suprasegmental features in kidung tantri nandakaharana
Transcript of suprasegmental features in kidung tantri nandakaharana
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kidung adalah karya cipta rasa karsa manusia yang menggunakan sistem
tanda bahasa tingkat kedua (bahasa sekunder). Kidung dikatakan demikian karena
sastra menggunakan bahasa (sistem tanda tingkat pertama) sebagai media
ekspresinya (Wiyatmi, 2006:93). Penuangan ide-ide manusia dari bahasa, sastra,
dan budaya merupakan dokumentasi dari zaman tertentu, salah satunya dalam
bentuk kidung. Berbagai macam kidung muncul di Indonesia. Salah satu di
antaranya adalah Kidung Tantri yang menggunakan babon dari India, yaitu
Pañcatantra. Khususnya di Jawa, pada awal periode Hindu-Jawa, sebelum abad
ke-15 atau sekitar abad ke-12, teks Pañcatantra disadur ke dalam bahasa Jawa
dalam bentuk prosa. Saduran itu dinamakan Tantricarita yang kemudian lebih
dikenal dengan Tantri Kāmandaka. Perkembangan selanjutnya, teks Tantri
Kāmandaka Jawa Kuno itu menyebar ke Bali dan ditransformasikan ke dalam
berbagai bentuk dan jenis pernaskahan Bali, seperti gañcaran, kakawin, kidung,
geguritan, dongeng, lakon wayang, lakon dramatari, ataupun prasi (Suarka,
2007:1--3).
Tantri Kāmandaka Jawa Kuno menyebar ke Bali dan ditransformasikan ke
dalam bentuk Kidung Tantri Piśācaraņa, Kidung Tantri Nandakaharana, Kidung
Tantri Mandukaprakaraņa, dan Kidung Tantri Pitrayajña. Hasil penelitian
menyebutkan bahwa penyaduran kidung ini terjadi di Bali. Kidung Tantri
Piśācaraņa dikarang oleh Ida Pedanda Made Sidemen dari Geria Intaran, Sanur,
1
2
Denpasar, Bali sekitar tahun 1934--1944. Kidung Tantri Nandakaharana dikarang
oleh Ida Pedanda Nyoman Pidada dan Ida Pedanda Ketut Pidada dari Geria Punia,
Sidemen, Karangasem, Bali pada tahun 1728. Kidung Tantri Mandukaprakaraņa
dikarang oleh I Gusti Made Tangeb dari Desa Sidemen, Karangasem, Bali.
Kidung Tantri Pitrayajña dikarang oleh Si Mekel Gede Banang Tegoga dari
Mengwi, Kabupaten Badung (Agastya, 1994:3; Suarka, 2007:3--4).
Kidung yang menjadi kajian penelitian ini adalah Kidung Tantri
Nandakaharana, selanjutnya disingkat dengan KTN. Pemilihan ini karena
masyarakat Bali lebih banyak mengenal KTN dan menembangkannya untuk
upacara manusa yadnya dibandingkan dengan kidung Tantri yang lain. Selain itu,
cerita yang menarik menjadikan kidung ini layak menjadi sebuah bahan
penelitian. Petikan cerita berbingkai dalam KTN diawali dari Raja Eswaryadala
menginginkan gadis untuk dikawini tiap malam. Keadaan tersebut ditentang oleh
Patih Niti Bandeswarya yang berdebat dengannya, tetapi sang patih tetap tidak
berdaya. Akhirnya, keinginan sang prabu harus dituruti. Beliau pun kawin setiap
hari dengan seorang gadis jelita. Pada suatu hari habislah gadis-gadis jelita yang
ada di negaranya. Hati Sang Patih sedih kemudian mengeluh kepada putrinya
Tantri, seorang gadis istimewa. Tantri bersedia dipersembahkan kepada sang
prabu keesokan harinya dan berusaha mengobati ‘penyakitnya’ dengan mengajari
petikan-petikan kitab Niti Sastra. Setelah dipersembahkan kepada raja, Tantri pun
bercerita tentang kebijaksanaan. Tantri bercerita tentang kisah-kisah berbingkai
mulai dari Nandaka, Kutu lan Tuma, I Cangak, dan cerita-cerita lainnya yang
saling terkait. Setiap hari Tantri selalu menceritakan satu cerita kepada raja. Raja
3
terkesima dengan cara Tantri bercerita dan ingin terus mendengarkan sambungan-
sambungan ceritanya. Lama kelamaan raja pun lupa dengan keinginannya untuk
mengawini gadis-gadis tiap malam.
KTN sebagai bentuk kidung menggunakan bahasa Jawa Pertengahan
(Sukesi dalam Suarka, 2007: 5). Kidung memiliki sistem yang lebih rumit
daripada kakawin dan menggunakan metrum Tĕngahan yang memang membuat
kurang diminati oleh para ilmuwan khususnya linguistik (Zoetmulder, 1985:511).
Metrum Tĕngahan mempunyai karakteristik yang lebih fleksibel, dalam arti
penembang bebas mengekspresikan tembang ini tanpa terpaku pada jeda kalimat
dan aturan-aturan kebahasaan yang menginginkan adanya keutuhan makna
(Nabeshima, 2009:13--14). Meskipun demikian, dari segi kebahasaannya KTN
menggunakan bahasa Jawa Pertengahan yang mudah dimengerti, memiliki
kontekstual yang tepat antara bait yang satu dan bait yang lainnya, serta prosodi
yang teratur karena menggunakan satu metrum, yaitu metrum demung sawit. Hal
ini merupakan dasar untuk melakukan penelitian yang lebih komprehensif di
bidang kidung sehingga permasalahan pungtuasi, intonasi, tempo, tekanan, dan
kuantitas suara dapat dikerjakan dengan tuntas. Sebagai contoh KTN memiliki
satu kalimat dalam satu bait.
1. 1 a. ndan purwa sira winuwus swamulweng sarat saksat hyang Giripati mukya sireng praja andiri atur uripning samanta bupati sang lwir Paramarteng rat tan lyan patirtaning sang Wipradi pangastuleng wong; Terjemahannya: Maka pada mulanya diceritakanlah beliau yang sungguh mulia di seluruh dunia, beliau yang bagaikan Raja Gunung Yang Agung yang memerintah rakyatnya. Beliau seakan-akan betul-betul unggul di seluruh dunia, seperti kehidupan semua raja menjadi satu. Beliau tiada lain adalah guru dan pandita utama, tempat pemujaan Dewa.
4
1. 1 b. prasasta ring rat sang prabu Eswaryapala parama sakti ring para parata tĕka sama anungkul saka sĕngkĕ inganing samudra asrah pangawasa tuhu swamining bumi sireki prabuning katong (Soekatno, 2009:76); Terjemahannya: Termasyhur di seluruh dunia Sri Baginda Eswaryapala. Beliau sungguh kuat di antara para rakyat jelata. Mereka semua datang menghormatinya dari daerah pegunungan sampai ke tepi samudera, semuanya menyerahkan kekuasaan mereka. Benar-benar seorang penguasa dunia beliau Raja dari Raja.
Petikan kidung di atas terdiri atas satu kalimat. Karena hanya terdapat satu
kalimat dalam sebuah bait serta tidak terdapat jeda dan baris yang pasti,
kepopuleran kidung di kalangan ilmuwan kurang diminati. Hal ini berbeda dengan
kakawin karena kakawin memiliki metrum yang lebih rapi dengan tata klausa
yang teratur dibandingkan dengan kidung. Kidung sendiri membebaskan kerapian
pemenggalan klausa tersebut dan lebur menjadi satu. Hal ini memperumit naskah
kidung untuk disentuh oleh para peneliti. Berangkat dari permasalahan ini, KTN
layak diteliti dari segi fitur-ftur suprasegmentalnya untuk memberikan penjelasan
seberapa banyak klausa yang dapat dipenggal dalam satu bait. Penelitian ini juga
memberikan pembaruan dalam melihat kidung dari segi linguistik yang jarang
ditemukan, yaitu untuk memerikan kidung ke dalam struktur baku khususnya
dalam bidang fitur-fitur suprasegmental.
