RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

86
UNIVERSITAS INDONESIA RUANG DAN RITUAL KEMATIAN Hubungan Upacara dan Arsitektur Kelompok Etnis Toraja SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Arsitektur ANDI KARINA DEAPATI 0405050045 FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI ARSITEKTUR DEPOK JULI 2009

Transcript of RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

Page 1: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

UNIVERSITAS INDONESIA

RUANG DAN RITUAL KEMATIAN Hubungan Upacara dan Arsitektur Kelompok Etnis Toraja

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Arsitektur

ANDI KARINA DEAPATI

0405050045

FAKULTAS TEKNIK

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR

DEPOK

JULI 2009

Page 2: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

ii

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh:

Nama: Andi Karina Deapati NPM: 0405050045 Program Studi: Arsitektur Judul Skripsi:

RUANG DAN RITUAL KEMATIAN Hubungan Upacara dan Arsitektur Kelompok Etnis Toraja

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Arsitektur pada Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing: Prof. Ir. Gunawan Tjahjono, M. Arch., Ph. D. ( )

Penguji 1: Ir. Sukisno, M. Si. ( )

Penguji 2:

Ir. Siti Handjarinto, M. Sc. ( )

Penguji 3:

Wied Wiwoho Winaktoe, S. T., M. Sc. ( )

Depok, Juli 2009

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 3: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

iii

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Saya menyatakan bahwa sesungguhnya skripsi yang berjudul:

RUANG DAN RITUAL KEMATIAN

Hubungan Upacara dan Arsitektur Kelompok Etnis Toraja

yang dibuat untuk melengkapi sebagian persyaratan menjadi Sarjana Arsitektur

pada program studi S1 Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas

Indonesia, sejauh yang saya ketahui, bukan merupakan tiruan ataupun duplikasi

dari skripsi yang sudah dipublikasikan dan/atau pernah dipakai untuk

mendapatkan gelar kesarjanaan di lingkungan Universitas Indonesia maupun

Perguruan Tinggi instansi manapun, kecuali bagian yang sumber informasinya

dicantumkan sebagaimana mestinya.

Depok, Juni 2009

Penyusun,

Andi Karina Deapati

NPM. 0405050045

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 4: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

iv

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di

bawah ini:

Nama : Andi Karina Deapati

NPM : 0405050045

Departemen : Arsitektur

Fakultas : Teknik

Jenis karya : Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-

Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

RUANG DAN RITUAL KEMATIAN Hubungan Upacara dan Arsitektur Kelompok Etnis Toraja

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti

Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,

mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),

merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama

saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Depok, Juni 2009

Penyusun,

Andi Karina Deapati

NPM. 0405050045

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 5: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

v

U C A P A N T E R I M A K A S I H

Pertama-tama saya bersyukur pada Allah swt. yang telah mencurahkan

kasih dan sayang-Nya yang sangat spesial pada saya. Atas seizin-Nya, saya boleh

mengalami kegagalan dalam mata kuliah Fisika Dasar di tahun pertama sehingga

harus mengulangnya bersamaan dengan penulisan karya ini. Dalam kondisi

demikian, sungguh sulit mengoordinasikan waktu, pikiran, dan tenaga yang juga

masih harus terbagi untuk tiga mata kuliah lain.

Alhamdulillah saya akhirnya dapat menyelesaikan pertempuran lahir batin

dalam penulisan karya ini. Seperti kata orang bijak bahwa pernyataan kalah dan

menang dapat terlihat dari orang yang lebih mensyukuri hasil akhirnya terhadap

seluruh hal yang telah diusahakan dalam pencapaian tersebut. Meskipun untuk

berjalan menuju garis akhir saya masih harus ditopang air mata putus asa, namun

semoga saya termasuk dalam golongan manusia yang selalu bersyukur.

Untuk segala sesuatu dan hasil akhir yang sudah saya capai,

perkenankalah pernyataan terima kasih ini saya sampaikan kepada:

- Ibu Yulia Nurliani Lukito yang telah merekomendasikan saya pada Bapak

Gunawan Tjahjono dan mau menjadi teman ngobrol di saat-saat terakhir.

- Bapak Gunawan Tjahjono yang begitu luar biasanya telah menjadi idola

saya selama empat tahun perjalanan studi di Departemen Arsitektur UI.

- Para penguji yang telah saya bingungkan dengan tulisan dan presentasi

saya... Maaf juga terima kasih.

- Om Etrudian Tangdilintin yang telah menyodorkan 13 keping CD dan

bersedia saya mintai ‘pertanggungjawabannya’ mengenai ritual upacara

kematian Ne’ Ery. Tanpa penjelasan dan seluruh kepingan itu darinya,

apalah jadinya karya saya ini.

- Keluarga kecilku: Papski, Mamski, dan adinda Emimi. Cupcup muahmuah

dari jauh. Masih adakah yang lebih indah dibanding ketulusan dan

kejujuran bahwa saya sangat mencintai kalian... I LOVE U!

- Dessy Hapsari yang telah saya nobatkan sebagai teman terhebat saya

selama empat tahun terakhir. We’re not alone kok, Des!

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 6: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

vi

- Ikhsan bule yang telah menyumbangkan foto-foto kunjungan dan berbagi

pengalamannya saat ke Toraja di tahun 2006 bersama mas Yori Antar.

- Finianty Raynelda dan Fransisca Duma, teman-teman SMA yang telah

berbagi kisah mengenai kehidupan etnis Toraja.

- Seluruh keluarga besar yang tak hentinya meneror saya dengan pertanyaan

“kapan lulus?”. Well, pertanyaan mereka terjawab sudah. Thanks!

- Teman-teman Arsitektur UI 2005 yang peduli, biasa saja, ataupun tak

peduli pada saya, pokoknya terima kasih.

- Niken dan Yunita, sesama kawan kencan skripsi. What a moment!

- Fiqi dan Icha 2004, kakak asuh yang antara ada dan tiada telah

membimbing saya hingga kelulusannya. Bagaimanapun juga terima kasih.

- Sandra 2006, Galih 2007, Tria, Dilla, dan Joan 2008. Adik-adik asuhku,

perjalanan kalian masih panjang. Salam sayang selalu!

- Fresti, Ajoe, Ayu, Masyi, Mia, Siwi, Dita, Citra, Likur, Banchay, Tia,

Cindy dan semua ‘teman main’ di Arsitektur UI yang bersama-sama

menghadapi beratnya kehidupan di departemen dengan nyantai dan enjoy.

- Para penjaga perpustakaan di Departemen Arsitektur UI, perpustakaan FT-

UI, perpustakaan UI, perpustakaan FIB-UI, dan perpustakaan daerah

Sulawesi Selatan. Thanks for the good service.

- Teman-teman Metalurgi 2005 yang telah memperlakukan saya dengan

sangat baik seolah saya bagian dari mereka. Spesial untuk Nurma, Uddin,

Ihsan, Abang, dan Aci yang mau mendengarkan cerita-cerita saya di

kosannya. Terima kasih untuk kalian.

- Teman-teman SALAM UI, terlebih pada tim Koran Kampus yang telah

memberi saya kesibukan lain di tengah terpaan badai skripsi.

- Herry ‘Bodoh’ Suheryadi sahabat yang telah bersedia menjadi

penumpahan total rasa senang dan sedih saya selama penyusunan karya

ini. Kita ga boleh jadi orang bodoh ya, Bodohku!

- Budi Lesmana, my beibi yang bukan kekasih saya. Foto-fotomu sungguh

telah dengan sangat sempurna menjadi semangat bagiku, Bu... Kamu tak

bisa bayangkan rasanya jadi diriku...

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 7: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

vii

- Aldfi Trieska yang telah membuali saya sepenuh hati dan dengan sangat

setia telah menemani dalam penyusunan karya ini. Terima kasih atas

pemakluman terhadap kegilaanku akan Budi, sahabatmu, sahabat kita.

Kelulusan ini untuk kamu, Al...

Lembar demi lembar karya akhirnya terhimpun, dan pada akhirnya atas

jasa baik dan kerendahan hati seluruh pihak yang mungkin namanya tak

tercantum akibat kealpaan saya, terciptalah karya ini... Tanpa pernah melupakan

haturan shalawat pada Rasulullah saw. pun saya ucapkan terima kasih sekali lagi.

Karya saya ini untuk kalian semua.

Salam,

Andi Karina Deapati

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 8: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

viii

D A F T A R I S I

HALAMAN JUDUL.................................................................................................i

LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................ii

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI................................................................iii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH...............................iv

UCAPAN TERIMA KASIH....................................................................................v

DAFTAR ISI.........................................................................................................viii

DAFTAR GAMBAR..............................................................................................x

DAFTAR ISTILAH...............................................................................................xii

ABSTRAK............................................................................................................xiii

1. PENDAHULUAN.......................................................................................1 1.1. Latar Belakang 1 1.2. Perumusan Masalah 1 1.3. Tujuan Penulisan 2 1.4. Batasan Permasalahan 3 1.5. Metode Penulisan 3 1.6. Urutan Penulisan 4

2. DATA KASUS............................................................................................6 2.1. Lokasi 6 2.2. Pola Perkampungan 7 2.3. Nama Wilayah 8 2.4. Sejarah Penduduk 8 2.5. Kepercayaan Penduduk 9 2.6. Upacara Kematian 10

2.6.1. Hari 1 2.6.2. Hari 2 2.6.3. Hari 3

3. PERBANDINGAN TEORI.....................................................................23 3.1. Agama sebagai Dasar Kehidupan 23

3.1.1. Agama dan kepercayaan 3.1.2. Korelasi budaya 3.1.3. Kosmologi

3.2. Ritual sebagai Simbol Agama 32

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 9: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

ix

3.2.1. Daur hidup 3.2.2. Mitos dan ritual

3.3. Simbol Ritual Keagamaan 39 3.3.1. Simbol-simbol alam 3.3.2. Makna warna 3.3.3. Makna angka 3.3.4. Waktu dan lokasi sakral 3.3.5. Musik dan tari 3.3.6. Roh dan jiwa

3.4. Ritual dan Arsitektur 55 4. KESIMPULAN.........................................................................................56

DAFTAR REFERENSI 58

LAMPIRAN 60

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 10: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

x

D A F T A R G A M B A R

Gambar 2.1. Wilayah Tana Toraja 7

Gambar 2.2. Situasi lapangan pelaksanaan ritual upacara kematian di hari pertama 12

Gambar 2.3. Situasi lapangan pelaksanaan ritual upacara kematian di hari kedua 16

Gambar 2.4. Situasi lapangan pelaksanaan ritual upacara kematian di hari ketiga 21

Gambar 3.1. Pola perkampungan adat sederhana kelompok etnis Toraja 25

Gambar 3.2. Pembagian bilik lantang 28

Gambar 3.3. Empat pembagian kosmos dalam bangunan kelompok etnis Toraja 29

Gambar 3.4. Empat pembagian kosmos dalam alang 30

Gambar 3.5. Nilai mikrokosmos tanah ditiadakan dalam bangunan rumah adat 31

Gambar 3.6. Nilai mikrokosmos langit pada ‘rumah jenazah’ kelompok etnis Toraja 31

Gambar 3.7. Daur hidup umum manusia 34

Gambar 3.8. Empat aturan adat kelompok etnis Toraja 36

Gambar 3.9. Daur hidup arwah kelompok etnis Toraja 37

Gambar 3.10. Hubungan beberapa konsep hidup kelompok etnis Toraja 37

Gambar 3.11. Pentagram 40

Gambar 3.12. Ornamen dekorasi plafon pada lantang 41

Gambar 3.13. Kesatuan pelaksanaan Alluk Todolo dan agama Kristen yang dianut Ne’ Ery terukir pada peti jenazahnya 41

Gambar 3.14. Simbol Toraja terukir melalui gambar matahari sebagai pusat sinar bagi bulan 42

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 11: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

xi

Gambar 3.15. Lokasi pelaksanaan ritual 46

Gambar 3.16. Urutan arak-arakan saat ritual ma’palao 47

Gambar 3.17. Arah pergerakan saat arak-arakan 48

Gambar 3.18. Urutan pergerakan pada ritual ma’palao 48

Gambar 3.19. Simbuang batu di Desa Parinding 49

Gambar 3.20. Susunan bentuk dan arah gerakan para penari dalam

ritual upacara kematian 50

Gambar 3.21. Harmonisasi gerakan pada seluruh tubuh 50

Gambar 3.22. Orientasi pergerakan tubuh manusia 51

Tabel 3.1. Perbandingan unsur-unsur pembentuk arsitektur 55 dan pentas drama

Gambar 4.1. Simpulan hubungan sebab-akibat ritual dan arsitektur 57

Lampiran gambar video upacara kematian Bite’ Paresa (almh.) 58

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 12: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

xii

D A F T A R I S T I L A H

Alang : lumbung makanan

Alluk Todolo : agama/kepercayaan kelompok etnis Toraja yang menjalankan pemujaan terhadap arwah leluhur

Deata : dewa

Duba-duba : usungan jenazah yang menyerupai tongkonan yang digunakan saat pengarakan jenazah

Lakkiang : rumah jenazah dalam ritual kematian

Lamba- lamba : kain merah panjang yang diusung para wanita dari pihak jenazah saat penyelenggaraan ritual kematian

Lantang : rumah sementara yang terbuat dari bambu sebagi tempat tinggal bagi tetamu yang hadir pada penyelenggaran ritual kematian

Puang Matua : Tuhan

Simbuang batu : batu-batu peninggalan zaman megalith yang digunakan untuk mengikat kerbau-kerbau persembahan dalam penyelanggaraaan ritual kematian

Sumange’ : arwah

Tomembali Puang : arwah leluhur

Tompi saratu : umbul-umbul/bendera hitam yang dibawa saat pengarakan jenazah

Tongkonan : rumah kelompok etnis Toraja yang berfungsi adat.

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 13: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

ABSTRAK

Nama : Andi Karina Deapati Program Studi : Arsitektur Judul :

RUANG DAN RITUAL KEMATIAN Hubungan Upacara dan Arsitektur Kelompok Etnis Toraja

Upacara kematian yang masih ditradisikan, salah satunya dijalankan sebagian masyarakat Toraja yang menganut animisme Alluk Todolo. Dalam tiap peringatan rangkaian kehidupan manusia termasuk upacara kematian, ungkapan makna yang berperan penting adalah ungkapan keruangan. Pelaksanaan ritual upacara kematian yang dilaksanakan melalui simbol-simbol keagamaan membentuk ruang yang memiliki karakter supranatural yang sangat kuat. Sifat, makna, karakter psikis dan/atau bahkan supranatural dari ruang seperti itu terasa jauh lebih kuat dibanding sifat, makna, ataupun karakter fisiknya. Para pelaku ritual, seluruh kerabat yang hadir, dan makhluk bernyawa lainnya menjadi unsur penting yang memaknai pembentukan ruang-ruang berkarakter supranatural untuk mengantar arwah menuju alam kehidupan berikutnya. Makna tersebutlah yang saya sebut sebagai arsitektur. Kata kunci: Ritual, kematian, agama, arsitektur.

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 14: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

ABSTRACT

Name : Andi Karina Deapati Study Program: Architecture Title :

SPACE AND DEATH RITE

Relation of Ceremony and Torajans’ Architecture

Death ceremony that has still been run by some of the Torajans, that embrace the animism Alluk Todolo. In every human’s rites of passage including death ceremony, expression of meaning that playing important role is spatial expression. Death ceremony that is executed by religious symbols forming space that has a strong supranatural characteristic. That characteristic, meaning, psychical character and/or even supranatural from such space is felt much more than characteristic, meaning, or its physical character. The ritual performer, the relatives, and other animate creatures become the important elements that explain the forming of space with supranatural character to carry the spirit to its next life nature. That’s the meaning that I conceive as architecture. Keyword: Ritual, death, religion, architecture.

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 15: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Permasalahan

Tak dapat dipungkiri bahwa dalam hidupnya, manusia melakukan

berbagai macam kegiatan untuk memenuhi dorongan-dorongan kebutuhannya

yang bersumber pada jasmani, kehidupan sosial, dan kejiwaannya. Berbagai

sumber daya dipersaingkan dalam kehidupannya demi pemenuhan tersebut,

seperti dalam hal penguasaan, pendistribusian, serta penggunaannya. Usaha-usaha

yang dilakukan merupakan suatu proses, bahkan merupakan serangkaian proses

yang berlanjut dalam kehidupannya, seperti pula lahir, hidup, dan mati. Saya

katakan demikian karena proses-proses tersebut tidak saling bertentangan.

