substase anak.doc

33
Presentasi Kasus Bedah Anak SEORANG BAYI LAKI-LAKI 2,5 BULAN DENGAN SUSPECT MEGACOLON CONGENITAL Disusun Oleh: Pupus Ledysta G99141056 Pembimbing: dr. Suwardi, Sp.B, Sp.BA

Transcript of substase anak.doc

Page 1: substase anak.doc

Presentasi Kasus Bedah Anak

SEORANG BAYI LAKI-LAKI 2,5 BULAN DENGAN

SUSPECT MEGACOLON CONGENITAL

Disusun Oleh:

Pupus Ledysta

G99141056

Pembimbing:

dr. Suwardi, Sp.B, Sp.BA

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI

SURAKARTA

2014

Page 2: substase anak.doc

BAB I

STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS

A. Identitas Pasien

Nama : An. A

Umur : 2.5 bulan

Jenis kelamin : Laki-laki

Alamat : Sambi, Boyolali

No. RM : 01261418

B. Keluhan Utama

Tidak dapat BAB

C. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan tidak dapat BAB sejak 4 hari

sebelum masuk rumah sakit. Sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit pasien sering

mengalami sulit BAB dan jarang. Pasien dibawa ke Bidan setiap kali mengalami

kesulitan BAB dan diberikan obat melalui dubur. Pasien lahir dari ibu G2P2A0

pervaginam dengan berat badan lahir : 3100 gram.

D. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat keluhan yang sama : disangkal

E. Riwayat Kelahiran

Pasien lahir dari ibu G2P2A0 pervaginam. Saat lahir menangis, ketuban jernih,

tidak berbau.

Usia kehamilan : 35 minggu

Berat badan lahir : 3100 gram

F. Riwayat Kehamilan dan Prenatal

Riwayat ANC : rutin di bidan setempat

Riwayat sakit saat hamil : disangkal

Riwayat konsumsi jamu saat hamil : disangkal

Page 3: substase anak.doc

Riwayat konsumsi obat bebas saat hamil: disangkal

G. Riwayat Imunisasi

Pasien telah mendapatkan imunisasi DPT dan Hepatitis B.

II. PEMERIKSAAN FISIK

A. Keadaan umum : compos mentis, pasien tampak baik, gizi kesan baik

BB : 5300 gram

TB : 50,7 cm

B. Vital sign :

S : 36,5 C per aksilar

N : 128 kali per menit, regular, simetris, isi dan tegangan cukup

RR : 32 x/menit

C. Kepala : mesocephal

D. Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), cekung (-/-), pupil isokor

(2cm/2cm)

E. Telinga : sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-), nyeri tragus (-/-).

F. Hidung : bentuk simetris, nasal conca hipertrofi (-/-), napas cuping hidung (-), sekret

(-), keluar darah (-).

G. Mulut : mukosa basah (+), sianosis (-), faring hiperemis (-/-), tonsila palatine

(T1/T1), lidah kotor (-), jejas (-).

H. Leher : pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-).

I. Thorak : bentuk normochest, retraksi intercosta (-/-), ketertinggalan gerak (-).

J. Jantung

Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.

Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat.

Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar.

Auskultasi : bunyi jantung I-II intenstas normal, regular, bising (-).

K. Pulmo

Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri.

Palpasi : fremitus raba kanan sama dengan kiri

Perkusi : sonor/sonor.

Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan (-/-).

L. Abdomen

Page 4: substase anak.doc

Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada, darm contour (-), darm steifung (-)

Auskultasi : bising usus (+) normal, metalic sound (-)

Perkusi : timpani

Palpasi : supel, massa (-), nyeri tekan (-), defance muscular (-)

M. Genitourinaria : BAK pada pangkal penis, BAK darah (-), BAK nanah (-), nyeri BAK

(-).

N. Muskuloskletal: nyeri pada anggota gerak(-) , kelemahan pada anggota gerak(-),

ROM terbatas pada anggota gerak(-)

O. Ekstremitas

Akral dingin Oedema

- -

- -

P. Status Lokalis

Rectal toucher : Tonus musculus sphincter ani dalam batas normal, mukosa licin,

massa (-), sarung tangan lendir darah (-), feces (+) konsistensi

lembek.

- -

- -

Page 5: substase anak.doc

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. Foto Baby Gram

Foto Abdomen:Tampak caliber rectum kesan dilatasi dengan fecal material prominentBayangan hepar dan lien tidak tampak membesarContour ginjal kanan dan kiri tidak tampak jelasTidak tampak bayangan radioopaque sepanjang tractus urinariusPsoas shadow kanan kiri simetrisCorpus, pedicle dan spatium intervertebralis tampak baik

