Resensi Buku - Supremasi Kristus (Ajith Fernando)

download Resensi Buku - Supremasi Kristus (Ajith Fernando)

of 5

description

Kehandalan buku ini terletak pada corak argumentasi yang digunakan. Argumentasi yang dibangun dalam buku ini bersifat praktis dan tidak kaku. Secara keseluruhan, Fernando memformulasikan pandangan apologetisnya dalam konstek keragaman beragama yang berkembang di Timur. Buku ini juga berupaya menjembatani pemikiran Barat dengan Timur yang berbeda kultur-budaya. Untuk maksud tersebut, Fernando berkali-kali menegaskan pentingnya memahami keunikan Kristen di tengah-tengah keragaman dogmatis.

Transcript of Resensi Buku - Supremasi Kristus (Ajith Fernando)

  • 5/20/2018 Resensi Buku - Supremasi Kristus (Ajith Fernando)

    1/5

    Resensi Buku

    Pendahuluan

    Buku Diselamatkan oleh Anugerah ditulis oleh Ajith Fernando; penerjemah: Stevy Tilaar; editor:

    Irwan Djulianto; cetakan ketiga; Surabaya; penerbit: Momentum, tahun 2013; xvi + 270 halaman;ketebalan buku 24 cm.

    Tujuan buku ini adalah berupaya menghadapi dan menjawab tantangan pluralitas dan

    relativitas terhadap keunikan kekristenan. Mencoba membuktikan kemutlakan Kristus sebagai satu-

    satunya jalan menuju keselamatan di tengah-tengah perbedaan dan toleransi beragama yang sedang

    berkembang. Fernando memformulasikan pembahasan dalam buku ini dengan beragam cara. Buku

    ini tidak semata-mata bersifat apologetika, tetapi juga merangkum unsur penafsiran, kritik teks,

    teologi, biografi, inspirasi, dan tantangan. Berbekal pengalamannya sebagai penulis, dosen,

    misionaris, pendiri, dan gembala jemaat yang sebagian besar anggotanya adalah petobat dari

    Buddhisme, tentu sangat memberikan sumbangsih yang besar terhadap pemahaman dan interaksinya

    dalam penulisan buku ini. Sekaligu menyiratkan bahwa buku ini sangat layak diperhitungkan sebagaisalah satu bahan studi apologetika yang penting untuk dibaca.

    Rangkuman Gagasan Utama

    Keunikan Kristen menjadi tidak berarti dan penting di tengah-tengah komunitas dan

    pemikiran pluralisme. Supremasi Kristus menjadi tidak terutama dan hanya menjadi salah satu opsi

    dalam hal keselamatan. Oleh karena itu, penelitian yang akurat sangat dibutuhkan untuk

    membuktikan dan menegaskan keunikan Kristen. Fokus penelitian ini terdapat pada dua hal, yaitu

    pernyataan Yesus dan penulis-penulis kitab Perjanjian Baru. Jika Yesus memang suprematif, maka

    Dia benar-benar mengatakan dan melakukan apa yang benar-benar dituliskan tentang apa yang Diakatakan dan lakukan.

    Ada begitu banyak teori yang muncul dan berpengaruh terhadap keunikan kekristenan. Di

    Asia dan Barat, teori-teori itu mengedepankan sikap skeptis dan pluralis dalam memahami

    kebenaran. Sikap pluralis yang dimaksud di sini adalah pengakuan akan semua prinsip kebenaran

    sehingga tidak ada sebuah kebenaran yg mutlak. Tokoh seperti Donal Carson menyetujui pandangan

    ini. Menurutnya, tidak ada agama yang lebih superior dari agama lain dalam hal kebenaran, dengan

    menganalogikannya seperti gelombang laut. John Hick melangkah lebih jauh dengan berpedoman

    pada analogi teori revolusi buminya Copernicus. Ia menganggap bahwa semua agama sama seperti

    planet-planet yang bersama-sama mengelilingi matahari, yaitu Allah sebagai pusat, dengan cara dan

    pola yang berbeda.

    Pluralisme menyatakan bahwa kebenaran tidak dinyatakan kepada manusia melalui

    Penyataan Allah tetapi melalui pengalaman. Pengalaman-pengalaman itu yang kemudi melahirkan

    agama-agama. Ini berarti dalam pluralisme tidak ada satu-satunya jalan yang benar. Oleh karena itu,

    kebanyakan orang lebih mengambil sikap toleransi dan dialog dari pada berapologetika saat

    berjumpa dengan agama lain. Perjumpaan yang sejajar, setara, dan sederajat-menghindari konflik

    keagamaan.

