Tata Ruang di Mata Jurnalis
-
Upload
arief-budiman -
Category
News & Politics
-
view
312 -
download
10
Transcript of Tata Ruang di Mata Jurnalis
TTA
A AR U N G
di mata jurnalis
TTA
A AR U N G
di mata jurnalis
Katalog Dalam Terbitan (KDT) Perpustakaan Nasional RI
Mei 2010ISBN 978-602-97010-0-5 114 halaman + cover24 x 20 cm
cetakan pertama, Mei 2010
Diterbitkan Oleh : Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum
Pengolah Data :SudartoIndra MaulanaRizky C. Perdana
Grafis Dan Tata Letak : Arief Budiman
Hadian Ananta Wardhana
KREDIT
TATA RUANG di Mata Jurnalis
Hak Cipta Dilindungi Oleh Undang-undangDilarang Keras Mereproduksi Atau Menyebarkan Dalam Bentuk Apapun Atau Dengan Tujuan Apapun Tanpa Izin Tertulis Dari Penerbit
Direktorat Jenderal Penataan RuangKementerian Pekerjaan Umum
Jl.Pattimura no. 20, Jakarta Selatan
www.penataanruang.netemail : [email protected]
telp : 021-7398137fax : 7206415
Komunikasi antar pemangku kepentingan menjadi faktor kunci kebersamaan dalam
mewujudkan ruang kehidupan yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Namun,
fakta yang berkembang saat ini, berbagai aktivitas yang telah dilakukan oleh pemerintah
dalam penyelenggaraan penataan ruang masih belum banyak diketahui publik. Sebaliknya,
berbagai aktivitas masyarakat yang terkait dengan penyelenggaraan penataan ruang juga
belum sepenuhnya dapat diketahui pemerintah, yang notabene punya kewenangan dalam
penyelenggaraan penataan ruang.
Realita ini mendasari pentingnya kehadiran “penghubung” agar terjalin komunikasi antar
keduanya. Salah satunya adalah melalui proses penyampaian informasi secara massa
(saluran komunikasi massa). Selain bisa menarik perhatian dan memberi pengetahuan
tentang penataan ruang kepada masyarakat, media massa juga mudah beradaptasi dengan
kondisi/situasi yang sedang dihadapi masyarakat.
Jurnalis menjadi figur sentral komunikasi massa, meski ada keterbatasan dalam pemahaman
penataan ruangnya. Namun, melalui Anugerah Jurnalistik Tata Ruang (AJTR) 2009,
keterbatasan tersebut serasa terkikis. Antusias jurnalis untuk mengikuti AJTR 2009 boleh
dibilang cukup tinggi. Sudah selayaknya, upaya para jurnalis ini memperoleh penghargaan
atas perannya dalam mencerdaskan publik di bidang penataan ruang.
Buku “Tata Ruang di Mata Jurnalis” ini merupakan kumpulan karya jurnalis yang mendapat
award pada AJTR 2009. Buku ini menjadi salah satu dokumen AJTR 2009 yang akan dijadikan
bahan sosialisasi kepada para pemangku kepentingan lainnya, termasuk pemerintah daerah,
serta dipublikasikan melalui website (http://www.penataanruang.net).
Semoga buku ini bermanfaat bagi para pembaca.
Direktur Jenderal Penataan Ruang
Ir. Imam S. Ernawi, MCM MSc.
SEBUAH PENGANTAR
3
TATA RUANG di mata jurnalis
AJT
R2
00
9
4
Meski peran masyarakat dalam penyelenggaraan penataan
ruang relatif masih kurang, namun sesungguhnya, Undang-
Undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang telah
memberi ruang yang leluasa buat masyarakat untuk berperan.
Hal ini penting dikomunikasikan secara menerus agar
masyarakat menjadi lebih paham mengenai penataan ruang.
Salah satu akses masyarakat sebagai media komunikasi adalah
media massa, baik itu media cetak maupun elektronik (TV, radio,
online). Namun sayang, pada kenyataannya, belum banyak
media massa yang memberitakan atau mengupas tentang
penataan ruang.
Pendahuluan
Minimnya berita penataan ruang ini bisa jadi disebabkan para jurnalis yang belum
mampu melihat nilai berita dari kejadian-kejadian atau praktek-praktek penataan
ruang yang sesungguhnya. Tata ruang belum menjadi hal yang “seksi” di kalangan
jurnalis, meskipun, sebenarnya banyak dijumpai berita yang sesungguhnya terkait
dengan penataan ruang, namun oleh jurnalis hanya diberitakan sekedar suatu
kejadian atau isu apa adanya ('as it is'), serta tidak diangkatnya berita tersebut dalam
konteks tata ruang.
Tentunya keterbatasan wawasan para jurnalis tentang penataan ruang menjadi
kontradiktif dengan keinginan menjadikan para jurnalis sebagai mitra untuk bersama-
sama membangun citra penataan ruang di mata publik. Pada tahun 2009 telah
diselenggarakan Anugerah Jurnalistik Tata Ruang, sebagai upaya memetakan
seberapa besar minat dan kemampuan para jurnalis dalam membuat berita dan
kupasan mengenai tata ruang.
Anugerah Jurnalistik Tata Ruang(AJTR) 2009
5
TATA RUANG di mata jurnalis
AJTR 2009 merupakan suatu rangkaian kegiatan yang melibatkan mitra jurnalis
media cetak, radio, televisi, dan online. Format AJTR 2009 ditetapkan melalui
sebuah focussed group discussion (FGD) dan mini workshop dengan masukan dari
para pakar (jurnalis) dan para pihak yang terkait dengan penataan ruang. Format
AJTR 2009 adalah penilaian terhadap hasil-hasil karya para jurnalis untuk 5 (lima)
kategori, yaitu media cetak, media online, media elektronik (TV dan radio), dan
media foto.
AJTR 2009 diberikan bagi karya jurnalistik terbaik untuk karya jenis
“Fitur” untuk media cetak, elektronik TV & Radio, dan karya jenis
“ulasan” untuk media online yang telah diterbitkan dari kurun
waktu 1 (satu) tahun September 2008 s/d September 2009, serta hasil
foto jurnalistik terbaik dari jurnalis foto yang masih aktif bekerja di
media. Tim Penilai (Juri) AJTR 2009 terdiri dari jurnalis senior, pakar
tata ruang, pakar budaya, pakar sosiologi, dan jurnalis foto.
AJTR 2009 dipublikasikan melalui media cetak (majalah Gatra,
Kompas, dan Media Indonesia), media elektronik Radio (Trijaya
Networks, RRI Pro 2, Elshinta, KBR68H, Metro TV, dan TV One),
disamping poster dan flyer yang telah disebarluaskan pada saat
pelaksanaan FGD maupun mini workshop. Jumlah karya jurnalistik
yang masuk dan diterima sekretariat sebanyak 65 karya media cetak,
28 karya media online, 14 karya fitur TV, 5 karya fitur Radio, dan 60
karya foto jurnalistik.
AJT
R2
00
9
6
DA
FTA
R I
SI
7
TATA RUANG di mata jurnalis
045
?Sebuah Pengantar?Pendahuluan?Anugerah Jurnalistik Tata Ruang (AJTR) 2009
Menata Kota Besar Metropolitan?
?Berebut Posisi Di Kepala Naga (bagian dari Lenggak Lenggok Kota Jakarta)
?Disorientasi Ruang Jogjakarta Akibat Patahnya Simbol?Menghindari Banjir Lewat Penataan Kembali Kawasan Jabodetabekpunjur?10 Kota Nyaman Ditinggali
Bencana Dari Ruang Konservasi?Situku Sayang, Situku Hilang (bagian dari Lenggak Lenggok Kota Jakarta)
?Salah Kaprah : Berumah Di Bibir Sungai
Heboh Ruang Terbuka Hijau (RTH)?Warga, Tata Ruang, Jakarta Lestari?Keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Sebagai Aspirasi Kehidupan Ekonomi,
Pendidikan, Sosial Dan Budaya, Keagamaan Bagi Masyarakat Kota Tangerang?Mimpikah Jakarta Memiliki 30% RTH?
Perubahan Iklim dan Tata Ruang?Hukum, Perubahan Iklim, Dan Kebijakan Tata Ruang (1)?Hukum, Perubahan Iklim, Dan Kebijakan Tata Ruang (2)
Memetakan Tata Ruang?Peta Lokal Jaringan Global?Wisata Kita : Jalan-jalan Berbekal Peta Hijau
Catatan Perjalanan Studi Banding ke Singapura?Selayang Pandang Singapura?Wajah Baru Singapura di Tanah Reklamasi?Ubah Wajah Singapura?Catatan Syaifudin
Profil Juri
Lenggak Lenggok Kota Jakarta
030405
009
035
077
089
065
105
1018222831
3641
4652
60
6670
7884
909597
101
MenataKota BesarMetropolitan
?Lenggak Lenggok Kota Jakarta?Berebut Posisi di Kepala Naga *)
?Disorientasi Ruang Jogjakarta Akibat Patahnya Simbol?Menghindari Banjir Lewat Penataan Kembali Kawasan Jabodetabekpunjur
?10 Kota Nyaman Ditinggali
LENGGAK - LENGGOK KOTA JAKARTA
Pada umumnya masyarakat masih
belum memahami peraturan
mengenai pemanfaatan lahan. Hal
tersebut berimbas pada
munculnya pelanggaran terhadap
fungsi ruang. Beberapa kawasan di
Jakarta telah berubah fungsi dan
cenderung kurang memperhatikan
aspek tata ruang dalam
pengembangannya. Kita tentunya
berharap melalui RTRW 2010-2030
pengembangan Kota Jakarta di
masa yang akan datang akan lebih
mengedepankan aspek tata ruang
dan tata lingkungan demi Jakarta
yang lebih nyaman, aman dan
berkelanjutan.
Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta 2000-2010 segera berakhir.
Namun, hingga lewat pertengahan tahun ini, Dewan Perwakilan
Rakyat DKI Jakarta belum menerima masterplan 2010-2030 dari
pemerintah, seperti diamanatkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang. Padahal, menurut rencana yang disusun
Badan Perencanaan Pembangunan Jakarta, rencana 20 tahun
mendatang itu sudah harus dibahas Dewan. Artinya, tenggat sudah
terlewati dan Jakarta terancam tidak memiliki rencana tata ruang
hingga habis berlakunya masterplan lama.
Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo dan pejabat tinggi di jajaran
pemerintah daerah yang mengurusi bidang itu mengaku tengah
menyelesaikan rencana tersebut. “Saat ini kami sudah melaksanakan
Terbaik IKategori Media CetakMajalah Tempo
AJT
R2
00
9
10
11
TATA RUANG di mata jurnalis
zoning map, kami coba lakukan secara pararel
dengan rancangan pembangunannya,” kata
Kepala Dinas Tata Kota Jakarta, Wiryatmoko.
Menurut Kepala Badan Perencanaan
Pembangunan Jakarta, Nurfakih Wiriawan,
substansi masterplan 2010-2030 masih harus
disosialisasikan ke banyak pihak. “Kami
berharap rancangan peraturan daerahnya
tahun ini bisa selesai. Nanti harus dibahas di
DPRD,” katanya.
Kalibata Residences bukan bangunan kecil,
yang nantinya bisa disembunyikan di antara
gedung-gedung jangkung. Bangunan itu
merupakan proyek rumah susun hak milik
(rusunami) sepuluh menara di atas tanah 2,24
hektare di Jalan Taman Makam Pahlawan
Kalibata No. 1, Jakarta Selatan. Proyek tersebut
diresmikan Menteri Perumahan Rakyat
Mohammad Yusuf Asyari dan Wakil Presiden
Jusuf Kalla, karena memang menjadi bagian
dari rencana nasional pembangunan 1.000
menara rumah susun.
Tragisnya, proyek yang dibangun di Ibu Kota negara ini sempat
disegel pada akhir Maret lalu oleh Dinas Pengawasan dan
Penertiban Bangunan DKI Jakarta. Gara-garanya, perusahaan
pengembang bangunan yang akan berdiri di atas tanah bekas pabrik
sepatu Bata itu belum melengkapi izin mendirikan bangunan.
Menurut Kepala Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan, Hari
Sasongko, pengembang hanya memiliki surat izin pemanfaatan
penggunaan tanah. Padahal, untuk membangun rumah susun,
pengembang harus juga memiliki rencana tata bangunan dan
lingkungan, izin mendirikan bangunan, dan analisis dampak
lingkungan.
Semua itu merupakan peraturan baku yang wajib dipatuhi sebelum
menjalankan proyek. Apalagi untuk proyek sebesar dan sepenting
itu, sudah seharusnya sesuai dengan rencana tata ruang wilayah
(RTRW). Menurut Hari, bila rumah susun Kalibata Residences
AJT
R2
00
9
12
selesai dibangun dan dihuni semuanya, akan ada
tambahan sekitar 20 ribu orang penduduk di kawasan itu.
Dengan tambahan penghuni sebanyak itu, daya dukung
lingkungan yang tersedia di kawasan itu, seperti jalan raya,
saluran drainase, dan pasokan air bersih, tidak mencukupi.
Perizinan akhirnya turun pada pertengahan Mei lalu.
Namun kejadian tersebut menunjukkan bahwa “izin”
belum menjadi mekanisme yang dipahami dan dituruti
setiap orang. Itulah yang menjadi penyebab terjadinya
penyimpangan peruntukan wilayah. Seperti dikatakan
arsitek lanskap Nirwono Joga, sekitar 80 persen
pembangunan tak sesuai dengan tata ruang (lihat kolom
Agar Jakarta Menjadi Habitat Hijau).
Menurut Ketua Forum Warga Kota Jakarta, Azas Tigor
Nainggolan, izin menjadi syarat penting karena
merupakan alat kontrol pembangunan agar selaras dengan
rencana tata ruang kota. Jika soal izin diabaikan serta
pemerintah tidak tegas menertibkan penyimpangan--atau
malah membiarkannya--wajah Jakarta akan rusak dan
semua fungsi kota berantakan karena daya dukung tidak
sesuai dengan penggunaan. “Yang merusak Jakarta adalah
pemodal dan aparat pemerintah daerah,” kata Azas Tigor.
Pernyataan Tigor memang keras. Namun, warga
kebanyakan pun tahu bahwa izin pembangunan itu
bukan aturan main yang baku. Contoh yang besar
adalah kawasan Kemang. Sudah banyak ditulis di
berbagai media betapa amburadulnya kawasan di
Jakarta Selatan tersebut. Maklum, menurut rencana tata
ruang dan wilayah yang berlaku, peruntukan kawasan
Kemang adalah daerah permukiman, bukan komersial.
Tapi membenahinya sama sekali tidak mudah.
Pengembangan yang tak sesuai dengan patokan
mengakibatkan kemacetan kronis di sana.
Seperti kata Kepala Dinas Tata Kota Jakarta,
Wiryatmoko, persoalan tata ruang Kota Jakarta tak
semudah membangun dalam ruang atau lahan yang
kosong. ”Kondisinya sudah ada seperti ini. Maksudnya,
kami mau merencanakan, tapi orang sudah penuh
sesak. Jadinya, ketika mau diremajakan, realisasinya
sulit,” ujarnya.
Maklum, luas wilayah Jakarta tetap sama, sekitar 650 kilometer persegi, namun jumlah penduduk meledak dua kali
lipat. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah 2010-2030 (yang sedang diselesaikan pemerintah daerah) diperkirakan
target penduduk 12,5 juta jiwa, sedangkan dalam Rencana Induk 1965-1985, yang merupakan masterplan pertama
Jakarta, penduduk baru 6 juta jiwa. Tapi, tetap saja, pemerintah daerah Jakarta berkewajiban membuat rencana tata
ruang wilayah, karena itu merupakan salah satu elemen dari pengaturan kota sebagai tempat hidup bersama.
Nah, masalahnya, masterplan Jakarta tidak pernah terlepas dari tanda tanya. Dalam rencana pertama 1965-1985,
misalnya, Jakarta sudah memiliki konsep ruang terbuka hijau bagus, yaitu green belt--semacam ruang terbuka hijau
yang melingkari kota ini. Namun, dalam rencana selanjutnya: 1985-2005, konsep ini hilang. Bahkan soal penanganan
banjir dan pembuatan drainase sudah tidak lagi menjadi prioritas utama bagi kota yang secara geografis terletak di
dataran rendah dan dilewati 13 sungai ini. Dalam rencana tata kota 1985-2005, prioritas ada pada pembangunan
kawasan untuk menggerakkan roda perekonomian. Perkembangan kawasan baru seperti Kelapa Gading dan Pantai
Indah Kapuk terjadi pada masa itu.
13
TATA RUANG di mata jurnalis
Keanehan berlanjut. Pada 2000, lima tahun sebelum masa rencana tata kota habis, pemerintah DKI Jakarta meluncurkan
masterplan 2000-2010. Ada masa lima tahun (2000-2005) yang dikoreksi pada rencana tata kota 2000-2010. Namun,
rencana tata ruang wilayah yang sekarang, yaitu 2010-2030, malah terlambat muncul. Hingga lewat pertengahan Juli dan
hampir berakhirnya masa kerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah periode 2004-2009, belum ada rencana tata ruang
wilayah (RTRW) yang baru.
Menurut jadwal, masterplan baru itu seharusnya sudah selesai dan disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta
pada akhir Juni 2009. Kenyataannya, menurut Wakil Ketua Komisi D Bidang Pembangunan DPRD Jakarta, Muhayar,
belum ada. “Nanti, kami serahkan ke anggota legislatif yang baru terpilih,” kata wakil dari Fraksi Partai Keadilan
Sejahtera itu.
Menurut dokumen yang didapat Tempo, RTRW 2010-2030 dijadwalkan oleh pemerintah masuk pembahasan Dewan
pada Juli-Agustus dan selesai pada September-Oktober 2009. Namun, berdasarkan wawancara Tempo dengan Kepala
AJT
R2
00
9
14
Dinas Tata Kota Jakarta Wiryatmoko dan Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan Jakarta Nurfakih
Wiriawan, tampaknya tenggat masterplan 2010-2030
pada masa jabatan Dewan yang sekarang akan terlewati.
Lalu, bagaimana Jakarta akan direncanakan 20 tahun
mendatang? Menurut Nurfakih, pengembangan Ibu
Kota akan bertumpu pada pola transportasi terpadu,
yang disebut mass rapid transportation, mulai dari
kereta api yang menghubungkan daerah sekitar Jakarta,
monorail, dan busway. “Pembangunan permukiman
terkonsentrasi di tempat-tempat tertentu, membentuk
struktur baru Kota Jakarta, berbasis pada backbone
transportasi, mengikuti pola transportasi massal
tersebut,” tuturnya.
Pusat pola transportasi terpadu yang dihubungkan
dengan pejalan kaki dan pengguna sepeda itu nantinya
berada di kawasan Dukuh Atas, Jakarta Selatan.
Sedangkan untuk lalu lintas pribadi dan barang,
menurut Wiryatmoko, dibuat jalan susun yang
menghubungkan pusat bisnis penting di Jakarta, seperti
Sentra Primer Tanah Abang, Senen, Roxy, dan Pulo
Gadung.
Sedangkan untuk pembangunan yang lebih terkontrol,
dibuat pola rancangan pembangunan per kawasan, yang
utuh dan serasi. Dia menunjuk contoh Sudirman Centre
Business District, di atas tanah 40 hektare. Gedung tak
sekadar berupa bangunan individual, tapi terhubung
pedestrian, sehingga terbentuk akses lebih baik di antara
bangunan satu dan lainnya. Lingkungan juga terintegrasi,
sehingga pergerakan orang, barang, dan kendaraan lebih
efisien. Kawasan Senen, Kemayoran, Glodok, Mangga Dua,
Muara Angke, Kuningan, Blok M, akan mengikuti model
seperti itu.
Menurut Nurfakih, langkah terobosan ini dilakukan karena
sulit menata Jakarta secara keseluruhan. Kawasan akan
menjadi multiguna: komersial, permukiman, fasilitas
rekreasi. “Prinsipnya, orang nggak perlu ke mana-mana.
Lagi pula, menata kelompok demi kelompok, segmen demi
segmen, itu bisa terkendali,” ujarnya.
Dalam rencana 2010-2030 nanti juga tercantum
pengendalian banjir dengan penyelesaian proyek Kanal
Banjir Timur, penataan sungai dan waduk, reklamasi
pantai utara Jakarta, dan pembangunan kawasan ekonomi
khusus Marunda untuk menggantikan Pelabuhan Tanjung
Priok. “Bahkan kami merencanakan pembangunan dam
sepanjang 40 kilometer dari Banten sampai Bekasi, seperti
Kota Petersburg di Rusia,” kata Gubernur Fauzi Bowo.
