TINJAUAN PUSTAKA Keselamatan Pasien II.pdf · menerbitkan panduan ... Tingkatkan kebersihan tangan...
Transcript of TINJAUAN PUSTAKA Keselamatan Pasien II.pdf · menerbitkan panduan ... Tingkatkan kebersihan tangan...
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Keselamatan Pasien
Keselamatan pasien didefinisikan sebagai layanan yang tidak mencederai dan
merugikan pasien ataupun sebagai suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan
pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi penilaian risiko, identifikasi dan
pengelolaan hal yang berhubungan dengan keselamatan pasien, pelaporan dan analisis
insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi
solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko (Depkes RI, 2008).
Adapun tujuan program keselamatan pasien adalah untuk terciptanya budaya
keselamatan pasien di rumah sakit, meningkatnya akuntabilitas rumah sakit,
menurunnya kejadian tidak diharapkan (KTD), kejadian tidak cedera (KTC) dan
kejadian nyaris cedera (KNC) dan terlaksananya program-program pencegahan
sehingga tidak terjadipengulangan kejadian tidak diharapkan (Depkes RI, 2008).
1.1.1 Sasaran keselamatan pasien
Terdapat enam sasaran keselamatan pasien yang meliputi: melakukan
identifikasi pasien secara tepat, meningkatkan komunikasi yang efektif, meningkatkan
keamanan penggunaan obat yang membutuhkan perhatian atau yang perlu diwaspadai,
mengurangi risiko salah lokasi, salah pasien, dan prosedur tindakan operasi,
mengurangi risiko infeksi nosokomial, mengurangi risiko pasien cedera karena jatuh
(Permenkes No 1961 Tahun 2011, BAB IV Pasal 8 ayat 2).
10
1.1.2 Standar keselamatan pasien rumah sakit
Standar keselamatan pasien yag disusun ini mengacu pada “Hospital Patient
Safety Standards” yang dikeluarkan oleh Joint Commision on Accreditation of Health
Organization tahun 2002 yang telah disesuaikan dengan kondisi perumahsakitan di
Indonesia. Standar keselamatan pasien wajib diterapkan rumah sakit dan penilaiannya
dilakukan dengan instrumen akreditasi rumah sakit. Adapun standar keselamatan
pasien terdiri dari tujuh standar (Depkes RI, 2008) yaitu :
a. Hak pasien
b. Mendidik pasien dan keluarga
c. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
d. Penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan
program peningkatan keselamatan pasien
e. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
f. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
g. Komunikasi sebagai kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien
1.1.3 Langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit
Mengacu pada sasaran keselamatan pasien, maka rumah sakit harus merancang
proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja
melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif KTD, dan melakukan
perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien. Adapun tujuh
langkah keselamatan pasien rumah sakit dalam Permenkes No 1961 Tahun 2011, BAB
V Pasal 9 ayat 2 antara lain :
a. Membangun budaya keselamatan pasien
b. Pimpinan dan dukungan terhadap staf
c. Integrasi aktivitas manajemen risiko
11
d. Membangun sistem pelaporan
e. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien dan publik
f. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien
g. Implementasi solusi untuk mencegah kerugian
1.1.4 Sembilan solusi live saving keselamatan pasien rumah sakit
Pada tanggal 2 Mei 2007 WHO Colaborating Centre for Patient Safety resmi
menerbitkan panduan “Nine Life-Saving Patient Safety Solutions” (Sembilan Solusi
Keselamatan Pasien Rumah Sakit). Sembilan topik yang diberikan solusinya adalah
sebagai berikut (Depkes RI, 2008):
a. Perhatikan Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip (NORUM)/ Look-Alike, Sound-
Alike Medication Names (LASA)
b. Pastikan identifikasi pasien
c. Komunikasi secara benar saat serah terima/pengoperan pasien
d. Pastikan tindakan yang benar pada sisi tubuh yang benar
e. Kendalikan cairan elektrolit pekat (concentrated)
f. Pastikan akurasi pemberian obat pada pengalihan pelayanan
g. Hindari salah kateter dan salah sambung selang (tube)
h. Gunakan alat injeksi sekali pakai
i. Tingkatkan kebersihan tangan (hand hygiene) untuk pencegahan infeksi
nosokomial
1.1.5 Jenis Insiden keselamatan pasien
Macam kejadian yang terkait dalam keselamatan pasien meliputi beberapa
istilah menurut (Permenkes No 1961, BAB I Pasal 1 ayat 3-7) yaitu:
12
a. Kejadian potensial cedera (KPC)
KPC atau reportable circumstances adalah suatu kondisi yang sangat berpotensi
untuk menimbulkan cedera, akan tetapi belum terjadi insiden.
b. Kejadian nyaris cidera (KNC)
KNC atau near miss didefinisikan sebagai kesalahan yang nyaris terjadi/ terpapar
pada pasien.
c. Kejadian tidak cedera (KTC)
KTC atau no harm incident adalah suatu insiden yang sudah terpapar ke pasien
akan tetapi tidak timbul cedera.
d. Kejadian tidak diharapkan (KTD)
Kejadian tidak diharapkan atau adverse event dapat diartikan sebagai cedera atau
komplikasi yang tidak diinginkan, yang dapat mengakibatkan timbulnya cedera
pada pasien dan atau perawatan yang lebih lama yang disebabkan oleh manajemen
medis dan bukan karena penyakit yang diderita.
e. Kejadian sentinel
Kejadian sentinel didefinisikan sebagai suatu KTD yang mengakibatkan cedera
serius bahkan kematian terhadap pasien.
