Seni Dalam Islam
-
Upload
kankoey-anz -
Category
Documents
-
view
990 -
download
1
Transcript of Seni Dalam Islam
FATWA ULAMA TENTANG KESENIAN
DALAM PERSPEKTIF ISLAM
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
KAPITA SELEKTA HUKUM ISLAM
Dosen :
PROF. DR. JAIH MUBAROK, M. AG.
Oleh :
MAHFUDZ HUDLARI
NIM : 505840006
PASCA SARJANAPROGRAM STUDI PERDATA ISLAM
IAIN SYEKH NURJATICIREBON
2009
FATWA ULAMA TENTANG KESENIAN
DALAM PERSPEKTIF ISLAM
PENDAHULUAN
Ketika Bung Karno mendirikan Monumen Nasional (Monas) maka terjadilah
pro dan kontra, seberapa perlukah Monas itu dibangun. Pro kontra itu sangat wajar,
karena Monas sebagai sebuah karya seni maka tidak bisa lepas dari subjektifitas dari
pembuatnya. Jiwa seni merupakan salah satu bagian dalam diri manusia yang telah
ada sejak manusia itu diciptakan. Setiap peradaban manusia selalu menghasilkan
karya yang tentu saja diciptakan dengan subjektifitas masing-masing. Sedemikian
lekatnya seni dengan kehidupan manusia, sehingga bahkan atas nama seni terkadang
seseorang atau bangsa menghabiskan biaya yang sangat besar. Tetapi mengapa
nampaknya Islam terkesan tidak mendukung. Banyaknya larangan-larangan Nabi
SAW. dalam beberapa hadits yang menolak kehadiran karya seni, mejadi bukti bahwa
Islam seolah anti terhadap seni.
Bagaimana sesungguhnya Islam memandang seni dan karya seni ? Benarkah
Islam anti terhadap seni ? Apa hukum seni dalam Islam? Bagaimana apresiasi seni
yang sesuai dengan ketentuan Islam ?
Seni merupakan salah satu kebutuhan manusia. Jika dalam klasifikasi
kebutuhan manusia yaitu kebutuhan primer, sekunder dan tersier, maka seni
merupakan kebutuhan tersier sesungguhnya hanya merupakan pelengkap. Artinya jika
kebutuhan seni tidak terpenuhi maka eksistensi manusia tidak tergangu, namun hanya
kurang menarik, kurang indah dan kurang berkesan.
Seni diwujudkan dalam karya seni yang dinikmati oleh indera manusia, baik
beberapa indera secara bersamaan, maupun salah satu indera saja. Karya seni ada
yang diwujudkan sebagai “benda” seni secara khusus, misalnya lukisan, puisi, lagu
dan lain sebagainya. Selain itu karya seni juga bisa diwujudkan dalam benda-benda
kebutuhan sehari-hari, sehingga tidak saja digunakan untuk memenuhi fungsinya
namun juga bisa mengundang atau memberikan apresiasi tersendiri, sehingga benda
tersebut memiliki nilai seni. Nasi sebagai kebutuhan pangan (kebutuhan primer) dapat
2
diberi warna kuning dan disajikan menjadi sebuah tumpeng adalah satu contoh benda
kebutuhan yang sekaligus diberi nilai seni.
Karya seni bisa dan bahkan hampir selalu dipergunakan untuk
mengekspresikan perasaan, pemikiran ataupun menggambarkan kondisi tertentu.
Bahkan dalam beberapa aspek dapat mempengaruhi opini, perasaan maupun
pemikiran penikmat karya seni itu. Hal ini sangat terasa misalnya dalam seni peran
atau film, misalnya. Pengaruh karya seni ini pula yang nantinya perlu diperhatikan
dan menjadi pertimbangan dalam pengambilan hukumnya.
SENI SEBAGAI FITRAH MANUSIA
Seni adalah fitrah manusia, yang muncul bersamaan dengan penciptaan
manusia. Keberadaan fitrah itu adalah bagian dari sempurnanya manusia. Salah satu
kriteria kesempurnaan manusia menurut Allah adalah ilham yang berupa potensi
untuk kebaikan maupun kefasikan (keburukan).
Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (Alqur’an : Asyams 7-8).
