TINJAUAN PUSTAKA ANAK

38
TINJAUAN PUSTAKA HIDROCEPHALUS DEFINISI Hidrosefalus adalah kelainan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan serebrospinal dengan atau pernah dengan tekanan intrakranial yang meninggi, sehingga terdapat pelebaran ventrikel (Darsono, 2005:209). Pelebaran ventrikuler ini akibat ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi cairan serebrospinal. Hidrosefalus selalu bersifat sekunder, sebagai akibat penyakit atau kerusakan otak. Adanya kelainan-kelainan tersebut menyebabkan kepala menjadi besar serta terjadi pelebaran sutura-sutura dan ubun-ubun (DeVito EE et al, 2007:328). ETIOLOGI Hidrosefalus terjadi bila terdapat penyumbatan aliran cairan serebrospinal (CSS) pada salah satu tempat antara tempat pembentukan CSS dalam sistem ventrikel dan tempat absorbsi dalam ruang subaraknoid. Akibat penyumbatan, terjadi dilatasi ruangan CSS diatasnya (Allan H. Ropper, 2005). Pembentukan CSS yang terlalu banyak dengan kecepatan absorbsi yang abnormal akan menyebabkan terjadinya hidrosefalus, namun dalam klinis sangat jarang terjadi. Penyebab penyumbatan aliran CSS yang sering terdapat pada bayi dan anak ialah : 1) Kelainan Bawaan (Kongenital) 8

description

referat anak

Transcript of TINJAUAN PUSTAKA ANAK

TINJAUAN PUSTAKA

HIDROCEPHALUS

DEFINISI

Hidrosefalus adalah kelainan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan serebrospinal dengan atau pernah dengan tekanan intrakranial yang meninggi, sehingga terdapat pelebaran ventrikel (Darsono, 2005:209). Pelebaran ventrikuler ini akibat ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi cairan serebrospinal. Hidrosefalus selalu bersifat sekunder, sebagai akibat penyakit atau kerusakan otak. Adanya kelainan-kelainan tersebut menyebabkan kepala menjadi besar serta terjadi pelebaran sutura-sutura dan ubun-ubun (DeVito EE et al, 2007:328).

ETIOLOGI

Hidrosefalus terjadi bila terdapat penyumbatan aliran cairan serebrospinal (CSS) pada salah satu tempat antara tempat pembentukan CSS dalam sistem ventrikel dan tempat absorbsi dalam ruang subaraknoid. Akibat penyumbatan, terjadi dilatasi ruangan CSS diatasnya (Allan H. Ropper, 2005). Pembentukan CSS yang terlalu banyak dengan kecepatan absorbsi yang abnormal akan menyebabkan terjadinya hidrosefalus, namun dalam klinis sangat jarang terjadi. Penyebab penyumbatan aliran CSS yang sering terdapat pada bayi dan anak ialah :

1)Kelainan Bawaan (Kongenital)a.Stenosis akuaduktus Sylvii

b.Spina bifida dan kranium bifida

c.Sindrom Dandy-Walker

d.Kista araknoid dan anomali pembuluh darah

2)InfeksiAkibat infeksi dapat timbul perlekatan meningen. Secara patologis terlihat penebalan jaringan piamater dan araknoid sekitar sisterna basalis dan daerah lain. Penyebab lain infeksi adalah toxoplasmosis.

3)NeoplasmaHidrosefalus oleh obstruksi mekanik yang dapat terjadi di setiap tempat aliran CSS. Pada anak yang terbanyak menyebabkan penyumbatan ventrikel IV atau akuaduktus Sylvii bagian terakhir biasanya suatu glioma yang berasal dari serebelum, penyumbatan bagian depan ventrikel III disebabkan kraniofaringioma.

4)PerdarahanPerdarahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak, dapat menyebabkan fibrosis leptomeningen terutama pada daerah basal otak, selain penyumbatan yang terjadi akibat organisasi dari darah itu sendiri (Allan H. Ropper, 2005:360).

EPIDEMIOLOGI

Insidensi hidrosefalus antara 0,2-4 setiap 1000 kelahiran. Insidensi hidrosefalus kongenital adalah 0,5-1,8 pada tiap 1000 kelahiran dan 11%-43% disebabkan oleh stenosis aqueductus serebri. Tidak ada perbedaan bermakna insidensi untuk kedua jenis kelamin, juga dalam hal perbedaan ras. Hidrosefalus dapat terjadi pada semua umur. Pada remaja dan dewasa lebih sering disebabkan oleh toksoplasmosis. Hidrosefalus infantil; 46% adalah akibat abnormalitas perkembangan otak, 50% karena perdarahan subaraknoid dan meningitis, dan kurang dari 4% akibat tumor fossa posterior (Darsono, 2005:211).PATOFISIOLOGI

