Tafsir AlFatihah
-
Upload
abdurrasyid-ridha -
Category
Documents
-
view
89 -
download
9
description
Transcript of Tafsir AlFatihah
TAFSIR AL-FATIHAH
A. TEKS AYAT
B. TERJEMAH AYAT
1. Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
2. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam;
3. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang;
4. Yang menguasai Hari Pembalasan.
5. Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami
meminta pertolongan.
6. Tunjukkanlah kami jalan yang lurus;
7. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka;
bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang
sesat.
C. PENJELASAN UMUM
Al-Fatihah terdiri dari tujuh ayat dan menurut mayoritas ulama
diturunkan di Mekkah.1 Namun menurut pendapat sebagian ulama, seperti
Mujahid, surat ini diturunkan di Madinah. Menurut pendapat lain lagi, surat
ini diturunkan dua kali, sekali di Mekkah, sekali di Madinah.2 Ia merupakan
surat pertama dalam daftar surat Al-Qur’an. Meski demikian, ia bukanlah
surat yang pertama kali diturunkan, karena surah yang pertama kali diturunkan
adalah Surah al-Alaq.3
Surat ini dinamakan al-fatihah (pembuka) karena secara tekstual ia
memang merupakan surat yang membuka atau mengawali Al-Qur’an, dan
1 Fakhruddin Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000), juz 1, hal. 17. 2 ‘Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi (al-Khazin), Lubab at-Ta’wil fi Ma’ani at-Tanzil, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), juz 1, hal. 15. 3 Muhammad bin Bahadur bin Abdullah az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1391 H), juz 1, hal. 206.
1
sebagai bacaan yang mengawali dibacanya surah lain dalam shalat.4 Selain al-
Fatihah, surat ini juga dinamakan oleh mayoritas ulama dengan Ummul Kitab.
Namun nama ini tidak disukai oleh Anas, al-Hasan, dan Ibnu Sirin. Menurut
mereka, nama Ummul Kitab adalah sebutan untuk al-Lauh al-Mahfuzh.5 Selain
kedua nama itu di atas, menurut as-Suyuthi memiliki lebih dari dua puluh
nama, di antaranya adalah al-Wafiyah (yang mencakup)6, asy-Syafiyah (yang
menyembuhkan), 7 dan as-Sab’ul Matsani (tujuh ayat yang diulang-ulang).8
Dinamakannya Al-Fatihah sebagai Ummul Kitab (Induk Kitab)
adalah karena ia mengandung seluruh tema pokok dalam Alquran, yaitu tema
pujian kepada Allah yang memang berhak untuk mendapatkan pujian, tema
ibadah dalam bentuk perintah maupun larangan, serta tema ancaman dan janji
tentang hari kiamat.9 Dengan kata lain, al-Fatihah mencakup ajaran-ajaran
pokok dalam Islam, yaitu ajaran tentang tauhid, kepercayaan terhadap Hari
Kiamat, cara beribadah, dan petunjuk dalam menjalani hidup.
D. KEUTAMAAN AL-FATIHAH
Paling tidak ada, ada dua keutamaan Surah al-Fatihah, pertama:
membaca Surah Al-Fatihah adalah salah satu rukun dalam shalat. Dengan
demikian, ia pun selalu dibaca dalam setiap shalat. Hal ini berdasarkan sabda
Nabi Muhammad SAW:
حبان( ابن )رواه ابتكال ةحاتفب أرقي ال نمل ةالص الTidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Surah al-Fatihah (H.R. Ibnu Hibban).10
4 Ismail bin Umar bin Katsir al-Qarsyi ad-Damsyiqi, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), juz 1, hal. 101. 5 Ibid. 6 Jalaludin as-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, (Mesir: al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1974), juz 1, hal. 190.7 Ibnu Jazi, at-Tashil fi Ulum at-Tanzil, juz 1, hal. 61.8 Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar, Adhwa al-Bayan fi Idhah al-Qur’an bi al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), juz 2, ha. 315. 9 Mahmud bin Abdullah al-Husaini al-Alusi, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Quran wa as-Sab’i al-Matsani, juz 1, hal. 35. 10 Muhammad bin Hibban bin Ahmad Abu Hatim, Shahih Ibn Hibban, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1993), juz 5, hal. 81.
