suluh mhsa vi

44
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011 1

description

majalah berita dan kebudayaan madura

Transcript of suluh mhsa vi

Page 1: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011 1

Page 2: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 20112

Page 3: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011 3

Menawar KematianSelain karena warga di daerah mulai enggan mengamalkannya, urbanisasi dan perkawinan antaretnis merupakan penyebab utama terancam punahnya ratusan bahasa daerah. Sugiyono men-gatakan, “Dari 746 bahasa daerah di In-donesia kemungkinan akan tinggal 75 saja.

Dari 746 bahasa daerah yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, hanya sembilan yang memiliki sistem aksara. Yakni Aceh, Batak, Lampung, Melayu, Jawa, Bali, Bugis, Sunda, dan Sasak. Madura tidak ada dalam sembilan bahasa yang memiliki sistem keak-saraan. Ia hanya diturunkan melalui tradisi lisan, dan menyebabkan ba-hasa Madura semakin mudah hilang. Ini, hanya sebagian kecil dari sebagain besar diktum kebudayaan Madura.

Sebenarnya, bahasa maupun bagian dari kebudayaan lainnya, memiliki kekhasan dan kekayaan masing-mas-ing. Begitu pentingnya bahasa ibu ini, Badan di PBB yang membidangi pen-didikan, ilmu pengetahuan dan kebu-dayaan (Unesco) telah mencanangkan tanggal 21 Februari sebagai bahasa ibu internasional. Hal itu dilakukan karena hampir semua bahasa daerah yang berada di sejumlah negara di-dunia telah terancam punah. Namun, sebagian besar penduduk dunia lebih suka merayakan upacara yang lain, di bulan yang sama seminggu sebe-lum 21 Februari, Valentine’s Day pada setiap 14 Februari.

Ruwat kebudayaan yang dilakukan siapa saja termasuk Said Abdullah Institute pada kongres kebudayaan hanya sebentuk menawar kematian. Ia sebentuk ikhtiar kultural agar ke-matian kebudayaan tidak datang sebegitu cepat. Perlindungan kebu-dayaan juga sebentuk usaha pemer-intah dalam menyelamatkan presiden RI dari kemungkinan ancaman pen-

Seperti halnya ajal, kebudayaan daerah pada akhirnya akan len-yap. Ia sirna bersama punahnya

peradaban dan manusia itu sendiri, pelan tapi pasti. Tetapi matinya kebu-dayaan, tuhan tidak terlalu ikut cam-pur secara teknis. Manusia diberi hak eksekusi untuk menghidup atau me-matikannya pada waktu yang cepat bahkan sangat lesat dan melampaui cahaya.

Namun di sekitar kita saat ini, berapa banyak pihak yang menginginkan ke-budayaan Indonesia khususnya dae-rah tetap hidup? Semesta ini dihuni cara pandang manusia yang berubah dimana peradaban terkadang menja-di sesuatu yang tidak penting. Untuk selanjutnya, banyak pihak yang lebih suka membaca dan menerapkannya sebagai binatangisme.

Jaman dulu, ketika anak-anak hendak pergi ke sekolah tingkahnya menye-jukkan dada. Mereka terlebih dahulu menyalami orangtuanya, menunduk-kan kepala seolah-olah tanpa kedua orangtua mereka bukan siapa-siapa. Namun kini, pada sebagian (besar) anak hanya melambaikan tangan dari motor atau mobilnya sembari beru-cap, “Da Mama, da Papa, mmmuach,” kata mereka sambil mengecupkan telapak tangan ke bibirnya yang bela-kangan diketahui sebagai kiss bye.

Ada bahasa tubuh berbeda, yang menurut orang tua yang masih hidup saat ini sebagai sesuatu yang aneh ka-rena di jamannya hal yang seperti itu tidak ada. Seperti juga bahasa (daerah), satuan lain dari piranti kebudayaan yang luas. Sebagai bahasa daerah, perlahan-lahan mulai rapuh. Bahkan ratusan bahasa daerah (di Indonesia) terancam punah karena semakin jarang digunakan. Diperkirakan, pada ujung abad ke 21, hanya sekitar 10 persen saja (bahasa daerah) yang akan bertahan.

embakan dengan memasang kaca mobil presiden seharga Rp. 704 juta. Itu baru satu kaca. Padahal seperti kebudayaan, presiden sekalipun pada akhirnya akan mati dengan satu sebab atau lantaran sebab lain. Tetapi makna paling penting dari ru-watan ini, bahwa sesuatu yang ber-harga perlu dilindungi karena hanya dengan begitu sesuatu itu menjadi lebih bermakna.

Kebudayaan sebenarnya menjadi penanda bahwa sesungguhnya manusia lebih sempurna dibanding binatang. Tetapi pada saat tak ber-budaya, bahkan tuhan pun sepakat : lebih sesat dari species mana pun. Pembelaan terhadap kebudayaan ini sebentuk sakramen pangurapan pada jiwa yang sakit dengan ber-harap keajaiban datang. Tetapi pas-tilah doa saja tidak cukup.

Berat memang mengembala ke-budayaan. Seperti Cak Nun yang pernah mengatakan dalam seribu masjid sebenarnya hanya ada satu tempat ibadah. Serupa Mahfud MD, republik ini seperti rumah yang menjadi hunian 100 jiwa. Pada sera-tus jiwa, 1 orang selalu bersih-bersih pada 99 orang lainnya yang senan-tiasa bikin kotor.

Tetapi dalam nestapa manusia kon-temporer, tidak saja kebudayaan yang ditenggelamkan dan kenegaraan yang dilacurkan. Bahkan tuhan pun seringkali diabaikan dan dielus-elus saat terpinggirkan untuk kemudian dialpakan ketika kegirangan. Mena-war kematian ini sebentuk angan-an-gan besar meski pada akhirnya keny-ataan yang muncul pasti tidak jauh lebih lebar. Sebab, hampir setiap jiwa menderita kronis budaya dalam sega-la bentuk dan penjajahannya yang menyebabkan hidup kebudayaan ter-jebak ke “dalam rangka”.

Sapatorial

Page 4: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 20114

Suara Pembaca

Suluh utama

Suluh Khusus

Opini

Fokus Lensa

Generasi Bangsa

Politika

Serambi

Olahraga

Akademia

Hobi

Oase

Suluh Utama

HobyBelajar Perubahan dari Sepeda

5

6

8

12

20

26

28

30

36

38

40

42

designed by ahmed david

Redaksi SULUH MHSA

Majalah Bulanan Suluh MHSA diterbitkan SAI (Said Abdullah Insti-tute) Pembina: MH Said Abdullah, Januar Herwanto. Pemimpin Umum: Moh Rasul Junaidy. Pemimpin Redaksi: Abrari Alzael. Sekretaris Redaksi: Zeinul Ubbadi. Lay Outer: Ahmed David. Re-porter: M Sa’ie. Fotografer: Saiful Bahri. Biro Sampang: Mamak. Biro Pamekasan: Syah Manaf. Biro Sumenep: Fauzi. Biro Bangkalan : Safi’. Biro Jakarta: Alwi Assegaf Koresponden: Rozaki (Jogja), AE: Badrul Ahmadi, Pemasaran: A. Rusdi Gogo. Alamat Redaksi : Jalan Adirasa 5-7 Sumenep 69417 tel. 0328-674374 faks. 0328-661719. email : [email protected]. web : www.suluhmhsa.com.

daftar isi

Madura, memang bukan barang lama. Tetapi membicarakannya, tidak pernah basi. Madura, sebagai satu wilayah dan kedaulatan selalu menarik dikaji peneliti, pengamat, dan pelestari budaya baik dari dalam maupun luar negara. Madura, sebagai etnisitas selalu unik meski pada bagian yang lain, Madura sebagai identitas nyaris punah. Sebab khazanah budaya di dalamnya tidak diruwat sebagaimana mes-tinya seperti Bali dan Jogja. Ini persoalan!

Dua tahun lalu, di Pamekasan dideklarasikan La Sena (Kompo-

lan Sapeda Kona) Panglepor Ate yang tetap eksis hingga saat ini. Komonitas digagas oleh budayawan madura Kadarisman Sastrodiwiryo yang juga Wakil Bupati pamekasan.

Page 5: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011 5

TERMINAL SEPERTI KOLAM RENANG

Lewat majalah Suluh adisi ini saya hanya ingin titip sesuatu buat pemerintah daerah sumenep. Yakni tentang kondisi Terminal Wiraraja Sumenep yang san-gat memperihatinkan. Pertama kondisi memprihatinkan tersebut bisa dilihat dari aspal jalan di sekitar tempat parkir bis antar kota yang ada di bagian seb-elah timur. Ketika musim hujan tiba, jalanan di kawasan tersebut nyarsi lay-aknya kolam renang. Air menggenang begitu banyak dan sangat membuat tidak nyaman masyarakat yang lewat di tempat tersebut. Apalagi mengguna-kan motor. Jika tidak hati-hati, bisa terpeleset dan jatuh ke dalam kubangan lebar menyerupai kolam renang tersebut.

Jalan ini sangat butuh diperbaiki dengan segera. Sebab selain dilalui bus-bus yang hendak istirahat setelah dari luar kota, jalan ini juga dilalui mobil-mobil angkutan dari Pamekasan dan kecamatan Bluto. Saya pikir, pemerintah tidak harus menunggu ada korban jatuh untuk memperbaikinya.

Ada pepatah bilang “Jika ingin tahu kepribadian seseorang, liatlah kamar mandinya”. Barangkali begitu pula jika kita hendak melihat kepribadian se-buah masyarkat di suatu kota, “Kita bisa melihatnya dari terminalnya”.

FAWAIDKetua Komisariat PMII STITA Sumenep

KTP ELEKTRONIK

Hingga saat ini kartu penduduk elektronik yang konon akan lebih canggih dari pada KTP yang selama ini ada, belum juga terealisasi. Dikabarkan diberb-agai media, pemerintah kesulitan dalam hal teknologi, kesiapan SDM hingga peralatan yang belum terpasang rapi. Saya tidak pernah tahu pasti apa sebe-narnya kelebihan dari KTP elektronik yang sebenarnya dijanjikan sudah bisa tereasliasi 3 bulan lalu itu. Dari sekilas informasi yang saya dengar, KTP terse-but sangat akurat dan tidak bisa digandakan, atau lebih tepatnya, si pemilik KTP tidak bisa memiliki KTP ganda.

Terlepas dari kecanggihan yang nanti dimiliki KTP elektronik ini, saya hanya ingin mengatakan bahwa orang kecil macam saya ini yang dibutuhkan bu-kanlah keakuratan data, KTP ganda atu apalah namanya... saya hanya ingin KTP bebas dari pungli. Itu saja. Jangan sampai orang yang jelas-jelas sudah lahir dan hidup di negeri ini bertahun-tahun lamanya, untuk mendapatkan KTP saja harus maen sogok sana sini.

Jika mendapatkan KTP (sebagai tanda sah sebagai warga negera) saja sudah susah, apalagi mendapatkan layanan yang layak sebagai warga negara. Mau KTP elektronik tau KTP berbahan meteorit sekalipun, warga tak akan protes. Sebab bagi mereka TKP tak ada gunanya. Yang memerlukan KTP pada haki-katnya adalah negara. Yakni untuk memastikan keberadaan warganya harus ia lindungi. Negeralah yang mustinya pro aktif mengayomi warganya. Bukan malah warga disuruh ngemis-ngemis kepada negera dengan sogok sana sini lewat para penyelenggaranya yang berwatak calo.

HARIRI EM NOERMantan Aktivis PC PMII Sumenep

KESENIAN KITA HILANG SEDIKIT DEMI SEDIKIT

Ada begitu banyak kebudayaan yang sangat eksotis di madura. Namun kare-na tidak dirawat dengan baik maka kebudayaan tersebut sedikit demi sedikit menghilang begitu saja. Beberapa pihak seperti pemerintah mungkin merasa sudah melakukan upaya pemeliharaan dengan mengadakan festival dan lomba-lomba. Namun upaya itu tak cukup membantu.... ini sangat naif ka-rena kemudian tidak dicari terobosan-terobosan atau upaya baru yang lebih ampuh. Jika terus menerus seperti ini, bukan tidak mungkin kekayaan budaya kita akan hilang sama sekali dan tergantikan oleh budaya orang lain.

ARAI WAHIDIN ABDURRAHMANPemerhati Budaya Tinggal di Sumenep

Surat pembaca yang masuk ke meja redaksi kali ini agak berbeda dengan surat-surat yang masuk pada edisi-edisi sebelumnya. Saat ini para pembaca Suluh banyak berisi curhat teteng persoalan-persoalan yang ada di daerahnya maupun di Madura secara umum.

Terkait hal tersebut, redaksi tentu tidak bisa memberikan jawaban. Sebab hal-hal yang menjadi keluhan pembacar rupanya adalah soal kebijakan-kebijakan pemer-intah yang mereka anggap kurang berpi-hak pada diri mereka. Redaksi hanya bisa membantu mempublikasikan unek-unek pembaca dengan harapa dapat didengar oleh pemilik kebijakan di madura.

dari redaksi

SURAMADU, BUKAN UNTUK ORANG MISKIN

Ketika dulu pemerintah selesai mem-bua jembatan suramadu yang men-hubungkan pulau Jawa dan pulau Ma-dura, saya begitu gembira dan senang. Sebab menurut orang-orang pemerin-tah yang saya baca lewat media, den-gan jembatan suramadu akan terjadi percepatan dalam perbaikan ekonomi masyarakat di palau garam ini. Akan ada industrialisasi, penyerapan tenaga kerja dan upah yang menjanjikan.

Tamun ternyata, hingga saat ini janji itu tak pernah terealisasi. Masyarkat tetap melarat, pengangguran tak kunjung berhenti tumbuh dan beras miskin makin banyak harus disalurkan dolog.

keberadaan suramadu justeru mengisay-rakatkan adanya diskriminasi terhadap masyarakat kurang mampu. salah satu contohnya adalah tidak dibolehkannya bus ekonomi melewati jembatan suram-adu. Ini sama halnya dengan melarang orang miskin melawati jembatan terse-but. Sementara orang-orang kaya yang naik bus patas bisa melenggang kapan saja tanpa ini itu.

ABD HADIPlt Ketua Ansor Sumenep

suara pembaca

Page 6: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 20116

SULUH UTAMA Nasib Tragis Kebudayaan Madura

Madura, memang bukan barang lama. Tetapi membicarakannya, tidak pernah basi. Madura, sebagai satu wilayah dan kedaulatan selalu me-narik dikaji peneliti, pengamat, dan pelestari budaya baik dari dalam maupun luar negara. Madura, seba-gai etnisitas selalu unik meski pada bagian yang lain, Madura sebagai identitas nyaris punah. Sebab khaz-anah budaya di dalamnya tidak diru-wat sebagaimana mestinya seperti Bali dan Jogja. Ini persoalan!

Dalam kajian Lukman, pengamat masalah sosial-budaya Madura, Ma-dura memiliki kekayaan kesenian tradisional yang amat banyak, berag-am dan amat bernilai. Dalam meng-hadapi dunia global yang membawa pengaruh materalisme dan prag-matisme, kehadiran kesenian tradi-sional dalam hidup bermasyarakat di Madura sangat diperlukan agar tidak terjebak pada moralitas asing yang bertentangan dengan morali-tas lokal. Sebagai orang asli Madura harus mengenal budaya Madura yang masih hidup, bahkan yang akan dan telah punah. Pengenalan ter-hadap berbagai macam kebudayaan Madura tersebut diharapkan mampu

Budaya Berlalu Tanpa Pengembala Ini juga yang dirasa Abd Hadi WM,

budayawan asal Sumenep yang me-netap di Jakarta dalam Madura: seja-rah, sastra, dan perempuan seni. Per-empuan seni dalam dimensi patriarki masyarakat Madura, telah mencipta-kan kelonggaran relasi gender. Seni pertunjukan yang tidak mening-galkan tradisi diasporik masyarakat Madura telah memposisikan perem-puan dan laki-laki sebagai elemen pembentuk harmonisasi.

Dengan demikian, rentang seja-rah yang panjang telah menjadikan perempuan seni di Madura teruji menjadi subjek dalam formasi sosial masyarakat Madura. Terkadang, faktor ekologis sebuah wilayah bisa menjadi faktor utama pembentukan kultur se-buah masyarakat. Tradisi diasporik masyarakat Madura, berawal dari se-jarah kelangkaan ekologis (ecologi-cal scarcity) yang panjang pada abad ke-18, yang memaksa penduduknya untuk berimigrasi ke daerah lain teru-tama pulau Jawa. Jika melakukan pen-dekatan sejarah ekologi (eko-histori-kal) pada masyarakat Madura untuk menemukan pola atau formasi sosial serta perubahan sosialnya, maka motif ekonomi terlihat sebagai sebuah kesa-

menggugah rasa kebangsaan akan kesenian daerah.

Madura dikenal sebagai wilayah yang tandus namun kaya ragam budaya. Kekayaan budaya Madura dibangun dari berbagai unsur bu-daya baik dari pengaruh animisme, Hinduisme dan Islam. Perkawinan dari ketiga unsur tersebut sangat dominan mewamai kebudayaan yang ada. Dalam perkembangannya berbagai kesenian yang bemafaskan religius, terutama benuansa Islami te-myata lebih menonjol. Keanekaraga-man dan berbagai bentuk seni bu-daya tradisional yang ada di Madura menunjuk kan betapa tinggi budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.

Kekayaan seni tradisional yang berisi nilai-nilai adiluhur yang berlandaskan nilai religius Islami seharusnya dile-starikan dan diperkenalkan kepada generasi muda sebagai penerus war-isan bangsa. Kesenian tradisional ada-lah aset kekayaan budaya lokal yang akan mampu melindungi gene rasi muda dari pengaruh negatif era glo-balisasi. Pengaruh budaya global yang demikian gencar melalui media elek-tronik dan media cetak menye babkan generasi muda kehilangan jati diri.

Page 7: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011 7

Budaya Berlalu Tanpa Pengembala daran yang mengembalikan sentimen kooperatif masyarakat Madura pada awal abad ke-20.

Sejarah Madura selama hampir seabad (1850-1940) memperlihatkan saling keterkaitan antara pengaruh faktor ekologis dengan pelaku sejarah dalam membentuk sebuah masyarakat dan nasib masyarakat itu. Ekotipe ladang kering yang menetap atau ekotipe tegal telah menghasilkan unit eko-historikal tersendiri, berbeda dengan ekotipe sawah di Jawa dan ekotipe perladangan di Indonesia bagian Timur.

Penelitian Kuntowijoyo (2002) ten-tang pengaruh ekologi pada formasi sosial di Madura, melihat bahwa mi-grasi ke pulau Jawa merupakan bagi-an dari sejarah orang Madura. Dibu-kanya perkebunan di Jawa Timur menarik orang Madura untuk menja-di buruh di perkebunan. Pada tahun 1930, lebih dari separuh keseluruhan etnis Madura tinggal di Jawa, keban-yakan di pojok bagian Timur. Di Jawa Timur, sebagai kelompok mayoritas (kecuali Banyuwangi), orang Madura aktif berperan dalam pergerakan nasional di kota dan di lingkungan kelompok etnis Madura umumnya.

