asas ini kemudian dituangkan dalam batang tubuh UUD 1945,
mengatur bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam
hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung tinggi hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Ini berarti tidak ada seorang
warga negarapun yang memiliki kedudukan istimewa dimuka hukum. Begitu
pula halnya terhadap debitur maupun kreditur yang ada dalam perjanjian
kredit bank. Semua adalah sederajat dan memiliki hak-hak yang seimbang
satu sama lain. Namun karena kedudukannya sebagai dasar negara dan UUD,
perlindungan yang diberikan ini masih begitu umum dan abstrak, sehingga
masih memerlukan peraturan perundang-undangan lain dibawahnya.
Pelanggaran atas penyimpangan perjanjian dapat dalam bentuk
wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. KUH Perdata membedakan
dengan jelas antara perikatan yang lahir dari perjanjian dan perikatan yang
lahir dari Undang-Undang. Akibat hukum suatu perikatan yang lahir dari
56
perjanjian memang dikehendaki oleh para pihak, karena memang perjanjian
didasarkan atas kesepakatan yaitu persesuaian kehendak antara para pihak
yang membuat perjanjian. Sedangkan akibat hukum suatu perikatan yang
lahir dari Undang-Undang bisa saja tidak kehendaki oleh para pihak, tetapi
hubungan hukum dan akibat hukumnya ditentukan oleh Undang-Undang.
Apabila atas perjanjian yang disepakati terjadi pelanggaran, maka dapat
diajukan gugatan wanprestasi, karena ada hubungan kontraktual antara para
pihak yang menimbulkan kerugian dan pihak yang menderita kerugian.
Apabila tidak ada hubungan kontraktual antara para pihak yang menimbulkan
kerugian dan pihak yang menderita kerugian , maka dapat diajukan gugatan
perbuatan melawan hukum.72
Berikut adalah penjelasan mengenai
wanprestasi dan perbuatan melawan hukum:
a. Wanprestasi
Menurut Kamus Hukum, wanprestasi berarti “Kelalaian, kealpaan,
cidera janji, tidak menepati kewajibannya dalam kontrak”. Wanprestasi
adalah suatu keadaan dalam mana seorang debitor (berutang) tidak
melaksanakan prestasi yang diwajibkan dalam suatu kontrak, yang dapat
timbul karena kesengajaan atau kelalaian debitor itu sendiri dan adanya
keadaan memaksa (overmacht).73
Seorang debitor baru dikatakan wanprestasi apabila ia telah
diberikan somasi oleh kreditor atau jurusita. Somasi itu minimal telah
dilakukan sebanyak tiga kali oleh kreditor atau jurusita. Apabila somasi
tersebut tidak diindahkannya, maka kreditor berhak membawa persoalan
72
Evalina Yessica, Karakteristik dan Kaitan antara Perbuatan Melawan Hukum dan
Wanprestasi, Jurnal Universitas Sebelas Maret Surakarta, Vol.1 No.2, November 2014, hlm. 51 73
Muhammad Syaifuddin, Op.cit, hlm. 338
57
itu ke pengadilan. Dan pengadilanlah yang akan memutuskan, apakah
debitor wanprestasi atau tidak.74
Pernyataan lalai sebagai syarat prosedural penentuan momen/saat
terjadinya wanprestasi disimpulkan dari substansi Pasal 1243 KUH
Perdata, yaitu:
“Penggantian biaya, kerugian, dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu
perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai,
tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus
diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui tenggang
waktu yang telah ditentukan”.
Merujuk kepada Pasal 1243 KUH Perdata, dapat dipahami bahwa,
suatu wanprestasi baru terjadi jika debitor atau pihak yang mempunyai
kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak, dinyatakan lalai untuk
melaksanakan prestasinya, atau dengan kata lain, wanprestasi ada jika
debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi
dalam kontrak tersebut tidak dapat membuktikan bahwa ia telah
melakukan wanprestasi itu diluar kesalahannya atau karena keadaan
memaksa. Sehingga, “pernyataan lalai” adalah suatu rechtmiddel atau
upaya hukum kontrak untuk sampai kepada tahap debitor atau pihak yang
mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak tersebut
dinyatakan “wanprestasi”.