2
Keutamaan kedua adalah bahwa al-Fatihah merupakan surat paling
agung dalam Al-Qur’an. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW:
%بي# دعاني الن ل,ي ف** ال كنت أص** %ى ق** عيد بن المعل عن أبي س**,ي ه إن ول الل**% %م فلم أجب**ه قلت ي**ا رس** ل %ه علي**ه وس** صل%ى اللول إذا س** ه وللر% تجيبوا لل**% %ه }اس** كنت أصل,ي قال ألم يقل الل,مك أعظم سورة@ في القرآن قبل أن دعاكم{ ثم% قال أال أعلرج قلت ي**ا تخرج من المسجد فأخذ بيدي فلم%ا أردن**ا أن نخ**%ك أعظم سورة@ من القرآن قال ,من %ك قلت ألعل %ه إن رسول اللرآن العظيم بع المثاني والق** %ه رب, العالمين هي الس% الحمد لل
%ذي أوتيته 11 .ال
Dari Abu Sa’id bin al-Mu’alla, ia berkata, Saya sedang shalat, lantas Nabi SAW memanggilku, dan aku tidak menyahut panggilan beliau. (Usai shalat), aku pun menemui beliau dan berkata, “Ya, Rasulullah, saya sedang shalat.” Beliau lalu bersabda, “Bukankan Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu (QS. Al-Anfal: 24)?” Kemudian, beliau kembali bersabda, “Maukah kau kuajari sebuah surat yang paling agung dalam Al Quran sebelum kamu keluar dari masjid nanti?” Maka beliau pun berjalan sembari menggandeng tanganku. Tatkala kami sudah hampir keluar masjid, aku pun berkata, “Wahai Rasulullah, Anda tadi telah bersabda, ‘Aku akan mengajarimu sebuah surat paling agung dalam Al Quran?’” Maka beliau bersabda, “(Surat itu adalah) Alhamdulillaahi Rabbil ‘alamiin (surat Al Fatihah), itulah As Sab’ul Matsaani (tujuh ayat yang sering diulang-ulang dalam shalat) serta Al Quran Al ‘Azhim yang dikaruniakan kepadaku.”
E. TENTANG BACAAN TA’AWWUDZ DAN BASMALAH
1. TA’AWWUDZ
Istilah ta’awudz atau ( تعوذ) istia’adzah ( استعاذة) digunakan
untuk merujuk kepada ungkapan permohonan untuk meminta
perlindungan kepada Allah dari godaan setan. Permohonan perlindungan
11 Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Ja’fi al-Bukhari, Al-Jami’ al-Musnad ash-Shahih al-Mukhtashar, (Beirut: Dar ath-Thauq an-Najah, 1422 H), juz 12, hal. 450.
3
demikian tersebut merupakan perintah Allah setiap kali seseorang hendak
membaca Alquran. Hal ini sesuai dengan firman-Nya:
Apabila kau membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. (QS. An-Nahl: 98)
Menurut mayoritas ulama, ungkapan ta’awudz itu adalah: 12
يطان من بالله أعوذ جيم الش% الر%
Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.
Ungkapan ta’awudz tersebut, menurut ijma ulama, bukanlah
termasuk ayat Alquran dan bukan pula termasuk salah satu ayat.13 Meski
diperintah untuk dibaca sebelum membaca Alquran, namun perintah
tersebut bukanlah sebagai perintah wajib, namun hanyalah sunnah (nadb).