Salah satu penyebab mobilitas

orang Madura yang didasari oleh kondisi pertanian yang miskin adalah, dibentuknya organisasi militer den-gan nama barisan yang memiliki misi mendampingi Belanda dalam berba-gai perang dan ekspedisi untuk mela-wan pemberontakan-pemberontakan yang muncul di kepulauan Indonesia. Barisan adalah sebuah kekuatan mi-liter kerajaan-kerajaan Madura yang ditujukan untuk melayani kepentin-gan-kepentingan penguasa Kolonial. Organisasi militer yang berbasis pada kekuatan rakyat Madura itu merupa-kan manifestasi politik para penguasa Madura (aliansi militer antara madura dan Belanda) atas jasa Belanda yang melindungi Madura melepaskan diri dari hegemoni Mataram.

Karena perubahan struktur so-sial dan ekonomi, masyarakat Ma-dura bermata pencaharian sebagai pedagang, bukan petani. Karena para pedagang itu tipologinya suka bepergian, maka masyarakat Ma-dura tidak terlampau memerlukan seni pertunjukan dalam budayanya. Berbeda dengan masyarakat Jawa yang lebih banyak menetap dan ber-tani. Sehingga artikulasi kesenian masyarakat Madura tertuang dalam

bentuk kerajinan lukisan dan patung.

Untuk memahami posisi kesenian di Madura, pertama-tama kita harus memahami bahwa tradisi Islam dalam melihat seni (pertunjukan) tidak terlalu penting, selayaknya kaum Hindu yang mengadopsi un-sur-unsur kesenian di dalam melaku-kan upacara keagamaan. Karena seni pertunjukan tidak menjadi bagian dari agama, maka orang Madura leb-ih melihat agama ketimbang tradisi. Agama lebih mengikat daripada tradisi, kalau bicara tradisi orang Ma-dura bisa saja mengikuti tradisi Jawa. Berbeda dengan masyarakat Bali, yang memiliki pelindung dari kepu-nahan budaya, karena tradisi Bali su-dah lebur menjadi tradisi Hindu.

Sebaliknya, masyarakat Madura bisa menjadi orang lain ketika budayanya musnah. Orang Madura bisa menjadi siapa saja, karena yang menjadi tolok ukur orang Madura adalah agama (Is-lam). Syarat menjadi orang Madura itu adalah, ia harus Islam. Bukan hanya iden-tik tapi harus mutlak Islam. Lain dengan masyarakat Jawa, yang bisa memeluk berbagai macam agama dan keper-cayaan. Hal inilah yang menjadi masalah pada masyarakat Madura. (abe)

Page 8: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 20118

SULUH KHUSUS Simalakama Kebudayaan di Simpang Jalan

Kebudayaan daerah seperti halnya di Madura dipastikan akan terpuruk apabila tidak ada yang peduli. Indi-

kasi ketidakpedulian itu sudah bisa dili-hat dari semakin mengecilnya volume berkebudayaan Madura, justru di Ma-dura sendiri. Bias gelombang peradaban nyaris tidak terbendung dan begitu mu-dah masuk bahkan ke dalam ruang yang sangat pribadi melalui jejaring sosial.

Budayawan Sumenep Edhy Setiawan juga merasakan adanya penurunan derap-kultural. Ini terjadi seiring berkurangnya generasi tua yang peduli karena faktor usia dan meningkatnya generasi muda yang tidak acuh terhadap budaya. Situasi ini semakin melengkapi nestapa masa depan kebudayaan lokal.

Edhy mengaku senang ketika keliling Eropa, mengkampanyekan kebudayan daerah Sumenep dan sangat bangga ketika mendapat apresiasi yang luar bi-asa. Edhy juga sangat apresiasi kepada tim kesenian yang dibawanya karena melakukan totalitas saat berperan. To-talitas ini tidak bisa didapat dalam tem-po sesaat kecuali dengan latihan dan penjiwaan. Seniman di era lalu dia nilai memiliki sense yang cukup tinggi. Ia berkreasi tidak terjebak ke dalam ran-ga (festival, upacara hari jadi, dan kar-naval). Tetapi totalitas itu dia bangun melalui proses yang tidak sebentar.

Sekedar menyebut contoh, pria yang masih enerjik ini merasa kagum karena saat penari memasang topengnya se-olah-olah topeng itu hidup di didirnya. Tetapi hari ini, urainya, dia mengamati sebagian generasi muda yang hanya me-nari topeng tanpa menjiwai. Namun ini masih jauh lebih baik dibanding generasi muda yang sama sekali tidak peduli.

Pria yang sudah beberapa kali menda-pat penghargaan fotografi ini merasa ada yang berbeda antara berkebu-dayaan di tempo dulu dibanding saat ini. Dulu, totalitas berkebudayaan nyaris tidak menghitung untung dan rugi ka-rena tujuan utama memang bagaimana menampilkan dan melestarikan kebu-dayaan daerah. Saat ini, dia mengamati ada oknum tertentu yang berhitung dulu sebelum beraktivitas dalam ranah budaya. Mungkin, duganya, saat ini me-mang jamannya sudah berubah tetapi dia begitu yakin substansi berbudaya tidak akan pernah berubah. “Banyak faktor yang menyebabkan situasi kebu-

dayaan seperti saat ini,” katanya.

Apa solusinya kira-kira agar jaringan kerja budaya ini tidak mati? Dia mengakui pada akhirnya akan mati bila siapa saja tidak mengingkan kebudayaan daerah itu hidup. Bagaimana caranya kebudayaan hidup, urainya, kebersamaan, kesadaran, dan go-tong royong harus dibangun dengan baik. Dahulukan substansi kebudayaan diband-ing mengedepankan yang lain. Karena itu ruang berkebudayaan ini perlu diadvokasi siapa saja agar substansinya kembali dan supaya generasi muda semakin mengge-marinya. “Tetapi kan lucu ketika diskursus tentang kebudayaan tak lagi dianggap menarik dibanding berdialog tentang yang lain,” paparnya.

Ini juga yang dialami pengamat seni dan budaya kontemporer Khairul Kalam. Salah satu yang menjadikan aura kebudayaan Madura redup karena kebudayaan di-anggap tidak memiliki investasi jangka panjang dan hasilnya secara material tidak bisa dinikmati hari ini. Kebudayaan juga dianggap tidak memiliki investasi politik. Sementara, kata Khairul, negara saat ini lebih banyak dikendalikan oleh sistem politik. Pada saat oknum politisi menilai kebudayaan tidak memiliki arus balik, maka membangun kebudayaan

dianggap kurang tepat dibanding mem-bangun fisik yang berwujud dan bisa dinikmati secara fisik.

Pria yang juga juga mengkoordinasi komisi D karena jabatannya sebagai wakil ketua DPRD Pamekasan menegaskan, salah satu langkah efektif untuk menyelamatkan ke-budayaan daerah melalui pendidikan. Mis-alnya, sekolah harus mengajarkan akhlak dan kesantunan. Sebab, tatakrama ini juga menjadi bagian dari kebudayaan orang Madura. Perlu diketahui, akhlak yang men-cirikan religiusitas Madura mulai hilang karena tak ada ngopeni. Padahal, pelestari kebudayaan itu justru ada di rumah, se-kolah, dan lingkungan sekitar didukung pemerintahan.

Masalahnya saat ini, ujarnya, apakah kelestarian kebudayaan Madura sudah sepenuhnya didukung oleh rumah, se-kolah, lingkungan dan pemerintahan. Jika semua elemen yang menopang lest-ari tidaknya kebudayaan sudah ambruk, Khairul yakin lestarinya kebudayaan Madura tidak bisa diharap lebih banyak untuk lebih hidup di masa yang akan da-tang. Karena itu, dia menganggap upaya penyelamatan kebudayaan yang berja-lan di lingkungan yang tidak sinergis dia anggap hanya sebentuk penundaan ter-

Di Simpang Jalan Simalakama Kebudayaan

BATIK MAUDURA: Sepasang remaja sedang menari dengan menggunakan Batik Madura yang dipadu dengan busana penganten.

Page 9: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011 9

hadap kematiannya, pada suatu ketika.

Saat mengusung musik ul daul ke festival kesenian tradisional dunia di Jogjakarta, Khairul juga mengaku san-gat senang. Koleganya dari luar neg-eri juga memberikan apresiasi bahwa musik disco di kelab malam dinilai lebih asik apabila memperdengarkan musik etnik. Jujur, kata Khairul, kole-ganya di luar negeri merasa lebih pas apabila berjoget di kelab malam den-gan musik etnik khususnya ul daul. “Kalau harus orang luar negeri yang senang kebudayaan Madura (musik etnik) kan percuma apabila orang Ma-dura sendiri tidak sebergairah mereka,” tegasnya. (abe)

Semalam di Madura, ritualitas kultural digelar 22 Oktober lalu di altar Monumen Arek Lancor Pamekasan. Reportoar kesenian tradisional ini menampilkan tim kesenian dari empat kabupaten di Madura ini. Ritualitas kebudayaan ini merangkai empat acara pada waktu yang hampir bersa-maan, pemilihan Kacong-Cebbing Sumenep, Kerapan Sapi, dan Sape Sono’ (Pamekasan).

Setidaknya, belasan kesenian tradisional dimunculkan dalam ritual ltahu-nan ini. Dari tahun ke tahun, rangkaian acara ini seakan-akan kehilangan aura karena bergantinya generasi. Ia ada karena sejarah di masa lalu me-munculkan reportoar sebegitu adanya. Tetapi ruhnya sebagai bagian dari kebudayaan, dari tahun ke tahun semakin terjun bebas. Kalau saja acara ini serupa penari, maka ia hanya sekedar menari tanpa menjiwai.

Meski begitu, Semalam di Madura tetap menjadi tontonan yang menarik. Jalanan di sekitar Arek Lancor macet. Pada pagelaran tahunan yang muncul sejak tahun 1980-an ini seperti biasa diawali dengan musik gamelan khas, Gending Madhure. Musik ini sebagai rasa hormat kepada tamu undangan. Di eras mutakhir, panitia melakukan reformulasi dengan memasukkan pera-gaan busana lokal, batik. Saat undangan memasuki gelanggang, gelom-bang tari bermunculan dari semua penjuru kabupaten di Madura.

Tim kesenian Bangkalan, menampilkan Andholenan Baong. Ribuan penon-ton terkesima. Begitu pula saat tim tari dari Sampang tampil dengan Pajjer Laggu. Ada juga Tera’ Bulan, Baris dan Topeng Gettak (Pamekasan). Sebagai modifikasi, musik Daul pun melengkapi acara ini.

Ketua (harian) Dewan Kesenian Pamekasan Khalifaturrahman menilai kes-emarakan Semalam di Madura selalu bergemuruh setiap tahun. Mamang yang juga mantan ketua depot seni Akura Pamekasan ini menganggap Semalam di Madura bukan hanya sekedar tontonan. Tetapi ia merupakan tuntunan agar generasi muda tidak melupakan kekayaan kebudayaan khususnya di bidang kesenian. Menurut dia, Semalam di Madura juga penegasan bahwa kebudayaan di Madura cukup beragam yang terpajang mulai dari Bangkalan hingga Sumenep. “Cukup semarak,” ungkapnya. (abe)

Semalam di Madura Tanpa Aura?

SUMRINGAH: Dua orang penari sedang memperagakan diri sebagai sapi kera-pan dalam acara Semalam di Madura.

KHAIRUL KALAMWakil Ketua DPRD Pamekasan

Page 10: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 201110

SULUH KHUSUS Satu Tahun Kepemimpinan Abussidik

Banyak pihak memprediksi bahwa pada akhirnya kebudayaan lokal akan tenggelam dan tergerus sesua-tu yang lain, yang tidak mencirikan lokalitas. Gelombang peradaban ini terlalu kuat dan kebudayaan lokal merapuh karena pelestari dan peniadanya tidak imbang. Berikut wawancara SULUH dengan bu-dayawan muda Pamekasan, Akhmad Zaini Makmun.

Sebagai budayawan dan akademisi, bagaimana masa kebudayaan lokal?Kebudayaan itu terlalu luas. Ada ba-hasa, tradisi, kesenian, arsitektur, dan religiusitas berbasis kemaduraan. Nah, darimana harus dimulai ini?

Kalau dari segi bahasa?

Dulu sudah pernah saya sampai-kan bahwa bahasa daerah termasuk Madura pada akhirnya akan lenyap. Statemen ini diawali dari survey yang menegaskan bahwa dari tahun ke tahun jumlah penutur bahasa dae-rah semakin berkurang. Mengapa berkurang, tentu ini banyak faktor.

Misalnya?

Salah satu yang menyebabkan ba-hasa daerah melenyap antara lain dimulai dari keluarga. Fakta menun-jukkan, di tingkat keluarga sebagian penghuninya tidak lagi mengguna-kan bahasa Madura sebagai bahasa komunikasi. Selain itu, generasi Ma-dura tidak begitu “senang” berkomu-nikasi dengan menggunakan bahasa ibunya. Sekedar contoh, ketika naik bis antarkota antarprovinsi, di dalam

Kebudayaan Lumpuh di Tikungan Rapuh

Nama : Akhmad Zaini MakmunLahir : Pamekasan, 11 Maret 1972Pendidikan : Lulusan S2 Bahasa dan Sastra Indonesia UNISMAAktivitas : Mengajar di Universitas Madura Menulis buku maupun karya ilmiah Melakukan riset pendidikan Pernah aktif di Balai Bahasa Surabaya

Page 11: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011 11

bis dua orang warga (remaja) Madura justru berbahasa Indonesia. Lainnya, bahasa Madura dianggap menyulit-kan baik dari sisi fonologi maupun sintaksis. Bahasa Madura juga melen-yap seiring dengan masuknya baha-sa daerah lain, nasional, dan bahasa asing. Pada saatnya nanti, berdasar survey, bahasa Madura akan lenyap.

Bagaimana dengan dimensi bu-daya yang lain?

Sengaja saya memulai dari bahasa karena bagian dari kebudayaan jus-tru bahasa lah yang paling dominan di tengah masyarakat. Bagi saya, di-mensi budaya yang lain juga akan menurun. Arsitektur misalnya, di ba-gian mana arsitektur Madura sudah nyaris tak bisa dikenali. Mengapa bisa begitu, karena arsitektur di Madura berjalan mengalir karena tidak ada kecintaan yang mendalam seperti di daerah lain. Ini berbeda dengan arsitektur bangunan di Padang. Ge-dung dan perkantoran tidak meng-hilangkan arsitektur aslinya termasuk Padang perantauan tetap membawa budaya arsitektur leluhurnya, setidaknya di rumah makan. Nah, di Madura kan berbeda dimana arsitek-turnya tidak lagi berbasis lokalitas.

Soal nasib kesenian lokal bagaima-na?

Saya rasa bedanya hampir tidak ada. Madura agak berbeda dengan Bali dalam berkesenian. Di Bali, kesenian lokal bersinergi dengan religiusitas masyarakatnya dan selalu ada setiap hari. Di Madura kesenian menjadi kebudayaan yang terpisah dari religi-usitas. Sehingga, kesenian di Madura muncul untuk melengkapi acara ter-tentu. Dulu, terdapat kesenian lokal berupa karya sastra Madura yang hampir melekat dengan religiusi-tas seperti syi’iran. Dalam puisi Ma-dura ini menceritakan nabi dan sa-habatnya sebagai contoh dan hampir terdengar seusai isya. Kini kan tidak lagi. Meski ada syair kan sudah tidak berbahasa lokal.

Bagaimana solusinya agar kebu-dayaan lokal tidak rapuh?

Apa yang kita lakukan saat ini bagi saya budaya tanding karena arus globalisasi begitu deras. Kita bersama melakukan

pembelaan atas etnisitas dan lokalitas yang tidak boleh aus. Salah satu yang dilakukan antara lain melakukan re-vitalisasi kemaduraan dimulai dari ru-mah, sekolah, dan lingkungan sekitar. Etnisitas terkecil itu sesungguhnya ada di keluarga begitu juga satuan pen-didikan terkecil juga ada di rumah dan lingkungan sekitar sekolah dan rumah. Rumah, sekolah, dan lingkungan seki-tar ini idealnya kan terintegrasi dengan baik.

Apakah selama ini tidak terintegrasi?Tidak selalu terintegrasi. Keluarga di rumah punya satu kehendak, sekolah juga punya kehendak, tetapi lingkun-gan kadang-kadang memunculkan kehendak yang lain yang lebih cepat mempengaruhi anak. Saya masih optimis pendidikan kebudayaan Ma-dura yang dimulai dari setiap rumah, berlanjut ke sekolah, didukung ling-kungan dan pengambil kebijakan. Saya kira, Cina dan Jepang menjadi contoh yang baik dalam melestari-kan budaya.

Mengapa Cina dan Jepang?

Kedua negara itu tidak saja memas-ukkan budaya ke dalam rutinitas dan religiusitas. Tetapi, kedua negara itu juga memasukkan budaya ke dalam teknologi. Menurut saya ini luar bia-sa. Sedangkan di kita, Madura, telah mengalami penasionalan dari yang seharusnya mempertahankan lokal. Kita lihat misalnya di Sumenep. Saya menduga telah terjadi migrasi kata dari Madura menjadi Indonesia tanpa disa-dari hal yang seperti menghilangkan lokalitas. Misalnya, Songennep (Ma-

dura) menjadi Sumenep (mengalami pengindonesiaan). Padahal, ciri khas Madura itu antara lain melakukan pen-gulangan kata yang berbeda dengan Indonesia. Artinya, tidak saja globalisa-si yang mengenyahkan kebudayaan lokal tetapi juga konsep nasionalisme-bertata kata ikut andil dalam pelenya-pan etnisitas budaya.

Harapan Anda?

