REFERAT BAB I-II Rinitis Alergi Kronis

50
BAB I PENDAHULUAN Rinitis berasal dari dua kata bahasa Greek “rhin/rhino” (hidung) dan “itis” (radang). Rhinitis berarti radang hidung atau tepatnya radang selaput lendir (membran mukosa) hidung. Rhinitis dapat muncul akut ataupun kronik. Rhinitis kronik yaitu jika radang berlangsung lebih dari 1 bulan (1). Alergi adalah respon jaringan yang berubah terhadap antigen spesifik atau alergen. Hipersensitivitas pejamu bergantung pada dosis antigen, frekuensi paparan, genetik dari individu tersebut, dan kepekaan relatif tubuh pejamu (2). Rinitis alergi adalah radang selaput hidung yang dimediasi antigen IgE dan sel mast. Penyakit tersebut ditandai dengan bersin, hidung tersumbat, rinore jernih dan gatal hidung atau palatal. Penyakit ini juga dapat terjadi bersamaan dengan konjungtivitis alergi (ditandai dengan gatal dan mata berair yang sering 1

description

rinitis alergi dan imunoterapi

Transcript of REFERAT BAB I-II Rinitis Alergi Kronis

Page 1: REFERAT BAB I-II Rinitis Alergi Kronis

BAB I

PENDAHULUAN

Rinitis berasal dari dua kata bahasa Greek “rhin/rhino” (hidung) dan “itis”

(radang). Rhinitis berarti radang hidung atau tepatnya radang selaput lendir

(membran mukosa) hidung. Rhinitis dapat muncul akut ataupun kronik. Rhinitis

kronik yaitu jika radang berlangsung lebih dari 1 bulan (1).

Alergi adalah respon jaringan yang berubah terhadap antigen spesifik atau

alergen. Hipersensitivitas pejamu bergantung pada dosis antigen, frekuensi paparan,

genetik dari individu tersebut, dan kepekaan relatif tubuh pejamu (2).

Rinitis alergi adalah radang selaput hidung yang dimediasi antigen IgE dan

sel mast. Penyakit tersebut ditandai dengan bersin, hidung tersumbat, rinore jernih

dan gatal hidung atau palatal. Penyakit ini juga dapat terjadi bersamaan dengan

konjungtivitis alergi (ditandai dengan gatal dan mata berair yang sering disertai

kemerahan atau bengkak). Rinitis alergi dapat terjadi secara musiman, tahunan,

atau mungkin secara sporadis setelah paparan zat spesifik (2).

Selama tiga dekade terakhir, prevalensi rinitis alergi terus meningkat. Lebih

dari 20% populasi penduduk Inggris dilaporkan mengidap penyakit ini. Angka

prevalensi Rinitis Alergi masing-masing negara berbeda-beda misalnya Thailand

20%, Singapura 15%, Malaysia 17%, sedangkan Indonesia 15%. Ditinjau dari

segi usia Rinitis Alergi tumbuh sejak bayi, terlihat meningkat pada umur 5–10

tahun, dengan puncaknya umur 20 tahun, kemudian menurun pada usia 30 tahun

(3).

1

Page 2: REFERAT BAB I-II Rinitis Alergi Kronis

Pada pasien dengan rinitis alergi sedang berat, ARIA-WHO (Allergic

Rhinitis and its impact on Asthma) merekomendasikan untuk dilakukan

imunoterapi yaitu berupa penyuntikan alergen spesifik berulang secara teratur

dengan dosis meningkat bertahap kepada pasien dengan gejala hipersensitivitas

tipe I, untuk memberikan perlindungan terhadap timbulnya gejala alergi dan

reaksi inflamasi akibat pajanan allergen (4).

Imunoterapi alergen spesifik bertujuan untuk memberikan perlindungan

terhadap timbulnya gejala alergi dan reaksi inflamasi akibat pajanan alergen,

sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien rinosinusitis (4).

2

Page 3: REFERAT BAB I-II Rinitis Alergi Kronis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rinitis Alergi

2.1.1 Definisi

Rinitis Alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi

pada pasien atopi, yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang

sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulang

dengan alergen spesifik tersebut (5).

Definisi menurut WHO ARIA tahun 2008 Rhinitis alergi adalah kelainan

pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rhinorrhea, rasa gatal dan tersumbat

setelah mukosa hidung terpapar alergen karena reaksi hipersensitivitas tipe I yang

diperantarai oleh IgE (6,7).

2.1.2 Anatomi dan Fisiologi

Struktur bagian luar dari hidung terdiri dari kerangka piramida yang

didukung oleh struktur tulang dan tulang rawan yang memberikan proyeksi

hidung dari bidang wajah. Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan

dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya. Pada

dinding lateral terdapat 4 buah konka yaitu konka inferior yang terbesar dan

letaknya paling bawah kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil

lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema yang

biasanya rudimenter. Konka-konka ini, terutama konka inferior cepat merespon

terhadap berbagai rangsangan alergi, nonalergi, dan fisik, merespon mediator

3

Page 4: REFERAT BAB I-II Rinitis Alergi Kronis

inflamasi seperti histamin, jaringan mukosa cepat mengalami vasodilatasi yang

menyebabkan terjadinya edema konka dan menimbulkan hidung tersumbat (5,8).

Lapisan mukosa bagian paling distal rongga hidung terdiri dari epitel,

lapisan tipis keratin, skuamosa berlapis yang membentang kebagian depan rongga

hidung bilateral. Epitel skuamosa ini berisi bulu-bulu halus yang dikenal sebagai

vibrissae, yang terlibat dalam penyaringan partikel-partikel yang lebih besar yang

terbawa saat proses inspirasi. Penyaringan partikel ini terjadi didalam hidung dan

nasofaring (5,8).

