Seni dalam kebudayaan Jepang

10
BAB I KABUKI 歌歌歌 Kabuki adalah seni seni teater tradisional khas Jepang . Aktor kabuki terkenal dengan kostum mewah dan tata rias wajah yang mencolok. 1.1 Sejarah Kabuki Sejarah kabuki dimulai tahun 1603 dengan pertunjukan dramatari yang dibawakan wanita bernama Okuni di kuil Kitano Temmangu, Kyoto. Kemungkinan besar Okuni adalah seorang miko asal kuil Izumo Taisha, tapi mungkin juga seorang kawaramono (sebutan menghina buat orang kasta rendah yang tinggal di tepi sungai). Identitas Okuni yang benar tidak dapat diketahui secara pasti. Tari yang dibawakan Okuni diiringi dengan lagu yang sedang populer. Okuni juga berpakaian mencolok seperti laki-laki dan bertingkah laku tidak wajar seperti orang aneh ("kabukimono"), sehingga lahir suatu bentuk kesenian garda depan (avant garde). Panggung yang dipakai waktu itu adalah panggung Noh. Hanamichi (honhanamichi yang ada di sisi kiri penonton dan karihanamichi yang ada di sisi kanan penonton) di gedung teater Kabuki-za kemungkinan merupakan perkembangan dari Hashigakari (jalan keluar-masuk aktor Noh yang ada di panggung sisi kiri penonton). Kesenian garda depan yang dibawakan Okuni mendadak sangat populer, sehingga bermunculan banyak sekali kelompok pertunjukan kabuki imitasi. Pertunjukan kabuki yang digelar sekelompok wanita penghibur disebut Onna- kabuki (kabuki wanita), sedangkan kabuki yang dibawakan remaja laki-laki disebut Wakashu-kabuki (kabuki remaja laki-laki). Keshogunan Perintis kabuki, Izumo no Okuni sedang berpakaian laki-laki

description

Tugas Pengantar Kajian Kesusastraan

Transcript of Seni dalam kebudayaan Jepang

Page 1: Seni dalam kebudayaan Jepang

BAB I

KABUKI歌舞伎

Kabuki adalah seni seni teater tradisional khas Jepang. Aktor kabuki terkenal dengan kostum mewah dan tata rias wajah yang mencolok.

1.1 Sejarah Kabuki

Sejarah kabuki dimulai tahun 1603 dengan pertunjukan dramatari yang dibawakan wanita bernama Okuni di kuil Kitano Temmangu, Kyoto. Kemungkinan besar Okuni adalah seorang miko asal kuil Izumo Taisha, tapi mungkin juga seorang kawaramono (sebutan menghina buat orang kasta rendah yang tinggal di tepi sungai). Identitas Okuni yang benar tidak dapat diketahui secara pasti. Tari yang dibawakan Okuni diiringi dengan lagu yang sedang populer. Okuni juga berpakaian mencolok seperti laki-laki dan bertingkah laku tidak wajar seperti orang aneh ("kabukimono"), sehingga lahir suatu bentuk kesenian garda depan (avant garde). Panggung yang dipakai waktu itu adalah panggung Noh. Hanamichi (honhanamichi yang ada di sisi kiri penonton dan karihanamichi yang ada di sisi kanan penonton) di gedung teater Kabuki-za kemungkinan merupakan perkembangan dari Hashigakari (jalan keluar-masuk aktor Noh yang ada di panggung sisi kiri penonton).

Kesenian garda depan yang dibawakan Okuni mendadak sangat populer, sehingga bermunculan banyak sekali kelompok pertunjukan kabuki imitasi. Pertunjukan kabuki yang digelar sekelompok wanita penghibur disebut Onna-kabuki (kabuki wanita), sedangkan kabuki yang

dibawakan remaja laki-laki disebut Wakashu-kabuki (kabuki remaja laki-laki). Keshogunan Tokugawa menilai pertunjukan kabuki yang dilakukan kelompok wanita penghibur sudah melanggar batas moral, sehingga di tahun 1629 kabuki wanita penghibur dilarang dipentaskan. Pertunjukan kabuki laki-laki daun muda juga dilarang pada tahun 1652 karena merupakan bentuk pelacuran

terselubung. Pertunjukan Yarō kabuki (野郎歌舞伎 kabuki pria) yang dibawakan seluruhnya oleh pria

dewasa diciptakan sebagai reaksi atas dilarangnya Onna-kabuki dan Wakashu-kabuki. Aktor kabuki yang seluruhnya terdiri dari pria dewasa yang juga memainkan peran sebagai wanita melahirkan "konsep baru" dalam dunia estetika. Kesenian Yarō kabuki terus berkembang di zaman Edo dan berlanjut hingga sekarang.

