TERAPI INHALASI -...
Transcript of TERAPI INHALASI -...
TERAPI INHALASI
Oleh :
Ni Luh Made Rasmawati
dr. I Made Agus Kresna Sucandra,SpAn.KIC
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
BAGIAN/SMF ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RSUP SANGLAH
2017
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI ............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 2
2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernafasan ......................................................... 3
2.2 Penyakit Parenkimal Paru .................................................................................. 6
2.2.1 Asma ........................................................................................................ 6
2.2.2 Penyakit Paru Obstruktif Kronis .............................................................. 8
2.3 Pertimbangan Terapi Inhalasi ............................................................................ 11
2.3.1 Keuntungan Terapi Inhalasi ..................................................................... 11
2.3.2 Kelemahan Terapi Inhalasi ...................................................................... 11
2.4 Sifat Fisik Aerosol ............................................................................................ 12
2.5 Jenis-Jenis Obat Inhalasi .................................................................................... 14
2.5.1 Bronkodilator ........................................................................................... 14
2.5.2 Anti Inflamasi Pada Saluran Nafas .......................................................... 17
2.5.3 Obat-Obatan Penunjang ........................................................................... 19
2.6 Jenis-Jenis Generator Aerosol ............................................................................ 20
2.6.1 Pressurized Metered Dose Inhaler (pMDI) ............................................. 21
2.6.2 Dry Powder Inhaler (DPI) ....................................................................... 23
2.6.3 Nebulizer .................................................................................................. 25
2.7 Aplikasi Terapi Inhalasi Pada Pasien Dengan Ventilasi Mekanik ..................... 30
BAB III KESIMPULAN ......................................................................................... 36
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 38
iii
1
BAB I
PENDAHULUAN
Terapi inhalasi merupakan suatu terapi melalui sistem pernafasan yang
ditujukan untuk membantu mengembalikan atau memperbaiki fungsi pernafasan pada
berbagai kondisi, penyakit, ataupun cidera.1 Terapi ini telah lama dikembangkan dan
kini sudah diterima secara luas sebagai salah satu terapi yang berkaitan dengan
penyakit-penyakit saluran nafas kronik seperti asma dan penyakit paru obstruktif
kronis (PPOK), selain pemberian dengan cara peroral, injeksi intramuskular, dan
intravena.2,3
Pada umumnya, terapi inhalasi dilakukan dengan menggunakan suatu alat
khusus yang dapat membentuk partikel-partikel aerosol yang selanjutnya dengan
teknik tertentu dialirkan menuju saluran nafas hingga mencapai reseptor kerja obat.
Aerosol adalah suspensi partikel-partikel zat padat atau cairan di dalam gas yang
dapat memasuki saluran nafas melalui proses inspirasi.3
Keuntungan utama dari terapi inhalasi ini adalah obat yang diberikan akan
secara langsung menuju lumen internal dari saluran nafas dan kemudian menuju
target kerja obat di dalam paru-paru. Selain itu, onset kerja obat akan lebih cepat dan
dosis yang diberikan lebih kecil, sehingga dosis sistemik dari sebagian besar obat
yang diberikan secara inhalasi lebih rendah daripada obat oral maupun intravena dan
efek samping sistemiknya juga akan lebih rendah.2,3
Adapun beberapa tipe perangkat pembentuk aerosol atau generator aerosol
yang umm digunakan yaitu pressurized metered dose inhaler (pMDI), dry powder
1
2
inhaler (DPI) dan nebulizer. Pemilihan generator aerosol disesuaikan dengan
penderita.
Terapi inhalasi harus dapat menyediakan dosis yang konsisten, yaitu dengan
distribusi ukuran partkel aerodinamik yang sesuai, untuk memastikan bahwa obat
dapat secara efisien mencapai ke sisi target pada paru-paru. Desain generator (device)
yang baik juga harus mempertimbangkan penggunaannya pada pasien, hal ini dapat
meliputi ketahanan, mudah untuk digunakan, portable, dan cocok untuk segala usia
yang ditujukan untuk mencapai kepatuhan yang baik dari pasien terhadap pengobatan
yang diberikan.1
Pemahaman terhadap terapi inhalasi ini baik tujuan, jenis-jenis regimen obat,
cara kerja obat, serta tipe-tipe generator aerosol sangat penting diketahui oleh seorang
dokter. Maka melalui pembuatan makalah ini, diharapkan dapat memberikan lebih
banyak informasi tentang terapi inhalasi kepada teman-teman sejawat dokter muda.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernafasan
Sistem pernafasan memiliki berbagai fungsi penting bagi tubuh. Fungsi
utamanya adalah untuk menyediakan oksigen, mengeliminasi karbondioksida,
regulasi pH, untuk pembentukan suara dan pertahanan tubuh terhadap mikroba.
Fungsi lain dari sistem pernafasan adalah dapat mempengaruhi konsentrasi kimia
arterial dengan menghilangkan bahan tertentu dari kapiler paru dan memproduksi
dan menambahkan bahan lainnya ke dalam darah. Terdapat dua buah paru-paru
yang utamanya terdiri dari jutaan alveolus (kantong tipis berisi udara). Alveolus
ini merupakan tempat dari pertukaran gas antara paru-paru dan darah. Aliran
udara agar dapat sampai ke alveolus adalah melalui saluran nafas dan udara dapat
masuk/keluar paru karena adanya mekanisme inspirasi (perpindahan udara dari
lingkungan ke alveolus) dan ekspirasi (perpindahan udara kea rah sebaliknya).
Inspirasi dan ekspirasi ini disebut sebagai siklus respirasi.4
Sistem pernafasan terdiri dari saluran nafas dan parenkim paru. Saluran
nafas dibagi menjadi 3 regio yaitu saluran nafas atas, zona konduksi dan zona
respirasi. Saluran nafas atas terdiri dari hidung atau mulut, faring (yang
bercabang menjadi saluran makanan dan saluran nafas), dan laring (dimana
terdapat pita suara). Zona konduksi dimulai dari trakea, bronkus, dan bronkiolus
terminalis, dan zona respirasi terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus
alveolus, dan kantong alveolus Pada dinding trakea dan bronkus terdapat cincin
3
4
kartilago (tulang rawan), yang memberikan bentuk silindris dan mempertahankan
saluran ini agar tidak kolaps. Kartilago ini secara progresif menjadi semakin
kecil pada generasi akhir bronkus dan tidak dijumpai lagi dalam bronkiolus. Pada
trakea dan bronkus tidak semua dindingnya dibentuk oleh tulang rawan,
melainkan juga dibentuk oleh otot polos yang dapat berkontraksi dan relaksasi
sehingga akan mempengaruhi radius saluran nafas. Bronkiolus dicegah untuk
tidak kolaps bukan melalui rigiditas dindingnya, namun oleh tekanan
transpulmonal yang juga mengembangkan alveoli. Dengan demikian apabila
alveolus melebar, maka bronkiolus juga akan melebar. Dinding bronkiolus
hampir semuanya terbentuk oleh otot polos kecuali pada bagian bronkiolus
respiratorius yang dibentuk oleh sel epitel paru, jaringan fibrosa, dan beberapa
serabut otot polos.4,5
Gambar 2.1 Anatomi Sistem Pernafasan 4
5
Kavum nasi atau oral akan menangkap partikel-partikel dari udara karena
adanya rambut pada kavum nasi dan juga mukus. Seluruh saluran nafas, dari
hidung sampai bronkiolus respiratorius, dipertahankan agar tetap lembab oleh
lapisan mukus yang melapisi seluruh permkaannya. Mukus ini disekresikan oleh
sel goblet mukosa dalam, lapisan epitel saluran nafas, dan kelenjar submukosa
yang kecil. Selain untuk mempertahankan kelembaban, mukus juga dapat
berperan dalam menangkap partikel-partikel kecil dari udara inspirasi dan
menahannya agar tidak sampai ke alveoli. Mukus nantinya akan dibersihkan oleh
adanya gerakan silia oleh epitel bersilia yang terdapat pada seluruh permukaan
saluran nafas. Gerakan silia akan selalu mendorong ke arah atas atau ke arah
Gambar 2.2 Zona konduksi dan zona respirasi saluran nafas 4
6
faring, sementara gerakan silia pada sel epitel mukosa hidung mengarah ke
bawah menuju faring. Sehingga mukus-mukus tersebut akan terkumpul pada
faring, untuk selanjutnya dapat ditelan atau dibatukkan. Akibat adanya
mekanisme ini paru-paru dapat dijaga agar tetap bersih dari berbagai macam
partikel-partikel tertentu dan juga bakteri. Mekanisme pertahanan lainnya adalah
bronkiolus dapat berkonstriksi untuk membantu mencegah masuknya partikel-
partikel tertentu atau iritan mencapai alveolus. Selain itu mekanisme pertahanan
terhadap infeksi juga diperankan oleh sel-sel yang terdapat pada saluran nafas
dan alveolus, yaitu makrofag. Sel tersebut menangkap dan menghancurkan
partikel udara dan bakteri yang terinhalasi yang telah mencapai alveolus.
