Ing. Agr. Nicolás Sosa INTA PRECOP Rafaela El INTA PRECOP ...
REFERAT INTA
-
Upload
dannyaisya -
Category
Documents
-
view
14 -
download
1
description
Transcript of REFERAT INTA
REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK
CHD NON SIANOSIS
Disusun oleh :
Rhininta Adistyarani G4A014090
Pembimbing :
dr. Nur Faizah, Sp.A
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2016
LEMBAR PENGESAHAN
Telah dipresentasikan dan disetujui referat dengan judul :
CHD NON SIANOSIS
Pada tanggal, Maret 2016
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti
program profesi dokter di Bagian Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto
Disusun oleh :
Rhininta Adistyarani G4A014090
Mengetahui,
Pembimbing
dr. Nur Faizah, Sp.A
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya
saya dapat menyelesaikan tugas ini. Shalawat dan salam marilah senantiasa kita junjungkan
kepada Nabi Muhammad SAW.
Saya ucapkan terima kasih kepada para pengajar, fasilitator, dan narasumber SMF
Ilmu Kesehatan Anak, terutama dr. Nur Faizah, Sp.A selaku pembimbing kami.
Kami sadari Referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak sangat saya harapkan demi kesempurnaannya.
Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat
khususnya bagi saya yang sedang menempuh pendidikan dan dapat dijadikan pelajaran bagi
yang membacanya.
Purwokerto, Maret 2016
Penulis
DAFTAR ISI
Pengesahan …............................................................................................. 2
Kata Pengantar ............................................................................................ 3
Daftar Isi ..................................................................................................... 4
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Definisi...............................………………………………………………….. 7
Etiologi... ....................................................................................................... 7
Epidemiologi .............................................................................................. 7
Patogenesis ...................................................................................................... 12
Penegakan Diagnosis....................................................................................... 14
Diagnosis Banding .......................................................................................... 16
Pemeriksaan Penunjang .................................................................................. 17
Penatalaksanaan .............................................................................................. 19
Prognosis.......................................................................................................... 25
Komplikasi ................................................................................................. 25
Pencegahan .................................................................................................... 25
BAB III KESIMPILAN................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 28
BAB I
PENDAHULUAN
Congenital heart disease (CHD) merupakan penyakit dengan kelainan pada struktur
jantung atau fungsi sirkulasi jantung yang dibawa dari lahir yang terjadi akibat adanya
gangguan atau kegagalan perkembangan struktur jantung pada fase awal perkembangan
janin. Manifestasi klinis kelainan ini bervariasi dari yang paling ringan sampai berat. Pada
bentuk yang ringan, sering tidak ditemukan gejala dan tidak ditemukan adanya kelianan pada
pemeriksaan klinis. Sedangkan pada CHD berat, gejala sudah tampak sejak lahir dan
memerlukan tindakan segera. Dengan berkembangnya teknologi, khususnya ekokardiografi,
banyak kelainan jantung yang sebelumnya tidak dapat dideteksi dengan pemeriksaan fisis dan
penunjang biasa, EKG, radiologi dengan menggunakan alat ini dapat dideteksi dengan mudah
(Roebiono, 2006).
Ada 2 golongan besar CHD, yaitu non sianotik dan sianotik yang masing-masing
memberikan gejala dan memerlukan penatalaksanaan yang berbeda. CHD asianotik atau non
sianotik umumnya memiliki kelainan yang lebih sederhana dan tunggal sedangkan tipe
sianotik biasanya memiliki kelainan struktur jantung yang lebih kompleks dan bervariasi.
Baik keduanya hampir 90% memerlukan intervensi bedah jantung terbuka untuk
pengobatannya. Sepulu persen lainnya adalah kelainan seperti kebocoran sekat bilik jantung
yang masih mungkin untuk menutup sendiri seiring dengan pertambahan usia anak
(Roebiono, 2006).
Angka kejadian CHD dilaporkan sekitar 8-10 bayi dari 1000 kelahiran hidup dan 30%
diantaranya telah memberikan gejala pada minggu-minggu pertama kehidupan. Bila tidak
terdeteksi secara dini dan tidak ditangani dengan baik, 50% kematiannya akan terjadi pada
bulan pertama kehidupan. Di negara maju hampir semua jenis CHD telah dideteksi dalam
masa bayi bahkan pada usia kurang dari 1 bulan, sedangkan di negara berkembang banyak
baru terdeteksi setelah anak lebih besar, sehingga pada beberapa jenis CHD yang berat
mungkin telah meninggal sebelum terdeteksi. Pada beberapa jenis CHD tertentu sangat
diperlukan pengenalan dan diagnosis dini agar segera dapat diberikan pengobatan serta
tindakan bedah yang diperlukan. Untuk memperbaiki pelayanan di Indonesia, selain
pengadaan dana dan pusat pelayanan kardiologi anak yang adekuat, diperlukan juga
kemampuan deteksi dini CHD dan pengetahuan saat rujukan yang optimal oleh para dokter
umum yang pertama kali berhadapan dengan pasien (Roebiono, 2006).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Congenital heart disease (CHD) adalah penyakit dengan abnormalitas pada strruktur
maupun fungsi sirkulasi yang telah ada sejak lahir yang terjadi akibat adanya gangguan atau
kegagalan perkembangan struktur jantung pada fase awal perkembangan janin (Roebiono,
2006).