Suprasegmental memiliki fitur-fitur penting dalam analisisnya. Fitur-fitur
suprasegmental tersebut meliputi empat hal. Keempat hal itu yaitu ritme, tekanan,
intonasi, dan durasi (Ladefoged, 1993: 109--113; Cruttendent, 1997: 20). Ritme
meliputi kualitas suara, lemah lembut dan tingkat suara (tinggi-rendah), intonasi
merupakan nada dalam sebuah kalimat, yaitu naik, turun, atau datar, sedangkan
5
durasi, yaitu waktu yang diperlukan untuk menembangkan sebuah silabel
(berkaitan dengan pemendekan dan pemanjangan suara) (Ladefoged, 1993: 109--
113; Cruttendent, 1997: 20). Beberapa ahli menyamakan fitur-fitur
suprasegmental dengan prosodi. Prosodi hanya meneliti tentang nada, irama,
intonasi, dan durasi, sedangkan fitur-fitur suprasegmental juga meneliti adanya
variasi yang terjadi pada tiap-tiap prosodi tersebut sehingga dalam penelitiannya
fitur-fitur prosodi termasuk ke dalam fitur-fitur suprasegmental (Ladefoged,
1993:14--15; Dardjowidjojo, 2009:160).
Penelitian tentang fitur-fitur suprasegmental belum begitu mendapat
perhatian yang banyak di Indonesia. Beberapa peneliti muncul di Indonesia untuk
menganalisis lebih banyak tentang prosodi dalam tuturan sehari-hari. Adapun
penelitian yang dimaksud, yaitu (1) Halim (1969) melakukan penelitian terhadap
intonasi bahasa Indonesia yang berkaitan dengan sintaksis. Contoh: guru saya’
baik sekali; (2) Sugiyono (2003) melakukan kajian yang bertujuan mencari
parameter prosodi yang menandai kontras antara ciri akustik tuturan deklaratif dan
interogatif bahasa Melayu Kutai; dan (3) Syarfina (2003) terhadap bahasa Melayu
Deli di Provinsi Sumatera Utara. Syarfina meneliti nada dasar penutur bahasa
Melayu Deli berdasarkan variasi sosial. Ketiga penelitian ini masih meneliti
masalah kebahasaan yang terjadi dalam tuturan sehari-hari bukan dalam karya
sastra. Meskipun demikian, penelitian ini dapat menjadi referensi untuk
menyempurnakan penelitian dalam karya sastra yang berbeda dengan tuturan
sehari-hari. Oleh karena itu, kelayakan KTN dijadikan objek penelitian tidak
6
terlepas dari kekurangan bahan referensi mengenai fitur-fitur suprasegmental
dalam bidang sastra.
Sebagai karya sastra, penembangan KTN didasarkan pada metrum
pertengahan khususnya demung sawit. Metrum ini memberikan kesempatan bagi
penembangnya untuk melakukan variasi-variasi yang sesuai dengan kidung yang
dinyanyikan (Robson, 1978:8). Variasi fitur-fitur suprasegmental KTN menjadi
sangat menarik untuk dideskripsikan dan diperbandingkan. Perbandingan yang
dapat dilakukan biasanya pada intonasi, jeda, panjang-pendeknya suara, atau
adanya tekanan-tekanan yang lebih mengkhusus daripada pakem KTN. Contoh
salah satu bait KTN memiliki tekanan dan nada seperti di bawah.
Tuhwatut bhiseka nrepati Sri Aiswaryadala dala kusuma patra anglung Aiswarya raja laksmi sangkula amenuhi rājya kwehing bāla di warga mukya si rakryan patih Sang Nīti Bandeswarya patrārum. Terjemahannya : Di tiap-tiap desa bersenang-senang, berpesta pora diiringi bunyi gamelan seperti semar pegulingan, suara rebab dan seruling serta kidung bersahut-sahutan, termasuk upacara widhiwidhana pawiwahan yang dilaksanakan oleh orang tua terhadap anaknya yang cantik.
Gambar 001 Penggalan bait pemawak KTN
7
Tinggi rendahnya nada memiliki struktur yang konstan. Namun, pada saat
menembangkan aiswaryadala, ada jeda antara aiswarya-dala. Ini menyebabkan
ambiguitas pada intonasi, apakah jeda tersebut berarti memisahkan kata aiswarya
dan dala karena aiswaryadala merupakan satu kesatuan bentuk yang utuh dan
satu makna. Pause/jeda perlu mendapat perhatian dari para penembang kidung
agar tidak terfokus pada keindahan nyanyian, tetapi juga berdasarkan bentuk dan
kata-kata penyusun KTN.
Keindahan susunan kata tertuang dalam berbagai jenis sastra. Kidung
sebagai bentuk sastra menggunakan bahasa yang harmonis. Keharmonisannya
biasanya ditimbulkan dari adanya metafora yang menghiasi Kidung Tantri
Nandakaharana. Metafora termasuk gaya bahasa. Metafora adalah semacam
analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk
singkat seperti bunga bangsa, buaya darat, wastra mulya, dan sebagainya (Keraf,
2008:139). Keindahan suatu sastra terbalut rapi ketika bahasa dan bentuk lebur
menjadi satu. Bahasa figuratif sering digunakan dalam kidung yang memperindah
jalinan cerita sebuah kidung khususnya KTN. Merujuk pada hal tersebut maka
tidak dapat ditinggalkan penelitian metafora dalam penelitian Kidung Tantri
Nandakaharana sebagai faktor terjadinya variasi fitur-fitur suprasegmental pada
tiap-tiap bait. Adanya faktor-faktor ini berguna untuk menemukan keterkaitan
antara tekanan, intonasi, dan jeda dengan bahasa-bahasa figuratif tersebut. Contoh
di atas misalnya patrārum terdiri dari patra – arum. Secara leksikal patra berarti
‘nama’ dan arum berarti ‘harum’. Jadi artinya adalah ‘nama yang harum’. Maksud
8
kata ini adalah menunjukkan ketenaran seseorang dengan segala perbuatan
baiknya.
Gambar 002 Penggalan bait pemawak KTN
Fitur-fitur suprasegmental dari kata-kata metaforis memiliki fitur-fitur
suprasegmental yang unik. Kedua kata patrā-rum memiliki tipe fitur-fitur
suprasegmental yang hampir mirip. Suku kata pertama menempati puncak silabel.
Selain itu, tekanan-tekanan yang dberikan berkisar antara 150 Hz -- 350Hz. Ini
menunjukkan bahwa metafora memengaruhi fitur-fitur suprasegmental sehingga
layak untuk diteliti. Selain faktor metafora, terdapat pula faktor lain yang
mempengaruhi, baik itu secara linguistik maupun nonlinguistik. Faktor linguistik,
antara lain adanya vokal panjang, konsonan rangkap, dan harmonisasi vokal
dengan konsonan. Faktor nonlinguistik mencakup adanya kekuatan olah vokal,
persepsi, dan interpretasi penembang.
Adanya perbedaan fitur-fitur suprasegmental karena faktor-faktor tersebut
menyebabkan muncul berbagai variasi. Meskipun demikian, penelitian di bidang
ini belum begitu populer karena adanya tolok ukur yang sulit ditentukan.
Kesulitan tolok ukur bukanlah alasan yang kuat untuk tidak meneliti di bidang ini.
Semakin banyak hal yang bisa diteliti dari sebuah kidung memberikan dampak
9
positif mengenai cara pandang peneliti terhadap kidung tersebut. Secara
menyeluruh penelitian ini menghasilkan temuan baru dalam bentuk formula fitur-
fitur suprasegmental kidung.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas dapat ditarik beberapa
permasalahan dalam penelitian ini. Permasalahan tersebut dirangkum dalam
bentuk pertanyaan seperti di bawah ini.
1. Bagaimanakah fitur-fitur suprasegmental KTN?
2. Bagaimanakah variasi fitur-fitur suprasegmental yang terjadi dalam
KTN?
3. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi variasi fitur-fitur
suprasegmental dalam KTN?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan sebuah penelitian berguna untuk menentukan arah dalam sebuah
penelitian. Untuk itu, tujuan penelitian ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu tujuan
umum dan tujuan khusus. Adapun tiap-tiap tujuan dijabarkan sebagai berikut:
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah memberikan wawasan tentang kidung
yang lebih mendetail dalam bidung linguistik. Penelitian ini dapat memberikan
sumbangan pengetahuan kepada pencinta kidung dan masyarakat luas dari
10
perspektif yang baru. Perspektif baru tersebut, yaitu melihat sisi kelinguistikan
khususnya fitur-fitur suprasegmental dari sebuah kidung bukan hanya dari segi
sastra dan perbandingan naskah kidung yang bervariasi di masyarakat. Penelitian
ini dapat membantu peneliti-peneliti berikutnya untuk memahami kidung lebih
komprehensif.
1.3.2 Tujuan khusus
Tujuan khusus penelitian ini berkaitan dengan rumusan masalah yang telah
dikemukakan, yaitu sebagai berikut.
1. Menganalisis fitur-fitur suprasegmental KTN.
2. Mengkaji variasi fitur-fitur suprasegmental yang terjadi pada KTN.
3. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi variasi fitur-fitur
suprasegmental yang terjadi pada KTN.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini di samping memiliki tujuan juga memiliki dua manfaat, yaitu
manfaat praktis dan manfaat teoretis. Adapun tiap-tiap manfaat dijabarkan sebagai
berikut.
1.4.1 Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis penelitian ini untuk dijadikan salah satu sumber informasi
di bidang linguistik khususnya fonetik. Di samping itu, penelitian ini dapat
menjadi bahasa perbandingan untuk peneliti-peneliti selanjutnya khususnya
11
fonetik dalam kidung. Penelitian ini juga dapat menjadi salah satu penelitian yang
memberikan sumbangan pengetahuan kepada perkembangan linguistik.
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis penelitian ini adalah memberikan wawasan terhadap
kidung. Penelitian ini juga dapat dimanfaatkan untuk pengajaran kidung sehingga
dapat pula merangsang kembali penelitian-penelitian kidung yang kurang diminati
karena kurangnya pedoman dan referensi yang menunjang. Selain itu, penelitian
ini menjadi salah satu bahan bacaan untuk menambah wawasan mengenai budaya
zaman dahulu yang tetap menjadi refleksi hidup hingga saat ini.
Tersusunnya metrum yang tepat dalam sebuah kidung memudahkan para
pelajar mempelajarinya. Ini berguna untuk pedoman dasar dalam belajar yang
juga dapat berimbas kepada sistem penjurian lomba-lomba kidung yang sering
dilaksanakan di Indonesia khususnya Bali.
1.5 Ruang Lingkup
Karya sastra walaupun menggunakan bahasa sebagai sarana, tetapi terdapat
perbedaan dalam representasinya, khususnya bagaimana menyanyikan kidung
yang terikat dengan length (panjang pendek suara), loudness (keras lemahnya
suara/tekanan), pitch (nada dan intonasi), dan durasi (tempo yang diperlukan
untuk satu segmen, silabel, kata, frasa hingga kalimat dalam satu kali nyanyian)
(semuanya dikaji dalam bidang fonetik). Fokus penelitian ini adalah (1) KTN
yang terikat dengan fitur-fitur suprasegmental di setiap bait dari kidung, ada yang
12
sama dan ada pula yang berbeda; (2) variasi fitur-fitur suprasegmental yang
muncul akibat adanya perbedaan jumlah silabel pada bait yang satu dengan bait
yang lainnya; dan (3) pengaruh faktor linguistik meliputi faktor di bidang
linguistik khususnya fonetik-fonologi, misalnya adanya konsonan rangkap atau
proses fonologi. Bidang nonlinguitik, misalnya gaya estetik dan interpretasi
penembang. Penelitian ini berlandaskan teori fonetik suprasegmental, yaitu
prosodi beserta dengan jeda, durasi, frekuensi yang muncul di setiap tembang
KTN. Penerapan teori ini dimaksudkan untuk mendapatkan penelitian yang lebih
tajam dan terarah pada hasil analisis data yang diperoleh.
13
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Penelitian kidung tentang fitur-fitur suprasegmental belum ada yang
melakukan secara khusus tetapi penelitian kidung di bidang lain cukup banyak
ditemukan. Kajian pustaka yang dijadikan bahan perbandingan, yaitu mengambil
penelitian-penelitian terdahulu yang relevan tentang kidung dan fitur-fitur
suprasegmental. Analisis kidung yang sering dilakukan, yaitu meneliti mengenai
filologi untuk membandingkan beberapa naskah dengan judul yang sama dan
menentukan naskah sumber dan naskah turunan, sedangkan penelitian fitur-fitur
suprasegmental diteliti untuk analisis kalimat lisan dan masih jarang ditemukan
penelitian pada kalimat dalam kidung. Adapun beberapa hasil penelitian terdahulu
dipaparkan sebagai berikut.
Prosodi sebagai dasar dari sebuah karya sastra yang berupa puisi telah
ditulis ratusan tahun lalu. Brown (1869) dalam bukunya Sanskrit Prosody and
Numerical Symbols Explained menjelaskan beberapa jenis metrum yang terdapat
dalam bahasa Sanskerta. Ada sebelas metrum yang dikenali di Indonesia seperti
Totaka, Udgata, Sārdūla, Vasanta Tilaka, Mālinī, Sikhari, dan yang lainnya.
Metrum-metrum tersebut digunakan dalam bahasa Sanskerta yang menyimpan
berbagai macam ilmu pengetahuan, karya sastra, dan mantra. Tiap-tiap karya
tersebut dinyanyikan dan karya tersebut menggunakan metrum yang memiliki
prosodi tersendiri atau Channdah dalam bahasa Sanskerta. Channdah dipengaruhi
14
oleh suara ringan atau la-ghu atau hraswa dan suara berat atau guru atau dīrgha.
Beliau juga memaparkan munculnya suara berat dan suara ringan dipengaruhi
oleh gugus konsonan yang mengikutinya, yaitu apabila sebuah suku kata diikuti
oleh dua konsonan seperti kata asti atau vakra. Guru tidak berfungsi pada vokal
Ŗi dan Lri sebagai akibat dari pengaruh jumlah suku kata setiap barisnya,
sedangkan la-ghu muncul pada vokal [a, i, u, ri, lu].
Penjelasan tentang prosodi dalam puisi juga ditulis oleh Carey (1816)
dengan judul Practical English Prosody and Versification. Beliau menjelaskan
bahwa prosodi mengajarkan kuantitas-kuantitas yang benar dan aksen suku kata
serta kata, dan ukuran bait. Kuantitas puisi berbahasa Inggris bergantung kepada
accent (tekanan) dan jumlah suku kata dalam tiap baris sajak. Berdasarkan hal ini,
beliau memberikan beberapa istilah penekanan dalam puisi, seperti verses (satu
buah kalimat dalam baris), hemistich (setengah dari baris), distich/couplet (dua
baris dengan kalimat utuh), stanza (kombinasi beberapa baris yang tergantung
pada keinginan penyair dengan memerhatikan jumlah, matra, rima, dan bentuk
komposisi yang biasa atau bagian dari lagu biasa atau jenis puisi yang lain). Matra
dalam pemaparannya adalah ukuran komposisi baris, konsisten dengan jumlah
suku kata, dan letak tekanan dalam puisi bahasa Inggris. Rima merupakan
kemiripan dan penyesuian dari bunyi di akhir suku kata, contoh:
Ye nymphs of Solyma, begin the song! To heav’nly themes subliner strains belong.
