Referat DI Finished

35
DAFTAR ISI DAFTAR ISI ………………………………………………………………….. 1 KATA PENGANTAR……………………………………………………....... 2 BAB I PENDAHULUAN…………………………………………….............. 3 BAB II ISI A. Definisi………………………………………….......................... ........... 4 B. Etiologi ………………………………………………………………… 4 C. Epidemiologi …………………………………………………………... 5 D. Faktor Risiko………………………………………………………........ 6 E. Tanda dan Gejala……………………………………………………….. 6 F. Penegakkan Diagnosis…………..................................... ......................... 7 1. Anamnesis………………………………………………………….. 7 2. Pemeriksaan Fisik………………………………………………….. 7 3. Pemeriksaan Penunjang ………………………………………........ 7 G. Patogenesis …………………………………………………………...... 11 H. Patofisiologi …………………………………………………………… 14 I. Penatalaksanaan................................... ...................……………………. 1

description

DI

Transcript of Referat DI Finished

Page 1: Referat DI Finished

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ………………………………………………………………….. 1

KATA PENGANTAR……………………………………………………....... 2

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………….............. 3

BAB II ISI

A. Definisi…………………………………………..................................... 4

B. Etiologi ………………………………………………………………… 4

C. Epidemiologi …………………………………………………………... 5

D. Faktor Risiko………………………………………………………........ 6

E. Tanda dan Gejala……………………………………………………….. 6

F. Penegakkan Diagnosis………….............................................................. 7

1. Anamnesis………………………………………………………….. 7

2. Pemeriksaan Fisik………………………………………………….. 7

3. Pemeriksaan Penunjang ………………………………………........ 7

G. Patogenesis …………………………………………………………...... 11

H. Patofisiologi …………………………………………………………… 14

I. Penatalaksanaan......................................................……………………. 16

1. Medikamentosa.................................................................................. 17

2. Non-medikamentosa.......................................................................... 18

J. Komplikasi............................................................................................... 18

K. Prognosis ………………………………………………………………. 19

BAB III KESIMPULAN ……………………………………………………. 20

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………… 21

1

Page 2: Referat DI Finished

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-

Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat patologi anatomi yang berjudul

“Diabetes Insipidus”.

Terima kasih juga kepada pembimbing yang membantu dan membimbing

penulis dalam mengerjakan referat ini. Referat ini merupakan sarana belajar bagi

penulis dan merupakan persyaratan untuk memenuhi tugas laboratorium patologi

anatomi dan syarat mengikuti ujian blok. Melalui referat ini, penulis ingin berbagi

pengetahuan kepada para pembaca. Semoga referat ini bisa bermanfaat bagi

penulis dan juga para pembaca.

Penulis mohon maaf apabila terdapat banyak kekurangan yang mendasar

pada referat ini karena penulis masih dalam tahap pembelajaran. Oleh karena itu,

penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para

pembaca.

Purwokerto, Oktober 2013

Penulis

2

Page 3: Referat DI Finished

I. PENDAHULUAN

Diabetes insipidus adalah suatu penyakit yang jarang ditemukan,

diakibatkan oleh berbagai penyebab yang mengganggu mekanisme

neurohypophyseal-renal reflex. Terganggunya mekanisme ini mengakibatkan

kegagalan tubuh dalam mengkonversi air (Ranakusuma, 2009).

Gejala khas dari diabetes insipidus adalah poliuria dan polidipsia, hal ini

dapat terjadi karena defisiensi ADH yang disebut diabetes insipidus sentral

dan tidak sensitifnya vasopressin pada ginjal yang disebut diabetes insipidus

nefrogenik (Bleicher, 2011).

3

Page 4: Referat DI Finished

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. DefinisiDiabetes insipidus secara harfiah adalah ekskresi volume urin dalam

jumlah banyak yang hipotonik dan encer. Pasien datang dengan poliuria

(Khardori, 2013).

Diabetes insipidus (DI) adalah kondisi tidak umum yang terjadi ketika

ginjal tidak mampu untuk mereabsorpsi atau menghemat air saat penyaringan

darah. Jumlah air yang direabsorpsi dikendalikan oleh hormon antidiuretik

(ADH) yang disebut juga vasopresin (Bleicher, 2011).

B. Etiologi

Menurut Batticaca (2008), etiologi diabetes insipidus diklasifikasi

menjadi dua yaitu:

1. Diabetes insipidus yang sensitif terhadap vasopresin:

a. Bentuk idiopatik (bentuk nonfamiliar dan familiar)

b. Pascahipofisektomi

c. Trauma (fraktur dasar tulang tengkorak)

d. Tumor (karsinoma metastasis, kraniofaringioma, kista suprasellar,

pinealoma).

e. Granuloma (sarkoid, TB, sifilis)

1) Infeksi (meningitis, ensefalitis, sindrom Lemdry-Guillain-Barre’s)

2) Vaskular (trombosis atau perdarahan serebral, aneurisma serebral,

nekrosis postpartum atau sindrom Sheehenis)

3) Mistiositosis (granuloma eosinofilis, penyakit Sebuler-Christiem).