Congenital heart disease (CHD) non sianotik adalah kelainan struktur dan fungsi
jantung yang dibawa sejak lahir yang tidak ditandai dengan sianosis; misalnya lubang di
sekat jantung sehingga terjadi pirau dari kiri ke kanan, kelaianan salah satu katup jantung dan
penyempitan alur keluar ventrikel atau pembuluh darah besar tanpa adanya lubang di sekat
jantung ( Rahayoe, 2008).
2. Etiologi
Pada sebagian besar kasus, penyebab terjadinya CHD tidak diketahui. Berbagai jenis
obat, penyakit ibu, pajanan terhadap sinar rontgen diduga merupakn penyebab eksogen
Congenital heart disease. Penyakit rubela yang diderita ibu pada awal kehamilan dapat
menyebabkan CHD pada bayi. Disamping faktor eksogen terdapat pula faktor endogen
yang berhubungan dengan kejadian CHD. Berbagai jenis penyakit genetik dan sindrom
tertentu erat berkaitan dengan kejadian CHD seperti Sindrom Down, Turner dan lain-lain
(Djer, 2010).
3. Epidemiologi
Congenital heart disease (CHD) ini terjadi pada sekitar 8 dari 1000 kelahiran hidup.
Insiden lebih tinggi pada lahir mati (2%), abortus (10-25%), dan bayi premature (2%).
Insiden menyuluruh ini tidak termasuk prolaps katup mitral. PDA pada bayi preterm, dan
katup aorta bikuspid (ada sekitar 0,9% seri dewasa). Pada bayi-bayi dengan defek jantung
kongenital, ada spektrum keparahan yang lebar: sekitar 2-3 dari 1000 bayi neonatus total
akan bergejala penyakit jantung pada usia 1 tahun pertama. Diagnosis ditegakkan pada
umur 1 minggu pada 40-50% penderita dengan penyakit jantung kongenital dan pada
umur 1 bulan pada 50-60% penderita. Sejak pembedahan paliatif atau korektif
berkembang, jumlah anak yang hidup dengan penyakit jantung kongenital bertambah
secara dramatis.
Penelitian di Taiwan menunjukkan prevalensi yang sedikit berbeda, yaitu sekitar
13,08 dari 1000 kelahiran hidup, dimana sekitar 12,05 pada bayi berjenis kelamin laki-
laki, dan 14,21 pada bayi perempuan. Congenital heart disease (CHD) yang paling sering
ditemukan adalah Ventricular Septal Defect (Wu, 2009).
4. Klasifikasi
Menurut Kasron (2012), Congenital hearth disease asianotik merupakan suatu
kelaianan struktur dan fungsi jantung yang dibawa lahir yang tidak ditandai dengan
sianosis. CHD non sianotik terdiri dari 2 kelompok yaitu :
a. CHD non sianotik dengan pirau dari kiri ke kanan
Masalah yang ditemukan pada kelompok ini adalah adanya pirau dari kiri ke kanan
memalui defek atau lubang di jantung yang menyebabkan aliran darah ke paru
berlebihan. Manifestasi klinisnya sangat bervariasi, dari yang asimptomatik sampai
simptomatik seperti kesulitan mengisap susu, sesak nafas, sering terserang infeksi paru,
gagal tumbuh kembang dan gagal jantung kongestif.
1) Paten Duktus Arteriosus (PDA)
Pada PDA kecil umumnya anak asimptomatik dan jantung tidak membesar.
Sering ditemukan secara kebetulan saat pemeriksaan rutin dengan adanya bising
kontinyu yang khas seperti suara mesin (machinery murmur) di area pulmonal,
yaitu di parasternal sela iga 2–3 kiri dan di bawah klavikula kiri. Tanda dan gejala
adanya aliran ke paru yang berlebihan pada PDA yang besar akan terlihat saat usia
1–4 bulan dimana tahanan vaskuler paru menurun dengan cepat. Nadi akan teraba
jelas dan keras karena tekanan diastolik yang rendah dan tekanan nadi yang lebar
akibat aliran dari aorta ke arteri pulmonalis yang besar saat fase diastolik. Bila
sudah timbul hipertensi paru, bunyi jantung dua komponen pulmonal akan
mengeras dan bising jantung yang terdengar hanya fase sistolik dan tidak kontinyu
lagi karena tekanan diastolik aorta dan arteri pulmonalis sama tinggi sehingga saat
fase diastolik Universitas Sumatera Utara tidak ada pirau dari kiri ke kanan.
