referat

40
BAB I LAPORAN KASUS I. IDENTITAS PASIEN Nama : An. F A Umur : 6 tahun Jenis Kelamin : Perempuan Suku : Jawa Agama : Islam Alamat : Taman Alamanda, Blok ED 1 No. 09, RT/ RW 03, Mustika Sari Pekerjaan : Pelajar Sekolah Dasar kelas 1 II. ANAMNESIS Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis, dengan ibu pasien, pada hari Kamis, 20 September 2012 pukul 10.05 WIB Keluhan Utama : Amandel membesar sejak 3 tahun yang lalu Keluhan Tambahan : - Tidur mengorok sejak 1 tahun sebelum datang ke Poli THT - Sulit makan sejak 1 tahun sebelum datang ke Poli THT disertai berat badan sulit naik - Rasa kering dan menganjal pada tenggorokan sejak kurang lebih 2 bulan yang lalu 1

description

Tonsilitis Kronis (Case Tonsilitis Kronis Eksaserbasi Akut)

Transcript of referat

BAB ILAPORAN KASUSI. IDENTITAS PASIEN Nama

: An. F A Umur

: 6 tahun

Jenis Kelamin: Perempuan

Suku

: Jawa

Agama

: Islam

Alamat

: Taman Alamanda, Blok ED 1 No. 09, RT/ RW 03, Mustika Sari

Pekerjaan: Pelajar Sekolah Dasar kelas 1II. ANAMNESISAnamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis, dengan ibu pasien, pada hari Kamis, 20 September 2012 pukul 10.05 WIB

Keluhan Utama :Amandel membesar sejak 3 tahun yang laluKeluhan Tambahan :

Tidur mengorok sejak 1 tahun sebelum datang ke Poli THT

Sulit makan sejak 1 tahun sebelum datang ke Poli THT disertai berat badan sulit naik Rasa kering dan menganjal pada tenggorokan sejak kurang lebih 2 bulan yang lalu Demam disertai bengkak pada leher 3 hari yang laluRiwayat Penyakit Sekarang :

Pasien dibawa oleh ibunya ke Poli THT RSUD Bekasi berdasarkan anjuran dokter Puskesmas dengan keluhan amandel membesar sejak 3 tahun yang lalu. Ibu pasien juga mengeluhkan pasien sering tidur mengorok dan tidak mau makan sejak 1 tahun yang lalu disertai berat badan yang tidak dan susah bertambah, pasien juga sering terlihat mengantuk pada siang hari. Ibu pasien menyangkal adanya riwayat pasien terbangun atau gelisah saat tidur. Ibu pasien juga menyangkal adanya gangguan akademis pada pasien dan adanya bau mulut pada pasien.

Pasien mengalami demam 4 hari sebelum datang ke Poli. Demam timbul mendadak dan tinggi diukur dengan punggung tangan ibu pasien, demam tidak disertai menggigil, keringat, dan mengigau. Demam tidak disertai batuk pilek. Selain itu ditemukan bengkak pada bagian leher kanan kiri bagian atas. Pasien dibawa ke Puskesmas oleh ibu pasien dan diberi obat- obatan yang tidak diingat oleh ibu pasien. Pasien dianjurkan untuk konsultasi ke dokter spesialis THT saat sudah tidak demam. Setelah 2 hari diberi obat- obatan, demam dan bengkak hilang.

Pasien mengeluhkan adanya rasa mengganjal dan kering pada tenggorokan sejak kurang lebih 2 bulan yang lalu. Pasien menyangkal adanya demam, nyeri tenggorok, nyeri menelan, nyeri telinga, batuk pilek, napas berbau, suara serak, sesak napas. Pasien juga menyangkal riwayat terbangun saat tidur akibat sesak napas.Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien sering mengalami nyeri tenggorok dan nyeri menelan disertai perbesaran amandel, demam dan batuk pilek hilang timbul sejak pasien berusia 3 tahun. Gejala berlangsung lebih dari 3x dalam setahun selama 3 tahun berturut- turut. Gejala membaik setelah pasien dibawa dan diobati ke Puskesmas.

Pasien didiagnosa amandel besar oleh dokter Puskesmas sejak 3 tahun lalu

Pasien menyangkal adanya riwayat alergi obat, makanan, debu dan bersin- bersin pagi hari.

Pasien menyangkal adanya riwayat asma.Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama.Riwayat Kebiasaan :

Pasien mengaku memiliki kebiasaan minum es dan mengonsumsi makanan ringan seperti chiki.III. PEMERIKSAAN FISIKA. STATUS GENERALISKeadaan umum: Tampak sakit ringan

Kesadaran

: Compos Mentis

Tekanan darah

: Tidak diperiksa Frekuensi nadi

: 96x/menit

Frekuensi nafas: 20x/menit

Suhu

: 36.6 CBerat badan

: 16 kg

Pemeriksaan sistemik Mata

: Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Leher

: Tidak ditemukan pembesaran KGB

Paru

: Dalam batas Normal

Jantung

: Dalam batas normal

Abdomen

: Dalam batas normal

Extremitas

: Tidak ditemukan kelainanB. STATUS THTPemeriksaan telinga

PemeriksaanKelainanDextraSinistra

Kel. Kongenital--

Trauma--

Radang--

Daun TelingaKel. Metabolik--

Nyeri Tarik--

Nyeri Tekan Tragus--

LapangLapangLapang

Sempit--

Dinding LiangHiperemis--

TelingaEdema--

Massa--

Bau--

Sekret/ SerumenWarnaKuning kecoklatanKuning kecoklatan

JumlahSedikit, menempel pada 1/3 liang telinga luarSedikit, menempel pada 1/3 liang telinga luar

