REFERAT INTA

38
REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK CHD NON SIANOSIS Disusun oleh : Rhininta Adistyarani G4A014090 Pembimbing : dr. Nur Faizah, Sp.A SMF ILMU KESEHATAN ANAK RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO FAKULTAS KEDOKTERAN

description

referat

Transcript of REFERAT INTA

Page 1: REFERAT INTA

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK

CHD NON SIANOSIS

Disusun oleh :

Rhininta Adistyarani G4A014090

Pembimbing :

dr. Nur Faizah, Sp.A

SMF ILMU KESEHATAN ANAK

RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2016

Page 2: REFERAT INTA

LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui referat dengan judul :

CHD NON SIANOSIS

Pada tanggal, Maret 2016

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti

program profesi dokter di Bagian Ilmu Kesehatan Anak

RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto

Disusun oleh :

Rhininta Adistyarani G4A014090

Mengetahui,

Pembimbing

dr. Nur Faizah, Sp.A

Page 3: REFERAT INTA

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya

saya dapat menyelesaikan tugas ini. Shalawat dan salam marilah senantiasa kita junjungkan

kepada Nabi Muhammad SAW.

Saya ucapkan terima kasih kepada para pengajar, fasilitator, dan narasumber SMF

Ilmu Kesehatan Anak, terutama dr. Nur Faizah, Sp.A selaku pembimbing kami.

Kami sadari Referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang

membangun dari semua pihak sangat saya harapkan demi kesempurnaannya.

Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat

khususnya bagi saya yang sedang menempuh pendidikan dan dapat dijadikan pelajaran bagi

yang membacanya.

Purwokerto, Maret 2016

Penulis

Page 4: REFERAT INTA

DAFTAR ISI

Pengesahan …............................................................................................. 2

Kata Pengantar ............................................................................................ 3

Daftar Isi ..................................................................................................... 4

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Definisi...............................………………………………………………….. 7

Etiologi... ....................................................................................................... 7

Epidemiologi .............................................................................................. 7

Patogenesis ...................................................................................................... 12

Penegakan Diagnosis....................................................................................... 14

Diagnosis Banding .......................................................................................... 16

Pemeriksaan Penunjang .................................................................................. 17

Penatalaksanaan .............................................................................................. 19

Prognosis.......................................................................................................... 25

Komplikasi ................................................................................................. 25

Pencegahan .................................................................................................... 25

BAB III KESIMPILAN................................................................................... 27

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 28

Page 5: REFERAT INTA

BAB I

PENDAHULUAN

Congenital heart disease (CHD) merupakan penyakit dengan kelainan pada struktur

jantung atau fungsi sirkulasi jantung yang dibawa dari lahir yang terjadi akibat adanya

gangguan atau kegagalan perkembangan struktur jantung pada fase awal perkembangan

janin. Manifestasi klinis kelainan ini bervariasi dari yang paling ringan sampai berat. Pada

bentuk yang ringan, sering tidak ditemukan gejala dan tidak ditemukan adanya kelianan pada

pemeriksaan klinis. Sedangkan pada CHD berat, gejala sudah tampak sejak lahir dan

memerlukan tindakan segera. Dengan berkembangnya teknologi, khususnya ekokardiografi,

banyak kelainan jantung yang sebelumnya tidak dapat dideteksi dengan pemeriksaan fisis dan

penunjang biasa, EKG, radiologi dengan menggunakan alat ini dapat dideteksi dengan mudah

(Roebiono, 2006).

Ada 2 golongan besar CHD, yaitu non sianotik dan sianotik yang masing-masing

memberikan gejala dan memerlukan penatalaksanaan yang berbeda. CHD asianotik atau non

sianotik umumnya memiliki kelainan yang lebih sederhana dan tunggal sedangkan tipe

sianotik biasanya memiliki kelainan struktur jantung yang lebih kompleks dan bervariasi.

Baik keduanya hampir 90% memerlukan intervensi bedah jantung terbuka untuk

pengobatannya. Sepulu persen lainnya adalah kelainan seperti kebocoran sekat bilik jantung

yang masih mungkin untuk menutup sendiri seiring dengan pertambahan usia anak

(Roebiono, 2006).

Angka kejadian CHD dilaporkan sekitar 8-10 bayi dari 1000 kelahiran hidup dan 30%

diantaranya telah memberikan gejala pada minggu-minggu pertama kehidupan. Bila tidak

terdeteksi secara dini dan tidak ditangani dengan baik, 50% kematiannya akan terjadi pada

bulan pertama kehidupan. Di negara maju hampir semua jenis CHD telah dideteksi dalam

masa bayi bahkan pada usia kurang dari 1 bulan, sedangkan di negara berkembang banyak

baru terdeteksi setelah anak lebih besar, sehingga pada beberapa jenis CHD yang berat

mungkin telah meninggal sebelum terdeteksi. Pada beberapa jenis CHD tertentu sangat

diperlukan pengenalan dan diagnosis dini agar segera dapat diberikan pengobatan serta

tindakan bedah yang diperlukan. Untuk memperbaiki pelayanan di Indonesia, selain

pengadaan dana dan pusat pelayanan kardiologi anak yang adekuat, diperlukan juga

kemampuan deteksi dini CHD dan pengetahuan saat rujukan yang optimal oleh para dokter

umum yang pertama kali berhadapan dengan pasien (Roebiono, 2006).