Penutupan PDA secara spontan segera setelah lahir sering tidak terjadi pada bayi
prematur karena otot polos duktus belum terbentuk sempurna sehingga tidak
responsif vasokonstriksi terhadap oksigen dan kadar prostaglandin E2 masih tinggi.
Pada bayi prematur ini otot polos vaskuler paru belum terbentuk dengan sempurna
sehingga proses penurunan tahanan vaskuler paru lebih cepat dibandingkan bayi
cukup bulan dan akibatnya gagal jantung timbul lebih awal saat usia neonatus
(Roebiono,2009).
2). Ventricular Septal Defect (VSD)
Pada VSD besarnya aliran darah ke paru ini selain tergantung pada besarnya
lubang, juga sangat tergantung pada tingginya tahanan vaskuler paru. Makin
rendah tahanan vaskuler paru makin besar aliran pirau dari kiri ke kanan. Pada bayi
baru lahir dimana maturasi paru belum sempurna, tahanan vaskuler paru umumnya
masih tinggi dan akibatnya aliran pirau dari kiri ke kanan terhambat walaupun
lubang yang ada cukup besar. Tetapi saat usia 2–3 bulan dimana proses maturasi
paru berjalan dan mulai terjadi penurunan tahanan vaskuler paru dengan cepat
maka aliran pirau dari kiri ke kanan akan bertambah. Ini menimbulkan beban
volume langsung pada ventrikel kiri yang selanjutnya dapat terjadi gagal jantung
(Roebiono, 2009).
3). Atrial Septal Defect (ASD)
Pada ASD presentasi klinisnya agak berbeda karena defek berada di septum
atrium dan aliran dari kiri ke kanan yang terjadi selain menyebabkan aliran ke paru
yang berlebihan juga menyebabkan beban volum pada jantung kanan. Kelainan ini
sering tidak memberikan keluhan pada anak walaupun pirau cukup besar, dan
keluhan baru timbul saat usia dewasa. Hanya sebagian kecil bayi atau anak dengan
ASD besar yang simptomatik dan gejalanya sama seperti pada umumnya kelainan
dengan aliran ke paru yang berlebihan yang telah diuraikan di atas. Auskultasi
jantung cukup khas yaitu bunyi jantung dua yang terpisah lebar dan menetap tidak
mengikuti variasi pernafasan serta bising sistolik ejeksi halus di area pulmonal. Bila
aliran piraunya besar mungkin akan terdengar bising diastolik di parasternal sela iga
4 kiri akibat aliran deras melalui katup trikuspid. Simptom dan hipertensi paru
umumnya baru timbul saat usia dekade 30 – 40 sehingga pada keadaan ini mungkin
sudah terjadi penyakit obstruktif vaskuler paru (Roebiono, 2009).
b. CHD non sianotik dengan lesi obstruktif tanpa pirau
Obstruksi di alur keluar ventrikel kiri dapat terjadi pada tingkat subvalvar, valvar
ataupun supravalvar sampai ke arkus aorta. Akibat kelainan ini ventrikel kiri harus
memompa lebih kuat untuk melawan obstruksi sehingga terjadi beban tekanan pada
ventrikel kiri dan hipertrofi otot miokardium. Selama belum terjadi kegagalan
miokardium, biasanya curah jantung masih dapat dipertahankan, pasien asimptomatik
dan ukuran jantung masih normal. Tergantung beratnya obstruksi presentasi klinis
penderita kelompok ini dapat asimptomatik atau simptomatik. Yang simptomatik
umunya adalah gagal jantung yang gejalanya tergantung dari beratnya lesi dan
kemampuan miokard ventrikel. Gejala yang ditemukan antara lain sesak nafas, sakit
dada, pingsan atau pusing saat melakukan aktivitas fisik dan mungkin kematian
mendadak. Pada keadaan yang berat dengan aliran darah sistemik yang tidak adekuat,
sebelum terjadi perburukan akan ditandai dengan kemampuan mengisap susu yang
cepat menurun dan bayi terlihat pucat, takipneu, takikardi dan berkeringat banyak.
Adanya penurunan perfusi perifer ditandai dengan nadi yang melemah, pengisian
kapiler yang lambat dan akral yang dingin.
Obstruksi pada alur keluar ventrikel kanan juga dapat berada di tingkat subvalvar atau
infundibular, valvar, dan supravalvar sampai ke percabangan arteri pulmonalis.