Makrofag ini dapat cidera atau rusak apabila terpapar asap rokok dan gas-gas
polutan.4,5
2.2 Penyakit Parenkimal Paru
2.2.1 Asma
Asma adalah suatu penyakit obstruksi jalan nafas yang reversible dengan
dikarakteristikan oleh hiperreaktivitas bronkus, bronkokonstriksi, dan inflamasi
saluran nafas kronik. Perkembangan penyakit asma bersifat multifaktorial yang
meliputi penyebab genetik dan lingkungan.6
Patofisiologi terjadinya asma adalah karena adanya inflamasi kronik
spesifik dari mukosa saluran nafas bawah. Pengaktifan dari kaskade inflamasi
menyebabkan terjadinya infiltrasi sel eosinophil, neutrophil, sel mast, sel T, dan
leukotrin ke mukosa saluran nafas. Rekruitmen sel-sel tersebut akan memicu
terbentuknya mediator proinflamasi lainnya seperti histamine, prostaglandin,
7
bradikinin, tromboksan, leukotriene, platelet activating factor, dll yang akan
berpengaruh terhadap berbagai target organ. Hal ini menyebabakan terjadinya
peningkatan permeabilitas vaskular yang menyebabkan edema dinding saluran
nafas, infiltrasi sel radang pada saluran nafas, dan peningkatan aktivitas sel
pensekresi mukus. Adanya peningkatan jumlah sel-sel inflamasi mengakibatkan
hipersensitivitas saluran nafas serta memicu remodeling saluran nafas.6
Terapi asma terdiri dari dua modalitas terapi obat: (1) untuk mengurangi
inflamasi kronik dan menangani hiperresponsif saluran nafas dengan obat anti
inflamasi yaitu glukokortikoid inhalasi dan penghambat leukotriene, dan (2)
untuk menangani kontraksi berlebihan akut dari otot polos saluran nafas yaitu
dengan obat golongan bronkodilator yang dapat merelaksasi saluran nafas.
Target kerja obat pada saluran nafas dapat langsung merelaksasi otot polos atau
dengan menghambat/memblok aksi dari bronkokonstriktor.4
2.1. Jenis-jenis Terapi Farmakologi Untuk Asma6
Kelas Obat Aksi Efek Samping
Kortikosteroid
inhalasi
Beclomethasone
Budesonide
Ciclesonide
Flunisolide
Fluticasone
Mometasone
Triamcinolone
Mengurangi
inflamasi jalan nafas
Menurunkan
hiperresponsifitas
jalan nafas
Disfonia
Myopati otot laring
Kandidiasis orofaringeal
Bronkodilator
kerja panjang
Arformoterol
Formoterol
Salmeterol
2-agonis : stimulasi
reseptor 2 dalam
cabang
trakeobronkial
Terapi dengan hanya
bronkodilator kerja panjang
dapat menyebabkan
inflamasi jalan nafas dan
meningkatkan insiden asma
8
eksaserbasi. Harusnya tidak
digunakan kecuali dengan
kortikosteroid inhalasi.
Kombinasi
kortikosteroid
inhalasi +
bronkodilator
kerja panjang
Budesonide +
formoterol
Fluticasone+sal
meterol
Kombinasi
bronkodilator kerja
panjang dengan
kortikosteroid
inhalasi
Leukotriene
modifiers
Montelukast
Zafirlukast
Zileuton
Mengurangi sintetis
leukotrin dengan
menghambat enzim
5- lipoxygenase
Minimal
Methylxanthines Theophylline
Aminophylline
Meningkatkan cAMP
dengan menghambat
fosfodiesterase, blok
reseptor adenosin,
pelepasan
katekolamin endogen
Mengganggu siklus tidur
Mual/muntah
Anoreksia
Sakit kepala
Disaritmia
Mast cell
stabilizer
Cromolyn Menghambat
pelepasan mediator
dari sel mast,
stabilisasi membran
Batuk
Iritasi tenggorokan
2.2.2 Penyakit Paru Obstrutif Kronis (PPOK)
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah suatu penyakit yang
ditandai gejala pernafasan dan hambatan aliran udara persisten karena adanya
abnormalitas saluran nafas dan/atau alveolar yang biasanya disebabkan oleh
paparan partikel atau gas berbahaya/polusi yang signifikan. Faktor risiko dari
penyakit ini adalah genetik, merokok atau sebagai perokok pasif, paparan
terhadap debu dan partikel-partikel berbahaya (terutama di pertambangan
batubara, pertambangan emas, dan industri tekstil), paparan terhadap polusi
9
udara baik indoor maupun outdoor, asma dan hiperreaktifitas saluran nafas,
bronkitis kronis, infeksi, serta berat badan lahir rendah.7
Adanya inhalasi terhadap asap rokok maupun gas-gas polusi lainnya
dapat menyebabkan terjadinya inflamasi. Respon inflamasi ini adalah normal,
namun pada pasien PPOK inflamasi tersebut mengalami modifikasi yaitu
menjadi lebih kuat. Hal tersebut masih belum jelas, namun dikatakan ada
pengaruh faktor genetik atau karena adanya stres oksidatif dan proteinase yang
berlebihan di dalam paru-paru.7
Beberapa hal yang mempengaruhi terjadinya PPOK adalah karena adanya
(1) stres oksidatif yang dibentuk oleh asap rokok dan agen berbahaya lainnya,
serta pelepasan dari sel inflamasi teraktivasi seperti makrofag dan neutrophil,
maupun karena adanya penurunan antioksidatif endogen, (2) ketidakseimbangan
protease-antiprotease, (3) peningkatan sel inflamasi seperti makrofag pada
saluran nafas perifer, parenkim paru, dan pembuluh darah pulmoner, yang secara
bersamaan dengan peningkatan aktivasi neutrophil dan peningkatan limfosit, dan
(4) peningkatan mediator inflamasi. Respon inflamasi kronis ini dapat
menginduksi destruksi jaringan parenkimal (menghasilkan emfisema) dan
mengganggu proses perbaikan normal dan mekanisme pertahanan (menghasilkan
fibrosis saluran nafas kecil). Perubahan patologis ini menyebabkan gas
terperangkap dan terjadinya hambatan aliran udara yang progresif.7
Patofisiologi dari PPOK dapat meliputi terjadinya hambatan aliran udara
dan terperangkapnya udara (sehingga menimbulkan hiperinflasi), abnormalitas