Page 6: REFERAT INTA

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Congenital heart disease (CHD) adalah penyakit dengan abnormalitas pada strruktur

maupun fungsi sirkulasi yang telah ada sejak lahir yang terjadi akibat adanya gangguan atau

kegagalan perkembangan struktur jantung pada fase awal perkembangan janin (Roebiono,

2006).

Congenital heart disease (CHD) non sianotik adalah kelainan struktur dan fungsi

jantung yang dibawa sejak lahir yang tidak ditandai dengan sianosis; misalnya lubang di

sekat jantung sehingga terjadi pirau dari kiri ke kanan, kelaianan salah satu katup jantung dan

penyempitan alur keluar ventrikel atau pembuluh darah besar tanpa adanya lubang di sekat

jantung ( Rahayoe, 2008).

2. Etiologi

Pada sebagian besar kasus, penyebab terjadinya CHD tidak diketahui. Berbagai jenis

obat, penyakit ibu, pajanan terhadap sinar rontgen diduga merupakn penyebab eksogen

Congenital heart disease. Penyakit rubela yang diderita ibu pada awal kehamilan dapat

menyebabkan CHD pada bayi. Disamping faktor eksogen terdapat pula faktor endogen

yang berhubungan dengan kejadian CHD. Berbagai jenis penyakit genetik dan sindrom

tertentu erat berkaitan dengan kejadian CHD seperti Sindrom Down, Turner dan lain-lain

(Djer, 2010).

3. Epidemiologi

Congenital heart disease (CHD) ini terjadi pada sekitar 8 dari 1000 kelahiran hidup.

Insiden lebih tinggi pada lahir mati (2%), abortus (10-25%), dan bayi premature (2%).

Insiden menyuluruh ini tidak termasuk prolaps katup mitral. PDA pada bayi preterm, dan

katup aorta bikuspid (ada sekitar 0,9% seri dewasa). Pada bayi-bayi dengan defek jantung

kongenital, ada spektrum keparahan yang lebar: sekitar 2-3 dari 1000 bayi neonatus total

akan bergejala penyakit jantung pada usia 1 tahun pertama. Diagnosis ditegakkan pada

umur 1 minggu pada 40-50% penderita dengan penyakit jantung kongenital dan pada

umur 1 bulan pada 50-60% penderita. Sejak pembedahan paliatif atau korektif

berkembang, jumlah anak yang hidup dengan penyakit jantung kongenital bertambah

secara dramatis.

Page 7: REFERAT INTA

Penelitian di Taiwan menunjukkan prevalensi yang sedikit berbeda, yaitu sekitar

13,08 dari 1000 kelahiran hidup, dimana sekitar 12,05 pada bayi berjenis kelamin laki-

laki, dan 14,21 pada bayi perempuan. Congenital heart disease (CHD) yang paling sering

ditemukan adalah Ventricular Septal Defect (Wu, 2009).

4. Klasifikasi

Menurut Kasron (2012), Congenital hearth disease asianotik merupakan suatu

kelaianan struktur dan fungsi jantung yang dibawa lahir yang tidak ditandai dengan

sianosis. CHD non sianotik terdiri dari 2 kelompok yaitu :

a. CHD non sianotik dengan pirau dari kiri ke kanan

Masalah yang ditemukan pada kelompok ini adalah adanya pirau dari kiri ke kanan

memalui defek atau lubang di jantung yang menyebabkan aliran darah ke paru

berlebihan. Manifestasi klinisnya sangat bervariasi, dari yang asimptomatik sampai

simptomatik seperti kesulitan mengisap susu, sesak nafas, sering terserang infeksi paru,

gagal tumbuh kembang dan gagal jantung kongestif.

1) Paten Duktus Arteriosus (PDA)

Pada PDA kecil umumnya anak asimptomatik dan jantung tidak membesar.

Sering ditemukan secara kebetulan saat pemeriksaan rutin dengan adanya bising

kontinyu yang khas seperti suara mesin (machinery murmur) di area pulmonal,

yaitu di parasternal sela iga 2–3 kiri dan di bawah klavikula kiri. Tanda dan gejala

adanya aliran ke paru yang berlebihan pada PDA yang besar akan terlihat saat usia

1–4 bulan dimana tahanan vaskuler paru menurun dengan cepat. Nadi akan teraba

jelas dan keras karena tekanan diastolik yang rendah dan tekanan nadi yang lebar

akibat aliran dari aorta ke arteri pulmonalis yang besar saat fase diastolik. Bila

sudah timbul hipertensi paru, bunyi jantung dua komponen pulmonal akan

mengeras dan bising jantung yang terdengar hanya fase sistolik dan tidak kontinyu

lagi karena tekanan diastolik aorta dan arteri pulmonalis sama tinggi sehingga saat

fase diastolik Universitas Sumatera Utara tidak ada pirau dari kiri ke kanan.