Hypermeter (pengulangan sajak, terdapat pemanjangan aksen, tetapi tidak
dipanjangkan pada bentuk yang lain), blank (sajak tanpa rima), the caesura
15
(pemisahan, atau jeda, yang terletak pada sajak, berbeda baris berbeda bentuk
kalimat atau berbeda baris dengan bentuk kalimat yang sama). Pada intinya, puisi
bahasa Inggris dipengaruhi oleh suku kata, rima, jeda, dan tekanan.
Halim (1969) melakukan penelitian terhadap intonasi bahasa Indonesia yang
berkaitan dengan sintaksis. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk
memeriksa intonasi bahasa Indonesia dalam konteks ciri-ciri, seperti kontur,
tingkat tinggi nada, jeda, kelompok jeda, dan penempatan tekanan atau aksen.
Kemudian, penelitian ini memberikan penjelasan tentang letak intonasi dalam
kalimat yang meliputi pola-pola intonasi, satuan-satuan fonologis yang menandai
ciri-ciri intonasi, dan fungsi intonasi. Halim menemukan bahwa karakterisasi
bahasa Indonesia memerlukan empat unit intonasi distingtif, yaitu pola intonasi,
kelompok jeda, kontur (baik prakontur maupun kontur pokok), dan fonem intonasi
seperti tingkat tinggi nada (TT), tekanan, dan jeda. Dari temuan ini, Halim
menyimpulkan bahwa suatu pola intonasi terdiri atas sebuah kelompok jeda atau
lebih. Suatu kelompok jeda itu sendiri dapat terdiri atas sebuah kontur, baik pokok
maupun gabungan sebuah prakontur dan sebuah kontur pokok. Kedua kontur
tersebut diawali oleh tingkat tinggi nada (TT). Tingkat tinggi nada tersebut terdiri
atas tingkat tinggi nada yang secara kebahasaan tidak relevan dan tinggi nada
konstrastif. Tinggi nada konstrastif di dalam bahasa Indonesia terdiri atas tiga
buah, yaitu tinggi (TT3), netral atau tengah (TT2), dan rendah (TT1).
Zoetmulder (1985) dalam buku yang berjudul Kalangwan memaparkan
sastra kidung dan bahasa kidung. Di sini Zoetmulder memberikan penekanan pada
sastra kidung karena memiliki sistem yang lebih rumit daripada kakawin dan
16
menggunakan metrum Tĕngahan. Meskipun dikatakan menggunakan metrum
Tĕngahan tidak dijelaskan secara terperinci fitur-fitur suprasegmental kidung yang
pernah ada dan tidak ada di Bali. Selanjutnya lebih banyak mengulas tentang
Kidung Harsawijaya, Sorandaka, Sudamala, Sri Tanjung dan Panji dari sudut
pandang kesejarahannya yang disertai dengan ringkasan cerita dari tiap-tiap
kidung. Oleh karena itu, dapat dikatakan fitur-fitur suprasegmental kidung belum
mendapat sentuhan linguistik secara mendetail.
Sugiyono memusatkan perhatian pada bahasa daerah Melayu Kutai.
Sugiyono (2003) melakukan kajian yang bertujuan mencari parameter prosodi
yang menandai kontras antara ciri akustik tuturan deklaratif dan interogatif bahasa
Melayu Kutai. Ciri prosodi dikaji dalam perspektif produksi dan perspektif
persepsi. Kajian perspektif produksi dilakukan dengan menggunakan kerangka
fonetik eksperimental, sedangkan kajian perspektif persepsi menggunakan
psikoakustik dan teori jejak.
Berdasarkan penelitian tersebut, Sugiyono mendeskripsikan pengukuran
komponen-komponen melodik dalam bahasa Melayu Kutai, seperti tinggi nada
awal, nada final, puncak nada, dan julat nada. Pada setiap komponen tersebut
ditemukan nilai terendah dan nilai tertinggi setiap melodik yang diukur. Di
samping itu, ditemukan juga nilai rata-rata dan ambang atas serta ambang bawah
atas Fo setiap komponen. Dengan demikian, Sugiyono menggunakan prosodi
fonetik dan prosodi musik dalam menemukan ciri akustik tuturan deklaratif dan
interogatif bahasa Melayu Kutai.
17
Penelitian fonetik akustik yang bersifat tempatan dilakukan oleh Syarfina
(2003) terhadap bahasa Melayu Deli di Provinsi Sumatra Utara. Syarfina meneliti
nada dasar penutur bahasa Melayu Deli berdasarkan variasi sosial. Kajian ini
bermula pada pengukuran nada dasar yang diikuti kajian makna ciri-ciri nada
dasar tersebut sebagai pengelompok sosial. Untuk itu digunakan teori fonetik
akustik, frekuensi, intonasi, dan fonetik eksperimental. Di dalam hubungan
dengan stratifikasi sosial dalam bahasa Melayu Deli digunakan teori diglosia.
Hasilnya, penelitian nada dasar sebagai pemarkah sosial penutur bahasa
Melayu Deli ditemukan kenyataan bahwa rerata nada dasar tuturan laki-laki lebih
kecil dibandingkan dengan nada dasar tuturan perempuan serta nada dasar tuturan
generasi tua lebih kecil daripada nada dasar tuturan generasi muda. Kemudian,
nada dasar tuturan kelas sosial ke bawah lebih besar daripada nada dasar kelas
sosial menengah ke atas. Berdasarkan penelitian itu, dalam bahasa Melayu Deli,
ketika bertutur dapat diduga kepada siapa seseorang bertutur, di peringkat mana
seseorang itu disapa berdasarkan stratifikasi sosialnya.
Hubungan satuan-satuan sintaktik dan metrik pada sastra kidung
diungkapkan Gonda (dalam Suarka, 2007:10) dalam tulisan berjudul “Some Notes
on the Relations between Syntactic and Metrical Units in Javanese Kidung”.
Gonda menyimpulkan bahwa hubungan antara satuan sintaktik dan metrik dalam
kidung menunjukkan gaya keseimbangan yang bersifat alami, tidak dipaksakan,
dan merupakan hasil aktivitas kepenyairan yang sukses dalam sebuah tradisi
puitik yang panjang.
18
Suarka (2007) meneliti Kidung Tantri Piśācaraņa. Penelitian ini
menganalisis Kidung Tantri Piśācaraņa secara filologis dan estetis meskipun
dalam beberapa hal menyentuh pula Kidung Tantri yang lainnya. Suarka
membuktikan beberapa hal yang berkaitan dengan adanya tranformasi tersebut.
Saduran Kidung Tantri ini berasal dari kelisanan dengan adanya kata
“pirĕngang”. Adanya kode budaya, bahasa, dan sastra Bali yang mewujudkan
karya Tantri bernuansa Bali yang disebut dengan “Tantri Bali”, yaitu cerita Tantri
disajikan dalam bentuk tembang, alur cerita tidak selalu sama seperti pada Tantri
Kāmandaka, tetapi ada pula penyisipan cerita. Ada tiga cara transformasi teks
yang dilakukan, yaitu (1) menyadur seluruh cerita, (2) menyadur semua cerita,
dan (3) menyadur salah satu judul cerita. Muncul karya sastra baru akibat
pengaruh cerita Tantri. Penyebaran teks Tantri Kāmandaka memunculkan tradisi
“nantri” di mana membawakan kidung dengan metrum Dĕmung Sawit. Adanya
pergeseran pandangan dari satua ke tatwa. Penelitian ini pula membicarakan
masalah cara menyanyikan Kidung Tantri Piśācaraņa yang menggunakan metrum
Tĕngahan, yaitu metrum Demung dan Kadiri dengan varian metrum kawitan
bawak dan kawitan dawa serta pengawak bawak dan pengawak dawa.
Penelitian yang dipaparkan di atas relevan dengan penelitian yang
dilaksanakan, tetapi juga memiliki perbedaan. Beberapa penelitian yang telah
disebutkan di atas, telah memberikan wawasan baru bagi para ilmuwan. Di satu
sisi, penelitian tersebut ada yang mengkhusus meneliti kidung baik secara
intrinsik maupun ekstrinsik, sedangkan di sisi lain mengkhusus pada penelitian di
bidang prosodi dan objek penelitiannya bukan kidung. Pada penelitian ini
19
mengambil objek KTN dengan mengkhususkan pada fitur-fitur
suprasegmentalnya. Perbedaan objek kajian dan kajian yang diambil memberikan
nuansa baru bagi penelitian fitur-fitur suprasegmental yang masih minim.
