referat mata.doc

37
PARESE NERVUS OKULOMOTORIUS (N III) NEUROANATOMI Tiga saraf kranial yang mempersarafi otot-otot mata: nervus okulomotorius (N III), nervus trokhlearis (N IV), dan nervus abdusens (N VI). Nuklei nervus okulomotorius dan nervus trokhlearis terletak di tegmentum mesensefali, sedangkan nukleus nervus abdusens terletak di bagian tegmentum pontis di bagian bawah dasar ventrikel keempat. Harus diingat bahwa pergerakan mata biasanya konjugat, yaitu keduanya biasanya menuju arah yang sama (umumnya horizontal atau vertikal) pada kedua mata pada saat yang bersamaan. Gerakan kojugat horizontal, khususnya, melibatkan pergerakan simultan pada kedua mata dengan arah berlawanan dari garis tengah; satu mata bergerak ke medial, sedangkan mata lainnya bergerak ke arah lateral. Dengan demikian gerakan konjugat bergantung pada ketepatan koordinasi persarafan kedua mata, dan pada

Transcript of referat mata.doc

NEUROANATOMI

PARESE NERVUS OKULOMOTORIUS (N III)NEUROANATOMITiga saraf kranial yang mempersarafi otot-otot mata: nervus okulomotorius (N III), nervus trokhlearis (N IV), dan nervus abdusens (N VI). Nuklei nervus okulomotorius dan nervus trokhlearis terletak di tegmentum mesensefali, sedangkan nukleus nervus abdusens terletak di bagian tegmentum pontis di bagian bawah dasar ventrikel keempat.

Harus diingat bahwa pergerakan mata biasanya konjugat, yaitu keduanya biasanya menuju arah yang sama (umumnya horizontal atau vertikal) pada kedua mata pada saat yang bersamaan. Gerakan kojugat horizontal, khususnya, melibatkan pergerakan simultan pada kedua mata dengan arah berlawanan dari garis tengah; satu mata bergerak ke medial, sedangkan mata lainnya bergerak ke arah lateral. Dengan demikian gerakan konjugat bergantung pada ketepatan koordinasi persarafan kedua mata, dan pada nuklei otot yang mempersarafi gerakan mata pada kedua sisi. Hubungan saraf sentral yang kompleks juga mempengaruhi terjadinya gerakan tersebut. Saraf yang mempersarafi otot-otot mata juga berperan pada beberapa refleks yaitu akomodasi, konvergensi, dan refleks cahaya pupil. Nervus okulomotorius (N III)

Area nuklear nervus okulomotorius terletak di substansia grisea periakuaduktus mesensefali, ventral dari akuaduktus, setinggi kolikulus superior. Area ini memiliki dua komponen utama:

1. Nukleus parasimpatis yang terletak di medial, disebut nukleus Edinger-Westphal, yang mempersarafi otot-otot intraokular (M. sfingter pupil dan M. siliaris);

2. Kompleks yang lebih besar, disebut Kompleks nukleus okulomotorius, yang terletak lebih lateral yang mempersarafi empat dari enam otot-otot ekstraokular antara lain M. rektus superior, M. rektus inferior, M. rektus medialis, M. obliqus inferior. Selain itu juga terdapat area nuklear kecil untuk M. levator palpebra. M. Levator palpebrae dipersarafi secara bilateral; M. rektus medialis, M. rektus inferior dan M. obliqus inferior dipersarafi secara ipsilateral; dan M. rektus superior dipersarafi secara kontralateral dengan dekusasio serabut-serabut yang terjadi pada ujung kaudal dari kompleks ini.Serabut radikular motorik yang keluar dari area nuklear ini berjalan ke arah ventral bersama dengan serabut parasimpatis. Beberapa di antara serabut-serabut tersebut menyilang garis tengah dan sebagian lagi tidak menyilang (semua serabut untuk M. rektus superior menyilang garis tengah). Kombinasi serabut motorik dan parasimpatis melewati nukleus ruber dan akhirnya keluar dari batang otak di fosa interpedunkularis.Fasikulus nervus okulomotorius pertama-tama berjalan ke arah posterior diantara a. serebelaris superior dan posterior, kemudian menembus duramater, berjalan melewati sinus kavernosus, dan memasuki rongga orbita melalui fisura orbitalis superior. Bagian parasimpatis saraf membentuk cabang di sini dan berjalan ke gangglion siliare, tempat berakhirnya serabut praganglionik dan sel-sel ganglion membentuk serabut postganglionik pendek untuk mempersarafi otot-otot intraokular.