Mengembalikan yang hilang kok rasanya agak sulit ya. Tetapi bagi saya, ngopeni yang ada, yang masih bisa diselamatkan kok sepertinya masih jauh lebih baik. Hemat saya hal seperti itu bisa dimulai dari keluarga kita masing-masing. Di rumah, apa yang bisa kita lakukan kepada anak-anak kita berbasis budaya Madura, bahasa, berkesenian, kesantunan perilaku, bernilai religiusitas dan se-terusnya yang mencirikan budaya Madura. Kemudian di sekolah, anak-anak yang didik dengan sistem tadi bertemu dengan anak-anak lain yang juga mengalami perlakuan yang sama ketika di rumah dan didorong sekolah. Kemudian pemerintah men-dukung melalui Perda yang melind-ungi kebudayaan lokal dan benar-benar dieksekusi dengan baik. Cara ini memang tidak sempurna, tetapi paling tidak bisa menunda lenyapnya budaya lokal akibat penjajahan yang datang bertubi-tubi baik datangd ari dalam Madura sendiri maupun yang hadir karena pengaruh kebudayaan luar Madura. Perlindungan atas bu-daya ini sesungguhnya tugas kita semua khusunya para pengambil ke-bijakan. (abe)

SAPE SONO’: Seorang Peserta festival Sape Sonok sedang menari mengiringi sapinya

Page 12: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 201112

Opini

A. Madura dalam Kilasan Sejarah

Sekalipun penelitian dan penulisan sejarah umum Madura belum banyak dilakukan orang, namun berdasarkan ekstrapolasi data dan informasi yang ada dapatlah direkonstruksi suatu lintasan masa lampau Madura yang dimulai sekitar 4000 tahun yang lalu. Bukti-bukti peninggalannya yang ditemukan di pulau ini menunjukkan bahwa leluhur orang Madura itu da-tang dari utara dan diketahui berke-budayaan neolitik. Dengan demikian, mereka sudah bisa mengupam atau mengasah batu menjadi kapak perse-gi, yang dapat pula dijadikan pacul. Penguasaan teknologi pacul ini meng-isyaratkan bahwa mereka telah mam-pu bercocok tanam, walaupun jenis tanamannya hanya terbatas pada ta-las, ubi, gadung, pisang, dan jawawut. Diketahui pula bahwa mereka mampu beternak dan memelihara anjing un-tuk keperluan berburu. Selain itu, karena datang dengan mengarungi lautan terbuka, mereka tentu meru-pakan bangsa pelaut.

Madura sebagai sebuah pulau yang berada di ujung timur pulau Jawa, se-makin dikenal seiring dengan adanya jembatan penghubung antara Sura-baya dengan pulau Madura yakni Jembatan Suramadu. Jembatan ter-panjang di Indonesia bahkan di Asia Tenggara, dengan panjang 5,43 KM. Selain itu, Madura juga dikenal den-gan berbagai kelebihan lainnya. Di antaranya, budaya, agama, politik,

ekonomi, gender, dan wisatanya.

Menurut sejarahnya kata Madura awalnya berasal dari sebuah don-geng atau legenda, salah satu orang di antara pendatang yang dilahir-kan di atas rakit (ghetek) yang di-tumpangi ibunya saat melintasi laut lepas. Legenda tersebut berawal dari negara Mendangkumalan yang konon merupakan ibukota dari kera-jaan Kalingga dengan raja bernama Sangjangtunggal. Raja tersebut me-miliki seorang putri yang bernama Bendoro Gung, yang kemudian hari diketahui hamil tanpa suami. Dika-renakan malu maka sang Raja me-nyuruh sang Patih untuk membunuh putrinya dan tidak diperkenankan pulang ke kerajaaan sebelum dapat membunuhnya. Kemudian, sang Patih membawa putri raja tersebut ke hutan untuk dibunuhnya, namun setiap kali pedangnya akan meny-entuh leher sang putri setiap kali itu pula pedang tersebut jatuh ke tanah, hal ini terjadi sampai tiga kali. Sehingga sang patih kemudian mem-beri kesimpulan bahwa kehamilan sang putri adalah mukjizat. Karena ketidakmampuannya maka sang putri dihanyutkannya ke laut bebas dan sang patih kemudian memakai baju poleng dan merubah namanya menjadi kiai Poleng. Kemudian sang putri sampai ke sebuah pulau yang saat itu terpecah menjadi dua, gu-nung Gegger dan gunung Pajuddan dengan melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Sagoro (Ab-

Dosen Sosiologi Universitas Trunojoyo

Bangkalan

ISKANDAR DZULKARNAIN, M.Si

Mahalnya Sebuah Identitas Peradaban Madura

..bahasa Madura juga digunakan

untuk menunjuk-kan identitas dan

eksistensinya sebagai salah

satu suku terbe-sar ketiga, (Jawa

45%, Sunda 14%, dan Madura

7,5%) yang ada di nusantara ini

Page 13: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011 13

Opini

durrahman, 1971: 1-5).

Selain itu, ada juga yang berpen-dapat bahwa Madura berawal ketika para penganjur agama dari India tiba di Nusantara di abad-abad awal mil-lineum pertama, ada juga di antara mereka yang sampai ke pulau itu. Kaum Brahmana yang terhitung ter-pelajar tadi rupanya menemukan pulau yang indah, sehingga dengan menggunakan bahasa Sansakerta dinamakanlah pulau tersebut Ma-dura (Mien A. Rifa’I, 1993: 9). Dalam bahasa Sansakerta Madura berarti permai, indah, molek, cantik, jelita, manis, ramah, dan lemah lembut. Hal inilah yang kemudian beberapa abad Jayendradewi Prajnaparamita salah seorang istri raja Majapahit pertama Sri Kertarajasa Jayawardana, melam-bangkan gunacaranurupita satyapara (watak sangat setia dan kaya akan sifat baik dan berguna) serta memiliki anindyeng raras (kecantikan rupa tan-pa cacat) dibandingkan dengan pra-karti (pekerti, watak, tabiat, kodrat) pulau Madura (Bustami, dalam Aswab Mahasin, edit, 1996: 326).

Menurut P.J. Veth tahun 1903 yang menulis tentang perbandingan keindahan Jawa dan Madura, menu-rutnya Madura menghadirkan sebuah keindahan yang sederhana, dengan warna-warna lembut dan bergaris-garis, dengan silang menyilang warna putih kapur (Kuntowijoyo, 2002: 24-27). Madura memiliki berbagai ranah wisata yang sangat eksotis, mulai wisata budaya, wisata religi, wisata bahari, wisata historis, maupun wisa-ta-wisata lainnya.

Madura terdiri dari empat kabu-paten, yakni Sumenep, Pamekasan, Sampang, dan Bangkalan. Dengan pembagian wilayah menjadi dua, wilayah daratan dan wilayah kepu-lauan. Jumlah pulau di Madura seban-yak 127 pulau. 126 pulau di Sumenep dan satu pulau di Sampang, 48 pulau berpenghuni dan 78 pulau tidak ber-penghuni. Selain itu, Madura juga pernah memiliki lima kerajaan, meski-pun kelima kerajaan tersebut berada di bawah kendali kerajaan-kerajaan Jawa. Kelima kerajaan tersebut be-rada di Sumenep, Pamekasan, Sam-pang, Blega dan Kota Anyar. Sehingga sampai sekarang Madura memiliki berbagai wisata historis tempat pen-inggalan kerajaan-kerajaan terdahulu.

Madura juga memiliki wisata ekso-tis bahari lainnya, di antaranya pan-tai Lombang, dengan hutan cemara udangnya. Di mana hanya ada dua

wilayah yang memiliki hutan cemara udang, yakni di Brasil dan di Lom-bang itu sendiri, pantai Sloping, pan-tai Camplong, dll. Wisata budaya kita mengenal banyak budaya yang be-rasal dari Madura, baik budaya yang penuh dengan eksotisme kelembu-tan, seperti sapi sonok, maupun bu-daya kekerasan, seperti kerapan sapi, carok, ojung, dan lain sebagainya. Se-lain itu, Madura juga dikenal dengan wisata religinya, di antaranya makam Syekh Abdullah Cholil, Asta Tinggi, Masjid Jamik Sumenep, Asta Tinggi, dan lain sebagainya. Dan yang tidak kalah penting adalah wisata kuliner Madura, mulai dari jamu kesehatan, makanan, minuman, maupun jamu untuk pria dan wanita. Kemajemu-kan etnis, social, agama, merupa-kan bagian tersendiri dari eksotisme Madura. Hal itu diperkuat dengan beragamnya bahasa Madura, mulai dari daerah Madura Barat, Madura Timur, dan Madura Kepulauan yang berbeda-beda bahasanya. Bahkan sampai sekarang belum terdeteksi be-rapa banyak bahasa yang digunakan di Madura. Padahal Bahasa Madura merupakan bahasa daerah yang di-pakai oleh orang Madura sebagai alat komunikasi dalam interaksi sosialnya. Selain itu, bahasa Madura juga digu-nakan untuk menunjukkan identitas dan eksistensinya sebagai salah satu suku terbesar ketiga, (Jawa 45%, Sun-da 14%, dan Madura 7,5%) yang ada di nusantara ini yaitu suku Madura.

Bahkan menurut Wurm dan Shiro Hattori (1981), mengatakan bahwa pemeringkatan bahasa daerah di In-donesia berdasarkan jumlah penggu-nanya, yang menempati urutan 1-20 adalah bahasa Jawa, Sunda, Madura, Minangkabau, Bugis, Batak, Banjar, Bali, Aceh, Sasak, Lampung, Makasar, Rejang, Komering, Sa’dan, Mangga-rai, Minahasa, Dayak Ngaju, Goron-talo dan Bima. Bahasa Madura yang termasuk bahasa Melayu-Polynesia tersebut, berada dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil lagi berga-bung dengan bahasa-bahasa Jawa, Sunda, Bali, dan Melayu. Berawal dari itulah kita bisa melacak tentang ke-kayaan peradaban Madura.

B. Kilas Balik Peradaban Madura

Ketika kita berbicara tentang per-adaban, maka kita juga harus berbic-ara tentang sejarah kelahirannya. Di mana kelahiran peradaban itu sendiri berawal dari sejarah manusia. Sudah banyak ilmuwan yang menjelaskan tentang sebab kemunculan, perkem-bangan, keterkaitan, pencapaian,

kemunduran, dan kejatuhan perada-ban, yang telah tereksplorasi dengan sangat baik melalui para sejarawan, sosiolog, maupun antropolog. Sep-erti Max Weber, Emile Durkheim, Os-wald Spengler, Pitirim Sorokin, Arnold Toynbee, Alfred Weber, Christopher Dawson, dan lain-lain.

Menurut tokoh-tokoh tersebut, ke-tika kita berbicara peradaban ada lima persoalan sebagai bentuk kesepaka-tan dalam kaitan proposisi-proposisi sentral mengenai hakikat, identitas, dan dinamika dari masing-masing per-adaban. Pertama, sebuah pembedaan dapat ditemukan di antara perbagai peradaban, baik yang singular mau-pun plural. Kedua, sebuah peradaban adalah entitas cultural. Ketiga, setiap peradaban selalu bersifat kompre-hensif yang tidak satu pun dari kon-stituen kesatuannya dapat sepenuhn-ya terpahami tanpa mengacu pada cakupan (wilayah) peradaban. Keem-pat, peradaban-peradaban bersifat fana namun juga hidup sangat lama, ia berkembang, beradaptasi, dan san-gat berpengaruh terhadap kehidupan manusia, realitas-realitas yang benar-benar dapat bertahan dalam waktu lama, kekuatan dan esensi utamanya adalah kontinuitas historisnya. Ke-lima, peradaban-peradaban meru-pakan entitas cultural bukan entitas politik (Samuel P Huntington, 2000: 38-47)

Berbeda halnya dengan Mien A Rifa’I (2007) yang mendefiniskan peradaban (kebudayaan) seba-gai keseluruhan pengejewantahan batin, pikiran, dan akal budi suatu suku bangsa, yang terakumulasi-kan berdasarkan pelajaran pengala-man hidupnya. Sehingga, peradaban ke-Madura-an membahas tentang perkembangan kecerdasan, peman-faatan, pengembangan, dan pengua-saan pengetahuan, ilmu dan teknolo-gi, kepercayaan spiritual, seni budaya, selera, nilai, hukum, budi pekerti, adat, dan tatanan bermasyarakat.

Dari berbagai bentuk pengertian tentang peradaban tersebut kita bisa membuat ringkasan singkat tentang historisasi (sampai saat ini) perada-ban Madura dalam berbagai bentuk di antaranya (disadur dari Mien A Rifa’I, 2007: 42-120):

a. Religi

Peradaban keagamaan di Madura sejak zaman animism sudah lahir, di antaranya lahirnya bangunan bato kennong (batu kenong) atau bato

Page 14: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 201114

Opiniegghung (batu gong) dan menhir di Pulau Sepudi. Kepercayaan ini terli-hat juga dari nama desa (kampong-kampong) yang ada di Madura, yakni Candi, Mandala, Sema dan lain-lain. Selain itu juga lahirnya pesantren besar – yang kemudian hari melahir-kan tokoh-tokoh Islam di Indonesia – akhir abad XIX di desa Kademangan dengan pimpinannya KH. Muhammad Khalil. Sehingga dapat dipahami pada sa’at itu Syarikat Islam sebagai gera-kan politik Islam berkembangn sangat pesat di Madura.

Sebelum itu, bahasa Madura juga sudah menyerap ratusan kata dari bahasa Arab, seperti mahrib, makam, makhlok, ma’mom, malaekat, mayyit, molod, dll. Ada pula kosakata bahasa Madura serapan dari bahasa Sansak-erta yang lalu dibahasatinggikan den-gan memakai bahasa Arab, seperti apowasa dihaluskan menjadi aseyam, se mate menjadi almarhum, dan asambhajang menjadi asalat.

Lebih lanjut, masyarakat Madura juga menyerap bulan-bulan tarikh Hijriyah sembari terus memperhati-kan makna keagamaannya, seperti Sora (Muharram), Sappar (Shafar), Molot (Rabi’ul Awal dari Maulud), Rasol (Rabi’ul Akhir dari Rasulullah), dan lain sebagainya. Sejalan dengan itu, nama-nama muslimin juga dipakai oleh orang Madura dalam memberi-kan nama anak-anaknya. Dalam men-jalani kehidupan beragama sebagai umat Islam, Madura mayoritas mengi-kuti aliran ahlus sunnah wal jama’ah dan menganut mazhab Imam Syafi’i. Hari-hari besar Islam, pernikahan, kelahiran, membangun rumah, perta-nian, dan laut juga seringkali diraya-kan dengan cara-cara ‘Islami’.

b. Bahasa

Bahasa Madura merupakan bahasa daerah yang dipakai oleh orang Ma-dura sebagai alat komunikasi dalam interaksi sosialnya. Selain itu, bahasa Madura juga digunakan untuk men-unjukkan identitas dan eksistensinya sebagai salah satu suku terbesar ketiga (Kompas, 24 September 2005) yang ada di nusantara ini yaitu suku Madura. Meskipun pada saat ini ban-yak persoalan yang dihadapi menge-nai problematikan eksistensi bahasa Madura, di antaranya kurang bangg-anya pemuda-pemudi Madura meng-gunakan bahasa Maduranya serta kurangnya kepedulian dinas pendidi-kan untuk melestarikannya dengan hanya memberikan mata pelajaran bahasa Madura sampai Sekolah Me-

nengah Pertama (Iskandar Dzulkar-nain, Keker, Radar Madura, 22 No-vember 2009).

Para ahli bahasa dan para peneliti bahasa Madura yang telah lama me-nekuni mengambil kesimpulan yang berbeda-beda mengenai bahasa Ma-dura, di antaranya: bahasa Madura termasuk bahasa-bahasa Melayu-Pol-ynesia yang dipakai oleh kurang lebih 15 juta penduduk yang mendiami pu-lau Madura dan pulau-pulau sekitarn-ya yang berada di ujung timur pulau Madura serta daerah-daerah utara pulau Jawa yang sering disebut dae-rah tapal kuda. Selain itu, juga oleh orang-orang Madura yang tersebar di seluruh Indonesia. Bahasa Madura merupakan bahasa terbanyak ketiga yang dipakai oleh bangsa ini dari seki-tar 726 bahasa daerah yang ada di In-donesia.

Menurut Salzner dalam bukunya yang berjudul “Aprachenatlas des In-dopazifischen Raumes (Wiesbaden, 1960)”, mengatakan bahwa bahasa Madura sangat erat kaitannya dengan bahasa Jawa. Selanjutanya, ada juga yang berkata bahwa bahasa Madura tersebut berstruktur imbuhan yang serumpun dengan bahasa-bahasa kelompok Austronesia, bahasa terse-but mirip dengan bahasa Jawa, Sunda, dan Bali (Steven, 1968: 1-2).

Di pulau Madura sekarang dikenal empat dialek utama bahasa Madura, yaitu dialek Bangkalan (Bangkalan dan Sampang barat), dialek Pame-kasan (Sampang timur dan Pame-kasan), dialek Sumenep (Sumenep dan pulau-pulau di dekatnya), dan dialek Kangean (pulau Kangean). Bagi ‘orang luar Madura’ pelafalan dialek Sumenep dianggap terdengar paling merdu, halus, jelas, dll. Sehingga sejak tahun 1893 dialek Sumenep dianggap lebih cocok untuk dijadikan pedoman bagi pembakuan bahasa Madura se-hingga dari dulu bahasa Madura yang dipakai sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah maupun buku-buku bahasa Madura adalah dialek Sume-nep.

Sebagaimana bahasa Jawa, Sunda, dan Bali, bahasa Madura juga memi-liki beberapa tingkatan kebahasaan. Pembagian tingkat bahasa tersebut bisa disederhanakan menjadi tiga tingkat saja, yaitu: tingkat bahasa kasar (iyâ – enjâ’), tingkat bahasa ten-gah (engghi – enthen), dan tingkat ba-hasa halus (éngghi – bhuntén).

c. Kesenian

Motif kain, penenun tradisional maupun batik Madura merupakan salah satu bentuk pengejewantahan seni rupa Madura. Dengan menggu-nakan dominasi berpola poleng me-rah, putih, hitam, kuning, dan hijau lumut. Kombinasi warna-warna be-rani dan mencolok juga dipakai oleh pemahat Madura dalam seni ukirnya.

Kemudian, lalongedan atau jhung-kejhungan (kidung), dan paparegan juga merupakan bentuk seni suara Madura yang diperuntukkan bagi anak-anak maupun orang dewasa. Selain itu juga dikenal bang-temb-hangan, dan machopat. Selain itu juga dikenal kesenian yang dipen-garuhi oleh Islam, yaitu diba’, had-rah, samman, gambus, dan samrah. Seni tari Madura juga dikenal dengan baik, di antaranya tayuban dengan tandha’nya. Luddruk, katoprak, ajh-ing, dan topeng.

d. Sistem Pengetahuan

Orang banyak mengenal ilmu-ilmu perbintangan. Hal ini sesuai dengan system pencaharian masyarakat Ma-dura. Yakni berlaut dan bercocok tan-am. Seperti arah angin, waktu, musim, dan iklim. Selain itu, masyarakat Madura juga mengenal perbedaan bermacam-macam habibat, padang (lapangan rumput), ra-ara (savanah), ombhut (semak belukar), alas (hutan) dan alas raja (hutan belantara). Se-lain itu, juga mereka mengenal daftar nama tetumbuhan dengan membeda-kan menjadi beberapa kelompok, yaitu ka’bhungka’an (pepohonan), rabet (liana), dan bha’-rebbha’an (terna). Serta mereka juga mengenal tidak kurang dari 700 jenis tertum-buhan yang diketahui manfaatnya (sebagai sumber pangan, ramuan jamu, pewarna dan penyamak, pa-kan ternak, dan lainnya). Lebih lan-jut, masyarakat Madura juga menge-nal pengetahuan tentang ruang dan ukuran dalam menata rumahnya, seperti lencak (balai-balai), pola kam-pong meji atau taneyan lanjang. Atau mereka juga mengenal pamengkang, pakarangan, kebbhun, talon, tegghal, dan lainnya.

e. Teknologi

Masyarakat Madura yang ber-profesi sebagai peramu, petani, ne-layan, peternak, dukun, dan pem-impin dalam masyarakat Madura kuno juga melahirkan pekerja tukang. Merekalah yang menciptakan alat produksi dan alat perlengkapan lain-nya, sesuai dengan perkembangan za-

Page 15: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011 15

Opiniman, tukang kayu, kemudian tukang batu. Tukang gerabah melahirkan pelteng, tempayan, dan cobik. Selan-jutnya, pandai besi Madura juga bisa menciptakan bhirang, cakkong, calo’, calo’ kodhi’, are’, sada’, dan lainnya.