Kesimpulan:Suspect megacolon

B. USG Abdomen

Page 6: substase anak.doc

USG Abdomen (Hepar), lien, pancreas, ginjalHepar : Ukuran normal, intensitas echoparenkim normal, VH/VP normal,

sudut tajam, tepi regular, IHBD/EHBD normalGall bladder : ukuran normal,n intensitas echoparenkim normal, tak tampak

batu/kista/massaLien : Ukuran normal, intensitas echoparenkim normal, tak tampak

kista/massaPankreas : sulit dievaluasiGinjal kanan : ukuran normal, intensitas echoparenkim normal, batas sinus-

korteks tegas, tak tampak ectasis PCS, tak tampak batu/kista/massaGinjal kiri : ukuran normal, intensitas echoparenkim normal, batas sinus-

korteks tegas, tak tampak ectasis PCS, tak tampak batu/kista/massaBladder : terisi cukup urine, tak tampak batu/kista/massaTak tampak limfadenopati paraaortaRectum : diameter transversal di rectum 5.98 mm, fecal material prominent

di rectum (+)

KesimpulanFecal material prominent di rectum, adanya megacolon belum dapat disingkirkanHepar/Gall bladder/lien/Ren kanan-kiri/Bladder normal

C. Pemeriksaan Laboratorium Darah

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan

Hematologi Rutin

Hemoglobin 8.6 g/dL 9,4 – 13,0

Hematokrit 27 % 28 – 42

Leukosit 6,6 Ribu/µl 5,0 – 19,5

Trombosit 372 Ribu/µl 150 – 450

Eritrosit 3,35 Juta/µl 3,10 – 4,30

Indeks Eritrosit

MCV 81,3 /um 80,0 – 96,0

MCH 25,7 pg 28,0 – 33,0

MCHC 31,5 g/ dl 33,0 – 36,0

RDW 12,7 % 11,6 – 14,6

HDW 3,8 Fl 2,2 – 3,2

Page 7: substase anak.doc

MPV 6,8 % 7,2 – 11,1

Hitung Jenis

Eosinofil 2,00 % 0,00 – 4,00

Basofil 0,00 % 0,00 – 1,00

Netrolfil 29,80 % 18,00 – 74,00

Limfosit 59,70 % 60,00 – 66,00

Monosit 6,50 % 0,00 – 6,00

LUC/AMC 1,90 % _

Kimia Klinik

Creatinin 0,2 mg/ dl 0,2 – 0,4

Ureum 11 mg/ dl < 42

IV. ASSESMENT

Suspect megacolon congenital

V. PLANNING

Colon in loop dengan barium enema

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Megacolon kongenital adalah suatu penyakit akibat obstruksi fungsional yang

berupa aganglionis usus, dimulai dari sfingter anal internal ke arah proximal dengan

panjang segmen tertentu, setidak –tidaknya melibatkan sebagian rektum. Megacolon

kongenital ditandai dengan tidak adanya sel ganglion di pleksus auerbach dan meissner.1

B. Etiologi

Ada berbagai teori penyebab dari megacolon kongenital, dari berbagai penyebab

tersebut yang banyak dianut adalah teori karena kegagalan sel-sel krista neuralis untuk

bermigrasi ke dalam dinding suatu bagian saluran cerna bagian bawah termasuk kolon

Page 8: substase anak.doc

dan rektum. Akibatnya tidak ada ganglion parasimpatis (aganglion) di daerah tersebut.

sehingga menyebabkan peristaltik usus

menghilang sehingga profulsi feses dalam lumen terlambat serta dapat

menimbulkan terjadinya distensi dan penebalan dinding kolon di bagian proksimal

sehingga timbul gejala obstruktif usus akut, atau kronis tergantung panjang usus yang

mengalami aganglion.3,4

C. Patogenesis

Kelainan pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada kolon distal dan

smegacolon kongenitalincter anus interna sehingga terjadi obstruksi. Maka dari itu bagian

yang abnormal akan mengalami kontraksi di segmen bagian distal sehingga bagian yang

normal akan mengalami dilatasi di bagian proksimalnya.1 Dasar patofisiologi dari

megacolon kongenital adalah tidak adanya gelombang propulsif dan abnormalitas atau

hilangnya relaksasi dari smegacolon kongenitalincter anus internus yang disebabkan

aganglionosis, hipoganglionosis atau disganglionosis pada usus yang terkena.2,3

Kerusakan yang terjadi pada Megacolon kongenital tidak terdapatnya ganglion

(aganglion) pada kolon menyebabkan peristaltik usus menghilang sehingga profulsi feses

dalam lumen kolon terlambat yang menimbulkan terjadinya distensi dan penebalan

dinding kolon di bagian proksimal daerah aganglionik sebagai akibat usaha melewati

daerah obstruksi dibawahnya. Keadaan ini akan menimbulkan gejala obstruksi usus akut,

atau kronis yang tergantung panjang usus yang mengalami aganglion. Obstruksi kronis

menimbulkan distensi usus sehingga dinding usus mengalami iskemia yang disertai iritasi

feses sehingga menyebabkan terjadinya invasi bakteri. Selanjutnya dapat terjadi nekrosis,

ulkus mukosa kolon, pneumomatosis, sampai perforasi kolon. Keadaan ini menimbulkan

gejala enterokolitis dari ringan sampai berat. Bahkan terjadi sepsis akibat dehidrasi dan

kehilangan cairan rubuh yang berlebihan.2,3,4

D. Diagnosis

1. Anamnesis

Diagnosis penyakit ini dapat dibuat berdasarkan adanya konstipasi pada

neonatus. Gejala konstipasi yang sering ditemukan adalah terlambatnya pengeluaran

