Sistem Indera

58
1. BLEPHAITIS DEFINISI Blepharitis : peradangan kronik pada kelopak dan tepi mata. Blepharitis kronik sering menyebabkan iritasi dan perasaan tidak nyaman pada bola mata. Blepharitis erat kaitannya dengan beberapa penyakit mata seperti dry eye, kalazion, konjungtivitis dan keratitis. Secara anatomis blepharitis dibedakan menjadi dua yaitu blepharitis anterior dan blepharitis posterior. Blepharitis anterior yaitu peradangan yang terutama terjadi pada kelopak mata dan terpusat di sekitar bulu mata dan folikel rambutnya. Blepharitis posterior kebanyakan terjadi melibatkan kelenjar meibom. Keluhan: Blepharitis terjadi karena penurunan fungsi perlindungan bola mata normal dan penurunan stabilitas air mata. Keluhan yang dirasakan pasien tidak dapat langsung membedakan tipe blepharitis. Keluhan yang sering diutarakan adalah: a. Sensasi seperti terbakar, berpasir dan fotophobia yang sering berulang b. Gejala yang dirasakan memburuk di pagi hari. Pada pasien yang mengalami dry eye keluhan dapat dirasakan sepanjang hari. Gejala Utama: a. Blepharitis anterior - Blepharitis Sthaphylococcus Adanya skuama dan krusta yang keras yang terutama berlokasi di sekitar dasar bulu mata. Konjungtivitis papiler ringan dan hiperemis konjungtiva yang kronis. Terbentuknya jaringan parut dan tylosis tepi kelopak mata, madarosis dan trichiasis sering menjadi komplikasi dari kasus-kasus yang kronis. Perubahan sekunder meliputi hordeolum, keratitis marginal dan terkadang phlyctenulosis. Gangguan penyerta seperti instabilitas film air mata dan dry eye. - Blepharitis Seborroik

Transcript of Sistem Indera

Page 1: Sistem Indera

1. BLEPHAITIS DEFINISI

Blepharitis : peradangan kronik pada kelopak dan tepi mata. Blepharitis kronik sering menyebabkan iritasi dan perasaan tidak nyaman pada bola mata. Blepharitis erat kaitannya dengan beberapa penyakit mata seperti dry eye, kalazion, konjungtivitis dan keratitis.

Secara anatomis blepharitis dibedakan menjadi dua yaitu blepharitis anterior dan blepharitis posterior. Blepharitis anterior yaitu peradangan yang terutama terjadi pada kelopak mata dan terpusat di sekitar bulu mata dan folikel rambutnya. Blepharitis posterior kebanyakan terjadi melibatkan kelenjar meibom. Keluhan:

Blepharitis terjadi karena penurunan fungsi perlindungan bola mata normal dan penurunan stabilitas air mata. Keluhan yang dirasakan pasien tidak dapat langsung membedakan tipe blepharitis. Keluhan yang sering diutarakan adalah:a. Sensasi seperti terbakar, berpasir dan fotophobia yang sering berulangb. Gejala yang dirasakan memburuk di pagi hari. Pada pasien yang mengalami dry eye keluhan

dapat dirasakan sepanjang hari.Gejala Utama:a. Blepharitis anterior

- Blepharitis Sthaphylococcus Adanya skuama dan krusta yang keras yang terutama berlokasi di sekitar dasar bulu

mata. Konjungtivitis papiler ringan dan hiperemis konjungtiva yang kronis. Terbentuknya jaringan parut dan tylosis tepi kelopak mata, madarosis dan trichiasis

sering menjadi komplikasi dari kasus-kasus yang kronis. Perubahan sekunder meliputi hordeolum, keratitis marginal dan terkadang

phlyctenulosis. Gangguan penyerta seperti instabilitas film air mata dan dry eye.

- Blepharitis Seborroik Tepi kelopak mata yang hiperemis dan berminyak disertai kerontokan bulu mata Skuama halus yang dapat ditemukan dimana saja pada kelopak mata, maupun

menempel di bulu mata.

b. Blepharitis posterior- Tanda tanda yang terjadi berupa disfungsi kelenjar meibom:

Sekresi kelenjar meibom yang berlebihan dan abnormal yang ditandai oleh tertutupnya orifisium kelenjar meibom oleh minyak.

Sumbatan orifisium kelenjar meibom disertai hiperemis dan talangiektasi margo posterior palpebra.

Penekanan pada margo palpebral mengakibatkan keluarnya sekret kelenjar meibom yang tampak seperti pasta gigi.

Pada transiluminasi pada palpebra yang meradang , tampak hilangnya kelenjar dan dilatasi kistik dari duktus meibom

Page 2: Sistem Indera

Film air mata menjadi berminyak dan berbusa, dengan akumulasi pada margo palpebra maupun kantus medial.

Adanya perubahan sekunder berupa konjungtivitis papiler dan erosi epitel kornea bagian sentral.

Diagnosis banding:a. Dry eye

Memberikan gejala yang sama, namun berkebalikan dengan blepharitis, iritasi yang terjadi pada dry eye jarang bersifat bahaya dan terbentuk setelah beberapa hari

b. Tumor Palpebra InfiltratifDiagnosis ini dipertimbangkan pada pasien yang mengalami blepharitis kronis yang asimetris maupun unilateral, khususnya bila di temukan madarosis.

Terapi:a. Menjaga kebersihan (higienitas) palpebra

Kompres hangat dan menjaga kebersihan dari palpebra dilakukan untuk blepharitis anterior. Tindakan pemijatan kelenjar meibom untuk mengeluarkan sekret dianggap kurang bermanfaat. Kompres hangat dilakukan untuk mencarikan sekret yang mengeras agar dapat didrainase.

b. Tetrasiklin sistemikMerupakan terapi utama untuk blepharitis posterior. Penggunaan antibiotik ini berdasarkan kemampuan agen obat dalam menghambat pembentukan produk lipase staphylococcus.

- Tetrasiklin 4 x 25o mg selama 1 minggu pertama, selanjutnya 2x 250 mg selama 6-12 minggu berikutnya.

- Doksisiklin 2x 100 mg selama 1 minggu pertama, dilanjutkan dengan 1x 100 selama 6-12 minggu berikutnya

- Minosiklin 1 x 100 mg selama 6-12 minggu.Follow up:

1. Pada blepharitis posterior dapat timbul pembentukan kalazion yang bersifat rekuren2. Instabilitas film air mata pada 30% pasien, yaitu terjadi ketidak seimbangan antara

komponen air dan lemak sehingga dapat meningkatkan penguapan air mata.3. Blepharitis posterior dapat menimbulkan konjungtivitis papiler dan erosi kornea inferior.

Page 3: Sistem Indera

2. GLAUKOMA AKUT Definisi : Glaukoma adalah suatu neuropati optik kronik didapat yang ditandai oleh pencekungan (cupping) diskus optikus dan pengecilan lapang pandang, biasanya disertai peningkatan tekanan intraokular. Pada sebagian besar kasus, glaukoma tidak disertai dengan penyakit mata lainnya (glaukoma primer)Klasifikasi Glaukoma Berdasarkan EtiologiA. Glaukoma Primer1. Glaukoma sudut terbuka

a. Glaukoma sudut terbuka primer (glaukoma sudut terbuka kronik, glaukoma simpleks kronik)

b. Glaukoma tekanan normal (glaukoma tekanan rendah)2. Glaukoma sudut tertutup

a. Akutb. Subakutc. Kronikd. Iris Plateau

B. Glaukoma Kongenital1. Glaukoma kongenital primer (khas adanya triad kllinis epifora, photofobia dan

blepharospasm).2. Glaukoma yang dihubungkan dengan kelainan perkembangan okuler3. Glaukoma yang berhubungan dengan kelainan perkembangan ekstraokuler

a. Sturge-Weber Syndromeb. Marfan’s Syndromec. Neurofibromatosisd. Lowe’s Syndromee. Congenital Rubella

C. Glaukoma Sekunder1. Glaukoma pigmentasi2. Sindrom eksfoliasi3. Glaukoma fakogenik (akibat kelainan lensa)4. Glaukoma akibat kelainan traktus uvealis5. Iridocorneoendothelial (ICE) Syndrome6. Trauma7. Paskaoperasi8. Glaukoma neovaskular 9. Peningkatan tekanan vena episkleral10. Akibat steroidD. Glaukoma Absolut

Tahap akhir glaukoma yang tidak terkontrol, yang ditandai rasa nyeri yang hebat pada mata, hilangnya penglihatan, dan bola mata teraba keras.