Perintis kabuki, Izumo no Okuni sedang

berpakaian laki-laki

Page 2: Seni dalam kebudayaan Jepang

Dalam perkembangannya, kabuki digolongkan menjadi Kabuki-odori (kabuki tarian) dan Kabuki-geki (kabuki sandiwara). Kabuki-odori dipertunjukkan dari masa kabuki masih dibawakan Okuni hingga di masa kepopuleran Wakashu-kabuki, remaja laki-laki menari diiringi lagu yang sedang populer dan konon ada yang disertai dengan akrobat. Selain itu, Kabuki-odori juga bisa berarti pertunjukan yang lebih banyak tarian dan lagu dibandingkan dengan porsi drama yang ditampilkan.

Tema pertunjukan kabuki-geki bisa berupa tokoh sejarah, cerita kehidupan sehari-hari atau kisah peristiwa kejahatan, sehingga kabuki jenis ini juga dikenal

sebagai Kabuki kyogen. Secara garis besar ada 2 jenis pertunjukan Kabuki-kyogen dari semua karya yang dihasilkan di zaman Edo dan sekarang masih dipentaskan. Kelompok pertama Kabuki-kyogen disebut Maruhon mono yang mengadaptasi sebagian besar cerita dari cerita Ningyo Jōruri (Bunraku). Kelompok kedua disebut Kabuki kreasi baru. Kabuki Maruhon mono juga dikenal sebagai Gidayu-kyōgen, tapi Gidayu-kyōgen tidak selalu sama dengan Maruhon mono. Pada Gidayu-kyōgen, aktor kabuki membawakan dialog sementara dari atas mawaributai (panggung yang bisa berputar, dari arah penonton terletak di sisi kanan panggung) penyanyi yang disebut Tayu bernyanyi sambil diiringi pemain shamisen yang memainkan musik Gidayu-bushi. Pada Ningyo Jōruri yang semua penjelasan cerita dan dialog dinyanyikan oleh Tayu. Pada kabuki kreasi baru, musik pengiring dimainkan dari Geza (tempat atau ruang untuk pemusik yang dari arah penonton terletak di sisi kiri panggung).

1.2 Musik Kabuki

Musik pengiring kabuki dibagi berdasarkan arah sumber suara. Musik yang dimainkan di sisi kanan panggung dari arah penonton disebut Gidayūbushi. Takemoto (Chobo) adalah sebutan untuk Gidayūbushi khusus untuk kabuki. Selain itu, musik yang dimainkan di sisi kiri panggung dari arah penonton disebut Geza ongaku, sedangkan musik yang dimainkan di atas panggung disebut Debayashi.

1.3 Istilah Kabuki

Sashigane: Di atas panggung bila perlu adegan yang melibatkan aktor kabuki mengejar kupu-kupu atau burung, pembantu yang disebut Kōken (asisten di panggung yang sering berpakaian hitam) memegangi tongkat panjang yang diujungnya terdapat kupu-kupu atau burung yang disebut Sashigane. Dalam bahasa Jepang, istilah "sashigane" digunakan dalam konotasi negatif "orang yang mengendalikan".

Kuromaku: Di panggung pertunjukan kabuki, malam dinyatakan dengan tirai (maku) berwarna hitam (kuro). Dalam bahasa Jepang, dalam istilah "sekai no kuromaku" (dunia tirai hitam) kata "kuro" (hitam) berubah arti menjadi "jahat". Dalam bahasa Jepang "kuromaku" berarti "dalang" seperti dalam arti "dalang kejahatan".