Serabut motorik somatik nervus okulomotorius terbagi menjadi dua cabang/divisi, cabang/divisi superior mempersarafi M. levator palpebra dan M. rektus superior, dan cabang/divisi inferior mempersarafi M.rekti medialis dan inferior serta M. obliqus inferior.ASPEK MOTOTRIK OTOT-OTOT EKTRAOKULARPosisi mata ditentukan oleh keseimbangan yang dicapai oleh tarikan keenam otot ekstraokular. Mata berada dalam posisi memandang primer sewaktu kepala dan mata terletak sejajar dengan bidang yang dilihat. Untuk menggerakan mata ke arah pandangan yang lain, otot agonis menarik mata ke arah tersebut dan otot antagonis melemas. Bidang kerja suatu otot adalah arah pandangan bagi otot itu untuk mengeluarkan daya kontraksinya yang terkuat sebagai suatu agonis, misalnya M. rektus lateralis mengalami kontraksi terkuat pada waktu melakukan abduksi mata.Tabel 1. Fungsi otot mataOtotKerja primerKerja sekunder

Rektus lateralisAbduksiTidak ada

Rektus medialisAduksiTidak ada

Rektus superiorElevasiAduksi, intorsi

Rektus inferiorDepresiAduksi, ekstorsi

Obliqus superiorIntorsiDepresi, abduksi

Obliqus inferiorEkstorsiElevasi, abduksi

Otot rektus medialis dan lateralis masing-masing menyebabkan aduksi dan abduksi mata, dengan efek ringan pada elevasi atau torsi. Otot rektus vertikalis dan obliqus memiliki fungsi rotasi vertikal dan torsional. Secara umum, otot-otot rektus vertikalis merupakan elevator dan depresor utama untuk mata, dan otot obliqus terutama berperan dalam gerakan torsional. Efek vertikal otot rektus superior dan inferior lebih besar apabila mata dalam keadaan abduksi. Efek vertikal otot obliqus lebih besar apabila mata dalam keadaan aduksi.Otot-otot sinergistik dan antagonistik (Hukum Sherrington)

Otot-otot sinergistik adalah otot-otot yang memiliki bidang kerja yang sama. Dengan demikian untuk tatapan vertikal, otot rektus superior dan obliqus inferior bersinergi menggerakan mata ke atas. Otot-otot yang sinergistik untuk suatu fungsi mungkin antagonistik untuk fungsi lain. Misalnya, otot rektus superior dan obliqus inferior adalah antagonis untuk torsi, karena rektus superior menyebabkan intorsi dan obliqus inferior menyebabkan ekstorsi. Otot-otot ekstraokular, seperti otot rangka, memperlihatkan persarafan timbal balik otot-otot antagonistik (Hukum Sherrington). Dengan demikian, pada dekstroversi, otot rektus medialis kanan dan lateralis kiri mengalami inhibisi sementara otot lateralis kanan dan rektus medialis kiri terstimulasi.Otot pasangan searah (Hukum Hering)

Agar gerakan kedua mata berada dalam arah yang sama, otot-otot agonis harus menerima persarafan yang setara (Hukum Hering). Pasangan otot agonis dengan kerja primer yang sama disebut pasangan searah. Otot rektus lateralis kanan dan rektus medialis kiri adalah pasangan searah untuk menatap ke kanan. Otot rektus inferior kanan dan obliqus superior kiri adalah pasangan searah untuk memandang ke bawah dan ke kanan. Tabel 2. Otot-otot pasangan searah dalam posisi menatap/melirik utama