Berdasarkan mekanisme peningkatan tekanan intraokuli, glaukoma dapat diklasifikasikan menjadi glaukoma sudut terbuka dan glaukoma sudut tertutup. Glaukoma sudut terbuka merupakan gangguan aliran keluar aqueous humor akibat kelainan sistem drainase sudut bilik

Page 4: Sistem Indera

mata depan. Sedangkan glaucoma sudut tertutup adalah gangguan akses aqueous humor ke sistem drainase (Salmon,2009).Glaukoma sudut terbuka terdiri dari kelainan pada membran pratrabekular (seperti glaukoma neovaskular dan sindrom Irido Corneal Endothelial), kelainan trabekular (seperti glaukoma sudut terbuka primer, kongenital, pigmentasi dan akibat steroid) dan kelainan pascatrabekular karena peningkatan tekanan episklera. Sedangkan glaukoma sudut tertutup terdiri dari glaukoma sudut tertutup primer, sinekia, intumesensi lensa, oklusi vena retina sentralis, hifiema, dan iris bombé (Salmon, 2009).

Glaukoma merupakan penyebab kedua kebutaan yang ditandai oleh perubahan pada cawan optik dan lapang pandang. Mekanisme utama penurunan penglihatan pada glaukoma adalah apoptosis sel ganglion retina dan lapisan inti dalam retina serta berkurangnya akson di nervus optikus yang diakibatkan oleh peningkatan tekanan intraokular. Diskus optikus menjadi atrofik, disertai pembesaran cawan optikum.2,3,4

Patofisiologi peningkatan tekanan intraokular baik disebabkan oleh mekanisme sudut terbuka maupun tertutup. Pada pembahsan ini akan dikhusukan mengenai glaukoma mekanisme sudut tertutup akut (galukoma akut). Galukoma Sudut tertutup didefinisikan sebagai aposisi iris bagian perifer terhadap trabecular meshwork dan menyebabkan penurunan drainase aqueous humor melalui COA.3,4,5

Efek peningkatan tekanan intraokular dipengaruhi oleh perjalanan waktu dan besar peningkatan tekanan intaokular. Pada glaukoma sudut tertutup, tekanan intraokular mencapai 60-80 mmHg, menimbulkan kerusakan iskemik akut pada iris yang disertai edema kornea dan kerusakan nervus optiklus.2

Glaukoma sudut tertutup akut terjadi bila terbentuk iris bombe yang menyebabkan oklusi sudut bilik mata depan oleh iris perifer. Hal ini menghambat aliran aqueous humor dan tekanan intraokular meningkat dengan cepat, menimbulkan nyeri hebat, kemerahan dan penglihatan kabur. Serangan akut tersebut sering dipresipitasi oleh dilatasi pupil, yang terjadi secara spontan di malam hari, saat pencahayaan kurang. Dapat juga disebabkan oleh obat-obatan dengan efek antikolinergik atau simpatomimetik (mis, atropine, antidepresan, bronkodilator inhalasi, dekongestan hidung atau tokolitik).2,3,4

Mekanisme Glaukoma Sudut Tertutup:1. Mekanisme yang menekan iris dari belakang ke depan.o Relative/ absolute pupillary blocko Glaukoma maligna/ aqueous misdirectiono Kista, inflamasi, edem badan siliaro Prosesus siliar di anterior (plateu iris)o Edem choroid, serous/ hemorrhagic choroidal detachments/ effusionso Tumor segmen posterior/ space occupaying lesionso Kontraksi jaringan retrolental (retinopati premature)o Lensa yang lepas ke anterior

2. Mekanisme yang mendorong iris ke depan kontak dengan trabecular meshwork.o Kontraksi jaringan fibrovaskuler/ membran inflamatorio Migrasi endotel kornea (iridocorneal endotelial syndrome)o Pertumbuhan fibrosa

Page 5: Sistem Indera

o Epitelial downgrowtho Iris incaseration pada luka traumatik/ operasi insisi.

A. Pupillary BlockPupillary block merupakan penyebab tersering glaukoma sudut tertutup. Terdapat

gangguan aliran aqueous humor dari kamera okuli posterior, obstruksi ini menimbulkan pressure gradient antara COP dengan COA yang menyebabkan iris bagian perifer terdorong ke depan ke trabecular meshwork. Absolute pupillary block timbul bila tidak ada pergerakan aqueous melalui pupil sebagai akibat sinekia posterior 360O antara iris dengan lensa, lensa intraokuler (IOL) dan atau permukaan vitroeus. Relative Pupillary block terjadi bila ada hambatan gerakan queous melalui pupil. Pupillary block ini dapat hilang dengan unobstructive peripheral iridecomy.3

Primary pupillary block hanya muncul pada mata dengan sudut COA sempit, misalnya pada hipermetropi karena aksis mata lebih pendek sehingga COA juga lebih dangkal. Kedalaman dan volume COA dan sudutnya menurun seiring dengan pertamabahan usia karena ada penebalan lensa yang terus-menerus. Jika hanya terdapat satu faktor risiko jarang menyebabkan glaukoma sudut tertutup akut. Risiko ini lebih sering terdapat pada wanita karena COA biasanya lebih dangkal dari pada COA pada pria.3

Gambar 2.5 COA dangkal pada lanjut usia dengan penebalan lensa (atas), orang muda dengan hipermetropi

B. Glaukoma Sudut Tertutup Tanpa Pupillary Block3

Aposisi irido trabekular atau sinekia dapat menyebabkan lensa terdorong, rotasi, atau tertekan.Lens-Induced

Intumescent dan unussually large lens (phacomorphic glaukoma) atau subluksasi/ dislokasi lensa dapat meningkatkan resiko Pupillary block dan menyebabkan galukoma sudut tertutup.Iris-induced

Terjadi jika iris bagian perifer menybabkan aposisi iridotrabekuler, misalnya insersi iris anterior ke scleral spur, penebalan iris perifer, anterioly displaced ciliary processes.

2.6 Tanda dan Gejala Glaukoma Sudut Tertutup Serangan AkutPada glaukoma sudut tertutup akut tekanan bola mata naik dengan tiba-tiba. Glaukoma

sudut tertutup akut terjadi karena blokade relatif trabekular meshwork oleh iris secara mendadak. Manifestasi gejala antara lain berupa nyeri mata, sakit kepala, pandangan kabur,

Page 6: Sistem Indera

halos (pelangi, cincin) berwarna sekitar lampu, mual dan muntah. Peningkatan TIO menyebabkan edema epitel kornea. Tanda dari glaukoma sudut tertutup serangan akut yaitu :1. TIO tinggi2. Pupil yang melebar dan sering ireguler3. Edema kornea4. Kongesti pembuluh darah episclera dan konjungtiva5. COA dangkal6. Flare pada aqueus humour7. Nervus optikus dapat membengkak selama serangan akut.2,6,7

2.7 DiagnosisPada glaukoma sudut tertutup akut terjadi peningkatan tekanan bola mata dengan tiba-

tiba akibat penutupan pengaliran keluar aqueous humor secara mendadak. Ini menyebabkan rasa sakit hebat, mata merah, kornea keruh dan edematus, penglihatan kabur disertai halo (pelangi disekitar lampu). Glaukoma sudut tertutup akut merupakan suatu keadaan darurat (Salmon, 2009).

Diagnosis definitif didapatkan dengan konfirmasi gonioskopi untuk melihat sudut tertutup. Gonioskopi dinamis (kompresi/indentasi) dapat membantu menentukan apakah blokade iris-trabekular meshwork reversibel (appositional closure) atau irreversibel (synechial closure). Gonioskopi mata sebelah pada pasien PAC biasanya sempit dan sudutnya tertutup.2,6,7

2.8 Pemeriksaan PenunjangMenentukan seseorang menderita glaukoma maka dokter harus melakukan beberapa

pemeriksaan. Alat diagnostik tambahanyang dapat digunakan untuk menentukan ada atau tidak adanya glaukoma pada seseorang dan berat atau ringannya glaukoma yang diderita, serta dini atau lanjut glaukoma yang sedang diderita seseorang. Maka pemeriksaan yang dilakukan, yaitu: a. Respons Pupil

Metode yang digunakan untuk evaluasi pasien dengan glaukoma yaitu dengan identifikasi adanya kerusakan afferent pupil (RAPD). Neuropati optik glaukoma yang memiliki sifat asimetris, dan ditemukan adanya RAPD dapat menentukan suatu keparahan pada penyakit ini. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan swinging flashlight (SFM).b. Pemeriksaan Tekanan Bola Mata

Pengukuran tekanan intraokuler (TIO) merupakan pemeriksaan yang penting dilakukan untuk pasien dengan glaukoma. Rata-rata nilai TIO pada orang normal yang didapatkan dari penelitian yang sudah dilakukan yaitu 15.5 mmHg. Tonometri merupakan pemeriksaan untuk menentukan tekanan bola mata seseorang. Tekanan bola mata tidak sama pada setiap individu, karena dapat saja tekanan ukuran tertentu memberikan kerusakan pada papil saraf optik pada orang tertentu. Pada beberapa ras juga menunjukkan TIO yang tinggi yaitu ras African-Carabean dan African American. Macam-macam tonometri yaitu indentation tonometry dan noncontact tonometry.