15
TATA RUANG di mata jurnalis
Ruang terbuka hijau dalam masterplan baru nanti tetap dipertahankan 13,94 persen dari total
wilayah Jakarta, meliputi hutan kota, hutan lindung, median jalan, bantaran sungai, makam,
lapangan olahraga, taman, dan lainnya. Untuk ruang terbuka hijau, menurut Wiryatmoko, bila
diperhitungkan dengan ruang terbuka privat yang terdapat dalam setiap pekarangan perumahan
dan peruntukan lainnya melalui penetapan kewajiban penyediaan lahan hijau, akan diperoleh
tambahan 20 persen. “Dengan demikian luas total ruang terbuka hijau yang direncanakan dapat
mencapai lebih dari 30 persen. Lebih besar dari syarat perundang-undangan,” ujarnya.
Dalam pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007 disebutkan, ruang
terbuka hijau di sebuah kota paling sedikit 30 persen dari wilayah kota.
Menurut Wiryatmoko, nantinya perencanaan tata ruang Jakarta menganut visi “hidup harmonis
berdampingan dengan air”, dengan membuat room for river dan room for water. “Sekarang, kalau
ada orang punya tanah lima sampai sepuluh hektare mau bikin perumahan, kami akan minta
dibikinkan danau 10 persen. Karena undang-undang mengamanatkan begitu,” katanya.
Ya, kita tunggu saja bentuk fisik Rencana Tata Ruang Wilayah 2010-2030 yang sah. Lalu, kita lihat
saja bagaimana konsistensi pemerintah menerapkan rencana yang keren itu.
AJT
R2
00
9
16
BEREBUTDI POSISI KEPALA NAGA *)
Pengembangan wilayah yang tidak
berbasis pada penataan ruang telah
mengubah beberapa kawasan di Jakarta
menjadi kurang teratur. Kepercayaan
bahwa letak suatu kawasan berada di
jalur “Kepala Naga” telah membuat para
investor berlomba-lomba
mengembangkan sentra bisnis dan
pemukiman di daerah yang sebenarnya
tidak layak dari sisi lingkungan dan tidak
sesuai dengan RTRW. Munculnya RTRW
2010-2030 diharapkan akan membuat
pembangunan di Kota Jakarta lebih
teratur dan hendaknya ada sanksi hukum
yang tegas terhadap para pelanggar
RTRW berupa vonis sebagai perusak
lingkungan.
17
TATA RUANG di mata jurnalis
Pertimbangan ekonomi lebih mengedepan dibanding dampak lingkungan, dalam
pengembangan kawasan. Ketelanjuran yang berbuah kerusakan lingkungan.
Tein Saputra punya istilah menarik tentang kawasan Kelapa Gading. ”Kota
jadijadian,” demikian menurut lakilaki 43 tahun yang bekerja sebagai petugas
keamanan kawasan bisnis dan hunian terpadu di Jakarta Utara itu. Sebab, menurut
Tein, yang penduduk asli kawasan itu, hingga 1985 Kelapa Gading masih penuh
sawah dan rawarawa—lengkap dengan tumbuhan berduri setinggi dua
meter—yang menjadi penampungan air. Pemandangannya lebih mirip hutan.
”Maling masuk tidak terlihat,” katanya.
Masruri, 50 tahun, yang tinggal di Kelapa Gading sejak 20 tahun lalu, pun memiliki
kesan serupa. Pada 1990an saja, menurut dia, rawa dan sawah masih membentang.
*) Bagian dari Lenggak-Lenggok Jakarta
AJT
R2
00
9
18
”Dulu masih gelap, tahutahu gedung tumbuh satu per satu,” kata Masruri, yang
sekarang membuka kios rokok di emperan pertokoan.
Kelapa Gading seperti hasil sulap. Rawarawa yang dulu mendominasi kawasan
seluas 1.600 hektare itu berubah menjadi hutan beton. Ruang terbuka hijau di
kawasan itu tinggal sejumput, digantikan bangunan komersial, perkantoran, dan
hunian.
Adalah pengembang PT Summarecon Agung Tbk. yang menjadi perintis.
Pengembangan kawasan itu adalah proyek pertama Summarecon, yang berdiri
pada 1975. Awalnya hanya 10 hektare yang dibangun, sekarang menjadi 500
hektare. Pertokoan, perumahan, perkantoran, pusat olahraga, semua yang menjadi
ciri kota besar, ada di sana. Rawa dan sawah terlupakan sudah.
19
TATA RUANG di mata jurnalis
Pada awal Februari 2007, kawasan itu lumpuh dalam waktu hampir
sepekan. Air setinggi badan menggenang, masuk rumah, merendam
kendaraan, menutup jalan. Meski banjir bukan cerita baru di ”kota
baru” itu dalam 10 tahun terakhir, setiap tahun Kelapa Gading
menjadi daerah langganan banjir ketinggian air meningkat dan
meluas dari tahun ke tahun. Sewaktu banjir besar pada 2002,
genangan air masih setinggi lutut, tapi kini sudah setinggi badan.
Salah siapa? Jelas, pihak pengembang tidak mau disalahkan.
Direktur Utama Summarecon, Johanes Mardjuki, menolak jika
dianggap menyalahi pedoman tata ruang. ”Jelas kami mengikuti
prosedur dan mengantongi izin pemerintah daerah,” katanya. Daya
dukung lingkungan pun tetap dipertahankan dan ditingkatkan.
Salah satu wujud komitmen adalah
pembentukan town management,
divisi khusus yang mengelola masalah
lingkungan.
Yang dikatakan Johanes masuk akal.
Tidak mungkin, pengembangan
kawasan dari hanya 10 hektare
menjadi 500 hektare tak melalui izin
pemerintah. Namun, sudah menjadi
rahasia umum bahwa dampak
lingkungan memang tidak menjadi
prioritas dalam pengembangan dan
pemberian izin suatu kawasan. Seperti
kata ahli tata kota Yayat Supriatna,
faktor lingkungan dalam konteks
pengembangan kawasan kerap
terpinggirkan oleh faktor ekonomi.
”Tapi pemerintah masih malumalu
mengakui lebih memprioritaskan
ekonomi,” katanya.
Menurut Yayat, rawarawa yang
ampuh menahan air pun dianggap
berharga rendah. Sawah juga lebih
tidak bernilai ekonomis ketimbang
pusat niaga. Dalam hitungan Yayat,
lahan satu hektare di Jakarta bisa menghasilkan
pendapatan hingga Rp 3 miliar jika difungsikan menjadi
lokasi komersial.
Kekuatan kapital memang dahsyat. Meski menjadi
langganan banjir, menurut Direktur Indonesia Property
Watch, Ali Tranghanda, nilai aset di Kelapa Gading tahun
ini justru naik 11 persen. Harga satu unit hunian mencapai
Rp 1 miliar, dan aset properti komersial tentu lebih mahal,
hingga Rp 4 miliar. Menurut Ali, tingginya permintaan itu
karena lokasi yang sudah terbentuk dan potensi
pengembangan yang masih tumbuh. ”Paling cuma saat
banjir pindah sementara,” katanya.
Bagi sebagian orang, pilihan berinvestasi di Kelapa Gading
juga tak lepas dari posisi ”kepala naga” yang
disandangnya, menurut perhitungan feng shui. Posisi itu
diyakini membawa hoki. ”Kelapa Gading memang
kawasan bagus, 'kepala naga' hanya kiasan,” kata ahli feng
shui, Yun Xiangyi Hong.
Suatu kawasan disebut bagus terutama jika aksesnya
bagus. ”Paling jelas ya yang tersambung jalan tol,” tutur
Xiangyi. Sedangkan daerah Kemang, Jakarta Selatan,
misalnya, dinilai lumayan bagus karena akses ke daerah
pusat relatif dekat. Faktor yang menentukan
bagustidaknya kawasan adalah gabungan dari akses,
permukiman, lingkungan, dan kondisi sosial ekonomi
penduduknya.
Yang jelas, daerah di Jakarta yang terkenal atau
dipercaya sebagai daerah ”kepala naga” memang
menjadi incaran, dan akhirnya berkembang menjadi
sentra bisnis. Menyebut di antaranya, selain Kelapa
Gading, adalah daerah Kemang, Pondok Indah, Jakarta
Selatan; Pluit dan Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara.
Banjir, polusi, dan macet sepertinya tidak relevan lagi.
Perburuan mendapat tempat di area ”kepala naga” tadi
pun kerap meminggirkan peruntukan kawasan yang
benar. Daerah Kemang, misalnya, pelanpelan beralih
fungsi dari daerah permukiman menjadi komersial.
Meski pemerintah daerah sudah menyatakan
pembangunan kawasan Kemang banyak yang
menyimpang dari peruntukan, toh otoritas resmi itu
hingga kini belum bisa memutuskan tindakan apa yang
akan diterapkan di Kemang. ”Belum, jalan keluar untuk
itu belum diputuskan,” kata Kepala Dinas Tata Kota,
Wiryatmoko, kepada Tempo.
AJT
R2
00
9
20
Nah, karena sudah banyak ketelanjuran, untuk pemerintah, sebagai ”penjaga gawang” tata kota, Yayat meng-
usulkan kebijakan untuk memberikan disinsentif kepada pengembang suatu kawasan setara dengan
perusakan lingkungan yang ditimbulkan. Disinsentif bisa berupa pengelolaan limbah atau penggantian aset
lingkungan kawasan semisal ruang terbuka hijau. ”Itu yang paling realistis,” katanya.
Kebijakan yang ideal untuk kawasan menyimpang sebenarnya langkah penyegelan, pembongkaran, dan
pemulihan. ”Tapi apa mungkin?” katanya. Menurut dia, pilihan kebijakan realistis bersandar pada
pertimbangan bahwa perencana tidak bisa menutup mata terhadap pesatnya perkembangan.
”Jangan ngomongin yang dulu, kondisinya jauh berbeda,” kata Wiryatmoko. Perkembangan Jakarta yang
pesat, termasuk pertambahan kendaraan dan penduduk, jelas mendorong terbentuknya kebutuhan terhadap
ruang baru. Dan Wiryatmoko meyakinkan, dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah 20102030, akan ada
hukuman bagi para perusak lingkungan. ”Intinya, pemerintah menjemput perkembangan baru,” katanya.
21
TATA RUANG di mata jurnalis
DISORIENTASIRUANG YOGYAKARTA
AKIBAT PATAHNYA SIMBOLTerbaik III
Kategori Media CetakMajalah Tempo
Jogjakarta dikenal sebagai kota budaya
dengan kehidupan masyarakatnya yang
damai dan teratur. Namun
perkembangan jaman mulai menggerus
sendi-sendi aset budaya sehingga
tergantikan oleh hal-hal yang lebih
modern. Saat ini bisa kita saksikan tata
ruang Jogjakarta yang sarat fungsi
simbolis dan historis semakin terkalahkan
oleh kepentingan pasar. Di masa yang
akan datang, pengembangan Jogjakarta
diharapkan tetap memperhatikan
estetika dan keunikan budaya serta tidak
terpengaruh oleh tren pengembangan di
daerah lain yang seringkali mengabaikan
aspek penataan ruang demi pemenuhan
kebutuhan ekonomi.
Kehidupan manusia Jawa selalu erat dengan simbol. Simbol itu diejawantahkan
dalam penataan pola hidup, seperti tata ruang di wilayah DI Yogyakarta. Sejak
pertama kali Yogyakarta dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono I,
masyarakat sudah terlatih untuk peka terhadap aneka simbol dalam tata ruang.
Ketika simbol-simbol tersebut mulai terpatahkan, disorientasi dalam hidup pun
mulai terjadi.
Belanda yang sangat memahami antropologi kekuasaan dan politik raja Jawa,
misalnya, dengan lihai memperlemah kedudukan raja melalui kesengajaan
pematahan simbol budaya. Pengacauan simbol menyebabkan rakyat terpecah-
belah karena dipaksa untuk menyaksikan tumbuhnya dualisme kekuasaan dari
keraton dan Residen Gubernur Belanda.
AJT
R2
00
9
22
23
TATA RUANG di mata jurnalis
Ironisnya, penjajahan melalui pematahan simbol ini terus terjadi hingga sekarang dalam bentuknya yang lain.
Jika Belanda mematahkan simbol untuk menunjukkan hegemoni kekuasaan, kali ini tata ruang Yogyakarta yang
sarat fungsi simbolis dan historis semakin terkalahkan oleh kepentingan pasar.
Reduksi tata ruang Yogyakarta dengan pematahan fungsi simbolik oleh Belanda, antara lain terlihat saat
pembuatan rel kereta api pada tahun 1867 yang memutus konsep garis imajiner. Pola bulevar atau jalan
memanjang dari Tugu menuju Keraton yang menjadikan Yogyakarta berbeda dari kerajaan lain, terputus akibat
rel kereta api. Gedung warisan Belanda yang saat ini dimanfaatkan sebagai Kantor Bank Indonesia dan kantor
pos sengaja dibuat membelakangi dan menutupi keraton.
AJT
R2
00
9
24
Secara politis, bulevar menegaskan kekuasaan raja. Kondisi psikologis, tamu keraton akan terperangkap dalam
kekuasaan raja dan harus mempersiapkan diri ketika memasuki bulevar sebelum menghadap raja. Dari sisi keamanan,
bulevar memudahkan memonitor musuh. Bulevar itu pun membangun simbol Yogyakarta, sekaligus mempermudah
pembangunan pola guna tanah di sekitarnya.
Meski sanggup bertahan dari gempuran pematahan simbol
oleh Belanda, beberapa titik bernilai sejarah di Yogyakarta
justru tak sanggup bertahan dari terjangan zaman. Sebagai
salah satu kantong keistimewaan tata ruang, empat masjid
pathok negara, yaitu Masjid Mlangi, Masjid Ploso Kuning,
Masjid Babadan, dan Masjid Dongkelan kian terjepit oleh
pembangunan permukiman di sekitarnya.
Renovasi terhadap masjid penanda teritori Keraton
Yogyakarta ini hanya dilakukan sebatas perbaikan bangunan,
bukan kawasannya. Pembangunan perumahan dan spekulasi
lahan semakin merajalela, seiring mulai berkurangnya
kemampuan institusi untuk mengendalikan tata kota.
Penetrasi fungsi baru pada kawasan lama pathok negara
semakin kentara dari tahun ke tahun. Dari empat masjid,
hanya Masjid Ploso Kuning yang cenderung bertahan pada
konsep awal. Masjid Babadan yang terletak di sebelah timur
Keraton, yaitu di Kecamatan Banguntapan, Bantul, misalnya,
terdesak oleh pesatnya pembangunan permukiman di
sekelilingnya. Bahkan, tembok pembatas masjid pun telah
beralih fungsi sebagai tembok rumah warga.
Warga Babadan, Sugiyanto, mengatakan bahwa Masjid
Babadan sempat ditinggalkan jemaahnya ketika mereka bedol
25
TATA RUANG di mata jurnalis
desa saat Jepang menyerang. Masjid itu kemudian dibangun kembali dari sisa fondasi dan tembok lama pada tahun 1964.
”Sulit untuk mengembalikan ke bentuk aslinya. Jika tidak dikendalikan, makam yang menyatu dengan masjid bisa
terancam juga jadi perumahan,” kata Sekretaris Masjid, Suhari.
Ketua Program Studi Perencanaan Kota dan Wilayah, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Universitas Gadjah
Mada (UGM) Sudaryono yang bersama Kompas mengunjungi masjid-masjid pathok negara, Jumat (10/10), mengatakan,
reduksi tata bangunan dan tata ruang di Yogyakarta kian
parah. ”Pembangunan dirancang semena-mena dan hanya
berorientasi pada tanah kosong,” ungkapnya.
Masjid pathok negara, menurut Sudaryono, sebenarnya
tidak semata berfungsi sebagai siar agama, tetapi juga
sebagai pembatas teritori. Batasan tersebut diperlukan
untuk mengendalikan pengembangan kota. Pathok negara
sekaligus mewadahi agar tata ruang kota tidak
menyimpang dari konsep ekologi. Pembangunan kota
harus tidak merugikan pertanian dan tidak mereduksi
kawasan pinggiran sebagai buffer area. Tata kota yang
dilandasi konsep ekologi ini sejalan dengan filosofi Jawa
yang selalu mengandalkan harmoni dengan alam.
Sudaryono menambahkan, konsep pathok negara
mengandung nilai bahwa perkembangan kota harus
dibatasi dan tidak bisa dibiarkan liar. Saat ini
pembangunan di Yogyakarta cenderung liar karena
keputusan pembangunan ada di tangan individu, bukan
kolektif. ”Ekspansi kota harus ketat. Individu pemilik
bangunan bersejarah harus sadar bahwa asetnya
merupakan aset identitas pembentuk kota sehingga
konsisten untuk mempertahankan,” tambahnya.
AJT
R2
00
9
26
Reduksi tata bangunan antara lain juga terjadi di kawasan Kota Gede, Kota Baru, Tamansari, dan
Jalan Sudirman. Di kawasan itu terjadi perubahan langgam arsitektur yang dirombak dengan
arsitektur baru, yang sama sekali berbeda dengan bangunan lama. Petilasan Tamansari, misalnya,
kini tampil dengan cat warna pink yang sama sekali tidak dikenal dalam bangunan khas Jawa.
Kekuatan terbesar yang mengubah struktur kota adalah pembangunan real estat. Kantong-kantong
keunikan mulai terjepit oleh maraknya pembangunan perumahan yang sering kali melanggar tata
krama berperumahan, tata krama berkota, dan tata hukum perkotaan. Pembangunan perumahan
sering kali menggunakan konsep baru yang sama sekali terasing dari tata ruang asli Yogyakarta.
Perumahan baru di bagian utara Yogyakarta, misalnya, banyak yang dibiarkan kosong. Padahal,
pembangunannya sudah telanjur merusak lahan pertanian. Perumahan-perumahan kosong ini
akhirnya menjadi tata ruang terabaikan atau patologi kota yang justru menjadi beban bagi kota.
Selanjutnya, perlu ada pembatasan supaya investor kaya tidak bebas membeli lahan seluas-luasnya
untuk dibangun dengan visinya sendiri.
Jangan Vertikal
Sudaryono mencontohkan skala ruang Kota Yogyakarta semestinya
jangan menuju pada bangunan vertikal karena akan menjadi serupa
dengan kota lain. Bangunan vertikal menggunakan teknologi replikatif
yang melahirkan keseragaman pada struktur, ketinggian, dan bidang
tertentu. Konsep vertikal muncul dengan semangat rasionalisasi,
efisiensi, dan optimalisasi.
Pengelolaan tata ruang Yogyakarta, lanjut Sudaryono, cenderung
parsial. Koordinasi antara berbagai unsur, seperti pemerintah daerah,
swasta, dan masyarakat menjadi kunci pokok untuk penguatan
identitas kota. Institusi kolektif perlu dibangun sehingga penataan kota
tidak hanya menjadi domain pemerintah, tetapi juga melibatkan
27
TATA RUANG di mata jurnalis
masyarakat. Institusi kolektif tersebut akan semakin istimewa karena keterlibatan Keraton dalam
pengambilan keputusan.
Selain pembentukan institusi kolektif, perlu juga dibuat kesepakatan bersama tentang tujuan tata kota yang
kemudian diformalkan. Menurut Sudaryono, pengendalian kebijakan tata ruang oleh pemerintah daerah
selama ini masih lemah. Hingga kini belum ada konsistensi antara perencanaan sebagai produk hukum formal
dan implementasi di lapangan.
Potensi keistimewaan tata ruang di Yogyakarta masih cukup kaya. Keunikan DIY terletak, antara lain, pada
tata ruang pedesaan dengan halaman rumah yang tidak berpagar. Secara garis besar, pola dasar pendirian
Yogyakarta oleh Sultan Hamengku Buwono I sebenarnya mirip dengan beberapa kerajaan lain, seperti
Majapahit, Demak, dan Surakarta. Tata kota terdiri dari pusat keraton, alun-alun, dan tempat ibadah.
Meski tetap mempertahankan keunikan dari sisi historis dan simbolis, tata ruang kota tetap harus
memberikan ruang longgar bagi pengembangan tata sosial yang baru.
”Tata fisik lama tetap dipertahankan, tetapi fungsi baru bisa
masuk dan tidak merusak yang lama. Belum terlambat untuk
menyelamatkan tata ruang istimewa Yogyakarta asal ada
kepedulian kolektif,” ungkap Sudaryono.
