Study Guide Workshop PNMHII XXIV
-
Upload
adam-ganesa -
Category
Documents
-
view
130 -
download
0
Transcript of Study Guide Workshop PNMHII XXIV
1
Study Guide Workshop PNMHII XXIV
“Upaya Resolusi Konflik dan Binadamai di Asia Tenggara”
Disusun Oleh :
Divisi Materi PNMHII XXIV
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, November 2012
Editor :
Titik Firawati, S.IP, M.A.
2
Pendahuluan
Kawasan Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang rawan akan konflik.
Konflik yang terjadi bukan hanya konflik internal suatu negara, namun juga konflik antarnegara.
Meskipun demikian, banyak yang tidak menyadari realita ini. Sebagian besar masyarakat di Asia
Tenggara cenderung meyakini bahwa kawasannya adalah kawasan yang damai sedangkan
kawasan yang rawan akan konflik adalah Timur Tengah.
Oleh karena itu, guna menumbuhkan kesadaran masyarakat Asia Tenggara tentang
tingginya tingkat kerawanan konflik di kawasannya, workshop PNMHII XXIV akan
dilaksanakan dalam rangka mengananalisis konflik yang terjadi di Asia Tenggara. Kasus-kasus
konflik yang diangkat di sini bisa jadi konflik yang masih berlangsung maupun yang telah usai,
dan pemilihan kasus-kasus tersebut tidak menjadi masalah, karena seperti yang telah
disampaikan sebelumnya, tujuan utama dari workshop ini adalah sebatas melatih peserta
menggunakan alat analisis konflik yang ada.
Study guide ini disusun agar peserta memiliki panduan dalam mempersiapkan diri guna
menghadapi workshop. Panitia berharap adanya study guide ini dapat mempermudah upaya
peserta dalam memperkaya informasi mengenai konflik yang akan dibahas. Study guide ini
sendiri berisi tiga bagian utama, yakni deskripsi konflik, deskripsi alat analisis konflik, dan
lampiran berita mengenai perkembangan terkini dari konflik atau proses perdamaian tersebut. Di
samping itu, study guide ini juga memuat susunan acara dan pembagian kelompok workshop
PNMHII XXIV.
Pada bagian deskripsi konflik, penyusun mencoba menjelaskan secara singkat konflik
yang akan di bahas. Ada 10 konflik yang tercantum dalam study guide, baik internal negara Asia
Tenggara maupun antarnegara di Asia Tenggara. Sebagai inti dari kegiatan workshop, alat bantu
analisis konflik akan dijelaskan secara singkat dalam bagian deskripsi alat analisis konflik.
Melengkapi informasi seputar konflik, penyusun melampirkan berita yang mengabarkan tentang
informasi detail dari masing-masing konflik. Pada bagian akhir, kami juga mencantumkan
susunan acara dan pembagian kelompok workshop PNMHII XXIV
3
Penyusun mengucapkan terima kasih pada Ibu Titik Firawati atas saran dan kritik yang
telah diberikan dalam proses penyusunan study guide ini. Tidak lupa penyusun menyampaikan
permohonan maaf jika masih ditemui kekurangan dalam study guide. Akhir kata, semoga study
guide ini bermanfaat bagi peserta PNMHII XXIV dalam memahami konflik dan mengupayakan
perdamaian di Asia Tenggara. Selamat mengikuti workshop!
4
Daftar Isi
Pendahuluan......………………………………………………………….………………………..2
Daftar Isi…………………………………………………………………………………………..4
Deskripsi Konflik
a. Laut China Selatan……………………………………………….………………………..5
b. Gerakan Aceh Merdeka………………………………………….………………………..6
c. Pemerintah Filipina dan MILF………………………………….………………………...8
d. Pemerintah Filipina dan MNLF……………………………….…………………………10
e. Pemerintah Filipina dan Komunis…………………………….…………………………13
f. Pemerintah Myanmar dan Rohingya………………………….…………………………15
g. Minoritas Muslim Thailand Selatan dan Pemerintah Thailand.…………………………17
h. Thailand dan Kamboja……………..…………………………………………………….19
i. Sipadan Ligitan…………………..………………………………………………………21
j. Syiah dan Suni di Sampang……………………………………………………………...23
Ringkasan Alat Analisis Konflik ………………………………………………………………..27
Susunan Acara Workshop………………………………………………………………………..29
Pembagian Kelompok dan Kasus Konflik………………………………………………………31
Daftar Pustaka…………………………………………………………………………………...33
Lampiran Berita
US criticises new China garrison in South China Sea………………………………......36
Freedom movement strengthens as Aceh crisis deepens………………………………..38
Philippines brokers peace deal with Muslim rebels………………………………….….40
MILF, MNLF pledge to push Moro interest…………………………………………….41
Communist rebels kill 10 soldiers in the Philippines…………………………………...43
Report blasts Myanmar treatment of Rohingya…………………………………………44
Pattani bomb kills six …………………………………..……………………………....47
Thailand-Cambodia border dispute flares again, leaving six soldiers dead…………….48
5
Indonesia Kehilangan Pulau Sipadan-Ligitan…………………………………………..51
Pengikut Syiah Ditekan Tinggalkan Keyakinannya...………………………………….53
a. Konflik Laut China Selatan
Konflik Laut Cina Selatan telah berlangsung selama beberapa dekade dan belum memiliki
penyelesaian yang solutif hingga kini. Dilihat dari aspek historis, konflik perbatasan tersebut
merupakan konsekuensi yang ditimbulkan oleh pembagian wilayah pada era colonial bangsa
Eropa di Asia Tenggara. Di era pasca kolonial, Laut China Selatan menjadi salah satu jalur
pelayaran tersibuk didunia ditambah lagi fakta bahwa perusahaan Amerika dan Inggris
menemukan kandungan minyak yang melimpah pada 1971-1989, didukung dengan ketentuan
3rd UNCLOS (3rd United Nations Conference on Law on the Sea) terkait Exclusive Economic
Zones yang menyatakan bahwa negara diperkenankan untuk mengeksploitasi laut dan kekayaan
alamnya dengan batas 200 miles, tidak mengherankan jika negara banyak bersengketa
memperebutkan wilayah di Laut China Selatan.
Permasalahan muncul karena ketidaksepahaman negara-negara disekitarnya terkait
dengan batas-batas wilayah. Singapura dan Malaysia mengklaim Pisang Island dan Pulau Batu
Puteh. China, Taiwan, dan Vietnam mengklaim the Paracel Islands (terdiri dari 15 pulau-pulau
kecil). Taiwan dan Cina mengklaim kepulauan Pratas dan the Macclesfield Bank. Dan kepulauan
Spartly diklaim oleh enam negara yaitu Cina, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei.
Sengketa wilayah di Laut Cina Selatan semakin memanas, negara seperti Filipina berani
berhadapan langsung dengan Cina demi mempertahankan kepemilikannya di kawasan tersebut.
Sementara akhir tahun 2011 menteri luar negeri Cina Hong Lei menyatakan bahwa kawasan
teritorial tersebut milik Cina dan persengketaan yang terjadi adalah bentuk kesalahpahaman,
Cina terbuka bagi dialog bilateral maupun multilateral karena Cina ingin menyelesaikan
permasalahan tersebut secara damai. Permasalahan Laut Cina Selatan bukan hanya perkara
teritorial namun lebih dilatarbelakangi oleh alasan ekonomi, terbukti bahwa Laut Cina Selatan
disebut sebagai teluk persia kedua dengan kapasitas kandungan minyak yang diprediksi begitu
besar hingga mencapai 50 billions minyak dan 20 triliun gas. Letaknya yang strategis telah
menjadi jalur lalu lintas kapal dari Asia Tenggara menuju Cina dan Jepang maupun sebaliknya.
Kawasan tersebut juga menyumbang 10% hasil tangkapan laut bagi Cina.
6
Cina berperan aktif dalam menanggapi konflik Spartly Islands dengan beberapa negara
tetangga. Pengajuan Vietnam dan Filipina pada Mei 2009 terhadap teritorial di Laut Cina Selatan
kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa ditanggapi Cina dengan Note Verbale yang menyatakan
bahwa kawasan tersebut ada dibawah hak dan kuasa pemerintah Cina. Tidak hanya melalui jalur
diplomatis Cina juga secara konsisten terus menambah kekuatan militer untuk mengamankan
wilayah konflik. Konflik langsung kerap kali terjadi antara Cina dengan beberapa negara Asia
Tenggara seperti Vietnam, Filipina bahkan Amerika Serikat. Pada tahun 2009 Cina mengepung
U.S Hydrographic survey vessel, USNS Impeccable milik Amerika Serikat dan melaporkan
kepada pentagon bahwa kapalnya telah memasuki daerah konflik, sementara itu Amerika Serikat
menklarifikasi bahwa daerah yang dilalui kapalnya merupakan salah satu daerah bebas. Sejak
tahun 2007 Cina secara konsisten telah memprotes beberapa perusahaan minyak internasional
yang bekerjasama dengan Vietnam dan mengambil minyak didaerah konflik. Menurut
pemerintah Filipina setidaknya lima kasus sengketa secara langsung dilautan dengan kapal milik
pemerintah Cina telah terjadi hingga Juni 2011.
Meski sudah terjadi sejak lama, konflik Laut Cina Selatan belum juga dapat diselesaikan
oleh negara-negara secara bilateral maupun ASEAN secara multilateral. Pada ASEAN
Ministerial Meeting (AMM) 2012 yang rencananya akan diupayakan penyelesaian masalah
konflik perbatasan ini malah menimbulkan preseden buruk dengan gagalnya ASEAN
membentuk komunike bersama karena sikap Kamboja sebagai ketua ASEAN yang tidak ingin
membahas konflik di Laut China Selatan. Sikap tersebut disebabkan oleh eratnya hubungan
China-Kamboja. Menyadari hal tersebut, Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa
melakukan shuttle diplomacy dengan mengunjungi Kamboja, Vietnam, Filipina, Singapura, dan
Malaysia dalam rangka mengamankan perjanjian enam poin prinsip ASEAN pada Laut China
Selatan. Upaya Martypun mendapat respon positif dengan sepakatnya negara-negara tersebut
pada enam poin yang diusulkan Marty.
b. Konflik Gerakan Aceh Merdeka
Semenjak Indonesia merdeka, Daerah Istimewa Aceh—sekarang Nangroe Aceh Darussalam—
tidak bisa lepas dari konflik. Dalam kurun waktu yang berbeda, konflik di Aceh melibatkan dua
kelompok, yakni DI/TII dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pemberontakan DI/TII pada 1953
menjadi luapan pertama kekecewaan sebagian rakyat Aceh atas pengingkaran janji pemerintah
7
untuk melaksanakan hukum Islam di Aceh. Pemberontakan itu reda ketika Aceh diberi status
sebagai daerah istimewa dengan otonom yang luas khususnya dalam urusan agama, adat, dan
pendidikan pada 1959 yang dikuatkan oleh UU No. 18 tahun 1965. Ketika Indonesia dipimpin
oleh Soeharto, muncul pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan alasan yang
hampir serupa.
Saat rezim kekuasaan di Indonesia beralih ke tangan Soeharto, kebijakan pemerintah
yang bersifat sentralistis menimbulkan permasalahan. Rakyat Aceh memahami bahwa status
keistimewaannya tercabut ketika UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintah
Daerah keluar sekaligus mencabut UU No. 18 tahun 1965. Di sisi lain, pembangunan yang
diberlakukan oleh rezim orde baru juga menimbulkan masalah budaya yang bertentangan dengan
nilai dan norma yang berlaku di Aceh. Lebih dari itu, hasil dari pembangunan tidak dapat
dinikmati secara maksimal oleh rakyat Aceh.
Berangkat dari kenyataan tersebut, Hasan Tiro dan mantan pemuda DI/TII mendirikan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 4 Desember 1976 dan mendeklarasikan kemerdekaan
Aceh. Tidak tinggal diam, pemerintah bereaksi dengan mengadakan operasi anti-pemberontakan
di tahun 1977. Dua tahun kemudian, 1979, Hasan Tiro kabur ke Swedia dan mendirikan
pemerintahan pengasingan.
Dalam kurun waktu 1987-1989, terjadi protes anti-kemaksiatan yang dilancarkan oleh
para pengikut Teungku Bantaqiah. Salah satu puncak dari protes ini ialah penyerangan sekitar
8.000 orang ke markas militer pada 10 Maret 1989. Selain itu mereka juga mengobrak-abrik
arena Oriental Sirkus Indonesia yang dianggapnya sarang maksiat. Di sisi lain, pemerintah
menganggap gerakan ini sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Di samping itu, pada
1989 GAM melancarkan kembali operasi gerilya melawan TNI.
Kekacauan tersebut mendorong Presiden Soeharto untuk menetapkan Aceh sebagai
Daerah Operasi Militer (DOM) pada 1990. Operasi kontra-pemberontakan yang cukup intens
mengakibatkan pelanggaran HAM yang begitu masif. Saat Soeharto lengser dan digantikan
Habibie, status DOM Aceh dicabut. Rakyat Aceh juga diperkenalkan dengan UU otonomi
regional. Namun demikian, operasi militer tetap dilakukan dengan intens.
8
Kendati jabatan Presiden Indonesia telah bergeser ke tangan Abdurrahman Wahid (Gus
Dur), situasi tak kunjung membaik. Peluncuran UU No. 44 Tahun 1999 tentang realisasi Daerah
Istimewa Aceh – jaminan pemberlakuan syariah Islam dan juga pendidikan, pemberlakuan
hukum adat, serta pendirian dewan ulama — malah memicu aksi mahasiswa untuk meminta
referendum bagi rakyat Aceh. Meski sempat dilakukan beberapa perundingan dengan pihak
GAM, Gus Dur dengan dorongan pihak militer mengeluarkan Inpres No. 4 tentang darurat
negara yang menjadi dasar bagi peningkatan operasi keamanan.