Pengukuran tekanan bola mata dapat dilakukan dengan beberapa cara dibawah ini:1. Palpasi, kurang tepat karena tergantung faktor subjektif.2. Identasi tonometri, dengan memberi beban pada permukaan kornea (Schiotz).3. Aplanasi tonometri, mendatarkan permukaan kecil kornea.

Page 7: Sistem Indera

4. Tonometri udara (air tonometri), kurang tepat karena dipergunakan di ruang terbuka.c. Pemeriksaan kelainan papil saraf optik

Oftalmoskopi pemeriksaan ke dalam mata dengan memakai alat yang dinamakan oftalmoskop. Dengan oftalmoskop dapat diiihat saraf optik didalam mata dan akan dapat ditentukan apakah tekanan bola mata telah mengganggu saraf optik. Warna serta bentuk dari cup and disc dapat menggambarkan ada atau tidak ada kerusakan saraf optik akibat glaukoma.Pada pemeriksaan oftalmoskopi dapat terlihat gangguan, yaitu kelainan papil saraf optic (Saraf optik pucat atau atrofi, Saraf optik bergaung), kelainan serabut retina, serat yang pucat atau atrofi akan berwarna hijau, tanda lainnya seperti perdarahan peripapilar.d. Pemeriksaan Sudut Bilik Mata (Gonioscopy)

Gonioskopi adalah pemeriksaan untuk melihat langsung keadaan sudut bilik mata depan, Dengan gonioskopi dapat ditentukan klasifikasi glaukoma penderita apakah glaukoma sudut terbuka atau glaukoma sudut tertutup, dan malahan dapat menerangkan penyebab suatu glaukoma sekunder. Pada gonioskopi dipergunakan goniolens dengan suatu sistem prisma dan penyinaran yang dapat menunjukkan keadaan sudut bilik mata. Dapat dinilai besar atan terbukanya sudut:• Derajat 0, bila tidak terlihat struktur sudut dan terdapat kontak, kornea dengan iris, disebut

sudut tertutup.• Derajat 1, bila tidak terlihat 1/2 bagian trabekulum sebelah belakang, dan garis Schwalbe

terlihat disebut sudut sangat sempit. Sudut sangat sempit sangat mungkin menjadi sudut tertutup

• Derajat 2, bila sebagian kanal Schlemm terlihat disebut sudut sempit sedang kelainan ini mempunyai kemampuan untuk tertutup

• Derajat 3, bila bagian belakang kanal Schlemm masih terlihat termasuk skleral spur, disebut sudut terbuka. Pada keadaan ini tidak akan terjadi sudut tertutup.

• Derajat 4. bila badan siliar terlihat, disebut sudut terbuka.

d. Pemeriksaan Lapangan Pandang Pemeriksaan lapangan pandang merupakan teknik pemeriksaan primer pada pasien

glaukoma dan suspek glaukoma. Pemeriksaan ini memiliki tiga fungsi dalam evaluasi glaukoma dan management yaitu diagnosis, menilai keparahan glaucoma dan menentukan perkembangan glaukoma. Penurunan lapangan pandang akibat glaukoma itu sendiri tidak spesifik, karena gangguan ini terjadi akibat defek berkas serat saraf yang dapat dijumpai pada semua penyakit saraf optikus, tetapi pola kelainan lapangan pandang, sifat progresivitasnya, dan hubungannya dengan kelainan-kelainan diskus optikus adalah khas untuk penyakit ini. Gangguan lapangan pandang akibat glaukoma terutama mengenai 30 derajat lapangan pandang bagian tengah. Berbagai cara untuk memeriksa lapangan pandang pada glaukoma adalah layar singgung, perimeter Goldmann, Friedmann field analyzer, dan perimeter otomatis.

Pemeriksaan tambahan untuk Glaukoma sudut tertutup1. Tes kamar gelap : orang sakit duduk ditempat gelap selama 1 jam, tidak boleh tertidur.

Ditempat gelap ini terjadi midriasis, yang mengganggu aliran cairan bilik mata ketrabekulum. Kenaikan tekanan lebih dari 10 mmHg pasti patologis, sedang kenaikan 8 mmHg mencurigakan.

Page 8: Sistem Indera

2. Tes membaca : Penderita disuruh membaca huruf kecil pada jarak dekat selama 45 menit. Kenaikan tensi 10 - 15 mmHg patologis.

3. Tes midriasis : Dengan meneteskan midriatika seperti kokain 2%, homatropin 1% atau neosynephrine 10%. Tensi diukur setiap 1/4 jam selama 1 jam. Kenaikan 5 mmHg mencurigakan sedangkan 7 mmHg atau lebih pasti patologis. Karena tes ini mengandung bahaya timbulnya glaukoma akut, sekarang sudah banyak ditinggalkan.

4. Tes bersujud (prone position test) : Penderita disuruh bersujud selama 1 jam. Kenaikan tensi 8 - 10 mm Hg menandakan mungkin ada sudut yang tertutup, yang perlu disusul dengan gonioskopi. Dengan bersujud, lensa letaknya lebih kedepan mendorong iris kedepan, menyebabkan sudut bilik depan menjadi sempit.7

2.9 Penatalaksanaan1. Acetazolamide Inhibitor karbonik anhidrase

Inhibitor karbonat anhidrase sistemik (asetazolamide 500mg I.V dilanjutkan 500mg PO) digunakan apabila terapi topikal tidak memberikan hasil memuaskan. Inhitor Carbonic anhydrase oral menurunkan tekanan bola mata melalui enzim yang membentuk akueous humor. Carbonic anhydrase adalah enzim katalisis hidrasi karbondioksida jadi asam karbonik yang kemudian berdisosiasi jadi ion bikarbonat dan hydrogen2. Timolol maleat 0,5% ODS

Mengurangi produksi akueous humor dan melebarkan suduta. Dikenal sistem yang berhubungan dengan pembentukan akueous humor

• reseptor beta adrenergik dan reseptor alfa• karbonik anhidrase inhibitor

b. Beta adrenergik antagonisDi dalam mata yang berperan besar pada produksi cairan mata adalah beta-1 (β1)

reseptor. Dengan menghambat reseptor beta maka dengan sendirinya produksi akuos humor berkurang.

Dikenal beberapa bentuk Beta blocker topikal1. Nonselektif beta blocker (timolol, levobunolol, carteolol, metipranolol)

Termasuk ke dalam kelompok ini yang mempunyai efek pada kedua reseptor beta-l (β1) dan beta-2 (β2), mempunyai potensi menurunkan TIO dengan memungkinkan mata memproduksi akuos lebih sedikit daripada normal2. Selekfif (betaxolol)

“Selektif” beta blocker adalah "cardioselective". Pada usia lanjut toleransi obat ini lebih baik karena efeknya kurang pada pernafasan, dengan efek menurunkan TIO yang kurang.3. Trabekulektomi

Pada glaukoma masalahnya adalah terdapatnya hambatan filtrasi (pengeluaran) cairan mata keluar bola mata yang tertimbun dalam mata sehingga tekanan bola mata naik. Bedah trabekulektomi merupakan teknik bedah untuk mengalirkan cairan melalui saluran yang ada. Pada trabekulektomi ini cairan mata tetap terbentuk normal akan tetapi pengaliran keluarnya dipercepat atau salurannya diperluas. Bedah trabekulektomi membuat katup sklera sehingga cairan mata keluar dan masuk dibawah konjungtiva. Untuk mencegah jaringan parut yang

Page 9: Sistem Indera

terbentuk diberikan 5 fluoruracil atau mitomisin. Dapat dibuat lubang filtrasi yang besar sehingga tekanan bola mata sangat menurun. Pembedahan ini memakan waktu tidak lebih dari 30 menit setelah pembedahan perlu diamati pada 4-6 minggu pertama. Untuk melihat keadaan tekanan mata setelah pembedahan. Biasanya pengobatan akan dikurangi secara perlahan-lahan.

2.10 Prognosis Glaukoma akut merupakan suatu kedaruratan oftalmologi sehingga kalau tidak segera

ditangani prognosisnya buruk. Perawatan dan diagnosa yang cepat dari suatu serangan adalah kunci untuk mempertahankan penglihatan. Mata yang tidak ditngani, memiliki kemungkinan 40-80% untuk mengalami serangan akut pada 5-10 tahun ke depan.

