Terapi Non Medis pada Paralisis Nervus Facialis pada OMK (Refference)

48
TUGAS REFERAT PENATALAKSANAAN NON-MEDIS PARALISIS NERVUS VII PADA OMK Kelompok C13: Albertus Sri Agseyogi, S.Ked (201020401011181) Pembimbing : dr. Syamsul Arif, Sp.THT UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG FAKULTAS KEDOKTERAN

description

Bell’s palsy merupakan kelumpuhan dari saraf fasialis bagian periferSalah satunya merupakan komplikasi dari otitis media supuratif kronik, yang jarang terjadi. Dimana otitis media kronik tersebut dibutuhkan penganan segera jika bersifat aktifSelain dengan Terapi Medis, dapat pula dilakukan dengan Terapi rehabilitasi yang salah satunya dengan manual massage

Transcript of Terapi Non Medis pada Paralisis Nervus Facialis pada OMK (Refference)

Page 1: Terapi Non Medis pada Paralisis Nervus Facialis pada OMK (Refference)

TUGAS REFERAT

PENATALAKSANAAN NON-MEDIS

PARALISIS NERVUS VII PADA OMK

Kelompok C13:

Albertus Sri Agseyogi, S.Ked (201020401011181)

Pembimbing :

dr. Syamsul Arif, Sp.THT

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

FAKULTAS KEDOKTERAN

2012

Page 2: Terapi Non Medis pada Paralisis Nervus Facialis pada OMK (Refference)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………………. ii

UCAPAN TERIMA KASIH …………………………………………………... iii

DAFTAR ISI …………………………………………………………………… iv

DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………… v

DAFTAR TABEL ……………………………………………………………… vi

BAB 1 PENDAHULUAN …………………………………………………….. 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………. 2

2.1 Anatomi ………………………………………………………………. 2

2.1.1 Anatomi telinga tengah …………………………………………. 2

2.1.2 Anatomi wajah …………………………………………………. 5

2.2 Bell’s Palsy ………………………………………………………….... 7

2.2.1 Definisi …………………………………………………………. 7

2.2.2 Etiologi …………………………………………………………. 8

2.2.3 Gejala klinis dan penegakkan diagnosis ………………………... 8

2.2.4 Diferensial diagnosis …………………………………………... 12

2.2.5 Penatalaksanaan ……………………………………………….. 13

2.2.5.1 Terapi medis……………………………………………….. 13

2.2.5.2 Terapi non-medis…………………………………………… 14

2.2.6 Prognosis dan komplikasi …………………………………….. 25

BAB 3 KESIMPULAN ……………………………………………………… 27

DAFTAR PUSTAKA

Page 3: Terapi Non Medis pada Paralisis Nervus Facialis pada OMK (Refference)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Membran Timpani Kanan dengan Hammer dan Corda Timpani,

Dilihat dari Dalam, Belakang, dan Atas …………………………. 3

Gambar 2.2 Dilihat dari Dinding Dalam Timpani (diperbesar) ………………. 4

Gambar 2.3 Dinding Medial dan Bagian Posterior dan Anterior dari Kavum

Membran Timpani Kanan, Dilihat dari Samping ……………….. 5

Gamber 24 Cabang-cabang Nervus Fasialis ………………………………… 7

Gambar 2.5 Perjalanan dan Komponen Nervus Fasialis, yang Dapat Membantu

Identifikasi Bagian Lesi ………………………………………… 9

Gambar 2.6 Akibat Lesi Nervus Fasialis ……………………………………. 10

Gambar 2.7 Perbedaan Lesi Nervus Fasialis Perifer dan Central, dan Spasme

Hemifasial ………………………………………………………. 13

Gambar 2.8 Rehabilitasi Kabat ………………………………………………. 18

Gambar 2.9 Rehabilitasi Kabat ………………………………………………. 19

Gambar 2.10 Arah Gerakan dan Tarikan Otot-otot Wajah ……………………. 23

Gambar 2.11 Latihan Wajah pada Bell’s Palsy ……………………………….. 24

Gambar 2.12 Latihan Menutup Mata pada Bell’s Palsy ………………………. 24

Page 4: Terapi Non Medis pada Paralisis Nervus Facialis pada OMK (Refference)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Sistem Grading Menurut House-Brackman ………………………… 11

Tabel 2.2 Perbedaan Lesi Nervus Fasialis Tiper Perifer dan Sentral ………….. 12

Tabel 2.3 Gerakan-gerakan yang Direkam dan Dievaluasi …………………… 17

Tabel 2.3 Frekuensi Terapi ……………………………………………………. 20

Tabel 2.4 Faktor Resiko yang Mempengaruhi Prognosis …………………….. 25

Page 5: Terapi Non Medis pada Paralisis Nervus Facialis pada OMK (Refference)

BAB 1

PENDAHULUAN

Bell’s palsy merupakan kelumpuhan dari saraf fasialis bagian perifer. Bell’s

palsy dinamai oleh Charles Bell (1774-1842), yang pertama kali menggambarkan

sindrom berhubungan dengan anatomi dan fungsi nervus fasialis. Insidensi

penyakit ini sekitar 15-30 per 100.000 orang, setara antara laki-laki maupun

perempuan (Jeffrey dkk, 2007). Sedangkan menurut Murthy & Saxena (2011)

sekitar 20-30 kasus per 100.000 orang. Insidensi terendah di bawah 10 tahun dan

insidensi tertinggi yaitu di atas 70 tahun. Tidak ada predileksi baik sisi kiri

maupun kanan wajah. Baik sisi kiri maupun kanan sama saja.