2. Diabetes insipidus nekrotik yang didapat:

a. Penyakit ginjal kronis (penyakit ginjal polikistis, penyakit medullary

cystic, pielonefritis, obstruksi ureteral, gagal ginjal lanjut).

b. Gangguan elektrolit (hipotallumia, hiperkalsemia).

c. Obat-obatan (litium, demetoheksamid, tolazamid, propoksifen,

glikusid, vinblastin, kalkisin).

d. Penyakit Sicke-Cell.

4

Page 5: Referat DI Finished

e. Gangguan diet (intake air yang berlebihan, penurunan intake NaCl,

penurunan intake protein).

f. Lain-lain (multiple mieloma, amiloidosis, penyakit Sjogren’s,

sarkoidosis).

Sedangkan menurut Pardede (2003), diabetes insipidus dikelompokkan

berdasarkan tiga, yaitu:

1. Diabetes insipidus sentral

a. Primer, yaitu idiopatik dan familial

b. Sekunder:

1) Trauma kepala, fraktur basis kranii

2) Tindakan bedah saraf, pascahipofisektomi

3) Infeksi intrakranial

4) Tumor otak, tumor infra atau supraselar, leukemia

5) Penyakit granulomatosa susunan saraf pusat

6) Perdarahan intrakranial

7) Hipoksia

8) Obat-obatan

2. Diabetes insipidus nefrogenik

a. Kongenital

b. Didapat

1) hipokalemia

2) hiperkalsemia

3) obat-obatan

4) kelainan parenkim ginjal

5) penyakit sickle cell

3. Excessive vasopressinase

C. EpidemiologiDiabetes insipidus merupakan penyakit gangguan hormonal yang sangat

jarang dijumpai. Prevalensi dari diabetes insipidus yaitu 1 kasus diantara

25.000 populasi dengan faktor risiko sama bagi kedua gender, baik pria

maupun wanita (Bardesono, 2012).

5

Page 6: Referat DI Finished

D. Faktor RisikoBeberapa faktor resiko yang dapat mengarah ke diabetes insipidus antara

lain:

1. Riwayat keluarga diabetes insipidus, dengan riwayat keluarga diabetes

maka akan cenderung untuk mengembangkan kondisi diabetes. Sebuah

penelitian telah membuktikan bahwa sebuah kelompok diabetes resesif

yang memiliki keturunan genetik langka genetik dapat bermutasi gen

fungsional. Hasilnya mungkin muncul dalam sindrom diabetes langka

yang menyimpan representasi keturunan resesif (Sudoyo, 2009).

2. Hipernatremia, yaitu kondisi dimana kadar natrium dalam plasma lebih

dari 145 mEq/l. Karena meningkatnya tekanan osmotik carian

ekstraselular, maka mengakibatkan cairan akan berpindah dari sel menuju

ke cairan ekstraselular. Akibatnya, sel akan dehidrasi. Konsentrasi normal

dari natrium ini diatur oleh mekanisme hormon ADH (antidiuretik) dan

aldosteron. Sebagian besar ion natrium berdampak dalam kontrol regulasi

cairan tubuh, yaitu natrium akan mempertahankan kadar elektrolit dalam

cairan intraselular dan ekstraselular bersama dengan kalium (Tamsuri,

2008).

3. Penyakit atau kerusakan otak, hipotalamus mengalami fungsi dan

menghasilkan terlalu sedikit hormon anti diuretik ( ADH) ke dalam aliran

darah, sehingga retensi urin menurun yang menyebabkan urin banyak yang

keluar (Sudoyo, 2009).

4. Penyakit ginjal polikistik atau penyakit ginjal lain yang dapat

mempenagruhi proses filtrasi.

5. Tingginya kalsium dalam darah

6. Rendahnya kalium dalam darah (Anonim, 2013)

E. Tanda dan GejalaDiabetes insipidus dapat timbul secara perlahan maupun secara tiba-tiba

pada segala usia. Seringkali satu-satunya gejala adalah rasa haus dan

pengeluaran air kemih yang berlebihan. Sebagai kompensasi hilangnya cairan

melalui air kemih, penderita bisa minum sejumlah besar cairan (3,8-38

L/hari). Jika kompensasi ini tidak terpenuhi, maka dengan segera akan terjadi

6

Page 7: Referat DI Finished

dehidrasi yang menyebabkan tekanan darah rendah dan syok. Penderita terus

berkemih dalam jumlah yang sangat banyak, terutama di malam hari (Sands,

et al., 2006).