Mata ke atas dan kananRSR dan LIO

Mata ke atas dan kiriLSR dan RIO

Mata ke kananRLR dan LMR

Mata ke kiriLLR dan RMR

Mata ke bawah dan kananRIR dan LSO

Mata ke bawah dan kiriLIR dan RSO

M. levator palpebraFungsi M. levator palpebra adalah untuk mengangakat kelopak mata. Ptosis biasanya mengindikasikan lemahnya fungsi dari otot levator palpebra superior (otot kelopak mata atas). Normalnya kelopak mata terbuka adalah 10 mm. Ratarata lebar fisura palpebra/celah kelopak mata pada posisi tengah adalah berkisar 11 mm, panjang fisura palpebra berkisar 28 mm. Batas kelopak mata atas biasanya menutupi 1.5 mm kornea bagian atas, sehingga batas kelopak mata atas di posisi tengah seharusnya 4 mm diatas reflek cahaya pada kornea. Jika batas kelopak mata atas menutupi kornea 1 atau 2 mm kebawah masih dapat dikatakan normal dan jika menutupi kornea 4 mm termasuk ptosis berat. Tipe-tipe ptosis:1. Ptosis Kongenital

Jika kelopak mata menutupi mata sehingga menghalangi fungsi mata, ini dapat dianggap sebagai keadaan oftalmik darurat relative karena tertundanya elevasi dari kelopak mata dapat menyebabkan berkembangnya amblyopia. Penyebab paling sering dari ptosis kongenital adalah distrofi dari otot levator palpebra dan terkadang adanya riwayat keluarga dari kondisi ini. Kelainan ini bersifat herediter dan autosomal dominan. Penyebab lainnya juga bisa karena adanya aplasia dari inti nervus okulomotorius yang mempersarafi otot levator palpebra.

2. Ptosis didapat (Acquired Ptosis)

Ptosis Aponeurotik

Ptosis aponeurotik biasanya disebabkan oleh proses penuaan atau pengulangan episode dari adanya udem, walaupun ini dapat muncul secara kongenital. Karakteristik pasien ini biasanya masih dapat mempertahankan fungsi levator, akan tetapi biasanya didapatkan banyak keriput dan kelopak mata atas yang tipis. Ptosis Myogenik

Penyebab utama ptosis myogenik adalah kelainan dari otot, seperti misalnya chronic progressive external ophtalmolplegia (CPEO). Ptosis myastenik disebabkan oleh gangguan transmisi neuromuscular.

Ptosis Neurogenik

Ptosis neurogenik melibatkan kelainan saraf cranial III dan sindrom Horner, dan keduanya memiliki etiologi yang berpotensi dapat mengancam nyawa, seperti misalnya aneurisma interkranial, atau neoplasma apikal paru. Pada parese nervus III terdapat abnormalitas dari gerakan ocular dan pupil dapat berdilatasi. Pada sindrom Horner, yang disebabkan oleh lesi pada saraf simpatis, didapatkan pupil yang kecil dan hilangnya keringat dan kontrol vasomotor pada sisi yang sama di wajah. Tipe yang khusus dari ptosis neurogenik muncul secara kongenital disebabkan oleh koneksi batang otak yang abnormal.

Ptosis mekanik

Ptosis mekanik biasanya disebabkan oleh beratnya tumor kelopak mata atas, misalnya neurofibroma

ETIOLOGI

Penyebab parese nervus okulomotorius antara lain:

Kongenital, terjadi kelumpuhan pada otot-otot ekstraokular dan kadang disertai ptosis. Tidak terdapat internal oftalmoplegia.

Trauma, dapat berupa trauma saat kelahiran ataupun akibat kecelakaan. Namun, terkenannya nervus okulomotorius lebih kecil kemungkinannya dibandingkan nervus abdusens.

Aneurisma, biasanya mengenai a. komunikans posterior atau a. karotis interna pars supraklinoid. Kelumpuhan nervus okulomotorius dapat terjadi sebagian ataupun total dan biasanya disertai dengan nyeri hebat di sekitar mata. Apabila aneurisma terjadi pada a. karotis interna pars infraklinoid maka kelumpuhan nervus okulomotorius biasanya didahului oleh kelumpuhan nervus abdusens. Diabetes dan hipertensi, kelumpuhan nervus okulomotorius disebabkan oleh arteriosklerosis.