Meskipun terdapat berbagai konsep pemikiran manusia mengenai lahir-hidup-

mati, bahkan ada yang berpendapat mengenai rangkaian yang lebih panjang (lahir-

hidup-mati- lahir lagi-dan seterusnya) namun intinya bahwa lahir, hidup, dan mati

itu berbeda.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan manusia selama hidup tentu tak terlepas

dari ruang-ruang di sekelilingnya. Ruang-ruang tersebut ada yang dibiarkan tetap

pada keadaannya, ruang-ruang lain terbentuk oleh berbagai peristiwa yang dialami

manusia dan ada pula yang memang sengaja dibentuk melalui konsep-konsep

hidup manusia yang diwujudkan dalam kegiatannya. Segala peristiwa yang

memicu perkembangan konsepsi manusia untuk menanggapinya dalam bentuk

apapun kemudian disadari atau tidak akan melahirkan arsitektur.

1.2. Perumusan Masalah

Dalam pandangan kosmogoni Indonesia yang berlatar belakang animisme,

masyarakat memahami bahwa kehidupan manusia terus berlanjut. Kehidupan

setelah mati dianggap berlangsung ke tahap yang lebih tinggi, hingga pada satu

penjelmaan yang mendekati suatu kehidupan suci (alam abadi setelah mati).

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 16: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

Melalui peringatan-peringatan itu, peristiwa-peristiwa dalam rangkaian kehidupan

manusia dapat dialihkan ke tahap berikutnya.

Fungsi kegiatan memperingati atau sebut saja sebagai upacara dapat

mempersatukan berbagai perbedaan sistem kehidupan dalam suatu cara yang

dihubungkan dengan simbol-simbol. Upacara tersebut dengan segala

perlengkapannya secara tak langsung juga senantiasa mewujudkan emosi

spiritual yang menjadi perhatian anggota masyarakat secara umum. Selain

itu, penyelenggaraan kegiatan serupa juga dapat mewariskan sosialisasi nilai-nilai

dalam suatu sistem kepercayaan.

Sosialisasi memang dapat ditempuh melalui berbagai cara, tapi upacara

melalui berbagai simbol terkait adalah suatu cara yang dapat mempercepat

terjadinya sosialisasi. Hal tersebut dapat dibenarkan karena upacara tentu tidak

hanya menampilkan materi dan tahap-tahap penyelenggaraannya, melainkan juga

mengandung ungkapan-ungkapan bermakna yang mendorong terjadinya

kekukuhan nilai-nilai yang mengikat anggota masyarakat. Salah satu ungkapan

makna yang pasti selalu ditampilkan dan berperan penting dalam tiap peringatan

rangkaian kehidupan manusia adalah ungkapan keruangan.

Ruang dan manusia memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan.

Selama manusia hidup dan berkegiatan, selama itu pula ruang kegiatannya dapat

dimaknai. Makna tersebutlah yang saya maksudkan sebagai arsitektur. Namun

seperti apakah arsitektur yang dihasilkan oleh manusia berjiwa terhadap manusia

yang tak lagi berjiwa? Berdasar pernyataan sebelumnya bahwa upacara kematian

merupakan suatu peringatan atas pengantaran manusia menuju tingkat kehidupan

sucinya, maka seberapa perlukah hal tersebut dilaksanakan mengingat bahwa

manusia yang diupacarakan pun tak dapat lagi merasakan ruang?

1.3. Tujuan Penulisan

Upacara kematian yang masih ditradisikan hingga kini, salah satunya

dijalankan oleh sebagian masyarakat Toraja, Sulawesi Selatan, yang menganut

animisme Alluk Todolo. Sehubungan dengan uraian sebelumnya, maka secara

umum karya saya nantinya bertujuan untuk menggali dan mengungkapkan

berbagai unsur yang berperan dalam ritual upacara kematian tersebut (urutan

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 17: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

3

Universitas Indonesia

upacara, ruang untuk jenazah, serta tarian dan lagu yang dibawakan saat ritual

berlangsung) sebagai unsur-unsur pembentuk arsitektur.

Selain itu, saya juga berusaha mengangkat norma-norma sosial dan nilai-

nilai budaya sebagai suatu pemeliharaan warisan budaya bangsa. Bagaimanapun,

lahirnya suatu kebudayaan modern yang selaras dengan tingkat peradaban

kelompok etnis manapun di Indonesia pasti tak lepas dari pengaruh arsitekturnya.

1.4. Batasan Permasalahan

Karya ini memilih bahasan mengenai bentukan-bentukan ruang yang

terjadi dalam ritual upacara kematian kelompok etnis Toraja sebagai topik utama.

Cakupan masalahnya termasuk mengenai hubungan ruang-ruang tersebut

(termasuk ornamen-ornamen yang terkait) dengan latar belakang geografis, sosial,

dan budaya kelompok etnis Toraja, pandangan kosmologi, hingga konsep daur

hidup mereka.

Lokasi pelaksanaan ritual berada di Desa Tallunglipu, Tana Toraja. Alasan

pemilihan wilayah Tana Toraja terutama didasarkan atas keinginan untuk

memelihara sekaligus mengenalkan budaya lokal Sulawesi Selatan yang juga

sedang gencar dilakukan pemerintah daerah, terkait bahwa objek wisata yang

dimaksud adalah ritual upacara kematian yang hanya dilaksanakan pada musim

liburan (Juli-September atau Desember-Februari). Sedangkan Desa Tallunglipu

‘dipilih’ karena terbatasnya data yang dapat saya peroleh dalam rentang waktu

yang selama itu tidak ada pelaksanaan ritual upacara kematian di Tana Toraja,

sehingga akhirnya menggunakan data tahun 2006.

1.5. Metode Penulisan

Penulisan karya ini menggunakan metode pengungkapan terbalik, yaitu

dengan mempelajari dan mengungkap kasus terlebih dahulu. Dengan demikian,

dibutuhkan kajian fenomenologis untuk menghasilkan analisis yang akan

digunakan sebagai perbandingan atas teori-teori yang telah ada. Metode ini saya

rasa lebih tepat untuk digunakan pada kasus-kasus yang berkaitan dengan

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 18: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

4

Universitas Indonesia

ethnicity ataupun kasus-kasus ‘primitif’ yang memang membutuhkan pemikiran

dasar yang juga ‘primitif’.

Adapun untuk menganalisis data yang termuat dalam video rekaman

sebanyak 13 keping CD berdurasi total sekitar 13 jam (setelah diedit) tentang

seluruh proses pelaksanaan ritual upacara kematian kelompok etnis Toraja, saya

melakukan wawancara dengan pihak yang langsung merekam peristiwa tersebut

yang memang berasal dari dareah itu. Untuk mendukung analisis, saya juga

mewawancara dua orang teman yang berasal dari kelompok etnis yang sama, serta

seorang lulusan Arsitektur FT-UI yang telah dua kali berkunjung ke

Toraja untuk keperluan studi. Data yang terkumpul pun lebih bersifat kualitatif

karena hal yang ingin saya ungkap adalah budaya yang menghasilkan arsitektur.

Selama proses analisis dan pengumpulan data, saya sesedikit mungkin

berinteraksi dengan buku-buku yang berisi teori-teori pendukung analisa. Sebisa

mungkin proses analisis dilakukan dengan kajian fenomonologis. Begitu pula

dengan sketsa dan gambar-gambar pendukung, nyaris semuanya berasal hanya

dari tangan saya dan video yang saya amati – hanya gambar-gambar tertentu yang

tidak mungkin saya buat ataupun reka sendiri yang saya ambil dari sumber lain.

Dalam pengerjaannya, kajian kepustakaan dan penyimpulan bahasan masalah

dilakukan setelah analisis. Namun penyajian dalam karya ini menyertakan analisis

bersamaan dengan kajian pustaka agar dapat langsung terlihat

hubungan/perbandingan keduanya.

1.6. Urutan Penulisan

Penulisan karya ini dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu:

BAB I. PENDAHULUAN

Bagian pertama berisi latar belakang permasalahan, perumusan masalah,

tujuan penulisan, batasan permasalahan, metode penulisan, dan urutan

penulisan.

BAB II. DATA KASUS

Pada bagian ini akan dipaparkan data-data yang berhasil terkumpul

melalui hasil wawancara dan rekaman video ritual upacara kematian.

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 19: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

5

Universitas Indonesia

BAB III. PERBANDINGAN TEORI

Kajian-kajian teori mengenai agama, kebudayaan, dan aspek keruangan

akan dibahas pada bagian ini untuk membandingkannya dengan data kasus

yang telah didapatkan sebelumnya sehingga dapat terjalin hubungan-

hubungan yang dapat menjawab permasalahan yang telah disebutkan pada

bagian pendahuluan.

BAB IV. PENUTUP

Pada bagian ini akan diperlihatkan simpulan hubungan-hubungan dari

pembandingan data kasus dengan teori-teori yang telah ada. Bagian ini

juga akan memaparkan beberapa permasalahan yang dialami selama

proses penulisan serta saran-saran yang mungkin akan dibutuhkan oleh

pihak yang ingin meneruskan pembahasan karya ini.

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 20: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

BAB 2

DATA KASUS

Kajian kasus berdasarkan rekaman tentang kematian seorang Nenek

bernama Bite’ Paresa’ (almarhumah, 91 tahun) di Tallunglipu. Pengamatan saya

arahkan ke video rekaman upacara yang direkam pada akhir Sepetember 2006 dan

interview dengan pihak yang merekam peristiwa tersebut. Seluruh foto pada Data

Kasus merupakan video rekaman yang difoto.

2.1. Lokasi

Wilayah permukiman etnis Toraja terletak di antara 1190-1200 Bujur

Timur dan 20-30 Lintang Selatan.1 Daerah inti pemukimannya terletak di Tana

Toraja. Sementara secara administratif, etnis Toraja bermukim di sebagian daerah

Enrekang, sebagian daerah Pinrang, dalam daerah Polmas, Mamuju, dan Luwu.

Wilayah Tana Toraja berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Tengah di sebelah

utara, daerah Enrekang di sebelah selatan, daerah Luwu di sebelah timur, dan

daerah Polmas, Majene, serta Mamuju di sebelah barat.

Wilayah etnis Toraja pada umumnya terletak di sekitar pegunungan

Latimojong dan pegunungan Quarles. Wilayahnya memiliki tinggi rata-rata 150

hingga 2000 meter dari permukaan air laut dengan beberapa sungai yang

mengalirinya, yaitu Sungai Saddang, Sungai Karama, Sungai Rongkong, Sungai

Massuppu, dan Sungai Mamasa.2 Meskipun dialiri begitu banyak sungai, daerah

tersebut sulit memberi kehidupan bagi penduduknya karena kurangnya dataran

rendah untuk persawahan. Keadaan bentuk lahan yang demikian juga

mengakibatkan kampung mereka terpisahkan oleh gunung-gunung dan sungai-

sungai, sehingga menyulitkan komunikasi antar daerah. Hal tersebut menjadi

pendorong bagi penduduk untuk merantau mencari nafkah.

1 Said, Abdul Azis, Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional Toraja dan Perubahan

Aplikasinya pada Desain Modern (Yogyakarta: Ombak, 2004), hlm. 7. 2 Ditjen Kebudayaan, Arsitektur Tradisional Daerah Sulawesi Selatan (Makassar: Proyek

Inventarisasi Kebudayaan Daerah Sulawesi Selatan, 1985/1986), hlm. 76.

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 21: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

7

Universitas Indonesia

Gambar 2.1. Wilayah Tana Toraja Sumber: Pustaka Budaya dan Arsitektur Toraja, Myrtha Soeroto, hlm.33 (telah diedit)

2.2. Pola Perkampungan

Pola perkampungan kelompok etnis Toraja sangat bervariasi karena

letaknya yang berada di daerah bukit-bukit batu berlereng curam. Namun

umumnya perkampungan mereka didirikan di lahan datar yang dekat dengan

sumber air bersih dan/atau tempat bekerja seperti sawah atau kebun.

Batas satu kampung dengan kampung lain pada zaman dulu ditentukan

oleh keadaan alam seperti sungai-sungai dan gunung-gunung. Sedangkan antara

satu rumah dengan rumah lain umumnya tidak memiliki pembatas pekarangan.

Suatu perkampungan adat Toraja terdiri dari tongkonan, alang, kandang

kerbau, kandang babi, pemakaman keluarga, dan perkebunan bambu. Seluruh

komponen tersebut akan sangat berperan dalam proses menuju upcara kematian:

- tongkonan menjadi pusat orientasi dalam penentuan letak seluruh

komponen berperan saat upacara kematian berlangsung,

- alang menjadi tempat penyimpanan seluruh hasil panen,

- kandang kerbau dan kandang babi untuk mengumpulkan dan merawat

kedua jenis hewan tersebut hingga jumlahnya sesuai dengan persyaratan

untuk melaksanakan upacara kematian (juga berfungsi sebagai objek

denda saat terjadi pelanggaran adat),

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 22: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

8

Universitas Indonesia

- pemakaman keluarga untuk menyimpan jenazah hingga seluruh

persyaratan penyelenggaraan upacara kematian terpenuhi, dan

- kebun bambu untuk memelihara bambu-bambu yang akan digunakan

untuk memasak hidangan dan membangun lokasi dalam upacara kematian.

Setelah beberapa dari mereka menjadi pemeluk agama Kristen dan Islam,

maka didirikan tempat-tempat ibadah. Belakangan didirikan pula sekolah, balai

desa, puskesmas, dan pasar sebagai hasil pemerataan pembangunan pedesaan.

Pada umumnya, rumah mereka selalu mengarah ke utara, berhadapan

dengan lumbung yang berderet ke arah selatan. Sementara di antaranya terbentang

jalan memanjang dari arah timur ke barat. Hal tersebut berkaitan dengan

kepercayaan bahwa arah utara merupakan sumber kebahagiaan dan kehidupan.

2.3. Nama Wilayah

Berdasarkan beberapa mitos mengenai asal penamaan daerah Tana Toraja,

bahwa sebelumnya daerah tersebut dinamai Tondok Lepongan Bulan Tana

Matarik Allo yang berarti suatu sistem pemerintahan dan kemasyarakatan sebagai

suatu kesatuan bulat yang disimbolkan dengan bulan dan matahari. Maksudnya,

bahwa negeri tersebut dibentuk atas adat, budaya, dan kepercayaan yang berasal

dari satu sumber, layaknya sinar bulan yang berasal dari pantulan sinar matahari.

Nama Toraja mulai populer setelah adanya hubungan Tondok Lepongan

Bulan Tana Matarik Allo dengan daerah luar. Kata Toraja berasal dari kata To

Riaja dari bahasa Bugis yang berarti “orang di atas” (to = orang, riaja = di atas).

Maksudnya adalah orang yang berdiam di pegunungan. Nama tersebut diberikan

oleh masyarakat Kerajaan Sidenreng yang terletak di arah selatan Tana Toraja.

2.4. Sejarah Penduduk

Dalam mitos kelompok etnis Toraja dapat disimpulkan bahwa leluhur

mereka masuk ke daerah Tana Toraja sekarang dari arah selatan melalui Sungai

Saddang dengan perahu. Derasnya arus sungai mengakibatkan perahu-perahu

mereka harus ditambatkan di pinggir sungai pada sebuah daerah yang saat itu

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 23: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

9

Universitas Indonesia

bernama Bamba Puang (daerah Enrekang). Sementara itu mereka harus tinggal di

perahu-perahu sebelum melanjutkan perjalanannya melalui daratan secara

menyebar ke arah utara. Daerah itu menjadi pusat kebudayaan etnis Toraja pada

zaman dulu.

Menurut penelitian para etnolog pula diperkirakan bahwa nenek moyang

etnis Toraja berasal dari luar daerah yang ditempatinya sekarang, yaitu dari daerah

Annam di kaki pegunungan Himalaya sebelah tenggara3. Karena itulah, maka saat

terdampar di daratan, mereka lalu menuju ke wilayah pegunungan agar tidak sulit

dalam beradaptasi terhadap lingkungan hidupnya.

