STEVEN JOHNSON SYNDROME
-
Upload
lia-rahmiaty -
Category
Documents
-
view
18 -
download
0
description
Transcript of STEVEN JOHNSON SYNDROME
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis yang
ditandai oleh trias kelainan pada kulit, mukosa orifisium (oral, konjungtiva dan
anogenital), serta mata yang disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas atau reaksi
kompleks imun, biasanya disertai gejala umum berat dan memerlukan perawatan
dirumah sakit1.
Kelainan ini diawali dengan penyakit saluran respiratori dan demam 1 sampai
14 hari sebelum awitan lesi di kulit. Keterlibatan sekurangnya dua permukaan
membran mukosa diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan membedakan dengan
EM minor2.
Pada EM mayor (sindrom stevens johnson), lesi kulit adalah bulosa, lesi
mukosa ada pada lebih dari satu tempat (misal mata dan mulut), dan toksisitas
sistemik nyata. Faktor etiologi yang paling lazim menyebabkan EM adalah obat-
obatan dan infeksi3.
Sindrom stevens johnson adalah istilah keterlibatan parah konjungtiva ,
rongga mulut , dan mukosa genital. Banyak penyebab yang dicurigai , terutama
bersamaan virus herpes simpleks, obat terutama sulfonamid , dan Mycoplasma
infections. Eritema multiforme yang berulang biasanya berhubungan dengan
reaktivasi virus herpes simpleks . dalam bentuk ringan , penyembuhan spontan terjadi
pada 10-14 hari , tetapi stevens johnson syndrom dapat berlangsung 6-8 minggu4.
Pengelupasan epidermis terjadi pada 10% kasus, sedangkan keterlibatan
mukosa dapat mencapai 90% kasus dari keseluruhan kasus. Sejak dikenal menurut
deskripsi Stevens dan Johnson pada tahun 1922 maka berdasarkan penelusuran
literatur penyakit ini mempunyai banyak sekali sinonim, diantaranya adalah sindrom
de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritem poliform
1
bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dan lain-lain. Istilah
eritema multiforme sebetulnya hanya merujuk pada kelainan kulitnya saja.1
Pada umumnya SSJ dilaporkan jarang terjadi tetapi mungkin saja angka
kejadian sebenarnya lebih tinggi karena pengenalannya kurang begitu baik. Sindrom
ini muncul paling sering pada dewasa, namun dapat juga mengenai anak-anak, tetapi
jarang dijumpai pada usia dibawah 3 tahun. Sesuai denga gejala klinis utamanya
maka penyakit ini secara timbal balik sering salah dikenal sebagai varisela, difteria,
vaksinia, demam scarlet, campak, impetigo, atau meningitis. Insidens yang
dilaporkan berkisar antara 1-10 per sejuta setiap tahun. Di Bagian Ilmu Kesehatan
Anak FKUI/RSCM dalam periode tahun 1985-1992 tercatat sebanyak 22 orang anak
yang dirawat dengan diagnosis sindrom Stevens-Johnson, terdiri dari 12 anak laki-
laki dan 10 wanita berusia antara 11 bulan sampai 11 tahun1.
Bentuk klinis SSJ berat jarang terdapat pada bayi, anak kecil atau orang tua.
Lelaki dilaporkan lebih sering menderita SSJ daripada perempuan. Tidak terdapat
kecenderungan rasial terhadap SSJ walaupun terdapat laporan yang menghubungkan
kekerapan yang lebih tinggi pada jenis HLA tertentu1.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Sindrom Stevens-Jonhson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis yang
di tandai oleh trias kelainan pada kulit, mukosa, orifisium (oral, konungtiva dan
anogenital), serta mata yang disebabkan reaksi hipersensitivitas atau reaksi kompleks
imun biasanya disertai oleh gejala umum berat dan memerlukan perawatan di rumah
sakit.1
2.2. Epidemiologi
Pada umumnya SSJ dilaporkan jarang terjadi tetapi mungkin saja angka
kejadian sebenarnya lebih tinggi karena pengenalannya kurang begitu baik. Sindrom
ini muncul paling sering pada dewasa, namun dapat juga mengenai anak-anak , tetapi
jarang dijumpai pada usia dibawah 3 tahun. Insiden yang dilaporkan berkisar antara
1-10 per sejuta setiap tahun. Di bagian ilmu kesehatan anak FKUI/RSCM dalam
periode tahun 1985-1992 tercatat sebanyak 22 anak yang dirawat dengan diagnosis
sindrom Stevens-Jonhson, terdiri dari 12 anak laki-laki dan 10 wanita berusia 11
bulan sampai 11 tahun. Bentuk SSJ berat jarang pada bayi, anak kecil atau orang tua.