Obstruksi ini akan menyebabkan terjadinya beban tekanan dan hipertrofi ventrikel
kanan. Penderita kelompok ini umumnya asimptomatik kecuali bila obstruksinya berat
dan kemampuan miokard ventrikel kanan menurun. Presentasi klinisnya berupa gagal
jantung kanan seperti edema perifer, hepatomegali, dan asites atau sindroma curah
jantung rendah seperti sulit bernafas, lemas, sakit dada, sinkop dan mungkin kematian
mendadal akibat aritmia.
1). Aorta Stenosis (AS)
Aorta Stenosis derajat ringan atau sedang umumnya asimptomatik sehingga
sering terdiagnosis secara kebetulan karena saat pemeriksaan rutin terdengar bising
sistolik ejeksi dengan atau tanpa klik ejeksi di area aorta; parasternal sela iga 2 kiri
sampai ke apeks dan leher. Bayi dengan AS derajat berat akan timbul gagal jantung
kongestif pada usia mingguminggu pertama atau bulan-bulan pertama
kehidupannya. Pada AS yang ringan dengan gradien tekanan sistolik kurang dari 50
mmHg tidak perlu dilakukan intervensi. Intervensi bedah valvotomi atau non bedah
Balloon Aortic Valvuloplasty harus segera dilakukan pada neonatus dan bayi dengan
AS valvular yang kritis serta pada anak dengan AS valvular yang berat atau gradien
tekanan sistolik 90 – 100 mmHg (Roebiono, 2009).
2) . Coarctatio Aorta (CoA)
Coartatio Aorta pada anak yang lebih besar umumnya juga asimptomatik walaupun
derajat obstruksinya sedang atau berat. Kadang-kadang ada yang mengeluh sakit
kepala atau epistaksis berulang, tungkai lemah atau nyeri saat melakukan aktivitas.
Tanda yang klasik pada kelainan ini adalah tidak teraba, melemah atau terlambatnya
pulsasi arteri femoralis Universitas Sumatera Utara dibandingkan dengan arteri
brakhialis, kecuali bila ada PDA besar dengan aliran pirau dari arteri pulmonalis ke
aorta desendens. Selain itu juga tekanan darah lengan lebih tinggi dari pada tungkai.
Obstruksi pada AS atau CoA yang berat akan menyebabkan gagal jantung pada usia
dini dan akan mengancam kehidupan bila tidak cepat ditangani. Pada kelompok ini,
sirkulasi sistemik pada bayi baru lahir sangat tergantung pada pirau dari kanan ke
kiri melalui PDA sehingga dengan menutupnya PDA akan terjadi perburukan
sirkulasi sistemik dan hipoperfusi perifer (Roebiono, 2009).
3). Pulmonal Stenosis (PS)
Status gizi penderita dengan PS umumnya baik dengan pertambahan berat badan
yang memuaskan. Bayi dan anak dengan PS ringan umumnya asimptomatik dan
tidak sianosis sedangkan neonatus dengan PS berat atau kritis akan terlihat takipnu
dan sianosis. Penemuan pada auskultasi jantung dapat menentukan derajat beratnya
obstruksi. Pada PS valvular terdengar bunyi jantung satu normal yang diikuti dengan
klik ejeksi saat katup pulmonal yang abnormal membuka. Klik akan terdengar lebih
awal bila derajat obstruksinya berat atau mungkin tidak terdengar bila katup kaku
dan stenosis sangat berat. Bising sistolik ejeksi yang kasar dan keras terdengar di
area pulmonal. Bunyi jantung dua yang tunggal dan bising sistolik ejeksi yang halus
akan ditemukan pada stenosis yang berat (Roebiono, 2003).
5. Patogenesis
Patogenesis yang terpenting dan menentukan derajat penyakit ialah adanya
perembesan plasma dan kelainan hemostasis yang akan bermanifestasi sebagai
peningkatan hematokrit dan trombositopenia. Adanya perembesan plasma ini
membedakan demam dengue dan demam berdarah dengue (Sutaryo, 2008). Patogenesis
DBD masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada
DBD adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau
hipotesis immune enhancement
Menurut hipotesis infeksi sekunder yang diajukan oleh Suvatte,1997, sebagai akibat
infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien
akan terpicu, menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit dan menghasilkan titer
tinggi IgG antidengue. Karena bertempat di limfosit, proliferasi limfosit juga
menyebabkan tingginya angka replikasi virus dengue. Hal ini mengakibatkan terbentuknya
kompleks virus-antibodi yang selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan
C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan
merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan peningkatan kadar
hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa (Chen, 2009).