Pertunjukan Yarō Kabuki

Page 3: Seni dalam kebudayaan Jepang

BAB II

BUNRAKU

文楽Bunraku adalah sandiwara boneka tradisional Jepang

yang merupakan salah satu jenis ningyo johruri (人形浄瑠璃 ningyō jōruri, boneka jōruri). Istilah bunraku khususnya digunakan untuk ninyo johruri (sandiwara boneka dengan pengiring musik johruri) yang berkembang di Osaka. Jōruri atau ditulis sebagai johruri adalah sebutan untuk naskah dalam bentuk nyanyian. Penyanyi johruri disebut tayū, dan menyanyi dengan iringan musik shamisen. Tiga unsur pertunjukan teater bunraku disebut sangyō yang terdiri dari tayū (penyanyi), pemain shamisen, dan ningyō tsukai(dalang).

Page 4: Seni dalam kebudayaan Jepang

2.1 PenyanyiTayū adalah sebutan untuk penyanyi yang melantunkan johruri (narasi dengan iringan

shamisen). Dari berbagai jenis kesenian johruri yang ada, gidayūbushi 義太夫節 adalah salah satu

jenis johruri yang dimulai oleh Takemoto Gidayū dari Osaka pada awal zaman Edo.

Pertunjukan lazimnya hanya menggunakan seorang tayū yang membawakan dialog untuk semua karakter dalam cerita. Pada pementasan cerita yang panjang dan melelahkan bisa terjadi pergantian tayū di tengah-tengah cerita. Pada cerita yang perlu dialog bersahut-sahutan, dua tayū atau lebih bisa tampil duduk berjejer di panggung.

2.2 PemusikPemain shamisen memainkan shamisen berukuran besar dengan gema yang terdengar berat

(futo) sehingga disebut futozao shamisen. Pemusik duduk dalam posisi seiza, tapi kedua belah kaki dilipat ke belakang dengan lutut dibuka lebar, dan seluruh berat badan bertumpu di bagian pantat.

Penyanyi dan Pemusik dalam teater Bunraku

2.3 Dalang

Page 5: Seni dalam kebudayaan Jepang

Di zaman dulu, sebuah boneka hanya digerakkan seorang dalang. Pertunjukan memakai tiga orang dalang untuk sebuah boneka diperkenalkan pada tahun 1734 dalam pertunjukan berjudul "Ashiya Dōman Ōchi Kagami". Di zaman sekarang, bunraku memakai tiga orang dalang untuk sebuah boneka. Dalang senior yang disebut omozukai menggerakkan bagian leher (kepala) dan lengan kanan. Dalang penggerak lengan kiri disebut hidarizukai, sedangkan dalang penggerak kaki disebut ashizukai. Ketiga orang dalang yang berpakaian serba hitam (kuroko) menyatukan ritme bernapas berdasarkan isyarat yang diberikan dalang kepala. Pada adegan yang penting, dalang kepala sering sengaja tidak menyembunyikan wajahnya dari pandangan penonton (teknik dezukai).

Dalang dalam teater Bunraku

2.4 BonekaBoneka yang digunakan dalam bunraku memiliki berbagai macam kepala (kashira). Kepala

boneka laki-laki dan perempuan dalam berbagai bentuk dan ekspresi wajah digunakan untuk menampilkan beraneka ragam karakter, pekerjaan, status sosial, dan umur.

Kepala boneka tertentu hanya bisa digunakan untuk peran tertentu. Sebagian kepala boneka bisa digunakan untuk berbagai peran dengan memakaikan rambut palsu (wig), atau merias wajah boneka dengan cat. Sebelum bisa dipakai dalam pementasan, wajah boneka dirias dulu dengan cat.

Rambut palsu untuk kepala boneka dibuat secara khusus dan merupakan seni kerajinan tersendiri. Sebagian besar karakter mengandalkan rambut palsu untuk memperlihatkan sifat karakter dan status sosial. Rambut palsu dibuat dari rambut manusia dicampur bulu ekor yak agar terlihat mengembang. Bagian akar rambut palsu disatukan pada lembaran tembaga yang tidak dilekatkan secara permanen pada kepala boneka. Campuran air dan lilin lebah digunakan sebagai perekat agar rambut palsu tidak merusak permukaan kepala boneka.