Hal ini sesuai pula dengan pandangan mayoritas (jumhur) ulama.14
Sedangkan sebagian ulama lain, seperti Atha menyatakan bahwa ta’awudz
merupakan perintah wajib pada setiap kali membaca Alquran.15
Dalam beribadah, manusia bisa tergelincir kepada sikap pamer
(riya) dan sombong (ujub). Karena itulah, saat membaca Alquran, kita
dianjurkan untuk membaca ta’awudz, agar selamat dari sikap sikap riya
dan ujub yang notabene berasal bisikan setan.16 Di samping itu, setan
selalu menempatkan dirinya sebagai musuh bagi manusia. Setan
bersumpah di hadapan Allah untuk menyesatkan umat manusia. Allah
menceritakan sumpah setan ini di dalam Al Quran,
Iblis menjawab: "Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, Kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas di antara mereka. (Qs. Shad: 82-83)
12 Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, juz 1, hal. 86. 13 Ibid. 14 Ibid. 15 Abdurrahman bin al-Kamal Jalaluddin as-Sayuthi, ad-Durr al-Mantsur, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), juz 5, hal. 165. 16 Muhammad ath-Thahir bin Muhammad bin bin Muhammad at-Thahir bin Asyur at-Tunisi, at-Tahrir wa at-Tanwir, juz 8, hal. 203.
4
Isti’adzah/ta’awwudz (meminta perlindungan) adalah bentuk tauhid
kepada Allah dengan hanya memohon perlindungan kepada-Nya. Karena
itulah, memohon perlindungan kepada selain Allah adalah kesyirikan.
Orang yang baik tauhidnya akan senantiasa merasa khawatir dirinya
terjerumus dalam kesyirikan. Sebagaimana Nabi Ibrahim yang demikian
takut kepada syirik sehingga beliau berdoa kepada Allah,
Dan jauhkanlah aku serta anak keturunanku dari penyembahan berhala.” (QS. Ibrahim: 35)
2. BASMALAH
Basmalah atau tasmiyah adalah merujuk kepada ungkapan:
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Para ulama Madinah, Bashrah, dan Syam menganggap bahwa
basmalah bukanlah termasuk ayat Alquran, termasuk bukan ayat dalam
Surah Al-Fatihah, kecuali dalam surah an-Naml.17 Adanya basmalah
hanyalah berfungsi sebagai pemisah antara satu surah dengan surah lain
serta demi mencari keberkahan karena mengawali membaca Alquran
dengan basmalah. Pendapat seperti ini pula yang dipilih Imam Hanafi dan
para pengikutnya. Karena itulah, mereka selalu membaca secara perlahan
(sirr) di dalam shalat.18
Sedangkan menurut Imam Syafi’i, basmalah adalah awal ayat
dalam surah al-Fatihah,19 karena itulah dalam mazhab Syafi’i, basmalah
diucapkan secara jelas (jahr).20 Menurut Ibnu Abbas, basmalah adalah
awal ayat pada setiap surah.21
17 Ibnu Jazi, at-Tashil fi Ulum at-Tanzil, juz 1, hal. 58. 18 Abu al-Qasim Mahmud bin ‘Umar Az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf ‘an Haqaiq at-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh at-Ta’wil, (Beirut: Dar at-Turats al-Arabi, tt.), juz 1, hal. 45. 19 Ibnu Jazi, at-Tashil., loc. cit.20 Az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf., loc. cit.21 Ibnu Jazi, at-Tashil., loc. cit.
5
Dalam mushaf Utsmani, basmalah tidak dicantumkan di awal
Surah al-Bara’ah (at-Taubah). Di dalam al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, hal
ini karena sesuai dengan adat istiadat orang Arab. Jika mereka
mengadakan sebuah perjanjian antara satu kelompok dengan kelompok
lain, lantas satu pihak hendak membatalkan perjanjian itu, maka pihak
tersebut mengirimkan sebuah surat dan tidak mencantumkan kalimat
basmalah di awal surat sebagaimana kebiasaan mereka mengirimkan
surat.22 Hal ini sesuai dengan isi surah al-Bara’ah yang membatalkan
perjanjian perdamaian antara orang Islam dengan orang kafir.