Neoplasma, kerusakan pada nervus okulomotorius dapat terjadi akibat invasi neoplasma pada nukleus nervus okulomotorius atau akibat kerusakan di sepanjang perjalanan N III mulai dari fasikulus nervus okulomotorius sampai ke terminalnya di orbita (misalnya akibat tumor nasofaring, tumor kelenjar hipofisis, meningioma).Penyebab parese nervus okulomotorius pada orang dewasa berbeda dengan anak-anak. Berikut ini berbagai macam penyebab parese nervus okulomotorius pada orang dewasa dan anak-anak.Tabel 3. Penyebab parese nervus okulomotorius pada orang dewasaRucker

(335 kasus)Rucker

(274 kasus)Green et al

(130 kasus)

No.%No.%No.%

Aneurisma641950183813

Penyakit vaskuler *63194717256

Trauma51153413145

Sifilis6200124

Neoplasma3511501851

Lain-lain952855203312

Penyakit misellanous216381251

* Termasuk diabetes mellitus

Tabel 4. Penyebab parese nervus okulomotorius pada anak-anak

Miller

(30 kasus)Harley

(32 kasus)

No.%No.%

Kongenital13 *431547

Aneurisma 2739

Neoplasma 310

Penyakit vaskuler2 @6

Trauma 620413

Inflamasi41339

Misellanous 2 #7510

* Termasuk trauma kelahiran@ Migren oftalmoplegia, yaitu suatu sindroma yang jarang ditemukan dimana biasanya onsetnya pada masa anak. Kelumpuhan saraf otak pada pasien dengan migren oftalmoplegia biasanya berkembang sebagai fase meredanya nyeri kepala, meskipun hal itu mungkin terjadinya kapan saja dalam hubungannya dengan fase-fase nyerinya. Onset dari ptosis pada beberapa pasien ini merupakan sinyal bahwa nyeri kepalanya sedang akan menghilang. Kelemahan otot ekstra okuler cenderung akan lebih lama pada tiap episodenya, dan pada beberapa orang terjadi parese okulomotor yang permanen.

#Informasi terbatas.GEJALA KLINIS

A. Parese okulomotor

Gangguan pada nervus okulomotorius dapat terjadi dimana saja sepanjang perjalanan saraf tersebut. Lesi di nukleus nervus okulomotorius mempengaruhi M. rekti medialis dan inferior ipsilateral, kedua M. levator palpebra, dan kedua M. rektus superior. Akan terjadi ptosis bilateral dan pembatasan elevasi bilateral serta pembatasan aduksi dan depresi ipsilateral. Dari fasikulus nervus okulomotorius di otak tengah ke terminalnya di orbita, semua lesi lain menimbulkan lesi yang semata-mata ipsilateral.

Apabila lesi mengenai nervus okulomotorius di mana saja dari nukleus (otak tengah) ke cabang perifer di orbita, maka mata akan berputar ke luar karena otot rektus lateralis yang utuh dan sedikit depresi oleh otot obliqus superior yang tidak terpengaruh. Mungkin dijumpai dilatasi pupil, hilangnya akomodasi, dan ptosis kelopak mata atas, sering cukup berat sehingga pupil tertutup. Mata mungkin hanya dapat digerakan ke lateral. Parese nervus okulomotorius dapat dibagi menjadi:

Kelumpuhan total nervus okulomotorius

Pada kelumpuhan total nervus okulomotorius, semua otot intraokular dan semua otot ekstraokular yang dipersarafi oleh nervus okulomotorius terkena, disertai dengan hilangnya refleks akomodasi dan refleks cahaya pupil. Kerusakan dari serabut parasimpatis pada N III menyebabkan pupil midriasis, juga terdapat ptosis karena M. levator palpebra ikut mengalami kelumpuhan.Akibat lumpuhnya otot-otot ekstraokular yang dipersarafi oleh nervus okulomotorius dan karena fungsi dari M. rektus lateral dan M. obliqus superior masih baik maka mata akan berdeviasi ke luar dan ke bawah. Deviasi mata yang disebabkan oleh parese N III dapat digolongkan ke dalam strabismus paralitik atau inkomitan. Pasien tidak mengalami diplopia karena kelopak mata yang ptosis menutupi pupil.