2.4.1 Jenis Kepala Boneka

Page 6: Seni dalam kebudayaan Jepang

Kepala boneka (kashira) laki-laki Bunshichi: kepala boneka dengan ekspresi maskulin laki-laki tampan tapi sudah lama menderita,

digunakan untuk tokoh utama cerita tragedi

Kenbishi: kepala boneka dengan garis mulut yang tegas menandakan kemauan keras, digunakan untuk samurai, orang kota, dan sebagainya

Ōdanshichi: kepala boneka dengan ekspresi lelaki pemberani

Darasuke: kepala boneka dengan ekspresi mengejek untuk peran orang jahat

Yokanbei: kepala boneka dengan wajah buruk untuk peran orang jahat yang komikal

Matahei: kepala boneka dengan ekspresi rakyat biasa, orang kecil, atau penduduk kota yang jujur

Kiichi: kepala boneka untuk peran samurai tua dengan hati yang penuh cinta

Genda: kepala boneka untuk peran laki-laki tampan berumur 20 tahunan

Wakaotoko: kepala boneka laki-laki remaja untuk kisah cinta

Kōmei: kepala boneka untuk samurai berusia empat puluhan hingga lima puluhan, secara jelas terlihat berkepribadian halus dan bijaksana

Kintoki: kepala boneka untuk samurai yang kuat dan berperasaan dalam cerita jidaimono.

Kepala Boneka (Kashira) Laki-Laki

Kepala boneka perempuan Musume: kepala boneka perempuan belum kawin berusia 14 atau 15 tahun dengan ekspresi

murni tanpa dosa Fukeoyama: kepala boneka yang digunakan untuk berbagai peran wanita berusia dua puluh

tahunan hingga empat puluh tahunan. Keisei: kepala boneka paling cantik untuk peran wanita penghibur kelas tinggi yang sensual Ofuku: kepala boneka untuk peran wanita berwajah lucu atau komikal.

Page 7: Seni dalam kebudayaan Jepang

2.5 SejarahKesenian ningyo johruri tercipta dari perpaduan sandiwara boneka dan musik shamisen di awal

zaman Edo. Pertunjukan merupakan hasil kreasi tayū bernama Takemoto Gidayū dari kelompok boneka Takemoto-za, serta penulis naskah bernama Chikamatsu Monzaemon dan Ki no Kaion. Kepopuleran ningyo johruri bahkan sempat melampaui kepopuleran kabuki. Pementasan kabuki juga banyak yang memakai naskah ningyo johruri. Pementasan kabuki yang mengadaptasi naskah ningyo johruri tanpa diringkas atau diubah disebut maruhon mono (kisah yang diambil dari buku secara bulat-bulat).

Ningyo johruri di Edo tercipta berkat jasa Hiraga Gennai. Dari akhir abad ke-18 hingga permulaan abad ke-19, kepopuleran kabuki berbalik melampaui kepopuleran ningyo johruri. Pemimpin kelompok ningyo johruri bernama Uemura Bunrakuken I yang melihat situasi tersebut berusaha menghidupkan kembali ningyo johruri dengan membangun gedung pertunjukan khusus untuk ningyo johruri di Kōzubashi.

Pada tahun 1872, Uemura Bunrakuken III memindahkan gedung pertunjukan ke Matsushima dan menamakan gedung tersebut sebagai Bunraku-za. Pada akhir zaman Meiji, Bunraku-za menjadi satu-satunya gedung teater ningyo johruri yang masih tersisa.

Setelah itu, gedung Bunraku-za sempat pindah berkali-kali di dalam kota Osaka. Lokasi pertama di dalam kuil Shinto Goryōjinja di distrik Chuo-ku. Setelah mengalami musibah kebakaran pada tahun 1929, gedung pindah ke Yotsubashi di distrik Nishi-ku. Sewaktu Perang Dunia II, gedung terbakar akibat serangan udara, tapi dibangun kembali di lokasi yang sama pada tahun 1946. Pada tahun 1956, gedung pertunjukan pindah ke bekas situs teater Benten-za di Dotombori.