Menurut pendapat lain yang lebih kuat, tidak dicantumkannya
basmalah dalam surah al-Bara’ah karena sebenarnya surah al-Bara’ah
adalah masih satu surah dengan surah sebelumnya, yaitu al-Anfal. Surah
al-Anfal adalah bagian awal surah, dan surah al-Baraah adalah bagian
akhir surat. Apalagi isi dan kisah yang ada dalam kedua surah itu memang
mirip sekali.23
Pendapat lain menyatakan bahwa tidak dicantumkannya basmalah
dalam surah at-Bara’ah karena tidak adanya kesesuaian antara basmalah
yang mengandung makna kasih sayang (rahmat) dengan makna
pemutusan hubungan perjanjian (tabarru) yang terdapat di awal surah al-
Bara’ah. Namun pendapat ini ditolak oleh sebagian ulama. Karena ternyata
banyak ada beberapa awal surat yang menggunakan kata wail (celaka),
namun tetap didahului dengan basmalah. Padahal kata wail tidak sesuai
dengan makna kasih sayang yang terdapat dalam basmalah.24
F. TAFSIR
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
22 Az-Zarkasyi, Al-Burhan., op. cit., juz 1, hal. 263.23 Ibid. 24 Ismail Haqqi bin Musthafa al-Istambuli, Tafsir Ruh al-Bayan, (Kairo: Dar at-Turats al-Arabi, tt), juz 3, hal. 290.
6
Kalimat basmalah tersebut bermakna: “Aku memulai bacaanku ini
seraya memohon berkah dengan menyebut seluruh nama Allah.” Idiom
“nama Allah” berarti mencakup semua nama di dalam Asmaul Husna.
Seorang hamba harus memohon pertolongan kepada Tuhannya. Dalam
permohonannya itu, ia bisa menggunakan salah satu nama Allah yang
seusai dengan permohonannya. Permohonan pertolongan yang paling
agung adalah dalam rangka ibadah kepada Allah. Dan yang paling utama
lagi adalah dalam rangka membaca kalam-Nya, memahami makna kalam-
Nya, dan meminta petunjuk-Nya melalui kalam-Nya.25
Allah adalah Dzat yang harus disembah. Hanya Allah yang berhak
atas cinta, rasa takut, pengharapan, dan segala bentuk penyembahan. Hal
itu karena Allah memiliki semua sifat kesempurnaan, sehingga membuat
seluruh makhluk semestinya hanya beribadah dan menyembah kepada-
Nya.26
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
Ayat ini merupakan pujian kepada Allah karena Dia memiliki
semua sifat kesempurnaan dan karena telah memberikan berbagai
kenikmatan, baik lahir maupun batin; serta baik bersifat keagamaan
maupun keduniawian. Di dalam ayat itu pula, terkandung perintah Allah
kepada para hamba untuk memuji-Nya. Karena hanya Dialah satu-satunya
yang berhak atas pujian. Dialah yang menciptakan seluruh makhluk di
alam semesta. Dialah yang mengurus segala persoalan makhluk. Dialah
yang memelihara semua makhluk dengan berbagai kenikmatan yang Dia
berikan. Kepada makhluk tertentu yang terpilih, Dia berikan kenikmatan
berupa iman dan amal saleh.27
25 Abdurrahman bin Nashir bin as-Sa’di, Taisir al-Lathif al-Mannan fi Khulash Tafsir al-Qur’an, (Saudi Arabia: Wizarah asy-Syu’un al-Islamiyah wa al-Auqaf wa ad-Da’wah wa al-Irsyad al-Mamlakah al-Arabiyyah as-Su’udiyyah, 1422 H), hal. 10. 26 Ibid.27 Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, et.al, at-Tafsir al-Muyassar, hal. 8.