Sedangkan mitos etnis Bugis mengatakan bahwa leluhur etnis Toraja

berasal dari langit. Dewa yang bernama Tamboro Langi’ datang ke bumi tidak

lain untuk memimpin dan mengajar rakyat. Ia membawa ajaran 7777 yang dalam

bahasa setempat disebut Alluk Pitung Sa’bu Pitung Ratu Pitung Pulo Pitu, atau

disingkat menjadi Alluk Sanda Pitunna (aturan serba tujuh).

Kabarnya kemudian, Tamboro Langi’ bertemu dengan seorang wanita

cantik dari Sungai Saddang yang akhirnya menjadi istrinya. Dari pernikahan ini,

lahirlah Laki Padada yang kemudian menjadi nenek moyang para bangsawan dari

empat etnis di Sulawesi Selatan. Hal ini pula yang kemudian mendasari adanya

persamaan pemahaman falsafah segi empat pada keempat etnis tersebut.

2.5. Kepercayaan Penduduk

Sebelum masuknya agama, baik Kristen maupun Islam, masyarakat Toraja

menganut kepercayaan leluhur, atau yang dikenal sebagai Alluk Todolo (alluk =

aturan, todolo = leluhur). Ajaran tersebut merupakan satu-satunya kepercayaan

masyarakat Toraja saat itu, berisi paham-paham yang dibawa Tamboro Langi’ ke

bumi, yaitu paham 7777 yang berdasarkan asas animisme tua. Empat angka tujuh

memiliki makna kesatuan antara paham serba tujuh dengan falsafah serba empat

yang dimiliki masyarakat Sulawesi Selatan.

3 Hermin Batong, “Sejarah dan Budaya Toraja”, Laporan Penelitian Sejarah dan Nilai

Tradisional Sulawesi Selatan, 1-52 (Makassar: Balai Kajian dan Nilai Tradisional, 2001), hlm. 17.

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 24: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

10

Universitas Indonesia

Ketujuh asas tersebut terdiri dari tiga asas keyakinan (Alluk Tallu Oto’na)

ditambah empat asas tata kehidupan (Alluk Appa Oto’na):

Alluk Tallu Oto’na:

- Percaya dan menyembah Puang Matua sebagai Pencipta alam

- Percaya dan menyembah para Deata sebagai Pemelihara ciptaan-Nya

- Percaya dan memuja Todolo sebagai pengawas serta pemberi berkah pada

manusia turunannya.

Alluk Appa Oto’na:

- Ada’na Daninna Ma’loko, yaitu adat lahir manusia

- Ada’na Tuona Ma’balao, yaitu adat kehidupan manusia

- Ada’na Manombala Ma’lulo Tau, yaitu adat memuja dan memercayai

Puang Matua

- Ada’na Masena Ma’lulo Tau, yaitu adat mati manusia

Sementara angka tujuh lainnya merujuk pada kepercayaan bahwa Puang

Matua menciptakan dunia dan seluruh isinya dalam tujuh hari.

2.6. Upacara Kematian

Upacara membutuhkan waktu total tujuh hari, dengan tiga hari persiapan

upacara, tiga hari rangkaian upacara utama, dan satu hari pembenahan sekaligus

masa beristirahat untuk melanjutkan kembali kehidupan seperti biasa esok

harinya. Namun upacara semacam itu belum tentu dilaksanakan segera setelah

meninggalnya pihak yang dimaksud. Banyak biaya dan perlengkapan yang harus

disiapkan sebelum mengadakan upacara, sehingga jenazah terkait ha rus

‘menunggu’ berbulan-bulan bahkan hingga bertahun-tahun sebelum benar-benar

dinyatakan ‘mati’.

Masyarakat yang menganut paham Aluk Todolo percaya bahwa selama

orang yang meninggal belum diupacarakan, maka ia masih dianggap sakit.

Sebelum upacara dimulai, orang-orang terdekat jenazah harus tetap melakukan

kegiatan sehari-hari seperti sebelum meninggalnya jenazah, misalnya dengan

menyediakan makanan ataupun menemaninya.

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 25: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

11

Universitas Indonesia

Masyarakat Toraja percaya bahwa dalam penciptaan manusia, Sang

Pencipta telah meniupkan sumange’ ke dalam tiap jasad mereka. Sumange’

nantinya akan menentukan jiwa sang jasad dalam hidupnya. Saat jiwa tak lagi

berfungsi dengan baik sebagai pelaku kehidupan, maka jasadnya dianggap sakit.

Demikian yang terjadi pada jasad yang telah meninggal namun belum

diupacarakan, ia hanya dinyatakan sakit keras karena telah ditinggalkan jiwa yang

telah ‘menuntun’nya semasa hidup. Dengan begitu, sumange’ menjadi wajib

diupacarakan sebelum ‘dikembalikan’ pada Penciptanya, serupa tanda terima

kasih atas kehidupan yang telah dibawa sumange’ pada jiwa manusia.

Bagi masyarakat Toraja yang telah menganut agama samawi, jenazah

biasanya dimakamkan dulu sesuai aturan agama. Setelah seluruh perlengkapan

upacara dinyatakan siap, barulah jenazah dikeluarkan dari makamnya untuk

diupacarakan dan dimakamkan kembali.

2.6.1. Hari 1

Massabu Patane

Upacara kematian Toraja selalu

dimulai pada tengah hari, saat

matahari sedang terik. Pada hari

pertama ini, setelah mengeluarkan

peti jenazah dari liang makamnya,

keluarga inti berkumpul di rumah

duka untuk mendoakan jenazah secara agama. Hal ini dimaksudkan agar

Tuhan memberkati keberlangsungan rangkaian upacara kemudian.

Di tempat lain, rante m u l a i

dipersiapkan dan adu kerbau dimulai

di lapangan lain untuk menjaga

kesucian rante dari lumuran darah.

Kerbau yang menang akan ditebas

dengan parang melalui satu kali

tebasan saja. Kerbau sebelumnya ditambatkan pada sebuah batu yang

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 26: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

12

Universitas Indonesia

diberi nama simbuang batu yaitu

batu yang dianggap memiliki sifat

keramat sehingga hanya boleh

diadakan pada peristiwa tertentu saja,

seperti upacara kematian (anggapan

ini sebenarnya hanya merupakan

penerusan dari kepercayaan pada zaman megalith). Namun pada ritual

upacara kematian Ne’ Ery, walaupun penebasan dilakukan di lokasi

keberadaan batu-batu peninggalan zaman megalith, kerbau hanya

ditambatkan pada batang kayu yang ditancapkan ke tanah karena

penggunaan simbuang batu hanya diperuntukkan bagi bangsawan tinggi.

Setelah itu, kerbau tadi dipotong-potong dan dagingnya dibagi-bagikan

kepada masyarakat sekitar lokasi penebasan.

Gambar 2.2. Situasi lapangan pelaksanaan ritual upacara kematian di hari pertama Sumber: pribadi

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 27: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

13

Universitas Indonesia

Ma’palin

Peti jenazah lalu dikeluarkan dari

rumah duka sebagai pertanda akan

segera dimulainya upacara. Setelah

itu, keluarga berdoa kembali agar

terjadi pelepasan roh dari jasad

sehingga upacara dapat segera

dimulai.

Ma’pasa’ tedong

Kemudian terdengarlah suara gong

dari rante. Lalu keluarlah rombongan

manusia yang dipimpin oleh (1) sang

pemukul gong, diikuti (2) 24 kerbau

yang dua di antaranya merupakan

kerbau belang (tedong bonga) yang

dianggap berderajat lebih tinggi

dibanding kerbau hitam yang akan

dijadikan persembahan selama

upacara berlangsung, dan (3) sebaris

wanita pengusung lamba-lamba yang

direntangkan sepanjang barisan.

Sementara itu, pemangku adat telah

siap berdiri di lakkiang, y a i t u

bangunan tertinggi di antara seluruh

bangunan di rante, yang terbuat dari

pohon bambu dengan bentuk

menyerupai tongkonan. Setelah

rombongan kerbau berada di tengah rante pemangku adat memberikan

kata-kata sambutan sebagai tanda dimulainya upacara.

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 28: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

14

Universitas Indonesia

Ma’parokko alang

Peti jenazah lalu dipindahkan dari

‘rumah sakit’nya ke rante, namun

belum diletakkan di rumah jenazah,

melainkan di lantang. Posisi jenazah

dari yang sebelumnya berorientasi

arah t i m u r -barat dengan kaki

menghadap ke arah barat, dirotasi menurut sumbu utara-selatan dengan

kaki di sebelah utara. Hal ini berhubungan dengan kepercayaan

masyarakat Toraja mengenai arah mata angin, bahwa:

- Arah timur merupakan tempat bermukim para Deata.

Kepala jenazah dihadapkan ke arah timur sebagai tanda ‘perpisahan’

atau telah lepas dari kontrol para Deata yang telah menganugerahi

hidupnya selama masih di dunia.

- Arah barat merupakan tempat bermukim To Membali Puang.

Kaki jenazah yang sebelum diupacarakan dihadapkan ke arah barat

menandakan bahwa jiwanya sedang menuju ke alam yang sama

dengan alam yang didiami para pendahulunya.

- Arah utara merupakan tempat bermukim Puang Matua

Sesaat sebelum dimulainya upacara, kaki jenazah dihadapkan ke arah

utara. Hal tersebut menandakan bahwa ia akan segera kembali pada

Penciptanya yaitu Puang Matua.

- Arah selatan dipercaya sebagai tempat persinggahan sumange’

sebelum menjadi Tomembali Puang melalui upacara kematian.

Kepala jenazah yang akan segera diupacarakan dihadapkan ke arah

selatan bermakna bahwa ia akan tidak lagi berhubungan dengan segala

bentuk kehidupan duniawi.

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 29: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

15

Universitas Indonesia

Setelah mengubah posisi jenazah,

para kerabat lalu berkumpul dan

membentuk lingkaran sambil

bergandeng tangan di sebelah timur

rumah jenazah. Tak ada perbedaan

posisi antara pria dan wanita yang

ikut serta dalam proses ini walaupun

mayoritas peserta adalah lelaki, semuanya bernyanyi dengan

menggerakkan tangan ke atas-bawah menurut irama lagu, selaras dengan

kaki yang juga melangkah ke kanan-kiri seperti gerak pendulum, dan

tubuh bagian atas yang digerakkan maju-mundur.

2.6.2. Hari ke-2:

Hari kedua dimulai dengan adu

kerbau. Hari ini kerbau diadu dua kali.

Kerbau yang menang dua kali ditebas

dengan prosesi yang sama seperti hari

sebelumnya, sementara dua kerbau yang

kalah baru diproses sore harinya. Setelah

kerbau pertama dikorbankan, keluarga jenazah berdoa kembali lalu makan

siang di rumah duka untuk memulai upacara di rante.

Persiapan Ma’palao

Setibanya di lokasi upacara, peti

jenazah dipindahkan ke tengah rante

u n t u k d i b u a t k a n duba-duba.

Perlengkapan arak-arakan lainnya,

seperti tompi saratu pun disiapkan.

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 30: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

16

Universitas Indonesia

Setelah semuanya siap, usungan

jenazah diletakkan di tengah rante,

dikelilingi para kerabatnya. Mereka

membentuk lingkaran lalu bernyanyi

dan bergerak sama seperti hari

sebelumnya. Sementara itu,

pemangku adat berdiri di rumah jenazah memberikan kata-kata sambutan

sebagai tanda bahwa upacara segera dimulai.

Ma’palao

Gong dibunyikan, tanda upacara

telah dimulai. Dari arah selatan lalu

keluarlah (1) pembawa gong, disusul

(2) pengusung bendera hitam sebagai

simbol kematian dan pembawa

simbol kehidupan berupa miniatur

rumah adat dan boneka manusia yang masing-masing diikatkan pada

sebuah bambu. Sementara gong terus dibunyikan, (3) barisan enam ekor

kerbau keluar setelah pengusung bendera, diikuti (4) kerabat wanita

berbaju hitam pengusung lamba-lamba.

Gambar 2.3. Situasi lapangan pelaksanaan ritual upacara kematian di hari kedua Sumber: pribadi

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 31: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

17

Universitas Indonesia

Dalam pengarakan terdapat urut-

urutan yang harus dilaksanakan,

yaitu (1) pria pembawa gong, diikuti

dengan (2) tompi saratu, lalu (3)

barisan kerbau disusul dengan (4)

duba-duba dan yang terakhir barulah

(5) lamba-lamba. A r a k -arakan

tersebut bergerak keluar dari rante

melalui gerbang selatan menuju

kuburan batu. Namun mereka hanya

berputar melewatinya, lalu kembali

lagi ke rante. Di sana telah siap dua

ekor kerbau yang akan ditebas.

Sebelumnya, peti jenazah

dikeluarkan dari usungan dan

diangkat ke rumah jenazah. Hal ini

menandakan bahwa roh jenazah

sudah semakin dekat menuju ‘rumah

terakhir’nya karena menurut

kepercayaan Alluk Todolo, bahwa

semakin tinggi posisi jenazah,

semakin dekat ia dengan Sang

Pencipta. Sementara itu, pemangku

adat telah menunggu di atas untuk

memberikan petuah dalam bahasa

setempat.

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 32: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

18

Universitas Indonesia

Lalu keluarlah kerbau-kerbau dan

babi-babi persembahan dari gerbang

utara, dibawa ke tengah rante.

Setelah itu keluar pula rombongan

kerabat yang terbagi menjadi tiga

kelompok. Banyak dari mereka yang

telah lama menetap di luar daerah

Tana Toraja, sehingga peristiwa

seperti upacara kematian menjadi

ajang “pulang kampung”, kembali

berkumpul dan berkenalan dengan

kerabat lainnya. Bagi mereka,

menjaga hubungan baik seperti ini

sangat penting karena mereka merasa bahwa para leluhur masih

mengawasi kehidupan para keturunannya dan menginginkan mereka tetap

berhubungan baik untuk menjaga warisan leluhurnya. Oleh sebab itu, tiap

upacara kematian di Tana Toraja akan dihadiri oleh sangat banyak orang,

apalagi saat si mati berasal dari golongan bangsawan, seperti Ne’ Ery.

Kelompok pertama ialah (1)

pasangan pria-wanita berpakaian

adat, diikuti (2) ibu- ibu yang

menggunakan caping tani, dan (3)

bapak-bapak berpakaian serba hitam

di belakangnya. Selanjutnya ialah

kelompok pasangan (1) pria-wanita

berpakaian adat, diikuti (2) ibu- ibu

dan bapak-bapak berpakaian serba

hitam. Kelompok terakhir

merupakan pasangan pria-wanita

berpakaian adat yang disusul (1)

wanita muda bercaping tani, (2) ibu-

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 33: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

19

Universitas Indonesia

ibu berbaju hitam, dan (3) bapak-bapak. Ada pula rombongan penjamu

tamu yang terdiri dari (1) pasangan pria-wanita berpakaian adat, (2) ibu-

ibu berpakaian jingga yang membawa makanan dengan nampan dan (3)

bapak-bapak yang membawa minuman dalam teko.

Setelah seluruh rombongan menempati lantang masing-masing, para

kerabat dekat kembali berkumpul di tengah rante untuk bernyanyi sambil

membentuk lingkaran dan melakukan gerakan yang sama seperti

sebelumnya. Setelah seluruh prosesi berakhir, dua kerbau yang kalah pada

adu kerbau di pagi hari pun ditebas, dan dagingnya dibagikan pada

rombongan yang berada di lantang.

Malam harinya, seluruh kerabat dari

berbagai penjuru tanah air yang hadir

pada upacara hari kedua menuju ke

gereja untuk melakukan misa sebagai

penutup upacara pada hari itu.

2.6.3. Hari ke-3

Menerima Tamu

Acara dimulai dengan dibunyikannya

gong. Lalu keluarlah (1) kerbau-

kerbau dan babi-babi dari gerbang

selatan, disusul (2) pasangan pria-

wanita berpakaian adat, (3) diikuti

ibu- ibu berpakaian hitam yang

memakai caping tani dan (4) bapak-

bapak di belakangnya. Rombongan

pembuka hari ini merupakan

kelompok keempat dari para tamu

yang tiba sejak hari kedua.