1.2 Budaya Keselamatan Pasien
Budaya keselamatan pasien merupakan kesadaran konstan dan potensi aktif oleh
staf sebuah organisasi dalam mengenali sesuatu yang tampak bermasalah. Staf dan
organisasi yang mampu mengakui kesalahan, belajar dari kesalahan, dan mau
mengambil tindakan untuk mengadakan perbaikan dikatakan sudah melaksanakan
budaya keselamatan (National Patient Safety Agency (NPSA), 2004).
Budaya keselamatan pasien didefinisikan sebagai pola terpadu perilaku individu
dan organisasi berdasarkan keyakinan dan nilai-nilai bersama yang terus berusaha
13
untuk meminimalkan tindakan yang dapat membahayakan pasien yang mungkin
timbul dari proses perawatan (Fleming 2012). Organisasi dengan budaya keselamatan
positif memiliki karakteristik bahwa ada komunikasi yang dibentuk dengan rasa saling
percaya tentang pentingnya keselamatan, dan dengan keyakinan dalam tindakan
pencegahan yang efektif, serta membangun organisasi yang terbuka (open), adil (just),
informatif dalam melaporkan kejadian keselamatan pasien yang terjadi (reporting),
dan belajar dari kejadian tersebut (learning) (NSPA, 2004).
Budaya keselamatan pasien mencakup banyak elemen dalam pelayanan
kesehatan dimana elemen budaya keselamatan pasien mengacu pada perilaku dan
kepercayaan staf yang meningkat dalam mengidentifikasi dan belajar dari kesalahan
(Jones et.al, 2007 dalam Putra, 2015).
1.2.1 Dimensi budaya keselamatan pasien
James Reason dalam NPSA (2004) menyebutkan bahwa budaya keselamatan
pasien dapat dibagi menjadi beberapa dimensi seperti:
a. Budaya keterbukaan (open culture)
Budaya keterbukaan dalam suatu organisasi merupakan proses pertukaran
informasi antar perawat dan staf. Dimensi ini memiliki karakteristik bahwa
perawat akan merasa nyaman membahas insiden yang terkait dengan keselamatan
pasien serta mengangkat isu-isu terkait keselamatan pasien bersama dengan rekan
kerjanya, juga supervisor atau pimpinan. Komunikasi terbuka dapat diwujudkan
dalam kegiatan supervisi dan dalam kegiatan tersebut perawat melakukan
komunikasi terbuka tentang risiko terjadinya insiden dalam konteks keselamatan
pasien, membagi dan bertanya informasi seputar isu-isu keselamatan pasien yang
potensial terjadi dalam setiap kegiatan keperawatan. Keterbukaan juga ditujukan
kepada pasien. Pasien diberikan penjelasan akan tindakan dan juga kejadian yang
14
telah terjadi. Pasien diberikan informasi tentang kondisi yang akan menyebabkan
resiko terjadinya kesalahan. Perawat memiliki motivasi untuk memberikan setiap
informasi yang berhubungan dengan keselamatan pasien.
b. Budaya pelaporan (reporting culture)
Budaya pelaporan merupakan bagian penting dalam rangka meningkatkan
keselamatan pasien. Perawat akan membuat pelaporan jika merasa aman. Aman
yang dimaksud apabila membuat laporan maka tidak akan mendapatkan
hukuman. Perawat yang terlibat merasa bebas untuk menceritakan atau terbuka
terhadap kejadian yang terjadi. Perlakuan yang adil terhadap perawat, tidak
menyalahkan secara individu tetapi organisasi lebih fokus terhadap sistem yang
berjalan akan meningkatkan budaya pelaporan. Menciptakan program evaluasi
atau sistem pelaporan, adanya upaya dalam peningkatan laporan, serta adanya
mekanisme reward yang jelas terhadap pelaporan merupakan langkah nyata
dalam membangun dimensi budaya ini.