pertukaran gas, dan hipersekresi mukus. Bronkodilator yang bekerja pada saluran
10
nafas perifer dapat mengurangi terperangkapnya gas, dengan demikian volume
paru menurun dan memperbaiki gejala dan kapasitas olahraga. Pada pemeriksaan
spirometri PPOK ditandai dengan hasil FEV1/FVC post bronkodilator <0,70.7
Terjadinya hipersekresi mukus disebabkan oleh karena peningkatan
jumlah sel goblet dan pelebaran kelenjar submukosa, keduanya karena iritasi
kronis saluran nafas oleh asap rokok dan agen berbahaya lainnya, serta beberapa
mediator dan protease menstimulasi hipersekresi mukus tersebut.7
Tabel 2.2 Klasifikasi tingkat keparahan PPOK (Berdasarkan pada
Pengukuran FEV1 Postbronkodilator)7
Pada pasien dengan FEV1/FVC <0,70 :
GOLD 1
GOLD 2
GOLD 3
GPLD 4
Ringan
Sedang
Berat
Sangat Berat
FEV1 ≥ 80% predicted
50% FEV1 < 80% predicted
30% FEV1 < 50% predicted
FEV1 < 30% predicted
Terapi farmakologis untuk PPOK ditujukan untuk mengurangi gejala,
menurunkan frekuensi dan beratnya serangan, dan memperbaiki toleransi
aktivitas/olahraga dan status kesehatan. Regimen terapi untuk PPOK ada
berbagai macam jenis, yang penggunaannya disesuaikan dengan tingkat
keparahan gejala, hambatan aliran udara, dan beratnya serangan. Obat yang biasa
digunakan pada pasien PPOK adalah bronkodilator, agen antimuskarinik,
metilxantin, agen antiinflamasi (kortikosteroid inhalasi), terapi inhalasi triple
(glukokortikoid oral, penghambat phosphodiesterase-4, antibiotik), dan
mukolitik.
11
2.3 Pertimbangan Terapi Inhalasi
Terapi inhalasi merupakan suatu jenis terapi yang diberikan melalui
saluran nafas yang bertujuan untuk mengatasi gangguan atau penyakit pada paru-
paru. Tujuan dari terapi inhalasi ini adalah untuk menyalurkan obat langsung ke
target organ yaitu paru-paru, tanpa harus melalui jalur sistemik terlebih dahulu.
Dalam terapi inhalasi, pada prinsipnya sediaan obat yang diberikan dibentuk
menjadi partikel-partikel aerosol terlebih dahulu dengan penggunaan generator
aerosol. Penggunaan obat-obatan secara inhalasi memiliki keuntungan dan
kerugian dalam hal terapi penyakit paru. Adapun keuntungan dan kerugiannya
adalah sebagai berikut.3,9
2.3.1 Keuntungan terapi inhalasi
a. Onset kerja lebih cepat dibandingkan obat oral
b. Dosis yang diberikan kecil
c. Obat langsung menuju paru-paru, sehingga paparan sistemik minimal.
d. Efek samping sistemik lebih jarang dan lebih ringan dibandingkan obat
yang diberikan secara sistemik.
e. Terapi dengan obat inhalasi cenderung tidak menimbulkan nyeri,
dibandingan obat yang diberikan melalui injeksi, dan lebih nyaman.
f. Rangsangan oral inhalasi dapat menggantikan kebiasaan merokok
2.3.2 Kelemahan terapi inhalasi
a. Beberapa variabel (pola nafas yang benar, tatacara penggunaan alat atau
generator aerosol) dapat mempengaruhi deposisi paru dan reproduktifitas
dosis.
12
b. Dosis yang tepat sering tidak tercapai sehingga dapat terjadi kekurangan
atau sebaliknya.
c. Deposisi orofaringeal dapat menyebabkan absorbsi sistemik
d. Iritasi orofaringeal menyebabkan penyumbatan, nausea, vomitus, dan
aerofagi.
e. Membutuhkan peralatan khusus dan mahal.
f. Kesulitan koordinasi antara gerakan tangan dan inhalasi dengan pMDI
yang dapat menurunkan keefektifan.
g. Ketersediaan berbagai macam jenis alat akan membingungkan pasien dan
klinisi.
h. Keterbatasan informasi tentang standarisasi teknik inhalasi kepada klinisi
akan mengurangi keefektifan.
i. Pemberian secara inhalasi lebih kompleks dibandingkan oral.
2.4 Sifat Fisik Aerosol dan Prinsip Dasar Deposisi Partikel Obat Pada Saluran
Nafas
Aerosol merupakan suspensi partikel-partikel zat padat atau cairan di
dalam gas3. Ukuran partikel aerosol yang dikeluarkan oleh alat inhalasi adalah
penting, karena berkaitan dengan sampainya obat yang terinhalasi ke target aksi
di dalam paru-paru 8.
Pada penyakit PPOK, adanya keterlibatan jalan nafas kecil secara
signifikan dalam onset dan propresifitas penyakit tersebut. Sehingga, berdasarkan
lokasinya yang dalam pada paru-paru dan struktur anatominya, saluran nafas
13
kecil tersebut tidak akan mudah untuk dicapai oleh semua jenis ukuran aerosol
yang dihasilkan oleh alat atau generator aerosol.8
Deposisi obat aerosol di dalam saluran nafas terjadi karena adanya
turbulensi dan daya bentur (inertial impaction) yang dapat dipengaruhi oleh
berbagai faktor seperti, cara inhalasi, sifat fisik aerosol, ukuran partikel, dan
keadaan saluran nafas penderita3.
Ukuran partikel obat antara 2-5 mikron terbukti memiliki potensi terbesar
untuk terdeposisi ke seluruh cabang bronkus. Partikel obat berukuran <2 mikron
terdeposisi dalam saluran nafas bronkiolus terminal dan alveolus dengan cara
sedimentasi. Sementara partikel >5 mikron cenderung terdeposisi pada saluran
nafas yang lebih proksimal atau orofaring, yang tidak akan menghasilkan efek
klinis dan menimbulkan peningkatan potensi obat akan tertelan, dan dapat
menimbulkan efek samping melalui penyerapan saluran cerna.8 Deposisi partikel
besar terjadi karena adanya impaksi partikel tersebut di saluran nafas atas (daerah
orofaringeal dan trakeo-bronkial), dimana terjadi kecepatan udara yang tinggi
dan terjadi turbulensi aliran udara10.