Beberapa etiologi dapat menyebabkan terjadinya penyakit ini. Salah satunya

merupakan komplikasi dari otitis media supuratif kronik, yang jarang terjadi.

Dimana otitis media kronik tersebut dibutuhkan penganan segera jika bersifat

aktif (Harold & Patrick, 2007).

Dalam penatalaksanaanya, beberapa penelitian tidak hanya fokus terapi

dengan medikasi saja namun dapat juga dengan terapi non medis, seperti yang

akan dijabarkan dalam tinjauan pustaka.

Page 6: Terapi Non Medis pada Paralisis Nervus Facialis pada OMK (Refference)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

2.1.1 Anatomi telinga tengah

Letak telinga tengah ditentukan oleh batas-batas. Batas-batas telinga tengah

(Efiaty dkk, 2009) antara lain yaitu :

a. Batas Luar : membran timpani

b. Batas Dalam : semi sirkularis horizontal, kanalis fasialis, tingkap

lonjong (oval window), tingkap bundar (round window)

dan promontorium

c. Batas Depan : tuba eustachius

d. Batas Belakang : aditus ad antrum, kanalis fasialis

e. Batas Atas : tegmen timpani (meningen/otak)

f. Batas Bawah : vena jugularis (bulbus jugularis)

Page 7: Terapi Non Medis pada Paralisis Nervus Facialis pada OMK (Refference)

(AAA, 2009)Gambar 2.1

Membran Timpani Kanan dengan Hammer dan Corda Timpani, Dilihat dari Dalam, Belakang, dan Atas

Tulang-tulang pendengaran yang tersusun dari luar ke dalam yaitu :

a. Maleus (melekat pada incus dan proc. Longus melekat pada membrane

timpani)

b. Incus (melekat pada stapes)

c. Stapes (terletak pada tingkap lonjong, berhubungan dengan koklea)

Tulang-tulang pendengaran di atas berhubungan satu dan yang lainnya,

sehingga terdapat suatu persendian.

Perdarahan dan persyarafan telinga tengah yaitu:

1. Arteri dari membran timpani berasal dari cabang aurikular dari maxilaris

interna yang cabang-cabangnya di bawah lapisan kulit, dan cabang dari

Page 8: Terapi Non Medis pada Paralisis Nervus Facialis pada OMK (Refference)

aurikularis posterior, dan cabang timpani dari maxilaris interna, yang

didistribusikan ke permukaan mukosa.

2. Vena superficialis terbuka ke arah jugularis externa, vena superficial pada

permukaan dalam mengalir sebagian ke sinus transversus dan vena dura

mater, dan sebagian lagi ke dalam pleksus pada tuba auditorik.

3. Saraf didapat dari cabang auriculotemporal pada mandibula, cabang

N.Vagus, dan cabang timpani dari dari N. Glossopharyngeal

(AAA, 2009)Gambar 2.2

Dilihat dari Dinding Dalam Timpani (diperbesar)

Page 9: Terapi Non Medis pada Paralisis Nervus Facialis pada OMK (Refference)

(AAA, 2009)Gambar 2.3

Dinding Medial dan Bagian Posterior dan Anterior dari Kavum Membran Timpani Kanan, Dilihat dari Samping

Prominensia dari kanalis fasialis (prominensia kanalis fasialis; prominensia

akuaduktus falopi) menunjukkan posisi kanal tulang dimana nervus fasialis

berada. Kanal ini melintasi dinding labirin dari rongga timpani di atas vestibule

fenestra.

2.1.2 Anatomi wajah

Serabut saraf motorik, nukleus fasialis dan serabut eferen teroganisir

somatotopik. Serabut saraf yang muncul pertama kali keluar dari nukleus fasialis,

berjalan kearah dorsomedial, kemudian berjalan lagi kearah anterolateral melewati

sekitar nukleus abducens (genu terdalam nervus fasialis), dan keluar dari batang

otak sebagai saraf fasialis pada cerebellopontine angle dekat nervus kranialis VI

dan nervus kranialis VIII. Nervus fasialis masuk ke meatus akustik internal

Page 10: Terapi Non Medis pada Paralisis Nervus Facialis pada OMK (Refference)

bersama dengan nervus intermedius dan nervus kranialis VIII, kemudian

meninggalkan meatus dan masuk ke kanalis fasialis, melewati antara koklea dan

labirin, dan kembali lagi (genu terluar nervus fasialis). Setelah meninggalkan

tengkorak di foramen stilomastoidea, nervus ini berlanjut ke dalam kelenjar

parotis dan memberikan cabang-cabang motorik ke semua otot dari ekspresi

wajah, seperti platysma, otot telinga, stapedius, digastric, dan otot stylohioid

(Rohkamm, 2004).