2.2 Konsep
Konsep dapat mempunyai tingkat generalisasi yang berbeda. Semakin
dekat suatu konsep kepada realita semakin mudah konsep tersebut diukur dan
diartikan. Konsep mempunyai fungsi untuk menyederhanakan arti kata atau
pemikiran tentang ide-ide, hal-hal, dan kata benda-benda serta gejala sosial yang
digunakan agar orang lain yang membacanya dapat segera memahami maksudnya
sesuai dengan keinginan penulis yang memakai konsep tersebut (Mardalis,
1995:46). Konsep dalam penelitian ini mencakup empat hal yaitu fitur, fonetik
suprasegmental, prosodi, dan metrum kidung. Keempat konsep tersebut
dijabarkan ke dalam pembahasan yang lebih mendalam di bawah ini.
2.2.1 Fitur
Ahli fonologi menyetujui bahwa fitur sama dengan segmen. Segmen
fonetis berarti bahwa bunyi bahasa yang dapat dijelaskan menurut wujud saluran
suara yang digunakan untuk menghasilkan bunyi itu dan/atau menurut sifat dari
bentuk gelombang akustiknya (Schane, 1992:1; Carr, 2008:53).
Fitur dalam fonologi generatif adalah satuan unit terkecil yang
membedakan arti atau sering disebut dengan fitur distingif. Fitur distingtif
berfungsi untuk membedakan, baik antara konsonan yang satu dan yang lain
20
maupun antara vokal yang satu dan yang lain. Perbedaan tersebut dapat berupa
konsonan bersuara tak bersuara, vokal tinggi atau rendah, dan fitur-fitur lainnya
(Carr, 2008:54).
2.2.2 Fitur Suprasegmental
Fitur suprasegmental adalah fitur-fitur yang menyertai fitur segmental.
Fitur-fitur suprasegmental dapat diuraikan berdasarkan ciri-ciri ucapannya. Ciri-
ciri fitur suprasegmental dapat berupa ciri-ciri prosodi (Marsono, 1993:115).
Fitur-fitur suprasegmental, antara lain, nada, intonasi, dan tekanan. Semua
fitur ini diperoleh berdasarkan fakta yang dideskripsikan, baik dari tuturan
maupun dari kidung yang telah dilagukan (Ladefoged, 1993:15).
2.2.3 Prosodi
Prosodi adalah bagian dari fonetik yang menelaah segmen suprasegmental
tekanan kata, ritme, dan intonasi. Selain itu, juga menganalisis fenomena-
fenomena yang berhubungan dengan bidang fonetik lainnya seperti nasalitas
sebagai karakteristik potensial prosodi (Carr, 2008: 138). Prosodi pertama kali
dikemukakan oleh J.R Firth (1890--1960). Pandangannya membedakan antara
“structure” hubungan sintagmatik dan unit-unit pembentuknya dengan “system”
fungsi paradigmatik dan kelas-kelasnya (Jørgensen, 1975: 60).
Fonologi prosodis mendeskripsikan objeknya bukan sebagai segmen yang
terpisah-pisah, melainkan sebagai segmen yang membentuk sebuah struktur.
Bunyi segmental yang terpisah-pisah itu disebut dengan satuan fonematik,
21
sedangkan sistem hubungan atau struktur yang merangkaikan satu segmen dengan
segmen yang lain disebut prosodi (Sugiyono, 2003: 71). Hubungan yang
membentuk satu satuan yang terikat memberikan karakteristik tersendiri pada
fonologi prosodis ini. Fischer-Jørgensen (1975: 61) memberikan karakteristik
prosodi sebagai (1) kombinasi fonem yang membentuk struktur kata atau silabel,
(2) sinyal pembatas (baoundary signal) atau yang dalam tradisi linguistik
Amerika disebut jungtur (juncture), dan (3) realisasi fonetik yang mencakupi
satuan yang lebih luas daripada fonem.
Karakteristik yang dimiliki prosodi memunculkan beberapa fitur prosodi
yang ikut serta dalam sebuah tindak tutur. Cruttenden (1997: 2) mengatakan
bahwa hubungan prosodi dengan tuturan dapat dianalisis dan dideskripsikan
dalam variasi fitur-fitur prosodi. Ada tiga fitur, yaitu pitch (nada), length
(panjang-pendek suara), dan loudness (keras-lemahnya suara). Ketiga fitur ini
didengarkan oleh petutur. Ciri-ciri fisiologi dan akustik ketiga fitur tersebut
adalah (1) length (panjang-pendeknya suara) memberikan sedikit perbedaan,
adanya durasi waktu yang diperlukan penutur untuk melanjutkan bagian-bagian
tuturannya, merupakan durasi hubungan akustik unit-unit pembentuk tuturan
pada spektogram, atau lamanya waktu dari unit yang didengarkan oleh petutur; (2)
loudness (keras-lemahnya suara) apa yang didengarkan oleh petutur berhubungan
dengan kekuatan napas yang digunakan; dan (3) pitch (nada) merupakan fitur
prosodi yang meliputi intonasi, adanya tingkatan vibrasi vokal pada laring yang
dikontrol oleh faktor intrinsik (atau mungkin juga dipengaruhi oleh faktor
ekstrinsik).
22
2.2.4 Metrum Kidung
Metrum macapat yang digunakan dalam kidung memiliki prosodi, antara
lain terikat oleh jumlah baris dalam satu bait, jumlah suku kata dalam setiap baris,
dan bunyi akhir pada setiap baris (Suarka, 2007: 131; Zoetmulder, 1985: 142).
Dalam pergantian metrum yang satu ke metrum yang lain, ada kalanya disertai
dengan isyarat pergantian metrum (Jw: sasmita ning təmbang) di samping
dilengkapi dengan asonansi (Jw: purwakanthi) dan aliterasi (Marsono, 1996: 75).
Hal ini menjadi salah satu ciri khas kidung yang membedakannya dengan jenis
karya sastra lainnya meskipun sama-sama menggunakan metrum macapat.
Melodi metrum macapat dalam sastra kidung berjalan terus perlahan-lahan dan
belum tentu berhenti sesuai dengan jumlah suku kata atau bunyi akhir setiap baris
(BI: carik). Melodi akan berhenti di akhir bait (BI:pada). Tampaknya, prosodi
metrum kidung lebih banyak ditentukan oleh jumlah suku kata dan bunyi akhir
pada setiap bait daripada jumlah suku kata dan bunyi akhir pada setiap larik atau
baris. Dalam kaidah metrum kidung, aturan jumlah suku kata dan bunyi akhir
berlaku dalam satu kesatuan bait (Suarka, 2007:131).
Menurut Suarka (2007:133--134) di samping mengggunakan metrum
macapat, ada pula jenis sastra kidung menggunakan metrum Tengahan. Sekar
Madia atau Tembang Tengahan sebagai jenis metrum yang digunakan dalam
karya sastra Kidung mempunyai prosodi yang terdiri atas (1) jumlah suku kata dan
bunyi akhir dihitung dalam satu bait (BI: pada), bukan setiap baris (BI: carik)
sebagaimana dalam metrum macapat. Dipandang dari sudut ini, Tembang
Tengahan atau Sekar Madia merupakan bentuk Macapat/Sekar Alit yang lebih
23
fleksibel (Sutjiati dalam Suarka, 2007:134); (2) mempunyai dua bait pendek (BI:
pada bawak) dan dua bait panjang (BI: pada dawa); (3) mempunyai bait-bait
pembukaan (BI: kawitan), terdiri atas dua bait pendek dan dua bait panjang yang
mengawali sebuah bab; (4) mempunyai bait-bait batang tubuh (BI: pangawak)
dengan komposisi dua bait pendek dan dua bait panjang yang menjadi bab cerita
(Suarka, 2007:134).