Tata ruang Yogyakarta menyimpan keunikan yang
memampukan Yogyakarta untuk memil iki ni lai
keabadiannya. Dengan perencanaan tata ruang yang baik,
Yogyakarta tidak perlu lagi mengalami degradasi sebagai
suatu lintasan kolektif memori. Keterhilangan memori yang
menumbuhkan rasa keterasingan terhadap kota belum
terlambat untuk dicegah. Tinggal apakah ada kepedulian dan
kemauan untuk bertahan atau membiarkan kota menjadi
homogen setelah terseret zaman…
MENGHINDARI BANJIRLEWAT PENATAAN KEMBALI KAWASAN JABODETABEKPUNJUR
Terbitnya Perpres No 54/2008 yang
mengatur penataan kawasan
Jabodetabekpunjur membuat semua
pembangunan di kawasan tersebut harus
ditinjau ulang. Adanya Perpres dimaksudkan
untuk mengendalikan pembangunan dan
melindungi lingkungan dari kerusakan yang
semakin parah. Bangunan yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang harus dibongkar
dan rencana reklamasi pantai utara Jakarta
harus ditunda hingga adanya pembenahan
menyeluruh terhadap lingkungan di
sekitarnya terutama di daerah hulu. Hal itu
perlu dilakukan agar pembangunan ke depan
dapat meminimalisir kerusakan lingkungan
dan timbulnya bencana.
Pemenang IIKategori RadioKBR68H
AJT
R2
00
9
28
Banjir yang kerap merendam ibukota Jakarta membuat pemerintah
pusat kewalahan. Solusi pembenahan lingkungan dan normalisasi
sungai yang dilakukan belakangan dianggap kurang manjur karena
hanya bersifat parsial. Demi melakukan pembenahan menyeluruh,
maka terbitlah Perpres Jabodetabekpunjur. Efektifkan Perpres ini
membebaskan Jakarta dari banjir? Simak ulasan singkat Sutami yang
rupawan dan baik budinya berikut ini.
Terbitnya Peraturan Presiden tentang penertiban kawasan Jakarta,
Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Puncak, Cianjur bakal membawa
sejumlah dampak. Salah satunya pembatalan proyek reklamasi pantai
utara Jakarta. dihentikan karena analisa mengenai dampak lingkungan
proyek itu dianggap menyimpang. Terbitnya Perpres ini juga
menyebabkan bangunan villa, pemukiman dan perkebunan di kawasan Puncak, Bogor dan Cianjur yang tak sesuai
dengan tata ruang harus dibongkar.
Sekretaris Dirjen Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum, Ruchiyat Deny mengatakan, Pemerintah Jakarta, Jawa
Barat dan Banten diberi waktu hingga 3 tahun untuk menyesuaikan perda pembangunannya dengan Perpres ini. Kata
Ruchiyat, pejabat dan kontraktor yang melanggar Perpres ini bisa dikenakan sanksi pidana
Sementara Deputi Menteri Lingkungan Hidup Hermin Rosita mengatakan menteri lingkungan Hidup telah menyurati
pemerintah Jakarta terkait proyek reklamasi pantai utara. Menteri Lingkungan Hidup, kata Rosmin minta pemda Jakarta
mendesain ulang proyek itu.
Proyek reklamasi pantai utara Jakarta memang kerap disorot sejumlah kalangan. LSM Walhi Jakarta memperkirakan, bila
Mega proyek ini dilanjutkan banjir yang kerap melanda Jakarta akan semakin parah. Kepala divisi riset dan analisis
kebijakan Walhi Jakarta Hasbi Aziz mengatakan reklamasi dengan peninggian daerah pantai bakal menyebabkan banjir
29
TATA RUANG di mata jurnalis
tak bisa mengalir keluar. Demikian pula arus pasang laut, yang bakal
terjebak di daratan. Kalo kita analogikan itu ke Pantura, maka kita melakukan reklamasi
pantai utara Jakarta,lebih duluan dibanding pembenahan sungai,
keadaan ekologi di daerah hulu, artinya didaerah daratan Jakarta itu,
maka dampak yang ditimbulkan di daerah hulu tidak bisa diantisipasi
di daerah hilir. Akibatnya akan terjadi arus bolak-balik antara potensi
akibat dari hulu ke hilir dan hilir ke hulu. akibatnya dua-duanya
korban
Agar Jakarta tak tenggelam, Hasbi Aziz menyarankan proyek
reklamasi pantai utara Jakarta ditunda. Pemerintah kata Aziz mesti
terlebih dulu membenahi kawasan sekitar pantai utara Jakarta. Ini
termasuk pembenahan di daerah penyangga Ibukota.pada prinsipnya
orang selalu menyalahkan daerah villa, seakan-akan bahwa kondisi di
hilir, sungai-sungai di Jakarta itu kemudian kdd-kdd yang dilakukan,
dibebaskan mal yang dibangun, gedung bertingkat yang dibangun di
Jakarta dianggap lebih kecil dampaknya dibanding penebangan hutan
atau villa-villa yang ada di Cianjur atau Bogor. Jadi kami menanggap
disana villa harus ditertibkan pohon harus ditanam supaya resapan air
bisa tercapai dan di daerah hilir, di Jakarta juga harus dibenahi itu
Setelah pembenahan menyeluruh selesai dilakukan, maka proyek
reklamasi pantai utara bisa dilanjutkan kembali. Dengan catatan,
analisis mengenai dampak lingkungan alias amdal nya dibenahi
terlebih dulu.
AJT
R2
00
9
30
31
TATA RUANG di mata jurnalis
METRO 10 :10 KOTA NYAMAN DITINGGALI
Masyarakat Indonesia rupanya mulai
menyadari pentingnya lingkungan tempat
tinggal yang nyaman dan dapat mendukung
aktifitas hidupnya sehari-hari. Kota
Yogyakarta muncul sebagai kota yang paling
nyaman untuk ditinggali karena budaya
masyarakatnya yang ramah, akses terhadap
pusat pendidikan serta kaya akan warisan
budaya. Menyusul di belakangnya adalah
Bandung, Semarang, Solo, Bogor, Surabaya,
Malang, Medan, Bali, dan Makassar. Kota-
kota besar relatif masih menjadi pilihan
utama (kecuali Jakarta) sebagai tempat
tinggal karena memiliki kelengkapan fasilitas
yang didukung oleh suasana kota yang asri
dan budaya masyarakat yang ramah.
Terbaik IIIKategori Televisi
Metro TV
Pembangunan yang tidak merata telah membuat kota menjadi tempat tujuan orang dengan berbagai alasan, termasuk untuk bertempat tinggal. Menurut responden yang kami tanyai, ada sepuluh kota yang menurut mereka nyaman untuk ditinggali.
10. Kota Makassar dipilih responden di nomor sepuluh. Makassar yang telah tumbuh dan menggeliat, menjadi barometer kemajuan wilayah Indonesia Timur. Kota seluas 128 Kilometer persegi selalu menjadi titik singgah untuk tujuan orang ke Indonesia bagian Timur. Makassar yang berpenduduk 1,25 juta jiwa telah menjadi kota besar yang kosmopolit dan menjadi tujuan orang mengadu nasib.
9. Bali tidak hanya menjadi tujuan wisata. Bali juga menjadi tujuan orang mengadu nasib dan bertempat tinggal. Kota Denpasar ibukota Bali, terasa kian sesak dari tahun ketahunnya. Data menunjukkan, bahwa p e r t u m b u h a n p e n d u d u k k o t a D e n p a s a r diperkirakan telah mencapai 4 persen tiap tahunnya. Tahun lalu, dari 600 ribu jumlah penduduk Denpasar, komposisi antara pendatang dan penduduk asli hampir seimbang.
8. Luas Kota Medan yang hanya 265 kilometer persegi, penduduknya mencapai 2,7 juta jiwa. Tergolong padat, hingga wilayah kota Medan selalu berkembang dari waktu ke waktu. Sebagai kota yang dekat dengan pelabuhan, membuat Medan menjadi tempat peruntungan bagi mereka yang datang dan menetap.
7. Letaknya yang hanya 90 Kilometer dari Surabaya, menjadi pilihan orang yang berkunjung ke Jawa Timur untuk menyinggahinya. Sejak dulu Kota Malang dikenal sebagai tempat peristirahatan karena udara sejuknya. Itu sebabnya di Malang banyak terdapat tempat rekreasi dan peristirahatan. Malang juga menjadi tujuan bagi mereka yang ingin menuntut ilmu.
6. Surabaya saat ini telah menjadi kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta. Luasnya yang 375 kilometer persegi terasa kian sesak dari waktu ke waktu. Hadirnya industri skala besar, menjadi magnet bagi pendatang untuk datang dan tinggal. Biaya hidup yang dianggap tidak terlalu mahal juga menjadi alasan orang untuk tinggal di Surabaya.
AJT
R2
00
9
32
5. Kota hujan Bogor dipilih responden sebagai tempat tinggal, karena letaknya yang tidak jauh dari Jakarta. Kota Bogor yang beriklim sejuk telah menjadi pilihan orang yang bermata pencaharian di Jakarta. Itu sebabnya banyak pengembang membangun perumahan di wilayah Bogor.
4. Kota Solo yang berjuluk Spirit of Java ini, menjadi pilihan orang bertempat tinggal. Nuansa budaya yang kental dengan ritme kehidupan yang tidak terlalu hiruk pikuk, membuat daya tarik tersendiri bagi orang untuk bermukim di Solo.
3. Semarang kini berpenduduk 1,35 juta jiwa telah menjadi pilihan berikutnya. Letaknya yang berada di Pantai Utara pulau Jawa, memberikan kemudahan akses bagi orang untuk tinggal di sana. Hadirnya beberapa fasilitas layaknya kota besar membuat daya tarik sendiri bagi orang untuk tinggal di Semarang.
2. Bandung, yang hanya seluas 16 ribu hektar, kini telah disesaki oleh sekitar 3 juta penduduknya. Itu sebabnya problem ketersediaan lahan untuk tempat tinggal menjadi hal utama di Bandung. Kemudahan akses dari Jakarta juga menjadi faktor mengapa Kota Mode ini terasa sangat padat.
1. Yogyakarta menjadi pilihan utama responden sebagai kota yang nyaman untuk tempat tinggal. Tidak hanya sebagai tujuan wisata karena Yogyakarta kaya dengan warisan budaya, tapi juga menjadi tujuan bagi mereka yang ingin menuntut ilmu. Faktor keramahan penduduk kota Yogyakarta yang berjumlah setengah juta jiwa saat ini, juga dianggap daya tarik tersendiri di samping biaya hidup yang relatif lebih rendah.
33
TATA RUANG di mata jurnalis
Terbaik IIKategori Foto JurnalistikJawa Pos
Bencana DariRuang Konservasi
?Situku Sayang, Situku Hilang?Salah Kaprah : Berumah Di Bibir Sungai
SITUKU SAYANG,SITUKU HILANG *)
Berubahnya fungsi Situ menjadi lingkungan pemukiman
kumuh dan tempat cuci kakus telah mengubah wajah
asli Situ yang asri menjadi kotor dan penuh dengan
sampah. Kondisi tersebut sebagai imbas dari kurangnya
kesadaran masyarakat dalam mengelola lingkungan
dan kekurangtegasan pemerintah daerah dalam
menindak para perusak lingkungan di sekitar situ.
Penyalahgunaan fungsi situ dari RTH menjadi tempat
pembuangan sampah ataupun pemukiman membuat
pemerintah daerah perlu memberi anggaran yang
besar untuk memulihkan fungsi situ agar sesuai dengan
peruntukannya. Bencana yang timbul akibat
ambruknya Situ Gintung hendaknya menjadi perhatian
semua pihak bahwa pencegahan terhadap kerusakan
lingkungan akan menjadi investasi yang luar biasa
berharga untuk kehidupan masa depan umat manusia
di sekitarnya.
AJT
R2
00
9
36
Komunitas Peta Hijau membuat peta hijau situ di Jakarta untuk
mengingatkan pentingnya situ bagi kelestarian kota. Enam situ telah
lenyap.
Warna airnya hitam pekat. Di sepanjang pinggiran situ terlihat
tumpukan sampah plastik, potongan sayuran, dan sisa makanan.
Tumpukan sampah ini menjorok ke bagian danau dan memakan
permukaan situ hingga lima meter. Sepintas, melihat kondisinya,
Situ Ria Rio ini tak ubahnya kolam comberan raksasa. Aromanya
pun sungguh tak sedap. Bau busuk berebutan menusuk hidung.
Tak hanya itu. Luas situ ini dari tahun ke tahun juga menyusut, dari
sembilan hektare kini tinggal separuhnya saja. Selain itu, danau ini
*) Bagian dari Lenggak-Lenggok Jakarta
pun mengalami pendangkalan. Satu penyebabnya
adalah got yang mengucuri situ itu membawa berbagai
material yang membuatnya makin cetek. Air yang
datang adalah buangan dari perumahan warga yang
terletak di utara situ.
Pemandangan di situ yang juga disebut Situ
Pedongkelan ini pun kian tak enak dilihat mata. Kakus
kayu yang berderet di tepian situ adalah penyebab lain.
Di sinilah, warga yang tinggal di gubukgubuk liar
membuang hajat. Di balik tripleks setinggi 30
sentimeter, ditemani rokok dan kain sarung, mereka
asyik buang air besar sambil menikmati langit biru
keabuabuan di metropolitan Jakarta.
Keadaan ini tentu saja berbeda dengan yang terjadi
sepuluh tahun silam. Menurut seorang warga yang
tinggal di permukiman pinggiran danau, saat itu
keadaan danau ini masih terbilang asri. Tak beda
dengan daerah wisata. Ada perahu bebek dan rumah
makan. ”Dulu letaknya di seberang sana,” katanya
menunjuk ke arah utara waduk.
Kondisi situ mulai berubah setelah bermunculan penghuni liar yang membangun gubuk di sepanjang situ. Pelan dan
pasti, kehadiran mereka beserta anjungan hajatnya berhasil mengusir rumah makan dan air yang bening itu. Alhasil, kini
yang tersisa hanyalah tumpukan sampah, anjungan buang hajat, dan air yang hitam pekat.
Itu adalah wajah Danau Ria Rio yang paling mutakhir. Relawan Peta Hijau Jakarta, yang menyambangi situ yang terletak
di sudut persimpangan jalan yang biasa disebut perempatan CocaCola, tak jauh dari ITC Cempaka Mas, Jakarta Timur,
pada Mei lalu, terpaksa menutup hidung sembari geleng - geleng kepala.
37
TATA RUANG di mata jurnalis
AJT
R2
00
9
38
Danau Ria Rio merupakan salah satu situ di Jakarta yang
bernasib buruk. Bila dibiarkan, tentu nasibnya tidak jauh
dengan yang terjadi pada situ di Kelapa Gading Barat, Rawa
Terate, Jatinegara, Ulujami, Cilandak Timur, dan Cilandak
Barat. Situ di enam tempat itu kini hanya menyisakan kenang-
an. Tanah yang cekung itu kini berubah menjadi lahan kebun
bahkan berdiri bangunan.Keberadaan situ di Jakarta mendadak menjadi perhatian
banyak pihak setelah peristiwa Situ Gintung di Ciputat,
Tangerang, Maret lalu. Tragedi yang berawal dari jebolnya
tanggul situ tersebut menewaskan puluhan penduduk sekitar,
dan menyadarkan betapa negeri ini menyianyiakan situ.
Padahal, menilik sejarahnya, situ dibuat pemerintah Belanda
sebagai tempat resapan air, penyuplai air tanah, dan juga
sebagai penampungan air hujan. Garagara pengelolaan yang
keliru dan keteledoran masyarakatnya, tak pelak situ berubah
menjadi sumber bencana.
Kenyataan itulah yang menggerakkan Komunitas Peta Hijau Jakarta membuat sebuah peta hijau dengan fokus pada situ
Jakarta dan sekitarnya, yang dimulai sejak April hingga Juni. Mereka sebelumnya telah membuat peta hijau transportasi.
Seperti yang sudahsudah, dari penelusuran kelompok ini mereka menambahi berbagai informasi terhadap situ, termasuk
kondisi situ secara keseluruhan. Mereka pun memberikan penghargaan terhadap sepuluh situ, dari 52 situ yang mereka
survei, sebagai tempat yang dianggap menarik untuk dikunjungi.
Bekal mereka salah satunya adalah Peta Megapolitan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Karawang, Kota Cianjur,
yang disusun Dr Radika Mastra, dan diterbitkan pada 2007. Dari peta itu pula 25 orang relawan mulai bekerja. Dengan
tekun mereka menelusuri berbagai situ di Jakarta yang ada dalam buku peta itu.
39
TATA RUANG di mata jurnalis
Seperti adegan perburuan harta karun, para relawan asyik mencocokkan lokasi situ
sesuai dengan petunjuk peta, dengan kenyataan yang ada. Para relawan pun tersenyum
senang. Situ yang berada di kawasan Pulomas, Jakarta Timur, sungguh memikat mata.
Situ yang terletak hanya satu kilometer dari Danau Ria Rio ini memiliki pemandangan
yang permai nan sejuk. Air situnya beriakriak kecil. Di sekitar situ terdapat lapangan golf
dan pacuan kuda. Akhirnya ditemukan juga situ yang ”hidup layak”.
Sayangnya, untuk masuk ke situ, pengunjung harus memiliki izin dari pengelola pacuan
kuda. Tim penyusun peta pun memberikan catatan, meski terawat, situ ini tidak memberi
penduduk akses ruang terbuka.
Begitu pula Situ Lembang, yang terletak di kawasan elite pada 1960an. Hingga kini situ
itu tetap terjaga keindahannya, menjadi ruang terbuka yang ramai dikunjungi orang.
Namun, setelah pukul sembilan malam, pintu menuju kawasan ini ditutup petugas
keamanan.
Pada kesempatan lain, tim relawan mendadak kaget luar biasa. Salah satunya ketika
mendatangi situ yang terletak di pinggir Kali Sunter. Dalam peta itu, danau ini ditandai
dengan warna biru muda. Artinya, menurut legenda sebagai daerah air. Kenyataannya,
di sana tak ada lagi genangan air. Yang ada hanyalah semaksemak yang ditumbuhi
pepohonan dan dibatasi tembok. Setelah melongok ke dalam, di balik tembok itu hanya
terlihat tumpukan sampah.
Keadaan ini jelas memprihatinkan. Situ sebagai ruang terbuka hijau sudah berubah
menjadi tempat bermukim. Fungsi sebagai daerah resapan air pun lenyap.
Situ yang telanjur menjadi bangunan beton, kumuh tak terawat, atau kondisi lain
yang menyimpang dari fungsi asalnya, merupakan kenyataan pahit betapa
kacaunya perencanaan kota. Perubahan kondisi ini tentu saja memperburuk
kualitas lingkungan di Jakarta. Menanggapi keluhan itu, Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi DKI Jakarta Ir Nurfakih Wiriawan
mengungkapkan, untuk membenahi situ di Jakarta sebagai ruang terbuka bagi
publik dibutuhkan biaya yang teramat besar.
Dia menunjuk contoh Taman Ayodya di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Pembangunan fisiknya memanghanya membutuhkan biaya Rp 2 miliar. Yang
mahal di luar itu. Menurut standar Bank Dunia, untuk kebutuhan relokasi mereka
menetapkan angka Rp 1,3 triliun. ”Barangkali dibutuhkan lebih besar dari angka
itu,” katanya.
Biaya itu dipakai untuk memindahkan penduduk yang sudah telanjur mendiami
kawasan itu, membebaskan lahan, menata infrastrukturnya, dan tentu saja untuk
pembangunan dan perawatannya.
Memang, untuk hitungan masa sekarang, angka tersebut bisa dibilang mahal. Tapi
sesungguhnya semua itu adalah investasi di masa depan, demi menciptakan
Jakarta menjadi sebuah kota yang jauh lebih sehat dan juga indah. Dan investasi
hijau selalu lebih murah ketimbang harga bencana yang diakibatkan oleh
penyimpangan fungsi ruang terbuka hijau kota, termasuk situ.
AJT
R2
00
9
40
SALAH KAPRAH :BERUMAH DIBIBIR SUNGAI
Banjir di Jakarta sudah menjadi bencana
musiman setiap kali musim penghujan tiba.
Bencana tersebut salah satunya disebabkan
kurangnya kesadaran masyarakat dalam
mengelola lingkungan. Banyaknya
pemukiman dan bantaran kali dan
menumpuknya sampah makin membuat
kota Jakarta semakin semrawut dan tidak
nyaman. Warga sekitar bantaran kali merasa
bahwa bangunan mereka tidak menyalahi
aturan karena telah sesuai dengan prosedur.