mekonium dalam waktu 24 jam setelah lahir. Gejala lain yang biasanya terdapat

adalah: distensi abdomen, gangguan pasase usus, poor feeding, vomiting. Apabila

penyakit ini terjadi pada neonatus yang berusia lebih tua maka akan didapatkan

Page 9: substase anak.doc

kegagalan pertumbuhan. Hal penting lainnya yang harus diperhatikan adalah

didapatkan periode konstipasi pada neonatus yang diikuti periode diare yang massif,

kita harus mencurigai adanya enterokolitis. Faktor genetik adalah faktor yang harus

diperhatikan pada semua kasus. 2,4

2. Gejala klinik

Pada bayi yang baru lahir manifestasi megacolon kongenital yang khas

biasanya terjadi pada neonatus cukup bulan dengan keterlambatan pengeluaran

mekonium pertama, selanjutnya diikuti dengan distensi abdomen, dan muntah hijau

atau fekal. Pada lebih dari 90% bayi normal, mekonium pertama keluar dalamm usia

24 jam pertama, namun pada lebih dari 90% kasus megacolon kongenital mekonium

keluar setelah 24 jam. Mekonium normal berwarna hitam kehijauan, sedikit lengket

dan dalam jumlah cukup. Distensi abdomen merupakan gejala penting lainnya, yang

merupakan manifestasi obstruksi usus letak rendah. Tidak keluarnya mekonium pada

24 jam pertama kehidupan merupakan tanda yang signifikan mengarah pada diagnosis

megacolon kongenital. Pada beberapa bayi yang baru lahir dapat timbul diare yang

menunjukkan adanya enterokolitis.1,4

Pada anak yang lebih besar, pada beberapa kasus dapat mengalami kesulitan

makan, distensi abdomen yang kronis dan ada riwayat konstipasi. megacolon

kongenital dapat juga menunjukkan gejala lain seperti adanya fekal impaction,

demam, diare yang menunjukkan adanya tanda-tanda enterokolitis, malnutrisi, dan

gagal tumbuh kembang. 1,4 Beratnya gejala ini dan derajat konstipasi bervariasi antara

pasien dan sangat individual untuk setiap kasus. Beberapa bayi dengan gejala

obstruksi intestinal komplit dan lainnya mengalami beberapa gejala ringan pada

minggu atau bulan pertama kehidupan. 1

Beberapa anak yang lebih besar mengalami konstipasi menetap, mengalami

perubahan pada pola makan dari ASI menjadi susu pengganti atau makanan padat.2,5

Pasien didiagnosis dengan megacolon kongenital karena adanya riwayat konstipasi,

distensi abdomen dan gelombang peristaltik dapat terlihat, sering dengan

enterokolitis, dan dapat terjadi gangguan pertumbuhan. Gejala dapat hilang namun

beberapa waktu kemudian terjadi distensi abdomen. Pada pemeriksaan colok dubur

smegacolon kongenitalincter ani teraba hipertonus dan rektum biasanya kosong.

Tanda-tanda edema, bercak- bercak kemerahan khusus di sekitar umbilikus,

punggung, dan disekitar genitalia ditemukan bila telah terdapat komplikasi peritonitis 1,2,4

Page 10: substase anak.doc

Umumnya diare ditemukan pada bayi dengan megacolon kongenital yang

berumur kurang dari 3 bulan. Bila ditemukan harus dipikirkan gejala enterokolitis

yang merupakan komplikasi serius dari aganglionosis.2 Enterokolitis terjadi pada 12-

58% pada pasien dengan megacolon kongenital. Hal ini karena stasis feses

menyebabkan iskemia mukosal dan invasi bakteri juga translokasi. Selain itu disertai

perubahan komponen musim dan pertahanan mukosa, perubahan sel neuroendokrin,

meningkatnya aktivitas prostaglandin E1, infeksi oleh Clostridium difficile atau

Rotavirus. Patogenesisnya masih belum jelas dan beberapa pasien masih bergejala

walaupun telah dilakukan kolostomy.

Enterokolitis yang berat dapat berupa toxic megacolon yang mengancam jiwa.

Enterokolitis ditandai dengan demam, muntah berisi empedu, diare yang menyemprot,

distensi abdominal, dehidrasi dan syok. Ulserasi dan nekrosis iskemik pada mukosa

yang berganglion dapat mengakibatkan sepsis dan perforasi. Hal ini harus

dipertimbangkan pada semua anak dengan enterocolisis necrotican. Perforasi spontan

terjadi pada 3% pasien dengan megacolon kongenital. Ada hubungan erat antara

panjang colon yang aganglion dengan perforasi.3 Diagnosis dini megacolon

kongenital dan penanganan yang tepat sebelum terjadinya komplikasi merupakan hal

yang penting dalam mengurangi angka morbiditas dan mortalitas akibat penyakit ini.2