Selain itu, masyarakat Madura dikenal bisa menganyam sendiri tikar, nyiru, karanjhang, renjhing, peltong, cobbhu’, cetteng, tenong, dan ceppo. Juga memiliki keilmuan dalam bertani di lahan basah dan di tegalan. Serta kemampuan dalam produksi pangan, seperti lorjhu’, alor, tekkay, pe-ape, dan lainnya. Dalam kaitannya dengan pangan dan gizi, masyarakat Madura memiliki keahlian dalam penguasaan ramuan jamu Madura, terutama ten-tang kesehatan, vitalitas tubuh, dll. Serta arsitektur rumah Madura, baik bentuk, susunan atap, bahan dind-ing, dan kerangkanya yang ternyata disesuaikan dengan iklim tropic pa-nas.

f. Mata Pencaharian

Pertanian dan nelayan merupa-kan dua mata pencaharian utama masyarakat Madura. Yang melandasi lahirnya etos kerja dan semangat ker-ja yang sangat luar biasa, yang kemu-dian melahirkan peribahasa abhantal omba’ asapo’ angin.

g. Peralihan Kehidupan

Ritus peralihan bagi orang Madu-ra dikenal dari sebelum lahir, lahir, kawin, system kekerabatan, dan ke-matian. Dalam proses sebelum lahir dan lahir dikenal beberapa istilah yakni, pellet kandung, azan ketika lahir, tamone, dhamar kambang, col-pak bujhel, pemberian nama, kekah, toron tana, dan khiatanan. Kawin dikenal nyalabhar (menyebarluas-kan), ngen-ngangenaghi (mengangi-nanginkan), nyareng bhakal bine’ (menyaring calon istri), noro’ patona oreng (ikut contoh perbuatan orang – nikah), narabhas jhalan (menerabas jalan), nagghuk (menepuk), nyaba’ oca’ (menempatkan kata), matoju’ tandha (mendudukkan tanda), topa’ toju’ (ketupat yang dapat diduduk-kan), calon bhakal (calon tunangan), nale’e paghar (mengikat pagar), lep-pet (lepat), panyengset (pengikat), tongkebbhan (pemasangan tutup), masekket batton (mengukuhkan ika-tan pinggir balai-balai), abhakalan (pertunangan), - epaburung (diputus) dan sobung paste (tidak merupakan suratan takdir) – obang penyeddhek (uang pendesak), nganggi’ dhalika (pengikat geladak balai-balai tempat

tidur), lencak (tempat tidur), ba-ghiba (barang bawaan), midodarenan (men-unggu kunjungan bidadari), seraman (mandi), ba-tamba kabellina buja (penambah pembeli garam), pan-gada’ (juru bicara), matoro’a dhaging sakerra’ (menitipkan daging sepo-tong), mapeggha’ bhalabhar (memu-tuskan hambatan), mowang sangkal (membuang kemalangan), kembhang campor bhabur (bunga dicampur irisan daun pandan wangi), sembha songkem (sembah kedua orang tua mempelai), kocoran ban capcabhan (mengucurkan dan meneteskan air suci), dan ditentukan are beccek (hari bagus).

Sedangkan system kekerabatan dikenal beberapa istilah, yang secara umum dikenal bhala sabharundhut (keluarga batih), bhala sapamolean (keluarga sepemulangan), bhala dhalem (keluarga dalam), bhala dhi-bi’ (keluarga sendiri), bhala semma’ (keluarga dekat), dan bhala jhau (ke-luarga jauh). Untuk kematian dikenal beberapa proses yang dikenal oleh orang Madura, yaitu sesudah mayat dimakamkan di liang lahat maka akan dikumandangkan adzan, dan iqamat, lalu dikebumikan. Setelah selesai ni-san dipasang, dibakar kemenyan, dan dibacakan talekken (talkin). Sesudah itu keluarga sibuk mengurus suguhan rasolan atau selamatan untuk men-jamu para pelayat. Selanjutnya, ada hari-hari perayaan, yakni tiga harinya (lo’ tello’), tujuh hari (to’ petto’), em-pat puluh hari (pa’ polo are), seratus hari (nyatos), dan seribu hari (ny-aebu), diadakan selamatan dengan pembacaan tahlil dan membaca Al-Quran.

C. Mahalnya Sebuah Identitas Kecin-taan Madura (Refleksi Sa’at Ini)

Dari berbagai bentuk warisan kebu-dayaan para leluhur kita (nenek moy-ang masyarakat Madura) ternyata banyak menciptakan nilai-nilai kea-rifan local ke-Madura-an yang lambat laun melahirkan sebuah peradaban. Meskipun saat ini, banyak refleksi, analisa, dan kritik dari pemerhati ke-buadayaan Madura yang merasakan semakin lama semakin hilangnya nilai-nilai peradaban Madura. Masyarakat Madura semakin tidak bangga dengan nilai-nilai kebudayaannya, mengapa ini terjadi?

Sekarang, mari kita lihat Madura padaa saat ini. Madura yang sudah memiliki Jembatan Suramadu yang diresmikan oleh Presiden Susilo Bam-bang Yudoyono diharapkan mampu

memeratakan pembangunan antara Surabaya dan Madura, yang selama ini terjadi kesenjangan yang sangat jauh antara industrialisasi di Surabaya dan di Madura.

Industrialisasi merupakan salah satu dampak nyata dari direalisasi-kannya Jembatan Suramadu, yang diharapkan mampu menyejahtera-kan masyarakat Madura mela-lui pembangunan-pembangunan yang diproyeksikannya. Sehingga seiring perkembangan jembatan Suramadu diharapkan memiliki ciri “Indone-sianis, Maduranis, dan Islamis”.

Kebanggaan dan kesenangan akibat terealisasinya jembatan Suramadu tidak dibarengi oleh kesadaran pemer-intah pusat, local maupun masyarakat Madura (tokoh masyarakat) bahwa ada sosok lain dari dibangunnya jem-batan Suramadu yang mengalami kes-engsaraan. Mereka inilah masyarakat yang berada di kaki jembatan Suram-adu, tepatnya masyarakat Labang Dusun Sekar Bunguh Desa Sukolilo Barat. Masyarakat yang telah rela tan-ahnya dibangun dan telinganya bising mendengarkan kendaraan-kendaraan yang melewati Jembatan Suramadu.

Berawal dari itulah Prodi Sosiologi FISIB Unijoyo berupaya untuk melaku-kan pemberdayaan bagi masyarakat Kaki Jembatan Suramadu melalui “Sekolah Rakyatnya”, yang diadakan tanggal 31 Oktober sampai 01 No-vember 2009. Tanggal yang memang sengaja dipilih untuk mengingatkan kita bahwa ada persoalan dan penin-dasan akan hak-hak asasi yang mun-cul seiring melecusnya G/30 S PKI, yang kemudian melahirkan hari Kes-aktian Pancasila. Sebuah upaya keadi-lan, kemakmuran, kamanusiaan, dan kebersatuan, serta kemusyawaratan yang merupakan ciri utama bangsa Indonesia dengan tidak melepaskan diri dengan makna Ketuhanan. Suatu tujuan dan makna filosofis yang san-gat mulya.

Masyarakat Sekar Bunguh berang-gapan bahwa munculnya Jembatan Suramadu yang melalui proses pan-jang dan berliku telah melahirkan upaya musyawarah antara pemerin-tah, pengelola, dan masyarakat. Na-mun, yang menjadi persoalan adalah ketika “ketidakjujuran” menimpa mereka, dalam artian bahwa ada se-buah janji tidak tertulis, menurut Pak Solihin; ketika ia bersedia menjual tanahnya untuk dibangun Jembatan Suramadu maka sebagai gantinya adalah pekerjaan bagi anaknya di area

Page 16: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 201116

Opini

Jembatan Suramadu. Sesuatu yang tidak terealisasi sampai saat ini.

Fenomena ketidakjujuran inilah yang pada akhirnya menjadikan Suramadu tidak memiliki landasan-landasan filosofis kepancasilaan, yakni tidak berkeadilan, tidak memakmur-kan, dan tidak berlandaskan kema-nusiaan, serta nilai-nilai kearifan per-adaban Madura. Sebelum Suramadu terealisasi masyarakat Sekar Bunguh yang mayoritas nelayan kalau tidak mahu disebut semuanya nelayan, berpenghasilan sekitar 200.000 ketika musim ikan dan 25.000 ketika tidak musim. Namun, saat ini nelayan Sekar Bunguh hanya mendapatkan 10.000 dari tangkapan ikannya. Hal ini dis-ebabkan dari sempitnya lahan tangka-pan mereka karena diberlakukannya aturan tidak boleh menangkap di seki-tar Jembatan Suramadu, dangkalnya

Pemberdayaan masyarakat melalui keterampilan merupakan salah satu upaya yang sangat signifikan ketika la-han pekerjaan mereka, yakni nelayan dan pertanian, pada akhirnya akan semakin mengecil, seiring banyaknya lahan-lahan baru yang dibutuhkan untuk industrialisasi. Keterampilan dengan mengedepankan potensi daerahnya merupakan upaya yang harus segera dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat Madura untuk menyejahterakan masyarakat Ma-dura dengan adanya industrialisasi, bukannya malah menjadi penonton bagi penikmat Suramadu yang be-rasal dari luar Madura. Inilah potret kecil dari terserabutnya nilai-nilai kea-rifan peradaban Madura yang salah satunya disebabkan oleh dampak in-dustrialisasi, yang pada akhirnya akan melahirkan individualistic, material-

rencana bangunan yang sedang di-garap. Secara ekonomi mungkin ada dampak, tapi yang menjadi pertan-yaan adalah bagi siapa? Masyarakat Madura mayoritas adalah petani dan nelayan, yang tidak akan mampu un-tuk membangun itu semua dan tidak akan bisa untuk menjadi bagian dari industrialisasi ketika belum ada pelati-han bagi mereka.

Hal lain, adalah identitas ke-Madu-ra-an yang hilang di Jembatan Suram-adu. Sebuah simbol yang seharusnya dipikirkan sejak awal bahwa ketika orang luar sudah masuk ke wilayah Madura, mereka sudah tersadarkan bahwa mereka sudah ada di wilayah Madura, bukannya hanya foto-foto pemimpin kita (bupati) dari em-pat kabupaten. Kesan budaya, etos kerja, agama, dan lain-lainnya yang seharusnya dijadikan simbol utama masuknya orang luar ke Madura, se-hingga masyarakat paham bahwa mereka sudah ada di Madura dan semakin tertarik untuk mengetahui lebih lanjut tentang Madura. Seperti ketika kita ke Bali, Jawa Tengah, Yog-yakarta, dan lainnya.

Lebih lanjut, wilayah-wilayah wisata yang belum tergarap, menjadi bukti utama bahwa Suramadu telah menjadi ajang perebutan kekuatan ekonomi, sosial, budaya, agama, dll, di setiap unsur kepentingan di setiap kabupaten, tanpa memikirkan kema-juan Madura secara sinergis antarka-bupaten. Hal inilah yang menjadi titik kelemahan utama dari kita. Karena bagaimanapun ketika kita masih bisa menjaga nilai-nilai kearifan lokal per-adaban Madura, maka secara umum tidak akan mengakibatkan lunturnya nilai-nilai tersebut. Industrialisasi dan wisata, yang bagi sebagian orang di-anggap sebagai titik pelemah berge-sernya nilai-nilai peradaban, secara sosiologis merupakan sesuatu yang tidak terbantahkan. Namun, ada prosesi yang kita lalui supaya esensi nilai-nilai kearifan itu tetap terjaga meskipun mengalami berbagai ben-tuk pergeseran, yakni sosialiasi, akul-turasi, dan asimilasi kebudayaan.

Belum adanya buku panduan yang dimiliki oleh masing-masing kabu-paten di Madura (lebih baik kalau jadi satu seluruh kabupaten di Madura) untuk orang luar yang belum punya pemandu atau kenalan maupun kera-bat orang Madura. Seperti, kuliner, batik, wisata pantai, wisata religi, wisata budaya, kerapan sapi, dll. Se-hingga ketika orang luar ke Madura sudah memiliki jadwal, dan peta yang

Jembatan Suramadu sudah terealisasi se-hingga alangkah bijaknya jika kita semua, Ulama, pemerintah, pengelola, akademisi,

dan masyarakat bersama-sama melakukan evaluasi dini dampak-dampak negative

dari Suramadu. air laut, dan terjadinya pengikisan sisi pantai secara cepat. Dan yang pasti adalah banyaknya ikan dan terumbu karang yang rusak akibat bom pra pembangunan Jembatan Suramadu.

Minimnya penghasilan para ne-layan inilah yang pada akhirnya akan menimbulkan dampak social ekonomi bagi industrialisasi di Madura, yang sejak awal sudah ditakuti oleh para Ulama, pemerintah, dan masyarakat. Yakni kesiapan dan perbaikan taraf perekonomian masyarakat Madura dengan adanya Jembatan Suramadu bukan malah melahirkan kemiskinan-kemiskinan baru dan penjajahan-penjajahan baru bagi masyarakat Madura.

Jembatan Suramadu sudah tereal-isasi sehingga alangkah bijaknya jika kita semua, Ulama, pemerintah, pen-gelola, akademisi, dan masyarakat bersama-sama melakukan evalu-asi dini dampak-dampak negative dari Suramadu. Sehingga segala persiapan bagi dampak-dampak negative terse-but bisa segera terselesaikan bu-kannya malah didiamkan yang pada akhirnya akan menjadi bom waktu akan terjadinya revolusi penentangan masyarakat terhadap industrialisasi.

istic, semangat kapitalisme yang se-makin merajalela yang pada akhirnya akan menyebabkan masyarakat Ma-dura sebagai orang yang mengalami ‘pemiskinan psikologis dan kefakiran sistemik’ sebagaimana yang diungka-pkan oleh “Jean Baudrillard”, dengan berpola masyarakat konsumerisme hasil produk industry. Sesuatu yang belum dipikirkan secara jernih oleh kita bersama, karena masyarakat kita bukanlah produses industry.

Lebih lanjut, dari sisi yang lain jembatan Suramadu seringkali diang-gap kesuksesan yang tanpa makna, dalam artian biaya mahal yang telah dihabiskan hanya menjadi sebuah ke-banggaan simbolik sebagai jembatan terpanjang, baik di Indonesia, Asia Tenggara, dll. Padahal harusnya kita tidak hanya terpaku terhadap sisi sim-boliknya namun sisi kesuksesan se-cara ekonomi, sosial, budaya, agama, politik, dll.

BPWS (diskusi terbatas di Kompas jawa Timur) pernah mengungkap-kan bahwa hal nyata dari kesuksesan Jembatan Suramadu adalah kuantitas kendaraan yang hilir mudik dari Sura-baya ke Madura, kemudian jumlah rumah makan, hotel, dan berbagai

Page 17: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011 17

Opini

jelas mahu ke mana dan apa yang mereka ingin lihat. Contoh yang pal-ing sederhana, kalau saya mahu non-ton kerapan sapi di Madura kapan ya? Ciri khas rumah Madura seperti apa ya?, kalau mahu nonton tarian-tarian Madura di mana ya? dll.

Ini yang seharusnya dijadikan PR bagi kita semua orang Madura untuk memikirkan kemajuan Madura secara kualitas bukan hanya secara kuanti-tas. Karena bagaimanapun ketika kita berembuk dan berfikir bersama pasti kemajuan itu hanya akan menunggu waktu. Sekarang tugas kita semua unsur berkumpul, petani, nelayan, bi-rokrat, akademisi, BPWS, LSM, warta-wan, agamawan, politisi, budayawan, pemuda, dan semua unsur untuk ber-bagi ide kemajuan Madura sesudah dua tahun adanya Jembatan Suram-adu, yang kemudian melahirkan konsep nyata dengan penanggung jawabnya, entah siapa yang harus memulainya, bupati mana, kampus mana, atau media mana, atau individu siapa, kita berdo’a aja semoga ada yang memulainya. Dengan atau tanpa memikirkan kemajuan individu (peng-kayaan diri) semua untuk masyarakat Madura, kemajuan di segala bidang.

Selain itu, kurang sadarnya orang untuk mengabadikan nilai-nilai kea-rifan lokal budaya Madura bagi para ilmuwan kita dengan melakukan pe-nelitian, penulisan buku, dan pem-bentukan lembaga, pada akhirnya akan menciptakan pemahaman ke-Madura-an yang berorientasi kepada buku-buku lampau yang dtulis oleh para ilmuwan Belanda, Perancis, dll. Kemudian pergeseran ini memuncul-kan ilmuwan-ilmuwan Madura yang ada di luar Madura untuk melaku-kannya, yang menjadi pertanyaan bagaimana ilmuwan-ilmuwan Madura (kita) yang ada di Madura kenapa san-gat sedikit yang melakukannya, teru-tama akdemisi-akademisi?.

Lebih lanjut, berbagai Keberlang-sungan keunikan nilai-nilai kearifan budaya Madura tampak tidak sejalan dengan kuatitas komunalnya yang menyebar ke berbagai daerah di In-donesia, yakni 9,7 Juta Jiwa (7,5%), menempati peringkat kuantitas et-nik terbesar setelah Jawa (45%) dan Sunda (14%) (Kompas, 24 Sept. 2005). Walaupun kedua konsepsi itu tam-pak tidak sejalan tetapi realitasnya mencerminkan kondisi tersebut.

Hingga saat ini komunalitas etnik Madura di berbagai daerah, baik di Madura maupun di daerah peran-

tauan (migran) masih tetap harus “berjuang” untuk mempertahankan survivalitasnya dalam menghadapi arus industrialisasi dan modernisasi yang semakin cepat. Keberadaan mereka seolah-olah kian menyusut karena mereka ternyata mulai eng-gan atau malu mengakui komunitas asalnya saat status sosial ekonominya meningkat, maupun ketika intelektu-alitasnya semakin berkembang (ma-hasiswa). Keengganan untuk men-gakui identitas asal mereka dapat dimengerti karena selama ini citra tentang orang Madura selalu jelek (stereotipenya) sedangkan komuni-tasnya cenderung termarginalkan se-hingga menimbulkan “image trauma atau enggan mengakui identitas Ma-duranya.”