Di dalam Pasal 1249 KUH Perdata, ditentukan bahwa penggantian
kerugian yang disebabkan karena wanprestasi hanya ditentukan dalam
bentuk uang, ketentuan pasal tersebut antara lain yaitu:
74
Salim H.S, Op.cit, hlm 180
58
“Jika dalam suatu perikatan ditentukan bahwa pihak yang lalai
memenuhinya harus membayar suatu jumlah uang tertentu sebagai ganti
kerugian maka kepada pihak yang lain tak boleh diberikan suatu jumlah
yang lebih ataupun yang kurang dari jumlah itu”.
Dalam perkembangannya, menurut para ahli dan yurisprudensi
bahwa kerugian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu ganti rugi
materil dan ganti rugi inmateriil. Kerugian materiil adalah suatu kerugian
yang diderita dalam bentuk uang/kekayaan/benda sedangkan kerugian
inmateriil bukan merupakan suatu kerugian dalam bentuk uang tetapi
dalam hal seperti rasa sakit, mukanya pucat, dan lain-lain.75
b. Perbuatan Melawan Hukum
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mengatur pengertian
perbuatan mewan hukum. Hanya dalam Pasal 1365 KUHPerdata
ditentukan syarat-syarat untuk menuntut ganti kerugian karena perbuatan
melawan hukum, jika kerugian itu timbul karena ada unsur kesalahan dari
si pelaku.
Dalam Pasal 1365 KUH Perdata, menyatakan bahwa:
“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada
orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena
kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut”.
Dari rumusan ini, bahwa ketentuan dalam Pasal 1365
KUHPerdata, mempunyai unsur-unsur:76
1) Ada perbuatan melawan hukum
Awalnya pengertian melawan hukum hanya diartikan secara
sempit yaitu sebagai perbuatan yang melanggar Undang-Undang saja,
75
Salim H.S, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Op.cit, hlm. 182 76
Djaja S. Meliala, Perkembangangan Hukum Perdata tentang Benda dan Hukum
Perikatan, Cet. 1, CV. Nuansa Aulia, Bandung, 2007, hlm.111-116
59
akan tetapi Hoge Raad dalam kasusnya yang terkenal Lindenbaum
melawan Cohen memperluas pengertian melawan hukum adalah
Setiap perbuatan atau tidak berbuat yang:
a) Melanggar hak subjektif orang lain (hak yang ditentukan Undang-
Undang)
b) Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku (kewajiban yang
ditentukan Undang-Undang)
c) Bertentangan dengan tata susila atau bertentangan dengan
kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian yang seharusnya dimiliki
seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau
terhadap harta benda orang lain.
2) Ada kesalahan
Apabila seseorang harus bertanggungjawab berdasarkan
perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud Pasal 1365
KUHPerdata, maka orang itu harus bersalah. Kesalahan itu harus
dibuktikan oleh pihak yang menuntut ganti rugi atau beban
pembuktian ada pada pihak penggugat (Pasal 1865 KUHPerdata).
Namun demikian ada kalanya suatu keadaan tertentu dapat
meniadakan unsur kesalahan, misalnya dalam hal adanya keadaan
memaksa (overmacht) atau si pelaku tidak sehat pikirannya (gila).
Namun Undang-undang perlindungan konsumen meletakkan
beban pembuktian kepada pihak tergugat atau pelaku usaha (Pasal 28
UUPK), dikenal dengan unsur pembuktian terbalik.