c. Budaya keadilan (just culture)
Perawat saling memperlakukan secara adil antarperawat ketika terjadi insiden,
tidak berfokus untuk mencari kesalahan individu (blaming), tetapi lebih
mempelajari secara sistem yang mengakibatkan terjadinya kesalahan. Aspek
dalam budaya keadilan yang perlu mendapat perhatian adalah keseimbangan
antara kondisi laten yang mempengaruhi dan dampak hukuman yang akan
diberikan kepada individu yang berbuat kesalahan. Perawat dan organisasi
bertanggung jawab terhadap tindakan yang diambil. Perawat akan membuat
laporan kejadian jika yakin bahwa laporan tersebut tidak akan mendapatkan
hukuman atas kesalahan yang terjadi. Lingkungan terbuka dan adil akan
membantu untuk membuat pelaporan yang dapat menjadi pelajaran dalam
15
keselamatan pasien. Budaya tidak menyalahkan perlu dikembangakan dalam
menumbuhkan budaya keselamatan pasien. Cara organisasi membangun budaya
keadilan dengan memberikan motivasi dan keterbukaannya terhadap perawat
untuk memberikan informasi kejadian yang dapat diterima dan tidak dapat
diterima. Hal ini juga termasuk kerjasama antar perawat sehingga mengurangi
rasa takut untuk melaporkan kejadian berkaitan dengan keselamatan pasien.
d. Budaya pembelajaran (learning culture)
Budaya pembelajaran memiliki pengertian bahwa sebuah organisasi memiliki
sistem umpan balik terhadap kejadian kesalahan atau insiden dan pelaporannya,
serta pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kualitas perawat dalam
melaksanakan asuhan keperawatan. Setiap lini di dalam organisasi, baik perawat
maupun manajemen menggunakan insiden yang terjadi sebagai proses belajar.
Perawat dan manajemen berkomitmen untuk mempelajari insiden yang terjadi,
mengambil tindakan atas insiden untuk diterapkan guna mencegah terulangnya
kesalahan.
1.2.2 Manfaat penerapan budaya keselamatan pasien
Manfaat utama dalam penerapan budaya keselamatan pasien adalah organisasi
menyadari apa yang salah dan pembelajaran terhadap kesalahan tersebut (Reason,
2000 dalam Cahyono, 2008). Fleming (2006) juga mengatakan bahwa fokus
keseluruhan terhadap penerapan budaya keselamatan pasien dengan melibatkan
seluruh komponen yang terlibat dalam organisasi akan lebih membangun budaya
keselamatan pasien dibandingkan apabila hanya fokus terhadap programnya saja.
Adapun manfaat dalam penerapan budaya keselamatan pasien secara rinci
antara lain (NPSA, 2004):
16
a. Membuat organisasi kesehatan lebih tahu jika ada kesalahan yang akan terjadi
atau jika kesalahan terjadi.
b. Meningkatnya laporan kejadian yang dibuat dan belajar dari kesalahan yang
terjadi akan berpotensial menurunnya kejadian yang sama berulang kembali dan
keparahan dari insiden keselamatan pasien.
c. Kesadaran akan keselamatan pasien, yaitu bekerja untuk mencegah error dan
melaporkan jika ada kesalahan.
d. Berkurangnya staf yang merasa tertekan, bersalah, malu karena kesalahan yang
telah diperbuat.
e. Berkurangnya turn over pasien, karena pasien yang pernah mengalami insiden,
pada umumnya akan mengalami perpanjangan hari perawatan dan pengobatan
yang diberikan lebih dari pengobatan yang seharusnya diterima pasien.
f. Mengurangi biaya yang diakibatkan oleh kesalahan dan penambahan terapi.
g. Mengurangi sumber daya yang dibutuhkan untuk mengatasi keluhan pasien.
1.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan budaya keselamatan pasien
Menurut Chooper (2000) dalam Putra (2004), tentang Total Safety Culture,
menyebutkan bahwa terdapat tiga kelompok faktor yang mempengaruhi budaya
keselamatan pasien, yaitu :
a. Faktor Personal
Tenaga kesehatan sebagai seorang manusia, merupakan komponen utama yang
menjadi pelaksana budaya keselamatan pasien. Pelaksana ini dalam menerapkan
budaya keselamatan pasien dipengaruhi oleh aspek-aspek personal seperti
pengetahuan, sikap, motivasi, kompetensi dan kepribadian.
b. Faktor perilaku organisasi/ kondisi lingkungan kerja
17
Dalam menyusupkan budaya keselamatan pasien kedalam setiap diri dari staf
rumah sakit, maka organisasi perlu menciptakan lingkungan yang mendukung
budaya keselamatan pasien tersebut. Untuk menciptakan lingkungan yang
kondusif, organisasi harus mampu mengontrol faktor-faktor baik yang
mendukung ataupun yang melemahkan. Adapun faktor perilaku organisasi yang
perlu dikontol agar menciptakan kondisi lingkungan budaya keselamatan pasien
antara lain : kepemimpinan (direction, supervision, coordination), kewaspadaan
situasi, komunikasi, kerja tim, stress, kelelahan, kepemimpinan tim dan
pengambilan keputusan.
c. Faktor Lingkungan
Lingkungan fisik rumah sakit yaitu ukuran rumah sakit merupakan faktor yang
mempengaruhi penerapan budaya keselamatan pasien. Ketersediaan dan kualitas
perlengkapan yang menunjang terciptanya budaya keselamatan pasien seperti
peralatan, mesin, standar prosedur operasional (SPO), kebersihan dan kondisi
bangunan yang baik, merupakan pendukung dalam proses pelaksanaan pelayanan
kesehatan. Dengan ketersediaan peralatan yang memadai dan berkualitas maka
rumah sakit dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar dan
tentunya berdampak positif terhadap keselamatan pasien.