3. Pemeriksaan penunjang

Diagnostik pada megacolon kongenital dapat ditegakkan dengan beberapa

pemeriksaan penunjang :

a. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan foto polos abdomen dan khususnya barium enema merupakan

pemeriksaan diagnostik untuk mendeteksi megacolon kongenital secara dini pada

neonatus. Keberhasilaan pemerikasaan radiologi pasien neonatus sangat

bergantung pada kesadaran dan pengalaman spesialis radiologi pada penyakit ini,

disamping teknik yang baik dalam memperlihatkan tanda-tanda yang diperlukan

untuk penegakkan diagnosis.1

Foto polos abdomen

Megacolon kongenital pada neonatus cenderung menampilkan

gambaran obstruksi usus letak rendah. Daerah pelvis terlihat kosong tanpa

Page 11: substase anak.doc

udara. Gambaran obstruksi usus letak rendah dapat ditemukan penyakit lain

dengan sindrom obstruksi usus letak rendah, seperti atresia ileum, sindrom

sumbatan mekonium, atau sepsis, termasuk diantaranya enterokolitis

nekrotikans neonatal. Foto polos abdomen dapat menyingkirkan diagnosis lain

seperti peritonitis intrauterine ataupun perforasi gaster. Pada foto polos

abdomen neonatus, distensi usus halus dan distensi usus besar tidak selalu

mudah dibedakan. Pada pasien bayi dan anak gambaran distensi kolon dan

gambaran masa feses lebih jelas dapat terlihat.1 Selain itu, gambaran foto

polos juga menunjukan distensi usus karena adanya gas.2 Enterokolitis pada

megacolon kongenital dapat didiagnosis dengan foto polos abdomen yang

ditandai dengan adanya kontur irregular dari kolon yang berdilatasi yang

disebabkan oleh oedem, spasme, ulserase dari dinding intestinal. Perubahan

tersebut dapat terlihat jelas dengan barium enema.1

Barium enema

Pemeriksaan barium enema harus dikerjakan pada neonatus dengan

keterlambatan evakuasi mekonium yang disertai dengan distensi abdomen dan

muntah hijau, meskipun dengan pemeriksaan colok dubur gejala dan tanda-

tanda obstruksi usus telah mereda atau menghilang. Tanda klasik khas untuk

megacolon kongenital adalah segmen sempit dari sfingter anal dengan panjang

segmen tertentu, daerah perubahan dari segmen sempit ke segmen dilatasi

(zona transisi), dan segmen dilatasi.1,2 Dalam literatur dikatakan bahwa

pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas 65-80% dan spesifisitas 65-100%.8

Hal terpenting dalam foto barium enema adalah terlihatnya zona transisi. Zona

transisi mempunyai 3 jenis gambaran yang bisa ditemukan pada foto barium

enema yaitu

i. Abrupt, perubahan mendadak

ii. Cone, berbentuk seperti corong atau kerucut

iii. Funnel, bentuk seperti cerobong.1,2

Selain itu tanda adanya enterokolitis dapat juga dilihat pada foto

barium enema dengan gambaran permukaan mukosa yang tidak teratur. Juga

terlihat gambar garis-garis lipatan melintang, khususnya bila larutan barium

mengisi lumen kolon yang berada dalam keadaan kosong.1 Pemerikasaan

barium enema tidak direkomendasikan pada pasien yang terkena enterokolitis

karena adanya resiko perforasi dinding kolon.2,4,9

Page 12: substase anak.doc

Foto retensi barium

Retensi barium 24-48 jam setelah pengambilan foto barium enema

merupakan hal yang penting pada megacolon kongenital, khusunya pada masa

neonatus. Foto retensi barium dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan

foto polos abdomen untuk melihat retensi barium. Gambaran yang terlihat

yaitu barium membaur dengan feses ke arah proksimal di dalam kolon

berganglion normal.

Retensi barium dengan obtipasi kronik yang bukan disebabkan

megacolon kongenital terlihat semakin ke distal, menggumpal di daerah

rektum dan sigmoid. Foto retensi barium dilakukan apabila pada foto enema

barium ataupun yang dibuat pasca-evakuasi barium tidak terlihat tanda

megacolon kongenital.1 Apabila terdapat jumlah retensi barium yang cukup

signifikan di kolon, hal ini juga meningkatkan kecurigaan megacolon

kongenital walaupun zona transisi tidak terlihat.2

b. Anorectal manometry

Pemeriksaan anorektal manometri dilakukan pertama kali oleh Swenson

pada tahun 1949 dengan memasukkan balón kecil dengan kedalaman yang

berbeda- beda dalam rektum dan kolon.1 Alat ini melakukan pemeriksaan objektif

terhadap fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan spingter

anorektal. Pada dasarnya, alat ini memiliki 2 komponen dasar : transduser yang

sensitif terhadap tekanan seperti balon mikro dan kateter mikro, serta sistem

pencatat seperti poligramegacolon kongenital atau komputer.7

Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi megacolon

kongenital adalah :

Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi

Tidak didapati kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen usus

aganglionik; Motilitas usus normal digantikan oleh kontraksi yang tidak

terkoordinasi dengan intensitas dan kurun waktu yang berbeda-beda.

Refleks inhibisi antara rektum dan sfingter anal internal tidak berkembang.