Gejala klinis dari diabetes insipidus yaitu :

1. Poliuria dan polidipsia

Pada diabetes insipidus, gejala utamanya adalah poliuria dan

polidipsia. Dalam sehari, jumlah cairan maupun produksi urin sangat besar

yaitu dapat mencapai 5-10 liter perharinya. Berat jenis urin juga biasanya

sangat rendah yaitu kira-kira 1 001- 1 005 atau 50-200 mOsmol/kg berat

badan. Biasanya pada diabetes insipidus tidak terdapat tanda dan gejala

lain selain poliuria dan polidipsia. Namun kecuali jika terdapat penyakit

lain yang menyebabkan munculnya gangguan pada mekanisme neurohy-

pophyseal-renal reflex yang dapat mengakibatkan kegagalan tubuh dalam

mengkonversi air (Ranakusumo & Subekti, 2009).

2. Dehidrasi

Dehidrasi terjadi apabila tubuh tidah mendapatkan cairan yang

adekuat. Pada bayi, jika mengalami dehidrasi bisa mengalami demam

tinggi yang disertai dengan muntah dan kejang-kejang. Jika tidak segera

terdiagnosis dan diobati, hal ini dapat menyebabkan kerusakan otak,

sehingga bayi mengalami keterbelakangan mental. Dehidrasi yang sering

berulang juga akan menghambat perkembangan fisik (Sands et al., 2006).

F. Penegakan Diagnosis

1. Anamnesis

Manifestasi klinis dari diabetes insipidus bergantung pada

penyebabnya, keparahannya, dan keterkaitan kondisi medis pasien. Namun

pada umumnya, diabetes insipidus terjadi setelah trauma atau bedah pada

regio di hipothalamus dan hipofisis (Cooperman, 2011).

Keluhan dan gejala utama diabetes insipidus adalah poliuria dan

polidipsia. Kedua gejala ini sebagai manifestasi klinis yang terlihat pada

saat anamnesis dilakukan (Sudoyo, 2009).

7

Page 8: Referat DI Finished

2. Pemeriksaan fisik

Berbagai variasi dari pemeriksaan fisik diabetes insipidus, yaitu

dapat berdasarkan keparahan dan kronisitas dari penyakit diabetes

insipidus. Pada umumnya, pada pemeriksaan fisik terdapat hidronefrosis,

pembesaran vesika urinaria, dan tanda-tanda dehidrasi. Volume urin harian

bervariasi, antara 3-20 liter dan toleransi pasien terhadap dehidrasi juga

bervariasi pada tiap pasien (Cooperman, 2013).

3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan setelah ditemukan terjadinya

poliuria adalah pemeriksaan untuk menentukan jenis penyakit yang

menyebabkannya. Beberapa pemeriksaan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Uji deprivasi / Uji haus (Water Deprivation Test)

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan salah satunya adalah tes

pengurangan cairan (water deprivation test). Tetapi pemeriksaan ini

harus dilakukan dengan pengawasan yang ketat supaya tidak terjadi

dehidrasi yang berlebiahn. Tes ini dilakukan dengan restriksi intake

cairan sampai terjadi penurunan 3-5 % berat badan. Pengukuran

osmolaritas urin dan perubahan osmolaritas urin sebagai respons

terhadap vasopresin eksogen juga akan membantu menegakkan

diagnosis (Davey, 2005 ).

Pemeriksaan ini dilakukan untuk membedakan antara polidipsi

psikogenik dengan diabetes insipidus yaitu untuk mengevaluasi

kemampuan pasien memekatkan urin sebagai respons terhadap

hipernatremia dan penurunan volume cairan ekstraselular. Pemeriksaan

ini dilakukan pada pagi hari, selama 6-8 jam.

Menurut Pardede (2003), tata cara pemeriksaan penunjang uji

haus ini adalah sebagai berikut:

1) Setelah mendapat hidrasi yang adekuat yaitu minum air sesuai

dengan kebutuhan selama 24 jam, dilakukan pemeriksaan kadar

natrium dan osmolalitas plasma, berat jenis dan osmolalitas urin,

pengukuran jumlah urin, dan berat badan. Selama pemeriksaan,

anak tidak boleh makan dan minum; berat badan, tanda vital, dan

8

Page 9: Referat DI Finished

berat jenis urin diperiksa setiap jam. Pemeriksaan jumlah urin,

osmolalitas urin, osmolalitas plasma, dan natrium plasma

dilakukan setiap 2 jam.

2) Uji deprivasi air dilanjutkan sampai osmolalitas plasma mencapai

300 mOsm/l atau lebih tinggi dan berat badan turun 3-4% dari

berat badan awal pemeriksaan. Uji deprivasi air harus diawasi

karena pada compulsive water drinking akan mencari air untuk

diminum, sedangkan pada diabetes insipidus akan terjadi

penurunan volume cairan intraselular. Pada pasien dengan

kelainan yang berat, penurunan berat badan ini biasanya terjadi

dalam 5-7 jam.

3) Pada akhir uji deprivasi air, perlu diambil sampel urin dan plasma

untuk pengukuran osmolalitas. Uji deprivasi air tidak dapat

dilakukan pada keadaan hipernatremia atau pada isostenuria

dengan peningkatan osmolalitas plasma.