Pemerintah daerah seperti biasanya selalu
lamban dalam melakukan tindakan
pelanggaran bahkan seringkali terkesan
membiarkan kondisi tersebut hingga
akhirnya bencana banjir di Jakarta semakin
besar dan meluas.
41
TATA RUANG di mata jurnalis
Terbaik IKategori TelevisiLintas 5 Sore, TPI
Banjir yang rutin menyerang Jakarta, salah satunya disebabkan
berkurangnya daerah tangkapan air. Meski menyusahkan, banyak warga
yang menyerobot bibir sungai, menjadi tempat tinggal. Pemerintah pun
salah kaprah, membiarkan permukaan sungai menyempit.
Banjir….., menjadi tamu tahunan yang menghantui warga dan kota
Jakarta. Di setiap musim penghujan, teror banjir menyebar di sejumlah
titik. Hemmm….!!! Jika sang banjir datang, kota Jakarta pun berubah
menjadi kolam renang raksasa. Setiap tahun, banjir selalu lebih besar dan
bertambah luas. Banyak kawasan yang tadinya aman-aman wae, tiba-tiba
ikut tergenang. Maklum, perluasan kota, membuat daerah resapan air
terus berkurang, atau bisa disebut menghilang.
Lihatlah kali apuran, di Cengkareng Jakarta Barat ini. Sahibul
Hikayat/ Dulu lebar sungai ini hampir sepuluh meter, tapi kini, sudah
berubah jadi pemukiman. Kali pun habis dilalap bangunan warga.
Anehnya, warga tak merasa bersalah. Mereka beranggapan,
pemukiman itu sah dan sesuai prosedur. Ckk.. ckk..ck… Membuat
bangunan di kawasan bantaran kali memang tidak diperbolehkan.
Namun, pengawasan dan kontrol oleh pemerintah terkesan lambat.Di
Jakarta, kawasan daerah aliran sungai banyak yang beralih fungsi dan
salah kaprah. Banyak warga yang menyerobot bantaran kali untuk
dijadikan tempat tinggal.Banyaknya bangunan yang salah kaprah ini
merupakan salah satu penyebab banjir terus meneror Jakarta.
Kalau hujan sudah tiba, Jakarta pasti banjir. Nah kalau sudah begini
bakal membawa sengsara banyak warga. Biar gak kena banjir,
makanya jangan salah kaprah, eh salah membangun. Kawasan daerah
aliran sungai harus benar-benar bebas dari bangunan.
AJT
R2
00
9
42
43
TATA RUANG di mata jurnalis
HebohRuang Terbuka Hijau(RTH)
?Warga, Tata Ruang, Jakarta Lestari?Keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Sebagai
Aspirasi Kehidupan Ekonomi, Pendidikan, Sosial Dan Budaya, Keagamaan Bagi Masyarakat Kota Tangerang
?Mimpikah Jakarta Memiliki 30% RTH?
WARGA,TATA RUANG,JAKARTA LESTARITerbaik IKategori Media Onlinewww.rujak.org
Pembangunan kota Jakarta kini semakin tidak
terkendali. Kondisi tersebut semakin
menumbuhkan pesimisme dari pihak Pemprov
Jakarta bahwa mereka dapat mewujudkan
amanat undang-undang untuk menyediakan
ruang terbuka hijau sebanyak 30 %. Namun hal
tersebut sebenarnya bukanlah sesuatu yang
mustahil. Para pemegang kebijakan hendaknya
memiliki visi yang jelas dan jauh ke depan dalam
pembangunan kota Jakarta. Pemerintah juga
perlu mendukung inisiasi yang dikembangkan
masyarakat dalam menumbuhkan areal-areal
hijau, karena tanpa adanya dukungan yang
nyata dari pemerintah, tentunya tidak akan
terjadi perubahan yang sifatnya sistemik dan
menyeluruh bagi lingkungan yang lebih baik.
AJT
R2
00
9
46
Pada ulang tahun Jakarta kali ini, pemerintah DKI Jakarta
seharusnya sudah menyelesaikan Rencana Tata Ruang Wilayah
untuk kota ini. Rencana yang berlaku sekarang segera habis masa
berlakunya tahun depan. Penataan ruang adalah tugas pemerintah
yang tidak dapat didelegasikan kepada siapa pun.
Karena ruang itu sendiri merupakan sumber daya. Penataan ruang
berfungsi mengatur sumber daya paling penting dalam kehidupan
bersama. Ruang adalah tempat peristiwa transaksi ekonomi
maupun sosial-budaya. Pada ruang melekat sejarah dan makna-
makna yang mengalir sampai jauh tanpa dapat dipotong-potong
semena-mena.
Suatu Rencana Tata Ruang Wilayah pada dasarnya memaparkan atau setidaknya bersandar pada suatu visi. Visi ini tidak
terkira pentingnya untuk memandu kita menuju masa depan, termasuk dalam memecahkan masalah yang ada sekarang.
Kita memang harus menyelesaikan masalah yang selama ini tertunda, misalnya banjir, kemacetan, dan demam berdarah.
Tetapi menyelesaikan masalah di depan mata memerlukan visi yang jauh ke masa depan sebagai panduan. Untuk
menyelesaikan kemacetan kita perlu visi tentang angkutan umum dan integrasinya dengan land-use untuk Jakarta hingga
akhir abad ini. Untuk menyelesaikan masalah banjir kita perlu visi tentang pengelolaan air secara komprehensif 100 tahun
ke depan. Itulah yang dilakukan oleh para pemimpin dan perencana sepanjang sejarah manusia.
Sekarang kita sudah tahu harganya keterlambatan. Bukan saja biaya untuk memperbaiki menjadi mahal tidak terkira,
tetapi juga biaya sosial dan budaya yang membuat kita ribut satu sama lain. Saluran dan kanal di Jakarta yang karena tidak
dirawat (antara lain dikeruk) secara berarti selama lebih dari 30 tahun, menurut suatu studi, telah menurun kapasitasnya
hingga 40 persen. Menurut studi itu, banjir akan cukup tertanggulangi kalau kapasitas itu dikembalikan seperti semula
dan dirawat.
Tindakan tanpa visi komprehensif juga
mudah menyebabkan inkonsistensi.
Gubernur baru-baru ini mengeluhkan
betapa tidak mungkinnya mencapai target
j u m l a h r u a n g t e r b u k a 3 0 p e r s e n
sebagaimana disyaratkan undang-undang.
Pada saat yang sama ruang terbuka di
bawah jalan layang kereta api di
Gondangdia, yang selama ini telah
digunakan untuk instalasi komposting dan
pembiakan tanaman hias atas prakarsa
masyarakat dan kantor kelurahan, telah
sebagian digusur untuk perluasan lapangan
parkir Buddha Bar.
47
TATA RUANG di mata jurnalis
Inkonsistensi bukan soal sepele. Untuk berubah segera dan besar-
besaran orang perlu percaya bahwa semua pihak akan
melakukan bagiannya secara konsisten. Lebih dari sebelumnya,
kita kini sungguh memerlukan pemerintah yang dapat dipercaya
untuk membuat dan melaksanakan kebijakan dengan konsisten.
Tidak ada hal yang terlalu kecil dalam hal ini, sebab taruhannya
adalah kepercayaan, yang menjadi dasar bagi keinginan untuk
berubah secara mendasar serentak bersama-sama.
Visi diperlukan untuk memberikan jiwa kepada tindakan,
sehingga tidak bertentangan satu dengan lain. Kelestarian tidak
bisa tidak harus menjadi jiwa baru dalam kita membangun.
Soalnya sudah mendesak. Air laut sudah dipastikan akan naik.
Gejala urban heat islands (temperatur di tengah kota meningkat
melebihi pinggiran, sementara aliran udara melambat) sudah
nyata. Tidak ada yang dapat lebih dirusak. Yang dapat dilakukan
hanya memperbaiki, "membangun" kembali.
Tiba-tiba kata "membangun" berbunyi lain dalam sukma kita. Di
dalamnya harus ada paham tentang akumulasi, tentang
kelestarian. Kita membangun bukan hanya untuk kita yang
hidup di masa kini, tetapi juga untuk hidup yang akan datang.
Sebab, kita sekarang sudah menjadi korban dari cara
"membangun" yang tidak lestari dari generasi sebelumnya. Kita
tidak ingin mengulanginya. Sudah lama dikatakan bahwa green
is the new red, yang saya mengerti sebagai solidaritas intra dan
antar-generasi, serta antar-spesies.
Kesempatan membangun yang lestari tak dapat ditunda lagi.
Solidaritas pun sedang merebak dalam bentuk prakarsa
kelompok-kelompok masyarakat yang berjuang
memperbaiki lingkungan. Masyarakat kita telah
makin tumbuh sebagai kelas menengah yang jauh
lebih cerdas dan mandiri dibandingkan dengan 10
tahun lalu. Prakarsa dari bawah ini sangat
strategis karena mengakar melalui praktek dalam
tubuh masyarakat--tempat terjadinya perubahan
efektif. Prakarsa ini tidak boleh hilang akibat
tindakan atau kebijakan yang salah--yang
sayangnya juga masih terus kita alami dari waktu
ke waktu.
Sebenarnya berlebihan untuk mengatakan bahwa
unsur terpenting sebuah kota adalah warganya.
AJT
R2
00
9
48
Namun, anehnya sepanjang sejarah ada saja orang yang merasa perlu mengingatkannya kembali.
Shakespeare menulis begitu. Sebelumnya Sophocles juga. Kini para pengusung ekonomi kreatif
berpendapat hal yang sama juga.
49
TATA RUANG di mata jurnalis
Warga sekarang mudah menyebarkan dan mendapatkan informasi.
Proses belajar dan meniru pun makin mudah dan cepat. Tetapi
perubahan sistemik memerlukan peran negara, yang harus
menjamin bahwa perubahan yang dimulai, didukung, dijaga warga
dan ditiru semua pihak, termasuk pemerintah. Negara juga harus
memaksa yang bandel. Karena perubahan hanya efektif bila terjadi
bersama-sama dan menyeluruh.
Salah satu kelemahan manusia ialah ia tidak ingin berubah
sendirian, dan selalu menunggu teladan atau pemimpin. Sebab itu
kata-kata Mahatma Gandhi, "You ought to be the change you wish to
AJT
R2
00
9
50
see in this world." Selain itu, manusia juga tidak ingin "menahan diri sendirian" dalam memanfaatkan sumber daya
bersama seperti alam. Sebab, "Kalau bukan aku, toh ada orang lain yang akan menghabiskannya.”
Kini kita mencatat di seluruh Jakarta ada beragam prakarsa masyarakat. Ada kumpulan ibu-ibu yang ingin mengaktifkan
taman lingkungan dan tepian kali untuk berbagai kegiatan. Ada yang memilah sampah dan bikin kompos. Ada yang
membangun pusat kesenian. Ada yang mengembangkan komunitas sepeda, peta hijau, tur tempat bersejarah, dan banyak
lagi. Pemerintah perlu mendukung semua prakarsa itu supaya beranak-pinak dengan cepat dan masif. Pemerintah dapat
memudahkan dan memberikan insentif, alokasikan dana untuk memajukan kompetisi positif di kalangan masyarakat.
Warga kadang memerlukan venture capital untuk prakarsa yang hasilnya akan berguna bagi khalayak.
51
TATA RUANG di mata jurnalis
Di Seattle, Amerika Serikat, tersedia anggaran pemerintah kota bagi warga yang
memulai bisnis car-pooling, misalnya. Di Aichi, Jepang, ada dana untuk masyarakat
yang menggunakan peta hijau untuk mengidentifikasi tindakan meningkatkan
kualitas lingkungannya.
Warga perlu mendapat jaminan bahwa pemerintah juga melakukan tugasnya,
sehingga ada saling percaya bahwa semua pihak melakukan bagiannya. Di Santa
Monica, Amerika Serikat, ada peraturan daerah zero run-off. Warga dilarang
membuang air apa pun, termasuk air hujan yang jatuh ke halamannya, ke saluran
kota. Sebaliknya pemerintah juga mengumpulkan air hujan yang jatuh di ruang
khalayak untuk didaur ulang pada suatu instalasi yang sengaja dibuat mencolok.
Yang perlu dilakukan pemerintah sungguh berat. Diperlukan perombakan
epistemologi, metodologi dan nomenklatur yang telanjur terlembaga dalam undang-
undang, pendidikan, dan praktek profesional penataan ruang. Pada suatu diskusi di
University of British Columbia, Vancouver, Maret lalu, yang dihadiri ahli Asia seperti
Terry McGee ("Desa-Kota"), Michael Leaf, John Friedmann, Jo Santoso, Abidin Kusno,
dan beberapa pejabat Bappeda Jakarta, disimpulkan bahwa tanpa perombakan itu,
tidak akan diperoleh Rencana Tata Ruang Wilayah yang berguna. Saya menganjurkan
bagaimanapun juga Jakarta harus mencari celah untuk menjadi pionir dengan
menerapkan metodologi dan nomenklatur baru. Tapi entah itu mungkin atau tidak,
termasuk ada-tidaknya energi di kalangan birokrasi untuk keperluan tersebut. Kalau
ada, kita wajib mendukungnya.
KEBERADAANRUANG TERBUKA HIJAU (RTH)SEBAGAI ASPIRASI KEHIDUPANEKONOMI, PENDIDIKAN,SOSIAL DAN BUDAYA, KEAGAMAANBAGI MASYARAKAT KOTA TANGERANGTerbaik IIIKategori Media Onlinewww.tangerangkota.go.id
Kota Tangerang sebagai kota yang relatif
masih baru ternyata kini telah berkembang
pesat. Namun keterbatasan lahan
diperkirakan akan menimbulkan ekses yang
kurang baik terutama terhadap kualitas
lingkungan. Langkah nyata dari pemerintah
setempat untuk menata kotanya
memberikan angin segar bagi pembangunan
kota Tangerang yang lebih baik.
Pembangunan sekolah-sekolah, perbaikan
sarana /fasilitas umum dan pusat
perekonomian terus digalakan untuk
memberi kenyamanan bagi masyarakat kota
Tangerang. Pemerintah kota Tangerang juga
memberikan aturan bagi para investor agar
menyediakan ruang terbuka hijau dalam
pembangunan sarana, pemukiman, ataupun
pusat bisnis. Dengan telah terpenuhinya
prasyarat RTH sebesar 30%, maka
masyarakat kota Tangerang dapat
menikmati kondisi lingkungan yang hijau,
asri dan terjaga kualitasnya, sehingga hal ini
dapat meningkatkan aktivitas ekonomi,
sosial budaya dan keagamaan.
AJT
R2
00
9
52
Pemerintah Kota Tangerang terbentuk pada tanggal 28 Februari 1993 sampai
dengan tahun 2003-an, kondisi prasarana dan sarananya masih kurang
lengkap dan sangat terbatas dengan segala fasilitas sarana dan prasarana
yang dimilikinya, terlihat dari kondisi sarana dan prasarana pendidikan,
kesehatan, pasar-pasar kumuh, sarana transportasi (jalan lingkungan, jalan
kolektor/penghubung maupun jalan primer/utama), kondisi ruang terbuka
hijau, ketertiban, kebersihan, keamanan dan ketertiban, social dan budaya
serta ekonominya.
Namun demikian mulai tahun 2004-an, Penulis melihat telah terjadi
perkembangan pembangunan yang sangat significant, mengingat dari
peningkatan jumlah penduduk Kota Tangerang dari tahun 1993 sampai
dengan tahun 2004-an, hingga saat ini mencapai jumlah + 1.5 juta jiwa,
peningkatan jumlah penduduk ini selalu diiringi pertumbuhan ekonomi yang pesat dan meningkatnya akan supply and
demand akan sarana dan prasarana yang memadai bagi masyarakat. Namun disisi lain adanya keterbatasan lahan untuk
pembangunan, juga hal ini selanjutnya akan menimbulkan tekanan terhadap kualitas lingkungan di wilayah Kota
Tangerang.
Melihat permasalahan kondisi tersebut di atas, maka Pemerintah Kota Tangerang dibawah kepemimpinan Bapak
Walikota Tangerang saat itu hingga kini yaitu Bapak H. Wahidin Halim mulai tahun 2004 mulai berbenah, berdasarkan
keinginan dan harapan yang sangat bijak dari Bapak Walikota Tangerang untuk segera melakukan pembenahan dan
perubahan terhadap segala fasilitas-fasilitas sarana dan prasarana yang dimiliki untuk diperbaiki dan dibangun dalam
rangka memenuhi harapan dan keinginan masyarakat Kota Tangerang agar dapat dinikmati secara baik.
Hasilnya ternyata sungguh fantastis, terlihat
ada beberapa indicator yang dapat digunakan
untuk mengukur tingkat keberhasilan tersebut,
adanya perubahan pembangunan yang sangat
significant di lapangan yang sudah dilakukan
antara lain : untuk sarana dan prasarana
Pendidikan, te lah di laksanakannya
pembangunan baru dan perbaikan terhadap
Bangunan Sekolah Dasar, SMP, SMA amupun
SMK berdiri sangat kokoh dan mentereng (2
lantai) sebanyak + 220 unit, unit sarana
kesehatan (pembangunan Puskesmas baru,
Posyandu dengan kuantitas dan kualitas yang
sangat baik), Pembangunan Pasar Baru dengan
merevitalisasi dan menutup Pasar Cikokol
yang menjadi cikal bakal sumber kekumuhan
telah berubah menjadi Pasar Babakan dan
pasar-pasar lainnya menjadi tertib, sarana
rekreasi, pusat perbelanjaan, kebersihan,
53
TATA RUANG di mata jurnalis
semangat kerja, ketertiban dan ruang terbuka hijau, hal ini tentunya merupakan keinginan dan
harapan telah dicapai bagi masyarakat Kota Tangerang.
Pada tatanan kondisi jasmani/fisik Kota Tangerang, saat ini pun masyarakat Kota Tangerang sudah
dapat menikmati pemenuhan kebutuhannya dengan baik, terlihat dari beberapa indikator yang
dapat dilihat dan diukur tingkat keberhasilannya tersebut, antara lain terdiri dari aspek-aspek
pemenuhan kebutuhan akan air bersihnya, sarana transportasi, jalan-jalan (penghubung/kolektor,
jalan lingkungan maupun jalan primer) sudah terbangun mulus, pasar (tertata rapi, hijau dan tertib),
sarana ibadah, pusat perbelanjaan, keamanan, ketertiban dan kebersihan sudah relative terjaga
dengan baik, jaringan informasi dan komunikasi serta sarana tempat tinggal yang sudah semakin
hijau dengan segala jenis pohon-pohon yang produktif maupun pohon-pohon rindang sebagai
fungsi pelindung yang berguna bagi masyarakat dalam berinteraksi ekonomi, sosial dan budaya,
keagamaan serta pendidikan bagi para penghuninya.
AJT
R2
00
9
54
55
TATA RUANG di mata jurnalis
Sedangkan pada tatanan kondisi rohani kota. Pemerintah Kota
Tangerang telah menampung semua aspirasi kehidupan
masyarakat Kota Tangerang termasuk ekonomi, politik,
administrasi, pendidikan, social budaya dan keagamaan. Potensi
lain yang dimiliki oleh Kota Tangerang kondisi potensi sumber
daya manusia, sebagai daerah tujuan pariwisata, kondisi strata
social ekonomi yang beragam serta kecenderungan hidup yang
agamis, kelebihan lain yang dimiliki oleh Kota Tangerang adalah
memiliki suatu jaringan kehidupan masyarakat yang memiliki
budaya dan jiwa yang berahlaqul kharimah.
Melihat kondisi pembangungan saat ini yang sudah dicapai
demikian pesatnya di Kota Tangerang, tentunya selalu diiringi
dengan adanya pertumbuhan permukiman (permukiman
dengan skala atas, menengah dan sedang) di Kota Tangerang,
hal ini akan mengakibatkan berbagai permasalahan lingkungan,
seperti berubahnya sistem hidrologi, peningkatan pencemaran
air dan udara serta rusaknya keindahan dan keasrian
lingkungan.