Serabut saraf sensorik, dari ganglion genikulatum berjalan ke nukleus

salivatorik superior, nukleus traktus solitaries dan nukleus spinalis dari nervus

trigeminal. Pengecap rasa dari 2/3 anterior lidah (nervus lingualis) dan palatum

mole (nervus petrosus mayor) menyatu di corda tympani. Serabut parasimpatik

preganglionik berjalan di nervus petrosus mayor ke ganglion pterygopalatine, dari

mana serabut saraf postganglionik melewati lakrimalis, nasal, kelenjar palatine.

Sedangkan serabut saraf lainnya berjalan di corda tympani menuju ganglion

submandibular, dari mana serabut postganglionik melewati kelenjar sublingualis

dan submandibular (Rohkamm, 2004).

Page 11: Terapi Non Medis pada Paralisis Nervus Facialis pada OMK (Refference)

(Rohkamm, 2004)Gambar 2.4

Cabang-cabang Nervus Fasialis

2.2 Bell’s Palsy

2.2.1 Definisi

Ekspresi wajah merupakan bagian penting dalam komunikasi nonverbal,

setiap kekurangan ataupun kelemahan dari otot-otot dan gerakan wajah tidak

terlalu begitu nampak, tetapi menjadikan stigma sosial yang serius bagi pasien itu

sendiri.

Bell’s palsy merupakan kelumpuhan saraf wajah LMN yang idiopatik

(Harold & Patrick, 2007) atau merupakan kondisi neurologis akibat lesi dari

Page 12: Terapi Non Medis pada Paralisis Nervus Facialis pada OMK (Refference)

nervus kranialis VII mengakibatkan onset akut atau paralisis total pada wajah sisi

ipsilateral (Nabeel, 2007).

2.2.2 Etiologi

Bell’s palsy merupakan parese dan paralisis dari saraf fasialis. Berbagai

faktor dapat menyebabkan terjadinya penyakit ini. Beberapa faktor penyebab

tersebut pada sebagian besar kasus penyebab tidak diketahui. Beberapa bukti lain

membuktikan adanya keterlibatan dari Herpes Simplex Virus (HSV). Etiologi

yang dijabarkan oleh Harold & Patrick (2007) dan Nabeel (2007) yaitu:

a. Infeksi (otitis media, herpes zoster/Ramsay Hunt Syndrome, lyme

disease)

b. Neoplasma (malignant parotid neoplasm, middle ear carcinoma)

c. Trauma (bedah atau non-bedah)

d. Lainnnya (sarkoidosis, multiple sclerosis)

Bell’s palsy terkait dengan infeksi, salah satunya yaitu otitis media supuratif

kronik. Paralisis fasialis adalah komplikasi yang jarang dari otitis media supuratif

kronik. Kelemahannya bisa ringan dan biasanya dapat pulih lebih cepat. Pada

otitis media supuratif kronik, biasanya terjadi pada otitis media supuratif kronis

tipe skuamosa (kolesteatom) tetapi dapat juga terjadi pada otitis media supuratif

kronis tipe mukosa. Hal ini terjadi karena terkait dengan dehisensi nervus fasialis

pada kanalis falopi dan granulasi jaringan yang melapisi saraf tersebut (Harold &

Patrick, 2007).

2.2.3 Gejala klinis dan penegakkan diagnosis

Mula terjadinya Bell’s palsy cukup mendadak, kelemahan maksimal yang

dicapai sekitar 48 jam. Manifestasi klinis yang muncul dapat dapat didahului

Page 13: Terapi Non Medis pada Paralisis Nervus Facialis pada OMK (Refference)

timbul nyeri dibelakang telinga sekitar 1 atau 2 hari, hilangnya sensasi pengecap

rasa, juga bisa disertai hiperakusis (Stephen, 2010).

(Harold & Patrick, 2007)Gambar 2.5

Perjalanan dan Komponen Nervus Fasialis, yang Dapat MembantuIdentifikasi Bagian Lesi

Dari gambar di atas, adanya gangguan pada meatus akustikus interna

mengakibatkan hilangnya fungsi lakrimasi dan pengecap rasa. Sedangkan

lakrimasi dapat intak namun pengecap rasa saja yang terganggu dapat terjadi bila

tingkat lesi yang lebih rendah di bagian vertikal nervus VII pada mastoid. Dan

fungsi lakrimasi maupun pengecap rasa dapat intak bila lesi pada foramen

stylomastoid.

Page 14: Terapi Non Medis pada Paralisis Nervus Facialis pada OMK (Refference)

(Rohkamm, 2004)Gambar 2.6

Akibat Lesi Nervus Fasialis

Bell’s palsy dapat dibagi dalam beberapa grade menurut House-Brackman

yang didapat dari Harold & Patrick (2007), dan terbagi dalam enam grade.

