TINJAUAN SISTEMATIS: PENGARUH JENIS PATI DAN …
Transcript of TINJAUAN SISTEMATIS: PENGARUH JENIS PATI DAN …
TINJAUAN SISTEMATIS: PENGARUH JENIS PATI DAN
PLASTICIZER TERHADAP KARAKTERISTIK EDIBLE FILM
MELATI MAEKY PERMATA
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2020
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Tinjauan
Sistematis: Pengaruh Jenis Pati dan Plasticizer Terhadap Karakteristik Edible
Film” adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2020
Melati Maeky Permata
F24160061
ABSTRAK
MELATI MAEKY PERMATA. Tinjauan Sistematis: Pengaruh Jenis Pati dan
Plasticizer terhadap Karakteristik Edible Film. Dibimbing oleh NUGRAHA EDHI SUYATMA.
Edible film merupakan bahan pengemas organik berbentuk lapisan tipis
berupa lembaran yang diaplikasikan pada bahan pangan. Penggunaan edible film
dapat menghambat pembusukan oleh mikroba dan difusi oksigen serta uap air ke
dalam bahan pangan sehingga keamanan pangan tetap terjaga. Material yang
berpotensi untuk dijadikan edible film adalah pati-patian karena ketersediannya
melimpah, ekonomis, bersifat biodegradable, dan dapat memberikan karakteristik
fisik dan mekanis yang baik. Tinjauan sistematis ini bertujuan untuk
mengidentifikasi, menganalisis, membandingkan sumber literatur berupa
penelitian yang membahas pengaruh jenis pati dan plasticizer terhadap
karakteristik edible film yang dihasilkan. Data dan infomasi yang dicantumkan
pada penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari jurnal, skripsi,
tesis, disertasi, dan berbagai artikel ilmiah yang sumber isinya dapat
dipertanggungjawabkan dan relevan dengan penelitian atau kajian yang dilakukan.
Pencarian pustaka dilakukan pada tiga database: Google Scholar, Research Gate
dan Science Direct. Proses penyeleksian menghasilkan 22 pustaka sesuai kriteria
yang memuat bahan dasar edible film: pati singkong, jagung, sagu, kentang, buah
sukun, dan buah lindur. Edible film yang terbuat dari pati memiliki kekurangan,
yaitu rendahnya resistensi terhadap air dan sifat penghalang terhadap uap air yang
berpengaruh terhadap kestabilan film. Untuk meningkatkan kestabilannya, perlu
ditambahkan polimer lainnya, yaitu plasticizer. Karakteristik terbaik edible film
mengacu pada standar edible film yang ditentukan pada Japanese Industrial
Standard (1975). Dapat diketahui secara umum, semua jenis pati dan plasticizer
dapat menghasilkan nilai ketebalan, water vapor transmition rate, kuat tarik, dan
elongasi yang sesuai standar dengan perbandingan kadar pati dan plasticizer
tertentu. Penambahan plasticizer pada kadar tertentu dapat menurunkan kualitas
dari karakteristik edible film.
Kata kunci: edible film, pati, plasticizer, tinjauan sistematis
ABSTRACT
MELATI MAEKY PERMATA. A Systematic Review: The Effect of Starch and
Plasticizer Types on Characteristics of Edible Film. Supervised by NUGRAHA EDHI SUYATMA.
Edible film is an organic packaging material consisting of a thin sheet which
is applied to food ingredients. The use of edible films can inhibit microbial
spoilage and diffusion of oxygen and water vapor into the foodstuffs, so that food
safety is maintained. The material that has potential to be used as edible film is
starch because it is abundant, economic, biodegradable, and can be provide good
physical and mechanical characteristics. This systematic review aims to identify,
analyze, and compare literature sources that discusses the effect of starch and
plasticizers types on characteristics of edible film produced. The data and
information included in this research are secondary data obtained from journals,
theses, dissertations, and various scientific articles whose content sources
accountable and relevant to the research or study conducted. The library search
was carried out on three databases: Google Scholar, ResearchGate and Science
Direct. The selection process resulted in 22 articles according to the criteria
containing the basic ingredients of edible film: starch of cassava, corn, sago,
potatoes, breadfruit, and lindur fruit. Edible films made of starch have
disadvantages, that is low resistance to water and barrier properties against water
vapor that affect the stability of the film. To increase its stability, it is necessary to
add other polymers, that is plasticizers. The best characteristics of edible films
refer to the edible film standards specified in the Japanese Industrial Standard
(1975). It is generally known that all types of starch and plasticizers can produce
thickness, water vapor transmition rate, tensile strength, and elongation values
according to the standard with a certain ratio of starch and plasticizer content. The
addition of plasticizer at a certain level can reduce the quality of the
characteristics of the edible film.
Keywords: edible film, plasticizer, starch, systematic review
© Hak Cipta milik IPB, tahun 20201
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak
merugikan kepentingan IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
TINJAUAN SISTEMATIS: PENGARUH JENIS PATI DAN
PLASTICIZER TERHADAP KARAKTERISTIK EDIBLE FILM
MELATI MAEKY PERMATA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana pada
Program Studi Teknologi Pangan
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2020
Tim Penguji pada Ujian Skripsi:
1 Dr. Didah Nur Faridah
2 Dr. Muhammad Arpah
Judul Skripsi : Tinjauan Sistematis: Pengaruh Jenis Pati dan Plasticizer Terhadap
Karakteristik Edible Film
Nama : Melati Maeky Permata
NIM : F24160061
Disetujui oleh
Pembimbing 1: Dr. Nugraha Edhi Suyatma, STP, DEA
Diketahui oleh
Ketua Program Studi:
Dr. Eko Hari Purnomo STP. M.Sc
NIP 19760412 199903 1 004
Tanggal Ujian: 15 September 2020
Tanggal Lulus: 01 Februari 2021
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih adalah kemasan pangan berupa edible film, dengan judul “Tinjauan
Sistematis: Pengaruh Jenis Pati dan Plasticizer terhadap Karakteristik Edible
Film.”
Penulis menyampaikan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu dan mendukung selama penyusunan skripsi ini, yaitu kepada:
1. Rohmanuadi Al Herman Tetuko dan Siti Kulwati, terima kasih untuk kedua
orang tua, kakak-kakak dan adik (Lutfia, Garsinia, Azizah, dan Hadi), serta
seluruh keluarga besar atas segala doa dan dukungannya,
2. Dr. Nugraha Edhi Suyatma, STP, DEA selaku dosen pembimbing, atas bantuan
dan waktu yang telah diluangkan untuk memberikan bimbingan, arahan, dan
dukungan selama perkuliahan dan penyusunan tugas akhir,
3. Dr. Didah Nur Faridah dan Dr. Muhammad Arpah selaku dosen penguji
skripsi, serta seluruh dosen pengajar mata kuliah, teknisi laboratorium, dan
staff di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
4. Teman-teman yang selalu memberikan dukungan dan motivasi, yaitu Tsabitah
Shofiyana, Alifah Syahfitri, Octaria Intan, Nur Dona Oktaviani, Eka Sulaecha,
Desi Amalia, dan Tashia Agustin,
5. Teman-teman satu bimbingan atas segala bantuan dan dukungannya, yaitu
Riani Atikah, Meghan Oceanny, dan Alifa Sekarputri,
6. Teman-teman Yeasterian Ilmu dan Teknologi Pangan angkatan 53 yang telah
membersamai selama lebih kurang 4 tahun di kampus serta memberi bantuan
dan dukungan selama proses penyusunan tugas akhir ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam
penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu penulis memohon kritik dan saran demi
perbaikan dan penyempurnaan selanjutnya. Semoga karya ilmiah ini dapat
bermanfaat untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan, khususnya dalam
lingkup Ilmu dan Teknologi Pangan.
Bogor, September 2020
Melati Maeky Permata
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xi
I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan 2
1.3 Manfaat 2
II METODE 3
III HASIL DAN PEMBAHASAN 5
3.1 Edible Film dan Jenis-jenis Pati sebagai Bahan Utamanya 5 3.2 Plasticizer yang Ditambahkan pada Edible Film 18
3.3 Karakteristik Edible Film Berdasarkan Japanese Industrial Standard
(JIS) 1975 21
IV SIMPULANDAN SARAN 38
4.1 Simpulan 38 4.2 Saran 38
DAFTAR PUSTAKA 39
RIWAYAT HIDUP 46
DAFTAR TABEL
1 Standar Edible Film dari Japanese Industrial Standard (1975) 7
2 Penelitian mengenai pati singkong sebagai edible film 9
3 Hasil perhitungan total bakteri pada fillet ikan nila 10
4 Penelitian mengenai pati jagung sebagai edible film 11
5 Penelitian mengenai pati sagu sebagai edible film 13
6 Kelebihan dan kelemahan berbagai jenis pati sebagai bahan baku edible
film 17
7 Hasil pengukuran ketebalan edible film dengan sumber pati dan
plasticizer yang beragam 22
8 Hasil pengukuran water vapor transmission rate (WVTR) edible film
dengan sumber pati dan plasticizer yang beragam 26
9 Hasil pengukuran kuat tarik edible film dengan sumber pati dan
plasticizer yang beragam 29
10 Hasil pengukuran elongasi edible film dengan sumber pati dan
plasticizer yang beragam 33 11 Karakteristik edible film yang telah sesuai dengan Japanese Industrial
Standard (JIS) 1975 37
DAFTAR GAMBAR
1 Diagram alir PRISMA penyaringan dan penyeleksian pustaka 4
2 Proses pembuatan edible film 5
3 Struktur amilosa 6
4 Struktur amilopektin 6
5 (a) Aplikasi edible film pada buah dan (b) sosis 7
6 Aplikasi edible film pada produk konfeksionari 8
7 Pati singkong 8
8 Pati jagung 10
9 Pati sagu 12
10 Pati kentang 14
11 Pati beras 14
12 Buah lindur 15
13 Buah sukun 16
14 (a) Struktur kimia sorbitol dan (b) Hasil foto SEM pada permukaan
edible film dengan perbesaran 5000x 19
15 Struktur kimia gliserol 20
16 Struktur kimia PEG 21
1
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahan pangan umumnya mudah mengalami penurunan kualitas yang
ditandai dengan kerusakan. Menurut Siregar dan Irma (2012), hal ini dipengaruhi
oleh faktor lingkungan, kimia, biokimia, dan mikrobiologi. Salah satu cara untuk
mempertahankan kualitas bahan pangan yaitu dengan melakukan pengemasan
yang tepat. Pengemasan merupakan suatu proses pembungkusan dengan bahan
pengemas yang bertujuan untuk melindungi dan mempertahankan kualitas dan
keamanan pangan tersebut (Kusumawati dan Putri 2013). Salah satu bahan
pengemas yang banyak digunakan saat ini adalah plastik karena memiliki
beberapa keunggulan, yaitu ringan, kuat, mudah dibentuk, banyaknya variasi
bahan dasar, dan harganya terjangkau (Waryat et al. 2013). Namun, penggunaan
material plastik ini memiliki dampak negatif pada pencemaran lingkungan
sehingga dibutuhkan alternatif bahan pengemas lain yang lebih ramah lingkungan
(Widodo et al. 2019).
Salah satu bahan pengemas yang dapat digunakan sebagai alternatif adalah
edible film. Edible film merupakan bahan pengemas organik berbentuk lapisan
tipis berupa lembaran yang diaplikasikan pada bahan pangan (Winarti et al. 2012).
Lapisan tipis ini dapat dimakan sekaligus dengan bahan pangan yang dikemasnya
(Siregar dan Irma 2012). Setiani et al. (2013) mengungkapkan bahwa edible film
bersifat ramah lingkungan karena dapat diuraikan kembali oleh mikroorganisme
secara alami. Penggunaan edible film dapat menghambat pembusukan oleh
mikroba dan difusi oksigen serta uap air ke dalam bahan pangan sehingga
keamanan pangan tetap terjaga (Saleh et al. 2017). Menurut Winarti et al. (2012),
Kusumawati dan Putri (2013), Setiani et al. (2013), dan Jacoeb et al. (2014),
material yang berpotensi untuk dijadikan edible film adalah pati-patian.
Pati merupakan salah satu jenis polisakarida yang ketersediannya melimpah,
bersifat biodegradable, dan dapat memberikan karakteristik fisik dan mekanis
yang baik (Winarti et al. 2012). Pati tersusun atas dua polisakarida, yaitu amilosa
(15-25%) dan amilopektin (75-85%) yang tersimpan dalam granula pati. Amilosa
memiliki struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa, sementara amilopektin
memiliki struktur bercabang dengan ikatan α-(1,6)-D-glukosa (Winarno 2002).
Karakteristik edible film berbahan dasar pati yang dihasilkan dipengaruhi oleh
kadar amilosa dan amilopektin yang terkandung di dalamnya. Amilopektin
memengaruhi kestabilan, sedangkan amilosa memengaruhi kekompakan edible
film. Di samping itu, amilopektin yang tinggi pada pati menghasilkan edible film
yang jernih. Kawijia et al. (2017) mengungkapkan bahwa edible film berbasis pati
bersifat non isotropik, tidak beracun, tidak berasa, dan transparan. Dalam
mengembangkan potensi berbagai sumber pati sebagai material utama edible film,
para peneliti terdahulu telah melakukan penelitian, di antaranya Siregar dan Irma
(2012), Amalina (2013), Ulfiah (2013), Wijaya (2013), Pamuji (2014), Narendro
(2014), Muin et al. (2017), Saleh et al. (2017), Kawija et al. (2017), Utami et al.
(2017), Moulia (2018), dan Sariningsih et al. (2019) telah melakukan pembuatan
edible film berbasis pati singkong.
Selain itu penelitian edible film juga dilakukan dengan berbahan dasar pati
jagung oleh Amaliya dan Putri (2014) dan Mulyadi et al. (2016); pati sagu oleh
2
Wattimena et al. (2016), Larasati (2017), Mudaffar (2018), Suwarda (2019), dan
Rusmawati (2020); pati labu kuning oleh Widodo et al. (2019), pati sukun oleh
Setiani et al. (2013) dan Marpongahtun (2013), pati beras oleh Tarigan dan
Damanik (2018), pati jahe oleh Sariningsih et al. (2019), pati umbi garut oleh
Darmajana dan Ghaffar (2018), pati umbi kimpul oleh Warkoyo et al. (2014), pati
umbi uwi oleh Zulmanwardi et al. (2018), pati buah lindur oleh Jacoeb et al.
(2014), dan lainnya.
Edible film yang terbuat dari pati memiliki beberapa kelemahan, di
antaranya rendahnya resistensi terhadap air. Sifat penghalang terhadap uap air
juga rendah karena sifat hidrofilik pati dapat memengaruhi stabilitas dan sifat
mekanisnya (Garcia et al. 2011). Rendahnya stabilitas film akan memperpendek
umur simpan karena uap air dan mikroba dapat masuk dan akhirnya merusak
bahan pangan (Tarigan dan Damanik 2018). Oleh sebab itu, untuk meningkatkan
karakteristik fisik dan mekanis dari film pati, maka perlu penambahan biopolimer
atau bahan lain yaitu plasticizer. Penambahan plasticizer dapat mengurangi
kerapuhan dan memudahkan pencetakan film, serta mampu meningkatkan
fleksibilitas dan ketahanan film, terutama jika disimpan pada suhu rendah (Winarti
et al. 2012). Jenis plasticizer yang biasanya ditambahkan adalah sorbitol, trietilen
glikol, gliserol, asam lemak, dan monogliserin yang diasetilasi.
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh jenis
plasticizer terhadap karakteristik edible film yang dihasilkan. Penelitian tersebut
di antaranya pengaruh gliserol terhadap karakteristik edible film berbahan dasar
pati singkong (tapioka) oleh Yulianti dan Ginting (2012), Amalina (2013), Ulfiah
(2013), Muin et al. (2017), Saleh et al. (2017), Utami et al. (2017), dan Moulia
(2018); pengaruh gliserol terhadap karakteristik edible film berbahan pati jagung
oleh Estiningtyas et al. (2012), Kusumawati dan Putri (2013), dan Mulyadi et al.
(2016); pengaruh gliserol terhadap karakteristik edible film berbahan pati buah
lindur oleh Jacoeb et al. (2014), pengaruh gliserol terhadap karakteristik edible
film berbahan pati sagu oleh Wattimena et al. (2016); pengaruh sorbitol terhadap
karakteristik edible film berbahan pati singkong oleh Saleh et al. (2017), Yulianti
dan Ginting (2012), dan Wijaya (2013); pengaruh sorbitol terhadap karakteristik
edible film berbahan pati sukun oleh Setiani et al. (2013) dan Marpongahtun
(2013); pengaruh sorbitol terhadap karakteristik edible film berbahan pati beras
oleh Tarigan dan Damanik (2018), dan lainnya.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi, mengevaluasi, menganalisis, dan
membandingkan sumber literatur berupa hasil penelitian yang membahas
pengaruh jenis pati dan plasticizer terhadap karakteristik edible film yang
dihasilkan, yaitu ketebalan, water vapor transmission rate, kuat tarik, dan
elongasi.
