Review Ankersmit DHEA

18
Review Refleksi tentang Sejarah: Pendapat-Pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah Karya F. R. Ankersmit Pada Bab I, terdapat pembahasan mengenai istilah filsafat sejarah dan teori sejarah. Hal itu dijelaskan berdasarkan pemikiran Prof. J. M. Romein yang berkata bahwa tugas dari teori sejarah ialah menyusun kembali kepingan-kepingan masa silam sehingga dapat dikenali kembali. Pernyataan itu memang tak bisa dipungkiri. Tetapi, Romein tidak berhasil menarik garis perbatasan dengan filsafat sejarah di satu sisi dan pengkajian sejarah di sisi lain. Muncul masalah-masalah yang menurut pendapatnya, bidang teori sejarah ternyata selalu merupakan masalah filsafat sejarah atau masalah pengkajian sejarah, sehingga cukup beralasan bahwa teori sejarah seperti pendapat Romein tidak dapat mandiri, karena bidang teori sejarah selalu merupakan masalah filsafat sejarah. Maka dari itu, lebih baik melepaskan kedua konsep tersebut dan hanya mempertahankan istilah filsafat sejarah. Selain itu, ada tiga unsur filsafat sejarah, yakni filsafat sejarah yang deskriptif, filsafat sejarah yang spekulatif, dan filsafat sejarah kritis. Filsafat sejarah yang deskriptif terkait apa yang ditulis oleh ahli sejarah, yang biasa kita tahu dengan historiografi. Lalu, filsafat sejarah Ayudhea Dwi Meitasari 134284033

description

Buku Karya Ankersmit

Transcript of Review Ankersmit DHEA

Page 1: Review Ankersmit DHEA

ReviewRefleksi tentang Sejarah: Pendapat-Pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah

Karya F. R. Ankersmit

Pada Bab I, terdapat pembahasan mengenai istilah filsafat sejarah dan teori sejarah. Hal

itu dijelaskan berdasarkan pemikiran Prof. J. M. Romein yang berkata bahwa tugas dari teori

sejarah ialah menyusun kembali kepingan-kepingan masa silam sehingga dapat dikenali

kembali. Pernyataan itu memang tak bisa dipungkiri. Tetapi, Romein tidak berhasil menarik

garis perbatasan dengan filsafat sejarah di satu sisi dan pengkajian sejarah di sisi lain. Muncul

masalah-masalah yang menurut pendapatnya, bidang teori sejarah ternyata selalu merupakan

masalah filsafat sejarah atau masalah pengkajian sejarah, sehingga cukup beralasan bahwa

teori sejarah seperti pendapat Romein tidak dapat mandiri, karena bidang teori sejarah selalu

merupakan masalah filsafat sejarah. Maka dari itu, lebih baik melepaskan kedua konsep

tersebut dan hanya mempertahankan istilah filsafat sejarah.

Selain itu, ada tiga unsur filsafat sejarah, yakni filsafat sejarah yang deskriptif, filsafat

sejarah yang spekulatif, dan filsafat sejarah kritis. Filsafat sejarah yang deskriptif terkait apa

yang ditulis oleh ahli sejarah, yang biasa kita tahu dengan historiografi. Lalu, filsafat sejarah

yang spekulatif memandang arus sejarah faktual guna menemukan suatu struktur dasar dalam

yang tersembunyi dalam arus itu. Sedangkan filsafat sejarah kritis menyangkut penelitian

masa silam yang dilukiskan sehingga dapat dipertanggungjawabkan.

Guna filsafat sejarah salah satunya adalah melatih kepekaan kritis seorang peneliti

sejarah. Dalam hal ini, seorang peneliti sejarah lebih mampu mengadakan penilaian pribadi

dan koreksi mengenai pengkajian sejarah pada saat tertentu. Hal itu akan lebih bermakna dan

memuaskan sehingga kajian tentang sejarah akan lebih tuntas, menarik, dan bermakna bagi

kehidupan manusia hari ini dan hari esok.

Masuk pada Bab II, terdapat pembahasan mengenai filsafat sejarah spekulatif. Filsafat

sejarah spekulatif adalah perenungan filsafati mengenai sifat-sifat suatu proses sejarah.