3) Adanya kerugian
Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak mengatur tentang
ganti kerugian yang harus dibayar karena perbuatan melawan hukum,
sedangkan Pasal 1243 KUHPerdata memuat ketentuan tentang ganti
kerugian karena wanprestasi. Maka menurut jurisprudensi ketentuan
ganti kerugian karena wanprestasi dapat diterapkan untuk menentukan
ganti kerugian karena perbuatan melawan hukum.
Ganti rugi terhadap perbuatan melawan hukum adalah suatu
bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada orang yang telah
menimbulkan kesalahan kepada pihak yang dirugikannya. Ganti rugi
itu timbul karena adanya kesalahan, bukan karena adanya perjanjian.77
4) Adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan perbuatan
77
Salim H.S, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Op.cit, hlm. 181
60
Dari penjelasan mengenai wanprestasi dan perbuatan melawan
hukum tersebut diatas, kemudian dikaitkan dengan hasil penelitian yang
penulis lakukan, perjanjian baku yang dibuat oleh Bank Mandiri Kota
Mataram selaku kreditur dapat digolongkan sebagai perbuatan melawan
hukum karena pihak Bank Mandiri Kota Mataram selaku kreditur telah
membuat perjanjian kredit bank yang mengandung klausula eksonerasi,
dimana klausula eksonerasi merupakan klausula terlarang yang diatur
dalam Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Pasal 22
POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor
Jasa Keuangan.
Berdasarkan penjelasan yang terdapat dalam Pasal 1365 KUH
Perdata dapat ditentukan unsur-unsur untuk mengajukan gugatan atas
perbuatan melawan hukum adalah adanya perbuatan melawan hukum,
adanya kesalahan, adanya kerugian yang timbul dan adanya hubungan
kausal antara perbuatan dan kerugian. Ketentuan ini hanya mengatur
syarat yang harus dipenuhi bilamana seseorang menderita kerugian yang
disebabkan karena perbuatan melawan hukum oleh orang lain yang
hendak mengajukan tuntutan ganti kerugian di hadapan Pengadilan
Negeri.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa perlindungan
terhadap debitur dibagi menjadi dua, yakni bersifat preventif dan yang
bersifat represif. Perlindungan preventif adalah perlindungan yang
sifatnya mencegah terjadinya suatu permasalahan, yaitu permasalahan
61
yang timbul akibat ditandatanganinya perjanjian kredit bank.
Perlindungan ini lazimnya melalui peraturan perundang-undangan yang
memuat mekanisme yang menuntun pihak bank maupun debitur agar
pada saat pelaksaan perjanjian tidak menimbulkan permasalahan.
Sedangkan perlindungan represif adalah perlindungan yang diberikan
terhadap debitur setelah terjadinya permasalahan dan bersifat
menanggulangi.
1. Perlindungan yang bersifat preventif ada dalam ketentuan Pasal-pasal
sebagai berikut:
a. Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan, yang menyatakan bahwa:
“Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman
perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia”.
Dalam Pasal ini menegaskan bahwa bank dalam
memberikan kredit harus sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia, yang antara lain memuat ketentuan.
1) Pemberian kredit dibuat dalam perjanjian tertulis
Adanya ketentuan ini dikarenakan Undang-Undang
Perbankan tidak mengatur bagaimana seharusnya bentuk dari
perjanjian kredit. Sehingga untuk mengamankan kredit dan
memberikan kepastian hukum, Bank Indonesia dengan
62
Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 27/162/KEP/SIR dan
Surat Edaran Bank Indonesia No. 27/7/UUPPB masing-masing
dikeluarkan pada tanggal 31 maret 1995. Menetapkan bahwa
setiap kredit yang disetujui dan disepakati, harus dituangkan
dalam perjanjian (akad) kredit secara tertulis.