1.2.4 Mengukur penerapan budaya keselamatan pasien
Salah satu alat untuk mengukur penerapan budaya keselamatan pasien adalah
dengan instrumen kuesioner The Hospital Survey of Patient Safety Culture (HSOPSC)
yang dikembangkan oleh Agency for Health Care Research and Quality (AHRQ) yang
merupakan suatu komite untuk kualitas kesehatan di Amerika yang memimpin
lembaga Federal untuk peneltian tentang kualitas kesehatan, biaya, outcome, dan
keselamatan pasien. Dalam instrumen tersebut terdapat 12 elemen penilaian yang
18
dikembangkan untuk mengukur budaya keselamatan pasien dari perspektif staf.
Berikut penjelasan terkait instrumen budaya keselamatan pasien (Putra, 2015) :
a. Responden
Responden yang dapat mengisi instrumen budaya keselamatan pasien adalah
seluruh jenis staf yang berada di pelayanan rumah sakit. Survey ini sangat cocok
dilakukan pada staf yang langsung bersentuhan dengan pasien (perawat, dokter,
bidan, radiologi dll), staf yang tidak langsung bersentuhan langsung dengan pasien
namun pelayanannya dapat mempengaruhi pasien (farmasi, analis laboratorium
dll), pemimpin, manajer dan petugas manajeman rumah sakit.
b. Dimensi pertanyaan
Survey budaya keselamatan pasien terdiri dari 12 elemen yang dibagi menjadi 2
kelompok yang dituangkan dalam 9 bagian dalam kuesioner. Adapun
penjelasannya sebagai berikut :
1) Kelompok outcome (hasil) yang terdiri dari 2 dimensi pertanyaan :
a) Keseluruhan persepsi tentang keselamatan pasien yang merupakan
pendapat subyektif kondisi keseluruhan budaya keselamatan pasien yang
dirasakan ditempat kerjanya. Pendapat ini dituangkan dari angka 1-5,
semakin besar angka yang dipilih semakin baik persepsi tentang
keselamatan pasien.
b) Frekuensi pelaporan kejadian/ insiden, merupakan jumlah pelaporan
insiden yang sudah pernah dilakukan yang diketahui oleh staf,
dituangkan dalam angka 0 sampai tak terhingga dengan skoring 0 untuk
0 insiden, 1 untuk 1 insiden, 2 untuk 2 insiden dan seterusnya. Hal ini
membuktikan kesadaran akan insiden dan pelaporannya dalam unit
masing-masing.
19
2) Kelompok budaya keselamatan, terdiri dari 10 dimensi pertanyaan yaitu :
a) Kerjasama tim dalam unit
b) Ekspektasi dan aksi pimpinan dalam mempromosikan keselamatan
pasien
c) Proses belajar organisasi, perbaikan berkelanjtan
d) Dukungan manajemen rumah sakit dalam keselamatan pasien
e) Umpan balik dan komunikasi kejadian kesalahan
f) Keterbukaan organisasi
g) Kerjasama tim antar unit di rumah sakit
h) Staffing
i) Serah terima dan transisi
j) Respon tidak menyalahkan terhadap kejadian kesalahan
1.3 Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari penginderaan manusia terhadap obyek melalui
indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya) (Notoatmodjo,2010).
Pengetahuan seseorang tentang suatu objek mengandung dua aspek yaitu aspek positif
dan aspek negatif. Kedua aspek ini yang akan menentukan sikap seseorang, semakin
banyak aspek positif dan objek yang diketahui, maka akan menimbulkan sikap makin
positif terhadap objek tertentu begitu juga sebaliknya. Menurut teori WHO yang
dikutip oleh Notoatmodjo (2010), salah satu bentuk objek kesehatan dapat dijabarkan
oleh pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman sendiri. Berdasarkan beberapa
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang
diketahui oleh seseorang melalui pengenalan sumber informasi, ide yang diperoleh
sebelumnya baik secara formal maupun informal.
20
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya
tindakan seseorang. Pengetahuan diperlukan sebagai dukungan dalam menumbuhkan
rasa percaya diri maupun sikap dan perilaku setiap hari, sehingga dapat dikatakan
bahwa pengetahuan merupakan fakta yang mendukung tindakan seseorang
(Notoatmodjo, 2010).
Menurut Notoatmodjo (2010) terdapat 6 tingkatan pengetahuan, yaitu :
a. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat, mengingat kembali (recall) seluruh bahan
yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.
b. Memahami (Comprehension)
Memahami adalah tahap seseorang mampu untuk menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut
21
secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan,
menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang
dipelajari.
c. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada
situasi kondisi real (sebenarnya).