CSS yang dibentuk dalam sistem ventrikel oleh pleksus khoroidalis kembali ke dalam peredaran darah melalui kapiler dalam piamater dan arakhnoid yang meliputi seluruh susunan saraf pusat (SSP). Cairan likuor serebrospinalis terdapat dalam suatu sistem, yakni sistem internal dan sistem eksternal. Pada orang dewasa normal jumlah CSS 90-150 ml, anak umur 8-10 tahun 100-140 ml, bayi 40-60 ml, neonatus 20-30 ml dan prematur kecil 10-20 ml. Cairan yang tertimbun dalam ventrikel 500-1500 ml (Darsono, 2005). Aliran CSS normal ialah dari ventrikel lateralis melalui foramen monroe ke ventrikel III, dari tempat ini melalui saluran yang sempit akuaduktus Sylvii ke ventrikel IV dan melalui foramen Luschka dan Magendie ke dalam ruang subarakhnoid melalui sisterna magna. Penutupan sisterna basalis menyebabkan gangguan kecepatan resorbsi CSS oleh sistem kapiler. (DeVito EE et al, 2007:32)

Hidrosefalus secara teoritis terjadi sebagai akibat dari tiga mekanisme yaitu :

1. Produksi likuor yang berlebihan

2. Peningkatan resistensi aliran likuor

3. Peningkatan tekanan sinus venosa

Konsekuensi tiga mekanisme di atas adalah peningkatan tekanan intrakranial sebagai upaya mempertahankan keseimbangan sekresi dan absorbsi. Mekanisme terjadinya dilatasi ventrikel cukup rumit dan berlangsung berbeda-beda tiap saat selama perkembangan hidrosefalus. Dilatasi ini terjadi sebagai akibat dari :

1. Kompresi sistem serebrovaskuler.

2. Redistribusi dari likuor serebrospinalis atau cairan ekstraseluler

3. Perubahan mekanis dari otak.

4. Efek tekanan denyut likuor serebrospinalis

5. Hilangnya jaringan otak.

6. Pembesaran volume tengkorak karena regangan abnormal sutura kranial.

Produksi likuor yang berlebihan disebabkan tumor pleksus khoroid. Gangguan aliran likuor merupakan awal dari kebanyakan kasus hidrosefalus. Peningkatan resistensi yang disebabkan gangguan aliran akan meningkatkan tekanan likuor secara proporsional dalam upaya mempertahankan resorbsi yang seimbang.

Peningkatan tekanan sinus vena mempunyai dua konsekuensi, yaitu peningkatan tekanan vena kortikal sehingga menyebabkan volume vaskuler intrakranial bertambah dan peningkatan tekanan intrakranial sampai batas yang dibutuhkan untuk mempertahankan aliran likuor terhadap tekanan sinus vena yang relatif tinggi. Konsekuensi klinis dari hipertensi vena ini tergantung dari komplians tengkorak. (Darsono, 2005:212)KLASIFIKASI

Klasifikasi hidrosefalus bergantung pada faktor yang berkaitan dengannya, berdasarkan :

1.Gambaran klinis, dikenal hidrosefalus manifes (overt hydrocephalus) dan hidrosefalus tersembunyi (occult hydrocephalus).2.Waktu pembentukan, dikenal hidrosefalus kongenital dan hidrosefalus akuisita.

3.Proses terbentuknya, dikenal hidrosefalus akut dan hidrosefalus kronik.

4.Sirkulasi CSS, dikenal hidrosefalus komunikans dan hidrosefalus non komunikans.

Hidrosefalus interna menunjukkan adanya dilatasi ventrikel, hidrosefalus eksternal menunjukkan adanya pelebaran rongga subarakhnoid di atas permukaan korteks. Hidrosefalus obstruktif menjabarkan kasus yang mengalami obstruksi pada aliran likuor. Berdasarkan gejala, dibagi menjadi hidrosefalus simptomatik dan asimptomatik. Hidrosefalus arrested menunjukan keadaan dimana faktor-faktor yang menyebabkan dilatasi ventrikel pada saat tersebut sudah tidak aktif lagi. Hidrosefalus ex-vacuo adalah sebutan bagi kasus ventrikulomegali yang diakibatkan atrofi otak primer, yang biasanya terdapat pada orang tua. (Darsono, 2005)

MANIFESTASI KLINISTanda awal dan gejala hidrosefalus tergantung pada awitan dan derajat ketidakseimbangan kapasitas produksi dan resorbsi CSS (Darsono, 2005). Gejala-gejala yang menonjol merupakan refleksi adanya hipertensi intrakranial. Manifestasi klinis dari hidrosefalus pada anak dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu :

1. hidrosefalus terjadi pada masa neonatusMeliputi pembesaran kepala abnormal, gambaran tetap hidrosefalus kongenital dan pada masa bayi. Lingkaran kepala neonatus biasanya adalah 35-40 cm, dan pertumbuhan ukuran lingkar kepala terbesar adalah selama tahun pertama kehidupan. Kranium terdistensi dalam semua arah, tetapi terutama pada daerah frontal. Tampak dorsum nasi lebih besar dari biasa. Fontanella terbuka dan tegang, sutura masih terbuka bebas. Tulang-tulang kepala menjadi sangat tipis. Vena-vena di sisi samping kepala tampak melebar dan berkelok. (Peter Paul Rickham, 2003)

2. hidrosefalus terjadi pada akhir masa kanak-kanakPembesaran kepala tidak bermakna, tetapi nyeri kepala sebagai manifestasi hipertensi intrakranial. Lokasi nyeri kepala tidak khas. Dapat disertai keluhan penglihatan ganda (diplopia) dan jarang diikuti penurunan visus. Secara umum gejala yang paling umum terjadi pada pasien-pasien hidrosefalus di bawah usia dua tahun adalah pembesaran abnormal yang progresif dari ukuran kepala. Makrokrania mengesankan sebagai salah satu tanda bila ukuran lingkar kepala lebih besar dari dua deviasi standar di atas ukuran normal. Makrokrania biasanya disertai empat gejala hipertensi intrakranial lainnya yaitu:

a. Fontanel anterior yang sangat tegang.

b. Sutura kranium tampak atau teraba melebar.

c. Kulit kepala licin mengkilap dan tampak vena-vena superfisial menonjol.

d. Fenomena matahari tenggelam (sunset phenomenon).