Page 15: Terapi Non Medis pada Paralisis Nervus Facialis pada OMK (Refference)

Tabel 2.1 Sistem Grading Menurut House-Brackman

Grade Makna

I Fungsi normal dan simetris

II Sedikit kelemahan terlihat dengan inspeksi jarak dekat Penutupan mata sempurna dengan usaha minimal Dengan upaya maksimal sedikit asimteris bila tersenyum Sinkinesis hampir tak terlihat, tidak ada kontraktur ataupun

spasme

III Kelemahan yang jelas, namun tidak tampak perbedaan kedua sisi

Mungkin tidak dapat mengangkat alis Menutup mata sempurna dan kuat, namun gerakan mulut

tampak asimetris dengan upaya maksimal Jelas, gerakan massa atau spasme

IV Kelemahan yang jelas, tampak perbedaan kedua sisi Tidak mampu mengangkat alis Menutup mata tak sempurna dan mulut asimteris dengan

upaya maksimal Sinkinesis berat, gerakan massa, spasme

V Hampir tidak terlihat gerak Penutupan mata tak sempurna, terdapat gerakan kecil dari

sudut mulut Sinkinesis, kontraktur dan kejang biasanya tidak ada

VI Tidak ada gerakan, hilang tonus, tidak ada sinkinesis, kontraktur ataupun spasme

Diagnosis Bell’s palsy secara klinis dapat dibuat pada pasien dengan:

1. Presentasi klinis yang tipikal

2. Tidak adanya faktor resiko atau gejala yang ada sebelumnya, penyebab

lain paralisis fasialis

Page 16: Terapi Non Medis pada Paralisis Nervus Facialis pada OMK (Refference)

3. Adanya lesi kutaneous herpes zoster pada meatus akustikus eksterna

4. Pemeriksaan neurologis yang normal, kecuali nervus fasialis

Pemeriksaan fungsi motorik dilakukan saat istirahat (wajah asimetri, lipatan

kulit, atrofi, gerakan spontan, kedipan) dan selama gerakan involunter (dahi,

kelopak mata dan alis, daerah mulut, platysma). Selain itu dapat dilakukan

pemeriksaan pengecapan rasa, lakrimasi (shirmer’s test) yang hasilnya positif air

mata berkurang atau tidak ada, tes salivasi, dan reflek stapedius yang diuji dengan

mengukur kontraksi otor stapedius dalam menanggapi stiumulus akustik

(Rohkamm, 2004).

Perlunya perhatian terhadap nervus VIII, yang letaknya berdekatan dengan

vervus VII di pontomedullary junction pada tulang temporal, dan juga nervus

kranialis lainnya. Dalam beberapa kasus yang atipikal atau tidak pasti diperlukan

dari lab yaitu LED, gula darah, lyme titer, angiotensin converting enzyme, foto

thorax menyingkirkan kemungkinan sarkoidosis, LP untuk kemungkinan GBS,

dan scan MRI (Stephen, 2010).

2.2.4 Diferensial diagnosis

Table 2.2 Perbedaan Lesi Nervus Fasialis Tiper Perifer dan Sentral

Karakteristik Perifer Sentral

Kelemahan wajah bagian atas

Ya Tidak

Kelemahan wajah bagian bawah

Ya Ya

Letak lesi Saraf perifer, pons Hemisfer kontralateral

(Donald, 2004)

Page 17: Terapi Non Medis pada Paralisis Nervus Facialis pada OMK (Refference)

(Donald, 2004)Gambar 2.7

Perbedaan Lesi Nervus Fasialis Perifer dan Central, dan Spasme Hemifasial

Dari gambar di atas jelas terdapat perbedaan antara lesi di perifer dan

sentral, yaitu terlihat dari garis lipatan kulit di dahi. Wajah A memiliki lipatan

dahi (lesi sentral), sedangkan wajah B tidak memiliki lipatan kulit di dahi pada

sisi yang lumpuh (lesi perifer). Pada wajah C terdapat spasme hemifasial yang

ditandai kontraksi otot orbikularis okuli, dengan penutupan mata dan retraksi otot

wajah bagian bawah sisi kanan. Inspeksi yang kurang akurat dapat memberikan

kesan false-positive paralisis wajah sebelah kiri (Donald, 2004).

Diagnosis banding lainnya yang dapat menjadi pertimbangan seperti yang

telah dijabarkan sebelumnya penyebab dari paralisis nervus fasialis yang

diungkapkan oleh Harold & Patrick (2007) dan Nabeel (2007).

2.2.5 Penaatalaksanaan

2.2.5.1 Terapi medis

Penatalaksanaan Bell’s palsy dibagi menjadi terapi medis dan non medis.

Untuk terapi medis dapat diberikan kortikosteroid seperti prednisone 60-80

mg/hari selama 5 hari dan tapering off 5 hari. Berbagai penelitian memeberikan

Page 18: Terapi Non Medis pada Paralisis Nervus Facialis pada OMK (Refference)

pula antiviral seperti acyclovir 400 mg 5x/hari selama 10 hari yang memberikan

hasil lebih baik dibandingkan kortikosteroid saja (Stephen, 2010).

Selain dengan obat-obatan juga dapat dilakukan bedah dekompresi. Bedah

dekompresi ini direkomendasikan bila onset Bell’s palsy kurang lebih 2 minggu,

jikan dengan elekroneurografi menunjukkan adanya degenerasi serabut saraf

fasialis >90%. Namun bedah dekompresi ini masih kontroversial. Untuk

perlindungan mata bisa dibagi menjadi 2, (Shafshak, 2006), yaitu:

1. Early treatment. Air mata buatan, juga salep mata yang diberikan

sebelum tidur. Selain itu bisa menggunakan kacamata untuk

menghindari dari debu, cahaya, dan angin.

