Teori Dalam Hukum Kontrak
-
Upload
ramdan-prayudi -
Category
Documents
-
view
428 -
download
1
Transcript of Teori Dalam Hukum Kontrak
Teori Dalam Hukum Kontrak
Oleh : M. Yusrizal, SH., MKn.
A. Teori Kepentingan (UtilitarianismeTheory) dari Jeremy Bentham.
Kebebasan berkontrak adalah refleksi dari perkembangan paham pasar bebas yang
dipelopori oleh Adam Smith. Adam Smith dengan teori ekonomi klasiknya mendasari
pemikirannya pada ajaran hukum alam, hal yang sama menjadi dasar pemikiran Jeremy Bentham
yang dikenal dengan utilitarianisme. Utilatarianism dan teori klasik ekonomi laissez faire[1],
dianggap saling melengkapi dan sama-sama menghidupkan pemikiran liberlis individualistis.[2]
Jeremy Bentham dalam bukunya “Introduction to the Morals and Legislation” berpendapat
bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang.
Menurut Teory Utilitis, tujuan hukum ialah menjamin adanya kebahagian sebesar-besarnya pada
orang sebanyak-banyaknya. Kepastian melalui hukum bagi perseorangan merupakan tujuan
utama dari pada hukum.[3] Dalam hal ini pendapat Bentham dititik beratkan pada hal-hal yang
berfaedah dan bersifat umum.[4]
Peraturan-peraturan yang timbul dari norma hukum (kaedah hukum), dibuat oleh
penguasa Negara, isinya mengikat setiap orang dan pelaksanaannya dapat dipertahankan dengan
segala paksaan oleh alat-alat Negara. Keistimewaan dari norma hukum justru terletak dalam
sifatnya yang memaksa, dengan sanksinya berupa ancaman hukuman.[5] Bahwa undang-undang
adalah keputusan kehendak dari satu pihak; perjanjian, keputusan kehendak dari dua pihak;
dengan kata lain, bahwa orang terikat pada perjanjian berdasar atas kehendaknya sendiri, pada
undang-undang terlepas dari kehendaknya.[6]
B. Teori Kedaulatan Hukum dari Krabbe
Dikatakan Krabbe: “aldus moet ook van recht de heerscappij gezocht worden in de
reactie van het rechtsgevoel, en ligt dus het gezag niet buiten maar in den mens”, kurang lebih
artinya, demikian halnya dengan kekuasan hukum yang harus kami cari dari dalam reaksi
perasaan hukum; jadi, kekuasaan hukum itu tidak terletak diluar manusia tetapi didalam manusia.
Hukum berdaulat yaitu diatas segala sesuatu, termasuk Negara. Oleh karena itu menurut Krabbe;
Negara yang baik adalah Negara hukum (rechtstaat), tiap tindakan Negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada hukum.[7]
Azas kebebasan berkontrak dalam melakukan suatu perjanjian merupakan bentuk dari
adanya suatu kedaulatan hukum yang dipunyai oleh setiap individu dalam melakukan suatu
perbuatan hukum. Setiap individu menurut kepentingannya secara otonom berhak untuk
melakukan perjanjian dengan individu lain atau kelompok masyarakat lainnya.
C. Teori 3 P [8]
Teori ini didasarkan kepada pemilikiran Scoott J. Burham yang mendasarkan dalam
penyusunan suatu kontrak haruslah dimulai mendasari dengan pemikiran-pemikiran sebagai
berikut:
1. Predictable, dalam perancangan dan analisa kontrak seorang darfter harus dapat meramalkan
atau melakukan prediksi mengenai kemungkinan-kemngkinan apa yang akan terjadi yang ada
kaitannya dengan kontrak yang disusun.
2. Provider, yaitu Siap-siap terhadap kemungkinan yang akan terjadi.
3. Protect of Law, perlindungan hukum terhadap kontrak yang telah dirancang dan dianalisa
sehingga dapat melindungi klien atau pelaku bisinis dari kemungkinan kemungkin terburuk
dalam menjalankan bisnis.
Lebih dari seabad yang lalu (tahun 1861), ahli hukum Inggris yang masyur Sir Hendry
Maine menerbitkan buku berjudul Ancient Law (Hukum Kuno). Dalam bagian yang terkenal.