Gejala hipertensi intrakranial lebih menonjol pada anak yang lebih besar dibandingkan dengan bayi. Gejalanya mencakup: nyeri kepala, muntah, gangguan kesadaran, gangguan okulomotor, dan pada kasus yang telah lanjut ada gejala gangguan batang otak akibat herniasi tonsiler (bradikardia, aritmia respirasi). (Darsono, 2005:213)

DIAGNOSIS

Disamping dari pemeriksaan fisik, gambaran klinik yang samar-samar maupun yang khas, kepastian diagnosis hidrosefalus dapat ditegakkan dengan menggunakan alat-alat radiologik yang canggih. Pada neonatus, USG cukup bermanfaat untuk anak yang lebih besar, umumnya diperlukan CT scanning. CT scan dan MRI dapat memastikan diagnosis hidrosefalus dalam waktu yang relatif singkat. CT scan merupakan cara yang aman dan dapat diandalkan untuk membedakan hidrosefalus dari penyakit lain yang juga menyebabkan pembesaran kepala abnormal, serta untuk identifikasi tempat obstruksi aliran CSS. (Darsono, 2005:214)DIAGNOSIS BANDING

Pembesaran kepala dapat terjadi pada hidrosefalus, makrosefali, tumor otak, abses otak, granuloma intrakranial, dan hematoma subdural perinatal, hidranensefali. Hal-hal tersebut dijumpai terutama pada bayi dan anak-anak berumur kurang dari 6 tahun. (Darsono, 2005:215)TERAPI

Pada dasarnya ada tiga prinsip dalam pengobatan hidrosefalus, yaitu :

a)Mengurangi produksi CSS.

b)Mempengaruhi hubungan antara tempat produksi CSS dengan tempat absorbsi.

c)Pengeluaran likuor (CSS) kedalam organ ekstrakranial. (Darsono, 2005)

Penanganan hidrosefalus juga dapat dibagi menjadi :

1.Penanganan SementaraTerapi konservatif medikamentosa ditujukan untuk membatasi evolusi hidrosefalus melalui upaya mengurangi sekresi cairan dari pleksus khoroid atau upaya meningkatkan resorbsinya.

2.Penanganan Alternatif (Selain Shunting)Misalnya : pengontrolan kasus yang mengalami intoksikasi vitamin A, reseksi radikal lesi massa yang mengganggu aliran likuor atau perbaikan suatu malformasi. Saat ini cara terbaik untuk melakukan perforasi dasar ventrikel III adalah dengan teknik bedah endoskopik. (Peter Paul Rickham, 2003)3.Operasi Pemasangan Pintas (Shunting)Operasi pintas bertujuan membuat saluran baru antara aliran likuor dengan kavitas drainase. Pada anak-anak lokasi drainase yang terpilih adalah rongga peritoneum. Biasanya cairan serebrospinalis didrainase dari ventrikel, namun kadang pada hidrosefalus komunikans ada yang didrain ke rongga subarakhnoid lumbar. Ada dua hal yang perlu diperhatikan pada periode pasca operasi, yaitu: pemeliharaan luka kulit terhadap kontaminasi infeksi dan pemantauan kelancaran dan fungsi alat shunt yang dipasang. Infeksi pada shunt meningatkan resiko akan kerusakan intelektual, lokulasi ventrikel dan bahkan kematian. (Allan H. Ropper, 2005:360)PROGNOSIS

Hidrosefalus yang tidak diterapi akan menimbulkan gejala sisa, gangguan neurologis serta kecerdasan. Dari kelompok yang tidak diterapi, 50-70% akan meninggal karena penyakitnya sendiri atau akibat infeksi berulang, atau oleh karena aspirasi pneumonia. Namun bila prosesnya berhenti (arrested hidrosefalus) sekitar 40% anak akan mencapai kecerdasan yang normal (Allan H. Ropper, 2005). Pada kelompok yang dioperasi, angka kematian adalah 7%. Setelah operasi sekitar 51% kasus mencapai fungsi normal dan sekitar 16% mengalami retardasi mental ringan. Adalah penting sekali anak hidrosefalus mendapat tindak lanjut jangka panjang dengan kelompok multidisipliner. (Darsono, 2005)BRONKOPNEUMONIADEFINISI

Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan bronkus atau bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy distribution) (Bennete, 2013). Pneumonia merupakan penyakit peradangan akut pada paru yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dan sebagian kecil disebabkan oleh penyebab non-infeksi yang akan menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat (Bradley et.al., 2011)

EPIDEMIOLOGI

Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun (Bradley et.al., 2011)ETIOLOGI