Gambar 2.1 hipotesis infeksi sekunder (Chen, 2009)
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi selain
mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan
mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah (gambar
2). Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit
terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit
mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu
sama iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo
endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan
menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati
konsumtif (KID = koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP
(fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan
(Suhendro, 2006).
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga
walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi
koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem
kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat
terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositpenia,
penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dankerusakan
dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok yang terjadi
(Hadinegoro, 2010).
Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak langsung
bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog mempunyai risiko berat
yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi herterolog yang telah ada akan
mengenali virus lain kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang berikatan
dengan Fc reseptor dari membran leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari
proses ini, akan terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan
hipovolemia dan syok (Chen, 2009).
Infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan tubuh
dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Dengan demikian infeksi virus
dengue dapat menyebabkan keadaan yang bermacam-macam, mulai dari tanpa gejala
(asimtomatik), demam ringan yang tidak spesifik (undifferentiated febrile illness), Demam
Dengue, atau bentuk yang lebih berat yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Sindrom
Syok Dengue (SSD) (Hadinegoro, 2010).
Gambar 2.3 Spektrum klinis DBD
6. Penegakan Diagnosis
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul
gejala prodromal yang tidak khas seperti : nyeri kepala, nyeri tulang belakang, dan
perasaan lelah (Suhendro,2006).
Demam dengue merupakan demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan dua atau
lebih manifestasi klinis sebagai berikut : (Suhendro,2006).
1. Nyeri kepala
2. Nyeri retro orbital
3. Mialgia/ artralgia
4. Manifestasi perdarahan (ptekie atau uji bending positif)
5. Leukopenia dan pemeriksaan serologi dengue positif atau ditemukan pasien DD/DBD
yang sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama.
Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal dibawah
ini dipenuhi:
Demam atau riwayat demam akut, antara 2 – 7 hari, biasanya bifasik
Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:
o Uji bendung positif
o Petekie, ekimosis, atau purpura
o Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi)
o Hematemesis atau melena
Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul)
Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai
berikut:
o Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan
jenis kelamin
o Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan nilai hematokrit sebelumnya
o Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau hipoproteinemi.
Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat:
Derajat I Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji tourniquet.
Derajat II Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau
perdarahan lain.
Derajat III Didapatkan kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lambat, tekanan
nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di
sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, dan anak tampak gelisah.
Derajat IV Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah
tidak terukur.
7. Diagnosis Banding (Hadinegoro, 2010)
a. Pada awal perjalanan penyakit, diagnosa banding mencakup infeksi bakteri, virus, atau
infeksi parasit seperti demam tifoid, campak, influenza, hepatitis, demam chikungunya,
leptospirosis, dam malaria. Adanya trombositopenia yang jelas disertai
hemokonsentrasi dapat membedakan antara DBD dengan penyakit lain.
b. Demam berdarah dengue harus dibedakan dengan demam chikungunya (DC). Pada DC
biasanya seluruh anggota keluarga dapat terserang dan penularannya mirip dengan
influenza. Bila dibandingkan dengan DBD, DC memperlihatkan serangan demam
mendadak, masa demam lebih pendek, suhu lebih tinggi, hampir selalu disertai ruam
makulopapular, injeksi konjungtiva, dan lebih sering dijumpai nyeri sendi. Proporsi uji
tourniquet positif, petekie dan epistaksis hampir sama dengan DBD. Pada DC tidak
ditemukan perdarahan gastrointestinal dan syok.
c. Perdarahan seperti petekie dan ekimosis ditemukan pada beberapa penyakit infeksi,
misalnya sepsis, meningitis meningokokus. Pada sepsis, sejak semula pasien tampak
sakit berat, demam naik turun, dan ditemukan tanda-tanda infeksi. Di samping itu jelas
terdapat leukositosis disertai dominasi sel polimorfonuklear (pergeseran ke kiri pada
hitung jenis). Pemeriksaan LED dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi bakteri
dengan virus. Pada meningitis meningokokus jelas terdapat gejala rangsangan
meningeal dan kelainan pada pemeriksaan cairan serebrospinalis.
d. Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD derajat II,
oleh karena didapatkan demam disertai perdarahan di bawah kulit. Pada hari-hari
pertama, diagnosis ITP sulit dibedakan dengan penyakit DBD, tetapi pada ITP demam
cepat menghilang (pada ITP bisa tidak disertai demam), tidak dijumpai leukopeni, tidak
dijumpai hemokonsentrasi, tidak dijumpai pergeseran ke kanan pada hitung jenis. Pada
fase penyembuhan DBD jumlah trombosit lebih cepat kembali normal daripada ITP.
e. Perdarahan dapat juga terjadi pada leukimia atau anemia aplastik. Pada leukemia
demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan pasien sangat anemis. Pemeriksaan
darah tepi dan sumsum tulang akan memperjelas diagnosis leukimia. pada pemeriksaan
darah ditemukan pansitopenia (leukosit, hemoglobin dan trombosit menurun). Pada
pasien dengan perdarahan hebat, pemeriksaan foto toraks dan atau kadar protein dapat
membantu menegakkan diagnosis. Pada DBD ditemukan efusi pleura dan
hipoproteinemia sebagai tanda perembesan plasma.