Penutupan PDA secara spontan segera setelah lahir sering tidak terjadi pada bayi

prematur karena otot polos duktus belum terbentuk sempurna sehingga tidak

responsif vasokonstriksi terhadap oksigen dan kadar prostaglandin E2 masih tinggi.

Pada bayi prematur ini otot polos vaskuler paru belum terbentuk dengan sempurna

sehingga proses penurunan tahanan vaskuler paru lebih cepat dibandingkan bayi

cukup bulan dan akibatnya gagal jantung timbul lebih awal saat usia neonatus

(Roebiono,2009).

Page 8: REFERAT INTA

2). Ventricular Septal Defect (VSD)

Pada VSD besarnya aliran darah ke paru ini selain tergantung pada besarnya

lubang, juga sangat tergantung pada tingginya tahanan vaskuler paru. Makin

rendah tahanan vaskuler paru makin besar aliran pirau dari kiri ke kanan. Pada bayi

baru lahir dimana maturasi paru belum sempurna, tahanan vaskuler paru umumnya

masih tinggi dan akibatnya aliran pirau dari kiri ke kanan terhambat walaupun

lubang yang ada cukup besar. Tetapi saat usia 2–3 bulan dimana proses maturasi

paru berjalan dan mulai terjadi penurunan tahanan vaskuler paru dengan cepat

maka aliran pirau dari kiri ke kanan akan bertambah. Ini menimbulkan beban

volume langsung pada ventrikel kiri yang selanjutnya dapat terjadi gagal jantung

(Roebiono, 2009).

3). Atrial Septal Defect (ASD)

Pada ASD presentasi klinisnya agak berbeda karena defek berada di septum

atrium dan aliran dari kiri ke kanan yang terjadi selain menyebabkan aliran ke paru

yang berlebihan juga menyebabkan beban volum pada jantung kanan. Kelainan ini

sering tidak memberikan keluhan pada anak walaupun pirau cukup besar, dan

keluhan baru timbul saat usia dewasa. Hanya sebagian kecil bayi atau anak dengan

ASD besar yang simptomatik dan gejalanya sama seperti pada umumnya kelainan

dengan aliran ke paru yang berlebihan yang telah diuraikan di atas. Auskultasi

jantung cukup khas yaitu bunyi jantung dua yang terpisah lebar dan menetap tidak

mengikuti variasi pernafasan serta bising sistolik ejeksi halus di area pulmonal. Bila

aliran piraunya besar mungkin akan terdengar bising diastolik di parasternal sela iga

4 kiri akibat aliran deras melalui katup trikuspid. Simptom dan hipertensi paru

umumnya baru timbul saat usia dekade 30 – 40 sehingga pada keadaan ini mungkin

sudah terjadi penyakit obstruktif vaskuler paru (Roebiono, 2009).

b. CHD non sianotik dengan lesi obstruktif tanpa pirau

Obstruksi di alur keluar ventrikel kiri dapat terjadi pada tingkat subvalvar, valvar

ataupun supravalvar sampai ke arkus aorta. Akibat kelainan ini ventrikel kiri harus

memompa lebih kuat untuk melawan obstruksi sehingga terjadi beban tekanan pada

ventrikel kiri dan hipertrofi otot miokardium. Selama belum terjadi kegagalan

miokardium, biasanya curah jantung masih dapat dipertahankan, pasien asimptomatik

dan ukuran jantung masih normal. Tergantung beratnya obstruksi presentasi klinis

penderita kelompok ini dapat asimptomatik atau simptomatik. Yang simptomatik

umunya adalah gagal jantung yang gejalanya tergantung dari beratnya lesi dan

Page 9: REFERAT INTA

kemampuan miokard ventrikel. Gejala yang ditemukan antara lain sesak nafas, sakit

dada, pingsan atau pusing saat melakukan aktivitas fisik dan mungkin kematian

mendadak. Pada keadaan yang berat dengan aliran darah sistemik yang tidak adekuat,

sebelum terjadi perburukan akan ditandai dengan kemampuan mengisap susu yang

cepat menurun dan bayi terlihat pucat, takipneu, takikardi dan berkeringat banyak.

Adanya penurunan perfusi perifer ditandai dengan nadi yang melemah, pengisian

kapiler yang lambat dan akral yang dingin.