Complete left ptosis (looking straight ahead). Left inferior oblique paralysis Left superior rectus paralysis

(looking up and right). (looking up and left). Left medial rectus paralysis Normal left lateral rectus

(looking right). (looking left). Left superior oblique action Left inferior rectus paralysis

is limited (because of inability (looking down and left). to adduct: looking down and

right). Kelumpuhan parsial nervus okulomotorius

Pada kelumpuhan parsial nervus okulomotorius, paralisis otot-otot intraokular dan ekstraokular dapat terjadi secara terpisah. Eksternal oftalmoplegia

Kelumpuhan hanya terjadi pada otot-otot ekstraokular yang dipersarafi oleh nervus okulomotorius. Mata akan berdeviasi ke luar dan ke bawah, dan apabila ptosis tidak menutupi pupil maka pasien akan mengalami diplopia. Untuk mengatasi diplopia, pasien akan mengatur posisi kepalanya agar penglihatannya menjadi binokular, akibatnya akan terjadi postur abnormal dari kepala pasien. Internal oftalmoplegia

Kelumpuhan hanya terjadi pada otot-otot intraokular sehingga yang terjadi adalah hilangnya refleks akomodasi akibat paralisis M. siliaris dan midriasis akibat paralisis M. sfingter pupil. Pasien tidak mengalami diplopia karena tidak terjadi strabismus.

Letak kelumpuhan vaskuler yang biasanya disebabkan oleh diabetes melitus, migren, ataupun hipertensi sering terjadi di daerah sinus kavernosus, tempat serat-serat pupil terletak perifer dan mendapat banyak makanan dari vasa vasorum sehungga pada lesi-lesi iskemik biasanya pupil tidak mengalami gangguan. Pada lesi-lesi kompresif, biasanya aneurisma, serat-serat pupil terkena secara dini sehingga pupil mengalami dilatasi. Dengan demikian, lesi iskemik dan lesi kompresif dapat dibedakan secara klinis, karena pada lesi iskemik respon pupil umumnya normal, sedangkan lesi kompresif menyebabkan pupil mengalami dilatasi dan fiksasi total. Kurang dari 5% kelumpuhan nervus okulomotorius akibat lesi iskemik berkaitan dengan kelumpuhan pupil total, dan hanya 15% terjadi kelumpuhan pupil parsial.B. Sinkinesis okulomotor (Regenerasi aberan nervus okulomotorius)

Fenomena ini ditandai oleh: Diskinesia kelopak mata pada saat menatap horizontal akibat M. levator palpebra bekerja sewaktu M. rektus medialis bekerja;

Aduksi sewaktu berusaha melihat ke atas akibat M. rektus medialis bekerja sewaktu M. rektus superior bekerja;

Retraksi sewaktu berusaha melihat ke atas karena kedua rektus, yang bersifat retraktor, bekerja;

Pupil pseudo-Argyll Robertson, yaitu tidak ada respon cahaya, tidak ada respon dekat pada posisi primer tetapi respon dekat pada aduksi atau aduksi-depresi akibat persarafan pupil dari M. rektus inferior atau medialis; Tanda pseudo-Graefe, dimana terjadi retraksi kelopak mata sewaktu menatap ke bawah akibat persarafan kelopak dari M. rektus inferior; dan Respon nistagmus optokonetik vertikal monokular akibat otot-otot yang memfiksasi mata yang terkena bekerja bersama-sama sehingga hanya mata normal yang berespon terhadap target yang bergerak.

Sinkinesis okulomotor ini mungkin terjadi tidak saja sebagai kombinasi kesalahan arah akson yang sedang tumbuh ke selaput yang salah tetapi juga sebagai akibat dari transmisi atau timbal balik antara akson-akson yang tidak memiliki penutup selaput mielin.

Sinkinesis okulomotor dapat terjadi akibat trauma berat atau penekanan N III oleh aneurisma a. komunikans posterior, atau secara primer disebabakan oleh aneurisma a. karotis interna atau meningioma di sinus kavernosus. Apabila penekanan berlangsung beberapa minggu, maka sering diperlukan bedah strabismus untuk memperoleh penglihatan tunggal binokular.