Di bawah kepemimpinan Megawati, konflik pemerintah-GAM mengalami puncak di
periode pasca reformasi. Memang ada upaya dari pemerintah untuk mengakhiri konflik melalui
jalan damai seperti UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Nangroe Aceh
Darussalam. yang menyatakan pembagian hasil pemasukan dari SDA di Aceh lebih tinggi dari
sebelumnya. Namun, terbunuhnya salah satu pimpinan GAM membuat upaya itu sia-sia.
Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) yang dibantu oleh Henry Dunant Center (HDC) juga
gagal menciptakan perdamaian permanen. Kerusuhan yang kembali mencuat pada Maret-April
2003 membuat Presiden Megawati memutuskan adanya status darurat militer di Aceh. Dalam hal
ini 30.000 TNI dan 12.000 polisi dikirim ke Aceh. Terjadi operasi kontra-pemberontakan dan
supervisi urusan sipil yang disebut juga sebagai operasi terpadu.
Pada 2004, hasil pemilu mengatakan bahwa Susilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai
Presiden menggantikan Megawati. Di awal pemerintahannya, SBY mengunjungi Aceh dan
menjanjikan amnesti, bantuan ekonomi, serta otonomi. Perlu diingat status darurat sipil masih
berlangsung. Tsunami yang melanda Aceh pada Desember 2004 menjadi jalan untuk
perundingan berikutnya. Kali ini Crisis Management Initiative (CMI) yang dipimpin oleh Martti
Ahtisaari menjadi mediator. Sejak Januari hingga Juli 2005 tercatat 5 kali delegasi Indonesia dan
GAM bertemu dalam meja perundingan di Helsinski. Akhirnya, 15 Agustus 2005 menjadi ujung
dari konflik berkepanjangan tersebut. Pemerintah dan GAM menandatangani MoU yang berisi
tentang pemerintahan Aceh, penarikan kekuatan militer dari kedua belah pihak, amnesti terhadap
anggota GAM dan juga pembebasan terhadap tawanan GAM.
c. Konflik MILF dan Pemerintah Filipina
9
Moro Islamic Liberation Front (MILF) merupakan salah satu kelompok pemberontak Muslim di
Filipina selatan. MILF merupakan pecahan dari Moro National Liberation Front (MNLF) yang
memiliki aliran lebih konservatif dan radikal dari induk nya, MNLF. MILF terbentuk di tahun
1982 di bawah pimpinan Ustad Salamat Hashim dan memiliki tujuan yang sama dengan MNLF,
yakni mendirikan sebuah negara Islam yang merdeka dari Filipina.
MILF memiliki banyak personel, diperkirakan mencapai 125.000 dan memiliki akademi
militer yang mandiri. Dari segi persenjataan, MILF bisa dikatakan sebagai kelompok yang
memiliki senjata terlengkap diantara kelompok pemberontak lainnya di Filipina, seperti MNLF
maupun Partai komunis Filipina dengan New People’s Army sebagai sayap militer nya, MILF
disebut-sebut memiliki senjata anti serangan udara dan RPG (senapan anti-tank). Selain itu,
MILF juga memiliki dukungan yang luas dari masyarakat desa.
Konflik antara pemerintah Filipina dan MILF ini mengakibatkan kemiskinan yang
merajalela di daerah Mindanao, daerah yang memiliki tanah yang subur di Filipina bagian
selatan. Selain itu, konflik ini juga telah mengembangbiakkan pengadaan senjata illegal dan
kelompok militan, sehingga menyebabkan daerah ini menjadi daerah yang seolah “tak tersentuh”
oleh hukum negara Filipina.
Di tahun 2000, MILF ditindak tegas oleh pemerintahan Joseph Estrada, tapi kondisi
berubah saat di tahun 2001, Joseph Estrada digulingkan di tengah maraknya protes menuntut
pengunduran dirinya, dan Gloria Arroyo menggantikannya menjadi presiden. Perundingan
dengan MILF terus diusahakan, namun terhambat beberapa tahun setelahnya akibat adanya
tuduhan MILF menculik beberapa orang asing. Selain itu, MILF juga dianggap bertanggung
jawab atas pengeboman di bandara Davao City pada bulan Maret 2003 yang menewaskan 21
orang. Di tahun 2003, gencatan senjata disetujui, tapi pertempuran kecil-kecilan masih tetap
berlanjut. Pada tahun 2007, pejuang MILF terlibat dalam kerusuhan di Pulau Basilan yang
menyebabkan 14 tentara Filipina tewas, 10 dari mereka dilaporkan dipenggal kepala nya. Pada
November 2007, pemerintah Filipina mengatakan bahwa pihak nya telah mencapai kesepakatan
dengan MILF dalam hal perbatasan untuk wilayah Muslim. Memorandum of Agreement on
Ancestral Domain, produk negosiasi 11 tahun, siap untuk ditandatangani di Kuala Lumpur pada
Agustus 2008. Ini dimaksudkan sebagai roadmap untuk mencapai perjanjanjian damai. Namun,
pengadilan tinggi menyatakan bahwa draft persetujuan tersebut tidak konstitusional, Presiden
10
Arroyo kemudian mengisyaratkan dalam sebuah forum resmi bahwa perundingan baru hanya
mungkin dilaksanakan apabila MILF dilucuti senjata nya terlebih dahulu. Kegagalan negosiasi
ini mendorong munculnya perselisihan baru dan tercatat oleh International Crisis Group bahwa
di pertengahan Oktober 2008 sebanyak 390.000 orang mengungsi karena konflik kekerasan yang
terus berlanjut.
Negosiator dari pihak pemerintah dan MILF bertemu kembali di Kuala Lumpur pada
Desember 2009 dan setuju bahwa persetujuan damai dapat ditandatangani pada April 2010,
sebelum pemilihan umum di Filipina pada bulan Mei. Kedua belah pihak setuju untuk menunjuk
observer gencatan senjata dari International Monitoring Team (IMT) dan kelompok aksi
gabungan ad hoc yang akan mengisolasi militan Muslim dari kelompok kriminal di daerah yang
dikuasai oleh pemberontak.
Pada 15 Oktober 2012, pemerintah Filipina dengan MILF menandatangi sebuah kerangka
persetujuan, yang digunakan sebagai roadmap untuk sebuah perjanjian damai yang diharapkan
dapat dicapai di tahun 2016. Kerangka persetujuan tersebut ditandatangani oleh Presiden
Benigno Aquino dan pemimpin MILF, Murad Ebrahim. Dalam perjanjian tersebut, MILF tidak
akan berjuang untuk memisahkan diri dari Filipina lagi dan pemerintah Filipina setuju untuk
memberikan kekuasaan yang besar kepada MILF di daerah otonomi yang baru di Mindanao.
Proses perundingan yang dibantu oleh Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak ini secara
bertahap juga akan mendeaktifkan 12.000 pasukan MILF. Walaupun demikian, masih terdapat
tantangan dalam proses menuju ke perjanjian damai, diantara nya adalah kelompok MNLF yang
masih memiliki benih-benih keinginan untuk memerdekakan diri dari Filipina, telah
memperingatkan bahwa mereka mungkin saja untuk kembali mengangkat senjata. Tantangan
berikutnya dating dari kalangan pebisnis dan politisi Katolik. Parlemen nasional yang didominasi
oleh politisi Katolik belum tentu mau menyetujui dan mengesahkan peraturan terkait daerah
atonomi yang baru di Mindanao.
d. Konflik MNLF vs Pemerintah Filipina
Konflik antara Bangsa Moro dan Filipina telah berlangsung sejak kedatangan Spanyol untuk
menjajah Filipina sekitar tahun 1556. Selain menjajah, Spanyol juga membawa misi penyebaran
agama Kristen yang diterima oleh sebagian besar masyarakat Filipina namun ditolak oleh
11
kelompok minoritas muslim, bangsa Moro dan suku-suku di pedalaman. Hal tersebut dilegalkan
dengan keluarnya kebijakan “reduction” (conversion) yang memiliki implikasi bahwa Spanyol
telah menaklukan Filipina secara politik, agama, maupun budaya. Setelah Filipina merdeka,
minoritas muslim mendapat tempat marjinal dalam pembangunan sehingga membuat mereka
mendirikan gerakan-gerakan pembebasan. Salah satunya adalah Moro National Liberation Front.
Kemerdekaan Filipina rupanya mempertahankan tradisi diskriminasi terhadap kaum
minoritas muslim. Hal ini ditunjukkan dengan asimilasi Muslim dengan masyarakat Filipina
melalui pendidikan dan pemberian dana bantuan pengembangan Muslim tidak dijadikan prioritas
oleh Pemerintah Filipina. Selain itu, hukum cenderung lebih berpihak pada masyarakat Kristen
atau agama selain Islam. (Blanchetti-Revelli, 2003) Konsekuensinya, masyarakat muslim mulai
berjalan secara independen. Mereka mencoba mengajukan rancangan undang-undang berisi
tuntutan kemerdekaan yang tidak direspon oleh kongres. Hal ini mendorong mereka membentuk
Muslim Independence Movement (MIM) —cikal bakal dari MNLF— yang memperjuangkan
terbentuknya negara Islam merdeka dengan daerah meliputi Mindanao, Sulu, dan Palawan.
Gerakan mereka cukup massif, yakni dengan mengirimkan orang muslim untuk sekolah di luar
negeri, berhaji yang sekembalinya dari sana melakukan pengabdian di daerahnya masing-
masing. Hal ini mempererat persaudaraan muslim di Filipina.
Di tahun 1972 MIM bubar, akan tetapi nilai, ideologi, dan semangat mantan anggota
MIM untuk memerdekakan diri dari Filipina tidak hilang. Sebagian dari mereka bahkan
mengikuti pelatihan militer di Sabah dan sekembali nya ke Filipina, mereka mulai mengorganisir
pembentukan organisasi baru yang lebih radikal, Moro National Liberation Front (MNLF)
dibawah pimpinan Nur Misuari. Tujuan didirikannya MNLF adalah untuk membentuk negara
Islam merdeka, The Bangsamoro Republic, yang wilayah nya meliputi Mindanao, Sulu, dan
Palawan. Kekuatan MNLF terletak pada militer nya yang terorganisir dan mampu berhubungan
dengan komunitas Islam dunia. Penggunaan kata “Moro” secara implisit mengindikasikan
homogenisasi seluruh Muslim Filipina, tanpa memperhatikan etnik atau status. Hal ini berarti
bahwa “Moro” adalah sebuah identitas yang lebih dari sekedar identitas agama. (Blanchetti-
Revelli, 2003)
Masih di tahun yang sama, setelah pemerintah Filipina mendeklarasikan martial law,
MNLF mulai terlibat konflik bersenjata dengan angkatan bersenjata Filipina. Dengan biaya dan
12
suplai senjata dari simpatisan di luar negeri serta pelatihan di kamp militer di Sabah, MNLF
menjadi ancaman yang besar di masa pemerintahan Marcos. Di tahun 1973, peperangan berlanjut
dan tersebar di seluruh daerah muslim dari Lanao ke Tawi-Tawi dan di tahun 1975 terjadi
gencatan senjata. Di tahun 1976, atas bantuan pemimpin Libya, Muammar Qadhafi, Tripoli
Agreement ditandatangani, perjanjian ini menyetujui diadakannya gencatan senjata,
menyediakan kompromi: MNLF harus menarik klaim pemisahan diri dari Filipina dan
pemerintah harus memberikan otonomi kepada Mindanao (Blanchetti-Revelli, 2003). Akan
tetapi, kedua belah pihak tidak mampu mematuhi perjanjian tersebut dan akhirnya peperangan
pun berlanjut lagi. Selagi peperangan terus berlanjut, MNLF mulai mengalami friksi internal.
Perbedaan pendapat antara kelompok yang konservatif dan moderat muncul setelah keengganan
pengurus inti MNLF untuk melakukan pemberontakan yang sengit di tahun 1981. Hal ini
menyebabkan anggota MNLF yang lebih konseravtif membentuk Moro Islamic Liberation Front
(MILF) dan memisahkan diri dari MNLF (Sulu, 2006). Pada awal tahun 1990an, MNLF terpecah
lagi dan lahirlah kelompok Abu Sayyaf. Tujuannya sama yakni ingin membentuk Negara Islam
merdeka dari Filipina.
Di tahun 1996, kompromi berhasil dicapai oleh MNLF dan pemerintah Filihpina.
Perjanjian damai yang disepakati di masa pemerintahan Presiden Fidel V. Ramos ini,
ditandatangani pada tanggal 2 September 1996 di Malacanang Palace. Perjanjian damai ini pada
akhirnya memberi otonomi kepada wilayah yang mayoritas Muslim dan disebut Daerah Otonomi
Muslim di Mindanao (Autonomous Region in Muslim Mindanao/ARRM) dimana Profesor Nur
P. Misuari menjadi gubernur di wilayah tersebut (Sulu, 2006). MNLF bisa jadi telah berdamai
dengan pemerintah Filipina, tapi pecahan-pecahannya, MILF dan Abu Sayyaf, masih menjadi
ancaman tersendiri bagi Filipina dan dunia internasional pada umumnya.
Merespon kerangka perjanjian damai yang telah disusun oleh Pemerintah Filipina dengan
MILF, MNLF mengadakan summit pada 21 Oktober 2012. Dalam pertemuan tersebut, Nur
Misuari mengatakan kepada pendukungnya bahwa perjanjian damai antara Pemerintah Filipina
dan MILF tidak bisa diterima dan dapat memicu timbulnya peperangan. Misuari menambahkan
bahwa perjanjian tersebut merupakan konspirasi untuk melemahkan perjanjian damai Pemerintah
Filipina dengan MNLF pada tahun 1996 pasalnya pembentukan Autonomous Region in Muslim
Mindanao (ARMM) merupakan salah satu hasil perjanjian damai 1996 akan tetapi hal tersebut
13
kini “terancam” oleh kerangka perjanjian damai Pemerintah Filipina dan MILF karena dalam
kerangka tersebut, keduanya setuju untuk memperluas wilayah yang diduduki oleh ARMM.