    Alkitab dengan tegas menyatakan bahwa Yesus adalah kebenaran (Yoh.14:6). Hal ini

    disingkapkan Allah bukan melalui pengalaman. Yesus juga berkali-kali menegaskan bahwa siapa pun

  • 5/20/2018 Resensi Buku - Supremasi Kristus (Ajith Fernando)

    2/5

    yang mengenal-Nya maka mengenal Allah. Meskipun begitu, orang-orang Yahudi tidak mau

    mengakuinya dan para murid tidak mengerti maksud perkataan-Nya. Kebangkitan Yesus kemudian

    mengubah paradigma para murid. Kitab Yohanes menyebut-Nya sebagai firman yang menjadi

    manusia. Paulus menyatakan bahwa seluruh kepenuhan ke-Allah-an berdiam di dalam Yesus. Kitab

    Ibrani menegaskan bahwa Yesus adalah hakim di akhir zaman, pencipta semesta, cahaya kemuliaan

    Allah, dan perwujudan Allah yang sesungguhnya. Seluruh kitab Perjanjian Baru adalah karya Roh

    Kudus yang mempukan kita mengenal Kebenaran Absolut itu melalui sebuah hubungan pengenalanyang personal dengan Allah. Alkitab menjadi landasan kita untuk mengenal-Nya.

    Melalui Alkitab, kita tahu bahwa Yesus berkata-kata. Perkataan-Nya selalu menyatakan

    eksistensi dan natur-Nya. Saat membaca Injil Yohanes, konsep tentang natur ganda Yesus dan

    bagaimana kedua natur itu bereksistensi bersamaan, dipaparkan tanpa banyak spekulasi. Perkataan-

    perkataan Yesus menyiratkan bahwa Allah bekerja melalui-Nya dan menyatakan diri-Nya setara

    dengan Allah. Bahkan, meskipun beberapa ajaran menentang hal ini, misalnya Islam, ke-Ilahi-an dan

    ke-Pribadi-an Yesus tetap menjadi unik dalam Quran. Perkataan-perkataan Yesus semakin

    menyatakan keunikan-Nya saat Ia melakukan pekerjaan-pekerjaan-Nya. Pekerjaan yang dimaksud

    adalah mukjizat. Kelahiran-Nya sebagai manusia yang kudus, kehidupan-Nya sebagai manusia biasa

    yang tanpa dosa, penuh dengan kebaikan, kepandaian dan berprestasi, serta mukjizat-mukjizat yangtelah Ia lakukan membuktikan klaim-Nya tentang keilahian-Nya. Banyak yang meragukan mukjizat-

    mukjizat yang Ia lakukan. Meskipun begitu, keilahian Yesus tampak lebih mendasar pada seluruh

    pesan mengenai kematian dan kebangkitan-Nya.

    Dalam perjalanan waktu, keilahian Kristus mendapat tantangan serius. Beberapa paham

    dengan gamblang menyatakan Yesus hanya sebagai manusia yang ideal untuk dijadikan contoh,

    seperti yang didengungkan oleh kaum liberal. Paham ini tentu bertentangan dengan Injil. Dalam

    penginjilan pun, hidup dan karya Yesus sebagai penebus dan juruselamat adalah inti penting

    pemberitaan ini. Oleh karena kuasa keilahian-Nya, tanda-tanda dan mukjizat-mukjizat masih dapat

    dikerjakan melalui pelayanan orang percaya. Pelayanan kita seharusnya digunakan untuk

    menyatakan Ia adalah Tuhan dan Juruselamat manusia.Lalu, apakah Yesus yang dinyatakan oleh Alkitab adalah pribadi yang historis? Atau, sosok ini

    hanyalah sosok yang diimankan keberadaan-Nya? Jika, Dia adalah kebenaran yang mutlak, maka

    apakah Dia benar-benar nyata? Tokoh pluralisme Hindu, Gandhi, berpendapat bahwa meskipun

    Yesus benar realataufiction, pengajaran dan prinsip-prinsip jauh lebih penting. Tidak mengherankan

    jika Yesus hanya dipandang sebagai pahlawan dan bukan Tuhan. Bahkan kisah-kisah dalam