Setelah rombongan keempat

menempati lantang-n y a , p i h a k

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 34: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

20

Universitas Indonesia

keluarga dekat mulai menjamu

mereka dengan berbagai makanan,

minuman, dan rokok. Sementara para

tamu dijamu, ketua adat berbicara

dalam bahasa adat melalui mimbar

yang terletak di arah selatan, dekat

gerbang utama. Kemudian, rombongan kelima yang terdiri dari pasangan

laki- laki dan perempuan keluar dari arah utara menuju lantang-nya.

Selanjutnya, adu kerbau kembali

dimulai. Adu kerbau dilakukan tiga

kali. Tiap kerbau yang menang akan

ditebas dan dagingnya dibagikan

oleh panitia pembagian daging pada

seluruh tamu yang hadir. Daging

diolah untuk makan siang.

Usai makan siang, penjamuan tetap

berlangsung. Kali ini penjamuan

dilakukan terhadap Gubernur

Sulawesi Selatan yang turut

diundang pada upacara kematian Ne’

Ery. Gubernur dan rombongan pun

menempati mimbar selatan dan memberikan kata-kata sambutan.

Dalam rangka penjamuan tamu,

tarian kematian dilaksanakan

sekaligus sebagai hiburan bagi

mereka. Sementara itu, rombongan

tamu terus berdatangan hingga

rombongan ketujuh. Setelah seluruh

rombongan menempati lantang-nya, adu kerbau dimulai kembali.

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 35: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

21

Universitas Indonesia

Seterusnya hingga acara usai, adu kerbau terus dilangsungkan hingga

seluruh kerbau mendapatkan ‘jatah’ aduan. Seluruh sisa kerbau diadu di

lapangan lain untuk kemudian dibawa kembali ke rante untuk ditebas.

Pekikan suara puluhan babi semakin ‘mematikan’ suasana rante.

Ma’kaburu

Dalam suasana rante yang penuh

darah setelah pembantaian kerbau,

seluruh tamu berdoa secara agama,

dipimpin oleh pemuka agama

setempat. Kemudian jenazah

diturunkan dari lakkiang dan ditaruh

kembali di duba-duba karena akan

segera dilakukan foto keluarga.

Anak-anak Ne’ Ery dan masing-

masing keluarganya yang masih

hidup pun secara bergantian berfoto

di sekitar duba-duba almarhumah ibunya. Seolah-olah situasi tersebut

merupakan yang terakhir kalinya mereka bertemu almarhumah Ne’ Ery.

Gambar 2.4. Situasi lapangan pelaksanaan ritual upacara kematian di hari ketiga Sumber: pribadi

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 36: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

22

Universitas Indonesia

Setelah itu, mereka mengelilingi

duba-duba dan menari sebagai tanda

pelepasan roh menuju alam

terakhirnya. Hal ini merupakan

rangkaian upacara terakhir sebelum

jenazah dimasukkan ke dalam peti

dan dimakamkan kembali. Dalam

perjalanan kembali ke makam,

jenazah kembali diarak

menggunakan duba-duba namun tak

d i s e r t a i u r u t -u r u t a n s e p e r t i

pengarakan sebelumnya (hanya

duba-duba dan tompi saratu).

Namun prosesi penguburan tidak

segera dilakukan setelah jenazah tiba

di lokasi pemakaman. Para pengantar

jenazah harus menunggu hingga saat

matahari terbenam untuk

memakamkannya. Selama rentang

waktu tersebut, jenazah kembali

disimpan untuk sementara di ‘rumah

sakit’nya.

(Video rekaman oleh Etrudian Tangdilintin: Tallunglipu, Tana Toraja, 20-23 September 2006)

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 37: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

BAB 3

PERBANDINGAN TEORI

Setelah menyimak rekaman data sebelumnya, kini jelas bahwa ritual

upacara kematian adat etnis Toraja ternyata tidak sesederhana yang terlihat di

lapangan. Banyak makna yang terkandung dalam pelaksanaannya, terutama

mengenai kaitan ritual tersebut dengan kepercayaan Alluk Todolo. Melalui data

yang telah terhimpun, saya mencoba untuk mengungkap makna tersebut dan

pengaruhnya terhadap aspek keruangan yang terdapat di lokasi berdasarkan

perbandingan terhadap teori-teori pendukung, sehingga pertanyaan yang terdapat

di awal tulisan dapat terjawab:

“seperti apakah arsitektur yang dihasilkan oleh manusia berjiwa terhadap manusia

yang tak lagi berjiwa? Berdasar pernyataan sebelumnya bahwa upacara kematian

merupakan suatu peringatan atas pengantaran manusia menuju tingkat kehidupan

sucinya, maka seberapa perlukah hal tersebut dilaksanakan mengingat bahwa

manusia yang diupacarakan pun tak dapat lagi merasakan ruang?”

3.1. Agama sebagai Dasar Kehidupan

Universalitas agama biasanya didasarkan pada aspek-aspek kognitif,

emosional dan sosial bahwa agama merupakan semacam pemikiran mengenai

penunaian kewajiban. Lebih dari itu, Rebecca L. Stein mendefinisikan agama

melalui pernyataan bahwa kehidupan beragama secara umum merupakan suatu

sistem kepercayaan dan perwujudannya melalui perilaku yang didasarkan pada

simbol-simbol, termasuk pelaksanaan berbagai ritual.4

4.1.1. Agama dan kepercayaan

Manusia yang percaya pada agama cenderung berpendapat bahwa agama

memiliki lebih dari sekadar penjelasan-penjelasan sederhana atas berbagai

pertanyaan mereka, seperti bagaimana dunia ini ada hingga apa yang terjadi

4 Rebecca L. Stein, The Anthropology of Religion, Magic, and Witchcraft (Boston: Pearson

Education, 2005), hlm. 18.

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 38: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

24

Universitas Indonesia

setelah kematian mereka. Agama membebaskan kekhawatiran umatnya dalam

menghadapi kematian dan berbagai kesialan dengan penyuguhan banyak makna

serta harapan atas segala kejadian yang menimpa mereka. Agama juga memiliki

sistem moral, termasuk hukuman setelah mati bagi manusia yang melanggar

aturan-aturan agama. Dengan demikian, manusia-manusia beragama a k a n

senantiasa mematuhi simbol-simbol keagamaan, termasuk pelaksanaan ritual.

Dalam Petikan Surat Kartini yang tercatat pada tanggal 21 Juli 1902

disebutkan, “Agama dimaksudkan sebagai berkah untuk menjalin tali

persaudaraan sesama umat...”.5 Melalui kalimat tersebut, berarti sebuah agama

dapat mendukung terjadinya suatu keterpaduan dengan membawa para umatnya

untuk melaksanakan ritual dengan tetap menghargai kepercayaan/agama lain.

Adapun penjelasan agama sebagai animisme (kepercayaan pada arwah)

menurut E. B. Taylor sebagai “An institution consisting of culturally patterned

interactions with culturally postulated superhuman beings”.6 Taylor lebih banyak

membahas mengenai agama masyarakat ‘primitif’ dengan alasan bahwa mereka

merepresentasikan tahap awal evolusi budaya dan akar sejarah agama dari

masyarakat ‘beradab’. Namun ia menyimpulkan bahwa sebenarnya semua agama

memiliki kepercayaan akan hal-hal berbau spiritual. Jika agama ‘beradab’

cenderung lebih percaya pada dewa dan jiwa, agama ‘primitif’ lebih fokus pada

kepercayaan akan hantu dan arwah. Agama ‘primitif’lah yang dinamakannya

sebagai animisme.7

Berdasarkan pemikiran Taylor, dapat dikatakan bahwa agama (‘primitif’

maupun ‘beradab’) adalah suatu sistem kepercayaan dan perwujudannya melalui

perilaku yang terkait dengan hubungan antara manusia dan hal-hal supernatural

yang dianggap suci atau keramat.8 Permasalahannya, walaupun kata supernatural

merujuk pada hal-hal yang ‘lebih dari natural’ yang cenderung berkaitan dengan

5 Myrtha Soeroto, “Dari Arsitektur Tradisional Menuju Arsitektur Indonesia” (Jakarta: Myrtle

Publishing, 2007), hlm. 118, dari Kartini Sebuah Biografi oleh Siti Soemandari Soeroto (Jakarta:

Djambatan,2001). 6 Edward B. Taylor, Primitive Culture: Researches into the Development of Mythology,

Philosophy, Religion, Language, Art, and Custom (London: J. Murray, 1871), hlm. 1. 7 Rebecca L. Stein, op.cit., hlm. 194.

8 Rebecca L. Stein, op.cit., hlm. 19.

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 39: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

25

Universitas Indonesia

tingkatan kepercayaan dalam agama, tidak semua fenomena supernatural dapat

digolongkan sebagai sesuatu yang bersifat keagamaan.

Misalkan dongeng mengenai putri kerajaan yang telah tertidur selama

ribuan tahun yang ‘dibangunkan’ oleh ciuman pangeran tampan. Dongeng

tersebut tentu bersifat supernatural, namun tidak agamis. Untuk memperjelasnya,

sebaiknya definisi agama difokuskan pada kata suci atau keramat saja, yang

akhirnya berujung pada perwujudan kegiatan ritual berdasar aturan agama yang

hanya boleh dilakukan di tempat tertentu pada waktu tertentu.9 Adapun penjelasan

mengenai waktu dan tempat keramat dalam ritual keagamaan akan dibahas pada

poin 3.3.4.

Salah satu animisme yang masih mengakar kuat dan dilaksanakan dalam

masyarakatnya ialah Alluk Todolo di Toraja. Alluk Todolo melalui paham 7777-

nya sangat berperan dalam berbagai bidang kehidupan dan sangat jelas terlihat

andilnya dalam ritual upacara kematian. Hal tersebut dapat terlihat dari pola

perkampungan adat masyarakat Toraja yang semua unsurnya memang

dipersiapkan untuk penyelenggaraan ritual upacara kematian kelak.

Gambar 3.1. Pola perkampungan adat sederhana kelompok etnis Toraja Sumber: pribadi

9 Rebecca L. Stein, op.cit., hlm. 20.

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 40: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

26

Universitas Indonesia

Seolah-olah mereka hidup untuk mati dan mati untuk hidup kembali di

alam berikutnya. Bagi kelompok etnis Toraja, kehidupan mereka memang semata-

mata dari dan demi Puang Matua. Oleh karena itu, saat seseorang meninggal, ia

harus mengorbankan segala yang telah diusahakan selama hidupnya, termasuk

seluruh hartanya. Dengan demikian jelaslah mengapa tiap ritual upacara kematian

di Toraja selalu dilaksanakan dengan megah dan meriah.

3.1.2. Korelasi Budaya

Berdasar penjelasan-penjelasan sebelumnya mengenai agama, maka dapat

disimpulkan bahwa agama tidak terlepas dari dimensi-dimensi kehidupan lainnya.

Agama merupakan pengintegrasian sepenuhnya ke dalam struktur kepercayaan

dan pelaksanaannya. Seperti kemegahan pelaksanaan ritual upacara kematian di

Toraja yang seolah-olah merupakan kebudayaan masyarakat walaupun sebenarnya

berakar dari ajaran agama.

Mengenai agama sebagai sistem budaya, bagi Clifford Geertz merupakan

bagian dari sistem-sistem kebudayaan yang berfungsi untuk menciptakan

keteraturan budaya. Seperti yang dikatakannya, “A religion is a system of symbol

which acts to establish powerful and long-lasting moods and motivations...”10.

Menurutnya, kebudayaan adalah suatu sistem mengenai bermacam

konsepsi yang diwariskan melalui simbol-simbol yang terkait dengan perilaku

manusia terhadap hidupnya. Sementara agama menekankan adanya keteraturan

tertentu yang ingin dicapai dalam kehidupan semesta alam. Dengan demikian,

ajaran-ajaran agama yang dijalankan melalui simbol-simbol tentu dapat diterima

sebagai bagian dari macam-macam konsepsi yang ada dalam kebudayaan.

Namun bukan berarti bahwa agama berada dalam cakupan makna budaya.

Justru sebaliknya, seperti disebutkan Amos Rapoport, “Religion affects the form,

plan, spatial arrengement, and orientation of the house”11 bahwa agama harus

dilihat sebagai pedoman bagi keteraturan hidup, termasuk di dalamnya mengenai

kebudayaan manusia.

10

Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), hlm. 87. 11

Amos Rapoport, House Form and Culture (London: Prentince Hall, 1969), hlm. 41.

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 41: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

27

Universitas Indonesia

3.1.3. Kosmologi

Menurut arti kata, kosmologi adalah ilmu pengetahuan tentang alam

ataupun dunia.12 Maksud dari ‘dunia’ yang dibahas di sini ialah seluruh ‘dunia’

yang dialami manusia, bukan hanya benda-benda mati maupun wujud hidup.

Artinya, hal-hal supernatural (suci/keramat ataupun tidak) yang telah dibahas

sebelumnya pun tercakup dalam bahasan kosmologi. Bagaimanapun, hal-hal

tersebut pasti dialami manusia semasa hidupnya.

Dalam pemahaman kosmologi Indonesia, terdapat integritas yang besar di

antara para penghuni kosmos, seolah-olah seluruh kosmos dirasuki oleh suatu ‘zat

kejiwaan’, daya hidup, atau kesaktian yang membuat para penghuni kosmos

tersebut memiliki sifat suci/keramat.13 Seluruh hal tersebut pun seolah telah

menjadi kebudayaan bangsa. Merujuk pada pernyataan E. B. Taylor mengenai

agama, maka pemahaman kosmologi Indonesia dapat dikategorikan sebagai

paham kosmologi ‘primitif’.

Contohnya pada kelompok etnis Toraja (juga diterapkan oleh tiga

kelompok etnis lain di Sulawesi Selatan), terdapat filosofi segi empat yang

beranggapan bahwa dunia berbentuk segi empat dengan empat arah mata angin

yang memiliki nilai ritual masing-masing.14 Maksudnya, bahwa segala sesuatu di

dunia baru dapat dikatakan sempurna jika sesuatu itu memiliki empat sisi, seperti

seluruh bangunan yang berbentuk segi empat dalam upacara kematian, selain

rante yang juga dibentuk bersegi empat oleh batas-batasnya. Demikian pula

berlaku dalam pemilihan pemimpin masyarakat yang harus memenuhi empat

persyaratan, yaitu bangsawan, cerdas, kaya, dan berani.

Masyarakat Toraja juga percaya bahwa arah mata angin yang empat

(Utara-Selatan-Timur-Barat) memiliki makna masing-masing, yang sangat

berpengaruh pada aspek keruangan mereka:

12

Anton Bakker, Kosmologi dan Ekologi: Filsafat tentang Kosmos sebagai Rumah Tangga

Manusia (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 27. 13

Anton Bakker, op.cit., hlm. 42. 14

Sahriah, dkk., Upacara Tradisional (Upacara Kematian) Daerah Sulawesi Selatan (Ujung Pandang: Proyek Penelitian, Pengkajian, dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Sulawesi Selatan,

1992-1993), hlm. 27.

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 42: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

28

Universitas Indonesia

- Arah utara dipercaya selalu mendatangkan kebahagiaan karena dihuni

oleh Puang Matua. Oleh karena itu, tongkonan selalu menghadap ke

arah utara dan menjadi pusat orientasi dalam peletakan bangunan-

bangunan adat lainnya.

- Arah selatan dipercaya sebagai tempat untuk membuang hal-hal tak

berjiwa karena dihuni oleh sumange’ yang belum diupacarakan. Oleh

karena itu, alang diletakkan menghadap ke arah selatan, berpasangan

dengan tongkonan.

- Arah timur diyakini sebagai sumber kehidupan layaknya matahari

yang terbit dari timur karena para Deata menghuni wilayah tersebut.

Oleh karena itu segala ritual suka cita selalu dilaksanakan di bagian

timur tongkonan.

- Arah barat merupakan oposisi dari arah timur dan menjadi tempat

pelaksanaan upacara kematian karena di baratlah para Tomembali

Puang berdiam, seperti juga terbenamnya matahari.