Seorang filsuf sejarah spekulatif memandang proses sejarah faktual dalam keseluruhannya

dan berusaha menemukan suatu struktur dasar dalam proses sejarah itu. Filsafat sejarah

Ayudhea Dwi Meitasari

134284033

Page 2: Review Ankersmit DHEA

spekulatif mencari suatu struktur-dalam tersembunyi yang ada di dalam proses historis yang

menjelaskan mengapa sejarah berlangsung demikian.

Sumber dari spekulasi sejarah tersebut terdiri atas pengetahuan apriori dan aposteriori.

Pengetahuan apriori ialah pengetahuan yang tidak langsung berdasarkan pengalaman,

sedangkan pengetahuan aposteriori ialah pengetahuan yang berdasarkan pada pengalaman

dan pengamatan terhadap realitas.

Pada Bab III, terdapat pemaparan terkait filsafat sejarah dalam pandangan Hegel, yang

terdiri dari filsafat sejarah formal dan material. Filsafat sejarah formal membahas tentang

hakikat sejarah (bukan jalannya peristiwa-peristiwa sejarah) yang dipandang sebagai cabang

pengetahuan yang khusus. Filsafat ini berurusan dengan tujuan penyelidikan sejarah dan cara-

cara sejarawan menggambarkan dan mengklasifikasikan bahan mereka, serta cara mereka

sampai pada penjelasan-penjelasan yang menekankan tatacara penyelidikan dan hubungan

antara sejarah dengan bentuk-bentuk penyelidikan yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa

filsafat sejarah formal bertujuan untuk menguji dan menghargai metode ilmu sejarah dan

kepastian dari kesimpulan-kesimpulannya.

Dalam filsafat sejarah material, penjelasan Hegel mengenai filsafat sejarah material

lebih luas daripada filsafat sejarah formal. Filsafat sejarah material ala Hegel menyerupai

sebuah “palimpsest”, empat struktur yang erat kaitannya, yang satu diletakkan di atas yang

lainnya. Pertama yang kita lihat ialah tiga bagian dalam proses sejarah, yakni sejarah Timur,

Yunani-Romawi, dan Germania. Pembagian ini berdasarkan atas trias Hegel (Roh Objektif,

Roh Subjektif dan Roh Mutlak). Dalam dunia Timur, terdapat Roh yang berkarya dalam

objektifitas. Pada dunia Yunani-Romawi muncullah subjektifitas, lalu Roh Mutlak dalam

Germania terdapat perukunan antara yang subjektif dan objektif.

Dalam Bab IV, dibahas mengenai kritik-kritik terhadap filsafat sejarah spekulatif, yang

antara lain: tidak dapat dipastikan benar atau tidaknya sistem spekulatif seperti dapat

dilakukan terhadap penafsiran-penafsiran sejarah. Lalu, sifat metafisis dalam sistem

spekulatif, ini terkait dengan tidak dapat diketahui bahwa kenyataan itu tidak benar, sekalipun

kelihatan tidak masuk akal. Sistem spekulatif tidak ilmiah, karena kata “ilmiah” tidak dapat

diberikan pada spekulasi tentang sejarah dan spekulasi berlainan dengan penyataan-

pernyataan ilmiah. Hukum evolusi bagi proses sejarah, dalam teori evolusi Darwin, tidak

terdapat suatu hukum evolusi, melainkan suatu penafsiran tentang proses unik yang hanya

terjadi sekali. Selain itu, ada arah perkembangan yang menyinggung proses historis dalam

sistem spekulatif menampakkan trend menuju kemajuan karena adanya kecenderungan tanpa

menghiraukan ada atau tidaknya kondisi awal yang harus terpenuhi. Kemudian, Hukum-

Page 3: Review Ankersmit DHEA

hukum gerak atau hukum-hukum urutan yang dapat dirumuskan guna menopang proses

historis, sehingga berdasarkan hukum-hukum tersebut dapat diramalkan dengan jangkauan

jauh. Dalam wibawa sistem spekulatif ditegakkan kembali, penentuan tema dan bahan

penelitian setiap penelitian historis diserahkan ‘wibawa’nya pada filsafat sejarah spekulatif,

hal itulah yang membuktikan pentingnya filsafat sejarah spekulatif bagi penulisan sejarah.