Bagian proksimal rongga hidung bagian depan adalah area katup hidung

yang merupakan bagian yang paling sempit dari traktus respiratorius. Resistensi

terhadap aliran udara adalah maksimum di daerah ini, sehingga bila ada resistensi

yang berkepanjangan sering terjadi pernafasan mulut sehingga fungsi

pembersihan udara dan fungsi “pengatur kondisi udara” hidung tidak dijalani.

Resistensi saluran udara bronkial akan meningkat bila selaput lendir hidung dan

nasofaring mengalami iritasi (5,8).

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional

dibagi atas mukosa pernafasan (mukosa respiratorius) dan mukosa penghidu

(mukosa olfaktorius). Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga

hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang

mempunyai silia (cilliated pseudostratified collumnar epithelium), dan

diantaranya terdapat sel-sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara

mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel

skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa respiratori berwarna merah muda dan

4

Page 5: REFERAT BAB I-II Rinitis Alergi Kronis

selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada

permukaannya. Dibawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung

pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid (5,8).

Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas,

arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun

secara paralel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahan pada

anyaman kapiler periglandular dan subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman

kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang besar, yang dindingnya

dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid

mempunyai sfingter otot selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke

pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa

hidung menyerupai jaringan kavernosa yang erektil yang mudah mengembang

dan mengerut, vasodilatasi dan vasokonstriksi pembuluh darah ini dipengaruhi

saraf otonom (5).

Hidung mempunyai empat fungsi utama yaitu 1) Sebagai lokasi epitel

olfaktorius. 2) Saluran udara yang kokoh menuju traktus respiratorius bagian

bawah. 3) Organ yang mempersiapkan udara inspirasi agar sesuai dengan

permukaan paru. 4) Sebagai organ yang mampu membersihkan dirinya sendiri.

Berarti hidung merupakan alat pelindung tubuh terhadap zat-zat yang berbahaya

yang masuk bersama udara pernafasan. Hidung juga berperan sebagai resonator

dalam fonasi, hal ini nyata pada seseorang yang terserang selesma (5,8,9).

5

Page 6: REFERAT BAB I-II Rinitis Alergi Kronis

2.1.3 Epidemiologi

Rinitis alergi mewakili permasalahan kesehatan dunia mengenai sekitar 10–

25% populasi dunia, dengan peningkatan prevalensi selama dekade terakhir.

Rinitis alergi merupakan kondisi kronik tersering pada anak dan diperkirakan

mempengaruhi 40% anak-anak. Di Amerika Serikat prevalensi rinitis alergi

meningkat setelah usia dekade ketiga berkisar antara 20%-30% (10).

Di Indonesia angka kejadian rinitis alergi yang pasti belum diketahui

karena sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian multisenter. Prevalensi

rinitis alergi perennial di Jakarta besarnya sekitar 20%, sedangkan menurut

Sumarman dan Haryanto tahun 1999, didaerah padat penduduk kota Bandung

menunjukkan 6,98%, dimana prevalensi pada usia 12-39 tahun. Berdasarkan

survey dari ISAAC (International Study of Asthma and Allergies in Childhood),

pada siswa SMP umur 13-14 tahun di semarang tahun 2001-2002, prevalensi

rinitis alergi sebesar 18,6%. Data dipoliklinik THT-KL RSU Dr.Soetomo

Surabaya tahun 2006 didapatkan 654 (3,45%) dari 25.254 penderita yang datang

berobat (10).

2.1.4 Etiologi

Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi

genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat

berperan pada ekspresi rinitis alergi. Penyebab rinitis alergi tersering adalah

alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering

disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Rhinitis

alergi dipicu oleh allergen, baik di luar ruangan (outdoor) maupun di dalam

6

Page 7: REFERAT BAB I-II Rinitis Alergi Kronis

ruangan (indoor). Rinitis alergi yang disebabkan oleh alergen outdoor (jamur atau

pohon, rumput dan serbuk sari) sering disebut sebagai alergi musiman, atau "hay

fever". Sedangkan rinitis alergi yang dipicu oleh alergen indoor (bulu binatang,

jamur dalam ruangan, atau tungau). Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau

biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban

udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk tumbuhnya jamur.

Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor

nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau

merangsang dan perubahan cuaca (5,11,12).

2.1.5 Patofisiologi

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan

tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi

terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi

Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam

setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat

(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas)

setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam (5,13).

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi makrofag atau

monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell / APC) akan

menangkap alergen yang menempel dipermukaan mukosa hidung. Setelah

diproses antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan

molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Mayor

Histocompatibility Complex), yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper

7

Page 8: REFERAT BAB I-II Rinitis Alergi Kronis

(Th 0), kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1)

yang akan mengaktifkan Th 0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2

akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, dan IL 13. IL4 dan IL

13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit

B menjadi aktif dan akan memproduksi Immunoglobulin E (IgE). IgE disirkulasi

darah akan masuk ke jaringan dan di ikat oleh reseptor IgE di permukaan sel

mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses

ini disebut Sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila

mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka ke-2

rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya

dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang

sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga

dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain Prostaglandin D2 (PG D2),

Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), Bradikinin, Platelet Activating

Factor (PAF) dan berbagai Sitokin (IL3, IL4, IL5, IL6), GM-CSF (Granulocyte

macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai

Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) (5,13).