2) Kewajiban bank untuk menyusun dan menerapkan prosedur
pemberian kredit
Dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
No.27/162/KEP/DIR dan surat edaran bank indonesia
no.27/7/UUPB ditetapkan penyusunan kebijaksanaan
perkreditan bank yang dapat dijadikan panduan bagi bank
dalam menyusun kebijakan perkreditannya. Paling tidak
kebijakan tersebut memuat dan mengatur hal-hal pokok
mengenai prinsip kehati-hatian dalam perkreditan, organisasi
dan manajemen perkreditan, kebijakan persetujuan kredit,
dokumentasi dan administrasi kredit, pengawasan kredit serta
penyelesaian kredit bermasalah. Dengan adanya ketentuan ini,
bank dituntut untuk tetap konsekuen atas kebijakan internal
yang mereka buat dan tidak membuat perjanjian serta
memberikan kredit keluar dari ketentuan yang telah ditetapkan
sehingga kepentingan debitur dapat dilindungi.
63
3) Kewajiban bank untuk memberikan informasi yang jelas
mengenai prosedur persyaratan kredit
Dalam prakteknya bank sangat jarang memberikan
informasi yang jelas kepada debiturnya, hal ini tentu akan
menyulitkan debitur, apalagi debitur adalah kelompok
masyarakat dengan pengetahuan minim, sehingga bukan tidak
mungkin hal tersebut akan menyebabkan permasalahan antara
debitur dan kreditur dikemudian hari. Berdasarkan hal
tersebutlah Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan agar bank
wajib memberikan informasi yang sejelas-jelasnya dan
selengkap-lengkapnya kepada debitur.
b. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan, yang menyatakan bahwa:
(1) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas
maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi
surat berharga atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan
oleh bank kepada peminjam atau sekelompok peminjam yang
terkait termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam
kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan.
(2) Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
boleh melebihi 30 % (tiga puluh perseratus) dari modal bank
yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(3) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas
maksimum pemberikan kredit, atau pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi
surat berharga, atau hal lain yang serupa yang dapat dilakukan
oleh bank kepada :
64
a. pemegang saham yang memiliki 10 % (sepuluh
perseratus) atau lebih dari modal disetor bank ;
b. anggota Dewan Komisaris ;
c. anggota Direksi ;
d. keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, dan huruf c ;
e. pejabat bank lainnya ; dan
f. perusahaan-perusahaan yang di dalamnya terdapat
kepentingan dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e.
(4) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah, bank dilarang melampaui batas maksimum
pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah
sebagaimana diatur dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat
(4).
Dengan adanya pembatasan pemberian kredit yang
ditentukan oleh Bank Indonesia, secara tidak langsung memberikan
perlindungan terhadap nasabah kredit. Pembatasan ini mencegah
debitur agar tidak terhimpit hutang bank yang jumlahnya terus
membengkak dari hari ke hari di karenakan pemberian kredit dalam
jumlah besar yang tidak diimbangi dengan kemampuan debitur.
Pasal ini juga memberikan perlindungan terhadap debitur yang
jujur dari adanya kemungkinan tindakan semena-mena bank
sebagai pemilik dana dan pihak yang memahami manajemen
perbankan menekan debitur mengenai jumlah kredit sehingga
debitur memperoleh kredit dalam jumlah yang kecil dengan tingkat
bunga tinggi. Tentunya ini sangat memberatkan debitur mengingat
kedudukannya sebagai pihak yang harus mengembalikan kredit.
c. Perlindungan preventif berikutnya yaitu dalam Pasal 2 UUPK
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
65
Konsumen yang menjelaskan secara umum mengenai perlindungan
konsumen. Ada lima azas perlindungan konsumen, antara lain
sebagai berikut:
1. Azas manfaat, mengandung makna bahwa segala upaya dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan
manfaat sebesar-besarnya kepada konsumen maupun kepada
pelaku usaha.
2. Azas keadilan, mengandung makna bahwa baik konsumen
maupun pelaku usaha diberikan kesempatan untuk memperoleh
hak dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Azas keseimbangan, mengandung makna bahwa negara
memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen,
pelaku usaha dan pemerintah baik dalam arti materiil maupun
spiritual.