Obstruksi pada alur keluar ventrikel kanan juga dapat berada di tingkat subvalvar atau

infundibular, valvar, dan supravalvar sampai ke percabangan arteri pulmonalis.

Obstruksi ini akan menyebabkan terjadinya beban tekanan dan hipertrofi ventrikel

kanan. Penderita kelompok ini umumnya asimptomatik kecuali bila obstruksinya berat

dan kemampuan miokard ventrikel kanan menurun. Presentasi klinisnya berupa gagal

jantung kanan seperti edema perifer, hepatomegali, dan asites atau sindroma curah

jantung rendah seperti sulit bernafas, lemas, sakit dada, sinkop dan mungkin kematian

mendadal akibat aritmia.

1). Aorta Stenosis (AS)

Aorta Stenosis derajat ringan atau sedang umumnya asimptomatik sehingga

sering terdiagnosis secara kebetulan karena saat pemeriksaan rutin terdengar bising

sistolik ejeksi dengan atau tanpa klik ejeksi di area aorta; parasternal sela iga 2 kiri

sampai ke apeks dan leher. Bayi dengan AS derajat berat akan timbul gagal jantung

kongestif pada usia mingguminggu pertama atau bulan-bulan pertama

kehidupannya. Pada AS yang ringan dengan gradien tekanan sistolik kurang dari 50

mmHg tidak perlu dilakukan intervensi. Intervensi bedah valvotomi atau non bedah

Balloon Aortic Valvuloplasty harus segera dilakukan pada neonatus dan bayi dengan

AS valvular yang kritis serta pada anak dengan AS valvular yang berat atau gradien

tekanan sistolik 90 – 100 mmHg (Roebiono, 2009).

2) . Coarctatio Aorta (CoA)

Coartatio Aorta pada anak yang lebih besar umumnya juga asimptomatik walaupun

derajat obstruksinya sedang atau berat. Kadang-kadang ada yang mengeluh sakit

kepala atau epistaksis berulang, tungkai lemah atau nyeri saat melakukan aktivitas.

Tanda yang klasik pada kelainan ini adalah tidak teraba, melemah atau terlambatnya

pulsasi arteri femoralis Universitas Sumatera Utara dibandingkan dengan arteri

brakhialis, kecuali bila ada PDA besar dengan aliran pirau dari arteri pulmonalis ke

aorta desendens. Selain itu juga tekanan darah lengan lebih tinggi dari pada tungkai.

Page 10: REFERAT INTA

Obstruksi pada AS atau CoA yang berat akan menyebabkan gagal jantung pada usia

dini dan akan mengancam kehidupan bila tidak cepat ditangani. Pada kelompok ini,

sirkulasi sistemik pada bayi baru lahir sangat tergantung pada pirau dari kanan ke

kiri melalui PDA sehingga dengan menutupnya PDA akan terjadi perburukan

sirkulasi sistemik dan hipoperfusi perifer (Roebiono, 2009).

3). Pulmonal Stenosis (PS)

Status gizi penderita dengan PS umumnya baik dengan pertambahan berat badan

yang memuaskan. Bayi dan anak dengan PS ringan umumnya asimptomatik dan

tidak sianosis sedangkan neonatus dengan PS berat atau kritis akan terlihat takipnu

dan sianosis. Penemuan pada auskultasi jantung dapat menentukan derajat beratnya

obstruksi. Pada PS valvular terdengar bunyi jantung satu normal yang diikuti dengan

klik ejeksi saat katup pulmonal yang abnormal membuka. Klik akan terdengar lebih

awal bila derajat obstruksinya berat atau mungkin tidak terdengar bila katup kaku

dan stenosis sangat berat. Bising sistolik ejeksi yang kasar dan keras terdengar di

area pulmonal. Bunyi jantung dua yang tunggal dan bising sistolik ejeksi yang halus

akan ditemukan pada stenosis yang berat (Roebiono, 2003).

5. Patogenesis

Patogenesis yang terpenting dan menentukan derajat penyakit ialah adanya

perembesan plasma dan kelainan hemostasis yang akan bermanifestasi sebagai

peningkatan hematokrit dan trombositopenia. Adanya perembesan plasma ini

membedakan demam dengue dan demam berdarah dengue (Sutaryo, 2008). Patogenesis

DBD masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada

DBD adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau

hipotesis immune enhancement

Menurut hipotesis infeksi sekunder yang diajukan oleh Suvatte,1997, sebagai akibat

infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien

akan terpicu, menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit dan menghasilkan titer

tinggi IgG antidengue. Karena bertempat di limfosit, proliferasi limfosit juga

menyebabkan tingginya angka replikasi virus dengue. Hal ini mengakibatkan terbentuknya

kompleks virus-antibodi yang selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan

C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan

Page 11: REFERAT INTA

merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan peningkatan kadar

hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa (Chen, 2009).