Histamin akan merangsang reseptor H-1 pada ujung saraf vidianus

sehingga menimbulkan rasa gatal di hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan

menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan

permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah

hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung

8

Page 9: REFERAT BAB I-II Rinitis Alergi Kronis

saraf vidianus juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga

terjadi pengeluaran Intercellular Adhesion Molecule 1(ICAM 1) (5,10,13).

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang

menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respon ini

akan berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak

6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan

jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil, dan mastosit di

mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte

Macrophage Colony Stimulating Factor (GM CSF) dan ICAM 1 pada sekret

hidung. Timbulnya gejala hipereaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat

peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic

Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Mayor Basic

Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini , selain faktor

spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala

seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara

yang tinggi (5,6,9,10,14).

9

Page 10: REFERAT BAB I-II Rinitis Alergi Kronis

Gambar 2.1. Mekanisme Imunologik pada Rhinitis Alergi

2.1.6 Klasifikasi

Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO ARIA

(Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma ) tahun 2008, yaitu berdasarkan sifat

berlangsungnya dibagi menjadi (5,6,7,10) :

1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau

kurang dari 4 minggu.

2. Persisten (menetap) : bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4

minggu.

Berdasarkan tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi

(5,6,7,10) :

1. Ringan : bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,

bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang

mengganggu.

2. Sedang-Berat : bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

10

Page 11: REFERAT BAB I-II Rinitis Alergi Kronis

2.1.7 Diagnosis

a. Anamnesis

Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi

dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis

saja. Gejala rhinitis alergi yang khas ialah, terdapatnya serangan bersin berulang.

Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau

bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme

fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin ini

terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai

akibat dilepaskannya histamine. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer

dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang

disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Seringkali gejala yang timbul

tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat

merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien

(5).

b. Pemeriksaan Fisik

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwara pucat atau

livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa

inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila

fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap

di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi

hidung (allergic shiner). Selain itu sering anak menggosok-gosok hidung karena

gatal dengan punggung tangan (allergic salute). Keadaan menggosok hidung in

11

Page 12: REFERAT BAB I-II Rinitis Alergi Kronis

lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi

bagian sepertiga bawah (allergic crease). Mulut sering terbuka dengan lengkung

langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan perumbuhan gigi

geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema

(cobblestone appereance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak

seperti gambaran peta (geographic tounge) (5).

c. Pemeriksaan Penunjang

In vitro :

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian

pula pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila

tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain alergi

juga menderita asma bronchial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk

prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan

derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik

dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno

Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat

memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan lengkap.

Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi

inhalan. Jika basofil >5sel/lap mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan

jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.

In vivo:

Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji

intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point

12

Page 13: REFERAT BAB I-II Rinitis Alergi Kronis

Titration/SET), SET dilakukan untuk allergen inhalan dengan menyuntikkan

allergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan

SET, selain allergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk

desensitisasi dapat diketahui.

Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan

adalah Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai

baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test).

Alergen inhalan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari.

Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien

setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet

eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu

ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.

13

Page 14: REFERAT BAB I-II Rinitis Alergi Kronis

2.1.8 Penatalaksanaan

Gambar 2.2 Algoritma Penatalaksanaan Rhinitis Alergi menurut WHO initiative ARIA 2008 (7).

Penatalaksanaan utama rinitis alergi terdiri dari 4 kategori pengobatan,

yakni (5,7,8,9):

1. Langkah-langkah pengendalian lingkungan dan menghindari alergen

Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen

penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. Yakni dengan menghindari alergen yang

14

Page 15: REFERAT BAB I-II Rinitis Alergi Kronis

sudah dikenal (zat yang dapat menimbulkan IgE-mediated hypersensitivity pada

pasien) dan menghindari alergen nonspesifik (Paparan asap rokok, parfum dengan

aroma yang kuat, asap, perubahan suhu yang cepat, dan polusi luar ruangan),

iritan serta faktor pemicu.

2. Manajemen farmakologis

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja

secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat

farmakologik paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi.

Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan

secara per oral Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin

generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non sedative). Anti histamine generasi-1

bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek

pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk

kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin,

siproheptadin sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin.

Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah

otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek

antikolinergik, antiadrenergik dan efek pada SSP minimal (non-sedatif).

Antihistamin diabsorpsi secara oral denagn cepat dan mudah serta efektif untuk

mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak

efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin

non sedative dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut keamanannya. Kelompok

pertama adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik.

15

Page 16: REFERAT BAB I-II Rinitis Alergi Kronis

Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda

dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian

mendadak (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin,

setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin.

Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergic alfa dipakai sebagai

dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau

topical. Namun pemakaian secara topical hanya boleh untuk beberapa hari saja

untuk menghindari terjadinya rhinitis medikamentosa.

Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat

respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai

adalah kortikosteroid topical (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason,

mometason furoat, dan triamsinolon). Kortikosteroid topical bekerja untuk

mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran

protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah

bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif

terhadap rangsangan allergen (bekerja pada respons fase cepat dan lambat).

Preparat sodium kromoglikat topical bekerja menstabilkan mastosit (mungkin

menghambat ion kalsium) sehingga pengelepasan mediator dihambat. Pada

respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan

menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat

dicapai bila diberikan sebagai profilaksis.