JenisSerumenSerumen

Membran Timpani

WarnaPutih mengkilatPutih mengkilat

Reflex CahayaArah jam 5Arah jam 7

UtuhBulging--

Retraksi--

Atrofi--

Rinne++

Tes Garpu TalaSchwabachSama dengan pemeriksaSama dengan pemeriksa

WeberTidak ada lateralisasiTidak ada lateralisasi

KesimpulanNormalNormal

AudiogramTidak dilakukanTidak dilakukan

PEMERIKSAAN KESEIMBANGAN

Tes RombergBaik

Tes FukudaBaik

Finger to NoseBaik

Pemeriksaan Hidung

PemeriksaanKelainanDextraSinistra

Deformitas--

Kel. Kongenital--

HidungTrauma--

Radang--

Massa--

Krepitasi--

Sinus Paranasal

Inspeksi: Tidak ada tanda radang, trauma, sikatrik, massaPemeriksaanDextraSinistra

Nyeri tekan--

Nyeri ketuk--

Rinoskopi Anterior

PemeriksaanKelainanDextraSinistra

VestibulumRadangTidak adaTidak ada

Cavum nasiLapang/SempitLapangLapang

Sekret--

UkuranEutrofiEutrofi

Konka inferiorWarnaMerah mudaMerah muda

PermukaanLicinLicin

UkuranTidak terlihatTidak terlihat

Konka mediaWarnaTidak terlihatTidak terlihat

PermukaanTidak terlihatTidak terlihat

SeptumDeviasi--

Massa--

Rinoskopi Posterior

Pemeriksaan tidak dilakukan karena tonsil kanan dan kiri pasien membesar.PemeriksaanKelainanDextraSinistra

KoanaLapang/SempitTidak dilakukanTidak dilakukan

WarnaTidak dilakukanTidak dilakukan

Mukosa konkaUkuranTidak dilakukanTidak dilakukan

AdenoidAda/TidakTidak dilakukanTidak dilakukan

Muara tubaTertutup sekretTidak dilakukanTidak dilakukan

EustachiiEdema mukosaTidak dilakukanTidak dilakukan

LokasiTidak dilakukanTidak dilakukan

MassaUkuranTidak dilakukanTidak dilakukan

BentukTidak dilakukanTidak dilakukan

PermukaanTidak dilakukanTidak dilakukan

Post Nasal DripAda/TidakTidak dilakukanTidak dilakukan

TransiluminasiPemeriksaan tidak dilakukan karena ruangan yang tidak mendukung.KananTransiluminasiKiri

Tidak dilakukanSinus FrontalTidak dilakukan

Tidak dilakukanSinus MaksilarisTidak dilakukan

Foto Sinus Paranasal

Pemeriksaan tidak dilakukan karena tidak ada indikasi.Pemeriksaan Orofaring dan Mulut

PemeriksaanKelainanDextraSinistra

Simetris/TidakSimetrisSimetris

Palatum mole danWarnaMerah mudaMerah muda

Arkus faringEdema--

Bercak/eksudat--

PermukaanWarnaMerah mudaMerah muda

FaringPermukaanLicinLicin

UkuranT3T3

WarnaMerah mudaMerah muda

Permukaan

TonsilMuara kriptaMelebarMelebar

Detritus--

Eksudat--

Perlengketan dengan pilar++

WarnaMerah mudaMerah muda

PeritonsilEdema--

Abses--

GigiKaries/radiks++

WarnaMerah mudaMerah muda

LidahBentukNormalNormal

Massa--

Pemeriksaan Laring ( Laringoskopi indirek)

Pemeriksaan Laringoskopi Indirek tidak dapat dilakukan karena pasien tidak kooperatif.

PemeriksaanKeterangan

EpiglotisTidak dilakukan

AritenoidTidak dilakukan

Ventrikular bandTidak dilakukan

Plica vocalisTidak dilakukan

SubglotisTidak dilakukan

Sinus PiriformisTidak dilakukan

ValekulaTidak dilakukan

Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening Leher

Tidak terdapat pembesaran KGB leherIV. RESUME

Pasien perempuan berusia 6 tahun datang ke Poli THT RSUD Bekasi berdasarkan anjuran dokter Puskesmas dengan keluhan amandel membesar sejak 3 tahun yang lalu. Pasien sebelunya berobat ke Puskesmas dengan keluhan bengkak pada leher dan demam 4 hari lalu. Setelah mendapat pengobatan dari dokter Puskesmas bengkak dan demam menghilang. Pasien tidur mengorok sejak 1 tahun lalu dan pasien sulit makan sejak 1 tahun lalu disertai berat badan yang tidak dan sulit bertambah. Pasien merasa kering dan mengganjal pada tenggorokan sejak 2 bulan lalu. Pasien sering terlihat mengantuk. Pasien menyangkal adanya nyeri tenggorok, gangguan menelan, bau mulut, batuk, pilek, nyeri telinga, napas berbau, suara serak, sesak napas dan gangguan dalam bidang akademis.