2. Long-term treatment. Konsultasi ke spesialis mata, apakah indikasi

intervensi bedah, jika ada kegagalan dari penutupan mata secara spontan

(tarsorrhapy, lateral canthoplasty)

2.2.5.2 Terapi non-medis

Untuk terapi non medis yaitu dengan terapi fisik. Beberapa pilihan terapi

fisik antara lain (Nabeel, 2007):

a. Electrotherapy

b. Neuromuscular Retraining

c. Manual Massage

d. Kabat Rehabilitation

Terapi elektrik dapat digunakan sebagai terapi adjunctive. Modalitas yang

dibahas termasuk stimulasi elektrik (ES), electromyography biofeedback (EMG),

ultrasound, laser, short-wave diathermy (SWD). Efek yang ditimbulkan dari terapi

elektrik terkait dengan jenis lesi dari sarafnya, yaitu:

Page 19: Terapi Non Medis pada Paralisis Nervus Facialis pada OMK (Refference)

1. Neuropraxia. Konduksi saraf memblok sementara dengan menjaga atau

melindungi axon, berespon terhadap rangsangan listrik, dan biasanya

pemulihan secara sempurna.

2. Axonotmesis. Axon terganggu, tetapi dengan selubung saraf yang intak

dan regenerasi axon 1mm/hari, memiliki potensial pemulihan sempurna.

3. Endoneurotmesis. Endoneurium dan axon dihancurkan sementara

perineuriumnya intak, axon regenerasi dengan skar menyebabkan

reinervasi parsial dan sinkinesis oleh karena itu pemulihan kurang

sempurna

4. Perineurotmesis. Hanya epineurium yang intak sementara jaringan yang

lain rusak, menyebabkan regenerasi abnormal, sinkinesis, dan pemulihan

yang kurang sempurna.

5. Neurotmesis. Saraf putus sempurna/komplit dengan sedikit atau tidak

ada regenerasi dan pemulihan, dapat berkembang menjadi neuroma yang

nyeri disebelah saraf tersebut.

Melatih kembali neuromuskular (neuromuscular retraining) dilakukan

dengan latihan motorik secara selektif untuk memudahkan pergerakan secara

simetris dan mengontrol aktifitas motorik yang tidak dikehendaki (sinkinesis).

Reedukasi pasien merupakan aspek yang paling penting dari proses tatalaksana

tersebut. EMG biofeedback dan/atau cermin khusus akan memberikan feedback

sensorik untuk meningkatkan latihan. Saat tiap-tiap otot yang sedang dinilai,

pasien mengamati gerakan otot-otot di cermin dan diperintahkan untuk melakukan

gerakan-gerakan kecil tertentu simteris, dibantu dengan suara untuk mengetahui

apakah gerakannya benar atau salah. Sambil pasien mengenali area mana yang

Page 20: Terapi Non Medis pada Paralisis Nervus Facialis pada OMK (Refference)

mengalami disfungsi, pasien dapat memulai latihan memperbaiki gerakan

wajahnya. Repetisi dan frekuensi latihan dapat diubah sesuai dengan tingkat

kemajuan dari latihannya. Gerakannya dimulai perlahan dan bertahap, sehingga

pasien dapat mengamati sudut mulut, kekuatan, dan kecepatan dari masing-

masing gerakan, karena gerakan yang cepat tidak akan membantu dalam

mengontrol sinkinesis (Nabeel, 2007).

Seperti halnya yang diungkapkan oleh Nabeel (2007) tersebut, sumber lain

yang diperoleh dari Jacqueline (2008), pada facial retraining ada beberapa

metode dalam evaluasi yaitu dengan instrumen klinis (clinical instruments),

videotape, fotografi (photographic), ataupun dengan penilaian diri sendiri (self-

assessment). Instrumen klinis haruslah objektif, mudah dijalankan, dan peka

terhadap perubahan yang dinamis, namun alat yang pasti masih belum

dikembangkan. Sebagai evaluasi yang objektif dalam menilai gerakan wajah,

videotape merekam gerakan-gerakan wajah yang memungkinkan pasien maupun

terapist untuk melihat kembali gerakan secara detail dan membandingkannya dari

waktu ke waktu. Untuk itu pasien disuruh melakukan beberapa gerakan seperti

pada tabel 2.3 sesuai patokan pada gambar otot-otot seperti yang tercantum pada

tabel 2.10. Fotografi, memungkinkan pasien dapat dengan mudah

membandingkan perubahan yang ada dari hari ke hari, meskipun terdapat

perubahan kecil. Penilaian diri sendiri, merupakan aspek penting dari proses

evaluasi karena memberikan pengertian/wawasan terhadap kepercayaan dirinya.

Dan pada akhirnya persepsi yang timbul terhadap dirinya sendiri akan

menentukan keberhasilan pengobatan.