Identitas diri mereka makin tidak dapat dikenali karena adanya kecend-erungan escapistic dalam berinter-aksi sosial di berbagai daerah. Dalam artian, mereka “mengebiri identi-tasnya” yang merupakan ciri khas, keunikan, dan karakteristik etnisitas sesungguhnya yang justru masih me-lekat erat pada dirinya. Termasuk di dalamnya juga menyembunyi-kan penggunaan berbahasa Madura antarsesama etnik maupun antar-sesama masyarakat Madura. Padahal di dalam ketatabahasaan Madura terdapat strata kebahasaan. Sehingga ketika menggunakan bahasa Madura secara otomatis etika interaksi so-sialnya akan terbentuk. Kondisi sosiol-ogis seperti inilah yang sangat jarang ditemui pada komunitas etnisitas lain, karena penggunaan bahasa lokal et-niknya justru memunculkan kebang-gaan tersendiri bagi dirinya, seperti Jawa maupun Sunda.

Ungkapan etnografi, misalnya tare-tan dhibi’ (saudara sendiri) dalam ketata-bahasaan Madura saat berko-munikasi dengan sesama etnik ka-dang cenderung mempererat persau-daraan. Penggunaan konsep budaya taretan dhibi’ justru sering ditirukan oleh individu etnik lainnya sebagai bentuk ungkapan tentang bertemu-nya dua orang Madura atau lebih dalam satu lokasi.

Keunikan budaya Madura pada dasarnya banyak dibentuk dan dipen-garuhi oleh kondisi geografis dan topo-grafi hidraulis serta lahan pertanian tadah hujan yang cenderung tandus dan berpola tegalan, sehingga surviv-alitas kehidupan mereka lebih ban-yak melaut dan bertani sebagai mata perncarian utamanya. Mereka pun dibentuk oleh kehidupan bahari dan

pertanian tradisional (atau tidak dis-ebut sangat kurang mencukupi pere-konomian keluarganya) yang penuh tantangan dan resiko sehingga memu-nculkan keberanian jiwa dan fisik yang tinggi, berjiwa keras dan ulet, penuh percaya diri, defensif dalam berbagai situasi bahaya dan genting, bersikap terbuka, lugas dalam bertutur, serta menjunjung martabat dan harga diri. Watak dasar bentukan iklim bahari dan pertanian tegalan itulah yang ka-dang kala diekspresikan secara berle-bihan sehingga memunculkan konflik dan tindak kekerasan fisik (carok). Oleh karena itu, stereotype perilaku kekerasan “dikukuhkan dan dilekat-kan” sebagai keunikan budaya pada tiap individu kelompok atau komuni-tas etnik Madura.

Kearifan budaya Madura yang juga menjadi keunikan etnografisn-ya tampak pada perilaku dalam me-melihara jalinan persaudaraan sejati (taretan dhibi’). Hal itu tergambar dari ungkapan budaya oreng dhad-dhi taretan, taretan dhaddhi oreng, (orang lain bisa menjadi saudara, se-dangkan saudara sendiri bisa menja-di orang lain). Keunikan yang muncul dari ungkapan kultural (pseudo-kin-ship) itu diwujudkan dalam bentuk perilaku aktual. (Wiyata, 2005: 4; Astro, 2006: 2).

Berbagai bentuk streotipe yang diidentikkan ke dalam masyarakat Madura itulah sebagai salah factor penyebab keengganan masyarakat mengidentifikasi dirinya sebagai ko-munal Madura. Kurang adanya pem-biasaan atau kebanggaan diri dalam berinteraksi menggunakan bahasa Madura juga factor penentu akan ma-halnya identitas Madura.

Mereka (orang tua) lebih bangga ketika anak-anaknya mampu meng-gunakan bahasa Indonesia dalam berinteraksi social. Factor dominant lainnya adalah kurang sadarnya para pengambil kebijakan (Diknas, dan lembaga lainnya) untuk menjadikan mata pelajaran bahasa Madura se-bagai sebuah identitas kebanggaan bagi setiap sekolah. Dalam artian bahwa bahasa Madura tidak lagi dianggap sebagai pelengkap kuri-kulum namun sebagai mata pela-jaran pokok (sebagaimana bahasa Indonesia dan bahasa Inggris) bagi sekolah-sekolah di Madura untuk tingkat dasar sampai tingkas atas, atau bahkan perlunya dibuka sastra Madura di perguruan tinggi sebagai bentuk upaya survivalitas identitas Madura. (*)

Page 18: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 201118

Opini

Setelah jembaan Suramadu berdiri kokoh, apa yang ada di benak kita? Kemajuan berada di depan mata. Dengan beton penyambung Kamal dan Perak, arus barang dan orang akan jauh lebih deras mengalir dari kota ke seluruh pelosok Pulau Garam. Belum lagi, jauh sebelumnya, seorang taipan pernah mengumbar janji akan membangun pabrik semen setelah jembatan dibangun, meskipun hingga kini wujud pabrik itu masih berupa tanah yang hanya dipatok papan tanda akan dibangun pabrik semen. Sembari menunggu industri berkem-bang, kita mungkin perlu memikirkan apakah tanah Madura ini akan men-yandang predikat kosmopolit pada masa depan?

Pastinya, denyut negeri ini ter-us bergerak. Orang-orang luar se-makin mudah untuk mengunjungi Madura, meskipun hanya berhenti di perbatasan jalan masuk, sekadar menikmati jembatan terpanjang di Indonesia. Kehadiran mereka tentu menguntung penjual kelontong di sepanjang jalan di bibir jembatan. Para penjual itu tidak hanya menang-guk untung, tetapi pada waktku yang sama menjadi orang terdepan dalam mengenalkan barang khas lokal, sep-erti batik dan cenderamata. Pada waktu yang sama, mereka bertang-gungjawab untuk menjadi warga yang mencerminkan nilai-nilai kema-duraan.

Lalu, apa kaitannya dengan kos-

mopolitan? Dengan merujuk pada pengertian kosmopolitan sebagai keadaan masyarakat yang menyepa-kati adanya komunitas moral tunggal, maka tantangan ke depan terbentang di depan mata. Moralitas di sini men-gacu pada gagasan tentang nilai-nilai universal bersama yang disepakati. Betapa pun warga terbelah dengan perbedaan pilihan organisasi keaga-maan, partai politik dan bahkan cita rasa kebudayaan, namun kita me-warisi nilai-nilai kemaduraan yang di-sangga oleh ide besar tentang bapa, guru dan rato. Tiga soko guru ini ada-lah cermin dari keadaan masyarakat. Ketiganya juga mempunyai tang-gung jawab yang sangat besar untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih baik.

Orang tua, misalnya, adalah sosok yang menjadi panutan. Kemajuan negeri ini bisa dilihat dari apa yang di-lakukan oleh mereka dalam mewaris-kan tabiat dan pengetahuan pada anak-anaknya. Prilaku anak jelas-jelas menggambarkan apa yang telah di-tunjukkan oleh bapak dan ibunya. Dengan mengacu pada telaah psiko-analisis, bahwa prilaku masa dewasa adalah pengulangan kebiasaan masa kecil, maka peran orang tua begitu besar dalam menciptakan suasana si kecil agar anak-anak itu menemukan dunianya dengan riang. Sayangnya, tidak jarang kita pun acapkali meli-hat orang tua yang melampiaskan kejengkelan pada anaknya dengan kekerasan, baik lisan maupun tangan.

Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara Malay-

sia, Asal Kec. Ganding Sumenep

AHMAD SAHIDAH

Madura Kosmopolitan, Mungkinkah?

Kemajuan negeri ini bisa

dilihat dari apa yang dilakukan

oleh mereka dalam mewaris-

kan tabiat dan pengetahuan

pada anak-anaknya.

Page 19: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011 19

Opini

Tak perlu penelitian mendalam, Anda bisa melihat dari dekat betapa kondisi kejiwaan anak adalah kepanjangan dari tingkah orang tuanya.

Nah, mengingat perkembangan anak juga ditentukan oleh guru, maka kehadiran orang yang layak digugu dan ditiru ini adalah penyeimbang dari kemungkinan kekerasan simbolik dan fisik di rumah. Oleh karena itu, betapa mulianya tugas guru untuk memberikan jalan bagi anak murid dalam meneroka dunia. Tentu saja cara pengajaran dan pembelajaran perlu diperbaharui, agar para murid mempunyai bekal dan keterampilan dalam menyonsong masa depannya. Misalnya, teori Gal’perin yang mengu-las isu dan asal-usul otak dan peruba-han kognitif. Seraya mengembangkan gagasan Vygotsky tentang perkem-bangan manusia, Gal’perin menegas-kan bahwa proses mental seharusnya dipahami sebagai tindakan material yang mengalami transformasi dan pendarahdagingan (internalisasi) yang melibatkan alat-alat kebudayaan. Coba lihat pengajaran bahasa Ingg-eris kita, apakah telah menggunakan kebudayaan lokal untuk memahami dan menguasai bahasa Anglo-saxon ini? Dengan kata lain, pengajaran ilmu pengetahuan apa pun sejatinya tidak menjarakkan peserta didik dengan lingkungannya.

Guru di sini juga berarti dosen yang mengampu pelajaran di perguruan tinggi. Mereka tidak hanya meneri-akkan kebajikan dari menara gading, tetapi juga bertungkus-lumus dengan orang ramai untuk menciptakan ruang bagi setiap individu bersuara atas ket-impangan yang menimpa masyarakat kebanyakan. Tentu saja, saluran yang bisa dimanfaatkan adalah organisasi keagamaan dan lembaga swadaya lokal. Selain menjadikan kumpulan ini sebagai wadah silaturahim agar warga tak semakin terasing dengan kehidupan yang disandera oleh kema-juan teknologi, mereka menjadi pen-gawal masyarakat madani, di mana masyarakat harus memiliki alat beru-pa organisasi yang tidak terikat den-gan kepentingan politik praktis dan pada waktu yang sama menjaga jarak dari pemerintah yang berkuasa.

Mungkin yang paling utama dari peran yang dipanggul oleh guru ada-lah tugas yang diemban oleh para kyai. Mereka tidak saja mendapatkan legitimasi moral, tetapi juga spiritual. Tidak ada satu pun lembaga atau in-dividu di tanah ini menyangkal peran

utama dari kyai. Di tangan mereka, nilai-nilai dan etika tidak saja disam-paikan secara lisan, tetapi juga melalui tindakan. Teladan yang diperlihatkan mereka akan dengan mudah menga-lir pada orang ramai. Misalnya, keg-igihan Gus Muhammad Mushthafa, Kepala SMA 3 Annuqayah, memelop-ori kepedulian pada sampah dengan mengelola barang buangan dengan kreatif melalui kegiatan-kegiatan daur-ulang, baik sebagai kompos maupun barang bernilai-jual adalah keberhasilan kyai mudah menerje-mahkan gagasan besar agama dalam ranah setempat. Di sini, agama tidak saja berbicara tentang pesan Nabi mengenai kaitan erat antara iman dan kebersihan, tetapi mewujudkan pesan itu menjadi tindakan yang mencipta-kan kemaslahatan bersama.

Tentu saja, rato atau pemerin-tah mempunyai amanah yang harus ditunaikan. Termasuk di dalamnya para wakil kita yang telah mengum-bar janji menjelang pemilihan umum. Mewujudkan kosmopolitanisme, yang kadang dirancukan dengan penampa-kan fisik, seperti bangunan menjulang tinggi dan mewah, atau kecantikan yang dipermak dengan begitu banyak alat solekan sebagaimana tercermin dari majalah Cosmopolitan, berada di pundak wakil rakyat dan pegawai neg-eri sipil. Di tangah mereka, kebijakan publik dan pelaksanaan dari program yang diterakan dalam Anggaran Pen-dapatan dan Belanja Daerah harus sepenuhnya untuk warga.

Bagaimanapun, kearifan lokal yang menempatkan bapa, guru dan rato, sebagai penyangga kehidupan masyarakat adalah modal sosial yang perlu dirawat. Namun, pada waktu

yang sama kita harus menempatkan peran mereka dalam napas baru. Sosok orang tua, ustaz dan aparatur pemerintah, termasuk anggota de-wan, masih mempunyai peran yang sesuai untuk zaman baru dengan cara menerjemahkan gagasan tentang moralitas tunggal, terkait dengan ke-majuan, tanpa harus meninggalkan kebudayaan lokal. Yang terakhir tentu saja relatif berhasil dipertahankan se-cara fisik, namun penanaman pesan moral dari kebudayaan itu tidak ber-henti pada pemanggungan persem-bahan, tetapi nyata dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Dengan keyakinan di atas, sejat-inya kita telah menyambut gagasan mengenai Pembejaran untuk Kehidu-pan di Abad ke-21 (Gordon Wells dan Guy Claxton, ed.), yang menempat-kan keadaan sosial dan kebudayaan lokal sebagai alat untuk penanaman nilai-nilai kebajikan dan kemajuan dalam pendidikan. Karya kumpulan ini merupakan pengembangan dari gagasan besar dari Lev Vigotsky ten-tang Teori Aktivitas Historis Kultural. Seni Hadrah, misalnya, adalah bukan sekadar klangenan segelintir orang, tetapi mendidik pelaku seni ini ten-tang bagaimana menjadikan hiburan itu bukan semata-mata merupakan pemanjaan pada hasrat berhibur, tetapi juga penyemaian rasa keinda-han agama, kebersamaan, dan tentu saja pengenalan terhadap Nabi Mu-hammad sebagai teladan yang bisa didekati dengan seluruh kehadiran diri, jiwa dan raga, tidak berjarak. Ketika pengetahuan, kesenian dan keagamaan menyatu dalam gerak dan langkah seluruh unsur masyarakat, impian tentang negeri kosmopolitan adalah bukan khayalan. (*)

SUAKA BUDAYA : Seniman melestarikan kesenian dengan mengajak anak-anakn-ya turut serta dalam salah satu reportoar

Page 20: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 201120

Fokus Lensa

IKHTIAR KULTURAL : Gemuruh berkesenian terdengar riuhnya dalam ritu-alitas tahunan. Pada religiusitas harian di Madura, kesenian tidak guyub. Konstruk ini bisa menyebabkan redupnya berkesenian secara umum ka-rena kesenian tidak hidup di rumah-warga warga. Melainkan, ia musiman, temporal, dan insidental. Pada generasi yang berubah, suatu ketika, cepat atau lambat, yang periodik-tahunan dan temporal ini semakin menipis sam-pai akhirnya habis. Etnisitas yang berfungsi sebagai identitas pada akh-irnya akan lenyap, seperti habitat di suatu tempat liar tanpa pengembala.

Page 21: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011 21

KERAPAN SAPI PIALA PRESIDEN 2011

Bagi masyarakat madura, sapi bukanlah sekedar hewan piar-aan untuk membajak tanah atau untuk memenuhi kebutuhan

ekonomis belaka. Di pulau Mpu Kelleng ini sapi menjadi bagian dari hidup yang mungkin bahkan nyaris lebih penting dari pada membaca koran bagi orang Jakarta. Sapi menjadi bagian dari gaya hidup yang dianggap dapat dijadikan ukuran tingkat strata sosial sang pemiliknya.

Maka tidak heran bila di Madura dijumpai berbagai event yang berkaitan dengan sapi. Seperti digelar Bakorwil Pamekasan ber-sama Madura Channel baru-baru ini. Dalam event bertajuk kera-pan sapi piala presiden 2011 ini, berpasang-pasang sapi dibawa ke stadion soenarto hadi widjojo pamekasan untuk dikerap. Tak ayal, ribuan masyarakat madur dari empat kabupaten di dalamn-ya menyesaki stadion. Bagi masyarakat Madura kerapan sapi pi-ala presiden ini tak ubahnya ajang Formola 1 bagi para pengge-mar otomotif.

Penonton tak hanya menyemut di dalam arena. Mereka yang tak kebagian tiket bahkan rela memanjat pohon di luar pagar sta-dion demi menyaksikan sapi-sapi pilihan ini dipacu menyusuri lintasan dengan cepat.

Menyiapkan seekor sapi untuk mengikuti kerapan tidaklah mu-dah dan murah. Jauh-Jauh hari sebelum hari pelaksanaan kera-pan, para pemilik sapi sudah melakukan terapi-terapi khusus agar sapinya bisa menang. Sejak dari latihan rutin hingga diberi jamu berupa telur ayam yang jumlahnya bisa mencapai tiga sam-pai empat puluh butir setiap hari. Layaknya manusia, tak jarang sapi tersebut juga diberi minuman bersoda dengan harapan tenaganya bisa berlipat ganda dan mampu berlari di lintasan dengan cepat dan meyakinkan.

Hadiah, bagi para pemilik sapi kerapan bukanlah tujuan utama. Sebab hadiah tersebut bisa dipastikan tidak akan lebih besar nilainya dari biaya perawatan sapi-sapi mereka. Prestise sebagai pemilik sapi tercepat dan terindah sudah lebih dari cukup.

Satu-satunya Keuntungan ekonomis yang bisa diperoleh oleh para pemilik sapi yang menang di lintasan pacu itu adalah harga jual sapinya yang makin mahal. Dan uniknya, dalam setiap per-lombaan kerapan sapi, Selalu ada dua pemenang. Yakni Peme-nang dari Golongan Menang dan Pemenang dari golongan kalah. Kedengarannya, mungkin agak aneh, mana ada peserta yang sudah dinyatakan kalah, tapi masih juga bisa jadi pemenang? Ya bisa, dan itu ada di Madura. :-) (obeth)

Page 22: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 201122

Suasana Gelaran “Semalam di Madura”

Taman Tugu Arek Lancor Pamekasan22 Oktober 2011

Page 23: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011 23Foto-foto: Saiful Bahri/SM

Page 24: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 201124

Fokus Lensa

Page 25: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011 25

Sape Sono’Selain kerapan sapi, madura juga pu-nya budaya yang tak kalah menarik. Budaya itu biasa disebut dengan Sape Sono’.

Bedanya, jika kerapan sapi diadu kekua-tan dan keperkasaannya dalam berlari, maka sape sono’ diadu kecantikan dan keanggunannya. Sapi tidak pacu dan di tunggangi. Ia Malah diiring dengan musik dan tari-tarian saronen--sebuah musik khas yang memang biasa digu-nakan untuk mengiring sape sono’.

Sapi-Sapi ini dirawat agar bulunya ba-gus, badannya sintal dan bisa berjalan serempak bersama pasangannya seper-ti pasukan yang sedang baris berbaris.

Orang-orang di luar Madura biasa me-nyebut kontes ini tak ubahnya Fashion show. Hanya saja, aktornya adalah sepa-sang sapi. Dan.. semua sapi yang ikut berlaga dalam kontes ini harus berjenis kelamin perempuan.

Dikatakan Sapi Sono’ karena dalam kontes ini, sapi dilepas digaris finis, diir-ing berjalan di lintasan, dan kemudian harus finis dengan masuk (nyono’) di bawah sebuah gapura.

Di garis finis ini, sapi-sapi dituntut bisa mengangkat kakinya secara bersamaan dan meletakkannya di sebuah kayu melintang. Kayu tersebut sebelumnya dibuat lebih tinggi dari lintasan.