2.3 Landasan Teori
Pada bidang ini, dua hal penting yang menjadi dasar yaitu adanya fitur
segmental dan fitur suprasegmental. Keduanya ini saling memengaruhi dalam
KTN. Untuk itu teori yang digunakan pada penelitian ini berdasarkan teori fonetik
akustik dan teori fitur. Malmberg (dalam Marsono (2006:2)) menyatakan fonetik
akustik mempelajari bunyi bahasa dari segi bunyi sebagai gejala fisis. Dengan
demikian, bunyi-bunyi diselidiki frekuensi getarannya, amplitudo, intensitas, dan
timbrenya. Dimana teori tersebut membawahkan teori fonetik suprasegmental.
Pertama teori fonetik suprasegmental membedah kidung secara menyeluruh. Teori
ini digunakan untuk memecahkan permasalahan yang telah dibatasi. Pemilihan
teori ini didasarkan pada keperluan analisis kidung yang memiliki fitur-fitur
suprasegmental dasar dengan adanya variasi yang berbeda. Perbedaan ini dapat
disebabkan, baik oleh faktor-faktor linguistik maupun nonlinguistik. Hal itu
berupa pengaruh harmonisasi vokal, adanya vokal rangkap, maupun suara panjang
pada kalimat yang merangkainya.
24
Fonetik suprasegmental memadukan antara prosodi (ritme, tekanan,
intonasi, dan durasi) dan variasi antara length, tone, pitch, dan jeda. Pada teori ini
prosodi menjadi bagian dari fonetik suprasegmental. Pada fitur-fitur
suprasegmental tidak hanya menganalisis bagian dasar seperti pada prosodi, tetapi
lebih luas, yaitu mencakup pada variasi fitur-fitur prosodi pada aspek yang
menyeluruh dari suku kata hingga kalimat (Ladefoged, 1993: 14).
Metrum dasar kidung dianalisis terlebih dahulu. Metrum dasar kidung
meliputi fitur-fitur prosodi, yaitu ritme, tekanan, intonasi, dan durasi. Pada
analisis ini yang diperlukan adalah mencari bagian dasar dari metrum KTN tanpa
adanya variasi-variasi di tiap-tiap fitur prosodi. Setelah dasar kidung ditemukan
barulah beranjak pada variasi yang terjadi pada fitur-fitur suprasegmental KTN.
Fitur-fitur suprasegmental meliputi variasi tekanan, variasi intonasi, variasi durasi,
dan jeda. Variasi tekanan lebih mudah diteliti pada silabel (suku kata)
dibandingkan dengan pada kata. Tekanan dihasilkan dengan mendorong lebih
banyak udara keluar dari paru-paru dalam satu silabel tertentu ke silabel yang
lainnya. Ada silabel yang mendapatkan tekanan dan ada silabel yang tidak
mendapatkan tekanan. Biasanya silabel dengan vokal [ə] tidak mendapatkan
tekanan karena dapat dilesapkan seperti [səlamãt] menjadi [slamãt]. Tekanan pada
umumnya berfungsi untuk menekankan kata atau membedakan kata yang satu
dengan yang lainnya dan memberikan penanda sederhana pada hubungan
sintaktik antara kata-kata atau bagian dari kata-kata penyusun kalimat tersebut
(Ladefoged, 1993: 113-115).
25
Intonasi yang terjadi pada tuturan dengan pada saat bernyanyi memiliki
perbedaan. Pada saat bernyanyi ada note atau nada yang menentukan panjang dan
pendeknya suara dan kemudian ke nada selanjutnya, sedangkan pada tuturan biasa
tidak terdapat intonasi yang statis. Meskipun demikian, keduanya sama-sama
memiliki intonasi naik dan intonasi turun. Intonasi terjadi akibat adanya
perubahan nada. Bagian kalimat yang dipanjangkan disebut dengan tone group,
sedangkan bila pemanjangannya terjadi pada silabel disebut dengan tonic syllable
(Ladefoged, 1993: 109). Pause (jeda) dalam sebuah nyanyian merupakan bagian
penting. Jeda ini memberikan kesempatan kepada penyanyi untuk beristirahat dan
kembali berkonsentrasi untuk nada selanjutnya. Biasanya jeda diikuti oleh glottal
stop dan/atau creaky vocalic onset (Darcy, Isabelle dkk, 2009 :286; Grabriel,
Christoph dan Trudel Meisunberg, 2009 :186).
Fitur-fitur suprasegmental yang muncul di setiap tuturan hingga
menyanyikan sebuah lagu atau kidung memiliki keharmonisan. Keharmonisan ini
didukung oleh beberapa hal, yaitu sebagai berikut pertama adanya vowel
sequences (urutan vokal). Beberapa bahasa melarang adanya urutan vokal ini
sehingga akan dihilangkan. Urutan vokal muncul karena kombinasi. Penghilangan
urutan vokal ini berimplikasi pada vokal awal akan berubah menjadi bunyi
luncuran, sedangkan pada vokal yang sama akan terjadi pemanjangan vokal.
Contoh dalam bahasa Indonesia keluarga /kəluwarga/ muncul luncuran /w/ di
antara /u/ dan /a/, sedangkan contoh lain dalam bahasa Bali kata ampun mendapat
morfem {sa-} akan menjadi /sāmpun/. Kedua Vowel epenthesis (penyisipan
vokal). Beberapa bahasa tidak mengizinkan urutan konsonan melebihi dua
26
konsonan. Apabila ada urutan konsonan yang lebih dari dua, akan disisipkan
vokal. Contoh dalam bahasa Fula penyisipan vokal pada kata yotto ‘arrive’ saat
dibubuhkan akhiran –na menjadi yottina. Ketiga onset creation (membentuk
onset), yaitu penyisipan konsonan untuk menghindari urutan vokal, seperti yang
terjadi pada bahasa Arab /al-walad/ [ʔalwalad] ‘the boy’. Keempat stress
lengthening and reduction (pemanjangan dan pengurangan tekanan) adalah
adanya pemanjangan tekanan pada vokal. Ini biasanya terjadi pada vokal selain
vokal tengah. Kemudian pengurangan vokal tanpa tekanan terjadi pada bahasa
Inggris, contohnya barometer - barometric [bə rɔ´mətr+ _ bε`rəmε´trιk] dan
monopoly [mɔ´nə powl _ mənɔ´pə liy]. Kelima syllabel weigth limits (pembatasan
silabel). Adanya beberapa bahasa melarang silabel dengan vokal panjang ditutup
oleh konsonan karena silabel dengan vokal panjang memiliki kontribusi yang
lebih berat. Keenam stress patern (pola-pola tekanan) merupakan bagian penting
dari sebuah karya sastra khususnya kidung, yaitu metrum yang dianut memiliki
pola-pola tekanan yang berbeda. Adanya pola-pola tekanan ini memberikan
keindahan pada penyanyi yang menyanyikannya dan pada pendengar yang
mendengarkan kidung tersebut (Odden, 2005: 244--250).
Seperti yang telah disebutkan, teori yang juga mendukung penelitian ini
adalah teori fitur. Teori fitur memberikan karakteristik tiap-tiap konsonan dan
vokal. Pernyataan yang mendukung, yaitu sebagai berikut. all vowels change place of articulation so that the original difference in formant frequency between F1 and F3 is reduced to half what it originally was, when the vowel appears before a consonant whose duration ranges from 100 to 135 ms (Odden, 2005:136).
27
Pada hakikatnya setiap konsonan dan vokal memiliki fitur-fitur tersendiri.