Gambar 3.2. Pembagian bilik lantang Sumber: pribadi

U

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 43: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

29

Universitas Indonesia

Terlihat pula dari ilustrasi di atas bahwa terdapat pembedaan penempatan

posisi pria dan wanita dalam lantang. Wanita ditempatkan di bagian timur,

sementara pria berada di bagian barat. Hal tersebut dapat diartikan bahwa wanita

sebagai sumber kehidupan karena kemampuannya melahirkan jasad baru dan

memelihara kehidupan diibaratkan seperti matahari yang terbit dari arah timur,

sementara pria diibaratkan sebaliknya, yaitu perusak atau memiliki jiwa yang

cenderung merusak kehidupan.

Pembagian empat lainnya saya percaya juga diterapkan pada bangunan-

bangunan adat Toraja. Pembagian ini pun tak lepas dari pengaruh Alluk Todolo

mengenai aturan adat yang empat, yaitu:

- Adat lahir, yang diasosiasikan dengan aspek tanah, yaitu bagian kaki

bangunan.

- Adat hidup, yang diasosiasikan dengan aspek bumi bawah, yaitu

bagian bawah badan bangunan.

- Adat memuja dan percaya pada Puang Matua, yang diasosiasikan

dengan aspek bumi atas, yaitu bagian atas badan bangunan.

- Adat mati, yang diasosiasikan dengan aspek langit, yaitu kepala

bangunan.

Gambar 3.3. Empat pembagian kosmos dalam bangunan kelompok etnis Toraja Sumber: pribadi

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 44: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

30

Universitas Indonesia

Dengan tinggi bangunan rata-rata sekitar tujuh meter yang proporsinya

secara kasar tercantum, pembagian empat tersebut terdapat pada seluruh bangunan

adat Toraja, walaupun dengan proporsi yang berbeda-beda. Proporsi yang tampak

pada gambar di atas merupakan proporsi yang terdapat pada alang yang menjadi

semacam prototype karena tidak dihuni oleh manusia. Berikut perbandingan

antar-bangunan adat Toraja:

- Alang

Menjadi semacam acuan

perbandingan bagi bangunan-

bangunan adat Toraja lainnya

k a r e n a u n s u r -unsur

mikrokosmos yang lengkap

terdapat pada bangunan ini.

Kaki bangunan (kolong)

diasosiasikan dengan adat lahir,

mendapat bagian paling sedikit

dari seluruh bangunan karena

masyarakat Toraja memang tidak

banyak menyinggung mengenai adat lahir. Bagian bumi bawah sebagai

tempat berkumpul warga untuk menjalankan adat hidup. Bagian bumi atas

merupakan simbol dari adat pemujaan dan kepercayaan pada Puang

Matua, difungsikan untuk menyimpan hasil panen. Sedangkan bagian

langit menyimbolkan adat mati dan tidak difungsikan untuk apapun

kecuali sebagai atap bangunan.

- Tongkonan

Merupakan pusat orientasi bagi bangunan-bangunan adat Toraja lainnya.

Gambar 3.4. Empat pembagian kosmos

dalam alang

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 45: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

31

Universitas Indonesia

Unsur tanah telah ditiadakan

dalam bangunan ini, dengan

maksud bahwa adat lahir telah

terlewati. Unsur tersisa adalah

bumi bawah yang difungsikan

menjadi kandang babi atau

kerbau, sebagai pelaksanaan dari

adat hidup, bahwa kehidupan tak

hanya milik manusia. Unsur

bumi atas sebagai tempat

b e r l i n d u n g s e h a r i -hari,

merupakan penerapan dari adat

pemujaan dan kepercayaan pada

Puang Matua karena memang hanya manusia yang diberikan hak untuk

itu. Sementara bagian atap tetap menjadi simbol akan adat mati dan tidak

dihuni manusia.

- Lakkiang

‘Rumah jenazah’ ini seolah-olah

menjadi bangunan tertinggi dari

seluruh bangunan adat Toraja

lainnya karena perbandingan

proporsi kepala-badan-kakinya

seolah didominasi oleh bagian

kaki dan kepala. Walaupun

perbandingan proporsi badan dan

kepala sama, namun karena

bagian badan yang terbuka atau

hanya tertutup setengah,

sehingga seolah terlihat hanya ada kaki dan kepala bangunan.

Gambar 3.5. Nilai mikrokosmos tanah

ditiadakan dalam bangunan rumah adat

Gambar 3.6. Hanya tersisa nilai

mikrokosmos langit pada ‘rumah jenazah’

etnis Toraja

Sumber: pribadi

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 46: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

32

Universitas Indonesia

Maksud dari perbandingan itu sendiri sebenarnya adalah karena lakkiang

ditujukan memang bukan untuk manusia hidup, sehingga terlihat seperti

sangat menjunjung adat mati. Tapi bagian kaki bangunan tidak berati

dapat langsung dimaknakan sebagai simbol dari adat lahir karena pada

bangunan manusia hidup pun (tongkonan) bagian adat lahir telah

ditiadakan. Jika pun benar demikian, adat lahir hanya sebatas pembanding

akan adat mati, bukan dimaknakan sebagai unsur tanah karena kaki

bangunan pada lakkiang semata-mata hanya untuk mengangkat bangunan

ini agar terlihat tinggi.

Masyarakat Toraja percaya bahwa semakin tinggi ‘rumah jenazah’ akan

semakin memudahkan sumange’ dari jenazah tersebut terlepas dari

jasadnya, sehingga akan semakin cepat pula ia kembali pada Puang Matua

sebagai Tomembali Puang. Maka dari itu, penguburan jenazah pun

dilakukan di gunung oleh beberapa masyarakat Toraja yang masih

menganut Alluk Todolo.

Namun mikrokosmos bangunan kelompok etnis Toraja tidak hanya dibagi

berdasar alluk appa oto’na melainkan juga alluk tallu oto’na, yaitu:

- Percaya dan menyembah Puang Matua sebagai Pencipta alam,

disimbolkan oleh bagian kepala bangunan (atap).

- Percaya dan menyembah para Deata sebagai Pemelihara ciptaan-Nya,

disimbolkan oleh bagian badan bangunan.

- Percaya dan memuja Todolo sebagai pengawas serta pemberi berkah

pada manusia turunannya, disimbolkan oleh bagian kaki bangunan.

Tiap unsur mikrokosmos pasti selalu ada di tiap bangunan.

3.2. Ritual sebagai Simbol Agama

Ritual dapat dikatakan sebagai urutan kejadian yang berulang.15 Misalnya,

‘ritual pagi hari’ setelah jam weker berdering, Anda spontan melompat dari

tempat tidur dan mematikan dering jam, lalu menuju kamar mandi untuk mandi

menyikat gigi, dan sebagainya yang berulang dengan urutan yang nyaris sama

15

Rebecca L. Stein, op.cit., hlm. 83.

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 47: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

33

Universitas Indonesia

setiap hari. Namun saat kegiatan ritual telah melibatkan simbol-simbol keagamaan

seperti doa, persembahan, ataupun mantra, kegiatan tersebut dapat digolongkan

dalam ritual keagamaan.

3.2.1. Daur hidup

Sebuah masyarakat terdiri dari sejumlah individu yang saling terikat dan

berinteraksi dalam bermacam cara. Masing-masing individu tersebut tentu

memiliki peran yang berbeda, misal sebagai ibu, ayah, guru, satpam, atau apa saja.

Tiap orang tentu bisa memiliki lebih dari satu peran dalam hidupnya.

Saat seseorang berganti peran dalam lingkungannya, misalnya dari remaja

menjadi dewasa, menikah, bekerja, atau apapun, maka hubungan sosialnya pun

berubah. Perubahan demikian memungkinkan seseorang turut mengubah cara

berpakaian bahkan hingga perilakunya sehari-hari, sehingga perubahan-perubahan

tersebut terkadang harus ditandai dengan suatu ‘peringatan’ khusus.

Seperti yang dikatakan Arnold van Gennep, “...a series of passage from

one age to another and from one occupation to another.”16 Peringatan tersebut

dapat digolongkan sebagai ritual karena terjadi dalam urutan tertentu secara

berulang (tiap terjadi perubahan status atau peran).

Dalam rentang waktu dan dengan urutan tertentu, peran seseorang dapat

berubah. Pelaksanaan ritual untuk memperingatinya atau sebut saja sebagai

upacara dimaksudkan sebagai simbol perubahannya, agar sekaligus dapat diterima

oleh orang-orang di sekitarnya.17

Contohnya, mengacu pada gambar 3.7, daur hidup manusia selalu dimulai

dengan kelahiran. Saat jiwa baru terlahir, hampir selalu dipastikan adanya

penyelenggaraan ritual upacara kelahiran untuk menyambutnya. Hal tersebut

dilakukan karena adanya harapan agar pengadaan ritual dapat menjadi penjamin

keselamatan dan kebaikan bagi jiwa baru. Melalui ritual kelahiran juga, sang jiwa

ditandai menjadi bagian dari masyarakat. Bentuk ritualnya pun bermacam-macam

pada tiap kelompok etnis dunia, begitu pula pada daur hidup lainnya.

16

Arnold van Gennep, The Rites of Passage (London: Routledge & Kegan Paul, Ltd., 1960), hlm. 2-3.

17 Rebecca L. Stein, op.cit., hlm. 93.

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 48: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

34

Universitas Indonesia

Gambar 3.7. Daur hidup umum manusia Sumber: Space and Place: The Perspective of Experience,

Yi-Fu Tuan, hlm. 181 (telah diedit)

.

Gambar di atas pun dapat dirujuk terhadap pernyataan Van Gennep, “...the

order from birth until death must often consists of successive stages best

represented in rectilinear form... among certain people it is circular... ”18 bahwa

keyakinan manusia tentang proses yang dilaluinya sejak lahir hingga mati secara

umum dapat digambarkan sebagai garis lurus (lahir-hidup-mati) ataupun garis

yang membentuk lingkaran (lahir-hidup-mati- lahir-hidup lagi-dan seterusnya)

seperti konsep daur hidup kelompok etnis Toraja.

Makna kehidupan sendiri dalam bahasa Inggris ialah “(1) property or

quality of plants and animals that distinguishes them from inorganic matter or

dead organism, (2) the cellular biochemical activity or processes of an organism,

(3) characterized by the ingestion of nutrients, (4) the storage and use of energy,

(5) the excretion of wastes growth, etc.”19 atau diartikan dalam bahasa Indonesia

sebagai (1) sesuatu yang dimiliki secara fisik ataupun sifat-sifat dari hewan dan

tumbuhan yang membedakannya dari benda-benda mati, (2) aktivitas biokima sel-

se l (apapun) atau proses-proses yang terjadi dalam tubuh organisme, (3)

pembentukan (sel-sel) oleh asupan berbagi nutrisi, (4) pemasukan dan

penggunaan energi, (5) pembuangan sisa-sisa pertumbuhan, dan sebagainya.

18

Arnold van Gennep, op.cit., hlm. 194. 19

Victoria Neufeldt (editor), Webster’s New World Dictionary of American English, 3rd

College Edition (New York: Simon & Schuster, Inc., 1988).

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 49: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

35

Universitas Indonesia

Sementara kematian berarti “(1) no longer living, (2) naturally without

life, (3) inanimate, (4) lacking positive qualities as of warmth, vitality, interest,

brightness, brilliance, (5) without feeling, motion, or power, etc.”20 atau diartikan

dalam bahasa Indonesia sebagai (1) antonim dari kehidupan, (2) tanpa kehidupan,

(3) tidak bernyawa, (4) ketidakadaan nilai-nilai positif seperti kehangatan,

vitalitas, daya tarik, kecerahan, kecemerlangan, (5) tanpa perasaan, gerakan,

ataupun kekuatan, dan sebagainya.

Di antara kehidupan dan kematian tersebut terdapat berbagai perubahan

level kehidupan, baik level vertikal maupun horizontal. Perubahan level

horizontal misalnya saat seseorang pindah rumah dari wilayah A ke wilayah B,

sedangkan perubahan level vertikal terjadi (dalam kasus pindah rumah) saat

rumah baru tersebut lebih mahal atau lebih bagus sehingga secara tidak langsung

juga menaikkan status sosial maupun ekonomi sang pemilik rumah di mata

masyarakat sekitarnya. Seperti ‘tanda hitam di atas putih’, ia seolah-olah wajib

mengadakan upacara untuk menyatakan perpindahannya pada para tetangga.

“...the cosmization of unknown territory is always a consecration; to

organize a space is to repeat the paradigmatic work of the gods,” Mircea Eliade.21

Pernyataan Eliade tersebut dapat menjadi penjelasan keagamaan mengenai contoh

kasus di paragraf sebelumnya, bahwa peng-kosmos-an area baru (belum

diketahui) selalu berupa penyucian (area tesebut); menata ruang (mikrokosmos)

sama dengan mengulang apa yang dilakukan para dewa/malaikat (terhadap dunia

sebagai makrokosmos). Demikian pula dilakukan masyarakat Toraja pada

penerapan konsep daur hidup mereka.

Dalam hidupnya, kelompok etnis Toraja memiliki paham yang berbeda

mengenai konsep daur hidup umum yang lebih menyucikan kelahiran/kehidupan.

Hal tersebut berdasarkan pemaknaan ‘pemilik jiwa’ yang berbeda bagi mereka.

Sumange’ (roh) atau ‘pemilik jiwa’ yang dianggap sebagai ‘kematian’ yang

memberi kehidupan adalah penata ketertiban kosmos dalam tubuh manusia

(menyucikan kematian) sehingga pelaksanaan ritual upacara kelahiran ataupun

20

Victoria Neufeldt (editor), op.cit. 21

Mircea Eliade The Sacred and the Profane (New York: Harcourt, Brace, and World, Inc.,

1959), hlm. 32.

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 50: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

36

Universitas Indonesia

upacara lainnya tidak dilaksanakan sebesar upacara kematian. Selain mengacu

pada kata death dalam kamus besar bahasa Inggris Webster, ada pun pengertian

kata mati menurut Alluk Todolo ialah perpindahan tempat dan status dari lino

(alam jiwa) ke puya (alam arwah).22 Tentunya pengertian yang dimaksud tidak

seringkas itu. Perpindahan hidup yang dipahami kelompok etnis Toraja juga akan

disertai dengan perpindahan hal-hal yang telah dan akan tetap mendukung

kehidupan sumange’ di alam berikutnya. Kesuksesan perpindahan alam tersebut

tentu harus terjamin dengan hal-hal yang dapat mendukung perjalanan sumange’

hingga mencapai tujuannya. Penjaminan kesuksesan perjalanan itulah yang

dilakukan para kerabat berjiwa melalui ritual kematian.

Daur hidup kelompok etnis Toraja sendiri berbentuk lingkaran yang

melambangkan adanya perputaran, seperti daur yang seolah tak berakhir. Dari

titik semula akan kembali ke titik tersebut, tanpa putus dan tanpa henti. Selaras

dengan kepercayaan kelompok etnis Toraja mengenai kondisi awal jasad manusia

dari keadaan tak berjiwa (sebelum lahir) kembali menjadi tak berjiwa (setelah

mati). Maka dari itu pula tarian yang dilakukan saat membentuk lingkaran

tersebut berupa gerakan bolak-balik yang menyimbolkan keadaan manusia selama

hidupnya, bahwa setelah kelahirannya akan ada kelahiran anaknya, setelah

pernikahannya akan ada pernikahan anaknya, dan seterusnya.

Gambar 3.8. Empat aturan adat kelompok etnis Toraja Sumber: pribadi

22

Hermin Batong, op.cit., hlm. 30.

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 51: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

37

Universitas Indonesia

Gambar 3.8 menjelaskan mengenai daur hidup menurut masyarakat

Toraja, bahwa kehidupan mereka memang berorientasi kematian. Bagi mereka,

fase mati dalam daur kehidupannya dijalani dua kali, yaitu pada awal dan akhir,

yaitu kehidupan milik sumange’. Sebab itu, mereka lebih membesarkan upacara

kematian dari pada upacara kelahiran. Ilustrasi lebih rinci pada gambar 3.9.