Walaupun Misuari meyakini hal ini sebagai konspirasi, Misuari meminta pendukung nya untuk
tidak terburu-buru mengangkat senjata (Rosauro, 2012). Hal ini senada dengan yang
disampaikan oleh salah satu staff Armed Force of the Philippine (AFP), Jenderal Jessie Dellosa
bahwa tidak ada ancaman dari MNLF walaupun MNLF tidak merespon kerangka perjanjian
damai dengan baik. Akan tetapi, AFP akan berjaga-jaga dan waspada jika pada akhirnya MNLF
akan mengangkat senjata (Pareno, 2012).
e. Konflik Partai Komunis Filipina dan Pemerintah Filipina
Pemberontakkan kelompok Muslim minoritas di Mindanao Filipina nampaknya bukan satu
satunya pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah Filipina. Hal ini karena
masih ada kelompok pemberontak lagi yang juga berjuang melawan pemerintah Filipina, yakni
pemberontakkan Partai Komunis Filipina. Bedanya, jika kelompok Muslim minoritas berjuang
untuk mendapatkan “kemerdekaan” - memerdekakan diri - dari pemerintah Filipina, Partai
Komunis Filipina berjuang untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dan mengambil alih
pemerintahan.
Partai Komunis Filipina (Communist Party of the Philippines/CPP) didirikan oleh Jose
Maria Sison, seorang intelektual lulusan University of Philippine, pada tanggal 26 Desember
1968. Organisasi dan kepemimpinan CPP berakar dari pergerakkan Hukbalahap, yang
berkembang atas dasar tuntutan reformasi agraria dan pergerakan kelompok urban sosialis di
tahun 1920-1930an. Secara perlahan, pergerakan ini bergabung menjadi Hukbalahaps dan Partai
Komunis Filipina (Partido Komunista ng Pilipinas atau PKP) yang akhirnya membentuk koalisi
di awal 1940-1950an (Kessler, 1989).
Secara umum, kelahiran CPP merupakan reaksi atas penjajahan Amerika Serikat di
Filipina dan pengaruh nya yang masih tertanam kuat di Filipina bahkan setelah Filipina meraih
kemerdekaan. Kuat nya pengaruh Amerika Serikat di Filipina terlihat dari adanya bantuan
ekonomi yang diberikan oleh pemerintah AS kepada Filipina dan dibangunnya pangkalan militer
AS di Filipina. Selain itu, kondisi sosial-ekonomi masyarakat Filipina juga berkontribusi
terhadap lahirnya CPP (Kessler, 1989).
14
Pada tahun 1972, tepatnya pada tanggal 21 September, pemerintahan Marcos
mengeluarkan Martial Law atas dasar bahwa negara dalam keadaan bahaya dan mengancam
pemerintahan yang sah. Setelah mengeluarkan Martial Law, Marcos menangkap sebagian besar
lawan politiknya, jurnalis, akademisi, bisnismen, dan bahkan anggota perwakilan rakyat.
Penangkapan ini berakibat pada hilangnya kepercayaan generasi muda terhadap elit-elit
masyarakat, sehingga mendorong mereka untuk bergabung dengan kelompok bersenjata.
Dikeluarkannya Martial Law ini “menguntungkan” CPP karena memperoleh lebih banyak
pengikut. Selain Martial Law, hubungan antara Sison dan Dante, yang juga seorang radikal, juga
menguntungkkan bagi CPP. Kedua nya sama sama pendukung komunisme (Marxist-Leninist)
dan memuja ajaran Mao Tse Tung. Di tahun 1968, Sison mendekati Dante dan mengajak nya
untuk bergabung dengan pergerakan komunis di Filipina. Kemudian, pada 26 Desember 1969,
kelompok pemuda radikal dan Dante mengadakan pertemuan di Manga, barrio Talimundok
(Capas), Provinsi Pangasinan dengan tajuk “Congress of Reestablishment”. Pertemuan yang
berlangsung hingga 7 Januari tersebut berhasil menghasilkan konsep kontitusi partai yang
menggantikan konstitusi yang dipakai pada tahun 1938 saat PKP (Partido Komunista ng
Philipinas) dan Partai Sosialis digabungkan. Dokumen baru tersebut mendeklarasikan ‘under the
supremen guidance of Mao Tse-tung, the acme of Marxism and Leninism in the present era”
CPP resmi didirikan, dengan Sison sebagai ketua nya dan Dante sebagai komandan sayap militer
CPP, New People’s Army (NPA). NPA secara resmi didirikan pada 29 Maret 1969 (Kessler,
1989).
NPA sering melakukan serangan-serangan sporadis hingga saat ini. Kontak senjata
dengan militer Filipina pun tak dapat dihindari. Berita terbaru menyebutkan bahwa pada bulan
April 2012, NPA membunuh 10 tentara Filipina dan 1 orang sipil di kota Tinoc, kawasan
pegunungan Pulau Luzon. Di tahun 2011, pemerintah di Manila mengatakan mereka berhasil
melumpuhkan struktur NPA di kawasan-kawasan pegunungan di utara, berkat operasi tempur di
lapangan dan pendekatan kepada warga desa, yang sekarang diklaim tidak lagi mendukung
pemberontak. Para wartawan mengatakan NPA didukung oleh sekitar 4.000 pejuang di seluruh
Filipina, turun dari 26.000 pada era 1980-an (Anon., 2012).
Dengan dibantu Norwegia, pemerintah Filipina membuka perundingan damai namun
upaya ini terhenti November lalu setelah Manila menolak tuntutan pemberontak agar 18
15
gerilyawan NPA yang dipenjara dibebaskan. Setelah perundingan terhenti pemberontak Komunis
bertekad menaikkan serangan terhadap sasaran-sasaran vital milik pemerintah (Anon., 2012).
f. Konflik Etnis Rohingya dan Pemerintah Myanmar
Pada Juli-Agustus 2012 kemarin, sempat mencuat berita tentang diskriminasi terhadap etnis
Rohingya yang terjadi di Myanmar. Kabarnya, diskriminasi itu dilakukan oleh masyarakat dan
pemerintah Myanmar – dimana segala bentuk diskriminasi ini berujung pada upaya konflik, 8
kekerasan dan pengusiran etnis Rohingya dari tempat tinggalnya. Sebenarnya, apa penyebab dari
konflik ini? Sejak kapan konflik ini dimulai? Siapa saja aktor yang terlibat dan apa saja
kepentingannya? Artikel singkat ini akan membantu rekan-rekan sekalian dalam membedah dan
melakukan analisis terhadap konflik Rohingya.
Dalam sejarah modernnya, Myanmar mengalami dua kali masa kolonial, yakni oleh
Inggris pada abad ke 18 hingga abad ke 20 dan oleh Jepang pada tahun 1940-an. Di bawah
koloni Inggris, etnis Rohingya cenderung berada pada masa perdamaian. Lain halnya ketika
Jepang menjajah Myanmar. Sempat terjadi konflik komunal antara etnis Rakhine dan Rohingya
di wilayah Arakan. Bahkan, pada tahun-tahun tersebut, terjadilah sebuah peristiwa yang
dinamakan sebagai Pembantaian Rohingya.
Setelah Myanmar merdeka, pada pemerintahan pertama yang dipimpin oleh Jenderal
Aung San, etnis Rohingya menjadi salah satu etnis yang memiliki peran dalam pemerintahan.
Dalam beberapa kesempatan, beberapa warga Rohingya bahkan menjadi menteri di cabinet pada
kurun 1940an-1950an. Namun, pada tahun 1962 ketika Jenderal Ne Win melakukan kudeta
sehingga Ne Win menjadi presiden, sistem politik Myanmar berubah menjadi lebih otoriter.
Banyak etnis minoritas yang seringkali menjadi korban, karena dianggap tidak loyal dan ingin
memisahkan diri dari Myanmar - salah satunya adalah etnis Rohingya. Etnis Rohingya dianggap
oleh rezim Ne Win sebagai sebuah ancaman, sehingga dilancarkanlah sebuah operasi untuk
menumpas pergerakan separatis dan mengontrol penduduk etnis Rohingya pada tahun 1978,
yang akhirnya upaya ini mengakibatkan larinya etnis Rohingya dari Myanmar ke wilayah
Bangladesh.
Pada masa rezim militer, mulai dari era Ne Win hingga kurun 2000-an, etnis Rohingya
menghadapi situasi yang berat. Situasi yang berat ini dikarenakan adanya diskriminasi dalam
16
skala besar yang dilakukan oleh pemerintah junta militer Myanmar. Adanya upaya-upaya untuk
secara paksa mempengaruhi gaya hidup etnis Rohingya yang beragama Islam untuk menjadi
agama Buddha serta adanya provokasi dari pihak-pihak tertentu telah membuat etnis Rohingya
kemudian menjadi etnis yang paling disiksa di dunia, sesuai dengan data PBB.
Eskalasi konflik di Rohingya yang awalnya seolah tidak terlihat oleh publik dunia
kemudian mencuat pada medio Juni-Agustus 2012 kemarin, dimana pemberitaan dunia mulai
membuka fakta-fakta tentang konflik Rohingya. Penyebab dari terjadinya konflik ini sebenarnya
bermula dari kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh pemuda etnis Rohingya terhadap pemudi
dari etnis Rakhine yang terjadi pada Mei 2012. Adanya kasus ini kemudian memancing
kemarahan dari etnis Rakhine yang kemudian berujung pada lingkaran konflik yang tidak
terhenti. Pada Juli 2012, konflik ini memuncak dengan adanya pembakaran besar-besaran
terhadap perumahan yang dihuni oleh etnis Rohingya serta penyerangan yang dilakukan oleh
kedua etnis. Bahkan terdapat dugaan pula dimana tentara dan polisi Myanmar untuk
memprovokasi kedua etnis tersebut dan turut menyerang perkampungan Rohingya.
Menghadapi kasus ini, dunia internasional terkejut karena dalam waktu yang sama,
Myanmar sedang mengalami proses demokratisasi. PBB dan Uni Eropa mengecam kekerasan
yang terjadi pada konflik tersebut, namun tidak menyalahkan pemerintahan Myanmar sebagai
penyebab dari konflik tersebut. Pihak lainnya, seperti Amnesty International dan organisasi
HAM lainnya memiliki pendapat bahwa pemerintah Myanmar telah melakukan diskriminasi
secara sistematis terhadap etnis Rohingya yang telah menyebabkan penderitaan etnis Rohingya
yang tak kunjung usai.
ASEAN, sebagai sebuah organisasi regional di Asia Tenggara, merespon kasus konflik
Rohingya secara hati-hati karena ASEAN menganut prinsip non-intervensi yakni prinsip untuk
memastikan bahwa masalah setiap negara harus diurus masing-masing tanpa adanya campur
tangan dari luar. Negara-negara ASEAN setuju bahwa masalah Rohingya adalah masalah
domestik dan merupakan sebuah konflik komunal, bukan konflik religius. Namun, upaya
proaktif untuk menyelesaikan konflik Rohingya terus diupayakan terutama oleh Indonesia
sebagai negara senior di ASEAN. Indonesia secara aktif mengirimkan misi-misi diplomasi
kemanusiaan ke Myanmar melalui berbagai aktor, mulai dari aktor pemerintahan sampai aktor
individu.
17
g. Konflik Minoritas Muslim di Thailand Selatan dengan Pemerintah Thailand
Konflik yang terjadi antara masyarakat Muslim dan Pemerintah Thailand di Thailand Selatan —
Provinsi Yala, Patani, Narathiwat, dan Songkla— memiliki sejarah yang cukup panjang.
Tuntutan yang diusung oleh masyarakat muslim dalam konflik ini cenderung seragam, yakni
kemerdekaan. Dalam perjalanannya, konflik yang melibatkan Pemerintah Thailand dan
Masyarakat Muslim di Pattani ini mengalami pasang surut. Konflik yang dipicu antara lain oleh
kesenjangan pembangunan di bidang ekonomi dan social serta diskriminasi budaya ini mencapai
puncaknya pada Tragedi Tak-Bai tahun 2004.
Pada 1902, Kerajaan Siam menganeksasi Kerajaan Patani —Wilayah semi-otonomi dari
Mayarakat Islam Melayu— yang saat ini menjadi wilayah Thailand Selatan. Raja Patani
melakukan tindakan perlawanan pada 1903 yang akhirnya membawa dirinya ke penjara. Praktis
perlawanan rakyat Thailand Selatan surut. Namun demikian, pada 1922 muncul protes dari
pimpinan desa Namsai Thailand Selatan yang dipicu oleh reformasi pendidikan. Mereka tidak
mau membayar pajak pada pemerintah.
Kerajaan Siam berganti nama menjadi kerajaan Thailand pada 1939. Kejadian tersebut
juga menandakan berlakunya budaya Budha di seluruh penjuru Thailand. Hal ini mulai
memunculkan masalah dimana terjadi benturan dengan kultur muslim masyarakat Thailand
Selatan. Tahun 1945, Pridi membentuk tata kelola pemerintahan baru yang menggabungkan
Muslim Melayu dengan politik Thailand. Dua tahun kemudian, Haji Sulong—ketua Dewan
Islam Provinsi Patani—mendirikan Gerakan Rakyat Patani. Mereka menuntut pemberlakuan
hukum Islam, hak untuk mengatur diri sendiri, hak atas kebudayaan, dan bahasa. Satu tahun
kemudian Haji Sulong ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Pada 1960, tercatat ada 60 gerakan
bersenjata yang aktif di Thailand Selatan.