Pada tahun 1948, perusahaan hiburan Shochiku bertikai dengan serikat pekerja bunraku. Dunia showbiz bunraku terbelah menjadi kelompok Bunraku-inkai di bawah lindungan Shochiku, dan kelompok Bunraku Sanwakai di bawah lindungan serikat pekerja. Akibatnya,popularitas kesenian bunraku mengalami kemunduran. Pada tahun 1963, Shochiku menarik diri dari dunia bunraku dan gedung pertunjukan Bunraku-za berganti nama menjadi Asahi-za. Organisasi nirlaba Bunraku Kyokai yang disponsori Prefektur Osaka, kota Osaka, Kementerian Pendidikan Jepang, dan NHK kemudian menggantikan posisi Shochiku sebagai pelindung kesenian bunraku.

Dunia showbiz bunraku pernah kekurangan sumber daya manusia akibat kurangnya minat generasi muda pada kesenian bunraku. Kekurangan tenaga dalam showbiz bunraku berhasil diatasi pada tahun 1973 dengan dibukanya program pelatihan untuk orang dari luar kalangan bunraku. Pada tahun 1984, Gedung Teater Nasional Bunraku selesai dibangun di Nipponbashi, Osaka, sedangkan gedung pertunjukan yang lama ditutup.

2.6 CeritaJidaimono adalah sebutan untuk kisah sejarah yang berlangsung sebelum zaman Edo. Di dalam

golongan cerita Jidaimono, kisah yang mengambil latar belakang zaman Nara atau zaman Heian disebut Ōchōmono (kisah kekaisaran), termasuk di antaranya Taiheikimono yang merupakan sebutan untuk

Page 8: Seni dalam kebudayaan Jepang

kisah Taiheiki. Peristiwa aktual di zaman Edo yang melibatkan kalangan samurai mengandung risiko disensor Keshogunan Edo, sehingga sering disamarkan ke dalam kisah Taiheikimono.

BAB III

NOH

能Noh atau No ialah bentuk utama drama musik Jepang

klasik yang telah dipertunjukkan sejak abad ke-14. Noh tersusun atas mai (tarian), hayashi (musik) dan utai (kata-kata yang biasanya dalam lagu-lagu). Pelakon menggunakan topeng dan menari secara lambat. Zeami Motokiyo dan ayahnya Kan'ami membawa Noh kepada bentuk terkininya selama masa Muromachi.

3.1 Tipe Drama NohPotongan teater Noh diklasifikasikan dalam 5 kelompok.

Divine; pahlawannya bagaikan Tuhan, tokoh akhirat dsb. Pahlawannya berdoa di akhir drama.   Shura-mono (Jawara); pahlawan (jarang pahlawati) ialah jawara, biasanya hampir mati.

Kazura-mono (Wanita); pahlawati dan sering romantika cintanya menjadi fokus.

Zatsu-no (Serbaneka) ; Noh yang tidak bisa dikelompokkan atas 4 kelompok lainnya.

Oni-noh (Oni; setan) ; bukan manusia, seperti oni, tengu, peri, singa ialah pahlawan dari jenis ini. Terutama dimainkan di akhir drama.

3.2 Pelakon NohBiasanya, semua pelakon Noh ialah laki-laki. Kemampuan mereka telah dilatih ayahnya. Saat

seorang wanita atau anak perempuan muncul di drama ini, aktor pria memainkan perannya dengan mengenakan topeng wanita.

Ada 3 macam pelakon Noh: shite, waki dan kyogen. Shite memerankan pahlawan maupun pahlawati. Ia berbicara, menyanyi, dan menari. Waki (berarti "pihak") berperan sebagai kawan Shite, dan

Page 9: Seni dalam kebudayaan Jepang

biasanya memerankan peran pelancong di tempat tertentu. Ia memperkenalkan pemirsa dengan dunia drama. Kyogen muncul di pertengahan drama jika memiliki 2 bagian, dan berperan sebagai warga lokal. Ia berbicara kepada Waki dan menyuruhnya melihat apa yang belum dilihatnya sebelum pembicaraan mereka.

3.3 MusikHayashi berarti instrumental musik, terdiri atas drum (Tuzumi, Taiko) dan seruling (Fue) yang

biasa digunakan di teater.