Referat Dr Cahya
-
Upload
intan-octaviani -
Category
Documents
-
view
50 -
download
1
description
Transcript of Referat Dr Cahya
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang
untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk itu.1
Insomnia umumnya merupakan kondisi sementara atau jangka pendek. Dalam
beberapa kasus, insomnia dapat menjadi kronis. Hal ini sering disebut sebagai
gangguan penyesuaian tidur karena paling sering terjadi dalam konteks
situasional stres akut, seperti pekerjaan baru atau menjelang ujian. Insomnia ini
biasanya hilang ketika stressor hilang atau individu telah beradaptasi dengan
stressor. Namun, insomnia sementara sering berulang ketika tegangan baru
atau serupa muncul dalam kehidupan pasien.3
Insomnia merupakan salah satu faktor risiko depresi dan gejala dari
sejumlah gangguan medis, psikiatris, dan tidur. Bahkan, insomnia tampaknya
menjadi prediksi sejumlah gangguan, termasuk depresi, kecemasan,
ketergantungan alkohol, ketergantungan obat, dan bunuh diri.
Insomnia sering menetap meskipun telah dilakukan pengobatan kondisi
medis atau kejiwaan yang mendasari, bahkan insomnia dapat meningkatkan
resiko kekambuhan penyakit primernya. Dalam hal ini, dokter perlu memahami
bahwa insomnia adalah suatu kondisi tersendiri yang membutuhkan pengakuan
dan pengobatan untuk mencegah morbiditas dan meningkatkan kualitas hidup
bagi pasien mereka.3,4
Kebalikan dari insomnia adalah Hypersomnia atau yang lebih dikenal
dengan EDS (Excessive Daytime Sleepines) adalah suatu gejala yang muncul
sewaktu waktu dari kecendrungan untuk mengantuk atau sampai jatuh tertidur
disaat intensitas dan ekspektasi untuk tetap terjaga dan bangun pada saat
tersebut.11
Penelitian menunjukkan EDS berpengaruh besar pada kesehatan individu
baik secara fisik maupun metal dan juga berpengaruh luas pada keluarga ,
lingkungan kerja dan bidang ekonomi.
BAB II
ISI
I. INSOMNIA
1.1. Fisiologi Tidur
Semua makhluk hidup mempunyai irama kehidupan yang sesuai dengan
beredarnya waktu dalam siklus 24 jam. Irama yang seiring dengan rotasi bola
dunia disebut sebagai irama sirkadian1,4.
Tidur tidak dapat diartikan sebagai meanifestasi proses deaktivasi sistem
Saraf Pusat. Saat tidur, susunan saraf pusat masih bekerja dimana neuron-
neuron di substansia retikularis ventral batang otak melakukan sinkronisasi.
Bagian susunan saraf pusat yang mengadakan kegiatan sinkronisasi
terletak pada substansia ventrikulo retikularis batang otak yang disebut
sebagai pusat tidur (sleep center). Bagian susunan saraf pusat yang
menghilangkan sinkronisasi/desinkronisasi terdapat pada bagian rostral batang
otak disebut sebagai pusat penggugah (arousal center).
Tidur dibagi menjadi 2 tipe yaitu:
1. Tipe Rapid Eye Movement (REM)
2. Tipe Non Rapid Eye Movement (NREM)
Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu
diikuti oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM
terjadi secara bergantian antara 4-6 kali siklus semalam.
Tidur NREM yang meliputi 75% dari keseluruhan waktu tidur, dibagi dalam
empat stadium, antara lain:
Stadium 1, berlangsung selama 5% dari keseluruhan waktu tidur. Stadium
ini dianggap stadium tidur paling ringan. EEG menggambarkan gambaran
kumparan tidur yang khas, bervoltase rendah, dengan frekuensi 3 sampai 7
siklus perdetik, yang disebut gelombang teta.
Stadium 2, berlangsung paling lama, yaitu 45% dari keseluruhan waktu
tidur. EEG menggambarkan gelombang yang berbentuk pilin (spindle
shaped) yang sering dengan frekuensi 12 sampai 14 siklus perdetik,
lambat, dan trifasik yang dikenal sebagai kompleks K. Pada stadium ini,
orang dapat dibangunkan dengan mudah.
Stadium 3, berlangsung 12% dari keseluruhan waktu tidur. EEG
menggambarkan gelombang bervoltase tinggi dengan frekuensi 0,5 hingga
2,5 siklus perdetik, yaitu gelombang delta. Orang tidur dengan sangat
nyenyak, sehingga sukar dibangunkan.
Stadium 4, berlangsung 13% dari keseluruhan waktu tidur. Gambaran
EEG hampir sama dengan stadium 3 dengan perbedaan kuantitatif pada
jumlah gelombang delta. Stadium 3 dan 4 juga dikenal dengan nama tidur
dalam, atau delta sleep, atau Slow Wave Sleep (SWS)
Sedangkan tidur REM meliputi 25% dari keseluruhan waktu tidur. Tidak
dibagi-bagi dalam stadium seperti dalm tidur NREM.1,4
Pola siklus tidur dan bangun adalah bangun sepanjang hari saat cahaya
terang dan tidur sepanjang malam saat gelap. Jadi faktor kunci adalah adanya
perubahan gelap dan terang. Stimulasi cahaya terang akan masuk melalui mata
dan mempengaruhi suatu bagian di hipotalamus yang disebut nucleus supra
chiasmatic (NSC). NSC akan mengeluarkan neurotransmiter yang mempengaruhi
pengeluaran berbagai hormon pengatur temperatur badan, kortisol, growth
hormone, dan lain-lain yang memegang peranan untuk bangun tidur. NSC
bekerja seperti jam, meregulasi segala kegiatan bangun tidur. Jika pagi hari
cahaya terang masuk, NSC segera mengeluarkan hormon yang menstimulasi
peningkatan temperatur badan, kortisol dan GH sehingga orang terbangun. Jila
malam tiba, NSC merangsang pengeluaran hormon melatonin sehingga orang
mengantuk dan tidur. Melatonin adalah hormon yang diproduksi oleh glandula
pineal. Saat hari mulai gelap, melatonin dikeluarkan dalam darah dan akan
mempengaruhi terjadinya relaksasi serta penurunan temperatur badan dan
kortisol. Kadar melatonin dalam darah mulai meningkat pada jam 9 malam, terus
meningkat sepanjang malam dan menghilang pada jam 9 pagi.5
Perubahan tidur akibat proses menua
Orang usia lanjut membutuhkan waktu lebih lama untuk masuk tidur (
berbaring lama di tempat tidur sebelum tidur) dan mempunyai lebih sedikit/lebih
pendek waktu tidur nyenyaknya.
Pada penelitian di laboratorium tidur, orang usia lanjut mengalami
waktu tidur yang dalam lebih pendek, sedangkan tidur stadium 1 dan 2 lebih
lama. Hasil uji dengan alat polysomnographic didapatkan penurunan yang
bermakna dalam slow wave sleep dan rapid eye movement (REM). Orang usia
lanjut juga lebih sering terbangun di tengah malam akibat perubahan fisik karena
usia dan penyakit yang dideritanya sehingga kualitas tidur secara nyata menurun.
Pada usia lanjut juga terjadi perubahan pada irama sirkadian tidur normal yaitu
menjadi kurang sensitif dengan perubahan gelap dan terang. Dalam irama
sirkadian yang normal terdapat peranan pengeluaran hormon dan perubahan
temperatur badan selama siklus 24 jam. Ekskresi kortisol dan GH meningkat
pada siang hari dan temperatur badan menurun di waktu malam. Pada usia lanjut,
ekskresi kortisol dan GH serta perubahan temperatur tubuh berfluktuasi dan
kurang menonjol. Melatonin menurun dengan meningkatnya umur.