Pasien sering mengalami nyeri tenggorok disertai perbesaran amandel, demam dan batuk pilek sejak usia 3 tahun dan berulang lebih dari 3x dalam setahun selama 3 tahun berturut- turut. Pasien sering mengonsumsi makanan ringan seperti ciki dan minuman es.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran pasien compos mentis dengan keadaan umum tampak sakit ringan. Tanda vital pasien didapatkan normal. Pada tonsil ditemukan ukuran yang membesar yaitu T3/T3, permukaan tidak rata, dan muara kripti yang melebar, terdapat perlengketan pada tonsil kanan dan kiri. Pada tepi 1/3 liang telinga kanan dan kiri bagian luar didapatkan serumen berwarna kuning kecoklatan. Hidung dalam batas normal.V. DIAGNOSIS KERJATonsilitis kronis

Dasar yang mendukung

: Riwayat amandel membesar >3x dalam 1 tahun dalam 3 tahun terakhir

Tidur mengorok sejak 1 tahun terakhir

Sulit makan sejak 1 tahun terakhir

Riwayat nyeri tenggorok disertai demam dan batuk pilek yang hilang timbul sejak 3 tahun lalu

Rasa kering dan mengganjal sejak kurang lebih 2 bulan yang lalu

Tonsil berukuran T3/T3 dengan kripta melebar tanpa hiperemis dan detritus, perlengketan (+) pada pemeriksaan tenggorok Pada Pemeriksaan fisik tidak didapatkan demamDiagnosis Tambahan:Serumen Aurikula Dextra dan SinistraVI. DIAGNOSIS BANDINGTonsilitis kronis eksaserbasi akut

Dasar yang mendukung :

Riwayat demam, nyeri tenggorok disertai amandel yang membesar berulang sejak 3 tahun yang lalu Riwayat demam disertai bengkak pada leher 3 hari yang lalu

Dasar yang tidak mendukung :

Tidak adanya demam, nyeri tenggorok, nyeri menelan dan bengkak pada leher

Tonsil berukuran T3/T3 dengan kripta melebar tanpa hiperemis dan detritus pada pemeriksaan tenggorok.VII. RENCANA PENGOBATAN (1)

Pemeriksaan laboratorium sebelum tonsilektomi Pembersihan serumen telinga kanan dan kiriVIII. PEMERIKSAAN LABORATORIUMTanggal 20 September 2012, Jam 10.36

Hematologi

Darah Lengkap

Laju Endap Darah23 mm

Leukosit12600 /mikroliter

Hitung Jenis

Basofil0%

Eosinofil20%

Batang2 %

Segmen74%

Limfosit22%

Monosit2 %

Eritrosit4.81 juta/dl

Hemoglobin14.0 g/dl

Hematokrit42.4 %

Index Eritrosit

MCV88.1 fL

MCH29.1 pg

MCHC33.0%

Trombosit474000/mikroliter

IX. DIAGNOSIS KERJA

Tonsilitis kronis eksaserbasi akut

Dasar yang mendukung : Nilai leukosit 12.600

Nilai LED 23 mm

Bilai netrofil segment 76%X. RENCANA PENGOBATAN (2)a. Sirup Cefadroxyl 2 x Cth I selama (5 harib. Cek ulang laboratorium darah setelah 3-7 hari

c. Tonsilektomi jika leukosit telah turun dalam batas normal

XI. RENCANA PEMERIKSAAN LANJUTAN Pemeriksaan Biakanswab tenggorokdan tes kepekaan kumanXII. PROGNOSISa. Ad vitam

: Bonam

b. Ad sanationam : Bonam

c. Ad fungtionam : BonamXIII. EDUKASI

a. Berikan edukasi mengenai penyakit yang dialami dan terapinya, termasuk tindakan tonsilektomi yang akan dijalani.

b. Jaga higiene rongga mulut dengan menggosok gigi secara teratur, minimal 2x sehari.

c. Hindari makan makanan yang merangsang dan membuat iritasi pada tenggorok (terlalu panas/dingin/gorengan/vetsin)

