refleksi kasus euthanasia.doc
-
Upload
jeffri-sofian-leksana -
Category
Documents
-
view
137 -
download
29
description
Transcript of refleksi kasus euthanasia.doc
LAPORAN REFLEKSI KASUS
STASE ILMU FORENSIK
Disusun Oleh :
Cintya Naya D.
0818011054
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. H. ABDUL MOELOEKBANDAR LAMPUNG
2013
0
BAB I
Pendahuluan
Perkembangan dunia yang semakin maju dan peradaban manusia yang gemilang sebagai refleksi
dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, persoalan-persoalan norma dan hukum
kemasyarakatan dunia bisa bergeser sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang
bersangkutan. Kebutuhan dan aspirasi masyarakat menempati kedudukan yang tinggi. Apabila
terjadi pergeseran nilai dalam masyarakat, interpretasi terhadap hukum juga bisa berubah. Akibat
gerakan kebebasan, masyarakat barat yang menganut sistem demokrasi liberal dimana hak
individu sangat dijunjung tinggi dan nilai-nilai moral telah terlepas dari poros agama (gereja),
ditandai dengan berkembangnya paham sekularisme. Siapapun (termasuk pemerintah) tidak
boleh mencampuri dan mengganggu hak individu.
Masalah euthanasia sudah ada sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang tidak dapat
diembuhkan, sementara pasien sudah dalam keadaan merana dan sekarat. Dalam keadaan
demikian tidak jarang pasien memohon agar dibebaskan dari penderitaan dan tidak ingin
diperpanjang hidupnya lagi atau di lain kasus keadaan pada pasien yang sudah tidak sadar,
keluarga pesakit tidak tega melihat pasien penuh penderitaan menjelang ajalnya dan minta
kepada dokter untuk tidak meneruskan pengobatan atau bila perlu memberikan obat yang
mempercepat kematian.
1
Euthanasia berasal dari kata Yunani Euthanathos. Eu = baik. Tanpa penderitaan; sedang tanathos
= mati. Dengan demikian euthanasia dapat diartikan mati dengan baik tanpa penderitaan. Ada
yang menerjemahkan mati cepat tanpa derita. Belanda, salah satu Negara di Eropa yang maju
dalam pengetahuan hukum kesehatan mendefinisikan euthanasia sesuai dengan rumusan yang
dibuat oleh Euthanasia Study Group dari KNMG (Ikatan Dokter Belanda) Euthanasia adalah
dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau
sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang pasien
dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri.´Sedangkan menurut Commisie dari
Gezondheidsraad (Belanda) euthanasia adalah perbuatan yang dengan sengaja memperpendek
hidup ataupun dengan sengaja tidak memperpanjang hidup demi kepentingan si pasien oleh
seorang dokter ataupun bawahan yang bertanggung jawab kepadanya .Euthanasia dalam Oxford
English Dictionary dirumuskan sebagai kematian yang lembut dan nyaman, dilakukan terutama
dalam kasus penyakit yang penuh penderitaan dan tak tersembuhkan´. Istilah yang sangat
populer untuk menyebut jenis pembunuhan ini adalah mercy killing. Sementara itu menurut
Kamus Kedokteran Dorland euthanasia mengandung dua pengertian. Pertama, suatu kematian
yang mudah atau tanpa rasa sakit. Kedua,pembunuhan dengan kemurahan hati, pengakhiran
kehidupan seseorang yang menderita penyakit yang tak dapat disembuhkan dan sangat
menyakitkan secara hati-hati dan disengaja. Secara konseptual dikenal tiga bentuk euthanasia,
yaitu voluntary euthanasia (euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri karena
penyakitnya tidak dapat disembuhkan dan dia tidak sanggup menahan rasa sakit yang
diakibatkannya). Non voluntary euthanasia (di sini orang lain, bukan pasien, mengandaikan,
bahwa euthanasia adalah pilihan yang akan diambil oleh pasien yang berada dalam keadaan tidak
sadar tersebut jika si pasien dapat menyatakan permintaannya).