Di tahun 1970-an, gerakan militer Thailand Selatan melancarkan aksi kekerasan dengan
menyerang pos polisi dan bangunan pemerintah. Pemerintah Thailand merespon dengan
melancarkan operasi militer. Dua puluh tahun kemudian, 1990, pemertintah Thailand
memberikan amnesty pada anggota gerakan separatis di Thailand Selatan. Mereka meyakini
tindakan tersebut akan mengurangi bahkan menghilangkan aksi kekerasan yang bakal
18
dilancarkan oleh gerakan-gerakan yang ada. Tidak sejalan dengan tindakan yang telah diambil,
pada 1997-1998, pemerintah Thailand mengijinkan pemerintah Malaysia untuk mengambil
tindakan keras terhadap pimpinan gerakan pemberontak Thailand Selatan di wilayah bagian
utaranya.
Terpilihnya Thaksin Sinawatra sebagai Perdana Menteri Thailand pada 2001 rupanya
membawa pemerintah Thailand pada pendekatan top-down terhadap pemberontak di Thailand
Selatan. Di tahun 2003, perang narkoba yang dilancarkan pemerintah Thailand ternyata berimbas
pada sebagian masyarakat muslim di Thailand Selatan. Sekitar 2.200 masyarakat terbunuh.
Ribuan masyarakat di tahan, di black-list, bahkan ada yang hilang secara misterius.
Pada April 2004, terkait dengan penyerangan polisi di Thailand Selatan, tiga tokoh
muslim ditahan dengan tuduhan sebagai teroris. Penahanan ketiganya menimbulkan bentrokan
antara milisi muslim dengan Pemerintah Thailand. Dalam menangani hal ini, pemerintah
Thailand mulai menerapkan martial law.
Di bulan oktober, tragedi Tak Bai meletus. Pada awalnya enam guru Muslim dituduh
sebagai otak dari pembobolan gudang senjata militer di Narathiwat. Unjuk rasapun terjadi
sebagai tuntutan agar keenam orang tersebut dibebaskan. Menanggapi hal tersebut, militer
Thailand melancarkan aksi represif untuk mengendalikan masa. Enam orang tewas akibat insiden
ini. Selanjutnya ribuan orang ditangkap dan korban jiwa makin meningkat. Sejurus kemudian,
aksi balas dendam dilancarkan oleh Milisi Muslim Pattani terhadap Thai-Buddhis. Terjadi
pembunuhan melalui bom-bom yang diledakkan setiap harinya pasca tragedi Tak-Bai.
Semenjak Januari 2004, tercatat tindakan represif pemerintah terhadap milisi muslim
memakan sekita 1.000 korban jiwa. Pada Januari 2006, kaum separatis menawarkan perundingan
damai dengan pemerintah yang tidak disetujui Thaksin. Selang beberapa waktu, terjadi serangan
bom di Hat Yi yang menewaskan empat orang dan melukai sekitar 68 orang.
Ketika Jenderal Surayut Charanot menggantikan Thaksin, pemerintah merubah
pendekatan terhadap Thailand Selatan menjadi lebih pacivis. Sayangnya, masih ditemui beberapa
aksi pengeboman seperti terjadi di saat tahun baru China yang menargetkan kaum Thai-Chinese
di Februari 2007. Delapan orang tewas dan lima puluh lainnya luka-luka akibat insiden ini. Satu
bulan kemudian, tentara Thailand menggerebek kamp Barasi Revolusi Nasional (BRN) yang
19
berhasil membunuh lima milisi. Kelompok ini diyakini sebagai gerakan separatis terbesar. Di
bulan Mei tercatat 100 orang tewas dalam bulan paling berdarah semenjak konflik dimulai.
Baru-baru ini, kondisi di Pattani kembali memanas. Terjadi serangan bom pada 21
September 2012. Kali ini kelompok milisi muslim melakukan aksinya di Distrik Sai Buri, Pattani
Thailand. Sedikitnya 3 orang wanita dan 3 orang pria tewas dalam serangan ini. Sementara 41
terluka termasuk 19 diantaranya yang terluka parah dan dilarikan ke rumah sakit yang lebih besar
di provinsi. Sumber dari kepolisian menyatakan serangan bom diawali dengan penembakan yang
dilakukan teroris terhadap warga yang berada di pusat pertokoan di Kota Sai Buri.Serangan
tersebut dilakukan pasca Sholat Jumat. Beberapa saat kemudian mereka meledakkan bom di
tempat tersebut. Polisi menilai bahwa serangan ini ada kaitannya dengan menyerahnya 100 orang
terduga militan ke Pemerintah Thiland beberapa pekan yang lalu. Aksi ini dinilai sebagai aksi
pembungkaman terhadap 100 orang tersebut sekaligus pembalasan terhadap kepolisian. Pasca
insiden, kepolisian dan pemerintah setempat akan meninjau ulang perjanjian damai mereka
dengan kelompok teroris ini.
h. Konflik Thailand dan Kamboja
Sengketa perbatasan antara Thailand dan Kamboja yang memperebutkan Kuil Preah Vihear
merupakan problem klasik kedua negara. Sejarah mencatat, sengketa ini telah berlangsung
semenjak zaman kolonialisme dimana Kamboja waktu itu masih dijajah oleh Prancis. Seiring
berjalannya waktu, sengketa ini mengalami pasang surut. Hingga pada awal Februari 2011,
militer kedua negara terlibat dalam konflik bersenjata.
Pada 7 April 2008, UNESCO menganugerahi Kuil Preah Vihear—tersebut sebagai milik
Kamboja— sebagai salah satu situs warisan dunia. Hal ini mengakibatkan kemarahan di pihak
Thailand yang berujung pada pengiriman pasukan militer Thailand ke wilayah sengketa kendati
pada 1962 Mahkamah Internasional telah menetapkan Kuil Preah Vihear sebagai milik Kamboja.
Konflik bersenjata akhirnya pecah pada Oktober 2008. Sebelum tahun 2011, tercatat kedua
negara terlibat dalam kontak senjata 3 kali – April 2009 serta Januari dan April 2010.
Dalam kurun waktu tiga tahun pasca penganugerahan Kuil Preah Vihear sebagai situs
warisan dunia oleh UNESCO, belum ada resolusi konflik permanen yang membuat kedua negara
20
dapat terhindar dari konflik bersenjata. Pada 4 Februari 2011, lagi-lagi kedua negara terlibat
dalam baku tembak.
ASEAN yang waktu itu diketuai oleh Indonesia segera bertindak dengan mengirim
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa untuk melakukan kunjungan ke Kamboja kemudian
Thailand pada 8 dan 9 Februari 2011. Dalam hal ini, Marty menawarkan dan menyampaikan
kesiapan Indonesia untuk bisa mendengar apa yang menjadi permasalahan dan terutama untuk
bisa mencoba mengembalikan stabilitas di wilayah konflik.
Selain ASEAN, Dewan Keamanan PBB juga turut terlibat dalam upaya stabilisasi situasi
konflik melalui sidang DK PBB pada 14 Februari 2011 sebagai respon dari permintaan Kamboja.
Dalam kesempatan itu, Menlu Marty Natalegawa menyampaikan hasil kunjungannya ke
Thailand dan Kamboja dimana kedua negara telah memiliki keinginan untuk menyelesaikan
permasalahan secara damai.
Keinginan tersebut ditindaklanjuti melalui pertemuan Delegasi Thailand dan Kamboja
dalam perundingan joint border comitte di Istana Bogor, Jawa Barat 7-8 April 2011. Namun
demikian, perundingan tersebut belum menemukan kata sepakat. Bahkan pada 22 April 2011,
terjadi baku tembak untuk kesekian kalinya. Baku tembak yang mengakibatkan enam korban
jiwa itu merupakan yang pertama semenjak baku tembak di Februari 2011. Kedua belah pihak
saling menyalahkan atas terjadinya baku tembak ini. Di satu sisi, Thailand beranggapan bahwa
Kamboja menembak terlebih dahulu. Di sisi lain, Kamboja beranggapan bahwa Thailand
melakukan provokasi dengan masuk ke wilayahnya.
Indonesia sebagai ketua ASEAN terus berupaya keras guna terciptanya perdamaian di
antara kedua anggota ASEAN itu. Upaya Indonesia itu harus beriringan dengan perang komentar
yang dilancarkan oleh Perdana Menteri Thailand dan Kamboja. Satu dengan yang lain saling
menuduh bahwa pihaknya tidak memiliki keinginan untuk mencapai perdamaian. Di samping
itu, sesekali kontak senjata masih berlangsung di antara kedua belah pihak. Sementara itu,
Perdana Menteri Thailand yang semula dijabat oleh Abhisit Vejjajiva digantikan oleh Yingluck
Sinawatra sebagai hasil dari pemilu Thailand.
Pada 18 Juli 2011, Mahkamah Internasional menegaskan bahwa Thailand dan Kamboja
harus menarik pasukannya dari wilayah sengketa. Mulai saat itu, isu Thailand-Kamboja tak lagi
21
diperbincangkan dalam ASEAN. Selebihnya kedua negara mengupayakan perdamaian melalui
hubungan bilateral.
Diawali dengan pertemuan Komite Daerah Perbatasan pada 24 Agustus, perdamaian kedua
negara mulai menemui titik terang. Pertemuan ini utamanya menyoroti tentang penarikan
pasukan. Pada 22 Desember 2011, kedua negara sepakat untuk menarik pasukannya dari wilayah
sengketa. Aturan penarikan akan dilakukan dengan bantuan tim pemantau dari Indonesia. Selang
beberapa waktu, barulah pada 18 Juli 2012 kedua negara menarik pasukannya. Dikabarkan
mereka hanya akan menempatkan polisi di wilayah itu.
i. Sengketa Kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan
Sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia yang terjadi
sejak 1969, menghadapi fase penyelesaian yang berlarut-larut. Proses negosiasi secara bilateral
yang diikuti dengan pembentukan beberapa institusi tak kunjung membuahkan kata sepakat di
kedua belah pihak. Hingga akhirnya, persengketaan ini dibawa ke Mahkamah Internasional pada
1998. Dalam pembacaan putusan 17 Desember 2002, Mahkamah Internasional menyatakan
kedua pulau tersebut menjadi milik Malaysia.
Sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan bermula ketika Pemerintah Malaysia
yang telah meratifikasi United Nations Convention Law of The Sea (UNCLOS) membuat
mereka memproklamasikan penambahan wilayah lautnya. Hal ini membuat Pulau Sipadan dan
Ligitan termasuk dalam wilayah Malaysia. Sepuluh tahun kemudian, Peta Baru Menunjukkan
Sempadan Perairan dan Pelantar Benua Malaysia atau yang lebih dikenal dengan Peta Baru
dilansir oleh Pemerintah Malaysia pada 1979. Di dalam Peta Baru, Pemerintah Malaysia
menganggap bahwa kedua pulau tersebut merupakan bagian dari wilayahnya. Pemerintah
Indonesia tidak terima dengan perlakuan sepihak dari Malaysia. Baik Malaysia maupun
Indonesia bersikukuh bahwa secara hukum dan historis Pulau Sipadan dan Ligitan adalah milik
mereka.
Kedua pemimpin negara waktu itu, Soeharto sebagai Presiden Indonesia dan Husein Onn
sebagai Perdana Menteri Malaysia, menyepakati bahwa penyelesaian sengketa harus dilakukan
dengan cara negosiasi. Konsensus tersebut mampu menghindarkan kedua negara dari kontak
senjata.
22
Namun demikian, bukan berarti upaya penyelesaian sengketa tidak diwarnai dengan
beberapa gejolak yang meningkatkan tensi hubungan bilateral Indonesia dan Malaysia. Pada
tahun 1982, patroli Angkatan Laut Indonesia menengarai kehadiran tentara asing di Pulau
Sipadan. Meski tidak dijelaskan secara detail, banyak anggapan muncul bahwa tentara asing
yang dimaksud adalah tentara Malaysia. Permasalahan ini diakhiri dengan pertemuan antara
Perdana Menteri Mahathir Mohammad dan Jenderal TNI Benny Moerdani pada 1985 di Pulau
Natuna. Sembilan tahun kemudian, 1991, Malaysia mendirikan fasilitas pariwisata di Pulau
Sipadan. Hal ini memantik reaksi keras dari militer Indonesia berupa penangkapan kapal ikan
Malaysia dengan muatan 100 ton yang sedang melintas di sekitar perairan Pulau Sipadan.
Setelah itu, beberapa pertemuan dilakukan untuk mencari penyelesaian permanen dari
sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan, yakni pada 1992, 1993, dan 1994. Kedua
pemimpin negara, Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Mahathir turut hadir dalam ketiga
pertemuan. Di samping pertemuan tingkat tinggi, juga dilakukan pertemuan dalam tingkat
menteri. Kedua pihak sepakat untuk membentuk Joint Working Group (JWG) yang akan mencari
penyelesaian masalah secara spesifik. Sayangnya, hingga tahun 1994 JWG menunjukkan
kemajuan yang amat sedikit. Tidak ada kesepakatan yang dicapai dalam kurun waktu tersebut.
Sengketa kepemilikan kedua pulau rupanya juga diikuti dengan perang pendapat di media
masa. Di satu sisi, mantan Jenderal Angkatan Bersenjata Malaysia, Yacob Mohd. Zain,
mengatakan bahwa perang merupakan solusi efektif untuk menyelesaikan sengketa antara kedua
belah pihak. Di sisi lain, Angkatan Laut Indonesia melalui juru bicaranya menegaskan bahwa
patroli akan tetap dilakukan di sekitar kedua pulau mengingat keduanya merupakan hak milik
Indonesia yang harus dipertahankan.