4) Uji deprivasi air dihentikan jika terdapat penurunan berat badan >

5%, atau berat jenis urin > 1.020, atau osmolalitas urin > 600

mOsm/l, atau Na serum > 145 mEq/L. Jika pada uji deprivasi air

didapatkan jumlah urin berkurang, berat jenis dan osmolalitas urin

meningkat, maka didiagnosis sebagai polidipsi psikogenik, tetapi

jika jumlah urin tidak meningkat, berat jenis dan osmolalitas urin

tetap atau tidak meningkat, maka didiagnosis sebagai diabetes

insipidus.

b. Urinalisis

Jika poliuria disertai kadar glukosa dan ureum plasma yang

normal menggambarkan kemungkinan defisiensi atau insensitivitas

terhadap vasopressin (Pardede, 2003).

9

Page 10: Referat DI Finished

Gambar 2.1. Skema Diagnosis Poliuria (modifikasi dari Trompeter dan

Barratt, 1999)

c. Uji pitresin

Uji ini dilakukan untuk membedakan antara diabetes insipidus

nefrogenik dan diabetes insipidus sentral, yaitu dengan pemberian

vasopresin atau analognya (aqueous vasopresin tau DDAVP).

Vasopresin lisin diberikan subkutan dengan dosis 5 IU/m2 luas

permukaan tubuh. Desmopressin (1 desamino 8-D- arginin vasopresin

atau DDAVP) diberikan secara intranasal dengan dosis 5 ug untuk

neonatus, 10 ug untuk bayi, dan 20 ug untuk anak dan dewasa.

DDAVP dapat juga diberikan secara intravena dengan dosis 1/10 dosis

intranasal atau secara intramuskular dengan dosis 0,25 ml (1 ug) jika

berat badan < 30 kg atau 0,50 ml (2 ug) jika berat badan >30 kg

(Pardede, 2003).

10

Page 11: Referat DI Finished

Selama pemeriksaan pasien diperbolehkan untuk makan dan

minum, kemudian dilakukan pengukuran jumlah urin total 12 jam,

berat jenis urin setiap jam sampai 6 jam, serta pemeriksaan osmolalitas

urin, osmolalitas plasma, dan Na plasma setiap 2 jam selama 6 jam

(Pardede, 2003).

Pada diabetes insipidus sentral, akan terjadi penurunan jumlah

urin dan peningkatan berat jenis dan osmolalitas urin. Sedangkan pada

diabetes insipidus nefrogenik tidak ada respons atau diuresis tetap

banyak dengan berat jenis dan osmolalitas urin yang tidak meningkat

(Pardede, 2003).

d. Pemeriksaan Radiologi

Pada diabetes insipidus sentral, diperlukan beberapa pemeriksaan

lanjutan seperti foto kepala, CT–scan atau MRI kepala, dan

pemeriksaan fungsi kelenjar hipofisis. Pada diabetes insipidus

nefrogenik, perlu dilakukan ultrasonografi ginjal dan

miksiosistoureterografi untuk melihat adanya kelainan obstruktif

(Pardede, 2003).

G. PatogenesisSecara patogenesis, diabetes insipidus dibagi menjadi dua, yaitu diabetes

insipidus sentral dan diabetes insipidus nefrogenik (Sudoyo, 2009).

1. Diabetes Insipidus Sentral (DIS)

Diabetes insipidus sentral disebabkan oleh kegagalan pelepasan

hormon anti-diuretik ADH yang secara fisiologis dapat berupa kegagalan

sintesis ataupun penyimpanan. Secara anatomis kelainan ini terjadi akibat

kerusakan nukleus supraoptik, paraventrikular, dan filiformis hipotalamus

dalam menyintesis ADH. Selain itu DIS juga timbul karena gangguan

pengangkutan ADH akibat kerusakan pada akson traktus

supraoptikohipofisis dan akson hipofisis posterior dimana ADH disimpan

untuk sewaktu-waktu dilepaskan ke sirkulasi apabila dibutuhkan (Sudoyo,

2009).

11

Page 12: Referat DI Finished

2. Diabetes Insipidus Nefrogenik (DIN)

Menurut Sudoyo (2009), istilah diabetes insipidus nefrogenik dipakai

pada diabetes insipidus yang tidak responsif terhadap ADH eksogen,

secara fisiologis dapat disebabkan oleh:

a. Kegagalan pembentukan dan pemeliharaan gradien osmotik dalam

medulla renalis

b. Kegagalan utilisasi gradien pada keadaan dimana ADH berada dalam

jumlah yang cukup dan berfungsi normal

Kegagalan-kegagalan yang merupakan etiologi dari diabetes

insipidus di atas berpengaruh pada sistem umpan balik osmoreseptor-ADH

untuk mengontrol konsentrasi dan osmolaritas natrium cairan ekstrasel.