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam
komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya
satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja: dapat
menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.
e. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan
bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu
kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian
terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini berdasarkan suatu kriteria yang
ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Pengukuran
pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket (kuesioner) yang menanyakan
tentang materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan adalah sebagai berikut
(Notoatmodjo, 2010) :
22
a. Pendidikan
Semakin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi sehingga semakin
banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Sebaliknya pendidikan yang kurang akan
menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan.
b. Pekerjaan
Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan, tetapi lebih banyak merupakan cara mencari
nafkah yang membosankan, berulang, dan banyak tantangan. Semakin lama seseorang
bekerja semakin banyak pengetahuan yang diperoleh.
c. Umur
Umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun. Semakin
bertambah umur seseorang semakin banyak pengetahuan yang di dapat.
d. Sumber informasi
Data yang merupakan kenyataan yang menggambarkan suatu kejadian-kejadian dan
kesatuan nyata apa air, apa alam, apa manusia dan sebagainya (Notoatmodjo, 2005).
1.4 Motivasi
Motivasi berasal dari Bahasa latin yang berarti to move, yang secara umum mengacu pada
adanya dorongan yang menggerakkan kita untuk berperilaku tertentu dan dalam mempelajari
motivasi kita akan berhubungan dengan hasrat, keinginan, dorongan dan tujuan (Quinn, 1995
dalam Notoatmojo 2010). Dalam buku John Elder et,al(1998) yang berjudul bagaimana
memotivasi perilaku sehat, motivasi didefinisikan sebagai interaksi antara pelaku dan lingkungan
sehingga dapat meningkatkan, menurunkan atau mempertahankan perilaku (Notoatmodjo, 2010).
Apabila kita berbicara tentang motivasi maka kita secara tidak langsung membicarakan
tentang prilaku yang memiliki tiga ciri khusus sebagai berikut:
23
a. Motivasi yang dimotivasi berkelanjutan yang tetap ada dalam jangka waktu yang lama.
b. Perilaku yang dimotivasi diarahkan kearah pencapaian tujuan.
c. Prilaku yang muncul akibat motivasi diri sendiri untuk mendapatkan hal yang dibutuhkan.
Beberapa istilah yang dikemukakan para ahli tentang kekuatan yang memotivasi seseorang
melakukan/ berprilaku adalan kebutuhan (need), aspirasi (aspiration) dan keinginan (desire),
dalam prosesnya keinginan seorang individu menghasilkan ketidakseimbangan sehingga timbul
aktifitas yamg bertujuan untuk mengurangi ketegangan tersebut (Winardi, 2012).
Kompensasi dalam hal ini uang tidak pernah lepas kaitannya dengan motivasi. Namun uang
bukanlah satu-satunya hal yang mempengaruhi motivasi, tapi keberadaannya tetap penting terkait
dalam pemenuhan kebutuhan/ keinginan seorang individu. Dalam teori motivasi yang menekankan
dua faktor yang merupakan hasil riset Frederick Herzberg cs pada Psychological Service of
Pittsburgh, uang adalah faktor higienik dan bukanlah sebuah motivator. Dalam hasil penelitiannya
motivasi dipengaruhi oleh (Gillies, 1994):
a. Kebutuhan akan pekerjaan (faktor motivasi) yang berkaitan dengan sikap positif individual
terhadap pekerjaannya yang bertujuan untuk perbaikan diri, prestasi, keinginan untuk diterima
dan menerima tanggung jawab lebih besar. Faktor ini bersifat jangka panjang dan dapat
meningkatkan produktivitas.
b. Faktor lingkungan kerja yang berkaitan dengan kondisi pekerjaan itu sendiri (factor higienik),
meliputi upah, kondisi kerja (suhu, ruangan), kebijaksanaan perusahaan dan kualitas supervisi.
Faktor-faktor tersebut tidak dapat maksimal meningkatkan motivasi dan peningkatan
produktivitas, namun ini bila tidak tersedia akan menimbulkan ketidakpuasan karyawan
(Winardi, 2012).
24
Tokoh lain yang mengemukakan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi
dalam suatu pekerjaan adalah M. Scott Mayers bekas manajer Personal Research for Texas
Instrumens Incorporated, dimana dalam memotivasi individu melakukan pekerjaan dipengaruhi
oleh faktor :
a. Kebutuhan akan motivasi
1. Pendelegasian
2. Kebutuhan akan keterlibatan dalam pekerjaan
3. Tanggung jawab dan penghargaan
4. Pencapaian prestasi
b. Kebutuhan pelaksanaan pemeliharaan
1. Kebutuhan ekonomi (upah, jagi, bonus, cuti, dll)
2. Kebutuhan fiskal (tuntutan kerja, fasilitas, peraturan, dll)
3. Kebutuhan social (hubungan antar karyawan dan antara karyawan dengan atasan)
4. Kebutuhan kepastian (penilaian yang objektif dari atasan, kekonsistenan, jaminan, dll)
5. Kebutuhan status (jabatan)
6. Kebutuhan orientasi (tugas, pertemuan, sosialisasi, rapat, dll)
1.5 Supervisi Pelayanan Keperawatan
Supervisi adalah salah satu bagian dari kegiatan kepemimpinan (Gillies, 1996) dimana
kegiatan supervisi keperawatan tidak akan lepas dari supervisor, penerima supervisi (supervisee)
dan komponen dari supervisi tersebut (Halpern & McKimm, 2009). Dimana kegiatan supervisi
dilaksanakan untuk pemantauan (monitoring), bimbingan, dan umpan balik (feedback) tentang
masalah-masalah pribadi, profesional, dan perkembangan pendidikan dalam konteks pelayanan
kesehatan yang aman bagi pasien (Kilminster, 2000).