2
Involuntary euthanasia (merupakan pengakhiran kehidupan pada pasien tanpa persetujuannya).
Perkembangan euthanasia tidak terlepas dari perkembangan konsep tentang kematian. Usaha
manusia untuk memperpanjang kehidupan dan menghindari kematian dengan mempergunakan
kemajuan ipetek kedokterantelah membawa masalah baru dalam euthanasia, terutama berkenaan
dengan penentuan kapan sesorang dinyatakan telah mati.
Dikenal beberapa konsep tentang mati seperti:
1.Mati sebagai berhentinya darah mengalir
2. Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh
3. Hilangnya kemmapuan tubuh secara permanen
4. Hilangnya manusia secar permanen untuk kembali sadar dan melakukan interaksi social
Konsep mati dan berhentinya darah mengalir seperti dianut selama ini dan yang juga diatur
dalam PP 18 tahun 1981 menyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung dan paru-
paru, tidak bisa dipergunakan lagi karena teknologi resusitasi telah memungkinkan jantung dan
paru-paru yang semua terhenti kini dapat dipacu untuk berdenyut kembali dan paru-paru dapat
dipompa untuk berkembang kempis kembali. Konsep mati dari terlepasnya dari tubuh sering
menimbulkan keraguan karena misalnya pada atindakan resusitasi yan gberhasil, keadaan
demikian menimbulkan kesan seakan-akan nyawa dapat ditarik kembali. Mengenai konsep mati
dari hilangnya kembali kemampuan tubuh secara permanen untuk menjalankan fungsinya secar
terpadu juga dipertanyakan karena organ-organ berfungsi sendiri- sendiri tanpa terkendali
karenaotak telah mati. Untuk kepentingan transplantasi konsep ini menguntungkan tetapi secar
3
moral tidak dapat diterima karena kenyataannya organ-organ masih berfungsi meskipun tidak
terpadu lagi.
Bila dibandingkan dengan manusia sebagi mahluk social yaitu individu yang mempunyai
kepribadian, menyadari kehidupannyam kekhususannya, kemampuannya mengingat,
menentukan sikap dan mengambil keputusan, mengajukan alas an yang masuk akal, mampu
berbuat, mampu menikmati, mengalami kecemasan dan sebagainya, maka penggerak dari otak
baik secara fisik amupun social makin banyak dipergunakan. Pusat pengendali ini terdapat dalam
batang otak. Oleh Karen aitu jika batang otak telah mati (brain system death) dapat diyakini
bahwa manusia itu secara fisik dan social telah mati. Dalam keadaan demikian, kalangan medis
sering menempuh pilihan tidak meneruskan resusitasi (DNR, do not resuscitation) Penentuan
saat mati ini juga dibahas dan ditetapkan dalam worldMedical Assembly tahun 1968 yang
dikenal dengan Deklarasi Sydney. Disini dinyatakan penentuan saat kematian di kebanyakn
Negara merupakan tanggung jawab sah dokter. Dokter dapat menentukan sesorang sudah mati
dengan menggunakan criteria yang lazim tanpa bantuan alat khusus yang telah diketahui oleh
semua dokter.
Yang penting dalam penentuan saat mati disini adalah proses kematian tersebut sudah tidak
dapat dikemabalikan lagi (irreversible) meski menggunakan teknik penghidupan kembali
apapun. Walaupun sampai sekarang tidak ada alat yang sungguh-sungguh memuaskan dapat
digunakan untuk penentuan saat mati ini, alat elektroensefalograf dapat diandalkan untuk
maksud tersebut. Jika penentuan saat mati berhubungan dengan kpentingan transplantasi organ,
keputusan mati harus dilakukan oleh2 orang dokter atau lebih dan dokter yang menentukan saat
4
mati itu tidak boleh ada kaitannya langsung dengan pelaksanaan euthanasia. Euthanasia bisa
ditinjau dari beberapa sudut. Menurut Frans Magnis Suseno , dari cara dilaksanakannya,
euthanasia dibedakan atas:
1. Euthanasia pasif
Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau
pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia
2. Euthanasia aktif
Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakuykan secar medic melalui intervensi aktif oleh
seorang dokter engan tujuan untuk mengakhiri hidup manusia.