1.3 Manfaat
Berdasarkan tujuan yang akan dicapai, tinjauan sistematis ini dapat
dijadikan sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya mengenai sintesis dari
berbagai hasil penelitian yang lebih komprehensif dan berimbang terkait pengaruh
jenis pati dan plasticizer terhadap karakteristik edible film yang dihasilkan.
3
II METODE
Metode yang digunakan dalam tinjauan sistematis ini adalah studi pustaka
dengan pendekatan kualitatif. Studi pustaka adalah serangkaian kegiatan yang
berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca, dan mencatat
serta mengolah bahan penelitian (Supriyadi 2016). Menurut Zed (2003), ada
beberapa ciri utama yang diperhatikan dalam studi pustaka. Pertama, peneliti
berhadapan langsung dengan teks atau angka. Kedua, data pustaka bersifat siap
pakai yang mana peneliti tidak perlu terjun langsung ke lapangan. Ketiga, data
pustaka umumnya adalah data sekunder karena peneliti memperoleh data dari
tangan kedua, bukan data pertama hasil terjun di lapangan. Pendekatan kualitatif
dalam tinjauan sistematis juga dapat digunakan untuk merangkum hasil-hasil
penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif.
Penyusunan tinjauan sistematis ini mengacu pada Perry dan Hammond
(2002), dengan tahapan proses sebagai berikut: 1) Mengidentifikasi pertanyaan
(rumusan) masalah; 2) Mengembangkan protokol penelitian tinjauan sistematis; 3)
Menetapkan lokasi database hasil penelitian sebagai pencarian wilayah; 4)
Menyeleksi hasil-hasil penelitian yang relevan; 5) Memilih hasil-hasil penelitian
yang berkualitas; 6) Mengekstraksi data; 7) Melakukan sintesis hasil dengan
teknik naratif; dan 8) Penyajian hasil dengan menuliskan hasil penelitian dalam
bentuk dokumen tinjauan sistematis.
Berdasarkan uraian di atas, pengumpulan sumber pustaka dilakukan dengan
mengunduh pustaka melalui tiga database utama, yaitu Google Scholar, Research
Gate, dan Science Direct. Pembatasan waktu publikasi pustaka yang digunakan
yaitu tahun 2010 – 2020. Pencarian pustaka menggunakan operasi Boolean, yaitu
“AND,” “NOT,” dan “OR” (Knoll et al. 2018). Contoh kata kunci yang
digunakan adalah “edible film starch AND gliserol AND ketebalan AND elongasi
AND water vapor transmission rate”. Sumber pustaka yang telah diunduh
kemudian dilakukan penyeleksian, apabila terdapat sumber pustaka yang tidak
memuat informasi terkait penelitian, maka pustaka tersebut tidak digunakan.
Data dan informasi yang dicantumkan pada penelitian ini merupakan data
sekunder yang diperoleh dari jurnal, skripsi, tesis, disertasi, dan berbagai artikel
ilmiah yang sumber isinya dapat dipertanggungjawabkan dan relevan dengan
penelitian atau kajian yang dilakukan. Sumber pustaka yang digunakan memiliki
beberapa kriteria sebagai berikut:
1) Sumber pustaka merupakan tulisan ilmiah berupa jurnal nasional maupun
internasional terakreditasi dan buku yang memiliki nomor ISSN
(International Standard Serial Number) atau ISBN (International Standard
Book Number),
2) Sumber pustaka berfokus pada penelitian edible film berbasis pati-patian,
3) Sumber pustaka memaparkan secara detail prosedur pembuatan edible film
termasuk kondisi pembuatan edible film, yaitu volume larutan, bobot pati,
kadar pati, volume plasticizer, konsentrasi plasticizer.
Sumber pustaka mencantumkan karakteristik edible film yang dihasilkan
sesuai dengan yang telah ditetapkan pada Japanese Industrial Standard (1975),
yaitu ketebalan, water vapor transmition rate, kuat tarik, dan elongasi.
4
Prosedur penyaringan dan penyeleksian pustaka mengacu pada Tawfik et al.
(2019) dengan modifikasi tertentu dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Diagram alir PRISMA penyaringan dan penyeleksian pustaka
Sumber pustaka yang telah diseleksi selanjutnya dibuat database pada Microsoft Excel dan dicatat kondisi pembuatan edible film, yaitu volume larutan
(mL), bobot pati (g), kadar pati (%), volume plasticizer (mL), dan konsentrasi
plasticizer (%). Parameter karakteristik edible film yang dicatat adalah ketebalan
(mm), water vapor transmission (g/m2/24 jam), kuat tarik (MPa), dan elongasi
(%). Apabila data memiliki satuan yang berbeda, maka dilakukan konversi satuan
agar data seragam. Dari hasil tersebut, dapat dievaluasi, dianalisis, dan
dibandingkan antar pustaka satu dengan yang lain.
152 pustaka terpublikasi hasil pencarian
dari database Google Scholar, Research
Gate, dan Science Direct
Analisis dan seleksi pustaka
berdasarkan judul dan abstrak
61 pustaka tidak
digunakan karena
judul dan abstrak
tidak sesuai
91 judul dan abstrak pustaka
terseleksi
29 pustaka tidak
digunakan karena
metode tidak sesuai
62 pustaka terseleksi berdasarkan
metode penelitian
40 pustaka tidak
digunakan karena tidak
mencantumkan data
yang lengkap
22 pustaka terseleksi dalam sintesis
kualitatif
Analisis dan seleksi pustaka secara
keseluruhan
Analisis dan seleksi pustaka
berdasarkan metode penelitian
Incl
uded
E
ligib
ilit
y
Scr
eenin
g
Iden
tifi
cati
on
Gelatinisasi (T= ±85oC)
Plasticizer Pendinginan (T= ±60oC)
5
III HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Edible Film dan Jenis-jenis Pati sebagai Bahan Utamanya
Edible film merupakan suatu lapisan tipis yang dapat dimakan, digunakan
untuk melapisi makanan yang berfungsi sebagai penghalang terhadap perpindahan
massa (kelembapan, oksigen, cahaya, lipid, dan zat terlarut) serta meningkatkan
penanganan suatu makanan (Krochta dan Johnston 1997). Menurut Kusumawati
et al. (2013), edible film merupakan suatu lapisan tipis yang melapisi bahan
pangan yang layak dikonsumsi, dan dapat terdegradasi oleh alam secara biologis.
Edible film dapat menghambat pembusukan oleh mikroba dan difusi oksigen serta
uap air ke dalam bahan pangan sehingga keamanan pangan tetap terjaga (Saleh et
al. 2017). Edible film juga dapat dipadukan dengan komponen tertentu yang dapat
menambah nilai fungsional, misalnya bersifat antioksidan dan antibakteri
(Kusumawati et al. 2013). Diagram alir mekanisme pembuatan edible film dapat
dilihat pada Gambar 2.
Bahan utama (polipeptida/polisakarida/lipida)
Gambar 2 Proses pembuatan edible film (Jaya dan Sulistyawati 2010)
Umumnya, edible film tersusun atas protein (polipeptida), karbohidrat
(polisakarida), dan lemak (lipida) sebagai komponen utama. Ketiga bahan tersebut
sama-sama bersifat termoplastik sehingga mudah dicetak menjadi sebuah
lembaran. Selain itu, polimer ini juga bersifat mudah terurai atau biodegradable
(Harsojuwono dan Amata 2017). Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh
Setiani et al. (2013) bahwa edible film bersifat ramah lingkungan karena dapat
diuraikan kembali oleh mikroorganisme secara alami.
Pengeringan
(T= ±100oC; t= ±4jam)
Pencetakan ke plat
Film
Akuades Pengadukan
6
Pada golongan karbohidrat (polisakarida) yang banyak dimanfaatkan
sebagai bahan edible film, di antaranya adalah pati dan turunannya, selulosa dan
turunannya (metil selulosa, karboksil metil selulosa, dan hidroksi propil metil
selulosa), pektin ekstrak ganggang laut (agar, alginat, dan karagenan), gum arab,
gum xanthan, dan kitosan (Gennadios dan Weller 1990). Edible film yang
berbahan dasar polisakarida ini memiliki peran sebagai membran permeabel yang
selektif terhadap gas O2 dan CO2 untuk menurunkan laju respirasi. Beberapa
aplikasi edible film dari polisakarida dapat digunakan untuk mencegah dehidrasi,
oksidasi lemak dan pencokelatan enzimatis, dan mengurangi laju respirasi
(Moulia 2018). Selain itu, edible film berbahan polisakarida ini juga dapat
memperbaiki flavor, tekstur, dan warna, meningkatkan stabilitas selama
penyimpanan, dan mengurangi tingkat kebusukan (Kroctha dan Johnston 1997).
Menurut Winarti et al. (2012), Kusumawati dan Putri (2013), Setiani et al.
(2013), dan Jacoeb et al. (2014), material yang berpotensi untuk dijadikan edible
film adalah pati-patian. Pati tersusun atas dua polisakarida, yaitu amilosa (15-
25%) dan amilopektin (75-85%) yang tersimpan dalam granula pati. Amilosa
memiliki struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa, sementara amilopektin
memiliki struktur bercabang dengan ikatan α-(1,6)-D-glukosa (Winarno 2002).
Struktur amilosa dan amilopektin pati dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4.
Gambar 3 Struktur amilosa
Sumber: Boediono (2012)
Gambar 4 Struktur amilopektin
Sumber: Boediono (2012)
Kestabilan edible film berbahan dasar polisakarida dipengaruhi oleh kadar
amilopektin, sedangkan kekompakan edible film dipengaruhi oleh kadar
amilosanya (Moulia 2018). Pati yang mengandung amilosa tinggi menghasilkan
film yang lentur dan kuat karena struktur amilosa dapat memungkinkan terjadinya
pembentukan ikatan hidrogen antarmolekul glukosa penyusunnya dan selama
pemanasan mampu membentuk jaringan tiga dimensi yang dapat memerangkap
air sehingga menghasilkan gel yang kuat (Nisah 2017). Oleh sebab itu,
karakteristik edible film yang dihasilkan tiap jenis pati pun berbeda, tergantung
dari kadar amilosa dan amilopektinnya.
Karakteristik edible film yang baik memiliki standar yang telah ditetapkan
oleh Japanese Industrial Standard (1975). Standar karakteristik edible film
menurut Japanese Industrial Standard (1975) dapat dilihat pada Tabel 1.
7
Tabel 1 Standar Edible Film dari Japanese Industrial Standard (1975)
Karakterisik edible film Japanese Industrial Standard
Ketebalan edible film Maks. 0.25 mm
Laju transmisi uap air Maks. 10 g/m2/24 jam
Kuat tarik Min. 0.3 MPa
Elongasi Min. 70%
Sumber: Japanese Industrial Standard (JIS) 1975 (Sudarno et al. 2015).
3.1.1 Aplikasi Edible Film pada Pangan
Penggunaan edible film sebagai bahan pengemas organik sudah banyak
dimanfaatkan sejak lama bahkan saat ini digunakan secara komersial. Beberapa
aplikasi penggunaan edible film adalah sebagai kemasan primer, barrier, pengikat
(binding), dan pelapis (glaze). Edible film sebagai kemasan primer diaplikasikan
pada permen, sayur dan buah segar, sosis, daging, dan produk hasil laut (Gambar
5). Sebagai barrier, edible film yang terbentuk dari gellan gum dan garam
monovalen/bivalen dimanfaatkan untuk absorpsi minyak pada bahan pangan yang
digoreng sehingga menghasilkan bahan pangan dengan kandungan minyak yang
rendah.
(a) (b)
(c)
Gambar 5 (a) Aplikasi edible film pada buah dan (b) sosis
Pemanfaatan lainnya yaitu edible coating yang terbuat dari protein jagung
diproduksi secara komersial digunakan untuk produk-produk konfeksionari
seperti pada permen dan cokelat, fry shiled yang tersusun atas pektin, remah-
remahan roti dan kalsium digunakan untuk mengurangi lemak saat penggorengan,
8
dan film zein yang bersifat barrier untuk uap air dan gas pada kacang-kacangan
dan buah-buahan dapat diaplikasikan pada kismis untuk sereal sarapan siap santap
(Gambar 6).
Gambar 6 Aplikasi edible film pada produk konfeksionari
Aplikasi edible film yang tersusun atas pektin pada paprika dapat
menurunkan susut bobot, memperlambat pelunakan, mempertahankan kadar air
dan warna dengan masa simpan 8 hari (Permanasari 1998). Sementara itu,
paprika yang dilapisi dengan edible film berbahan baku pati sagu (tapioka) dapat
mempertahankan mutu dan sisi organoleptik dapat diterima dengan masa simpan
lebih lama, yaitu 33 hari (Miskiyah et al. 2009). Sedangkan aplikasi edible film
berbahan baku pati sagu (tapioka) pada roti tawar dapat memperpanjang umur
simpan pada suhu kamar dengan masa simpan 7 hari (Kechichian et al. 2010).
3.1.2 Edible Film dari Pati Singkong
Pati singkong (Gambar 7) didapatkan dari proses pengolahan singkong yang
meliputi pencucian, pemarutan (penggilingan), penambahan air, penyaringan,
pengepresan, pengendapan, penirisan, dan pengeringan (Pamuji 2014). Pati
singkong memiliki amilopektin tinggi sebesar 83% sehingga menyebabkan pati
ini bersifat sangat jernih, tidak mudah menggumpal, memiliki daya pemekat yang
tinggi, tidak mudah pecah, dan suhu gelatinisasinya rendah (Tan et al. 2017).
Gambar 7 Pati singkong (Sumber: www. holistickenko.com)
Hal ini akan memengaruhi hasil dari pembuatan edible film. Pati yang
memiliki kadar amilosa tinggi akan membentuk edible film yang kuat karena akan
terjadi pembentukan ikatan hidrogen antarmolekul glukosa penyusun. Sementara
itu, hasil edible film yang terbuat dari pati dengan kadar amilopektin tinggi yaitu
bening dan elastis (Thirathumthavorn dan Charoenrein 2007).
Penggunaan pati singkong sebagai bahan utama dari edible film juga
memiliki beberapa keunggulan, yaitu tidak berbau, tidak berasa, tidak berwarna,
9
tidak beracun, bersifat biodegradable, dan memiliki tingkat kejernihan yang tinggi
(Pamuji 2014). Selain itu, ketersediaan bahan baku utama pati yaitu tanaman
singkong termasuk mudah dan harganya murah sehingga memiliki prospek bagus
di masa depan jika edible film ini diproduksi dalam skala industri (Matsui et al.
2004). Hal ini menyebabkan pati singkong banyak dimanfaatkan sebagai bahan
edible film.
Penelitian tentang pemanfaatan pati singkong sebagai edible film dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Penelitian mengenai pati singkong sebagai edible film
Kombinasi pati singkong
dengan berbagai macam
bahan
Hasil penelitian Referensi
Pati singkong sebagai
bahan edible film dengan
plasticizer sorbitol dan
gliserol
Penambahan asam sitrat
10%, 20%,dan 30% dari
berat pati
Komposisi bahan
singkong (80%), gliserol
(5%), dan limonena (5%)
Penambahan ZnO-NP 3%
dan gliserol 20%
Penambahan natrium
alginat 1% dan gliserol
Penambahan natrium
alginat 1% dan sorbitol
Penambahan agar 4% dan
gliserol
Penambahan ZnO,
ekstrak bawang putih,
dan gliserol pada edible
film pati singkong
Film mampu mempertahankan
kualitas potongan buah apel
sampai 4.5 jam, sedangkan dengan
gliserol dapat bertahan hingga 5
jam.