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien curiga demam
dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit,
dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relative disertai gambaran
limfosit plasma biru.
Diangnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture) ataupun
deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reverse Transcriptase
Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih rumit, saat ini tes
serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik terhadap dengue berupa antibody
total, IgM maupun IgG lebih banyak.
Parameter laboratorium yang dapat diperiksa antara lain :
Leukosit
Dapat normal atau menurun. Mulai hari ke 3 dapat ditemukan limfositosis relative
(>45% dari leukosit) disertai adanya lifosit plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah
total leukosit pada fase syok akan meningkat.
Trombosit
Umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
Hematokrit
Kebocoran plasma dibuktikan peningkatan hematokrin ≥ 20% dari hematokrin awal,
umumnya dimulai pada hari ke-3 demam
Hemostasis
Dilakukan pemeriksaan AP, APTT, Fibrinogen, D- Dimer atau FDP pada keadaan
yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
Protein/albumin
Dapat terjadi hipoalbuminemia akibat kebocoran plasma
Elektrolit
Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan
Serelogi
Dilakukan pemeriksaan serologi IgM dan IgG terhadap dengue, yaitu:
- IgM muncul pada hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3, menghilang setelah
60-90 hari
- IgG terdeteksi mulai hari ke 14 (infeksi primer), hari ke 2 (infeksi sekunder).
NS1
Antigen NS1 dapat terdeteksi pada awal demam hari pertama sampai hari kedelapan.
Sensitivitas sama tingginya dengan spesitifitas gold standart kultur virus. Hasil
negatif antigen NS1 tidak menyingkirkan adanya infeksi virus dengue.
b. Pemeriksaan Radiologis
Pada foto dada didpatkan efusi pleura, terutama pada hematoraks kanan tetapi
apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai kedua hemitoraks.
Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien
tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi
dengan pemeriksaan USG.
9. Penatalaksanaan
Dalam penatalaksanaan DBD terdapat protokol yang dibagi dalam 5 kategori : (Depkes,
2010; Rani, 2006)
1. Protokol 1: Penanganan Tersangka (Probable) DBD tanpa Syok
Protokol ini digunakan sebagai petunjuk dalam pemberian pertolongan pertama pada
penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat dan juga dipakai
sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat. Seseorang yang tersangka
menderita DBD Unit Gawat Darurat dilakukan pemeriksaan hemonglonin (Hb),
hematokrin (Ht), dan trombosit, bila :
Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000, pasien dapat
dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24
jam berikutnya (dilakukan pemriksaan Hb, Ht, leukosit dan trombosit tiap 24 jam)
atau bila keadaan penderita memburuk segera kembali ke Unit Gawat Darurat.
Hb, Ht normal tetapi trombosit , 100.000 dianjurkan untuk dirawat
Hb, Ht meningkat dan tombosit normal atau turun juga dianjurka untuk dirawat
2. Protokol 2. Pemberian Cairan pada Tersangka DBD di Ruanag Rawat
Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masih dan tanpa syok
maka di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus
berikut ini :
Volume cairan kristaloid / hari yang diperkukan, sesuai rumus berikut :
1500+ (20 x (BB dalam kg – 20 )
Setelah pemberian cairan dilakukan dilakukan pemberian Hb, Ht tiap 24 jam:
Bila Hb, Ht meningkan 10-20% dan tombosit < 100.000 jumlah pemberian cairan
tetap seperti rumus diatas tetapi pemantauan Hb, Ht, trombo dilakukan tiap 12 jam.
Bila Hb, Ht meningkat > 20% dan trombosit <100.000 maka pemberian cairan sesuai
dengan protocol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht >20%.
3. Protokol 3. Penatalaksaan DBD dengan Peningkatan Ht > 20%
Meningkatnya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit
cairan sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan
memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau
setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikkan perbaikan yang ditandai
dengan tanda-tanda hematokrin turun, frekuensi nadi turun tekanan darah stabil,
produksi urin meningkat maka jumlah cairan infuse dikurangimenjadi 5 ml/KgBB/jam.
Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan tetap menunjukkan
perbaikkan maka jumlah cairan infuse dikurangi 3ml/KgBB/jam. Bila dalam
pemantauan keadaan tetap membaik cairan dapat dihentikan24-48 jam kemudian.