Pada 31 Mei 1997 kedua negara mencapai Special Agreement for the submission to the
International Court of Justice, the dispute between Indonesia and Malaysia concerning the
sovereignty over Pulau Sipadan and Pulau Ligitan. Special Agreement ini merupakan syarat
prosedural yang memungkinkan Mahkamah Internasional memiliki kewenangan jurisdiksi untuk
memutuskan apakah kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan berdasarkan bukti-bukti dan
dokumen-dokumen yang tersedia menjadi hak Indonesia atau Malaysia. Special Agreement
tersebut juga mencantumkan kesediaan kedua negara untuk menerima keputusan Mahkamah
Internasional yang bersifat akhir dan mengikat.
23
Dalam memperjuangkan hak kepemilikan atas kedua pulau, Indonesia dan Malaysia
memiliki tiga argumen sebagai pembuktikan legalitas kepemilikan, yakni traktat atau konvensi
terdahulu, suksesi, dan administrasi efektif. Mahkamah Internasional menolak argumen kedua
pihak yang mengklaim kepemilikan pulau berdasar pada traktat dan suksesi.
Pada akhirnya Mahkamah Internasional kemudian beralih pada asas administrasi efektif
dimana pertimbangan tersebut berdasar pada kegiatan-kegiatan kedua pihak yang membuktikan
adanya suatu tindakan nyata untuk mewujudkan kedaulatan, misalnya dengan pengelolaan pulau
atau dikeluarkannya peraturan menyangkut kegiatan di pulau tersebut. Berdasarkan penguasaan
efektif, pada 17 Desember 2002 Mahkamah Internasional memutuskan Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan adalah milik Malaysia
j. Konflik Kaum Syiah dan Sunni di Sampang Madura
Dalam beberapa tahun terakhir, hubungan antara kaum Syiah dan kaum Sunni di Dusun
Nangkernang, Desa Karanggayam, Kecamatan Omben, Sampang cenderung tidak harmonis. Hal
ini cukup menarik jika dikaitkan pada realita bahwa penganut Syiah tersebar di berbagai daerah
di Indonesia dan mereka bisa hidup berdampingan dengan kelompok Sunni. Baru-baru ini,
Perayaan Lebaran ketupat warga Syiah di Dusun Nangkernang, Desa Karang Gayam, Kecamatan
Omben, Sampang, berubah menjadi horor. Kejadian penyerangan pada Desember 2011 terulang
kembali dan menyebabkan satu korban jiwa, empat orang lainnya kritis, dan puluhan rumah
terbakar akibat penyerangan pada 26 Agustus 2012.
Sejarah pertikaian antara Syiah dan Sunni di Sampang telah lama berakar di masyarakat
dan baru meletus di 2011 dan 2012 ini. Bermula di tahun 1992, ketika Kiai Makmun mengirim
kedua anaknya ke pesantren yang mengajarkan Syiah, YAPI, Bangil, Pasuruan. Roisul Hukama
bersama kakaknya, Tajul Muluk, lantas nyantri di pesantren tersebut. Namun pendidikannya
tidak tamat karena K.H. Ali Karrar, pemimpin Pesantren Darul Tauhid, Pamekasan, memprotes
keponakannya nyantri di pesantren beraliran Syiah. Pada 1998, Tajul melanjutkan sekolah ke
Mekkah sambil bekerja serabutan. Sedangkan Rois kembali ke Nangkernang untuk membina
masyarakat. Pada tahun 2004 berdiri Pesantren Misbahul Huda yang beraliran Syiah, dengan
Tajul Muluk sebagai pemimpinnya. Keberadaan pesantren ini menarik simpati warga sehingga
memiliki banyak pengikut di daerah sekitar.
24
Tidak lama setelah Pesantren Misbahul Huda berdiri, Kiai Makmun meninggal. Hal ini
mengakibatkan mulai munculnya serangan terhadap komunitas Syiah. Sejak 2006 Tajul Muluk
dan komunitasnya mendapat ancaman serangan. Selain itu ia juga mendapat tekanan lewat
berbagai kesepakatan ulama (pernyataan, fatwa) dan pemerintah daerah serta polisi yang
menekan Tajul Muluk untuk meninggalkan Sampang atau meninggalkan Syiah. Pada 2009
muncul masalah lain yakni masalah keluarga, dimana lamaran dari salah satu pihak kepada
santriwati pihak lain ditolak. Hal ini membuat situasi semakin memanas. Akhirnya konflik
sempat meletus di tahun 2011.
Pada 26 Agustus 2012, konflik kembali pecah antara kedua belah pihak. Tiga hari
sebelum kejadian, para pelaku ditengarai menggelar sweeping. Mereka melarang anggota
komunitas Syiah keluar kampung. Belasan santri Syiah dilarang kembali ke pondok pesantren
yang letaknya di luar Kabupaten Sampang. Akhirnya kerusuhan pecah ketika 20 warga Syiah
dari Karang Gayam dan Bluuran, Kecamatan Omben, Sampang kembali ke pesantrennya. Di
tengah perjalan, tiba-tiba minibus yang ditumpangi mereka dihadang 30 sepeda motor dari warga
Sunni. Mereka dipaksa pulang ke rumah mereka dan dilarang untuk belajar ke pesantren Syiah
yang ada di luar Sampang. Setelah itu, ratusan massa dari berbagai desa di Kecamatan Omben
dan Karang Penang menyerbu Pusat Islam Syiah di Madura. Sambil mengumandangkan takbir,
massa dari Islam Sunni itu membakar musala, madrasah, asrama dan rumah pemimpin Syiah
Sampang, Ustad Tajul Muluk. Hal ini membuat kaum Syiah harus mengungsi ke penampungan
yang disediakan oleh pemerintah setempat.
Sebelum tragedi, sebenarnya kakak KH Tajuk Muluk, Iklil, telah menelepon Kepolisian
Resor Sampang dan Polsek Omben soal kerumunan massa yang datang ke dusunnya. Namun
demikian, respon polisi sangat memprihatinkan karena hanya mengirim lima polisi untuk
menghadapi kerumunan 500 orang yang bersenjata tajam, batu, dan bom molotov. Kerusuhan ini
lantas meluas menjadi aksi pembakaran rumah kaum syiah hingga menyebabkan sejumlah umah
warga di Dusun Gading Laok, Desa Bluuran, hangus terbakar.
Masyarakat Madura memang sensitif terhadap isu yang berkaitan dengan agama. Lebih
dari itu, masyarakat pulau garam ini terbilang fanatik terhadap agama yang dianutnya.
Kehidupan sosial dan budaya masyarakat Madura sangat diwarnai dimensi agama serta dominasi
pesantren dan para kiainya. Sifat sensitif atau fanatik tersebut bisa berdampak konstruktif
25
maupun destruktif, sebagaimana menimpa komunitas penganut Syiah di Dusun Nangkernang,
Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang.
Dalam kasus penyerangan terhadap kaum Syiah, Tajul Muluk menuding adiknya sebagai
biang keladi. Sebaliknya, Rois menuding gaya berdakwah kakaknyalah terlalu keras. Hal itu
membuat banyak warga Nangkernang yang suami-istri bercerai atau ayah dan anak berselisih
karena dalam satu rumah ada yang menganut Syiah dan Sunni. Roisul Hukama awalnya memang
seorang Syiah, namun entah bagaimana sekarang ia mengaku bukan seorang syiah bahkan
menyerang pondok pesantren syiah milik adiknya yang dulu belajar syiah bersamanya. Banyak
pendapat mengenai jatidiri seorang Rois. Ketua MUI Sampang K.H. Bukhori Maksum menilai
Kiai Rois adalah sosok yang baik dan ramah serta tidak provokatif. Namun, di kalangan
penganut Syiah Sampang, Kiai Rois dikenal sebagai kiai blater, artinya kumpul sama yang alim
bisa, sama preman juga bisa. Abdul Wafi, 60 tahun mengaku pernah diminta pindah dari Syiah
ke Sunni oleh Kiai Rois. Wafi yang tahu Rois sejak kecil karena rumahnya bertetangga menilai
Rois adalah sosok keras dan jago silat. Kiai Rois kabarnya tak segan segan menantang Carok
pada siapa saja yang mencari masalah dengannya.
Di sisi lain, beberapa kalangan menengarai berbagai penyerangan terhadap kaum Syiah
ditunggangi oleh kepentingan politik. Perlu diingat bahwa sejarah pelaksanaan pemilihan umum,
termasuk pemilihan kepala daerah di Sampang, selalu diwarnai sentimen agama yang berujung
destruktif. Di antaranya pada era kepemimpinan Soeharto. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
merasa dizalimi oleh Golkar sehingga terjadi kerusuhan besar yang ditandai dengan pembakaran
kantor Golkar dan kantor-kantor pemerintah. Pada era reformasi pun, sentimen agama masih
mewarnai pertarungan antara partai-partai yang kerap membawa agama, seperti PPP dan Partai
Kebangkitan Bangsa. Apalagi pada Desember 2012 akan berlangsung pemilihan Bupati dan
Wakil Bupati Sampang.
Polisi akhirnya menetapkan Roisul Hukmana alias Rois sebagai otak rusuh Sampang
yang menewaskan seorang warga Syiah dan terbakarnya 37 rumah komunitas Syiah di Dusun
Nangkernang, Desa Karang Gayam. Rois sendiri dituduh telah melanggar lima pasal KUHP,
yakni Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan; Pasal 354 (penganiayaan berat); Pasal 170
(pengeroyokan dan pengerusakan); serta Pasal 55 dan 56 (turut serta membantu melakukan
kejahatan). Oleh karena itu, Rois terancam meringkuk di penjara selama dua puluh tahun.
26
Sementara itu, pada pembacaan putusan atas banding Tajul Muluk oleh Pengadilan Tinggi Jawa
Timur, hukuman Tajul Muluk ditambah menjadi empat tahun penjaara atas kasus penodaan
agama. Hukuman Tajul Muluk ini lebih berat dibanding putusan yang dikeluarkan oleh Majelis
Hakim di Pengadilan Negeri Sampang Juli lalu yang hanya dua tahun penjara.
27
Ringkasan Alat Analisis Konflik
Analisis konflik adalah suatu proses praktis untuk mengkaji dan memahami kenyataan konflik
dari berbagai sudut pandang.1 Dalam rangka menganalisis konflik, terdapat beberapa alat bantu
yang bisa mempermudah kinerja kita. Pada kesempatan ini, kami mencoba untuk
memperkenalkan secara singkat enam alat analisis konflik yang akan kita gunakan selama
pelaksanaan workshop – penahapan konflik, urutan kejadian, segitiga spk, pohon konflik,
pemetaan konflik, dan analisa bawang Bombay. Guna memahami lebih dalam alat analisis
tersebut, peserta bisa membaca buku "Mengelola Konflik : Keterampilan dan Strategi Untuk
Bertindak" [diterbitkan oleh The British Council Indonesia, Jakarta, 2000.]
Penahapan konflik adalah alat analisis berbentuk sebuah grafik yang menunjukkan
peningkatan dan penurunan intensitas konflik yang digambar dalam skala waktu tertentu. Alat
analisis ini bertujuan untuk melihat tahap-tahap dan siklus peningkatan dan penurunan konflik
sehingga bisa digunakan untuk meramalkan pola intensitas konflik di masa mendatang.
Penahapan konflik sendiri memiliki lima tahap, yakni prakonflik, konfrontasi, krisis, akibat, dan
pasca konflik.
Urutan kejadian adalah sebuah grafik yang merupakan daftar waktu (tahun, bulan, atau
hari sesuai skalanya) dan menggambarkan kejadian secara kronologis.2 Alat bantu jenis ini
bertujuan untuk memahami pandangan orang-orang yang terlibat dalam suatu konflik. Oleh
karena itu, tidak hanya pandangan dari satu pihak saja yang digambarkan dalam alat bantu ini,
namun juga pihak lain yang terlibat konflik.
Segitiga SPK adalah suatu alat analisis berbagai factor yang berkaitan dengan sikap,
perilaku dan konteks bagi masing-masing pihak utama.3 Tentu saja segitiga SPK bertujuan untuk
mengidentifikasi factor-faktor tersebut dan menganalisis bagaimana ketiganya saling
memengaruhi.
1 Simon F. et.al, ‘Mengelola Konflik; Ketrampilan & Strategi Untuk Bertindak’, The British Council Indonesia, Jakarta
2001, Hal.17. 2Simon F. et.al, ‘Mengelola Konflik; Ketrampilan & Strategi Untuk Bertindak’, The British Council Indonesia, Jakarta
2001, Hal. 20. 3 Simon F. et.al, ‘Mengelola Konflik; Ketrampilan & Strategi Untuk Bertindak’, The British Council Indonesia, Jakarta
2001, Hal. 25.
28
Pohon konflik adalah suatu alat bantu yang memanfaatkan gambar sebuah pohon untuk
mengurutkan isu-isu pokok konflik. Alat ini sangat cocok digunakan dalam sebuah kelompok.
Tidak mengerankan jika pohon konflik dapat membantu kelompok untuk menentukan prioritas
masalah yang harus ditangani dalam suatu konflik. Ada tiga kategori utama dalam pohon
konflik, yakni penyebab, inti masalah dan efek.
Pemetaan konflik merupakan sebuah teknik visual yang menggambarkan hubungan di
antara berbagai pihak yang berkonflik. Alat analisis ini mampu memudahkan kita untuk
mengidentifikasi mulainya intervensi atau tindakan mengingat dengan terlihatnya hubungan satu
pihak dengan pihak lain.
Analogi bawang Bombay adalah suatu cara untuk menganalisis perbedaan pandangan
tentang konflik dari pihak-pihak yang berkonflik. Dengan menggunakan analogi bawang
Bombay, kita bisa memahami berbagai kepentingan serta kebutuhan masing-masing. Selain itu,
kita tentu dapat menemukan kesamaan pandangan yang bisa menjadi titik awal untuk
pembahasan lanjutan.