4. Azas keamanan dan keselamatan, berarti bahwa negara
memberikan jaminan atas keselamatan dan keamanan
konsumen dalam pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
digunakan.
5. Azas kepastian hukum, berarti bahwa negara menjamin adanya
suatu kepastian hukum kepada konsumen maupun pelaku usaha
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen.
Dari ketentuan dan penjelasan Pasal 2 UUPK tersebut, azas
manfaat dalam perbankan ditujukan kepada konsumen bank yaitu
debitur dan pihak bank sendiri sebagai kreditur. Dengan
perlindungan tersebut agar memacu debitur untuk bersemangat
menjalankan usahanya, sehingga tingkat perekonomian menjadi
meningkat.
Kemudian azas keseimbangan dan keadilan, pembentuk
Undang-Undang telah meletakkan debitur, kreditur dan pemerintah
dalam posisi kepentingan yang setara. Maksudnya tidak ada satu
pihakpun yang kepentingannya diutamakan, didahulukan bahkan
diistimewakan dibanding pihak yang lain.
66
Berkaitan dengan azas-azas yang telah disebutkan, maka
pembuatan maupun pelaksanaan perjanjian kredit bank juga
dituntut untuk tetap mengacu pada azas dasar perlindungan
konsumen tersebut. Oleh karena itu, tidak dibenarkan adanya suatu
standart contract yang berat sebelah. Baik bank maupun debitur
harus menyadari bahwa mereka memiliki kepentingan seimbang
satu sama lain, dan untuk itu mereka harus bekerjasama dengan
cara-cara yang adil serta dengan pembagian hak maupun
tanggungjawab yang adil pula.
2. Selanjutnya yaitu perlindungan bersifat represif anatara lain terdapat
dalam pasal-pasal berikut ini:
a. Dalam Pasal 45 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
menentukan bentuk penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh
oleh konsumen yang merasa dirugikan, Pasal tersebut menentukan
sebagai berikut:
(1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku
usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa
antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang
berada di lingkungan peradilan umum.
(2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui
pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela
para pihak yang bersengketa
(3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur
dalam Undang-undang.
(4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di
luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat hanya
dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak
67
berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang
bersengketa.
b. Pasal 1 butir 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, yang menyatakan bahwa:
“Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang
bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku
usaha dan konsumen”.
c. Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI)
No.8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan. Mediasi Perbankan
adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator
untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai
penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian
ataupun seluruh permasalahan yang dipersengketakan.
Selanjutnya berdasarkan perlindungan yang bersifat
represif sebagaimana tersebut diatas maka kreditur akan
mendapatkan sanksi berupa:
Dalam Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan
Konsumen menentukan sanksi pidana yang dapat dikenakan
kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 yakni dipidana penjara paling lama 5
(lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.
2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah). Sedangkan dalam Pasal 53
ayat (1) POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan telah menentukan sanksi kepada
Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan/atau pihak yang melanggar
68
ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan berupa sanksi
administratif, yaitu:
a. Peringatan tertulis;
b. Denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang
tertentu;
c. Pembatasan kegiatan usaha; dan
d. Pencabutan izin kegiatan usaha.
Dalam perjanjian kredit Bank Mandiri Kota Mataram telah
menentukan bahwa atas segala akibat hukum mengenai perjanjian
kredit tersebut, para pihak sepakat memilih tempat kediaman
hukum yang umum dan tetap pada kantor kepaniteraan pengadilan
negeri yang wewenangnya meliputi wilayah tempat kedudukan
kantor Bank yang memberi kredit. Sehingga dalam hal ini debitur
dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian terhadap Bank Mandiri
Kota Mataram karena telah telah melakukan perbuatan melawan
hukum, bentuk ganti kerugiannya terdapat dalam Pasal 1365 KUH
Perdata, Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan
Konsumen dan sanksi administratif dalam Pasal 53 ayat (1) POJK
Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor
Jasa Keuangan pada Pengadilan Negeri Kota Mataram.