Penulis akan membatasi permasalahan ini dalam konteks siklus
hidrologi dan ruang terbuka hijau (RTH), bilamana kita ingin
mengetahui bahwa air hujan yang jatuh ke permukaan bumi,
maka sebagian akan mengalir sebagai run off (aliran permukaan)
dan sebagian lagi masuk ke dalam tanah sebagai iinfiltrasi.Dengan adanya berbagai pembangunan fasilitas sarana dan
prasarana di Kota Tangerang sedikit banyaknya telah mengubah
sistem hidrologi ini. Daerah yang semula memiliki ruang
terbuka hijau yang luas, kini telah banyak beralih fungsi menjadi
AJT
R2
00
9
56
permukiman dan sarana pusat perbelanjaan. Akibatnya proses infiltrasi
akan berkurang dan aliran permukaan akan bertambah.
Banyaknya aliran permukaan yang tidak didukung dengan sistem drainase
dan resapan air yang baik, akan memicu terjadinya banjir. Banjir akan
melanda daerah sekitar aliran sungai atau daerah yang lebih rendah. Banjir
yang terjadi disebabkan oleh sempitnya lebar sungai akibat adanya
bangunan disekitar bantaran sungai, dan perluasan jalan pada pinggir
sungai, hal ini tentunya mudah-mudahan tidak terjadi di wilayah Kota
Tangerang walaupun penduduknya cukup padat.
Namun demikian, bilamana berkurangnya infiltrasi, hal ini akan
menyebabkan berkurangnya ketersediaan air tanah. Begitu pula untuk
kebutuhan air minum yang meningkat menjadi permasalahan bagi
pemerintah Kota Tangerang.
Terlebih lagi jika musim kemarau datang, di beberapa tempat sering
mengalami kekeringan dan kekurangan air dan permukaan air tanah
semakin dalam. Untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas, Bapak
Walikota Tangerang menerapkan kebijakan bagi para pengembang maupun
investor yang akan membangun fasilitas sarana dan prasarana dalam
mengembangkan usahanya/investasinya di Wilayah Kota Tangerang, harus
mampu menyediakan daerah resapan air (tandon air/sumur resapan dan
lubang biopori) dan menyediakan Ruang Terbuka Hijau /Taman-taman.
Manfaat yang dapat diperoleh dengan banyak dan tumbuh
kembangnya keberadaan Ruang Terbuka Hijau (Taman, Hutan
Kota, dll) di Wilayah Kota Tangerang adalah selain berfungsi
sebagai keindahan, keasrian lingkungan dan hijau juga sebagai
menyerap polusi udara yang sangat baik, terutama untuk dapat
menyerap adanya asap kendaraan bermotor dan kegiatan-kegiatan
industri. Fungsi lainya adalah sebagai daerah resapan air untuk
menampung air larian dan tempat berinteraksi social budaya,
ekonomi dan pendidikan bagi masyarakat Kota Tangerang setelah
menjalankan kegiatan rutinitasnya sehari-hari.
Bagaimana upaya yang dilakukan untuk melaksanakan
pengendalian Ruang Terbuka Hijau ? Sa;ah satu upaya
Pengendalian RTH khususnya penanganan penghijauan
lingkungan di kota Tangerang perlu dilakukan melalui pekerjaan
fisik yang melibatkan stakeholders dan masyarakat (Tim
Pengawasan Pembangunan dan memonitor secara fisik lapangan)
untuk secara continue dilaksanakan di Kota Tangerang.
57
TATA RUANG di mata jurnalis
Secara indikatif kondisi lahan terbuka hijau di Kota Tangerang, berdasarkan proporsional untuk RTH yang
bersifat Good / Publik kisarannya mendekati angka + 20%, sedangkan untuk RTH yang bersifat Private sudah
mencapai di atas 10% (misalnya : taman-taman di kawasan perumahan permukiman, perkantoran, sekolah-
sekolah, gedung/perkantoran, dll). Merujuk pada ketentuan Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, maka prasyarat yang wajib untuk dipenuhi oleh suatu Pemerintah Kota adalah Ketersediaan
RTH sebesar 30% dengan rincian RTH untuk Publik 20 % dan RTH untuk Private sebesar 10 %. Mengapa perlu dilakukan Pengendalian RTH? Karena Pengendalian RTH bertujuan sangat baik demi
terwujudnya penghijauan lingkungan dan memperbaiki serta menjaga iklim mikro, nilai estetika dan fungsi
resapan air, serta menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota.
Kegiatan lain dalam rangka mendukung Pengendalian Ruang Terbuka
Hijau tersebut dapat diupayakan melalui langkah-langkah identifikasi
jenis-jenis pohon yang perlu ditanam dan dipelihara secara rutin dan
dievaluasi penanganannya sehingga dapat menjadi pedoman bagi
Lembaga/Dinas terkait sebagai pengelola RTH di Kota Tangerang .
Selanjutnya ada beberapa langkah / cara yang dapat ditempuh untuk
mencapai harapan demi terwujud RTH-RTH yang baru, hijau dan asri
adalah :1. Mengkampanyekan gerakan menanam pohon agar dapat menyebar
ke berbagai lapisan masyarakat di wilayah di Kota Tangerang.
2. Melaksanakan penghijauan di lokasi – lokasi : Sekolah-sekolah,
Kanan-Kiri Jalan, Gedung/Perkantoran, Daerah Aliran Sungai
/Situ-Situ, Hutan Kota dan Taman Kota, Kawasan Industri dan
Kawasan Permukiman penduduk, dll
Secara khusus program-program tersebut di atas, sudah sering
diinstruksikan oleh Bapak Walikota Tangerang, agar dapat mengajak
dan melibatkan masyarakat secara massal.
AJT
R2
00
9
58
Sebagai bahan referensi untuk jenis-jenis pohon pelindung yang dapat ditanam di wilayah Kota Tangerang agar dapat
mempunyai fungsi antara lain untuk :1. Menyerap CO2 (Pohon Trembesi, Ecaliptus, Kupu-kupu, Glodogan Tiang, dll)2. Menyerap Partikerl limbah (Pohon Mahoni , Damar, Tanjung, dll)3. Menapis Bau (Pohon Tanjung, Kemuning, Bambu Jepang, Pandan, Cempaka, dll).4. Melestarikan Air Tanah (Pohon Bungur, Kelapa, Cemara Laut, dll)5. Pengamanan Pantai /Abrasi (Pohon Manggrove, Kacang Nipah, dll).
Harapan penulis, dengan semakin banyak Ruang Terbukla Hijau baik secara kualitas maupun kuantitas di Kota
Tangerang, maka kondisi lingkungan akan semakin baik, hijau dan asri dan terjaga kualitas lingkungannya, sehingga hal
ini dapat meningkatkan interaksi dan aspirasi kehidupan bagi masyarakat di Kota Tangerang, tentunya banyak aktivitas
ekonomi, social budaya dan kegamaan yang tumbuh dan berkembang dengan secara baik.
Demikian semoga bermanfaat bagi penulis maupun para pembaca, atas perhatiannya diucapkan banyak terimah kasih.
59
TATA RUANG di mata jurnalis
Saat ini RTH di kota Jakarta baru sekitar 9,97 % dan
masih jauh dari standar minimal RTH 30% sebagaimana
yang diamanatkan UU No 26/2007. Pemprov Jakarta
menilai bahwa pemenuhan RTH sampai 30 % adalah hal
yang sangat sulit. Namun di lain pihak mereka malah
tetap memberikan ijin bagi pembangunan mal,
perkantoran, apartemen mewah, maupun sarana-
sarana komersil lainnya. Pemerintah daerah Jakarta
harus memiliki kesungguhan dalam mewujudkan RTH
30% karena pencapaian tersebut bukanlah hal yang
mustahil. Pembangunan ruang hijau diatas gedung, roof
garden ataupun jalur pengaman hijau akan mendukung
upaya pemenuhan RTH. Pencegahan bencana banjir
yang makin meluas di Jakarta hendaknya dimulai
dengan menata kota dan memberikan ruang yang
cukup bagi pemenuhan standar RTH sesuai dengan
undang-undang.
MIMPIKAH JAKARTAMEMILIKI 30% RTH?
AJT
R2
00
9
60
Terbaik IIIKategori RadioTrijaya FM
Bisakah anda bayangan kondisi Jakarta pada tahun 2030 ?
Diprediksi, terjadi lonjakan pesat volume penjualan masker, antrian
pasien berderet di tempat praktik dokter karena sesak nafas. Bahkan
saat week end, kita mungkin tidak akan bisa jalan-jalan ke mall naik
mobil pribadi, karena program car free day akan diperluas ke semua
jalan di Jakarta. Mengapa hal itu bisa terjadi? Jawabnya sangat
mudah. Ruang terbuka hijau di wilayah ibukota menyusut sangat
drastis.
Mengacu pada Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang
penataan ruang, disebutkan : dalam tata ruang perkotaan perlu
dibangun ruang terbuka hijau minimal 30 persen dari luas wilayah.
Berapa persen ruang terbuka hijau di Jakarta ? Menurut catatan
Pemprov DKI Jakarta, saat ini hanya tersedia 9,97
persen ruang terbuka hijau di ibukota RI ini. Pada
tahun 2010 ditargetkan naik jadi 13,96 persen sebuah
angka yang cukup fantastis untuk ukuran Jakarta.
Gubernur Fauzi Bowo pun angkat tangan, ketika
harus memenuhi target tersebut. Alasannya, untuk
penambahan satu persen saja, dibutuhkan
pembebasan tanah seluas 650 hektar atau setara
dengan 6 kali luas Monas.
Beberapa tahun ini Pemprov DKI Jakarta, gencar
menggusur lokasi yang sebenarnya diperuntukkan
bagi ruang terbuka hijau, namun dipakai untuk hal
lain. Pembangunan sarana bus Transjakarta
penggusuran Pasar Barito, pedagang keramik di
Rawasari, pedagang buku di Kwitang, beberapa
pompa bensin di jalur hijau, serta penggusuran 16
komunitas. Alasannya untuk mengembalikan fungsi
ruang hijau. Padahal tidak lebih dari arogansi
penguasa yang cenderung berpihak ke pemodal
besar.
Catatan Walhi menyebutkan, selama 20 tahun
terakhir, ada 44 bangunan berupa hotel, wisma, villa,
perumahan mewah, pusat perbelanjaan, dan
lapangan golf berdiri di area terbuka hijau. Di
antaranya Senayan City, Ratu Plaza, Sudirman Place,
Depdiknas, Wisma Fajar, Hotel Mulia, Hotel Sultan,
Simprug Golf, serta Senayan Resident Apartement.
Selain bisa menimbulkan banjir, penyusutan ruang terbuka
hijau juga berbahaya bagi menipisnya udara bersih Jakarta.
Minimnya ruang terbuka hijau tidak mampu membantu
menetralisir racun dari asap kendaraan bermotor, industri,
dan lainnya, yang menjadikan jakarta menyandang predikat
”kota terpolusi ketiga dunia” versi WHO.
Di mata Slamet Daroyni, Direktur Indonesia Hijau, awal tahun
90-an adalah awal prestasi buruk Jakarta, karena masifnya
upaya pemutihan peruntukan lahan yang cenderung pro
pengusaha besar dengan dalih ekonomi.
Senada dengan Slamet, Anggar Raharja seorang warga
Mampang, Jakarta Selatan juga mengkritik pendirian
bangunan yang begitu cepat di sejumlah tanah kosong,
sehingga Jakarta mempunyai ruang terbuka hijau, hanya jadi
mimpi belaka.
61
TATA RUANG di mata jurnalis
Namun, sikap pesimis dan asal kritik, memang bukan solusi tepat dalam kondisi saat ini. Yang
diperlukan adalah segera bertindak untuk menyelamatkan Jakarta dari kota yang identik dengan
bencana, polusi, dan panas. Dengan lahan yang sangat sempit dan tiap tahunnya dijejali para
pendatang, tentunya Jakarta sangat sulit menambah ruang terbuka hijau, kalau hanya mengacu pada
lahan yang ada.Yayat Supriyatna, dosen Fakultas Arsitektur dan Lanskap Lingkungan Universitas
Trisakti mengatakan, sebenarnya potensi penambahan ruang terbuka hijau di jakarta bisa sampai 31
persen, bukan sekadar 30 atau hanya 13%!. Caranya dengan membangun ruang hijau diatas gedung,
roof garden, atau jalur pengaman hijau.
AJT
R2
00
9
62
Pihak Pemprov DKI Jakarta sendiri, upaya penambahan ruang terbuka
hijau memang tidak henti-henti digalakkan. Menurut Dwi Bintarto,
Kepala Bidang Taman, Dinas Pertamanan dan Pemakanan DKI Jakarta,
kendala dana memang tidak terelakkan lagi.Sebelum nasi menjadi
bubur, pemerintah daerah DKI Jakarta sebagai pengambil keputusan
masalah ruang terbuka hijau di ibukota perlu membuat upaya riil.
Berbagai seminar, tulisan di media, workshop, atau perdebatan tentang
pentingnya ruang terbuka hijau di Jakarta, harus segera diwujudkan
dalam tindakan nyata. Slamet Daroyni berpendapat, evalusi
keseluruhan peruntukan lahan memang tidak bisa ditawar lagi.
Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo harus terus didorong
dan diingatkan untuk tidak pesimis mewujudkan 30% ruang terbuka
hijau di Jakarta. menurut Yayat Supriyana, sikap pesimis dan defensif
harus dibuang, demi Jakarta tercinta. Angka 30% untuk ruang terbuka
hijau di Jakarta harus dikejar sampai akhir jaman.
Warisan berharga bagi anak cucu kita adalah kondisi Jakarta yang
ramah lingkungan, hijau, minim polusi, dan bebas banjir, bukan sebuah
kondisi yang membuat kualitas hidup anak cucu kita menjadi jauh di
bawah standar.
63
TATA RUANG di mata jurnalis
Terbaik IIIKategori Foto JurnalistikKantor Berita Antara
Perubahan Iklimdan Tata Ruang
?Hukum, Perubahan Iklim, Dan Kebijakan Tata Ruang (1)?Hukum, Perubahan Iklim, Dan Kebijakan Tata Ruang (2)
HUKUM,PERUBAHAN IKLIM,DAN KEBIJAKAN TATA RUANG (1)
Saat ini perubahan iklim telah membuat kita
semakin menyadari pentingnya menjaga
lingkungan. Perubahan iklim menjadi isu
penting yang dikaitkan dengan isu-isu
perdagangan dan kebijakan tata ruang.
Perubahan temperatur global membawa
implikasi terhadap pangan, ketersediaan air,
dan ekosistem seperti kerusakan terumbu
karang. Bahkan melahirkan kondisi cuaca
yang ekstrim dan resiko perubahan besar
yang bersifat mendadak. Hal yang sederhana
dapat kita lihat dari ketersediaan air yang
semakin terbatas Oleh karena itu diperlukan
payung hukum yang secara tegas mengatur
masalah pencegahan dan pengendalian
terhadap dampak perubahan iklim
AJT
R2
00
9
66
Terbaik IIKategori Onlinehukum.online
Perubahan iklim menjadi isu penting yang dikaitkan dengan isu-isu
perdagangan dan kebijakan tata ruang. Instrumen hukum menjadi
penting mengantisipasi peluang dan dampaknya. Bagaimana dengan
Indonesia?
Ungkapan Cicero, ubi societas ibi ius, seolah menjadi spirit yang
menjiwai batin para peserta seminar Climate Change and Carbon
Trading in Indonesia di Jakarta, 25 Juni lalu. Dimana ada masyarakat di
situ ada hukum. Hukum dan masyarakat saling mempengaruhi. Ketika
terjadi perubahan iklim di bumi, manusia sebagai penghuni utama pun
bersiap menyambutnya. Kalau tidak memiliki kepastian hukum,
perubahan iklim akan melindas banyak kepentingan.
Seminar yang diselenggarakan di
kampus Universitas Tarumanegara itu
menjadi relevan, bukan saja karena tema
perubahan iklim dikaitkan dengan legal
certainty, tetapi juga karena perhelatan
itu digagas dan didukung para
pemangku kepentingan bidang hukum.
Penyelenggaranya adalah Indonesian
Alumni of International Development
Law Organization (IDLO). Perhimpunan
Advokat Indonesia, Fakultas Hukum
Universitas Tarumananegara, kantor
pengacara Budidjaja & Associates, dan
hukumonline ikut mendukung acara
tersebut.
Para pemangku kepentingan tampaknya
menyadari betul pentingnya persiapan
payung hukum menyambut perubahan
iklim. Badan dunia Perserikatan Bangsa
B a n g s a ( P B B ) m a l a h s u d a h
mengeluarkan kerangka kerja, berupa
United Nations Framework Convention
on Climate Change (UNFCCC). Tentu
saja, Protokol Kyoto dan pertemuan-
pertemuan lain sesudahnya tidak bisa
dilepaskan dari isu ini.
Perubahan iklim sudah terjadi. Ia bukan
sesuatu yang masih jauh di hadapan
sana. Faktanya, bumi terasa semakin panas. Rumah kaca membawa efek
yang tidak sedikit. Pembabatan hutan secara tidak terkendali turut
memperparah keadaan. Permukaan air laut terus naik. Penelitian yang
dilakukan Sutisna dan kawan-kawan pada 2002 silam menunjukkan
kecenderungan naiknya permukaan air laut di tiga lokasi pantai Utara
Jawa, yaitu Tanjung Priok, Semarang, dan Jepara. Ada perubahan
permukaan 8 milimeter per tahun.
Pada akhirnya, kata Sulistyowati, Asisten Deputi Bidang Pengendalian
Dampak Perubahan Iklim Kementerian Negara Lingkungan Hidup,
dampak perubahan temperatur global membawa implikasi terhadap
pangan, ketersediaan air, dan ekosistem seperti kerusakan terumbu
karang. Bahkan melahirkan kondisi cuaca yang ekstrim dan resiko
perubahan besar yang bersifat mendadak. Bisa jadi, bencana tsunami di
Aceh dapat dibaca dalam konteks perubahan alam yang bersifat
mendadak ini.
67
TATA RUANG di mata jurnalis
Air memberikan contoh yang konkrit. Ketersediaan air bersih semakin berkurang, terutama
di kawasan perkotaan seperti Jakarta. Semakin lama air menjadi barang langka. Akibat
perubahan iklim global, kelangkaan air (water scarcity) akan meningkat sebesar 20 persen
dalam 25 tahun ke depan. Sementara pertumbuhan penduduk tak bisa dikendalikan, dan
kebutuhan akan lahan kian meningkat. Kondisi makin mengkhawatirkan tergambar dari hasil penelitian yang dilakukan
International Water Management Institute (IWMI). Badan penelitian ini menyimpulkan
sepertiga penduduk dunia diperkirakan akan mengalami kelangkaan air yang parah dalam
jangka waktu sampai tahun 2025 mendatang.
AJT
R2
00
9
68
Kekhawatiran itu pula yang melandasi Hamid Chalid, akademisi Universitas Indonesia, meminta agar ke depan
pengelolaan air sepenuhnya diserahkan kepada negara. Ini merupakan cara terbaik melindungi hak asasi manusia atas air,
papar Hamid dalam disertasi doktor ilmu hukum yang ia pertahankan April lalu. Resiko yang timbul akibat kelangkaan air tak bisa dibilang sepele. Sebab, air adalah sumber kehidupan bagi makhluk
hidup. Tidak mengherankan kalau Hamid Chalid mengawali disertasinya dengan mengutip pernyataan Wakil Presiden
Bank Dunia, Ismail Serageldin, pada 1995 silam: Jika perang abad ini banyak diakibatkan oleh persengketaan minyak,
perang masa depan akan dipicu oleh air. Untuk mengambil contoh dampak buruk kelangkaan dan kekurangan air tidak perlu jauh-jauh ke luar negeri. Sejumlah
daerah di Indonesia sudah lama mengalami masalah tersebut. Seiring berkurangnya daerah resapan air, air hujan menjadi
salah satu harapan bagi penduduk untuk mengairi lahan pertanian mereka, bahkan untuk kebutuhan air minum.
Menyadari kondisi itulah, pertengahan April lalu, Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar menerbitkan
beleid Peraturan Menteri No. 12 Tahun 2009 tentang Pemanfaatan Air Hujan. Beleid ini mewajibkan setiap penanggung
jawab bangunan membuat kolam pengumpul air hujan, sumur resapan, atau lubang resapan biopori.
Sayang, kritik Hamid, regulasi tentang air di Indonesia belum sepenuhnya
berpihak pada masyarakat. Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2005 tentang
Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum dirasa belum sejalan dengan
putusan Mahkamah Konstitusi atas Undang-Undang Sumber Daya Air.
Bahkan, di mata Hamid Chalid, hak guna pakai air dalam Undang-Undang
No. 7 Tahun 2004 tersebut masih melahirkan ketidakadilan dalam hal akses
manusia terhadap air.