Gambar 2.1 hipotesis infeksi sekunder (Chen, 2009)

Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi selain

mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan

mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah (gambar

2). Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit

terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit

mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu

sama iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo

endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan

menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati

konsumtif (KID = koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP

(fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan

(Suhendro, 2006).

Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga

walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi

koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem

kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat

terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositpenia,

penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dankerusakan

dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok yang terjadi

(Hadinegoro, 2010).

Page 12: REFERAT INTA

Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak langsung

bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog mempunyai risiko berat

yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi herterolog yang telah ada akan

mengenali virus lain kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang berikatan

dengan Fc reseptor dari membran leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari

proses ini, akan terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan

peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan

hipovolemia dan syok (Chen, 2009).

Infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan tubuh

dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Dengan demikian infeksi virus

dengue dapat menyebabkan keadaan yang bermacam-macam, mulai dari tanpa gejala

(asimtomatik), demam ringan yang tidak spesifik (undifferentiated febrile illness), Demam

Dengue, atau bentuk yang lebih berat yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Sindrom

Syok Dengue (SSD) (Hadinegoro, 2010).

Gambar 2.3 Spektrum klinis DBD

6. Penegakan Diagnosis

Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul

gejala prodromal yang tidak khas seperti : nyeri kepala, nyeri tulang belakang, dan

perasaan lelah (Suhendro,2006).

Page 13: REFERAT INTA

Demam dengue merupakan demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan dua atau

lebih manifestasi klinis sebagai berikut : (Suhendro,2006).

1. Nyeri kepala

2. Nyeri retro orbital

3. Mialgia/ artralgia

4. Manifestasi perdarahan (ptekie atau uji bending positif)

5. Leukopenia dan pemeriksaan serologi dengue positif atau ditemukan pasien DD/DBD

yang sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama.

Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal dibawah

ini dipenuhi:

Demam atau riwayat demam akut, antara 2 – 7 hari, biasanya bifasik

Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:

o Uji bendung positif

o Petekie, ekimosis, atau purpura

o Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi)

o Hematemesis atau melena

Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul)

Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai

berikut:

o Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan

jenis kelamin

o Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan

dengan nilai hematokrit sebelumnya

o Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau hipoproteinemi.

Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat:

Derajat I Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi

perdarahan adalah uji tourniquet.

Derajat II Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau

perdarahan lain.

Page 14: REFERAT INTA

Derajat III Didapatkan kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lambat, tekanan

nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di

sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, dan anak tampak gelisah.

Derajat IV Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah

tidak terukur.

7. Diagnosis Banding (Hadinegoro, 2010)

a. Pada awal perjalanan penyakit, diagnosa banding mencakup infeksi bakteri, virus, atau

infeksi parasit seperti demam tifoid, campak, influenza, hepatitis, demam chikungunya,

leptospirosis, dam malaria. Adanya trombositopenia yang jelas disertai

hemokonsentrasi dapat membedakan antara DBD dengan penyakit lain.

b. Demam berdarah dengue harus dibedakan dengan demam chikungunya (DC). Pada DC

biasanya seluruh anggota keluarga dapat terserang dan penularannya mirip dengan

influenza. Bila dibandingkan dengan DBD, DC memperlihatkan serangan demam

mendadak, masa demam lebih pendek, suhu lebih tinggi, hampir selalu disertai ruam

makulopapular, injeksi konjungtiva, dan lebih sering dijumpai nyeri sendi. Proporsi uji

tourniquet positif, petekie dan epistaksis hampir sama dengan DBD. Pada DC tidak

ditemukan perdarahan gastrointestinal dan syok.

c. Perdarahan seperti petekie dan ekimosis ditemukan pada beberapa penyakit infeksi,

misalnya sepsis, meningitis meningokokus. Pada sepsis, sejak semula pasien tampak

sakit berat, demam naik turun, dan ditemukan tanda-tanda infeksi. Di samping itu jelas

terdapat leukositosis disertai dominasi sel polimorfonuklear (pergeseran ke kiri pada

hitung jenis). Pemeriksaan LED dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi bakteri

dengan virus. Pada meningitis meningokokus jelas terdapat gejala rangsangan

meningeal dan kelainan pada pemeriksaan cairan serebrospinalis.

d. Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD derajat II,

oleh karena didapatkan demam disertai perdarahan di bawah kulit. Pada hari-hari

pertama, diagnosis ITP sulit dibedakan dengan penyakit DBD, tetapi pada ITP demam

cepat menghilang (pada ITP bisa tidak disertai demam), tidak dijumpai leukopeni, tidak

dijumpai hemokonsentrasi, tidak dijumpai pergeseran ke kanan pada hitung jenis. Pada

fase penyembuhan DBD jumlah trombosit lebih cepat kembali normal daripada ITP.

e. Perdarahan dapat juga terjadi pada leukimia atau anemia aplastik. Pada leukemia

demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan pasien sangat anemis. Pemeriksaan

Page 15: REFERAT INTA

darah tepi dan sumsum tulang akan memperjelas diagnosis leukimia. pada pemeriksaan

darah ditemukan pansitopenia (leukosit, hemoglobin dan trombosit menurun). Pada

pasien dengan perdarahan hebat, pemeriksaan foto toraks dan atau kadar protein dapat

membantu menegakkan diagnosis. Pada DBD ditemukan efusi pleura dan

hipoproteinemia sebagai tanda perembesan plasma.

8. Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium

Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien curiga demam

dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit,

dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relative disertai gambaran

limfosit plasma biru.

Diangnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture) ataupun

deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reverse Transcriptase

Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih rumit, saat ini tes

serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik terhadap dengue berupa antibody

total, IgM maupun IgG lebih banyak.

Parameter laboratorium yang dapat diperiksa antara lain :

Leukosit

Dapat normal atau menurun. Mulai hari ke 3 dapat ditemukan limfositosis relative

(>45% dari leukosit) disertai adanya lifosit plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah

total leukosit pada fase syok akan meningkat.

Trombosit

Umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.

Hematokrit

Kebocoran plasma dibuktikan peningkatan hematokrin ≥ 20% dari hematokrin awal,

umumnya dimulai pada hari ke-3 demam

Hemostasis

Dilakukan pemeriksaan AP, APTT, Fibrinogen, D- Dimer atau FDP pada keadaan

yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.

Page 16: REFERAT INTA

Protein/albumin

Dapat terjadi hipoalbuminemia akibat kebocoran plasma

Elektrolit

Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan

Serelogi

Dilakukan pemeriksaan serologi IgM dan IgG terhadap dengue, yaitu:

- IgM muncul pada hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3, menghilang setelah

60-90 hari

- IgG terdeteksi mulai hari ke 14 (infeksi primer), hari ke 2 (infeksi sekunder).

NS1

Antigen NS1 dapat terdeteksi pada awal demam hari pertama sampai hari kedelapan.

Sensitivitas sama tingginya dengan spesitifitas gold standart kultur virus. Hasil

negatif antigen NS1 tidak menyingkirkan adanya infeksi virus dengue.

b. Pemeriksaan Radiologis

Pada foto dada didpatkan efusi pleura, terutama pada hematoraks kanan tetapi

apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai kedua hemitoraks.

Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien

tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi

dengan pemeriksaan USG.

9. Penatalaksanaan

Dalam penatalaksanaan DBD terdapat protokol yang dibagi dalam 5 kategori : (Depkes,

2010; Rani, 2006)

1. Protokol 1: Penanganan Tersangka (Probable) DBD tanpa Syok

Protokol ini digunakan sebagai petunjuk dalam pemberian pertolongan pertama pada

penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat dan juga dipakai

sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat. Seseorang yang tersangka

menderita DBD Unit Gawat Darurat dilakukan pemeriksaan hemonglonin (Hb),

hematokrin (Ht), dan trombosit, bila :

Page 17: REFERAT INTA

Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000, pasien dapat

dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24

jam berikutnya (dilakukan pemriksaan Hb, Ht, leukosit dan trombosit tiap 24 jam)

atau bila keadaan penderita memburuk segera kembali ke Unit Gawat Darurat.

Hb, Ht normal tetapi trombosit , 100.000 dianjurkan untuk dirawat

Hb, Ht meningkat dan tombosit normal atau turun juga dianjurka untuk dirawat

2. Protokol 2. Pemberian Cairan pada Tersangka DBD di Ruanag Rawat

Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masih dan tanpa syok

maka di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus

berikut ini :

Volume cairan kristaloid / hari yang diperkukan, sesuai rumus berikut :

1500+ (20 x (BB dalam kg – 20 )

Setelah pemberian cairan dilakukan dilakukan pemberian Hb, Ht tiap 24 jam:

Bila Hb, Ht meningkan 10-20% dan tombosit < 100.000 jumlah pemberian cairan

tetap seperti rumus diatas tetapi pemantauan Hb, Ht, trombo dilakukan tiap 12 jam.

Bila Hb, Ht meningkat > 20% dan trombosit <100.000 maka pemberian cairan sesuai

dengan protocol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht >20%.

3. Protokol 3. Penatalaksaan DBD dengan Peningkatan Ht > 20%

Page 18: REFERAT INTA

Meningkatnya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit

cairan sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan

memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau

setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikkan perbaikan yang ditandai

dengan tanda-tanda hematokrin turun, frekuensi nadi turun tekanan darah stabil,

produksi urin meningkat maka jumlah cairan infuse dikurangimenjadi 5 ml/KgBB/jam.

Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan tetap menunjukkan

perbaikkan maka jumlah cairan infuse dikurangi 3ml/KgBB/jam. Bila dalam

pemantauan keadaan tetap membaik cairan dapat dihentikan24-48 jam kemudian.

Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/KgBB/jam dalam tapi

keadaan tetap tidak membaik, yang ditndai dengan Ht dan nadi meningkat, tekanan

nadi menurun < 20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah

cairan infuse menjadi 10 ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan

kembali dan bila keadaan menunjukkan perbaikkan maka jumlah cairan dikuarangi

menjadi 5 ml/KgBB/jam tetapi bila keadaan tidak menunjukkan perbaikkan maka

jumlaah cairan infuse dinaikkan 15ml/KgBB/jam dan bila dalam perkembangannya

kondisi menjadi memburuk dan didapatkn tanda-tanda syok maka pasien

ditananganisesuai protocol tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa. Bila syok

telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan.

Page 19: REFERAT INTA

4. Protokol 4. Penatalaksaan Perdarahan Spontan:

Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD adalah : perdarahan

hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung,

perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan

saluran kencing ( hematuria, perdarahan otak atau perdarahan sembunyi dengan jumlah

perdarahan sebanyak 4-5 ml/KgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan

pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok. Pemeriksaan TD, nadi,

pernapasan, dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht,

dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.

Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan

tanda-tanda koagulasi intravaskuler diseminata (KID). Taranfusi komponen darah

diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi factor-faktor

pembekuan darah (PT dan aPTT) yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb

kurang dari 10 g/dl. Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD yang

perdarahan spontan dan massif dengan jumlah tromboit <100.000/mm3 disertai atau

tanpa KID

5. Protokol 5. Tatalaksanaan Sindrom Syok Dengue

Bila berhadapan dengan SSD maka hal pertama yang harus diingat adalah

renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan dilakukan

intravaskuler yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian SSD 10 kali lipat

dibandingakan dengan penderita DBD tanpa renjatan. Dan renjatan dapat terjadi karena

kerelambatan penderita DBD mendapat pertolongan.

Pada kasus SSD cairan kritaloid adalah pilihan utama yang diberikan.

Penderita juga diberikan O2 2-4 liter/menit. Pemeriksaan yang harus dilakukan adalah

pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostalisi, analisis gas darah, kadar

natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kreatinin.

Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20ml/kgBB dan

evaluasi 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi ( ditandai dengan TD sistolik

100mmHg dan tekanan nadi > 20mmHg, frekuensi nadi <100 x/menit dengan volume

Page 20: REFERAT INTA

yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat srta dieresis 0,5-1 ml/kgBB/jam)

jumlah cairan dikurangi 7 ml/kgBB/jam. Biala dalam waktu 60-120 menit keadaan

tetap stabil pemberian cairan menjadi 5ml/kgBB/jam. Bila dam waktu 60-120 menit

keadaan tetap stabil pemberian cairan dikurangi 3 ml/kgBB/jam. Bila 23-48 jam

setelag renjatan teratasi tanda-tanda vital, hematokrin tetap stabil srta dieresis cukup

maka pemberian cairan perinfus dihentikan.

Pengawan dini tetap dilakukan tertama dalam 24 jam pertama sejak terjadi

renjatan. Oleh karena itu untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik,

diperlukan pemantauan tanda vital, pembesaran hati, nyeri tekan didaerah

hipokondrium kana dan epigastrium serta jumlah dieresis (diusahakan 2ml/kgBB/jam).

Pemantauan DPL dipergunakan untuk pemantauan perjalanan penyakit.

Bila fase awal pemberian ternyata renjatan belum teratasi, maka pemberan

cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30ml/kgBB, dan kemudian dievaluasi

setelah 20-30 menit.

Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai Ht.

Bila Ht meningkat berarti perembesan plasma masih berlangsung maka pemberian

cairan koloid merupakan pilihan.

- Pemberian koloid mula-mula diberikan 10-20ml.kgBB dan dievaluasi setelah

10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka pemantaun cairan dilakukan

pemasangan kateter vena sentral, dan pmberian dapat ditambah hingga jumlah

maksimum 30ml/kgBB ( maksimal 1-1,5µ/hari) dengan sasaran tekanan vena

sentral 15-18cmH2O

- Bila keadaan belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap

gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder.

- Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapu renjatan tetap

belum teratasi maka dapat diberikan obat inotropik / vasopresor.

Bila Ht menurun, berarti terjadi perdarahan (internal bleeding) maka pada penderita

diberikan transfuse darah segar 10ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan.

Page 21: REFERAT INTA

10. Prognosis

Prognosis dengue tergantung kepada adanya antibodi yang didapat secara pasif atau

didapat yang meningkatkan kecenderungan terjadinya demam berdarah dengue. Pada

DBD kematian terjadi pada 40–50% pasien dengan syok, tetapi dengan perawatan intensif,

kematian dapat diturunkan hingga < 1%. Kemampuan bertahan berhubungan dengan

terapi suportif awal.Kadang-kadang terdapat sisa kerusakan otak yang diakibatkan oleh

syok berkepanjangan atau terjadi pendarahan intracranial.