    Perjanjian Baru bersifat subjektif dan tidak akurat secara historis, tetapi hanya bersifat teologis. Ini

    tidak benar. Ada beberapa bukti. Pertama, kitab-kitab Injil menuliskan kisah-kisah yang benar-benar

    akurat dan historis. Kedua, dugaan penciptaan pribadi dan karakter Yesus secara sengaja oleh para

    murid dan penerusnya juga tidak berdasar dan lemah. Ketiga, kitab-kitab ditulis pada masa yang

    berdekatan dengan masa hidup Yesus. Jika ini adalah sebuah kebohongan, maka tentu akan

    mendapat respons negatif dari masyarakat sekitar. Keempat, semangat mempertahankan kebenaran

    sangat kental pada para murid dan orang percaya pada masa itu. Kesaksian mereka yang militan

    menyatakan keyakinan akan fakta dan sejarah.

    Bukti-bukti ini dirasakan sebagai bentuk sikap eksklusivisme yang berakar dari budaya Barat

    yang tidak banyak bersentuhan dengan agama-agama lain. Tentu ini justru keliru. Gereja Perjanjian

    Baru pun telah lebih dulu berhadapan dengan sikap pluralisme ini dan menegaskan supremasi

    Kristus. Kekristenan bukanlah warisan budaya Barat. Barat bukan identik dari Kristen. Superioritas

    Injil adalah keidentikan Kristen. Pengkristalan kekristenan dengan (negara) Barat malah akan

  • 5/20/2018 Resensi Buku - Supremasi Kristus (Ajith Fernando)

    3/5

    menimbulkan kecemasan dan persoalan kebencian terhadap pemberitaan Injil. Terlepas dari itu,

    pemberitaan Injil memang masih dirasa sebagai ancaman terhadap keutuhan dan kebebasan. Oleh

    sebab itu, pemberitaan Injil harus dapat memberikan sukacita dan jawaban atas dilema manusia.

    Sukacita ini yang dirasakan semakin memudar dari gereja. Ditandai dengan pemberitaan Injil yang

    sesat dan dangkal. Para pelayan Tuhan lebih mengutamakan kesaksian dari pada mempelajari firman

    dalam berkhotbah. Mengedapankan psikologi, sosiologi, dan pragmatisme hanya membawa gereja

    pelayanan yang tidak seimbang. Sukacita ini didapatkan melalui perenungan akan kebenaran firmanTuhan yang penuh kasih. Hilangnya sukacita ini berimplikasi pada semangat kita untuk melayani.

    Keunikan Kristen juga dapat dilihat dari karya Yesus. Karya yang dimaksud adalah

    penderitaan dan penyaliban Yesus. Secara objektif, penyaliban Yesus adalah sebuah pemenuhan

    tuntutan keadilan. Kristus dengan karya tersebut mengganti posisi manusia, mengampuni manusia,

    menyucikan manusia dari dosa, menanggung kutuk dan murka Allah, menebus manusia dari

    tawanan dosa, membenarkan manusia untuk beroleh hidup, dan mendamaikan manusia dengan

    Allah. Secara subjektif, Allah menyatakan kasih-Nya melalui salib Kristus. Sedangkan secara

    dramatis, salib-Nya adalah tanda kemenangan Kristus atas kuasa Iblis dan kejahatan sekaligus

    memberi pengharapan keselamatan bagi manusia yang hidup dalam dosa dan perbudakan kuasa

    jahat. Dalam pada itu, segala pemikiran baik dari Buddhisme, Hinduisme, Islamisme, atau pun NewAge Movement tentang pengorbanan dan salib Kristus adalah salah, dan upaya manusia untuk

    menyelamatkan diri sendiri adalah mustahil.

    Penekanan yang penting saat Allah mengampuni manusia dengan mengorbankan Kristus

    terdapat pada beberapa hal, yakni: 1) Allah bertindak sebagai hakim yang memiliki kuasa yang

    mutlak, 2) pengorbanan Kristus menyatakan kemuliaan Allah yang berdaulat itu, 3) pengorbanan-

    Nya adil bagi diri-Nya sendiri oleh karena keputusan-Nya sendiri dan adil bagi manusia karena

    membutuhkan pertobatan yang sungguh dan tanggung jawab yang penuh, 4) pengampunan Allah

    bukan pengampunan yang murahan dan karena itu harus sebanding dengan beratnya dosa, dan 5)

    kematian Kristus adalah kematian yang sempurna dan karena itu cukup sekali untuk semua orang

    dan selamanya-lamanya. Akan tetapi,satu-satunya cara masuk dalam keselamatan ini adalah denganiman kepada Kristus. Kristus mati untuk semua manusia, namun mereka yang percaya kepada-Nya

    yang diselamatkan. Iman kepada Kristus adalah lawan dari keberdosaan kepada-Nya.