29
Susunan Acara Workshop PNMHII XXIV
Hari, tanggal : Rabu, 28 November 2012
Tempat : Hall bersama, menyesuaikan berdasarkan pembagian kelompok
Peserta : 300 orang, dibagi ke dalam 10 kelompok besar, satu kelompok terdiri atas 30
orang.
Waktu : 13.30 – 16.00 (150 Menit)
30 menit : Peserta dikumpulkan berdasar kelompok besar(dengan kasus
yang sudah diberitahukan sebelumnya), panitia menyampaikan penjelasan teknis
kegiatan, dan peserta kemudian menuju ke ruangan masing-masing
Tempat : Hall bersama
50 menit : Inti kegiatan Workhop .
Setiap kelompok besar terdiri dari 30 orang akan menempati ruangan yang
terpisah dengan kelompok besar lain dan mendapat satu kasus konflik tertentu.
Dari kelompok besar, setelah berada di satu ruangan yang sama, akan dibagi lagi
menjadi 6 kelompok kecil yang terdiri dari masing-masing 5 anggota kelompok
kecil. Setiap kelompok kecil akan menganalisis kasus konflik yang sama dengan
analogi analisa konflik yang berbeda. Setiap satu kelompok besar akan
didampingi seorang fasilitator yang akan didampingi oleh seorang co-fasilitator
yang akan membantu pelaksanaan workshop
Tempat : Ruangan masing-masing kelompok
50 menit : Presentasi dan diskusi oleh masing-masing kelompok kecil dalam
kelompok besar
Kelompok kecil yang presentasi akan ditentukan menurut undian. Tiap kelompok
kecil akan mempresentasikan kasus yang sama dengan analogi yang berbeda.
Waktu presentasi masing-masing 5 menit.
30
Tempat : Ruangan masing-masing kelompok
20 menit : Kesimpulan oleh masing-masing fasilitator
Tempat : Ruangan masing-masing kelompok
31
Pembagian Kelompok dan Kasus Konflik
Kelompok 1 : Konflik Laut China Selatan
Alat analisis konflik : penahapan konflik, urutan kejadian, segitiga spk, pohon konflik,
pemetaan konflik, dan analisa bawang Bombay
Kelompok 2 : Konflik Aceh
Alat analisis konflik : penahapan konflik, urutan kejadian, segitiga spk, pohon konflik,
pemetaan konflik, dan analisa bawang Bombay
Kelompok 3 : Konflik Pemerintah Filipina-MILF
Alat analisis konflik : penahapan konflik, urutan kejadian, segitiga spk, pohon konflik,
pemetaan konflik, dan analisa bawang Bombay
Kelompok 4 : Konflik Pemerintah Filipina-MNLF
Alat analisis konflik : penahapan konflik, urutan kejadian, segitiga spk, pohon konflik,
pemetaan konflik, dan analisa bawang Bombay
Kelompok 5 : Konflik Pemerintah Filipina- Partai Komunis
Alat analisis konflik : penahapan konflik, urutan kejadian, segitiga spk, pohon konflik,
pemetaan konflik, dan analisa bawang Bombay
Kelompok 6 : Konflik Pemerintah Myanmar-Rohingya
Alat analisis konflik : penahapan konflik, urutan kejadian, segitiga spk, pohon konflik,
pemetaan konflik, dan analisa bawang Bombay
Kelompok 7 : Konflik Pemerintah Thailand – Minoritas Muslim Thailand Selatan
Alat analisis konflik : penahapan konflik, urutan kejadian, segitiga spk, pohon konflik,
pemetaan konflik, dan analisa bawang Bombay
Kelompok 8 : Konflik Thailand - Kamboja
32
Alat analisis konflik : penahapan konflik, urutan kejadian, segitiga spk, pohon konflik,
pemetaan konflik, dan analisa bawang Bombay
Kelompok 9 : Konflik Sipadan - Ligitan
Alat analisis konflik : penahapan konflik, urutan kejadian, segitiga spk, pohon konflik,
pemetaan konflik, dan analisa bawang Bombay
Kelompok 10 : Konflik Syiah Sampang
Alat analisis konflik : penahapan konflik, urutan kejadian, segitiga spk, pohon konflik,
pemetaan konflik, dan analisa bawang Bombay
33
Daftar Pustaka
Buku
Blanchetti-Revelli, L., Muslim, or Filipino? Cultural Citizenship as Practice and Process. In: R.
Rosaldo, ed. Cultural Citizenship in island Southeast Asia. London, University of California
Press, 2003.
Fisher, S ,et.al., ‘Working With Conflict’, Zed Books, London, 2000.
Kessler, R. J., 'Rebellion and Repression in the Philippines', New Haven and London, Yale
University Press,1989.
Sihbudi, M. Riza. ‘Bara dalam sekam: identifikasi akar masalah dan solusi atas konflik-konflik
lokal di Aceh, Maluku, Papua & Riau’, Diterbitkan atas kerja sama LIPI, Kantor Menristek
RI,dan Mizan Pustaka, 2001.
Trijono L.,et.al., ‘Potret Retak Nusantara ; Studi Kasus Konflik di Indonesia’ , CSPS Book,
Yogyakarta, 2004.
Artikel Online
Candraningrum D.A., ‘Indonesia Kehilangan Pulau Sipadan Ligitan’, Tempo (Online), 17
Desember 2002, < 1>, diakses pada 1 November 2012.
‘Communist rebels kill 10 soldiers in the Philippines’, BBC News Asia (Online), 25 April 2012,
<http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-17837179>, diakses pada 28 Oktober 2012.
Evangeline, J., ‘Lessons to be learned from Sipadan-Ligitan Case: Peaceful Solution to
Territorial Dispute and Preventive Measure.’Historyngo (Online) < http://historyngo.org/2007-
2009%EB%B0%9C%ED%91%9C%EB%AC%B8%ED%8E%B8%EC%A7%91%EB%B3%B8/
%EB%B0%9C%ED%91%9C%EB%AC%B8/2007%EB%B0%9C%ED%91%9C%EB%AC%B
8_Eng/2008_Session_Lessons%20to%20be%20learned%20from%20Sipadan-
Ligitan%20Case(eng).pdf>
Faizal A., ‘Pengikut Syiah Ditekan Tinggalkan Keyakinannya’, Kompas (Online), 7 November
2012, <
http://regional.kompas.com/read/2012/11/07/1807205/Pengikut.Syiah.Ditekan.Tinggalkan.Keya
kinannya?utm_source=WP&utm_medium=Ktpidx&utm_campaign=>, diakses pada 9 November
2012.
34
Fan L., ‘Freedom movement strengthens as Aceh crisis deepens’, News and Letters (Online), 20
Februari 2000, < http://www.newsandletters.org/Issues/2000/March/3.2000_aceh.htm>, diakses
pada 1 November 2012.
‘Komunis Filipina Tewaskan 11 Tentara Pemerintah’.BBC Indonesia (Online), <
http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2012/04/120425_komunis_filipina.shtml>, diakses pada
29 September 2012.
‘Moro Islamic Liberation Front’,BBC (Online), <http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-
pacific/7887521.stm#Moro%20Islamic%20Liberation%20Front>, diakses pada 19 September
2012
‘Pattani Bomb kills six’, Bangkok Post (Online), 21 September 2012, <
http://www.bangkokpost.com/news/local/313440/pattani-bomb-kills-six>, diakses pada 9
November 2012.
‘Philippines brokers peace deal with Muslim Rebel’, The Guardian (Online), 15 Oktober 2012, <
http://www.guardian.co.uk/world/2012/oct/15/philippines-peace-deal-musim-rebels>, diakses
pada 28 Oktober 2012.
Relation, C. o. F., ' Abu Sayyaf Groups (Philippines, Islamist Separatist)', CFR (Online)
<http://www.cfr.org/philippines/abu-sayyaf-group-philippines-islamist-separatists/p9235>
diakses pada 19 September 2012.
‘Senjata Terlengkap, Ada Akmil Sendiri’, Harian Sumut Pos (Online), < HYPERLINK
"http://www.hariansumutpos.com/arsip/?p=13051"
http://www.hariansumutpos.com/arsip/?p=13051 >, diakses pada 19 September 2012.
Sulu. R., ' MNLF History: short history of the Moro National Liberation Front', ROYAL
HASHEMITE SULTANATE OF SULU (Online)
<http://www.royalsulu.com/mnlf%20history.html>, diakses pada 16 September 2012
‘Thailand-Cambodia border dispute flares again, leaving six soldiers dead’, The Guardian
(Online), 22 April 2011, < HYPERLINK "http://www.guardian.co.uk/world/2011/apr/22/thailand-cambodia-
border-dispute-flares" http://www.guardian.co.uk/world/2011/apr/22/thailand-cambodia-border-
dispute-flares >, diakses pada 1 November 2011.
US criticises new China garrison in South China Sea, Channel News Asia (Online), 4 Agustus
2012, < HYPERLINK
"http://www.channelnewsasia.com/stories/afp_asiapacific/view/1217909/1/.html"
http://www.channelnewsasia.com/stories/afp_asiapacific/view/1217909/1/.html >, diakses pada 9
November 2012.
35
Wee D.T., ‘MILF, MNLF pledge to push Moro interest’, Business World (Online), 29 Oktober
2012, < http://www.bworldonline.com/content.php?section=Nation&title=MILF,-MNLF-pledge-
to-push-Moro-interest&id=60758>, diakses pada 9 November 2012.
‘Reports Blast Myanmar treatment of Rohingya’, Al Jazeera (Online), 1 Agustus 2012,
<http://www.aljazeera.com/news/asia-pacific/2012/08/20128154245751775.html>, diakses pada
1 November 2012.
36
US criticises new China garrison in South China Sea4
WASHINGTON: The United States on Friday criticised China's establishment of a new military
garrison in the South China Sea as it called on all sides to lower tensions in the hotly contested
waters.
China announced last week that it was establishing the tiny city of Sansha and a garrison on an
island in the disputed Paracel chain, infuriating Vietnam and the Philippines, which have accused
Beijing of intimidation.
"We are concerned by the increase in tensions in the South China Sea and are monitoring the
situation closely," US State Department spokesman Patrick Ventrell said in a statement.
"In particular, China's upgrading of the administrative level of Sansha city and establishment of a
new military garrison there covering disputed areas of the South China Sea run counter to
collaborative diplomatic efforts to resolve differences and risk further escalating tensions in the
region," he said.
Ventrell also pointed to "confrontational rhetoric" and incidents at sea, saying: "The United
States urges all parties to take steps to lower tensions."
China says it controls much of the South China Sea, but Brunei, Malaysia, Taiwan, the
Philippines and Vietnam all claim portions. Vietnam and the Philippines have accused China of
stepping up harassment at sea.
The United States has rallied behind Southeast Asian nations, expanding military ties with the
Philippines and Vietnam, as Washington looks to expand its influence in a region where China is
increasingly assertive.
4 US criticises new China garrison in South China Sea, Channel News Asia (Online), 4 Agustus 2012, <
http://www.channelnewsasia.com/stories/afp_asiapacific/view/1217909/1/.html>, diakses pada 9 November 2012.
37
During a 2010 visit to Vietnam, Secretary of State Hillary Clinton declared that the United States
had a national interest in freedom of navigation in the South China Sea, through which half of
world cargo passes.
Ventrell reiterated that the United States has an interest in stability and "unimpeded lawful
commerce" in the South China Sea but that Washington does not take a position on rival claims.
China also has separate disputes with US ally Japan in the East China Sea. Japanese Defence
Minister Satoshi Morimoto held talks in Washington on Friday.
US Defense Secretary Leon Panetta, addressing a joint news conference with Morimoto, praised
the Association of Southeast Asian Nations for working on a code of conduct for the South
China Sea and called for further progress.
"The last thing we want is to have direct confrontation in the South China Sea with regards to
jurisdictional issues," Panetta said.
"Those should be resolved peacefully, and they should be resolved pursuant to a code of conduct.
And the United States will do whatever we can to work with Japan and others to ensure that that
is the approach we take," he said.
Deep disputes last month prevented Southeast Asian nations from issuing a customary annual
joint communique at talks in Cambodia, holding up progress on reaching a code of conduct with
China.
The code of conduct would aim to set rules to reduce the chances of a spat over fishing, shipping
rights or oil and gas exploration tipping into an armed conflict.- AFP/fa
38
Freedom movement strengthens as Aceh crisis deepens5
Acehnese student groups, religious scholars, and civil society have joined forces to call for a
non-violent dialogue to find a solution to the deepening crisis in this resource-rich province
seeking independence from Indonesia. The growing movement for peace and democratization
emerges even as the situation in Aceh deteriorates rapidly.
Violence has erupted since the end of the holy month of Ramadan in early January, with killing,
tortures and disappearances occurring on a daily basis. At least 191 people have been confirmed
killed since the beginning of the year, threatening to quickly surpass last year's total death count
of 293. While a small percentage of those killed in the province are Indonesian police and
military officers, the overwhelming majority of victims are civilians, including an alarming
number of women and children. Besides those killed, thousands have been tortured, traumatized
and dislocated, while thousands more remain unaccounted for.
Thousands of student activists, local NGOs (non-governmental organizations), youth and
civilians held demonstrations in Aceh's capital on Jan. 30, calling for a cease-fire among all
armed parties in the troubled province, including the Free Aceh Movement, the province's armed
guerrilla group. Representatives from Non-Violence International, an NGO based in
Washington, D.C., were in Aceh last month to provide nonviolence training to 21 student leaders
at the request of student activist groups.