Lelaki dilaporkan lebih sering mendrita SSJ daripada perempuan. Tidak terdapat
kecenderungan rasial terhadap SSJ.1
2.3. Etiologi
Obat dan infeksi mycoplasma pneumoniae merupakan penyebab SSJ pada anak.
Faktor pencetus lain adalah infeksi virus, infeksi bakteri, sifilis dan infeksi jamur
profunda. Obat yang paling umum memicu adalah obat anti inflamasi non-steroid
(AINS), diikuti oleh sulfonamid, anti konvulsan, turunan penisilin dan tetrasiklin.2
3
Berikut merupakan faktor penyebab timbulnya sindrom Stevens-Jonhson :1
Infeksi
Virus Herpes simpleks, mycoplasma
pneumoniae, vaksinia
Jamur koksidioidomikosis, histoplasma
Bakteri Streptokokus, staphylococcus
hemolyticus, mycobacterium tuberculosis,
salmonela
Parasit Malaria
Obat Salisilat, sulfa,penisilin, etambtol,
tegretol, tetrasiklin, digitalis,
klorpromazin, karbamazepin, kinin,
analgetik/antipiretik
Fisik Udara dingin, sinar matahari, sinar x
Lain lain Penyakit kolagen, keganasan, kehamilan
Keterlibatan kausal obat tersebut ditujukan terhadap obat yang diberikan
sebelum masa awitan setiap gejala klinis yang di curigai, bila pemberian diteruskan
dan geala klinis membaik maka hubungan kausal dinyatakan negatif. Sindrom ssj
dapat terjadi dalam periode tunggal namun dapat terjadi berulang dengan keadaan
yang lebih buruk setelah paparan ulang terhdap obat obatan penyebab.1
4
2.4. Patogenesis
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan
dengan hipersensitivitas tipe III dan IV. Antigen penyebab berupa hapten akan
berikatan dengan karier yang dapat merangsang respon imun spesifik sehingga
terbentuk kompleks imun beredar. Hapten tersebut dapat berupa faktor penyebab
( misalnya virus, partikel obat, metabolit yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab
tersebut ( struktur sel atau jaringan yang terlepas akibat infeksi, inflamasi). Kompleks
imun yang beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa serta menimbulkan
kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi.
Kerusakann jaringan dapat pula akibat aktivitas sel T serta mediator yang
dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit
dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta produk
inflamasi lainnya. Adanya reaksi imun sitotoksik uga mengakibatkan apoptosis
keratinosit yang ahirnya menyebabkan kerusakan epidermis.1
2.5 Manifestasi klinis
Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk
produktif, koriza, sakit kepala, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan
atralgia. Setelah itu akan timbul lesi kulit, mukosa, dan mata yang dapat diikuti
dengan kelainan viseral.1
Kelianan kulit dapat timbul cepat berupa eritema, papul, vesikel, atau bula
secara simetris berupa lesi kecil satu satu atau kelainan luas pada hampir seluruh
tubuh. Lesi kulit biasanya pertama kali terlihat di muka, leher, dagu atau badan.
Sering timbul perdarahan pada lesi yang menimbulkan gejala fokal berbentuk target,
bagian sentral lesi dapat menjadi kehitaman, nekrotik atau berlepuh, dengan berbagai
cincin perubahan warna konsentris, termasuk intensifikasi kemerahan pada pinggir
lesi.1,3
5
Kulit juga mudah terkena infeksi sekunder. Predileksi pada area ekstensor
tangan dan kaki serta muka yang meluas keseluruh tubuh serta kulit kepala. Pada
keadaan lanut dapat terjadfi erosi, ulserasi, kulit mengelupas ( tanda Nikolsky
positif), dan pada kasus berat pengelupasan kulit dapat terjadi pada seluruh tubuh
disertai paronikia dan pelepasan kuku. Jumlah dan luas lesi dapat meningkat dan
mencapai puncaknya pada hari ke-4 sampai 5, dapat disertai rasa sakit di kulit. Lesi
pada mukosa dapat terjadi bersamaan bahkan mendahului timbulnya lesi di kulit.