BAB IIPEMBAHASANDalam kasus diatas kami mendapatkan bahwa gejala-gejala klinis yang terdapat pada pasien menunjukkan ke arah tonsilitis kronik yang dimulai dari hasil anamnesis, keluhan amandel membesar yang sudah terjadi sejak 3 tahun yang lalu, pasien tidur mengorok dan tidak banyak makannya menyebabkan berat badan pasien susah bertambah dan Pasien merasakan sesuatu yang mengganjal dan kering pada lehernya sejak kurang lebih 2 bulan yang lalu. Pada riwayat penyakit dahulunya pasien sering mengalami nyeri tenggorokan dan nyeri menelan yang hilang timbul sejak 3 tahun yang lalu disertai perbesaran amandel, demam dan batuk pilek. Pasien juga mengalami demam dan bengkak pada leher 3 hari sebelum datang ke poli THT. Pasien sering terlihat mengantuk pada siang hari. Hal ini terjadi karena adanya sumbatan tersebut membuat oksigen jadi sulit terdistribusi dengan baik ke dalam paru-paru dan berimplikasi terhadap kadar oksigen di dalam otak. Karena kurangnya oksigen di dalam otak pasien jadi mengantuk. Ibu pasien mengaku pasien selalu mengorok saat tidur. Mengorok disebabkan adanya sumbatan jalan napas. Sejak pasien berusia 3 tahun pasien sering nyeri menelan dan nyeri tenggorok yang hilang timbul dengan frekuensi lebih dari 3 kali dalam setahun. Nyeri tenggorok biasanya disertai dengan batuk, pilek, dan demam. Dilihat dari perjalanan riwayat penyakit dapat dikatakan penyakit pasien sudah kronis/dalam jangka waktu lebih dari 3 bulan. Pasien selalu datang ke Puskesmas untuk mengobati keluhannya. Oleh dokter tersebut pasien dianjurkan untuk konsultasi ke dokter THT karena amandel pasien sudah besar. Pasien suka mengonsumsi minuman es dan produk makanan ringan seperti ciki. Makanan ringan dengan perasa buatan dan minuman es merupakan makanan yang dapat merangsang dan mengiritasi tonsil dan faring.Berdasarkan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan Telinga :. Pemeriksaan Hidung : dalam batas normal. Pemeriksaan tenggorok didapatkan besar tonsil kanan kiri T3/T3, permukaan tonsil tidak rata dengan kripta yang melebar tidak hiperemis, tidak ada detritus, terdapat perlengketan pada tonsil kanan dan kiri.Kasus ini sudah sesuai dengan teori yang saya pelajari, karena tonsilitis kronis merupakan peradangan kronis tonsil setelah serangan akut yang terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis. Tonsilitis berulang terutama terjadi pada anak-anak. Sering kali keadaan tonsil diluar serangan terlihat membesar disertai dengan hiperemi ringan yang mengenai pilar anterior. Pada pasien akan direncanakan tindakan tonsilektomi dengan indikasi tonsillitis kronis dengan serangan tonsillitis lebih dari 3 kali pertahun walaupun telah mendapatkan terapi yang adekuat dan adanya hipertrofi tonsil disertai sumbatan jalan nafas . Sebelumnya, pasien diberikan informasi mengenai tindakan dan diberitahukan untuk melakukan Pemeriksaan laboratorium. Pada hasil Pemeriksaan laboratorium pasien ditemukan leukosit yang meninggi, mengindikasikan terdapatnya infeksi akut. Oleh karena tonsilektomi dilakukan dalam fase tenang, maka pasien diberikan antibiotik berupa sirup cefadroxyl 2 kali sehari, satu sendok teh selama kurang lebih 5 hari. Pasien diminta untuk melakukan pemeriksaan ulang setelah 5-7 hari untuk mengetahui apakah tindakan tonsilektomi dapat dikerjakan.

BAB IIIKESIMPULAN

Saya melaporkan kasus tonsilitis kronik eksaserbasi akut yang merupakan peradangan kronis tonsil setelah serangan akut yang terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis dan terjadi peradangan akut pada saat pasien datang ke Poli. Tonsilitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan diantara serangan tidak jarang tonsil tampak sehat. Tetapi tidak jarang keadaan tonsil diluar serangan terlihat membesar disertai dengan hiperemi ringan yang mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan keluar detritus. Tonsilitis kronik secara umum disebabkan oleh infeksi bakteri Grup A beta hemolitikus dengan beberapa faktor presidposisi yaitu asap rokok/polusi dan makanan yang merangsang dan meniritasi tenggorok. Pengobatan yang dilakukan adalah pemberian antibiotik dan obat simptomatis. Tindakan pembedahan dilakukan dengan indikasi dan kontraindikasi tertentu. Pasien dengan tonsilitis kronis tanpa komplikasi yang respon dengan pengobatan memiliki prognosis baik.

BAB IVTINJAUAN PUSTAKA

4. 1 EMBRIOLOGI TONSIL

Tonsila Palatina berasal dari proliferasi sel-sel epitel yang melapisi kantong faringeal kedua. Perluasan ke lateral dari kantong faringeal kedua diserap dan bagian dorsalnya tetap ada dan menjadi epitel tonsilla palatina. Pilar tonsil berasal dari arcus branchial kedua dan ketiga. Kripta tonsillar pertama terbentuk pada usia kehamilan 12 minggu dan kapsul terbentuk pada usia kehamilan 20 minggu. Pada sekitar bulan ketiga, tonsil secara gradual akan diinfiltrasi oleh sel-sel limfatik atau getah bening.4,5Secara histologis tonsil mengandung 3 unsur utama yaitu jaringan ikat atau trabekula (sebagai rangka penunjang pembuluh darah, saraf dan limfa), folikel germinativum (sebagai pusat pembentukan sel limfoid muda) serta jaringan interfolikel (jaringan limfoid dari berbagai stadium).4

Jaringan tonsil dilapisi oleh epitel squamosa tanpa keratin. Epitel ini terdiri dari banyak limfosit, makrofag, dan sel plasma yang berasal dari jaringan limfatik di bawah lamina propria. Pada jaringan ini juga terdapat banyak invaginasi epitel yang disebut kripta. Tonsil dikelilingi oleh jaringan ikat yang disebut kapsula yang membentuk septa pada jaringan limfoid ini. Di luar kapsula tonsil dapat ditemukan kelenjar mukosa, duktus ekskretori yang membuka ke dalam kripta, dan beberapa fasikula otot yang merupakan bagian dari otot-otot faring.6