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/KgBB/jam dalam tapi
keadaan tetap tidak membaik, yang ditndai dengan Ht dan nadi meningkat, tekanan
nadi menurun < 20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah
cairan infuse menjadi 10 ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan
kembali dan bila keadaan menunjukkan perbaikkan maka jumlah cairan dikuarangi
menjadi 5 ml/KgBB/jam tetapi bila keadaan tidak menunjukkan perbaikkan maka
jumlaah cairan infuse dinaikkan 15ml/KgBB/jam dan bila dalam perkembangannya
kondisi menjadi memburuk dan didapatkn tanda-tanda syok maka pasien
ditananganisesuai protocol tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa. Bila syok
telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan.
4. Protokol 4. Penatalaksaan Perdarahan Spontan:
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD adalah : perdarahan
hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung,
perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan
saluran kencing ( hematuria, perdarahan otak atau perdarahan sembunyi dengan jumlah
perdarahan sebanyak 4-5 ml/KgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan
pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok. Pemeriksaan TD, nadi,
pernapasan, dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht,
dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan
tanda-tanda koagulasi intravaskuler diseminata (KID). Taranfusi komponen darah
diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi factor-faktor
pembekuan darah (PT dan aPTT) yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb
kurang dari 10 g/dl. Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD yang
perdarahan spontan dan massif dengan jumlah tromboit <100.000/mm3 disertai atau
tanpa KID
5. Protokol 5. Tatalaksanaan Sindrom Syok Dengue
Bila berhadapan dengan SSD maka hal pertama yang harus diingat adalah
renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan dilakukan
intravaskuler yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian SSD 10 kali lipat
dibandingakan dengan penderita DBD tanpa renjatan. Dan renjatan dapat terjadi karena
kerelambatan penderita DBD mendapat pertolongan.
Pada kasus SSD cairan kritaloid adalah pilihan utama yang diberikan.
Penderita juga diberikan O2 2-4 liter/menit. Pemeriksaan yang harus dilakukan adalah
pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostalisi, analisis gas darah, kadar
natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kreatinin.
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20ml/kgBB dan
evaluasi 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi ( ditandai dengan TD sistolik
100mmHg dan tekanan nadi > 20mmHg, frekuensi nadi <100 x/menit dengan volume
yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat srta dieresis 0,5-1 ml/kgBB/jam)
jumlah cairan dikurangi 7 ml/kgBB/jam. Biala dalam waktu 60-120 menit keadaan
tetap stabil pemberian cairan menjadi 5ml/kgBB/jam. Bila dam waktu 60-120 menit
keadaan tetap stabil pemberian cairan dikurangi 3 ml/kgBB/jam. Bila 23-48 jam
setelag renjatan teratasi tanda-tanda vital, hematokrin tetap stabil srta dieresis cukup
maka pemberian cairan perinfus dihentikan.
Pengawan dini tetap dilakukan tertama dalam 24 jam pertama sejak terjadi
renjatan. Oleh karena itu untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik,
diperlukan pemantauan tanda vital, pembesaran hati, nyeri tekan didaerah
hipokondrium kana dan epigastrium serta jumlah dieresis (diusahakan 2ml/kgBB/jam).
Pemantauan DPL dipergunakan untuk pemantauan perjalanan penyakit.
Bila fase awal pemberian ternyata renjatan belum teratasi, maka pemberan
cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30ml/kgBB, dan kemudian dievaluasi
setelah 20-30 menit.
Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai Ht.
Bila Ht meningkat berarti perembesan plasma masih berlangsung maka pemberian
cairan koloid merupakan pilihan.
- Pemberian koloid mula-mula diberikan 10-20ml.kgBB dan dievaluasi setelah
10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka pemantaun cairan dilakukan
pemasangan kateter vena sentral, dan pmberian dapat ditambah hingga jumlah
maksimum 30ml/kgBB ( maksimal 1-1,5µ/hari) dengan sasaran tekanan vena
sentral 15-18cmH2O
- Bila keadaan belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap
gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder.
- Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapu renjatan tetap
belum teratasi maka dapat diberikan obat inotropik / vasopresor.
Bila Ht menurun, berarti terjadi perdarahan (internal bleeding) maka pada penderita
diberikan transfuse darah segar 10ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan.
10. Prognosis
Prognosis dengue tergantung kepada adanya antibodi yang didapat secara pasif atau
didapat yang meningkatkan kecenderungan terjadinya demam berdarah dengue. Pada
DBD kematian terjadi pada 40–50% pasien dengan syok, tetapi dengan perawatan intensif,
kematian dapat diturunkan hingga < 1%. Kemampuan bertahan berhubungan dengan
terapi suportif awal.Kadang-kadang terdapat sisa kerusakan otak yang diakibatkan oleh
syok berkepanjangan atau terjadi pendarahan intracranial.