7
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Kedua kata tersebut adalah kata sifat yang berakar pada satu kata,
yaitu ar-rahmah. Secara bahasa, kata rahmat berarti kasih di dalam hati
yang mendorong timbulnya perbuatan baik. Makna bahasa ini kurang tepat
untuk menggambarkan sifat Allah. Karena itulah, para ulama lantas lebih
sepakat untuk menyatakan bahwa kasih sayang adalah sifat yang ada
dalam Dzat Allah. Kita tidak mengetahui bagaimana hakikatnya. Kita
hanya menyadari efek dari sifat kasih sayang-Nya, yaitu berupa
kebaikan.28
Banyak para ulama yang membedakan antara makna ar-Rahman
dan ar-Rahim. Sifat ar-Rahman merupakan sifat kasih sayang Allah yang
memberikan kenikmatan kepada seluruh makhluk-Nya. Sedangkan sifat
ar-Rahim adalah sifat kasih sayang-Nya yang memberikan kenikmatan
secara khusus untuk orang-orang mukmin saja. Sebagian ulama lain
menyatakan bahwa sifat ar-Rahman merupakan sifat kasih sayang Allah
yang memberikan kenikmatan yang bersifat umum. Sedangkan sifat ar-
Rahim merupakan sifat kasih Allah yang memberikan kenikmatan yang
bersifat khusus.29
Menurut Syekh Thanthawi Jauhari, kata ar-Rahman merupakan
sifat kasih sayang Allah yang berkaitan dengan Dzat-Nya. Allah
merupakan sumber kasih sayang dan kebaikan. Sedangkan kata ar-Rahim
adalah sifat kasih sayang Allah yang berkaitan dengan perbuatan, yaitu
bagaimana sampainya kasih sayang dan kebaikan Allah kepada para
hamba-Nya yang diberi kenikmatan.30
28 Muhammad Sayyid Thanthawi, at-Tafsir al-Wasith, juz 1, hal. 1. 29 Ibid.30 Ibid.
8
Yang menguasai di hari Pembalasan
Dalam ayat ini, terdapat dua macam qiraat. Ashim, al-Kisa’i, dan
Ya’qub membacanya dengan , huruf mim dibaca panjang (mad).
Sedangkan para qari yang lain membacanya dengan , huruf mim tidak
dibaca panjang (mad). Meski bisa dibaca dengan dua cara, kata tersebut
memiliki makna yang sama. Sebagian ulama menyatakan bahwa kata al-
Maalik atau al-Malik bermakna Yang Maha Kuasa untuk menciptakan
sesuatu dari tidak ada menjadi ada. Tidak ada yang mampu melakukan hal
itu kecuali Allah SWT. 31
Menurut Ibnu Abbas, Muqatil, dan as-Sadi, ayat tersebut berarti
“yang memutuskan di hari perhitungan.” Menurut Qatadah, kata ad-din (
berarti pembalasan. Dalam hal ini, pembalasan berlaku atas semua (الدين
kebaikan dan keburukan. Sedangkan menurut Muhammad bin Ka’ab al-
Qarzhi, ayat tersebut bermakna “yang menguasai hari ketika tak ada lagi
yang bermanfaat kecuali agama.” Menurut pendapat lain, kata ad-din
berarti ketaatan. Dengan demikian, yaum ad-din berarti hari ketaatan. 32
Saat itu, hanya ketaatan hamba kepada Tuhan yang menyelamatkannya
dari siksaan neraka.
Mengapa dikatakan Allah menguasai hari pembalasan? Bukankah
Allah juga menguasai semua hari? Hal itu karena pada hari pembalasan,
semua kekuasaan lenyap. Tak ada kekuasaan dan pemerintahan kecuali
hanya milik-Nya semata. Hal ini sesuai dengan ayat-Nya yang lain yang
berbunyi: Kerajaan yang hak pada hari itu adalah kepunyaan
Tuhan yang Maha Pemurah (QS. Al-Furqan; 26). 33
31 Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, (Riyadh: Dar ath-Thayyibah li an-Nasy wa at-Tauzi’, 1997), juz 1, hal. 53. 32 Ibid. 33 Ibid.
9
Kepercayaan terhadap adanya hari kiamat, hari akhir, atau hari
pembalasan merupakan sesuatu yang sangat fundamental dalam Islam.
Sebagaimana kata Sayyid Qutb dalam tafsirnya Fi Zhilal al-Qur’an,
kehidupan masyarakat yang berpedoman dengan metode Allah yang tinggi
tidak akan terwujud selama kepercayaan terhadap hari kiamat tidak ada
dalam diri mereka; selama hati mereka belum betul-betul menyadari
bahwa apa yang mereka dapatkan di dunia bukanlah akhir dari apa yang
akan mereka dapatkan.34
Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.