Page 10: Sistem Indera

3. BULLOUS MYRINGITIS Rapid onset of the ear pain and the development of one or more vesicles in the

tympanic membrane Unilateral Adolescents and young adults Spontaneous rupture à transient clear yellow or bloody tinged otorrhea

Major lesion is limited to the tympanic membrane Rapid inflammatory edema with bullae forming under the external epithelial layer

Symptomatic : oral analgesic Usually resolve rapidly Protect the ear from water contact Antibiotic for secondary bacterial infections

Page 11: Sistem Indera

4. Rhinitis Alergika5.6. Pengertian rinitis alergi 7. Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi

yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.

8. 2.2. Klasifikasi rinitis alergi 9. Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu: 10. 1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)

11. 2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial) 12.13. Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya (Irawati,

Kasakeyan, Rusmono, 2008). Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :

14. 1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.

15. 2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu. 16.17. Universitas Sumatera Utara

Page 12: Sistem Indera

18. Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi: 19. 1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai,

berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.

20. 2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas (Bousquet et al, 2001).

21.22. 2.3. Etiologi rinitis alergi 23. Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam

perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi (Adams, Boies, Higler, 1997). Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca (Becker, 1994).

24. Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas: 25. • Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah,

tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.

26. • Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang.

27.28. Universitas Sumatera Utara

Page 13: Sistem Indera

29.30. • Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau

sengatan lebah.

31. • Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003).

32.33. 2.4. Patofisiologi rinitis alergi 34. Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan

diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.

35. Gambar 2.1 Patofisiologi alergi (rinitis, eczema, asma) paparan 36. alergen pertama dan selanjutnya (Benjamini, Coico, Sunshine, 2000). 37. Universitas Sumatera Utara

Page 14: Sistem Indera

38. Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.

39. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).

40. Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).

41. Universitas Sumatera Utara

Page 15: Sistem Indera

42. Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).

43. Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari:

44. 1. Respon primer 45. Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan

dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.

46. Universitas Sumatera Utara

Page 16: Sistem Indera

47. 2. Respon sekunder 48. Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem

imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.

49. 3. Respon tersier 50. Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat

sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh. 51. Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi

anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).

52. 2.5. Gejala klinik rinitis alergi, yaitu : 53. Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin

merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin patologis (Soepardi, Iskandar, 2004). Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang – garis hitam melintang pada tengah punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema

54. Universitas Sumatera Utara

Page 17: Sistem Indera

55. mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara (Bousquet, Cauwenberge, Khaltaev, ARIA Workshop Group. WHO, 2001). Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur (Harmadji, 1993).

56. 2.6. Diagnosis rinitis alergi 57. Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan: 58. 1. Anamnesis 59. Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa.

Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008). Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta berair maka dinyatakan positif (Rusmono, Kasakayan, 1990).

60. Universitas Sumatera Utara

Page 18: Sistem Indera

61. 2. Pemeriksaan Fisik 62. Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu bayangan

gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung (Irawati, 2002). Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media (Irawati, 2002).

63. 3. Pemeriksaan Penunjang 64. a. In vitro 65. Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan

IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri (Irawati, 2002).

66. b. In vivo 67. Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau

intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan

68. Universitas Sumatera Utara

Page 19: Sistem Indera

69. SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui (Sumarman, 2000). Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan

70. meniadakan suatu jenis makanan (Irawati, 2002). 71. 2.7. Penatalaksanaan rinitis alergi 72. 1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. 73. 2. Simptomatis 74. a. Medikamentosa-Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara

inhibitor komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara tropikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung akibat respons fase lambat berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid tropikal (beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan triamsinolon). Preparat

75. Universitas Sumatera Utara

Page 20: Sistem Indera

76. antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor (Mulyarjo, 2006).

77. b. Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau troklor asetat (Roland, McCluggage, Sciinneider, 2001).

78. c. Imunoterapi - Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan (Mulyarjo, 2006).

79. 2.8. Komplikasi rinitis alergi 80. Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah: 81. a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands, akumulasi sel-

sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa. b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.

82. c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah (Durham, 2006).

Page 21: Sistem Indera

83. SinusitisSinusitis adalah peradangan pada mukosa sinus paranasalis. Sinusitis diberi nama sesuai dengan sinus yang terkena. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis. Bila mengenai semua sinus paranasalis disebut pansinusitisKlasifikasi Patogenesis :

1. Sinusitis akut : Sinusitis yang berlangsung beberapa hari sampai dengan lebih dari beberapa minggu.

2. Sinusitis subakut : Sinusitis yang berlangsung beberapa minggu sampai dengan 3 bulan3. Sinusitis kronis : Sinusitis yang berlangsung lebih dari 3 bulan dan sampai menahun.

3.3 Etiologi Sinusitis KronisSinusitis kronis sering dikaitkan dengan HIV AIDS terutama pada bakteri Staphylococcus

sp., Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenza dan bakteri anaerob terutama Pseudomonas aeruginosa (pada 20% pasien HIV AIDS). Bakteri-bakteri berikut ini ditemukan pada pasien sinusitis kronis pada saat endoskopi

maupun sinus puncture :o Staphylococcus aureuso Coagulase-negative staphylococcio H influenzaeo M catarrhaliso S pneumoniaeo Streptococcus viridanso Streptococcus intermediuso Pseudomonas aeruginosa o Nocardia species o Anaerobic bacteria

Jamur-jamur berikut ini ditemukan pada pasien sinusitis kronis pada saat endoskopi maupun sinus puncture :

o Aspergillus specieso Cryptococcus neoformanso Candida specieso Sporothrix schenckiio Alternaria species

3.4 Predisposisi Sinusitis Kroniso Kelainan anatomis dari osteomeatal kompleks (misalnya septum deviasi, concha

bullosa, deviasi dari processus uncinatus, Haller cells) o Rhinitis Alergio Polip Nasio Nonallergic rhinitis (misalnya vasomotor rhinitis, rhinitis medicamentosa, cocaine

abuse) o Nasotracheal intubation o Nasogastric intubation

Page 22: Sistem Indera

o Hormonal (misalnya pubertas, kehamilan, kontrasepsi oral) o Obstruksi tumor o Immunologic disorders (misalnya common variable immunodeficiency,

immunoglobulin A deficiency, immunoglobulin G subclass deficiency, AIDS) o Cystic fibrosis o Primary ciliary dyskinesia, Kartagener syndrome o Wegener granulomatosis o ISPA berulang o Merokoko Polusi lingkungano Gastroesophageal reflux disease (GERD)o Periodontitis/penyakit gigi yang signifikan

3.5 Patofisiologi Sinusitis :

Bila terjadi edema di osteomeatal, mukosa yang letaknya berhadapan saling bertemu, sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan. Maka terjadi gangguan drainase dan ventilasi di dalam sinus, sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi mukosa sinus menjadi lebih kental dan merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri patogen. Bila sumbatan berlangsung terus akan terjadi hipoksia dan retensi lendir, sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob. Selanjutnya perubahan jaringan menjadi hipertrofi , polipoid atau pembentukan polip dan kista.

3.5.1 Sinusitis Akut.Sinusitis akut terdiri dari :

a) Sinusitis MaksilarisSinusitis maksilaris akit biasanya menyusul suatu infaksi saluran nafas atas yang

ringan. Faktor predisposisi lokal paling sering ditemukan yaitu alergi hidung kronik, benda asing dan deviasi septum nasi. Deformitas rahang wajah, terutama palatoskisis dapat menimbulkan masalah pada anak. Anak-anak cenderung menderita infeksi nasofaring atau sinus kronik dengan angka insidensi yang lebih tinggi. Sedangkan gangguan geligi bertanggung jawab atas sekitar 10 % infeksi sinusitis maksilaris akut.

Gejala : demam, malaise dan nyeri kepala yang tidak jelas, wajah terasa bengkak, penuh dan gigi teras nyeri pada gerakan kepala mendadak. Terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri pada palpasi dan perkusi. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif dan nonproduktif sering kali ada.

Gambaran radiologi : sinusitis maksilaris akut mula-mula berupa penebalan mukosa, selanjutnya diikuti opasifikasi sinus lengkap akibat mukosa yang membengkak hebat, atau akibat akumukasi cairan yang memenuhi sinus. Akhirnya terbentuk gambaran air-fluid level.

Page 23: Sistem Indera

Terapi : dengan antibiotik spectrum luas seperti amoksisilin, ampisillin atau eritromisin plus sulfonamide, dengan alternative lain berupa amoksisilin/klavulanat, sefaklor, sefuroksim dan trimetoprim plus sulfonamide. Dekongestan seperti pseudoefedrin juga bermanfaat, dan tetes hidung poten seperti fenilefrin atau oksimetazolin dapat digunakan selama beberapa hari pertama infeksi, namun kemudian harus dihentikan. Kompres hangat pada wajah dan analgetik seperti aspirin dan asetaminofen untuk meringankan gejala. Kegagalan penyembuhan merupakan indikasi irigasi antrum.