Terjadi reaksi cross-linking yang
berpengaruh terhadap peningkatan
ketebalan dan kelarutan film serta
penurunan laju transmisi uap air
Film mampu menahan penguapan
kadar air pada buah stroberi dan
dapat mempertahankan tekstur
buah stroberi selama 3 hari. Film dapat digunakan sebagai
bahan kemasan makanan dengan
sifat antibakteri
Film bersifat aman bagi tubuh dan dapat dikonsumsi setelah melalui
uji toksisitas
Film memiliki tingkat homogenitas
yang baik, transparan, dapat
dimakan dan mempertahankan
mutu pangan, serta meningkatkan
kecerahan warna pangan
Film mampu menahan
permeabilitas penguapan air pada
buah stroberi selama lima hari
Larutan bionanokomposit dapat
menghambat bakteri S. aureus dan
E. coli. Aplikasi pada pempek
dapat bertahan hingga 24 jam dan
secara organoleptik dapat diterima oleh konsumen
Saleh et al. (2017)
Kawija et al. (2017)
Narendro (2014)
Pamuji (2014)
Ulfiah (2013)
Wijaya (2013)
Amalina (2013)
Moulia (2018)
10
3.1.3 Edible Film dari Pati Jagung
Pati jagung atau biasa dikenal dengan maizena (Gambar 8) adalah
hidrokoloid yang berasal dari biji jagung yang mengandung amilopektin tinggi.
Pati jagung mengandung amilosa sebesar 30% dan amilopektin sebesar 70%, serta
lemak dan protein kurang dari 1% (Liu et al. 2009). Pati jagung dipilih sebagai
bahan utama edible film pada penelitian yang dilakukan oleh Amaliya dan Putri
(2014), dilatarbelakangi oleh sifat higroskopis pati jagung lebih rendah pada RH
(Relative Humidity) 50%, yaitu sekitar 11% jika dibandingkan dengan pati
singkong (13%), pati beras (14%), maupun pati kentang.
Gambar 8 Pati jagung (Sumber: www.thespruceeats.com)
Penelitian yang telah dilakukan oleh Amaliya dan Putri (2014)
menggunakan bahan pati jagung dan ekstrak kunyit putih menunjukkan bahwa
edible film dapat menurunkan laju transmisi uap air. Semakin tinggi kadar pati
jagung, maka nilai laju transmisi air cenderung menurun. Hal ini dikarenakan
terbentuknya ikatan polimer yang semakin kuat dengan peningkatan konsentrasi
pati yang digunakan sehingga menjadi penghalang masuknya uap air ke dalam
produk pangan yang dikemas menggunakan edible film. Mulyadi et al. (2016)
dalam penelitiannya (Tabel 3) juga menunjukkan bahwa edible film dari pati
jagung yang ditambahkan dengan ekstrak daun beluntas dapat menurunkan jumlah
total bakteri pada ikan nila.
Tabel 3 Hasil perhitungan total bakteri pada fillet ikan nila
Dengan
edible film
Tanpa
edible film
Suhu ruangan (ALT)
35.4 x 105
koloni/g
150.2 x 105
koloni/g
Suhu chiller (ALT)
1.51 x 105
koloni/g
124.18 x 105
koloni/g
SNI 7388:2009
5 x 105 koloni/g
5 x 105 koloni/g
Sumber: Mulyadi et al. (2014)
Pada proses pelapisan fillet ikan nila terdapat dua suhu untuk membandingkan jumlah total bakteri yang dapat dihambat, yaitu pada suhu
ruangan 25oC ± 5oC dan pada suhu chiller (lemari pendingin) ± 4oC. Hasilnya
fillet ikan nila yang telah dikemas dengan edible film memiliki total bakteri yang
lebih sedikit dari pada fillet ikan nila yang tidak dilapisi edible film sama sekali.
Mengacu pada SNI 7388:2009, jumlah total bakteri yang terdapat pada fillet ikan nila yang dilapisi oleh edible film telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
11
Penelitian lebih lanjut mengenai pati jagung sebagai edible film secara singkat
tercantum pada Tabel 4.
Tabel 4 Penelitian mengenai pati jagung sebagai edible film
Kombinasi pati jagung
dengan berbagai macam bahan
Hasil penelitian Referensi
Penambahan ekstrak kunyit putih (1%, 4%,
dan 7%)
Penambahan ekstrak
temu hitam (3%, 5%, dan
7%)
Penambahan gliserol
(8%, 10%, dan 12%) dan
ekstrak daun beluntas
(20%, 25%, dan 30%)
Penambahan glukomanan
yang diisolasi dari umbi
iles-iles sebesar 15%
Penambahan ekstrak jahe
(10%, 20%, dan 30%)
Edible film memiliki daya hambat
terhadap bakteri indikator S.
aureus dan E. coli dan semakin
besar seiring peningkatan
konsentrasi ekstrak kunyit putih
Edible film memiliki aktivitas
antioksidan dan total senyawa
fenol yang tinggi seiring
peningkatan konsentrasi ekstrak
temu hitam
Edible film belum dapat
melindungi fillet ikan nila pada
suhu ruang sesuai dengan yang
telah ditentukan dalam SNI
7388:2009
Glukomanan menyebabkan laju
transmisi uap air rendah sehingga
mampu menghambat susut bobot
serta pencokelatan buah apel
hingga 3 hari. Peningkatan
konsentrasi glukomanan
meningkatkan ketebalan,
kelarutan, kekuatan regang putus,
dan elongasi edible film
Terjadi peningkatan angka TBA
pada sosis, penurunan tingkat
kerusakan oksidatif lemak dan
nilai asam lemak bebas seiring
dengan peningkatan konsentrasi
ekstrak jahe dan lama waktu
penyimpanan. Penambahan
ekstrak jahe 10% tidak
berpengaruh nyata terhadap laju
transmisi uap air, elongasi, kuat
tarik, dan ketebalan.
Amaliya dan Putri (2014)
Kusumawati dan
Putri (2013)
Mulyadi et al.
(2016)
Siswanti et al. (2013)
Estiningtyas et al.
(2012)
12
3.1.4 Edible Film dari Pati Sagu
Pati sagu (Gambar 9) seperti halnya jenis pati yang lain juga tersusun atas
amilosa dan amilopektin, yang mana keduanya memengaruhi pembuatan edible
film. Sifat amilosa adalah dapat larut air sehingga semakin tinggi kadar amilosa
maka semakin mudah edible film dapat diangkat atau dilepas dari cetakan. Hal ini
dapat meminimalisir kerusakan edible film berupa sobek ketika proses
pengangkatan atau pelepasan dari cetakan. Berdasarkan pengukuran kadar amilosa
dan amilopektin yang dilakukan oleh Mudaffar (2018), pati sagu mengandung
7,2% amilosa dan 77,36% amilopektin. Oleh karena kadar amilosa yang rendah,
hal ini menyulitkan pada saat pengangkatan atau pelepasan edible film dari
cetakannya.
Gambar 9 Pati sagu (Sumber: www.perkebunan.litbang.pertanian.go.id)
Pati sagu termodifikasi dilakukan bertujuan memperbaiki sifat-sifat pati
sekaligus sifat edible film yang dihasilkannya (Polnaya et al. 2012). Salah satu
modifikasinya, yaitu pati fosfat (Lim dan Seib 1993; Muhammad et al. 2000) dan
pati sagu yang difosforilasi (Polnaya et al. 2012). Polnaya et al. (2012)
menghasilkan pati sagu fosfat dengan cara mereaksikannya dengan menggunakan
reagen modifikasi natrium tripolifosfat (STTP) untuk menghasilkan monostarch
phosphate. Gugus fosfat ini akan menggantikan gugus hidroksil pada pati sagu
sehingga pati fosfat yang dihasilkan dapat meningkatkan stabilitas dan
memperbaiki tekstur pada edible film dibandingkan dengan edible film yang
berasal dari pati sagu alami.
Penelitian yang dilakukan oleh Wattimena et al. (2016) menunjukkan
bahwa edible film yang menggunakan bahan dari pati sagu fosfat memiliki
kelarutan lebih tinggi dibandingkan pati sagu alami. Hal ini disebabkan
meningkatnya kemampuan film untuk berikatan dengan air karena substitusi
gugus hidroksil pada pati dengan gugus fosfat. Selain meningkatkan kemampuan
mengikat air, pati fosfat juga dapat meningkatkan kejernihan pasta dan viskositas
(Lim dan Seib 1993). Namun, pati sagu fosfat hanya memengaruhi kelarutan
edible film di dalam air saja dan tidak berpengaruh pada sifat-sifat edible film
lainnya, seperti elongasi, laju transmisi uap air, kuat tarik, dan kejernihan.
13
Penelitian mengenai pati sagu sebagai edible film secara singkat tercantum
pada Tabel 5.
Tabel 5 Penelitian mengenai pati sagu sebagai edible film
Kombinasi pati sagu
dengan berbagai macam
bahan
Hasil penelitian Referensi
Pati sagu diasetilasi dan
dikombinasikan dengan
ekstrak bawang putih (0,
0.2, dan 0.4)
Modifikasi pati sagu
fosfat dengan plasticizer
gliserol
Penambahan gelatin dan
beeswax (lilin lebah)
Penggunaan modifikasi
pati sagu asetat (0.05%,
2.5%, dan 5%)
Edible film yang dibuat dari pati
asetat (4%) menghasilkan
karakteristik yang lebih baik
daripada edible film pati
defatted dan penambahan
ekstrak bawang putih dapat
menghasilkan zona
penghambatan lebih besar
daripada kitosan
Perlakuan pati sagu fosfat hanya
menyebabkan meningkatnya
kelarutan edible film, namun
tidak memengaruhi sifat-sifat
film lainnya
Edible film memiliki kuat tarik
yang tinggi seiring peningkatan
konsentrasi beeswax karena
memiliki fase kristalin. Hal ini
menyebabkan jumlah matriks
polimer meningkat dan
membentuk film dengan struktur
polimer rapat dan tidak mudah
sobek
Pati sagu asetat hasil modifikasi
ikat silang asam asetat mampu
meningkatkan kejernihan pasta
dan freeze thaw stability serta
menurunkan sifat kelarutan dan
swelling power sehingga film
mudah dibentuk. Edible film
yang dihasilkan memiliki sifat
fisik dan mekanis yang baik dan
resisten terhadap uap air
sehingga dapat diaplikasikan
pada pangan berkadar air tinggi
Rusmawati (2020)
Wattimena et al.
(2016)
Mudaffar (2018)
Larasati (2017);
Suwarda (2019)
3.1.5 Edible Film dari Pati Kentang
Kentang merupakan sumber karbohidrat yang baik untuk dijadikan bahan
baku dalam pembuatan edible film. Kentang mengandung kadar pati sebesar 22-
28%. Berdasarkan penelitian karakterisasi pati yang dilakukan oleh Niken dan
14
Adepristian (2013), kadar amilosa yang terdapat di dalam pati kentang (Gambar
10) sebesar 23% dan amilopektin sebesar 77%.
Gambar 10 Pati kentang (Sumber: www.tabloidsinartani.com)
Sama halnya dengan edible film yang terbuat dari pati-patian lainnya, edible
film dari pati kentang dapat diterima secara organoleptik. Hal ini didukung oleh
penelitian Sjamsiah et al. (2017) yang menggunakan edible film berbahan pati
kentang pada permen jelly dan diuji hedonik (kesukaan) kepada 30 orang panelis.
Dalam pengisian kuesioner, panelis memberikan komentar warna edible film
memiliki aroma wangi khas pati kentang, tidak memiliki rasa, dan tidak memiliki
warna khas (transparan) sehingga dapat diterima oleh konsumen.
3.1.6 Edible Film dari Pati Beras
Pati beras (Gambar 11) yang mengandung amilosa dan amilopektin
merupakan bahan yang baik digunakan sebagai bahan pengemas (Phattaraporn et
al. 2011) Kandungan amilosa pada pati beras yang tinggi (30%) akan
menghasilkan kekuatan film yang baik. Hal ini dikarenakan struktur linear dari
amilosa mudah terikat dengan amilosa lainnya melalui ikatan hidrogen
dibandingkan amilopektin (Safira 2020). Kini pati beras telah diaplikasikan
sebagai biodegradable film untuk menggantikan polimer plastik secara parsial.
Namun, edible film yang terbuat dari pati beras memiliki kelemahan, yaitu sifat
mekaniknya rendah dan memiliki sifat hidrofilik sehingga perlu adanya
penambahan plasticizer.
Gambar 11 Pati beras (Sumber: www.sehatq.com)
Tarigan dan Damanik (2018) pada penelitiannya telah menunjukkan bahwa
pati beras yang dikombinasikan dengan sorbitol berpengaruh nyata pada hari 1-6
sehingga mampu meningkatkan daya tahan buah salak. Buah salak dapat
mempertahankan warna dan teksturnya dan pada hari selanjutnya baru mengalami
kerusakan karena meningkatnya respirasi.
15
3.1.7 Edible Film dari Pati Buah Lindur
Pati buah lindur berasal dari buah lindur yang berwarna hijau berbentuk
silinder dengan panjang antara 12–3 cm dan diameter 1.5–3 cm, memiliki kelopak
berwarna merah pada pangkal buah, dan termasuk jenis buah dari tumbuhan
mangrove spesies Bruguiera gymnorrhia. Buah lindur (Gambar 12) ini banyak
ditemukan di Pulau Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua
di mana sebagian masyarakat pesisir Indonesia di bagian timur sudah
memanfaatkan buah ini sebagai alternatif makanan pokok pengganti nasi (Rosyadi
et al. 2014).
Gambar 12 Buah lindur (Sumber: www.mangrovemagz.com)
Karbohidrat yang terkandung di dalam buah lindur cukup tinggi dengan
komposisi pati 57%, amilosa 31.56%, amilopektin 26.17%, dan dapat menjadi
sumber energi sebesar 371 kal/100 g (Seknun 2013). Pati buah lindur didapatkan
dengan beberapa tahapan sebagai berikut, yaitu pengupasan dan pemotongan buah lindur, penghalusan dengan penambahan natrium metabisulfit untuk mempertahan
derajat putihnya, penyaringan antara pati dan ampas, pengendapan selama 6 jam
di suhu ruang, pengeringan endapan pati pada suhu 50oC selama ±12 jam, dan
kemudian penghalusan serta pengayakan dengan saringan 150 mesh (Nurindra
2015).
Kandungan pati yang cukup tinggi pada buah lindur berpotensi untuk
dijadikan sebagai bahan baku penyusun edible film. Beberapa penelitian terkait
telah dilakukan, salah satunya oleh Jacoeb et al. (2014) yang membuat edible film
dari pati buah lindur dengan penambahan karagenan dan gliserol, namun belum
menghasilkan sifat mekanis yang baik. Penelitian yang dilakukan oleh Nurindra
(2015) menunjukkan bahwa penambahan carboxymethyl cellulose (CMC) pada
edible film berbasis pati buah lindur dengan konsentrasi yang bervariasi
memberikan pengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap ketebalan, kuat tarik,
elongasi, dan laju transmisi uap air. Penambahan konsentrasi CMC menghasilkan
peningkatan nilai ketebalan dan elongasi, namun menurunkan nilai laju transmisi
uap air dan kuat tarik.
3.1.8 Edible Film dari Pati Buah Sukun
Buah sukun atau Artocarpus altilis (Gambar 13) memiliki kandungan
karbohidrat yang tinggi dan mengandung sumber pati cukup tinggi yaitu sebesar
60%. Pati yang diperoleh dari buah sukun menghasilkan 18.5 g/100 g dengan
kemurnian 98.86% serta kandungan amilosa 27.68% dan amilopektin 72.32%
(Rincom dan Fanny 2004). Proses pembuatan pati sukun yang dilakukan pada
penelitian Putra et al. (2017) yaitu dimulai dengan proses pengupasan kulit,
16
pengecilan ukuran dengan cara dipotong-potong, perendaman dengan larutan
natrium metabisulfit, blansir, penghalusan dengan blender, pelarutan dengan air,
pengendapan, pengeringan pati, dan kemudian pengayakan.
Gambar 13 Buah sukun (Sumber: www.sehatq.com)
Secara fisik, penggunaan pati sukun sebagai bahan baku edible film
memiliki kelebihan, di antaranya tingkat kecerahan pati dengan nilai L sebesar
80.49 (Setiani et al. 2013) menghasilkan film yang transparan sehingga
meningkatkan nilai jual dan estetika serta tidak ada gugus fungsi baru yang
terbentuk selama proses pembentukan edible film setelah diuji dengan FTIR
(Fourier Transform Infrared Spectroscopy).
Secara singkat, kelebihan dan kekurangan jenis pati sebagai bahan dasar pembuatan edible film tercantum pada Tabel 6.