Preparat antikolinergik topical adalah ipratropium bromide, bermanfaat

untuk mengatasi rinore, karena aktivitas inhibisi reseptor kolinergik pada

16

Page 17: REFERAT BAB I-II Rinitis Alergi Kronis

permukaan sel efektor. Pengobatan baru lainnya untuk rhinitis alergi adalah anti

leukotrien (zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan.

3. Operatif

Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),

konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila

konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara

kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.

4.Imunoterapi

Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat

dan sudah berlagsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan

hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG

blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum

dilakukan yaitu intradermal dan sub-lingual.

3.1 Imunoterapi

3.1.1 Definisi

Definisi imunoterapi alergi adalah pemberian berulang alergen spesifik

yang sudah diketahui, pada keadaan atau penyakit yang diperantarai

imunoglobulin E, yang bertujuan sebagai pencegahan dan perlindungan dari

gejala alergi dan reaksi inflamasi yang berhubungan dengan pajanan alergen (13).

Imunoterapi untuk penyakit alergi disebut juga sebagai imunoterapi

spesifik karena metode ini memberikan ekstrak alergen yang sensitif pada

penderita untuk merubah atau menghilangkan gejala alergi. Prosesnya spesifik

17

Page 18: REFERAT BAB I-II Rinitis Alergi Kronis

karena pengobatan ini ditujukan pada alergen yang diketahui oleh penderita dan

dokter sebagai penyebab gejala alergi. Keputusan untuk melakukan imunoterapi

diperlukan pemeriksaan yang teliti mengenai keadaan penderita dan peran dari

allergen (15).

3.1.2 Sejarah Imunoterapi

Noon dan Freeman melaporkan Imunoterapi Alergen untuk pertama kali

pada tahun 1910 dan melakukan pembuatan ekstrak grass polen dan disuntikkan

dengan dosis yang meningkat pada penderita rinitis alergi. Sejak itu digunakan

selama kurang lebih 90 tahun untuk mengobati penyakit alergi yang disebabkan

oleh alergen inhalasi dan ternyata efektif pada rinitis dan juga asma alergi, tetapi

tidak diindikasikan pada alergi makanan. Cooke dari Amerika Serikat tahun 1918

melaporkan suatu kondisi alergi seperti Hay fever dan asma yang berasal dari

antibodi yang timbul setelah pajanan agen sensitizing. Cooke pada tahun 1922

juga mengemukakan metode hiposensitisasi untuk mengobati pasien alergi dan

hal ini yang berkembang menjadi imunoterapi sampai saat ini. Cooke tahun 1935

mengemukakan konsep antibodi penghalang (blocking antibody) yang meningkat

pada pemberian imunoterapi. Tahun 1967 pertamakali dikemukan nama

immunoglobulin E (IgE) oleh Ischikawa dan tahun 1977 Yungiger dan Gleich

mengemukakan bahwa terjadi kenaikan titer IgE pada saat musim semi dan terjadi

penurunan apabila musim tersebut berganti (15,16).

3.1.3 Mekanisme Kerja Imunoterapi

Prinsip pertama dari imunoterapi adalah bahwa efektifitas klinis

tergantung dosis, dosis minimal tertentu dari ekstrak alergen harus diberikan

18

Page 19: REFERAT BAB I-II Rinitis Alergi Kronis

untuk mendapatkan suatu kontrol gejala yang efektif. Ekstrak alergen ini dibuat

dengan proses yang khusus dengan mencampurkan sumber material alergen

(pollen, mold spores, dust mites, animal pelt) pada cairan buffer untuk

mengekstraksi komponen yang larut dalam air. Pada saat ini banyak ekstrak

alergen komersial dibawah lisensi FDA yang dijual dipasaran (16,17).

Efek terapi meningkat bersamaan dengan lamanya pengobatan. Perbaikan

yang nyata biasanya baru tampak setelah terapi diberikan 6 bulan atau lebih.

Diperlukan waktu yang cukup panjang untuk menaikkan dosis alergen yang

terkecil yang ditoleransi sampai konsentrasi 10.000 kali untuk mencapai kadar

yang memberi efek klinis dan imunologis. Efek klinis terus meningkat sampai

beberapa tahun setelah penyuntikkan dihentikan. Lamanya penyuntikan ini perlu

dibicarakan dengan pasien dan keluarganya sebelum memulai terapi. Pemberian

dosis meningkat umumnya dilakukan tiap minggu, namun ada juga yang

memberikan dengan cara setiap hari dalam seminggu, dilanjutkan 1 minggu

istirahat kemudian disusul seminggu setiap hari. Cara ini disebut semi rush

protocol. Ada juga yang memberikan semua peningkatan dosis sampai rumatan

dalam 1 hari. Cara ini disebut sebagai rush protocol (16,17).

Sebagian besar gejala pasien berkurang, dan imunoterapi hanya

mengurangi beratnya gejala tetapi tidak menghilangkannya. Reaksi anafilaksis

yang bersifat sistemik sering dilaporkan, tetapi biasanya ringan. Reaksi ini sangat

mungkin terjadi oleh karena pasien diberikan alergen yang berdasarkan

pemeriksaan RAST dan tes kulit memang sensitif, serta diberikan penyuntikan

secara berulang. Jadi untuk mengantisipasi terjadinya reaksi anafilaksis pasien

19

Page 20: REFERAT BAB I-II Rinitis Alergi Kronis

harus menunggu 20-30 menit, baru boleh pulang. Penelitian sedang dilakukan

dengan penambahan ajuvan untuk meningkatkan efektivitas dari imunoterapi, dan

memodifikasi alergen untuk mengurangi resiko reaksi anafilaksis yang berat

misalnya secara sublingual (16,17).