C. Kelumpuhan okulomotor siklik

Kelumpuhan okulomotor siklik dapat menjadi penyulit kelumpuhan kongenital nervus okulomotorius. Kelainan ini merupakan proses predominan unilateral yang jarang terjadi berupa kelumpuhan N III yang memperlihatkan spasme siklik setiap 10-30 detik. Selama selang waktu ini, ptosis membaik dan akomodasi meningkat. Fenomena ini berlanjut terus seumur hidup tetapi berkurang sewaktu tidur dan meningkat seiring dengan tingkat kewaspadaan. Kelainan ini mungkin terjadi akibat lepas muatan periodik oleh neuron-neuron yang rusak di nukleus okulomotorius yang menimbulkan rangsang subthreshold yang semakin bertambah sampai timbul lepas muatan.PEMERIKSAAN KLINIS

A. Anamnesis Usia onset: ini merupakan faktor penting untuk prognosis jangka panjang. Semakin dini onsetnya, semakin buruk prognosis untuk fungsi penglihatan binokularnya. Jenis onset: awitan dapat perlahan, mendadak, atau intermiten.

Jenis deviasi: ketidaksesuaian penjajaran terjadi di semua arah atau lebih besar di posisi-posisi menatap tertentu, termasuk posisi primer untuk jauh atau dekat.

Diplopia: pasien dewasa dengan strabismus paralitik/inkomitan akan mengeluh melihat dobel (diplopia), kecuali bila disertai ptosis. Tetapi apabila strabismus paralitik terjadi pada masa anak-anak keluhan melihat dobel tidak ada karena terjadi supresi pada bayangan kedua yang dilihatnya dan biasanya terjadi ambliopia.

Keluhan diplopia dapat membantu dalam menentukan otot ekstraokular mana yang mengalami kelumpuhan. Pasien sebaiknya diminta untuk mendeskripsikan mengenai arah bayangan yang dilihat dobel olehnya. Apabila bayangan yang dilihat terpisah secara horizontal maka kemungkinan otot yang mengalami kelumpuhan adalah otot rektus lateralis atau medialis. Apabila bayangan yang dilihat terpisah secara vertikal atau miring (torsi) maka kemungkinannya terdapat satu atau lebih otot rektus vertikalis atau olibqus yang mengalami kelumpuhan. Variasi dari arah bayangan tersebut yang dilihat dalam posisi menatap tertentu dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai otot ekstraokular mana yang mengalami kelumpuhan. Misalnya, diplopia akan terlihat lebih jelas bila pasien melirik ke kanan dan bayangan tersebut terpisah secara horizontal maka otot ekstraokular yang mungkin terkena adalah otot rektus lateralis kanan atau rektus medialis kiri. Hal ini sebaiknya dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan pergerakan bola mata. Ketajaman penglihatan: baik atau menurun

Riwayat penyakit: diabetes melitus, hipertensi, aneurisma, neoplasia, atau trauma (trauma saat kelahiran ataupun trauma kepala akibat kecelakaan). Riwayat penyakit ini penting dalam hal mencari faktor yang mendasari atau faktor penyebab paresenya nervus okulomotorius.B. Pemeriksaan fisik Inspeksi: inspeksi dapat memperlihatkan apakah strabismus yang terjadi konstan atau intermiten, berpindah-pindah atau tidak, dan bervariasi atau konstan. Adanya posisi kepala yang abnormal dan ptosis juga dapat diketahui. Pada ptosis neurogenik jatuhnya kelopak mata atas dapat unilateral, sedangkan pada ptosis miogenik biasanya bilateral. Karakteristik dari ptosis unilateral adalah pasien berusaha untuk meningkatkan fisura palpebra dengan cara merengut atau mengernyitkan dahi (kontraksi dari otot frontalis). Ptosis kongenital biasanya mengenai satu mata saja. Pupil: ukuran, isokor/anisokor, refleks cahaya langsung dan tidak langsung. Hirschberg reflction test: memeriksa reflek cahaya pada kedua permukaan kornea. Dengan tes ini adanya strabismus dapat dideteksi, setiap 1 mm penyimpangan sama dengan 15 dioptri prisma (70).

Ortofori bila masing-masing refleks cahaya pada kornea berada di tengah-tengah pupil.

Heterofori bila salah satu refleks cahaya pada kornea tidak berada di tengah-tengah pupil. Pergerakan mata: memeriksa pergerakan mata pasien dengan meminta pasien mengikuti pergerakan jari pemeriksa ke sembilan arah yaitu lurus ke depan, 6 posisi kardinal (kanan, kanan atas, kanan bawah, kiri, kiri atas, kiri bawah), ke atas, dan ke bawah. Pada saat mata melakukan pergerakan ke 6 posisi kardinal hanya satu otot saja yang bekerja, sedangkan saat mata melihat ke atas atau ke bawah beberapa otot bekerja bersamaan sehingga sulit mengevaluasi kerja masing-masing otot. Oleh karena itu dalam menilai kelumpuhan otot-otot ekstraokular, pergerakan mata ke 6 posisi kardinal lebih bernilai diagnostik.