Penyebab bronkopneumonia yang biasa dijumpai adalah (Bradley et.al., 2011) :1. Faktor Infeksia. Pada neonatus: Streptokokus group B, Respiratory Sincytial Virus (RSV).b. Pada bayi :1) Virus: Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV, Cytomegalovirus.2) Organisme atipikal: Chlamidia trachomatis, Pneumocytis.3)Bakteri: Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza, Mycobacterium tuberculosa, Bordetella pertusis.c. Pada anak-anak :1) Virus : Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSV

2) Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia3) Bakteri: Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosisd. Pada anak besar dewasa muda :1) Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia, C. trachomatis2) Bakteri: Pneumokokus, Bordetella pertusis, M. tuberculosis2.FaktorNonInfeksi.Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi a. Bronkopneumonia hidrokarbon :Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde lambung (zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan bensin).b. Bronkopneumonia lipoid :Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu mekanisme menelan seperti palatoskizis, pemberian makanan dengan posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang sedang menangis. Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang terinhalasi. Jenis minyak binatang yang mengandung asam lemak tinggi bersifat paling merusak contohnya seperti susu dan minyak ikan.Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk terjadinya bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada penderita-penderita penyakit yang berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada bayi dan anak merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.KLASIFIKASI

Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan, dan pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli telah membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti secara klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan (Bradley et.al., 2011).

1. Berdasarkan lokasi lesi di paru a. Pneumonia lobarisb. Pneumonia interstitialisc. Bronkopneumonia2. Berdasarkan asal infeksia. Pneumonia yang didapat dari masyarkat (community acquired pneumonia = CAP)b. Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (hospital-based pneumonia) 3. Berdasarkan mikroorganisme penyebab a. Pneumonia bakterib. Pneumonia virusc. Pneumonia mikoplasmad. Pneumonia jamur4. Berdasarkan karakteristik penyakita. Pneumonia tipikalb. Pneumonia atipikal5. Berdasarkan lama penyakita. Pneumonia akutb. Pneumonia persistenPATOGENESIS

Normalnya, saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai parenkim paru. Paru-paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme pertahanan anatomis dan mekanis, dan faktor imun lokal dan sistemik. Mekanisme pertahanan awal berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan mukosilier aparatus. Mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan respon inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin, makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel.Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau bila virulensi organisme bertambah. Agen infeksius masuk ke saluran nafas bagian bawah melalui inhalasi atau aspirasi flora komensal dari saluran nafas bagian atas, dan jarang melalui hematogen. Virus dapat meningkatkan kemungkinan terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian bawah dengan mempengaruhi mekanisme pembersihan dan respon imun. Diperkirakan sekitar 25-75 % anak dengan pneumonia bakteri didahului dengan infeksi virus. Invasi bakteri ke parenkim paru menimbulkan konsolidasi eksudatif jaringan ikat paru yang bisa lobular (bronkhopneumoni), lobar, atau intersisial. Pneumonia bakteri dimulai dengan terjadinya hiperemi akibat pelebaran pembuluh darah, eksudasi cairan intra-alveolar, penumpukan fibrin, dan infiltrasi neutrofil, yang dikenal dengan stadium hepatisasi merah. Konsolidasi jaringan menyebabkan penurunan compliance paru dan kapasitas vital. Peningkatan aliran darah yamg melewati paru yang terinfeksi menyebabkan terjadinya pergeseran fisiologis (ventilation-perfusion missmatching) yang kemudian menyebabkan terjadinya hipoksemia. Selanjutnya desaturasi oksigen menyebabkan peningkatan kerja jantung. Stadium berikutnya terutama diikuti dengan penumpukan fibrin dan disintegrasi progresif dari sel-sel inflamasi (hepatisasi kelabu). Pada kebanyakan kasus, resolusi konsolidasi terjadi setelah 8-10 hari dimana eksudat dicerna secara enzimatik untuk selanjutnya direabsorbsi dan dan dikeluarkan melalui batuk. Apabila infeksi bakteri menetap dan meluas ke kavitas pleura, supurasi intrapleura menyebabkan terjadinya empyema. Resolusi dari reaksi pleura dapat berlangsung secara spontan, namun kebanyakan menyebabkan penebalan jaringan ikat dan pembentukan perlekatan (Bennete, 2013).MANIFESTASI KLINIK