Gambar 3.1 Mekanisme Imunoterapi, dikutip Allergology International Journal

Mekanisme dan cara kerja yang pasti dari imunoterapi belum diketahui.

Beberapa mekanisme imunoterapi telah dikemukakan untuk menerangkan

keberhasilan imunoterapi yaitu, Induksi pembentukan IgG (blocking antibody),

penurunan produksi IgE, penurunan pengerahan sel efektor, perubahan

keseimbangan sitokin (pergeseran dari Th2 ke Th1), induksi terjadinya sel T

regulator, anergi sel T. Atopi adalah peningkatan sensitivitas sebagai hasil

peningkatan antibodi IgE spesifik terhadap alergen lingkungan yang umum seperti

tungau, serbuk sari, atau bulu hewan. Pajanan berulang terhadap alergen secara

20

Page 21: REFERAT BAB I-II Rinitis Alergi Kronis

bermakna akan meningkatkan prevalensi asma. Imunoterapi bekerja pada

antibodi spesifik terhadap alergen. IgE spesifik meningkat sementara pada awal

pemberian imunoterapi, tetapi menurun setelah dosis rumatan. Reaksi cepat kulit

menurun setelah imunoterapi tetapi sangat kecil perannya dalam perbaikan klinis.

Dipihak lain, reaksi lambat pada uji kulit menurun secara nyata setelah

imunoterapi. Imunoterapi juga menginduksi IgG spesifik terhadap alergen,

berfungsi untuk meniadakan respons alergi walaupun terdapat korelasi lemah

dengan perbaikan klinis. IgG terutama meningkat berkorelasi dengan peningkatan

dosis (14,15,18,19,20).

Imunoterapi rupanya mempunyai efek modulasi pada sel T, hal ini

menerangkan mengapa gejala klinis dan reaksi lambat sangat ditekan walaupun

penurunan antibodi tidak menurun bermakna. Berdasarkan hal ini beberapa

formula baru imunoterapi telah dirancang dengan menggunakan peptide sel T

atau bentuk konjugasi alergen untuk menggeser sitokin kearah pola Th1.

Imunoterapi spesifik sangat efektif untuk rinitis alergi jika penyebabnya terbatas.

Seperti penggunaan untuk penyakit lain, sangat penting dilakukan pemilihan

pasien yang tepat. Efektifitas imunoterapi terhadap rinitis alergi musiman

(Seasonal Allergic Rhinitis) terutama yang gagal pengobatan konvensional, telah

banyak dibuktikan pada beberapa penelitian. Data yang telah ada menunjukkan

bahwa pemberian imunoterapi selama 3 tahun pada rinitis alergika cukup efektif

memberi penyembuhan, dan khasiatnya masih bertahan sampai 6 tahun setelah

imunoterapi dihentikan. Hal ini sangat kontras dengan pengobatan konvensional

yang biasanya berhenti khasiatnya begitu pengobatan dihentikan (16,17).

21

Page 22: REFERAT BAB I-II Rinitis Alergi Kronis

Kegunaan imunoterapi untuk rinitis alergi perennial kurang memuaskan

dibanding rinitis alergi musiman. Hal ini mencerminkan lebih kompleksnya faktor

penyebab rinitis alergi perennial. Selain alergi, ada penyebab lain yaitu instabilitas

vasomotor, infeksi, dan, sensitifas terhadap aspirin. Beberapa penelitian

membuktikan adanya perbaikan toleransi terhadap paparan dengan bulu kucing,

baik melalui uji provokasi maupun klinis. Terdapat peningkatan kadar IgG

spesifik terhadap alergen dalam bulan-bulan pertama imunoterapi. Diperkirakan

alergen spesifik IgG ini berfungsi sebagai blocking antibodi dengan menghalangi

antigen berikatan dengan IgE. Imunoterapi juga berperan pada keseimbangan

aksis Th1/Th2, dengan bergeser kearah Th1. Seperti diketahui fenotipe interleukin

Th2 dihubungkan dengan peningkatan penyakit alergi, dan produksi interleukin

Th1 berpengaruh pada proteksi. Imunoterapi juga mempunyai pengaruh pada sel

mast, basofil dan eosinofil. Terdapat penurunan yang sangat menyolok dari sel

mast dan basofil, juga terjadi penurunan eosinofil dari sekresi nasal dan spesimen

bronchial (16,18).

3.1.4 Efektivitas Imunoterapi pada Rinitis Alergi

Pada penelitian yang dilakukan Yuwan Pradana dkk tentang Efektivitas

Imunoterapi terhadap Gejala, Temuan Nasoendoskopik dan Kualitias Hidup Paien

Rinosinusitis Alergi didapatkan hubungan bermakna berdasarkan uji chi-kuadrat-

Friedman antara imunoterapi selama 1 tahun (p<0,005) terhadap penurunan

tingkat berat penyakit, penurunan gejala hidung, perbaikan temuan

nasoendoskopi, penurunan penggunaan obat, serta peningkatan kualitas hidup.

Didapatkan perbaikan secara bermakna terhadap penyakit, penurunan 3 bulan

22

Page 23: REFERAT BAB I-II Rinitis Alergi Kronis

pasca imunoterapi (p<0,0001) berdasarkan uji beda Wilcoxon. Kesimpuan

daripenelitian tersebut imunoterapi selama 1 tahun efektif terhadap penurunan

tingkat berat penyakit, penurunan gejala hidung, perbaikan temuan

nasoendoskopi, penurunan penggunaan obat, serta peningkatan kualitas hidup

pada pasien rinosinusitis alergi, dengan perbaikan sejak 3 bulan dan bertahan

hingga 1 tahun pasca imunoterapi (15).