25
Supervisi pelayanan keperawatan merupakan kegiatan dinamis yang bertujuan untuk
meningkatkan motivasi dan kepuasan antara dua komponen yang terlibat yaitu supervisor atau
pimpinan, orang yang disupervisi sebagai mitra kerja dan pasien sebagai penerima jasa pelayanan
keperawatan. Dalam kegiatannya interaksi dan komunikasi professional antara supervisor
keperawatan dan perawat pelaksana mencakup bimbingan, dukungan, bantuan dan kepercayaan,
sehingga perawat pelaksana dapat memberikan asuhan yang aman kepada pasien (Halpern &
McKimm ,2009 dan Gillies, 1994).
Menurut Suyanto (2008) supervisi keperawatan dilaksanakan oleh personil atau bagian yang
bertanggung jawab antara lain:
a. Kepala ruangan
Kepala ruangan bertanggung jawab untuk melakukan supervisi pelayanan keperawatan yang
diberikan pada pasien diruang perawatan yang dipimpinnya.
b. Pengawas keperawatan
Ruang perawatan dan unit pelayanan yang berada di bawah unit pelaksana fungsional
mempunyai pengawas keperawatan yang bertanggung jawab mengawasi jalannya pelayanan
keperawatan.
c. Kepala bidang keperawatan
Sebagai top manajer dalam keperawatan, kepala bidang keperawatan bertanggung jawab
untuk melakukan supervisi melalui para pengawas keperawatan. Kepala bidang keperawatan
memiliki tanggung jawab dalam mengusahakan seoptimal mungkin kondisi kerja yang aman
dan nyaman, efektif, dan efisien. Pada intinya, tugas dari supervisor keperawatan yang terdiri
atas kepala ruangan, pengawas keperawatan dan kepala bidang keperawatan adalah
mengorientasikan, melatih, dan memberikan pengarahan kepada perawat pelaksana dalam
26
pelaksanaan tugas. Tujuan memberikan pelayanan bimbingan dalam memberikan asuhan
keperawatan dan juga hal terkait keselamatan pasien agar perawat yang disupervisi
menyadari, mengerti terhadap peran dan fungsi sebagai pelaksana asuhan keperawatan yang
aman.
Kegiatan supervisi merupakan kegiatan dengan fokus peningkatan mutu dan kualitas
pelayanan kesehatan sebagai tujuan utama. Agar tidak menyimpang dari tujuan, maka ada
beberapa kompetensi yang harus dimiliki seorang supervisor (Arwani & Supriyanto, 2006)
diantaranya:
a. Kemampuan memberikan pengarahan dan petunjuk mengenai tugas dan tanggung jawab
perawat pelaksana.
b. Kemampuan memberikan saran dan bantuan
c. Kemampuan memberikan motivasi
d. Kemampuan memberikan latihan dan bimbingan/ sebagai contoh
e. Kemampuan dalam melakukan penilaian objektif terhadap penilaian kinerja
Dalam suatu proses transformasi nilai (proses internalisasi nilai keselamatan pasien
menjadi bagian dari budaya organisasi) pemimpin mulai mengajak perawat untuk melihat,
percaya, bergerak dan menyelesaikan perubahan sehingga organisasi menemukan nilai-nilai
kolektif dan memakai nilai-nilai tersebut sebagai perekat, menjadi tuntunan dalam membentuk
kebiasaan dan perilaku setiap individu dan kelompok (Cahyono, 2008). Hal tersebut didukung oleh
penelitian yang mengatakan ada hubungan yang positif antara kepemimpinan efektif oleh kepala
ruang dengan penerapan budaya keselamatan pasien (Setiowati, 2010).
27
1.6 Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia (SDM) adalah manusia yang bekerja di lingkungan organisasi yang
menjadi penggerak organisasi dalam mewujudkan tujuan organisasi (Nawawi,2001). Sumber daya
manusia selanjutnya disebut tenaga kerja/ karyawan. Menurut UU No 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan disebutkan bahwa tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan
pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri atau
masyarakat, mereka yang dikelompokkan sebagai tenaga kerja yaitu mereka yang berusia 15-64
tahun.