Menurut Guyton (2012), secara normal, bila osmolaritas (konsentrasi

natrium plasma) meningkat di atas normal akibat kekurangan air, sistem

umpan balik ini akan bekerja sebagai berikut:

a. Peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel (yang secara praktis berarti

peningkatan konsentrasi natrium plasma) menyebabkan sel saraf

khusus yang disebut sel osmoreseptor, yang terletak di hipotalamus

anterior dekat nukleus supraoptik mengkerut.

b. Pengerutan sel osmoreseptor menyebabkan sel tersebut terangsang,

yang akan mengirimkan sinyal saraf ke sel saraf tambahan di nukleus

supraoptik, yang kemudian meneruskan sinyal ini menyusuri tangkai

kelenjar hipofisis ke hipofisis posterior.

c. Potensial aksi yang disalurkan ke hipofisis posterior akan merangsang

pelepasan ADH, yang disimpan dalam granula sekretorik (atau vesikel)

di ujung saraf.

d. ADH memasuki aliran darah dan ditranspor ke ginjal, tempat ADH

meningkatkan permeabilitas air di bagian akhir tubulus distal, tubulus

koligentes kortikalis, dan duktus koigentes medulla.

e. Peningkatan permeabilitas air di segmen nefron distal menyebabkan

peningkatan reabsorbsi air dan ekskresi sejumlah urin yang pekat.

Pada penderita diabetes insipidus, terjadi serangkaian kejadian yang

berlawanan saat cairan ekstrasel menjadi terlalu encer (hipo-osmotik).

12

Page 13: Referat DI Finished

Contohnya, pada asupan air yang berlebihan dan penurunan osmolaritas

cairan ekstrasel. ADH yang seharusnya disekresikan banyak, hanya

disekresikan dalam jumlah sedikit, lalu tubulus ginjal mengurangi

permeabilitasnyaterhadap air, sehingga lebih sedikit air yang diseabsorbsi

serta sejumlah besar urin encer terbentuk (Guyton, 2012).

13

DIABETES INSIPIDUS

Tubuh kelebihan air

Osmolaritas cairan ekstrasel menurun

Terjadi kegagalan regulasi

Hormon ADH tidak disekresikan atau

disekresikan dalam jumlah sedikit

Permeabilitas tubulus distal, dan duktus

koligentes pada ginjal menurun

Reabsorbsi H2O minimum

H2O dikeluarkan banyak dalam urin dan urin menjadi encer (poliuria)

Page 14: Referat DI Finished

Gambar 2.2. Skema Patogenesis Diabetes Insipidus (Guyton, 2012)

H. Patofisiologi1. Fisiologi Mekanisme Air

Dalam mengatur ekskresi air, ginjal menggunakan mekanisme

neurohypofiseal-renal reflex. Komponen humoral dalam mekanisme ini

adalah ADH yang disebut juga arginin vasopressin (AVP). AVP disintesis

oleh suatu molekul precursor dalam nucleus supraoptic, paraventrikuler,

dan sedikit pada nucleus filiformi hipotalamus. Setelah disintesis, AVP

dibungkus ke dalam samacam neurosecretory granules pada reticulum

endoplasmic dimana setiap granul tersebut mengandung AVP serta

neurofisin (molekul carrier). Granul-granul tadi ditransportasikan melalui

akson neuron hipotalamus yang berakhir pada hipofisis posterior.

Penglepasan AVP oleh hipofisis posterior terjadi melalui proses

eksositosis ke dalam sirkulasi. Kemudian hormon inilah yang akan

mengatur penyerapan air pada ginjal (Sudoyo, 2009).

2. Mekanisme Haus (polidipsi)

Peningkatan osmolalitas plasma akan merangsang pusat haus,

sebaliknya penurunan osmolalitas plasma akan menekan pusat haus.

Seperti pada mekanisme pelepasan AVP, pengaturan osmotik rasa haus

dipengaruhi oleh volume sel pusat haus di hipotalamus. Ambang rangsang

pusat haus (295 mOsmol/kg berat badan) ternyata lebih tinggi daripada

ambang rangsang osmotik pelepasan AVP (280 mOsmol/kg berat badan).

Hal ini merupakan suatu perlindungan terhadap deplesi air (Sudoyo,

2009).

Terdapat juga jalur non-osmotik terhadap stimulasi pusat haus.

Diduga sistem renin-angiotensin merupakan salah satu mediator jalur ini

dan telah dibuktikan bahwa renin atau angiotensin eksogen dapat

menimbulkan rasa haus dan nefrektomi dapat menghilangkan rasa haus

akibat deplesi ECF (Sudoyo, 2009).