Penelitian lain menunjukkan kualitas tidur usia lanjut yang sehat, juga
tergantung pada bagaimana aktivitasnya pada siang hari. Bila siang hari sibuk
dan aktif sepanjang hari, pada malam hari tidak ada gangguan dalam tidurnya,
sebaliknya bila siang hari tidak ada kegiatan dan cenderung tidak aktif,
malamnya akan sulit tidur.5
Hypnograms memerlihatkan perbedaan karakter tidur pada orang muda dan orang
tua. Dibandingkan dengan orang muda, Orang tua cenderung memiliki onset tidur
yang lama, tidur yang terfragmentasi, bangun terlalu dini di pagi hari dan
menurunnya tidur tahap 3 dan 4.5
1.2 Definisi Insomnia
Menurut DSM-IV, Insomnia didefinisikan sebagai keluhan dalam hal
kesulitan untuk memulai atau mempertahankan tidur atau tidur non-restoratif
yang berlangsung setidaknya satu bulan dan menyebabkan gangguan
signifikan atau gangguan dalam fungsi individu. The International
Classification of Diseases mendefinisikan Insomnia sebagai kesulitan
memulai atau mempertahankan tidur yang terjadi minimal 3 malam/minggu
selama minimal satu bulan. Menurut The International Classification of Sleep
Disorders, insomnia adalah kesulitan tidur yang terjadi hampir setiap malam,
disertai rasa tidak nyaman setelah episode tidur tersebut. Jadi, Insomnia
adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk tidur atau
mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk melakukannya.
Insomnia bukan suatu penyakit, tetapi merupakan suatu gejala yang memiliki
berbagai penyebab, seperti kelainan emosional, kelainan fisik dan pemakaian
obat-obatan. Insomnia dapat mempengaruhi tidak hanya tingkat energi dan
suasana hati tetapi juga kesehatan, kinerja dan kualitas hidup.
1.3 Klasifikasi Insomnia
Insomnia Primer
Insomnia primer ini mempunyai faktor penyebab yang jelas. insomnia atau susah
tidur ini dapat mempengaruhi sekitar 3 dari 10 orang yang menderita insomnia.
Pola tidur, kebiasaan sebelum tidur dan lingkungan tempat tidur seringkali
menjadi penyebab dari jenis insomnia primer ini.
Insomnia Sekunder
Insomnia sekunder biasanya terjadi akibat efek dari hal lain, misalnya kondisi
medis. Masalah psikologi seperti perasaan bersedih, depresi dan dementia dapat
menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini pada 5 dari 10 orang. Selain itu
masalah fisik seperti penyakit arthritis, diabetes dan rasa nyeri juga dapat
menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini dan biasanya mempengaruhi 1
dari 10 orang yang menderita insomnia atau susah tidur. Insomnia sekunder juga
dapat disebabkan oleh efek samping dari obat-obatan yang diminum untuk suatu
penyakit tertentu, penggunaan obat-obatan yang terlarang ataupun
penyalahgunaan alkohol. Faktor ini dapat mempengaruhi 1-2 dari 10 orang yang
menderita insomnia.
Secara internasional insomnia masuk dalam 3 sistem diagnostik yaitu
International code of diagnosis (ICD) 10, Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders (DSM) IV dan International Classification of Sleep Disorders
(ISD).
Dalam ICD 10, insomnia dibagi menjadi 2 yaitu:
Organik
Non organik
- Dyssomnias (gangguan pada lama, kualitas dan waktu tidur)
- Parasomnias (ada episode abnormal yang muncul selama tidur seperti
mimpu buruk, berjalan sambil tidur, dll)
Dalam ICD 10 tidak dibedakan antara insomnia primer atau sekunder. Insomnia
disini adalah insomnia kronik yang sudah diderita paling sedikit 1 bulan dan
sudah menyebabkan gangguan fungsi dan sosial.
Dalam DSM IV, gangguan tidur (insomnia) dibagi menjadi 4 tipe yaitu:
1. Gangguan tidur yang berkorelasi dengan gangguan mental lain
2. Gangguan tidur yang disebabkan oleh kondisi medis umum
3. Gangguan tidur yang diinduksi oleh bahan-bahan atau keadaan tertentu
4. Gangguan tidur primer (gangguan tidur tidak berhubungan sama sekali
dengan kondisi mental, penyakit, ataupun obat-obatan.) Gangguan ini
menetap dan diderita minimal 1 bulan.
Berdasarkan International Classification of Sleep Disordes yang direvisi,
insomnia diklasifikasikan menjadi:
a. Acute insomnia
b. Psychophysiologic insomnia
c. Paradoxical insomnia (sleep-state misperception)
d. Idiopathic insomnia
e. Insomnia due to mental disorder
f. Inadequate sleep hygiene
g. Behavioral insomnia of childhood
h. Insomnia due to drug or substance
i. Insomnia due to medical condition
j. Insomnia not due to substance or known physiologic condition,
unspecified (nonorganic)
k. Physiologic insomnia, unspecified (organic) 10
1.4. Etiologi Insomnia
• Stres. Kekhawatiran tentang pekerjaan, kesehatan sekolah, atau keluarga
dapat membuat pikiran menjadi aktif di malam hari, sehingga sulit untuk
tidur. Peristiwa kehidupan yang penuh stres, seperti kematian atau penyakit
dari orang yang dicintai, perceraian atau kehilangan pekerjaan, dapat
menyebabkan insomnia.
• Kecemasan dan depresi. Hal ini mungkin disebabkan ketidakseimbangan
kimia dalam otak atau karena kekhawatiran yang menyertai depresi.
• Obat-obatan. Beberapa resep obat dapat mempengaruhi proses tidur,
termasuk beberapa antidepresan, obat jantung dan tekanan darah, obat alergi,
stimulan (seperti Ritalin) dan kortikosteroid.
• Kafein, nikotin dan alkohol. Kopi, teh, cola dan minuman yang mengandung
kafein adalah stimulan yang terkenal. Nikotin merupakan stimulan yang dapat
menyebabkan insomnia. Alkohol adalah obat penenang yang dapat membantu
seseorang jatuh tertidur, tetapi mencegah tahap lebih dalam tidur dan sering
menyebabkan terbangun di tengah malam.
• Kondisi Medis. Jika seseorang memiliki gejala nyeri kronis, kesulitan
bernapas dan sering buang air kecil, kemungkinan mereka untuk mengalami
insomnia lebih besar dibandingkan mereka yang tanpa gejala tersebut.
Kondisi ini dikaitkan dengan insomnia akibat artritis, kanker, gagal jantung,
penyakit paru-paru, gastroesophageal reflux disease (GERD), stroke, penyakit
Parkinson dan penyakit Alzheimer.
• Perubahan lingkungan atau jadwal kerja. Kelelahan akibat perjalanan jauh
atau pergeseran waktu kerja dapat menyebabkan terganggunya irama
sirkadian tubuh, sehingga sulit untuk tidur. Ritme sirkadian bertindak sebagai
jam internal, mengatur siklus tidur-bangun, metabolisme, dan suhu tubuh.
• 'Belajar' insomnia. Hal ini dapat terjadi ketika Anda khawatir berlebihan
tentang tidak bisa tidur dengan baik dan berusaha terlalu keras untuk jatuh
tertidur. Kebanyakan orang dengan kondisi ini tidur lebih baik ketika mereka
berada jauh dari lingkungan tidur yang biasa atau ketika mereka tidak
mencoba untuk tidur, seperti ketika mereka menonton TV atau membaca.3,10
1.5 Faktor Resiko Insomnia
Hampir setiap orang memiliki kesulitan untuk tidur pada malam hari tetapi resiko
insomnia meningkat jika terjadi pada:
Wanita. Perempuan lebih mungkin mengalami insomnia. Perubahan hormon
selama siklus menstruasi dan menopause mungkin memainkan peran. Selama
menopause, sering berkeringat pada malam hari dan hot flashes sering
mengganggu tidur.
Usia lebih dari 60 tahun. Karena terjadi perubahan dalam pola tidur, insomnia
meningkat sejalan dengan usia.
Memiliki gangguan kesehatan mental. Banyak gangguan, termasuk depresi,
kecemasan, gangguan bipolar dan post-traumatic stress disorder, mengganggu
tidur.
Stres. Stres dapat menyebabkan insomnia sementara, stress jangka panjang
seperti kematian orang yang dikasihi atau perceraian, dapat menyebabkan
insomnia kronis. Menjadi miskin atau pengangguran juga meningkatkan
risiko terjadinya insomnia.