17
Tabel 6 Kelebihan dan kelemahan berbagai jenis pati sebagai bahan baku edible film
Jenis pati Kelebihan Kelemahan Referensi
Tapioka Film yang dihasilkan tidak berbau, tidak berasa, Film yang dihasilkan bersifat rapuh Pamuji (2014);
(Singkong) tidak berwarna, tidak beracun, memiliki tingkat kejernihan tinggi; bahan mudah didapat dan murah
Ulyarti et al.(2020)
Maizena
(Jagung)
Kadar amilosa yang tinggi (30%) menyebabkan
edible film memiliki permeabilitas O2, CO2, dan uap air rendah; permukaan film halus, kompak, dan fleksibel
Permukaan film tanpa penambahan plasticizer
tampak berpori, rapuh, dan patah; permeabilitas O2,
CO2, dan uap air tinggi
Garcia et al. 1998
Sagu Sifat film lebih fleksibel dan lebih kuat; permukaan Film tanpa plasticizer memiliki sifat mekanik kuat Maizura et al. 2007; film halus tanpa pori; permeabilitas O2, CO2, dan
uap air rendah; mudah diperoleh, harga murah, dan mudah dimodifikasi
tarik rendah dan bersifat hidrofilik Fazila et al. 2011; Nafchi et al. 2012
Kentang Kadar amilosa yang tinggi (23%) menyebabkan Permukaan film tanpa penambahan plasticizer Garcia et al. 1998 edible film memiliki permeabilitas O2, CO2, dan uap
air rendah; permukaan film halus, kompak, dan fleksibel
tampak berpori, rapuh, dan patah; permeabilitas O2,
CO2, dan uap air tinggi
Beras Kadar amilosa yang tinggi (30%) menyebabkan Sifat mekanik film yang dihasilkan rendah dan Safira (2020); lebih mudah terikat dengan amilosa lain melalui kurangnya penahan yang efisien terhadap senyawa Wittaya (2012) ikatan hidrogen sehingga film yang dihasilkan halus dengan polaritas tinggi karena pati beras bersifat
dan kompak hidrofilik
Buah Lindur Kandungan karbohidrat lebih tinggi dari beras dan jagung sehingga pati yang terkandung lebih banyak
Penggunaan bahan tunggal menghasilkan film yang bersifat rapuh dan tidak elastis
Nurindra et al. (2015)
Buah Sukun Film yang dihasilkan dapat tercampur secara fisika Kandungan amilopektin yang tinggi dan bersifat Setiani et al. (2013) karena tidak terbentuk gugus fungsi yang baru amorf, maka banyak ruang kosong sehingga film
yang dihasilkan memiliki ketahanan air rendah;
kekakuan masih jauh dari standar plastik propilena
18
3.2 Plasticizer yang Ditambahkan pada Edible Film
Edible film yang terbuat dari pati juga memiliki beberapa kelemahan, di
antaranya rendahnya resistensi terhadap air dan sifat penghalang terhadap uap air
juga rendah yang disebabkan oleh sifat hidrofilik pati dapat memengaruhi
stabilitas dan sifat mekanisnya (Garcia et al. 2011). Rendahnya stabilitas film akan
memperpendek umur simpan karena uap air dan mikroba dapat masuk dan
akhirnya merusak bahan pangan (Tarigan dan Damanik 2018). Oleh sebab itu,
untuk meningkatkan karakteristik fisik dan mekanis dari film pati, maka perlu
penambahan biopolimer atau bahan lain yaitu plasticizer.
Plasticizer merupakan bahan yang ditambahkan ke dalam suatu bahan
pembentuk film untuk meningkatkan fleksibilitasnya karena dapat menurunkan
gaya intermolekuler sepanjang rantai polimernya sehingga film akan lentur ketika
dibengkokkan (Yulianti dan Ginting 2012). Penambahan plasticizer dapat
mengurangi kerapuhan dan memudahkan pencetakan film, serta mampu
meningkatkan fleksibilitas dan ketahanan film, terutama jika disimpan pada suhu
rendah (Winarti et al. 2012). Secara umum, mekanisme kerja plasticizer sebagai
bahan pemlastis pada edible film menurut Guilbert et al. (1999) yaitu bermula dari
pembasahan dan adsorpsi dari polimer, kemudian terjadi penetrasi molekul pada
permukaan. Selanjutnya terjadi absorpsi serta difusi pada bagian dalam polimer
dan pemutusan pada bagian amorf dan pemotongan struktur yang menyebabkan
elastisitas meningkat.
Jenis bahan dan konsentrasi plasticizer dapat memengaruhi karakteristik
edible film yang dihasilkan. Menurut Guilbert et al. (1996), beberapa jenis
plasticizer yang sering digunakan dalam pembuatan edible film, yaitu 1)
monosakarida, disakarida, dan oligosakarida, 2) poliol (gliserol dan turunannya,
polietilen glikol, sorbitol), dan 3) lipid dan turunannya (asam lemak,
monogliserida dan esternya, asetogliserida, pospholipida, dan emulsifier lainnya).
Plasticizer yang umumnya digunakan adalah gliserol dan sorbitol. Beberapa jenis
plasticizer lainnya yang termasuk pemanis karbohidrat, seperti sukrosa, fruktosa,
glukosa, dan manosa digunakan sekaligus untuk menambah rasa yang lebih enak
pada makanan (Afifah et al. 2018). Menurut Kokoszka dan Lenart (2007),
kemampuan plasticizer juga bergantung pada tipe polimer, ukuran molekul,
konfigurasi molekul, jumlah gugus hidroksil bebas, dan kompatibilitas plasticizer
dengan polimer).
Pada tinjauan sistematis ini penelitian yang dipilih adalah yang
menggunakan plasticizer jenis poliol, yaitu sorbitol, gliserol, dan polietilen glikol.
Menurut Mchugh dan Krochta (1994), kelompok poliol adalah plasticizer yang
efektif mengurangi ikatan hidrogen internal sehingga akan meningkatkan jarak
intermolekulnya. Penggunaannya diketahui lebih efektif sehingga dapat dihasilkan
film dengan permeabilitas oksigen yang lebih rendah.
3.2.1 Sorbitol
Sorbitol (C6H14O6) merupakan salah satu gula alkohol yang merupakan hasil
reduksi dari glukosa di mana semua atom oksigen dalam molekul gula alkohol
yang sederhana terdapat dalam bentuk kelompok hidroksil, atau disebut juga
dengan kelompok polyhidric alcohol (poliol). Sorbitol digolongkan sebagai
kelompok poliol asiklik dengan enam rantai karbon.
19
Di Indonesia, sorbitol diproduksi dari tepung umbi tanaman singkong.
Selain pada singkong, sorbitol juga dapat ditemui pada alga merah Bostrychia
scorpiodes sebanyak 13.6% dan 10% pada tanaman beri dari spesies Rosaceace,
seperti buah pir, apel, ceri, peach, dan aprikot. Sorbitol juga bisa diproduksi dalam
jaringan tubuh manusia yang merupakan katalisasi dari D-glukosa oleh enzim
aldose reductase, yang mengubah struktur aldehida (CHO) dalam molekul
glukosa menjadi alkohol (CH2OH). Struktur kimia sorbitol dapat dilihat pada
Gambar 14.
Berdasarkan hasil SEM (Gambar 14) pada penelitian Wijaya (2013),
penyebaran bahan penyusun film tampak tersebar merata dan tidak ada perbedaan
antara bahan penyusunnya. Edible film yang dihasilkan tidak menunjukkan
adanya granula pati, menandakan bahwa granula pati telah mengalami proses
gelatinisasi pada pembuatan edible film berbahan pati buah sukun dan Wijaya
(2013).
(a) (b)
Gambar 14 (a) Struktur kimia sorbitol dan (b) Hasil foto SEM pada
permukaan edible film dengan perbesaran 5000x. Sumber:
Soesilo et al. (2005) dan Wijaya (2013)
Sorbitol dipilih karena dianggap lebih efektif, yaitu memiliki kelebihan
untuk mengurangi ikatan hidrogen internal pada ikatan intermolekuler sehingga
baik untuk menghambat penguapan air dari produk, dapat larut dalam tiap rantai
polimer sehingga akan mempermudah gerakan molekul polimer, sifat
permeabilitas O2 yang lebih rendah, ketersediaannya di alam dalam jumlah yang
banyak, harganya cukup terjangkau, dan bersifat non toksik (Astuti 2011).
Penggunaan sorbitol juga dapat menghasilkan edible film yang mengandung kadar
air rendah. Seperti yang dikemukakan oleh Mc Hugh dan Krochta (1994), sorbitol
memiliki kemampuan yang rendah dalam mengikat air dibandingkan gliserol dan
polietilen glikol (PEG). Hal ini juga berpengaruh pada ketebalan edible film yang
dihasilkan. Semakin banyak air yang terikat, maka film yang dihasilkan akan
semakin tebal (Syarifudin (2014).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sitompul dan Zubaidah (2017)
yang membandingkan penggunaan plasticizer sorbitol, gliserol, dan polietilen
glikol (PEG), bahwa edible film yang menggunakan sorbitol sebagai plasticizer
memiliki rata-rata kekuatan tarik dengan nilai yang lebih besar dibandingkan
gliserol dan PEG. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Bourtoom (2009),
bahwa kekuatan tarik dari film yang menggunakan sorbitol lebih baik daripada
plasticizer gliserol dan PEG. Hal ini disebabkan oleh struktur cincin sorbitol yang
menghalangi penyisipan antar rantai yang mengakibatkan kurang efektif dalam
20
menghambat interaksi antara rantai polimer. Sorbitol yang memiliki kemampuan
rendah dalam mengikat air juga menyebabkan menurunnya ikatan hidrogen rantai
polimer dibandingkan PEG dan gliserol (Sitompul dan Zubaidah 2017).
3.2.2 Gliserol
Gliserol yang memiliki rumus kimia C3H8O3 (Gambar 15) merupakan senyawa alkohol polihidrat dengan tiga gugus molekul hidroksil sehingga mudah
berikatan dengan air dan bila mengalami pemanasan air yang terikat akan mudah menguap (Gontard et al. 1993). Gliserol memiliki sifat fisik tidak berwarna, tidak
berbau, rasanya manis, berwujud cairan seperti sirup, titik lelehnya 17.8 oC, titik
didihnya 290 oC, dan larut dalam air dan etanol.
Gambar 15 Struktur kimia gliserol. Sumber: Ningsih (2015)
Gliserol efektif digunakan sebagai plasticizer karena mampu mengurangi
ikatan hidrogen internal pada ikatan intermolekul sehingga melunakkan struktur
film, meningkatkan mobilitas rantai biopolimer, dan memperbaiki sifat mekanik
film. Gliserol juga bersifat humektan dan memiliki kemampuan dalam menahan
air pada edible film (Lieberman dan Gilbert 1973).
Penambahan gliserol dapat meningkatkan fleksibilitas dan permeabilitas
film terhadap gas, uap air, dan gas terlarut. Gliserol juga memberikan pengaruh
terhadap kehalusan permukaan film. Yusmarlela (2009) menyatakan bahwa hal ini
dikarenakan gliserol membantu kelarutan pati sehingga dapat membentuk ikatan
hidrogen antara gugus OH pati dan gugus OH gliserol yang mana akan
meningkatkan sifat mekanik. Jumlah gliserol yang bertambah juga dapat
mengurangi nilai tegangan dan elongasi, begitu pula akan menambah daya kuat
tarik film (Larotonda et al. 2004).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Jacoeb et al. (2014), penambahan
gliserol pada edible film berbahan baku pati buah lindur dan karagenan
mengakibatkan penurunan gaya intermolekul yang akan menyebabkan
menurunnya kekuatan tarik pada formula A (pati buah lindur 4%, gliserol 1%, dan
karagenan 2%) dan D (pati buah lindur 4%, gliserol 1,5%, dan karagenan 2%).
Gliserol yang ditambahkan akan larut dalam tiap-tiap rantai polimer sehingga
akan mempermudah gerakan molekul polimer dan bekerja menurunkan suhu
transisi gelas. Jika suhu transisi gelas diturunkan, maka polimer yang terbentuk
akan semakin lunak dan menurunkan kuat tarik polimer (Park et al. 1996).
3.2.3 Polietilen Glikol (PEG)
Menurut Su (2009), polietilen glikol (PEG) adalah senyawa biokompatibel
yang bersifat sangat hidrofilik dan anti fouling. PEG dibuat secara komersial
melalui reaksi etilen oksida dengan air atau etilen glikol dengan sejumlah kecil
katalis natrium klorida. PEG merupakan salah satu bahan yang sering digunakan
21
sebagai bahan tambahan campuran polimer untuk meningkatkan
biokompabilitasnya. Secara umum, PEG memiliki sifat fisik mudah larut dalam
air, tidak toksik, dan tidak mudah diserap (Septiana 2017). Struktur kimia PEG
dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16 Struktur kimia PEG. Sumber: Banerjee et al. (2015)
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fransiska et al. (2018), edible
film yang terbuat dari κ-karagenan dengan penambahan PEG 8% tampak mengilat
dan sedikit berminyak. Penambahan konsentrasi PEG dapat meningkatkan titik
leleh dan menurunkan entalpi pada film κ-karagenan. Titik leleh yang meningkat
pada film κ-karagenan diharapkan bisa digunakan pada produk-produk pangan
yang memerlukan pemanasan pada batas suhu tertentu. Penambahan PEG sebagai
plasticizer juga dapat menurunkan kuat tarik dan mengurangi gaya antarmolekul
(Sogiana 2013). Hal ini dibuktikan pada penambahan PEG dari konsentrasi 6%
menjadi 8% dan 10%, film κ-karagenan mengalami penurunan kuat tarik.
3.3 Karakteristik Edible Film Berdasarkan Japanese Industrial Standard
(JIS) 1975
3.3.1 Ketebalan
Secara umum, penambahan pati berpengaruh nyata terhadap ketebalan
edible film. Semakin tinggi penambahan pati maka ketebalan edible film semakin
meningkat (Amaliya dan Widya 2014). Ketebalan merupakan salah satu
karakteristik edible film yang penting karena berpengaruh pada sifat penghalang
(barrier) terhadap uap air serta umur simpan produk. Semakin tinggi nilai
ketebalannya maka sifat edible film yang dihasilkan akan semakin kaku dan keras.
Di samping itu, produk yang dikemas akan semakin terlindungi dari pengaruh luar
(Jacoeb et al. 2014).
Nilai ketebalan didapatkan dari pengukuran menggunakan mikrometer.
Nilai yang ditunjukkan pada Tabel 7 memiliki hasil yang berbeda-beda,
dipengaruhi oleh kadar pati dan konsentrasi plasticizer yang ditambahkan.
Ketebalan edible film pada hasil penelitian 20 sumber pustaka memiliki nilai
antara 0.026 – 3.157 mm. Dari 54 data hasil penelitian literatur, terdapat 5 data
pada pati singkong (tapioka) yang melebihi nilai standar edible film yang
ditentukan pada Japanese Industrial Standard (1975), yaitu maksimal 0.25 mm.
Sementara itu, nilai ketebalan edible film dari pati yang lain, seperti maizena (pati
jagung), kentang, sagu alami dan asetat modifikasi, buah lindur, dan buah sukun,
sudah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Dapat diketahui secara
umum, semua jenis pati dapat menghasilkan nilai ketebalan yang sesuai standar.