Sinusitis maksilaris dengan asal geligi : Penyebab tersering adalah ekstraksi gigi molar, biasanya molar pertama, dimana sepotong kecil tulang diantara akar gigi molar dan sinus maksilaris ikut terangkat, infeksi lain seperti abses apical atau penyakit periodontal dapat menimbulkan kondisi serupa. Prinsip terapi pemberian antibiotik, irigasi sinus dan koreksi gangguan geligi.

b) Sinusitis EtmoidalisSinusitis etmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali bermanifestasi

sebagai selulitis orbita. Pada dewasa, seringkali bersama dengan sinusitis maksilaris, serta dianggap sebagai penyerta sinusistis frontalis.

Gejala : nyeri tekang diantara kedua mata dan diatas jembatan hidung, drainase dan sumbatan hidungnya. Pada anak dinding lateral labirin etmoidalis ( lamina papirasea ) seringkali merekah dan karena itu cenderung lebih sering menimbulkan selulitis orbita.

Terapi: pemberian antibiotik sistemik, dekongestan hidung, dan obat semprot atau tetes vasokonstriktor topical. Komplikasi atau perbaikan yang tidak memadai merupakan indikasi untuk etmoidektomi.

c) Sinusitis FrontalisSinusitis frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan infeksi sinus etmoidalis

anterior.Gejala : nyeri berlokasi diatas alis mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk

menjelang tengah hari, kemudian perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam.Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh dan mungkin terdapat pembengkakan supraorbita.

Tanda patognomonik adalah nyeri yang hebat pada palpasi atau perkusi diatas daerah sinus yang terinveksi.

Terapi : pemberian antibiotic, dekongestan dan tetes hidung vasokonstriktor. Kegagalan penyembuhan segera atau timbulnya komplikasi memerlukan drainase sinus fontalis dengan teknik trepanasi.

d) Sinusitis SfenoidalisSinusitis Sfenoidalis akut terisolasi sangat jarang.Gejala : nyeri kepala yang mengarah ke verteks kranium. Namun penyakit ini

lebih lazim menjadi bagian dari pansinusitis dan oleh karena itu gejalanya menjadi satu dengan gejala infeksi sinus lain.

Page 24: Sistem Indera

Trepanasi sinus sfenoidalis cukup sering dilakukan sebelum era pra antibiotic, namun prosedur ini kini hampir tidak pernah dilakukan.

3.5.2 Sinusitis Kronik Gambaran patologi sinusitis kronik adalah komplek dan ireversibel. Mukosa

umumnya menebal, membantuk lipatan-lipatan atau pseudopolip. Epitel permukaan tampak mengalami deskuamasi, regenerasi, metaplasia atau epitel biasa dalam jumlah yang bervariasi pada suatu irisan histologis yang sama. Pembentukan mikro abses dan jaringan granulasi bersama-sama dengan pembentukan jarinan parut. Secara menyeluruh terdapat infiltrasi sel bundar dan polimorfonuklear dalam lapisan sub mukosa.

Kegagalan mengobati sinusitis akut atau berulang secara adekuat akan menyebabkan regenerasi epitel permukaan bersilia yang tidak lengkap, akibanya terjadi kegagalan mengeluarkan sekret sinus, dan oleh karena itu menciptakan predisposisi infeksi. Sumbatan drainase dapat pula ditimbulkan perubahan struktur ostium sinus, oleh lesi dalam rongga hidung misalnya, hipertrofi adenoid, tumor hidung dan nasofaring, dan suatu septum deviasi.

Akan tetapi faktor predisposisi yang paling lazim adalah poliposis nasal yang timbul pada rhinitis alergi, polip dapat memenuhi rongga hidung dan menyumbat total ostium sinus.

Alergi juga dapat merupakan predisposisi infeksi karena terjadi edema mukosa dan hiper sekresi. Mukosa sinus yang membengkak dapat menyumbat ostium sinus dan mengganggu drainase, menyebabkan infeksi lebih lanjut, yang selanjutnya menghancurkan epitel permukaan, dan siklus seterusnya berulang.

Polusi bahan kimia

Sumbatan alergiMekanis defisiensi imun

Hilangnya silia

drainase yang perubahan tidak memadai mukosa

Infeksi

Page 25: Sistem Indera

Sepsis residual

Pengobatan yang tidak Memadai

Gambaran sinus yang normal

Page 26: Sistem Indera

Gambaran sinusitis kronis

Gejala pada sinusitis kronis dapat dibagi 2 yaitu :1. Gejala subyektif :

Gejala subyektif sangat bervariasi dari ringan sampai berat terdiri dari : Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret dihidung dan sekret pasca nasal (post

nasal drip) Gejala faring, yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorok. Gejala klinik berupa pendengaran terganggu oleh karena tersumbatnya Tuba

Eustachius Adanya nyeri atau sakit kepala. Gejala mata oleh karena penjalaran infeksi melalui duktus naso-lakrimalis. Gejala saluran nafas berupa batuk dan kadang-kadang terdapat komplikasi di paru, berupa bronchitis atau bronkiektasis atau asma bronchial sehingga terjadi penyakit sinobronkitis. Gejala di saluran cerna, oleh karena mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis, sering terjadi pada anak.Gejala beberapa atau seluruh tersebut diatas kadang-kadang ringan / samar. Hanya terdapat sekret faring atau post nasal drip. Nyeri kepala pada sinusitis kronis biasanya terasa pada pagi hari, dan akan berkurang atau hilang setelah siang hari.

Page 27: Sistem Indera

2. Gejala obyektif tidak seberat sinusitis akut tidak terdapat pembengkakan pada wajah pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental purulen dari meatus medius

atau meatus superior. pada rinoskopi posterior tampak secret purulen di nasofaring atau tururn ke

tenggorok.

3.6 Kriteria Diagnosis

Sinus Signs and Symptoms

Major Factors Minor Factors

Facial pain/pressure* Headache

Facial congestion/fullness Fever (all non-acute)

Nasal obstruction/blockage Halitosis

Nasal discharge/purulence/discolored post nasal drainage

Fatigue

Hyposmia/amosmia Dental pain

Purulence in the naval cavity on examination Cough

Major Factors Minor Factors

Fever (acute rhinosinusitis only)** Ear pain/pressure/fullness

*Facial pain/pressure alone does not constitute a suggestive history for rhinosinusitis in the absence of another major nasal symptom or sign.

**Fever in acute sinusitis alone does not constitute a strongly suggestive history for acute sinusitis in the absence of another major nasal symptom or sign.

Chronic disease is defined as sinusitis of greater than 12 weeks duration that includes either two or more major sinus symptoms, or includes at least one major and two minor sinus symptoms

Clinically significant recurrent sinusitis is defined as 4 or more episodes of acute sinusitis per year, each lasting greater than 7-10 days, and there is absence of symptoms between episodes (without antibiotic therapy.

Dapat ditegakkan dengan lebih dari 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 minor. 3.7 Diferensial diagnosis sinusitis kronis dapat berupa :

a. FUO (Fever of Unknown Origin)

Page 28: Sistem Indera

b. GERD (Gastroesophageal Reflux Disease)c. Rhinitis Allergikad. Rhinocerebral Mucormycosise. Sinusitis Akut

3.8 Komplikasi Sinusitis Kronis

1. Kelainan pada orbitaà Terutama disebabkan oleh sinusitis ethmoidalis karena letaknya yang berdekatan

dengan mata .à Penyebaran infeksi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum

Edema palpebra Preseptal selulitis Selulitis orbita tanpa abses Selulitis orbita dengan sub atau extraperiostel abses Selulitis orbita dengan intraperiosteal abses Trombosis sinus cavernosus

2. Kelainan intrakranial Abses extradural, subdural, dan intracerebral Meningitis Encephalitis Trombosis sinus cavernosus atau sagital

3. Kelainan pada tulang Osteitis Osteomyelitis

4. Kelainan pada paru Bronkitis kronik Bronkhiektasis

5. Otitis media 6. Toxic shock syndrome7. Mucocele , pyococele

3.9 Pemeriksaan Penunjang Transiluminasi

Transiluminasi menggunakan angka sebagai parameternyaTransiluminasi akan menunjukkan angka 0 atau 1 apabila terjadi sinusitis (sinus

penuh dengan cairan). Rontgen sinus paranasalis

Sinusitis akan menunjukkan gambaran berupa 1. Penebalan mukosa, 2. Opasifikasi sinus ( berkurangnya pneumatisasi) 3. Gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yang dapat dilihat pada

foto waters.