Gambar 1. Histologis tonsila palatina. Keterangan : LyN : nodul limfatik, Ep : epitel, F : lipatan, LyT : jaringan limfatik, Cr : kripta, S : septa, Cp : kapsula.64.2 ANATOMI TONSILTonsilla lingualis, tonsilla palatina, tonsilla faringeal dan tonsilla tubaria membentuk cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas dan saluran pencernaan. Cincin ini dikenal dengan nama cincin Waldeyer. Kumpulan jaringan ini melindungi anak terhadap infeksi melalui udara dan makanan. Jaringan limfe pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis pada masa kanak-kanak, adenoid mengalami perkembangan maksimal pada umur 3 tahun dan tonsil pada usia 5 tahun, dan kemudian menjadi atrofi pada masa pubertas.7

Gambar 1. Cincin waldeyer dilihat dari posterior7

Gambar 2. Tonsilla palatina normal dilihat dari anterior7

Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang terletak pada dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris. Tiap tonsilla ditutupi membran mukosa dan permukaan medialnya yang bebas menonjol kedalam faring. Permukaannya tampak berlubang-lubang kecil yang berjalan ke dalam Cryptae Tonsillares yang berjumlah 6-20 kripta. Pada bagian atas permukaan medial tonsilla terdapat sebuah celah intratonsil dalam. Permukaan lateral tonsilla ditutupi selapis jaringan fibrosa yang disebut Capsula tonsilla palatina, terletak berdekatan dengan tonsilla lingualis.7 Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsilla palatina adalah : 81. Anterior : arcus palatoglossus

2. Posterior : arcus palatopharyngeus

3. Superior : palatum mole

4. Inferior : 1/3 posterior lidah

5. Medial : ruang orofaring

6. Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior.

A. carotis interna terletak 2,5 cm dibelakang dan lateral tonsilla.

Gambar 4. Tonsila Palatina Pada Potongan Sagital9

Adenoid atau tonsila faringea adalah jaringan limfoepitelial berbentuk triangular yang terletak pada aspek posterior. Adenoid berbatasan dengan kavum nasi dan sinus paranasalis pada bagian anterior, kompleks tuba eustachius- telinga tengah- kavum mastoid pada bagian lateral.7 Terbentuk sejak bulan ketiga hingga ketujuh embriogenesis.5 Adenoid akan terus bertumbuh hingga usia kurang lebih 6 tahun, setelah itu akan mengalami regresi. Adenoid telah menjadi tempat kolonisasi kuman sejak lahir. Ukuran adenoid beragam antara anak yang satu dengan yang lain. Umumnya ukuran maximum adenoid tercapai pada usia antara 3-7 tahun.Pembesaran yang terjadi selama usia kanak-kanak muncul sebagai respon multi antigen seperti virus, bakteri, alergen, makanan dan iritasi lingkungan.8

Gambar5. AdenoidFossa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Pada bagian atas fossa tonsil terdapat ruangan yang disebut fossa supratonsil. Ruangan ini terjadi karena tonsil tidak mengisi penuh fossa tonsil.4Pada bagian permukaan lateral dari tonsil tertutup oleh suatu membran jaringan ikat, yang disebut kapsul. Kapsul tonsil terbentuk dari fasia faringobasilar yang kemudian membentuk septa. 4 Plika anterior dan plika posterior bersatu di atas pada palatum mole. Ke arah bawah berpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral faring. Plika triangularis atau plika retrotonsilaris atau plika transversalis terletak diantara pangkal lidah dengan bagian anterior kutub bawah tonsil dan merupakan serabut yang berasal dari otot palatofaringeus. Serabut ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat pengangkatan tonsil dengan jerat. Komplikasi yang sering terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya pangkal lidah.4

Vaskularisasi tonsil berasal dari cabang-cabang A. karotis eksterna yaitu A. maksilaris eksterna (A. fasialis) yang mempunyai cabang yaitu A. tonsilaris dan A. palatina asenden, A. maksilaris interna dengan cabang A. palatina desenden, serta A. lingualis dengan cabang A. lingualis dorsal, dan A. faringeal asenden. Arteri tonsilaris berjalan ke atas pada bagian luar m. konstriktor superior dan memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri palatina asenden, mengirimkan cabang-cabangnya melalui m. konstriktor posterior menuju tonsil. Arteri faringeal asenden juga memberikan cabangnya ke tonsil melalui bagian luar m. konstriktor superior. Arteri lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan mengirim cabangnya ke tonsil, plika anterior dan plika posterior. Arteri palatina desenden atau a. palatina posterior atau "lesser palatine artery" memberi vaskularisasi tonsil dan palatum mole dari atas dan membentuk anastomosis dengan a. palatina asenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring.4 Infeksi dapat menuju ke semua bagian tubuh melalui perjalanan aliran getah bening. Aliran limfa dari daerah tonsil akan mengalir ke rangkaian getah bening servikal profunda atau disebut juga deep jugular node. Aliran getah bening selanjutnya menuju ke kelenjar toraks dan pada akhirnya ke duktus torasikus.4Innervasi tonsil bagian atas mendapat persarafan dari serabut saraf V melalui ganglion sphenopalatina dan bagian bawah tonsil berasal dari saraf glossofaringeus (N. IX). 4