Perjalanan jauh (Jet lag) dan Perubahan jadwal kerja. Bekerja di malam hari
sering meningkatkan resiko insomnia.1,4
1.6 Tanda dan Gejala Insomnia
Kesulitan untuk memulai tidur pada malam hari
Sering terbangun pada malam hari
Bangun tidur terlalu awal
Kelelahan atau mengantuk pada siang hari
Iritabilitas, depresi atau kecemasan
Konsentrasi dan perhatian berkurang
Peningkatan kesalahan dan kecelakaan
Ketegangan dan sakit kepala
Gejala gastrointestinal 1,3,7
1.7 Diagnosis
Untuk mendiagnosis insomnia, dilakukan penilaian terhadap:
Pola tidur penderita.
Pemakaian obat-obatan, alkohol, atau obat terlarang.
Tingkatan stres psikis.
Riwayat medis.
Aktivitas fisik
Diagnosis berdasarkan kebutuhan tidur secara individual.
Sebagai tambahannya, dokter akan melengkapi kuisioner untuk menentukan
pola tidur dan tingkat kebutuhan tidur selama 1 hari. Jika tidak dilakukan
pengisian kuisioner, untuk mencapai tujuan yang sama Anda bisa mencatat waktu
tidur Anda selama 2 minggu.
Pemeriksaan fisik akan dilakukan untuk menemukan adanya suatu
permasalahan yang bisa menyebabkan insomnia. Ada kalanya pemeriksaan darah
juga dilakukan untuk menemukan masalah pada tyroid atau pada hal lain yang
bisa menyebabkan insomnia.
Jika penyebab dari insomnia tidak ditemukan, akan dilakukan pemantauan dan
pencatatan selama tidur yang mencangkup gelombang otak, pernapasan, nadi,
gerakan mata, dan gerakan tubuh.6
Kriteria Diagnostik Insomnia Non-Organik berdasarkan PPDGJ7
• Hal tersebut di bawah ini diperlukan untuk membuat diagnosis pasti:
a. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur,
atau kualitas tidur yang buruk
b. Gangguan minimal terjadi 3 kali dalam seminggu selama minimal 1
bulan
c. Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur dan peduli yang berlebihan
terhadap akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari
d. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan
penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial
dan pekerjaan
• Adanya gangguan jiwa lain seperti depresi dan anxietas tidak
menyebabkan diagnosis insomnia diabaikan.
• Kriteria “lama tidur” (kuantitas) tidak diguankan untuk menentukan
adanya gangguan, oleh karena luasnya variasi individual. Lama gangguan
yang tidak memenuhi kriteria di atas (seperti pada “transient insomnia”)
tidak didiagnosis di sini, dapat dimasukkan dalam reaksi stres akut (F43.0)
atau gangguan penyesuaian (F43.2)
1.8 Tatalaksana
1. Non Farmakoterapi
a. Terapi Tingkah Laku
Terapi tingkah laku bertujuan untuk mengatur pola tidur yang baru dan
mengajarkan cara untuk menyamankan suasana tidur. Terapi tingkah laku
ini umumnya direkomendasikan sebagai terapi tahap pertama untuk
penderita insomnia.
Terapi tingkah laku meliputi
- Edukasi tentang kebiasaan tidur yang baik.
- Teknik Relaksasi.
Meliputi merelaksasikan otot secara progresif, membuat biofeedback,
dan latihan pernapasan. Cara ini dapat membantu mengurangi
kecemasan saat tidur. Strategi ini dapat membantu Anda mengontrol
pernapasan, nadi, tonus otot, dan mood.
- Terapi kognitif.
Meliputi merubah pola pikir dari kekhawatiran tidak tidur dengan
pemikiran yang positif. Terapi kognitif dapat dilakukan pada konseling
tatap muka atau dalam grup.
- Restriksi Tidur.
Terapi ini dimaksudkan untuk mengurangi waktu yang dihabiskan di
tempat tidur yang dapat membuat lelah pada malam berikutnya.3,6
- Kontrol stimulus
Terapi ini dimaksudkan untuk membatasi waktu yang dihabiskan untuk
beraktivitas.
Instruksi dalam terapi stimulus-kontrol:8
1. Gunakan tempat tidur hanya untuk tidur, tidak untuk membaca,
menonton televisi, makan atau bekerja.
2. Pergi ke tempat tidur hanya bila sudah mengantuk. Bila dalam waktu
20 menit di tempat tidur seseorang tidak juga bisa tidur, tinggalkan
tempat tidur dan pergi ke ruangan lain dan melakukan hal-hal yang
membuat santai. Hindari menonton televisi. Bila sudah merasa
mengantuk kembali ke tempat tidur, namun bila alam 20 menit di
tempat tidur tidak juga dapat tidur, kembali lakukan hal yang
membuat santai, dapat berulang dilakukan sampat seseorang dapat
tidur.
3. Bangun di pagi hari pada jam yang sama tanpa mengindahkan berapa
lama tidur pada malam sebelumnya. Hal ini dapat memperbaiki jadwal
tidur-bangun (kontrol waktu).
4. Tidur siang harus dihindari.
b. Gaya hidup dan pengobatan di rumah
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi insomnia :
Mengatur jadwal tidur yang konsisten termasuk pada hari libur
Tidak berada di tempat tidur ketika tidak tidur.
Tidak memaksakan diri untuk tidur jika tidak bisa.
Hanya menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur.
Relaksasi sebelum tidur, seperti mandi air hangat, membaca, latihan
pernapasan atau beribadah
Menghindari atau membatasi tidur siang karena akan menyulitkan
tidur pada malam hari.
Menyiapkan suasana nyaman pada kamar untuk tidur, seperti
menghindari kebisingan
Olahraga dan tetap aktif, seperti olahraga selama 20 hingga 30 menit
setiap hari sekitar lima hingga enam jam sebelum tidur.
Menghindari kafein, alkohol, dan nikotin
Menghindari makan besar sebelum tidur
Cek kesehatan secara rutin
Jika terdapat nyeri dapat digunakan analgesik1,2,3,6
2. Farmakologi
Pengobatan insomnia secara farmakologi dibagi menjadi dua golongan
yaitu benzodiazepine dan non-benzodiazepine.
a. Benzodiazepine (Nitrazepam,Trizolam, dan Estazolam)
b. Non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital)
Pemilihan obat, ditinjau dari sifat gangguan tidur :
- Initial Insomnia (sulit masuk ke dalam proses tidur)
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep inducing anti-insomnia”
yaitu golongan benzodiazepine (Short Acting)
Misalnya pada gangguan anxietas
- Delayed Insomnia (proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk
kembali ke proses tidur selanjutnya)
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Prolong latent phase Anti-
Insomnia”, yaitu golongan heterosiklik antidepresan (Trisiklik dan
Tetrasiklik)
Misalnya pada gangguan depresi
- Broken Insomnia (siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan
terpecah-pecah menjadi beberapa bagian (multiple awakening).
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep Maintining Anti-
Insomnia”, yaitu golongan phenobarbital atau golongan
benzodiazepine (Long acting).
Misalnya pada gangguan stres psikososial.
Pengaturan Dosis
- Pemberian tunggal dosis anjuran 15 sampai 30 menit sebelum pergi
tidur.
- Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan
dipertahankan sampai 1-2 minggu, kemudian secepatnya tapering off
(untuk mencegah timbulnya rebound dan toleransi obat)
- Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih
perlahan-lahan, untuk menghindari oversedation dan intoksikasi
- Ada laporan yang menggunakan antidepresan sedatif dosis kecil 2-3
kali seminggu (tidak setiap hari) untuk mengatasi insomnia pada usia
lanjut
Lama Pemberian
- Pemakaian obat antiinsomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak
lebih dari 2 minggu, agar resiko ketergantungan kecil. Penggunaan
lebih dari 2 minggu dapat menimbulkan perubahan “Sleep EEG” yang
menetap sekitar 6 bulan lamanya.
- Kesulitan pemberhetian obat seringkali oleh karena “Psychological
Dependence” (habiatuasi) sebagai akibat rasa nyaman setelah
gangguan tidur dapat ditanggulangi.