Pneumonia khususnya bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-400C dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit,anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif (Bennete, 2013).Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia khususnya bronkopneumonia ditemukan hal-hal sebagai berikut (Bennete, 2013):1. Pada inspeksi terlihat setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan pernapasan cuping hidung. Tanda objektif yang merefleksikan adanya distres pernapasan adalah retraksi dinding dada; penggunaan otot tambahan yang terlihat dan cuping hidung; orthopnea; dan pergerakan pernafasan yang berlawanan. Tekanan intrapleura yang bertambah negatif selama inspirasi melawan resistensi tinggi jalan nafas menyebabkan retraksi bagian-bagian yang mudah terpengaruh pada dinding dada, yaitu jaringan ikat inter dan sub kostal, dan fossae supraklavikula dan suprasternal. Kebalikannya, ruang interkostal yang melenting dapat terlihat apabila tekanan intrapleura yang semakin positif. Retraksi lebih mudah terlihat pada bayi baru lahir dimana jaringan ikat interkostal lebih tipis dan lebih lemah dibandingkan anak yang lebih tua.Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus dan pergerakan fossae supraklavikular selama inspirasi merupakan tanda yang paling dapat dipercaya akan adanya sumbatan jalan nafas. Pada infant, kontraksi otot ini terjadi akibat head bobbing, yang dapat diamati dengan jelas ketika anak beristirahat dengan kepala disangga tegal lurus dengan area suboksipital. Apabila tidak ada tanda distres pernapasan yang lain pada head bobbing, adanya kerusakan sistem saraf pusat dapat dicurigai. Pengembangan cuping hidung adalah tanda yang sensitif akan adanya distress pernapasan dan dapat terjadi apabila inspirasi memendek secara abnormal (contohnya pada kondisi nyeri dada). Pengembangan hidung memperbesar pasase hidung anterior dan menurunkan resistensi jalan napas atas dan keseluruhan. Selain itu dapat juga menstabilkan jalan napas atas dengan mencegah tekanan negatif faring selama inspirasi. 2. Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan infeksi paru (kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan berkurang.3. Pada perkusi tidak terdapat kelainan4. Pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring.Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada tinggi ataupun rendah (tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang mendominasi), keras atau lemah (tergantung dari amplitudo osilasi) jarang atau banyak (tergantung jumlah crackles individual) halus atau kasar (tergantung dari mekanisme terjadinya).Crackles dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang melalui sekret jalan napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka.PEMERIKSAAN RADIOLOGI

Gambaran radiologis mempunyai bentuk difus bilateral dengan peningkatan corakan bronkhovaskular dan infiltrat kecil dan halus yang tersebar di pinggir lapang paru. Bayangan bercak ini sering terlihat pada lobus bawah (Bennete, 2013).PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit. Hitung leukosit dapat membantu membedakan pneumoni viral dan bakterial. Infeksi virus leukosit normal atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan) dan bakteri leukosit meningkat 15.000-40.000 /mm3 dengan neutrofil yang predominan. Pada hitung jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta peningkatan LED. Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. Isolasi mikroorganisme dari paru, cairan pleura atau darah bersifat invasif sehingga tidak rutin dilakukan (Bennete, 2013).KRITERIA DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut (Bradley et.al., 2011):1. Sesak napas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada2. Panas badan3. Ronkhi basah halus-sedang nyaring (crackles)4. Foto thorax meninjikkan gambaran infiltrat difus5. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan)KOMPLIKASI

Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran bakteri dalam rongga thorax (seperti efusi pleura, empiema dan perikarditis) atau penyebaran bakteremia dan hematologi. Meningitis, artritis supuratif, dan osteomielitis adalah komplikasi yang jarang dari penyebaran infeksi hematologi (Bradley et.al., 2011).PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan pneumonia khususnya bronkopneumonia pada anak terdiri dari 2 macam, yaitu penatalaksanaan umum dan khusus (IDAI, 2012; Bradley et.al., 2011)

1. Penatalaksaan Umuma. Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit ( sampai sesak nafas hilang atau PaO2 pada analisis gas darah 60 torr.

b. Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit. c. Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.2. Penatalaksanaan Khusus

a. Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak diberikan pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi antibioti awal.b. Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi, takikardi, atau penderita kelainan jantungc. Pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan manifestasi klinis.Pneumonia ringan ( amoksisilin 10-25 mg/kgBB/dosis (di wilayah dengan angka resistensi penisillin tinggi dosis dapat dinaikkan menjadi 80-90 mg/kgBB/hari).Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan terapi :1. Kuman yang dicurigai atas dasas data klinis, etiologis dan epidemiologis 2. Berat ringan penyakit3. Riwayat pengobatan selanjutnya serta respon klinis4. Ada tidaknya penyakit yang mendasari Pemilihan antibiotik dalam penanganan pneumonia pada anak harus dipertimbangkan berdasakan pengalaman empiris, yaitu bila tidak ada kuman yang dicurigai, berikan antibiotik awal (24-72 jam pertama) menurut kelompok usia:1. Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) : a. ampicillin + aminoglikosidb. amoksisillin - asam klavulanatc. amoksisillin + aminoglikosidd. sefalosporin generasi ke-32. Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)a. beta laktam amoksisillinb. amoksisillin - asam klavulanatc. golongan sefalosporind. kotrimoksazole. makrolid (eritromisin)3. Anak usia sekolah (> 5 thn)a. amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)b. tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun) Karena dasar antibiotik awal di atas adalah coba-coba (trial and error) maka harus dilaksanakan dengan pemantauan yang ketat, minimal tiap 24 jam sekali sampai hari ketiga. Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang nyata dalam 24-72 jam ( ganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat sesuai dengan kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan dulu ada tidaknya penyulit seperti empyema, abses paru yang menyebabkan seolah-olah antibiotik tidak efektif).Tuberkulosis Paru

1. Definisi TuberkulosisTuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosa. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga juga dikenal sebagai BTA (bakteri tahan asam). Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1882. Penyakit ini biasanya mengenai paru, tetapi mungkin menyerang semua organ atau jaringan di tubuh. Biasanya bagian tengah granuloma tuberkular mengalami nekrosis. (Brooks, 2005).