Hasrat manusia untuk berkesenian tersebut tentunya tidak
akan berubah dan Allah tidak akan memasung atau mengekang,
tanpa memberikan solusi atau cara untuk menuruti, sebagaimana
dorongan nafsu (jiwa) yang lain. Sehingga dengan demikian dapat
diambil benang merah bahwa seni tidak mungkin di larang secara
total oleh Allah. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa larangan
berkesenian tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, bahkan sebaliknya
justru dijumpai konsep keindahan. Allah memberitakan bahwa salah
satu tolok ukur sempurnanya fitrah manusia adalah keinginan
manusia akan keindahan, dan kemudian menyebutkan bahwa
keindahan tertinggi adalah ketaqwaan.
3
Hai anak Adam sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian takwa. Itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat. (Alqur’an, Ala’raaf 26).
TUJUAN PENCIPTAAN MANUSIA DAN KEINDAHAN
Tujuan penciptaan manusia adalah untuk mengabdi
(beribadah kepada Allah) dan menjadi khalifah di muka bumi,
sebagimana disebutkan dalam dua ayat berikut ini.
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Alqur’an , Adzdzariyaat 56).
……..Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. …………" (Alqur’an, Albaqarah 30).
Namun secara lebih spesifik tugas kekhalifahan disebutkan
sebagai tugas untuk memakmurkan bumi. Tentu saja kemakmuran
bumi tidak meninggalkan aspek keindahannya, karena di bumi
tersedia bahan-bahan untuk dijadikan perhiasan sehingga menjadi
indah.
……. Dia Telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, ……" (Alqur’an, Huud 61)
4
Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur. (Alqur’an, Annahl 14)
Ternyata bahwa keindahan bukan hanya kecenderungan fitri
manusia, namun juga menjadi target yang harus dicapai oleh
manusia dalam menjalankan tugas kekhalifahan di muka bumi,
yaitu bumi menjadi makmur dan indah. Sebagaimana diungkapkan
dengan istilah “keindahan bumi yang sempurna dan mengenakan
perhiasannya” di dalam Surat Yunus berikut ini :
Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang kami turunkan dan langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya Karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. hingga apabila bumi itu Telah Sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-permliknya mengira bahwa mereka pasti menguasasinya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab kami di
5
waktu malam atau siang, lalu kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (kami) kepada orang-orang berfikir. (Alqur’an, Yunus 24).
Salah seorang manusia yang telah berhasil menjalankan tugasnya
menjadi khalifah di muka bumi adalah Sulaiman AS, yang salah satu
tolok ukur keberhasilannya memakmurkan bumi digambarkan oleh
Allah sebagai berikut :
Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang Tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah Hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih. (Alqur’an, Saba’ 13).
Memang Allah tidak menyebutkan bahwa Sulaiman AS telah
menciptakan keindahan, namun gambaran itu menuntun kita untuk
membayangkan betapa indahnya kota atau istana yang dihiasi
patung-patung dan piring-piring sebesar kolam yang dibangun oleh
jin-jin itu atas perintah Sulaiman AS tentunya.
Jadi sangat jelas bahwa Allah memberikan fitrah keindahan
pada manusia, sebagai modal untuk menciptakan keindahan yang
menghiasi dirinya dan bumi secara keseluruhan sebagai salah satu
indikator kemakmuran sebagai keberhasilan untuk menjadi khalifah.
Rasulullah SAW sendiri pernah memakaai pakaian yang indah,
bahkan suatu ketika beliau memperoleh hadiah berupa pakaian
bersulam benang emas, lalu beliau naik mimbar, namun beliau tidak
berkhuthbah dan kemudian turun. Sahabat-sahabat sedemikian
kagum dengan baju itu, sampai mereka memegang dan merabanya.
6
Nabi SAW bersabda : “Apakah kalian mengagumi baju ini?” Mereka
berkata, “Kami sama sekali belum pernah melihat pakaian lebih
indah dari ini”. Nabi bersabda:”Sesungguhnya saputangan Sa’ad bin
Muadz di surga jauh lebih indah dari yang kalian lihat” (M. Quraish
Shihab, 390).
Dengan kejadian tersebut berarti Rasulullah :
- membolehkan pakaian yang diperindah dengan seni
sulaman, bahkan dengan benang emas.
- boleh (bisa jadi sebagai anjuran) mempertontonkan
kepada orang lain mengekspresikan kegembiraan
memakai baju yang dianggap terindah oleh para sahabat.