Efek Samping
Supresi SSP (susunan saraf pusat) pada saat tidur
Efek samping dapat terjadi sehubungan dengan farmakokinetik obat anti-
insomnia (waktu paruh) :
- Waktu paruh singkat, seperti Triazolam (sekitar 4 jam) gejala
rebound lebih berat pada pagi harinya dan dapat sampai menjadi panik
- Waktu paruh sedang, seperti Estazolam gejala rebound lebih ringan
- Waktu paruh panjang, seperti Nitrazepam menimbulkan gejala
“hang over” pada pagi harinya dan juga “intensifying daytime
sleepiness”
Penggunaan lama obat anti-insomnia golongan benzodiazepine dapat
terjadi “disinhibiting effect” yang menyebabkan “rage reaction”
Interaksi obat
- Obat anti-insomnia + CNS Depressants (alkohol dll) menimbulkan
potensiasi efek supresi SSP yang dapat menyebabkan “oversedation
and respiratory failure”
- Obat golongan benzodiazepine tidak menginduksi hepatic microsomal
enzyme atau “produce protein binding displacement” sehingga jarang
menimbulkan interaksi obat atau dengan kondisi medik tertentu.
- Overdosis jarang menimbulkan kematian, tetapi bila disertai alkohol
atau “CNS Depressant” lain, resiko kematian akan meningkat.
Perhatian Khusus
- Kontraindikasi :
o Sleep apneu syndrome
o Congestive Heart Failure
o Chronic Respiratory Disease
- Penggunaan Benzodiazepine pada wanita hamil mempunyai risiko
menimbulkan “teratogenic effect” (e.g.cleft-palate abnormalities)
khususnya pada trimester pertama. Juga benzodiazepine dieksresikan
melalui ASI, berefek pada bayi (penekanan fungsi SSP)1,3,9
1.9 Komplikasi
Tidur sama pentingnya dengan makanan yang sehat dan olahraga yang teratur.
Insomnia dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik.
Komplikasi insomnia meliputi
Gangguan dalam pekerjaan atau di sekolah.
Saat berkendara, reaksi reflex akan lebih lambat. Sehingga meningkatkan
reaksi kecelakaan.
Masalah kejiwaan, seperti kecemasan atau depresi
Kelebihan berat badan atau kegemukan
Daya tahan tubuh yang rendah
Meningkatkan resiko dan keparahan penyakit jangka panjang, contohnya
tekanan darah yang tinggi, sakit jantung, dan diabetes.
1.10 Prognosis
Prognosis umumnya baik dengan terapi yang adekuat dan juga terapi pada
gangguan lain spt depresi dll. Lebih buruk jika gangguan ini disertai skizophrenia.
II. HIPERSOMNIA
2.1 Pengertian
Klasifikasi internasional gangguan tidur edisi kedua (American Academy of Sleep
Medicine, 2005a) menjelaskan hipersomnia sebagai sekelompok gangguan
dimana keluhan utamanya adalah kantuk di siang hari yang berlebihan (EDS),
yang tidak disebabkan oleh gangguan tidur malam atau irama sirkadian.
3.1 Etiologi
Hipersomnia atau EDS dapat terjadi karena efek primer dari system saraf
pusat yakni seperti narcolepsy atau idiopatik hypersomnia atau efek sekunder dari
gangguan tidur , efek obat, penggunaan narkotika, Obstruksi Sleep Apnea (OSA)
dan berbagai obat lain serta kondisi psikiatri. Primer hypersomnia lebih jarang
terjadi dibandingkan sekunder hypersomnia13
I. Primer:
1) Narcolepsy
Prevalensi dari narkolepsi diperkirakan 0.03-0.05 %. EDS biasanya
merupakan gejala yang muncul dari narcolpepsy, tetapi pada beberapa
pasien memiliki karakteristik khusus yang muncul yakni Cataplexy
( kehilangan tonus otot secara mendadak dan tiba tiba , biasanya
merupakan respon pada stimulus emosi), sleep paralysis, hypnagogic atau
hypnopompic hallucination dan gangguang tidur pada malam hari
(disrupted nocturnal sleep).
Patofisiologi narkolepsi:
Narkolepsi terbagi menjadi 2 yakni narcolepsy dengan cataplexy
dan narcolepsy tanpa cataplexy.Patofisologi terjadinya 2 keadaan tersebut
berbeda.Penelitian menunjukkan bahwa kekurangan dari hypocretin-1
secreting cell di hypothalamus yang disebabkan karena proses autoimun
berperan penting pada sebagian besar kasus. CSF hypocretin-1 biasanya
normal pada narkolepesi tanpa catapelexy, dan mengalami penurunan saat
cataplexy muncul.Hal ini menunjukkan penyebab narcolepsy tanpa
cataplexy tidak melibatkan hypocretin-secreting hypothalamic
neuron.Patofisiologi dan patogenenesis dari narkolepsi terlihat jelas pada
gangguan pada tidur fase REM yang terjadi di menit-menit awal tidur.Hal
ini disebut tanda electrophysiology dari narcolepsy. Narcolepsy dipercaya
terjadi karena kelainan monoaminergic regulasi dari kolinergic pada
mekanisme yang terjadi pada tidur fase REM.14
2) Idiopathic CNS hypersomnia
Pada gangguan ini dikarakterisikan dengan adanya EDS namun tanpa
ditemukan adanya cataplexy atau kekurangan tidur saat malam. Idiopathic
CNS hypersomnia lebih jarang ditemukan daripada narcolepsy, namun
prevalensinya masih belum diketahui pasti karena belum adanya kepastian
marker penegakan diagnosa. Onset gejalanya terutama pada remaja.
Etiologinya masih belum jelas diketahui namun penyakit yang disebabkan
virus dikatakan sebagai salah satu penyebabnya. Selain itu genetic
disebutkan juga berpengaruh dengan ditemukannya penigkatan HLA-Cw2
pada pasien. Polysomography menunjukkan pemendekan initial latensi
tidur, peningkatan waktu total tidur dan normal grafik tidurnya. MSLT
menurun, biasanya pada range 8-10 menit.17
3) Kleine-Levin syndrome
Kleine levin syndrome merupakan kelainan yang jarang ditemukan.
Kelainan ini berupa periodic hypersomnia dan kebanyakan terjadi pada
anak usia remaja. Ciri cinya adalah EDS, hyperfagia, sikap agresif, dan
hypersexuality, dan terjadi dalam hitungan hari sampai minggu lalu
berselanghitungan minggu dan bulan untuk serangan selanjutnya, selama
periode simptomatik didapatkan EDS lebih dari 18 jam per hari dan
didapatkan rasa kantuk bingung dan mudah terganggu pada waktu pasien
bangun.17
II. Sekunder
1) Sleep Deprivation
Sleep deprivation merupakan penyebab yang paling sering dari EDS.
Gejala dapat ditemukan pada orang sehat setelah keterbatasan waktu untuk
tidur walaupun hanya sedikit. Penelitian menunjukkan pembatasan tidur pada
orang dewasa sehat untuk tidur 6 jam permalam selama 14 hari menunjukkan
gangguan fungsi neurobiological yang signifikan. Gejala dari sleep
deprivation dapat terjadi setelah hanya 1 hari kehilangan waktu tidur,dan bagi
orang dengan sleep deprivation secara kronik kadang tidak merasa bahwa
sebenarnya sudah terjadi penurunan fungsi kognitifnya. Secara bertentangan
pada hampir semua insomnia kronik berhubungan dengan daytime
hyperarousal disbanding EDS. 13
2) Medication And Drug Effects
Rasa kantuk merupakan efek samping obat paling sering dari obat
yang bekerja pada CNS. Meskipun tidak ada neurotransmitter tunggal yang
dapat diidentifikasikan sebagai neurotransmitter yang berperan dalam
mengontrol tidur, namun hampir semua obat degan mekanisme kerja sedative
akan berefek pada satu atau lebih nuerotransmiter central yang berimplikasi
pada neuromodulasi dari tidur dan bangun yakni seperti dopamine,
epinephrine, acetycholine , serotonin, histamine, glutamate, γ-aminobutyric
acid, and adenosine.16
(Mc Carty et al, 2012)
3) OSA (Obtructive Sleep Apnea)
EDS merupakan gejala yang paling sering didapatkan pada OSA.