Terdapat dua indeks yang digunakan untuk mengkarakterisasi distribusi
ukuran partikel aerosol yaitu mass median aerodynamicdiameter (MMAD), yang
mana sebagian aerosol akan berisi partikel-partikel lebih besar dari MMAD dan
sebagian lagi lebih kecil dari MMAD.3,8 Indeks yang kedua adalah fraksi partikel
halus/fine particle fraction (FPF) yang merupakan proporsi dari diameter partikel
<5 mikron. Kedua indeks ini dapat mempengaruhi bukan hanya jumlah total dari
14
obat yang mencapai paru (deposisi paru total), tetapi juga jumlah obat yang
terdistribusi antara regio paru sentral dan distal.8
2.5 Jenis-jenis Obat Inhalasi
2.5.1 Bronkodilator
Bronkodilator adalah obat yang memiliki mekanisme kerja dengan
merelaksasi otot pernafasan dan melebarkan jalan nafas (bronkus). Umum
digunakan pada penyakit-penyakit paru seperti asma dan penyakit paru
obstruktif kronis (PPOK).6,11
2.5.1.1 Agonis adrenergik inhalasi
Agonis adrenergik yang digunakan untuk terapi bronkospasme, wheezing,
dan obstruksi aliran udara adalah agonis β-adrenergik. Penggunaan klinis dari
agonis β-adrenergik biasanya diberikan melalui inhaler atau nebulizer, bersifat
selektif β2 dan dibagi menjadi terapi kerja pendek dan kerja panjang. Terapi
agonis β2 kerja pendek efektif untuk meredakan dengan cepat keluhan
bronkospasme, wheezing dan obstruksi aliran udara. Agonis β2 kerja panjang
digunakan untuk terapi pemeliharaan untuk memperbaiki fungsi paru dan
mengurangi gejala dan risiko terjadinya serangan.12
Agonis β2 kerja pendek berikatan dengan reseptor adrenergik β2 yang
berada pada membran plasma sel otot polos, epitel, endotel, dan jenis sel saluran
nafas lainnya. Ikatan ini menyebabkan stimulasi protein G untuk mengaktivasi
adenylate cyclase converting adenosine triphosphate (ATP) menjadi cyclic
adenosine monophosphate (cAMP), sehingga terjadi penurunan pelepasan
kalsium dan perubahan membran potensial yang menyebabkan relaksasi otot
15
polos. Agonis β2 kerja panjang mempunyai mekanisme yang sama, namun
memiliki durasi kerja yang lebih panjang. Hal ini berkaitan dengan ikatan obat
dengan reseptor yang dapat berlangsung lebih lama.12
Agonis β2 kerja pendek seperti albuterol, levalbuterol, metaproterenol,
dan pirbuterol memiliki onset kerja dalam beberapa menit dan durasi kerja 4-6
jam, sehingga ditujukan sebagai terapi pereda atau penyelamat terhadap gejala-
gejala bronkospasme dan hambatan saluran nafas lainnya, yang dapat
mengancam nyawa penderita. Agonis β2 kerja panjang biasanya digunakan untuk
terapi pemeliharaan dan dapat dikombinasikan dengan kortikosteroid inhalasi.
Penyerapan sistemik dari agonis β2 dapat menyebabkan beberapa efek
samping dan kebanyakan tidak menimbulkan masalah yang serius. Sebagian
besar terapi agonis β2 dapat menimbulkan tremor dan takikardi secara sekunder
akibat stimulasi langsung reseptor β2 pada otot skelet atau vaskulatur. Pada
serangan asma berat agonis β2 dapat menyebabkan penurunan sementara pada
tekanan oksigen arterial sebanyak 5 mmHg atau lebih, akibat adanya vasodilatasi
yang dimediasi β2 pada keadaan ventilasi paru yang buruk. Hiperglikemia,
hipokalemia, dan hipomagnesemia juga dapat terjadi, namun efek samping ini
cenderung berkurang dengan penggunaan yang regular.12
2.5.1.2 Antagonis kolinergik inhalasi
Antikolinergik umum digunakan untuk terapi pemeliharaan atau terapi
kontrol dan terapi serangan akut pada penyaki-penyakit obstruksi saluran nafas.
Sistem sarat parasimpatis adalah memegang peranan utama untuk mengatur
tonus bronkomotor dan antikolinergik inhalasi bekerja pada reseptor muskarinik
16
pada saluran nafas untuk mengurangi tonus otot. Penggunaan antikolinergik
inhalasi pada kasus PPOK sebagai pemeliharaan dan terapi serangan akut telah
dipertimbangkan sebagai terapi standar. Pada kasus asma antikolinergik lebih
direkomendasikan untuk terapi serangan akut saja.12
Terdapat tiga subtipe dari reseptor muskarinik yang ditemukan pada
saluran nafas manusia. Reseptor muskarinik 2 (M2) terdapat pada sel
postganglion dan bertanggung jawab untuk membatasi produksi asetilkolin dan
melindungi dari terjadinya bronkokonstriksi. M2 bukanlah target dari
antikolinergik. Reseptor muskarinik 1 (M1) dan muskarinik 3 (M3) bertanggung
jawab untuk terjadinya bronkokonstriksi dan produksi mukus dan merupakan
target kerja dari obat antikolinergik inhalasi. Asetilkolin berikatan dengan M1
dan M3 dan menyebabkan kontraksi otot polos melalui peningkatan cyclic
guanosine monophosphate (cGMP) atau oleh aktivasi dari protein G. Protein
tersebut kemudian mengaktivasi fosfolipase C untuk memproduksi inositol
trifosfat (IP3), yang akan menyebabkan pelepasan kalsium dari penyimpanan
intraseluler dan aktivasi dari myosin light chain kinase yang kemudian
menyebabkan otot polos berkontraksi. Antikolinergik menghambat kaskade
tersebut dan mengurangi tonus otot polos, dengan mengurangi pelepasan kalsium
intraseluler.12
Terdapat dua antikolinergik inhalasi yang secara khusus disetujui untuk
terapi penyakit obstruksi saluran nafas yaitu11,12 :
a. Ipratropium
17
Ipratropium diklasifikasikan sebagai antikolinergik kerja pendek yang
biasanya sering digunakan untuk terapi PPOK (sebagai terapi serangan
akut dan pemeliharaan) dan asma (terapi serangan akut). Pasien yang
diterapi dengan ipratropium mengalami peningkatan toleransi olahraga,
penurunan sesak, dan memperbaiki ventilasi.
b. Tiotropium
Tiotropium diklasifikasikan sebagai antikolinergik kerja panjang yang
dapat diberikan sebagai terapi pemeliharaan pada penyakit PPOK.
Penggunaan tiotropium dapat mengurangi terjadinya serangan/eksaserbasi
akut PPOK, gagal nafas, dan penyebab mortalitas lainnya.
2.5.2 Anti Inflamasi Pada Saluran Nafas
Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran nafas yang
mempunyai komponen inflamasi sebagai bagian dari patogenesisnya. Walaupun
inflamasi adalah patogenesis umum, karakteristik dan elemen seluler yang
dominan terlibat pada kedua penyakit tersebut adalah berbeda. Pada PPOK,
komponen sel-sel inflamasi yang dominan terlibat adalah neutrophil, makrofag,
limfosist T CD8+, dan eosinophil. Sementara pada asma, peran eosinophil paling
dominan, diikuti oleh sel mast, limfosit T CD4+, dan makrofag.12
2.5.2.1 Kortikosteroid Inhalasi
Pada terapi asma kortikosteroid inhalasi berfungsi untuk mengurangi
reaksi inflamasi yang terjadi, sehingga dapat memperbaiki fungsi paru, dan
mengurangi serangan akut. Pada terapi PPOK penggunaan kortikosteroid inhalasi
sebagai monoterapi tidak disarankan dan biasanya dikombinasikan dengan
18
agonis adrenergik kerja panjang (LABA). kombinasi dari kedua obat tersebut
akan bekerja secara sinergis dan sangat bermanfaat untuk mengurangi
inflamasi.12
Reseptor glukokortikoid alfa (GR) berada pada sitoplasma dari sel epitel
saluran nafas yang merupakan target kerja primer dari kortikosteroid inflamasi.