Tentunya hal tersebut sebagai salah contoh ekspresi
syukur
- Rasa gembira atas keindahan dunia, tidak boleh
dibiarkan menguasai diri karena harus tetap mengingat
dimensi ukhrawi (keindahan surga).
Selanjutnya, marilah perhatikan hadits berikut :
: اليدخل (ص) قال النبي مسعودعن بن الله عبد عن رجل قال كبر من ذرة مثقال قلبه في كان من الجنة
’ حسqqنة ونعلqqه حسنا به ثو يكون أن يحب الرجل إنمسلم) (رواه الجمال يحب جميل الله قال:إن
Dari Abdillah bin Mas’ud dari Nabi Saw, ia berkata : “Tidak masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar atom sekalipun”. Seorang laki-laki bertanya :“Bagaimana kalau ada orang yang senang pakaiannya bagus dan sandal yang bagus?” Beliau bersabda :”Sesungguhnya Allah Mahaindah dan mencintai keindahan. (HR. Muslim, hadis ke 91 bab ke 26, Albukhari hadits ke 5950).
Dari hadits tersebut sangat jelas, segala sesuatu yang indah
adalah kecintaan Allah, sehingga manusia boleh berusaha untuk
mencapai keindahan, tentu saja harus karena Allah dan tetap pada
nilai fitrahnya, bukan untuk sensasi.
LARANGAN TERKAIT BENDA-BENDA SENI
7
Berdasarkan kajian terhadap ayat-ayat Alqur’an di atas kita
memiliki kesimpulan sementara tentang sikap Islam terhadap
keindahan beserta kaitannya dengan fitrah manusia dan tujuan
penciptaan manusia. Berikut sebagian dari dalil-dalil yang dapat
dipahami sebagai dasar atas larangan atau pembatasan-
pembatasan berkesenian di dalam Islam.
Hadits 1
(ص)وأنqqا اللqqه رسول علي : دخل ئشqةقالت عا عن تنqqqاول ثم وجهqqه فتلqqون صqqورة فيqqه متسqqترةبقرام
يوم عذابqا النqاس أشد من : إن قال ثم فهتكه السترمسلم) (رواه الله بخلق يشبهون الذين القيامة
Dari Aisyah, ia berkata :”Rasulullah saw. masuk menemui saya ketika saya sedang menggunakan tutup dengan sehelai tirai (tabir) tipis yang padanya ada gambar (surah). Maka wajah beliau berubah, kemudian mengambil tirai itu lalu menyobeknya. Kemudian bersabda : “Sesungguhnya orang yang paling berat siksanya di hari kiamat adalah orang yang meniru-niru ciptaan Allah. (HR. Muslim ).
Hadits 2
تqqدخل : ال (ص) قqqال اللqqه رسول أن طلحة أبي عن بن زيqqد : فمqqرض بسqqر قال صورة فيه بيتا ئكة المال ، تصqqاور فيqqه بسqqتر بيتqqه في فqqإذإنحن فعqqدناه خلqqد
التصاوير؟ يحدثنافي : ألم الخوالني الله لعبيد فقالت تسمعه؟.قالت: ال. تqوب. إلم قال: إالرقي : إنqه قال
ذلك ذكر قال: بلي. قدDari Abi Thalhah diceriktakan bahwa Rasulullah saw bersabda :”Malaikat tidak mau masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat surah (patung dan lukisan makhluk bernyawa)”. Basar (salah seorang perawi dalam sanad hadits ini) berkata : Zaid Ibnu Khalid sakit, lalu kami mengunjunginya. Tiba-tiba di rumahnya kami lihat tabir yang padanya terdapat gambar-gambar. Maka aku bertanya Ubaidullah al-Khaulani : Bukankah dia pernah meriwayatkan hadits tentang gambar kepada kita? ‘Ubaidullah menjawab : Ia mengatakan, “ Kecuali lukisan pada kain”, apakah engkau tidak pernah mendengar ini? Aku menjawab” Tidak”. Ia berkata lagi, Ya, dia pernah menyebutkan ini. (HR. Muslim)
8
Hadits 3
طqqا تمثqqال فيqqه سqqتر لنqqا : كqqان ئشqqqةقالت عqqا عن رسqqول لي فقqqال اسqqتقبله، إذادخqqل الداخل ثر،وكان
ث ثوأيتqqه دخلت كلمqqا فqqإني هqqذا، (ص) : حولي الله فإنqqه عqqني : أميطي البخاري رواية (وفي الدنيا كرت
تي) صال في لي تعوض تصاويوه التزالDari A’isyah, ia berkata : Kami mempunyai sehelai tabir yang ada gambar (timsal) burung padanya, dan apabila seseorang masuk (ke rumah kami) ia melihatnya, maka Rasulullah saw mengatakan kepadaku “Singkirkan ini, karena setiap aku masuk dan melihatnya aku teringat dunia. Dalam riwayat Bukhari “Singkirkan ini dari padaku, karena gambar-gambar ini menggangguku dalam shalat (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits 4
(ص) اللqqه رسqqول أن أخqqبره عمqqر ابن أن نqqافع عن يقqqال القيامqqة، قم يعذبون الصور يصنون قال: الذين
لهqم: أحيواماخلقتم
Dari Nafi’ diberitakan bahwa Ibnu Umar telah mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah bersabda : “Orang-orang yang membuat gambar-gambar (surah) disiksa pada hari kiamat dan kepada mereka dikatakan : hidupkan apa yang kamu buat itu”. (HR Bukhari – Muslim) .