Gangguang tidur (sleep disorder) disebabkan blokade jalan nafas atas, OSA
menyebabkan apneau atau penurunan aliran udara (hypopneau) dan dapat
menyebabkan lebih dari atau sama dengan 5 episode apneau dan hypopneau
tiap jam tidur, hal ini menyebabkan hypoxia recurrent dan bangun berulang
dari tidur. Pada orang dewasa usia 30-60 tahun prevalensi OSA diestimasi 9%
pada wanita dan setidaknya 23% pada wanita dan 16% pada pria akan
mengalami EDS. Dan kebanyakan tidak mengetahui bahwa dirinya mengidap
OSA.OSA dapat didiagnosa dengan menggunakan kriteria AHI (Apnea-
hypopnea index) yakni jumlah apneau dan hyponeau per jam selama tidur.16
AHI = 0-4 Normal rangeAHI = 5-14 Mild sleep apneaAHI = 15-30 Moderate sleep apneaAHI > 30 Severe sleep apnea
Faktor resiko OSA:18
Orang dengan overweihght (BMI 25-29,9) dan obesitas (BMI
≥30)
Pria atau wanita dengan ukuran leher yang besar, untuk pria ≥
17 inci untuk wanita ≥16
Pria usia pertengahan dan usia tua, dan wanita post-menopouse
Orang dengan abnormalitas tulang dan struktur soft tissue pada
kepala dan leher
Anak dan dewasa muda dengan down syndrome
Anak dengan pembesaran tonsil dan adenoid
Memiliki keturunan OSA
Gangguan endokrin seperti hypothyroidism dan acromegaly
Perokok
Sumbatan hidung seperti abnormal morfologi atau rinitis
4) Sebab lain
Termasuk di dalamnya trauma kepala, tumor, stroke, kondisi inflamasi,
encephalitis dan genetic serta penyakit neurodegenerarif dapat menyebabkan
EDS, kondisi psikiatri terutama depresi, gangguan tidur seperi gangguan ritme
cyrcardian (jetlag dan shift work), periodic limb movement, dan restlesnees
leg syndrome dapat meyebabkan EDS.16
(Hari Purnomo, 2013)
2.3 Patofisiologi Hipersomnia
Mekanisme terjadinya hypersomnia sendiri masih belum bisa dipastikan
namun beberapa teori dapat menjelaskan terjadi adanya hypersomnia atau
excessive Daytime Sleepiness15
- EDS ditemukan pada pasien yang terinfeksi virus seperti Guillan Barre
Syndrome, hepatitis, mononucleosis, atypical viral pneumonia,selain itu
beberapa kasus yang bersifat genetic, EDS berhubungan dengan genotype
HLA-cw-2 da HLA-DR11. Namun pada mayoritas pasien ditemukan
dengan riwayat infeksi virus pada keluaga atau riwayat penyakit dahulu
pasien sendiri.15
- Pada penelitian yang dilakukan pada hewan, kerusakan neuron
nonadrenergik pada rostral ketiga dari locus cerleus complex
menyebabkan EDS. Trauma disebutkan memiliki hubungan pada EDS,
metabolit neurotransmitter pada pasien post traumatic EDS tidak berbeda
dengan pasien yang mengidap EDS dengan narkolepsi atau pasien EDS
lainnya. Kerusakan pada neuron adrenergic pada bundel istmus
berhubungan dengan peningkatan yang berarti pada tidur NREM maupun
REM15
- Penelitan menunjukkan pahwa disfungsi system dopamine dapat terjadi
pada pasien narcolepsy yang menyebabkan EDS, selain itu malfungsi dari
system norepeinefrin dapat menyebabkan primary hypersomnia (EDS).
Selain itu penurunan histamin pada CSF telah dilaporkan pada
hypersomnia primer dan narcolepsy namun tidak pada non CNS
hypersomnia, hal ini mengindikasikan histamine dapat dijadikan indikator
pembeda hypersomnia yang berasal dari CNS atau perifer15
- Pada penelitian pada hewa coba, ditemukan gen yang berperan pada
patologi dari hypocretin/ ligand orexin dan reseptorya. Konsentrasi
hypocretin1 dan hypocretin-2 pada HLA DQB*0602 pada CSF juga
ditemukan pada hypersomnia primer dan akan mengganggu pada transmisi
hcrt-2 dan hal ini akan menimbulkan gangguan, karena hypocretin peptide
mengeksitasi system histaminergic melalui receptor hypocretin 2,
deficiency hypocretin dapat menyebabkan EDS via penurunan fungsi
histaminergic15
(Preda, Adrian 2013)
- Kekurangan vitamin D yang dapat menyebabkan buruknya kualitas tidur
dan menyebabkan EDS16
2.4 Diagnosa
1) Anamnesis
Adanya keluhan yang khas: Rasa mengantuk yang tidak bisa ditahan,
sampai menimbulkan rasa malu dan menurunnya produktivitas, sampai
tabrakan saat mengemudi
2) Subjective Assesment
a. Epworth Sleepiness scale (ESS)
ESS merupakan instrument penting untuk menilai derajat rasa kantuk
dalam kegiatan sehari-hari. 8 item pertanyaan ,menanyakan pasien
untuk menilai potensi pasien untuk jatuh tertidur selama berbagai
macam aktivitas dan situasi. Nilai 0 (tidak ada rasa kantuk sama sekali)
sampai 3 (rasa kantuk yang amat sangat). Nilai maksimalnya adala 24,
jika nilai>10 dipertimbangkan untuk kemungkinan adanya EDS, jika
nilai>15 maka disimpulkan bahwa adanya EDS berat.13
b. Stanford Sleepiness scale
SSS bernilai 7 point skala likert-type dengan deskripsi dari sangat
terjaga sampai sangat mengantuk.Subjek diperintah untuk memilih hal
yang mendeskripsikan rasa kantuknya pada waktu tertentu. 13,17
c. Clinical Global Impression of Change
Clinical Global Impression of Change didesain untuk menilai seberapa
berat penyakit dan perubahan kondisi klinis dari waktu kewaktu. 13,17
d. Diary tidur
Data tidur selama beberapa minggu dapat menyediakan informasi
tentang kebiasaan tidur pasien13,17
3) Sleep studies
a. Nocturnal Polysomnography
Keluhan rasa kantuk yang tidak bisa dijelaskan dengan adanya
penyakit lain merupakan indikasi polysomnography, biasanya
nocturnal polysomnography diikuti pemeriksaan MSLT,
polysomnography dilakukan pada pasien bebas obat pada jadwal
regular dan sesudah mendapatkan tidur yang cukup selama 10-21 hari.