Adanya difusi pasif dari steroid ke dalam sel akan memberikan kesempatan pada
GR untuk berikatan dengan ligand steroid, sehingga nantinya dapat
menurunkan ekspresi dari produk gen inflamasi.12 Obat ini memiliki aksi penting
dalam menghambat limfositik dan eosinofilik dari mukosa saluran nafas.6,11
Kortikosteroid inhalasi digunakan pada terapi asma sebagai regimen
terapi multimodal dan ditambahkan ketika adanya peningkatan keparahan dan
frekuensi dari serangan asma. Penggunaannya sebagai terapi PPOK dibatasi
untuk PPOK berat sampai sangat berat, dan dikombinasi dengan LABA.
Walaupun tidak adanya perbaikan dalam mortalitas dengan penggunaan terapi
kombinasi tersebut, namun dilaporkan adanya peningkatan dalam status
kesehatan dan fungsi paru seiring dengan terjadinya penurunan serangan.12
Efek samping dapat muncul dari penggunaan kortikosteroid inhalasi pada
asma dan PPOK. Berdasarkan suatu penelitian metaanalisis dilaporkan bahwa
penggunaannya dapat meningkatan insiden terjadinya pneumonia. Efek samping
lainnya adalah meliputi kandidiasis orofaringeal, faringitis, mudah memar,
osteoporosis, katarak, peningkatan tekanan intraokular, disfonia, batuk, dan
gangguan pertumbuhan (pada anak-anak).12
19
Pemberian terapi kortikosteroid inhalasi merupakan cara yang efektif
untuk menurunkan efek samping sistemik yang dapat ditimbulkan. Beberapa
jenis kortikosteroid inhalasi yang lipid-soluble yaitu beklometason, budesonide,
flunisolide, flutikason, triamsinolone, dan mometasone.11
2.5.3 Obat-Obatan Penunjang : Mobilisasi secret bronkus
2.5.3.1 Mukolitik
Mukolitik merupakan obat yang memiliki aksi kerja memutus rantai
panjang senyawa organik yang membentuk sputum atau mukus sehingga
terpecah menjadi molekul yang lebih kecil dan mudah bergerak. Hal ini akan
menyebabkan mukus menjadi lebih mudah untuk dibersihkan oleh silia yang
terdapat pada sel epitel yang ada pada sepanjang saluran nafas.3
Tabel 2.3 Dosis glukokortikosteroid inhalasi dan perkiraan kesamaan
potensi
20
Salah satu jenis mukolitik kuat adalah asetilsistein. Aksi mukolitik
asetilsistein berhubungan dengan kelompok sulfhidril pada molekul, yang
bekerja langsung untuk memecahkan ikatan disulfida antara ikatan molekular
mukoprotein, menghasilkan depolimerisasi dan menurunkan viskositas mukus.
Aktivitas mukolitik pada asetilsistein meningkat seiring dengan peningkatan
pH. Pemberian asetilsistein dapat melalui inhalasi dengan menggunakan
nebulizer.11
2.5.3.2 Proteolitik
Tujuan pemberian proteolitik adalah untuk menghancurkan protein pada
sputum yang purulen, melalui aktivitas enzim proteinase. Jenis proteolitik yang
sering dipakai adalah tripsin dan dornase. Pemakaian secara aerosol masih
terbatas, dimana dosis inhalasinya adalah 100.000 U 2-3 kali per hari.3
2.6 Jenis-Jenis Generator Aerosol pada Terapi Inhalasi
Masalah yang sering ditemukan pada pengguanaan perangkat inhalasi
seperti inhaler adalah deposisi partikel aerosol pada daerah orofaringeal dan
saluran nafas atas, dan kurangnya koordinasi antara aktivasi perangkat dan
inhalasi karena kurangnya pemahaman dari pasien. Efektivitas dari pengantaran
obat ke pulmonal juga bergantung pada pola nafas pasien. Seperti halnya,
inspirasi yang cepat tidak disarankan ketika menggunakan pressurized metered
dose inhaler (pMDI) dan nebulizer karena dapat membuat turbulensi aliran udara
dan kecepatan yang tinggi akan meningkatkan deposisi obat pada saluran nafas
atas, sementara inspirasi yang cepat dibutuhkan pada pemakaian dry powder
inhaler (DPI).10,13 Hal yang paling penting adalah menjelaskan kepada pasien
21
tentang penggunaan alat inhalasi yang benar, dan memastikan pasien mengerti
agar obat dapat bekerja sesuai target dan pasien patuh terhadap pengobatan.
Adapun perangkat pemberian terapi inhalasi secara umum
diklasifikasikan kedalam 3 kategori yaitu
2.6.1 Pressurized Metered Dose Inhaler (pMDI)
Pressurized metered dose inhaler (pMDI) adalah tipe inhaler yang paling
dikenal untuk terapi penyakit respirasi lokal seperti asma dan PPOK. Komponen
struktural dari pMDI konvensional adalah tabung, metering valve, penggerak
(actuator), dan corong mulut (mouth piece). Tabung tersebut terbuat dari bahan
inert yang mampu menahan tekanan tinggi yang diperlukan untuk menjaga agar
propelan (bahan yang mudah menguap menjadi gas) dalam keadaan cair.10
Metering valve di rancang untuk mengirimkan jumlah aerosol yang tepat (20-100
μL) setiap kali perangkat digerakkan atau per aktuasi.10
Formulasi obat pMDI dapat berupa larutan atau suspensi dalam propelan
tunggal atau propelan campuran dan mungkin termasuk pelarutnya seperti etanol
atau surfaktan untuk melarutkan obat atau stabilisasi suspensi obat. Penggunaan
pMDI adalah untuk administrasi obat bronkodilator dan kortikosteroid. Idealnya,
propelan harusnya bersifat nontoksik, tidak mudah terbakar, dan sesuai dengan
formulasi dan menyediakan tekanan penguapan yang konsisten.10 Adapun
beberapa tipe dari pMDI yaitu pMDI konvensional, breath-actuated pMDI, dan
soft mist inhalers.9
Ukuran partikel aerosol yang terbentuk adalah berada dalam rentang
fraksi partikel halus yang memiliki diameter aerodinamik < 5 μm. Beberapa
22
faktor yang dapat mempengaruhi performa pMDI dan pengantaran obat aerosol.
Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah pengocokan tabung, temperatur
penyimpanan alat, ukuran nozzle dan kebersihannya, jeda antar aktuasi, dan
priming (pelepasan satu atau lebih semprotan ke udara).9 Formulasi obat yang
dapat diberikan dengan pMDI adalah beta-2 agonis, antikolinergik, kombinasi
antikolinergik/beta-2 agonis, kortikosteroid, dan obat anti asmatik lainnya.
Adapun keuntungan dan kerugian dari penggunaan pMDI adalah9:
Keuntungan :
a. Portable dan ringan
b. Kenyamanan dosis ganda
c. Waktu terapi yang singkat
d. Dapat memancarkan dosis obat yang berulang
e. Tidak memerlukan persiapan obat
f. Sulit untuk terkontaminasi
Kerugian
a. Memerlukan koordinasi antara tangan dan nafas
b. Memerlukan kerjasama dan koordinasi pasien, pola inhalasi yang sesuai,
dan tindakan menahan nafas.
c. Konsentrasi dan dosis obat tetap
d. Dapat terjadi reaksi propelan pada beberapa pasien
e. Dapat terjadi aspirasi benda asing atau kotoran yang terdapat pada corong
mulut
f. Deposisi orofaringeal yang tinggi
23
g. Kesulitan dalam menentukan sisa dosis dalam tabung tanpa adanya
penghitung dosis.