Peningkatan nilai ketebalan menurut Nugroho et al. (2013) disebabkan oleh
penambahan konsentrasi bahan penyusun edible film. Hal ini mengakibatkan total
padatan terlarut setelah proses pengeringan mengalami peningkatan karena
penyusun matriks edible film yang semakin banyak. Semakin banyak kadar pati
22
Tabel 7 Hasil pengukuran ketebalan edible film dengan sumber pati dan plasticizer yang beragam
Jenis pati Kondisi Ketebalan
Tapioka Plasticizer
(Singkong)
Volume larutan
Bobot pati (g)
[pati] (%) (b/v)
Volume plasticizer
[plasticizer] (%) (b/b)
(Maks. 0.25 mm)
Referensi
(mL) (mL)
1 Gliserol 800 8.0 1.0 1.6 20 0.090 Pamuji et al. (2014)
2 Gliserol 50 0.8 1.6 0.2 25 0.026 Amalina (2013)
3 Gliserol 100 2.0 2.0 0.4 50 0.060 Moulia (2018)
4 Gliserol 100 5.0 5.0 2.0 40 0.102 Kawija (2017)
5 Gliserol 100 3.0 3.0 1.5 50 0.216 Saleh et al. (2017)
6 Gliserol 100 3.0 3.0 1.8 60 0.358 Saleh et al. (2017)
7 Gliserol 100 3.0 3.0 2.0 66 0.138 Saleh et al. (2017)
8 Gliserol 100 3.5 3.5 1.5 43 0.278 Saleh et al. (2017)
9 Gliserol 100 3.5 3.5 1.8 51 0.191 Saleh et al. (2017)
10 Gliserol 100 3.5 3.5 2.0 57 0.265 Saleh et al. (2017)
11 Gliserol 100 4.0 4.0 1.5 37.5 2.477 Saleh et al. (2017)
12 Gliserol 100 4.0 4.0 1.8 45 3.157 Saleh et al. (2017)
13 Gliserol 100 4.0 4.0 2.0 50 2.707 Saleh et al. (2017)
14 Gliserol 100 4.0 4.0 1.0 25 0.084 Muin (2017)
15 Gliserol 100 4.0 4.0 1.3 32.5 0.104 Muin (2017)
16 Gliserol 100 4.0 4.0 1.5 37.5 0.106 Muin (2017)
17 Gliserol 100 4.0 4.0 1.8 45 0.110 Muin (2017)
18 Gliserol 100 5.0 5.0 2.0 40 0.137 Utami et al. 2017)
19 Gliserol 100 4.0 4.0 1.75 43.75 0.188 Ulyarti et al. (2020)
20 Gliserol 100 5.0 5.0 1.5 30 0.174 Nata et al. (2020)
23
Jenis pati Kondisi
Tapioka Plasticizer
(Singkong)
Volume
larutan
(mL)
Bobot
pati (g)
[pati]
(%) (b/v)
Volume
plasticizer
(mL)
[plasticizer]
(%) (b/b)
Ketebalan (mm)
Referensi
21 Gliserol 100 4.0 4.0 1.7 42.5 0.122 Caetano et al. (2018)
22 Gliserol 1000 30 3.0 9.0 30 0.110 Luchese et al. (2017)
23 Gliserol 1000 40 4.0 9.0 22.5 0.130 Luchese et al. (2017)
24 Sorbitol 100 1.8 1.8 1.5 83.33 0.194 Saleh et al. (2017)
25 Sorbitol 100 1.8 1.8 1.8 100 0.096 Saleh et al. (2017)
26 Sorbitol 100 1.8 1,8 2.0 111 0.175 Saleh et al. (2017)
27 Sorbitol 100 2.0 2.0 1.5 75 0.257 Saleh et al. (2017)
28 Sorbitol 100 2.0 2.0 1.8 90 0.135 Saleh et al. (2017)
29 Sorbitol 100 2.0 2.0 2.0 100 0.201 Saleh et al. (2017)
30 Sorbitol 100 2.3 2.3 1.5 65 1.150 Saleh et al. (2017)
31 Sorbitol 100 2.3 2.3 1.8 78 0.140 Saleh et al. (2017)
32 Sorbitol 100 2.3 2.3 2.0 87 0.247 Saleh et al. (2017)
Kentang
1 Gliserol 100 3.0 3.0 0.4 13.33 0.058 Sjamsiah et al. (2017)
2 Gliserol 100 3.0 3.0 0.6 20 0.062 Sjamsiah et al. (2017)
3 Gliserol 100 3.0 3.0 0.8 26.66 0.071 Sjamsiah et al. (2017)
Maizena (Jagung)
1 Gliserol 300 15.0 5.0 3.0 50 0.135 Estinigtyas et al. (2012)
2 Gliserol 300 5.2 0.02 2.6 50 0.161 Siswanti et al. (2013)
3 Gliserol 1000 20 2.0 9.0 45 0.070 Luchese et al. (2017)
4 Gliserol 1000 30 3.0 9.0 30 0.120 Luchese et al. (2017)
24
Jenis pati Kondisi
Maizena Plasticizer
(Jagung)
Volume
larutan
(mL)
Bobot
pati (g)
[pati]
(%) (b/v)
Volume
plasticizer
(mL)
[plasticizer]
(%) (b/b)
Ketebalan (mm)
Referensi
5 Gliserol 1000 40 4.0 9.0 22.5 0.160 Luchese et al. (2017)
6 Gliserol 100 5.0 5.0 2.5 50 0.266 Ghasemlou et al. (2013)
7 Gliserol 100 7.5 7.5 3.0 40 0.148 Dai et al. (2015)
8 Sorbitol 100 0.6 0.6 0.06 10 0.147 Zuo et al. (2017)
9 Sorbitol 100 0.48 0.48 0.048 10 0.127 Zuo et al. (2017)
Sagu Alami
1 Gliserol 100 4.0 4.0 1.6 40 0.185 Rusmawati (2020)
Sagu Asetat Modifikasi
1 Gliserol 100 3.0 3.0 1.2 40 0.125 Rusmawati (2020)
2 Gliserol 100 4.0 4.0 1.6 40 0.145 Rusmawati (2020)
3 Gliserol 100 5.0 5.0 2.0 40 0.175 Rusmawati (2020)
Buah Sukun
1 100 5.0 5.0 0.046 Marpongahtun (2013)
2 Silitol 100 5.0 5.0 1.0 20 0.041 Marpongahtun (2013)
3 Sorbitol 100 5.0 5.0 1.0 20 0.043 Marpongahtun (2013)
4 PEG 400 100 5.0 5.0 1.0 20 0.045 Marpongahtun (2013)
Buah Lindur
1 Gliserol 100 4.0 4.0 1.0 25 0.200 Jacoeb et al. (2014)
2 Gliserol 100 4.0 4.0 1.5 37.5 0.130 Jacoeb et al. (2014)
25
singkong yang digunakan, maka ketebalan edible film semakin meningkat. Hal ini
sejalan dengan Park et al. (1996) yang menyatakan bahwa ketebalan edible film
dipengaruhi oleh luas cetakan, volume larutan, dan banyaknya total padatan dalam
larutan. Semakin banyak jumlah pati dan plasticizer yang ditambahkan akan
meningkatkan total padatan dalam larutan sehingga yang mengendap sebagai
edible film akan semakin tebal.
Penambahan plasticizer berupa gliserol, sorbitol, silitol, dan PEG 400 akan
meningkatkan total padatan dalam larutan sehingga yang mengendap sebagai
edible film semakin tebal. Yulianti dan Ginting (2012) mengungkapkan bahwa
ketebalan dapat memengaruhi laju uap air, gas, dan senyawa volatil lainnya.
Semakin tebal edible film yang dihasilkan, akan meningkatkan kemampuannya
untuk menghambat laju gas dan uap air sehingga memperpanjang umur simpan
produk pangan. Namun, jika terlalu tebal akan memengaruhi penampilan dan rasa
serta tekstur produk pangan saat dikonsumsi. Faktor lainnya yang menyebabkan
peningkatan nilai ketebalan, yaitu adanya interaksi antara pati dan pemlastis
selama gelatinisasi sehingga menghasilkan film yang lebih tebal (Gutierrez et al.
2009).
Edible film yang terplastisasi PEG memiliki nilai ketebalan yang paling
tinggi dibandingkan yang lainnya. Hal ini dikarenakan PEG memiliki bobot
molekul cukup besar yaitu 200, 400, 600, 1000, 1500, 4000, dan 6000 g/mol
(Astuti 2008). Bobot molekul ini lebih besar dibandingkan plasticizer lainnya,
seperti sorbitol (182.17 g/mol) , gliserol (92.09 g/mol) dan silitol (152.15 g/mol).
Ukuran molekul PEG yang lebih besar dari sorbitol dan silitol akan memperbesar
volume bebas antar rantai polimer sehingga mempermudah pemindahan molekul
air dan menyebabkan penambahan jumlah total padatan.
3.3.2 Water Vapour Transmission Rate (WVTR)
Water vapour transmission rate (WVTR) merupakan laju transmisi uap air
melalui suatu unit luasan bahan yang permukaannya rata, dengan ketebalan
tertentu sebagai akibat dari suatu perbedaan unit tekanan uap antara dua
permukaan tertentu pada kondisi dan suhu tertentu (Krochta et al. 1997).
Pengujian laju transmisi uap air dilakukan menggunakan metode gravimetri
kemudian hasil yang diperoleh dimasukkan ke dalam Persamaan 1 (Gontard et al.
1993).
... (1)
Tabel 8 menunjukkan nilai laju transmisi uap air hasil penelitian dari 18
pustaka dengan 32 percobaan berada di antara 0.193 – 198.980 g/m2/24 jam. Nilai
WVTR tertinggi sebesar dimiliki oleh edible film berbahan pati singkong 2% dan plasticizer gliserol 0.4% (Moulia 2018), sedangkan nilai WVTR terendah dimiliki oleh edible film berbahan pati jagung 6.7% dan sorbitol (Murni 2013). Dari data
hasil penelitian literatur, terdapat 8 data pada yang memenuhi nilai standar edible film yang ditentukan pada Japanese Industrial Standard (1975), yaitu maksimal
10 g/m2/24 jam. Nilai WVTR yang telah memenuhi standar adalah edible film
yang berbahan pati jagung 5% dan gliserol 1% sebesar 6.847 g/m2/24 jam
(Estiningtyas et al. 2012); pati jagung 6.7% dan sorbitol 0.193 g/m2/24jam sebesar
26
Tabel 8 Hasil pengukuran water vapor transmission rate (WVTR) edible film dengan sumber pati dan plasticizer yang beragam
Jenis pati K ondisi
Tapioka Volume
Bobot [pati] (%) Volume
[plasticizer] Plasticizer larutan plasticizer
WVTR (g/m2/24jam) Referensi
(Singkong) (mL) pati (g) (b/v) (mL) (%) (b/b)
1 Gliserol 800 8.0 1.0 1.6 20 10.330 Pamuji et al. (2014)
2 Gliserol 50 0.8 1.6 0.2 25 165.240 Amalina (2013)
3 Gliserol 100 2.0 2.0 0.4 20 198.980 Moulia (2018)
4 Gliserol 100 5.0 5.0 2.0 40 114.877 Kawija (2017)
5 Gliserol 100 5.0 5.0 2.0 40 27.321 Utami et al. 2017)
6 Gliserol 100 4.0 4.0 1.75 43.75 53.34 Ulyarti et al. (2020)
7 Gliserol 100 4.0 4.0 1.7 42.5 0.43 Caetano et al. (2018)
8 Gliserol 1000 30 3.0 9.0 30 8.64 Luchese et al. (2017)
9 Gliserol 1000 40 4.0 9.0 22.5 6.00 Luchese et al. (2017)
Maizena (Jagung)
1 Gliserol 300 15.0 5.0 3.0 20 6.847 Estinigtyas et al. (2012)
2 Gliserol 300 5.2 0.02 2.6 50 15.600 Siswanti et al. (2013)
3 Gliserol 1000 20 2.0 9.0 45 8.16 Luchese et al. (2017)
4 Gliserol 1000 30 3.0 9.0 30 7.68 Luchese et al. (2017)
5 Gliserol 1000 40 4.0 9.0 22.5 6.96 Luchese et al. (2017)
6 Gliserol 100 5.0 5.0 2.5 50 3.37 Ghasemlou et al. (2013)
7 Gliserol 100 7.5 7.5 3.0 40 2.74 Dai et al. (2015)
8 Sorbitol 150 10.0 6.7 0.193 Murni (2013)
9 Sorbitol 100 0.6 0.6 0.06 10 5.2 Zuo et al. (2017)
10 Sorbitol 100 0.48 0.48 0.048 10 5.0 Zuo et al. (2017)
27
Sagu Plasticizer
larutan Bobot [pati] (%)
plasticizer [plasticizer]
Jenis pati K ondisi
Volume Volume WVTR (g/m2/24jam) Referensi
Alami (mL) pati (g) (b/v)
(mL) (%) (b/b)
1 Gliserol 100 3.0 3.0 0.5 16.66 7.79 Wattimena et al. (2016)
2 Gliserol 100 3.0 3.0 1.0 33.33 10.64 Wattimena et al. (2016)
3 Gliserol 100 3.0 3.0 1.5 50 14.87 Wattimena et al. (2016)
4 Gliserol 100 4.0 4.0 1.6 40 1.16 Rusmawati (2020)
Sagu Asetat Modifikasi
1 Gliserol 100 3.0 3.0 1.2 40 1.19 Rusmawati (2020)
2 Gliserol 100 4.0 4.0 1.6 40 0.88 Rusmawati (2020)
3 Gliserol 100 5.0 5.0 2.0 40 0.77 Rusmawati (2020)
Buah Sukun
1 100 5.0 5.0 120 Rusmawati (2020)
2 Silitol 100 5.0 5.0 1.0 20 100 Marpongahtun (2013)
3 Sorbitol 100 5.0 5.0 1.0 20 60 Marpongahtun (2013)
4 PEG 400 100 5.0 5.0 1.0 20 100 Marpongahtun (2013)
Buah Lindur
1 Gliserol 100 4.0 4.0 1.0 25 9.63 Jacoeb et al. (2014)
2 Gliserol 100 4.0 4.0 1.5 37.5 10.82 Jacoeb et al. (2014)
28
0.193 g/m2/24 jam (Murni 2013); pati sagu alami 3% dan gliserol 1% sebesar 7.79
g/m2/24 jam (Wattimena et al. 2016); pati sagu alami 4% dan gliserol 1.6%
sebesar 1.16 g/m2/24 jam (Rusmawati 2020); pati sagu asetat 3% dan gliserol
1.2% sebesar 1.19 g/m2/24 jam (Rusmawati 2020); pati sagu asetat 4% dan
gliserol 1.6% sebesar 0.88 g/m2/24 jam (Rusmawati 2020); pati sagu asetat 5%
dan gliserol 2% sebesar 0.77 g/m2/24 jam (Rusmawati 2020).
Menurut Fatnasari et al. (2018), penambahan plasticizer dapat
meningkatkan nilai WVTR yang diduga karena plasticizer bersifat hidrofilik dan
mampu menurunkan tegangan antar molekul pada matriks edible film. Gliserol
sebagai salah satu jenis plasticizer yang sering ditambahkan ke dalam formulasi
edible film juga bersifat hidrofilik, menambah sifat polar dan mudah larut dalam
air. Hal ini mengakibatkan semakin banyak konsentrasi gliserol yang
ditambahkan, maka permeabilitas terhadap uap air akan meningkat.
Nilai WVTR juga dipengaruhi oleh ketebalan edible film. Semakin tebal
film akan meningkatkan laju uap airnya. Hal ini sesuai dengan penelitian Yulianti
dan Ginting (2012) bahwa ketebalan dapat memengaruhi laju uap air, gas, dan
senyawa volatil lainnya. Semakin tebal edible film yang dihasilkan, akan
meningkatkan kemampuannya untuk menghambat laju gas dan uap air sehingga
memperpanjang umur simpan produk pangan.
3.3.3 Kuat tarik
Kuat tarik adalah tarikan maksimum yang dapat dicapai edible film sebelum
putus. Pengukuran kuat tarik bertujuan untuk mengetahui besarnya gaya
merenggang atau memanjang yang dicapai tarikan maksimum pada satuan luas
area. Nilai kuat tarik edible film dapat dihitung dengan membagi nilai gaya tarik
yang dihasilkan ketika film putus dibagi dengan luas film seperti pada Persamaan
2. Nilai kuat tarik yang besar menandakan semakin kuat film yang dihasilkan,
sedangkan nilai kuat tarik yang rendah menunjukkan film lebih lentur dan tidak
mudah putus (Moulia 2018). Nilai kuat tarik yang maksimal pada edible film
mengindikasikan kemampuan menahan kerusakan fisik yang maksimal sehingga
akan meminimalkan kerusakan produk pangan dari gangguan mekanis dengan
baik (Supeni et al. 2015).