Tentu saja, ketidakadilan harus dihindari bukan saja dalam penataan air,
tetapi juga tanah, udara, dan segala ruang dimana manusia menggantungkan
hidupnya. Bukankah penataan ruang dimaksudkan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat, sebagaimana amanat pasal 33 UUD 1945?
69
TATA RUANG di mata jurnalis
HUKUM,PERUBAHAN IKLIM,DAN KEBIJAKAN TATA RUANG (2)
Kerusakan hutan menjadi dampak lain yang
muncul akibat perubahan iklim. Kondisi tersebut
tentunya sangat memprihatinkan karena hutan
memiliki fungsi vital sebagai penyerap gas
rumah kaca, pengatur siklus air di bumi dan
keseimbangan energi di atmosfir. Untuk masa
yang akan datang harus dikembangkan pola
pembangunan yang tahan terhadap perubahan
iklim. Peraturan dan kebijakan yang dibuat
harus mampu menjamin perbaikan kondisi sosial
ekologis. Asas-asar yang terkandung dalam UU
26/2007 telah menjamin adanya keselarasan,
keseimbangan, keadilan dan kepastian hukum
dalam penataan ruang. Setiap bentuk
pelanggaran terhadap penataan ruang akan
diberi sanksi tegas sesuai dengan tingkat
pelanggarannya.
AJT
R2
00
9
70
Persoalan air hanya salah satu item yang mengancam kehidupan manusia
akibat perubahan iklim. Item lain yang tak boleh luput dari perhatian
adalah kerusakan hutan. Suhaeri, dari Biro Hukum dan Organisasi
Departemen Kehutanan, mengingatkan fungsi hutan untuk mengatur
keseimbangan energi dan pola tekanan udara di atmosfir, selain sebagai
penyerap gas rumah kaca (GRK). Hutan juga berfungsi dalam mengatur
siklus air dan hidrologi, kata Suhaeri. Pengurangan emisi GRK memang merupakan salah satu agenda mitigasi
dalam Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim (RAN-PI), yang terbit
sejak 2007. Rencana aksi ini merupakan pedoman bagi institusi atau
lembaga terkait dalam melaksanakan berbagai upaya mitigasi dan
adaptasi terhadap perubahan iklim.
Pengurangan emisi GRK juga merupakan
agenda bersama dunia. Amerika Serikat,
misalnya, sudah menyatakan komitmennya
tahun ini untuk mengurangi 3,9 % dari tingkat
emisi GRK tahun 1990, saat Protokol Kyoto
diluncurkan. Cuma, menurut Fitrian
Ardiansyah, Direktur Program Iklim dan
Energi WWF Indonesia, penurunan emisi pada
angka 5 % dari target tahun 1990 tidaklah
cukup. Pada 2020 mendatang target penurunan
sudah harus mencapai 25-40 %. Upaya adaptasinya adalah mengembangkan
pola pembangunan yang tahan terhadap
perubahan iklim dan gangguan iklim ekstrim.
Tentu saja, meliputi pula antisipasi dampaknya
ke masa mendatang. Aktivitas yang harus
dilakukan berkaitan dengan proses adaptasi antara lain memonitor
informasi perkembangan perubahan iklim dari waktu ke waktu,
pemulihan sumber daya air seperti Daerah Aliran Sungai (DAS),
ketahanan pangan, integrasi manajemen kawasan pesisir pantai,
keanekaragaman hayati, kesehatan, dan pembangunan
infrastruktur yang pro lingkungan.
Program one man one tree yang dicanangkan Departemen
Kehutanan merupakan salah satu agenda mitigasi. Penanaman
pohon, kata Suhaeri, merupakan salah satu upaya mitigasi dalam
bentuk penyerapan karbondioksida dari atmosfir. Hingga kini,
paling tidak sudah tercatat empat regulasi yang diterbitkan
Departemen Kehutanan berkaitan dengan perubahan iklim dan
perdagangan karbon. Pertama, Peraturan Menteri Kehutanan No.
P.14/Menhut-II/2004 tentang Tata Cara Aforestasi dan Reforestasi
dalam Kerangka Pembangunan Bersih. Kedua, Peraturan Menteri
Kehutanan No. P.68/Menhut-II/2008 tentang Penyelenggaraan
Demontration Activities Pengurangan Emisi Karbon dari
Deforestasi daqn Degradasi Hutan. Ini biasa disebut program REDD
(Reducing Emissions from Deforestation and Degradation). Ketiga,
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.30/Menhut-II/2009 tentang
Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi
Hutan. Terakhir, Peraturan Menteri Kehutanan No. P.36/Menhut-
II/2009 tentang Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan
dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan
Lindung. Dalam upaya menyesuaikan diri dengan perubahan iklim,
perlindungan terhadap ekosistem hutan menjadi penting, selain
inventarisir keanekaragaman hayati di Indonesia (bank genetika).
71
TATA RUANG di mata jurnalis
Salah satu regulasi terbaru terkait hal ini adalah Peraturan Pemerintah No. 31
Tahun 2009 tentang Perlindungan Wilayah Geografis Penghasil Produk
Perkebunan Spesifik Lokasi. Sayang, deforestasi (kehilangan hutan) dan degradasi (kerusakan hutan)
yang tidak terkendali turut mempercepat emisi karbon secara global, dan
pada akhirnya mengakibatkan pemanasan global. Deforestasi dan degradasi
berkonstribusi signifikan, ujar Fitrian Ardiansyah. Fitrian percaya bahwa kebijakan tentang tata ruang dan administratif
berpengaruh pada upaya mengurangi emisi akibat deforestasi dan degradasi
(REDD). Kebijakan yang baik dan antisipatif bisa membawa dampak positif
kepada masyarakat. Antara lain perlindungan hutan dan kekayaan alamnya.
Selain itu, terjaganya kualitas air dan tanah. Spirit itu pula yang terkandung
dalam mengantidipasi dampak Land-Use, Land ? Use Change and Forestry
(LULUCF). Tetapi kebijakan REDD bukan tanpa resiko. Patricia Parkinson dari kantor
regional Asia Pasifik IDLO, mewanti-wanti resiko hilangnya hak-hak
masyarakat atas tanah adat. Kebijakan itu beresiko mengurangi akses
masyarakat adat terhadap tanah-tanah hutan, dan pada akhirnya
memungkinkan kehilangan kehilangan kehidupan tradisional masyarakat
adat. Dua proyek REDD di Aceh yang disinggung Patricia adalah ekosistem
Ulu Masen seluas 750 ribu hektare, dan ekosistem Leuser seluas 2,6 juta
hektare. Dalam kaitan ini, Patricia menyarankan perlunya melibatkan
masyarakat setempat dalam proses pengambilan keputusan REDD.
AJT
R2
00
9
72
Tata Ruang dan HukumMau tidak mau, antisipasi terhadap dampak perubahan iklim sangat ditentukan kebijakan tata ruang
nasional. Agar memberikan kepastian hukum dan keadilan, penataan ruang haruslah diatur melalui
suatu kebijakan atau politik hukum. Beruntung, Indonesia sudah memiliki Undang-Undang No. 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dalam Undang-Undang ini, kepastian hukum dan keadilan
menjadi salah satu asas penataan ruang. Dengan asas ini berarti penataan ruang diselenggarakan
berlandaskan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu, penataan ruang
dilaksanakan dengan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat serta melindungi hak dan
kewajiban para pemangku kepentingan. Asas ini berkorelasi dengan Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim (RAN-PI). Masalah jangka panjang
bagi Indonesia dalam kerangka perubahan iklim adalah bagaimana kebijakan dan ketentuan yang ada
mampu menjawab setiap persoalan. Peraturan dan kebijakan yang dibuat harus mampu menjamin
perbaikan kondisi sosial ekologis. Karena itu, keselarasan dan kebaruan kerangka kebijakan dan
peraturan pengelolaan tata ruang akan menentukan keberlanjutan rencana aksi tersebut. Penegakan hukum merupakan kebijakan pendukung. Spirit penegakan hukum dalam Rencana Aksi
Nasional Perubahan Iklim dan Undang-Undang Tata Ruang bertemu pada simpul tertentu. RAN-PI
menyatakan penegakan hukum diterapkan secara adil kepada pemberi izin atau peminta izin pada
semua aktivitas yang melanggar tata ruang wilayah ekosistem. UU Penataan Ruang juga memuat
ancaman sanksi jika terjadi pelanggaran atas tata ruang (lihat tabel).
73
TATA RUANG di mata jurnalis
Pasal Norma Sanksi
Penjara Denda (Rp)
69 Tidak menaati rencana tata ruang (RTR) yang telah ditetapkan sehinggamengakibatkan perubahan fungsi ruang
3 tahun 500 juta
Tidak menaati RTR yang mengakibatkan kerugian harta benda atau kerusakan barang
8 tahun 1,5 miliar
Tidak menaati RTR sehingga menyebabkan kematian
15 tahun 5 miliar
70 Memanfaatkan ruang tidak sesuai izin 3 tahun 500 juta
Memanfaatkan ruang tanpa izin dan mengakibatkan perubahan fungsi ruang
5 tahun 1 miliar
Memanfaatkan ruang tanpa izin sehingga kerugian harta benda atau kerusakan barang
5 tahun 1,5 miliar
Memanfaatkan ruang tanpa izin yang menyebabkan kematian
15 tahun 5 miliar
71 Tidak mematuhi ketentuan perizinan pemanfaatan ruang
3 tahun 500 juta
72 Tidak memberikan akses terhadap kawasan milik umum
1 tahun 100 juta
73 Pejabat pemberi izin tidak sesuai RTR (+ pidana pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatan)
5 tahun 500 juta
74 Tindak pidana korporasi Pencabutan izin usaha dan status badan hukum
Kalau ada masyarakat yang menggugat Pemda DKI Jakarta, misalnya, dalam pemberian izin menara telekomunikasi,
gugatan semacam itu harus dilihat dalam konteks penegakan hukum yang tidak pandang bulu. Di satu sisi, kasus hukum
semacam ini menggambarkan betapa pentingnya membuat kebijakan tata ruang yang peduli kepentingan umum; di sisi
lain menunjukkan muncul kesadaran masyarakat akan tata ruang yang baik.
TabelAncaman Sanksidalam UU Penataan Ruang
AJT
R2
00
9
74
Bagaimanapun, kesadaran semua pemangku kepentingan adalah kunci bagi upaya mitigasi dan adaptasi perubahan
iklim. Perubahan iklim bukanlah urusan Departemen Pekerjaan Umum atau Kementerian Lingkungan Hidup semata,
tetapi juga komponen bangsa yang lain. Sekalipun Pemerintah sudah membentuk Dewan Nasional Perubahan Iklim
(lewat Perpres No. 46 Tahun 2008), Dewan ini tidak akan ada artinya tanpa regulasi yang jelas dan tegas. Kebijakan yang antisipatif tidak hanya dibutuhkan dari Pusat, tetapi juga dari Pemerintah Daerah. Mengharapkan
partisipasi Pemda dalam implementasi RAN-PI di daerah masing-masing, kata Sulistyowati, Asisten Deputi Bidang
Pengendalian Dampak Perubahan Iklim Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Tentu saja, kebijakan apapun yang diambil dan peraturan apapun yang dibuat, keselarasan setiap instrumen hukum
mutlak perlu. Seperti sifat tata ruang yang saling berkaitan menjadi sebuah ekosistem, setiap instrumen hukum pun saling
berkelindan sebagai sebuah kekuatan. Dalam konteks perubahan iklim dan tata ruang, penegakan hukum adalah
kebijakan pendukung. Dengan aturan yang jelas dan tegas, deforestasi dan degradasi yang diakibatkan manusia bisa
dikurangi, polusi yang disengaja bisa ditekan, dan konservasi energi bisa dilanjutkan.
75
TATA RUANG di mata jurnalis
Terbaik IKategori Foto JurnalistikKantor Berita Antara
MemetakanTata Ruang
?Peta Lokal Jaringan Global?Wisata Kita : Jalan-jalan Berbekal Peta Hijau
PETA LOKAL, JARINGAN GLOBALPara relawan kini aktif membuat peta
hijau untuk memetakan daerah atau
kawasan yang memiliki keunikan. Peta
hijau telah menjadi gerakan global
dalam mengidentifikasi potensi lokal
melalui 125 ikon universal. Adanya
peta hijau membuat kita dapat
mengetahui lokasi-lokasi yang selama
ini tersembunyi dan kurang mendapat
perhatian. Melalui peta hijau kita
dapat melihat detail potensi suatu
daerah. Keberadaan peta hijau ini
telah meluas di beberapa negara dan
sudah berhasil menyadarkan warga
setempat akan pentingnya
pembangunan yang lestari
(sustainable).
Terbaik IIKategori Media CetakMajalah Tempo
Peta Hijau Jelajah Jakarta merupakan Green Map pertama di dunia yang dibuat
berbasis jalur transportasi publik—Peta Hijau biasanya berbasis kawasan. Peta
yang diluncurkan pertengahan Maret lalu itu telah memeriahkan sekaligus
menjadi bagian Sistem Peta Hijau (Green Map System), yang berulang tahun ke-14
pada 25 Maret lalu. Sistem ini merupakan gerakan publik di berbagai kawasan
(kecil) dunia, menggambarkan wilayah mereka dengan ikon Peta Hijau yang
bersifat universal. Di Indonesia, gerakan Peta Hijau sudah dirintis sejak 2000.
Hingga kini, para relawan telah membuat banyak Peta Hijau, seperti Kota Tua
Jakarta, Menteng, Kebayoran, Borobudur, Kota Gede, Yogyakarta, Bukittinggi, dan
Aceh.
Ketegangan terjadi di sebuah rawa ”perawan” di Muara Angke, Jakarta Utara.
Segerombolan monyet tiba-tiba menghadang Tempo yang tengah menyusuri
AJT
R2
00
9
78
sebuah jalur kayu—seperti jembatan—dengan lebar semeter.
Kera-kera di sana terkenal ganas bila kelaparan. Hati terasa
kuncup. Keinginan untuk lari menjauhi mereka sedapat
mungkin, yang sempat muncul, kembali tenggelam. Khawatir
itu malah membuat mereka mengejar. Apalagi rawa
membentang di kanan-kiri jalan. Sebelumnya, ada biawak
sebesar buaya dan ular besar berenang santai di rawa.
Akhirnya Tempo berdiri merapat pada sisi jembatan,
membiarkan rombongan monyet lewat dengan tenang.
Beberapa ekor di antaranya mencoba meneliti kami, sembari
mengendus-endus. Untung, tak ada adegan memanjat-manjat
tubuh, apalagi menggigit dan mencakar. Itulah Suaka
Margasatwa Muara Angke, Jakarta Utara. Dan kejadian di atas
tidak bakal kita dapatkan di Taman Safari, Bogor. Di suaka
margasatwa seluas 25 hektare di tengah kepungan bangunan
toko dan perumahan mewah Pantai Indah Kapuk itu, hidup-
lah monyet-monyet liar.
Destinasi itu bisa ditemukan bila kita membaca Peta Hijau
Jelajah Jakarta yang baru dirilis pertengahan Maret lalu. Peta
Hijau tersebut adalah yang pertama berdasar jalur
transportasi umum—Transjakarta dan kereta rel listrik—di
dunia. Peta Hijau biasanya berbasis kawasan tertentu,
misalnya kota, bagian kota, atau kawasan bersejarah seperti
Borobudur. Suaka Margasatwa Muara Angke diberi tanda ”1”
pada peta, dan padanya terdapat delapan ikon—yang
menggambarkan kondisi di sana—antara lain habitat satwa
liar, amfibi, area lahan basah, pengamatan serangga, burung,
migrasi burung, dan jalan-jalan di alam.
79
TATA RUANG di mata jurnalis
Hutan bakau dan rawa itu dapat dinikmati dengan berjalan
di atas jalan setapak kayu sepanjang 800 meter.
Memasukinya serasa bukan di Jakarta. Alamnya masih liar.
Tercatat vegetasi seperti pidada (Sonneratia caseolaris),
nipah (Nypa fruticans), rumput gelagah (Phragmytes
karka), dan beringin (Ficus indica, Ficus benjamina, Ficus
retusa).
Di sana juga ada Jakarta Green Monster, lembaga yang
memperhatikan kelestarian kawasan tersebut. Komunitas
yang menjaga konservasi burung dan bakau itu mencatat
sejumlah jenis burung di Suaka Margasatwa Muara Angke.
Yang terhitung unik adalah burung bubut jawa (Centropus
nigrorufus), yang hidup dari makan belalang, kelabang,
kumbang, katak, ular, dan tikus. Bubut jawa hanya bisa
terbang pendek, sehingga terlihat seperti berlari dan
meluncur, atau sesekali terbang rendah. Ada juga burung
yang terancam punah, seperti pecuk ular asia (Anhinga
melanogaster) , ib is cucuk bes i (Threskiornis
melanocephalus), dan cerek jawa (Charadrius javanicus).
Suaka Margasatwa Muara Angke memang hanya satu dari
100 titik—yang diwakili ikon-ikon—pada Peta Hijau
Jelajah Jakarta yang dibuat sejak Juli 2008 itu. Menurut
salah satu penggagasnya, Nirwono Joga, Peta Hijau
tersebut tidak hanya untuk kepentingan rekreasi. ”Tapi
juga untuk menambah kesadaran berkota pengguna
transportasi publik, busway dan kereta listrik,” ujarnya.
Sebab, di jalur-jalur Transjakartamemang cukup banyak
tempat menarik yang tidak banyak diketahui publik (lihat
AJT
R2
00
9
80
”Tersembunyi di Balik Jakarta”). Juga ada tempat-tempat bersejarah di antara gang-gang kecil. Misalnya
makam Souw Beng Kong yang terletak di gang dan sela-sela rumah kumuh di kawasan Jalan Pangeran
Jayakarta, Jakarta Pusat.
Tempat-tempat ”tersembunyi” tersebut sering mengejutkan warga kota itu sendiri. ”Kejutan itu muncul
mungkin justru karena sesuatu itu tidak dianggap penting,” kata Marco Kusumawijaya, pelopor Peta Hijau di
Indonesia. Misalnya, orang bisa tahu dari Peta Hijau bahwa di Menteng ada pohon cengkeh di Jalan Johar.
Warga Jakarta mungkin tak tahu, misalnya, Kali Malang itu merupakan sumber air minum (lihat ”Memetakan
Ruang-ruang Kecil”). Bahkan tak jarang relawan Peta Hijau—orang yang menyediakan diri membantu
membuat peta dengan menempatkan ikon-ikon Peta Hijau—terkejut dan baru sadar bahwa di Jakarta ada
tempat-tempat menarik selain mal dan pusat perbelanjaan. ”Membuat warga mengetahui ada tempat penting
81
TATA RUANG di mata jurnalis
di dekat kantor atau rumah mereka, seperti pembuatan
kompos atau kampung hijau,” kata Nirwono, yang juga
arsitek lansekap.
Sebelum ada Peta Hijau Jelajah Jakarta, di Ibu Kota sudah ada
beberapa Peta Hijau yang berbasis kawasan, seperti Kemang
(2001), Kebayoran Baru (2002), Menteng (2003), dan Kota Tua
(2005). Dan sejak diperkenalkan Marco pada 2000, gerakan
memetakan wilayah dengan ikon-ikon universal ini sudah
menyebar ke beberapa kota di Indonesia, seperti Yogyakarta,
Bandung, dan Bukittinggi, juga Bali dan Aceh.
Seperti disebutkan Marco, Peta Hijau merupakan ”peta yang
aktif”, ”peta kata kerja”, yang dalam penyusunannya sangat
melibatkan masyarakat. Misalnya, di Malang, Jawa
Timur, tanpa mempedulikan tanggapan dari
pemerintah kota, Ikatan Mahasiswa Pencinta Alam
(Impala) Universitas Brawijaya tetap membuat Peta
Hijau untuk menandai ruang terbuka hijau. ”Peta ini
berfungsi sebagai kontrol terhadap potensi
lingkungan yang ada. Ini bisa menjadi sebuah upaya
efektif yang edukatif guna melestarikan ruang
terbuka hijau sebuah kota,” kata Ketua Impala
Marwan Setiawan.
Di Bandung, pembuatan Peta Hijau dimulai dengan
memetakan kawasan di sepanjang Daerah Aliran
Sungai Citarum, sungai terpanjang di Jawa Barat.
Tim lainnya berfokus pada pemetaan kawasan
urban, seperti kawasan Braga. Dasar pemikirannya
adalah Bandung bukan sekadar daerah tangkapan air
bagi Sungai Citarum, tapi juga sebuah kota dinamis.