69
BAB V
PENUTUP
C. KESIMPULAN
1. Perjanjian kredit di Bank Mandiri Kota Mataram menerapkan klausula
eksonerasi yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen dan POJK Nomor 1/POJK.07/2013
tentang Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan.
Akibat hukum dari penerapan klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit
bank di Bank Mandiri Kota Mataram, berdasarkan Pasal 1320 KUH
Perdata dapat dinyatakan batal demi hukum karena tidak terpenuhinya
syarat sah perjanjian mengenai causa yang halal (syarat objektif), sebab
telah bertentangan telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 1337
KUHPerdata dimana isi perjanjiannya telah mencantumkan klausula
eksonerasi dalam perjanjian baku dimana hal tersebut bertentangan dengan
Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen dan Pasal 22 ayat (1) dan ayat (3) POJK
Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan.
Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen juga berakibat batal demi hukum karena telah
melanggar ketentuan dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen. Demikian juga berdasarkan POJK
Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan
berakibat batal demi hukum karena telah melanggar ketentuan dalam Pasal
70
22 POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Jasa
Keuangan.
2. Perlindungan terhadap debitur atas penggunaan klausula eksonerasi
meliputi:
a. Perlindungan preventif, yang bersifat mencegah permasalahan yang
mungkin timbul akibat ditandatanganinya perjanjian kredit bank,
terdapat dalam Pasal 8 ayat (2) dan Pasal 11 Undang-undang
Perbankan serta di Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
b. Perlindungan bersifat represif, perlindungan yang diberikan terhadap
debitur setelah terjadinya permasalahan dan bersifat
menanggulanginya.
1) Terdapat dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat
menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas
menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau
melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
2) Dalam Pasal 1 butir 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen, bahwa penyelesaian melalui
badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang
bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku
usaha dan konsumen.
3) Bank Indonesia menerbitkan peraturan Bank Indonesia (PBI)
No.8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan. Mediasi Perbankan
71
adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator
untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai
penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap
sebagian ataupun seluruh permasalahan yang dipersengketakan.
D. SARAN
1. Dalam pembuatan perjanjian kredit, bank harus memperhatikan klausula-
klausula yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen dan POJK Nomor 1/POJK.07/2013
tentang Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan, sehingga perjanjian
kredit yang telah dibuat tidak bisa dimintakan pembatalan ke pengadilan
oleh debitur, akibat memuat klausula yang dilarang oleh Undang-
Undang.
2. Bagi debitur hendaknya lebih memahami dahulu perjanjian baku yang
ditawarkan bank dalam perjanjian kredit, sehingga dapat terhindar dari
kerugian yang diakibatkan adanya perjanjian baku yang mencantumkan
klausula eksonerasi.
Bagi kreditur hendaknya tidak hanya memperhatikan keuntungan atau
takut akan kegagalan pengembalian kredit oleh debitur dengan cara
mencantumkan klausula eksonerasi. Akan lebih baik jika bank untuk
meminimalisir terjadinya kerugian yaitu dengan cara memberikan
peringatan dan pemberitahuan kepada debitur akan adanya atau
berlakunya klausul-klausul penting dalam perjanjian sebelum atau pada
saat penandatanganan perjanjian, menggunakan bahasa yang mudah
72
untuk di pahami oleh debitur dan memberikan waktu yang cukup bagi
debitur untuk memahami isi dari perjanjian yang ditetapkan oleh
kreditur.
73
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Asikin, Zainal dan Amiruddin dan, Pengantar Metode Penelitian Hukum,
Rajawali Pers, Jakarta, 2014.
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Prenada Media Group,
Jakarta, 2006.
H.S, Salim, Hukum Kontrak Teori Dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar
Grafika, Jakarta, 2011.
-------, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar Kuh Perdata, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2004.