3.1.5 Indikasi dan Kontraindikasi Imunoterapi

Menurut panduan Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) yang

dirumuskan oleh 34 ahli yang bertemu pada bulan Desember 1999 di Jenewa,

indikasi imunoterapi adalah untuk penyandang rhinitis atau asma alergi yang

disebabkan oleh alergen spesifik. Alergen yang diberikan tersebut telah dijamin

efektivitas dan keamanannya melalui penelitian klinis. Imunoterapi juga

diindikasikan sebagai profilaksis untuk pasien yang sensitif terhadap alergen

selama musim pollen atau perrenial (21).

Imunoterapi pada rinitis alergi hanya diberikan bilamana telah dilakukan

penghindaran alergen dan iritan secara maksimal, dan pemberian medikamentosa

secara benar dan optimal, terutama oleh karena lamanya terapi. Imunoterapi pada

rinitis alergi telah terbukti sangat efektif baik untuk rinitis alergi yang intermiten

maupun persisten. Lamanya terapi biasanya antara 3-5 tahun, dan biasanya gejala

tetap membaik walaupun pengobatan telah dihentikan (21).

Imunoterapi pada rinitis alergi hanya diberikan bilamana telah dilakukan

penghindaran alergen dan iritan secara maksimal, dan pemberian medikamentosa

secara benar dan optimal, terutama oleh karena lamanya terapi. Imunoterapi pada

23

Page 24: REFERAT BAB I-II Rinitis Alergi Kronis

rinitis alergi telah terbukti sangat efektif baik untuk rinitis alergi yang intermiten

maupun persisten. Lamanya terapi biasanya antara 3-5 tahun, dan biasanya gejala

tetap membaik walaupun pengobatan telah dihentikan.

Kontra indikasi relatif imunoterapi adalah sebagai berikut (14,16):

1. Anak dibawah usia 5 tahun

2. Keadaan hamil sebaiknya tidak dimulai imunoterapi, akan

tetapi bila imunoterapi telah dilakukan sebelum kehamilan

maka dapat diteruskan .

3. Penyakit imunopatologik seperti pneumonitis hipersensitif

termasuk aspergilosis bronkopulmoner alergi

4. Keadaan imunodefisiensi yang berat

5. Keganasan

6. Kelainan psikiatri yang berat

7. Pengobatan dengan penyekat beta, karena reaksi anafilaksis

keadaan akan memberat dan sulit diatasi dengan cara

konvensional

8. Pasien tidak patuh

9. Pasien mengalami efek samping yang berat yang berulang

selama terapi

10. Asma berat yang tidak terkontrol dengan farmakoterapi

11. Penyakit kronik saluran pernafasan dengan volume ekspirasi

paksa detik- 1(VEP1) < 70% prediksi walaupun telah

mendapatkan farmakoterapi yang optimal

24

Page 25: REFERAT BAB I-II Rinitis Alergi Kronis

12. Pasien dengan penyakit kardiovaskuler berat yang

disebabkan oleh efek anafilaksis terhadap miokardium.

Hipotensi dan vasokonstriksi pulmoner akan menambah

beban jantung juga perfusi miokardium sendiri akan

berkurang.

3.1.6 Jenis Imunoterapi

Jenis-jenis Imunoterapi Alergen Spesifik (17):

a). Subcutaneous conventional immunotherapy

b). Subcutaneous cluster immunotherapy

c). Subcutaneous rush immunotherapy

d). Subcutaneous ultra rush immunotherapy

e). Immunotherapy Sublingual swallow

f). Intra nasal immunotherapy

Cluster schedules immunotherapy (skedul tandan) ditandai dengan 2 atau

lebih penyuntikan diberikan pada satu kunjungan, sehingga untuk mencapai dosis

pemeliharaan waktu lebih cepat dapat dicapai dibanding skedul konvensional

(Summary) (18).

Rush immunotherapy (Imunoterapi sangat cepat) adalah rancangan

imunoterapi (15) :

1) Dosis peningkatan dipercepat

2) Pemberian tambahan dosis alergen berulang bertingkat pada

setiap kunjungan dengan interval waktu suntikan bervariasi

antara 15 dan 60 menit.

25

Page 26: REFERAT BAB I-II Rinitis Alergi Kronis

3) Interval waktu kunjungan 1 sampai 3 hari sampai target dosis

terapeutik/ pemeliharaan dicapai.

4) Dosis pemeliharaan dimungkinkan tercapai dalam waktu 6

hari, namun pasien memerlukan perawatan di rumah sakit,

karena lebih sering diikuti reaksi sistemik.

Ultra rush immunotherapy schedules telah dikerjakan pada

hipersensitifitas sengatan serangga untuk mencapai dosis pemeliharaan dalam

waktu lebih singkat (3,5 sampai 4 jam). Local nasal aeroallergen immunotherapy,

merupakan bentuk imunoterapi alternatif yang menggunakan larutan alergen yang

disemprotkan ke mukosa hidung dengan interval waktu tertentu. Efek samping

yang timbul berupa pruritus, kongesti dan bersin. Belum ada penelitian yang

merekomendasikan bentuk ini sebagai salah satu imunoterapi (16,17).

Sublingual Immunotherapy, adalah cara lain imunoterapi.