Pemeriksaan ini dapat mendiagnosa adanya sleap apneau dan
keparahnnya, periodic limb movement sleep, dan nocturnal sleep
disturbance.Polysomnography pada pasien narcolepsy didapatkan
gagguan tidur, bangun berulang, dan penurunan latensi tidur.SOREMP
(sleep-onset REM period) pada malam hari merupakan indicator
penting pada pasien narcolepsy. 13,14
b. Mean Sleep Latency Time (MSLT)
MSLT dilakukan selama periode bangun dan dibuat untuk menilai
kecendrungan pasien untuk jatuh tertidur.Untuk kevalidan, MSLT
biasanya dilakukan setelah polysomnography.kriteria narcolepsy
adalah MSL ≤8 menit dan ≥2 SOREMP. MSL yang sangat pendek
menunjukkan adanya kelainan pada CNS.biaasanya MSL sensitive
pada pasien yang kekurangan tidur. Sedangkan SOREMP dapat untuk
mengidentifikasi pasien dengan depresi gangguan jadwal tidur/bangun,
efek samping penghentian obat dan alcohol, serta kekurangan tidur
karena sleap apneau 13,14
c. Maintenance of Wakefulness Test (MWT)
Berlawanan dengan MSLT, MWT meghitung kemampuan pasien
untuk tetap bangun. Protocol MWT adalah 40 menit dengan 4 sesi
dengan interval 2 jam. Pada orang normal tanpa EDS akan tetap
terjaga dan tidak akan jatuh tertidur dengan rata rata 15 menit dalam 4
atau 5 sesi. 13,14
d. Performance Vigilance Testing
Hypersomnia dapat dievaluasi menggunakan pekerjaan pekerjaan
repetitive , seperti simulasi mengemudi dimana akan dievaluasi
performance, vigilance, attention, dan alertness. 14
e. Pupillometry
Metode pengukuran pupil, pada pupil yang konstriksi dan tidak stabil
berhubungan dengan rasa kantuk dan sebaliknya pupil yang dilatasi
berkaitan dengan bangun. 14
f. Actigraphy
Actigraphy dipasang pada lengan untuk memonitoring aktivitas
seseorang.Pergerakan seseorang berkaitan dengan bangun.Actigraphy
dipasang di tangan seperti jam, dan dapat mengevaluasi pola pasie
tidur dan bangun dan dapat memvalidasi sleep diary. Actigraphy dapat
digunakan untuk mengevaluasi hypersomnia dan insomnia.14
g. Screening blood test
Skrining obat obatan jenis opiate dan benzodiazepine dapat
dipertimbangkan. 13,14
h. Psychiatric evaluation dan tes psikologi
Evaluasi psikiatri dan tes psikologi sangat membantu untuk
memnutkan pasien dengan gangguan mood, psikosis, dan berpura
pura13,14
Diagnosis Menurut PPDGJ III Hipersomnia non organik (F51.1)
1. Gambaran klinis di bawah ini adalah esensial untuk diagnosis pasti, yaitu :
a. Rasa kantuk pada siang hari yang berlebihan atau adanya serangan tidur /
sleep attack (tidak disebabkan oleh jumlah tidur yang kurang), dan atau
transisi yang memanjang dari saat mulai bangun tidur sampai sadar
sepenuhnya (sleep drunkenness);
b. Gangguan tidur terjadi setiap hari selama lebih dari satu bulan atau
berulang dengan kurun waktu yang lebih pendek, menyebabkan
penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi dalam fungsi social dan
pekerjaan.
c. Tidak ada gejala tambahan narcolepsy (kataplexy, sleep paralysis,
hypnagonic hallucination) atau bukti klinis untuk sleep apnoe (nocturnal
breath cessation, typical intermittent snoring sound, etc);
d. Tidak ada kondisi neurologis atau medis yang menunjukkan gejala rasa
kantuk pada siang hari.
2. Bila hipersomnia hanya merupakan salah satu gejala dari gangguan jiwa lain,
misalnya gangguan afektif, maka diagnosis harus sesuai dengan gejala yang
mendasarinya. Diagnosis hipersomnia psikogenik harus ditambahkan bila
hipersomnia merupakan keluhan dominan dari penderita dengan gangguan jiwa
lainnya.
2.5 Manajemen Hipersomnia
a) Insufficient Sleep(Sleep Restriction/Deprivation )
Hipersomnia karena kurang tidur, atau pembatasan tidur
Kriteria Diagnosis
a. Klinis :
1) Adanya pembatasan jumlah waktu tidur dalam sehari kurang dari 7
jam (6 jam atau kurang).
2) Mengantuk di siang harinya disertai perubahan mood dan psikomotor.
Tata Laksana
a. Non Medikamentosa:
Meningkatkan waktu tidur total sampai 8 jam atau lebih.Kadang kadang
dibutuhkan perubahan pola hidup dan pekerjaan.
b. Medikamentosa:
Cara non medikamentosa biasanya berhasil, tetapi bila diperlukan obat
stimulan jangka pendek (Methylphenidate, Ritalin® 5 – 20 mg pagi dan atau
siang hari)
Differential Diagnosis: Hipersomnia sebab lain
Penyulit :
- Pembatasan tidur parsial (4 – 6 jam per-malam), jangka pendek (kurang
dari 2 minggu) menyebabkan perubahan mood dan psikomotor serta
perubahan endokrin seperti peningkatan kadar kortisol dan resistensi
insulin yang ringan.
- Pembatasan tidur parsial yang kronis menyebabkan peningkatan angka
kematian karena penyakit jantung dan kematian pada umumnya.
b) Sedating Medication( Hipersomnia Karena Obat Sedatif)
Kriteria Diagnosis
a. Klinis :
Adanya pemakaian obat-obat yang mempunyai efek sedatif seperti
obat hipnotik, anti psikotik (Chlorpromazine,Thioridazine), anti
depresan golongan trisiklik (amitriptyline, doxepine) anti
konvulsan, anxiolytics (Benzodiazepine), anti histamin
(Chlorpheniramine, Dyphenhidramine), anti hipertensi (Alpha
agonist, Alpha blockers), melatonin, putus obat golongan
amphetamine.
Tata Laksana:
a. Non Medikamentosa:
Menghentikan obat atau ganti dengan golonganlain yang
kurangmempunyai efek sedatif
b. Medikamentosa :
Jika obat tidak dapat dihentikan dicoba dengan pemberian terapi stimulan
antara lain Methylphenidate (Ritalin) 5- 80 mg dosis terbagi,
Dextroamphetamine (Adderall) 5-60 mg dosis terbagi, Modafinil
(Provigil) 100- 400 mg (sekali atau dua kali sehari).
c) Narkolepsi
Kriteria Diagnosis
a. Klinis
1. Gejala biasanya mulai dekade ke-2 (umur 20 – 30 tahun), walaupun
kadang terjadi sebelum usia 10 tahun atau sesudah 50 tahun).
2. Ada 4 gambaran klasik (Classic tetrad) :
a. Hipersomnia : merupakan gejala utama gejala utama yaitu mengantuk
berlebihan pada siang hari yang segera membaik dan kembali segar
setelah tidur singkat kurang dari 30 menit
b. Cataplexy : mendadak kehilangan tonus otot dan berlangsung sebentar
yang khas terjadi pada saat sedang emosi kuat, misalnya tertawa
terbahak-bahak atau marah yang berlebihan. Kelumpuhan dapat
komplit atau parsial dan biasanya singkat (detik – menit). Terjadi kira-
kira 70% penderita narkolepsi.
c. Sleep paralysis (Jawa: tindihen) yaitu ketidakmampuan untuk bergerak
atau bicara yang terjadi awal (hipnagogic) atau akhir tidur
(hipnopompic).
d. Hipnagogic hallucination yaitu halusinasi penglihatan atau
pendengaran yang muncul sebagai representasi mimpi dan terjadi
segera pada awal tidur, kadang-kadang terjadi pada saat bangun pagi
(hipnopompic). Halusinasi dapat berupa bayangan orang yang
mengancam, binatang atau biasanya hantu/monster disertai rasa takut
yang hebat dengan atau tanpa sleep paralisis.
Gejala penyerta :
Automatic behaviour dan amnesia: yaitu saat penderita mengantuk
dan berusaha mengatasinya tiba-tiba muncul aktifitas yang terjadi
dibawah alam sadar. Ia dapat melanjutkan tugasnya dengan benar
tetapi tidak dapat menjawab pertanyaan yang komplek. Kadang
keluar kata-kata yang tidak mengandung arti dan tidak relevan
dengan pembicaraan dan hal ini mengakhiri serangan disertai
amnesia terhadap apa yang diperbuat tadi. Serangan berlangsung
beberapa detik tetapi kadang sampai beberapa jam, biasanya saat
mengerjakan aktivitas monoton seperti mengendarai mobil,
sehingga sering terjadi kecelakaan. Karena itu kalau mengantuk
sebaiknya berhenti dan tidur singkat (10 – 30 menit) sudah bisa
segar kembali. Dapat terjadi pada orang normal yang sangat
mengantuk seperti dokter yang praktek sampai jauh malam.
Disrupted sleep yaitu terbangun beberapa kali semalam
Sleep apneu: 20% penderita laki-laki.
3. Polisomnografi menunjukkan 1 atau lebih sebab :
1. Sleep latency< 10 menit
2. REM sleep latency< 20 menit
3. MSLT yang menunjukkan rata rata sleep latency< 5 menit
4. Sleep-onsetREM period (SOREM)< 15 menit, paling sedikit pada 2
dari 5 kesempatan tidur kecil selama rekaman Polysomnography.
4. HLA trapto type-DQB1 0602 dan DR2 positif (terdapat pada 90-100%
penderita narkolepsi tergantung ras-nya)
b. Laboratorium
Polisomnografi (PSG)
Khas :
o Pemendekan ‘sleep onset’ dan REM latency
o Gangguan kerangka tidur, sering terbangunsingkat.
o Penting untuk menyingkirkan gangguan tidur yang dapat
menyebabkan hipersomnia
MSLT : rata-rata sleep latency <5 menit.