Fitur-fitur tersebut dapat terdiri atas satu sampai dua nilai, plus atau minus. Jadi
tiap-tiap fitur dapat berupa ((+) F1) atau ((-) F1). Penentuan fitur-fitur berdasarkan
kelas-kelas tertentu, seperti untuk membedakan konsonan dan vokal terdapat kelas
utama, yaitu silabel, konsonantal, dan sonoran. Kemudian untuk membedakan
tiap-tiap konsonan dibagi ke dalam beberapa kelas berdasarkan artikulasi, yaitu
bersuara, tak bersuara, beraspirasi, tak lepas, diglotalisasi, dipalatalisasi, dan
dilabialisasi. Perbedaan vokal dibedakan atas fitur-fitur tinggi, rendah, bundar,
belakang, depan, dan ketegangan (Odden, 2005:137--141; Schane, 1992: 9--25).
2.4 Model Penelitian
Model penelitian ini berdasarkan pendekatan kualitatif dengan mengambil
naskah KTN yang menggunakan metrum demung sawit. Metrum demung sawit
mempunyai fitur-fitur suprasegmental beserta variasinya. Berdasarkan fitur-fitur
suprasegmental dasar ini, para penembang dapat mengimprovisasikan tekanan,
kuantitas suara, intonasi, dan fitur-fitur suprasegmental lainnya. Dengan
menggunakan metode pangumpulan data, KTN yang diperoleh sesuai dengan
kriteria untuk dianalisis dalam penelitian ini. Data yang didapatkan tersebut
dianalisis dengan teori fonetik suprasegmental. Berdasarkan hasil analisis fitur-
fitur suprasegmental ini didapatkan temuan berupa formula yang dapat menjadi
referensi pada kemudian hari.
28
Kidung Tantri Nandakaharana Fitur-fitur Suprasegmental
Data Analisis
Temuan
Keterangan
= pendekatan
= naskah dan bagian yang akan diteliti
= teori yang digunakan
= metode penelitian
= temuan
= merupakan garis penghubung
------- = memiliki keterkaitan
Pendekatan Kualitatif
Metode Penelitian
Teori Fonetik Akustik
29
BAB III METODE PENELITIAN
Sugiyono (2000:9--14) berpendapat bahwa penelitian yang bersifat
deskriptif kualitatif memiliki tiga hal pokok, yaitu aksioma, proses penelitian, dan
karakteristik penelitian. Aksioma penelitian, yaitu berdasarkan realitas yang ada.
Sifat realitas artinya berdasarkan kenyataan yang terjadi di lapangan. Dalam
penelitian yang bersifat kualitatif, peneliti langsung sebagai human instrument
ditunjang dengan metode observasi dan wawancara. Dengan adanya metode ini,
peneliti dapat memahami sumber data dengan baik dan mampu menginterprestasi
data yang diperoleh serta mendeskripsikan apa yang menjadi temuannya. Dengan
demikian, sifat holistik ini menggiring peneliti kepada proses penelitian secara
menyeluruh pada data serta didukung oleh metode induktif dan metode deduktif
sebagai karakteristik penelitian.
3.1 Lokasi Penelitian
Penelitian Kidung Tantri Nandakaharana dilaksanakan di Kota Denpasar
Provinsi Bali. Penelitian ini mengambil data pada sekaa santhi Dharma Santhi
Banjar Biaung, Desa Kertalangu, Kecamatan Denpasar Timur. Pemilihan ini
berdasarkan kemampuan tiap-tiap anggota sekaa santhi yang mampu
menembangkan KTN. Sekaa santhi ini berdiri tahun 2007 dan sekarang memiliki
tujuh belas orang anggota. Dari ketujuh belas anggota tersebut dua belas anggota
anggota (delapan orang perempuan dan empat orang laki-laki) mampu bernyanyi
secara aktif, baik tembang geguritan, kidung, maupun kakawin, sedangkan
29
30
sisanya belum bisa menembangkan nyanyian tradisional tersebut. Di antara
delapan orang anggota wanita tersebut terdapat seorang yang menguasai tembang
KTN paling fasih, yaitu Ida Ayu Putu Sasih kelahiran Angantaka, 20 April 1950.
Berdasarkan pertimbangan kemampuan yang dimiliki, maka beliau dipilih untuk
menjadi informan tunggal dalam menyanyikan tembang ini. Pemilihan informan
tunggal ini untuk memudahkan analisis formula dasar agar tidak memunculkan
variasi yang terlalu banyak.
3.2 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan pada penelitian ini ada dua, yaitu data primer dan
data sekunder. Data tulisan yang dilisankan (ditembangkan) digunakan sebagai
data primer. Data tulisnya diambil dari naskah KTN yang telah diterbitkan oleh
Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Bali pada tahun 1997 disertai dengan terjemahan
diketik menggunakan aksara Bali. KTN yang digunakan merupakan cetakan
kedua. Cetakan pertama terbit tahun 1996. Naskah KTN yang diterbitkan berasal
dari Desa Sidemen, Karangasem. Pada kolofon naskah dijelaskan bahwa naskah
babon itu ditulis oleh Ida Padanda Gde Nyoman Pidada pada Senin Pon
Dungulan, tahun 1761 saka. Naskah ini dipilih karena mengambil sumber dari
naskah tertua yang diterbitkan dan naskah ini yang sering dinyanyikan oleh
masyarakat di Bali khususnya. Karena memelurkan nyanyian lisannya, maka
diperlukan informan yang mampu memberikan data yang lengkap. Pemilihan
informan mempunyai kriteria (1) berjenis kelamin perempuan; (2) menguasai
KTN dengan fasih; (3) mampu menembangkan KTN; (4) dapat dipercaya dan
31
memiliki waktu yang cukup; (5) memiliki artikulasi yang baik; dan (6)
mempunyai pengalaman yang cukup dalam menyanyikan kidung baik sendiri
maupun di depan khalayak ramai. Selain itu, diperlukan juga data rekaman yang
benar nyata dinyanyikan oleh informan.
Rekaman yang didapatkan dari informan, yaitu informan makidung secara
rekayasa untuk mendapatkan data yang sesuai dengan kriteria. Rekaman yang
didapatkan memiliki kriteria, yaitu terekam secara bagus, intonasi dapat terbaca
dengan baik pada speech analyser, volume suara tidak terlalu keras dan tidak
terlalu lemah, dan tidak terganggu suara bising di sekitarnya. Contoh data
rekaman awal yang telah dimasukkan ke dalam speech analyser yaitu seperti
berikut.
Gambar 003 Penggalan bait pemawak KTN
Contoh data di atas diambil dari potongan bait KTN yang memiliki ktiteria
yang disebutkan di atas. Data di atas terekam dengan bagus, intonasi dapat
terbaca, terdapat puncak-puncak tekanan, adanya pemanjangan suara yang
divariasikan, dan volume cukup. Oleh karena itu, dapat ditentukan berapa durasi
yang dimiliki, berapa frekuensi puncak silabelnya, dan bagaimana intonasinya.
Meskipun demikian, contoh data ini hanya bagian dari bait bukan keseluruhan
32
bait. Apabila memasukkan data keseluruhan, tidak dapat dianalisis dengan baik
sehingga dalam analisis selanjutnya data yang diberikan merupakan potongan-
potongan data yang dibagi menjadi beberapa bagian dalam speech analyser.
Keseluruhan data KTN terdiri atas 397 bait tetapi hanya diambil empat bait
yang mewakiliki metrum demung sawit (kawitan dan pengawak) pada KTN.
Kawitan terdiri atas satu bait kawitan pendek dan satu bait kawitan panjang,
sedangkan pengawak terdiri atas satu bait pemawak dan satu bait penawa.
Sumber data sekunder yang menunjang penelitian ini menggunakan buku-
buku yang berkaitan dengan KTN dan buku-buku tentang fitur-fitur
suprasegmental.
3.3 Instrumen Penelitian
Penelitian yang bersifat kualitatif mementingkan kualitas data. Data harus
mempunyai validitas dan reliabilitas. Untuk mendapatkan data tersebut berkenaan
dengan metode dan teknik untuk pengumpulan data (Sugiyono, 2005:59).
Instrumen penelitian yang digunakan adalah alat rekam beserta peneliti. Peneliti
sebagai instrument, baik menjadi pewawancara maupun participant observation
mengadakan penelitian fitur-fitur suprasegemental dalam kidung dengan
pendekatan teori fonetik akustik.