Dengan kalimat hanya kepada-Mu kami menyembah ( %اك نعبد إي ),
Allah membatasi penyembahan atau ibadah hanya kepada Diri-Nya
semata. Dengan ayat tersebut, kita pun harus memutuskan bahwa ibadah
hanyalah satu-satunya kepada Allah. Tidak boleh ibadah tersebut dikait-
kaitkan dengan selain Allah. Ibadah juga merupakan bentuk ketundukan
manusia kepada Allah untuk mengikuti berbagai perintah dan larangan-
Nya.35
Shalat merupakan bentuk ibadah yang paling dasar (asasi). Dalam
hal ini, sujud merupakan bentuk ketundukan yang paling tinggi kepada
Allah. Hal ini karena dalam bersujud, orang menundukkan wajahnya yang
notabene merupakan bagian tubuh yang paling dimuliakan. Saat bersujud,
orang menempelkan wajahnya di atas lantai yang notabene merupakan
tempat yang biasa diinjak-injak oleh kaki. Apalagi di dalam shalat,
34 Sayyid Qutb, Fi Zhilal al-Qur’an, juz 1, hal. 5. 35 Muhammad Mutawalli as-Sya’rawi, Tafsir asy-Sya’rawi, juz 1, hal. 3.
10
terutama shalat berjamaah, ketundukan seseorang kepada Allah juga
dipertontonkan kepada semua orang.36
Meski diperintahkan untuk hanya menyembah Allah semata,
manusia tetap diberi kebebasan untuk memilih, apakah sudi menyembah-
Nya atau tidak; beriman atau kafir kepada-Nya; taat atau membangkang
kepada-Nya. Padahal Allah bisa saja menciptakan semua makhluk-Nya
jadi seperti malaikat yang hanya menyembah-Nya dan tidak pernah
membangkang pada-Nya. Namun, Allah tetap memberikan kebebasan
untuk memilih pada diri manusia agar manusia betul-betul menyembah
Allah karena pilihannya sendiri, bukan karena paksaan. Menyembah Allah
karena betul-betul menyadari sepenuhnya bahwa Allah memang layak dan
seharusnya untuk disembah. Jika kesadaran itu semakin besar dan merasuk
dalam hati manusia, ia pun menyembah Allah karena didasari rasa cinta
kepada-Nya.
Setelah menyebutkan “hanya kepada-Mu kami menyembah”, Allah
lantas menyebutkan “hanya kepada-Mu, kami meminta pertolongan”. Hal
ini menunjukkan pengertian bahwa “kami tidak menyembah kepada selain
Diri-Mu, dan kami tidak meminta pertolongan kecuali kepada Diri-Mu”.
Permintaan tolong hanya kepada Allah akan menghindarkan kita dari
hinanya kehidupan dunia. Saat kita meminta tolong kepada selain Allah,
misalnya manusia, maka kita sebenarnya meminta pertolongan kepada
makhluk yang memiliki berbagai keterbatasan. Manusia bisa saja
memberikan pertolongan kepada orang lain sesuai kemampuan dan
kekuatannya. Manusia yang saat ini mampu dan kuat boleh jadi dalam
sekejap bisa menjadi orang yang sangat lemah dan tidak memiliki
kemampuan apapun.
36 Ibid.
11
Allah bermaksud membebaskan orang-orang beriman dari hinanya
kehidupan dunia. Allah pun meminta mereka agar hanya meminta
pertolongan kepada Diri-Nya yang Maha Hidup dan tak pernah mati;
Maha Kuat dan tak pernah lemah; Maha Kuasa dan tak bisa dikuasai oleh
apapun serta siapapun. Jika kita betul-betul meminta pertolongan kepada
Allah, Dia pun akan menyertai kita. Dia akan memberikan kekuatan saat
kita lemah. Dia akan memberi petunjuk saat kita kebingungan memilih
antara kebenaran dan kebatilan.
Ditempatkannya kalimat “permintaan tolong” () setelah
kalimat “penyembahan” () juga merupakan bentuk pengajaran
Allah kepada manusia tentang sopan santun. Allah memerintahkan kita
untuk beribadah kepada-Nya terlebih dahulu. Setelah kita beribadah
kepada-Nya, barulah kita pantas untuk meminta pertolongan kepada-Nya.