Euthanasia aktif dapat dibedakan menjadi :
1) Euthanasia aktif langsung (direct)
Adalah dilakukannya tindakan medic secara terarah yang diperhitungkan akan mengakhiri hidup
pasien atau memperpendek hidup pasien. Jenis euthanasia ini dikenal juga sebagaiMercy Killing.
2) Euthanasia aktif tidak langsung (indirect)
Adalah dimana dokter atau tenaga kesehatan melakukan tindakan medic untuk meringankan
penderitaan pasien namun mengetahui adanya resiko tersebut dapat memperpendek atau
mengakhiri hidup pasien.
Ditinjau dari permintaan, euthanasia dibedakan atas:
1. Euthanasia volunteer /m euthanasia sukarela/ euthanasia atas permintaan pasien Adalah
euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien secar asadar dan diminta berulang-ulang
2. Euthanasia involuntir (tidak atas permintaan pasien)
5
Adalah euthanasia yang dilakukan pada pasien yang sudah tidak sadar dan biasanya keluarga
pasien yang meminta
Kedua jenis euthanasia ini dapat digabung.Misalnya euthanasia pasif volunteer, euthanasia aktif
involunteer, euthanasia aktif langsung involuntir dan sebagainya. Ada yang melihat pelaksanaan
euthanasia dari sudut lain dan membaginya atas 4
kategori, yaitu:
1. Tidak ada bantuan dalam proses kematian tanpa maksud memperpendek hidup
pasien.
2. Ada bantuan dalam proses kematian tanpa maksud memperpendek hidup pasien
3. Tidak ada bantuan dalam proses kematian dengan tujuan memperpendek hidup
pasien.
4. Ada bantuan dalam proses kematian dengan tujuan memperpendek hidup pasien.
6
BAB II
Kasus
seorang pasien, bapak B, berusia 59 tahun datang ke Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Muluk,
pada tanggal 28 Maret 2013 dengan diagnosa karsinoma kolon yang stadium 4. Pasien masih
cukup sadar dan berpendidikan cukup tinggi. Ia memahami benar posisi kesehatannya dan
keterbatasan kemampuan ilmu kedokteran saat ini. Ia juga memiliki pengalaman pahit sewaktu
kakaknya menjelang ajalnya dirawat di ICU dengan peralatan bermacam-macam tampak sangat
menderita, dan alat-alat tersebut tampaknya hanya memperpanjang penderitaanya saja. Oleh
karena itu ia meminta kepada dokter apabila dia mendekati ajalnya agar menerima terapi
minimal saja (tanpa antibiotika, tanpa peralatan ICU,dll), dan ia ingin mati dengan tenang dan
wajar. Namun ia tetap setuju apabila ia menerima obat-obatan penghilang rasa sakit bila memang
dibutuhkan.
Jenis Refleksi:
a. Ke-Islaman*
b. Etika/ moral
c. Medikolegal*
d. Sosial Ekonomi
e. Aspek lain
7
BAB III
Prinsip-Prinsip Tentang Etika Kedokteran
Jenis hubungan dokter - pasien sangat dipengaruhi oleh etika profesi kedokteran, sebagai
konsekuensi dari kewajiban- kewajiban profesi yang memberikan batasan atau rambu-rambu
hubungan tersebut. Kewajiban-kewajiban tersebut tertuang di dalam prinsip-prinsip moral
profesi, yaitu autonomy (menghormah hak-hak pasien), beneficence (berorientasi kepada
kebaikan pasien), non maleficence (tidak mencelakakan atau memperburuk keadaan pasien) clan
justice ustice (meniadakan diskriminasi) yang disebut sebagai prinsip utama; dan veracity
(kebenaran = truthfull inforniation), ,fidelity(kesetiaan), privacy, dan confidentiality (menjaga
kerahasiaan) sebagai prinsip turunannya.