Page 29: Sistem Indera

Bagaimanapun juga, harus diingat bahwa foto SPN 3 posisi ini memiliki kekurangan dimana kadang kadang bayangan bibir dapat dikacaukan dengan penebalan mukosa sinus.

CT ScanCT Scan adalah pemeriksaan yang dapat memberikan gambaran yang paling baik

akan adanya kelainan pada mukosa dan variasi antominya yang relevan untuk mendiagnosis sinusitis kronis maupun akut.Walaupun demikian, harus diingat bahwa CT Scan menggunakan dosis radiasi yang sangat besar yang berbahaya bagi mata.

Sinoscopy Sinoscopy merupakan satu satunya cara yang memberikan informasi akurat

tentang perubahan mukosa sinus, jumlah sekret yang ada di dalam sinus, dan letak dan keadaan dari ostium sinus.

Yang menjadi masalah adalah pemeriksaan sinoscopy memberikan suatu keadaan yang tidak menyenangkan buat pasien.

Pemeriksaan mikrobiologiBiakan yang berasal hidung bagian posterior dan nasofaring biasanya lebih

akurat dibandingkan dengan biakan yang berasal dari hidung bagian anterior. Namun demikian, pengambilan biakan hidung posterior juga lebih sulit.

Biakan bakteri spesifik pada sinusitis dilakukan dengan menagspirasi pus dari inus yang terkena. Seringkali diberikan suatu antibiotik yang sesuai untuk membasmi mikroorganisme yang lebih umum untuk penyakit ini.

3.10 Terapi Sinusitis KronisA. Medikamentosa1. Terapi antibiotik

Telah banyak antibiotik yang digunakan dalam terapi sinusitis kronis. Antibiotik yang adekuat adalah antibiotik yang sesuai dengan hasil dari endoskopi dan pemeriksaan mikrobiologi. Antibiotik dapat diberikan untuk pengobatan 2-4 minggu.

Drug Name Amoxicillin (Amoxil, Trimox, Biomox)

Description

Interferes with synthesis of cell wall mucopeptides during active multiplication, resulting in bactericidal activity against susceptible bacteria.

Adult Dose 500 mg to 1 g PO q8h

Pediatric Dose 40-45 mg/kg/d PO q8h divided

Contraindications Documented hypersensitivity

Page 30: Sistem Indera

Interactions Reduces efficacy of oral contraceptives; increased amoxicillin levels with disulfiram and probenecid

Pregnancy B - Usually safe but benefits must outweigh the risks.

Precautions

Skin rash in patients with infectious mononucleosis; potential superinfections with mycotic and bacterial pathogens; adjust dose in renal impairment

Drug Name Amoxicillin and clavulanate (Augmentin)

Description Drug combination treats bacteria resistant to beta-lactam antibiotics.

Adult Dose 500 mg PO q8h or 875 mg PO q12h

Pediatric Dose

<3 months: 30 mg/kg/d PO q12h divided ; base dosing protocol on amoxicillin content>3 months: 40-50 mg/kg/d PO divided q8-12hBecause of different amoxicillin/clavulanic acid ratios in 250-mg tab (250/125) vs 250-mg chewable tab (250/62.5), do not use 250-mg tab until child weighs >40 kg

ContraindicationsDocumented hypersensitivity; history of amoxicillin/clavulanate-associated cholestatic jaundice/hepatic dysfunction

Interactions Coadministration with warfarin or heparin increases risk of bleeding

Pregnancy B - Usually safe but benefits must outweigh the risks.

Precautions

Skin rash in patients with infectious mononucleosis; potential superinfections with mycotic and bacterial pathogens; adjust dose in renal impairment; periodically monitor renal, hepatic, and hemopoietic functions during prolonged therapy

Drug Name Clarithromycin (Biaxin)

Description

Inhibits bacterial growth, possibly by blocking dissociation of peptidyl tRNA from ribosomes, causing RNA-dependent protein synthesis to arrest.

Adult Dose 500 mg PO q12h

Pediatric Dose 7.5 mg/kg PO q12h

Page 31: Sistem Indera

Contraindications Documented hypersensitivity; coadministration with cisapride or pimozide

Interactions

Toxicity increases with coadministration of fluconazole and pimozide; effects decrease and adverse GI effects may increase with coadministration of rifabutin or rifampin; may increase toxicity of anticoagulants, cyclosporine, tacrolimus, digoxin, omeprazole, carbamazepine, ergot alkaloids, triazolam, and HMG CoA-reductase inhibitors; plasma levels of certain benzodiazepines may increase, prolonging CNS depression; arrhythmias and increase in QTc intervals occur with disopyramide, cisapride, and pimozide; coadministration with omeprazole may increase plasma levels of both agents

Pregnancy C - Safety for use during pregnancy has not been established.

Precautions

Adjust dose in renal insufficiency; drug interactions and teratogenicity are important considerations; occasionally hepatotoxic; coadministration with ranitidine or bismuth citrate is not recommended with CrCl <25 mL/min; administer half dose or increase dosing interval if CrCl <30 mL/min; diarrhea may be sign of pseudomembranous colitis; superinfections may occur with prolonged or repeated antibiotic therapies

Drug Name Cefuroxime (Ceftin)

Description

Second-generation cephalosporin that maintains gram-positive activity of first-generation cephalosporins; adds activity against Proteus mirabilis, H influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, and M catarrhalis. Condition of patient, severity of infection, and susceptibility of microorganism determine proper dose and route of administration.

Adult Dose 500 mg PO bid

Pediatric Dose 125-250 mg PO (tab) bid; alternatively, 20-30 mg/kg/d PO (susp) divided bid

Contraindications Documented hypersensitivity

Page 32: Sistem Indera

Interactions

Disulfiramlike reactions may occur when alcohol is consumed within 72 h after taking cefuroxime; may increase hypoprothrombinemic effects of anticoagulants; may increase nephrotoxicity in patients receiving potent diuretics (eg, loop diuretics); coadministration with aminoglycosides increases nephrotoxic potential; probenecid increases level of this group of drugs

Pregnancy B - Usually safe but benefits must outweigh the risks.

Precautions

Administer one half dose if CrCl is 10-30 mL/min and one quarter dose if <10 mL/min; fungal and microorganism overgrowth may occur with prolonged therapy; 10% of patients who are allergic to penicillin may show cross-hypersensitivity

Drug Name Cefixime (Suprax)

DescriptionArrests bacterial cell wall synthesis and inhibits bacterial growth by binding to one or more of the penicillin-binding proteins.

Adult Dose 400 mg/d PO or divided q12h

Pediatric Dose <12 years: 8 mg/kg/d PO or 4 mg/kg/d PO bid>12 years or >50 kg: Administer as in adults

Contraindications Documented hypersensitivity

InteractionsCoadministration of aminoglycosides increases nephrotoxicity; probenecid may increase effects; carbamazepine levels may be increased

Pregnancy B - Usually safe but benefits must outweigh the risks.

Precautions Superinfections possible during prolonged therapy; adjust dose in renal insufficiency

Drug NameDoxycycline (Vibramycin)

Description Antibiotic with wide antimicrobialactivity against gram-positive and gram-negative organisms.

Adult Dose 100 mg PO q12h

Pediatric Dose >8 years and >100 lb: Administer as in adults; not for use in children younger than 8 y (can cause

Page 33: Sistem Indera

permanent dental staining and bone development abnormality)

Contraindications Hypersensitivity to tetracyclines

Interactions

Tetracyclines decrease prothrombin activity; hence, exercise caution in patients on anticoagulants; may interfere with oral contraceptives; barbiturates, phenytoin, and carbamazepine decrease the level of tetracyclines; absorption of tetracyclines is affected by calcium, iron, aluminium, and magnesium

Pregnancy C - Safety during pregnancy has not been established

Precautions Not for administration in children <8 y or in pregnant or lactating women

Drug NameLevofloxacin (Levaquin)

DescriptionInhibits bacterial topoisomeraseIV and DNA gyrase, which are required for bacterial DNA replication and transcription.

Adult Dose 500 mg PO qd

Pediatric Dose Not recommended for children <18 y

Contraindications Documented hypersensitivity to fluoroquinolones

InteractionsEnhances effects of warfarin; increased levels of theophylline may occur; increased risk of CNS stimulation when used with NSAIDs

Pregnancy C - Safety during pregnancy has not been established

Precautions Avoid if allergic to other quinolones

Drug NameGatifloxacin (Tequin)

DescriptionInhibits bacterial topoisomeraseIV and DNA gyrase, which are required for bacterial DNA replication and transcription.