Pada selaput mukosa mulut, tenggorokan, dan genital dapat ditemukan vesikel, bula
erosi , ekskoriasi, perdarahan dan krusta berwarna merah. Terkadang lidah juga
menunjukan kelainan tersebut. Pada faring dapat berbentuk pseudomembran
berwarna putih atau keabuan yang menimbulkan sulit menelan. Pada bibir dapat
dijumpai krusta kehitaman yang di sertai stomatitis berat pada mukosa mulut. Pasien
sulit makan dan minum dan biasanya datang dalam keadaan dehidrasi. Kelainan
mukosa jarang terjadin pada hidung dan anus , tapi pada kasus berat dapat terjadi
kelainan mukosa yang luas sampai daerah trakeobronkial. Kelaian mata berupa
konjungtivitis, kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, pembentukan
pseudomembran, kelopak mata biasanya edema dan sulit dibuka. Sekret pada mata
biasanya purulen disertai dengan fotofobia. Pada kasus berat dapat terjadi erosi dan
perforasi kornea. Krlainan klinis SSJ biasanya timbul cepat dan menakutkan dengan
keadaan umum yang berat, disertai demam, dehidrasi, gangguan pernapasan, muntah,
diare, melena, pembesaran kelenjar getah bening dan hepatosplenomegali sampai
pada penurunan kesaran dan kejang. Perjalanan penyakit tergantung dari derajad berat
nya penyakit, dapat berlangsung beberapa hari sampai 6 minggu.1,2,3
Diagnosis SSJ ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriiksaan laboratorium. Anamnesis dan pemeriksaan fisik ditujukan terhadap
kelain yang dapat sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa dan mata serta
hubunganya dengan faktor penyebab. Secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris
atau mata sapi, kelainan mukos, demam.
6
Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari hubungan dengan faktor
penyebab serta untuk penatalaksanaan secara umum. Dilakukan pemeriksaan darah
tepi ( HB, leukosit, trombosit, hitung jenis, hitung eosinofil total dan LED),
pemeriksaan imunologik (kadar imunoglobulin, komplemen C3 dan C4, kompleks
imun), biakan kuman serta uji resistensin dari darah dan tempat lesi, serta
pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Hasil biopsi hasil biopsi dapat menunjukkan
adanya nekrosis epidermis dengan keterlibatan kelenjar keringat, folikel rambut dan
perubahan dermis. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat yang menunjukan gejala
perdarahan. Leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, dan pada hitiung jenis
terdapat peninggian eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal
atau sedikit menurun, dan dapat di deteksi adanya kompleks imun yang beredar. Pada
pemeriksaan histopatologik dapat di temukan nekrosis epidermis sebagian atau
menyeluruh, edem intrasel di daerah epidermis, pembengkakan endotel serta eritrosit
yang keluar dari pembuluh darah dermis superfisial. Pemeriksaan imunoflouresen
dapat memperlihatkan adanya endapan IgM dan IgA, C3 dan fibrin. Untuk mendapat
hasil pemeriksaan imunoflouresens yang baik maka bahan harus diambil dari lesi
kulit baru berumur kurang dr 24 jam. Namun diagnosis SSJ sudah bisa di tegakkan
berdeasarkan klinis, dengan trias kelainan kulit, mukosa dan mata serta hubungannya
dengan faktor penyebab.1,2,
2.6. Diagnosis Banding
Diagnosis banding utama adalah nekrosis epidermal toksik (NET) yang
memperlihatkan epidermolisis menyeluruh dengan tanda Nikolsky. Pada NET tidak
ditemukan keterlibatan mukosa. Manifestasi klinis lain hampir serupa tetapi keadaan
umum NET terlihat lebih buruk daripada SSJ1.
Dapat terjadi kebingungan dengan penyakit kawasaki dan penyakit yang di
mediasi toksin (demam scarlet, sindrom syok toksik, dan staphylococcal scalded skin
syndrome). Pasien dengan penyakit kawasaki memiliki injeksi konjungtival dan
7
hiperemia membran mukosa. Nekrosis permukaan mukosa tidak terjadi; melenting
(blistering), erosi dan krusta hebat tidak terlihat. Perubahan mukosa pada
staphylococcal scalded skin syndrome biasanya ringan dan tidak terdapat erosi yang
jelas. Blistering pada kulit superfisial dan mencakup area yang luas pada wajah dan
daerah intertriginosa. Kelainan reumatologi lain biasanya dapat dieksklusi karena
perjalanan penyakitnya kronik2.
2.7. Penatalaksanaan
Sindrom stevens johnson adalah penyakit serius dengan angka kematian
sebesar 5% sampai 15%. Penghentian agen yang berperan , tatalaksana nyeri dan
terapi suportif merupakan pilihan utama terapi. Anak dengan nyeri intraoral, yang
berakibat asupan oral yang buruk, sering kali membutuhkan rawat inap lebih lama.