Khas :
o Muncul sleep onset REM (SOREM) kurang dari 15 menit paling
sedikit 2 dari 5 kesempatan tidur kecil.
o Pada orang normal MSLT > 10 menit ( 8-10 menit masih
dianggap abnormal.
o Onset tidur adalah jangka waktu antara lampu dimatikan dan
munculnya gambaran tidur tahap pertama yaitu NREM.
o Pergantian NREM dan REM rata-rata
antara 60-90 menit. Dianggap normal bila REM terjadi kurang
dari 15 menit. Dianggap abnormal bila REM terjadi <15 menit
(SOREM)
Tata Laksana
a. Medikamentosa
1. Obat stimulan
OBAT DOSIS (mg)
Methylphenidate 5 – 60 (dosis terbagi)
Methylphenidate–SR 20 - 60 / hari
Dextroamphetamin 5 - 60 / hari
Pemoline 75 – 150 /hari
Modafiline 100 - 400 ( sekali atau 2 kali sehari)
2. Obat cataplexy
OBAT DOSIS (mg)
Clomipramine 25 – 75
Imipramine 75 - 150
Protryptiline 15 - 20
Fluoxetin 20 - 40
Paroxetine 20 - 40
Sertraline 50 - 200
Venlafaxine 75 - 150
Sodium oxybate 3- 9 ( dosis terbagi pada malam hari)
b. Non Medikamentosa.
1. Informasi
Narkolepsi adalah ‘kelainan/penyakit’ seumur hidup. Pasien harus
mendapat informasi yang adekuat tentang penyakitnya
Akan lebih baik lagi apabila informasi disampaikan kepada anggota
keluarga, teman, guru, dokter keluarga, dll yang berhubungan dekat
dengan penderita
Beberapa penderita sangat tertolong apabila berkomunikasi dengan sesama
penderita
2. Tidur malam dan tidur siang sebentar
Tidur malam yang cukup, dilakukan pada jam yang teratur untuk
mencegah terjadinya ngantuk siang hari
Tidur siang yang terencana atau tidur singkat di siang hari untuk
mengurangi hipersomnia.
3. Pendidikan dan Pekerjaan
Meskipun narkolepsi tidak mengganggu intelektualitas, hipersomnia dapat
mengganggu konsentrasi dan penampilan di sekolah dan tempat bekerja.
Guru harus diberi informasi tentang keadaan penderita sehingga kesulitan
anak-anak penderita narkolepsi dapat dilakukan pendekatan dengan
simpatik, diberi jadwal aktifitas yang sesuai, dan dapat tidur siang sejenak
apabila memungkinkan.
Pasien memilih pekerjaan tertentu sehingga terhindar dari bahaya untuk
pasien maupun orang lain
Diperlukan aturan hukum yang relevan untuk penderita narkolepsi
misalnya dalam hal mengemudi kendaraan bermotor
4. Terapi psikologis
Keluhan psikologis, terutama depresi sering terjadi pada narkolepsi
sehingga perlu diberi support psikologis.
Prognosis
- Penyakit seumur hidup, sulit disembuhkan
- Kadang-kadang pada beberapa kasus serangan cataplexia dapat menurun
- Dapat disertai gangguan tidur yang lain seperti OSA, PLMS,dan REM
Sleep/Behaviour Disease.
Aspek umum pengobatan EDS dan obat yang paling penting yang tersedia
Sementara tubuh menjalani pengobatan untuk narkolepsi, studi pengobatan EDS
kecuali untuk narkolepsi masih tidak ada. Setiap terapi harus didahului
dengan pemeriksaan klinis dan identifikasi kausa. Pengobatan simtomatik harus
diberikan ketika semua pilihan lain untuk kausal pengobatan, penyesuaian
regimen seperti sleep hygiene dan tidur siang yang direncanakan pada narkolepsi
telah habis. Berikut kelompok obat yang digunakan untuk kontrol EDS:
• sistem saraf pusat (SSP) konvensional stimulan (amphetamine dan turunannya
termasuk methylphenidate, dextroamphetamine dan pemoline);
• nonamphetamine stimulan SSP (Modafinil dan armodafinil);
• natrium oxybate;
• kafein;
• antidepresan dengan sifat stimulan (misalnya Atomoxetine);
• monoamine oxidase (MAO) inhibitor dengan alerting alert (misalnya
selegiline);
• dopamin / norepinefrin serapan inhibitor mazindol;
• obat baru dalam uji klinis (misalnya pitolisant dan hypocretin-1).
Stimulan SSP
Amphetamine dan senyawa seperti amfetamin meningkatkan transmisi
katekolaminergik (dopaminergik, khususnya) dan, dalam dosis yang lebih tinggi,
mekanisme lain mulai memainkan peran, termasuk interaksi dengan transporter
monoamin. Manifestasi overdosis (kecemasan, sakit kepala, motorik
hiperaktif, kegagalan untuk berkonsentrasi, tremor, agresivitas, anoreksia,
peningkatan tekanan darah, dll) tidak terjadi secara sporadis. Gejala psikotik
mungkin juga muncul, meskipun jarang. Di banyak negara, amfetamin tidak lagi
dipasarkan karena memiliki potensi untuk disalahgunakan. Pemoline sering
digunakan dimasa lalu, namun, kasus hepatotoksisitas mematikan telah
mengakibatkan penarikan dari pasar di banyak negara.
Methylphenidate merupakan turunan dari piperazine amphetamine yang bekerja
juga dengan cara aktivasi transmisi katekolaminergik. Methylphenidate dikenal
memiliki efek samping yang relatif ringan dan waktu paruh cukup singkat (2-7
jam). Hal ini secara teratur digunakan dalam dosis oral 10-60 mg/hari dalam 1-3
dosis harian (Dosis tunggal maksimum 20 mg). Methylphenidate juga tersedia
dalam bentuk sustained-release. Keamanan methylphenidate lebih baik
dari amfetamin tetapi tidak ada studi keamanan methylphenidate yang reliabel.
Nonamphetamine stimulan SSP
Modafinil adalah obat yang paling umum digunakan dalam terapi kantuk. Cara
kerjanya masih belum jelas, seharusnya ia bertindak dengan memblokir re-uptake
transporter norepinefrin dan dopamin. Konsentrasi plasma akan mencapai
puncaknya dalam waktu 2-4 jam setelah asupan. Modafinil memiliki profil
farmakokinetik dengan waktu eliminasi dari 9 sampai 14 jam. Ia benar-
benar dimetabolisme di hati dan diekskresi terutama dalam urin. Modafinil aman
dan mudah ditoleransi, efek yang tidak diinginkan (sakit kepala, mual,
kehilangan nafsu makan dan gugup) jarang terjadi dan jarang menyebabkan
penolakan terapi (Roth et al. 2007). Ada pengalaman klinis yang juga
menunjukkan bahwa, dalam beberapa pasien, perlu untuk meningkatkan dosis
setelah penggunaan jangka panjang. Meskipun modafinil adalah induktor enzim
P450, efektivitas kontraseptif steroid dapat dikurangi bila digunakan dalam
kombinasi dengan modafinil. Karena modafinil adalah inhibitor reversibel dari
metabolisme obat enzim CYP2C19, pemberian modafinil bersama dengan obat-
obatan seperti diazepam, phenytoin dan propranolol dapat meningkatkan tingkat
sirkulasi dari senyawa-senyawa tersebut. Selain itu, kekurangan enzim CYP2D6
(yaitu 7-10% dari populasi kulit putih; sama atau lebih rendah pada populasi lain),
tingkat substrat CYP2D6 seperti antidepresan trisiklik dan selective serotonin
reuptake inhibitor, dimetabolisme oleh CYP2C19, dapat ditingkatkan oleh
koadministrasi modafinil (Food and Drug Administration, 2012). Di Eropa
penggunaan modafinil telah dibatasi hanya untuk orang dewasa karena terdapat
laporan reaksi alergi pada kulit yang serius. Batasan usia telah dikritik
oleh kelompok ahli berdasarkan pengalaman mereka sendiri (Lecendreux et
al. 2012). Dalam oposisi terhadap rekomendasi Eropa, modafinil efisien dan aman
untuk hipersomnia idiopatik seperti narkolepsi (Lavault et al. 2011). Armodafinil
(Lankford, 2008) baru-baru ini menemukan R-enansiomer dari modafinil dengan
efek lebih panjang dan efisiensi dan keamanan yang sama. Terapi armodafinil
membutuhkan dosis yang lebih rendah daripada modafinil dan perlu diminum
hanya sekali sehari.