Gambar 3.9. Daur hidup arwah menurut kelompok etnis Toraja Sumber: pribadi

Pergerakan yang memutar pun setelah disketsakan pada gambar 3.10,

berdasarkan aspek kepercayaan kelompok etnis Toraja dan korelasinya terhadap

arah kedudukan, secara menakjubkan menunjukkan daur hidup sumange’. Mereka

percaya, setelah sumange’ menjadi Tomembali puang dan kembali pada Puang

Matua, ia dapat menuju pada hierarki yang lebih tinggi lagi, yaitu berada pada

kedudukan Deata (berdasar perhitungan amal kebaikannya di dunia). Untuk

penjelasan berikutnya, bandingkan gambar 3.8 dan 3.10.

Gambar 3.10. Hubungan beberapa konsepsi hidup kelompok etnis Toraja Sumber: pribadi

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 52: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

38

Universitas Indonesia

Melalui perbandingan kedua gambar tersebut terlihat bahwa kematian dan

kehidupan adalah milik Puang Matua. Sedangkan sejak lahir dan selama

hidupnya, manusia juga harus memuja dan percaya pada Deata, sumange’, dan

Tomembali Puang selain pada Puang Matua. Jadi sebenarnya dalam ritual “tarian

kematian” dan arak-arakan jenazah yang bergerak memutar searah jarum jam,

terdapat pesan mengenai perjalanan hidup sumange’.

3.2.2. Mitos dan ritual

Ritual dapat dikatakan mirip dengan penyajian sebuah cerita yang terdiri

dari pelaku, kata-kata, tempat, dan berbagai pendukung jalan cerita. Sebuah cerita

tak lain merupakan sebuah penerapan budaya yang menjadi pandangan hidup

masyarakat.23

Ritual keagamaan secara umum juga terdiri dari beberapa pelaku (dukun,

pendeta, kepala suku, dan sebagainya), kata-kata (mantra, doa, nyanyian, dan

sebagainya), tempat (altar, lapangan khusus, dan sebagainya), dan berbagai

pendukung jalan cerita (cahaya, patung, ataupun simbol keagamaan lain). Namun

studi kasus ritual upacara kematian pada kelompok etnis Toraja tentunya lebih

dari sebuah cerita. Tujuan utamanya bukan untuk menghibur orang-orang yang

menyaksikan karena mereka juga sebenarnya berperan sebagai pelaku ritual.

Dua unsur dasar dari terapan keagamaan yang juga saling terkait ialah

ritual dan mitos. Pelaksanaan ritual sering didasarkan pada mitos yang berarti

cerita atau legenda24 (bahasa Yunani: mythos). Mitologi masyarakat terdiri dari

cerita-cerita yang tak jarang mencerminkan pandangan dasar kehidupan

masyarakat tersebut. Walaupun beberapa dari mereka dapat memaknakan ‘cerita-

cerita rakyat’ tersebut menjadi cerita filosofis ataupun teologikal, pemaknaan

secara umumnya tetap akan kembali pada kepercayaan dasar dari sistem

keagamaan mereka25 (ritual).

23

Rebecca L. Stein, op.cit., hlm. 83. 24

Victoria Neufeldt (editor), op.cit. 25

Rebecca L. Stein, op.cit., hlm. 84.

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 53: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

39

Universitas Indonesia

Kegiatan ritual pada suatu masyarakat menyimbolkan kepercayaan dan

nilai-nilai tertentu yang dianut masyarakat tersebut, seperti kepercayaan Alluk

Todolo pada masyarakat Toraja. Seperti dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa

proses ritual mereka seluruhnya diatur oleh cerita-cerita yang diturunkan oleh para

leluhur. Salah satunya adalah mitos mengenai penamaan wilayah Tana Toraja saat

para leluhur pertama kali menginjakkan kaki di sana, yaitu Tondok Lepongan

Bulan Tana Matarik Allo (dasar adat, budaya, dan kepercayaan yang berasal dari

satu sumber yang bulat/membentuk lingkaran layaknya sinar bulan yang berasal

dari pantulan sinar matahari; Tondok = negeri, Lepongan = bulat, Bulan = bulan,

Tana = tanah, Matarik allo = matahari) yang mempengaruhi makna bentuk-bentuk

lingkaran dalam pelaksanaan ritual upacara kematian. Mitos lainnya adalah

mengenai kedatangan leluhur kelompok etnis Toraja pertama kali ke wilayah yang

mereka huni sekarang, yang berasal dari arah selatan, sehingga para pelaksana

upacara kematian menerapkannya dalam ritual juga dengan selalu masuk ke rante

dari arah selatan.

Kedatangan yang berasal dari daerah pegunungan mempengaruhi gagasan

ruang selanjutnya bahwa mereka kemudian juga mencari tempat tinggal yang

memiliki bentuk lahan yang mirip dengan tempat asal mereka. Atas dasar itu pula

mereka begitu mengagungkan ketinggian yang juga diasosiasikan dengan keadaan

di atas, utara, ataupun sesuatu yang positif. Perjalanan menuju arah utara (gunung)

pun menjadikan utara sebagai acuan/sumber kebahagiaan, mendukung keyakinan

bahwa Puang Matua memang berdiam di sana. Maka kemudian berbagai hal

tersebut juga semakin jauh mempengaruhi arsitektur kelompok etnis Toraja

dengan didirikannya tongkonan selalu mengahadap ke arah utara.

3.3. Simbol Ritual Keagamaan

“...symbol is something that stands for something else...”26.

Dalam bahasa Indonesia diartikan bahwa simbol adalah sesuatu yang

mewakili/menjelaskan sesuatu. Agama dan hubungannya terhadap budaya, telah

26

Rodney Needham, Symbolic Classification (California: Goodyear Publishing), hlm. 2.

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 54: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

40

Universitas Indonesia

dijelaskan sebelumnya, diwariskan, dipelajari, dan diterapkan kembali melalui

simbol-simbol.

Namun tak semua simbol memiliki wujud ataupun pernyataan artistik.

Contoh dasarnya ialah perkataan maupun tulisan, yang merupakan dua elemen

penting dalam penyampaian agama. Bagi agama ‘beradab’ tulisan memiliki peran

yang lebih besar (berupa kitab keagamaan), sedangkan agama ‘primitif’ lebih

menekankan penyampaian melalui kata-kata (berupa mitos).

3.3.1. Simbol-simbol alam

Masyarakat beragama tentunya percaya pada Sang Pencipta. Hal mendasar

yang menjadi bukti adanya Sang Pencipta adalah seluruh ciptaan-Nya, yaitu alam

semesta. Apapun yang berada di alam dapat diasosiasikan dengan-Nya, walaupun

tentu tak sehebat Penciptanya.27

Adapun simbol alam yang paling banyak digunakan berupa bintang

(matahari termasuk dalam gugusan bintang) dan bulan. Misalnya, simbol

pentagram dalam kepercayaan Yunani. Pentagram berasal dari kata pente yang

berarti lima dan gamma yang merupakan huruf Yunani.28 Walaupun berdasar kata

pembentuknya pentagram dapat merujuk pada benda apapun yang berhubungan

dengan angka lima, di lingkungan Yunani sendiri, kata ini merujuk pada bintang

bersudut lima. Selain itu, lambang daerah Toraja pun menggunakan bintang lima

untuk melambangkan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Gambar 3.11. Pentagram Sumber: The Anthropology of Religion, Magic, and Witchcraft,

Rebecca L. Stein, hlm. 59

27

QS. Al-Ikhlas (112:4). 28

Rebecca L. Stein, op.cit., hlm. 59.

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 55: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

41

Universitas Indonesia

Contoh lainnya, tentu pada mitos kelompok etnis Toraja mengenai bulan

dan matahari. Dalam pelaksanaan ritual, terdapat banyak simbol bulan dan

matahari, baik yang nampak secara fisik ataupun melalui makna tersirat. Simbol

makna dalam upacara tersebut selain makna pada nama daerah ialah melalui

adanya anjuran (dapat digolongkan sebagai mitos) untuk melaksanakan upacara

saat matahari sedang dalam kedudukan tertingginya. Berikut merupakan simbol-

simbol fisik yang terlihat saat berlangsungnya ritual upacara kematian Ne’ Ery.

Gambar 3.12. Ornamen dekorasi plafon pada lantang yang berbentuk lingkaran seperti

menyimbolkan matahari dengan warna oranye Sumber: rekaman video oleh Etrudian T.

Gambar 3.13. Kesatuan pelaksanaan Alluk Todolo (disimbolkan dengan matahari) dan agama

Kristen (simbol salib) yang dianut Ne’ Ery terukir pada peti jenazahnya. Sumber: rekaman video oleh Etrudian T.

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 56: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

42

Universitas Indonesia

Gambar 3.14. Masih pada peti jenazah Ne’ Ery, simbol Toraja terukir melalui

gambar matahari sebagai pusat (sumber) sinar bagi bulan Sumber: rekaman video oleh Etrudian T.

Pelaksanaan ritual kematian saat matahari sedang dalam kedudukan

tertingginya saya yakini merupakan suatu bagian dari gagasan ruang yang terkait

dengan pengagungan ketinggian oleh kelompok etnis Toraja. Peredaran matahari

pun sebenarnya merupakan suatu siklus/daur seperti juga daur hidup sumange’

dengan orbit berupa lingkaran. Adanya makna terbit dan tenggelam dapat

dihubungkan dengan kehidupan/kelahiran dan kematian, dengan penjelasan

bahwa dominasi aktivitas hidup manusia memang dilakukan saat terdapat banyak

cahaya matahari sedangkan di malam hari (minim cahaya) manusia sulit untuk

beraktivitas tanpa pencahayaan tambahan.

Simbol lainnya ialah hewan babi dan kerbau untuk dijadikan persembahan

pada Puang Matua. Saat penebasan belasan kerbau yang juga ‘diiringi’ pekikan

suara puluhan babi pada hari ketiga, hewan-hewan tersebut seolah menjadi simbol

‘ruang kematian’ yang berhasil menciptakan suasana yang sangat mengerikan di

rante. Terik matahari yang menerangi limpahan darah sekaligus memanaskan

belasan kerbau yang terkapar dan siap disobek-sobek di rante ‘diiringi nyanyian’

puluhan babi, apalah tak turut menyayat mata fisik dan mata hati

(religius/keagamaan) orang yang menyaksikannya. Suara-suara pekikan tersebut

sangat sukses menciptakan arsitektur nuansa kematian yang menandai bahwa di

tempat itu sedang dilaksanakan ritual kematian (tercipta batasan yang

membedakan ruang antara manusia berjiwa dan tak berjiwa).

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 57: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

43

Universitas Indonesia

Selain itu, hewan-hewan tersebut dikorbankan juga sebagai simbol

kepedulian terhadap orang-orang sekitar keluarga jenazah maupun kerabat jauh

yang telah lama tak bertemu. Pada contoh terakhir, babi dan kerbau juga dapat

digolongkan ke dalam simbol sosial, walaupun adat hidup (termasuk pergaulan

sesama manusia) sebenarnya telah diatur dalam Alluk Todolo. Simbol sosial yang

dimaksud di sini selain kepedulian sosial, termasuk status sosial dari keluarga

jenazah karena semakin banyak kerbau dan babi yang dikorbankan menyimbolkan

semakin tingginya status sosial keluarga tersebut.

3.3.2. Makna Warna

Setelah menyaksikan dan menganalisis video ritual upacara kematian

kelompok etnis Toraja, dapat terlihat bahwa ‘seni keagamaan’ sebenarnya sangat

kompleks. Banyak simbol penting yang terlibat dalam ritual keagamaan tersebut,

termasuk pemaknaan warna.

Warna-warna memiliki makna kebudayaan. Misalnya dalam budaya

Irlandia, dikatakan mengenai gaun pengantin wanita:

“Married in white, you have choosen all right.

Married in red, you’d better dead.

Married in yellow, you ashamed fellow.

Married in blue, your lover is true.

Married in green, ashamed to be seen.

Married in black, you’ll ride a hack.

Married in pearl, you’ll live in a whirl.

Married in brown, you’ll live out of town.”29

Dalam ritual kelompok etnis Toraja, mengenai kebahagiaan maupun

kedukaan, hanya dikenal dua warna yaitu merah dan hitam. Dalam upacara

kebahagiaan, pelaksana ritual hanya mengenakan pakaian berwarna merah sebagai

simbol semangat, darah yang mengalir dalam tubuh, dan kehidupan yang dinamis.

Sementara dalam upacara kedukaan seperti kematian, kedua warna tersebut

digunakan. Warna hitam sebagai lambang duka karena gelap dan suram, serta

warna merah yang hanya diterapkan pada lamba-lamba yang diusung para wanita

29

Rebecca L. Stein, op.cit., hlm. 64.

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 58: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

44

Universitas Indonesia

dari keluarga jenazah untuk memberitahukan kematian jenazah pada masyarakat

sekitar. Kain tersebut diikatkan di belakang usungan jenazah sebagai simbol

kematian (darah mengalir keluar dari tubuh), tapi tak boleh menyentuh tanah

karena jenazah tersebut belum ‘halal’ bersatu dengan tanah selama ritual upacara

belum tuntas dilaksanakan.

3.3.3. Makna angka

Dalam mitos kehidupan kelompok etnis manapun, angka ganjil lebih

banyak memiliki makna dibanding angka genap. Angka ganjil dipercaya

membawa keberuntungan. Hal tersebut dapat dibuktikan dari sekian banyak

kepercayaan, baik itu yang beragama Islam, Kristen, Hindu, Budha, ataupun

Khong Hu Chu, hampir semua agama memilih angka ganjil sebagai hitungan

favoritnya. Untuk kelompok etnis Cina, hampir dapat dipastikan memiliki angka

ganjil pada benda-benda yang dimiliki, seperti nomor kendaraan, nomor toko,

nama restoran dan sebagainya.

Namun dari sekian banyak agama dan kepercayaan di dunia, angka tujuh

dipercaya memiliki sifat supranatural dan spiritualitas yang tinggi.30 Hal tersebut

terlihat dari berbagai ungkapan yang lazim terdengar di Indonesia dan pada

beberapa negara lain, seperti langit ketujuh, bunga tujuh rupa, tujuh mata air,

malam ketujuh, tujuh bulanan, hingga tujuh turunan.

Demikian pula dengan kepercayaan 7777 masyarakat Toraja. Mengapa

harus angka tujuh dan mengapa harus ada empat angka tujuh sempat menjadi

pertanyaan saya. Mengenai pembagian empat, hal tersebut merupakan pembagian

paling lazim pada seluruh kelompok etnis dunia.31 Hal tersebut didasari atas

adanya pandangan ‘primitif’ mengenai bumi yang bersegi empat. Sedangkan

angka tujuh mengacu pada bab sebelumnya merupakan penjumlahan angka empat

dan tiga yang memiliki makna masing-masing, selain bahwa angka tujuh

dipercaya memang memiliki sifat supranatural. Oleh sebab itu, masyarakat Toraja

yakin bahwa saat bintang di langit terlihat sedang bersegi tujuh, mereka sebaiknya

30

www.primbon.com, 1 April 2009. 31

Rodney Needham, op.cit., hlm. 8.

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 59: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

45

Universitas Indonesia

tidak melakukan ritual upacara apapun, baik mengenai kebahagiaan maupun

kedukaan karena bintang tersebut keramat.32

Selain itu, disadari atau tidak oleh para pelaksana ritual, unsur-unsur

pendukung ritual upacara kematian didasarkan pada paham 7777 atau alluk sanda

pitunna, sehingga:

- rentang waktu penuh pelaksanaan upacara adalah 7 hari , sesuai

dengan kepercayaan mereka mengenai waktu penciptaan bumi oleh

Puang Matua,

- terdapat 7 langkah upacara yang harus dilaksanakan sesuai urutan,

yaitu massabu patane, ma’palin, ma’pasa’ tedong, ma’parokko alang,

ma’palao, menerima tamu, dan ma’kaburu,

- rombongan tamu dibagi menjadi 7 kelompok kerabat sesuai

pembagian Alluk Todolo mengenai 3 aturan kepercayaan dan 4 aturan

adat, yaitu 3 kelompok di hari kedua dan 4 kelompok di hari ketiga,

- dan para tamu tersebut ditempatkan di 4x7 bilik tamu dengan masing-

masing bilik dapat memuat sekitar sepuluh orang, sehingga jumlah

tamu yang hadir dalam upacara kematian Ne’ Ery adalah sekurang-

kurangnya sekitar 280 orang.