Pemberian makan secara parenteral atau melalui pipa nasogastrik harus dimulai sejak
awal untuk mempercepat proses penyembuhan2.
Terapi suportif merupakan tatalaksana standar pada pasien SSJ. Pasien yang
umumnya datang dengan keadaan umum berat membutuhkan cairan dan elektrolit,
serta kebutuhan kalori dan protein yang sesuai secara parenteral. Pemberian cairan
tergantung dari luasnya kelainan kulit dan mukosa yang terlibat. Pemberian nutrisi
melalui pipa nasogastrik dilakukan sampai mukosa oral kembali normal. Lesi
dimukosa mulut diberikan obat pencuci mulut dan salep gliserin. Untuk mengatasi
infeksi, diberikan antibiotika spektrum luas, biasanya dipergunakan gentamisin 5
mg/kgBB/hari intramuskular dalam dua dosis. Pemberian antibiotik selanjutnya
berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah1.
Pemberian kortikosteroid sistemik sebagai terapi SSJ masih kontroversial.
Penggunaan kortikosteroid tidak terbukti menguntungkan. Kortikosteroid diberikan
parenteral, biasanya deksametason dengan dosis awal 1 mg/kgBB bolus, kemudian
selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kgBB tiap 6 jam, setelah itu diturunkan berangsur-angsur
dan bila mungkin diganti dengan prednison per oral. Antihistamin diberikan bila
perlu saja. Penggunaan Human Intravenous Imunoglobulin (IVIG) dapat
8
menghentikan progresivitas penyakit SSJ dengan dosis total 3 gr/kgBB selama 3 hari
berturut-turut (1 gr/kgBB/ hari selama 3 hari)1,4.
Dilakukan perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal. Kulit
dapat dibersihkan dengan larutan salin fisiologis atau dikompres dengan larutan
Burrow. Pada kulit atau epidermis yang mengalami nekrosis dapat dilakukan
debridement. Untuk mencegah sekuele okular dapat diberikan tetes mata dengan
antiseptik. Faktor penyebab (obat atau faktor lain yang diduga sebagai penyebab)
harus segera dihentikan atau diatasi. Deteksi dari penyebab yang paling umum seperti
riwayat penggunaan obat-obatan terakhir, serta hubungannya dengan perkembangan
penyakit terutama terhadap episode SSJ, terbukti bermanfaat dalam manajemen SSJ1.
2.8.Komplikasi
Komplikasi yang tersering ialah bronkopneumonia, yang di dapati sekitar 16
% diantara seluruh kasus. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah,
gangguan keseimbangan elektrolit, dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena
gangguan lakrimasi1.
Sekeluele serius yang panjang paling umum adalah SSJ meliputi komplikasi
okular. Keratitis, ulkus kornea, uveitis, konjungtivitis parah dan panoftalmitis dapat
terjadi, menyebabkan kebutaan parsial atau seluruhnya. Konsultasi oftalmologi
darurat serta pemantauan ketat diperlukan2.
2.9. Prognosis
Pada kasus yang tidak berat prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi
dalam waktu 2-3 minggu. Pada kasus berat dengan berbagai komplikasi, atau dengan
pengobatan terlambat dan tidak memadai, angka kematian berkisar antara 5-15%.
Adanya sekulele seperti gangguan pernapasan, gagal ginjal dan kebutaan juga
memperburuk prognosis. Prognosis lebih buruk bila terdapat purpura yang luas.
Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit,
bronkopneumonia, serta sepsis.
9
BAB III
KESIMPULAN
10
DAFTAR PUSTAKA
1. Hasan R, Alatas H. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 3. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.
2. Sari S, Tjipta GD, Aldy D. Penggunaan Metilxantin pada Bayi Prematur dengan
Apne Idiopatik. Sari Pediatri, Vol. 6, No. 3, Desember 2004: 129-133.
3. Kosim, Sholeh M. Buku Ajar Neonatologi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2010.
4. Davies MW, Cartwright DW, Inglis GDT. Pocket Notes on Neonatology, 2 ed.
Asali AR, Hippy NSI, penyunting. Catatan Saku Neonatologi, edisi 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2011.
5. Mathew, OP. Apnea of Prematurity: Pathogenesis and Management Strategies on
Journal of Perinatology. Section of Neonatology, Department of Pediatrics,
Medical College of Georgia, Augusta, GA, USA; 2011.
11