Natrium oxybate
Bentuk farmakologi dari gammahydroxybutyrate, natrium oxybate, memberikan
sebuah efek yang menguntungkan pada kesadaran di narkolepsi. Diberikan dalam
dosis farmakologis, natrium oxybate muncul menjadi agonis dari
gammahydroxybutyrate reseptor dan GABA B agonis reseptor lemah,
konsolidasi tidur malam dengan mengurangi fragmentasi dan meningkatkan
kualitasnya. Dosis natrium oxybate yang disarankan adalah 4,5-9 g sehari dalam
dua kali minum: satu segera sebelum tidur, yang lain 2,5-4 jam
setelahnya. Meskipun tidak diketahui interaksi farmakologis natrium oxybate,
konsumsi alkohol dan lainnya dilarang keras dan natrium oxybate tidak
dianjurkan pada sleep apnea. Natrium oxybate dikenal dengan efek inhibitor pusat
dan potensinya untuk menginduksi ketergantungan dan penyalah-
gunaan. Gammahydroxybutyrate disalahgunakan pada atlet untuk efek
metabolik dan telah digunakan sebagai 'date rape' obat karena sifat penenangnya
yang cepat. Namun, natrium oxybate memiliki risiko yang sangat rendah pada
pasien narkolepsi. Obat ini dapat dikombinasikan dengan modafinil (Boscolo-
Berto et al. 2011). Natrium oxybate terdaftar sebagai pengobatan
narkolepsi dengan katapleksi di Eropa (European Obat Agency, 2005) dan di
Amerika Serikat untuk pengobatan katapleksi dan EDS yang disebabkan
oleh narkolepsi.
Kafein
Kafein adalah turunan xantine dan non spesifik antagonis reseptor
adenosin. Adenosine adalah neurotransmitter yang meningkatkan efek
kesadaran. Efek stimulasi kafein agak ringan. Sebagian besar diambil dalam
bentuk minuman tapi ada juga dalam bentuk tablet yang dijual di apotek. Dua
kali dosis harian 100 mg tampaknya lebih efektif.
Selegiline
Selegiline adalah selektif ireversibel MAO B inhibitor, yang dimetabolisme
menjadi berbagai senyawa, termasuk amphetamine dan
methamphetamine. Pembatasan diet, ketidak-cocokan dengan triptans dan selektif
serotonin reuptake inhibitor dan antidepresan trisiklik membatasi penggunaan
rutin obat ini.
Mazindol
Mazindol jarang digunakan karena efek sampingnya (misalnya gugup, takikardia,
mulut kering, anoreksia). Hal ini tidak lagi dipasarkan di banyak negara.
Obat baru
Pitolisant adalah agonis kebalikan dari reseptor H3 dan aktivitas wake-promotion
dibuktikan dalam kantuk yang berlebihan diurnal pasien dengan narkolepsi dan
penyakit EDS lainnya dengan penurunan The Epworth Sleepiness Scale sebesar
lima unit (Schwartz, 2011).
Hypocretin-1 dikelola oleh jalur intranasal memiliki efek fungsional pada tidur
pasien narkolepsi dengan katapleksi (Baier et al. 2011) dan merupakan salah satu
obat yang menjanjikan di masa mendatang.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Insomnia merupalan kesulitan untuk masuk tidur, kesulitan dalam
mempertahankan tidur, atau tidak cukup tidur. Insomnia merupakan gangguan
fisiologis yang cukup serius, dimana apabila tidak ditangani dengan baik dapat
mempengaruhi kinerja dan kehidupan sehari-hari.
Insomnia dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti stres, kecemasan
berlebihan, pengaruh makanan dan obat-obatan, perubahan lingkungan, dan
kondisi medis.
Insomnia dapat ditatalaksana dengan cara farmakologi dan non
farmakologi, bergantung pada jenis dan penyebab insomnia. Obat-obatan yang
biasanya digunakan untuk mengatasi insomnia dapat berupa golongan
benzodiazepin (Nitrazepam, Trizolam, dan Estazolam), dan non benzodiazepine
(Chloral-hydrate, Phenobarbital). Tatalaksana insomnia secara non farmakologis
dapat berupa terapi tingkah laku dan pengaturan gaya hidup dan pengobatan di
rumah seperti mengatur jadwal tidur.
Hypersomnia atau EDS (excessive Daytime sleeping) adalah suatu gejala
yang muncul sewaktu waktu dari kecendrungan untuk mengantuk atau sampai
jatuh tertidur disaat intensitas dan ekspektasi untuk tetap terjaga dan bangun pada
saat tersebut.
Gangguan tidur dapat menurunkan respon imun, perubahan nafsu makan
dan fungsi metabolic, berpengaruh pada fungsi jantung dan berpotensi
meningkatkan mortalitas.EDS disebutkan juga berhubungan dengan depresi dan
gangguan kecemasan. Hal ini menunjukkan bahwa EDS merupakan sesuatu hal
yang penting untuk dikenali sejak awal.
Etiologi Hypersomnia dapat terjadi karena sebab primer pada CNS yakni
seperti narcolepsy, idiopathic primary hypersomnia, dan Kleine-Levin syndrome
dan sebab sekunder yakni seperti kurang tidur, OSA dan pengaruh obat obatan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan, H.I, Sadock BJ. 2010. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri. Ed: Wiguna, I Made. Tangerang: Bina Rupa Aksara Publisher
2. American Academy of Sleep Medicine. ICSD2 - International Classification of Sleep Disorders. American Academy of Sleep Medicine Diagnostic and Coding Manual . Diagnostik dan Coding Manual. 2nd. 2. Westchester, Ill: American Academy of Sleep Medicine; 2005:1-32.
3. Zeidler, M.R. 2011. Insomnia. Editor: Selim R Benbadis. (http://www.emedicina.medscape.com/article/1187829.com Diakses tanggal 14 Agustus 2014.)
4. Tomb, David A. 2004. Buku Saku Psikiatri Ed 6. Jakarta: EGC5. Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
6. Insomnia.(http://www.mayoclinic.com/health/insomnia/DS00187/DSECTION=alternative-medicine Diakses tanggal 14 Agustus 2014.)
7. Maslim, Rusdi. 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.
8. Hazzard. 2009. Hazzard’s Geriatric Medicine and Gerontology 6th ed. New York: McGraw-Hill.
9. Maslim, Rusdi. 2001. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.
10. Gelder, Michael G, etc. 2003. New Oxford Textbook of Psychiatry. London: Oxford University Press
11. Johns,M.W.2009. What is Excessive Daytime Sleepiness.Sleep Deprivation: Causes, Effects and Treatment chapter 2, page 1-37
12. Corson, Richard. Excessive Daytime Sleepiness: overview of diagnosis and Treatment. Perspectives volume 8, issue 1. 2009. Page 10-13
13. Pagel.JS. 2009. Excessive daytime sleepiness. Issues of American Family Physician volume 79 number 5, 1 Maret 2009
14. Avidan , AY. Narcolepsy and idiopathic hypersomnia. ACCP sleep medicine board review course 2008
15. Preda, Adrian. Primary hypersomnia.http://emedicine.medscape.com/article/291699. Diakses 14 Agustus 2014.
16. Mc Carty et al, Vitamin D, race, and Excessive Daytime Sleeping. Journal of clinical Sleep Medicine, vol 8, No.6, 2012
17. Guillemiault C, Brooks SN. Invited review: Excessibe daytime sleepiness a challenge for practising neurologist. Brian (2001), 124, 1482-1491
18. American Academy of sleep medicine. Obstructive sleep Apnea.2008.www.aasmnet.org ©AASM 2008. Diakses tanggal 14 Agustus 2014.