Penjelasan lebih lanjut mengenai paham 7777 ini sebenarnya berkaitan

dengan kontinuitas hubungan ruang dan waktu yang dialami manusia selama

hidupnya. Kegiatan manusia dalam menanggapi berbagai peristiwa yang

dialaminya tentu tak terlepas dari ruang dan waktunya berada. Berbagai

tindakannya atas peristiwa-peristiwa selama tujuh hari seminggu dalam hidupnya

melahirkan berbagai konsep hidup yang mungkin tak disadarinya banyak

berkaitan dengan angka tujuh.

3.3.4. Waktu dan lokasi keramat

Simbol juga berperan dalam penyataan lokasi- lokasi maupun pembagian

waktu-waktu keramat. Dalam pembahasan mengenai daur hidup dinyatakan

bahwa saat terjadi perubahan status/peran, seseorang mungkin saja turut

mengubah cara berpakaian bahkan hingga perilakunya sehari-hari. Cara

32 Hermin Batong, op.cit., hlm. 27.

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 60: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

46

Universitas Indonesia

berpakaian maupun perilaku-perilaku tersebutlah yang menyimbolkan

perubahannya.33

Melalui perubahan-perubahan itu, ia secara tidak langsung telah

menyatakan pembedaan lokasi barunya dan bahwa waktu telah berganti. Adanya

sifat suci/keramat pada perubahan status/peran orang tersebut turut menyucikan

lokasi maupun pembedaan waktu yang dinyatakannya.

Untuk memudahkan pengertian Anda, saya akan langsung membahas

kasus ritual upacara kematian di Toraja. Dalam ritual tersebut terdapat pelaku

yang mengenakan pakaian khusus ritual upacara kematian. Para pelaku ritual pun

diharuskan berbeda dengan para pelaku ritual upacara yang menyangkut

kebahagiaan. Melalui dua hal tersebut, telah terdapat pernyataan bahwa sedang

berlangsung suatu ritual yang sakral pada lokasi dan waktu yang disakralkan.

Lokasi pelaksanaan sendiri berada di desa Tallunglipu (lokasi keberadaan

rante sekaligus rumah tinggal keluarga jenazah), Parinding (lokasi keberadaan

simbuang batu), Marante (lokasi keberadaan gunung tempat kuburan batu kuno),

dan melewati Rantepao. Sedangkan waktu pelaksanaan, selain yang telah

disebutkan mengenai bintang tujuh, masyarakat Toraja percaya pada bintang tiga

sebagai hari baik penyelenggaraan upacara kebahagiaan dan bulan separuh untuk

penyelenggaraan upacara kedukaan.34

Gambar 3.15. Lokasi pelaksanaan ritual Sumber: Leaflet pariwisata Tana Toraja (telah diedit)

33

Rebecca L. Stein, op.cit., hlm. 66. 34

Hermin Batong, op.cit., hlm. 27.

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 61: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

47

Universitas Indonesia

Sebelum ditempatkan di lakkiang yang berlokasi di Tallunglipu, jenazah

dibawa berkeliling kampung untuk memberitahukan pada warga sekitar bahwa

jenazah tersebut akan segera diantarkan menuju kehidupan sucinya. Pada upacara

kematian Ne’ Ery, lokasi arak-arakan berada di desa Tallunglipu hingga ke

Marante. Namun rombongan arak-arakan hanya melintas melalui kuburan batu

tersebut. Hal demikian dilakukan karena jenazah Ne’ Ery nantinya akan

dikuburkan di kompleks kuburan keluarga, sementara gunung bagi penganut

Alluk Todolo merupakan lokasi yang tepat sebagai tempat peristirahatan terakhir

jenazah karena letaknya yang tinggi. Prosesi arak-arakan melewati gunung batu

dapat dikatakan hanya menjadi semacam simbol penghormatan terhadap

kepercayaan Alluk Todolo.

Gambar 3.16. Urutan arak-arakan saat ritual ma’palao

Sumber: pribadi

Arak-arakan tadi harus sesuai dengan ketentuan urutan tertentu yang telah

dipaparkan sebelumnya karena ritual upacara kematian Toraja tidak hanya

diperuntukkan bagi jenazah, namun juga bagi para kerabatnya yang masih hidup.

Maksudnya, bahwa seluruh urutan upacara harus dilaksanakan secara tepat agar

sumange’ dapat pula secara tepat kembali pada Puang Matua. Jika tidak, para

kerabat jenazah tersebut akan dianggap makhluk tak bersyukur oleh Puang Matua,

sehingga hidup mereka kemudian tak akan mendapat berkah-Nya lagi.

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 62: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

48

Universitas Indonesia

Gambar 3.17. Arah pergerakan saat arak-arakan

Sumber: Leaflet pariwisata Tana Toraja (telah diedit)

Gambar 3.18. Urutan pergerakan pada ritual ma’palao Sumber: pribadi

Adapun lokasi lain penyelenggaraan ritual adalah desa Parinding yang

merupakan wilayah peninggalan kebudayaan megalith berwujud batu-batu

berukuran raksasa. Sedikitnya ada 100 batu atau yang dalam bahasa Toraja

disebut simbuang batu di lokasi ini. Batu-batu tersebut biasanya digunakan untuk

menambatkan tali yang digunakan untuk mengikat leher kerbau sesaat sebelum

ditebas. Namun hanya orang yang menjadi pemuka adat atau tokoh masyarakat

yang berhak menggunakan simbuang batu yang ukurannya pun menyimbolkan

status jenazah selama hidupnya dalam masyarakat.

U

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 63: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

49

Universitas Indonesia

Gambar 3.19. Simbuang batu di Desa Parinding

Sumber: Ikhsan Sube

Mengulas sedikit mengenai kuburan batu di gunung, hal tersebut menandai

kearifan leluhur kelompok etnis Toraja yang tidak memakai lahan datar sebagai

lokasi pemakaman. Kurangnya tanah di wilayah Tana Toraja yang termasuk

kategori subur membuat para leluhur lebih memilih untuk mengolah lahan datar

sebagai ladang sayur, persawahan, ataupun perkebunan buah yang lebih baik.35

Lebih dari itu, masyakarakat di seluruh daerah kebudayaan Austronesia memiliki

tempat tinggi untuk kuburannya di awal peradaban mereka.36

3.3.5. Musik dan tari

Musik dan tari dapat dinyatakan sebagai simbol-simbol dari penuturan

cerita keagamaan yang dipertunjukkan dalam ritual. Penuturan cerita tersebut

dapat berfungsi hanya sebagai elemen pendukung suasana suatu ritual atau malah

menjadi pertunjukan utama dari cerita keagamaan, seperti dialog manusia dan

Penciptanya.37

Dalam ritual upacara kematian kelompok etnis Toraja, musik dan tari

mendapatkan peran utama, yakni sebagai dialog pelepasan sumange’ pada Puang

Matua. Seluruh tubuh para pelaku ritual menjadi media pelepasan tersebut,

termasuk suara.

35

Myrtha Soeroto, Pustaka Budaya Arsitektur Toraja (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), hlm. 24. 36

Bimbingan skripsi dengan Bapak Gunawan Tjahjono, tanggal 21 Juni 2009. 37

Rebecca L. Stein, op.cit., hlm. 74.

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 64: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

50

Universitas Indonesia

Gambar 3.20. Susunan bentuk dan arah gerakan para penari dalam ritual upacara kematian

Sumber: pribadi

Gambar 3.21. Harmonisasi gerakan pada seluruh tubuh

Sumber: pribadi

Pada gambar 3.17 dan 3.18 terlihat bahwa saat tangan diayun ke atas,

tubuh juga bergerak ke depan, sementara kaki mulai melangkah ke kanan ataupun

kiri. Kemudian kaki yang dilangkahkan tadi dihentak ke tanah saat tubuh

digerakkan ke belakang dan tangan diayun ke bawah. Pergerakan tersebut

dilakukan sambil menyanyikan syair kematian yang juga dilakukan dengan

membentuk lingkaran pada mulut saat mengeluarkan bunyi, seperti bunyi “ohm”.

Menurut Prof. Ir. Gunawan Tjahjono, pelafalan “ohm” merupakan suatu

pengungkapan yang dilakukan saat terjadi situasi yang bersifat spiritual, seperti

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 65: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

51

Universitas Indonesia

juga yang dilakukan penganut agama Buddha saat beritual38. Hal tersebut menjadi

semacam komunikasi spiritual yang dilakukan manusia pada Sang Pencipta.

Dalam ritual upacara kematian Ne’ Ery sendiri, saya percaya bahwa nyanyian

tersebut dimaksudkan untuk memudahkan pelepasan sumange’ Ne’ Ery kembali

pada Puang Matua.

Dan sesungguhnya orientasi atas-bawah, depan-belakang, ataupun kiri-

kanan memang merupakan posisi dan koordinat tubuh yang terkait dengan ruang

karena pada dasarnya tubuh manusia yang bergerak akan membentuk ruang. Jika

dikaitkan dengan gambar di atas, berdasar gerak tubuh dan nyanyian saat upacara

kematian Ne’ Ery berlangsung, terlihat bahwa keseluruhan kombinasi gerakan

tubuh, kaki, tangan, dan mulut tersebut menjadi semacam harmonisasi

pembentukan ruang spiritual melalui alam bawah sadar oleh kelompok etnis

Toraja. Tangan yang diayun ke atas yang seirama dengan tubuh bagian atas yang

dimajukan saat kaki mulai melangkah ke kiri ataupun ke kanan seolah menjadi

simbol yang positif, sementara tangan yang diayun ke bawah yang seirama

dengan tubuh bagian atas yang dimundurkan saat kaki yang menumpu

dihentakkan ke bumi menjadi simbol negatif dalam gerakan tersebut. Sebagai

pelengkap, suara yang bulat secara tepat menggenapi kesempurnaan nilai spiritual

dalam komunikasi para pelaku ritual dengan Sang Pencipta pada pengantaran

sumange’ Ne’ Ery kembali pada-Nya.

Gambar 3.22. Orientasi pergerakan tubuh manusia

Sumber: Space and Place The Perspective of Experience, Yi-Fu Tuan, hlm. 35

38

Bimbingan skripsi tanggal 13 Februari 2009.

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 66: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

52

Universitas Indonesia

3.3.6. Roh dan jiwa

Pada paham keagamaan secara universal, jiwa memiliki makna yang lebih

positif dibandingkan roh, walaupun keduanya merupakan wujud tak nyata yang

berada pada dimensi yang berbeda dengan manusia. Jiwa sering diasosiasikan

dengan dewa, malaikat, ataupun rupa-rupa lain yang bermakna positif. Sementara

roh/arwah lebih sering diasosiasikan dengan setan, hantu, dan macam lainnya

yang bermakna negatif.39

Pengaruh roh maupun jiwa dalam pembentukan ruang kosmik cukup

besar. Saat suatu masyarakat menempatakan roh dan jiwa sebagai bagian dari hal-

hal yang harus mereka percaya dan dikeramatkan, maka hal tersebut akan turut

dibawa dalam kehidupan sehari-harinya. Akan ada ruang-ruang khusus bagi roh

maupun jiwa, apapun pemaknaan mereka mengenai dua hal tersebut dan seperti

apapun rupa ruangnya. Walaupun telah berbeda status/peran bahkan dimensi

alam, tak dapat dipungkiri bahwa ada orang-orang yang percaya akan tahap-tahap

kehidupan yang memungkinkan (roh) seseorang tetap hidup selamanya.

Menurut teori Van Gennep, daur hidup memiliki tiga tahap, yaitu

pemisahan, liminal/transisi, dan penyatuan.40 Di tahap pertama, manusia keluar

dari kelompok sosialnya dan mulai berpindah dari satu tempat atau status ke

lainnya. Di tahap ketiga, mereka masuk kembali ke masyarakat, setelah

menyelesaikan upacara. Tahap liminal adalah periode di antara dua tahap tersebut,

sejak manusia meninggalkan satu tempat atau situasi tetapi belum masuk atau

menggabungkan ke tempat atau situasi berikutnya. Selama keadaan liminal,

kesadaran sesorang akan identitasnya menghilang hingga taraf tertentu.

Walaupun berbeda satu dan lainnya, seluruh tingkatan daur hidup tersebut

memiliki tujuan sama, yaitu untuk membedakan seseorang dari kelompok

sebelumnya, membuatnya siap untuk menghadapi tahap baru dari hidupnya, lalu

orang tersebut kembali ke dalam masyarakat pada level atau posisi baru. Proses

tersebut tidak hanya menyiapkan seseorang untuk satu peran atau tahap baru

dalam hidupnya, tetapi juga dapat mengikat mereka dengan orang-orang yang

39

Rebecca L. Stein, op.cit., hlm. 194. 40

Arnold Van Gennep, op.cit., hlm. 10-11.

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 67: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

53

Universitas Indonesia

melalui proses yang sama. Van Gennep menekankan bahwa tahap liminal ini

sangat signifikan.41 Selama waktu ini, setiap individu menyiapkan dirinya untuk

masa depan, dan tanggung jawab di masa datang, tanpa paksaan. Dengan begitu,

batas-batas yang biasanya terdapat dalam masyarakat yang berbeda sosial status,

contohnya, dapat dihilangkan dan tiap orang hanya dianggap sama seperti orang-

orang lain di liminal yang sama.

Pengungkapannya telah jelas pada kelompok etnis Toraja. Paham

keruangan mereka sangat dipengaruhi oleh pemaknaan akan roh dan jiwa. Dalam

Alluk Todolo terdapat perbedaan makna antara dua kata tersebut, walaupun

keduanya sama-sama berada dalam jasad manusia. Roh atau yang mereka sebut

sebagai sumange’ merupakan pemberi kehidupan bagi jasad namun tak dapat

merasakan kehidupan itu sendiri. Jiwalah yang menjalankan kehidupan yang telah

diberikan sumange’ pada jasad manusia. Oleh karena itu, mereka menjalankan

upacara kematian untuk melepas sumange’ dan sebagai ungkapan terima kasih

atas kehidupan yang telah diberikan sumange’ pada jenazah. Walaupun nyawa

telah tiada, sumange’ tetap hidup dan masih layak diberi ruang selayaknya jasad

yang dihuninya masih hidup, bahkan hingga dibuatkan rumah dan ‘kendaraan’

khusus (duba-duba) bagi jasad sumange’ tersebut.

Ritual kematian kelompok etnis Toraja berdasar teori Van Gennep

termasuk dalam tahap liminal, dengan telah ditinggalkannya kehidupan dunia oleh

sumange’ untuk menuju kehidupan akhirat. Segala hal dipersiapkan kerabatnya

yang masih hidup untuk bekal dalam perjalanannya ke akhirat karena sumange’

tak dapat lagi berinteraksi dengan situasi sebelumnya. Pada kondisi liminal,

sumange’ kehilangan kesadarannya dan hanya dapat mengandalkan para kerabat

untuk menjalankan ritual kematiannya.

Rumah jenazah yang dibangun para kerabat sumange’ merupakan suatu

perwujudan arsitektur terhadap kematian Ne’ Ery, bahwa dalam kehidupan

liminalnya, sumange’ Ne’ Ery pun pasti membutuhkan wadah untuknya bernaung.

Layaknya jasad hidup, jika tidak memiliki tempat bernanung dalam alam

kehidupannya, sumange’ dapat dikategorikan sebagai tunawisma. Oleh karena itu,

41

Ibid. hlm. 11.

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 68: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

54

Universitas Indonesia

rumah jenazah dibangun mirip dengan rumah adat semasa hidup, hanya

proporsinya saja yang dibuat seolah-olah rumah jenazah lebih tinggi dari rumah

adat. Peninggian rumah jenazah pun terkait dengan peralihan status sumange’

yang meningkat, yaitu semakin dekat dengan Puang Matua.