Sebagaimana layaknya hubungan antara profesional dengan klien pada umumnya, maka
hubungan antara dokter dengan pasien juga mengikuti alternatif jenis hubungan yang sama. Pada
awalnya hubungan dokter - pasien adalah hubungan yang bersifat paternalistik, dengan prinsip
moral utama adalah beneficence.
Beauchamp and Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu keputusan etik
diperlukan 4 kaidah dasar moral (moral principle) dan beberapa rules dibawahnya. Ke-4 kaidah
dasar moral tersebut adalah :
8
1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak
otonomi pasien (the rights to self determination). Prinsip moral inilah yang kemudian
melahirkan doktrin informed consent;
2. Princip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan ke
kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan saja,
melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar daripada sisi buruknya
(mudharat);
3. Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk
keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai "primum non nocere" atau "above all do no
harm".
4. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice).
Sedangkan rules derivatnya adalah veracity (berbicara benar, jujur dan terbuka), privacy
(menghormati hak privasi pasien), confidentiality (menjaga kerahasiaan pasien) dan fidelity
(loyalitas dan promise keeping). Selain prinsip atau kaidah dasar moral di atas yang harus
dijadikan pedoman dalam mengambil keputusan klinis, profesional kedokteran juga mengenal
etika profesi sebagai panduan dalam bersikap dan berperilaku (code of ethical conduct).
Sebagaimana diuraikan pada pendahuluan, nilai—nilai dalam etika profesi tercermin di dalam
sumpah dokter dan kode etik kedokteran. Sumpah dokter berisikan suatu "kontrak moral" antara
dokter dengan Tuhan sang penciptanya, sedangkan kode etik kedokteran berisikan "kontrak
kewajiban moral" antara dokter dengan peer—groupnya, yaitu masyarakat profesinya. Baik
9
sumpah dokter maupun kode etik kedokteran berisikan sejumlah kewajiban moral yang melekat
kepada para dokter. Meskipun kewajiban tersebut bukanlah kewajiban hukum sehingga tidak
dapat dipaksakan secara hukum, namun kewajiban moral tersebut haruslah menjadi "pemimpin"
dari kewajiban dalam hukum kedokteran. Hukum kedokteran yang baik haruslah hukum yang
etis.
Persoalan yang dihadapi para profesional kesehatan pada akhir kehidupan tidak kalah pelik
dibanding dengan persoalan di awal kehidupan. Persoalan dapat berupa masalah sederhana
seperti "bolehkah kita menghentikan terapi cairan dan nutrisi pada pasien?" hingga ke persoalan
yang lebih rumit, seperti "seberapa jauh pecan keluarga dalam membuat keputusan medis
terhadap pasien?","apa sikap dokter bila pasien meminta terapi minimal?" yang kemudian
dihubungkan dengan isu tentang letting die naturally, physician assisted suicide, physician
assisted death, euthanasia, masalah futility dan brain death.
Tindakan medis yang diketahui sebagai tindakan sia-sia (futile) saat ini dipertimbangkan untuk
tidak lagi dilanjutkan dan secara moral dapat dibenarkan apabila tindakan tersebut dihentikan.
Pertimbangan ini sebenarnya bukan pertimbangan barn, melainkan pertimbangan yang telah ada
pada jaman Hippocrates, yang dikenal sebagai anjuran "to refuse to treat those who ar
overmastered by their diseases, realizing that in such cases medicine is powerless". Namun
demikian keputusan bahwa sesuatu tindakan medis adalah tindakan sia-sia haruslah diambil
dengan melalui pertimbangan yang ketat.
10
BAB IV
Refleksi Kasus
A. Medikolegal
Pasal 304 KUHP
Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan orang dalam kesengsaraan,
sedang ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, kepada orang itu, karena hukum yang
berlaku baginya atau karena perjanjian, dipidana dengan pidana penjara selama- lamanya dua
tahun delapan bulan atau denda sebanyak ± banyaknya empat ribu limaratus rupiah.