Selain itu penting juga untuk menilai kecepatan dari gerakan sakadik mata baik secara horizontal ataupun vertikal. Pada gangguan atau kerusakan pada saraf yang mempersarafi otot-otot ekstraokuler ataupun pada tingkat yang lebih tinggi lagi, dapat terlihat pergerakan mata jauh lebih lambat dibandingkan mata normal. Ketajaman penglihatan: masing-masing mata harus dievaluasi secara tersendiri. Ketajaman penglihatan dapat dinilai dengan kartu Snellen atau pada anak dapat dinilai dengan menggunakan E jungkir balik (Snellen) atau gambar Allen. Cover-uncover test: tes ini bertujuan untuk menentukan sudut deviasi/sudut strabismus. Sewaktu pemeriksa mengamati satu mata, di depan mata yang lain ditaruh penutup untuk menghalangi pandangannya, kemudian amati mata yang tidak ditutup apakah mata tersebut bergerak untuk melakukan fiksasi atau tidak. Setelah itu buka penutup yang telah dipasang dan perhatikan apakah mata yang telah dibuka penutupnya melakukan fiksasi kembali atau tidak. Jika mata tersebut melakukan fiksasi maka mata tersebut normal dan mata yang mengalami deviasi adalah mata sebelahnya. Hess screen: tes ini bertujuan untuk mengukur sudut deviasi/sudut strabismus. Untuk tes ini di depan salah satu mata pasien dipakaikan kaca berwarna merah dan kaca berwarna hijau pada mata lainnya. Kemudian pasien diminta untuk memegang tongkat dengan lampu hijau dan diminta untuk menunjuk cahaya merah yang terlihat pada layar dengan tongkat tersebut. Dengan tes ini masing-masing mata dapat dinilai sehingga dapat diukur arah dan sudut deviasinya.

Penilaian dan pengukuran deviasi pada strabismus paralitik/inkomitan adalah penting, tidak hanya untuk mendiagnosa otot ekstraokular mana yang terkena tapi juga sebagai patokan awal terhadap derajat kelumpuhan otot sehingga kemajuan pasien dapat dievaluasi dengan baik. Pemeriksaan sensorik: pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai status pengihatan binokular. Pemeriksaan tersebut adalah untuk stereopsis, supresi, dan potensi fusi. Semua memerlukan dua sasaran terpisah untuk masing-masing mata.C. Pemeriksaan penunjang

Beberapa kasus yang berkaitan dengan strabismus paralitik/inkomitan mengarah pada gangguan neurologis yang serius, seperti pada parese N III yang disertai rasa nyeri, yang dicurigai akibat aneurisma pada Sirkulus Willisi. Pada kasus-kasus seperti ini pasien sebaiknya segera dirujuk pada ahli neurologi, tapi pada kasus-kasus yang tidak membutuhkan penganganan dengan segera dapat dilakukan pemeriksaan penunjang yang mungkin dapat membantu dalam mencari penyebab dan menegakan diagnosa, antara lain: Gula darah

Foto kranium

Foto sinus paranasal dan orbita, bila diperlukan CT scan sinus paranasal dan orbita

Tes fungsi tiroid dan autoantibodi

Tensilon (edrophonium) test, untuk menegakan diagnosa miastenia gravis

CT brain / MRI / angiografi karotis pada kasus-kasus neurologis.TERAPI

A. Terapi untuk strabismusPada dasarnya terapi pada strabismus paralitik/inkomitan adalah dengan mengatasi faktor penyebab timbulnya parese nervus okulomotorius.

Terapi medis

Terapi ambliopia

Terapi ambliopia yang utama adalah oklusi. Mata yang baik ditutup untuk merangsag mata yang mengalami ambliopia. Ada dua stadium terapi ambliopia, yaitu:

Stadium awal, terapi awal standar adalah penutupan terus menerus. Bila ambliopianya tidak terlalu parah atau anak terlalu muda maka diterapkan penutupan paruh waktu. Terapi oklusi dilanjtukan selama ketajaman penglihatan membaik (kadang-kadang sampai setahun). Penutupan sebaiknya tidak terus-menerus lebih dari 4 bulan apabila tidak terdapat kemajuan.