11. Komplikasi

a. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok

b. kelainan Ginjal akibat syok berkepanjangan

c. Edema paru, akibat over loading cairan (Setiabudi, 2011).

Page 22: REFERAT INTA

12. Pencegahan

1. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)

a. Melakukan metode 3 M (menguras, Menutup dan Menyingkirkan tempat

perindukan nyamuk) minimal 1 x seminggu bagi tiap keluarga

b. 100% tempat penampungan air sukar dikuras diberi abate tiap 3 bulan

c. ABJ (angka bebas jentik) diharapkan mencapai 95%

2. Foging Focus dan Foging Masal

a .Foging fokus dilakukan 2 siklus dengan radius 200 m dengan selang waktu 1

minggu

b. Foging masal dilakukan 2 siklus diseluruh wilayah suspek KLB dalam jangka

waktu 1 bulan

c. Dilakukan petugas puskesmas yang terlatih dalam waktu 3x24 jam setelah

menerima laporan kasus

d. Hasil dicatat sebagai dasar tindak lanjut penanggulangan kasus

3. Penyuluhan perorangan/kelompok untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.

4. Kemitraan untuk sosialisasi penanggulangan DBD (Dinkes, 2012).

BAB III

KESIMPULAN

Demam berdarah dengue tetap menjadi salah satu masalah kesehatan di Indonesia.

Dengan mengikuti kriteria WHO 1997, diagnosis klinis dapat segera ditentukan. Infeksi

virus dengue merupakan salah satu penyakit dengan vektor nyamuk (”mosquito borne

disease”) yang paling penting di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan subtropis.

Penyakit ini mempunyai spektrum klinis dari asimptomatis, undifferentiated febrile illness,

demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD), mencakup manifestasi paling

berat yaitu sindrom syok dengue (dengue shock syndrome/DSS).

Dalam menegakkan diagnosis dan memberikan pengobatan yang tepat, pemahaman

mengenai perjalanan infeksi virus dengue harus dikuasai dengan baik. Pemantauan klinis dan

laboratoris berkala merupakan kunci tatalaksanan DBD. Akhirnya dalam menegakkan

diagnosis dan memberikan pengobatan pada kasus DBD perlu disesuaikan dengan kondisi

Page 23: REFERAT INTA

pasien. Penanganan yang cepat tepat dan akurat akan dapat memberikan prognosis yang lebih

baik.

DAFTAR PUSTAKA

Chen Khie dkk. Diagnosis dan Terapi cairan pada Demam Berdarah Dengue. Dalam :

Medicinus. Edisi Maret-Mei. Jakarta : 2009

Departemen Kesehatan RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana pelayanan kesehatan, 2010.p.19-34

Departemen kesehatan RI. 2015. Demam Berdarah. available at

http://www.depkes.go.id/article/view/15011700003/demam-berdarah.html

diakses pada 1 Desember 2015

Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta. Standar Penanggulan Penyakit DBD. Edisi 1 Volume

2. Jakarta :Dinas Kesehatan 2012.

Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI. Profil pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. Jakarta, 2007

Hadinegoro SRS. Pitfalls & Pearls dalam Diagnosis dan Tata Laksana Demam Berdarah

Dengue. Dalam : Trihono PP, Syarif DR, Amir I, Kurniati N, penyunting. Current

Page 24: REFERAT INTA

Management of Pediatrics Problems. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu

Kesehatan Anak XLVI. Jakarta 5-6 September 2010 .h. 63-70

Halstead S.B. 2008. Dengue in Tropical Medicine, Science and Practice. Imperial College Press, London; 5:285-306

Nasronudin. 2011 penyakit infeksi di indonesia, penyakit demam berdarah dengue. edis II.

airlanggga university Press.

Rani, A. Soegondo, S. dan Nasir, AU. (ed). Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta:Pusat Penerbitan IPD FKUI, 2006.p.137-8

Setiabudi D. Evalution of Clinical Pattern and Pathogenesis of Dengue Haemorrhagic Fever.

Dalam : Garna H, Nataprawira HMD, Alam A, penyunting. Proceedings Book 13th

National Congress of Child Health. KONIKA XIII. Bandung, July 4-7, 2011. h. 329-

Suhendro dkk. Demam Berdarah Dengue. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III.

Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI : 2006 :

1709-1713

Sutaryo. Perkembangan Patogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam : Hadinegoro SRS,

Satari HI, penyunting. Demam Berdarah Dengue: Naskah Lengkap Pelatihan bagi

Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam tatalaksana Kasus

DBD. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2008.h.32-43

World Health Organization. Dengue, dengue haemorrhagic fever and dengue shock syndrome in the context of the integrated management of childhood illness. Department of Child and Adolescent Health and Development. WHO/FCH/CAH/05.13. Geneva, 2005