Tidak dijumpai relaksasi spinkter interna setelah distensi rektum akibat

desakan feses. Tidak dijumpai relaksasi spontan.1

Dalam prakteknya pemeriksaan anorektal manometri tersebut dikerjakan

apabila hasil pemeriksaan klinis, radiologis, dan histologis meragukan, misalnya

Page 13: substase anak.doc

pada kasus megacolon kongenital ultra pendek. Laporan positif palsu hasil

pemeriksaan manometri berkisar antara 0-62% dan hasil negatif palsu 0-24%. 1

Pada literature disbutkan bahwa sensitivitas manometri ini sekitar 75-100% dan

spesifisitasnya 85-95 %.8 Hal serupa hampir tidak jauh beda dengan hasil

penelitian lain yang menyatakan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas 75% dan

spesifisitas sebesar 95%.7 Perlu diingat bahwa refleks anorektal pada neonatus

prematur atau neonatus aterm belum berkembang sempurna sebelum berusia 12

hari.1

Keuntungan metode pemeriksaan anorektal manometri adalah aman, tidak

invasif dan dapat segera dilakukan sehingga pasien bisa langsung pulang karena

tidak dilakukan anestesi umum.1

c. Pemeriksaan Histopatologi

Standar diagnosis untuk megacolon kongenital adalah pemeriksaan

histopatologi yang dapat dikerjakan dengan open surgery atau biopsi isap rektum.

Pada kolon yang normal menampilkan adanya sel ganglion pada pleksus mienterik

(Auerbach) dan pleksus sub-mukosa (Meissner). Diagnosis histopatologi

megacolon kongenital didasarkan atas absennya sel ganglion pada kedua pleksus

tersebut. Disamping itu akan terlihat dalam jumlah banyak penebalan serabut saraf

(parasimpatis).

Akurasi pemeriksaan akan semakin tinggi apabila menggunakan

pengecatan immunohistokimia asetilkolinesterase, suatu enzim yang banyak

ditemukan pada serabut saraf Pada beberapa pusat pediatric dengan adanya

peningkatan asetilkolinesterase di mukosa dan submukosa disertai dengan

manifestasi gejala yang khas dan adanya foto barium enema yang menunjukkan

adanya zona transisi sudah cukup untuk menegakkan diagnosis megacolon

congenital.

Hanya saja pengecatan immunohistokimia asetilkolinesterase memerlukan

ahli patologi anatomi yang berpengalaman, sebab beberapa keadaan dapat

memberikan interpretasi yang berbeda seperti dengan adanya perdarahan.

Disamping memakai pengecatan asetilkolinesterase, juga digunakan pewarnaan

enolase spesifik neuron dan. pewarnaan protein S-100, metode peroksidase-

antiperoksidase yang dapat memudahkan penegakan diagnosis megacolon

kongenital.1,8 Swenson pada tahun 1955 mempelopori pemeriksaan histopatologi

Page 14: substase anak.doc

dengan eksisi seluruh tebal dinding otot rektum, untuk mendapatkan gambaran

pleksus mienterik.

Secara teknis, prosedur ini relatif sulit dilakukan sebab memerlukan

anastesi umum, dapat menyebabkan inflamasi dan pembentukan jaringan ikat

yang mempersulit tindakan bedah definitif selanjurnya.1 Disamping itu juga teknik

ini dapat menyebabkan komplikasi seperti perforasi, perdarahan rektum, dan

infeksi.9 Noblett tahun 1969 mempelopori teknik biopsi isap dengan

menggunakan alat khusus, untuk mendapatkan jaringan mukosa dan sub-mukosa

sehingga dapat melihat keberadaan pleksus Meissner. Metode ini dapat dikerjakan

lebih sederhana, aman, dan tidak memerlukan anastesi umum serta akurasi

pemeriksaan yang mencapai 100%.1 Akan tetapi, menurut sebuah penelitian

dikatakan bahwa akurasi diagnostic biopsi isap rektum bergantung pada specimen,

tempat specimen diambil, jumlah potongan seri yang diperiksa dan keahlian dari

spesialis patologis anatomi. Apabila semua kriteria tersebut dipenuhi akurasi

pemeriksaan dapat mencapai yaitu 99,7%.9 Untuk pengambilan sampel biasanya

diambil 2 cm diatas linea dentate.

Diagnosis ditegakkan apabila ditemukan sel ganglion Meisner dan

ditemukan penebalan serabut saraf. Apabila hasil biopsy isap meragukan, barulah

dilakukan biopsi eksisi otot rektum untuk menilai pleksus Auerbach.1

4. Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari megacolon kongenital didasarkan pada beberapa

penyakit yang mempunyai gejala obstruksi letak rendah yang mirip megacolon

kongenital. Pada neonatal gejala yang mirip dengan megacolon kongenital dapat

berupa meconium plug syndrome, stenosis anus, prematuritas, enterokolitis

nekrotikans, dan fisura ani. Sedangkan pada anak-anak yang lebih besar diagnosis

bandingnya dapat berupa konstipasi oleh karena beberapa sebab, stenosis anus, tumor

anorektum, dan fisura anus.5,6

5. Penanganan

a. Tindakan Non Bedah

Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mencegah serta komplikasi-

komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan umum penderita

sampai pada saat operasi definitif dapat dikerjakan. Pengobatan non bedah

diarahkan pada stabilisasi cairan, elektrolit, asam basa dan mencegah terjadinya

Page 15: substase anak.doc

overdistensi sehingga akan menghindari terjadinya perforasi usus serta mencegah

terjadinya sepsis. Tindakan-tindakan nonbedah yang dapat dikerjakan adalah

pemasangan pipa nasogastrik, pemasangan pipa rektum, pemberian antibiotik,

lavase kolon dengan irigasi cairan, koreksi elektrolit serta pengaturan nutrisi.1

b. Tindakan Bedah.