3. Mekanisme Poliuria

Di dalam tubuh, terdapat sistem umpan balik yang kuat untuk

mengatur osmolaritas plasma dan konsentrasi natrium, yang bekerja

14

Page 15: Referat DI Finished

dengan cara mengubah ekskresi air oleh ginjal, dan tidak bergantung pada

kecepatan ekskresi zat terlarut. Pelaku utama dari sistem umpan balik ini

adalah hormon antidiuretic (ADH) (Guyton,2012).

Bila osmolaritas cairan tubuh menurun di bawah normal (yaitu, zat

terlarut dalam cairan tubuh sedikit sehingga cairan ekstrasel menjadi

terlalu encer), kelenjar hipofisis posterior akan menyekresi lebih banyak

ADH. Namun pada penderita diabetes insipidus, hormon ADH tidak

disekresikan meskipun osmolaritas cairan tubuh menurun. Oleh sebab itu,

permeabilitas tubulus ginjal dan duktus koligentes terhadap air akan

menurun. Akibatnya, reabsorbsi air pun menurun sehingga banyak H2O

yang tidak masuk ke dalam jaringan dan tertimbun di ekstrasel. Kelebihan

H2O ini akan diekskresikan melalui urin menghasilkan urin dalam jumlah

banyak (poliuria) dan encer (Guyton,2012).

I. Gambaran HistopatologiADH adalah suatu hormon nonapeptida yang disintesis terutama dalam

nukleus supraoptikus. ADH dibebaskan dari terminal akson di neurohipofisis

ke dalam sirkulasi umum sebagai respon terhadap sejumlah rangsangan yang

berbeda-beda, termasuk peningkatan tekanan onkotik plasma, peregangan

atrium kiri, olahraga, dan keadaan emosional tertentu. Hormon bekerja pada

duktus koligentes ginjal untuk meningkatkan resorpsi air bebas. Defisiensi

ADH menyebabkan diabetes insipidus, suatu keadaan yang ditandai dengan

pengeluaran urin yang berlebihan (poliuria) akibat ketidakmampuan ginjal

menyerap dengan benar air dari urin. Diabetes insipidus dapat terjadi akibat

beberapa proses, termasuk trauma kepala, neoplasma, peradangan

hipotalamus dan hipofisis, serta akibat tindakan bedah yang melibatkan

hipotalamus atau hipofisis (Kumar, 2007).

Diabetes insipidus akibat defisiensi ADH disebut sentral, sedangkan

diabetes insipidus yang disebabkan karena ginjal tidak responsive terhadap

hormon ADH dinamakan diabetes insipidus nefrogenik. Gambaran klinis

keduanya serupa dan berupa ekskresi urin encer dalam jumlah besar disertai

berat jenis yang terlalu rendah. Natrium serum dan osmolalitas meningkat,

karena pengeluaran air dalam jumlah besar melalui ginjal, sehingga timbul

rasa haus atau polydipsia (Kumar, 2007).

15

Page 16: Referat DI Finished

Gambaran histopatologi diabetes insipidus berupa ukuran neurohipofisis

yang sangat besar tetapi mengandung sangat sedikit materi neurosekresi

(Bloom, 2012).

Gambar 2.3. Hipofisis tikus Brattleboro dengan diabetes insipidus bawaan

(Bloom, 2012)

J. Penatalaksanaan

1. Medikamentosa

Pengobatan diabetes insipidus harus disesuaikan dengan gejala yang

ditimbulkannya. Pada DIS (Diabetes Insipidus Sentral) yang komplit

biasanya diperlukan terapi hormon pengganti (hormonal replacement)/

DDAVP (1-desamino-8-d-arginine- vasopressin) merupakan obat pilihan

pertama untuk DIS. Obat ini merupakan analog arginine vasopressin

manusi sintetik, mempunyai lama kerja yang panjang dan hanya

mempunyai sedikit efek samping, jarang menimbulkan alergi, dan hanya

menimbulkan sedikit pressor effect (Sudoyo, 2009).

Selain terapi hormon pengganti, dapat juga dipakai terapi adjuvant

yang secara fisiologis dapat mengatur keseimbangan air. Obat-obatan

adjuvant yang biasanya dipakai adalah (Sudoyo, 2009):

a. Diuretik Tiazid

Obat-obatan diuretic tiazid menyebabkan suatu natriuresis

sementara, deplesi ECF (Extra-Celluler Fluid) ringan dan penurunan

GFR (Glomerulo Filtration Rate). Hal ini menyebabkan reabsorbsi

Na+ dan air pada nefron yang lebih proksimal sehingga menyebabkan

16

Page 17: Referat DI Finished

berkurangnya air yang masuk ke tubulus distal dan duktus collectivus.