Yang paling anggun dan serempak ber-jalan, serta paling cepat meletakkan kakinya di papan melintang di bawah gapura, dialah sang pemenang. Pemi-liknya berhak menerima hadiah dan secara ekonomis sapinya akan otomatis makin tinggi nilainya. (obeth)Foto-foto: Saiful Bahari/ SM

Page 26: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 201126

MADURA ITU GUE BANGETLUKITA PURNAMASARI

Tidak semua generasi muda terperangkap ke dalam budaya pop, instan, dan hedonis. Sebab, sebagian generasi muda masih menaruh perhatian besar terhadap budaya bangsanya, daerahn-ya, dan aspek lainnya yang menyiratkan etnisitas. Diantara yang

peduli itu antara lain Lukia Purnamasari.

Moyang Sumenep yang kini kuliah di Unibraw Malang ini mengaku masih sangat peduli terhadap daerahnya. Ini antara

lain dibuktikan dengan promosi Sumenep sebagai daerah yang serba etnik dan unik. Bahkan, Luki (nama akrabnya) tidak malu

mengkampanyekan Madura dari sisi bahasa di tengah teman-temannya yang tidak mengerti bahasa Madura. Tujuannya, agar

teman-temannya tertarik dan belajar bahasa Madura. “Bahasa Madura kan

bahasa ibuku,” terangnya bangga.

Memang, katanya, ada sebagian mahasiswa asal Madura yang kurang

pede menjadi Madura di luar Madura. Misalnya, Luki menyebut contoh ma-hasiswa Madura yang justru menyem-bunyikan identitasnya sebagai warga

Madura. Padahal, warga luar mengenali dialek Madura. Karena itu, menjadi tidak ada gunanya menutupi kema-duraan di hadapan orang luar yang

justru lebih senang bila warga Madura tidak menutupi jati dirinya sebagai

Madura. “Aku sih seneng saja, apalagi warga Madura banyak menjadi orang

yang T.O.P.B.G.T,” katanya.

Alumni SMAN 1 ini ingin suatu ketika kesenian Madura seperti daerah yang

lain khususnya Bali, Aceh, Sunda, Jawa, dan Batak. Alasannya, etnisitas di daerah tersebut tadi kesenian bisa

mencirikan wilayah yang khas. Ia bisa bersatu di dalam daerahnya dan di luar daerah para perantaunya bersatu dalam

budaya. Sehingga, popularitas dan intensitas berkebudayaan seakan lebih bergaung melebihi Madura. Dia men-gaku tidak ingin Madura seolah hanya dikenal karena (dugaan) keluguan dan

kelucuannya. Sebab, masih banyak hal lain yang lebih bermakna yang

seharusnya lebih dikenal di luar Ma-dura. “Banyak kan ragam kebudayaan

kita yang inovatif dan lebih mendidik,” ujarnya. (dav)

Page 27: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011 27

BUDAYA KITA BRILIAN

EDWINA FIQHE ANANDITA

“Budaya kita ternyata tak kalah hebat dengan budaya-budaya luar. Kita punya cita rasa yang tinggi” ujar gadis manis yang lahir 18 tahun lalu ini. Menurutnya keaneka ragaman kesenian dan cara berbicara orang Madura sangat mencerminkan tata budaya madura di masa lalu yang begitu brilian.

“Bayangkan, dari sisi bahasa saja, madura punya beberapa strata. Sejak dari bahasa biasa hingga kromo ing-gil”. Jika tidak karena punya cita rasa dan kebudayaan yang sudah sangat mapan, hal itu tidak mungkin terjadi.

“Kalo mau tahu buktinya begini.. Ang-gaplah kita tarzan yang masih baru bisa berkomonikasi dengan lisan... tidak mungkin kan membuat strata bahasa yang begitu rumit seperti di madura”. Jadi menurut lajang yang biasa di sapa FIQHE ini, bahasa madura bisa seperti sekarang setelah melalui proses yang panjang. Tidak bim salabim turun dari langit begitu saja.

FIQHE mengaku baru benar-benar sadar bahwa kebudayaan madura begitu brilian setelah ia banyak meliat berbagai macam kesenian dan budaya masyarakat luar. Sejak dari budya jawa, Sunda, Sumatra, Kalim-antan dan Bali. Menurutnya, Madura bahkan memiliki nilai lebih dibanding budaya daerah-daerah tersebut. (dav)

Page 28: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 201128

Politika

Masa jabatan bupati – wakil bupati Pamekasan memang masih akan be-rakhir Maret 2013 mendatang. Tetapi hiruk pikuknya sudah mulai terasa. Balon (bakal calon) pun bergemuruh. Sejumlah nama bertaburan mulai dari in cumbent, anggota parlemen, pejabat, dan mantan anggota dewan.

Ketika SULUH bertandang ke Ger-bang salam untuk sebuah acara, gesekan nama-nama pun beragam. In cumbent bupati Kholilurrahman dapat dipastikan maju lagi untuk menjadi calon bupati. Bersama siapa dia akan berpasangan, bahkan Kho-lil pun belum bisa memastikan. Tatpi ketika disinggung apakah akan maju lagi, politisi itu hanay berkata pen-dek. “Tidak menutup kemungkinan,” dia berkelit.

Sosok lain yang diprediksi akan ber-tarung di pilkada Pamekasan tak lain mantan bupati 2003 – 2009, Achmad Syafii Yasin. Saat ini, mantan ketua DPRD Pamekasan itu menjadi ang-gota DPR RI. Tetapi seperti halnya Kholil, politisi Demokrat itu pun tidak bisa memastikan sejak dini meng-ingat pilkada Sampang masih akan berlangsung 2013. Tetapi seandain-ya ada yang mencalonkan dan siap memenangkannya, Syafii pun hanya

tersenyum. “Lanjutkan,” dia bercanda merujuk ikon partai yang digelutinya saat ini setelah sebelumnya berkhid-mat di PPP.

Nama yang berbeda juga muncul, RPA Mujahid Anshori. Dai kondang yang juga poltisi PPP ini mengacu bahasa Arab, ma fi musykilah (tidak ada yang tidak mungkin). Mujahid tidak pernah putus asa untuk berusa-ha menjadi apapun yang lebih baik. Sebelumnya, mantan anggota DPRD Jatim ini mengaku telah berikhtiar untuk menjadi calon bupati Sume-nep tetapi akhirnya kandas. Pernah juga mencalonkan diri sebagai ketua DPW PPP, juga kandas. Mujahid tidak tahu apakah akan kandas juga bila dia maju sebagai calon bupati Pame-kasan. “Lihat saja nanti he he,” katan-ya bersenda gurau.

Di sisi lain ada sejumlah nama seperti Badrut Tamam. Berkali-kali dikonfir-masi, Badrut mengaku tidak ingin ikut dalam hingar bingar pilkada. Tetapi dia tidak habis pikir masih ada seba-gian pihak yang menelusuri jejaknya saat bertemu dengan masyarakat di bawah. Seolah-olah, kehadirannya di tengah masyarakat sebagai salah satu sosialisasi atas dirinya sebagai balon bupati Pamekasan mendatang.

Pria yang juga wakil ketua DPW An-shor Jatim ini merasa perkembangan isu politik melebihi pergerakan ca-haya. “Cepat banget, saya dituding mau nyalon bupati, padahal...,” ka-tanya tidak meneruskan kalimatnya.

Sejumlah nama lainnya yang ramai dibicarakan antara lain Totok Har-tono (pejabat), Muhdlar Abdullah, M Suli Faris (PBB), Boy Suhari Sadjidin (Golkar), Agus Sujarwadi (Gerindra), Abd Syukur (PDI Perjuangan), Khairul Kalam (Demokrat), Haji Kamil, Ibra-him Sugesty (pengusaha) dan Supri-yadi (calon wabup pada tahun 2009). Mendekati pilkada, nama-nama di-pastikan akan semakin banyak pada puncaknya dan kian susut bila tiba saatnya.

Itulah keyakinan M Syariful Iman Dion. Lelaki yang aktif di LSM dan enterpreuner ini meyakini maksimal calon bupati hanya akan mengerucut ke tiga nama pasang calon. Siapa saja mereka, Dion tidak bisa memberikan kepastian. Tiga calon ini dia asumsi-kan dari dalam, luar (kekuasaan), dan aletrnatif. “Memang bursa nama bisa banyak, tetapi sesungguhnya hanya ada tiga pasang ideal,” tuturnya tetap menolak berkomentar lebih panjang. (abe)

Jelang Pilkada di Gerbang SalamSEJUMLAH NAMA MULAI MERAJAH

Page 29: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011 29

SUMENEP KAYA ENERGIMIGAS

Kabupaten Sumenep Merupakan salah satu daerah penghasil MIGAS terbesar di Indonesia, hal itu dikarenakan potensi migas di kab. Sumenep cukup besar. Hal ini dibuktikan dengan adanya 2 KKKS besar yang sudah beroperasi di kab. Sumenep yaitu KEI (Kangean Energy Indonesia) dan San-tos. KEI melakukan Operasi di Pulau Pagerungan Besar Kec. Sapeken dan Santos di Perairan pulau Giligenting kec. Giligenting. Selain 2 KKKS tersebut masih ada nama-nama KKKS yang sudah mulai melakukan Seismik 2D dan 3D diantaranya Husky Oil, EML, Petrojava, dan masih ada yang lain.

PERTAMBANGAN

Potensi Tambang yang ada di Kab. Sumenep antara lain : Fosfat, Sirtu, Batu Putih, Tanah Urug, dll. Namun pada perkembangannya Pertambangan di Kabupaten Sumenep banyak yang liar (PETI) Penambang Tanpa Izin, hal ini sangat mengancam ekosistem kesinambungan dan keseimbangan alam, oleh karenanya PETI harus diarahkan dan dibina agar tidak mengancan ekosistem lingkun-gan. Selain itu Sektor Pertambangan perlu membuat Wilayah Pertambangan untuk pemetaan Po-tensi Pertambangan khususnya di Kab. Sumenep.

PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MIKROHIDRO (PLTMH)

Di Kabupaten Sumenep PLTMH juga dikembangkan di Desa Payudan Daleman Kecamatan Guluk-guluk . PLTMH tersebut menghasilkan energy listrik yang cukup untuk Desa tersebut. Pemerintah Kabupaten Sumenep Menganggarkan Rp. 275.000.000,- untuk pelaksanaan pembangunan PLTMH tersebut. Proyek ini diharapkan dapat menjadi proyek percontohan yang bisa dikembangkan di daerah-daerah lain di kabupaten sumenep yang hingga kini belum tersentuh aliran listrik PLN sama seklai.

STAND ALONE PHOTOVOLTAIC Stand Alone PV system atau Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Terpusat (PLTS-Terpusat) mer-upakan sistem pembangkit listrik alternatif untuk daerah-daerah terpencil/pedesaan yang tidak terjangkau oleh jaringan PLN. Di Kabupaten Sumenep Pembangkit Listrik Tenaga Surya terpusat (PLTS – Terpusat) juga dikembangkan, khususnya dan terutama di daerah kepulauan dan daerah terpencil, hal ini dikarenakan Listrik PLN tidak menjangkau daerah tersebut. Kepulauan yang su-dah menggunakan PLTS Terpusat di Tahun Anggaran 2011 diantaranya : Desa Tonduk Ra’as, Desa Sapangkor Kec. Sapeken, Desa Saobi Kec. Kangayan. Untuk Tahun Anggaran berikutnya Kantor ESDM Kab. Sumenep mengusulkan untuk kepulauan yaitu Desa Paliat Kec. Sapeken. Pada tahun anggaran 2011 Kantor ESDM Kab. Sumenep menganggarkan sekitar 1 M

AIR BAWAH TANAH (GROUND WATER) Lebih dari 98 persen dari semua air di daratan tersembunyi di bawah permukaan tanah dalam pori-pori batuan dan bahan-bahan butiran. Dua persen sisanya terlihat sebagai air di sungai, danau dan reservoir. Setengah dari dua persen ini disimpan di reservoir buatan. Sembilan puluh delapan persen dari air di bawah permukaan disebut air tanah dan digambarkan sebagai air yang terdapat pada bahan yang jenuh di bawah muka air tanah. Dua persen sisanya adalah kelembaban tanah.

Pemakaian Air Bawah Tanah di Kab. Sumenep selama ini masih dibilang bisa dikendalikan, namun untuk daerah yang sulit air, hal itu perlu dipikirkan dan diperhatikan oleh Pemerintah Kab. Sume-nep. Misalnya di Daerah Desa Batuputih Daya Kec. Batuputih, Pemkab. Sumenep menganggarkan untuk pengeboran Air Tanah di daerah tersebut.

Infotorial

Dipersembahkan oleh: Kantor ESDM Kabupaten Sumenep

SUPRAYUGIKepala Kantor ESDM

Sumenep

Page 30: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 201130

Percik

Rangkaian peringatan Sum-pah Pemuda ini berlang-sung gayeng dipandu

Manajer Madura Channel Abrari Alzael yang kocak. Dalam dialog bertajuk Pembangunan partisi-patoris Madura pasca Suramadu menuju Madura bangkit ini, had-ir Bupati Pamekasan Kholilurrah-man (keynote speaker), Mujahid Ansori (DPW PPP Jatim), Badrut Tamam (DPRD Jatim), Imadoed-

din (KIP Jatim) dan Lora Thohir (PP Mambaul Ulum Bata-bata). Hadir pula sejumlah aktivis LSM seperti Heru Budhi Prayitno, Ribut Baidi, Bambang Sugiharto, aktivis mahasiswa Wahyu Garu-da dan puluhan pelajar.

Saat Kholilurrahman berbicara, pemuda menjadi harapan bangsa bukan saja pemuda memiliki tenaga yang segar dan pemikiran yang luas ke masa depan. Lebih dari itu, pembangunan Madura salah besar apabila tidak meli-batkan pemuda. Tetapi, dia juga menganggap tidak proporsional apabila Madura pasca Suramadu hanya diserahkan kepada pe-muda. Menurut dia, partisipasi warga Madura lintas generasi dianggap semakin mudah untuk mewujudkan Madura bangkit. “Saya respek dengan sarasehan kaum muda ini agar Madura dan khususnya Pamekasan bisa lebih bangkit dan semakin berkuali-tas,” katanya.

Namun Mujahid Ansori, or-angtua di masa lalu tidak sepe-nuhnya proporsional. Ini terbukti saat lembaga pendidikan menja-

mur di semua daerah di Madura. Sayangnya, pendidikan tersebut tidak arif lingkungan dan terke-san dipaksakan. Seharusnya, pembangunan di Madura bukan mengawali dari debut pendidi-kan formal. Melainkan, Madura menurut dia butuh pendidikan non formal yang out put-nya je-las dan berwawasan lingkungan. Sehingga, SDM Madura lebih memiliki skill dan kompetensi. “Kalau saya jadi bupati (di Ma-dura), saya kedepankan binlat-binlat, bukan sekolah formal macam sekarang,” ujarnya.

Sementara Badrut Tamam, dia menilai ada indikasi pembangu-nan di Madura diwarnai “rasa cemburu”. Akibatnya, integrasi Madura yang terbangun dari Sumenep, Pamekasan, Sampang hingga Bangkalan nyaris tidak selalu kompak terutama di be-berapa tahun silam. Karena itu, dia menyambut baik ketika se-mua bupati saat ini telah mem-bentuk forum untuk dan atas nama Madura yang mengeny-ampingkan egosektoral. Menurut Baduttamam, Madura memang terasa kering sebagai Madura

MENGGUGAT SISTEM ORANG TUA (MADURA)

GAYENG : Dari kiri Mujahid Ansori, Lora Thohir, Badrut Tamam, dan Imadoeddin dalam sarasehan kaum muda Madura dalam rangkaian Sumpah Pemuda akhir Oktober lalu.

Ada yang berbeda di peringatan Sumpah

Pemuda yang digagas Madura Foundation di

Balerejo Jalan Niaga Pamekasan. Upacara ini

dilakukan dengan cara sarasehan tanpa men-

gurangi makna Sumpah Pemuda sebagai ser-emoni yang hadir di

setiap tahun.

Serambi

Page 31: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011 31

secara keseluruhan. Seolah-olah, begitu masuk Madura pelan-cong maupun warga lokal tidak menemukan kekahasan Madura. Ini berbeda dengan pelancong lain yang masuk ke Bali maupun Jogja.

Itu juga yang dirasa mantan aktivis Imadoeddin. Pria yang akrab disapa Imad itu mengang-gap antara pemerintah dengan masyarakat berjalan sendiri-sendiri. Tidak semua kegia-tan warga diapresiasi pemer-intah dan begitu sebaliknya, tidak setiap kegiatan pemerin-tah diperhatikan masyarakat. Contoh paling sederhana, saat pemerintah mendapat penghar-gaan, jarang ditemukan ucapan dari masyarakat untuk pemer-intah yang telah memperoleh penghargaan. Yang terjadi justru pemerintah mengucapkan sela-mat kepada dirinya sendiri se-bagai lembaga yang memperoleh prestasi. “Lucu kan, ada lembaga yang bepretasi lalu lembaga itu pula yang mengucapkan selamat kepada dirinya,” jelas dia.

Lambannya pembangunan di Madura atau Indonesia secara keseluruhan bagi Lora Thohir karena geografis yang salah urus. Mahasiswa S2 UIN Malang itu mengusulkan dua opsi. Pertama, antara yang muda dan tua harus berpartisipasi dalam pembangu-nan Madura masa depan.

Kedua, kalangan orangtua dan kaum muda yang tidak reformis disarankan “diamputasi” (diting-galkan) karena memaksakan sia-pa saja yang tidak visioner akan menguras waktu dan tenaga. Karena itu, dia memandang pem-bangunan apapun hanya butuh SDM yang dinamis bukan yang mabni (statis). “Kalau tidak mau maju yang ditinggal saja, toh pada akhirnya ia akan merasa sendiri dan kesepian,” dia ber-canda.

Namun demikian, hal itu bu-kan dimaksudkan untuk mere-mehkan. Kalangan orang tuh tetap perlu dihormati sekalipun tidak semua pemikiran mereka musti dikuti. (abe)

TUNGGUL PUTRA UMUMI. Santo (Novas)II. Faris (RRI)III. Dadang Iskandar (Novas)IV. Juhari (BRI)

GANDA PUTRA UMUMI. Dadang + Edi Indisono (Novas)II. Faris + Jarji Akbar (RRI)III. M. Ridwan + Syamsul Arifin (BIMA)IV. Santo + Razik (Novas)

GANDA VETERAN 95 TH MIN 45 THI. Juhari + Akbar (BRI)II. Jarji + Razik (Novas)III. Edy Molyono + Zain Saleh (Gempar)IV. S. Arifin + Carto (Gempar)

TUNGGAL PELAJARI. Akbar (SMK 1 Sumenep)II. Robin (SMPN 1 Sumenep)III. Roni (SMPN 2 Sumenep)IV. Fiyan (SMPN 2 Sumenep)

EMPAT BESAR KUALIFIKASII. Juhari (BRI)II. Gunawan (Novas)III. Akbar (SMK 1 Sumenep)IV. Edy Molyono (Novas)

JUARA TENIS PELTI CUP2011DALAM RANGKA HARI JADI KABUPATEN SUMENEP KE 742

Page 32: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 201132

Serambi

Keluarga Machan (TV, radio, dan majalah SULUH) ikut berbagi rasa saat Idul Adha (10 Zulhijjah 1432 Hijriyah) lalu. Ini sebagai bentuk kebersamaan dan hidup berdamp-ingan dengan masyarakat. Rutini-tas ini agak berbeda. Dulu, keluarga Machan berkurban di kantor pusat, Jalan Adirasa Sumenep. Tetapi pada tahun ini, keluarga Machan men-jagal sapi (Kurban) di desa Kardu-luk Kecamatan Pragaan. Ini sebagai model silaturahim Machan untuk lebih dekat dengan masyarakat. Setidaknya, dua ekor sapi kurban dijagal di desa ini untuk 211-an warga di desa tersebut.