Pada Bab V, diuraikan mengenai masalah-masalah yang digeluti oleh filsafat sejarah,

antara lain sejauh mana kita dapat memperoleh pengetahuan yang benar mengenai masa

silam dan bagaimana sifat pengetahuan itu. Selain itu, pertanyaan mengenai kebenaran dalam

pengkajian sejarah mengantar kita pada menelisik masalah benar atau tidaknya pernyataan-

pernyataan para ahli sejarah mengenai masa silam.

Dijelaskan pada Bab VI mengenai pertanyaan mungkinkah kita mengetahui masa

silam. Kesangsian terkait apakah masa silam memang pernah ada membentuk skeptisisme

historis. Jika memang kita menyangsikan bahwa masa silam itu pernah ada, kita pun harus

tahu apa yang kita sangsikan. Skeptisisme historis tersebut bisa dibungkam dengan

mempertanyakan jawaban apakah yang akan diberikan seorang skeptikus (misal: Betrand

Russel) pada esok hari seandainya kita bertanya “apakah ia tetap pada pendiriannya (tentang

sejarah tercipta baru-baru saja) seperti sekarang?”. Jika ia tetap pada pendiriannya, berarti ia

menerima sebagian dari masa silam (antara sekarang dan esok). Otomatis, skeptisisme

historisnya terbantahkan.

Selain itu, masa silam memang sekarang tiada lagi, sehingga kita tak pernah bisa

mengecek sejauh mana ucapan historis dapat dipercaya. Oleh karena itu, menurut Oakeshott,

pengetahuan kita mengenai masa silam dapat dibenarkan dengan bukti-bukti historis, yang

kemudian dapat dikonstruksikan mengenai apa yang kemungkinan terjadi di masa silam.

Lalu, Goldstein menyatakan bahwa pengetahuan kita mengenai sejarah selalu tergantung

pada sifat-siat metode penelitian. Dari hal itu, konstruksi-konstruksi historis dapat dirangkai

dalam suatu metode penelitian guna mencapai pengetahuan mengenai sejarah yang cukup

terandalkan.

Skeptisisme historis dicoba dilawankan oleh R. G. Collingwood dengan cara re-

enactment of the past (masa silam dipentaskan kembali). Namun, pendapat Collingwood ini

terbantahkan dengan pernyataan bahwa meskipun saat ini kita mencoba melakukan hal sama

dengan para pelaku sejarah (di zamannya), tetap saja tak akan sama, karena kita bukan

berasal dari zaman si pelaku sejarah. Dari adanya skeptisisme historis tersebut tidak menjadi

kelemahan pokok dalam pengkajian sejarah. Berdasarkan pendapat Danto, sebaliknya, justru

Page 4: Review Ankersmit DHEA

pengkajian sejarah didasarkan atas kelemahan tersebut. Di sinilah peranan pengkajian sejarah

berandil dalam menjembatani jurang pemisah antara masa kini dan masa silam.

Lalu, dalam Bab VII dijelaskan mengenai empat teori kebenaran yang terkait dengan

pernyataan singular dalam pengkajian sejarah. Pertama, teori tindak bahasa, yang

mengatakan bahwa kebenaran adalah tidak ada perbedaan antara suatu pernyataan mengenai

sesuatu (p) dengan pernyataan lainnya mengenai (p). Kedua, teori pragmatis. Menurut teori

ini, sebuah ucapan benar bila ucapan itu terbukti merupakan pedoman yang dapat diandalkan.

Ketiga, teori korespondensi, di mana untuk menguji kebenaran bahwa suatu ucapan itu benar,

bila terdapat keserasian (korespondensi) antara apa yang diucapkan di dalam kenyatan

(historis). Keempat, teori koherensi, suatu ucapan benar, bilamana ucapan tersebut ada kaitan

(koheren) dengan sejumlah ucapan yang kebenarannya sudah diterima.

Dalam Bab VIII dijelaskan mengenai keterangan historis yang meliputi pembahasan

Covering Law Model, hermeneutika, dan kausalitas. Menurut pandangan pendukung

Covering Law Model (CLM), sebuah keterangan historis baru dapat diterima, jika didukung

oleh salah satu atau beberapa hukum umum. Sedangkan dalam hermeneutika dijelaskan

bahwa untuk menerangkan masa silam, seorang peneliti sejarah harus menghayati atau

menempatkan dirinya sendiri dalam batin para pelaku sejarah terlebih dahulu. Lalu,

berdasarkan narativisme, keterangan akan masa silam dari seorang peneliti sejarah

didapatkan dengan menyusunnya menurut suatu struktur atau dengan mengembangkan suatu

penafsiran.