Lokasi tonsil sangat memungkinkan mendapat paparan benda asing dan patogen, selanjutnya membawa mentranspor ke sel limfoid. Aktivitas imunologi terbesar dari tonsil ditemukan pada usia 3 10 tahun. Pada usia lebih dari 60 tahun Ig-positif sel B dan sel T berkurang banyak sekali pada semua kompartemen tonsil.5,10Secara sistematik proses imunologis di tonsil terbagi menjadi 3 kejadian yaitu respon imun tahap I, respon imun tahap II, dan migrasi limfosit. Pada respon imun tahap I terjadi ketika antigen memasuki orofaring mengenai epitel kripte yang merupakan kompartemen tonsil pertama sebagai barier imunologis. Sel M tidak hanya berperan mentranspor antigen melalui barier epitel tapi juga membentuk komparten mikro intraepitel spesifik yang membawa bersamaan dalam konsentrasi tinggi material asing, limfosit dan APC seperti makrofag dan sel dendritik.10

Respon imun tonsila palatina tahap kedua terjadi setelah antigen melalui epitel kripte dan mencapai daerah ekstrafolikular atau folikel limfoid. Adapun respon imun berikutnya berupa migrasi limfosit. Perjalanan limfosit dari penelitian didapat bahwa migrasi limfosit berlangsung terus menerus dari darah ke tonsil melalui HEV( high endothelial venules) dan kembali ke sirkulasi melalui limfe.104.3. TONSILITIS KRONISA. DefinisiTonsilitis Kronis adalah peradangan kronis Tonsil setelah serangan akut yang terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis. Tonsilitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan diantara serangan tidak jarang tonsil tampak sehat. Tetapi tidak jarang keadaan tonsil diluar serangan terlihat membesar disertai dengan hiperemi ringan yang mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan keluar detritus.11B. Epidemiologi

Infeksi saluran pernapasan atas merupakan penyebab tersering morbiditas dan mortalitas pad anak di Indonesia. Salah satu infeksi saluran pernapasan atas yang tersering terjadi pada anak di Indonesia antara lain adalah tonsillitis.

Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di Indonesia pada tahun 1994-1996 ( prevalensi tonsilitis kronik tertinggi setelah nasofaringitis akut (4,6%) yaitu sebesar 3,8%.

C. EtiologiStreptokokus grup A beta-hemolitikus (GABHS) adalah bakteri terbanyak yang selalu dihubungkan dengan penyakit tonsilitis. Sejak 60 tahun setelah antibiotik ditemukan, kebanyakan infeksi yang disebabkan oleh GABHS menjadi lebih mudah untuk diatasi. Hal ini dibuktikan dengan terdapat peningkatan secara klinis pada anak-anak yang menderita tonsilitis. Hanya sejumlah kecil individu yang terkena komplikasi ginjal dan jantung.

Penularan GABHS diyakini terjadi melalui penyebaran droplet. Ukuran inokulum dan virulensi dari strain penginfeksi cenderung menjadi faktor penting dalam transmisi. Masa inkubasi biasanya antara 1-4 hari. Setelah memulai terapi antimikroba, anak dapat kembali beraktivitas di sekolah dalam 1-2 hari.12

D. Faktor PredisposisiBeberapa faktor predisposisi timbulnya kejadian Tonsilitis Kronis, yaitu : 11 Rangsangan kronis (rokok, makanan)

Higiene mulut yang buruk

Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah-ubah)

Alergi (iritasi kronis dari allergen)

Keadaan umum (kurang gizi, kelelahan fisik) Pengobatan Tonsilitis Akut yang tidak adekuat.E. Etiopatogenesis

Kuman penyebab tonsilitis kronis sama dengan kuman yang menyebabkan terjadinya tonsilitis akut yaitu Streptococcus hemoliticus (50%), Streptococcus viridians dan sisanya disebabkan virus. Penyebarannya melalui percikan ludah (droplet infection). Penyakit ini ada kecenderungan bersifat residif secara periodik. Mula-mula terjadi infiltrasi pada lapisan epitel. Bila epitel terkikis, maka jaringan limfoid superfisial mengadakan reaksi kemudian terjadi peradangan dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Proses ini secara klinis tampak pada kriptus tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas. Tonsilitis kronis merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinik pada tonsil. Biasanya terjadi pembesaran tonsil sebagai akibat hipertrofi folikel-folikel kalenjar limfe.14Pada radang kronis tonsil terdapat 2 bentuk, yaitu hipertrofi tonsil dan atrofi tonsil. Terjadinya proses radang berulang mengakibatkan epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan ikat fibrosa. Jaringan ikat ini sesuai dengan sifatnya akan mengalami pengerutan, sehingga ruang antar kelompok jaringan limfoid melebar. Hal ini secara klinik tampak sebagai pelebaran kriptus, dan kriptus ini diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga terbentuk kapsul, akhirnya timbul perlengketan dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan proses pembesaran kalenjar limfe submandibularis.14Gangguan tonsilitis kronis dapat menyebar dan menimbulkan komplikasi melalui perkontinuitatum, hematogen atau limfogen. Penyebaran perkontinuitatum dapat menimbulkan rinitis kronis, sinusitis dan otitis media. Penyebaran hematogen atau limfogen dapat menyebabkan endokarditis, artritis, miositis, nefritis, uveitis, iridosiklitis, dermatitis, urtikaria, furunkulosis dan pruritus.14F. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada anamnesis biasanya terdapat riwayat infeksi berulang, riwayat nyeri menelan atau rasa mengganjal di tenggorokan, keluhan nafas berbau, tidur yang mendengkur, riwayat infeksi telinga tengah berulang.15