Tabel 2.4 Formulasi Obat-Obat Aerosol Yang Dapat Diberikan Dengan
Generator Jenis pMDI9
Golongan Nama obat
Bronkodilator kerja pendek Albuterol sulfate
Levalbuterol
Ipratoprium bromide
Ipratoprium bromide dan Albuterol sulfate
Bronkodilator kerja panjang -
Kortikosteroid Beclomethasone
Ciclesonide
Flunisonide
Obat kombinasi Fluticasone dan salmeterol
Budesonide dan formoterol
Mometasone dan formoterol
2.6.2 Dry Powder Inhaler (DPI)
Dry powder inhaler (DPI) merupakan inspiratory flow-driven inhalers
yang mengirimkan formulasi bubuk kering ke paru-paru dengan mengandalkan
usaha nafas pasien baik laju maupun volume inspirasi. DPI dikembangkan untuk
mengatasi kesulitan dalam mengguakan inhaler jenis pMDI.9,13 Berdasarkan
Gambar 2.3 Inhaler pMDI 9
24
rancangannya, DPI dapat diklasifikasikan menjadi 3 kategori dari dosis
kontainernya yaitu DPI dosis tunggal, DPI dosis multipel, dan DPI power-
assisted atau DPI aktif.9
Keuntungan utama dari DPI adalah tidak memerlukan aktivasi koordinasi
seperti pada pMDI, namun terdapat kesamaan dalam hal perbedaan deposisi paru
dari jenis alat yang berbeda. Perangkat DPI dapat bersifat flow-dependent yang
menyebabkan variasi pengiriman obat ke paru-paru berdasarkan arus/aliran
inhalasi pasien dan dapat bersifat dependen terhadap energi atau kekuatan
inhalasi. Namun telah dikembangkan inovasi pada mesin dan kimia dari DPI
yang aktif pada arus inhalasi pasien yang rendah dan dapat mencapai kadar
deposisi paru yang lebih baik.8
Tabel 2.5 Formulasi Obat-Obat Aerosol Yang Dapat Diberikan Dengan
Generator Jenis DPI9
Golongan Nama obat
Bronkodilator kerja pendek Aclidinium bromide
Bronkodilator kerja panjang
Formoterol
Indacaterol
Salmeterol
Tiotropium
Kortikosteroid Budesonide
Flunisolide
Mometasone
Obat kombinasi Fluticasone dan salmeterol
Obat lain Zanamivir
Tobramycin
25
2.6.3. Nebulizer
Terdapat dua jenis nebulizer yaitu jet dan ultrasonic nebulizer, yang
membedakan dalam kekuatan yang digunakan untuk membentuk aerosol dari
larutan cair. Nebulizer dapat menghasilnya partikel aerosol berukuran 1-5
mikron. Teknik inhalasi ini tidak memerlukan koordinasi antara inhalasi pasien
dan aktuasi alat, sehingga sangat cocok pemakaiannya pada pasien pediatri, tua,
pasien tidak sadar, atau yang tidak bisa menggunakan teknik inhalasi pMDI atau
DPI. Nebulizer memiliki kemampuan mengantarkan dosis obat yang lebih besar
dibandingkan dengan perangkat aerosol lainnya, namun perlu waktu pemberian
obat yang lebih lama.10
Gambar 2.4 Inhaler DPI 9
26
a. Jet Nebulizer
Jet nebulizer dioperasikan dengan compressed air atau oksigen yang
bertujuan untuk aerolisasi cairan obat. Jet nebulizer ini mengalirkan gas
terkompresi melalui sebuah jet, menyebabkan timbulnya area bertekanan
negatif. Larutan yang mengalami aerosolisasi masuk ke dalam aliran gas dan
diubah menjadi liquid film. Film ini bersifat tidak stabil dan pecah menjadi
partikel-partikel aerosol karena gaya tegangan permukaan.9
b. Ultrasonic Nebulizer
Pada ultrasonic nebulizer, gelombang suara diciptakan karena getaran
dari kristal piezoelektrik pada frekuensi tinggi yang memecah larutan menjadi
partikel-partikel aerosol kecil. Alat ini tidak sepenuhnya portable karena
masih memerlukan suplai listrik untuk pengisian/charging. Jika dibandingkan
dengan jet nebulizer, nebulizer jenis ini lebih mahal.
Gambar 2.5 Jet Nebulizer
9
27
Walaupun ultrasonic nebulizer dapat melakukan nebulisasi larutan
lebih cepat daripada jet nebulizer dan alat ini cenderung tidak cocok untuk
suspensi dan kristal piezoelektrik dapat meningkatkan suhu dan
menonaktifkan obat-obat protein seperti dornase alfa. Alat ini juga tidak
efisien digunakan untuk nebulisasi cairan dan suspensi kental dibandingkan
dengan jet nebulizer.9,
Ultrasonic nebulizer dapat secara spesifik untuk nebulisasi obat seperti
pentamid aerosol, digunakan ketika kontaminasi obat aerosol dengan
lingkungan sekitar harus dihindari. Jenis nebulizer ini dilengkapi dengan
katub dan filter satu arah untuk mencegah kontaminasi ke lingkungan. Selain
itu nebulizer ini juga digunakan secara spesifik untuk aerosolisasi ribavirin,
karena terdapat ruang pengeringan yang akan menurunkan MMAD sekitar 1,3
Gambar 2.6 Ultrasonic Nebulizer
9
28
m. Hal ini dijadikan alasan karena ribavirin secara potensial bersifat
teratogenik.9
Tabel 2.6 Formulasi obat yang dapat diberikan dengan menggunakan
nebulizer9,10
Golongan Nama Obat
2-adrenergic
agonists
Formoterol fumarate inhalation solution
Salbutamol inhalation solution
Arformoterol tartrate (r-formoterolinhalation solution)
Levalbuterol (r-salbutamol) inhalation solution
Metaproterenol sulfate
Nonsteroidal anti-
inflammatories
Cromolyn sodium
Antibiotics Tobramycin inhalation solution
Colistin inhalation solution
Aztreonam inhalation solution
Corticosteroids Budesonide inhalation suspension
Fluticasone inhalation suspension
Mucolytics Mucolytics Recombinant human DNase
Hypertonic saline inhalation solution
Prostacyclin Iloprost
Anticholinergics Ipratropium bromide
Anti-infective Pentamidine
Dari sudut pandang perangkat, variable yang perlu dioptimalkan untuk
menghasilkan dosis yang akurat dan konsisten dengan nebulizer adalah9 :
a. Volume larutan obat yang dimuatkan ke perangkat (dengan
mempertimbangkan dead volume)
b. Viskositas atau kekentalan larutan obat
c. Aliran udara dan tekanan dalam perangkat nebulizer
d. Tabung, masker, atau mouthpiece yang digunakan
Keuntungan dan kelebihan menggunakan nebulizer9 :
Keuntungan :
29
a. Mampu mengaerosolisasi/menguapkan berbagai macam larutan obat.
b. Mampu menguapkan campuran obat (> satu obat)
c. Membutuhkan kerjasama atau koordinasi minimal dari pasien
d. Sangat berguna pada pasien yang masih anak-anak, tua, pasien yang
kondisinya lemah.
e. Konsentrasi dan dosis obat dapat dimodifikasi
f. Pola nafas yang normal dapat digunakan dan menahan nafas (breath-
hold) tidak diperlukan untuk efikasi.