Maine mencoba menjelaskan bagaimana hukum berevolusi selama bertahun-tahun pada
masyarakat yang “progresif” (yaitu, yang modern). Maine menunjukan bahwa pada masyarakat
seperti itu hukum begerak “dari satus ke kontrak”. Maksudnya, hubungan hukum dalam
masyarakat modern tidak tergantung secara khusus pada kelahiran atau kasta; hubungan hukum
itu tergantung pada perjanjian sukarela.[9] Kontrak adalah perangkat hukum yang umumnya
berkenaan dengan perjanjian sukarela.[10]
Hukum kontrak di Indonesia diatur dalam Buku III KUHPerdata Bab Kedua yang
mengatur tentang perikatan-perikaan yang dilahirkan dari kontrak atau persetujuan. Pengertian
kontrak dengan persetujuan adalah sama seperti terlihat yang didefinisikan pada pasal 1313
KUHPerdata. Hukum kontrak hanya mengatur aspek tertentu dari pasar dan mengatur jenis
perjanjian tertentu.[11] Sekalipun demikian mungkin kontrak adalah bagian yang kurang
menonjol dari hukum yang hidup (living law) dibandingkan bidang lain yang berkembang
berdasarkan hukum kontrak atau pemikiran tentang kontrak.[12]
Secara akademis, terdapat berbagai macam teori tentang kontrak, yang masing-
masingnya mencoba menjelaskan berdasarkan pengelompokannya dan kriterinya masing-
masing. Menurut Munir Fuady ada beberapa teori hukum tentang kontrak, yaitu:[13]
D. Teori-teori berdasarkan Prestasi Kedua Belah Pihak.
Teori-teori berdasarkan prestasi kedua belah pihak, menurut Roscoe Pound, sebagaimana yang
dikutib Munir Fuady terdapat berbagai teori kontrak:[14]
1. Teori Hasrat (Will Theory). Teori hasrat ini menekankan kepada pentingnya “hasrat” (will atau
intend) dari pihak yang memberikan janji. Ukuran dari eksistensi, kekuatan berlaku dan
substansi dari suatu kontrak diukur dari hasrat tersebut. Menurut teori ini yang terpenting dalam
suatu kontrak bukan apa yang dilakukan oleh para pihak dalam kontrak tersebut, akan tetapi apa
yang mereka inginkan.
2. Teori Tawar Menawar (Bargaining Theory). Teori ini merupakan perkembangan dari teori
“sama nilai” (equivalent theory) dan sangat mendapat tempat dalam Negara-negara yang
menganut system Common Law. Teori sama nilai ini mengajarkan bahwa suatu kontrak hanya
mengikat sejauh apa yang dineosiasikan (tawar menawar) dan kemudian disetujui oleh para
pihak.
3. Teory sama nilai (Equivalent Theory). Teori ini mengajarkan bahwa suatu kontrak baru
mengikat jika para pihak dalam kontrak tersebut memberikan prestasinya yang seimbang atau
sama nilai (equivalent).
4. Teori kepercayaan merugi (Injurious Reliance Theory). Teori ini mengajarkan bahwa kontrak
sudah dianggap ada jika dengan kontrak yang bersangkutan sudah menimbulkan kepercayaan
bagi pihak terhadap siapa janji itu diberikan sehingga pihak yang menerima janji tersebut karena
kepercayaannya itu akan menimbulkan kerugian jika janji itu tidak terlaksana.
E. Teori-teori berdasarkan Formasi Kontrak.
Dalam ilmu hukum ada empat teori yang mendasar dalam teori formasi kontrak, yaitu:
1. Teori kontrak defacto. Kontrak de facto (implied in-fact) dalah kontrak yang tidak pernah
disebutkan dengan tegas tetapi ada dalam kenyataan, pada prinsipnya dapat diterima sebagai
kontrak yang sempurna.
2. Teori kontrak ekpresif. Bahwa setiap kontrak yang dinyatakan dengan tegas (ekpresif) oleh
para pihak baik dengan tertulis ataupun secara lisan, sejauh memenuhi syarat-syarat syahnya
kontrak, dianggap sebagai ikatan yang sempurna bagi para pihak.