Adult Dose 400 mg PO qd

Pediatric Dose Not recommended for children <18 y

Page 34: Sistem Indera

Contraindications Documented hypersensitivity to fluoroquinolones

InteractionsMay enhance effects of warfarin; may increase levels of digoxin; exacerbates adverse CNS effects of NSAIDs

Pregnancy C - Safety during pregnancy has not been established

Precautions

May increase QTc; should be avoided in patients receiving class 1A (eg, quinidine, procainamide) or class III (eg, amiodarone, sotalol) antiarrhythmic agents; should be used with caution in patients taking drugs that may affect QTc such as cisapride, erythromycin, antipsychotics, and TCAs

Drug Name Trimethoprim and sulfamethoxazole (Bactrim DS, Septra DS)

Description

Inhibits bacterial growth by inhibiting synthesis of dihydrofolic acid. One double-strength tab contains trimethoprim (TMP) 160 mg and sulfamethoxazole (SMX) 800 mg

Adult Dose 1 DS tab PO q12h

Pediatric Dose 8 mg/kg/d TMP and 40 mg/kg/d SMX PO q12h divided

Contraindications

Documented hypersensitivity; megaloblastic anemia due to folate deficiency; term pregnancy; breastfeeding women and infants <2 mo because of possibility of development of kernicterus

Interactions

May increase PT when used with warfarin (perform coagulation tests and adjust dose accordingly); coadministration with dapsone may increase blood levels of both drugs; coadministration of diuretics increases incidence of thrombocytopenia purpura in elderly patients; phenytoin levels may increase with coadministration; may potentiate effects of MTX in bone marrow depression; hypoglycemic response to sulfonylureas may increase with coadministration; may increase levels of zidovudine

Pregnancy C - Safety for use during pregnancy has not been established.

Page 35: Sistem Indera

Precautions

Discontinue at first appearance of skin rash or sign of adverse reaction; obtain CBC counts frequently; discontinue therapy if significant hematologic changes occur; goiter, diuresis, and hypoglycemia may occur with sulfonamides; prolonged IV infusions or high doses may cause bone marrow depression (if signs occur, administer 5-15 mg/d leucovorin); caution in folate deficiency (eg, patients with chronic alcoholism, elderly patients, those receiving anticonvulsant therapy, or those with malabsorption syndrome); hemolysis may occur in individuals who are G-6-PD deficient; patients with AIDS may not tolerate or respond to TMP-SMX; caution in renal or hepatic impairment (perform urinalyses and renal function tests during therapy); administer fluids to prevent crystalluria and stone formation

2. Dekongestan topikal

Agonis alfa adrenergik yang bekerja melalui vasokonstriksi dari mukosa pembuluh darah yang berdilatasi. Terapi ini diberikan dengan hati-hati pada pasien anak dan lanjut usia. Penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan rebound yang selanjutnya menyebabkan rhinitis medikamentosa.

Drug Name Oxymetazoline (Afrin)

Description

Applied directly to mucous membranes, where it stimulates alpha-adrenergic receptors and causes vasoconstriction. Decongestion occurs without drastic changes in blood pressure, vascular redistribution, or cardiac stimulation.

Adult Dose Available in 0.05% nasal solution; 2-3 gtt each nostril q12h; generally, use for no longer than 5 d

Pediatric Dose <6 years: Not recommended>6 years: 1-2 gtt q12h for 3-5 d

Contraindications Documented hypersensitivity; MAOIs

Interactions Hypotensive action of guanethidine may be reversed; concurrent administration with methyldopa may result in increased vasopressor response; concurrent use of MAOIs and

Page 36: Sistem Indera

ephedrine may result in hypertensive crisis; pressor sensitivity to mixed-acting agents such as ephedrine may be increased; guanethidine potentiates effects of epinephrine and inhibits effects of ephedrine; phenothiazines may reverse action of nasal decongestants such as oxymetazoline; TCAs potentiate vasopressor response and may result in dysrhythmias

Pregnancy C - Safety for use during pregnancy has not been established.

Precautions

Caution in patients with hyperthyroidism, coronary artery and ischemic heart disease, diabetes mellitus, increased intraocular pressure, or prostatic hypertrophy; because of increase in vasoconstriction, patients who are hypertensive may experience change in blood pressure; do not use topical decongestants for longer than 3-5 d

Drug Name Naphazoline (Privine)

DescriptionAlpha-adrenergic effects on arterioles of conjunctiva and nasal mucosa produce vasoconstriction.

Adult Dose 2 gtt of 0.05% nasal solution in each nostril q3-6h; generally, not to exceed 3-5 d

Pediatric Dose<6 years: Not recommended6-12 years: Administer 1-2 gtt of 0.025% solution; do not use for more than 3-5 d

ContraindicationsDocumented hypersensitivity; narrow-angle glaucoma; do not use before a peripheral iridectomy is performed

Interactions

Risk of hypertensive reactions increases when used concurrently with TCAs or MAOIs; toxicity increases when used concurrently with anesthetics

Pregnancy C - Safety for use during pregnancy has not been established.

Precautions

Prolonged use may cause rebound congestion; caution in patients with diabetes, hypertension, heart disease, cerebral arteriosclerosis, hyperthyroidism, and asthma

Page 37: Sistem Indera

Drug Name Tetrahydrozoline (Tyzine, Visine)

Description Alpha-adrenergic effects on nasal mucosa produce vasoconstriction.

Adult Dose 2-4 gtt of 0.1% nasal solution in each nostril q4-6h; do not use longer than 3-5 d

Pediatric Dose<2 years: Not recommended2-6 years: May administer 2-3 gtt of 0.05% nasal solution in each nostril q4-6h, not to exceed 3-5 d

Contraindications Documented hypersensitivity; narrow-angle glaucoma

Interactions Risk of hypertensive reactions increases when used concurrently with TCAs or MAOIs

Pregnancy C - Safety for use during pregnancy has not been established.

Precautions

Prolonged use may cause rebound congestion; caution in patients with diabetes, hypertension, heart disease, cerebral arteriosclerosis, hyperthyroidism, and asthma

Drug Name Xylometazoline (Otrivin)

DescriptionApplied directly to mucous membranes, where it stimulates alpha-adrenergic receptors and causes vasoconstriction.

Adult Dose 2-3 gtt of 0.1% nasal solution in each nostril q8-10h; generally, do not use for longer than 3-5 d

Pediatric Dose

<2 years: Use only under direct supervision of physician2-12 years: 2-3 gtt of 0.05% nasal solution q8-10h>12 years: Administer as in adults; duration of treatment generally not to exceed 5 d

Contraindications Documented hypersensitivity; narrow-angle glaucoma

Interactions

Risk of hypertensive reactions increases when used concurrently with TCAs or MAOIs; toxicity increases when used concurrently with anesthetics

Pregnancy C - Safety for use during pregnancy has not been established.

Page 38: Sistem Indera

Precautions

Prolonged use may cause rebound congestion; caution in patients with diabetes, hypertension, heart disease, cerebral arteriosclerosis, hyperthyroidism, and asthma

3. Kortikosteroid topikalSangat efektif pada pasien dengan sinusitis kronis yang disertai dengan rhinitis alergi,

rhinitis medikamentosa dan polip nasi. Kortikosteroid topikal dan antibiotik sekarang ini adalah kunci dari pengobatan sinusitis kronis yang adekuat.

Drug Name Fluticasone propionate (Flonase)

Description

Applied as nasal spray. Particularly effective in allergic and vasomotor rhinosinusitis and rhinosinusitis medicamentosa. Used as prophylaxis for nasal polyps. Plasma concentrations very low following intranasal administration in recommended doses.

Adult Dose50 mcg/spray; 2 sprays in each nostril qd or 1 spray in each nostril bid; not to exceed total dose of 200 mcg/d

Pediatric Dose <12 years: Not recommended>12 years: 1 spray (50 mcg) in each nostril qd

Contraindications Documented hypersensitivity

Interactions

None reported; concomitant use with other inhaled and/or systemically absorbed corticosteroids can increase risk of hypercorticism and/or suppression of HPA

Pregnancy

C - Safety for use during pregnancy has not been established.

Precautions Epistaxis or sensations of nasal burnings may occur; local candidal infections of nasopharynx have been reported with topical steroid use; always consider potential risk of suppression of HPA when using large dose for prolonged periods; rare cases of cataract, glaucoma, and increased intraocular pressure have been reported following intranasal use of corticosteroids; concomitant use of intranasal corticosteroids and other inhaled and/or systemically absorbed

Page 39: Sistem Indera

corticosteroids may cause hypercorticism and/or HPA suppression; if exposed to measles or chickenpox, consider prophylactic therapy

Drug Name Beclomethasone dipropionate (Beconase AQ)

Description

Topical steroid nasal spray. Acts locally as anti-inflammatory and vasoconstrictor. Readily absorbed through nasopharyngeal mucosa and GI tract. Useful in allergic and vasomotor rhinosinusitis and sinusitis medicamentosa.