1.6.1 Tenaga kesehatan
Dalam UU No 36 tahun 2014 bab 1 pasal 1 tentang tenaga kesehatan disebutkan bahwa
tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta
memiliki pengetahuan dan/ atau keterampilan melalui pendidikan dibidang kesehatan yang untuk
jenis tertentu memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan.
Upaya kesehatan yang dimaksud adalah setiap kegiatan yang dilakukan secara terpadu,
terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat. Pelayanan kesehatan adalah suatu kegiatan yang berhubungan dengan nyawa manusia
sehingga dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat seorang tenaga kesehatan diharuskan
memiliki kualifikasi minimal pendidikan diploma tiga (D3) (UU No 36 tahun 2014 bab 3 pasal 9
ayat 1).
Tenaga kesehatan dibagi menjadi beberapa kelompok, diantaranya adalah sebagai berikut
(UU No 36 tahun 2014 bab 3 pasal 9 ayat 1) :
a. Tenaga medis
b. Tenaga psikologi klinis
28
c. Tenaga keperawatan
d. Tenaga kebidanan
e. Tenaga kefarmasian
f. Tenaga kesehatan masyarakat
g. Tenaga kesehatan lingkungan
h. Tenaga gizi
i. Tenaga keterapian fisik
j. Tenaga keteknisan medis
k. Tenaga teknik biomedika
l. Tenaga kesehatan tradisional
m. Tenaga kesehatan lain
1.6.2 Karakteristik individu tenaga kesehatan
Setiap manusia memiliki karakteristik individu yang berbeda antara satu dengan yang
lainnya. Berikut ini beberapa pendapat mengenai karakteristik individu. Menurut Robbins (2006)
mengemukakan karakteristik individu meliputi usia, jenis kelamin, dan masa kerja dalam
organisasi.
Adapun beberapa faktor dari karakteristik individu menurut Robbins (2006) adalah sebagai
berikut :
a. Usia
Kamus Umum Bahasa Indonesia (1998),usia (umur) adalah lama waktu hidup atau ada (sejak
dilahirkan). Nitisemito (2000) menyatakan bahwa pegawai yang lebih muda cenderung
mempunyai fisik yang kuat, sehingga diharapkan dapat bekerja keras dan pada umumnya
mereka belum berkeluarga atau bila sudah berkeluarga anaknya relatif masih sedikit. Tetapi
29
pegawai yang lebih muda umumnya kurang berdisiplin, kurang bertanggungjawab dan sering
berpindah-pindah pekerjaan dibandingkan pegawai yang lebih tua.
b. Jenis Kelamin
Robbins (2006) menyatakan bahwa, tidak ada perbedaan yang konsisten antara pria dan wanita
dalam kemampuan memecahkan masalah, ketrampilan, analisis, dorongan kompetitif, motivasi,
sosiabilitas atau kemampuan belajar.
c. Masa Kerja
Menurut kamus besar bahasa Indonesia (1998), pengalaman kerja didefinisikan sebagai suatu
kegiatan atau proses yang pernah dialami oleh seseorang ketika mencari nafkah untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Siagian (2008) menyatakan bahwa, masa kerja menunjukkan
berapa lama seseorang bekerja pada masing-masing pekerjaan atau jabatan.
1.7 Penelitian Terdahulu
Adapun penelitian terdahulu yang pernah dilakukan, terkait dengan pengetahuan, motivasi,
supervisi dan budaya keselamatan pasien adalah sebagai berikut :
Tabel 2. 1 Daftar Penelitian Terdahulu No Penelitian Terdahulu
1 Peneliti Teguh Kuncoro
Institusi Universitas Indonesia
Tahun 2012
Judul Hubungan antara pengetahuan, sikap dan kualitas
kehidupan kerja dengan kinerja perawat dalam
penerapan sistem keselamatan pasien di rumah sakit XY
tahun 2012
Tujuan
Penelitian
Mengetahui hubungan pengetahuan, sikap, kualitas
kerja dan kinerja perawat dalam penerapan sistem
keselamatan pasien di rumah sakit.
30
Metode dan
Hasil Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif korelatif
dengan metode pendekatan cross-sectional. Hasil uji
menggunakan chi-squaretest menunjukkan tidak ada
hubungan signifikan antara pengetahuan, sikap dan
kualitas kerja dengan kinerja perawat dalam menerapkan
sistem keselamatan pasien. Dengan uji fisher exact test
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara
komponen partisipasi dengan kinerja perawat.
2 Peneliti Ika Fadhilah Bea
Institusi Universitas Hasanuddin
Tahun 2013
Judul Gambaran Budaya Keselamatan Pasien Di Rumah Sakit
Universitas Hasanuddin Tahun 2013
Tujuan
Penelitian
Mengetahui gambaran budaya keselamatan pasien di RS
Universitas Hasanuddin
Metode dan
Hasil Penelitian
Desain penelitian korelasi deskriptif cross-sectional
dengan pengambilan sampel cluster random sampling.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa budaya
keselamatan pasien di RS Unhas tergolong kuat dengan
persentasi 71,57%.