Sebagai alternatif pemberian yang lebih aman dan nyaman bagi pasien adalah

ekstrak tumbuhan yang dicampur dengan alergen dan diberikan secara oral atau

sublingual. Cara kerja imunoterapi sublingual adalah dengan mengubah respons

limfosit T terhadap alergen. Pemberian imunoterapi sublingual ternyata lebih

hemat, lebih aman, dan nyaman bagi pasien serta tidak memerlukan supervise

medis dalam pelaksanaan tetapi efektifitasnya lebih rendah daripada imunoterapi

suntikan (20,22,23).

3.1.7 Prosedur Pemberian

Keputusan untuk memberikan imunoterapi berdasarkan kriteria pemilihan

pasien yang tepat, antigen yang tepat dan dilakukan hanya oleh tenaga medis yang

26

Page 27: REFERAT BAB I-II Rinitis Alergi Kronis

telah mendapat pelatihan dan pengalaman dalam bidang imunoterapi. Untuk

persiapan pasien dapat mengikuti petunjuk dibawah ini (16):

1) Identifikasi pasien, kehadiran, memanggil nama lengkap dan mencocokkan

tanggal lahir atau nomor pasien.

2) Apakah ada riwayat terjadi reaksi pada pemberian terakhir.

3) Terapkan aturan “3 benar” yaitu: kartu (chart) yang benar, antigen benar,

pasien benar

4) Triple check antigen, yakni: label, nama pasien, isi pengenceran, tanggal

kadaluarsa, tanggal penyuntikan terakhir.

Sebelum melakukan imunoterapi, harus memahami sebagai berikut:

a. Cara penyesuaian dosis untuk meminimalkan reaksi

b. Cara penatalaksanaan reaksi lokal dan sistemik

c. Telah mendapat pelatihan resusitasi jantung paru

d. Memiliki alat resusitasi termasuk stetoskop, sfigmomanometer, jarum

suntik, epinefrin, antihistamin, steroid, oksigen, oral airway, cairan

intravena, set infuse, set trakeotomi, nebulizer, dan obat bronkodilator

inhalasi.

Langkah melakukan imunoterapi sebagai berikut (16,17):

1. Diberikan dengan cara suntikan subkutan pada regio deltoid secara

bergantian pada periode imunoterapi. Dengan menggunakan semprit 0,5-1,0

ml untuk pengukuran yang akurat jumlah antigen yang masuk dan jarum 27

G untuk kenyamanan pasien, Jarum disuntikkan dan setelah masuk pada

posisi subkutan jarum diaspirasi. Apabila darah teraspirasi maka semprit

27

Page 28: REFERAT BAB I-II Rinitis Alergi Kronis

tersebut harus dibuang dan prosedur dimulai lagi dari awal. Semprit yang

digunakan harus berbeda untuk setiap pasien untuk mencegah penularan

penyakit infeksi. Setelah penyuntikan pasien diminta menunggu selama 20-

30 menit untuk mengantisipasi reaksi sistemik yang mungkin muncul dalam

periode tersebut. Pasien dengan derajat hipersensitivitas tinggi harus

diobservasi selama 30 menit atau lebih.

2. Ekstrak alergen dapat diberikan secara tunggal atau dicampur (idealnya

kurang dari 10 jenis alergen), akan tetapi campuran ini akan mengencerkan

kadar setiap alergen dan dapat mengurangi respons terhadap imunoterapi.

3. Jenis alergen yang diberikan tergantung penilaian klinisi didasarkan pada

jenis alergen yang memberi hasil positif pada uji kulit dan yang

menimbulkan gejala klinis bila terpajan. Jenis alergen yang dapat diberikan

secara injeksi subkutan adalah bermacam jenis serbuk sari (pollen), tungau

debu rumah dan bulu kucing.

4. Imunoterapi dapat diberikan satu sampai dua kali seminggu dengan dosis

awal dimulai dengan 0,05 ml alergen konsentrasi 1:10.000 sampai

1:1.000.000 berat/volume (wt/vol) ditingkatkan sampai tercapai dosis

pemeliharaan yaitu 0,05 ml alergen konsentrasi 1:100. Lama penyuntikan 6-

10 bulan untuk mencapai dosis pemeliharaan.

5. Dosis pemeliharaan diberikan dalam interval 2-4 minggu selama 3-5 tahun

dan berdasarkan penelitian, cukup untuk memberikan perlindungan jangka

panjang pada hampir semua pasien (cara lambat).

28

Page 29: REFERAT BAB I-II Rinitis Alergi Kronis

6. Pemberian imunoterapi dengan cara cepat, dilakukan dengan menyuntikkan

alergen 4 kali sehari dengan interval ½ jam dan diulang setelah 2 minggu.

Respons antibodi yang diinginkan terjadi setelah 5 kali kunjungan.

7. Cara Cluster merupakan modifikasi cara lambat dan cara cepat dengan

memberikan 2-4 kali suntikan dalam sehari, diulang setelah 1-2 minggu

sampai dosis maksimal dan dipertahankan dengan dosis pemeliharaan.

3.1.8 Dosis dan Cara Pemberian

Prinsip dasarnya adalah dosis permulaan yang diberikan adalah 1/10 dari

dosis yang menimbulkan reaksi tes kulit positif, dan dosis dinaikkan sedikit demi

sedikit setiap minggunya sampai mencapai 1000-10.000 kali dosis awal yang

masih ditoleransi. Biasanya memerlukan waktu sedikitnya 6 bulan dengan

penyuntikan 1 minggu sekali untuk mencapai dosis pemeliharaan. Kalau terjadi

reaksi sistemik, maka dosis yang lebih rendah menjadi dosis maksimum yang

dapat ditoleransi. Sekali dosis pemeliharaan tercapai, biasanya terapi akan

dilanjutkan dalam 3 tahun atau lebih. Kalau seorang anak sudah dapat

mentoleransi paparan alergen tanpa menimbulkan serangan, maka imunoterapi

dapat dihentikan (16,17,19,21).