2. Etiologi

Penyebab terjadinya penyakit tuberkulosis adalah bakteri tuberkulosis yang termasuk dalam genus Mycobacterium, suatu anggota dari famili Mycobacteriaceae dan termasuk dalam ordo Actinomycetalis. Mycobacterium tuberculosa menyebabkan sejumlah penyakit berat pada manusia dan penyebab terjadinya infeksi tersering. (Brooks, 2005).

Kuman ini bersifat obligat aerob dan pertumbuhannya lambat. Dibutuhkan waktu 18 jam untuk mengganda dan pertumbuhan pada media kultur biasa dapat dilihat dalam waktu 6-8 minggu. Suhu optimal untuk tumbuh pada 370C dan pada pH 6,4-7,0. Kuman tuberkulosis jika terkena cahaya matahari akan mati dalam waktu 2 jam, selain itu kuman tersebut akan mati oleh yodium tinctur selama 5 menit dan juga oleh etanol 80% dalam waktu 2 sampai 10 menit serta oleh fenol 5% dalam waktu 24 jam. Kuman akan mati pada suhu 600C selama 15-20 menit. Pengurangan oksigen dapat menurunkan metabolisme kuman (Irma, 2007).

3. Penularan dan Penyebaran

Cara penularan penyakit tuberkulosis paru biasanya melalui udara yang tercemar dengan bakteri Mycobacterium tuberculosa yang dilepaskan pada saat penderita TB batuk dan pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita tuberkulosis dewasa. Partikel kecil di udara yang berisi kuman tuberkulosis ini disebut droplet. Droplet nukleus yang berisi ukuran 1-5 m dapat sampai ke alveoli. Droplet nukleus kecil yang berisi basil tunggal lebih berbahaya daripada sejumlah besar basil didalam partikel yang besar sebab partikel besar akan cenderung menumpuk di jalan nafas daripada sampai ke alveoli sehingga akan dikeluarkan paru oleh sistem mukosilier (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).Batuk merupakan mekanisme yang efektif untuk menghasilkan droplet nukleus. Satu kali batuk yang cepat dan kuat akan menghasilkan partikel infeksius yang sama banyaknya dengan berbicara keras selama 5 menit (Mual, 2009). Penyebaran melalui udara juga dapat disebabkan oleh manuver ekspirasi yang kuat seperti bersin, berteriak, bernyanyi. Satu kali bersin dapat menghasilkan 20.000-40.000 droplet, tapi kebanyakan merupakan partikel besar sehingga tidak infeksius (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).

Meningkatnya penularan infeksi yang telah dilaporkan saat ini, banyak dihubungkan dengan beberapa keadaan, antara lain memburuknya kondisi sosial ekonomi, sikap dan perilaku yang belum benar, belum optimalnya fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat, meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai tempat tinggal dan adanya epidemi dari infeksi HIV. Menurut Aditama (2002), disamping hal-hal tersebut daya tahan tubuh yang lemah, virulensi dan jumlah kuman merupakan faktor yang memegang peranan penting.

4. Patogenesis TB Paru

Penularan TB terjadi karena menghirup udara yang mengandung Mycobacterium tuberculosis (M.Tb). di alveolus M.Tb difagositosis oleh makrofag alveolus dan dibunuh, tetapi bila M.Tb yang dihirup virulen dan makrofag alveolus lemah, maka M.Tb dapat berkembang biak dan menghancurkan makrofag. Monosit dan makrofag dari darah ditarik secara kemotaksis ke arah M.Tb berada, kemudian memfagositosis M.Tb tetapi tidak dapat membunuhnya. Makrofag dan M.Tb membentuk tuberkel yang mengandung sel-sel epiteloid, makrofag yang menyatu (sel raksasa langhans) dan limfosit. Tuberkel akan menjadi tuberkuloma dengan nekrosis dan fibrosis di dalamnya dan dapat juga terjadi kalsifikasi. Lesi pertama di alveolus (fokus primer) menjalar ke kelenjar limfe hilus dan terjadi infeksi kelenjar limfe, yang bersama-sama dengan limfangitis membentuk kompleks primer. Dari kelenjar limfe M.Tb dapat langsung menyebabkan penyakit di organ-organ tersebut atau hidup dorman dalam makrofag jaringan dan dapat aktif kembali bertahun-tahun kemudian. Tuberkel dapat hilang dengan resolusi atau terjadi kalsifikasi atau terjadi nekrosis dengan masa keju yang dibentuk oleh makrofag. Masa keju dapat mencair dan M.Tb dapat berkembang biak ekstra selular sehingga dapat meluas di jaringan paru dan terjadi pneumonia, lesi endobronkial, pleuritis, atau Tb Milier, juga dapat menyebar secara bertahap menyebabkan lesi di organ lain (Setiawati, 2008)5. Diagnosis TB Paru

Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis (gejala klinis dan pemeriksaan fisik), pemeriksaan bakteriologik, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya (Budiart, 2001).

5.1. Pemeriksaan Klinis

Gejala klinis tuberkulosis dibagi menjadi 2 bagian :

a. Gejala respiratorik :

Batuk : merupakan gejala yang paling dini dan paling sering dikeluhkan. Batuk timbul oleh karena bronkus sudah terlibat. Batuk-batuk yang berlangsung 3 minggu harus dipikirkan adanya tuberkulosis paru.