Selanjutnya, pembahasan terkait historisme dan narativisme dipaparkan di Bab IX.

Permulaan, kita akan sedikit membahas tentang historisme. Ada empat arti mengenai istilah

historisme. Pertama, istilah historisme diartikan sebagai anggapan bahwa seorang peneliti

sejarah harus memahami masa silam, serta menghindarkan segala noda anakronisme. Kedua,

istilah historisme menuntut sejarawan untuk menghayati atau masuk ke dalam kulit pelaku

sejarah (hermeneutis). Ketiga, istilah historisme sering dipakai untuk menunjukkan sistem-

sistem spekulatif tentang sejarah. Pada arti keempat, historisme adalah pendapat, bahwa baru

pendekatan historis terhadap kenyataan (sosio-historis), membuka kemungkinan untuk

melacak hakikat objek-objek di dalam kenyataan (sosio-historis) itu. Dengan kata lain, esensi

objek-objek itu terletak dalam sejarah. Penelitian sejarah baru ada arti dan makna, jika

peneliti yakin bahwa hanya dengan pendekatan sejarah, kita dapat memahami hakikat objek-

objek penelitian di dalam kenyataan sosio-historis.

Lalu, kita lanjut ke pembahasan tentang narativisme. Istilah “narativisme” menurut

kebahasaan, berasal dari bahasa latin, narratio yang berarti cerita. Akan tetapi, narativisme

Page 5: Review Ankersmit DHEA

merupakan suatu teori mengenai penafsiran masa silam dan tidak terbatas pada laporan-

laporan yang tersusun kronologis. Narasi yang baik mengenai suatu peristiwa adalah narasi

yang banyak mengandung rincian fakta-fakta. Namun demikian, narativisme bukan hanya

menafsirkan masa silam dan menyusun laporan secara kronologis, melainkan narativisme

juga ingin melukiskan sifat-sifat khas bagi suatu masa tertentu.

Menuju Bab X, terdapat perdebatan mengenai adakah pengkajian sejarah itu suatu ilmu

atau tidak. Namun, yang penting dari bab ini yakni, pendapat mengenai sifat ilmiah

pengkajian sejarah. Pengkajian sejarah dapat dibilang ilmiah jika dihubungkan dengan ilmu-

ilmu lainnya, yakni ilmu-ilmu sosial. Selain itu, saling mempengaruhinya pengkajian sejarah

dengan ilmu-ilmu sosial dan sebaliknya dapat membuktikan keilmiahan pengkajian sejarah.

Oleh karena itu, peneliti sejarah harus menggunakan teori-teori sosial untuk membantunya

dalam melukiskan masa silam. Dalam bab ini, pengkajian sejarah terkait bantuan dari ilmu-

ilmu sosial, yang meliputi psikologi, sosiologi, ekonomi, dan filsafat.

Hubungan sejarah dengan psikologi. Pengkajian sejarah terkait mempelajari kejiwaan

dan perilaku manusia di masa silam yang meliputi kejiwaan dan perilaku kelompok-

kelompok orang dan orang secara individu. Kejiwaan dan perilaku para pelaku sejarah

dipelajari dan oleh para sejarawan agar dari kejiwaan dan perilaku tersebut dapat ditelaah

perkembangan sejarah kehidupan para pelaku sejarah.

Hubungan sejarah dengan sosiologi. Pengkajian sejarah terkait mempelajari berbagai

interaksi manusia, baik antar individu, individu dengan kelompok manusia, dan kelompok

manusia dengan kelompok manusia lainnya di masa silam. Hubungan interaksi manusia dan

pola-pola perilakunya dikaji melalui pendekatan makro dan pendekatan mikro sosiologis dan

ditunjang pula dengan teori-teori sosiologis.

Hubungan sejarah dengan ekonomi. Pengkajian sejarah terkait mempelajari bagaimana

cara manusia di masa silam dalam pemenuhan kebutuhan material hidupnya sehari-hari.