Adapun kartu data yang dapat digunakan untuk mempermudah penelitian yaitu
seperti berikut.
33
3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data penelitian ini digunakan dua metode, yaitu
metode simak dan metode cakap. Metode simak adalah menyimak KTN yang
ditembangkan oleh para penembang (Sudaryanto, 1993:133). Di sini penembang
melantunkan empat bait dalam KTN sesuai dengan yang telah disebutkan di atas,
yaitu bait kawitan pendek, kawitan panjang, pemawak, dan penawa tanpa adanya
campur suara dari peneliti atau biasa disebut dengan teknik simak bebas libat
cakap. Pada saat melantunkan tiap-tiap bait ini digunakanlah teknik rekam dan
teknik catat (Sudaryanto, 1993:135). Dari hasil rekaman keempat bait inilah yang
disimak, baik dengan pendengaran langsung maupun dengan pencitraan.
DATA REKAMAN
1. Informan Nama : Umur : Jenis kelamin : Profesi : Asal : No kidung : 2. Peneliti Nama : Tanggal data dikumpulkan : Tempat data dikumpulkan : 3. Variasi Kidung Pemanjangan : Pemendekan : Penurunan suara : Penaikan suara : Pengerasan suara : Pelemahan suara :
34
Metode simak didukung dengan metode cakap, yaitu pengumpulan data
yang digunakan peneliti untuk mendapatkan keterangan-keterangan lisan melalui
bercakap-cakap dan berhadapan muka dengan informan yang dapat memberikan
keterangan mengenai variasi-variasi fitur-fitur suprasegmental KTN berserta
teknik makidung yang digunakan oleh penembang (Sudaryanto, 1993:137).
Metode cakap dibantu teknik cakap semuka, yaitu dengan percakapan langsung,
tatap muka, atau semuka, lisan. Teknik lanjutan yang digunakan, yaitu teknik
rekam dan teknik catat (Sudaryanto, 1993:133-139).
3.5 Metode dan Teknik Analisis Data
Metode dan teknik analisis data yang digunakan pada penelitian prosodi
Kidung Tantri Nandakaharana adalah metode fonetik impresionistik dan metode
fonetik eksperimental. Pada metode fonetik impresionistik, data yang dianalisis
adalah gejala akustik yang konkret. Identifikasi dan analisis terhadap bunyi
didasarkan sepenuhnya pada kemampuan indra pendengaran, penglihatan, dan
kesadaran tentang aktivitas organ tutur ketika bunyi diujarkan. Analisis dengan
metode fonetik impressionistik memiliki tiga asumsi dasar, yaitu: (1) tuturan
dapat direpresentasikan sebagai deretan segmen; (2) setiap segmen mempunyai
target tertentu dan setiap target berkorespondensi dengan persepsi auditoris
tertentu dalam pikiran peneliti yang terlatih; dan (3) setiap target segmental dapat
diperikan dengan menggunakan dimensi artikulatoris. Misalnya, kata fan dalam
bahasa Inggris, mungkin direalisasikan dengan [fæn] dan itu menunjukkan bahwa
kata fan terdiri atas tiga segmen seperti terlihat pada ejaannya. Secara
35
konvensional, segmen itu disebut bunyi frikatif-labiodental-tak bersuara, yaitu
bunyi yang diucapkan dengan mengembuskan udara pada penyempitan ruang
antara bibir bawah dan gigi atas, dengan pita suara yang tidak bergetar. Istilah
bunyi frikatif-labiodental-tak bersuara ini merujuk pada dimensi artikulatoris
dalam deskripsi bunyi berbagai bahasa (Hayward dalam Suparwa, 2008:2).
Penggunaan metode fonetik impressionistik dalam analisis data ini juga
didukung dengan metode fonetik eksperimental untuk menunjang validitas dan
reliabilitas analisis yang dilakukan. Metode fonetik eksperimental menganalisis
dengan cara di mana ciri bunyi dari berbagai bahasa dapat identifikasi dan
dianalisis tidak hanya berdasarkan kekuatan impresi, tetapi dapat dilakukan
dengan bantuan alat ukur yang akurat, baik dengan teknik pencitraan (imaging
technique), pelacakan gerak pita suara, maupun pengukuran ciri akustik
(Sugiyono, 2003:76). Teknik pencitraan ini menggunakan peralatan dengan
teknologi yang memadai dalam program di komputer seperti Computerized
Research Speech Environment (CRSE), praat, dan speech analyser.
Penelitian ini menggunakan teknik pencitraan speech analyser. Pemilihan
teknik ini dikarenakan speech analyser digunakan oleh para linguis secara
menyeluruh dan mendapatkan akurasi analisis yang memadai, seperti contoh di
bawah ini.
36
Gambar 004 Ciri akustik segmen kata [elɔʔ]
Bahasa Inggris say boat again.
Gambar di atas (terutama gambar bagian bawah) memperlihatkan bahwa
simpangan frekuensi bunyi bahasa dari frekuensi dasar berkisar antara 75--150
Hz. Maksimum frekuensi terjadi ketika pengucapan boat yang mencapai 135 Hz
dan minimum frekuensi adalah pada titik 91 Hz. Hal itu berarti bahwa
pengucapan boat memerlukan energi yang paling besar dalam produksinya dan
secara persepsi bunyi tersebut terdengar paling nyaring atau keras dibandingkan
dengan bunyi yang lainnya. Untuk itu, pada prinsipnya tekanan ditentukan
berdasarkan pembandingan sebuah bunyi dengan bunyi lainnya di sekelilingnya.
Gambar 005 Ciri akustik say boat again
37
Karena kata pada contoh tersebut hanya terdiri atas satu vokal, berarti secara
otomatis vokal tersebut mendapat tekanan dalam kata boat.
Analisis faktor-faktor yang menyebabkan variasi dalam Kidung Tantri
Nandakaharana menggunakan metode distribusional dibantu dengan teknik
substitusi (penyulihan). Teknik subtitusi, yaitu mencari atau menentukan sinonimi
pada batas tertentu (Djajasudarma, 2006:71).
Ibi sanja mancing ajak I Komang. (DBD) /ibi sanjə manciŋ ajak i komaŋ/ ‘diajak memancing oleh I Komang kemarin sore’.
Subtitusi juga dapat terjadi pada tataran jeda misalnya:
guru/ saya baik sekali// guru saya/ baik sekali//
Perbedaan letak jeda di atas membedakan makna yang dimaksudkan. Pada
kalimat pertama yang dimaksudkan baik adalah “saya”, sedangkan pada kalimat
kedua yang dimaksudkan baik adalah “guru”.
3.6 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Pada penyajian hasil analisis data digunakan metode informal dan formal.
Metode informal merupakan perumusan dengan menggunakan kata-kata biasa.
Metode formal merupakan perumusan dengan tanda-tanda dan lambang-lambang.
Tanda yang dimaksud, seperti tanda ‘menjadi’, tanda (+), tanda kurung
kurawal ({}), tanda kurung biasa (()), sedangkan lambang yang dimaksud, seperti
lambang ( : ) untuk bunyi panjang, ( / ) untuk nada naik, ( \ ) untuk nada turun
(Sudaryanto, 1993:145).
38
Teknik yang digunakan dalam penyajian analisis data, yaitu teknik deduktif
dan teknik induktif. Teknik deduktif, yaitu berasumsi pada pola pikir dari
pengetahuan bersifat umum menjadi pengetahuan yang mengkhusus. Teknik ini
berfungsi untuk menyelaraskan teori dengan fakta yang terdapat di lapangan. Lain
halnya dengan teknik induktif yang memakai pola pikir berangkat dari fakta-fakta
khusus, peristiwa-peristiwa konkret, kemudian digeneralisasi menjadi hal yang
bersifat umum. Teknik ini berfungsi untuk menemukan hal yang universal dari
fakta sederhana yang ditemukan selama penelitian (Hadi, 2004:47).