Hadits 5
Dari ‘Aisyah diterangkan bahwa ia mempunyai kain bergambar yang terbentang menutupi sebuah rak dan Nabi saw shalat menghadap padanya. Maka beliau berkata :”Singkirkan dia dariku” ‘Aisyah berkata lagi:” lalu aku singkirkan kain itu dan aku bikin bantal. (HR Bukhari – Muslim).
Hadits 6
Dari ‘Aisyah diceritakan bahwa Rasulullah mengawininya ketika ia sedang berusia tujuh tahun, hidup serumah ketika ia berumur sembilan tahun, sedang waktu itu bonekanya masih bersamanya dan beliau meninggal ketika ‘Aisyah berusia delapan belas tahun (HR. Muslim).
Hadits 7
9
Dari ‘Aisyah ia berkata, aku selalu bermain boneka di dekat Rasulullah. Aku mempunyai beberapa orang teman yang bermain bersamaku. Apabila Rasulullah datang mereka bubar, lalu Rasulullah saw mengumpulkan mereka untuk bermain kembali bersamaku (HR. Bukhari), (Majelis Tarjih Muhammadiyah, 3-5).
Hadits-hadits tersebut di atas ada yang bersifat umum dan
ada yang bersifat khusus. Yang bersifat umum terdapat dalam
hadits 4 yang dengan tegas melarang orang melakukan peniruan
terhadap ciptaan Allah dalam bentuk gambar-gambar, karena
mereka akan dituntut untuk menghidupkan gambar-gambar yang
dibuatnya. Artinya meskipun Nabi mengungkapkan dengan bahasa
umum, namun tetap saja ada latar belakang sebagai illat dalam
pelarangan itu, yaitu karena pembuatan gambar-gambar tersebut
dapat mengarah pada “menyaingi Allah sebagai pencipta”, sehingga
berpotensi pada perilaku syirik.
Sayyid Quthb, sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab,
berpendapat bahwa pada masa Nabi atau masa jahiliyah, seseorang
yang berkarya seni (seniman) baru dikatakan berhasil dalam
karyanya bila ia dapat berinteraksi dengan gagasan, menghayati
secara sempurna sampai menyatu dengan jiwanya, lalu
mencetuskannya dalam bentuk karya seni. Padahal pada masa
tersebut proses penghayatan nilai-nilai Islam baru dimulai. Bahkan
sebagian mereka baru dalam tahap upaya membersihkan gagasan-
gagasan jahiliyah yang telah meresap selam ini di dalam benak dan
jiwa masyarakat. Oleh karenanya khati-hatian sangat diperlukan
dari Nabi sendiri sebagai pembimbing maupun dari kaum Muslimin
lainnya (M. Quraish Shihab, 390-391).