Dengan kata lain, sudah selayaknya, orang meminta sesuatu setelah ia
terlebih dahulu mengerjakan apa yang diperintahkan. Sangat tidak pantas
jika seseorang meminta segala sesuatu terlebih dahulu padahal ia belum
melaksanakan apa yang diperintahkan. 37
Tunjukkanlah kami jalan yang lurus,
Menurut Ibnu Abbas, kata “tunjukkanlah kami” () berarti
“berilah kami ilham.” Sedangkan “jalan yang lurus” (
) berarti kitab Allah. Dalam riwayat lain “jalan yang lurus”
itu adalah agama Islam. Selain itu, ada juga riwayat yang menyatakan
bahwa ia berarti “al-haqq” (kebenaran). Dengan demikian, menurut Ibnu
37 Lihat, Muhammad Sayyid Thanthawi, at-Tafsir al-Wasith, juz 1, hal. 6.
12
Abbas lagi, kalimat “tunjukkan kami jalan yang benar” berarti “berilah
kami ilham tentang agama-Mu yang benar, yaitu tiada tuhan selain Allah
satu-satunya; serta tiada sekutu bagi-Nya.”38
Kata ash-shirath () dalam ayat di atas mempunyai tiga
macam cara membaca (qiraat). Pertama, mayoritas qari, membacanya
dengan dengan huruf shad, sebagaimana yang tercantum dalam mushaf
Utsmani. Kedua, sebagian lain membacanya dengan huruf siin, sehingga
menjadi .(السراط) Ketiga, dibaca dengan huruf zay (ز), sehingga
menjadi (ال*زراط). 39 Sedangkan menurut bahasa, seperti dikatakan at-
Thabari, kata ash-shirath () berarti jalan yang jelas dan tidak
bengkok.40
Kata berasal dari akar kata hidayah (هداية). Menurut al-
Qasimi, hidayah berarti petunjuk --baik yang berupa perkataan maupun
perbuatan-- kepada kebaikan. Hidayah tersebut diberikan Allah kepada
hamba-Nya secara berurutan. Hidayah pertama diberikan Allah kepada
manusia melalui kekuatan dasar yang dimiliki manusia, seperti pancaindra
dan kekuatan berpikir. Dengan kekuatan inilah, manusia bisa memperoleh
petunjuk untuk mengetahui kebaikan dan keburukan.
Hidayah kedua adalah melalui diutusnya para Nabi. Macam
hidayah ini terkadang disandarkan kepada Allah, para rasul-Nya, atau
Alquran. Hidayah tingkatan ketiga adalah hidayah yang diberikan oleh
Allah kepada para hamba-Nya yang karena perbuatan baik mereka.
Hidayah keempat adalah hidayah yang telah ditetapkan oleh Allah di alam
keabadian. Dalam pengertian hidayah keempat inilah, maka Nabi
38 Ibnu Abi Hatim ar-Razi, Tafsir Ibnu Abi Hatim, juz 1, hal. 8-9. 39 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, op. cit., juz 1, hal. 136. 40 Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Amali Abu Ja’far ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, (Riyadh: Muassasah ar-Risalah, 2000), juz 1, hal. 170.
13
Muhammad tidak berhasil mengajak sang paman, Abi Thalib, untuk
masuk Islam.41
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Ayat ini merupakan penjelasan dan tafsir dari ayat sebelumnya
tentang apa yang dimaksud dengan “jalan yang lurus” (
). Jadi, yang dimaksud dengan “jalan yang lurus” adalah
“jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka”.