Pasien yang menjalani dosis pemeliharaan imunoterapi perlu (17):

1) Kontrol ulang sekurang-kurangnya 6 atau 12 bulan.

2) Kontrol periodik perlu meliputi pengukuran gejala, dan penggunaan obat-

obatan, riwayat penyakit sejak kontrol terakhir dan evaluasi klinis

imunoterapi.

29

Page 30: REFERAT BAB I-II Rinitis Alergi Kronis

3) Dipertimbangkan dosis dan rancangan imunoterapi, dicatat riwayat reaksi

imunoterapi dan ketaatan pasien.

4) Pada keadaan seperti adanya reaksi sistemik dan pasien kurang taat, perlu

mempertimbangkan kembali rancangan imunoterapi.

5) Belum ada petanda spesifik sebagai penduga siapa yang akan tetap dalam

kondisi remisi klinis setelah penghentian imunoterapi yang efektif.

6) Beberapa pasien akan tetap dalam keadaan remisi seperti gejala-gejala

terakhir pada saat penghentian alergen imunoterapi.

7) Seperti halnya pada keputusan mulai menjalani imunoterapi, keputusan

untuk menghentikan imunoterapi juga harus bersifat individualistic.

8) Memperhatikan faktor-faktor tingkat beratnya penyakit sebelum

pengobatan, manfaat pengobatan yang terus menerus (sustained), dan

penggangguan (inconvenience) dari imunoterapi pada pasien tertentu.

9) Efek potensial kekambuhan klinis yang mungkin terjadi pada pasien.

10) Lamanya imunoterapi harus individual berdasarkan : Respon klinis pasien

terhadap imunoterapi, beratnya penyakit terhadap imunoterapi, riwayat

respon klinis pasien, riwayat reaksi imunoterapi dan tergantung keinginan

maupun keputusan pasien.

3.1.9 Efek Samping

Efek samping setelah imunoterapi bisa berupa reaksi lokal maupun

sistemik. Suatu penelitian melaporkan bahwa 3 sampai 7% pasien dapat

mengalami reaksi sistemik, dimana reaksi sistemik dapat ringan atau berat

(anafilaksis) dan dapat terjadi pada setiap 250 sampai 1600 penyuntikan,

30

Page 31: REFERAT BAB I-II Rinitis Alergi Kronis

umumnya reaksi berat sistemik terjadi dalam waktu 30 menit setelah suntikan,

tetapi dapat juga terjadi setelah 30 menit, sekitar 40-70% dapat mengenai saluran

pernafasan (stridor, rinitis, mengi) dan hampir 10% disertai hipotensi. Reaksi yang

fatal dapat terjadi pada 1:2 juta atau 1:3 juta suntikan. Reaksi yang tersering

terjadi pada waktu pemberian dosis pemeliharaan. Reaksi lebih sering terjadi pada

anak remaja dan pada waktu pajanan terhadap alergen tinggi. Faktor resiko untuk

terjadinya reaksi berat antara lain asma berat, usia kurang dari 5 tahun dan

penggunaan beta bloker. Untuk alasan ini, penyuntikan harus dilakukan di fasilitas

kesehatan dan oleh orang yang mengetahui dan dapat mengenali dan mengatasi

reaksi sistemik anafilaksis. Harus tersedia fasilitas minimal untuk resusitasi.

Setelah penyuntikan, pasien harus menunggu selama 30 menit, dan diawasi bila

tampak tanda reaksi alergi. Penyuntikan sebaiknya tidak dilakukan dirumah

(16,17).

Reaksi lokal yaitu kemerahan dan pembengkakan (urtikaria) pada tempat

suntikan yang menimbulkan sedikit keluhan. Pengobatan dengan melakukan

kompres dingin, pemberian antihistamin oral, steroid topikal dan pengurangan

dosis. Reaksi vasovagal meliputi penurunan tekanan darah dengan perlambatan

frekuensi nadi, kulit menjadi dingin atau hangat disertai pengeluaran keringat

tanpa timbul urtikaria atau angioedema. Reaksi vasovagal tidak memerlukan

pengobatan dan modifikasi dosis karena segera memberi respon dengan

menelentangkan pasien. Adrenalin merupakan pengobatan pilihan pada

anafilaksis, lebih baik diberikan secara intramuskular, walaupun suntikan

subkutan juga dapat diterima. Antihistamin dan kortikosteroid sistemik

31

Page 32: REFERAT BAB I-II Rinitis Alergi Kronis

merupakan pengobatan sekunder, yang mampu menolong memodifikasi reaksi

sistemik, tetapi tidak boleh menggantikan epinefrin pada pengobatan anafilaksis.

Infus NaCl fisiologis atau pemberian oksigen perlu diberikan pada kasus berat

(16).

Dosis imunoterapi dan tahapannya harus dievaluasi setelah terjadinya

reaksi sistemik terinduksi alergen spesifik imunoterapi. Setelah reaksi sistemik,

untuk beberapa pasien dosis pemeliharaan imunoterapi perlu dikurangi karena

dapat terjadi reaksi sistemik berulang akibat imunoterapi. Bahkan setelah reaksi

sistemik berat, pertimbangkan penghentian imunoterapi (16).

32