Pasal 338 KUHP
Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain dihukum karena menyebabkan
mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Pasal 340 KUHP
Barang siapa dengan sengaja dan direncankan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain,
dihukum Karen apembunuhan direncankan (moord) dengan hukuman mati atau penjara
selama-lamanya seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.
Pasal 359 KUHP
Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang, dihukum penjara selama-
11
lamnya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
Selanjutnya di bawah ini dikemukakan sebuah ketentuan hokum yang mengingatkan kalangan
kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia.
Euthanasia Dan Bunuh Diri
Pasal 344 KUHP
Barang siapa merampas nyawa orang lain alas permintaan orang itu sendiri yg jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun.
Pasal 345 KUHP
Barang siapa dengan sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam
perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara
paling lama 4 tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.
Salah satu hak pasien yang disahkan dalam Declaration of Lisbon dari World Medical
Association (WMA) adalah "the rights to accept or to refuse treatment after receiving
adequate information"'. Secara implicit amandemen UUD 45 pasal 28G ayat (1) juga
menyebutnya demikian "Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, dst. Selanjutnya
UU No 23 / 1992 tentang Kesehatan juga memberikan hak kepada pasien untuk memberikan
12
persetujuan atas tindakan medis yang akan dilakukan terhadapnya. Hak ini kemudian
diuraikan di dalam Permenkes tentang Persetujuan Tindakan Medis.
B. Keislaman
Secara umum ajaran Islam diarahkan untuk menciptakan kemaslahatan hidup dan kehidupan
manusia, sehingga aturannya diberikan secara lengkap, baik yang berkaitan dengan masalah
keperdataan maupun pidana. Khusus yang berkaitan dengan keselamatan dan perihal hidup
manusia, dalam hukum pidana Islam (jinayat) ditetapkan aturan yang ketat, seperti adanya
hukuman qishash, hadd, dan diat.
Dalam Islam prinsipnya segala upaya atau perbuatan yang berakibat matinya seseorang, baik
disengaja atau tidak sengaja, tidak dapat dibenarkan, kecuali dengan tiga alasan; sebagaimana
disebutkan dalam hadits: “Tidak halal membunuh seorang muslim kecuali karena salah satu
dari tiga alasan, yaitu: pezina mukhshan (sudah berkeluarga), maka ia harus dirajam
(sampai mati); seseorang yang membunuh seorang muslim lainnya dengan sengaja, maka ia
harus dibunuh juga. Dan seorang yang keluar dari Islam (murtad), kemudian memerangi
Allah dan Rasulnya, maka ia harus dibunuh, disalib dan diasingkan dari tempat
kediamannya” (HR Abu Dawud dan An-Nasa’i)
Selain alasan-alasan diatas, segala perbuatan yang berakibat kematian orang lain dimasukkan
dalam kategori perbuatan ‘jarimah/tindak pidana’ (jinayat), yang mendapat sanksi hukum.
Dengan demikian euthanasia karena termasuk salah satu dari jarimah dilarang oleh agama dan
13
merupakan tindakan yang diancam dengan hukuman pidana. Dalil syari’ah yang menyatakan
pelarangan terhadap pembunuhan antara lain Al-Qur’an surat Al-Isra’:33, An-Nisa’:92, Al-
An’am:151. Sedangkan dari hadits Nabi saw, selain hadits diatas, juga hadits tentang
keharaman membunuh orang kafir yang sudah minta suaka (mu’ahad).(HR.Bukhari).
Pada prinispnya pembunuhan secara sengaja terhadap orang yang sedang sakit berarti
mendahului takdir. Allah telah menentukan batas akhir usia manusia. Dengan mempercepat
kematiannya, pasien tidak mendapatkan manfaat dari ujian yang diberikan Allah Swt
kepadanya, yakni berupa ketawakalan kepada-Nya Raulullah saw bersabda: “Tidaklah
menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan,
kesusahan maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan
kesalahan atau dosanya dengan musibah yang dicobakannya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
Hal itu karena yang berhak mematikan dan menghidupkan manusia hanyalah Allah dan oleh
karenanya manusia dalam hal ini tidak mempunyai hak atau kewenangan untuk memberi
hidup dan atau mematikannya. (QS.Yunus:56, Al-Mulk:1-2).