Page 21: Terapi Non Medis pada Paralisis Nervus Facialis pada OMK (Refference)

Tabel 2.3 Gerakan-gerakan yang Direkam dan DievaluasiOtot-otot Gerakan

FRO Angkat alis

COR, FRO Turunkan alis bersama-sama

OCS, OCI Tutup mata dengan lembut

OCS, OCI Kedipkan kelopak mata bawah ke atas

OCS, OCI Tutup mata dengan kuat

DIN Kembangkan lubang hidung

RIS, ZYJ, ZYN, LAO, LLS

Tersenyum datar dengan bibir bersama-sama

RIS, ZYJ, ZYN, LAO, LLS

Tersenyum lebar dengan bibir terpisah

LLS, LAO Angkat bibir atas sambil mengerutkan hidung

LLS, LAO Angkat bibir atas bagian kiri atau kanan sambil mengerutkan hidung (dimulai dari sisi normal)

RIS Gerakkan sudut mulut ke arah telinga (dimulai dari sisi normal)

OOS, OOI Kerutkan bibir

OOS, OOI Tekan bibir bersama-sama

OOS, OOI Tarik kembali bibir ke atas gigi

OOS, OOI Dorong bibir sejauh mungkin

OOI, DAO, DLI Gulung bibir bawah keluar dan ke bawah

DAO, DLI Putar sudut mulut ke bawah

DAO, DLI Tarik bibir bawah untuk menujukkan gigi bawa

MEN Kencangkan dagu

PLA Kencangkan leher

(Jacqueline, 2008)

Page 22: Terapi Non Medis pada Paralisis Nervus Facialis pada OMK (Refference)

Manual massage dapat dilakukan dibantu dengan pilihan tatalaksana yang

lainnya. Manipulasi pemijatan meliputi :

a. Effleurage

b. Jari atau jempol yang meremas (Finger or thumb kneading)

c. Memeras (Wringing)

d. Mencincang (Hacking)

e. Mengetuk (Tapping)

f. Memukul (Stroking)

Rehabilitasi Kabat merupakan jenis dari teknik rehabilitasi kontrol motorik.

Selama dilakukan rehabilitasi Kabat, terapis memfasilitasi kontraksi volunter pada

otot yang lemah dengan menerapkan peregangan menyeluruh. Sebelum dilakukan

Kabat, stimulasi dengan es harus dilakukan pada otot tertentu., agar dapat

meningkatkan kekuatan kontraksinya.

Page 23: Terapi Non Medis pada Paralisis Nervus Facialis pada OMK (Refference)

(Nabeel, 2007)Gambar 2.8

Rehabilitasi Kabat

Page 24: Terapi Non Medis pada Paralisis Nervus Facialis pada OMK (Refference)

(Nabeel, 2007)Gambar 2.9

Rehabilitasi Kabat

Frekuensi dilakukannya keempat terapi diatas berbeda-beda, tergantung dari

tingkat beratnya penyakit tersebut sesuai dengan klasifikasi dari House-

Brackman.

Page 25: Terapi Non Medis pada Paralisis Nervus Facialis pada OMK (Refference)

Table 2.4 Frekuensi Terapi

Bulan Sesi/minggu

Pertama 3 sesi/minggu

Kedua 2 sesi/minggu

Ketiga 1 sesi/minggu

(Nabeel, 2007)

Selain keempat terapi fisik diatas, beberapa penelitian lain salah satunya

oleh David (2007) menggunakan terapi elektroakupuntur yang juga dapat

bermanfaat untuk paralisis fasialis perifer. Elektroakupungtur (EA) merupakan

stimulasi elektrik dari titik akupungtur melalui jarum. Listrik yang megalir

melalui jarum memberikan stimulasi lanjutan, biasanya selama 20-30 menit. EA

diterapkan pada titik-titik yang sama seperti akupungtur tradisional atau

akupungtur manual (MA), dan dilakukan berdasarkan indikasi bila rangsangan

MA tidak berespon. EA diindikasikan untuk nyeri (sindrom obstruksi yang nyeri),

paralisis (baik flacid maupun spastik), hilangnya otot-otot (sindrom kelainan

atropi). Teknik EA ini terdapat efek yang menguntungkan pada mikrosirkulasi,

inflamasi, dan saraf yang mengalami kerusakan.

Beberapa keuntungan lainnya dari EA yaitu:

a. Lebih efektif dibanding MA pada beberapa situasi, dan efek potensiasi

dari metode tradisional.

b. EA sedikit memakan waktu dan mengurangi perlunya praktisi daripada

MA, baik dalam pelatihannya maupun prakteknya

c. Hasilnya lebih cepat dan lebih panjang efeknya

d. Efek sedikit nyeri, relaksasi, berbeda dengan MA

Page 26: Terapi Non Medis pada Paralisis Nervus Facialis pada OMK (Refference)

e. EA lebih terkontrol, lebih baku, dan terukur secara objektif daripada MA

f. Metode stimulasi non-invasive, biaya lebih efektif pasien yang dirawat

dirumah,

g. Kerusakan jaringan minimal.