Adult Dose 42 mcg/spray; 1 spray in each nostril bid/tid/qid

Pediatric Dose<6 years: Not recommended6-12 years: 1 spray in each nostril tid>12 years: Administer as in adults

Contraindications Documented hypersensitivity

Interactions

None reported; concomitant use with other inhaled and/or systemically absorbed corticosteroids can increase risk of hypercorticism and/or suppression of HPA

Pregnancy C - Safety for use during pregnancy has not been established.

Precautions

Always consider potential risk of suppression of HPA when using large dose for prolonged periods; rare cases of cataract, glaucoma, and increased intraocular pressure have been reported following intranasal use of corticosteroids; concomitant use of intranasal corticosteroids and other inhaled and/or systemically absorbed corticosteroids may cause hypercorticism and/or HPA suppression; if exposed to measles or chickenpox, consider prophylactic therapy

4. Nasal sprayNasal spray membantu dalam melembabkan, mengurangi edema mukosa, mengurangi kekentalan dari mukus.

Drug Name Saline nasal spray (Ayr, Ocean)

Description Loosens mucous secretions to help remove mucus from nose and sinuses.

Adult Dose 0.65% buffered isotonic sodium chloride nasal

Page 40: Sistem Indera

solution, 1-2 sprays or gtt in each nostril

Pediatric Dose Administer as in adults

Contraindications Documented hypersensitivity

Interactions None reported

Pregnancy A - Safe in pregnancy

Precautions None reported

5. Mast Cell StabilizerDapat membantu pada pasien dengan sinusitis kronis yang disertai rhinitis alergi.

Drug Name Cromolyn sodium (Nasalcrom)

Description Inhibits degranulation of sensitized mast cells following their exposure to specific antigens.

Adult Dose 5.2 mg/spray; 1 spray in each nostril q4-6h; begin 1-2 wk before exposure to known allergen

Pediatric Dose <6 years: Not recommended>6 years: 1 spray of 5.2 mg q6h

Contraindications Documented hypersensitivity

Interactions None reported

Pregnancy C - Safety for use during pregnancy has not been established.

Precautions Caution in renal or hepatic impairment; symptoms may reoccur when withdrawing drug

B. Non MedikamentosaMeliputi diatermi, pungsi & irigasi sinus (sinusitis maksila), pencucian Proetz (sinusitis

etmoid, sinusitis frontal & sinusitis sfenoid), pembedahan radikal & tidak radikal.Diatermi menggunakan gelombang pendek di daerah sinus paranasal yang sakit selama

10 hari.Pungsi & irigasi sinus dan pencucian Proetz dilakukan 2 kali seminggu. Jika tindakan ini

telah kita lakukan lebih 5-6 kali namun masih belum ada perbaikan dimana sekret purulen masih tetap banyak maka keadaan ini kita anggap telah irreversibel. Artinya mukosa sinus paranasal tidak dapat lagi kembali normal. Hal ini dapat diketahui dengan pemeriksaan sinoskopi dan dapat diatasi dengan tindakan operasi radikal. Pemeriksaan sinoskopi melihat langsung antrum (sinus maksila) menggunakan bantuan endoskopi.

Operasi radikal dilakukan setelah pengobatan konservatif tidak berhasil. Tindakan ini bertujuan mengangkat mukosa sinus paranasal yang patologis atau melakukan drainase sinus paranasal yang sakit. Ada beberapa jenis operasi radikal pada sinusitis paranasal, yaitu :Etmoidektomi : Pembedahan untuk sinusitis etmoid.Operasi Killian : Pembedahan untuk sinusitis frontal. Belakangan ini, para ahli mengembangkan tindakan pembedahan sinus paranasal yang

Page 41: Sistem Indera

bukan radikal dengan menggunakan bantuan endoskopi. Prinsipnya membuka dan membersihkan daerah kompleks osteomeatal sebagai sumber sumbatan dan infeksi sehingga ventilasi dan drainase sinus paranasal lancar kembali melalui ostium alami. Akhirnya sinus paranasal diharapkan dapat normal kembali. Tindakan ini disebut Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF).

1) Operasi Caldwell-Luc

Operasi Caldwell-Luc atau radikal antrostomi adalah operasi pada antrum sinus maksilaris beserta organ-organ di dalamnya dengan maksud membuang jaringan patologis yang terbentuk akibat proses radang atau akibat kelainan dengan harapan nantinya akan tumbuh mukosa normal. Selain itu juga digunakan untuk biopsi bila ada persangkaan keganasan di antrum sinus maksilaris, sebagai transantral operation dan untuk membuat material graft dan dinding lateral antrum guna ditanamkan di tempat lain misalnya pada perforasi septum.

a. Indikasi : antrokoanal polip suspek keganasan pada antrum sinus peradangan kronik antrum sinus dengan sebab kelainan anatomis drainase sebelum pemberian terapi radiasi sebagai transantral operation pada etmoidektomi transantral reduksi pada midfasial fraktur ligasi arteri maksilaris interna mengatasi kelainan kelenjar hipofise melakukan pemotongan nervus vidianus dekompresi orbita pada malignant eksoftalmus

b. Komplikasi : Osteomielitis tulang maksila Sinusitis maksilaris kronis Fistula sublabial Fistula oroantral Sinusitis rekuren Hipestesi sampai anestesi pada gigi, gusi dan rahang atas Sinekia Bengkak pada pipi Perdarahan Pengeluaran sekret hidung terus menerus Kelainan gigi rahang atas Tertutupnya nasoantral window Parestesi pipi

Page 42: Sistem Indera

2) FESS (Functional Endoscopic Sinus Surgery)FESS sangat efektif dalam diagnosis dan terapi pada sinusitis kronis, neoplasma

jinak maupun ganas dari sinus, polip nasi, rinore CSF, kista mucocele sinus, Grave’s disease, edema dan pendarahan orbital. Tehnik ini dimulai di Eropa pada tahun 1970an dan diperkenalkan di Amerika Serikat pada pertengahan 1980an.

Prinsip dari pembedahan ini adalah membuka muara sinus menjadi lebih lebar, membersihkan jaringan patologis dari osteomeatal kompleks dan ventilasi. Terapi ini sangat efektif dan sangat populer akhir-akhir ini.

Indikasi :a. Kegagalan terapi dari sinusitis kronis (harus melalui penanganan oleh

spesialis THT terlebih dahulu).b. Sinusitis yang telah mengalami komplikasi.c. Mulipel atau polip yang rekuren dengan obstruksi saluran nafas.d. Mucocelee. Chronic anterior headachef. Gangguan penciumang. Inverted papillomah. Kebocoran CSFi. Dacryocystorhinostomyj. Dekompresi orbitalk. Choanal atresia dan obstruksi ductus lakrimalis

Pemeriksaan yang perlu dilakukan sebelum FESS dilakukan adalah coronal CT scan, complete axial CT scan (pada kasus yang kompleks), kultur dan tes sensitivitas dan tes alergi.

Page 43: Sistem Indera

Dakriositis Peradangan pada sakus lakrimasi, yang biasanya terjadi karena obstruksi duktus nasolakrimalis.

EtiologiPrimer à stenosis inflamasi idiopatikSekunder à Trauma, Infeksi, Inflamasi, Neoplasma, Obstruksi mekanik

KlasifikasiAkut à abses sakus lakrimalis dan penyebaran infeksinyaKronis à infeksi dan peradangan pada konjungtivaKongenital à amniotecele (berhubungan)

PatogenesisTahap obstruksi à tahap infeksi à tahap sikatrik

Gambaran Klinis :- Nyeri fokal kemerahan- Epifora , ocular discharge

Pada pemeriksaan : pembengkakan sakus lakrimalis dan discharge

PenunjangDiagnosisPenatalaksanaan

• Definition : it is a common ophthalmopathy, due to narrow or obstruction of nasolacrimal duct, tears retain in the lacrimal sac complicated by bacterial infection.

• Etiology: kinds of infections induce narrow or obstruction of nasolacrimal duct.

• Diagnosis: 1.epiphora, eczema on neighboring

2.mucous or mucopurulent secretion flowing out from the lacrimal punctum

3. Syringing of lacrimal passages

• Treatment:

Drop antibiotic eyedrops

Dacryocystorhinostomy

Laser lacryocystoplasty

Probing of lacrimal passage

Page 44: Sistem Indera

It is potential focus of infection which can cause endophthalmitis when operating on the eye. It is must be cured before an operation

Page 45: Sistem Indera

Buta Senja