Tindakan Bedah Sementara

Tindakan bedah sementara dimaksudkan untuk dekompresi abdomen

dengan cara membuat kolostomi pada kolon yang mempunyai ganglion

normal bagian distal. Tindakan dimaksudkan guna menghilangkan obstruksi

usus dan mencegah terjadinya enterokolitis yang diketahui sebagai penyebab

utama terjadinya kematian pada penderita penyakit Hirschsprung. Manfaat

lain dari kolostomi adalah menurunkan angka kematian pada saat dilakukan

tindakan bedah definitif dan mengecilkan kaliber usus pada penderita

Hirschsprung yang telah besar sehingga memungkinkan dilakukan

anastomose.3,5

Tindakan Bedah Definitif

i. Prosedur Swenson

Prosedur ini adalah prosedur pertama untuk operasi penyakit

Hirschsprung dengan metode “pull-through”. Tehnik ini diperkenalkan

pertama kali oleh Swenson dan Bill pada tahun 1948. Segmen yang

aganglionik direseksi dan puntung rektum ditinggalkan 2-4 cm dari garis

mukokutan kemudian dilakukan anastomosis  langsung diluar rongga

peritoneal. Pada prosedur ini enterokolitis masih dapat terjadi sebagai

akibat spasme puntung rektum yang ditinggalkan. Untuk mengatasi hal

ini Swenson melakukan sfingterektomi parsial posterior. Prosedur ini

disebut prosedur Swenson I.1, 9

Pada 1964 Swenson memperkenalkan prosedur Swenson II dimana

setelah dilakukan pemotongan segmen kolon yang aganglionik, puntung

rektum ditinggalkan 2 cm di bagian anterior dan 0,5 cm di bagian

posterior kemudian langsung dilakukan sfingterektomi parsial langsung.

Ternyata prosedur ini sama sekali tidak mengurangi spasme sfingter ani

dan tidak mengurangi komplikasi enterokolitis pasca bedah dan bahkan

Page 16: substase anak.doc

pada prosedur Swenson II kebocoran anastomosis lebih tinggi dibanding

dengan prosedur Swenson I. 1,9

Prosedur Swenson dimulai dengan approach ke intra abdomen,

melakukan biopsi eksisi otot rektum, diseksi rektum ke bawah hingga

dasar pelvik dengan cara diseksi serapat mungkin ke dinding rektum,

kemudian bagian distal rektum diprolapskan melewati saluran anal ke

dunia luar sehingga saluran anal menjadi terbalik, selanjutnya menarik

terobos bagian kolon proksimal (yang tentunya telah direseksi bagian

kolon yang aganglionik) keluar melalui saluran anal. Dilakukan

pemotongan rektum distal pada 2 cm dari anal verge untuk bagian

anterior dan 0,5-1 cm pada bagian posterior, selanjunya dilakukan

anastomose end to end dengan kolon proksimal yang telah ditarik terobos

tadi. Anastomose dilakukan dengan 2 lapis jahitan, mukosa dan sero-

muskuler. Setelah anastomose selesai, usus dikembalikan ke kavum

pelvik / abdomen. Selanjutnya dilakukan reperitonealisasi, dan kavum

abdomen ditutup.1,5

ii. Prosedur Duhamel

Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk mengatasi

kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip dasar prosedur

ini adalah menarik kolon proksimal yang ganglionik ke arah anal melalui

bagian posterior rektum yang aganglionik, menyatukan dinding posterior

rektum yang aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal yang

ganglionik sehingga membentuk rongga baru dengan anastomose end to

side.3

Prosedur Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan, diantaranya

sering terjadi stenosis, inkontinensia dan pembentukan fekaloma di dalam

puntung rektum yang ditinggalkan apabila terlalu panjang. Oleh sebab itu

dilakukan beberapa modifikasi prosedur Duhamel, diantaranya :

- Modifikasi Grob (1959) : Anastomose dengan pemasangan 2 buah

klem melalui sayatan endoanal setinggi 1,5-2,5 cm, untuk mencegah

inkontinensia

- Modifikasi Talbert dan Ravitch: Modifikasi berupa pemakaian stapler

untuk melakukan anastomose side to side yang panjang

Page 17: substase anak.doc

- Modifikasi Ikeda: Ikeda membuat klem khusus untuk melakukan

anastomose, yang terjadi setelah 6-8 hari kemudian

- Modifikasi Adang: Pada modifikasi ini, kolon yang ditarik transanal

dibiarkan prolaps sementara. Anastomose dikerjakan secara tidak

langsung, yakni pada hari ke-7-14 pasca bedah dengan memotong

kolon yang prolaps dan pemasangan 2 buah klem; kedua klem dilepas

5 hari berikutnya. Pemasangan klem disini lebih dititikberatkan pada

fungsi hemostasis.1

Prosedur Soave atau Endorectal Pull Through

Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehbein tahun

1959 untuk tindakan bedah pada malformasi anorektal letak tinggi. Namun

oleh Soave tahun 1966 diperkenalkan untuk tindakan bedah definitif

Hirschsprung.