Obat ini dapat dipakai pada DIS (Diabetes Insipidus Sentral) maupun

DIN (Diabetes Insipidus Nefrogenik) (Sudoyo, 2009).

b. Kloropropamid

Klorpropamid memiliki fungsi menurunkan efek ADH yang asih

ada terhadap tubulus ginjal dan mungkin pula dapat meningkatkan

pelepasan ADH dari hipofisis. Dengan demikian obat ini tidak dapat

dipakai pada DIS komplit atau DIN. Efek samping yang harus

diperhatikan adalah timbulnya hipoglikemia. Dapat dikombinasikan

dengan tiazid untuk mencapai efek maksimal. Tidak ada sulfonylurea

yang lebih efektif dan kurang toksik dibandingkan dengan

klorpropamid pada pengobatan diabetes insipidus (Sudoyo, 2009).

c. Klofibrat

Seperti klorpropamid, klofibrat juga meningkatkan pelepasan

ADH endogen. Kekurangan klorfibrat dibandingkan dengan

klorpropamid adalah harus diberikan 4 kali sehari, tetapi tidak

menimbulkan hipoglikemia. Efek saping lain adalah gangguan saluran

cerna, myositis, dan gangguan fungsi hati. Dapat dikombinasikan

dengan tiazid dan klorpropamid untuk dapat memperoleh efek

maksimal dan mengurangi efek samping pada DIS parsial (Sudoyo,

2009).

d. Karbamazepin

Karbamazepin adalah suatu antikonvulsan yang terutama efektif

dalam pengobatan tic douloureux, mempunyai efek seperti klofibrat

tetapi hanya mempunyai sedikit kegunaan dan tidak dianjurkan untuk

dipakai secara rutin (Sudoyo, 2009).

e. OAINS/ NSAID

Obat Antiinflamasi Non Steroid (OAINS) seperti endometasin

dapat memacu pemekatan air kemih dan mengurangi pengeluaran air

kemih. Obat ini dapat dipakai sendiri ataupun kombinasi dengan tiazid.

Penggunaan OAINS perlu perhatian karena bersifat nefrotoksik dan

menyebabkan kelainan sekresi asam lambung (Sudoyo, 2009).

17

Page 18: Referat DI Finished

2. Non Medikamentosa

Menurut Khardori (2013), ada beberapa hal yang dapat digunakan untuk

penanganan diabetes insipidus, yaitu:

a. Pemantauan

Memantau untuk retensi cairan dan hiponatremia selama terapi

awal. Ikuti volume asupan air dan frekuensi dan volume buang air

kecil, dan menanyakan tentang kehausan. Memantau serum natrium,

volume urin 24-jam, dan berat jenisnya. Pasien dengan mekanisme

rasa haus yang normal biasanya dapat mengatur diri.

b. Langkah-langkah Diet

Tidak ada pertimbangan khusus diet pada diabetes kronis

sekalipun, tetapi pasien harus memahami pentingnya asupan garam

dan air yang memadai dan keseimbangannya. Diet rendah protein, diet

rendah natrium dapat membantu menurunkan pengeluaran urin.

c. Kewaspadaan

Pasien diabetes insipidus harus mengambil tindakan pencegahan

khusus, seperti ketika bepergian, harus dipersiapkan untuk menangani

muntah atau diare dan untuk menghindari dehidrasi akibat aktivitas

fisik atau cuaca panas.

d. KomplikasiDiabetes insipidus dapat menyebabkan komplikasi jika tidak

terdiagnosis atau tidak dikontrol dengan baik. Menurut Robinson (2012),

komplikasi diabetes melitus adalah sebagai berikut:

1. DehidrasiSeseorang dengan diabetes insipidus akan kesulitan untuk

mempertahankan air yang cukup, sekalipun minum terus-menerus. Hal ini

dapat menyebabkan dehidrasi, yang merupakan berkurangnya air dalam

tubuh pasien. Tanda dan gejala dehidrasi yaitu:

a. Mulut dan bibir kering

b. Bagian yang terlihat cekung (terutama mata)

c. Sakit kepala

d. Pusing

e. Kebingungan dan mudah marah

18

Page 19: Referat DI Finished

Dehidrasi dapat diobati dengan menyeimbangkan cairan dalam tubuh.

Ketika merasa sangat dehidrasi, lebih baik minum cairan rehidrasi daripada

minum air putih, karena akan menggantikan mineral, garam, gula, serta air

yang hilang. Penderita diabetes insipidus yang mengalami dehidrasi parah

mungkin memerlukan perawatan di rumah sakit karena cairan tubuh yang

hilang diganti secara intravena (melalui infus ke pembuluh darah).

2. Ketidakseimbangan Elektrolit

Diabetes insipidus juga dapat menyebabkan ketidakseimbangan

elektrolit. Elektrolit adalah mineral dalam darah yang memiliki muatan

elektrik kecil seperti natrium, kalsium, kalium, klorin, magnesium dan

bikarbonat. Seperti halnya ADH, elektrolit juga membantu menjaga

keseimbangan air dalam tubuh.