Sedangkan yang dimaksud dengan “jalan orang-orang yang telah Engkau
beri nikmat kepada mereka” adalah jalan orang-orang yang telah Allah
beri anugerah kepada mereka, lalu Allah pun menjaga hati mereka dalam
Islam, sehingga mereka mati tetap dalam keadaan Islam. Mereka itu
adalah para nabi, orang-orang suci, dan para wali. Sedangkan, menurut
Rafi’ bin Mahran, seorang tabi’in yang juga dikenal dengan nama Abu al-
Aliyah, yang dimaksud dengan “orang-orang yang Engkau beri nikmat
itu” adalah Nabi Muhammad dan kedua sahabat beliau, yaitu Abu Bakar
ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab.42
Selanjutnya, yang dimaksud dengan “bukan jalan mereka yang
dimurkai” ( عليهم المغضوب غير ) adalah jalan yang ditempuh oleh
orang-orang Yahudi. Mereka dimurkai oleh Allah dan mendapatkan
kehinaan karena melakukan berbagai kemaksiatan. Sedangkan yang
dimaksud dengan orang-orang yang sesat (الضالين) pada lanjutan ayat
41 Lihat, Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Mahasin at-Ta’wil, kitab digital dalam Program al-Maktabah asy-Syamilah versi 3.13. 42 Abu al-Laits Nashr bin Muhammad bin Ibrahim as-Samarqandi, Bahr al-Ulum, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), juz 1, hal.43.
14
tersebut adalah orang-orang Nasrani. Tafsir bahwa orang-orang dimurkai
adalah Yahudi dan orang-orang sesat adalah Nasrani sudah disepakati oleh
banyak para ulama dan diuraikan di dalam beberapa hadis dan ayat-ayat
Alquran sendiri.43
43 Ibid., juz 1, hal. 44.
15
BIBLIOGRAFI
Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, at-Tafsir al-Muyassar.
Abdurrahman bin al-Kamal Jalaluddin as-Sayuthi, ad-Durr al-Mantsur, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993).
Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Taisir al-Lathif al-Mannan fi Khulash Tafsir al-Qur’an, (Saudi Arabia: Wizarah asy-Syu’un al-Islamiyah wa al-Auqaf wa ad-Da’wah wa al-Irsyad al-Mamlakah al-Arabiyyah as-Su’udiyyah, 1422 H).
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi.
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Ja’fi al-Bukhari, Al-Jami’ al-Musnad ash-Shahih al-Mukhtashar, (Beirut: Dar ath-Thauq an-Najah, 1422 H).
Abu al-Laits Nashr bin Muhammad bin Ibrahim as-Samarqandi, Bahr al-Ulum, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.).
Abu al-Qasim Mahmud bin ‘Umar Az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf ‘an Haqaiq at-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh at-Ta’wil, (Beirut: Dar at-Turats al-Arabi, tt.).
Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, (Riyadh: Dar ath-Thayyibah li an-Nasy wa at-Tauzi’, 1997).
Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi (al-Khazin), Lubab at-Ta’wil fi Ma’ani at-Tanzil, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979).
Fakhruddin Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000).
Ibnu Abi Hatim ar-Razi, Tafsir Ibnu Abi Hatim.
Ibnu Jazi, at-Tashil fi Ulum at-Tanzil.
Ismail bin Umar bin Katsir al-Qarsyi ad-Damsyiqi, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994).
Ismail Haqqi bin Musthafa al-Istambuli, Tafsir Ruh al-Bayan, (Kairo: Dar at-Turats al-Arabi, tt).
Jalaludin as-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, (Mesir: al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1974)
Mahmud bin Abdullah al-Husaini al-Alusi, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Quran wa as-Sab’i al-Matsani.
16
Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar, Adhwa al-Bayan fi Idhah al-Qur’an bi al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995.
Muhammad ath-Thahir bin Muhammad bin bin Muhammad at-Thahir bin Asyur at-Tunisi, at-Tahrir wa at-Tanwir.
Muhammad bin Bahadur bin Abdullah az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1391 H).
Muhammad bin Hibban bin Ahmad Abu Hatim, Shahih Ibn Hibban, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1993).
Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Amali Abu Ja’far ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, (Riyadh: Muassasah ar-Risalah, 2000).
Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Mahasin at-Ta’wil, kitab digital dalam Program al-Maktabah asy-Syamilah versi 3.13.
Muhammad Mutawalli as-Sya’rawi, Tafsir asy-Sya’rawi.
Muhammad Sayyid Thanthawi, at-Tafsir al-Wasith.
Sayyid Qutb, Fi Zhilal al-Qur’an.
17