Boies (1978) dan Paparella (1980), mengemukakan gejala tonsilitis kronis antara lain: 1) gejala klinis, rasa nyeri di tenggorok disertai demam ringan, nyeri sendi, 2) gejala lokal, hipertrofi tonsil, permukaan berbenjolbenjol, kripte melebar dan jika kripte ditekan keluar massa seperti keju. Kadangkadang tonsil atrofi atau degenerasi fibrotik dan terlihat dalam fossa tonsilaris, jika ditekan terdapat discharge purulen, dan pembesaran kelenjar limfe regional.4.11

Tonsilitis kronik akan menyebabkan sakit tenggorokan rekuren, atau persisten dan gangguan menelan atau pernapasa, walaupun yang terakhir disebabkan oleh kelenjar adenoid yang membesar. Nafas penderita bersifat ofensif dan kalau terdapat hipertrofi yang hebat, mungkin terdapat obstruksi yang cukup besar pada saluran udara bagian atas yang mengakibatkan hipertensi pulmonal. Tonsila akan memperlihatkan berbagai derajat hipertrofi dan dapat bertemu di garis tengah. Pada hipertrofi kroonik pada adenoid, anak memperlihatkan pernapasan lewat mulut dan rhinitis yang kurang lebih bersifat persisten. Anak mungkin mendengkur pada waktu tidur dan sepanjang hari cenderung tetap membuka mulutnya, mengakibatkan kekeringan pada mulut dan bibirnya. Suara sengau, napasnya bersifat ofensif dan penciuman penderita mengalami gangguan. Mungkin terdapat batuk yang persisten. Otitis media kronik sering merupakan masalah yang menyertai. (17) Selain itu, gejalan lain yang dapat timbul adalah demam, nyeri tenggorok, dan disfagia. (18) Gambar 6. Tonsilitis Kronis13Adapun tingkatan-tingkatan yang terjadi pada tonsilitis, yang diperlihatkan pada gambar 7.

Gambar 7. Tingkatan/Grading tonsilitis3Keterangan :3T1 : berada di dalam fossa tonsilaris

T2 : telah melewati fossa tonsilaris, tetapi belummelewati garis paramedian

T3 : telah melewati garis paramedian, tetapi belum mencapai garis median

T4 : telah mencapai garis medianG. Diagnosis BandingDiagnosis banding dari tonsillitis kronik adalah :3a. Tonsillitis difteri

Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung pada titer antitoksin dalam darah. Titer antitoksin sebesar 0,03 sat/cc darah dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Gejalanya terbagi menjadi 3 golongan besar, umum, local dan gejala akibat eksotoksin. Gejala umum sama seperti gejala infeksi lain, yaitu demam subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat dan keluhan nyeri menelan. Gejala local yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan membentuk pseudomembran yang melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Gejala akibat eksotoksin dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh, misalnya pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai dekompensasi kordis, pada saraf cranial dapat menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot pernafasan serta pada ginjal dapat menimbulkan albuminuria.

b. Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulseromembranosa)

Gejala yang timbul adalah demam tinggi (39C), nyeri di mulut, gigi dan kepala, sakit tenggorok, badan lemah, gusi mudah berdarah dan hipersalivasi. Pada pemeriksaan tampak membrane putih keabuan di tonsil, uvula, dinding faring, gusi dan prosesus alveolaris. Mukosa mulut dan faring hiperemis. Mulut berbau (foetor ex ore) dan kelenjar submandibula membesar.

c. Mononucleosis infeksiosa

Terjadi tonsilofaringitis ulseromembranosa bilateral. Membrane semu yang menutup ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan, terdapat pembesaran kelenjar limfe leher, ketiak dan region inguinal. Gambaran darah khas yaitu terdapat leukosit mononucleosis dalam jumlah besar. Tanda khas yang lain adalah kesanggupan serum pasien untuk beraglutinasi terhadap sel darah merah domba (Reaksi Paul Bunnel).d. Tonsilar hiperkeratosis

Terdapat nodular kekuningan, atau putih, tipis yang menunjukan sebuah proses hiperkeratosis pada permukaan tonsil yang mana tidak bisa diangkat.e. Faringitis Tuberkulosa

Merupakan proses sekunder dari TBC paru. Keadaan umum pasien buruk karena anoreksi dan odinofagi. Pasien mengeluh nyeri hebat di tenggorok, nyeri di telinga (Otalgia) dan pembesaran kelenjar limfa leher.

f. Faringitis Luetika

Gambaran klinis tergantung dari stadium penyakit primer, sekunder atau tersier. Pada penyakit ini dapat terjadi ulserasi superficial yang sembuh disertai pembentukan jaringan ikat. Sekuele dari gumma bisa mengakibatkan perforasi palatum mole dan pilar tonsil.