Salah seorang warga penerima kupon Machan, Tibyan, men-gaku senang dengan acara model Machan. Kakek dua cucu itu menilai pembagian daging kurban dari Machan merata. Ini tidak saja men-yangkut penyebaran kupon bagi warga tak mampu yang terjangkau. Tetapi lebih dari itu, takaran dag-ing bagi setiap penerima kupon

sama dan relatif berisi lebih berat dibanding penerimaan daging kurban dari penyelenggara kurban yang lain. “Senang, dagingnya lebih berbobot,” terangnya.

Sementara panitia yang ditugasi untuk membagi-bagikan daging Hj Zakiyah mengaku, setiap dag-ing yang hendak dibagikan kepada warga ditimbang. Berdasar tim-bangan, penerima kupon rata-rata menerima 0,5 kg paket berisi dag-ing kurban. Daging tersebut didis-tribusi melalui kupon untuk warga di 5 dari 13 dusun yang ada di desa Karduluk. Penerimanya berasal dari dusun Blajud, Dunggaddung, Somangkaan, Rengperreng, dan Batopowar. “Melelahkan, tapi me-nyenangkan juga,” ujarnya.

Manajer Machan, Abrari yang ditunjuk mengorganisasi kegia-tan ini juga memberikan apresiasi terhadap warga. Pasalnya, warga cukup tertib dan tidak rebutan. Lebih dari itu, warga datang ke TKP (tempat kegiatan pemoton-

gan) tidak hanya hadir untuk men-erima jatah daging kurban karena telah memiliki kupon. Tetapi, war-ga juga ikut membantu panitia. Apalagi, saat pemotongan ber-langsung gerimis tidak berhenti hingga usai pembagian daging kurban. “Machan hanya ingin ber-bagi, sekecil apapun. Mungkin bergunba bagi warga yang me-merlukan,” katanya. Tradisi meny-embelih hewan kurban ini sudah menjadi tradisi di Machan. Hanya, pada tahun ini mendekatkan diri kepada masyarakat. Sedangkan pada tahun-tahun sebelumnya, Machan mengeksekusi hewan kurban di tempat yang tidak jauh dari lokasi kantor Machan, Jalan Adirasa 5-7 Sumenep. Namun di tahun-tahun yang akan datang, Machan akan berusaha semakin dekat dengan masyarakat den-gan menjagal hewan kurban di tengah-tengah masyarakat. Ini memiliki makna gotong-royong, silaturrahim dan saling berbagi .(abe)

KOMPAK : Sejumlah panitia lokal penyembelihan hewan kurban untuk selanjutnya bekerja sama membagi daging untuk fakir miskin.

IDUL KURBAN, MACHAN JAGAL HEWAN

Page 33: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011 33

Percik

Page 34: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 201134

Serambi

Transportasi jalur laut di Kabu-paten Sumenep mulai terseok. Warga kepulauan hanya bisa

mengeluh dan menangis, berharap ada secercah perbaikan sehingga mereka bisa pulang dengan aman dan sampai ke rumah dengan sala-mat.

Lumpuhnya transportasi laut ke sejumlah wilayah kepulauan Sume-nep karena tiga buah kapal milik milik PT Sumekar Line mengalami kerusakan dan harus didoking. Se-hingga, warga yang hendak pulang ke pulau, terpaksa harus terlantar di pelabuhan Kalinget Sumenep, hing-ga berhari-hari.

Namun, dari tiga kapal yang rusak, tinggal satu kapal yang bisa berope-rasi, Dharma Bhakti Sumekar (DBS) 1. Kapal yang satu ini yang diburu war-ga. Kapal DBS 1 menjadi satu-satunya kapal yang diharapkan warga untuk bisa membawa mereka pulang. Teta-

pi, apa hendak dikata, kapasitas ka-pal tidak mampu membawa seluruh penumpang yang mencapai ribuan penumpang.

Di pelabuhan, para penumpang berdesak-desakan berebut tempat agar bisa pulang. Bahkan, mereka nyaris melupakan keselamatan ji-wanya. Meski pintu masuk depan ka-pal telah ditutup, para penumpang banyak yang nekat naik dengan cara memanjat ke atas kapal. Walau cukup membahayakan keselamatannya, tidak mau peduli.

Hasanuddin, 40, salah satu pe-numpang asal kepulauan Kangean Sumenep, mengaku kecewa karena tidak ada kapal yang memadai untuk warga kepulauan. Apalagi, dirinya tidak mendapatkan bagian tempat duduk. ”Kami kecewa sebab, karena harus menunggu kembalinya kapal tersebut dari pulau Kangean,” ujar pria yang mengaku sudah empat

hari berada di pelabuhan Kalianget Sumenep.

Menurutnya, pemerintah dinilai tidak tanggap terhadap nasib warga kepulaun. Terbukti, ketika kapal di doking atau diperbaiki, tidak ada transportasi lain yang bisa diguna-kan warga kepulauan. Seharusnya, menurut Hasanuddin, pemerintah menyediakan kapal pengganti se-hingga tidak ada warga yang terlan-tar.

Sementara itu, Bambang Suprio, Menejer Oprasinal Sumekar Line, tidak membantah jika ini tiga kapal miliknya sedang didoking sehingga tidak dapat beroprasi. Sebab, me-mang sudah masanya kapal-kapal tersebut diperbaiki. ”Saat ini me-mang sudah saatnya untuk diper-baiki,” katanya.

SEMENTARA ITU, ketersediaan ar-mada angkutan untuk masyarakat, sedianya tanggung jawab pemer-intah yang seharusnya ditangani oleh Dinas Perhubungan. Apalagi, di Kabupaten yang memiliki wilayah kepulauan cukup luas seperti Kabu-paten Sumenep, tentu masyarakat tidak mungkin mudah mengusaha-kan adanya alat transportasi sendiri

TERSEOKNYA Kapal Menuju Kepulauan

Foto-foto: Abdullah Anshari

RUSAK: Sebanyak 3 kapal milik PT Sumekar Lini yang bisa melayani rute Kalianget-Kepuluan kini dalam keadaan rusak. Akibatnya banyak pe-numpang dan barang sering terlantar di pelabuhan Kalianget Sumenep

Page 35: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011 35

Serambi

tanpa ada bantuan pemerintah.

Ketika maysarakat Sumenep mengeluhkan kurangnya armada an-gkutan laut, pemerintah terkesan an-gkat tangan dan tidak mau menan-ganinya secara serius. Bahkan, yang ada hanya saling lempar tanggung jawab antar sesama pemangku kebi-jakan. Terbukti, dari pihak PT Sume-kar Line, tiga kapal tersebut masih ada di Surabaya dan dalam proses perbaikan.

Disisi lain, Kepala Dinas Perhubun-gan (Dishub), Ahmad Nur Salam, mengaku juga tidak bisa berbuat banyak. Dalihnya, tanggung jawab untuk meperbaiki kapal-kapal yang rusak tersebut, sepenuhnya ada-lah tugas dari PT Sumekar Line. ”PT Sumekar Line juga bertanggung jawab untuk mencari kapal peng-ganti selama 3 kapal tersebut tidak bisa dioperasikan,” imbuhnya.

Anggota Komisi A DPRD Sumenep, Moh. Ali menegaskan, rusaknya kapal yang biasa mengangkut penumpang ke wilayah kepulauan, mengaku san-gat khawatir terhadap jamaah haji asal kepulauan yang saat ini sedang melak-sanakan perintah Allah SWT di Makkah. Apalagi, diperkirakan pertengahan November ini, jamaah haji Sumenep sudah tiba kembali ke tanah air. ”Oto-matis jamaah yang dari Kepulauan ini kan harus kembali ke pulau. Kami kha-watir akan terlantar di pelabuhan juga,” keluhnya.

Menurutnya, kapal perintis Amukti Palapa tidak beroperasi. Sebab, infor-masinya masih ada kerusakan yang perlu diperbaiki. Sehingga, kalau se-mua kapal tidak beroperasi, maka pe-layaran ke Kepulauan akan lumpuh, terutama ke Sapeken dan Masalem-bu. Politisi asal kepulauan ini mem-inta, agar Dinas terkait memperhati-kan persoalan tersebut, dan segera mengambil langkah-langkah solutif, agar masyarakat pulau tidak menjadi korban. ”Kami menginginkan segera ada kapal pengganti, meski sifatnya sementara. Hal itu sangat diperlukan terutama menghadapi masa keda-tangan jamaah haji dari tanah suci Makkah. Bagaimana para jamaah bisa kembali ke pulau kalau tidak ada kapal?. Jadi, kami berharap perhatian dan solusi cerdas dari pemerintah,” pungkasnya. (bus)

Page 36: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 201136

Untuk diketahui, olahraga ini dinilai menyenangkan dan adiktif. Sekali belajar bagaimana melakukan trik pertama, seseorang memiliki ke-cendrungan untuk kembali belajar. Olahraga skimboarding menantang dan tidak dilakukan kecuali jika telah menguasai sejumlah langkah yang lebih mendasar. Karena olahraga ini berbahaya, berhati-hati dan akal se-hat skimboarding sementara.

Olahraga ini dilakukan di pan-tai bahkan dapat dilakukan di selat yang minim ombak. Pola permainan ini bermodalkan papan luncur yang cukup dimainkan di bibir pantai tanpa perlu ombak besar. Bahkan,

permainan ini dapat di atas laut yang bahkan nyaris tanpa gelombang. Di Sampang, mulai terbentuk komu-nitas pemain skimboarding. Tidak hanya baru, tapi komunitas itu juga tergolong unik dan menarik. Unik ka-rena permainan itu hanya menggu-nakan papan seluncur dan menarik lantaran permainan tersebut ber-modalkan keberanian berselancar di atas air, di selat Madura sisi selatan pantai ria Camplong.

Sisi lain, permainan tersebut ter-masuk yang pertama di Sampang. Tidak hanya di Kota Bahari Sam-pang. Sesuai dengan namanya, Skimboarding memiliki arti papan seluncur. Sehingga untuk memain-kan permainaan menarik itu tidak membutuhkan banyak biaya. Ca-ranya, hanya dengan modal papan seluncur. Dengan modal itu, siapa-pun bisa mencoba untuk bermain Skimboarding. Modalnya cukup memiliki keberanian, seperti ditu-turkan Moh. Imron Sjaifuddin, per-intis permainan ini di Sampang.

Kini, komunitas yang didirikan Im-blo (sapaan Imron Sjaifudidn) sudah memiliki puluhan 20 kader yang ma-hir bermain Skimboarding. Dari para pemain tersebut, kemampuannya bertingkat-tingkat. Skimboarding memiliki 5 tingkat trik permainan.

Olahraga skimboard-ing tidak hanya berada

di laut luas dengan om-bak yang agak tinggi.

Tetapi di Sampang, benih-benih olahraga ini

mulai dirintis dan atlet bermain di sisi selatan pantai wiasata Camp-

long, Sampang.

Pertama trik three sixty atau papan berputar 360 derajat. Trik kedua, tumpuan kaki dengan tangan jadi satu atau dikenal dengan fire hy-drant. Yang ketiga, memutar papan ala skateboard atau akrab disebut shove it. Sementara trik keempat adalah ollie.Trik dengan meloncat dan papan terbang sekaligus dengan si pemain. Yang terakhir adalah head standing, trik dengan kepala pemain sebagai tumpuan.

Lumrah bagi orang awam untuk lebih mengenal surfing daripada skimboarding ini. Selain karena surf-ing lebih akrab di telinga kita, skim-boarding juga tergolong permainan baru, khususnya di negeri ini. Apalagi permainan ini hanya berkembang massif di pantai-pantai yang bukan merupakan tujuan wisata, seperti Madura ini. Perintis ini mengakui telah banyak merangkul anak muda Sampang untuk menemukan duni-anya di skimboarding. Mencoba un-tuk membuat sejarah skimboard di pulau garam dengan terus bergulat dengan papan luncurnya.

Untuk jangka panjang, olahraga yang baru hadir di Sampang ini di-harapkan bisa akrab dan lebih mu-dah memasyarakat di Madura sep-erti halnya olahraga surfing di daerah lain. (*)

Ada Skimboarding di Sampang

Olahraga

MENYENANGKAN : Salah satu pemain skimboarding saat

berselancar di atas laut yang bergelombang.

Page 37: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011 37

Page 38: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 201138

Akademia

gan daerah lain dan berhak maju pula. Bagaimana caranya Madura melaju, warga Maduralah yang ber-hak tahu dan menentukan nasibnya sendiri dengan bingkai integritas, regionalitas, religiusitas dan kepas-tian bernasionalisme sebagai ba-gian dari bangsa.

Dalam sejarah, Madura pernah menjadi “negara” pada saat bangsa ini menganut RIS (Republik Ind-nonesia Serikat). Bertitik tolak dari sejarah ini, Madura pastilah tidak akan melupakan masa lalu sebagai referensi. Sebagai bagian dari masa lalu, masa kini dan masa depan, Ma-dura sejatinya sudah memiliki pola agar Madura lebih maju dan seira-ma dengan daerah lain yang lebih dulu mendapat kesempatan untuk berkembang.

Membaca risalah Madura ini terbayang pula Jogjakarta yang juga pernah menjadi ibu kota ne-gara. Memang, Jogjakarta sebagai Javanese dan Madura sebagai Ma-durese pastilah berbeda. Namun sebagai daerah yang memiliki ke-samaan, perkembangan Jogjakarta tidak menghilangkan identitats ke-jogjaannya bahkan terus bertahan sampai saat ini. Begitu pula Madura masa depan diinginkan banyak pihak termasuk penulis buku Men-uju Madura Modern tanpa Kehilan-gan Identitas (MH Said Abdullah) tetap mencirikan Madurese yang mengajari rakyatnya dengan per-gerakan (kemajuan) dan mendidik penguasa dengan perlawanan (bu-daya tanding) menuju Madura yang lebih berbudaya.

Kemajuan Madura yang berger-ak lebih cepat barangkali memerlu-kan banyak piranti. Pertama, Madu-ra harus berbingkai integrasi mulai dari ujung timur (Sumenep) hingga ufuk barat (Bangkalan) yang melin-tasi Pamekasan dan Sampang. Kira-nya, Madura tidak bisa maju secara massif apabila di dalamnya dibay-ang-bayangi ancaman disitegrasi sebagai Madura secara komunal.

Kedua, masing-masing daerah memetakan ruangnya sendiri-sendiri tanpa menghilangkan karakteristik dan identittas kemaduraan yang dis-andangnya secara geografis-kultural yang berkarakter. Ketiga, tataruang dan

MADURA, Narasi Kecil untuk Perubahan Besar

Ada sebaris puisi yang cukup menarik dan ditulis penyair Clurit Emas (HD Zawawi Imron), Madu-ra akulah darahmu, cukup pan-tas untuk memulai narasi ini. Ia secara tidak langsung menggu-ratkan nasionalisme bermadura yang juga nasionalisme berindo-nesia karena Madura juga Indo-nesia.

Sejauh ini, Madura seringkali menjadi “bahan guyonan” karena dinilai lugu dan lucu dalam tay-angan televisi. Padahal, Madura tidak selalu seperti itu dan seba-gai bangsa, Madura sejajar den-

OLEH: SIRMADJI Ketua DPD PDI Perjuangan Jatim

Page 39: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011 39

Akademia

tatakelola Madura menuju peradaban yang lebih baik patutlah menampilkan potensi dasariahnya dengan basis lo-cal wisdom. Sehingga komunalisme Madura lebih terbaca dan Madura se-bagai tanah kelahiran orang-orang be-sar tidak teralienasi dan mengecil dari derap kemajuan jaman.

Keempat, forum-forum yang melibatkan kepala daerah se Madu-ra tidak sekedar simbolik. Tetapi, ia merupakan wahana untuk mewu-judkan kemajuan Madura secara substantif dan bisa menjelaskan kepada publik bahwa Madura se-benarnya Madura bisa berkembang lebih cepat dari saat ini. Selain itu, derap pembangunan Madura harus berakar dari lokalitas dan potensi yang dikandungnya. Dari sini, da-pat terlihat dengan jelas ada per-bedaan antara membangun Madu-

taka. Selain itu penduduk Madura akan teralienasi dari kehidupan dan religiusitas hari-harinya.

Dibangunnya Jembatan Suram-adu yang tonggak penggarapannya dimuali di era Presiden Megawati Soekarnoputri sebenarnya men-jadi tanda dari sekian tanda lainnya bahwa Madura bisa maju. Tetapi jembatan akan menjadi “masalah” apabila jembatan tersebut hanya berfungsi utama sebagai sarana penyeberanangan ansih. Lebih dari itu, jembatan difungsikan sebagai sarana penunjang untuk mengger-akkan kemajuan lokal Madura baik dari sisi ekonomi, sosial, politik, dan aspek-aspek kehidupan lainnya.

Sebagai yang sudah beberapa kali ke Madura, ingin rasanya pen-dataan dari berbagai aspek di Ma-

orang yang merasa begitu.

Nah, buku Menuju Madura Mod-ern tanpa Kehilangan Identitas ini se-bentuk narasi kecil untuk perubahan paradigma. Sebab dalam pandangan banyak Madurolog, suatu saat entitas Madura akan lenyap seiring dengan munculnya gelombang ketidak-pedulian sebagian warga Madura atas identitas, entitas, dan karakterisi-tik Madura itu sendiri. Sampai akhirn-ya, Madura sebagai etnisitas, entitas, dan identitas akan punah.

Inilah sebabnya, MHSA sebagai warga Madura mencoba memberikan perhatian terhadap tanah kelahirannya sebagai bentuk tanggung jawab terha-dap nasionalisme bermadura dan ber-bangsa karena Madura juga Indonesia. Tetapi membebankan masa kini dan masa depan Madura pastilah teralu be-

ra dengan membangun di Madura.

Pada kontent membangun Ma-dura, segala potensi yang berbasis lokalitas ditunjukkan dan dikelola dengan baik dalam derap pem-bangunan. Model ini menyelamat-kan banyak aspek baik yang men-yangkut identitas, karakterisitik, dan masa depan Madura secara massif seperti yang dikehendaki MHSA dalam bukunya yang berta-juk Menuju Madura Modern tanpa Kehilangan Identitas. Sebaliknya, membangun di Madura berarti menempatkan pembangunan yang tanpa identitas dan tidak berkarak-ter Madura di Madura. Model pem-bangunan kedua ini merupakan pe-

dura lebih ditata kembali. Sebab, data merupakan hal yang sangat urgen sebagai pijakan awal untuk menentukan langkah. Pada saat data tentang apapun baik potensi maupun lainnya jelas, maka efek domino akan muncul sebagai bias dari hukum karambol.