Cara pandang tersebut memberikan penjelasan bahwa,
mengapa Alquran tidak menampilkan larangan berkesenian, bahkan
dalam beberapa hal justru memberikan apresiasi. Alqur’an
mengecam pembuatan patung-patung yang dijadikan berhala atau
sesembahan. Sementara larangan dari Nabi SAW, karena semangat
seniman jahiliyah sangat dekat dengan kesyirikan, mengingat
10
proses penciptaan karya seni yang terlalu jauh menguras
penjiwaan. Tetapi harus diingat pula bahwa, Nabi SAW tetap
mendorong ummatnya untuk menampilkan keindahan dalam
kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu titik perbedaan yang harus dicermati adalah
apakah larangan Nabi SAW tersebut diberlakukan sifat
keumumannya, atau larangan tersebut baru diberlakukan hanya
bila meuncul illat sebagaimana diterangkan oleh Nabi SAW.
Sebagaimana dikutip M. Quriash Shihab, Syaikh Muhammad
Ath-Thur bin Asyur ketika menafsirkan ayat-ayat yang berbicara
tentang patung-patung Nabi Sulaiman menegaskan, bahwa Islam
mengharamkan patung karena agama ini sangat tegas dalam
memberantas segala bentuk kemusyrikan yang demikian telah
mendarah daging dalam jiwa orang-orang Arab serta orang-orang
selain mereka ketika itu. Sebagian besar berhala adalah patung-
patung, maka Islam mengharamkannya karena alasan tersebut,
bukan karena dalam patung tersebut terdapat keburukan, tetapi
patung tersebut dijadikan saran bagi kemusyrikan (M. Quraish
Shihab, 393-394).
Hal tersebut berarti hadits yang melarang seni patung harus
dipahami sesuai dengan konteks munculnya hadits itu, yaitu
menjaga kemungkinan muculnya potensi kesyirikan dari karya seni
patung atau karya seni lain apapun bentuknya. Hal ini dibuktikan
dengan dibolehkannya boneka mainan ‘Aisyah dan kawan-
kawannya oleh Nabi SAW, karena Nabi SAW nampaknya yakin
bahwa boneka tersebut tidak berpotensi menimbulkan kesyirikan.
Pembuatan patung (misalnya oleh ayah Ibrahim AS.) dikecam
Alqur’an karena patung itu berpotensi akan dan sudah terbukti
disembah seperti Tuhan. Akan tetapi pembiaran patung yang paling
besar oleh Ibrahim dibenarkan oleh Alqur’an karena akan digunakan
untuk melawan kesyirikan.
Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung
11
yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya. (Alqur’an, Al-Anbiyaa 58).
Sebagaimana juga patung–patung Nabi Sulaiman yang dibuat
oleh jin sebagai hiasan yang dipadukan dengan gedung-gedung
indah, justru dijadikan sebagai contoh megahnya kota, salah satu
simbol peradaban Islami yang pernah ada. Bahkan menurut tafsir
Al-Qurthubi patung-patung tersebut terbuat dari keca, marmer dan
tembaga, dan konon menampilkan para ulama dan nabi-nabi
terdahulu. (M. Quraish Shihab, 392).
Sementara dalam hal seni suara para ulama menafsirkan 2
ayat, yaitu yang pertama Surat Al-Isra 64
Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. dan tidak ada yang dijanjikan oleh syaitan kepada mereka melainkan tipuan belaka (Alqur’an Al-Isra 64)
Kata memiliki arti “dengan suaramu” yang oleh
sebagian ulama dimaknai sebagai nyanyian. Sedangkan dalam
terjemahan Al-qur’an oleh Depag RI, kalimat tersebut diterjemahkan
dengan ajakanmu. Membatasi arti suara dengan nyanyian
merupakan pembatasan yang tidak berdasar, dan kalaupun itu
diartikan “nyanyian” maka nyanyian yang dimaksud adalah yang
didendangkan oleh setan. Sebagaimana bunyi ayat ini. Dan suatu
ketika ada nyanyian yang dilagukan oleh bukan setan, maka belum
tentu termasuk yang dikecam oleh ayat ini. (M. Quraish Shihab,
394).
Ayat kedua adalah Surat An-Najm 59-61 berikut ini :
12
Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis?. Sedang kamu melengahkan(nya)?
Kata diartikan س��مدون oleh yang melarang seni suara
dengan arti “dalam keadaan bernyanyi-nyanyi. Arti ini tidak
disepakati oleh ulama, karena kata tersebut walaupun digunakan
oleh suku Himyar (salah satu suku bangsa Arab) dalam arti
demikian. Tapi dalam kamus-kamus bahasa – seperti Mu’jam
Maqayis Allughah – dijelaskan bahwa akar kata samidun adalah
samada yang maknanya berjalan-jalan bersungguh-sungguh tanpa
menoleh kanan kiri satau secara majazi dapat diartikan serius atau
tidak mengindahkan selain apa yang dihadapinya. (M. Quraish
Shihab, 395). Atau kalau dalam bahasa remaja “cuek” terhadap
berita tentang hari kiamat.