Adapun kepercayaan lain mengenai sumange’, kelompok etnis Toraja

percaya bahwa sumange’ dan para Tomembali Puang lainnya masih mengawasi

mereka dari dimensi alam lain karena ingin para keturunannya tetap menjaga

hubungan baik satu sama lain untuk menjaga warisan yang telah mereka

tinggalkan. Sehingga pada ritual kematian Ne’ Ery, para kerabat t e tap

menyempatkan diri untuk datang walaupun banyak di antaranya yang datang dari

luar daerah Tana Toraja karena telah lama hidup dan menetap di sana sejak

merantau. Hal tersebut dilakukan berdasar salah satu anjuran dalam Alluk Todolo.

Namun dalam pelaksanaan saat upacara kematian berlangsung, terlihat

jelas bahwa para kerabat yang datang hanya sibuk dengan diri mereka masing-

masing. Mereka lebih banyak terlihat asyik mengobrol dan tertawa dibanding

mendalami kesakralan upacara. Dalih Alluk Todolo seolah hanya menjadi alasan

bagi mereka untuk berkumpul dan saling berkenalan lagi, tanpa banyak

mengindahkan keberlangsungan upacara. Alangkah patut disayangkan jika benar

demikian kenyataannya.

Mengenai hal itu, ada sanggahan kuat yang menjelaskan mengenai

pantangan bersedih bagi masyarakat Toraja selama pelaksanaan ritual upacara

kematian berlangsung. Alasannya, mereka percaya bahwa emosi yang berlebihan

seperti menangis dan meraung saat situasi yang demikian tidak baik bagi kondisi

mereka sendiri yang mungkin saja akhirnya malah mengacaukan keberlangsungan

ritual, sedangkan seluruh prosesi ritual harus berjalan dengan mulus dan tepat

sesuai urutannya. Pada akhirnya, alasan ini mematahkan pernyataan sebelumnya

mengenai Alluk Todolo yang seolah hanya menjadi dalih kegiatan sosialisasi.

Sungguh begitu banyak simbol lain yang mungkin belum sempat terpapar pada

bagian ini, namun secara keseluruhan semoga segala yang terpapar telah

memberikan penjelasan yang cukup.

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 69: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

55

Universitas Indonesia

3.4. Ritual dan Arsitektur

Layaknya drama, ritual pun memiliki unsur-unsur yang terdapat dalam

sebuah pentas drama. Dalam pelaksanaan ritual terdapat pelaku, dialog, tempat,

dan berbagai pendukung jalan cerita sebagai simbol penyata. Sedangkan mitos,

seperti dijelaskan dalam poin 3.2.2. berlaku sebagai ‘naskah drama’ ritual

tersebut. Demikian pula dengan arsitektur yang ada akibat suatu peristiwa, seperti

dikutip melalui Bernard Tschumi, “There is no architecture without event.”42

Lebih lanjut Tschumi menyatakan bahwa “Architecture was seen as the

combination of spaces, events, and movements...”43

Pernyataan tersebut semakin menekankan adanya hubungan antara ruang,

peristiwa, dan pergerakan. Sementara ritual tak lain merupakan sebuah event yang

dimaksud dalam pernyataan Tschumi yang pertama, bahwa pergerakan pasti

melahirkan sebuah peristiwa yang memanfaatkan ruang yang merupakan unsur

utama pembentuk suatu arsitektur (dimaksud dalam pernyataan kedua). Sulit

rasanya bagi saya untuk membayangkan adanya arsitektur tanpa pemaknaan

peristiwa dalam suatu ruang. Jika diibaratkan lagi sebagai pentas drama, maka

perbandingan arsitekturalnya adalah sebagai berikut:

Pentas drama Arsitektur

panggung ruang

durasi waktu

dialog kegiatan

cerita peristiwa

Tabel 3.1. Perbandingan unsur-unsur pembentuk arsitektur dan pentas drama

Sumber: pribadi

42

Bernard Tschumi, Architecture And Event (Spring 2008 Cejas Eminent Scholar Graduate Seminar, 1 Februari 2008).

43 Bernard Tschumi, Architecture And Disjunction (Cambridge: MIT Press, 1995), hlm. 254.

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 70: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

BAB 4

KESIMPULAN

Ritual merupakan suatu cara yang dilakukan manusia untuk menandai

perubahan status/peran dalam hidupnya. Upacara kematian yang dilaksanakan di

Toraja merupakan suatu rangkaian ritual terhadap seluruh proses kehidupan yang

telah dijalani manusia hingga akhir.

Perpindahan sumange’ dari puya ke lino menjadi semacam titik akhir dari

suatu perjalanan kosmos untuk dilanjutkan kembali di alam lainnya. Berbagai

macam simbol menandai pelaksanaan ritual upacara kematian yang tentunya

didasari oleh aturan-aturan yang mengikat tata laksana ritual yang dimaksud.

Aturan tersebutlah yang dinamakan agama/kepercayaan.

Masyarakat beragama percaya akan hal-hal berbau spiritual y a n g

menghuni kosmos. Seperti kelompok etnis Toraja dengan kepercayaan Alluk

Todolo yang diajarkan oleh leluhur mereka yang percaya akan kesakralan angka

tujuh dan empat sehingga diterapkanlah angka tersebut dalam paham agama

mereka, yaitu 7777. Angka tersebut lalu dibagi menjadi tiga aturan kepercayaan

dan empat aturan adat yang mengatur seluruh aspek kehidupan mereka, seperti

pembagian unsur-unsur mikrokosmos pada bangunan-bangunan adat ataupun

pengaturan ruang dan tata laksana ritual upacara kematian.

Tak dapat dipungkiri pula bahwa masyarakat beragama melaksanakan

aturan-aturan agama mereka melalui simbol-simbol keagamaan. Bagi kelompok

etnis Toraja, penerapan aturan-aturan tersebut banyak disimbolkan melalui

pembagian berdasar angka-angka sakral/keramat seperti disebutkan pada paragraf

sebelumnya ataupun bentuk-bentuk alam yang diterapkan dalam ungkapan

keruangan. Salah satu ungkapan keruangan berdasar simbol keagamaan kelompok

etnis Toraja yaitu saat pelaksana ritual membentuk lingkaran serta bernyanyi dan

bergerak searah jarum jam dalam upacara kematian Ne’ Ery. Dari gerakan

tersebut terlihat bahwa keseluruhan kombinasi gerakan tubuh, kaki, tangan, dan

mulut tersebut menjadi semacam harmonisasi pembentukan ruang spiritual

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 71: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

57

Universitas Indonesia

melalui alam bawah sadar kelompok etnis Toraja yang semuanya bulat/melingkar

menyimbolkan daur hidup sumange’.

Pelaksanaan ritual upacara kematian yang pasti dilaksanakan melalui

simbol-simbol keagamaan pun dapat membentuk ruang yang memiliki karakter

supranatural yang sangat kuat. Ruang yang terbentuk tersebut tak harus berwujud

‘sesuatu’. Sifat, makna, dan karakter psikis dan/atau bahkan supranatural dari

ruang seperti itu terasa jauh lebih kuat dibanding sifat, makna, ataupun karakter

fisiknya. Ruang-ruang keagamaan yang kuat bahkan dapat dirasakan oleh manusia

yang tidak berasal dari agama/kepercayaan tersebut.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ritual kematian khususnya

Alluk Todolo di Toraja memanfaatkan ruang untuk pelaksanaannya yang dibentuk

melalui simbol-simbol keagamaan. Para pelaku ritual, seluruh kerabat yang hadir,

dan makhluk bernyawa lainnya menjadi unsur penting dalam pembentukan ruang-

ruang berkarakter supranatural untuk mengantar sumange’ menuju alam

kehidupan berikutnya.

Lebih lanjut disimpulkan bahwa suatu arsitektur tak akan ada tanpa

terjadinya suatu peristiwa, sementara peristiwa tersebut pun tak akan termaknai

tanpa para pelaku dan simbol-simbol lainnya yang sekaligus berlaku sebagai

‘pembentuk’ ruang.

Gambar 4.1. Simpulan hubungan sebab-akibat ritual dan arsitektur Sumber: pribadi

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 72: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

D A F T A R R E F E R E N S I

Bakker, Anton, Kosmologi dan Ekologi: Filsafat tentang Kosmos sebagai Rumah

Tangga Manusia. Yogyakarta: Kanisius, 1995.

Batong, Hermin, “Sejarah dan Budaya Toraja”, Laporan Penelitian Sejarah dan

Nilai Tradisional Sulawesi Selatan, 1 -52. Makassar: Balai Kajian dan

Nilai Tradisional, 2001.

Ditjen Kebudayaan, Arsitektur Tradisional Daerah Sulawesi Selatan. Makassar:

Proyek Inventarisasi Kebudayaan Daerah Sulawesi Selatan, 1985/1986.

Eliade, Mircea, The Sacred and the Profane. New York: Harcourt, Brace, and

World, Inc., 1959.

Geertz, Clifford, The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books, 1973.

Needham, Rodney, Symbolic Classification. California: Goodyear Publishing

Company, Inc.

Neufeldt, Victoria (editor), Webster’s New World Dictionary of American

English, 3rd College Edition. New York: Simon & Schuster, 1988.

Rapoport, Amos, House Form and Culture. London: Prentince Hall, 1969.

Said, Abdul Azis, Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional Toraja dan

Perubahan Aplikasinya pada Desain Modern. Yogyakarta: Penerbit

Ombak, 2004.

Sahriah, dkk., Upacara Tradisional (Upacara Kematian) Daerah Sulawesi

Selatan. Ujung Pandang: Proyek Penelitian, Pengkajian, dan Pembinaan

Nilai-nilai Budaya Sulawesi Selatan, 1992-1993.

Soeroto, Myrtha, Dari Arsitektur Tradisional Menuju Arsitektur Indonesia.

Jakarta: Myrtle Publishing, 2007.

Soeroto, Myrtha, Pustaka Budaya dan Arsitektur Toraja. Jakarta: Penerbit Balai

Pustaka, 1993.

Stein, Rebecca L., The Anthropology of Religion, Magic, and Witchcraft, Boston:

Pearson Education, 2005.

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 73: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

Taylor, Edward B., Primitive Culture: Researches into the Development of

Mythology, Philosophy, Religion, Language, Art, and Custom. London: J.

Murray, 1871.

Tschumi, Bernard, Architecture And Event. Spring 2008 Cejas Eminent Scholar

Graduate Seminar, 1 Februari 2008.

Tschumi, Bernard, Architecture And Disjunction. Cambridge: MIT Press, 1995.

Tuan, Yi-Fu, Space and Place: The Perspective of Experience. Minneapolis:

University of Minnesota Press, 2005.

Van Gennep, Arnold, The Rites of Passage. London: Routledge & Kegan Paul,

Ltd., 1960.

www.primbon.com, 1 April 2009

Tangdilintin, Etrudian, Video Upacara Pemakaman Ne’ Bite’ Paresa’.

Tallunglipu, Tana Toraja, 20-23 September 2006.

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 74: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

L A M P I R A N

Gambar video rekaman upacara kematian Bite’ Paresa (almh.)

1. Jenazah dikeluarkan dari makamnya

2. Suasana rante

3. Pelaku upacara bersiap

4. Menyiapkan makan untuk tamu

5. Jenazah dipindahkan ke ‘rumah sakit’

6. Pemberkatan menggunakan tata cara

Agama Kristen

Persiapan

Hari 1

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 75: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

7. Kerabat yang hadir

8. Adu kerbau

9. Kerbau yang kalah ditebas

10. Daging kerbau untuk makan siang

11. Pembagian makan siang

12. Peti jenazah dikeluarkan dari ‘rumah

sakit’nya

13. Keluarga berdoa kembali

14. Hewan persembahan masuk rante

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 76: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

15. Para wanita pengusung lamba-lamba

menyusul setelah rombongan hewan persembahan

16. Pemangku adat memberi tanda

dimulainya upacara

17. Peti jenazah masuk rante

18. Peti jenazah ditempatkan di lakkiang

19. Para kerabat melakukan ‘tarian

kematian’ pertama

20 Adu kerbau untuk makan siang

21. Peti jenazah dikeluarkan dari lakkiang

Hari 2

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 77: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

22. Pembuatan duba-duba

23. Para kerabat jenazah menari mengitari

duba-duba

24. Pemberian tanda dimulainya upacara

oleh kerabat jenazah

25. Gong dipukul

26. Rombongan arak-arakan menyusul

27. Duba-duba dikeluarkan

28. Lamba-lamba diikat di belakang duba-

duba saat pengarakan jenazah

29. Duba-duba diarak melewati gunung

tempat kuburan batu

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 78: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

30. Berkeliling kampung

31. Kembali ke rante dan disimpan di

lakkiang

32. Pemangku adat menandai dimulainya

upacara utama

33. Hewan persembahan dibawa ke rante

34. Rombongan kerabat 1

35. Wanita bercaping tani (dewasa)

36. Wanita muda

37. Rombongan pria

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 79: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

38. Para kerabat menempati lantang

masing-masing

39. Rombongan kerabat 2

40. Pria-wanita beriringan

41. Suasana di dalam lantang pria

42. Suasana di dalam lantang wanita

43. Para penjamu tamu

44. Wanita membawa makanan

45. Pria membawa minuman

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 80: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

46. Rombongan kerabat 3

47. Wanita bercaping tani (muda)

48. Wanita dewasa

49. Rombongan pria

50. Penerima tamu pria di lantang

51. Penerima tamu wanita di lantang

52. ‘Tarian kematian’ di timur alang

53. Suasana misa penutup hari ke-2

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 81: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

54. Makan malam dengan daging kerbau

55. Hewan persembahan membuka

upacara

56. Anak-anak pengiring tamu berfoto

sebelum ‘bertugas’

57. Rombongan kerabat 4

58. Wanita bercaping tani (dewasa)

59. Wanita muda

60. Rombongan pria

Hari 3

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 82: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

61. Para penjamu tamu

62. Penjamuan tamu dalam lantang

63. Rombongan kerabat 5

64. Pasangan pria-wanita

65. Kerbau diadu untuk makan siang

66. Kerbau yang kalah segera diolah untuk

makan siang

67. Penerimaan rombongan gubernur

68. Rombongan gubernur masuk rante

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 83: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

69. Gubernur masuk lantang

70. Para penjamu gubernur

71. Penjamuan tehadap gubernur

72. Gubernur berbicara dari mimbar selatan

73. Rombongan kerabat 6

74. Rombongan kerabat berjalan melewati

babi-babi persembahan

75. Wanita bercaping tani (dewasa) diikuti

wanita muda

76. Para pria dewasa diikuti para pria muda

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 84: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

77. Rombongan kerabat 6 memasuki

lantang-nya

78. Lebih banyak lagi hewan persembahan

dibawa ke rante

79. Penebasan kerbau tetap dilakukan

80. Rombongan kerabat terakhir

81. Antrean panjang para kerabat untuk

memasuki lantang

82. Pasangan pria-wanita

83. Suasana dalam lantang pria

84. Suasana dalam lantang wanita

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 85: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

85. Penebasan kerbau terus dilakukan

hingga seluruh kerbau ‘ikut mati’ bersama pemiliknya

86. Daging babi dan kerbau diolah dan dibagi-bagikan pada masyarakat sekitar

87. ‘Tarian kematian’ dilakukan di sekitar

babi yang belum ditebas

88. Karangan bunga duka

89. Doa terakhir sebelum penguburan

kembali jenazah Ne’ Ery

90. Suasana lantang saat doa terakhir

91. Pihak kerabat memberi pernyataan

terakhir

92. Peti jenazah diturunkan dari lakkiang

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009

Page 86: RUANG DAN RITUAL KEMATIAN. Hubungan Upacara dan ...

93. Peti jenazah dibawa ke rante

94. Para kerabat berfoto di depan duba-duba

95. ‘Tarian kematian’ terakhir dibawakan

oleh para kerabat

96. Duba-duba siap diangkat

97. Duba-duba dibawa ke ‘rumah sakit’

jenazah sebelum dikuburkan

98. Duba-duba tiba di ‘rumah sakit’

99. Peti jenazah dimasukkan ke ‘rumah

sakit’nya

100. Jenazah ‘menunggu’ dikuburkan

kembali

(Video rekaman oleh Etrudian Tangdilintin: Tallunglipu, Tana Toraja, 20-23 September 2006)

Ruang dan ritual..., Andi Karina Deapati, FT UI, 2009