= ( ) ( 2)
... (2)
Nilai kuat tarik ditunjukkan pada Tabel 9 yang bersumber dari 20 pustaka
dan 53 satuan percobaan berkisar antara 0.109 – 75.0 MPa. Nilai kuat tarik
tertinggi sebesar dimiliki oleh edible film berbahan pati kentang 3% dan
plasticizer gliserol 0.4% (Sjamsiah et al. 2017), sedangkan nilai kuat tarik
terendah dimiliki oleh edible film berbahan pati singkong 5.0% dan plasticizer
gliserol 2.0% sebesar (Utami et al. 2017). Berdasarkan data hasil penelitian
literatur, terdapat 2 data pada pati singkong (tapioka) yang melebihi nilai standar
edible film yang ditentukan pada Japanese Industrial Standard (1975), yaitu
minimal 0.3 MPa. Berbanding terbalik dengan ketebalan, penambahan plasticizer
menunjukkan adanya penurunan nilai kuat tarik (Tabel 9). Hal ini disebabkan
plasticizer akan menurunkan gaya kohesi antar rantai (Wijaya 2013). Makin tinggi
konsentrasi plasticizer yang ditambahkan maka semakin menurun nilai kuat tarik
29
Tabel 9 Hasil pengukuran kuat tarik edible film dengan sumber pati dan plasticizer yang beragam
Jenis pati Kondisi
Tapioka Plasticizer
(Singkong)
Volume
larutan
Bobot pati
(g)
[pati]
(%) (b/v)
Volume plasticizer
[plasticizer]
(%) (b/b)
Kuat tarik
(MPa) Referensi
(mL) (mL)
1 Gliserol 800 8.0 1.0 1.6 20 52.720 Pamuji et al. (2014)
2 Gliserol 50 0.8 1.6 0.2 25 15.245 Amalina (2013)
3 Gliserol 100 2.0 2.0 0.4 20 4.300 Moulia (2018)
4 Gliserol 100 5.0 5.0 2.0 40 0.128 Kawija (2017)
5 Gliserol 100 3.0 3.0 1.5 50 0.654 Saleh et al. (2017)
6 Gliserol 100 3.0 3.0 1.8 60 0.523 Saleh et al. (2017)
7 Gliserol 100 3.0 3.0 2.0 66.66 0.425 Saleh et al. (2017)
8 Gliserol 100 3.5 3.5 1.5 43 1.340 Saleh et al. (2017)
9 Gliserol 100 3.5 3.5 1.8 51 0.850 Saleh et al. (2017)
10 Gliserol 100 3.5 3.5 2.0 57 0.916 Saleh et al. (2017)
11 Gliserol 100 4.0 4.0 1.5 37.5 2.387 Saleh et al. (2017)
12 Gliserol 100 4.0 4.0 1.8 45 0.915 Saleh et al. (2017)
13 Gliserol 100 4.0 4.0 2.0 50 0.818 Saleh et al. (2017)
14 Gliserol 100 5.0 5.0 2.0 40 0.109 Utami et al. 2017)
15 Gliserol 100 5.0 5.0 1.5 30 1.500 Nata et al. (2020)
16 Gliserol 100 4.0 4.0 1.7 42.5 0.43 Caetano et al. (2018)
17 Gliserol 1000 30 3.0 9.0 30 8.64 Luchese et al. (2017)
19 Gliserol 1000 40 4.0 9.0 22.5 6.00 Luchese et al. (2017)
20 Sorbitol 100 1.8 1.8 1.5 83.33 14.388 Saleh et al. (2017)
21 Sorbitol 100 1.8 1.8 1.8 100 0.850 Saleh et al. (2017)
30
Jenis pati Kondisi
Tapioka Plasticizer
(Singkong)
Volume
larutan
Bobot pati
(g)
[pati]
(%) (b/v)
Volume
plasticizer
[plasticizer]
(%) (b/b)
Kuat tarik
(MPa) Referensi
(mL) (mL)
22 Sorbitol 100 1.8 1.8 2.0 111 0.621 Saleh et al. (2017)
23 Sorbitol 100 2.0 2.0 1.5 75 1.112 Saleh et al. (2017)
24 Sorbitol 100 2.0 2.0 1.8 90 0.981 Saleh et al. (2017)
25 Sorbitol 100 2.0 2.0 2.0 100 0.948 Saleh et al. (2017)
26 Sorbitol 100 2.3 2.3 1.5 65 1.537 Saleh et al. (2017)
27 Sorbitol 100 2.3 2.3 1.8 78 1.472 Saleh et al. (2017)
28 Sorbitol 100 2.3 2.3 2.0 87 1.247 Saleh et al. (2017)
Maizena (Jagung)
1 Gliserol 300 15.0 5.0 3.0 20 2.039 Estinigtyas et al. (2012)
2 Gliserol 300 5.2 0.02 2.6 50 1.250 Siswanti et al. (2013)
3 Gliserol 1000 20 2.0 9.0 45 2.90 Luchese et al. (2017)
4 Gliserol 1000 30 3.0 9.0 30 2.90 Luchese et al. (2017)
5 Gliserol 1000 40 4.0 9.0 22.5 3.90 Luchese et al. (2017)
6 Gliserol 100 5.0 5.0 2.5 50 8.90 Ghasemlou et al. (2013)
7 Gliserol 100 7.5 7.5 3.0 40 1.20 Dai et al. (2015)
8 Sorbitol 150 10.0 6.7 11.120 Murni (2013)
9 Sorbitol 100 0.6 0.6 0.06 10 9.00 Zuo et al. (2017)
10 Sorbitol 100 0.48 0.48 0.048 10 8.00 Zuo et al. (2017)
Sagu Alami
1 Gliserol 100 3.0 3.0 0.5 16.66 28.230 Wattimena et al. (2016)
2 Gliserol 100 3.0 3.0 1.0 33.33 7.910 Wattimena et al. (2016)
31
Jenis pati Kondisi
Sagu Alami
Plasticizer
Volume Bobot pati [pati]
Volume [plasticizer]
Kuat tarik Referensi
larutan (g) (%) (b/v)
plasticizer (%) (b/b)
(MPa)
(mL) (mL)
3 Gliserol 100 3.0 3.0 1.5 50 3.590 Wattimena et al. (2016)
4 Gliserol 100 4.0 4.0 1.6 40 0.814 Rusmawati (2020)
Sagu Asetat Modifikasi
1 Gliserol 100 3.0 3.0 1.2 40 0.650 Rusmawati (2020)
2 Gliserol 100 4.0 4.0 1.6 40 1.635 Rusmawati (2020)
3 Gliserol 100 5.0 5.0 2.0 40 2.180 Rusmawati (2020)
Kentang
1 Gliserol 100 3.0 3.0 0.4 13.33 75.0 Sjamsiah et al. (2017)
2 Gliserol 100 3.0 3.0 0.6 20 69.0 Sjamsiah et al. (2017)
3 Gliserol 100 3.0 3.0 0.8 26.66 35.0 Sjamsiah et al. (2017)
Buah Sukun
1 100 5.0 5.0 4.90 Marpongahtun (2013)
2 Silitol 100 5.0 5.0 1.0 20 2.94 Marpongahtun (2013)
3 Sorbitol 100 5.0 5.0 1.0 20 3.43 Marpongahtun (2013)
4 PEG 400 100 5.0 5.0 1.0 20 4.41 Marpongahtun (2013)
Buah Lindur
1 Gliserol 100 4.0 4.0 1.0 25 15.64 Jacoeb et al. (2014)
2 Gliserol 100 4.0 4.0 1.5 37.5 13.04 Jacoeb et al. (2014)
32
yang dihasilkan. Semakin banyak penambahan plasticizer juga dapat
meningkatkan kelembapan film karena plasticizer bersifat higroskopis (Fatnasari
et al. 2018).
Penambahan plasticizer gliserol pada edible film dapat mengakibatkan
menurunnya nilai kuat tarik. Semakin tinggi konsentrasi maka akan menurunkan
tegangan antar molekul yang menyusun matriks film sehingga edible film yang
dihasilkan semakin lemah terhadap gaya yang besar. Gliserol yang ditambahkan
akan larut ke dalam tiap rantai polimer sehingga akan mempermudah gerakan
molekul polimer dan bekerja menurunkan suhu transisi gelas. Jika suhu transisi
gelas menurun, maka film yang terbentuk akan semakin lunak dan menyebabkan
kuat tariknya semakin rendah (Jacoeb et al. 2014).
Pada penelitian Wijaya (2013) menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi
plasticizer sorbitol pada edible film mengakibatkan penurunan nilai kuat tariknya.
Peningkatan konsentrasi gliserol pada penelitian Saleh et al. (2017) juga
mengakibatkan penurunan nilai tarik. Selain itu, penurunan nilai kuat tarik juga
disebabkan dengan penurunan kadar pati yang ditambahkan. Semakin banyak
kadar pati yang ditambahkan, nilai kuat tarik yang dihasilkan semakin tinggi.
Bobot molekul plasticizer juga memengaruhi nilai kuat tarik. Nilai kuat
tarik edible film akan mengalami peningkatan seiring meningkatnya berat
molekul. Pada penelitian Marpongahtun (2013) nilai kuat tarik tertinggi pada
edible film yang ditambahkan PEG 400 dengan bobot molekul sebesar 400 g/mol,
sementara nilai kuat tarik terendah terdapat pada edible film yang terplastisasi
silitol dengan bobot molekul 152.15 g/mol). Sementara pada penelitian Saleh et
al. (2017), penambahan plasticizer sorbitol dengan bobot molekul 182.17 g/mol
memiliki nilai kuat tarik lebih tinggi dibandingkan edible film yang terplastisasi
gliserol dengan bobot molekul 92.09 g/mol.
3.3.4 Elongasi
Elongasi adalah persen pertambahan panjang bahan materi film yang diukur
mulai dari panjang awal pada saat mengalami penarikan hingga putus
(Marpongahtun 2013). Elongasi dikorelasikan dengan fleksibilitas dan keplastisan
yang merupakan salah karakteristik penting film. Tingkat keplastisan yang tinggi
menunjukkan karakteristik yang kurang baik karena film yang dihasilkan akan
sulit putus dengan gaya rendah. Di sisi lain, kelebihannya adalah memiliki
kemampuan menyesuaikan bentuk kemasan dengan bahan pangan yang dikemas.
Nilai elongasi dapat dihitung dengan membagi panjang akhir dengan panjang
awal lalu dikalikan seratus persen seperti pada Persamaan 3 (Pamuji 2014).
... (3)
Persen elongasi ditunjukkan pada Tabel 10 yang bersumber dari 19 pustaka
dan 51 satuan percobaan berkisar antara 0.14 – 184.32 MPa. Nilai kuat tarik
tertinggi sebesar dimiliki oleh edible film berbahan pati singkong 5% dan
plasticizer gliserol 2% (Utami et al. 2017), sedangkan nilai kuat tarik terendah
dimiliki oleh edible film berbahan pati singkong 1.8% dan plasticizer sorbitol 2%
sebesar (Saleh et al. 2017). Dari data hasil penelitian literatur, terdapat 4 data pada
33
Tabel 10 Hasil pengukuran elongasi edible film dengan sumber pati dan plasticizer yang beragam
Jenis pati Kondisi
Tapioka Plasticizer
(Singkong)
Volume
larutan
Bobot pati
(g)
[pati]
(%) (b/v)
Volume plasticizer
[plasticizer]
(%) (b/b)
Elongasi
(%) Referensi
(mL) (mL)
1 Gliserol 800 8.0 1.0 1.6 20 117.72 Pamuji et al. (2014)
2 Gliserol 50 0.8 1.6 0.2 25 30.75 Amalina (2013)
3 Gliserol 100 2.0 2.0 0.4 20 61.00 Moulia (2018)
4 Gliserol 100 5.0 5.0 2.0 40 145.99 Kawija (2017)
5 Gliserol 100 3.0 3.0 1.5 50 17.30 Saleh et al. (2017)
6 Gliserol 100 3.0 3.0 1.8 60 15.50 Saleh et al. (2017)
7 Gliserol 100 3.0 3.0 2.0 66 23.79 Saleh et al. (2017)
8 Gliserol 100 3.5 3.5 1.5 43 31.00 Saleh et al. (2017)
9 Gliserol 100 3.5 3.5 1.8 51 32.37 Saleh et al. (2017)
10 Gliserol 100 3.5 3.5 2.0 57 38.67 Saleh et al. (2017)
11 Gliserol 100 4.0 4.0 1.5 37.5 12.04 Saleh et al. (2017)
12 Gliserol 100 4.0 4.0 1.8 45 10.25 Saleh et al. (2017)
13 Gliserol 100 4.0 4.0 2.0 50 13.67 Saleh et al. (2017)
14 Gliserol 100 5.0 5.0 2.0 40 184.32 Utami et al. 2017)
15 Gliserol 100 5.0 5.0 1.5 30 35.00 Nata et al. (2020)
16 Gliserol 100 4.0 4.0 1.7 42.5 136 Caetano et al. (2018)
17 Gliserol 1000 30 3.0 9.0 30 107 Luchese et al. (2017)
18 Gliserol 1000 40 4.0 9.0 22.5 124 Luchese et al. (2017)
19 Sorbitol 100 1.8 1.8 1.5 83 0.22 Saleh et al. (2017)
20 Sorbitol 100 1.8 1,8 1.8 100 0.36 Saleh et al. (2017)
34
Jenis pati Kondisi
Tapioka Plasticizer
(Singkong)
Volume
larutan
Bobot pati
(g)
[pati]
(%) (b/v)
Volume
plasticizer
[plasticizer]
(%) (b/b)
Elongasi
(%) Referensi
(mL) (mL)
21 Sorbitol 100 1.8 1.8 2.0 111 0.14 Saleh et al. (2017)
22 Sorbitol 100 2.0 2.0 1.5 75 0.28 Saleh et al. (2017)
23 Sorbitol 100 2.0 2.0 1.8 90 0.19 Saleh et al. (2017)
24 Sorbitol 100 2.0 2.0 2.0 100 0.26 Saleh et al. (2017)
25 Sorbitol 100 2.3 2.3 1.5 65 2.48 Saleh et al. (2017)
26 Sorbitol 100 2.3 2.3 1.8 78 3.16 Saleh et al. (2017)
27 Sorbitol 100 2.3 2.3 2.0 87 2.71 Saleh et al. (2017)
Maizena (Jagung)
1 Gliserol 300 15.0 5.0 3.0 20 18.77 Estinigtyas et al. (2012)
2 Gliserol 300 5.2 0.02 2.6 50 15.56 Siswanti et al. (2013)
3 Gliserol 1000 20 2.0 9.0 45 70.00 Luchese et al. (2017)
4 Gliserol 1000 30 3.0 9.0 30 103 Luchese et al. (2017)
5 Gliserol 1000 40 4.0 9.0 22.5 122 Luchese et al. (2017)
6 Gliserol 100 5.0 5.0 2.5 50 162.45 Ghasemlou et al. (2013)
7 Gliserol 100 7.5 7.5 3.0 40 84.5 Dai et al. (2015)
8 Sorbitol 100 0.6 0.6 0.06 10 76.00 Zuo et al. (2017)
9 Sorbitol 100 0.48 0.48 0.048 10 78.00 Zuo et al. (2017)
Sagu Alami
1 Gliserol 100 3.0 3.0 0.5 16 3.55 Wattimena et al. (2016)
2 Gliserol 100 3.0 3.0 1.0 33 8.98 Wattimena et al. (2016)
3 Gliserol 100 3.0 3.0 1.5 50 17.55 Wattimena et al. (2016)
35
Jenis pati Kondisi
Sagu Alami
Plasticizer
Volume Bobot pati [pati]
Volume [plasticizer]
Elongasi Referensi
larutan (g) (%) (b/v)
plasticizer (%) (b/b)
(%)
(mL) (mL)
4 Gliserol 100 4.0 4.0 1.6 40 38.93 Rusmawati (2020)
Sagu Asetat Modifikasi
1 Gliserol 100 3.0 3.0 1.2 40 35.72 Rusmawati (2020)
2 Gliserol 100 4.0 4.0 1.6 40 49.10 Rusmawati (2020)
3 Gliserol 100 5.0 5.0 2.0 40 63.92 Rusmawati (2020)
Kentang
1 Gliserol 100 3.0 3.0 0.4 13 4.96 Sjamsiah et al. (2017)
2 Gliserol 100 3.0 3.0 0.6 20 9.04 Sjamsiah et al. (2017)
3 Gliserol 100 3.0 3.0 0.8 27 9.51 Sjamsiah et al. (2017)
Buah Sukun
1 100 5.0 5.0 15.0 Marpongahtun (2013)
2 Silitol 100 5.0 5.0 1.0 20 25.0 Marpongahtun (2013)
3 Sorbitol 100 5.0 5.0 1.0 20 25.0 Marpongahtun (2013)
4 PEG 400 100 5.0 5.0 1.0 20 35.0 Marpongahtun (2013)
5 Gliserol 100 4.0 4.0 1.0 25 52.25 Jacoeb et al. (2014)
6 Gliserol 100 4.0 4.0 1.5 37.5 126.54 Jacoeb et al. (2014)
36
yang memenuhi nilai standar edible film yang ditentukan pada Japanese Industrial
Standard (1975), yaitu minimal 70%. Nilai persen elongasi yang telah memenuhi
standar adalah edible film yang berbahan pati singkong 1% dan gliserol 0.2%
sebesar 117.72% (Pamuji 2014); pati singkong 5% dan gliserol 2% sebesar
145.99% (Kawija 2017); pati singkong 5% dan gliserol 2% (Saleh et al. 2017)
sebesar 184.32%; dan pati buah sukun 4% dan gliserol 1.5% sebesar 126.54%.