Dalam pengkajian sejarah modern, terdapat dua aliran yang bekerja sama erat, yakni aliran

Annales yang lebih tertarik pada aspek ekonomis masa silam dan aliran New Economic

History yang sudah memakai teori-teori ekonomis lebih mutakhir.

Hubungan sejarah dengan filsafat (intelektual). Pengkajian sejarah terkait tentang

mempelajari perkembangan pemikiran manusia di masa silam yang berhubungan dengan

nalar (rasionalisme) dan pemahaman mengenai pengalaman (empirisme). Perkembangan ide-

ide dari alam pikiran manusia menunjukkan jalan dalam memahami hakikat suatu kebenaran

yang dihubungkan dengan bahasa baik secara tekstual maupun kontekstual.

Page 6: Review Ankersmit DHEA

Pada Bab XI, terdapat penjelasan mengenai kebebasan dan keniscayaan. Istilah

“keniscayaan” mempunyai dua arti. Pertama, apa yang terjadi pada masa silam, masa kini,

dan masa depan niscaya, karena arus sejarah secara niscaya mengikuti suatu garis yang tak

dapat diubah. Tapi, menurut arti kedua, bahwa masa kini, masa silam, dan masa depan

niscaya terjadi demikian, karena pada prinsipnya segala sesuatu yang terjadi pada masa silam

maupun mendatang, dapat diterangkan secara rasional. Penafsiran pertama mengenai konsep

keniscayaan dikenal sebagai doktrin sejarah yang tak terelakkan, sedangkan penafsiran

kedua dikenal sebagai tesis mengenai determinisme.

Umumnya, penalaran terkait sejarah yang tak terelakkan, lepas dari usaha manusia.

Lalu, paham mengenai sejarah yang tak terelakkan dan paham determinisme memiliki status

logis yang beda. Paham mengenai sejarah yang tak terelakkan merupakan suatu teori

metafisis mengenai sifat proses historis, di dalamnya pun terdapat perkembangan yang tak

terelakkan. Sedangkan determinisme merupakan suatu teori mengenai sifat pengetahuan kita

mengenai kenyataan, yakni menurut konsep sebab dan akibat.

Segala sesuatu yang sedang terjadi dalam sejarah dan sudah terjadi dapat diterangkan

secara kausal menurut bagian-bagiannya, tapi tidak dalam keseluruhannya yang sangat

majemuk. Dalam buku karya Ankersmit ini, dipaparkan bahwa paham mengenai sejarah yang

tak terelakkan merupakan suatu teori yang sangat tidak masuk akal, karena melepaskan

perkembangan sejarah dari perbuatan kita sebagai manusia.

Determinisme bukanlah suatu pola hukum, bukan juga suatu pernyataan mengenai

susunan kenyataan, melainkan suatu sikap terhadap kenyataan. Kemudian, ada keberatan

yang paling umum diajukan terhadap determinisme, yakni determinisme melenyapkan

kebebasan manusia dan tanggung jawab moralnya. Andaikan sejarah memang memilih jalan

yang tak terelakkan, sedangkan usaha manusia baik individual ataupun kolektif, tidak dapat

mengubah jalan sejarah itu, maka kebebasan memilih dan tanggung jawab moral tinggal

bayangan saja. Kita tidak bertanggung jawab mengenai hal-hal yang terjadi di luar kekuasaan

kita.

Lalu, perlu dipaparkan lebih lanjut terkait konsep kebebasan. Siapa yang kita sebut

bebas? Orang yang melakukan sesuatu karena tidak terpaksa, pertama paksaan dari luar,

kemudian juga paksaan dari dalam, misalnya karena kelainan jiwa. Dengan demikian, dapat

disimpulkan bahwa paham determinisme tidak bertentangan dengan konsep kebebasan dan

tanggung jawab moral, melainkan justru merupakan dasarnya.