Pada penderita diabetes insipidus, elektrolit ini bisa menjadi tidak

seimbang dan berpengaruh terhadap jumlah air di dalam tubuh. Hal ini dapat

menyebabkan dehidrasi dan mengganggu fungsi tubuh lainnya, seperti cara

kerja otot, yang dapat menyebabkan sakit kepala, kelelahan, iritabilitas, dan

nyeri otot. Ketidakseimbangan elektrolit dapat diobati dengan cara yang sama

seperti dehidrasi, dengan cairan rehidrasi yang mengandung elektrolit

pengganti.

f. Prognosis

Prognosis untuk pasien diabetes insipidus umumnya sangat baik,

tergantung pada penyakit yang mendasarinya. Pada diebetes insipidus

nefrogenik disebabkan oleh obat (misalnya, lithium), menghentikan obat dapat

membantu untuk mengembalikan fungsi ginjal normal (Khardori, 2013).

Mortalitas diabetes insipidus jarang terjadi pada orang dewasa selama air

di dalam tubuh tersedia. Dehidrasi berat, hipernatremia, demam, kolaps

kardiovaskuler, dan kematian dapat terjadi pada anak-anak dan orang tua,

serta pada orang dengan penyakit komplikasi (Khardori, 2013).

19

Page 20: Referat DI Finished

III. KESIMPULAN

1. Diabetes insipidus adalah suatu kondisi seseorang yang mengeksresikan urin

dalam jumlah banyak (poliuria) dan encer sehingga mengakibatkan penderita

merasa kehausan terus-menerus (polidipsi)

2. Diabetes insipidus dikelompokkan menjadi dua berdasarkan penyebabnya,

yaitu diabetes insipidus sentral dan diabetes insipidus nefrogenik.

3. Diabetes insipidus adalah penyakit hormonal yang jarang ditemukan.

Prevalensinya yaitu 1:25.000.

4. Pada pemeriksaan fisik terdapat hidronefrosis, pembesaran vesika urinaria,

dan tanda-tanda dehidrasi. Pemeriksaan penunjang yang sering digunakan

adalah uji haus, urinalisis, uji pitresin, dan pemeriksaan radiologi.

5. Gambaran histopatologi diabetes insipidus berupa ukuran neurohipofisis yang

sangat besar tetapi mengandung sangat sedikit materi neurosekresi

6. Penatalaksanaan medikamentosa, yaitu diuretik tiazid, kloropropamid,

klofibrat, karbamazepin dan OAINS/ NSAID. Sedangkan penatalaksanaan

non-medikamentosanya berupa pemantauan, langkah-langkah diet,

kewaspadaan agar tidak terjadi komplikasi seperti dehidrasi dan

ketidakseimbangan elektrolit.

7. Prognosis diabetes insipidus baik dan mortalitas jarang terjadi.

20

Page 21: Referat DI Finished

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2013. Diabetes Insipidus Risk Factors. Available at: http://www.thirdage.com/hc/c/diabetes-insipidus-risk-factors (Diakses tanggal 13 Oktober 2013).

Bardesono, Francesca. 2011. Diabetes Insipidus. Available at http://flipper.diff.org/app/items/info/3360 (Diakses tanggal 12 Oktober 2013).

Batticaca, F.B. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Bloom, William et Don W. Fawcett. 2002. Buku Ajar Histologi. Edisi 12. Terjemahan Jan Tambayong. Jakarta: EGC.

Bleicher, M.B. 2011. Diabetes Insipidus. Available at:

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000377.htm (diakses

tanggal 16 Oktober 2013).

Cooperman, Michael. 2013. Diabetes Insipidus. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/117648-overview (Diakses terakhir 13 Oktober 2013).

Davey, Patrick. 2005. At A Glance Medicine. Jakarta: Erlangga.

Guyton, Arthur C et Hall John E. 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC.

Khardori, Romesh. 2013. Diabetes Insipidus. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/117648-overview#aw2aab6b2b5 (diakses tanggal 16 Oktober 2013).

Kumar, Vinay. 2007. Buku Ajar Patologi Edisi 7 Volume 2. Jakarta : EGC.

Pardede, S.O. 2003. Poliuria pada Anak. Sari Pediatri. Vol. 5, No.3: 103-110. Available at: http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/5-3-3.pdf (Diakses terakhir 13 Oktober 2013).

Robinson. 2012. Complications of Diabetes Insipidus. Available at: http://www.nhs.uk/Conditions/Diabetes-insipidus/Pages/Introduction.aspx (diakses tanggal 16 Oktober 2013).

Sands, Jeff M., Bichet, Daniel G. Nephrogenic Diabetes Insipidus. AnnIntern Med. 2006; 144:186-194. Available at:

21

Page 22: Referat DI Finished

http://www.the-aps.org/mm/Publications/Journals/PIM/sands-pdf.pdf (Diakses terakhir 13 Oktober 2013).

Sudoyo, Aru W. et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V Jilid II. Jakarta : Interna Publishing.

Sudoyo, Aru W. et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V Jilid III. Jakarta : Interna Publishing.

Tamsuri, Anas. 2008. Klien Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Jakarta : EGC.

22