3. Teori promissory estoppel. Disebut juga dengan detrimental reliance, dengan adanya
persesuaian kehendak diantara pihak jika pihak lawan telah melakukan sesuatu sebagai akibat
dari tindakan-tindakan pihak lainnya yang dianggap merupakan tawaran untuk suatu ikatan
kontrak.
4. Teori kontrak quasi (pura-pura). Disebut juga quasi contract atau implied in law, dalam hal
tertentu apabila dipenuhi syarat-syarat tertentu, maka hukum dapat dianggap adanya kontrak
diantara para pihak dengan berbagai konsekwensinya, sungguhpun dalam kenyataannya kontrak
tersebut tidak pernah ada.
Asas-asas Hukum Kontrak di Indonesia
Menurut Paul Scholten, asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar yang terdapat di
dalam dan di belakang sistem hukum, masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim yang berkenaan dengan ketentuan-ketentuan
dan keputusan-keputusan individu yang dapat dipandang sebagai penjabarannya.[15] Pada
umumnya asas hukum tidak dituangkan dalam bentuk yang konkrit, misalnya “asas
konsensualitas” yang terdapat dalam pasal 1320 KUHPerdata yaitu, “sepakat mereka yang
mengikatkan diri”. Untuk menemukan asas hukum dicarilah sifat-sifat umum dalam kaedah atau
peraturan yang konkrit.[16]
Dalam tulisannya Johannes Gunawan menyebutkan, ada Asas-asas Hukum Kontrak
yang tersirat dalam Kitab KUHPerdata, yaitu, Asas Kebebasan Berkontrak,Asas Mengikat
Sebagai Undang undang, Asas Konsensualitas, dan Asas Itikad Baik.[17]
1. Asas Kebebasan Berkontrak (Freedom of Contract),
Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak berkaitan erat dengan lahirnya
paham individualisme. Paham individualisme secara embrional lahir pada zaman Yunani yang
kemudian diteruskan oleh kaum epicuristen dan berkembang pesat pada zaman renaissance
melalui ajaran-ajaran antara lain ajaran Hugo de Groot, Thomas Hobbes, John Locke dan
Rousseau.[18] Asas Kebebasan berkontrak terdapat dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.
Kebebasan dalam membuat perjanjian dimana para pihak dapat dengan bebas mengatur hak dan
kewajiban dalam perjanjian yang disepakati. Menurut Subekti dalam Bukunya Hukum
Perjanjian, Asas Kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang
pada dasarnya boleh membuat kontrak (perjanjian) yang berisi dan macam apapun asal tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan keteriban umum.[19] Kebebasan
berkontrak bukan berarti para pihak dapat membuat kontrak (perjanjian) secara bebas, akan
tetapi tetap mengindahkan syarat-syarat sahnya pernjanjian, baik syarat umum sebagaimana yang
ditentukan oleh pasal 1320 KUHPerdata, maupun syarat khusus untuk perjanjian-perjanjian
tertentu.
Pendekatan terhadap asas kebebasan berkontrak berdasarkan hukum alam,
dikemukakan oleh Hugo de Groot dan Thomas Hobbes. Grotius sebagai penganjur terkemuka
dari ajaran hukum alam berpendapat bahwa hak untuk mengadakan perjanjian adalah hak asasi
manusia. Ia beranggapan, suatu kontrak adalah suatu tindakan sukarela dari seseorang yang
berjanji sesuatu kepada orang lain dengan maksud orang lain itu menerimanya. Kontrak lebih
dari sekedar janji karena suatu janji tidak dapat memberikan hak kepada pihak lain atas
pelaksanaan janji itu. Selanjutnya Hobbes menyatakan bahwa kebebasan berkontrak sebagai
kebebasan manusia yang fundamental. Kontrak adalah metode dimana hak-hak fundamental
manusia dapat dialihkan.[20]
Menurut Munir Fuady, Asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para
pihak untuk membuat atau tidak membuat kontrak, demikian juga kebebasan untuk mengatur
sendiri isi kontrak tersebut.[21] Asas ini tersirat dalam pasal 1338 KUHPerdata, pada intinya
menyatakan bahwa terdapat kebebasan membuat kontrak apapun sejauh tidak bertentangan
dengan hukum, ketertiban dan kesusilaan. Subekti dalam bukunya Pokok-pokok Hukum Perdata,
menyebutkan orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja, asal tidak melanggar ketertiban
umum atau kesusilaan, pada umumnya juga boleh mengenyampingkan peraturan-peraturan yang
termuat dalam Buku III karena Buku III merupakan “hukum pelengkap” (aanvullend recht)
bukan hukum keras atau hukum yang memaksa.[22] Secara Historis kebebasan berkontrak
sebenarnya meliputi lima macam kebebasan, yaitu:
a) kebebasan para pihak menutup atau tidak menutup kontrak.