Batuk darah : darah yang dikeluarkan dapat berupa garis-garis, bercak, atau bahkan dalam jumlah banyak. Batuk darah dapat juga terjadi pada bronkiektasis dan tumor paru.

Sesak napas : dijumpai jika proses penyakit sudah lanjut dan terdapat kerusakan paru yang cukup luas.

Nyeri dada : timbul apabila parenkim paru subpleura sudah terlibat.

b. Gejala sistemik :

Demam : merupakan gejala yang paling sering dijumpai, biasanya timbul pada sore dan malam hari.

Gejala sistemik lain seperti keringat malam, anoreksia, malaise, berat badan menurun serta nafsu makan menurun.

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).

Pemeriksaan fisik atau jasmani sangat tergantung pada luas lesi dan kelainan struktural paru yang terinfeksi. Pada permulaan penyakit sulit didapatkan kelainan pada pemeriksaan jasmani. Suara atau bising napas abnormal dapat berupa suara bronkial, amforik, ronki basah, suara napas melemah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).

5.2. Pemeriksaan Bakteriologi

Diagnosis yang paling baik adalah dengan cara mengisolasi kuman. Untuk membedakan spesies mikobakterium satu dari yang lain harus dilihat sifat-sifat koloni, waktu pertumbuhan, sifat biokimia pada berbagai media dan perbedaan kepekaan terhadap OAT. Bahan pemeriksaan bakteriologi dapat berasal dari sputum, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bronchoalveolar lavage, urine, jaringan biopsi. Pada pemeriksaan bakteriologi yang menggunakan sputum cara pengambilannya terdiri dari 3 kali yaitu sewaktu (pada saat kunjungan), pagi (keesokan harinya), sewaktu (pada saat menghantarkan dahak pagi). Pewarnaan yang umum dipakai adalah pewarnaan Ziehl Nielsen dan Kinyoun Gabbet (Aditama, 2002).

WHO (2002) merekomendasikan pembacaan dengan skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) :

a. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapangan pandang, disebut negatif.

b. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapangan pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan.

c. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapangan pandang, disebut + (1+).

d. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapangan pandang, disebut ++ (2+).

e. Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapangan pandang, disebut +++ (3+).

5.3. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Pada foto toraks TB memberikan gambaran yang multiform. Dapat dicurigai sebagai lesi TB aktif bila ditemukan bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah. Kavitas terutama bila lebih dari satu, bayangan bercak milier ataupun efusi pleura unilateral. Sedangkan lesi yang inaktif bila adanya fibrosis, kalsifikasi, fibrotoraks atau penebalan pleura (Soeroso, 2007).

American Thoracic Society membagi luasnya proses TB pada foto toraks terdiri dari 3 bagian :

a. Lesi Minimal

Bila proses TB mengenai sebagian kecil dari satu atau dua paru dengan luas tidak melebihi volume paru yang terletak diatas chondrosternal junction dari iga kedua dan prossesus spinosus dari vertebra torakalis IV atau korpus vertebra torakalis V dan tidak dijumpai kavitas.b. Lesi Sedang

Bila proses penyakit lebih luas dari lesi minimal dan dapat menyebar dengan densitas sedang, tetapi luas tidak boleh lebih luas dari satu paru, atau jumlah dari seluruh proses TB tadi memiliki densitas yang lebih padat, lebih tebal, tetapi tidak boleh melebihi sepertiga dari satu paru dan proses ini dapat disertai atau tidak disertai kavitas. Bila disertai kavitas, tidak boleh melebihi 4 cm.

c. Lesi Luas

Kelainan lebih luas dari lesi sedang.

(Rasad, 2000).

5.4. Pemeriksaan Khusus Lain

Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik baru yang dapat mendeteksi kuman TB seperti :

a. BACTEC : dengan metode radiometrik, dimana CO2 yang dihasilkan dari metabolisme asam lemak M.tuberculosis dideteksi growth indexnya.

b. Polymerase Chain reaction (PCR) dengan cara mendeteksi DNA dari M.tuberculosis, hanya saja masalah teknik dalam pemeriksaan ini adalah kemungkinan kontaminasi.

c. Pemeriksaan serologi seperti ELISA, ICT, Mycodot, Uji peroksidase anti peroksidase.

d. Uji Tuberkulin, dengan prevalensi yang tinggi uji ini kurang bermakna apalagi pada orang dewasa.

(Hopewell, 2005).

6. Tatalaksana TB Paru

Pengobatan tuberkulosis paru saat ini seharusnya tidak merupakan persoalan lagi. Mengapa? Karena penyebab penyakit ini sudah diketahui dengan pasti, sarana penunjang diagnostiknya ada, obat yang ampuh ada, dokternya sudah berlebihan sampai banyak yang tidak mendapat penempatan. Tetapi, kenyataan membuktikan bahwa pengobatan tuberkulosis tidak semudah yang diperkirakan. Banyak faktor yang harus diperhatikan yang sangat mempengaruhi keberhasilan pengobatan. Lamanya waktu pengobatan, kepatuhan serta keteraturan penderita berobat, daya tahan tubuh penderita dan yang tak kalah pentingnya adalah faktor sosial ekonomi penderita. Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT (Depkes RI, 2007).