Kemudian, di Bab XII dijelaskan tentang subjektivitas dan objektivitas: nilai-nilai

dalam pengkajian sejarah. Sebuah pelukisan sejarah disebut subjektif, jika subjek yang tahu

Page 7: Review Ankersmit DHEA

(sejarawan) jelas hadir di dalamnya. Sedangkan pelukisan sejarah disebut objektif, jika hanya

objek penulisan sejarah dapat diamati. Salah satu cara suatu penulisan sejarah dapat bersifat

subjektif ialah jika sejarawan membiarkan keyakinan politik atau etisnya turut berperan,

ringkasnya jika “nilai-nilainya” turut berperan. Lalu, pengertian “subjektif” dan “objektif”

dapat disamakan dengan “terpengaruh tidaknya seorang sejarawan oleh nilai-nilai tertentu”.

Adanya tuntutan terhadap sejarawan yang mana ia harus memberi sumbangan-

sumbangan untuk memecahkan masalah saat ini menunjukkan bahwa subjektivisme dalam

penulisan sejarah mulai merasuk. Hal ini sejalan dengan pemikiran filsuf sejarah berhaluan

marxis yang berpendapat bahwa penulisan sejarah yang objektif tidak mungkin dan tidak

perlu dicita-citakan.

Berikutnya akan dibahas terkait beberapa alasan yang membela subjektivisme,

objektivisme, dan pandangan yang berhaluan tengah.

Beberapa alasan yang membela subjektivisme, yaitu:

(1) Alasan induksi, menurut G. Myrdal bahwa penulisan sejarah selalu bersifat

subjektif. Jika telaah historis t1 bersifat subjektif, demikian juga t2 dan seterusnya.

(2) Alasan relativisme, dalam hal ini Ch. Beard dan J. Romein membedakan antara: (a)

masa silam sendiri; (b) bekas-bekas yang ditinggalkan masa silam; (c) bagaimana

kita menggambarkan masa silam itu.

Dari (a) ke (b) sudah menjuruskan ke arah subjektif, karena sumber-sumber dari

masa silam umumnya mengenai apa yang orang-orang pada zaman dulu anggap

penting. Lalu, unsur subjektif dari (b) ke (c) tidak dapat disingkirkan.

(3) Alasan bahasa, menurut pandangan L. Strauss maupun A. R. Louch, subjektivitas

seorang sejarawan tidak hanya tak dapat disingkirkan, melainkan merupakan suatu

faktor yang pantas dicita-citakan. Sifat bahasa yang dipakai seorang sejarawan

memaksanya melukiskan masa silam secara subjektif.

(4) Alasan idealistis, menurut paham idealisme, kenyataan merupakan hasil dari budi

manusia. Hal itu didalilkan oleh penganut idealisme bahwa kenyataan itu hanya

ada sejauh kita menyadari kenyataan (“to be is to be perceived”), kata Berkeley.

(5) Alasan marxis, pada alasan ini, ada kesamaan pendapat antara para idealis dan

marxis, yang menyatakan bahwa tak mungkin memisahkan subjek yang mengenal

dari objek yang dikenal. Namun, ada pula perbedaan jalan pikiran seorang marxis

dan seorang idealis. Bagi marxis, kenyataan itu bukanlah kenyataan fisik ataupun

historis yang secara pasif berhadapan di muka kita, melainkan kenyataan yang

beraksi terhadap sentuhan penelitian kita.

Page 8: Review Ankersmit DHEA

Beberapa alasan yang membela objektivisme, yaitu:

(1) Memilih objek penelitian, walaupun dalam memilih topik penelitiannya, sejarawan

memakai subjektivitas, tapi tetap saja hasil penelitiannya belum tentu subjektif.

(2) “Wertung” dan “Wertbeziehung” (pertalian dengan nilai-nilai), dalam “Wertung”

dinyatakan bahwa penilaian sejarawan terhadap tokoh sejarah diilhami oleh nilai

tertentu. Sedangkan dalam “Wertbeziehung” dinyatakan bahwa kita menerangkan

perbuatan pelaku sejarah sambil menghubungkan perbuatan itu dengan nilai-nilai

umum yang dianut masyarakat zaman itu.

(3) Alasan seleksi, dengan mengadakan seleksi (bahan) dalam penelitian sejarah, dapat

mengacaukan sifat asli dari masa silam dan membuktikan subjektivitas sejarawan.

(4) Alasan antiskeptisisme atau antirelativisme, subjektivisme menjurus ke relativisme

dan itu mengantar kita ke skeptisisme historis (pendapat yang menyatakan bahwa

pengkajian sejarah tidak menghasilkan pengetahuan yang terandalkan). Seorang

skeptikus yang menganggap segala tulisan sejarah relatif dan terpengaruh nilai-

nilai, harus membuktinya nilai-nilai mana yang mempengaruhi penulisan sejarah.