    Salib itu memberikan kepada manusia yang percaya sebuah hidup yang kekal. Hidup yang

    kekal berlandas kasih dan berupa sebuah hubungan yang kekal. Hubungan yang intens ini tentu

    sangat diperlukan oleh setiap orang percaya. Kehidupan rohani yang terus dijaga dan dipelihara

    dapat menjadi jembatan Injil bagi umat beragama lain. Anugerah keselamatan bukanlah anugerah

    murahan yang tidak menuntut tanggung jawab manusia dalam hidup. Setiap orang percaya yang

    telah diselamatkan haruslah berperilaku sesuai kehendak Tuhan. Kemampuan untuk bertindak

    kudus adalah kemampuan yang diberikan Tuhan dan melalui sakramen-sakramen, kita diingatkan

    pula untuk hidup kudus. Pengorbanan Yesus juga menjadi teladan bagi orang percaya dalam

    mengampuni sesamanya. Ini adalah ciri hidup manusia baru di dalam Tuhan.

    Meskipun begitu, selama hidup di dunia orang percaya tidak terlepas dari penderitaan.

    Agama-agama lain berpendapat bahwa penderitaan yang dialami adalah akibat keinginan dan karma

    (Buddhisme dan Hinduisme), kejahatan dan penderitaan diakibatkan Roh Perusak (Zoroastrianisme),

    dan penderitaan terkadang adalah hukuman atau ujian iman yang berada di luar tanggung jawab

    Allah (Islam). Alkitab menyatakan bahwa penderitaan dan kejahatan adalah akibat kesalahan dan

    pemberontakan manusia serta kuasa Iblis. Namun penderitaan tidak selamanya adalah akibat dosa

    (karma). Yesus berkata bahwa Allah juga memakai penderitaan untuk menyatakan kuasa dan

  • 5/20/2018 Resensi Buku - Supremasi Kristus (Ajith Fernando)

    4/5

    kemuliaan-Nya (Yoh. 9:3). Walaupun pada dasarnya Allah menentang kejahatan dan dosa. Sikap

    orang percaya saat menghadapi kejahatan dan penderitaan adalah berdoa dan melayani. Kejahatan

    dan penderitaan juga dapat membentuk karakter setiap orang percaya. Hal ini harus dilakukan

    dengan sabar dan setia hingga kesudahannya.

    Akhirnya, sekali lagi, kebangkitan-Nya membuktikan ke-Tuhan-an-Nya dan kemenangan-Nya

    atas kematian serta memberikan jaminan keselamatan dan hidup baru yang kekal. Teori-teori yang

    menentangnya berpendapat, misalnya: Yesus tidak pernah bangkit karena tidak pernah mati secaratotal (pingsan), para murid hanya berhalusinasi tentang penampakan-Nya meskipun sebenarnya Dia

    tidak pernah bangkit, atau kebangkitan hanya sebuah cerita fiksi. Alkitab dengan tegas menyatakan

    bahwa teori-teori itu tidak benar. Kesaksian kitab-kitab Injil yang beragam, penekanan pada saksi-

    saksi yang menyatakan kebangkitan-Nya, kubur yang kosong, kekristenan yang terus berkembang,

    perubahan hidup dan pelayanan para murid, dan membludaknya orang-orang Yahudi yang percaya

    kepada Kristus menunjukan dan membuktikan kebangkitan Kristus. Bukti-bukti ini menegaskan

    superioritas Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat.

    Evaluasi dan Refleksi Kritis

    Kehandalan buku ini terletak pada corak argumentasi yang digunakan. Argumentasi yang

    dibangun dalam buku ini bersifat praktis dan tidak kaku. Secara keseluruhan, Fernando

    memformulasikan pandangan apologetisnya dalam konstek keragaman beragama yang berkembang

    di Timur. Buku ini juga berupaya menjembatani pemikiran Barat dengan Timur yang berbeda kultur-

    budaya. Untuk maksud tersebut, Fernando berkali-kali menegaskan pentingnya memahami keunikan

    Kristen di tengah-tengah keragaman dogmatis.