Ayat berikutnya adalah dalam Surat Luqman 6
Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.
Dalam ayat ini yang diterjemahkan nyanyian adalah الحديث atau kata-kata yang tidak berguna. Maka perkataan yang tidak
berguna tentu saja bukan hanya nyanyian, dan sebaliknya nyanyian
belum tentu perkataan yang tidak berguna.
Dalam peritiwa hijrah, kaum Anshar menyambut kedatangan
Nabi SAW beserta rombongan dengan menggunakan nyanyian yang
diiringi rebana, sementara nabi tidak mempermasalahkan nyanyian
sambutan tersebut. Tetapi Imam Ahmad pernah meriwayatkan
bahwa dua orang wanita mendendangkan lagu yang isinya
13
mengenang para pahlawan yang telah gugur dalam perang Badr
sambil menabuh gendang. Lalu di antara syairnya adalah :
وفينا نبي يعلم ما في غدDan kami mempunyai Nabi yang mengetahui apa yang ada di hari esok
Mendengar syair tersebut Nabi SAW menegur mereka dan bersabda : Adapun yang demikian jangan kalian ucapkan. Tidak ada yang mengetahui (secara pasti) apa yang terjadi esok kecuali Allah (Diriwayatkan oleh Ahmad).
Nabi hanya menegur isi syairnya, tetapi tidak melarang atau menghentikan
semua syair tersebut.
Majlis Tarjih Muhammadiyah, dalam keputusannya membuat catatan sebagai
berikut (Majelis Tarjih Muhammadiyah, 7-8) :
1. Alqur’an tidak mengecam pembuatan patung untuk karya seni.
Alqur’an hanya mengecam patung karena diberhalakan.
2. Patung sebagai karya seni tidak terkait dengan faham keberhalaan
3. Keharaman membuat patung dan gambar makhluk bernyawa
didasarkan pada hadits, dikecualikan pada boneka untuk mainan dan lukisan
pada kain. Sebagian umlama membolehkan fotografi karena disamakan
dengan lukisan pada kain. Namun sebagian lain, termasuk Syeikh Al-Albani
tetap melarang fotografi.
4. Illat (causa logis) dari larangan tersebut menurut para ulama
sebagaimana dipahami dari hadits-hadits tersebut di atas adalah peniruan
ciptaan Allah dan As-Sabuni menambahkan karena adanya kaitan dengan
syirik.
Sementara itu dicatat pula bahwa di antara ulama terdapat fatwa yang menetapkan
bahwa hukum gambar berlaku menurut illatnya, yaitu :
a. untuk disembah hukumnya haram,
b. untuk sarana pendidikan hukumnya boleh,
c. untuk perhiasan bila tidak mendatangkan fitnah, mubah;
bila dikhawatirkan membawa maksiat makruh hukumnya:
dan bila membawa kepada syirik haram hukumnya
BATASAN BERKESENIAN
Bila keindahan dan seni merupakan pengakuan akan fitrah manusia, maka seni
dan keindahan adalah bagian dari potensi manusia yang harus dikembangkan untuk
14
mendukung keberhasilan manusia dalam menjalankan tugasnya sebagai hamba Allah
dan khalifah di muka bumi. Oleh karena pegembangan seni dan keindahan harus
berada dalam koridor fitrah dan tidak melanggar ajaran Islam dari segala aspek-
aspeknya. Aspek seni dan keindahan ini juga mencakup proses pembuatannya, cara
dan pihak-pihak yang terlibat dalam menikmatinya, bahan-bahannya atau wujud hasil
karya seni itu sendiri. Berikut ini sebagian yang batasan harus diperhatikan dalam
pengembangan keindahan dan seni.
A. Aspek Aqidah
1. Tidak untuk disembah, membawa kesyirikan. Dalam arti semua hasil karya
seni tidak diperlakukan sebagai sesembahan atau personifikasi dari Allah atau
Tuhan dalam pengertiannya berbagai pandangan agama. Termasuk juga dalam
hal ini, seorang muslim diharamkan membuat karya seni berupa sesembahan
yang dipesan oleh orang non muslim. Demikian pula dalam proses dan cara
menikmatinya tidak mengandung nilai penyembahan kepada selain Allah.