Tujuan utama dari prosedur Soave ini adalah membuang mukosa rektum

yang aganglionik, kemudian menarik terobos kolon proksimal yang ganglionik

masuk kedalam lumen rektum yang telah dikupas tersebut.3

Prosedur Rehbein

Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana

dilakukan anastomose end to end antara usus aganglionik dengan rektum pada

level otot levator ani (2-3 cm diatas anal verge), menggunakan jahitan 1 lapis

yang dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal. Pasca operasi, sangat penting

melakukan businasi secara rutin guna mencegah stenosis.3

Prosedur Open Hartmann

Sigmoidectomy merupakan prosedur reseksi kolon sigmoid, terkadang

termasuk mereseksi seluruh rektum dan dinamakan proctosigmoidectomy.

Prosedur sigmoidectomy yang diikuti oleh colostomy terminal dan rectal

stump dinamakan prosedur Open Hartmann. Pada awalnya prosedur ini

digunakan sebagai tindakan operatif pada kasus adenocarcinoma kolon,

walaupun begitu indikasi prosedur ini makin bermacam-macam.3

6. Komplikasi

Page 18: substase anak.doc

Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit

Hirschsprung dapat digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis, enterokolitis

dan gangguan fungsi spinkter. Beberapa hal dicatat sebagai faktor predisposisi

terjadinya penyulit pasca operasi, diantaranya : usia muda saat operasi, kondisi umum

penderita saat operasi, prosedur bedah yang digunakan, keterampilan dan pengalaman

dokter bedah, jenis dan cara pemberian antibiotik serta perawatan pasaca bedah.

a. Kebocoran Anastomose

Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh ketegangan

yang berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang tidak adekuat pada

kedua tepi sayatan ujung usus, infeksi dan abses sekitar anastomose serta trauma

colok dubur atau businasi pasca operasi yang dikerjakan terlalu dini dan tidak

hati-hati. Kartono mendapatkan angka kebocoran anastomese hingga 7,7% dengan

menggunakan prosedur Swenson, sedangkan apabila dikerjakan dengan prosedur

Duhamel modifikasi hasilnya sangat baik dengan tak satu kasuspun mengalami

kebocoran.1

Manifestasi klinis yang terjadi akibat kebocoran anastomose ini beragam.

Kebocoran anastomosis ringan menimbulkan gejala peningkatan suhu tubuh,

terdapat infiltrat atau abses rongga pelvik, kebocoran berat dapat terjadi demam

tinggi, pelvioperitonitis atau peritonitis umum , sepsis dan kematian. Apabila

dijumpai tanda-tanda dini kebocoran, segera dibuat kolostomi di segmen

proksimal. 1,3,4

b. Stenosis

Stenosis yang terjadi pasca operasi dapat disebabkan oleh gangguan

penyembuhan luka di daerah anastomose, infeksi yang menyebabkan

terbentuknya jaringan fibrosis, serta prosedur bedah yang dipergunakan. Stenosis

sirkuler biasanya disebabkan komplikasi prosedur Swenson atau Rehbein, stenosis

posterior berbentuk oval akibat prosedur Duhamel sedangkan bila stenosis

memanjang biasanya akibat prosedur Soave.

Manifestasi yang terjadi dapat berupa gangguan defekasi yaitu kecipirit,

distensi abdomen, enterokolitis hingga fistula perianal. Tindakan yang dapat

dilakukan bervariasi, tergantung penyebab stenosis, mulai dari businasi hingga

sfinkterektomi posterior.3,4

Page 19: substase anak.doc

c. Enterokolitis

Enterokolitis merupakan komplikasi yang paling berbahaya, dan dapat

berakibat kematian. Swenson mencatat angka 16,4% dan kematian akibat

enterokolitis mencapai 1,2%. Kartono mendapatkan angka 14,5% dan 18,5%

masing-masing untuk prosedur Duhamel modifikasi dan Swenson. Sedangkan

angka kematiannya adalah 3,1% untuk prosedur Swenson dan 4,8% untuk

prosedur Duhamel modifikasi. Tindakan yang dapat dilakukan pada penderita

dengan tanda-tanda enterokolitis adalah :

Segera melakukan resusitasi cairan dan elektrolit

Pemasangan pipa rektal untuk dekompresi

Melakukan wash out dengan cairan fisiologis 2-3 kali perhari

Pemberian antibiotika yang tepat.