Menurut Jan Opoline (2008), latihan wajah (facial exercise) dapat dilakukan

bila pasien terlebih dahulu mengenali wajahnya. Dan sebelumnya harus mengenal

juga gambaran otot-otot wajah seperti gambar 2.10. perlu diingat juga bahwa

dalam melakukan latihan tidak memaksakannya. Latihan dilakukan secara rutin 2-

3 kali sehari dan bisa lebih sesuai kemampuan, namun juga ditekankan bahwa

lebih baik melakukan sedikit namun secara benar, dari pada melakukan banyak

dengan cara yang salah. Berikut langkah-langkahnya:

1. Meringis, kerutkan hidung, kembangkan lubang hidung

2. Lengkungkan bibir atas dan naikkan dan tonjolkan bibir atas

3. Tekan bibir bersama-sama. kerutkan bibir & cobalah untuk bersiul

4. Tersenyum tanpa menunjukkan gigi, lalu tersenyum menunjukkan gigi

5. Coba gerakan bibir anda menjadi senyuman kecil secara perlahan. Lalu

dengan lembut kerutkan perlahan dengan kekuatan yang sama dari kedua

sisi

6. Gambarlah sudut mulut ke atas sehingga memperdalam alur dari sisi

hidung ke sisi mulut

7. Keraskan (kerut) dagu; tonjolkan dagu (seperti petinju)

8. Menggunakan jari telunjuk dan ibu jari, tarik sudut bibir ke arah tengah.

Perlahan-lahan dan dengan lancar dorong ke arah luar dan ke atas

Page 27: Terapi Non Medis pada Paralisis Nervus Facialis pada OMK (Refference)

menjadi tersenyum. Lanjutkan gerakan sampai tulang pipi. Gunakan

tekanan kuat

9. Menempatkan 4 jari pada alis mata, dan gosokkan menggunakan tekanan

yang kuat hingga garis rambut. Kembali lagi turun ke alis mata. Lakukan

pemijatan yang sama dengan gerakan memutar pada pipi dan dagu, dan

keluar ke arah telinga

10. Cobalah untuk menutup mata perlahan dan lembut, tanpa membiarkan

mulut menarik atau alis mata bergerak ke bawah

11. Angkat alis mata dan tahan selama 10 detik -15 (hati-hati untuk

synkinesis - tahan dahi di mana sebelum sudut mulut mulai bergerak

atau pipi akan ikut membantu dalam bergerak). Kerutkan dahi

12. Mengerutkan dahi dan menarik alis ke bawah

13. Dengan lembut mengedipkan mata dengan satu mata dan kemudian

disusul yang lain sesuai dengan kemampuan. Jangan dipaksakan

14. Buka mata dengan lebar, tetapi tanpa melibatkan alis. Hentikan jika

melihat ada tindakan otot tidak sesuai

15. Jangan mengunyah permen – hal tersebut merupakan latihan yang salah,

dan dapat mencetuskan synkinesis

16. Jangan mencoba untuk mengunyah makanan menggunakan kedua sisi

mulut (setidaknya saat makan sendiri). hal ini akan membantu

mempertahankan pola yang normal saat gerakan muncul kembali

Page 28: Terapi Non Medis pada Paralisis Nervus Facialis pada OMK (Refference)

(Jan Opoline, 2008)Gambar 2.10

Arah Gerakan dan Tarikan Otot-otot Wajah

Page 29: Terapi Non Medis pada Paralisis Nervus Facialis pada OMK (Refference)

(Bell’s Palsy Association)Gambar 2.11

Latihan Wajah pada Bell’s Palsy

(Bell’s Palsy Association)Gambar 2.12

Latihan Menutup Mata pada Bell’s Palsy

Page 30: Terapi Non Medis pada Paralisis Nervus Facialis pada OMK (Refference)

2.2.6 Prognosis dan komplikasi

Secara umum, prognosis pada pasien Bell’s palsy sekitar 71% mengalami

pemulihan sempurna sekitar 6 bulan tanpa terapi. Dalam 6 bulan ini semua pasien

setidaknya menunjukkan sedikit perbaikan (Murthy & Saxena, 2011).

Prognosis yang dapat dilihat dari terapi yang diungkapkan oleh Nabeel

(2007), mayoritas pasien dengan paralisis nervus fasialis sekitar 85% pulih dalam

3 minggu pertama setelah onset terapi. Sementara 15% pemulihan berlangsung 2-

3 bulan setelah onset terapi. Pemulihan yang buruk biasanya ditetapkan setelah 6

bulan dari onset terapi, yang tercatat pada pasien dengan riwayat diabetes,

hipertensi dan obesitas.

Faktor resiko yang dapat berpengaruh terhadap prognosis yang buruk

(Nabeel, 2007), dapat dilihat dari table dibawah ini:

Tabel 2.5 Faktor Resiko yang Mempengaruhi Prognosis

Faktor Resiko Tinggi respon NET* Pemulihan yang buruk signifikan 83% pada pasien yang menunjukkan respon buruk terhadap NET pada sisi yang terkena

Pemulihan setelah 1 bulan onset terapi

79% pasien dengan grade 4 atau lebih setelah 1 bulan akan memiliki prognosis buruk dibandingkan pasien dengan grade 3 atau kurang

Faktor Resiko Sedang Tingkat Beratnya paralisis fasialis

47% pasien dengan paralisis berat (grade 5 keatas) memiliki prognosis buruk dari pada pasien dengan paralisis yang tidak