    Menarik karena Fernando mengkhususkan paparan apologetisnya terhadap paham pluralisme

    yang berkembang. Ia tidak hanya menampilkan bahasa-bahasa dogmatis yang baku, tetapi juga

    mengelaborasikannya dengan beberapa exegetical notes, biografi singkat beberapa tokoh dan karyamereka, saran-saran dan pemahaman teologis yang beragam, dan kesaksian hidup dan pelayanannya.

    Tampak bahwa Fernando menginginkan para pembaca tidak cepat bosan dengan pemaparan

    teologis-dogmatis yang terlalu panjang. Ia mengemas pembahasan mengenai keunikan Kristus dan

    kekristenan dalam tiga bagian penting yang dinyatakan Kristus sendiri dalam Yohanes 14:6.

    Meskipun demikian, Ia memilih untuk mendahulukan pembahasan Yesus adalah kebenaran sebelum

    Yesus adalah jalan dan hidup. Hal ini bukan tanpa maksud. Rupa-rupanya, Fernando berupaya

    membuktikan dan melegitimasi Yesus adalah kebenaran yang absolut demi melawan teori-teori

    pluralisme dan relativisme, kemudian menawarkan satu-satunya jalan dan hidup melalui Yesus.

    Mengemasnya dengan sederhana tetapi berkualitas. Buku ini tentu dapat menjadi pedoman

    tambahan para apologet yang ingin memperluas paradigma tetapi tanpa berpikir rumit.

    Akan tetapi, sangat disayangkan karena pola argumentasinya memberikan tendensi dengan

    porsi yang lebih besar terhadap Buddhisme dan Hinduisme. Mungkin ini disebabkan karena

    Fernando sendiri banyak menghabiskan waktu hidup dan pelayanan bahkan saat menuliskan buku

    ini di komunitas Hindu-Budha. Ia sendiri menganggap bahwa buku ini tentu sangat berguna bagi

    pelayanan terhadap Buddhisme dan Hinduisme. Porsi bagi pluralisme menurut Islam dan sistem

    kepercayaan lain sangat kecil pada buku ini.

    Selain itu, saya tidak setuju dengan pendapatnya bahwa logika bukan satu-satunya cara

    menyatakan mana yang benar dan mana yang salah. Ia berpendapat bahwa ada beragam cara yang

  • 5/20/2018 Resensi Buku - Supremasi Kristus (Ajith Fernando)

    5/5

    dapat digunakan untuk hal itu, tergantung pada budaya yang berbeda (hlm. 91). Tentu ini tidak

    sepenuhnya tepat sebab dengan mengatakan hal tersebut, Fernando berpendapat bahwa penalaran

    yang logis tidak terlalu penting. Kemampuan moralitas yang ia maksudkan pun tidak lepas dari

    ketergantungan pada logika. Kemampuan moralitas justru terbangun dengan baik saat logika

    digunakan dengan baik dan tepat untuk memahami dan mengenal kebenaran absolut itu. Apa yang

    ia anggap sebagai melanggar kemanusiaan kita saat menggunakan logika untuk memahami

    kebenaran yang absolut adalah keliru.Hal lain yang saya temukan dan mencoba memberikan saran yakni pada bab 3. Pada bab ini,

    penulis mengakhirinya dengan sebuah kesimpulan. Akan tetapi, saya masih belum yakin apakah

    penarikan kesimpulan itu ditujukan untuk seluruh argumentasinya pada bab yang bersangkutan atau

    tidak, sebab kesimpulan tersebut tidak mengakomodasi seluruh argumentasi pada bab tersebut. Di

    samping itu, alangkah baik jika Fernando memberikan ringkasan-ringkasan argumentasi seperti yang

    ia tampilkan pada halaman 87-88. Hal ini sangat berguna sebab materi buku juga banyak

    memaparkan biografi dan jejak pelayanan tokoh-tokoh tertentu atau dirinya, yang tentu saja hanya

    berupa pelengkap atau pengantar pada topik pembahasan. Jika ringkasan argumentasi ini diterapkan

    secara konsisten oleh penulis, maka buku ini akan semakin baik. Akan tetapi, buku ini layak dibaca

    dan menjadi salah satu acuan dalam studi aplogetika dan pluralisme karena argumentasi yangsederhana dan logis.