Penyakit-penyakit diatas, keluhan umumnya berhubungan dengan nyeri tenggorok dan kesulitan menelan. Diagnosa pasti berdasarkan pada pemeriksaan serologi, hapusan jaringan atau kultur, X-ray dan biopsy.H. Penatalaksanaan

Pengobatan pasti untuk tonsillitis kronis adalah pembedahan dengan pengangkatan tonsil. Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus dimana penatalaksanaan medis atau yang konservatif gagal untuk meringankan gejala-gejala. Penatalaksanaan medis termasuk pemberian penisilin yang lama, irigasi tenggorokan sehari-hari dan usaha untuk membersihkan kripte tonsil dengan alat irigasi gigi (oral). Ukuran jaringan tonsil tidak mempunyai hubungan dengan infeksi kronis maupun berulang.4Indikasi tonsilektomi menurut American Academy of Otolaryngology

Head and Neck Surgery Clinical Indicators Compendium tahun 1995 menetapkan :11

1. Serangan tonsillitis lebih dari 3 kali pertahun walaupun telah mendapatkan terapi yang adekuat.

2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan pertumbuhan orofacial.

3. Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan nafas, sleep apneu, gangguan menelan, gangguan berbicara, dan cor pulmonale.

4. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak hilang dengan pengobatan.

5. Nafas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.

6. Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grub A streptokokus beta hemolitikus.

7. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan.

8. Otitis media efusi atau otitis media supuratif.Terdapat beberapa teknik operasi tonsilektomi, antara lain cara guillotine, diseksi electrosurgery, radiofrekuensi, skalpel harmonik, coblation, tonsilektomi parsial intraskapular, dan teknik laser (CO2-KTP). Teknik tersering yang dilakukan di Indonesia adalah teknik guillotine dan diseksi. Teknik guillotine dilakukan dengan mengangkat tonsil dan memotong uvula yang edematosa atau elongasi dengan menggunakan tonsilotomi atau guillotine. Teknik ini merupakan teknik tonsilektomi tertua dan aman. Teknik diseksi memiliki prinsip yang sama, meliputi fiksasi tonsil, membawanya ke garis tengah, insisi membran mukosa, mencari kapsul tonsil, mengangkat dasar tonsil dan mengangkatnya dari fossa dengan manipulasi hati-hati. Lalu dilakukan hemostasis dengan elektokauter atau ikatan. Selanjutnya dilakukan irigasi pada daerah tersebut dengan salin. Teknik electrosurgery, radiofrekuensi, scalpel harmonik, coblation, tonsilektomi parsial intraskapular, dan teknik laser merupakan modifikasi lain dari teknik diseksi.16I. Komplikasi

Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa rinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara perkontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul endokarditis, artritis, miositits, nefritis, uveitis, iridosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria dan furunkulosis.1J. Prognosis

Sejumlah literatur menyatakan penururnan angka infeksi faring yang signifikan setelah tonsilektomi. Pada pasien dengan Obstructive Sleep Apnea jalan nafas yang dapat kembali normal mencapai 25 %. DAFTAR PUSTAKA1. Notosiswoyo M, Martomijoyo R, Supardi S, Riyadina W. Pengetahuan dan Perilaku Ibu / Anak Balita serta persepsi masyarakat dalam kaitannya dengan penyakit ISPA dan pnemonia. Bul. Penelit. Kes. 2003; 31:60-71. 2. Probst R, Grevers G, Iro H. Basic Otorhinolaringology. German : Thieme. 2005; 119-120

3. Jackson C, Jackson CL. Disease of the Nose, Throat and Ear, 2nd ed.. Philadelphia: WB Saunders Co. 1959; 239-257.

4. Adams LG, Boies RL, Higler AP, BOIES Fundamentals of Otolaryngology. 6th Ed. Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta : EGC. 2001; 263-368.5. Sadler TW. Embriologi Kedokteran LANGMAN, ed. 7. Jakarta : EGC. 1997; 318-321.

6. Krstic RV. Human Microscopic Anatomy, 3rd ed.. Switzerland : Springer-Verlag. 1997; 71-72

7. Verlag GT. Thieme Atlas of Anatomy. German : Thieme. 2007; 110-112.

8. Martin, FH. Fundamentals of Anatomy & Physiology, 8th ed..USA : Pearson Benjamin Cummings. 2009; 831-832

9. Hollishead WH. Anatomy for Surgeons. 3rd ed.. Philadelphia : Harper & Row. 1982.

10. Bailey BJ, Johnson JT. Head & Neck Surgery Otolaryngology, 4th ed.. USA : Lippincott Williams & Wilkins. 2006; 1186-1192.

11. Soepardi AE.dr, Iskandar N.Dr.Prof, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, FKUI : Jakarta, 2001; 223-224.12. Mitchell RB, Pereira KD. Pediatric Otolaryngology for The Clinician. New York : Human Press. 2009; 187-189.13. Onerci MT. Diagnosis in Otorhinolaryngology. Berlin : Springer Verlag. 2009; 124.14. Suwento R. Epidemiologi Penyakit THT di 7 Propinsi. Kumpulan makalah dan pedoman kesehatan telinga. Lokakarya THT Komunitas. PIT PERHATI-KL, Palembang, 2001: 8-12.15. Aritomoyo D. Insiden tonsilitis akuta dan kronika pada klinik THT RSUP Dr. Kariadi Semarang, Kumpulan naskah ilmiah KONAS VI PERHATI, Medan, 1980: 249-55.16. Lipton AJ. Obstructive sleep apnea syndrome :http://www.emedicine.com/ped/topic 1630.htm.2002.17. Delf MH, Manning RT. Major Diagnosis Fisik. Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku EGC; 1996.18. Meadow R, Newell S. Lecture notes on Paediatrics. 7th Ed. Oxford: Blackwell science; 2001.29