(5) Alasan dan sebab musabab, ini adalah alasan paling terkenal dalam menghadapi

subjektivisme. Sejarawan dapat membela pendapat-pendapat tertentu, meskipun

kita belum tahu pendapatnya benar atau tidak. Jika alasan-alasan yang diberikan

orang lain tidak tahan uji, kita dapat menolak pendapatnya.

(6) Alasan propaganda, pada alasan ini, subjektivis bisa dibilang unggul (walau tidak

sepenuhnya), karena menulis sejarah secara objektif murni mustahil dilakukan jika

nilai-nilai menopang penalaran dalam penulisan sejarah. Nilai-nilai tersebut pun

dikaitkan dengan propaganda. Namun, jika setiap orang membaca uraian

propagandistis, pasti tidak terkesan dengan mutu ilmiahnya. Inilah yang membuat

objektivis bisa mematahkan keunggulan subjektivis tadi. Propaganda selalu

bertujuan mengalihkan nilai-nilai kepada orang-orang yang belum menganut nilai-

nilai itu.

(7) Alasan analogi, para objektivis membela kadar objektivitas dalam pengetahuan

sejarah dengan membandingkan pengkajian sejarah dengan ilmu eksakta.

Demikian, pendapat dari J. A. Passmore yang terkadang terkesan agak dibuat-buat

dalam membela objektivitas dalam pengetahuan sejarah.

Beberapa alasan yang membela jalan tengah, yaitu:

(1) Wals dan Danto, adanya perbedaan perspektif terkait pengkajian sejarah tak perlu

terlalu digemparkan, karena nilai atau pandangan tersebutlah mengilhami

Page 9: Review Ankersmit DHEA

sejarawan untuk bagaimananya mendekati masa silam. Kenyataan bahwa dengan

menganut nilai-nilai yang berbeda, para ahli sejarah dapat memberi penafsiran

berbeda tentang masa silam, belum merupakan alasan untuk meragukan

kemungkinan mengadakan penelitian historis yang objektif.

(2) Alasan bahasa sehari-hari, dalam bahasa keseharian memang terdapat sesuatu

yang kita namakan “objektif” atau “subjektif”, ini didasari oleh pertanyaan: “Apa

gunanya kita memakai kata-kata yang tiada sangkut pautnya dengan kenyataan?”

Selanjutnya, kesadaran historis dibahas pada Bab XIII dalam buku ini. Kesadaran

historis terkadang dibayangkan sebagai kesadaran mengenai sifat dunia ciptaan manusia yang

selalu berubah-ubah. Kesadaran historis terkait dengan perubahan, di mana kesadaran historis

di satu sisi memperlihatkan kebhinekaan berbagai periode dalam masa silam, di sisi lain

mengungkapkan sesuatu yang tak berubah dalam proses sejarah.

Kesadaran historis dalam kasus Fortuna (nasib) dan Virtu (kekuatan) memperlihatkan

kepada para ahli sejarah zaman Renaissance betapa hal-ikhwal di dunia ini terus-menerus

berubah, atau dengan kata lain, taman indah politik yang dipelihara dengan penuh perhatian,

selalu ada kecenderung menjadi taman liar seperti pada Abad Pertengahan, tunduk pada tata

tertib alami yang berada di luar putaran waktu.

Lalu, kesadaran historis pada masa kini masih ada dikarenakan rasa ingin tahu

mengenai hal-hal yang aneh (unik) seperti yang dipamerkan dalam museum etnologi.

Dalam Bab XIV, terdapat pembahasan terkait keterlibatan. Maksudnya, dalam

penulisan sejarah kerap kali aspek “keterlibatan” ini dipakai sebagai sesuatu yang diharapkan

dalam pengkajian sejarah, seperti sejarah dapat memberi sumbangan bagi suatu masyarakat

yang lebih baik. Hal itu didasari adanya harapan kita akan ilmu pengetahuan yang nantinya

bisa bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Dengan demikian, dapat kita telaah bahwa

pengkajian sejarah mendekati adanya suatu subjektivitas di dalamnya. Hal itu disebabkan

oleh adanya pengharapan bahwa sejarah harus memenuhi suatu tuntutan zamannya.