Page 31: Terapi Non Medis pada Paralisis Nervus Facialis pada OMK (Refference)

sempurna/inkomplit (grade 4 kebawah)

Usia 26% >50 tahun memiliki prognosis buruk yang signifikan

Faktor Resiko Rendah

Penyebab dari paralisis fasialis

24% pasien dengan VZV** menyebabkan prognosis lebih buruk dibanding penyebab lainnya

Reflek stapedius *** Jika reflek stapedius tidak ada, hanya 20% memiliki prognosis buruk

(Nabeel, 2007)

*Nerve excitability test, dilakukan oleh spesialis THT**varicella-zoster virus***dilakukan oleh spesialis THT

Beberapa kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi adalah iritasi dan

ulkus kornea yang dikarenakan mata tidak dapat ditutup, sehingga kurangnya

perlindungan bagi mata tersebut. Oleh karenanya, mata seharusnya diberikan

perlindungan mata.

Page 32: Terapi Non Medis pada Paralisis Nervus Facialis pada OMK (Refference)

BAB 3

KESIMPULAN

Bell’s palsy merupakan kondisi neurologis akibat lesi dari nervus kranialis

VII mengakibatkan onset akut atau paralisis total pada wajah sisi ipsilateral, yang

umumnya idiopatik. Beberapa etiologi menyebabkan penyakit ini jarang akibat

dari otitis media supuratif kronik. Gejala klinisnya tergantung dari tingkat lesi dan

dapat dinilai berdasarkan gradenya. Diagnosis banding yang mirip yaitu lesi

nervus fasialis tipe sentral yang bisa terlihat perbedaannya secara inspeksi,

kerutan dahi pasien tampak normal baik sisi kiri maupun kanan berbeda dengan

tipe perifer pada sisi yang lumpuh tidak terdapat kerutan dahi.

Penatalaksanaan Bell’s palsy dapat dibagi menjadi 2 yaitu terapi medis dan

non-medis. Terapi medis dapat dicapai dengan pemberian kortikosteroid dan

antiviral yang terbukti dari beberapa penelitian memberikan efek yang lebih baik

dibandingkan dengan kortikosteroid saja. Dan dapat diberikan perlindungan mata

seperti lubrikasi tetes mata. Sedangkan terapi non medis yaitu dengan terapi fisik

yang dapat dicapai dengan bermacam-macam metode, yaitu terapi elektrik,

melatih kembali neuromuskular, pemijatan manual, rehabilitasi kabat, dan

akupungtur elektrik. Metode yang sangat mudah dan lebih ekonomis bisa dengan

pemijatan manual dan juga rehabilitasi kabat dan juga latihan wajah (facial

exercise). Berbagai metode terapi yang ada memberikan respon berbeda pada tiap-

tiap pasien terkait dengan adanya faktor resiko yang ada.

Page 33: Terapi Non Medis pada Paralisis Nervus Facialis pada OMK (Refference)

DAFTAR PUSTAKA

AAA, 2009, Middle Ear or Tympanic Cavitiy: American Journal of Anatomy, vol 10, Baltimore, Wistar Institute of Anatomy and Biology

Bell’s Palsy Association, ---, diakses 3 April 2012, http://www.bellspalsy.org.uk/exercises1.pdf

David, 2007, Electroacupuncture: An Introduction and Its Use For Peripheral Facial Paralysis, no.84, Journal of Chinese Medicine

Donald, 2004, Bell’s Palsy, vol 351, Denver, Massachusetts Medical Society, pp.1323-1331

Efiaty dkk, 2009, Buku Ajar Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher: Kelainan Telinga Luar, cetakan VI, FKUI, Jakarta, pp.11-13

Harold & Patrick, 2007, Facial palsy: ABC of Ear Nose Throat, ed 5th, USA, Blackwell, pp.34-36

Jan Opoline, 2008, Bell’s Palsy Information Site, diakses 2 April 2012, http://www.bellspalsy.ws/exercise.htm

Jacqueline, 2008, New Concepts in Non-Surgical Facial Nerve Rehabilitation, diakses 9 April 2012, http://www.bellspalsy.ws/retrain.htm

Jeffrey et al, 2007, Bell’s Palsy: Diagnosis and Management, vol 76 no.7, Chicago, American Family Physicians, pp.997-1002

Murthy & Saxena, 2001, Bell’s Palsy: Treatment Guidelines, vol 14, India, Department of Neurology, The Institute of Neurological Science, pp.70-72

Nabeel, 2007, Physical Therapy Management for Facial Nerve Paralysis, Kuwait, Committee of Physical Therapy Protocols

Rohkamm, 2004, Facial Nerve: Color Atlas of Neurology, ed 2nd, New York, Thieme, pp.96-99

Shafshak, 2006, The Treatment of Facial Palsy From the Point of View of Physical and Rehabilitaion Medicine, vol 42, Egypt, Department of Physical and Rehabilitation Medicine Faculty of Medicine, Alexandria University, pp.41-47

Stephen, 2010, Trigeminal Neuralgia Bell’s Palsy and Other Cranial Nerve Disorder: Harrison’s Neurology in Clinical Medicine, ed 2nd, chapter 29, United States, McGrawHill, pp.379-380