Kerugian :
a. Waktu terapi 5-25 menit
b. Peralatan yang diperlukan mungkin besar dan tidak praktis
c. Membutuhkan sumber kelistrikkan
d. Adanya potensi obat mengenai mata dan menggunakan sungkup muka
e. Keberagaman dalam karakteristik performa pada jenis, merek, dan model
yang berbeda
f. Merangkai dan membersihkan perangkat diperlukan. Kontaminasi dapat
terjadi pada ketidaksesuaian pengaturan obat dan pembersihan yang tidak
adekuat.
30
2.7 Aplikasi Terapi Inhalasi Pada Pasien Dengan Ventilasi Mekanik
Regimen obat inhalasi yang paling sering digunakan di unit perawatan
intensif (ICU) adalah mukolitik, kortikosteroid inhalasi, dan bronkodilator jenis
agonis beta adrenergik dan antikolinergik, disamping pemberian obat inhalasi
lainnya. Indikasi pemberian bronkodilator pada pasien dengan bantuan ventilator
adalah pasien dengan asma berat, PPOK, serangan bronkospasme akut,
peningkatan resistensi saluran nafas, hiperinflasi dinamik atau PEEP (positive
end expiratory pressure) intrinsik, kesulitan dalam penyapihan (weaning), dan
ketergantungan ventilator kronik. Tujuan dari terapi bronkodilator adalah untuk
mengatasi bronkokonstriksi, dan/atau mengatasi sesak (dyspnea). Pemberian baik
agonis beta adrenergik dan antikolinergik inhalasi dapat memberikan efek
bronkodilatasi yang signifikan pada pasien dengan ventilator. Kombinasi dari
fenoterol dan ipratoprium bromide dikatakan lebih efektif daripada hanya
pemberian ipratoprium saja pada pasien ventilator dengan PPOK. Kombinasi
antara kortikosteroid inhalasi seperti budesonide dan beta agonis kerja panjang
(LABA) seperti formoterol adalah terapi yang paling efektif untuk terapi kontrol
asma dan serangan asma ringan hingga sedang.14
Faktor-faktor spesifik yang daoat mempengaruhi penyaluran obat inhalasi
pada pasien dengan ventilasi mekanik adalah posisi pasien, formulasi obat, suhu,
ukuran pipa endotrakeal, keberadaan obstruksi saluran nafas atau ventilator yang
tidak sinkron, pola aliran, laju respirasi, dosis dan frekuensi yang diterapkan atau
posisi nebulizer dalam rangkaian. Semakin tingginya turbulensi maka akan
menyebabkan semakin rendahnya deposisi obat pada saluran nafas distal.
31
Pengaturan yang optimal dari nebulisasi tidak dapat ditoleransi oleh banyak
pasien (seperti pada pasien dengan hipoksemia yang berat berhubungan dengan
sindrom gangguan pernafasan akut atau pneumonia) dan keperluan penambahan
sedasi dan relaksasi dalam, yang akan memperpanjang durasi ventilasi
mekanik.15
Sekarang ini nebulizer dan pMDI dengan atau tanpa spacer, adalah dua
jenis perangkat yang tersedia untuk digunakan pada pasien dengan ventilasi
mekanik. Berdasarkan lokasi kerjanya, perangkat memproduksi ukuran partikel
yang sesuai untuk digunakan.15. Terdapat variasi dalam efikasi antar jenis
nebulizer dan antara nebulizer dengan perangkat lainnya. Efek ini ditekankan
ketika ditambah dengan efek mode ventilator dan mekanisme paru yang
berbeda.15
Nebulizer membutuhkan waktu yang lebih panjang untuk menyalurkan
dosis standar jika dibandingankan dengan perangkat lainnya. Penggunaan
nebulizer juga berisiko meningkatkan risiko terjadinya pneumonia nosokomial
apabila tidak dibersihkan atau desinfeksi secara adekuat. Apabila dibandingkan
dengan jet nebulizer, vibrating mesh nebulizer (VMN) dapat meningkatkan
pengiriman obat 2-4 kali, namun pemilihan nebulizer didasarkan pada formulasi
obat dan lokasi pengiriman yang diinginkan.
Pressurized metered dose inhaler (pMDI) mudah untuk digunakan,
memerlukan waktu yang lebih sedikit, menyediakan dosis yang terpercaya dan
mempunyai risiko minimal terjadinya kontaminasi bakteri ketika dibandingkan
dengan nebulizer. Ketika penggunaan alat ini ditambahkan dengan collapsible
32
spacer pada jalur atau sirkuit, sirkuat tidak akan perlu diputus koneksinya. pMDI
juga lebih efektif dari segi biaya daripada nebulizer. namun, hanya formulasi
antiinflamasi dan bronkodilator saja yang tersedia untuk perangkat ini.pMDI
mungkin lebih efektif dibandingkan dengan nebulizer.15
Pada pengaturan posisi generator aerosol, ketika menggunakan vibrating
mesh, ultrasonic nebulizer maupun pMDI,diposisikan 15 cm dari Y-piece pada
ekstremitas inspirasi dari sirkuit (menghasilkan penyaluran obat paling tinggi).
Pada ventilasi dengan pola aliran yang konstan, VMN dihubungkan dengan pipa
endotrakeal dapat bersifat efektif.15 Namun, jet nebulizer memiliki kinerja yang
lebih baik ketika diposisikan dekat dengan ventilator.
Berkaitan dengan temperatur gas aerosol dan kelembaban sirkuit, pada
pasien dengan ventilasi mekanik temperatur yang disarankan adalah 34-410C
(rata-rata 370C) dan kelembaban relatif 95-100% diperlukan untuk mencegah
kehilangan panas. Humidifikasi diperlukan untuk mencegah mengeringnya
sekresi, menggumpalnya mukus dan atelektasis. Terdapat dua metode utama
humidifikasi yaitu pasif (heat and moisture humidifier) dan aktif (heated
humidifier). Humidifikasi dikatakan memiliki efek yang signifikan terhadap
penyaluran obat aerosol, karena efek higroskopik dari humidifikasi mungkin
akan menyebabkan pertumbuhan ukuran partikel 2-3 kali saat melewati saluran
nafas.15
Karakteristik pernafasan ventilator memiliki efek penting pada efikasi
penyaluran aerosol. Aliran inspirasi yang lambat, waktu inspirasi yang panjang,
dan volume tidal > 500ml (menggunakan pMDI) berkorelasi baik dengan
33
meningkatkan penyaluran aerosol. Pada ventilator juga terdapat pengaturan untuk
pemberian positive end expiratory pressure (PEEP) yang merupakan salah satu
strategi perlindungan paru. PPEP memiliki efek yang signifikan terhadap pada
ventilasi dan perfusi regional dan dapat mempengaruhi farmakokinetik dari obat
aerosol. Pada penelitian model binatang, ditemukan bahwa PEEP dapat
meningkatkan pembersihan dari obat aerosol. Hal ini dikarenakan perengggangan
dari epitelium alveolar yang meningkatkan distribusi aerosol ke aliran darah.15
Sebagian besar obat hilang pada fase ekshalasi dari ventilasi. Untuk
meminimalisir kehilangan ini, aktuasi dari inhaler maupun nebulizer dapat di
sesuaikan dengan inspirasi. Namun, penggunaaan kombinasi pMDI dengan
spacer dapat menghindari efek sinkronisasi nafas yang buruk. Walaupun efek
sinkronisasi perrnafasan terhadap deposisi obat belum dapat dibuktikan secara
nyata perbedaanya.15
Adapun beberapa formulasi terapi inhalasi yang sering diaplikasikan di rung
perawatan intensif adalah sebagai berikut :
Tabel 2.7 Jenis Terapi Inhalasi yang Umum Dipakai di ICU15
34
Tabel 2.8 Dosis dan Durasi Kerja dari Bronkodilator Inhalasi16
Obat Formulasi Dosis Onset kerja
(menit)
Waktu efek
puncak (menit)
Frekuensi
penggunaan /
hari
2 agonis
Fenoterol
hydrobromide
Larutan :
5mg/mL
Aerosol : 100
g/jet
5-8 tetes
1 jet setiap 5
menit
5-10
15
3-6
Albuterol Aerosol : 100
g/jet
2 jet 5-15 30-60 4-6
Agen Antikolinergik
Ipratropium
bromide
Larutan :
0,25 mg/ml
Aerosol :
20g/jet
20-40 tetes
4 jet
15 90-120 4-6
Tabel 2.9 Faktor yang Dapat Mempengaruhi Deposisi Aerosol pada Saluran
Nafas Selama Ventilasi Mekanik16
35
Tabel 2.10 Strategi Untuk Mendukung Deposisi Obat Pada Paru-Paru
Selama Ventilasi Mekanik16
36
BAB III
KESIMPULAN
Sistem pernafasan memiliki fungsi yang sangat vital, terutama fungsi
pernafasan yang bertanggung menyediakan oksigen bagi tubuh dan membuang
karbon dioksida, disamping fungsi penting lainnya. Sistem pernafasan terdiri dari
saluran nafas dan parenkim paru (yang terdiri dari jutaan alveolus), dimana untuk
menjalankan fungsi dengan baik, kondisi dari kedua komponen tersebut harus dalam
batas normal. Saluran nafas maupun alveolus dapat mengalami gangguan seperti
kolaps pada beberapa penyakit seperti pada penyakit paru obstruktif yaitu asma dan
PPOK.