Keterlibatan sejarah akan pengharapan sisi manfaatnya dalam kebutuhan-kebutuhan

pada kehidupan masyarakat masa kini sejalan dengan pemikiran H. Zinn, sehingga

pengkajian sejarah mengandung aspek-aspek masa silam mana yang paling berguna untuk

diteliti. Dengan begitu, kita dapat menyetujui pemikiran Zinn, supaya seorang sejarawan

tetap sadar akan tanggung jawab sosial dan kultural pada zamannya, lalu cukup curiga

terhadap pengkajian sejarah yang teramat terspesialistis atau yang ingin makin

“mengilmiahkan”-nya.

Page 10: Review Ankersmit DHEA

Setelah itu, fakta-fakta dari masa silam sering tidak serasi dengan keterlibatan seorang

peneliti sejarah. Ia lalu harus memilih antara keterlibatan dan kemurnian, serta objektivitas

penelitian. Selain itu, ada kelemahan lain dalam penulisan sejarah yang terlibat. Menurut

Nipperdey, keterlibatan yang digunakan sejarah sebagai sarana untuk membangun masa

depan yang lebih baik, mengurangi keterbukaan dan penerimaan kita bagi perspektif-

perspektif baru dan tak terduga untuk membangun masa depan itu. Kemudian, ada kelemahan

dalam penulisan sejarah yang terlibat, yakni seorang sejarawan yang terlibat bertitik tolak

pada suatu pendapat yang masih harus dibuktikan. Menentukan apakah sesuatu relevan bagi

masa kini, merupakan hasil penelitian historis, bukannya titik pangkalnya.

Namun, ilmu sendiri tidak memilih tujuan, tapi manusialah yang memilih tujuan itu.

Ilmu dan akal budi tidak memihak. Pada hakikatnya, akal budi dan ilmu bersifat “kritis”,

artinya secara implisit mengandung sebuah kritik terhadap tata masyarakat kita yang tidak

sempurna. Lalu, adapun tujuan akhir dari penulisan sejarah yang terlibat itu ialah mencapai

suatu masyarakat di mana mawas diri tidak lagi diselenggarakan oleh hubungan kekuasaan

yang tidak dapat dihalalkan.

Dan, di Bab XV, yang merupakan bab terakhir dalam buku ini, dijelaskan mengenai

makna sejarah. Sebelum membahas makna sejarah, kita lebih dahulu mengkaji arti kata

“makna”. Kata “makna” memiliki dua arti. Pertama, kata “makna” merujuk pada adanya

suatu tujuan tertentu. Kedua, kata “makna” dapat disamakan dengan arti.

Dengan demikian, “makna sejarah” dapat diberi empat macam penafsiran. Pertama,

makna sejarah sebagai tujuan terakhir dalam perjalanan proses sejarah. Kedua, arti proses

sejarah. Ketiga, tujuan dan gunanya pengkajian sejarah. Keempat, arti pengkajian sejarah.

Menurut penafsiran pertama mengenai istilah “makna sejarah”, kita baru dapat

menjawab pertanyaan mengenai makna sejarah, jika kita mengetahui tujuan proses historis.

Penafsiran kedua yang terkait arti proses sejarah sebenarnya sama dengan adanya pertanyaan

yang dihadapi oleh seorang sejarawan dalam penelitian historis biasa. Lalu, penafsiran ketiga

mengenai istilah “makna sejarah” tidak menimbulkan persoalan apapun, bahkan merupakan

sumber ilham bagi penelitian sejarah.

Sampailah kita pada apa gunanya pengetahuan sejarah. Mencari dan memperoleh

pengetahuan sejarah menghasilkan kepuasan intelektual. Di samping itu, sejarah dapat

digunakan sebagai bahan pelajaran guna kita pilih mana hikmah yang dapat kita petik dalam

peristiwa masa silam. Kemudian, pengkajian sejarah dapat mengajarkan pada kita, bagaimana

dalam situasi tertentu kita harus bertindak. Inilah yang latar belakang pepatah “historia

magistra vitae”, sejarah bertindak sebagai guru mengenai kehidupan.