Putra et al. (2017) menyebutkan bahwa plasticizer dapat mengurangi energi
aktivasi untuk pergerakan molekul dalam matriks. Semakin berkurangnya
pergerakan molekul dapat menyebabkan bertambahnya daya elastis dari edible
film sehingga peningkatan konsentrasi plasticizer hingga titik tertentu dapat
menaikkan elongasi. Namun, peningkatan konsentrasi plasticizer akan
menghasilkan edible film yang memiliki persen elongasi lebih tinggi hingga
batasan tertentu sampai film yang dihasilkan tidak lembek (Siregar dan Irma
2012). Hal ini disebabkan adanya gliserol akan menurunkan gaya antar molekul
sehingga mobilitas antar rantai molekul makin meningkat dan persen elongasi
edible film pun semakin meningkat. Plasticizer akan menurunkan ikatan kohesi
antar polimer yang membentuk film bersifat lebih elastis (Sitompul dan Zubaidah
2017). Semakin tinggi persen elongasinya, maka elongasi film juga akan
meningkat. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan
Bourtoom (2007) juga menjelaskan gliserol menurunkan kekakuan dan
meningkatkan fleksibilitas film.
3.3.5 Karakteristik edible film yang telah sesuai dengan Japanese Industrial
Standard 1975
Edible film yang baik memiliki standar yang telah ditetapkan pada Japanese Industrial Standard 1975, yaitu ketebalan maksimum 0.25 mm, laju transmisi uap
air (water vapor transmission rate) maksimum 10 g/m2/24 jam, kuat tarik (tensile
strengh) minimum 0.3 MPa, dan elongasi minimum 70 %. Edible film yang baik
dapat berfungsi sebagai pembatas (barrier) dari kelembapan, oksigen, flavor, dan minyak untuk mempertahankan kualitas pangan (Maharani et al. 2017).
Berdasarkan 22 pustaka dengan 59 satuan percobaan yang telah ditelaah, terdapat
10 satuan percobaan penelitian edible film yang telah memenuhi syarat pada
Japanese Industrial Standard 1975 yang terangkum pada Tabel 11.
Ketebalan edible film yang dihasilkan adalah 0.070 – 0.226 mm telah
memenuhi standar maksimum 0.25 mm. Edible film yang terlalu tebal atau
melebihi batas maksimum akan memengaruhi bahan yang dikemas, seperti
mengubah aroma dan rasa (Maharani et al. 2017) serta dapat menurunkan nilai
estetika dan pemasaran dari produk pangan yang dikemas.
Laju transmisi uap air (water vapor transmission rate) yang dihasilkan
adalah 0.43 – 8.64 g/m2/24 jam dan tidak melebihi standar, yaitu maksimum 10
g/m2/24 jam. Menurut Dai et al. (2015), edible film yang baik untuk kemasan
pangan adalah yang memiliki nilai WVTR sekecil mungkin dan mampu
mengurangi perpindahan uap air dan kelembapan antara atmosfer di sekitarnya
sehingga produk yang dikemas dapat terhindar dari kerusakan yang disebabkan oleh udara. Edible film yang menjadi bahan pengemas tersebut harus dapat
berperan sebagai penghambat transfer massa, yaitu kelembapan, oksigen, cahaya,
lipid, dan zat terlarut (Maharani et al. 2017). Penambahan gliserol berperan untuk
37
Tabel 11 Karakteristik edible film yang telah sesuai dengan Japanese Industrial Standard (JIS) 1975
kong)
(mL)
(b/v)
cizer 24jam) %)
Jenis pati Kon disi
Volu- [plasti- Ketebalan
WVTR Kuat tarik Elongasi
Tapioka Plasti-
Volume Bobot
[pati] me cizer] (Maks.
(maks. 10 (min.
(Sing-
cizer larutan
pati (g) (%) plasti-
(%) 0.25 mm) g/m2/
0.3MPa)
(min. 70 Referensi
(mL) (b/b)
1 Gliserol 100 4.0 4.0 1.7 42.5 0.122 0.43 1.74 136 Caetano et al. (2018)
2 Gliserol 1000 30 3.0 9.0 30 0.110 8.64 3.10 107 Luchese et al. (2017)
3 Gliserol 1000 40 4.0 9.0 22.5 0.130 6.00 3.80 124 Luchese et al. (2017)
Maizena (Jagung)
4 Sorbitol 100 0.6 0.6 0.06 10 0.147 5.2 9.00 76 Zuo et al. (2017)
5 Sorbitol 100 0.48 0.48 0.048 10 0.127 5.0 8.00 78 Zuo et al. (2017)
6 Gliserol 1000 20 2.0 9.0 45 0.070 8.16 2.90 70 Luchese et al. (2017)
7 Gliserol 1000 30 3.0 9.0 30 0.120 7.68 2.90 103 Luchese et al. (2017)
8 Gliserol 1000 40 4.0 9.0 22.5 0.160 6.96 3.90 122 Luchese et al. (2017)
9 Gliserol 100 5.0 5.0 2.5 50 0.226 3.37 8.90 162.45 Ghasemlou et al. (2013)
10 Gliserol 100 7.5 7.5 3.0 40 0.148 2.74 1.20 84.5 Dai et al. (2015)
38
mengurangi kepadatan polimer yang digunakan dalam pembuatan film, dengan
demikian laju transmisi uap air dapat meningkat.
Kuat tarik (tensile strengh) dari 10 satuan percobaan yang memenuhi
standar minimum 0.3 MPa memiliki nilai antara 1.20 – 9.00 MPa. Kuat tarik
menunjukkan nilai maksimum gaya yang diproduksi jika dilakukan uji tarik.
Edible film yang baik memiliki kuat tarik tinggi sehingga mampu melindungi
produk pangan yang dikemasnya dari gangguan mekanis dengan baik.
Elongasi yang dihasilkan dari 10 satuan percobaan memiliki nilai antara 70
– 162.45 % dan telah memenuhi syarat minimum 70 %. Dari 10 satuan percobaan,
dengan penambahan sorbitol 10 % yang dilakukan oleh Zuo et al. (2017) dengan
menggunakan pati jagung sebagai bahan dasar edible film sudah mampu
menghasilkan nilai elongasi sebesar 76 %, sedangkan Luchese et al. (2017)
menggunakan gliserol 30 % untuk mendapatkan nilai elongasi film sebesar 107 %.
IV SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan
Pati-patian merupakan material yang berpotensi untuk dijadikan edible film
karena memiliki ketersediaannya melimpah, ekonomis, bersifat biodegradable,
dan dapat memberikan karakteristik fisik dan mekanis yang baik. Edible film yang
terbuat dari pati memiliki kekurangan, yaitu rendahnya resistensi terhadap air dan
sifat penghalang terhadap uap air yang berpengaruh terhadap kestabilan film.
Penambahan plasticizer dapat mengurangi kerapuhan dan memudahkan
pencetakan film, serta mampu meningkatkan fleksibilitas dan ketahanan film,
terutama jika disimpan pada suhu rendah.
Karakteristik terbaik edible film mengacu pada standar edible film yang
ditentukan pada Japanese Industrial Standard (1975). Terdapat 10 dari 59 satuan
percobaan yang memenuhi standar dengan perbandingan kadar pati dan plasticizer tertentu. Penambahan plasticizer minimum yaitu sorbitol 10 % pada edible film
berbahan dasar pati jagung sudah cukup menghasilkan karakteristik yang sesuai
standar, yaitu ketebalan 0.147 mm, WVTR 5.2 g/m2/24 jam, kuat tarik 9.00 MPa,
dan elongasi sebesar 76 %. Penambahan plasticizer pada kadar tertentu dapat
menurunkan kualitas dari karakteristik edible film.
4.2 Saran
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai data awal untuk pengolahan data lebih
lanjut dalam systematic review dan meta analisis mengenai edible film berbasis
pati-patian. Pembuatan edible film dengan penambahan plasticizer yang minimum
dapat menggunakan komposisi bahan pati jagung dengan konsentrasi plasticizer
sorbitol 10%.
39
DAFTAR PUSTAKA
Afifah N, Sholichah E, Indrianti N, Darmajana DA. 2018. Pengaruh kombinasi
plasticizer terhadap karakteristik edible film dari karagenan dan lilin lebah.
Bioproposal Industri. 9(1):49–60. doi: 10.36974/jbi.v9i1.3765.
Amalina YN. 2013. Edible film pati tapioka terplastisasi gliserol dengan
penambahan agar. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Amaliya RR dan Putri WDR. 2014. Karakterisasi edible film dari pati jagung
dengan penambahan filtrat kunyit putih sebagai antibakteri. Jurnal Pangan dan
Agroindustri. 2(3):43–53.
Astuti AW. 2011. Pembuatan edible film dari semirefine carrageenan (kajian
konsentrasi tepung SRC dan sorbitol). PKM.
Banerjee SS, Aher N, Patil R, Khandare J. Review article: poly(ethylene glycol)-
prodrug conjugates: concept, design, and applications. Journal of Drug
Delivery. 1–7. doi: 10.1155/2012/103973.
Boediono MPADR. 2012. Pemisahan dan pencirian amilosa dan amilopektin dari
pati jagung dan pati kentang pada berbagai suhu. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Bourtoom T. 2007. Effect of some process parameters on the properties of edible
film prepared from starches. Songkhala: Department of Material Product
Technology.
Caetano KS, Lopes NA, Costa TMH, Brandelli A, Rodrigues E, Flores SH,
Cladera-Olivera F. 2018. Food Packaging and Shelf Life. 16:138–147. doi:
10.1016/j.fpsl.2018.03.006.
Dai L, Qiu C, Xiong L, Sun Q. 2015. Characterisation of corn starch-based films
reinforced with taro starch nanoparticles. Food Chemistry. 174:82–88. doi:
10.1016/j.foodchem.2014.11.005.
Darmajana DA dan Ghaffar RM. 2018. Sensory testing of dodol made from
pinapple (Ananas commosus L.) with edible film pakcaging made from starch
of the plant garut (Maranta arundinacea L.). Proceeding of the 4th
International Symposium on applied Chemistry. doi: 10.1063/1.5064342.
Estiningtyas HR, Kawiji, Manuhara GJ. 2012. Aplikasi edible film maizena
dengan penambahan ekstrak jahe sebagai antioksidan alami pada coating sosis
sapi. Biofarmasi. 10(1):7–16. doi: 10.13057/biofar/f100102.
Fatnasari A, Nocianitri KA, Suparthana IP. 2018. The effect og glycerol
concentration on the characteristic edible film sweet potato starch (Ipomoea
batatas L.). Scientific Journal of Food Technology. 5(1):27–35.
Fazilah A, Maizura M, Karim AA, Bhupinder K, Bhat R, Uthumporn U, Chew S.
2011. Physical and mechanical properties of sago starch-alginate films
incorporated with calcium chloride. International Food Research Journal.
18(3):1027–1033.
Fransiska D, Giyatmi, Irianto HE, Darmawan M, Melanie S. 2018. Karakteristik
film k-karegenan dengan penambahan plasticizer polietilen glikol. JPB
Kelautan dan Perikanan. 13(1):13–20. doi: 10.15578/jpbkp.v13i1.504.
Garcia MA, Martino MN, Zaritzky NE. 1998. Plasticized starch-based coatings to
improve strawberry (Fragaria x ananassa) quality and stability. Journal Agri
Food Chem. 46:58–67. doi: 10.1021/jf980014c.
40
Garcia NL, Ribba L, Dufresne A, Aranguren M, Goyanes S. 2011. Effect of
glyserol on the morphology of nanocomposites made from thermoplastic starch
and starch nanocrystals. Carbohydrate Polymers. 84(1):203–210. doi:
10.1016/j.carbpol.2010.11.024.
Gennadios A dan Weller CL. 1998. Edible films and coating from wheat and corn
proteins. Food Technol. 44(10):63–69.
Ghasemlou M, Aliheidari N, Fahmi R, Shojaee-Aliabadi S, Kechavarz B, Cran
MJ, Khaksar R. 2013. Physical, mechanical dan barrier properties of corn
starch films incorporated with plant essential oils. Carbohydrate Polymers.
98:1117–1126. doi: 10.1016/j.carbpol.2013.07.026.
Guilbert S, Gontard N, Gorris LGM. 1996. Prolongation of the shelf life
perishable food products using biodegradable films and coatings. Lebensm.
Wiss. Technol. 29:10–17. doi: 10.1006/fstl.1996.0002.
Gutierrez J, Barry-Ryan C, Bourke. 2009. Antimicrobial activity of plant essential
oils using food model media: efficacy, synergistic potential and interactions
with food components. Food Microbiol. 26(2):142–150. doi:
10.1016/j.fm.2008.10.008.
Harsojuwono dan Amata. 2017. Teknologi Polimer Industri Pertanian. Malang
(ID): Intimedia.
Jacoeb AM, Nugraha R, Utari SPSD. 2014. Pembuatan edible film dari pati buah
lindur dengan penambahan gliserol dan karaginan. Jurnal Pengolahan Hasil
Perikanan Indonesia. 17(1):14–21. doi: 10.17844/jphpi.v17i1.8132.
Jaya D dan Sulistyawati E. 2010. Pembuatan edible film dari tepung jagung.
Eksergi. 10(2):5–10. doi: 10.31315/e.v10i2.333. Kawiji, Atmaka W, Lestariana S. 2017. Studi karakteristik pati singkong utuh
berbasis edible film dengan modifikasi cross-linking asam sitrat. Jurnal
Teknologi Pertanian. 18(2):143–152. doi: 10.21776/ub.jtp.2017.018.02.14.
Kechichian V, Dield C, Veiga-Santos P, Tadini CC. 2010. Natural antimicrobial
ingredients incorporated in biodegradable films based on cassava starch. LWT
– Food Sci. Technol. 43(7):1088–1094. doi: 10.1016/j.lwt.2010.02.014. Kemala T. 1998. Pengaruh zat pemlastis dibutil ftalat pada polybend polistirena-
pati. [Tesis]. Bandung (ID): Institut Teknologi Bandung.
Knoll T, Omar MI, Maclennan S, Hernandez V, Canfield S, Yuan Y, Bruins,
Marconi, Poppel HV, N’Dow J, Sylvester R. 2018. Key steps in conducting
systematic reviews for underpinning clinical practice guideline: methodology
of the European association of urology. European Urology. 290–300. doi:
10.1016/j.eururo.2017.08.016.
Kokoszka S dan Lenart A. 2007. Edible coatings–formation, characteristics and
use–a review. Polish J. Food Nutr. Sci. 57(4):399–404.
Krochta JM dan Johnston CDM. 1997. Edible and biodegradable polymer film.
Journal of Food Technology. 52(2):1–20.
Kusumawati DH dan Putri WDR. 2013. Karakteristik fisik dan kimia edible film
pati jagung yang diinkorporasi dengan perasan temu hitam. Jurnal Pangan dan
Agroindustri. 1(1):90–100.
Larasati DA. 2017. Sifat fisik mekanik coating film berbasis pati sagu
(Metroxylon sp.) ikat silang asam sitrat. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
41
Larotonda FDS, Matsui KN, Soldi V, Laurindo JB. 2004. Biodegradable films
made from raw and acetylated cassava starch. Brazilian arch. Biol. Technol.
47(3):477–484. doi: 10.1590/S1516-89132004000300019.
Lieberman ER dan Gilbert SG. 2007. Gas permeation of collagen film as affected
by cross-linkage, moisture and plasticizer content. Journal Polymer Science
Symp. 41:33–43. Doi: 10.1002/POLC.5070410106.
Lim S dan Seib PA. 1993. Preparation and pasting properties of wheat and corn
starch phosphates. Cereal Chemistry. 70:137–144.
Liu F, Qin B, He L, Song R. 2009. Novel starch/chitosan blending membrane:
antibacterial, permeable and mechanical properties. Carbohydrate Polumers.
78(1):146–150. doi: 10.1016/j.carbpol.2009.03.021.
Luchese CL, Spada JC, Tessaro IC. 2017. Starch content affects physicochemical
properties of corn and cassava starch-based films. Industrial Crops &
Products. 109:619–626. doi: 10.1016/j.indcrop.2017.09.020.
Maizura M, Fazilah A, Norziah MH, Karim AA. 2007. Antibacterial activity and
mechanical properties of partially hydrolyzed sago starch-alginate edible film
containing lemongrass oil. Journal Food Science. 72(6):324–330. doi:
10.1111/j.1750-3841.2007.00427.x
Maharani Y, Hamzah F, Rahmayuni. 2017. Pengaruh perlakuan sodium
tripolyphosphate (STPP) pada pati sagu termodifikasi terhadap
ketebalan,transparansi dan laju perpindahan uap air edible film. JOM
FAPERTA. 4(2):11.
Marpongahtun CFZ. 2013. Physical-mechanical properties and microstructure of
breadfruit starch edible films with various plasticizer. Eksakta. 13(1).56–62.
doi: 10.20885/eksakta.vol13.iss1-2.art7.
Matsui T, Ebuchi S, Mtsugano K, Terahara N,Matsumoto K. 2004.