Asma adalah suatu penyakit obstruksi jalan nafas yang reversible dengan
dikarakteristikan oleh hiperreaktivitas bronkus, bronkokonstriksi, dan inflamasi
saluran nafas kronik. Sementara PPOK adalah suatu penyakit yang ditandai gejala
pernafasan dan hambatan aliran udara persisten karena adanya abnormalitas saluran
nafas dan/atau alveolar yang biasanya disebabkan oleh paparan partikel atau gas
berbahaya/polusi yang signifikan. Regimen obat yang digunakan untuk terapi dari
penyakit tersebut,secara umum berupa bronkodilator untuk melebarkan saluran nafas,
dan anti inflamasi untuk meredakan proses inflames yang terjadi. Selain itu juga ada
beberapa regimen obat lainnya. Pemberian terapi disesuaikan dengan berat ringannya
gejala dan frekuensi serta beratnya serangan.
Terapi dari penyakit tersebut kini telah dikembangkan cara pemberiannya
melalui inhalasi atau disebut sebagai terapi inhalasi. Terapi inhalasi merupakan suatu
36
37
terapi melalui sistem pernafasan yang ditujukan untuk membantu mengembalikan
atau memperbaiki fungsi pernafasan pada berbagai kondisi, penyakit, ataupun cidera.
Terapi ini telah lama dikembangkan dan kini sudah diterima secara luas sebagai salah
satu terapi yang berkaitan dengan penyakit-penyakit seperti asma dan PPOK, selain
pemberian dengan cara peroral, injeksi intramuskular, dan intravena.
Tentunya tidak semua obat dapat diberikan melalui inhalasi. Adapun beberapa
obat yang termasuk ke dalam terapi inhalasi adalah bronkodilator, antiinflamasi
seperti kortikosteroid, mukolitik, serta proteolitik. Dimana pemberian obat secara
inhalasi menggunakan teknik atau perangkat yang khusus. Adapun teknik pemberian
terapi inhalasi secara umum diklasifikasikan kedalam 3 kategori yaitu pressurized
metered dose inhaler (pMDI), dry powder inhaler (DPI) dan nebulizer. Pemilihan
teknik disesuaikan penderita.
38
DAFTAR PUSTAKA
1. Hou S, Wu J, Li X. Practical, regulatory and clinical considerations for
development of inhalation drug products. Asian Journal of Pharmaceutical
Sciences. 2015;10(6):490-500.
2. Maccari J, Teixeira C, Gazzana M. Inhalation therapy in mechanical
ventilation. Journal Brasileiro de Pneumologia [Internet]. 2015 [cited 13 May
2017];41(5):467. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4635094/pdf/1806-3713-
jbpneu-41-05-00467.pdf
3. Mangku G, Senapathi TGA. Terapi Cairan. Ilmu Anestesia dan Reanimasi.
Indeks Jakarta. 2017: 243-56.
4. Widmaier. Vander Sherman Luciano's Human Physiology. 9th ed. McGraw-
Hill Ryerson; 2004.
5. Barrett K, Barman S, Boitano S, Brooks H. Ganong's Review of Medical
Physiology 24th Edition. 24th ed. New York: McGraw-Hill Medical Publishing
Division; 2012.
6. Stoelting R, Hines R, Marschall K. Handbook for Stoelting's anesthesia and co-
existing disease. 7th ed. Philadelphia, PA: Elsevier/Saunders; 2017.
7. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD).Global
Strategy for the Diagnosis, Management and Prevention of COPD. 2017.
Available from: http://goldcopd.org/gold-2017-global-strategy-diagnosis-
management-prevention-copd/
8. Bonini M, Usmani O. The importance of inhaler devices in the treatment of
COPD. COPD Research and Practice [Internet]. 2015 [cited 13 May
2017];1(1):2-9. Available from:
https://copdrp.biomedcentral.com/articles/10.1186/s40749-015-0011-0
9. Gardenhire D, Ari A, Hess D. A Guide To Aerosol Delivery Devices For
Respiratory Therapists [Internet]. 3rd ed. America: American Association for
38
39
Respiratory Care; 2013 [cited 13 May 2017]. Available from:
http://www.irccouncil.org/newsite/members/aerosol_guide_rt.pdf
10. Garcia-Contreras L, Ibrahim M, Verma R. Inhalation drug delivery devices:
technology update. Medical Devices: Evidence and Research [Internet]. 2015
[cited 13 May 2017];:131. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4334339/pdf/mder-8-131.pdf
11. Katzung B. Basic and clinical pharmacology. 9th ed. Boston: McGraw-Hill;
2004.
12. Shafer S, Rathmell J, Flood P. Stoelting's pharmacology and physiology in
anesthetic practice. 5th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2015.
13. Roche N, Chrystyn H, Lavorini F. Effectiveness Of Inhaler Devices In Adult
Asthma And COPD. European Medical Journal. 2013;1:64-65.
14. Ari A, Fink J, Dhand R. Inhalation Therapy in Patients Receiving Mechanical
Ventilation: An Update. Journal of Aerosol Medicine and Pulmonary Drug
Delivery. 2012;25(6):319-332.
15. Dhanani J, Fraser J, Chan H, Rello J, Cohen J, Roberts J. Fundamentals of
aerosol therapy in critical care. Critical Care. 2016;20(1).
16. Maccari J, Teixeira C, Gazzana M, Savi A, Dexheimer-Neto F, Knorst M.
Inhalation therapy in mechanical ventilation. Jornal Brasileiro de Pneumologia.
2015;41(5):467-472.