Stadium pemeliharaan, terdiri dari penutupan paruh waktu yang dilanjutkan setelah fase perbaikan untuk mempertahankan penglihatan terbaik melewati usia dimana ambliopianya kemungkinan besar kambuh (sekitar usia 8 tahun). Prisma

Prisma menghasilkan pengarahan ulang garis penglihatan secara optis. Unsur-unsur retina dibuat segaris untuk menghilangkan diplopia. Apabila digunakan sebelum operasi, prisma dapat merangsang efek sensorik yang akan timbul setelah tindakan bedah. Prisma dapat digunakan dengan beberapa cara. Bentuk yang cukup nyaman adalah prisma plastik press-on Fresnel. Alat optik ini bermanfaat diagnostik dan terapetik temporer.

Terapi bedahTujuan terapi bedah adalah untuk mengeliminasi diplopia dalam lapangan pandang yang normal, baik pada penglihatan jauh ataupun dekat. Terapi bedah dapat ditunda selambat-lambatnya sampai satu tahun dengan maksud memberi kesempatan untuk pemulihan dengan sendirinya. Terapi bedah biasanya dilakukan bila penglihatan binokular tidak kunjung membaik setelah otot-otot ekstraokular pulih, selambat-lambatnya sampai 6 bulan.

Prosedur yang digunakan yaitu reseksi dan resesi. Secara konseptual, tindakan ini merupakan tindakan paling sederhana. Sebuah otot diperkuat dengan suatu tindakan yang disebut reseksi. Otot dilepaskan dari mata, diregangkan lebih panjang secara terukur, kemudian dijahit kembali ke mata, biasanya di tempat insersi semula. Resesi adalah tindakan perlemahan standar. Otot dilepas dari mata, dibebaskan dari perlekatan fasia, dan dibiarkan mengalami retraksi. Otot tersebut dijahit kembali ke mata pada jarak tertentu di belakang insersinya semula.B. Terapi untuk ptosis Ptosis kongenital : pada ptosis kongenital yang menghalangi penglihatan mata, terapi aksis visual harus dilakukan tanpa penundaan untuk mencegah perkembangan ptosis menjadi ambliopia. Selain itu, perkembangan visual dapat di monitor dan tindakan operasi dapat dilakukan pada usia prasekolah, saat jaringannya masih berkembang sangat baik. Tindakan operasi yang dilakukan berupa bedah retraksi dari kelopak mata atas, yang sebaiknya dilakukan sesegera mungkin saat ditemukan adanya resiko berkembangnya gangguan penglihatan akibat ptosis. Resiko dari keratopati terpapar harus di jelaskan kepada pasien dan kemungkinan kelopak mata dapat jatuh atau turun lagi jika masalah keratopati terpaparnya cukup serius harus juga dijelaskan kepada pasien. Antibiotik dan lubrikan diberikan saat pasca operasi sampai permukaan ocular menjadi terbiasa dengan tinggi kelopak mata yang baru.

DAFTAR PUSTAKA1. Mardjono M, Sidharta P. Sarafotak dan Patologinya. Dalam: Neurologi Klinis Dasar. Penerbit PT. Dian Rakyat. Jakarta. 2000: 114 82.2. Sidarta Ilyas. Anatomi dan Fisiologi Otot Pengerak Bola Mata. Dalam: Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2000: 233 65.3. Dorland: Kamus Kedokteran, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Edisi 26, cetakan II, Jakarta 19964. Prof. Dr. I. Gusti Ng. Gd. Ngoerah. Nervi Kranialis. Dalam: Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Penerbit Universitas Airlangga. Surabaya. 1990: 103 130.5. Sylvia A. Price. Lorraine M. Wilson. Pemeriksaan Saraf Kranial. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 4. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 1995: 945 66. Judana A, Santoso D, Kusumoputro S. Saraf Saraf Otak. Dalam: Pedoman Praktis Pemeriksaan Neurologi. Penerbit Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 1978: 10 21.

PAGE 23