Berkaitan dengan permasalahan tersebut muncul persoalan fikih yaitu apakah memudahkan
proses kematian secara aktif ditolerir oleh Islam? Apakah memudahkan proses kematian
secara pasif juga diperbolehkan?
Dengan demikian melalui euthanasia aktif berarti manusia mengambil hak Allah Swt yang
sudah menjadi ketetapanNya. Memudahkan proses kematian secara aktif seperti pada contoh
pertama tidak diperkenankan oleh syari’ah. Sebab yang demikian itu berarti dokter melakukan
14
tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui
pemberian obat secara overdosis atau cara lainnya.
Dalam hal ini dokter telah melakukan pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk
dosa besar. Perbuatan demikian itu tidak dapat lepas dari kategori pembunuhan meskipun
yanng mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya.
Karena bagaimanapun dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang dari pada Allah Al-
Khaliq. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah, karena Dia-lah yang memberi
kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah di
tetapkan-Nya.
Eutanasia demikian juga menandakan bahwa manusia terlalu cepat menyerah pada keadaan
(fatalis), padahal Allah swt menyuruh manusia untuk selalu berusaha atau berikhtiar sampai
akhir hayatnya. Bagi manusia tidak ada alasan untuk berputus asa atas suatu penyakit selama
masih ada harapan, sebab kepadanya masih ada kewajiban untuk berikhtiar. Dalam hadits
Nabi sw disebutkan betapapun beratnya penyakit itu, tetap ada obat penyembuhnya.(HR
Ahmad dan Muslim)
Adapun memudahkan proses kematian dengan cara euthanasia pasif sebagaimana
dikemukakan dalam pertanyaan, maka semua itutermasuk dalam kategori praktik penghentian
pengobatan. Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu
tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah
(hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat. Masalah ini terkait dengan
15
hukum melakukan pengobatan yang diperselisihkan oleh para ulama fikih apakh wajib atau
sekedar sunnah.
Menurut jumhur ulama mengobati atau berobat dari penyakit hukumnya sunnah dan tidak
wajib. Meskipun segolongan kecil ulama ada yang mewajibkannya, seperti kalangan ulama
syafi’iyah dan hanbali sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah.
Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama: berobat ataukah
bersabar? Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih
utama, berdasarkan hadist Abbas yang diriwayatkan dalam kitab shahih dari seorang wanita
yang menderita epilepsi. Wanita itu meminta kepada Nabi agar mendoakannya, lalu beliau
menjawab: “Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan mendapatkan surga,
dan jika engkau mau, akan saya doakan kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Wanita
itu menjawab akan bersabar dan memohon kepada Nabi untuk medoakan kepada Allah agar ia
tidak minta dihilangkan penyakitnya namun tetap terjaga auratnya sehingga tidak tersingkap
ketika kambuh.
Disamping itu, terdapat banyak contoh dari kalangan sahabat dan tabi’in yang tidak berobat
ketika mereka sakit, bahkan di antara mereka ada yang memilih sakit, seperti Ubay bin Ka’ab
dan Abu Dzar Al-Ghifari. Sikap demikian tidak ditegur ataupun diprotes oleh kalangan
sahabat ataupun generasi tabai’in lainnya sebagaimana dikupas oleh Imam Al-Ghazali dalam
satu bab tersendiri yang berjudul “Kitab at-Tawakal” dalam kitab Ihya ‘Ulumuddinnya.
16
Dalam hal ini hukum berobat atau mengobati penyakit yang lebih tepat adalah pada dasarnya
wajib terutama jika sakitnya parah, obatnya efektif berpengaruh, dan ada harapan untuk
sembuh sesuai dengan perintah Allah Swt untuk berobat. Inilah yang sesuai dengan petunjuk
Nabi saw dalam masalah pengobatan sebagaimana yang di kemukakan oleh Imam Ibnul
Qoyyim dalam kitabnya Zadul-Ma’ad. Dan paling tidak, petunjuk Nabi saw, tersebut minimal
menunjukkan hukum sunnah.
Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya sunnah ataupun wajib apabila penderita
dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika secara perhitungan akurat medis yang
dapat dipertanggungjhawabkan sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnatullah
dalam hukum kausalitas yang dikuasai para ahli seperti dokter ahli maka tidak ada seorang
pun yang mengatakan sunnah berobat apalagi wajib.
Apabila penderita sakit kelangsungan hidupnya tergantung pada pemberian berbagai macam
media pengobatan dengan cara meminum obat, suntikan, infus dan sebagainya, atau
menggunakan alat pernapasan buatan dan peralatan medis modern lainnya dalam waktu yang
cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan
pengobatannya itu tidak wajib dan tidak juga sunnah sebagaimana difatwakan oleh Syeikh
Yusuf Al-Qardhawi dalam Fatawa Mu’ashirahnya, bahkan mungkin kebalikannya yakni tidak
mengobatinya itulah yang wajib atau sunnah.
Dengan demikian memudahkan proses kematian (taisir al-maut) semacam ini dalam kondisi
sudah tidak ada harapan yang sering diistilahkan dengan qatl ar-rahma (membiarkan
17
perjalanan menuju kematian karena belas kasihan), karena dalam kasus ini tidak didapati
tindakan aktif dari dokter maupun orang lain. Tetapi dokter ataupun orang terkait lainnya
dengan pasien hanya bersikap meninggalkan sesuatu yang hukumnya tidak wajib ataupun
tidak sunnah, sehingga tidak dapat dikenai sanksi hukuman menurut syari’ah maupun hukum
positif. Tindakan euthanasia pasif oleh dokter dalam kondisi seperti ini adalah jaiz (boleh) dan
dibenarkan syari’ah apabila keluarga pasien mengizinkannya demi meringankan penderitaan
dan beban pasien dan keluarganya.
Hal ini terkait dengan contoh kedua dari eutanasia aktif terdahulu yaitu menghentikan alat
pernapasan buatan dari pasien, yang menurut pandangan dokter ahli ia sudah “mati” atau
“dikategorikan telah mati” karena jaringan otak ataupun fungsi syaraf sebagai media hidup
dan merasakan telah rusak. Kalau yang dilakukan dokter tersebut semata-mata menghentikan
alat pengobatan, hal ini sama dengan tidak memberikan pengobatan.
Dengan demikian masalahnya sama seperti cara-cara eutanasia pasif lainnya. Karena itu,
eutanasia untuk seperti ini adalah bukan termasuk kategori eutanasia aktif yang diharamkan.
Dengan demikian, tindakan tersebut dibenarkan syari’ah dan tidak terlarang terutama bila
peralatan bantu medis tersebut hanya dipergunakan pasien sekadar untuk kehidupan lahiriah
yang tampak dalam pernapasan dan denyut nadi saja, padahal bila dilihat secara medis dari
segi aktivitas maka pasien tersebut sudah seperti orang mati, tidak responsif, tidak dapat
mengerti sesuatu dan tidak merasakan apa-apa, karena jaringan otak dan sarafnya sebagai
sumber semua aktivitas hidup itu telah rusak.
18
Membiarkan si sakit dalam kondisi seperti itu hanya akan menghabiskan biaya dan tenaga
yang banyak serta memperpanjang tanggungan beban. Selain itu juga dapat menghalangi
pemanfaatan peralatan tersebut oleh pasien lain yang membutuhkannya. Di sisi lain, penderita
yang sudah tidak dapat merasakan apa-apa itu hanya menjadikan sanak keluarganya selalu
dalam keadaan sedih dan menderita, yang mungkin sampai puluhan tahun lamanya.
Umpan balik dari pembimbing
19
Bandar Lampung, 12 Agustus 2013
TTD Dokter Pembimbing TTD Dokter Muda
Dr. Handayani Dwi Utami, M. Kes Sp. F Cintya Naya D.
20