Tabel 2.1 Jenis Obat Anti Tuberkulosis2.1.6.1. Prinsip pengobatan

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:

OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi) . Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

a. Tahap awal (intensif)

- Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.

- Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

- Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

b. Tahap Lanjutan

- Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama

- Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persistent sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.(Depkes RI, 2007).

6.1 Paduan OAT yang digunakan di Indonesia

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia:

- Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.

- Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.

Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE).- Kategori Anak: 2HRZ/4HR

Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap, sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak. Tablet OAT kombinasi dosis tetap ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien (Depkes, 2007 dan WHO, 2002).

Paket Kombipak terdiri dari obat lepas yang dikemas dalam satu paket, yaitu Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol. Paduan OAT ini disediakan program untuk mengatasi pasien yang mengalami efek samping OAT KDT. Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai.6.2 Paduan OAT dan Peruntukannya

1. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

Pasien baru TB paru BTA positif.

Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif.

Pasien TB ekstra paru.

Tabel 2.2 Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1 (Depkes, 2008)2. Kategori-2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:

Pasien kambuh.

Pasien gagal.

Pasien dengan pengobatan setelah default (terputus).Tabel 2.3 Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 2 (Depkes, 2008; WHO, 2002)

Catatan:

Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah 500 mg tanpa memperhatikan berat badan. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest sebanyak 3,7 ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250 mg).3. OAT Sisipan (HRZE)

Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).Tabel 2.4 Paket Sisipan KDT (Depkes, 2008)

DAFTAR PUSTAKA

1. Aditama, T.Y., 2002. Pengobatan Tuberkulosis : Diagnosis, Terapi dan Masalahnya. Jakarta: FKUI.

2. Bennete M.J. 2013. Pediatric Pneumonia. http://emedicine.medscape.com/article/967822-overview. (21 Juni 2015)

3. Bradley J.S., Byington C.L., Shah S.S, Alverson B., Carter E.R., Harrison C., Kaplan S.L., Mace S.E., McCracken Jr G.H., Moore M.R., St Peter S.D., Stockwell J.A., and Swanson J.T. 2011. The Management of Community-Acquired Pneumonia in Infants and Children Older than 3 Months of Age : Clinical Practice Guidelines by the Pediatric Infectious Diseases Society and the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis. 53 (7): 617-630

4. Brooks, F.G.,et al., 2005. Mikobakteria. In: Mudihardi, E.H., ed. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Salemba Medika, 453-465.

5. Darsono dan Himpunan dokter spesialis saraf indonesia dengan UGM. 2005. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: UGM Press.

6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2. Jakarta : Direktorat Jenderal Pemberantasan nyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2008. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2. Jakarta : Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL).

7. DeVito EE, Salmond CH, Owler BK, Sahakian BJ, Pickard JD. 2007. Caudate structural abnormalities in idiopathic normal pressure hydrocephalus. Acta Neurol Scand 2007: 116: pages 328332.

8. Fishman, J.A., 2002. Mycobacterial Infections. In: Elias, J.A., ed. Fishmans Manual of Pulmonary Diseases and Disorders. Philadelphia : McGraw Hill, 763-799.

9. Hopewell, P.C., 2005. Tuberculosis and Other Mycobacterial Diseaases. In : Mason, R.J., Broaddus, C., Murray, Nadel, J.A., eds. Textbook of Respiratory Medicine. Philadelphia : Elsivier, 979-1002.10. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2012. Panduan Pelayanan Medis Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Penerbit IDAI

11. Irma, T., 2007. Konversi Sputum BTA pada Fase Intensif TB Paru Kategori Antara Kombinasi Dosis Tetap. Medan: FK USU.12. Kumar, V., et al., 2007. Paru dan Saluran Napas Atas. In: Hartanto, H., ed. Buku Ajar Patologi. Jakarta: EGC, 544-551.

13. Mual, B.E., 2009. Peranan Foto Dada dalam Mendiagnosis Tuberkulosis Paru Tersangka dengan BTA Negatif di Puskesmas Kodya Medan. Medan: FK USU.

14. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2002. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL), 2006. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL).

15. Peter Paul Rickham. 2003. Obituaries. BMJ 2003: 327: 1408-doi: 10.1136/ bmj.327.7428.1408.

16. Rasad, S., 2000. Tuberkulosis Paru. In: Ekayuda, I., ed. Radiologi Diagnostik. Jakarta: FK UI, 126-139.

17. Ropper, Allan H. And Robert H. Brown. 2005. Adams And Victors Principles Of Neurology: Eight Edition. USA.

18. Setiawati, Landia, dkk. 2008. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Surabaya: FK Unair.19. Soeroso, L., 2007. Mutiara Paru Buku Atlas Radiologi dan Ilustrasi Kasus. Jakarta: EGC.20. World Health Organization, 2002. Operational Guide for National Tuberculosis Control Programmes on The Introduction and Use of Fixed Dose Combination Drugs. Geneva : Departemen Kesehatan Republik Indonesia., 2003. Global Tuberculosis Control: Country Profile Indonesia. Available from : http://www.who.int/gpt/publication/index.htm. (Accessed 21 Juni 2015) , 2006. Indonesian Strategic Plan To Stop TB 2006-2010. Jakarta : Depkes RI..

32