Caffeoylsophore, a new natural α-glucosidase inhibitor, from red vinegar by
fermented purple-fleshed sweet potato. Biosci. 6:2239–2246. doi:
10.1271/bbb.68.2239.
Mc Hugh TH dan Krochta JM. 1994. Sorbitol and glycerol plasticized whey
protein edible film: Integrated oxygen permeability and tensite property
evaluation. Journal Agriculture and Food Chemistry. 42(4):841–845. doi:
10.1021/jf00040a001.
Miskiyah, Widaningrum, Winarti C. 2009. Formulasi dan aplikasi edible coating
pada paprika (Capsium annuum) untuk meningkatkan masa simpan minimal 10
hari. Laporan Akhir Tahun. Bogor (ID): Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pascapanen Pertanian.
Moulia MN. 2018. Bionanokomposit edible coating/film dari pati ubi kayu,
nanopartikel ZnO dan ekstrak bawang putih dengan kapasitas antibakteri.
[Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Mudaffar RA. 2018. Karakteristik edible film komposit dari pati sagu, gelatin, dan
lilin lebah (beeswax). Journal TABARO. 2(2):247–256. doi:
10.35914/tabaro.v2i2.134.
Muhammad K, Hussin F, Man YC, Ghazali HM, Kennedy JF. 2000. Effect of pH
on phosphorylation of sago starch. Carbohydrate Polymers. 42(1):85–90. doi:
10.1016/S0144-8617(99)00120-4.
42
Muin R, Anggraini D, Malau F. 2017. Karakteristik fisik dan antimikroba edible
film dari tepung tapioka dengan penambahan gliserol dan kunyit. Jurnal Teknik
Kimia. 23(3):191–198.
Mulyadi AF, Pulungan MH, Qayyun N. 2016. Pembuatan edible film maizena dan
uji aktifitas antibakteri (kajian konsentrasi gliserol dan ekstrak daun beluntas
(Pluchea indica L.)). Jurnal Teknologi dan Manajeman Agroindustri.
5(3):149–158. doi: 10.21776/ub.industria.2016.005.03.5.
Murni SW, Pawignyo H, Widyawati D, Sari N. 2013. Pembuatan edible film dari
tepung jagung (Zea mays L.) dan kitosan. Prosiding Seminar Nasional Teknik
Kimia Kejuangan.
Nafchi AM, Karim AA, Mahmud S, Robal M. 2012. Antimicrobial, rheological,
and physicochemical properties of sago starch films filled with nanorod-rich
zinc oxide. Journal Food Eng. 113(4):511–519. doi:
10.1016/j.jfoodeng.2012.07.017.
Narendro MP. 2014. Edible film komposit pati tapioka-agar kertas terplastisasi
gliserol dan limonena. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Nata IF, Irawan C, Adawiyah M, Ariwibowo S. 2020. Edible film cassava
starch/eggshell powder composite containing antioxidant: preparation and
characterization. IOP Conf. Series: Earth and Environment Science. 524:1–7.
doi: 10.1088/1755-1315/524/1/012008. Niken A dan Adepristian D. 2013. Isolasi amilosa dan amilopektin dari pati
kentang. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri. 2(3):57–62.
Ningsih SH. 2015. Pengaruh plasticizer gliserol terhadap karakteristik edible film
campuran whey dan agar. [Skripsi]. Makassar (ID: Universitas Hasanuddin.
Nisah K. 2017. Study pengaruh kandungan amilosa dan amilopektin umbi-umbian
terhadap karakteristik fisik plastik biodegradable dengan plasticizer gliserol.
Jurnal Biotik. 5(2):106–113. doi: 10.22373/biotik.v5i2.3018.
Nugroho A, Basito, Katri RBA. 2013. Kajian pembuatan edible film tapioka
dengan pengaruh penambahan pektin beberapa jenis kulit pisang terhadap
karakteristik fisik dan mekanik. Jurnal Teknosains Pangan. 2(1):73–79.
Nurindra AP, Alamsjah MA, Sudarno. 2015. Karakterisasi edible film dari pati
propagul mangrove lindur (bruguiera gymnorrhiza) dengan penambahan
carboxymethil cellulose (CMC) sebagai pemlastis. Jurnal Ilmiah Perikanan
dan Kelautan. 7(2):125–132. doi: 10.20473/jipk.v7i2.11195.
Pamuji MW. 2014. Pengembangan bionanokomposit film berbasis pati tapioka
dan nanopartikel ZnO dengan plasticizer gliserol. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Park JW, Testin RF, Vergano DJ, Park HJ, Weller CL. 1996. Application of
laminated edible film to potato chip packaging. Journal Food Science.
61(4):66–76. doi: 10.1111/j.1365-2621.1996.tb12200.x.
Permanasari ED. 1998. Aplikasi edible coating dalam upaya mempertahankan
mutu dan masa simpan paprika (Capsium annuum var. Grossum). [Tesis].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Perry A dan Hammond N. 2002. Systematic review: the experience of a PhD
student. Psychology Learning and Teaching. 2(1):32–35. doi:
10.2304/2Fplat.2002.2.1.32.
43
Phattaraporn T, Waranyou S, Thawien W. 2011. Effect of palm pressed fiber
(PPF) surface treatment on the properties of rice starch films. International
Food Research Journal. 18(1):287–302.
Polnaya FJ, Haryadi, Marseno DW, Cahyanto MN. 2012. Preparation and
properties of sago starch phosphates. Sago Palm. 20:3–11.
Rincom AM dan Fanny CP. 2004. Physicochemical properties of venezuelan
breadfruit (Artocarpus altilis) starch. Archivos Latinoamericanos De Nutrition.
53:449–456.
Rojas-Grau MA, Tapia MS, Martin-Belloso O. 2008. Using polysaccharide-based
edible coating to maintain quality of fresh-cut Fuji apples. LWT. 41:139–147.
doi: 10.1016/J.LWT.2007.01.009.
Rosyadi E, Widjanarko SB, Ningtyas DW. 2014. Pembuatan lempeng buah lindur
(Bruguiera gymnorrhiza) dengan penambahan tepung ubi kayu (Manihot
esculenta crantz). Jurnal Pangan dan Agroindustri. 2(4):10–17.
Rusmawati DA. 2020. Asetilasi pati sagu (Metroxylon sp.) untuk meningkatkan
kinerja edible film. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Safira KR. 2020. Rice starch-based film incorporated with zinc oxide
nanoparticles. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Saleh FHM, Nugroho AY, Juliantama. 2017. Pembuatan edible film dari pati
singkong sebagai pengemas makanan. Teknoin. 23(1):43–48. doi:
10.20885/teknoin.vol23.iss1.art5.
Sariningsih N, Handayani DS, Kusumaningsih T. 2019. Development and
characterization of the medical properties of edible film from ginger starch,
chitosan with glycerin as plasticizer to food packaging. IOP Conf. Series:
Materials Science and Engineering. 1–6. doi: 10.1088/1757-
899X/600/1/012011.
Seknun N. 2012. Pemanfaatan tepung buah lindur dalam pembuatan dodol sebagai
upaya dalam meningkatkan nilai tambah. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Septiana SA. 2017. Pengaruh penambahan polietilen glikol (PEG) pada campuran
poli asam laktat dnegan sleulosa dari limbah padat tapioka. [Skripsi]. Bandar
Lampung (ID): Universitas Lampung.
Setiani W, Sudiarti T, Rahmidar L. 2013. Preparasi dan karakterisasi edible film
dari poliblend pati sukun-kitosan. Jurnal Valensi . 3(2):100–109. doi:
10.15408/JKV.V3I2.506.
Siregar S H dan Irma W. 2012. Pemanfaatan kulit singkong sebagai alternatif
bahan baku edible film. Jurnal Photon. 3(1):15–21. doi: 10.37859/jp.v3i1.144.
Siswanti, Anandito RBK, Manuhara GJ. 2013. Karakterisasi edible film komposit
dari glukomanan umbi iles-iles (Amorphopallus muelleri Blume) dan maizena.
Jurnal Teknologi Hasil Pertanian. 6(2):111–118. doi:
10.13057/biofar/f070102.
Sitompul AJWS dan Zubaidah E. 2017. Pengaruh jenis dan konsentrasi plasticizer
terhadap sifat fisik edible film kolang kaling (Arenga pinnata). Jurnal Pangan
dan Agroindustri. 5(1):13–25. Sjamsiah, Saokani J, Lismawati. 2017. Karakteristik edible film dari pati kentang
(Solanum tuberosum L.) dengan penambahan gliserol. Al-Kimia. 5(2):181–192.
doi: 10.24252/al-kimia.v5i2.3932.
44
Soesilo D, Santoso RE, Diyatri I. 2005. Peranan sorbitol dalam mempertahankan
kestabilan pH saliva pada proses pencegahan karies.Maj. Ked. Gigi (Dent. J).
38(1):25–28. doi: 10.20473/j.djmkg.v38.i1.p25-28.
Sogiana MB. 2013. Pencirian bioplastik tepung tapioka terplastisasi gliserol
dengan penambahan karaginan. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Su YL, Cheng W, Li C, Jiang Z. 2009. Preparation of antifouling ultrafiltration
membranes with polyethylen glicol graft polyacrylonitrile copolymers. Journal
of Membrane Science. 41:246–252. doi: 10.1016/j.memsci.2009.01.002.
Sudarno, Prima A, Alamsjah MA. 2015. Karakteristik edible film dari pati
propagul mangrove lindur (Bruguiera gymnorrhiza) dengan penambahan
carboxymethyl cellulose (CMC) sebagai pemlastis. Jurnal Ilmiah Perikanan
dan Kelautan. 7(2):127–130. doi: 10.20473/jipk.v7i2.11195.
Supeni G, Cahyaningtyas AA, Fitrina A. 2015. Karakterisasi sifat fisik dan
mekanik penambahan kitosan pada edible film karagenan dan tapioka
termodifikasi. Jurnal Kimia Kemasan. 37(2):103–110. doi:
10.24817/jkk.v37i2.1819.
Supriyadi. 2016. Community of practitioners: solusi alternatif berbagi
pengetahuan antar pustakawan. Lentera Pustaka. 2(2):83–83. doi:
10.14710/lenpust.v2i2.13476.
Suwarda R. 2019. Pati sagu modifikasi sebagai bahan edible film. [Disertasi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Syarifuddin A. 2014. Karakteristik edible film dari pektin albedo jeruk bali dan
pati garut. [Skripsi]. Malang (ID): Universitas Brawijaya.
Tan X, Gu B, Li X, Xie C, Chen L, Zhang B. 2017. Effect of growth period on the
multi-scale structure and physicochemical properties of cassava starch.
International Journal of Biological Macromolecules. 101:9–15. doi:
10.1016/j.ijbiomac.2017.03.031.
Tarigan S dan Damanik HC. 2018. Pengaruh komposisi sorbitol dan pati beras
sebagai edible coating terhadap mutu buah salak (Slaca zalacea) selama
penyimpanan. Jurnal Agroteknosains. 2(1):194–203. doi:
10.36764/ja.v2i1.144.
Tawfik GM, Dila KAS, Mohamed MYF, Tam DNH, Kien ND, Ahmed AM, Huy
NT. A step by step guide for conducting a systemetic review and meta-analysis
with simulation data. Tropical Medicine and Health. 47(46):1–9. doi:
10.1186/s41182-019-0165-6.
Thirathumthavorn D dan Charoenrein S. 2007. Aging effect on sorbitol-and non-
crystallizing sorbitol-plasticized tapioca starch films. Starch. 59:493–497. doi:
10.1002/star.200700626.
Ulfiah. 2013. Pencirian edible film tepung tapioka terplastisasi gliserol dengan
penambahan natrium alginat. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Ulyarti U, Nazarudin N, Surhaini, Lisani, Ramadon R, Lumbanraja P. 2020.
Cassava starch edible film with addition of gelatin or modified cassava starch.
IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science. 515:1–5. doi:
10.1088/1755-1315/515/1/012030.
Utami R, Khasanah LU, Yuniter KK, Manuhara GJ. 2017. Pengaruh oleoresin
daun kayu manis (Cinnamomum burmanii) dua tahap terhadap karakteristik
edible film tapioka. Journal of Sustainable Agriculture. 32(1):55–67. doi:
10.20961/carakatani.v32i1.15474.
45
Warkoyo, Rahardjo B, Marseno DW, Karyadi JNW. 2014. Sifat fisik, mekanik,
dan barrier edible film berbasis pati umbi kimpul (Xanthosoma sagittifolium)
yang diinkorporasi dengan kalium sorbat. Agritech. 34(1):72–81. doi:
10.22146/agritech.9525.
Waryat, Romli M, Suryani A, Yuliasih I, Johan S. 2013. Karakteristik morfologi,
termal, fisik-mekanik, dan barrier plastik biodegradable berbahan baku
komposit pati termoplastik LLDPE/HDPE. Agritech. 33(2):197–207.
Wattimena D, Ega L, Polnaya FJ. 2016. Karakteristik edible film pati sagu alami
dan pasti sagu fosfat dengan penambahan gliserol. Agritech. 36(3):247–252.
doi: 10.22146/agritech.16661.
Widodo LU, Wati SN, Vivi NM. 2019. Pembuatan edible film dari labu kuning
dan kitosan dengan gliserol sebagai plasticizer. Jurnal Teknologi Pangan.
13(1):59–65. doi: 10.33005/jtp.v13i1.1511.
Wijaya DR. 2013. Pencirian edible film pati tapioka terplastisasi sorbitol dengan
penambahan natrium alginat. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Winarno FG. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka
Utama
Winarti C, Miskiyah, Widaningrum. 2012. Teknologi produksi dan aplikasi
pengemas edible antimikroba berbasis pati. Jurnal Litbang Pertanian. 31(3):85–
93. doi: 10.21082/jp3.v31n3.2012.p/25p.
Wittaya T. 2012. Rice starch-based biodegradable films: properties enhancement
in: structure and function of food engineering. IntechOpen. 103–134. doi:
10.5772/47751.
Yulianti R dan Ginting E. 2012. Perbedaan karakteristik fisik edible film dari
umbi-umbian yang dibuat dengan penambahan plasticizer. Penelitian
Pertanian Tanaman Pangan. 31(2):131–136. doi:
10.21082/jpptp.v31n2.2012.p/25p.
Yusmarlela. 2009. Studi pemanfaatan plasticizer gliserol dalam film pati ubi
dengan pengisi serbuk batang ubi kayu. [Tesis]. Medan (ID): Universitas
Sumatera Utara. Zed M. 2003. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta (ID): Yayasan Obor
Indonesia.
Zulmanwardi, Todingbua A, Saleh M. 2018. Optimasi rasio kitosan-pati umbi uwi
dan pelarut untuk proses pembuatan plastik biodegradable dari pati umbi
uwi (Deoscorea alata). Prosiding Seminar Hasil Penelitian. 35–41.
Zuo G, Song X, Chen F, Shen Z. 2019. Physical and structural characterization of
edible bilayer films made with zein and corn-wheat starch. Journal of the
Saudi Society of Agricultural Sciences. 18:324–331. doi:
10.1016/j.jssas.2017.09.005.
46
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Melati Maeky Permata,
dilahirkan di Banyuwangi, 24 November 1997 dari
pasangan Bapak Rohmanuadi Al Herman Tetuko dan
Ibu Siti Kulwati. Ia merupakan anak keempat dari lima
bersaudara. Ia menyelesaikan pendidikan di SD
Muhammadiyah 1 Jember (2004-2010), SMP Negeri 2
Jember (2010-2013), SMA Negeri 1 Jember (2013-
2016), dan melanjutkan studi di Program Studi
Teknologi Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi
Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan
Tinggi Negeri (SNMPTN) pada tahun 2016.
Selama masa perkuliahan, ia aktif dalam beberapa kegiatan organisasi dan
kepanitiaan. Ia tergabung ke dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Peduli
Pangan Indonesia (Pusat) 2020 sebagai Biro Kesekretariatan, Himpunan
Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia (Komisariat IPB) tahun 2018/2019 menjabat
sebagai Sekretaris Umum dan tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Jember di
Bogor. Ia juga pernah berkontribusi menjadi Bendahara BAUR ITP 2018, Ketua
Divisi Dana Usaha Reds Cup 2018, Ketua Divisi Acara Agrido IGTS 2018, dan
anggota Divisi Dana Usaha Suksesi 2017.
Selain berpartisipasi dalam kegiatan organisasi dan kepanitiaan, selama
masa perkuliahan ia juga telah meraih beberapa penghargaan di antaranya Juara 1
Tulis Cerpen Pensodent 2019, Juara 1 Tulis Cerpen FAC 2019, dan Juara 1 LKTI
Agritech Exhibiton 2020 di Universitas Hasanuddin.