Michael Beer, Director of Training at the organization's international office, was deeply
impressed by the expanding civil movement in Aceh. "Although we played a catalytic role, the
movement for nonviolence in Aceh was really initiated by the students themselves," says Beer.
"We came because we were invited by student groups here. There is enormous mobilization for
change." There are presently 110 organizations in the formal NGO coalition in Aceh, and new
ones are being formed constantly as the population experiences an awakening of social and
political self-consciousness.
5 L. Fan, ‘Freedom movement strengthens as Aceh crisis deepens’, News and Letters (Online), 20 Februari 2000, <
http://www.newsandletters.org/Issues/2000/March/3.2000_aceh.htm>, diakses pada 1 November 2012.
39
The Support Committee for Human Rights in Aceh (SCHRA) held a two-day conference in
Banda Aceh in mid-January. The conference was attended by some 70 people, including many
foreign representatives from NGOs such as International Forum for Aceh, U.S. Committee for
Refugees, Asian Human Rights Commission, Non-violence International, and Asian Network for
Democracy in Indonesia.
After the conference, 12 SCHRA delegates embarked on an observer mission to Pidie, North
Aceh, and East Aceh, areas which have been afflicted with the worst poverty and slaughter. As
the team neared their destination the military launched an attack on a Free Aceh Movement base
in Pidie, halting the SCHRA bus at a checkpoint and directing it to a police station. After two
hours of interrogation the team was released and allowed to continue on condition that they not
disembark the vehicle and not make any stops and were accompanied thereafter by two military
trucks. At the border of North Aceh, in a display of hostility, military officers fired shots from
their machine guns into the air. The SCHRA team was also restricted from providing
humanitarian assistance in the form of food to displaced and malnourished Acehnese at a refugee
camp near Lhoksumawe, North Aceh. Systematically conducted repression, which is
increasingly being directed against activists and humanitarian workers, has become routine in
Aceh.
In a surprise move last week, Indonesian President Abdurrahaman Wahid (popularly known as
Gus Dur) suspended the nation's chief of armed forces, General Wiranto, after the latter was
named in a report about human rights abuses in East Timor. While Wahid's attempts at reform
draw support from international human rights groups and governments alike, some fear that the
country's ongoing conflicts will be obscured.
"The situation is very deceiving," says Jafar Siddiq Hamzah, chairman of the New York-based
International Forum for Aceh. "Gus Dur's sacking of Wiranto has the international community
now believing that human rights is a central concern of the new Indonesian government.
Meanwhile the atrocities continue day after day in Aceh, as well as other regions of the
archipelago, without admonishment from the outside world. We Acehnese feel very sad that the
United States has allowed this to happen so easily." Indeed, this month the U.S. Defense
Department has quietly resumed training Indonesian military officers in the U.S. The U.S.
40
suspended its training of Indonesian soldiers after the East Timor bloodbaths last year, in which
the Indonesian military played an instrumental role.
Philippines brokers peace deal with Muslim rebels6
Agreement grants minority Muslims broad autonomy in exchange for ending more than 40
years of violence
The Philippine government and Muslim rebels have taken their first tentative steps toward
ending one of Asia's longest-running insurgencies with the ceremonial signing of a preliminary
peace} pact they hope will end decades of bitter hostilities.
The framework agreement, a roadmap to a final peace settlement expected by 2016, grants
minority Muslims in the southern Philippinesbroad autonomy in exchange for ending more than
40 years of violence that has killed tens of thousands of people and stifled development.
The deal was signed on Monday in Manila's presidential palace by government negotiator
Marvic Leonen and his counterpart from the Moro Islamic Liberation Front , Mohagher Iqbal.
Also on hand to witness the historic moment were the Philippines president, Benigno Aquino III,
the rebel chairman, Al Haj Murad Ebrahim – who set foot in the palace for the first time – and
the Malaysian prime minister, Najib Razak, whose country helped broker the deal.
"We are men and leaders who want to make a difference and we have decided that the time has
come for us to choose the moral high ground," Najib said. He said the deal "will protect the
rights of the Bangsamoro people and preserve the sovereignty and territorial integrity of the
Philippines".
He warned that the agreement "does not solve all the problems, rather it sets the parameters in
which peace can be found."
"After four decades, peace is within reach," he added.
6 ‘Philippines brokers peace deal with Muslim Rebel’, The Guardian (Online), 15 Oktober 2012, <
http://www.guardian.co.uk/world/2012/oct/15/philippines-peace-deal-musim-rebels>, diakses pada 28 Oktober 2012.
41
The 13-page document outlines general agreements on major issues, including the extent of
power, revenues and territory granted for a new Muslim autonomous region to be called
Bangsamoro in this predominantly Roman Catholic nation.
It calls for the establishment of a 15-member transition commission to draft a law creating the
new Muslim-administered region. The 11,000-strong rebel army will be deactivated gradually
"beyond use", the agreement says, without specifying a timetable.
Aquino said much work remained to be done and "the devil is in the details", but said his
government was committed to the country's south
MILF, MNLF pledge to push Moro interest7
ZAMBOANGA CITY -- In a bid to make the southern peace talks inclusive, members of
the Moro Islamic Liberation Front (MILF) and representatives from factions of the Moro
National Liberation Front (MNLF) met in Davao City on Sunday committing to advance
Moro interests, a rebel official said.
MILF chief negotiator Mohagher Iqbal told BusinessWorld yesterday that members of the two
groups have agreed to maintain communication lines and prevent misunderstanding in
approaching the peace process.
“Yes, we are going to hold the dialogues on a regular basis because we have formed a joint
secretariat,” he said, referring to the Ad Hoc Joint Secretariat that was created for the continuing
dialogue.
Mr. Iqbal met with Abdurahman Amin, MNLF’s permanent liaison to the Organization of
Islamic Conference (OIC), and members of the MNLF composed of the Nur Misuari group,
Muslimin G. Sema faction of the Council of 15, and politicians claiming to be supporters of the
7 D.T. Wee, ‘MILF, MNLF pledge to push Moro interest’, Business World (Online), 29 Oktober 2012, <
http://www.bworldonline.com/content.php?section=Nation&title=MILF,-MNLF-pledge-to-push-Moro-interest&id=60758>, diakses pada 9 November 2012.
42
MNLF.
Leaders of the MNLF were not immediately available for comment.
Over the years, the MNLF has splintered into several factions following an internal squabble in
the leadership.
The Council of 15 led by former Cotabato Mayor Sema in 2001 booted out as MNLF chairman
Mr. Misuari who refused to recognize the council.
Mr. Misuari, who inked a peace deal with the Ramos administration in 1996, is believed to be
against the talks between the Aquino administration and MILF.
He has been against the signing of the Framework Agreement in mid-October that will give birth
to a new region called Bangsamoro replacing the Autonomous Region in Muslim Mindanao that
he previously headed.
Mr. Iqbal said the dialogue between the MILF and MNLF is “a parallel effort to work harder and
to arrive at an understanding and cooperation.”
The OIC through its Secretary-General Ekmeleddin Ihsanoglu has earlier called for the two rebel
groups to unite and improve the lot of Moros in Mindanao.
In a joint statement following yesterday’s meeting, both fronts “expressed commitment to
strengthen and concretize parallel directions, collective and complementary efforts, and
coordination mechanisms toward achieving justice, peace and development for the
Bangsamoro.”
“[The] dialogue was undertaken in the spirit of Islamic principles of brotherhood, unity and
cooperation geared for the realization of common aspirations for freedom and right to self-
determination of the Bangsamoro,” it said.
43
Aside from creating a joint secretariat, a “Unity and Advocacy Committee” was also “organized
composed of equal representation from the two sides being headed by an aleem (Islamic scholar)
that will work for the empowerment and strengthening of unity of the Bangsamoro through
da’wah and education.”.
Communist rebels kill 10 soldiers in the Philippines8
At least 10 Philippine soldiers have been killed in an ambush by communist rebels in the
north of the country, officials say.
The New People's Army (NPA) ambushed an army convoy in a remote village in Ifugao
province, north of Luzon Island, according to the military and police.
At least one civilian is also said to have died in the incident.
The Communist Party of the Philippines (CPP) and its NPA armed wing have been fighting the
government since 1969.
"This is considered one of the most daring attacks by the NPA in this area in recent years,"
military spokesman Colonel Loreto Maguddayao was quoted by Agence-France Presse news
agency as saying.
The NPA, one of Asia's longest-running insurgencies, concentrates its campaign in rural areas
and in small-scale skirmishes with the military, according to the BBC's Kate McGeown.
Peace talks between the Philippine government and communist rebels have taken place
sporadically over the years, but they have been stalled since 2011.
As of late last year, there were estimated to be about 4,700 NPA rebels who continued to fight,
mainly in the poorest areas of the Philippines.
The group is listed on the Foreign Terrorist Organisation list of the US State Department.
8 ‘Communist rebels kill 10 soldiers in the Philippines’, BBC News Asia (Online), 25 April 2012,
<http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-17837179>, diakses pada 28 Oktober 2012.
44
Report blasts Myanmar treatment of Rohingya9
Rights group says military conducted vicious crackdown on stateless Muslim group in
aftermath of sectarian violence.
Myanmar security forces have killed, raped or carried out mass arrests of Rohingya Muslims
after deadly sectarian riots in the northeast in June, a rights group has said, adding the authorities
had done little to prevent the initial unrest.
Aid workers were blocked and in some cases arrested in a government crackdown on the largest
group of stateless people in Southeast Asia, New York-based Human Rights Watch said in a
report on Wednesday.
The report comes after a week of arson and machete attack by both ethnic Rakhine Buddhists
and Rohingyas in Rakhine state.
Based on 57 interviews with Rakhines and Rohingyas, the report seeks to shed light on a conflict
that exposed deep-rooted communal animosity and put the spotlight on promises by the civilian
government in office since 2011 to protect human rights after decades of brutal army rule.
"Burmese security forces failed to protect the Arakan [Rakhine] and Rohingya from each other
and then unleashed a campaign of violence and mass round-ups against the Rohingya," said Brad
Adams, Asia director at Human Rights Watch.
"The government claims it is committed to ending ethnic strife and abuse, but recent events in
Arakan State demonstrate that state-sponsored persecution and discrimination persist."
In veiled criticism of the United States and European Union, which praised the government for
its handling of the unrest, Adams said the international community had been "blinded by a
romantic narrative of sweeping change" in Myanmar.
9 ‘Reports Blast Myanmar treatment of Rohingya’, Al Jazeera (Online), 1 Agustus 2012,
<http://www.aljazeera.com/news/asia-pacific/2012/08/20128154245751775.html>, diakses pada 1 November 2012.
45
Foreign minister Wunna Maung Lwin said on Monday the authorities had exercised "maximum
restraint" in restoring law and order and that the rioting was not fuelled by religious persecution.
He rejected what he said were attempts to "politicise and internationalise the situation as a
religious issue", adding that the government was eager to promote "racial harmony among
different nationalities".
The official spokesperson for Rakhine state also rejected the group's criticism of the
government's response to the violence. Win Myaing told the AP news agency that allegations
that government forces stood and watched as violence wracked the area were "absolutely
untrue".
"Security conditions obviously improved day by day when government forces were deployed to
control the situation," Win Myaing said.
Forced resettlement
The country formerly called Burma has a diverse ethnic and religious make-up, but the Rohingya
Muslims are not included by the government.
There are at least 800,000 Rohingyas in the country but they are not recognised as one of its
ethnic groups.
Neighbouring Bangladesh does not accept them and pushed boatloads back out to sea when they
tried to flee the unrest.
Myanmar President Thein Sein said in June the government was only responsible for third-
generation Rohingyas whose families had arrived before independence in 1948 and that it was
impossible to accept those who had "illegally entered" Myanmar.
He recommended that the United Nations refugee agency UNHCR take care of them in camps or
"resettle them" in third countries.
UNHCR chief Antonio Guterres replied it could only resettle refugees that fled from one country
to another.
46
'Virulent hatred'
The riots followed two brutal incidents in Rakhine state: the May 28 rape and murder of a
Rakhine woman by three Rohingya males, who were sentenced to death, and the June 3 lynching
in response of 10 non-Rohingya Muslims travelling on a bus.
Human Rights Watch said police and troops did not intervene to stop the mobs from beating the
Muslims to death. During the riots that followed, it said some Rohingyas who tried to flee or put
out fires at their homes were shot at by paramilitaries.
It called for the government to end abuses, grant full humanitarian access and invite in
international monitors. Access to the area remains restricted.
Michael Vatikiotis, the Asian director for the Center for Humanitarian Dialogue, said that while
the primary factor in the recent violence is "the virulent hatred of the Rohingya people by the
Rakhinese", this is by no means an isolated issue.
"Violence between the two communities is something that has happened in the past. This is
compounding an already serious issue that affects not only Myanmar and Bangladesh, but the
region as a whole."
Vatikiotis adds that claims of the state of emergency in the country being used as a cover for
various abuses are "very easy to make," but says judgment should be reserved until access into
the area is once again granted.
"It is very difficult to make an objective assessment because of the lack of access to the region."
Thein Sein is in a tight spot. Concessions toward the Rohingyas could prove unpopular among
the general public, but perceived ill-treatment risks angering Western countries that have eased
sanctions in response to human rights reforms.
Minister of border affairs Thein Htay says 858 people have been detained for involvement in the
violence, including five UNHCR staff and a UN World Food Programme employee. It was
unclear how many of the total were Rohingya or ethnic Rakhine.
47
The foreign ministry has said 77 people died and 109 were injured during the violence, and
nearly 5,000 homes burnt down.
Pattani bomb kills six10
Nurses scrambled to attend to the wave of bloodied casualties in the main hospital in Sai Buri
district, an AFP reporter at the scene said, adding blood donations were urgently required to help
the wounded.