b) kebebasan menentukan dengan siapa para pihak akan menutup kontrak.
c) kebebasan para pihak menetukan bentuk kontrak.
d) kebebasan para pihak menentukan isi kontrak.
e) kebebasan pada pihak menentukan cara penutupan kontrak.
Menurut Felix.O. Soebagjo, dalam penerapan asas kebebasan berkontrak, bukan berarti
dapat dilakukan bebas sebebasnya, akan tetapi juga ada pembatasan yang diterapkan oleh
pembuat peraturan perundang-undangan, yaitu tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kepatutan dan kesusilaan.[23] Dengan demikian kita melihat bahwa asas kebebasan ini tidak
hanya milik KUHPerdata, akan tetapi bersifat universal [24].
Sehubungan dengan itu, teori-teori hukum Common Law tertentu membolehkan untuk membatalkan kontrak-kontrak yang bersifat menindas atau adanya unsur ketidakadilan sebagai bentuk adanya pembatasan kebebasan berkontrak. Dorongan pembatasan kebebasan berkontrak ini tampil ke permukaan guna lebih menyediakan ruang dan peluang yang lebih besar pada pengertian-pengertian keadilan, kebenaran, kesusilaan serta ketertiban umum. Karenanya kontrak merupakan dasar dari banyak kegiatan bisnis dan hampir semua kegiatan bisnis diawali oleh adanya kontrak, meskipun kontrak dalam tampilan yang sangat sederhana sekalipun.
2. Asas Mengikat Sebagai Undang undang,
Pacta Sun Servanda, bahwa perjanjian mengikat pihak-pihak yang mengadakannya
atau setiap perjanjian harus ditaati dan ditepati.[25] Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang undang bagi mereka yang membuatnya dan perjanjian-perjanjian itu
tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan para pihak atau karena alasan-alasan yang
telah ditetapkan oleh undang-undang. Dan perjanjian harus dilakukan dengan itikat baik. Suatu
hal yang penting yang patut diperhatikan bahwa, perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal
yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat
perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.[26] Asas hukum ini, telah
meletakan posisi perjanjian yang dibuat oleh masyarakat menjadi undang-undang baginya
sehingga Negara tidak berwenang lagi ikut campur dalam perjanjian.
Kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan yang tak terbatas, karena tetap ada
batasannya dan akan ada akibat hukum yang timbul terhadap kebebasan yang tak terbatas itu.