11. Komplikasi
a. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok
b. kelainan Ginjal akibat syok berkepanjangan
c. Edema paru, akibat over loading cairan (Setiabudi, 2011).
12. Pencegahan
1. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
a. Melakukan metode 3 M (menguras, Menutup dan Menyingkirkan tempat
perindukan nyamuk) minimal 1 x seminggu bagi tiap keluarga
b. 100% tempat penampungan air sukar dikuras diberi abate tiap 3 bulan
c. ABJ (angka bebas jentik) diharapkan mencapai 95%
2. Foging Focus dan Foging Masal
a .Foging fokus dilakukan 2 siklus dengan radius 200 m dengan selang waktu 1
minggu
b. Foging masal dilakukan 2 siklus diseluruh wilayah suspek KLB dalam jangka
waktu 1 bulan
c. Dilakukan petugas puskesmas yang terlatih dalam waktu 3x24 jam setelah
menerima laporan kasus
d. Hasil dicatat sebagai dasar tindak lanjut penanggulangan kasus
3. Penyuluhan perorangan/kelompok untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.
4. Kemitraan untuk sosialisasi penanggulangan DBD (Dinkes, 2012).
BAB III
KESIMPULAN
Demam berdarah dengue tetap menjadi salah satu masalah kesehatan di Indonesia.
Dengan mengikuti kriteria WHO 1997, diagnosis klinis dapat segera ditentukan. Infeksi
virus dengue merupakan salah satu penyakit dengan vektor nyamuk (”mosquito borne
disease”) yang paling penting di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan subtropis.
Penyakit ini mempunyai spektrum klinis dari asimptomatis, undifferentiated febrile illness,
demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD), mencakup manifestasi paling
berat yaitu sindrom syok dengue (dengue shock syndrome/DSS).
Dalam menegakkan diagnosis dan memberikan pengobatan yang tepat, pemahaman
mengenai perjalanan infeksi virus dengue harus dikuasai dengan baik. Pemantauan klinis dan
laboratoris berkala merupakan kunci tatalaksanan DBD. Akhirnya dalam menegakkan
diagnosis dan memberikan pengobatan pada kasus DBD perlu disesuaikan dengan kondisi
pasien. Penanganan yang cepat tepat dan akurat akan dapat memberikan prognosis yang lebih
baik.
DAFTAR PUSTAKA
Chen Khie dkk. Diagnosis dan Terapi cairan pada Demam Berdarah Dengue. Dalam :
Medicinus. Edisi Maret-Mei. Jakarta : 2009
Departemen Kesehatan RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana pelayanan kesehatan, 2010.p.19-34
Departemen kesehatan RI. 2015. Demam Berdarah. available at
http://www.depkes.go.id/article/view/15011700003/demam-berdarah.html
diakses pada 1 Desember 2015
Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta. Standar Penanggulan Penyakit DBD. Edisi 1 Volume
2. Jakarta :Dinas Kesehatan 2012.
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI. Profil pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. Jakarta, 2007
Hadinegoro SRS. Pitfalls & Pearls dalam Diagnosis dan Tata Laksana Demam Berdarah
Dengue. Dalam : Trihono PP, Syarif DR, Amir I, Kurniati N, penyunting. Current
Management of Pediatrics Problems. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu
Kesehatan Anak XLVI. Jakarta 5-6 September 2010 .h. 63-70
Halstead S.B. 2008. Dengue in Tropical Medicine, Science and Practice. Imperial College Press, London; 5:285-306
Nasronudin. 2011 penyakit infeksi di indonesia, penyakit demam berdarah dengue. edis II.
airlanggga university Press.
Rani, A. Soegondo, S. dan Nasir, AU. (ed). Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta:Pusat Penerbitan IPD FKUI, 2006.p.137-8
Setiabudi D. Evalution of Clinical Pattern and Pathogenesis of Dengue Haemorrhagic Fever.
Dalam : Garna H, Nataprawira HMD, Alam A, penyunting. Proceedings Book 13th
National Congress of Child Health. KONIKA XIII. Bandung, July 4-7, 2011. h. 329-
Suhendro dkk. Demam Berdarah Dengue. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III.
Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI : 2006 :
1709-1713
Sutaryo. Perkembangan Patogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam : Hadinegoro SRS,
Satari HI, penyunting. Demam Berdarah Dengue: Naskah Lengkap Pelatihan bagi
Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam tatalaksana Kasus
DBD. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2008.h.32-43
World Health Organization. Dengue, dengue haemorrhagic fever and dengue shock syndrome in the context of the integrated management of childhood illness. Department of Child and Adolescent Health and Development. WHO/FCH/CAH/05.13. Geneva, 2005