3 Peneliti IGA Ari Rasdini dkk
Institusi Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar
Tahun 2014
Judul Hubungan penerapan budaya keselamatan pasien
dengan supervisi pelayanan keperawatan oleh perawat
pelaksana di ruang rawat inap RSUP Sanglah
Tujuan
Penelitian
Mencari hubungan antara supervisi pelayanan
keperawatan dengan penerapan budaya keselamatan
pasien oleh perawat pelaksana di ruang rawat inap RSUP
Sanglah
31
Metode dan
Hasil Penelitian
Penelitian ini merulakan sudi korelatif dengan metode
pendekatan cross-sectional. Sampel terdiri dari 223
perawat pelaksana yang diambil dengan metode
menggunakan teknik proportionate stratified random
sampling pada sub-populasi dan kemudian anggota
sampel dari sub-populasi diambil dengan teknil simple
random sampling. Instrumen pengumpulan data dengan
kuesioner. Hasil penelitian ini menunjukkan ada
hubungan signifikan dan berkekuatan sedang
antarasupervisi pelayanan keperawatan dengan
penerapan budaya keselamatan pasien oleh perawat
pelaksana.
4 Peneliti Reski Nur Wahyuningsih dkk
Institusi Universitas Hasanudin
Tahun 2014
Judul Hubungan pengetahuan, motivasi, dan beban kerja
terhadap kinerja keselamatan pasien RSUDSyekh Yusuf
Gowa
Tujuan
Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan
pengetahuan, motivasi, dan beban kerja terhadap kinerja
perawat dalam mengimplementasikan keselamatan
pasien di instalasi rawat ianp RSUD Syekh Yusuf Gowa
Metode dan
Hasil Penelitian
Jenis penelitian ini adalah observasional dengan
pendekatan cross-sectional. Pengambilan sampel
menggunakan teknik exhaustive sampling dan analisis
data menggunakan univariat dan bivariat dengan uji chi
square. Hasil penelitian ini menunjukkan ada hubungan
pengetahuan tingkat pengetahuan, motivasi dan beban
kerja terhadap kinerja perawat dalam
mengimplementasikan keselamatan pasien di instalasi
rawat inap RSUD Syekh Yusuf Gowa
32
5. Peneliti Diah Gayatri Arumaningrum
Institusi Universitas Muhammaadiyah Yogyakarta
Tahun 2014
Judul Tingkat Pengetahuan perawat Tentang Patient safety di
unit anak RS PKU Muhammadiyah Bantul, RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta Unit I dan RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta Unit II
Tujuan
Penelitian
Mengetahui Tingkat Pengetahuan Perawat Tentang
Patiet SafetyDi Unit Anak RS PKU Muhammadiyah
Bantul, RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I dan
RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II
Metode dan
Hasil Penelitian
Jenis penelitian ini deskriptif kuantitatif dengan
pendekatan cross-sectional dengan metode pengambilan
sampel total sampling. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa 96% perawat memiliki kriteria tingkat
pengetahuan baik dan 4% perawat memiliki tingkat
pengetahuan cukup.
6 Peneliti Arif Sumarianto
Institusi Universitas Hasanuddin
Tahun
Judul Hubungan Pengetahuan Dan Motivasi Terhadap Kinerja
Perawat Dalam penerapan Program Patient Safety Di
Ruang Perawatan Inap RSUD Makkasau Kota Parepare
Tujuan
Penelitian
Menganalisis hubungan pengetahuan dan motivasi
terhadap kinerja perawat dalam penerapan program
patient safety di ruang perawatan inap RSUD Makkasau
Kota Parepare
Metode dan
Hasil Penelitian
Jenis penelitian observasional dengan rancangan croos-
sectional study. Teknik pengambilan sampel dengan
stratified random sampling. Analisis data dengan uji chi
33
square, uji phi serta uji chamer’s V. Hasil analisis
menunjukkan ada hubungan pengetahuan dan motivasi
terhadap kinerja perawat dalam penerapan patient safety
si rung perawatan inap RSUD Andi Makkasau Parepare
7 Peneliti I Dewa Gede Agung Rat Keresna Putra
Institusi Universias Udayana
Tahun 2015
Judul Hubungan Budaya Keselamatan Pasien Dengan Jumlah
laporan KNC Di Ruang Rawat Inap RSUP Sanglah
Tahun 2015
Tujuan
Penelitian
Untuk mengetahui hubungan budaya keselamatan
pasien dengan jumlah laporan knc di ruang rawat inap
RSUP Sanglah tahun 2015
Metode dan
Hasil Penelitian
Jenis penelitian observasional analitik dengan
pendekatan cross sectional. Data di olah dengan uji
pearson product moment. Hasil penelitian dapat
disimpulkan ada hubungan positif sedang signifikan
antara budaya keselamatan pasien dengan jumlah
laporan KNC di ruang rawat inap RSUP Sanglah.