Sutan Remi Sjahdeini, menyebutkan adanya batas-batas kebebasan berkontrak, yaitu bila suatu
kontrak melanggar peraturan perundang-undangan atau suatu public policy, maka kontrak
tersebut menjadi illegal. Apa yang dimaksud dengan public policy amat tergantung kepada nilai-
nilai yang ada dalam suatu masyarakat.[27] Asas ini tercantum dalam pasal yang sama dengan
pasal yang berisi asas kebebasan berkontrak, yaitu pasal 1338 KUHPerdata, yang menyatakan
bahwa “semua kontrak yang dibuat secara sah akan mengikat sebagai undang undang bagi para
pihak dalam kontrak tersebut”. Pemuatan dua asas hukum, yaitu asas kebebasan berkontrak
dan asas mengikat sebagai undang-undang di dalam satu pasal yang sama, menurut logika
hukum berarti:
1) Kedua asas hukum tersebut tidak boleh bertentangan satu dengan yang lainnya;
2) Kontrak baru akan mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak dalam kontrak tersebut,
apabila di dalam pembuatannya terpenuhi asas kebebasan berkontrak yang terdiri atas lima
macam kebebasan.[28]
Asas bahwa para pihak harus memenuhi apa yang mereka terima sebagai kewajiban
masing-masing karena persetujuan merupakan undang-undang bagi pihak-pihak yang
mengadakannya dan kekuatan mengikatnya dianggap sama dengan kekuatan undang-undang,
sehigga istilah Pacta Sun Servanda berarti “janji itu mengikat”. Terikatnya para pihak pada
perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap
beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan secara moral.[29]
3. Asas Konsensualitas (Consensualitas)
Sebagaimana yang tersirat dalam pasal 1320 KUHPerdata, bahwa sebuat kontrak sudah
terjadi dan karenannya mengikat para pihak dalam kontrak sejak terjadi kata sepakat tentang
unsur pokok dari kontrak tersebut. Dengan kata lain, kontrak sudah sah apabila sudah tercapai
kesepakatan mengenai unsur pokok kontrak dan tidak diperlukan formalitas tertentu.[30] Banyak
pertanyaan, kapan saatnya kesepakatan dalam perjanjian itu terjadi. Kesepakatan itu akan timbul
apabila para pihak yang membuat perjanjian itu pada suatu saat bersama-sama berada disatu satu
tempat dan disitulah terjadi kesepakatan itu. Akan tetapi dalam praktek tidak sedemikian sering
terjadi, dan banyak perjanjian terjadi melalui surat menyurat, sehingga juga timbul persoalan
kapan kesepakatan itu terjadi. Hal ini penting dikarenakan untuk perjanjian-perjanjian yang
tunduk pada azas konsensualitas, saat terjadinya kesepakatan merupakan saat terjadinya
perjanjian.[31] Kekuatan mengikat dari suatu kontrak adalah lahir ketika telah adanya kata
sepakat, atau dikenal dengan asas konsensualitas, dimana para pihak yang berjanji telah sepakat
untuk mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian hukum.
Subekti, dalam bukunya Hukum Perjanjian menyatakan bahwa menurut ajaran yang
lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap dilahirkan pada saat dimana pihak yang
melakukan penawaran (efferter) menerima yang termaktub dalam surat tersebut, sebab detik
itulah dapat dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan. Bahwasanya mungkin ia tidak
membaca menjadi tanggungjawabnya sendiri. Ia dianggap sepantasnya membaca surat-surat
yang diterimanya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.[32] Menurut Wirjono Prodjodikoro
sebagaimana yang dikutip oleh Riduan Syahrani, ontvangs theorie dan verneming theorie dapat
dikawinkan sedemikian rupa, yaitu dalam keadaan biasa perjanjian harus dianggap terjadi pda
saat surat penerimaan sampai pada alamat penawar (ontvangs theorie), tetapi dalam keadaan luar
biasa kepada si penawar diberikan kesempatan untuk membuktikan bahwa itu mungkin dapat
mengetahui isi surat penerimaan pada saat surat itu sampai dialamatnya, melainkan baru
beberapa hari kemudian atau beberapa bulan kemudian, misalnya karena bepergian atau sakit
keras.[33]
Asas ini juga dapat ditemukan dalam pasal 1338 KUHPerdata, dalam istilah “semua”.
Kata-kata “semua” menunjukan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan
keinginan (will) yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian. [34]
4. Asas Itikad Baik
Asas itikad baik dalam suatu perjanjian terdapat dalam pasal 1338 ayat (3)
KUHPerdata. Yang menyatakan persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Akan tetapi dalam pasal tersebut tidak disebutkan secara ekplisit apa yang dimaksud dengan
“itikad baik”. Akibatnya orang akan menenui kesulitan dalam menafsirkan dari itikad baik itu
sendiri. Karena itikat baik merupakan suatu pengertian yang abstrak yang berhubungan dengan
apa yang ada dalam alam pikiran manusia. Menurut James Gordley, sebagaimana yang dikutip
oleh Ridwan Khairandy, memang dalam kenyataannya sangat sulit untuk mendefinisikan itikad
baik.[35] Dalam praktek pelaksanan perjanjian sering ditafsirkan sebagai hal yang berhubungan
dengan kepatuhan dan kepantasan dalam melaksanakan suatu kontrak.