Jika boleh berharap, identitas Madura tercermin dalam banyak hal seperti halnya Bali. Pada saat siapa saja masuk Bali, aura Bali be-gitu kentara. Ini menjadi berbeda pada saat masuk Madura, aura Ma-duranya tidak begitu berasa. Na-mun bisa jadi hanya saya saja yang merasakannya meski hal ini saya ragukan karena ternyata banyak

rat apabila hanya dibebankan kepada satu orang.

Itu sebabnya masih diperlu-kan MHSA lainnya di Madura dis-amping tokoh formal-informal yang bisa menunjang masa depan Madura secara lebih berkarakter, beridentitas, berentitas untuk dan atas nama Madura secara spesifik. Bahkan jika dimungkinkan, suatu ketika Madura akan menjadi labo-ratorium daerah yang modern teta-pi tetap beridentitas, mengand-ung unsur etnisitas, berkarakter dan berentitas Madura. Memang tidak mudah, tetapi berdoa saja tak cukup karena perjuangan tidak pernah selesai. Merdeka !!!

BEDAH BUKU: Said Abdullah, penulis buku “Menuju Madura Moderen Tanpa Kehilangan Identitas”, memberikan tanggapan terhadap masukan-masukan yang diberikan peserta acara bedah buku yang diselenggarakan di Sumenep 1 Nopember lalu.

Page 40: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 201140

Membuat komunitas yang mencin-tai sesuatu yang sudah jadul (ja-

man dulu) memang mengasyikkan. Ini juga yang dilakukan budayawan Pame-kasan, Kadarisman Sastrodiwirjo (Da-dang) bersama koleganya. Dua tahun lalu, di Pamekasan dideklarasikan La Sena (Kompolan Sapeda Kona) Pangle-

por Ate yang tetap eksis hingga saat ini. Berikut penjelasan salah satu pelopor La Sena, Dadang, yang dikemas secara bertutur.

Setidakknya ada dua nilai filosofis yang bisa diambil dari sebuah se-peda. Pertama filosofi perubahan. Sepeda, dalam keadaan diam, tidak pernah bisa berdiri tanpa penyangga. Baru sesudah roda menggelinding, ia akan tegak dan bergerak ke mana saja. Karena itu fisosofi yang dikand-ung dari kegiatan bersepeda adalah nilai berkehidupan sosial. Kalau ingin tetap tegak, dituntut untuk bergerak terus. Bergerak, konotasinya “beru-bah”. “If you don’t change, you’ll die”. (Dadang mengutip pendapat C.K. Prahalad). Kita harus proaktif, berini-siatif dan kreatif dalam menyongsong perubahan zaman.

Kedua, filosofi keseimbangan. Dalam bersepeda, seseorang harus menjaga keseimbangan. Allah SWT mencipta-kan alam dengan keseimbangan seba-gai ciri utama. Untuk itu manusia hidup di dunia harus menyelaraskan dengan alam, termasuk menjaga keseimban-gan.

Selain memiliki nilai filosofis, sepeda yang akhir-akhir ini sedang “ngetrend” dan diminati, memang mempunyai banyak kelebihan. Sepeda, alat trans-portasi yang murah, praktis, bebas polusi, menyehatkan, dan bisa men-jangkau area manapun saja, bahkan pematang sawah yang sempit pun bisa dilaluinya. Di negara maju,seperti Cina, Jepang, Korea dan banyak negara di Asia dan Eropa, sepeda disukai. Ke-tika berkunjung ke Korea Selatan, saya melihat di trotoar tengah kota, banyak tempat parkir sepeda yang disiapkan pemerintah kota.

Akhir-akhir ini, ketika masyarakat du-nia sepakat mengurangi polusi dalam rangka mengatasi dampak “global warming”, sepeda merupakan salah satu pilihan utama. Di negara kita pun, sepeda banyak penggemarnya. Ada yang suka sepeda gunung dengan keg-iatan “fun bike”, ada yang memilih sepe-da kuno yang disebut sepeda onta atau onthel. Di Pamekasan terdapat Jumat Bersabda yang diepopori Pak Bupati (Kholilurrahman), yaitu Jumat Bersih Bersepeda yang memadukan peng-galakan gemar bersepeda dengan keg-iatan kebersihan.

Hobi

Lebih Akrab dengan Onthelis Pamekasan; Kadarisman Sastrodiwirjo

Belajar Perubahan dari Sepeda

KADARISMAN SASTRODIWIRJOBudayawan Pamekasan

Page 41: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011 41

Hobi

Khusus sepeda kuno, para pengge-marnya disebut “onthelis” berhimpun dalam berbagai organisasi. Induknya, Kosti (Komunitas Sepeda Tua Indone-sia). Di kalangan para onthelis, sepeda tidak lagi sekedar alat transportasi, melainkan juga menjadi penyalur hobi, seni dan ada “ adu gengsi” di dalamnya.

Alat transportasi modern berawal dari ditemukannya roda, setelah se-belumnya manusia menggunakan binatang sebagai kendaraan. Khusus sepeda, sejarah mencatat embrionya adalah sepeda kayu yang dibuat ta-hun 1791 seperti ditulis Hermanu dalam “Pit Onthel”. Sedang sepeda itu sendiri, untuk pertama kali dibuat di Perancis (1817) oleh Baron Von Drais de Sauerbrun. Sepeda tanpa pedal ini disebutnya “Hobby Horse”, yang den-gan cepat menjalar ke Jerman, Inggris, kemudian ke Amerika. Tahun 1839 lahir sepeda yang memakai pedal ciptaan Kirkpatrick Macmillan, seorang pan-dai besi Skotlandia. Bentuknya seperti sepeda para pemain akrobat di sirkus, yaitu roda depan besar, sedang roda belakang kecil.

Sesudah itu, sepeda mengalami per-baikan bentuk. Roda mulai memakai je-ruji dari kawat besi dengan “ban mati”, yang kemudian berubah menjadi ban yang dipompa. Generasi berikutnya, ada rantai pada sepeda, dan menyusul kemudian dilengkapi dengan lampu. Awalnya lampu menggunakan lilin, kemudian minyak tanah, dan tera-khir memakai dinamo dan berko. Pada perkembangan berikutnya dikenal persnelling yang dipergunakan untuk mengubah putaran roda sesuai dengan keinginan pengendaranya.

Orang Inggris menamakan kend-araan tersebut “bicycle”, sedang orang Belanda menyebut “fiets” yang di lidah orang Jawa berubah menjadi “pit”. En-tah bagaimana perubahannya, kata itu dalam bahasa Indonesia menjadi se-peda, yang disebut “sepeda angin” un-tuk membedakan dari sepeda motor. Di Jawa disebut sepeda onthel, dan di Madura “sapeda engkol”. Sepeda men-jadi alat transportasi di Indonesia baru pada tahun 1910.

Di Eropa kemudian berkembang industri sepeda. Tercatat beberapa merek terkenal, antara lain Gazelle, Simplex, Fongers, Batavus, Union, Hercules, Phillips, Humber, Sun Beam dan lain lain. Belakangan muncul Phoenics produksi Cina, dan Simano buatan Jepang. Di kalangan para

onthelis, baik di Pamekasan maupun di Jawa, merek yang dianggap ber-gengsi adalah Gazelle. Sepeda merek ini diproduksi di Dieren, negara Be-landa, oleh ”N.V. Gazelle Rijwielfab-riek v/h Arentzen en Kolling”.

Di Pamekasan, penggemar sepeda kuno mendirikan “Kompolan Sapeda Kona” disingkat LaSena yang diberi nama Panglepor Ate. Resminya, La-Sena lahir pada tanggal 8 Nopember 2008 oleh 21 orang “para pendiri” dan diperkenalkan kepada masyarakat pada tanggal 26 Juli 2009. Acara pe-luncuran menjadi heboh karena diikuti 1.167 onthelis dari berbagai pelosok nusantara. Onthelis seluruh Madura hadir. Sedang dari Jawa hadir klub-klub mulai dari Banyuwangi sampai ke Bekasi. Bahkan ada maniak onthel yang datang dari Makassar.

Peluncuran La Sena dilakukan Bupati Pamekasan didampingi unsur Muspida, disemarakkan kirab akbar para maniak sepeda kuno. Kirab didahului penampi-lan “tari sepeda” karya koreografer muda berbakat Pamekasan. Regu pen-dahulu adalah anggota La Sena putra, putri, regu para camat, dan disambung para lurah dengan “sepeda batik”nya. Baru kemudian berurutan para peserta dari daerah lain baik beregu maupun perorangan, yang penampilannya dinilai. Mereka menggunakan kostum beraneka rupa yang unik dan menarik, waktu itu.

Ada sepeda ukuran tinggi yang sulit dicari, ada sepeda tanpa rantai karena menggunakan gardan, dan ada sepeda yang menggunakan ban mati. Hal unik lainnya, adalah sepeda terbuat dari kayu, lampu sepeda min-yak tanah, bel sepeda yang bunyinya mulai dari berdering sampai seperti klakson mobil dan banyak macam lainnya. Saat itu, di arena juga digelar pasar ”klitikan”, bursa peralatan se-peda dan assesoris yang bermacam-macam. Benar-benar tontonan yang mengasyikkan.

Yang mengagetkan, peserta dari Bandung yang melakukan napak tilas “de grote postweg”nya Daendels. Mere-ka bersepeda mulai dari Anyer menuju Pamekasan. Hanya karena faktor waktu, mereka dicegat di Lamongan dan di-paksa naik pick up. Sedang peserta dari Makassar mengendarai sepedanya mu-lai dari Surabaya sampai ke Pamekasan. Luar biasa, asyik, menyenangkan dan tidak melupakan yang pernah istimewa di jamannya, sepeda. (abe)

Sekelumit Riwayat Engkol

Sejarah sepeda bermula di Eropa. Sekitar 1790, sepeda pertama dibuat di Inggris. Cikal bakal sepeda ini dinamai Hobby Horses dan Celeriferes. Penemuan fenom-enal sepeda tercipta berkat Baron Karl Von Drais.

Von Drais, mahasiswa matematik dan mekanik di Heidelberg, Jerman. Oleh Von Drais, Hobby Horse sepeda dimodifikasi hingga bermekanisme kemudi pada bagi-an roda depan dan digerakkan dari kedua kaki. Von Drais mampu meluncur lebih cepat saat berkeliling kebun. Ia sendiri menyebut kendaraan ini dengan nama, Draisienne.

Proses selanjutnya dilakukan Kirkpatrick Macmillan. Pada 1839, ia menambahkan batang penggerak yang menghubungkan antara roda belakang dengan ban depan Draisienne. Untuk menjalankannya, ting-gal mengayuh pedal. Sedang James Star-ley mulai membangun sepeda di Inggris di tahun 1870. Ia memproduksi sepeda dengan roda depan yang sangat besar (high wheel bicycle) dan roda belakang sangat kecil.

Sampai akhirnya, keponakan James Star-ley, John Kemp Starley menemukan so-lusinya. Ia menciptakan sepeda yang lebih aman pada 1886. Sepeda ini punya rantai untuk menggerakkan roda bela-kang dan ukuran kedua rodanya sama. Penemuan tak kalah penting dialami John Boyd Dunlop pada 1888. Dunlop ber-hasil menemukan teknologi ban sepeda yang bisa diisi dengan angin (pneumatic tire). Dari sinilah, awal kemajuan sepeda yang pesat. Di Indonesia, perkemban-gan sepeda dipengaruhi kaum penjajah Belanda. Mereka memboyong sepeda produksi negerinya untuk dipakai ber-keliling menikmati segarnya alam Indo-nesia. Kebiasaan itu menular pada kaum pribumi berdarah biru. Akhirnya, sepeda jadi alat transportasi yang bergengsi. Pada masa berikutnya, saat peran sepeda mak-in terdesak teknologi kendaraan bermesin (mobil dan motor), sebagian orang mulai tertarik untuk melestarikan sejarah lewat koleksi sepeda antik. Sepeda lawas ke-luaran Eropa antara 1940 sampai 1950-an, dikoleksi dengan baik.

Di masyarakat kita, sepeda lawas itu dikenal dengan beberapa sebutan, sep-erti ontel, jengki, kumbang dan sundung. Kalau jengki itu kan asalnya dari kata jin-gke (bahasa Betawi, artinya berjinjit), jadi waktu naiknya kita harus berjingke saking tingginya. Sedangkan di Madura, sepeda engkol karena cara kerjanya dikayuh, di-engkol. (*)

Page 42: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 201142

Oase

HARGA DIRI Oleh : Abrari Alzael

hitam untuk membenarkan tindakan-tindakannya. Sebab bukan rahasia lagi bila musuh-musuh Amerika sebenarnya tak ada keculi musuh yang diciptakan sendiri untuk mem-perkuat hegemoninya di dunia.

Banyak orang bermimpi terorisme di Indoneisa sebenarn-ya tidak ada. Terorisme dalam mimpi warga republik ini hanya sebentuk organisasi yang sengaja diciptakan ketika negara terancam bahaya karena penguasanya tidak bajik. Mimpin ini semakin meyakinkan karena setiap terorisme muncul negara dalam keadaan tersudut yang menyebabkan perhatian pub-lik menjauh dari substansi persoalan negeri. Masalah bangsa dalam mimpi, sebenarnya bukan terorisme karena inti dari persoalan bangsa hanya dua, kemiskinan dan rapuhnya pen-egakan hukum.

Masalah lainnya republik ini, karena memiliki ketergan-tungan yang luar biasa yang dikukuhkan hibah dua skuad-ron pesawat tempur F-16 yang diterima Kementerian Per-tahanan akan membuat Indonesia semakin tergantung kepada Amerika Serikat. Ketergantungan ini juga dikhawat-irkan memicu terjadinya terorisme jadi-jadian yang sengaja diciptakan Amerika untuk melegitimasi tindakannya untuk mengukuhkan hegemoni.

Siapapun yang menjadi pemimpin, hari ini atau nanti, pan-taslah berguru kepada Bung Karno yang membuat presiden Amerika saat itu D. Dwight Eisenhower termehek-mehek. Ketika itu, negara digdaya itu dibikin malu Indonesia pada saat Allen Pope ditembak jatuh di pulau Morotai. Lebih malu lagi, karena dengan tertangkapnya pilot itu, kedok AS dan CIA akhirnya terbuka. Kedok yang membuktikan AS melalui CIA sudah main api di balik pemberontakan separatisme di Indonesia. Termasuk juga infiltrasi AS yang mempersenjatai para pemberontak.

Ini yang bikin Bung Karno geram, dan mulai memainkan kartu trufnya. Bung Karno yang semula dikerjai Amerika, sekarang balas mengerjai Amerika. Bung Karno sadar, ter-tangkapnya Allen Pope mendongkrak posisi tawar Indonesia di hadapan Amerika. Cerita selanjutnya adalah bagaimana D. Dwight Eisenhower dan John F. Kennedy jadi repot dibuatnya.

Inilah moment bersejarah ketika Indonesia yang miskin untuk pertama kalinya punya posisi tawar tinggi di hadapan “juragan kaya”, Amerika. Bung Karno tidak cuma menun-tut Amerika mesti minta maaf. Tapi masih ada sederet per-mintaan lain yang bikin Amerika “maju kena mundur kena”. Eisenhower minta Indonesia melepaskan pilot Allen Pope. Tapi Bung Karno tidak mau melepas begitu saja dengan gratis. Inilah kisah bagaimana Bung Karno dengan amarah “memiting leher Allen Pope” sambil telunjuknya memberi isyarat agar Amerika mau bersimpuh di kaki Bung Karno. Kini, Indonesia tanpa Bung Karno dan hanya bersijingkat pada kaki Jenderal Susi. (*)

Siapakah yang tidak pernah berbohong? Bila hendak menjawab, simpan saja. Kejujuran tak harus diberi nama. Tetapi mengatakan tak pernah berdusta, inilah kesesatan yang nyata.

Hampir setiap orangtua nyaris berbalas dendam terha-dap anak-anaknya saat ini dengan kebohongan, sekecil apa-pun. Ketika anak merengek untuk dibelikan makanan seperti otak-otak, orangtua melarangnya dengan satu alasan. Anak-anak belum boleh mengonsumsi otak-otak dengan satu ala-san, cepat tua. Dalam bahasa orangtua, anak yang terbiasa makan otak-otak akan mengalami penuaan usia dini. Pada-hal, dilarangnya anak-anak karena orangtua khawatir tidak kebagian saja.

Kisah anak-anak yang terjebak kebohongan publik di masa kecilnya ini menarik dipelajari. Saat anak ini besar, orang-orang yang lebih tua kembali membuat diktum pela-rangan yang tidak tertulis dalam panggung politik. Seolah-olah, politik hanya menjadi urusan orangtua dan harus jauh dari jangkauan orang-orang yang belum tua. Itulah sebabn-ya Indoneisa era lalu beranjak dari Soeharto berganti ke Soe-harto dan berhenti di Soeharto. Sampai akhirnya, anak-anak mengerti bahwa orangtua harus dididik menjadi dewasa dan reformasi menjadi harga mati, waktu itu.

Penulis buku Set free to live free: breaking through 7 lies women tell themselves, MD Saundra Dalton-Smith mendi-agnosa bahwa berdusta awalnya mampu membantu me-lepaskan hormon stres. Tetapi, seiring berjalannya waktu dan ketika dusta sudah menjadi kebiasaan, akan timbul resiko jantung koroner, stroker, kanker, diabetes dan gagal jantung. Sebab berdusta, ternyata meningkatkan tekanan darah. Ini bisa dibuktikan dengan alat polygram yang biasa dikenal sebagai lie detector. Mesin ini bisa mengetahui kebohongan dengan mendeteksi peningkatan tekanan darah.

Orang yang berdusta dan menyimpan rahasia kebohon-gan, pada saatnya nanti akan menuai apa yang telah dik-erjakannya. Tekanan darah terus menerus meningkat dan menyebabkan berbagai penyakit tersebut diatas. Solusi dari semua penyakit itu ternyata hanya satu hal, kata hati. Keju-juran ternyata menjadi obat ampuh untuk menjaga keseha-tan. Sedang dusta, bukan hanya menyakiti perasaan orang lain tapi juga menyiksa diri sendiri. Adakah sebagian pem-impin kita yang meninggal dunia karena penyakit yang telah disebutkan?

Saat WTC Amerika diledakkan melalui pesawat yang menghantam bagian gedung, mantan presiden Kuba, Fidel Castro, menilai Amerika membuat legitimasi kebohongan-nya dengan dusta baru. Teroris sejatinya adalah Amerika dengan menciptakan al Qaida untuk mewujudkan agenda-agendanya. Saat Bush berkuasa, Castro menilainya meman-faatkan keberadaan al Qaida sebagai kambing kambing

Page 43: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011 43

Page 44: suluh mhsa vi

SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 201144