Sedangkan untuk koreksi bedahnya tergantung penyebab/prosedur operasi

yang telah dikerjakan. Businasi pada stenosis, sfingterotomi posterior untuk

spasme spingter ani dapat juga dilakukan reseksi ulang stenosis. Prosedur

Swenson biasanya disebabkan spinkter ani terlalu ketat sehingga perlu

spinkterektomi posterior. Sedangkan pada prosedur Duhamel modifikasi,

penyebab enterokolitis biasanya adalah pemotongan septum yang tidak sempurna

sehingga perlu dilakukan pemotongan ulang yang lebih panjang.1,3

Enterokolitis dapat terjadi pada semua prosedur tetapi lebih kecil pada

pasien dengan endorektal pullthrough. Enterokolitis merupakan penyebab

kecacatan dan kematian pada megakolon kongenital, mekanisme timbulnya

enterokolitis menurut Swenson adalah karena obtruksi parsial. Obtruksi usus

pasca bedah disebabkan oleh stenosis anastomosis, sfingter ani dan kolon

aganlionik yang tersisa masih spastik. Manifestasi klinis enterokolitis berupa

distensi abdomen diikuti tanda obtruksi seperti muntah hijau atau fekal dan feses

keluar eksplosif cair dan berbau busuk. Enetrokolitis nekrotikan merupakan

komplikasi paling parah dapat terjadi nekrosis, infeksi dan perforasi. Hal yang

sulit pada megakolon kongenital adalah terdapatnya gangguan defekasi pasca

pullthrough, kadang ahli bedah dihadapkan pada konstipasi persisten dan

enterokolitis berulang pasca bedah.1

d. Gangguan Fungsi Sfinkter

Page 20: substase anak.doc

Hingga saat ini, belum ada suatu parameter atau skala yang diterima

universal untuk menilai fungsi anorektal ini. Fecal soiling atau kecipirit

merupakan parameter yang sering dipakai peneliti terdahulu untuk menilai fungsi

anorektal pasca operasi, meskipun secara teoritis hal tersebut tidaklah sama.

Kecipirit adalah suatu keadaan keluarnya feces lewat anus tanpa dapat

dikendalikan oleh penderita, keluarnya sedikit-sedikit dan sering. Untuk menilai

kecipirit, umur dan lamanya pasca operasi sangatlah menentukan (Heikkinen

dkk,1997; Lister,1996; Heij dkk,1995). Swenson memperoleh angka 13,3%

terjadinya kecipirit, sedangkan Kleinhaus justru lebih rendah yakni 3,2% dengan

prosedur yang sama. Kartono mendapatkan angka 1,6% untuk prosedur Swenson

dan 0% untuk prosedur Duhamel modifikasi. Sedangkan prosedur Rehbein juga

memberikan angka 0%.Pembedahan dikatakan berhasil bila penderita dapat

defekasi teratur dan kontinen.1

7. Prognosis

Secara umum prognosisnya baik jika gejala obstruksi segera diatasi, 90%

pasien dengan penyakit hirschprung yang mendapat tindakan pembedahan mengalami

penyembuhan dan hanya sekitar 10% pasien yang masih mempunyai masalah dengan

saluran cernanya sehingga harus dilakukan kolostomi permanen. Angka kematian

akibat komplikasi dari tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20% .1

Page 21: substase anak.doc

DAFTAR PUSTAKA

1. Kartono Darmawan. Penyakit Hirschsprung. Sagung Seto. Jakarta. 2004.

2. Pasumarthy L and Srour JW. Hirschsprung’s Disease:A Case To Remember. Practical

Gastroenterology. 2008:42-45.

3. Nurko SMD. Hirschsprung Disease. Center for Motility and Functional

Gastrointestinal Disorders.2007

4. Kessman JMD. Hirschsprung Disease: Diagnosis and Management. American Family

Physician. 2006;74:1319-1322.

5. Izadi M, Mansour MF, Jafarshad R, Joukar F, Bagherzadeh AH, Tareh F. Clinical

Manifestations of Hirschsprung’s Disease: A Six Year Course Review of Admitted

Patients in Gilan, Northern Iran. Middle East Journal of Digestive Diseases.

2009;1:68-73.

6. Theodore Z, Polley JR, Coran GA. Hirschsprung's Disease In The Newborn. Pediatric

Surgery International. 1986:80-83.

7. Baucke VL, Pringle KC, Ekwo EE. Anorectal Manometry for Exclusion of

Hirschsprung’s Disease in Neonates. Jurnal Of Pediatric Gastroentrology and

Nutrition. 1985;4:596-603.

8. Gerson KE. Hirschsprung’s Disease in: Ashcraft Pediatric Surgery 5 th edition.

Philadelphia. W.B. Saunders Company;2009:p456-475

Page 22: substase anak.doc

9. Rahman Z, Hannan J, Islam S. Hirschsprung's Disease: Role of Rectal Suction

Biopsy-Data on 216 Specimens. Journal of Indian Association Pediatric Surgery.

2010;15:56-58.

10. Puri P. Hirschsprung’s Disease and Variants in: Pediatric Surgery. London. Spinger;

2009:page 453-462.

11. A. John. M Adam. Klasifikasi dan Kriteria diagnosis Penyakit Hirschsprung,

Avalaible : http://emedicine.medscape.com/article/409150- media. Acces : 4 Juli 2009

12. A. John. M Adam. Klasifikasi dan Kriteria diagnosis Penyakit Hirschsprung,

Avalaible : http://emedicine.medscape.com/article/409150- media. Acces : 4 Juli 2009