"There are six dead now, three men and three women," a Public Health ministry official said in
Bangkok, a toll confirmed by the local hospital.
"Altogether 41 people have been wounded either from shrapnel or burns," she said, adding 19
"seriously injured" people had been ferried to bigger provincial hospitals.
An army spokesman said militants opened fire on shops in Sai Buri town centre shortly after
Friday prayers in the Muslim-majority region to lure security forces to the scene, before
detonating the bomb.
A complex insurgency calling for greater autonomy has plagued Thailand's Muslim-majority far
south near the border with Malaysia since 2004, claiming more than 5,300 lives, both Buddhist
and Muslim, with near daily bomb or gun attacks.
The bomb, which sparked a fire that destroyed several shops, was meant as a warning to locals
not to talk with security forces after nearly 100 suspected militants "surrendered" last week,
according to Col Pramote Prom-in, an army spokesman in the South.
"The perpetrators are the hardcore and do not want a peaceful solution (to the conflict) so they
wanted to terrorise residents not to take side with government," Col Pramote said. "But it will not
10
‘Pattani Bomb kills six’, Bangkok Post (Online), 21 September 2012, < http://www.bangkokpost.com/news/local/313440/pattani-bomb-kills-six>, diakses pada 9 November 2012.
48
affect the government's efforts."
In response to an increase in violence over the summer, authorities said they had renewed peace
talks with militant leaders.
"Don't call it negotiations ... but there are talks to achieve peace which is a crucial government
policy," Deputy Prime Minister Yutthasak Sasiprapa said in August.
But the attacks have continued.
Analysts say the lattice of militant groups operating in the lush, forested three southernmost
provinces are using increasingly sophisticated tactics to carry out co-ordinated assaults.
Dozens of members of Thailand's security forces have been killed in recent weeks in ambushes
and roadside bombs, while civilians perceived to have collaborated with authorities are also
routinely executed.
Thailand-Cambodia border dispute flares again, leaving six soldiers dead11
Thailand and Cambodia blame each other for the first major skirmish in Surin since February's
ceasefire
Villagers evacuated from near the frontline in Surin province where Thailand and Cambodia
exchanged gunfire on Friday. Photograph: AP
Six soldiers have died in the first major flare-up since a shaky ceasefire in the Thailand-
Cambodia border dispute was signed in February.
11
‘Thailand-Cambodia border dispute flares again, leaving six soldiers dead’, The Guardian (Online), 22 April 2011, <http://www.guardian.co.uk/world/2011/apr/22/thailand-cambodia-border-dispute-flares>, diakses pada 1 November 2011.
49
As soldiers fought with rocket-propelled grenades and guns, both countries evacuated thousands
of villagers and accused each other of firing first in the jungle around Ta Moan and Ta Krabei
temples in the north-eastern Thai province of Surin, about 93 miles south-west of the 900-year-
old Preah Vihear temple, which saw a deadly standoff in February.
Three Thai paramilitary rangers were killed and 13 wounded, while three Cambodian soldiers
died and six were wounded.
"Cambodia started attacking our temporary base with artillery fire and we responded to defend
ourselves," said Lieutenant-General Thawatchai Samutsakorn, of the Thai army.
Thai army spokeswoman Sirichan Ngathong said fighting began after Cambodian troops altered
a bunker in the area and moved closer in violation of a ceasefire pact. "When warned,
Cambodian troops stepped closer and started firing," she said.
Cambodia's defence ministry spokesman, Lieutenant-General Chhum Socheat, said Thai artillery
shells had hit four Cambodian villages and Cambodian troops responded with rocket-propelled
grenades.
Soon after the clashes subsided, Cambodian foreign minister Hor Namhong sent a letter to the
UN security council in New York, accusing Thailand of launching a "blatant, large-scale attack".
A witness in one Thai village said occasional gunshots and shelling could still be heard hours
after the clash.
Thailand's government evacuated about 7,500 villagers, while Cambodian authorities moved
several thousand people out of the area.
The fighting is the most severe since three Thais and eight Cambodians were killed and dozens
of people wounded between 4 and 7 February in the bloodiest fighting in nearly two decades.
As part of a ceasefire deal, Thailand and Cambodia agreed on 22 February to allow unarmed
military observers from Indonesia to be posted along the border. But that arrangement – brokered
by the Association for South East Asian Nations (Asean) foreign ministers in Jakarta – has yet to
be put in place. Thailand said international observers were not required, insisting the two
countries should resolve the issue bilaterally.
50
Thai foreign minister Kasit Piromya said on Friday: "There's a mechanism in place, so there's no
need to run crying to Asean or the international community."
In his letter to the UN, his Cambodian counterpart, Hor Namhong, said Thailand's refusal to
allow third party mediation was a "pretext for using its larger and materially more sophisticated
armed forces against Cambodia".
Indonesia, the current chair of Asean, of which Thailand and Cambodia are members, urged both
sides to stop fighting.
Indonesia "strongly calls for the immediate cessation of hostilities between Cambodia and
Thailand; for the two sides to continue to resolve their differences through peaceful means," it
said in a statement.
Chhay Mao, a major in the Cambodian army stationed at the Preah Vihear temple, said the
fighting had not spread to the ancient clifftop Hindu temple, which was awarded by an
international court to Cambodia 49 years ago. Both countries lay claim to a 4.6 sq km (1.8 sq
mile) patch of land around it.
The temple has been a source of tension for generations and the two countries have been locked
in a standoff since July 2008, when Preah Vihear was granted Unesco world heritage status.
Some analysts say hawkish Thai generals and their ultra-nationalist allies, who wear the Thai
king's colour of yellow at protests, may be trying to create a pretext to stage a coup and cancel
elections expected in June or July.
Others say it may be a breakdown in communication at a time of strained relations and unease
after a rumour of an imminent military coup swirled in Thailand overnight. The army has
dismissed the rumours as baseless.
51
Indonesia Kehilangan Pulau Sipadan-Ligitan12
TEMPO Interaktif, Jakarta: Mahkamah Internasional (International Court of Justice) telah
memutuskan bahwa Malaysia memiliki kedaulatan atas Pulau Sipadan-Ligitan. “Pemerintah
Indonesia menerima keputusan akhir Mahkamah Internasional (MI), dan saya sungguh berharap
bahwa keputusan MI dalam masalah ini dapat menutup satu babakan dalam sejarah bilateral
antara Indonesia-Malaysia,” kata Menteri Luar Negeri Hasan Wirajuda, dalam jumpa persnya di
Deplu, Selasa (17/12).
Hari ini, pada sidang yang dimulai pukul 10.00 waktu Den Haag, atau pukul 16.00 WIB, MI
telah mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara
Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh
16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15
merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi
dipilih oleh Indonesia.
Kemenangan Malaysia, kata menteri, berdasarkan pertimbangan effectivitee, yaitu pemerintah
Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa
penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur
penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. “Sementara itu, kegiatan
pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan
chain of title (rangkain kepemilikan dari Sultan Sulu),” kata Menlu.
Di pihak yang lain, MI juga menolak argumentasi Indonesia yang bersandar pada konvensi 1891,
yang dinilai hanya mengatur perbatasan kedua negara di Kalimantan. Garis paralel 14 derajat
Lintang Utara ditafsirkan hanya menjorok ke laut sejauh 3 mil dari titik pantai timur Pulau
Sebatik, sesuai dengan ketentuan hukum laut internasional pada waktu itu yang menetapkan laut
wilayah sejauh 3 mil.
12
D. A. Candraningrum, ‘Indonesia Kehilangan Pulau Sipadan Ligitan’, Tempo (Online), 17 Desember 2002, < http://www.tempo.co/read/news/2002/12/17/05535037/Indonesia-Kehilangan-Pulau-Sipadan-Ligitan>, diakses pada 1 November 2012.
52
Dalam kesempatan itu, Wirajuda juga mengatakan, pemerintah Indonesia menyatakan rasa
kecewa yang mendalam bahwa upaya yang dilakukan oleh empat pemerintahan Indonesia sejak
tahun 1997 ternyata tidak membuahkan hasil. “Namun, kita berkewajiban untuk menghormati
Persetujuan Khusus untuk bersama-sama mengajukan sengketa kedua pulau ini ke Mahkamah
Internasional pada 31 Mei 1997,” kata dia.
Dia menambahkan, sesuai dengan kesekapatan antara Indonesia-Malaysia tidak ada banding
setelah keputusan ini. Sebab, keputusan mahkamah ini bersifat final dan mengikat.
Dalam urusan ini, pemerintah Indonesia juga percaya seluruh proses peradilan telah berlangsung
secara adil dan transparan. Tentang tindak lanjut pasca keputusan MI, menteri menyatakan,
langkah pertama yang diambil adalah merumuskan batas-batas negara dengan negara-negara
terdekat. “Untuk Sipadan-Ligitan akan ditarik batas laut wilayah sejauh 12 mil dari lingkungan
dua pulau tersebut,” katanya.
Mengenai kerugian yang diderita, Wirajuda menegaskan tidak ada. “Kita hanya kehilangan dua
pulau, Sipadan dan Ligitan,” kata dia. Menteri mengaku sudah melaporkan hasil itu kepada
Presiden, tapi karena Presiden Megawati sedang dalam perjalanan, maka belum ada respons.
Disebutkan, biaya yang dikeluarkan hingga proses ini mencapai Rp 16 miliar, yang sebagian
besar digunakan untuk membayar pengacara. Menteri memandang, biaya itu bukan sebuah
kerugian karena hal itu merupakan konsekuensi dari sebuah perjuangan. “Ini bisa dibilang
sebuah perjuangan demi tercapainya cita-cita,” kata dia.
Saat ditanya, apakah pemerintahan Megawati bisa dijatuhkan karena kasus ini, Wirajuda
menyatakan tidak bisa begitu. Sebab, masalah ini sudah ada sejak tahun 1997, dan telah menjadi
masalah serius bagi empat Presiden sebelumnya. “Jadi, tidak bisa kita salahkan ujungnya karena
merupakan satu rangkaian yang tidak bisa dilepaskan,” kata dia.
Mengenai rencana interpelasi anggota DPR jika pemerintah Indonesia kehilangan pulau ini,
menteri menjawab hal itu merupakan satu rangkaian dari keputusan serius yang telah lama ada di
53
Indonesia, dan proses peradilan ini sendiri telah berlangsung secara adil dan transparan. "Justru
ini merupakan upaya diplomasi dan konsultasi yang dilakukan secara gencar oleh berbagai
pihak," kata dia.
Wirajuda sendiri berpendapat, kehilangan dua pulau ini berkaitan dengan keteidakjelasan
pembatasan wilayah Nusantara sehingga perlu dilakukan upaya untuk memperjelas garis
pembatas negara. "Ini menjadi kebijakan penting pada pemerintahan Megawati saat ini, yaitu
menginventarisir garis batas wilayah kita agar 17.508 pulau kita tidak tercecer," kata dia. (Diah
Ayu Candraningrum-Tempo News Room)
Pengikut Syiah Ditekan Tinggalkan Keyakinannya13
SURABAYA, KOMPAS.com - Selain diberhentikan pasokan bantuan makanan dan
minumannya, ternyata komunitas Syiah yang mengungsi di GOR Kabupaten Sampang juga
mengalami tekanan dalam bentuk lain. Yakni berupa tekanan untuk pindah keyakinan dan
meninggalkan Syiah.
Hasil laporan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya
menyebutkan, 9 orang diantaranya adalah kepala keluarga yang mewakili keluarganya, telah
didesak untuk membuat surat pernyataan keluar dari Syiah. Dalam surat pernyataan itu, diketahui
dan disaksikan oleh sejumlah pejabat dan tokoh agama setempat seperti Polres Sampang,
Kemenag Sampang, Bakesbang Pol, Sat Brimob Polda Jatim, dan camat setempat.
"Kami juga mendapatkan laporan bahwa surat pernyataan tersebut dibuat oleh warga Syiah
karena mereka merasa terancam, bahwa apabila mereka tidak keluar dari keyakinan agamanya,
maka rumah mereka juga akan dibakar seperti dalam peristiwa pada 26 Agustus lalu," kata
Koordinator Badan Pekerja, KontraS Surabaya, Andy Irfan, Rabu (7/11/2012).
Upaya-upaya itu, kata Andy, jelas melanggar Pasal 28 E dan 28 I UUD 1945 Amandemen Kedua
dan Pasal 22 UU No. 39 tahun 2009 tentang HAM. Secara khusus, bagi petugas kepolisian yang
13
A. Faizal, ‘Pengikut Syiah Ditekan Tinggalkan Keyakinannya’, Kompas (Online), 7 November 2012, < http://regional.kompas.com/read/2012/11/07/1807205/Pengikut.Syiah.Ditekan.Tinggalkan.Keyakinannya?utm_source=WP&utm_medium=Ktpidx&utm_campaign=>, diakses pada 9 November 2012.
54
terlibat mendukung upaya mengeluarkan pengikut Syiah dari keyakinannya, maka hal tersebut
melanggar ketentuan pasal 5 ayat (2) Perkap Polri No. 8/2009, tentang Implementasi Prinsip dan
Standar HAM dalam Pemelanggaraan Tugas Kepolisian Negara RI.
Karena itu, pihaknya mendesak pemerintah melakukan sosialisasi efektif dan meluas kepada
seluruh masyarakat di Sampang agar menghormati hak-hak kelompok minoritas Syiah, tidak
tunduk kepada desakan tokoh agama yang menyerukan syiar kebencian terhadap komunitas
Syiah.
"Kami juga meminta pemerintah menghentikan segala aktivitas individu atau kelompok yang
mengancam dan mengintimidasi warga Syiah di Sampang, termasuk dalam hal ini aktivitas
beberapa tokoh agama yang mendesak agar warga Syiah keluar dari keyakinannya," tutupnya.