Menurut teori klasik hukum kontrak, asas itikad baik dapat diterapkan dalam situasi
dimana perjanjian sudah memenuhi syarat hal tertentu, akibat ajaran ini tidak melindungi pihak
yang menderita kerugian dalam tahap pra kontrak atau tahap perundingan, karena dalam tahap
ini perjanjian belum menenuhi syarat tertentu.[36]
Penerapan asas itikad baik dalam kontrak bisnis, haruslah sangat diperhatikan terutama
pada saat melakukan perjanjian pra kontrak atau negosiasi, karena itikad baik baru diakui pada
pada saat perjanjian sudah memenuhi syarat syahnya perjanjian atau setelah negosiasi dilakukan.
Terhadap kemungkinan timbulnya kerugian terhadap pemberlakukan asas itikad baik ini,
Suharnoko menyebutkan bahwa secara implisit Undang undang Perlindungan Konsumen sudah
mengakui bahwa itikad baik sudah harus ada sebelum ditandatangani perjanjian, sehingga janji-
janji pra kontrak dapat diminta pertanggungjawaban berupa ganti rugi, apabila janji tersebut
diingkari.[37]
Subekti, dalam bukunya Hukum Perjanjian, menyebutkan bahwa itikad baik itu
dikatakan sebagai suatu sendi yang terpenting dalam hukum perjanjian.[38] Sehingganya Riduan
Syahrani menyebutkan bahwa dalam rangka pelaksanaan perjanjian peranan itikad baik (te geder
trouw) sungguh mempunyai arti yang sangat penting sekali.[39] Pemikiran ini berpijak dari
pemahaman bahwa itikad baik merupakan landasan dalam melaksanakan perjanjian dengan
sebaik baiknya dan semestinya.
Asas itikad baik menjadi salah satu instrument hukum untuk membatasi kebebasan
berkontrak dan kekuatan mengikatnya perjanjian. Dalam hukum kontrak itikad baik memiliki
tiga fungsi yaitu, fungsi yang pertama, semua kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan itikad
baik, fungsi kedua adalah fungsi menambah yaitu hakim dapat menambah isi perjanjian dan
menambah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perjanjian itu. Sedangkan
fungsi ketiga adalah fungsi membatasi dan meniadakan (beperkende en derogerende werking
vande geode trouw).[40] Dengan fungsi ini hakim dapat mengenyampingkan isi perjanjian yang
telah dibuat oleh para pihak. Tidak semua ahli hukum dan pengadilan menyetujui fungsi ini,
karena akan banyak hal bersinggungan dengan keadaan memaksa, sehingganya masih dalam
perdebatan dalam pelaksanaannya.
Pengertian itikad baik secara defenisi tidak ditemukan, begitu juga dalam KUHPerdata
tidak dijelaskan secara terperinci tentang apa yang dimaksud dengan itikad baik, pada pasal 1338
ayat (1) KUHPerdata hanyalah disebutkan bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan
dengan “itikad baik”. Menurut Wirjono Prodjodikoro dan Subekti, itikad baik (te goeder trouw)
yang sering diterjemahkan sebagai kejujuran, dibedakan menjadi dua macam, yaitu; (1) itikad
baik pada waktu akan mengadakan hubungan hukum atau perjanjian, dan (2) itikad baik pada
waktu melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari hubungan hukum
tersebut.[41]
Sampai sekarang tidak ada makna tunggal itikad baik dalam kontrak, sehingga masih
terjadi perdebatan megnenai bagaimana sebenarnya makna dari itikat baik itu. Itikad baik para
pihak, haruslah mengacu kepada nilai-nilai yang berkembang ditengah masyarakat, sebab itikad
baik merupakan bagian dari masyarakat.
Sifat dari itikad baik dapat berupa subjektif, dikarenakan terhadap perbuatan ketika
akan mengadakan hubungan hukum maupun akan melaksanakan perjanjian adalah sikap mental
dari seseorang. Banyak penulis ahli hukum Indonesia menganggap itikad baik bersifat subjektif.