2. Tidak membuat terlena, yaitu bahwa karya seni dibuat tidak untuk melenakan
seseorang dari prioritas yang seharusnya, karena seni dan keindahan adalah
kebutuhan pelengkap. Demikian pula pembuatan karya seni juga tidak dengan
cara-cara yang membuat pekerja seni tersebut terlena dari jatidiri sebagai
manusia maupun tugasnya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya.
3. Tidak membawa simbol kesyirikan, yaitu bahwa karya seni yang indah tidak
membuat identitas kesyirikan, sehingga seorang muslim yang memiliki atau
menikmati karya seni tersebut menjadi kehilangan atau kabur identitas
islamnya sehingga terkesan sebagai orang musyrik.
B. Aspek Syari’ah
1. Tidak mengganggu ibadah, baik dalam arti ibadah umum atau mahdhoh.
Sebagai contoh, karya seni pertunjukan ditampilkan hingga membuat kesulitan
para pekerja seni maupun penikmatnya untuk shalat lima waktu sesuai dengan
waktunya.
2. Tidak dijadikan sebagai bagian dari ibadah mahdhoh, yaitu tidak ada karya
seni yang dijadikan sebagai bagian dari ibadah, misalnya saja seseorang tidak
boleh menjadikan pakaian tertentu untuk pakaian shalatnya, sehingga tidak
mau shalat jika tidak. Tetapi dalam pengertian ibadah muamalah, seorang
15
pekerja seni sebatas kewajaran, dapat saja menjadikan pekerjaanya itu sebagai
ibadah untuk memberi nafkah keluarganya.
C. Aspek Akhlaq
1. Tidak memubadzirkan sesuatu, tidak berlebihan, yaitu bila karya seni tertentu
dibuat atau disajikan dengan biaya yang melampau batas, sementara masih ada
kepentingan lain yang menjadi prioritas untuk dipenuhi. Sebagai contoh,
membuat atau membeli pakaian yang sangat indah dengan harga yang sangat
tidak layak dilakukan jika ada keluarga, saudara atau tetangga yang belum
mampu berpakaian dengan layak.
2. Tidak mengganggu kehidupan umum atau merugikan orang lain, sehingga
dengan karya seni itu orang lan menjadi tergangu kehidupan pribadi maupun
masyarakatnya.
3. Tidak melanggar norma-norma akhlaq, termasuk dalam tata bicara, busana,
gerak gerik dan lain-lain, baik norma yang diatur oleh agama maupun
berdasarkan norma masyarakat setempat.
KESIMPULAN
Ada beberapa kesimpulan yang dapat disampaikan di sini :
1. Bahwa berkesenian untuk keindahan adalah bagian integral dari jati diri
(fitrah) manusia, sehingga seni dan keindahan juga merupakan tolok ukur
dalam menjalankan tugas kehidupan manusia, yaitu sebagai hamba Allah dan
sebagai kahlifah Allah.
2. Islam pada prinsipnya tidak melarang aktifitas kesenian untuk mencapai
keindahan, bahkan memberikan apresiasi, namun harus tetap mengikuti nilai-
nilai ma’ruf yang dikembangkan dan mencegah yang munkar.
3. Beberapa hal yang dilarang dalam aktifitas seni, masih diperdebatkan di antara
ulama, terutama terkait dengan seni rupa patung, gambar dan lukisan,
termasuk foto, tetapi memperhatikan perkembangan jaman, diskusi tersebut
harus dikembangkan secara komprehensif.
Wallaahu a’lam
16
DAFTAR BACAAN
Majlis Tarjih Muhammadiyah,. Keputusan Musyawarah nasional XXIII Tentang
Kebudayaan dan Kesenian Dalam Perspektif Islam, Banda Aceh 5-6 Juli 1995.
Shihab, M. Quraish, DR. Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhui atas Pelbagai
Persoalan Ummat, Mizan, Bandung, Cetakan IV, 1996.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al Qur’an, Al Qur’an dan
Terjemahnya, Lembaga Percetakan Al-Qur’an Raja Fahd, 1418 H.
17