AJT
R2
00
9
82
Mungkin langkah yang lebih maju adalah Peta Hijau Borobudur. Sebab, peta ini telah
masuk tataran pembuat keputusan. Perangkat desa di sana ikut aktif menjadi relawan
Peta Hijau. Mereka juga mengusulkan potensi daerah berdasar pembuatan peta ini ke
tingkat pemerintah yang lebih tinggi. ”Kami sangat mendukung. Para sesepuh dusun
telah mengadakan rapat berkali-kali membahas ini. Peta Hijau kini menjadi tanggung
jawab desa,” kata Kepala Desa Candi Borobudur Maladi.
Perhatian pejabat desa ini bisa dipahami karena, dengan adanya Peta Hijau,
wisatawan yang berkunjung ke Borobudur tidak hanya pergi ke candi, tapi juga ke
dusun-dusun sekitarnya. ”Kami bisa membuat wisata desa. Wisatawan bisa
mengetahui aktivitas warga kampung,” ujar Koordinator Peta Hijau Mandala
Borobudur Muhammad Hatta.
Yang terjadi di kawasan Borobudur itu menunjukkan bahwa Peta Hijau sudah
berhasil menyadarkan warga setempat akan pentingnya pembangunan yang lestari
(sustainable). Mungkin di daerah lain di Indonesia, Peta Hijau baru digunakan sebatas
mengenali wilayah—yang sering memunculkan kejutan. Namun, seperti keyakinan
pelopor Peta Hijau, Wendy Brawer—seorang desainer hijau—Sistem Peta Hijau yang
dibangun sejak 1995 ini mampu menjadi gerakan warga lokal secara mendunia. Sebab,
sistem ini, selain langsung melibatkan warga setempat tanpa batas usia dan
pendidikan, memiliki ikon universal yang bisa dipahami lintas bahasa dan budaya.
”Orang New York bisa dengan mudah membaca Peta Hijau di Jakarta,” kata Nirwono.
Kini sudah ada lebih dari 350 Peta Hijau yang dibuat oleh komunitas di lebih dari 500
kota yang tersebar di 54 negara di dunia. Peta Hijau, yang berulang tahun ke-14 pada
25 Maret lalu, telah menjadi gerakan global dalam mengidentifikasi potensi lokal
melalui 125 ikon universal. Sejak September lalu, Sistem Peta Hijau membuka
kesempatan bagi warga dunia untuk berpartisipasi dalam penyusunan Peta Hijau
Dunia dalam Open Green Map yang ditayangkan di situs www.greenmap.org. Seperti
motonya: ”Think Global, Act Local”.
83
TATA RUANG di mata jurnalis
WISATA KITA :JALAN-JALANBERBEKAL PETA HIJAUTerbaik IIKategori TelevisiLintas Pagi, TPI
Menelusuri kawasan hijau merupakan sesuatu yang sangat mengasyikan.
Dengan berbekal peta hijau kita dapat menemukan lokasi-lokasi unik nan
hijau di sekitar Jakarta yang selama ini mungkin jarang sekali diketahui oleh
masyarakat. Peta yang disusun oleh arsitek Marko Kusumawijaya dan
kawan-kawan ini memuat taman-taman kota, tempat sumber daya
lingkungan dan budaya yang ada di Jakarta. Peta hijau juga dilengkapi
dengan panduan jalur bis TransJakarta, kereta api, dan sepeda. Tujuannya
untuk mengajak masyarakat agar menggunakan transportasi publik
sehingga dapat mengurangi kemacetan lalu lintas Jakarta.
Persinggahan pertama adalah Kelurahan Karet Tengsin Jakarta Pusat. Disini
ada toko “Aneka Instan Enam Putri” yang menjual beragam jamu tradisional,
dari mulai jahe merah, jahe ginseng, sambiloto, hingga minuman khas
AJT
R2
00
9
84
Di sekitar Jakarta ternyata terdapat daerah-
daerah yang unik dan seringkali terlupakan yang
dapat kita temukan dengan berbekal Peta Hijau.
Peta tersebut tidak hanya memuat petunjuk
taman-taman ibukota tapi juga tempat-tempatsumber daya lingkungan dan budaya yang ada
di Jakarta. Peta hijau akan menuntun kita
menelusuri lokasi unik seperti tempat
penampungan barang kantor (yang nantinya
akan didaur ulang), berkunjung ke rumah hijau
yang sangat asri, hingga datang ke stasiun radio
yang aktif menyuarakan gerakan cinta
lingkungan. Peta hijau juga tidak lupa
mencantumkan fasilitas publik seperti busway
untuk mendorong masyarakat agar lebih
menyukai pemanfaatan transportasi masal
untuk mendukung aktifitasnya sehari-hari.
betawi, bir pletok. Di Karet Tengsin pun ada
tempat penampungan barang bekas kantor
seperti computer dan kertas. Barang –
barang itu akan di daur ulang sehingga bisa
dimanfaatkan kembali. Tak jauh dari tempat
penampungan barang bekas, ada sebuah
taman yang menyediakan air mineral gratis.
Taman ini digagasnya oleh Pak Santo, yang
membuat taman di pinggir Kali Krukut itu
dengan merogoh koceknya sendiri. Sampai
di tepi Kali Krukut, kita diajak menyebrang
dengan menggunakan getek. Getek adalah
sarana transportasi air tradisional yang
ternyata masih digunakan oleh masyarakat
di sekitar Kali Krukut.
85
TATA RUANG di mata jurnalis
Tujuan kita berikutnya adalah SDN 12 di
Bendungan Hilir (Benhil) Jakarta Pusat. Ini satu-
satunya sekolah dasar di Jakarta yang menerima
penghargaan Adiwiyata 2007, yang merupakan
penghargaan dari Kementerian Lingkungan
Hidup. SDN 12 Benhil dinilai berhasil
membangun fasil i tas yang mendukung
lingkungan, misalnya dengan membangun taman
lalu lintas. Inisiatif ini tentunya harus kita dukung
dan menjadi pelecut bagi sekolah-sekolah lainnya
untuk membangun fasilitas-fasilitas yang ramah
lingkungan.
Dari kawasan Benhil kita menuju rumah hijau di Jalan
Tangkuban Perahu no 20 Jakarta Selatan, perjalanan ke sana
hanya menempuh waktu 10 menit dengan menggunakan bis
TransJakarta. Rumah hijau merupakan rumah yang
menggunakan konsep hemat energi dan ramah lingkungan.
Rumah itu pernah mendapatkan penghargaan rumah hunian
terbaik dari Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) karena keramahan
lingkungannya. Suasana rumah hijau sangat asri. Berbagai jenis
tanaman menghiasi setiap bagian rumah, bahkan di lantai dua
dan atap rumah ada pula taman. Menurut pemiliknya, Ibu
Sandra, rumah hijau ini memang dibangun atas keprihatinan
melihat kondisi kota Jakarta yang panas. Dengan rumah yang
dilindungi oleh berbagai pepohonan maka akan menghadirkan
hawa yang sejuk sehingga tidak perlu menggunakan pendingin
ruangan atau AC dan dapat menghemat penggunaan energi.
AJT
R2
00
9
86
Green Radio di Jalan Utan Kayu Jakarta Timur menjadi
ujung perjalanan kita bersama peta hijau. Radio yang
mengusung isu-isu lingkungan ini merupakan stasiun
pertama yang menggunakan sebagian kebutuhan
energinya dari panel surya. Sudah hemat listrik, hemat
biaya pula. Kita semua tentunya berharap, lokasi-lokasi
maupun berbagai inisiatif yang ramah lingkungan itu
tetap dipertahankan dan lestari. Sudah menjadi
kewajiban kita bersama untuk menjaga dan merawat
lingkungan demi keberlanjutan masa depan hidup di
bumi tercinta ini.
87
TATA RUANG di mata jurnalis
Catatan PerjalananStudi Bandingke Singapura
?Selayang Pandang Singapura?Wajah Baru Singapura di Tanah Reklamasi, Oleh Mawar Kusuma - Kompas
(dipublikasikan pada harian Kompas, 4 Desember 2009)?Ubah Wajah Singapura
?Catatan Syaifudin / Metro 10 – Metro TV
SELAYANG PANDANGSINGAPURA
Tujuan perjalanan studi banding adalah negara Singapura. Mengapa Singapura? Karena Singapura adalah
sebuah kota yang juga sebuah negara. 40 tahun yang lalu, setelah merdeka, Singapura menghadapi
permasalahan yang sama seperti kota berkembang lainnya, yaitu kemiskinan dan kurangnya infrastruktur
kota untuk mendukung kehidupan masyarakat. Tapi kini Singapura telah menjadi kota yang makmur dan
menjadi poros bisnis internasional dengan standar kehidupan modern dalam lingkungan yang bersih dan
alami.
Semua ini bisa dicapai tidak dalam semalam, tetapi melalui proses proaktif dan juga perencanaan yang
matang untuk masa depan yang lebih baik. Singapura memiliki visi menjadi kota yang nyaman untuk
hidup, bekerja dan bermain. Dengan misi tersebut Singapura berusaha dengan keras untuk
mewujudkannya dengan merencanakan dan mefasilitasi pembangungan fisik juga bermitra dengan
komunitas untuk menciptakan kota kosmopolitan yang unik dan berkesinambungan.
AJT
R2
00
9
90
Keterbatasan lahan merupakan tantangan terberat Singapura, khususnya untuk pemanfaatan perumahan dan kebutuhan
pemerintahan. Tidak semua lahannya bisa dikembangkan. Misalnya untuk resapan air, diperlukan 40% dari luas tanah.
Batas ketinggian bangunan juga terbatas karena adanya bandar udara, sebagai contoh, komplek rumah susun di daerah
Tampines, Simei dan Changi tidak boleh melebihi 12 lantai karena merupakan jalur penerbangan Bandar Udara
Internasional Changi.
Sebagian tanah juga dipelrukan untuk kepentingan militer. Tantangan mereka adalah untuk selalu mencari solusi yang
cerdas untuk memenuhi kebutuhan lahan. Salah satu cara yang mereka lakukan adalah menciptakan lahan baru melalui
proses reklamasi pantai.
Cara lain adalah menggunakan secara efisien dan cermat lahan yan sudah ada. Mereka membangun beberapa fasilitas
umum pada tempat yang sama, misalnya membangun pabrik tumpuk, stasiun kereta api di bawah tanah dan stasiun bis
diatasnya.
91
TATA RUANG di mata jurnalis
Singapura hanya memiliki luas ±700km2 dan jumlah penduduk mencapai 5 juta orang, Singapura harus menata
kotanya dengan sebaik-baiknya. Karena mereka tidak bisa menambah luas wilayahnya dan hanya bisa memanfaatkan
lahan yang ada untuk memenuhi kebutuhan warganya.
Kebutuhan publik akan rumah, fasilitas umum seperti transportasi, Ruang Terbuka Hijau (RTH), sekolah dan fasilitas
lainnya diselenggarakan dengan sebaik-baiknya oleh Singapura. Mereka mengacu pada pemahaman “economic
growth = quality of life” atau yang berarti pembangunan ekonomi harus tetap seiring dengan peningkatan kualitas
kehidupan. Jadi tidak hanya fokus pada kemajuan ekonomi, tetapi juga mengiringinya dengan perbaikan kualitas
hidup.
AJT
R2
00
9
92
Pemenuhan kebutuhan untuk perbaikan kualitas hidup ini,
mereka wujudkan dengan membangun ruang terbuka
hijau dengan perbandingan yang seimbang dengan
gedung - gedung yang dibangun. Karena terbatasnya
lahan, kebutuhan akan keseimbangan alam, mereka
wujudkan dengan taman di atap ataupun RTH yang tetap
mereka pertahankan. Selain itu, Singapura juga tetap
mempertahankan bangunan bersejarah sebagaibagian dari jati diri bangsa Singapura, agar mereka tidak
melupakan sejarah.
Beberapa daerah yang telah dipugar namun dipertahankan
keasliannya adalah Chinatown, Little India dan Kampong
Glam, sementara bangunan lainnya seperti City Hall dan
Supreme Court dijadikan sebagai monumen nasional.
Sampai dengan 30 September 2009, ada 44 monumen
nasional dan 6945 gedung yang dikonservasi.
Singapura memiliki perencanaan utama atau Master Plan
yang dievaluasi setiap 10 tahun. Setiap evaluasi yang
dilakukan oleh Urban Redevelopment Auhtority (URA)
selalu melibatkan seluruh para pemangku kepentingan,
termasuk didalamnya adalah masyarakat umum yang
dilibatkan dalam sebuah Konsultasi Publik. Rencana
93
TATA RUANG di mata jurnalis
Utama atau Master Plan kota Singapura ini bersifat
sangat transparan dan bisa diketahui oleh semua
masyarakat secara mudah dan gamblang.
Masyarakat bisa langsung mengakses melalui
website di www.ura.gov.sg atau langsung datang ke
kantor URA dan mengecek perencanaan kota.
Pemerintah Singapura pun sangat konsisten dalam
setiap perencancaan dan pemanfaatan lahan
sehingga semua kebutuhan bisa terpenuhi sesuai visi
dan misi.
AJT
R2
00
9
94
WAJAH BARU SINGAPURADI TANAH REKLAMASI Oleh Mawar Kusuma - Kompas(dipublikasikan pada harian Kompas, 4 Desember 2009)
Haji Muhammad Ali (68) khusyuk mendoakan peziarah yang terus mengalir ke Masjid Muhammad Saleh
di Shenton Way, Singapura, Senin (23/11). Masjid di pucuk bukit kecil yang dibangun sejak tahun 1870 ini
dulu terletak tepat di tepi laut.
Meskipun udara kencang dari arah laut masih bertiup lewat jendela, masjid yang diyakini menjadi salah
satu titik awal perkembangan Islam di Singapura ini telah terpisah sejauh 2000meter dari laut. Masjid
Muhammad Saleh kini telah dikepung oleh gedung-gedung setinggi hingga 50 lantai. Sebuah jalan layang
lebar yang dinamai seperti nama presiden ke-2 Singapura, Benjamin Zeus, melintas hampir berjajar dengan
bangunan masjid yang ramai dikunjungi peziarah dari Afrika, Arab maupun Asia. Jika Haji Ali tak
bercerita, sulit membayangkan bahwa lokasi tersebut merupakan daerah reklamasi.
Keterpisahan dengan laut lebih banyak dirasakan penduduk asli Singapura, seperti Nora Hasan.
Perempuan Melayu yang bekerja sebagai pemandu wisata ini mengaku dulu sering kali menghabiskan
95
TATA RUANG di mata jurnalis
sore hari dengan menikmati keindahan Pantai
Kapung yang kini ditumbuhi sejumlah apartemen
pencakar langit.
Dari tahun ke tahun, apartemen di daratan
reklamasi semakin diminati. Meskipun udara laut
mengakibatkan peralatan rumah tangga dari
logam terkorosi, harga tanah di wilayah reklamasi
semakin melambung.
Di pulau Sentosa, yang kini sedang giat
membangun kasino dan pusat perbelanjaan, harga
rumah bisa mencapai 3.2 juta dollar Singapura.
Satu dollar Singapura hampir setara dengan
Rp.7000. Harga tersebut untuk membeli rumah
dengan tiga kamar tidur, sebuah dapur, serta
dilengkapi kolam renang. Pulau Sentosa termasuk
salah satu lokasi hunian mewah. Pascareklamasi,
luas pulau ini bertambah lebih dari 10 hektar.
Pembangunan kawasan Pulau Sentosa dengan
kasino yang sempat enuai kontroversi itu kini
telah rampung 65 persen. Tarif masuk kasino ke
pulau yangbisa ditempuh dalam 30 menit dari
Pulau Batam ini sebesar 100 dollar Singapura.
AJT
R2
00
9
96
97
TATA RUANG di mata jurnalis
UBAH WAJAH SINGAPURAHunian di luar Pulau Sentosa cenderung lebih murah, tetapi tetap lebih mahal dibandingkan dengan
harga tanah di Jakarta. Nora Hasan menuturkan, harga tempat tinggalnya di sebuah kondominium
di Bukit Timah 1.8juta dollar Singapura. Tempat itu terdiri dari dua kamar tidur, satu ruang tamu,
dan satu ruang keluarga. Selain karena keterbatasan tanah, mahalnya hunian juga dipengaruhi
membludaknya pekerja asing di Singapura. Separuh dari total 4.8 juta penduduk Singapura adalah
pendatang dari berbagai negara. Untuk bisa hidup layak di Singapura, minimal warga harus
berpenghasilan Rp.10 juta per bulan.
Senior Manager The Urban Redevelopment Authority (URA) Colin Lauw mengatakan, reklamasi
yang digalakkan sejak tahun 1960 banyak mengubah wajah Singapura. Pada tahun 1966 Singapura
hanya seluas 581 kilometer persegi, tetapi kini menjadi 710 kilometer persegi.
Proyek reklamasi sempat menuai banyak protes dan kecaman, terutama karena pasirreklamasi
diimpor dari beberapa negara, termasuk Indonesia. Beberapa pulau di Kepulauan Riau bahkan
sampai tenggelam dan rusak parah karena pasirnya dikeruk untuk menimbun pantai di Singapura.
AJT
R2
00
9
98
Saat ini menurut Lauw, proyek reklamasi memang sedang dihentikan. Pemerintah Singapura masih
menunggu solusi terbaik terkait dengan penyediaan pasir dengan kontraktor. “Kami juga menunggu
kesepakatan harga yang terbaik,” lanjutnya.
Pemerintah Singapura menolak keras telah terlibat dalam impor pasir. Menurut Lauw, Pemerintah
Singapura membuka tender proyek reklamasi dan konstruksi kepada pihak swasta dan menyerahkan
kepada mereka untuk pengadaan pasir.
Pulau-pulau di Singapura yang telah direklamasi antara lain Pulau Jurong, Tuas, Pelabuhan Pasir
Panjang, Pulau Sentosa, Pulau Southern, Marina Bay, Pulau Tekong, Pulau Ubin, Kranji, Punggol, Coney
serta Bandara Changi.
Selain keberhasilan reklamasi, pembangunan negara kota Singapura terintegrasi antara laju industri,
pelestarian gedung tua, dan perlindungan terhadap alam. Upaya konservasi berjalan beringingan
dengan perencanaan pembangunan secara nasional. Yang paling mencolok dari keberhasilan
pembangunan di Singapura adalah konsistensi antara rencana tata ruang dan implementasinya.
99
TATA RUANG di mata jurnalis
Ketika menerima kunjungan wartawan pemenang Anugerah
Jurnalistik Tata Ruang dari Departemen Pekerjaan Umum
Indonesia di gedung URA pada Selasa (24/11), Lauw
menunjukkan miniatur bangungan di kota Singapura yang
menjadi pegangan dalam pembangunan 40 tahun kedepan.
“Singapura harus menjadi tempat yang menyenangkan untuk
bekerja, hidup dan bermain.” Katanya.
Konsistensi pada masterplan tata ruang antara lain bisa dilihat
ketika sebuah gereja di kota tersebut membangun ruangan
melebihi dari yang telah ditentukan oleh pemerintah. Tanpa
kompromi, pihak geraja terpaksa harus merobohkan satu
ruang yang baru selesai dibangun tersebut. “Kami bertugas
mengawasi agar semua pembangunan berjalan sesuai
rencanan.” Kata Lauw. Perencananaan pembangunan di
Singapura sangat transparan dan terbuka bagi umum.
AJT
R2
00
9
100
Masterplan pembangunan bisa diakses
dengan mudah di kantor URA maupun
lewat internet. Konsep pembangunan
kota tersebut diterapkan sejak tahun 1971
dan terus berjalan hingga sekarang.
Kereta api cepat atau MRT yang baru
dibangun di era 1990-an misalnya, telah
tercantum di rencana tata ruang kota
Singapura tahun 1971. Perkembangan
zaman memang sering kali menyebabkan
munculnya pengecual ian dalam
pembangunan. Namun pengecualian
tersebut tidak pernah menyimpang jauh
dari rel tata ruang yang telah ditetapkan
bersama dengan parlemen.
Keberhasilan penataan ruang ini antara
lain bisa dilihat dari pusat kota Singapura
yang pada tahun 1940-an dikenal sebagai
daerah kumuh, tetapi kini menjadi pusat
bisnis, perbelanjaan, dan perkantoran.
Keelokan konsistensi pembangunan
Singapura memampukan negara
tersebut menarik wisatawan. Kunjungan
ke Singapura yang dicatat di bandara
internasional Changi mencapai 25 juta
orang per tahun.