Akan tetapi sebagaiman dikutip Riduan Syahrani dalam bukunya Wirjono Prodjodikoro, Asas-
Asas Hukum Perjanjian, menyebutkan para kalangan ahli hukum Belanda antara lain Hofmann
dan Vollmar menganggap bahwa disamping adanya pengertian itikad baik yang subjektif, juga
ada itikad baik yang bersifat objektif, oleh mereka tidak lain maksudnya adalah k e p a t u t a n
(billikheid, redelijkheid).[42]
[1] Istilah laissez bukan berasal dari Adam Smith. Istilah itu pada mulanya dikemukakan oleh Vincent de Gournay, salah seorang pelopor mazhab fisiokrat. Istilah lengkapnya adalah “laissez faire, laissez passer, lemonade va alors de lui meme”, secara arafiah berarti “Biarlah berbuat, biarlah berlalu, dunia akan tetpa berputar terus’.
[2] Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Institut Bankir Indonesia (IBI) Jakarta 1993, Hal.17.
[3] L.J.van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta 1981 Hal. 168.
[4] C.S.T. Kansil,op.cit. Hal.42.[5] C.S.T. Kansil, ib.id. Hal. 86-67. [6] L.J.van Apeldoorn. op.cit., Hal. 168. [7] Ibid.[8] Teori ini dikembangkan oleh Scoott J. Burham dalam bukunya Drafting Contract,
yang diterbitlan oleh The Michie Company Montana 1992, Hal.2[9] Lawrence F. Friedman, Amerrican Law An Introduction, Second Editon, Hukum
Amerika Sebuah Pengantar (Penerjemah Wishnu Basuki), Penerbit PT.Tatanusa, Jakarta 2001, Hal.195.
[10] Ibid. [11] Ibid. Hal.196. [12] Ibid. Hal. 197. [13] Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya
Bakti, Bandung 2001, Hal.5-11.[14] Ibid [15] J.J.H. Bruggink (alih bahasa Arief Sidharta), Refleksi Tentang Hukum, PT.Citra
Adytia Bakti, Bandung, 1996, Hal.119.[16] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogjakarta, 1999, Hal.34-35. [17] Johannes Gunawan, op.cit. hal. 47 dan juga lihat Mariam Darus Badrulzaman,
KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Alumni Bandung,1993 Hal.108.[18] Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika
Jakarta 2003, Hal. 9.[19] Subekti, op.cit., Hal.13. [20] Sutan Remy Sjahdeni,op.cit. Hal.18-20.[21] Munir Fuady, Pengatar Hukum Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 2002,
Hal. 12.[22] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata,Cet. ke-XXXIII, PT.Intermasa, Jakarta
2005,Hal. 128.[23] Felix.O.Soebagjo, Perkebangan Asas-Asas Hukum Kontrak Dalam Praktek Bisnis
selama 25 Tahun Terakhir,Disampaikan dalam pertemuan ilmiah “Perkembangan Hukum Kontrak dalam PraktekBisnis di Indonesia”, diseleggarakan oleh Badan Pengkajian Hukum Nasional, Jakarta 18 dan 19 Pebruari 1993.
[24] Bandingkan dengan, Mariam Darsu Badrulzaman, op.cit, hal.108-109. [25] C.S.T. Kansil, Pengantar Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, PN Balai Pustaka
Jakarta 1983, Hal.48 [26] I.G.Ray Widjaya, op.cit. Hal.135[27] Sutan Remi Sjahdeini, op.cit Hal.41. [28] Johannes Gunawan, op.cit. Hal. 48 [29] Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, PT.Citra Adytia
Bakti, Bandung, 2001. Hal.88. [30] Johannes Gunawan, op.cit.[31] Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Azas-azas Hukum Perdata, Alumni Bandung
2000, Hal.214[32] Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta Cet VI. 1979, Hal.29-30.
[33] Riduan Syahrani, op.cit. Hal. 216.[34] Mariam Darus Badrulzaman, dkk. Op.cit, Hal. 87.[35] Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta 2003, Hal.129-130. [36] Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Prenada Media, Jakarta
2004, Hal. 5 [37] Ibid., Hal. 8-9.[38] Subekti, op.cit. Hal. 41.[39] Riduan Syahrani, op.cit. Hal.259.[40] Ridwan Khairandy, op.cit. Hal. 33.[41] Riduan Syahrani, .op.cit.Hal. 260. [42] Riduan Syahrani, ib.id .Hal.262