-------, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, 2014.
Imron, Ali, Perubahan Keadaan dan Fungsi Iktikad Baik Dalam Pelaksanaan
Perjanjian, Bayumedia Publishing, Malang, 2008.
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2005.
Kristiyanti, Celina Tri Siwi, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika,
Jakarta, 2014.
Kurniawan, Hukum Perlindungan Konsumen, Pustaka Bangsa, Mataram,
2016.
Meliala, Djaja S., Perkembangangan Hukum Perdata tentang Benda dan
Hukum Perikatan, CV. Nuansa Aulia, Bandung, 2007.
Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2009.
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1999.
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2003.
Nasution, A.Z, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit
Media, Jakarta, 2001.
74
Nasution, Bahder Johan, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju,
Bandung, 2008.
Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
Soemirto, Hanitijo dalam Mukti Fajar ND dan Yulianto Ahmad, Dualisme
Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
2013.
Soeroso, R., Perjanjian Di Bawah Tangan Pedoman Praktis Pembuatan dan
Aplikasi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
Suyatno, Thomas, H.A. Chalik, Made Sukada, C. Tinon Yunianti Ananda,
Dasar-Dasar Perkreditan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
2007.
Syaifuddin, Muhammad, Hukum Kontrak Memahami Kontrak dalam
Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum (Seri
Pengayaan Hukum Perikatan), CV. Mandar Maju, Bandung, 2016.
Tobing, Rudyanti Dorotea, Hukum Perjanjian Kredit Konsep Perjanjian
Kredit Sindikasi Yang Berasaskan Demokrasi Ekonomi, Laksbang
Grafika, Yogyakarta, 2014
Usman, Rachmadi, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.
Widjaja, Gunawan, dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan
Konsumen, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000.
Yudo, Sutarman dan Ahmad Miru, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2004
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana Media Group, Jakarta,
2013.
B. Peraturan-Peraturan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Indonesia, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, LN No. 42 Tahun 1999, TLN No. 3821.
Indonesia, Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, LN No.
182 Tahun 1998, TLN. No. 3790
75
Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 1/POJK.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, LN No. 118 Tahun
2013, TLN No. 5431
C. Jurnal/Skripsi
Danty Listiawati, “Klausula Eksonerasi dalam Perjanjian Standar dan
Perlindungan Hukum Bagi Konsumen,” (Skripsi Universitas Sebelas
Maret Surakarta).
Evalina Yessica, Karakteristik dan Kaitan antara Perbuatan Melawan Hukum
dan Wanprestasi, Jurnal Universitas Sebelas Maret Surakarta, Vol.1
No.2, November 2014, hlm. 51
Nurjannah et. All.,Penerapan Klausul Eksonerasi dan Akibat Hukumnya
dalam Perjanjian Pembiayaan Musyarakah pada Bank Syariah (Studi
Putusan Pengadilan Agama Nomor 967/Pdt.G/2012/PA.Mdn), USU
Law Jurnal, Vol.4 No. 1, Januari 2014.
Mohammad Wisno Hamin, “Perlindungan Hukum Bagi Nasabah (Debitur)
Bank sebagai Konsumen Pengguna Jasa Bank Terhadap Risiko dalam
Perjanjian Kredit Bank”, Jurnal Lex Crimen, Vol. VI/No.1/Jan-
Feb/2017.
Regino G. Salindeho, “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Atas
Pengguna Barang Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen,” Jurnal Lex Crimen, Vol. V/No. 7,
September 2016.
D. Internet
Jun Verbeet,2017, Perjanjian Standar dan Klausula Eksonerasi dalam Hukum
Perlindungan Konsumen Indonesia, diakses dari
http://pecanduhukum.blogspot.co.id/2009/03/perjanjian-standar-
dan-klausula.html,hukum perjanjian standar dan klausula
eksonerasi dalam hukum perlindungan konsumen Indonesia, 07
Oktober 2017
76
LAMPIRAN