101
TATA RUANG di mata jurnalis
CATATAN SYAIFUDINMetro 10 – Metro TV
Bagi siapapun yang baru menjejakkan kaki pertama kali di negara
yang merdeka tahun 1965 ini, kesan yang didapat adalah negara
kota ini sangat rapi tertata, bersih, dan modern. Singapura adalah
negara surga bagi para shoppaholic alias penggila belanja. Orchard
Road adalah etalase raksasa mereka. Hampir di setiap sudut kota
ada mal atau pusat perbelanjaan. Di beberapa bagian terdapat
proyek pembangunan terutama di lahan-lahan kosongnya.
Sementara di lahan yang telah disesaki bangunan, upaya mengubah
tampilan alias 'face lift” sebuah bangunan terus berlangsung entah
dengan alasan usia bangunan atau alasan utilitas lainnya. Meski
demikian, Singapura yang dihuni juga oleh beragam etnis suku
bangsa, masih bijak untuk memelihara heritage-nya. Beberapa jejak
AJT
R2
00
9
102
bekas perkampungan suku bangsa Melayu, India, Tiong Hoa, bahkan bangsa Eropa, masih dijaga dan
dijadikan obyek wisata mereka.
Di sela-sela bangunan-bangunan tinggi mereka, masih kita jumpai rimbunnya dedaunan, hijaunya
pepohonan serta hamparan rumput. Ruang terbuka hijau mutlak harus disediakan pengembang sebagai
bagian dari kesepakatan dalam pembangunan dan pengembangan wilayah.
Urban Redevelopment Authority (URA) atau semacam dinas
tata kotanya Singapura adalah lembaga otoritas yang
menyiapkan segala rencana strategis jangka panjang dan juga
rencana-rencana detail segala pembanguan fisik Singapura.
Singapura yang lahannya sangat kecil, hanya seluas 710
kilometer persegi, untuk penggunaan tiap jengkal tanahnya
harus diperhitungkan dengan sangat matang. Di URA lah
semua master plan pembangunan dikomunikasikan dengan
gamblang.
Siapa pun bisa mengetahui dan menanyakannya. Menurut
Colin Lauw, senior manager di URA, sebelum menjadi sebuah
master plan, harus lah berupa sebuah concept plan. Tidak ada
yang sifatnya tambal sulam. Singapura membangun moda
transportasi kereta bawah tanah mereka yang dikenal dengan
MRT atau Mass Rapid Transit sejak tahun 1971 dan baru
diresmikan tahun 1990. Bandingkan dengan pembanguan
jalur khusus bus atau busway di Jakarta yang hanya beberapa
tahun dan baru beberapa tahun berjalan sudah mulai panen
keluhan penggunanya.
Selanjutnya ada koordinasi pengembangan dan ada
departemen khusus yang mengawasinya. Meski tidak seratus
103
TATA RUANG di mata jurnalis
persen concept plan dapat dijalankan sepenuhnya, setidaknya sekitar 75% segala ide bisa diterima, 10% muncul ide-ide
baru, dan selebihnya ada perbedaan dengan realiasasinya atau ada konsep-konsep yang tidak mungkin bisa dilakukan.
Kosep-konsep itu bisa dijalankan, karena melibatkan segala unsur, baik pemerintah, swasta, juga dari lapisan masyarakat.
Di Singapura juga tidak berarti semua rencana pembangunan dan pengembangan tata ruang berjalan mulus-mulus saja.
Sandungan-sandungan pasti ada. Namun aturan main yang jelas dan penegakan hukum yang benar, dapat
diminimalisasi. Yang kongkalikong dalam proyek pembangunan, menuai akibatnya.
Pemerintah tak mempercayainya lagi. Sesungguhnya tidak luar biasa ketika Singapura saat ini telah menjelma menjadi
sebuah kota nan modern dan gemerlap dengan beragam julukan akibat keberhasilan penataannya. Indonesia dengan
seluas itu, mungkin juga bisa sehebat atau bahkan melebihi Singapura. Tapi konsistensi yag terus dijaga dalam
pembangunan dengan menediakan ruang terbuka hijaunya lah yang luar biasa.
Di samping itu supremasi hukum yang mengawal pembangunan juga ditempatkan dengan setinggi-tingginya agar
pembangunan itu sendiri tidak keluar dari jalurnya, juga bagian yang tak kalah pentingnya. Itu yang masih harus kita
banyak belajar dari tetangga kita itu.
Profil Juri
?Budiarto Shambazy?Iman Soedradjat?Linda Darmajanti
?Heru Hendratmoko?Zaim Uchrowi
?Hadian Ananta Wardhana?Nugroho Adiweda Widagdo
Tempat, Tanggal Lahir :Padang, 28 Juni 1957Pendidikan :S-2 : Faculty of Political Science, University of Hawaii, ASS-1 : Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas IndonesiaPekerjaan :Wartawan KompasMinat :Membaca
Budiarto Shambazyberhubung baru pertama kalinya diadakan, AJTR 2009 tentu masih jauh dari
sempurna. seperti kata pepatah, “selalu ada yang pertama untuk semuanya”. jika metode yang kita lakukan bersama-sama tahun ini dilakukan lagi tahun depan, saya yakin AJTR 2010 akan lebih baik dari berbagai aspek penyelenggaraannya.
kesan saya AJTR 2009, khususnya acara penyerahan hadiah yang disatukan dengan perayaan Hari Tata Ruang, berlangsung sukses. tahun depan acara ini
layak dilakukan lagi.
saran saya, sebagai salah seorang juri, tahun depan sebaiknya disertakan pula seorang juri yang menguasai ilmu pertelevisian untuk menilai karya-karya
jurnalistik media penyiaran tersebut
AJT
R2
00
9
106
Iman SoedradjatTempat, Tanggal Lahir:Cirebon, 9 Desember 1953Pendidikan :S1 Planologi ITBS2 Master of Public Management (MPM), Carnegie Mellon University USAPengalaman Organisasi :- Ketua Panitia berbagai seminar internasional/nasional- Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Ahli Perencanaan (IAP)- Sekretaris Kelompok Kerja Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN)Minat/kompetensi :- Public Policy- Urban & Regional Development- Detail Plan
Kunci keberhasilan penyelenggaraan penataan ruang adalah komunikasi. Semakin intensif produk dari penataan ruang dikomunikasikan, semakin banyak pemangku kepentingan memahami, maka semakin mudah rencana tata ruang dapat diimplementasikan. Anugerah Jurnalistik merupakan salah satu media agar semakin paham masyarakat mengerti penataan ruang. Anugerah ini harus kontinyu digulirkan.
107
TATA RUANG di mata jurnalis
Linda DarmajantiTempat, Tanggal Lahir :
Medan, 20 April 1954Pendidikan :
Sarjana Sosiologi FISIP-UI,Magister Perencanaan Kota, ITB
BandungDoktor bidang Sosiologi, FISIP UI
Minat/Kompetensi :1. Perencanaan Sosial (Social Policy)
2. Perencanaan Kota (aspek sosial, budaya, politik)
3. CSR/CDPekerjaan :
Staf Pengajar Departemen Sosiologi FISIP-UI
AJT
R2
00
9
108
Ternyata banyak sekali perhatian masyarakat terhadap penataan ruang kota, baik dari media cetak, elektronik, dan fotografi. namun tampaknya secara khusus pemerintah (mungkin sebaiknya Presiden) belum memberikan prioritas atau pernyataan pentingnya perencanaan dan penataan ruang dalam era Otonomi Daerah/Desentralisasi.
Padahal di dalam ruang tersebut semua kelompok kepentingan memperebutkan sumber daya yang strategis untuk kepentingan kelompoknya
Sementara untuk kelompok yang seharusnya membutuhkan ruangkota/wilayah justru tidak terpenuhikarena kelompok ini tidak memiliki kemampuan (resources). Untuk itu perlu pengendalian ruang pada tataran implementasi, dan mengaitkan ruang sesuai dengan”social production”, khususnya kebijakan tata ruang yang “pro-poor” (tidak terwakili) oelh kelompok kepentingan yang justru memiliki resources.
HeruHendratmoko
Lomba ini cukup bagus, tapi kurang mendapat respon dari wartawan. Dugaan saya karena tema terlalu umum atau bahkan tidak ada tema selain soal “tata ruang”. Next time mesti dibuat lebih tajam temanya, spesifik sesuai dengan situasi yang sedang kita hadapi.
Dengan tema yang lebih spesifik, wartawan juga akan lebih mudah menyeleksi sendiri apakah karya mereka masuk kategori atau tidak. Saya kira bahkan media/wartawan sendiri banyak yang belum paham tentang konsep tata ruang.
Organizational Experience :2005 - 2008, President of the Alliance of Independent Journalists (AJI) Indonesia2003 - 2005, Coordinator of Profession & Ethics, the Alliance of Independet Journalis (AJI) Indonesia1999 - 2003, Coordinator of Training & Education, the Alliance of Independet Journalis (AJI) Indonesia1994, co-Founder of the Alliance of Independent Journalist (AJI)1990, co-founder of Arek Foundation, Surabaya, East Java1988 - 1999, Head I of Student Senate, Faculty of Political & Social Sciences, Airlangga University, Surabaya, East Java
Working Experience :2002 - now, Production Director, Radio News Agency KBR68H & Green Radio2000 - 2002, Editor, Radio News Agency 68H1992 - 2000, Journalist, Jakarta Jakarta News Picture Magazine1992, Antara News Agency, Surabaya Bureau.1988, Chief Editor at Retorika Magazine, Airlangga University, Surabaya, East Java
109
TATA RUANG di mata jurnalis
Publication :BETA, the first independent news agency in yugoslavia (editor), radio news agency 68H, jakarta, 2003. Indonesian version.News Coverage on Corruption ( e d i t o r ) , t h e a l l i a n c e o f independent journalist (AJI) & Britist Council, Jakarta, 2001Remain Independent (editor), AJI, Jakarta, 2000Journalist Slain : The case of Fuad Muhammad Syafrudin (writer & Editor), AJI & ISAI, Jakarta, 1997Independent Journalist (team), AJI, Jakarta, 1996Bredel (team), the Alliance of Independent Journalist (AJI), Jakarta, 1994Women an Human Right (editor), International NGO Forum on Indonesia, Jakarta, 1993
Zaim UchrowiPutra gunung lawu ini lahir pada tanggal serba satu, 31-01-1961. Ia penulis dan penyuluh perubahan yang mempunyai minat besar pada bidang spiritualitas, peradaban, serta pemberdayaan masyarakat.
Lulus master dari institute manajemen terbaik di asia, asian institute of management, di filipina, ia menyelesaikan program doktor ilmu penyuluhan IPB - bogor.
Karirnya diawali menjadi wartawan majalah tempo dan memimpin biro indonesia bagian timur di usia 25 tahun. Dalam usia 29 tahun telah memimpin koran nasional, lalu merintis harian republika (1993) sampai menjadi pemimpin redaksi
Kini ia menjadi direktur utama pt. Balai pustaka (persero), pengajar pascasarjana ipb, serta aktif di berbagai lembaga sosial. Dikenal dengan pemikiran dan tulisan yang menyentuh, ia telah menerbitkan delapan buku.
AJT
R2
00
9
110
Tempat Tanggal Lahir :Surabaya, 27 Maret 1963
Pendidikan :S1 : Ilmu Tanah – Insitut Pertanian Bogor, Tahun 1987
SP1 (CES: Certificate d'Etude Superior), Amenagement et Gestion Urbain, l'Ecole Nationale des Travaux Publique de l'Etat (ENTPE), Lyon – Perancis,
Tahun 1995Pekerjaan :
Memulai karier di perkebunan swasta hingga tahun 1993, menjadi pegawai negeri sipil di Departemen Pekerjaan Umum, pada Direktorat Jenderal Cipta
Karya. Sejak tahun 2005, menjabat sebagai Kepala Subdirektorat Informasi dan Bina Masyarakat, Direktorat Penataan Ruang Nasional.
Minat profesi :pemberdayaan masyarakat, pengelolaan dan pembangunan kota.
Penghargaan kepada para jurnalis atas perannya dalam mengangkat isu dan mengungkap fakta-fakta tata ruang kepada publik, perlu terus dilakukan secara kontinyu. Memilih jurnalis sebagai partner dalam mensosialisasikan tata ruang perlu ditingkatkan dengan lebih membuka diri, baik jurnalis maupun para pelaku penataan ruang, hingga terjalin networking yang transparan dan saling menguntungkan berbagai pihak.
111
TATA RUANG di mata jurnalis
Hadian AnantaWardhana
Nugroho AdiwedaWidagdo
Tempat, Tanggal Lahir :Jakarta, 8 Desember 1971
Pendidikan :Universitas Kristen Satya WacanaFakultas Biologi
Pekerjaan :Wartawan Foto
Minat :Travel, Bersepeda, Ber-Off road, Banyaklah.
Lomba Foto dll. Tata Ruang ini bagus dalam memberi wawasan tata ruang bagi awam, lebih khusus lagi kepada para wartawan agar dapat menjelaskan secara
rinci apa yang disebut tataruang yang baik kepada masyarakat. lomba yang bertujuan baik ini sebaiknya di teruskan ditahun tahun yang akan datang
penyelenggaraan lomba ini cukup baik, hangat, dan ramah dan paling tidak bisa menyamakan persepsi tentang definisi tataruang yang baik di kalangan dewan
juri dan panitia yang terlibat didalamnya.
usulan saya bila lomba ini diadakan lagi ditahun-tahun yang akan datang, sebaiknya khusus foto harus ada sebuah TEMA, agar penjurian bisa lebih terarah
dan dapat tercapai tujuan dari lomba foto ini sendiri dan untuk merangsang keikutsertaan peserta lomba ini, sebaiknya hadiah tidak berupa studi banding
tapi mungkin piala/throphy dan hadiah berupa uang tunai, agar pesertanya lebih banyak dan antusias
AJT
R2
00
9
112
arm
and
bu
dim
an@
yah
oo
.co
mLe
ngg
ak L
engg
ok
Ko
ta J
akar
taB
ereb
ut
Posi
si D
i Kep
ala
Nag
a *)
Dis
ori
enta
si R
uan
g Jo
gjak
arta
Aki
bat
Pat
ahn
ya S
imb
ol
Men
ghin
dar
i Ban
jir L
ewat
Pen
ataa
n K
emb
ali K
awas
an J
abo
det
abek
pu
nju
r1
0 K
ota
Nya
man
Dit
ingg
ali
Ben
can
a D
ari R
uan
g K
on
serv
asi
Situ
ku S
ayan
g, S
itu
ku H
ilan
g *)
Sala
h K
apra
h :
Ber
um
ah D
i Bib
ir S
un
gai
Heb
oh
Ru
ang
Terb
uka
Hija
u (
RTH
)W
arga
, Tat
a R
uan
g, J
akar
ta L
esta
riK
eber
adaa
n R
uan
g Te
rbu
ka H
ijau
(R
TH)
Seb
agai
Asp
iras
i Keh
idu
pan
Eko
no
mi,
Pen
did
ikan
, So
sial
Dan
Bu
day
a, K
eaga
maa
n B
agi
Mas
yara
kat
Ko
ta T
ange
ran
gM
imp
ikah
Jak
arta
Mem
iliki
30
% R
TH?
Peru
bah
an Ik
lim d
an T
ata
Ru
ang
Hu
kum
, Per
ub
ahan
Iklim
, Dan
Keb
ijaka
n T
ata
Ru
ang
(1)
Hu
kum
, Per
ub
ahan
Iklim
, Dan
Keb
ijaka
n T
ata
Ru
ang
(2)
Mem
etak
an T
ata
Ru
ang
Peta
Lo
kal J
arin
gan
Glo
bal
Wis
ata
Kit
a : J
alan
-jal
an B
erb
ekal
Pet
a H
ijau
Cat
atan
Per
jala
nan
Stu
di B
and
ing
ke S
inga
pu
raSe
laya
ng
Pan
dan
g Si
nga
pu
raW
ajah
Bar
u S
inga
pu
ra d
i Tan
ah R
ekla
mas
iU
bah
Waj
ah S
inga
pu
raC
atat
an S
yaif
ud
inM
enat
a K
ota
Bes
ar M
etro
po
litan
Len
ggak
Len
ggo
k K
ota
Jak
arta
Ber
ebu
t Po
sisi
Di K
epal
a N
aga
*)D
iso
rien
tasi
Ru
ang
Jogj
akar
ta A
kib
at P
atah
nya
Sim
bo
lM
engh
ind
ari B
anjir
Lew
at P
enat
aan
Kem
bal
i Kaw
asan
Jab
od
etab
ekp
un
jur
10
Ko
ta N
yam
an D
itin
ggal
iB
enca
na
Dar
i Ru
ang
Ko
nse
rvas
iSi
tuku
Say
ang,
Sit
uku
Hila
ng
*)Sa
lah
Kap
rah
: B
eru
mah
Di B
ibir
Su
nga
iH
ebo
h R
uan
g Te
rbu
ka H
ijau
(R
TH)
War
ga, T
ata
Ru
ang,
Jak
arta
Les
tari
Keb
erad
aan
Ru
ang
Terb
uka
Hija
u (
RTH
) Se
bag
aiA
spir
asi K
ehid
up
an E
kon
om
i, Pe
nd
idik
an, S
osi
al D
an B
ud
aya,
Kea
gam
aan
Bag
i M
asya
raka
t K
ota
Tan
gera
ng
Mim
pik
ah J
akar
ta M
emili
ki 3
0%
RTH
?Pe
rub
ahan
Iklim
dan
Tat
a R
uan
gH
uku
m, P
eru
bah
an Ik
lim, D
an K
ebija
kan
Tat
a R
uan
g (1
)H
uku
m, P
eru
bah
an Ik
lim, D
an K
ebija
kan
Tat
a R
uan
g (2
)M
emet
akan
Tat
a R
uan
gPe
ta L
oka
l Jar
inga
n G
lob
alW
isat
a K
ita
: Jal
an-j
alan
Ber
bek
al P
eta
Hija
uC
atat
an P
erja
lan
an S
tud
i Ban
din
g ke
Sin
gap
ura
Sela
yan
g Pa
nd
ang
Sin
gap
ura
Waj
ah B
aru
Sin
gap
ura
di T
anah
Rek
lam
asi
Ub
ah W
ajah
Sin
gap
ura
Cat
atan
Sya
ifu
din
Men
ata
Ko
ta B
esar
Met
rop
olit
anLe
ngg
ak L
engg
ok
Ko
ta J
akar
taB
ereb
ut
Posi
si D
i Kep
ala
Nag
a *)
Dis
ori
enta
si R
uan
g Jo
gjak
arta
Aki
bat
Pat
ahn
ya S
imb
ol
Men
ghin
dar
i Ban
jir L
ewat
Pen
ataa
n K
emb
ali K
awas
an J
abo
det
abek
pu
nju
r1
0 K
ota
Nya
man
Dit
ingg
ali
Ben
can
a D
ari R
uan
g K
on
serv
asi
Situ
ku S
ayan
g, S
itu
ku H
ilan
g *)
Sala
h K
apra
h :
Ber
um
ah D
i Bib
ir S
un
gai
Heb
oh
Ru
ang
Terb
uka
Hija
u (
RTH
)W
arga
, Tat
a R
uan
g, J
akar
ta L
esta
riK
eber
adaa
n R
uan
g Te
rbu
ka H
ijau
(R
TH)
Seb
agai
Asp
iras
i Keh
idu
pan
Eko
no
mi,
Pen
did
ikan
, So
sial
Dan
Bu
day
a, K
eaga
maa
n B
agi
Mas
yara
kat
Ko
ta T
ange
ran
gM
imp
ikah
Jak
arta
Mem
iliki
30
% R
TH?
Peru
bah
an Ik
lim d
an T
ata
Ru
ang
Hu
kum
, Per
ub
ahan
Iklim
, Dan
Keb
ijaka
n T
ata
Ru
ang
(1)
Hu
kum
, Per
ub
ahan
Iklim
, Dan
Keb
ijaka
n T
ata
Ru
ang
(2)
Mem
etak
an T
ata
Ru
ang
Peta
Lo
kal J
arin
gan
Glo
bal
Wis
ata
Kit
a : J
alan
-jal
an B
erb
ekal
Pet
a H
ijau
AN
UG
ER
AH
JU
RN
ALI
STI
K T
ATA
RU
AN
G 2
00
9
Direktorat Jenderal Penataan RuangKementerian Pekerjaan Umum
www.penataanruang.net